KETAHANAN NASIONAL SEBAGAI GEOSTRATEGI INDONESIA A. Implementasi Ketahanan Nasional dalam Era Globalisasi Pengertian Ketahanan Nasional adalah Kondisi dinamika, yaitu suatu bangsa yang berisi keuletan dan ketangguhan yang mampu mengembangkan ketahanan, kekuatan nasional dalam menghadapi dan mengatasi segala tantangan, hambatan dan ancaman baik yang datang dari dalam maupun dari luar. Juga secara langsung ataupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas serta kelangsungan hidup bangsa dan negara. di era globalisasi ini, Negara Indonesia banyak sekali memiliki tantangan untuk tetap menjaga ketahanan nasional. Bidang-bidang yang berhubungan dengan ketahanan nasional yaitu seperti pertahanan dan keamanan, sosial budaya, pangan, politik, idiologi dan masih banyak lagi contoh yang lain. Istilah globalisasi menunjukkan gejala menyatunya kehidupan manusia di planet bumi ini tanpa mengenal batas-batas fisik-geografik dan sosial yang kita kenal sekarang ini. Globalisasi berkembang melalui proses yang dipicu dan dipacu oleh kemajuan pesat “revolusi” dibidang teknologi komunikasi atau informasi, transportasi dan perdagangan yang dikenal dengan istilah Triple T. Pemikiran Naisbitt menyatakan, menyatunya kehidupan di dunia (globalisasi) disertai dengan munculnya berbagai paradoks (kondisi pertentangan). Dikhawatirkan “globalisasi” akan menghilangkan negara bangsa (nation state)? Disisi lain globalisasi haruslah dipandang sebagai suatu “peluang” (oportunity) untuk meningkatkan, mengembangkan, dan memperkokoh bangsa, agar sejajar dengan bangsa-bangsa lain yang telah maju. Untuk itulah, diperlukan Tannas yang tangguh bagi bangsa Indonesia di Era Globalisasi. Globalisasi merupakan suatu pengertian ekonomi. Konsep globalisasi baru masuk kajian dalam universitas pada tahun 1980-an, pertama-tama merupakan pengertian sosiologiyang dicetuskan oleh Roland Robertson dari University of Pittsburgh. Pada prinsipnya, proses globalisasi ada yang bertujuan intensional dan ada pula yang impersonal. Proses globalisasi yang intensional dapat dilihat misalnya pada kegiatan perdagangan dan pemasaran, sedangkan proses globalisasi yang impersonal dapat kita lihat, misalnya dalam gerakan fundamentalis, agama dan kecenderungan-kecenderungan pasar yang agak sulit untuk dijelaskan sebab-musababnya, misalnya mundurnya mobil buatan Amerika di pasaran dunia dewasa ini. Globalisasi menyebabkan “bazar global” karena dunia sebenarnya telah merupakan pasaran bersama dengan adanya alat-alat komunikasi serta entertainment global melalui jaringan TV, internet, film, musik maupun majalah-majalah maka dunia dewasa ini telah merupakan suatu pasar yang besar (global cultural bazaar). Bahwa dunia telah menjadi satu pasar, dapat kita lihat gejalanya di kota-kota besar di Indonesia, dengan menjamurnya malmal yang dibanjiri produk luar negeri. Dewasa ini kita juga melihat bahwa suatu produk tidak lagi dihasilkan di satu negara, tetapi komponen-komponennya telah dibuat di berbagai negara karena pertimbanganpertimbangan bisnis yang lebih menguntungkan. Produk Boeing, Toyota, Mitsubisi, General motor merupakan contoh desentralisasi dalam produksinya. Sementara itu, proses produksi juga berkembang menjadi produksi massal (mass production) yang memungkinkan penekanan harga sehingga dapat dijual lebih murah. Pesatnya kemajuan bisnis juga didorong oleh apa yang disebut uang global (global money) yakni credit card. James Champy penulis terkenal Reengineering The Corporation, menyatakan selera konsumen sangat menentukan dalam transformasi global. Menurut Champy, lingkungan yang mampu menghadapi tantangan masa depan adalahPertama, lingkungan yang merangsang pemikiran majemuk yang peka terhadap keinginan konsumen. Kedua, untuk memenuhi selera pasar “konsumen”, diperlukan manusiamanusia yang menguasai ilmu dan keterampilan tertentu serta menjalankan instruksi pimpinan dengan penuh tanggung jawab. Ketiga, masyarakat masa depan merupakan masyarakat “meritokrasi”, yaitu masyarakat yang menghormati prestasi daripada statusnya dalam organisasi. Keempat,lingkungan yang menghormati seseorang yang dapat menuntaskan pekerjaannya dan bukan berdasarkan kedudukannya di dalam organisasi. Inilah transformasi perusahaan yang menggambarkan pula transformasi kebudayaan manusia. Nilainilai positif dari globalisasi (kesejagatan) mempunyai dimensi-dimensi baru yang tidak dikenal sebelumnya seperti kriminalitas internasional, pembajakan dan terorisme internasional, penyakit baru yang dengan cepat menyebar ke seantero dunia. Transformasi ini berjalan dengan menghadapi tantangan sebagaimana dikatakan oleh John Naisbitt, globalisasi mengandung berbagai paradoks. Menurut Kartasasmita (1996) transformasi global ditentukan oleh dua kekuatan besar yang saling menunjang, yaitu perdagangan dan teknologi. Perdagangan akan berkembang begitu cepat dan mengubah pola-pola kehidupan manusia. Pola-pola kehidupan itu ditanggung oleh kemajuan teknologi yang telah mengubah bentuk-bentuk hubungan antarmanusia dengan lebih cepat, lebih intensif, dan lebih beragam. Transformasi bukan berjalan tanpa tantangan.John Naisbitt mengatakan globalisasi mengandung berbagai paradoks, diantaranya berikut ini : 1. Budaya global vs Budaya lokal 2. Universal vs Individual 3. Tradisional vs Modern 4. Jangka Panjang vs Jangka Pendek 5. Kompetisi vs Kesamaan kesempatan 6. Keterbatasan akal manusia vs Ledakan IPTEK 7. Spiritual vs Material Akibat hubungan bisnis (perdagangan) yang telah menyatukan kehidupan manusia maka timbul kesadaran yang lebih intern terhadap hak-hak dan kewajiban asasi manusia.Sejalan dengan itu, kehidupan demokrasi semakin marak dan manusia ingin menjauhkan diri dari berbagai bentuk penindasan, kesengsaraan, diktator dan perang. Oleh karena itu, liberalisasi dalam bidang ekonomi ini menuntut liberalisasi dalam bidang politik, dimana keduanya harus berjalan seiring dan saling menunjang. Buah pikiran Kenechi Ohmae dalam “Dunia tanpa batas” dimaksudkan dalam bidang bisnis komunikasi dan informasi memang akan menebus batas-batas nation, tetapi tidak dengan sendirinya menghilangkan identitas suatu bangsa. Kontak budaya tidak terelakkan akibat komunikasi yang semakin lancar. Terjadilah relativisasi nilai budaya dan memungkinkan munculnya sinkretisme budaya yang sifatnya transnasional.. Oleh karena itu, dalam pembangunan nasional untuk mencapai tingkat tannas yang kita harapkan di dalam era globalisasi ini diperlukan pengaturan-pengaturan dalam aspek Trigatra dan pancagatra. Dalam aspek Trigatra diperlukan pengaturan ruang wilayah nasional yang serasi antara kepentingan kesejahteraan dan kepentingan keamanan, pembinaan kependudukan, pengelolaan sumber kekayaan alam dengan memperhatikan asas manfaat, daya saing dan kelestarian. Dalam aspek pancagatra diperlukan pemahaman penghayatan dan pengamalan Pancasila di dalam kehidupan kita berbangsa, bernegara dan bermasyarakat. Penghayatan budaya politik Pancasila, mewujudkan perekonomian yang efisien, pemerataan dan pertumbuhan yang tinggi untuk mencapai kesejahteraan yang meningkat bagi seluruh rakyat, memantapkan identitas nasional Bhinneka Tunggal Ika, dan memantapkan kesadaran bela negara bagi seluruh rakyat Indonesia. B. Globalisasi Ekonomi dan Ketahanan Nasional Era Global saat ini, Indonesia menghadapi dua kondisi yang kurang menguntungkan. Pertama, dinamika lingkungan yang cepat berubah dan cenderung menggelombang (turbulent). Kedua, intensitas persaingan yang semakin keras dan tajam. Menghadapi hal ini, konsep ketahanan nasional yang ada wajib terus dievaluasi. Dinamika lingkungan yang dipelopori oleh perubahan teknologi, telah membawa implikasi perubahan yang sangat cepat terutama di bidang ekonomi, demografi, sosial, politik, hukum dan keamanan. Kemudahan yang dihasilkan oleh perkembangan teknologi memang telah meningkatkan kesejahteraan umat manusia, namun di sisi lain dapat memberikan ancaman yang cukup serius apabila perkembangan teknologi tersebut tidak dikelola secara baik berdasar moral dan etika. Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi, terutama teknologi transportasi dan komunikasi merupakan salah satu sebab terjadinya era globalisasi ekonomi. Pada era tersebut mobilitas sumberdaya barang dan jasa menjadi semakin tinggi. Juga pada skala ekonomi, perusahaan dituntut untuk makin efisien dalam penggunaan biaya dan tuntutan kualitas hasil produksi. Nagara melalui peraturan-peraturannya sering dianggap sebagai penghambat utama mobilitas sumberdaya barang dan jasa. Negara-negara maju, yang memperoleh rente ekonomi tinggi dari pesatnya kemajuan teknologi, menuntut berlakunya free trade dalam pengelolaan sistem ekonomi. Kecenderungan era perdagangan yang mengarah pada free trade menyebabkan tereduksinya peran negara untuk melindungi penduduk domestik dari upaya persaingan yang tidak sehat. Hal ini terutama dilakukan ketika penduduk domestik harus berhadapan dan bersaing dengan penduduk luar negeri. Oleh karena itu, kemandirian masyarakat terus dituntut ketika negara mengurangi perannya dalam free trade ini. Dengan kata lain, kita memerlukan ketahanan nasional yang prima dalam menghadapi kondisi yang cenderung mempunyai turbulensi tinggi tersebut. C. Fenomena Globalisasi Ekonomi Globalisasi, termasuk globalisasi ekonomi, telah mewarnai berbagai kegiatan dalam kehidupan masyarakat. Perubahan yang terjadi juga merubah kecenderungan perilaku masyarakat. Kini, mereka cenderung sekuler, materialistik, individualistik dan konsumeristik. Globalisasi ekonomi sering disebut sebagai ekonomi tanpa batas. Kegiatan-kegiatan ekonomi menggunakan media digital yang tidak mungkin lagi dibatasi oleh administrasi suatu negara. Implikasinya, kemampuan negara dalam memberikan perlindungan dan mempromosikan pelaku-pelaku bisnis domestik makin berkurang. Ditambah lagi tuntutan berlakunya sistem free trade makin akibat banyak dianutnya kapitalisme. Semakin dinamisnya lingkungan strategis yang dihadapi pelaku-pelaku bisnis mendorong mereka melakukan strategi portofolio dalam kegiatan-kegiatan investasinya. Hal ini dilakukan dalam menghadapi resiko investasi, meski kondisi ini mendorong tumbuhnya korporasi-korporasi yang melakukan diversifikasi usaha yang cenderung konglomerat. Dari aktivitas ini muncullah kekaisaran bisnis (crony capitalism) dalam operasi bisnis internasional yang memerlukan free trade yang agresif, bahkan bukan hanya berimplikasi pada globalisasi ekonomi semata. Strategi perusahaan-perusahaan besar multinasional dalam upaya untuk menguasai suatu wilayah, umumnya melakukan penetrasi dengan menguasai keunggulan suatu bangsa.Pertama, melalui berbagai taktik promosi, mereka berupaya mempengaruhi budaya sehingga menguntungkan barang dan jasa yang dijualnya. Kedua, produksi yang dihasilkan berbasis pada sumberdaya alam, sumberdaya manusia, modal, teknologi dan manajerial skill. Ketiga, struktur ekonomi yang mendukung dan keempat industri pendukung yang ada di wilayah ekonomi tersebut. (Dunning 1997). Negara-negara maju di satu sisi menuntut diberlakukannya perdagangan bebas antar negara, tetapi di sisi lain mereka membangun hambatan masuk melalui standarisaistandarisasi internasional, yaitu ISO 9000 (berkaitan dengan kualitas) dan ISO 14000 (berkaitan dengan lingkungan hidup). Bagi negara-negara berkembang, termasuk Indonesia ternyata tidak mudah melewati hambatan-hambatan tersebut. Indonesia tidak dapat dilepaskan dari pengaruh perekonomian negara-negara tetangga, terutama pada lingkup ASEAN dan Cina. Pada lingkup regional tersebut kita melihat beberapa negara telah mengungguli kita, seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam. Cina sampai saat ini bahkan sudah menjadi negara industri besar. Jika fee trade terwujud, negaranegara ini bukan saja akan mampu mengakselerasi perekonomian kita, tetapi juga kompetitor-kompetitor kita pada kegiatan perdagangan maupun investasi. Pelayanan terhadap investor dan pengelolaan kebijakan ekonomi liberal yang diterapkan oleh negara-negara ini adalah tuntutan dari dampak globalisasi ekonomi. Suasana kompetisi mendatangkan investasi ke dalam negeri mewarnai kebijakan ekonomi nasional. Lahirnya UU No. 25 tahun 2007 tentang penanaman modal adalah salah satu contoh betapa besar dampak globalisasi ekonomi terhadap kebijakan nasional. D. Kondisi Ekonomi Nasional dan Strategi Sejak tahun 2004 sampai 2007, kondisi ekonomi nasional membaik. Produk Domestik Bruto berdasarkan harga konstan, yang berdasar tahun 2004 sebesar Rp. 1.656.516,8 milyar pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp. 1.846.654,9 milyar. Pertumbuhan ekonomi juga mengalami peningkatan, dari 5,05 (2004) menjadi 6,3 (2007), meski peningkatan ini belum sesuai target rencana pembangunan jangka menengah tahun 2007. Semantara tingkat inflasi relatif terkendali pula, 6,40% (2004), 17,11% (tertinggi pada 2005), 6,60% (2006) dan menurun kembali ke 6,59% (2007). Namun, kondisi diatas belum mampu memecahkan masalah ekonomi yang ada. Beberapa masalah utama yang timbul di bidang ekonomi adalah pertama, tingkat pengangguran dan kemiskinan. Menurut BPS, tahun 2005 pengangguran mencapai 10,85 juta, 10,55 juta (2006) dan 10,01 juta (2007), sementara kemiskinan 36,20 juta (2005), 39,29 (2006) dan 37,16 (2007). Tahun 2008 diperkirakan akan terjadi peningkatan pengangguran dan jumlah penduduk miskin. Perlambatan pertumbuhan ekonomi juga akan meuncul akibat krisis energi dan pangan dunia. Dari simulasi ekonomi yang pernah dilakukan bahwa 1% pertumbuhan ekonomi nasional, hanya mampu memberikan tambahan kesempatan kerja kepada 400.000 orang. Jadi ketika pertumbuhan berkisar 6-7% pertahun, maka hanya ada tambahan 2.400.000 sampai 2.800.000 kesempatan kerja. Dengan demikian, maka jumlah penganggur sebesar 10,01 juta tersebut baru dapat diselesaikan paling cepat selama 3,6 tahun. Itupun dengan asumsi tidak ada angkatan kerja baru. Implikasi dari tingkat pengangguran yang tinggi tersebut tentu saja jumlah penduduk miskin ikut meningkat. Kedua, rapuhnya struktur ekonomi. Ekonomi Indonesiaternyata masih sangat tergantung dengan kondisi ekonomi luar negeri, atau struktur ekonomi footlose. Indikatornya adalah bahan baku, bahan penolong dan teknologi industri domestik adalah impor. Juga hutang luar negeri yang digunakan untuk mengakselerasi kegiatan-kegiatan ekonomi yang relatif tinggi. Dampaknya adalah nila US$ terhadap Rupiah baik yang disebabkan oleh depresiasi atau devaluasi selalu diikuti oleh inflasi ongkos (cash push inflation). Hal itu pulalah yang dapat menjelaskan mengapa krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 mampu menimbulkan stagflasi yang kemudian memicu krisis multidimensi. Ketiga, ekonomi biaya tinggi. Indonesia dikategorikan sebagai negara high cost recoveryyang di sebabkan oleh kualitas sumberdaya manusia, struktur ekonomi, pemerintahan dan birokrasi yang tidak memadai, disamping budaya konsumtif dan korupsi masyarakatnya. Dicatat oleh Kompas (21/7) bahwa korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua kasus korupsi muncul tak hanya menjerat sejumlah peyelenggara negara tetapi juga penyejahteraan rakyat. Sepanjang tahun 2005-2008 ada delapan gubernur-wakil gubernur yang diadili atau diperiksa karena terlibat korupsi. Selain itu, lebih dari 32 bupati-wakil bupati atau wali-wakil walikota diadaili karena korupsi. Dan jangan lupa, ratusan anggota DPRD juga diperiksa dan diadili karena kasus korupsi. Keempat, tingkat kesenjangan. Kurun waktu 2000-2006 dihitung bahwa tingkat kesenjangan ekonomi masyarakat sangat tinggi. Pada tahun 2000, 40% dari kelompok penduduk berpendapatan terendah menikmati 20,92%, sedangkan pada 2006 kelompok tersebut hanya menikmati 19,2% dari pertumbuhan ekonomi nasional. Sebaliknya, 20% dari kelompok penduduk terkaya pada tahun 2000 menikmati 41,19% dari pertumbuhan ekonomi nasional dan pada 2006 menikmati 45,72% dari tingkat pertumbuhan nasional. (indonesia.com/penelitian Mudrajad Kuncoro). Ilustrasi ini juga konsisten jika dihitung berdasar gini ratio yang menunjukkan peningkatan dari 0,29 menjadi 0,35. Semakin tingginya kesenjangan pendapatan antar kelompok masyarakat membawa implikasi pada semakin tingginya kesenjangan kemakmuran antar kelompok masyarakat tersebut. Kondisi ini menurunkan kohesi sosial yang bahkan menimbulkan potensi konflik antar kelompok masyarakat itu. Melihat beberapa kasus di atas kita memerlukan beberapa strategi pembangunan ketahanan nasional. Strategi pertama adalah peningkatan kemandirian, kedua adalah strategi peningkatan daya saing. Strategi peningkatan kemandirian hendaknya dilakukan dengan memberikan prioritas utama pada penguatan faktor-faktor internal yang kita miliki. Atau dengan kata lain strategi yang lebih berorientasi pada resource and knowledge based, karena walaupun bagaimana strategi pembangunan nasional tetap pada endowment factor yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Sedangkan strategi peningkatan daya saing lebih diarahkan untuk meningkatkan kualitas dan kapasitas dari faktor-faktor internal tersebut agar mampu menghasilkan output yang mampu berkompetisi global. Kedua strategi ini akan berhasil jika sebelumnya dibangun kembali semangat nasionalisme dan membangun saling percaya antar stakeholder pembangunan.