Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam menghadapi sengketa medis

advertisement
1
Vol. 59, No. 1, Januari 2010, hal. 1-7 | ISSN 0024-9548
Upaya bantuan hukum dokter gigi dalam
menghadapi sengketa medis
(The law aid procedures for dentist againts medical case)
Ananta Tantri Budi
Departemen Konservasi Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi - Universitas Airlangga
Abstract
Background : Dentists are not infrequently accused by the patient as having committed malpractice. An accusation may develop
to become legal case if the patient is advised by his family or relatives to do so. Purpose : To prevent involvement in a legal case,
in addition to working properly according to professional standards and ethical codes, dentists should improve their knowledge
and understanding on health related legal instruments. Reviews : Indonesian Dental Association is responsible to defend its
members in legal cases, therefore , it should have The Members Improvement and Defense Board (BPPA). The role of BPPA is to
provide defense, consideration and suggestion for the resolution of legal problems and legal assistance efforts needed by a dentist
involved in legal cases. Conclusion : Dentists have to learn about medical related-law and not only dental knowledge. Additionally,
they also used to make an informed consent in their practice protocol.
Keywords: legal cases, dentist and patient, BPPA
Correspondence: Ananta Tantri Budi, Departemen Konservasi Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga,
Jalan Mayjend. Prof. Dr. Moestopo no. 47 Surabaya 60132, Indonesia.
PENDAHULUAN
Dewasa ini banyak terjadi mengenai tuduhan
dokter gigi melakukan malapraktek. Tuduhan
kesalahan tidakanan medis ini sering dijumpai
melalui surat pembaca di sebuah surat kabar.
Alasan pasien yang dikemukakan terhadap
tuduhan tersebut, antara lain hasil tindakan medis
tidak memenuhi harapan, pelayanan yang tidak
memuaskan, tidak mendapatkan informasi yang
jelas tentang langkah-langkah tindakan medis
yang akan dilakukan, beaya yang terlalu mahal
dllnya 1.Hal semacam ini memungkinkan dapat
berkembang menjadi sengketa medis bilamana
pasien telah berkonsultasi dengan keluarganya
atau melalui kerabatnya . Penyelesaian sengketa
medis yang ditempuh oleh pasien dengan cara,
yaitu melalui jalur hukum atau organisasi profesi,
Tindakan medis adalah upaya yang dilakukan
dengan menggunakan peralatan kedokteran dan
kedokteran gigi berdasarkan kaidah-kaidah
pelayanan kedokteran dan kedokteran gigi yang
telah teruji 2 , Dari segi hukum yang berkaitan
dengan tindakan medis, ada tiga hal yang harus
dipenuhi dalam melaksanakan tindakan medis
hingga dianggap sah menurut hukum, yaitu ada
tujuan, siapa pelakunya dan syarat legalnya.
Tujuan utamanya untuk menegakkan diagnosis
dan melakukan rencana terapi. Pelaku tindakan
2
Budi: Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi sengketa medis
medis yang diperbolehkan adalah dokter gigi yang
berkompeten dan sah menurut hukum, Adapun
syarat legalnya tindakan medis ini, yaitu adanya
izin dari pihak pasien, alasan dilakukannya
tindakan medis dan cara baku melakukan-nya.atau
standar profesi 3
Dokter gigi harus bekerja sesuai dengan
standar profesi dan melaksanakan kode etik agar
terhindar dari sengketa medis, selain itu
diharapkan dokter gigi yang menyelenggarakan
praktek swasta memahami tentang aspek hukum
yang berlaku di Indonesia.
P entingnya jaminan hukum dalam
menyelenggarakan praktek swasta amat
dibutuhkan oleh dokter gigi. Peran organisasi
profesi dalam menyikapi anggotanya yang
tersangkut dalam sengketa medis harus
bijaksana. Berdasarkan pasal 7 ADRT tahun 2008,
PDGI membentuk Badan Pembelaan dan Pembinaan
Anggota (BPPA). Tugas dan wewenangnya, antara
lain melaksanakan tugas pembelaan dan
pembinaan pelaksanaan etik kedokteran gigi,
disiplin dan hukum, memberi pertimbangan atau
usul kepada yang berwenang atas pelanggaran
etika, disiplin dan hukum, mengadakan konsultasi
timbal balik dengan instansi terkait sehubungan
dengan pembelaan dan pembinaan anggota.4
Tujuan penulisan makalah ini untuk mengetahui
pelanggaran yang menyangkut sengketa medis dan
upaya bantuan hukum yang dihadapi dokter gigi.
Tulisan ini sebagai pengetahuan untuk mencegah
dokter gigi tersangkut dalam perkara hukum selama
menyelenggarakan praktek swasta.
Apakah dokter gigi kebal hukum?
Sebagai warga negara seorang dokkter gigi
memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan
rakyat Indonesia lainnya, sehingga mendapatkan
perlakuan yang sama pula. Dokter gigi yang
melanggar hukum akan mendapat sangsi hukum,
sehingga seorang dokter gigi tidak ada yang kebal
terhadap hukum. Setiap orang adalah sama
didepan hukum, dapat diadili untuk tindak pidana
yang dilakukan.1
PDGI telah menyiapkan BPPA untuk
kepentingan membela anggotanya; namun bilamana
seorang dokter gigi melanggar peraturan dan
perundangan yang berlaku tidak akan dilindungi.
BPPA akan melindungi anggotanya yang dituduh
melanggar hukum yang berkaitan dengan dokter
gigi dalam melaksanakan tugas profesinya,
Jurnal PDGI 59 (1) hal 1-7 © 2009
dilaksanakan sesuai kode etik kedokteran gigi, lafal
sumpah dokter gigi, standar profesi, peraturan dan
perundangan bagi tenaga kesehatan yang
berlaku.1,4
Aspek hukum ?
Meningkatnya kesadaran hukum masyarakat
belakangan ini akan berdampak terhadap dokter
gigi yang menyelenggarakan praktek swasta.
Dampak negatif yang terjadi akan semakin banyak
dokter gigi yang tersangkut tuduhan atau
tuntutan hukum. Untuk mengantisipasi hal ini
dipandang perlu seorang dokter gigi yang
menyelenggarakan praktik swasta meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman terhadap aspek
hukum.
Peraturan dan perundangan yang berkaitan
dengan hukum kesehatan2, antara lain:
- KUHPerdata dan KUHPidana
- Undang-Undang No. 23 tahun 1992 Tentang
Kesehatan
- Undang-Undang No. 29 tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran
- Peraturan Pemerintah No, 10 tahun 1966
Tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No. 512/Menkes/
Per/IV/2007 Tentang Izin Praktek dan
Pelaksanaan Praktek Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No.290/Menkes/
Per/III/2008 Tentang Persetujuan Tindakan
Kedokteran
- Peraturan Menteri Kesehatan No.749a/Menkes/
Per/XII/1989 Tentang Rekam Medik/Medikal
Record
- Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No. 17/
KKI/Kep/VIII/2006 Tentang Penegakan Disiplin
Profesi Kedokteran
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.
15/ KKI/Per/VIII/ 2006 Tentang Organisai dan
Tata organisasi dan Tata Kerja Majelis
Kehormatan Disiplin Kedoteran Indonesia di
Tingkat Provinsi
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 16/
KKI/Per/VIII/2006 Tentang Tata Cara
Penanganan Kasus Dugaan Pelanggaran
Disiplin Dokter dan Dokter Gigi Oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Di
Tingkat Provinsi
- Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 42/
KKI/Per/XII/2007 Tentang Tata Cara Registrasi
Budi: Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi sengketa medis
Jurnal PDGI 59 (1) hal 1-7 © 2009
-
Ulang, Registrasi Sementara dan Registrasi
Bersyarat Dokter dan Dokter Gigi.
Dan lain-lain
Hubungan hukum antara dokter gigi dan pasien
Hubungan hukum antara dokter gigi dan
pasiennya yang terjadi dalam pelayanan bidang
kedokteran gigi, disebabkan adanya persetujuan
atau kesepakatan. Dalam persetujuan atau
kesepakatan ini terjadi “perjanjian” karena antara
kedua belah pihak saling berjanji melakukan
sesuatu, yaitu pengobatan atau perawatan gigi dan
mulut. Akibat dari perjanjian ini timbul “perikatan”
antara dokter gigi dan pasien.5,6,7,8 Dalam undangundang dijelaskan pengertian perikatan adalah
hubungan hukum antara dua orang atau lebih,
dimana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu
dari pihak yang lain, sedangkan pihak yang lain
itu berkewajiban memenuhi tuntutan. Sesuatu yang
dituntut tersebut menurut undang-undang dapat
berupa9 : menyerahkan suatu barang, melakukan
suatu perbuatan, tidak melakukan suatu
perbuatan.
Terkait hubungan dokter gigi dan pasien, yang
menjadi tuntutan disini, yaitu “melakukan suatu
perbuatan”. Yang dimaksud melakukan suatu
perbuatan disini adalah tindakan medis.
Selanjutnya perikatan ini diatur dalam pasal 1320
KUH Perdata.
Untuk sahnya suatu perikatan diperlukan 4
syarat:6,7,9 yaitu: sepakat mereka yang mengikatkan
dirinya, kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
suatu hal tertentu, suatu sebab yang halal .
Hubungan dokter dan pasien mempunyai
peranan penting, karena saling berjanji untuk
mengikatkan diri dalam melaksanakan pengobatan
bagi pasien sehingga terbentuklah suatu perikatan.
Dalam hal ini dokter gigi dan pasien sudah
dianggap sepakat melakukan perikatan, apabila
dokter gigi telah mulai melakukan anamnesis dan
menentukan rencana perawatan terhadap
pasienya.6,7 Menurut Syamsul Bachri, pada saat
seorang pasien memasuki ruang dokter untuk
berobat dan dokter itu telah memulai melakukan
anamnesa dan rentetan pemeriksaan, ketika itu
sesungguhnya telah terjadi suatu persetujuan atau
perjanjian (transaksi) terapetik antara dokter dan
pasien.9
Dokter gigi dan pasiennya yang melakukan
perikatan tindakan medis dikenal dengan
“perjanjian terapetik” Sifat perjanjian terapetik
adalah suatu perjanjian berusaha melakukan
3
perbuatan sebaik mungkin dan tidak menjamin
hasilnya.5,6,7,9 Meskipun demikian menurut Leenen
suatu tindakan medis harus memenuhi syarat9 :
1) harus ada indikasi medis, 2) dilakukan
berdasarkan standar profesi, 3) dilakukan dengan
teliti dan hati-hati, 4) harus ada informed consent
Sebaliknya bilamana perikatan ini akan
dibatalkan, tidak bisa begitu saja dilakukan oleh
satu pihak. Untuk itu harus ada persetujuan atau
kesepakatan kedua belah pihak,. yang telah diatur
dalam pasal 1338 KUHPerdata.7,9
Kenyataan hubungan dokter gigi dan pasien
pada perjanjian terapetik dilakukan saling percaya
mempercayai yang senantiasa diliputi segala emosi,
harapan dan kekhawatiran mahluk insani.
Mengingat hak-hak pasien maka pasien dapat saja
membatalkannya secara sepihak tanpa persetuuan
dokter gigi yang merawatnya. Hal ini dapat
membahayakan pihak dokter gigi yang merawatnya
karena pasien dapat melakukan secunder opinion,
merasa berhak mememperoleh perlindungan
hukum dan pasien tidak mendapatkan harapan
yang sesuai dari dokter giginya 1,5,8,9.
Penyelesian tuntutan perkara hukum
Penyelesaian masalah tuntutan perkara
hukum dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu secara
kekeluargaan, jalur hukum, dan MKDKI.7,11
Penyelesaian secara kekeluargaan
Salah satu cara penyelesaian sengketa medis
melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) atau
penyelesaian melalui mediasi.. Penyelesaian ini
dapat dilaksanakan oleh pihak ke tiga baik
diluar sistem peradilan maupun di dalam sistem
peradilan.
Berdasarkan PERMA No. 1 tahun 2008,
Mahkamah Agung mendorong mediasi di
Pengadilan menjadi kewajiban bagi para pihak
sebelum pemeriksaan sengketa medis dimulai, hal
ini untuk mengurangi penumpukan perkara di
pengadilan. Mediasi dapat menyelesaikan masalah
dengan cepat, efektif dan efesien.7,10 Penyelesaian
secara mediasi ini dapat dilakukan oleh BPPA,
sebagai usaha melakukan pembelaan terhadap
anggota PDGI.
Penyelesaian di tangan penyidik
Akhir-akhir ini sengketa medis banyak juga
diadukan kepada pihak kepolisian. Apakah hal ini
lazim? Jika dibandingkan dengan India, Supreme
Court of Justice menentukan hanya perkara yang
termasuk malapraktek medik berat, yaitu kelalaian
4
Budi: Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi sengketa medis
Jurnal PDGI 59 (1) hal 1-7 © 2009
berat (gross negligence) dan sifatnya kriminal saja
yang bisa diadukan ke polisi. Di Indonesia
masyarakat sudah salah kaprah, karena tidak ada
pengaturan, tidak ada hukum dan penjelasan
harus ke mana mengadukan. Dengan demikian
masyarakat perlu diberi informasi tentang duduk
persoalannya tentang pengaduan sengketa di
bidang medis 5.
Perkara yang ditangani oleh penyidik
berkaitan dengan kelalaian berat dan bersifat
kriminal atau ada kesengajaan yang dilakukan
oleh dokter gigi dalam pelayanan kesehatan.
Untuk membuktikan adanya kelalaian ada 4 alat
bukti yang harus diperhatikan 7 : a) Apakah
tindakan medis tersebut sudah sesuai dengan
standar profesi, b) Bagaimana data medis yang
tertuang dalam rekam medik pasien tersebut,
c) Apabila telah dibuat visum et repertum,
d) Bagaimana pendapat ahli yang mempunyai
keahlian dalam bidang tersebut dengan masalah
yang terjadi
Pihak penyidik akan mengeluarkan SP3 (Surat
Perintah Penghentian Penyidikan) dan masalah
dianggap selesai apabila masalah tersebut telah
ditangani oleh penyidik dan ternyata tidak ada
bukti kuat adanya kelalaian. 7
independent bagi tenaga kesehatan yang berdiri
berdasarkan undang-undang, yang bertugas
menerima pengaduan, memeriksa, mengadili dan
memutuskan perkara yng berkaitan dengan
perkara medis.11
Pelanggaran disiplin adalah pelanggaran
terhadap aturan-aturan atau ketentuan penerapan
keilmuan, yang pada hakekatnya dapat
dikelompokkan dalam 3 hal, 2 yaitu: 1)
Melaksanakan praktik kedokteran yang tidak
kompeten, 2) Tugas dan tanggung jawab
professional pada pasien tidak dilaksanakan
dengan baik, 3) Berperilaku tercela yang merusak
martabat dan kehormatan profesi kedokteran.
MKDKI dalam menangani perkara dugaan
pelanggaran disiplin kedokteran dan kedokteran
gigi berdasarkan Keputusan Konsil Kedokteran
Indonesia No.17/KKI/KEP/VIII/2006 Tentang
Penegakaan Disiplin Profesi Kedokteran. Ketentuan
pelanggaran disiplin, dapat dilihat dalam buku
tentang penyelenggaraan praktik kedokteran yang
baik di Indonesia yang diterbitkan berdasarkan
Keputusan Konsil Kedokteran Indonesia No.18/
KKI/KEP/IX/2006.2
Penyelesaian melalui peradilan
Penasehat hukum yang paham dengan
hukum kesehatan diperlukan bilamana masalah
sengketa medis menjadi perkara hukum sampai di
sidang pengadilan. Disamping itu diperlukan juga
saksi ahli dan saksi a de charge (yang meringankan)
agar tercapai keputusan yang seadil-adilnya.7
Pelaporan kepada PDGI wilayah tempat
menjalankan praktek harus segera dilakukan
bilamana terjadi masalah antara dokter gigi dan
pasien yang menyangkut tuntutan perkara
hukum. Sebagai induk organisasi, PDGI bersama
MKEKG.dan BPPA akan melakukan verifikasi
kesalahan berdasarkan pelanggarannya
Pasien dan keluarganya akan dipanggil untuk
memperjelas persoalan yang sebenarnya, dengan
demikian dapat diperoleh persoalan atas kerugian
yang diderita oleh pasien 7: apakah akibat kelalaian
dokter gigi atau kesalahan pasien atau apakah
terjadi pelanggaran etik, disiplin ataupun hukum
Pelanggaran etik antara lain dapat disebabkan
dokter gigi yang melakukan pelayanan kesehatan
tidak memahami hak pasien,2,7,9 bilamana terdapat
pelanggaran etik maka PDGI berhak menegur
anggotanya. Namun demikian ada beberapa
pelanggaran etik yang dilakukan oleh tenaga
kesehatan dapat berakibat sangsi hukum,7,9 antara
lain : pembocoran rahasia pasien yang seharusnya
disimpan atau tindakan asusila terhadap pasien
yang dirawatnya.
BPPA akan memberikan bantuan mencarikan
konsultan hukum yang memahami aspek hukum
Penyelesaian melalui MKDKI
KKI dalam menjalankan tugas untuk
menegakkan disiplin dokter dan dokter gigi dalam
penyelenggaraan praktik kedokteran diserahkan
kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Majelis ini merupakan
lembaga otonom KKI yang keberadaannya
berdasarkan pasal 1 (14) UU No. 29 tahun 2004
Tentang Praktik Praktek Kedokteran. Tugas
MKDKI adalah menegakkan aturan-aturan dan
ketentuan penerapan keilmuan kedokteran dalam
pelaksanaan pelayanan medis yang seharusnya
diikuti oleh dokter dan dokter gigi Oleh karena
itu MKDKI merupakan badan yang ditunjuk oleh
KKI untuk menangani kasus-kasus dugaan
pelanggaran disiplin kedokteran atau kedokteran
gigi dan menetapkan sangsi..2,5,7,11 Dengan demikian
MKDKI merupakan lembaga peradilan profesi yang
Upaya bantuan hukum
Budi: Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi sengketa medis
Jurnal PDGI 59 (1) hal 1-7 © 2009
kesehatan yang berkaitan dengan profesi dokter
gigi dalam rangka melawan perkara hukum yang
dihadapi anggotanya. Konsultan hukum ini
bertugas membela dan mendampingi dokter gigi
yang dituduh melanggar hukum, menyediakan
saksi dan saksi ahli selama penyidikan dan proses
peradilan.7
BPPA membantu penyelesaian sengketa medis
anggota PDGI melalui mediasi di luar maupun di
dalam sistem peradilan. Bilamana sengketa medis
telah menjadi perkara hukum yang harus melalui
proses peradilan, BPPA akan mendampinginya di
dalam sidang pengadilan dan mengadakan
konsultasi timbal balik dengan instansi terkait.2,7,10
PDGI harus mengajukan permohonan kepada
MKDKI untuk sahnya verifikasi terhadap
pelanggaran disiplin. Berdasarkan Peraturan
Konsil Kedokteran Indonesia pasal 6(3) No.16 /
KKI/PER/VIII/2006 tentang tata cara penanganan
dugaan pelanggaran disiplin dokter dan dokter
gigi, MKDKI mengangkat Majelis Pemeriksa Awal
(MPA) yang terdiri 3 orang dan bekerja dalam 14
hari. Tugas MPA antara lain memeriksa keabsahan
aduan, keabsahan alat bukti, menetapkan
pelanggaran etik atau disiplin, menolak
pengaduan karena tidak memenuhi sayarat
pengaduan atau tidak termasuk dalam wewenang
MKDKI, dan melengkapi seluruh alat bukti.12
Berdasarkan pasal 7(1), selambat-lambatnya 14
hari setelah laporan MPA tentang adanya
pelanggaran disiplin, MKDKI membentuk
Majelis.Pemeriksa Disiplin (MPD) yang terdiri 3 –
5 orang dan bekerja selambat-lambatnya 28
hari.Tugas MPD mengadakan sidang untuk
memeriksa, pembuktian dan menetapkan sangsi
terhadap pelanggaran disiplin yang dilakukan
dokter gigi. Dalam sidang peradilan profesi dihadiri
oleh pasien atau keluarga / kuasanya, saksi, dokter
gigi yang bersangkutan. Bilamana diperlukan
MPD dapat meminta keterangan tenaga ahli agar
memperoleh keputusan yang seadil-adilnya.12
Berdasarkan pasal 31(2) dokter gigi yang
mendapat sangsi pelanggaran diberikan kesempatan
menyatakan keberatannya selambat-lambatnya
selama 30 hari. Terhadap keberatan yang diajukan
maka MPD akan melakukan sidang ulang untuk
mengadakan peninjauan kembali. Keputusan
sidang MPD merupakan keputusan MKDKI yang
mengikat KKI, dokter gigi yang dituntut, penuntut,
Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan daerah
dan institusi terkait.12
5
Persoalan tersebut akan lebih mudah diatasi
bilamana keberadaan MKDKI-P sudah dibentuk
sampai ke propinsi.7 Dengan demikian memudahkan
dan mempercepat proses sidang yang dibutuhkan
dalam peradilan profesi.
Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung no. B
006/R – 31/I/ 1982 tanggal 19 Oktober 1982 Tentang
Perkara Profesi Kesehatan, bahwa agar tidak
meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan
pejabat Dinas Kesehatan atau Departemen
Kesehatan Republik Indonesia. Juga berdasarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 4/PVVV-V/
2007, bahwa perkara medis diselesaikan terlebih
dahulu melalui peradilan profesi,7,11 maka peran
PDGI sangat penting guna penyelesaian tuntutan
perkara etik, disiplin dan hukum
PEMBAHASAN
Dokter gigi dalam menyelenggarakan praktik
swasta dapat mengalami tuduhan malapraktik.
Tuduhan dapat berkembang menjadi sengketa
medis bilamana pasien dipengaruhi oleh pihak
keluarga atau kerabatnya.1 Untuk antisipasi agar
tidak menjadi tuntutan perkara hukum, dokter
gigi yang menyelenggarakan praktik swasta harus
meningkatkan pengetahuan dan memahami aspek
hukum.
Hubungan dokter gigi dan pasien yang terjadi
dalam pelayanan bidang kedokteran gigi dimana
ke dua belah pihak melakukan perikatan yang
diatur dalam KUH Perdata, begitu juga sebaiknya
bilamana perikatan ini akan dibatalkan.. Dalam
bidang kedokteran dan kedokteran gigi di kenal
dengan perjanjian terapetik. Sifat perjanjian ini
adalah melakukan perbuatan sebaik mungkin dan
tidak menjamin hasilnya.5,6,7,9 Meskipun demikian
harus dilakukan berdasarkan standar profesi dan
dilakukan dengan hati-hati. 9 Oleh karena itu
dokter gigi selain memperhatikan aspek medis juga
harus memperhatikan aspek legal, yaitu
pertanggungjawaban hukum dari perbuatan yang
dilakukannya terhadap pasien.
Hubungan dokter gigi dan pasien berbeda
dengan perjanjian lainnnya, karena perjanjian
terapetik didasarkan pada tuntutan hak dan
kewajiban serta dilakukan dalam suasana saling
percaya.8,13 Pasien senantiasa diliputi perasaan
harapan akan kesembuhan, kekhawatiran serta
kedudukan pengetahuan dalam bidang medis yang
lebih rendah, sehingga pasien menjadi lebih mudah
6
Budi: Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi sengketa medis
membatalkan perjanjian tanpa persetujuan dokter
gig yang merawatnya. Pasien merasa dapat
memperoleh hal-hal yang sebenarnya dapat
merugikan dokter gigi yang merawatnya, antara
lain 9 : memperoleh second opinion, mendapat
perlindungan hukum dari negara, dokter gigi harus
dapat memberi rasa aman dan nyaman atau
memenuhi harapan pasien. Jika perawatan yang
diterimanya berbeda dengan second opinion yang
diberikan atau tidak sesuai harapannya, maka
pasien dengan dapat mengajukan tuntutan perkara
hukum. Oleh karena itu tanggung jawab hukum
bagi dokter gigi dapat diklasifikasikan sebagai
tanggung jawab khusus terhadap aspek hukum
yang mengatur profesi dan tanggungjawab umum
yang dapat dikenakan bagi semua subyek hukum
di Indonesia.
Dokter gigi yang mendapatkan tuntutan
perkara hukum hendaknya segera melapor kepada
PDGI agar mendapat pembelaan dalam upaya
penyelesaian tehadap pihak pasien. PDGI akan
mencegah tuntutan perkara yang langsung
diadukan oleh pasien kepada pihak kepolisian.
Dalam hal ini BPPA akan mengingatkan institusi
tersebut agar menghentikan penyidikan sebelum
dilakukan proses melalui MKDKI, mengadakan
konsultasi timbal balik dengan instansi terkait, juga
memberi pertimbangan atau usulan kepada yang
berwenang atas sanksi pelanggaran etik, disiplin
dan hukum yang terjadi. 4,11,12
Penyelesaian tuntutan perkara harus melalui
MKDKI terlebih dahulu sebelum dilaporkan kepada
petugas penegak hukum, karena MKDKI
merupakan lembaga peradilan profesi.11
Upaya hukum terhadap perkara hukum yang
sudah terlanjur ditangani jalur hukum dapat
dilakukan melalui praperadilan.12 Dasar hukum
penyelesaian perkara medis melalui peradilan
profesi sudah sangat jelas.yaitu pasal 54 (1)
Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, pasal 1 (14)
Undang-Undang No. 24 Tahun 2004 , Surat Edaran
Kejaksaan Agung No. B006/ R-31/ I/1982 Tentang
Perkara Profesi Kesehatan dan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 4/PVV-V/ 2007. Dokter gigi yang
dituntut perkara hukum dapat melakukan upaya
hukum praperadilan apabila terlebih dahulu telah
diperiksa penyidik dan dimasukan dalam peradilan
umum. Alasan upaya praperadilan karena peradilan
umum merupakan lembaga yang tidak berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara
medis sebelum ada rekomendasi dari MKDKI.7,11
Jurnal PDGI 59 (1) hal 1-7 © 2009
Upaya penyelesaian yang ditempuh pasien
langsung melalui jalur hukum, karena pasien tidak
mengenal proses penyelesaian hukum kesehatan
karena keberadaan MKDKI kurang atau belum
disosialisasikan. Selain itu lokasi MKDKI yang
terletak di Jakarta tidak dapat menjangkau seluruh
masyarakat Indonesia, sedangkan MKDKI-P yang
seharusnya berada di wilayah ibukota propinsi
belum banyak dibentuk. PDGI sebagai induk
organisasi profesi dituntut lebih berperan aktif
untuk menggiatkan keberadaan MKDKI-P untuk
mempercepat proses peradilan profesi di daerahdaerah. Sebelum terbentuknya MKDKI-P,
sebaiknya dokter gigi yang menyelenggarakan
praktek swasta di daerah bilamana mendapatkan
tuntutan perkara hukum agar segera melapor
kepada PDGI cabang.
PDGI cabang yang menerima laporan bersama
dengan BPPA segera mengadakan verifikasi
masalah, jika MKDKI-P belum terbentuk.
Selanjutnya mengambil langkah penyelesaian
secara kekeluargaan. Jika tidak dapat diselesaikan
secara kekeluargaan, maka BPPA bekerjasama
dengan Dinas Kesehatan Daerah Tingkat I untuk
menyelesaikan perkara tersebut.
Kesimpulan yang dapat diambil adalah dokter
gigi mendapat tuntutan dari pasiennya karena
tidak menghargai hak pasien dan kurang
memahami aspek hukum. Sebaliknya pasien dalam
perjanjian terapetik didasarkan atas hak dan
kewajiban serta dilakukan atas saling percaya
sehingga dengan mudah membatalkan secara
sepihak. Secunder Opinion dan pengaruh pihak
keluarga atau kerabat dapat memperkuat perasaan
pasien untuk mendapat perlindungan hukum
DAFTAR PUSTAKA
1. Hariadi H.R. Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi
Kedokteran. Saresehan Penanganan Terpadu
Masalah Etik dan Hukum Kedokteran. 50 tahun IDI.
Surabaya. 23 September 2000.
2. KKI. Penyelenggaraan Praktik Kedokteran Yang Baik
di Indonesia. KKI. Jakarta. 2007. p.33 – 34.
3. Danny W. Etika, Hukum Kesehatan dan Profesi. Kajian
Etis dan Hukum atas Tindakan Medis. Buku Abstrak
Konggres Nasional I Hukum Kesehatan. Jakarta. 26 –
29 Mei 2009. p.16.
4. PB PDGI. Anggaran Dasar Rumah Tangga. Konggres
PDGI XXIII. Surabaya. 2008.
5. Guwandi J. Pengantar Ilmu Hukum Medik dan Bioetika.
Balai Penerbit FKUI. Jakarta. 2009. p. 47 – 52.
Budi: Upaya bantuan hukum Dokter Gigi dalam menghadapi sengketa medis
Jurnal PDGI 59 (1) hal 1-7 © 2009
7
6. Guwandi J. Informed Concent & Informed Refusal. 4th
edition. Balai Penerbit FKUI. Jakarta . 2009. p 1 – 30.
7. Anna HA. Masalah Etik dan Hukum Kedokteran di
Rumah Sakit. Sarasehan Penanganan Terpadu
Masalah Etik dan Hukum Kedokteran. 50 tahun IDI.
Surabaya. 23 September 2000.
11. Nusye K Jayanti. Penyelesaian Hukum dalam
Malpraktik. Pustaka Yustisia. Yogyakarta. 2009. p 118
– 129.
8. IDI. Panduan Aspek Hukum Praktek Swasta Dokter.
PB IDI. Jakarta. 1994. p.15 – 45.
9. Amri Amir. Bunga Rampai Hukum Kesehatan. Widya
Medika. Jakarta. 1997. p. 13 -15.
13. Anny I Sarwono. Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi
bagi Dokter Gigi. Seminar Sehari : Aplikasi Hukum
pada Profesi kedokteran Gigi. Surabaya. 6 Februari
2010.
10. Safitri HS, Penyelesaian Sengketa Medik Melalui
Mediasi. Buku Abstrak Konggres Nasional I Hukum
Kesehatan. Jakart. 26 -29 Mei 2009. hal 66.
12. KKI. Himpunan Peraturan Tentang Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Jakarta.
2006. p 23 – 45.
Download