KONSEP GUBERNUR JAWA TIMUR PEMERINTAH PROVINSI JAWA TIMUR RANCANGAN PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR NOMOR : TAHUN 2011 TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TIMUR Menimbang : a. Bahwa dalam rangka lebih mengoptimalkan produktifitas bidang peternakan dan kesehatan hewan Pemerintah Provinsi Jawa Timur perlu mendayagunakan masyarakat peternakan; b. Bahwa untuk mencapai maksud diselenggarakan kesehatan hewan tersebut yang perlu melindungi kesehatan manusia dan hewan beserta ekosistemnya sebagai prasyarat terselenggaranya peternakan yang maju, berdaya saing, dan berkelanjutan serta penyediaan pangan yang aman, didayagunakan sehat, untuk utuh dan halal kemakmuran sehingga dan perlu kesejahteraan masyarakat; c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b, perlu menetapkan Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur tentang peternakan dan kesehatan hewan Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 99, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3656); 2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3821); 3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437); 4. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 84, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5015); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1977 tentang Penolakan, Pencegahan, Pemberantasa dan Pengobatan Penyakit Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3101); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1983 Nomor 28, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3253); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2004 tentang Keamanan, Mutu dan Gizi Pangan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 107, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4424); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 1992 tentang Obat Hewan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 129, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3509); 9. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 381/Kpts/OT.140 /8/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Sertifikasi Kontrol Veteriner Unit Usaha Pangan Asal Hewan; 10. Peraturan Menteri /OT.140/8/2006 Pertanian tentang Nomor Pedoman : 35/Permentan Pelestarian dan Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Ternak. 11. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 36/Permentan /OT.140/8/2006 tentang Sistim Perbibitan Ternak Nasional 12. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 07/Permentan /OT.140/1/2008 tentang Syarat dan Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Benih, Bibit Ternak dan Ternak Potong. 13. Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 19/Permentan /OT.140/2/2008 tentang Penetapan dan Pelepasan Rumpun atau Galur Ternak. 14. Peraturan Daerah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Nomor 4 Tahun 1986 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Pemerintah Provinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur; 15. Peraturan Daerah Pembagian Urusan Pemerintah Daerah Nomor 38 Tahun Pemerintah Provinsi dan 2007 Antara tentang Pemerintah, Pemerintah Daerah Kabupaten / Kota; 16. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pelayanan Publik di Jawa Timur; 17. Peraturan Daerah Provinsi Jawa Timur Nomor 5 Tahun 2006 tentang Pembentukan Peraturan Daerah. Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI JAWA TIMUR Dan GUBERNUR JAWA TIMUR MEMUTUSKAN: Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Daerah ini, yang dimaksud dengan : 1. Pemerintah Provinsi adalah Pemerintah Provinsi Jawa Timur 2. Gubernur adalah Gubernur Jawa Timur 3. Dinas adalah instansi yang membidangi fungsi peternakan dan/atau kesehatan hewan Provinsi Jawa Timur 4. Peternakan adalah segala urusan yang berkaitan dengan sumber daya fisik, benih, bibit dan/atau bakalan, pakan, alat dan mesin peternakan, budidaya ternak, panen, pascapanen, pengolahan, pemasaran dan pengusahaannya. 5. Kesehatan hewan adalah segala urusan yang berkaitan dengan perawatan hewan, pengobatan hewan, pelayanan kesehatan hewan, pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, penolakan penyakit, medik reproduksi, medik konservasi, obat hewan dan peralatan kesehatan hewan serta keamanan pakan. 6. Hewan, adalah binatang atau satwa yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di darat, air dan/atau udara, baik yang dipelihara maupun yang dihabitatnya. 7. Ternak, adalah hewan peliharaan yang produknya diperuntukkan sebagai penghasil pangan, bahan baku industri, jasa dan/atau hasil ikutannya yang terkait dengan pertanian. 8. Benih hewan yang selanjutnya disebut benih adalah bahan reproduksi hewan yang dapat berupa semen, sperma, ova, telur bertunas dan embrio. 9. Bibit hewan yang selanjutnya disebut bibit adalah hewan yang mempunyai sifat unggul dan mewariskan serta memenuhi persyaratan tertentu untuk dikembangbiakkan. 10. Sumberdaya genetik ternak adalah substansi yang terdapat dalam individu suatu populasi rumpun ternak yang secara genetik unik yang terbentuk dalam proses domestikasi dari masing-masing spesies, yang merupakan sumber sifat keturunan yang mempunyai nilai potensial maupun nyata serta dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan rumpun atau galur unggul baru. 11. Ternak asli adalah ternak yang kerabat liarnya berasal dari dan proses domestikasinya terjadi di Indonesia. 12. Ternak lokal adalah ternak hasil persilangan atau introduksi dari luar yang telah dikembangkan di Indonesia sampai generasi kelima atau lebih yang telah teradaptasi pada lingkungan dan atau manajemen setempat. 13. Kerabat liar adalah spesies hewan atau satwa liar yang diketahui atau diduga merupakan tetua dari spesies ternak yang telah dibudidayakan. 14. Pelestarian sumberdaya genetik ternak adalah semua kegiatan untuk mempertahankan keanekaragaman sumberdaya genetik ternak baik secara in-situ maupun ex-situ (didalam maupun diluar habitatnya). 15. Pemanfaatan sumberdaya genetik ternak adalah kegiatan pendayagunaan sumber genetik ternak untuk pangan dan pertanian yang dilakukan tanpa membahayakan dan mengancam kelestariannya baik didalam atau diluar habitatnya. 16. Spesies adalah sekelompok ternak yang memiliki sifat genetik sama dalam kondisi alami dapat melakukan perkawinan dan menghasilkan keturunan yang subur. 17. Rumpun adalah sekelompok ternak yang mempunyai ciri-ciri dan karakteristik luar serta sifat keturunan yang sama dari satu spesies. 18. Galur adalah sekelompok individu ternak dalam suatu rumpun yang dikembangkan untuk tujuan pemuliaan dan atau karakteristik tertentu 19. Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk mengubah komposisi genetik pada sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. 20. Inseminator adalah petugas yang telah dididik dan lulus latihan khusus untuk melakukan pelayanan Inseminasi Buatan (IB) dan telah memiliki Surat Ijin Melaksanakan Inseminasi (SIM I). 21. Pemeriksa Kebuntingan selanjutnya disebut PKB adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam latihan khusus untuk melaksanakan pemeriksaan kebuntingan dan telah memiliki SIM-A2. 22. Asisten Teknis Reproduksi selanjutnya disebut ATR adalah petugas yang telah dididik dan lulus dalam ketrampilan dasar managemen reproduksi untuk melaksanakan pengelolaan reproduksi dan pemeriksaan gangguan reproduksi dan telah memiliki SIMA1. 23. Produk hewan adalah semua bahan yang berasal dari hewan yang masih segar dan/atau telah diolah atau diproses untuk keperluan konsumsi, farmakoseutika, pertanian dan/atau kegunaan lain bagi pemenuhan kebutuhan dan kemaslahatan manusia. 24. Perusahaan peternakan adalah orang perorangan atau korporasi, baik yang berbentuk badan hukum maupun yang bukan badan hukum, yang didirikan dan berkedudukan dalam wilayah provinsi Jawa Timur yang mengelola usaha peternakan dengan kriteria dan skala tertentu. 25. Veteriner adalah segala urusan yang berkaitan dengan hewan dan penyakit hewan. 26. Dokter hewan berwenang adalah dokter hewan yang ditunjuk oleh Menteri, Gubernur atau Bupati / Walikota sesuai dengan kewenangannya berdasarkan jangkauan tugas pelayanannya dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan. 27. Otoritas veteriner adalah kelembagaan Pemerintah dan/atau kelembagaan yang dibentuk Pemerintah dalam pengambilan keputusan tertinggi yang bersifat teknis kesehatan hewan dengan melibatkan keprofesional dokter hewan dan dengan mengerahkan semua lini kemampuan profesi mulai dari mengidentifikasi masalah, menentukan kebijakan, mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan sampai mengendalikan teknis operasional dilapangan. 28. Otoritas veteriner dimaksud untuk pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan/atau kesejahteraan hewan serta melakukan pelayanan kesehatan hewan, pengaturan tenaga kesehatan hewan, pelaksanaan medik reproduksi, medik konservasi, forensik veteriner dan pengembangan kedokteran hewan perbandingan. 29. Medik reproduksi adalah penerapan medik veteriner dalam penyelenggaraan kesehatan hewan di bidang reproduksi hewan. 30. Penyakit Hewan adalah gangguan kesehatan hewan pada hewan yang antara lain, disebabkan oleh cacat genetik, proses degeneratif, gangguan metabolisme, trauma, keracunan, infeksi parasit dan infeksi mikroorganisme patogen seperti virus, bakteri, cendawan dan ricketsia. 31. Penyakit hewan menular adalah penyakit yang ditularkan antara hewan dan hewan, hewan dan manusia serta hewan dan media perantara lainnya melalui kontak langsung atau tidak langsung dengan media perantara mekanis seperti air, udara, tanah, pakan, peralatan dan manusia; atau dengan media perantara biologis seperti virus, bakteri, amuba atau jamur. 32. Kesehatan Masyarakat Veteriner yang selanjutnya disingkat Kesmavet adalah segala urusan yang berhubungan dengan hewan dan produk hewan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kesehatan manusia. 33. Kesejahteraan hewan adalah segala urusan yang berhubungan dengan keadaan fisik dan mental hewan menurut ukuran perilaku alami hewan yang perlu diterapkan dan ditegakkan untuk melindungi hewan dari perlakuan setiap orang yang tidak layak terhadap hewan yang dimanfaatkan manusia. 34. Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia atau sebaliknya. 35. Rumah Potong Hewan yang selanjutnya disebut RPH adalah suatu bangunan atau kompleks bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. 36. Tempat pemotongan hewan (TPH) adalah suatu kegiatan pelayanan pemotongan hewan untuk keperluan pembinaan kesehatan masyarakat veteriner oleh dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten / kota dapat dilakukan dengan penyediaan pemotongan hewan di Kecamatan sepanjang memenuhi kebutuhan setempat. 37. Usaha pemotongan hewan adalah kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perorangan atau badan hukum yang melaksanakan pemotongan hewan dirumah pemotongan hewan milik pemerintah, sendiri atau pihak lain. BAB II ASAS DAN TUJUAN Pasal 2 (1) Peternakan dan kesehatan hewan dapat diselenggarakan di seluruh wilayah provinsi Jawa Timur yang diselenggarakan secara tersendiri dan/atau melalui integrasi dengan budidaya tanaman pangan, perkebunan, perikanan, kehutanan atau bidang lainnya yang terkait. (2) Penyelenggaraan peternakan dan kesehatan hewan berasaskan kemanfaatan dan berkelanjutan, keamanan dan kesehatan, kerakyatan dan keadilan, keterbukaan dan keterpaduan, kemandirian, kemitraan dan keprofesionalan. Pasal 3 (1) Mengelola sumberdaya hewan secara bermartabat, bertanggung jawab dan berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat; (2) Mencukupi kebutuhan pangan, barang dan jasa asal hewan secara mandiri, berdaya saing dan berkelanjutan bagi peningkatan kesejahteraan peternak dan masyarakat menuju pencapaian ketahanan pangan nasional; (3) Melindungi, mengamankan dan/atau menjamin wilayah Provinsi Jawa Timur dari ancaman yang dapat mengganggu kesehatan atau kehidupan manusia, hewan, tumbuhan dan lingkungan. BAB III SUMBER DAYA Pasal 4 (1) Pembudidayaan dan pemuliaan dapat dilakukan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, masyarakat dan/atau koperasi. (2) Pemerintah Provinsi wajib melindungi usaha pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Pembudidayaan dan pemuliaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mengoptimalkan pemanfaatan keanekaragaman hayati dan pelestarian sumberdaya lokal genetik sebagai plasma nutfah. Bibit Ternak Pasal 5 (1) Pemerintah Provinsi menetapkan kebijakan perbibitan daerah untuk mendorong ketersediaan benih dan/atau bibit yang memenuhi syarat dan melakukan pengawasan dalam pengadaan dan peredarannya secara berkelanjutan. (2) Dinas Peternakan Provinsi membina pembentukan wilayah sumber bibit pada wilayah yang berpotensi menghasilkan suatu rumpun ternak dengan mutu dan keragaman jenis yang tinggi sifat produksinya. (3) Wilayah sumber bibit sebagaimana pada ayat (2) ditetapkan oleh Dinas Peternakan Provinsi dengan mempertimbangkan jenis dan rumpun ternak, agroklimat, kepadatan penduduk, sosial ekonomi, budaya serta ilmu pengetahuan dan teknologi. (4) Dalam rangka menjaga kelestarian plasma nutfah sapi Madura, Pulau Sapudi ditetapkan sebagai wilayah pemurnian rumpun sapi Madura dan tertutup untuk pengembangan rumpun sapi lain. Benih Hewan Pasal 6 (1) Setiap benih atau bibit yang beredar untuk usaha komersil wajib memiliki sertifikat layak benih atau bibit yang memuat keterangan mengenai silsilah dan ciri-ciri keunggulan tertentu. (2) Sertifikat layak benih atau bibit sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi benih/bibit yang terakreditasi atau yang ditunjuk oleh Menteri. (3) Bioteknologi Inseminasi Buatan dilakukan petugas yang mempunyai ijin melaksanakan inseminasi (SIM I) yang dikeluarkan oleh Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. (4) Lembaga yang berhak atau berwenang untuk melatih inseminator adalah Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur dan Balai Besar Inseminasi Buatan Singosari. Pasal 7 (1) Dalam keadaan tertentu pemasukan benih dan/atau bibit dari luar Provinsi Jawa Timur dapat dilakukan untuk : a. Meningkatkan mutu dan keragaman genetik; b. Mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. Mengatasi kekurangan benih atau bibit didalam provinsi dan/atau; d. Memenuhi keperluan penelitian dan pengembangan. (2) Pemasukan benih dan/atau bibit wajib memenuhi persyaratan mutu dan kesehatan hewan dan peraturan perundang-undangan di bidang karantina hewan serta memperhatikan kebijakan perwilayahan bibit sebagaimana dimaksud dalam pasal (5). (3) Setiap orang dan/atau badan hukum yang melakukan pemasukan benih dan/atau bibit sebagaimana ayat (1) wajib memperoleh ijin dari Dinas Peternakan Provinsi. Pasal 8 (1) Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit ternak ruminansia betina produktif diseleksi untuk pemuliaan, sedangkan ternak ruminansia betina tidak produktif diafkir untuk dijadikan ternak potong. (2) Ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian, pemuliaan, atau pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan. Budidaya Pasal 9 (1) Budidaya merupakan usaha untuk menghasilkan hewan peliharaan dan produk hewan. (2) Budidaya ternak hanya dapat dilakukan oleh peternak, perusahaan peternakan serta pihak tertentu diberikan tanda daftar usaha peternakan oleh pemerintah daerah kabupaten / kota. (3) Peternak dapat melakukan kemitraan usaha dibidang budidaya ternak berdasarkan perjanjian yang saling memerlukan, memperkuat dan menguntungkan serta berkeadilan. (4) Kemitraan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan; a. Antar peternak; b. Antar peternak dan perusahaan peternakan; c. Antar peternak dan perusahaan dibidang lain; d. Antara perusahaan peternakan dan pemerintah Provinsi (5) Pemerintah Daerah mencegah penyelenggaraan usaha kemitraan bidang peternakan dan kesehatan hewan yang menyebabkan terjadinya eksploitasi yang merugikan peternak dan masyarakat. Pasal 10 Pakan (1) Setiap orang/badan usaha yang melakukan budidaya ternak wajib mencukupi kebutuhan pakan dan kesejahteraan ternaknya. (2) Untuk memenuhi kebutuhan yang baik, pemerintah daerah wajib membina pengembangan industri pakan yang ada diwilayah Jawa Timur. (3) Pengawasan terhadap produksi dan peredaran bahan pakan dan tumbuhan atau tanaman pakan yang tergolong bahan pangan dilakukan secara terkoordinasi antar instansi. (4) Dalam rangka penyediaan pakan dan/atau bahan pakan yang tergolong bahan pangan, pemerintah mengoptimalkan ketersediaan bahan baku lokal. (5) Pakan yang dibuat untuk diedarkan secara komersial harus memenuhi standar atau persyaratan teknis minimal dan keamanan pakan serta memenuhi ketentuan cara pembuatan pakan yang baik dan harus berlabel serta mendapatkan rekomendasi dinas teknis terkait. (6) Setiap orang atau badan usaha dilarang mengedarkan pakan yang tidak layak dikonsumsi, menggunakan dan/atau mengedarkan pakan ruminansia yang dicampur dengan hormon tertentu dan/atau antibiotik imbuhan pakan yang tidak direkomendasikan dan menyertakan bukti hasil uji laboratorium. (7) Dinas Peternakan menetapkan batas tertinggi kandungan bahan pencemar fisik, kimia, dan biologis pada pakan dan/atau bahan pakan. Pasca Panen Pasal 11 (1) Pemerintah Provinsi Jawa Timur memfasilitasi berkembangnya unit usaha pasca panen dengan kegiatan pemasaran yang memanfaatkan produk hewan sebagai bahan baku pangan, pakan, farmasi dan industri. (2) Pemasaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diutamakan untuk membina peningkatan produksi dan konsumsi protein hewani dalam mewujudkan ketersediaan pangan bergizi seimbang bagi masyarakat dengan tetap meningkatkan kesejahteraan usaha peternakan. (3) Pengeluaran hewan atau ternak dan produk hewan keluar Provinsi Jawa Timur sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan apabila produksi dan pasokan sebagai bahan baku pabrikan didalam Provinsi Jawa Timur telah mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. (4) Pemasukan hewan atau ternak dan produk hewan dari luar Provinsi Jawa Timur dilakukan apabila produksi dan pasokan hewan atau ternak dan produk hewan didalam Provinsi Jawa Timur belum mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. BAB IV KESEHATAN HEWAN Pasal 12 (1) Pengendalian dan penanggulangan penyakit hewan merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan dalam bentuk pengamatan dan pengidentifikasian, pencegahan, pengamanan, pemberantasan dan/atau pengobatan. (2) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan sebagaimana dalam pasal 12 (ayat 1) dilakukan melalui kegiatan surveilans dan kewaspadaan dini, pemeriksaan dan pengujian serta pelaporan. (3) Pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan dilakukan oleh laboratorium veteriner yang terakreditasi. (4) Dalam hal laboratorium sebagaimana dimaksud pada ayat (3) belum ada, Gubernur menetapkan laboratorium untuk melakukan pengamatan dan pengidentifikasian penyakit hewan. Pasal 13 (1) Pengendalian kesehatan hewan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 dilakukan dengan pendekatan pemeliharaan, peningkatan kesehatan (promotif), pencegahan penyakit (preventif), penyembuhan penyakit (kuratif) dan pemulihan kesehatan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan. (2) Pengamanan terhadap penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan melalui : a. Penetapan penyakit hewan menular strategis; b. Penetapan kawasan pengamanan penyakit hewan; c. Penerapan prosedur biosafety dan biosecurity; d. Pengebalan hewan; e. Pengawasan lalu lintas hewan, produk hewan dan media pembawa penyakit hewan lainnya; (3) f. Pelaksanaan kesiagaan darurat veteriner dan/atau; g. Penerapan kewaspadaan dini. Setiap orang yang melakukan pemasukan dan/atau pengeluaran hewan, produk hewan dan/atau media pembawa penyakit wajib memenuhi persyaratan teknis kesehatan hewan dan persyaratan lalu lintas lainnya, berupa sertifikat veteriner. (4) Setiap orang dilarang mengeluarkan dan/atau memasukkan hewan, produk hewan dan/atau media yang dimungkinkan membawa penyakit hewan lainnya dari daerah tertular dan/atau terduga kedalam daerah bebas. Pasal 14 (1) Pemberantasan penyakit hewan sebagaimana dimaksud dalam pasal 12 meliputi penutupan daerah, pembatasan lalu lintas hewan, pengebalan hewan, pengisolasian hewan sakit atau terduga sakit, penanganan hewan sakit, pemusnahan bangkai, pengeradikasian penyakit hewan dan pendepopulasian hewan. (2) Setiap orang termasuk peternak, pemilik hewan dan perusahaan peternakan yang berusaha dibidang peternakan yang mengetahui terjadinya penyakit hewan menular wajib melaporkan kejadian tersebut kepada Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota dan/atau dokter hewan berwenang setempat. (3) Pemerintah daerah provinsi mengawasi penerapan pedoman pemberantasan penyakit hewan dan pemerintah kabupaten/kota melaksanakan pedoman pemberantasan penyakit hewan. Obat Hewan Pasal 15 Penggunaan obat keras dan/atau obat yang diberikan secara parenteral/suntikan dalam pengobatan hewan harus dilakukan dibawah pengawasan dokter hewan. Pasal 16 (1) Obat hewan yang diedarkan harus memiliki nomor pendaftaran. (2) Peredaran obat hewan harus dilakukan dibawah pengawasan otoritas veteriner. (3) Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas peredaran obat hewan. Pasal 17 (1) Setiap orang yang memiliki usaha dibidang pembuatan, penyediaan dan/atau peredaran obat hewan wajib memiliki ijin usaha sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Setiap orang dilarang membuat, menyediakan dan/atau mengedarkan obat hewan yang : a. Tidak memiliki nomor pendaftaran; b. Tidak diberi label dan tanda, c. Tidak memenuhi standar mutu dan, d. Berupa sediaan biologik yang penyakitnya tidak ada di Indonesia. BAB V KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER Pasal 18 Kesehatan masyarakat veteriner merupakan penyelenggaraan kesehatan hewan dalam bentuk : a. Pengendalian dan penanggulangan zoonosis b. Penjaminan keamanan, kesehatan, keutuhan dan kehalalan produk hewan c. Penjaminan higiene dan sanitasi; d. Pengembangan kedokteran perbandingan dan; e. Penanganan bencana Pasal 19 (1) Dalam rangka menjamin produk hewan yang aman, sehat, utuh dan halal, Pemerintah Provinsi sesuai dengan kewenangannya melaksanakan pengawasan, pemeriksaan, pengujian, standarisasi, sertifikasi dan registrasi produk hewan melalui kewajiban pada unit industri produk pangan asal hewan memiliki sertifikasi keamanan pangan (NKV), kehalalan (sertifikat halal) dan sertifikat veteriner (2) Pengawasan dan pemeriksaan produk hewan berturut-turut dilakukan oleh Dinas Peternakan ditempat produksi, sebelum dan pada waktu pemotongan ternak, penampungan dan pengumpulan daging, karkas dan jerohan, pada waktu dalam keadaan segar, sebelum pengolahan penyimpanan dan pada waktu peredaran sampai ketangan konsumen. (3) Pengawasan dan pemeriksaan juga dilakukan oleh Dinas Peternakan terhadap produk asal hewan yang lain yaitu telur dan susu dilakukan ditempat produksi, pada waktu penampungan dan pengumpulan, sebelum sampai dengan pengolahan, penyimpanan dan pada waktu peredaran sampai ketangan konsumen. (4) Pengawasan dan pemeriksaan produk non pangan asal hewan, berturut-turut dilakukan oleh Dinas Peternakan ditempat produksi, pada saat pengumpulan, sebelum dan pada waktu pengolahan dan peredaran (5) Standarisasi, sertifikasi dan registrasi produk hewan diberlakukan terhadap produk hewan yang diproduksi dan/atau dimasukkan ke wilayah Provinsi Jawa Timur untuk diedarkan dan/atau dikeluarkan dari wilayah Provinsi Jawa Timur. (6) Dilarang memasukkan produk hewan yang tidak memenuhi persyaratan standarisasi, sertifikasi dan registrasi produk hewan. Pasal 20 (1) Produk hewan yang akan dimasukkan kedalam wilayah Provinsi Jawa Timur sebagaimana dimaksud pada pasal 13 ayat (3) yang masih mempunyai resiko penyebaran zoonosis yang dapat mengancam kesehatan manusia, hewan dan lingkungan budidaya, harus mendapatkan rekomendasi dari Balai Pengawasan Obat dan Makanan dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur. (2) Daging, karkas dan jerohan serta hasil ikutannya yang dibawa keluar dari Rumah Potong Hewan atau Rumah Potong Unggas harus diangkut dengan kendaraan Pengangkut Khusus sesuai ketentuan yang berlaku. (3) Setiap orang yang mempunyai unit usaha produk hewan wajib mengajukan permohonan untuk memperoleh nomor kontrol veteriner (NKV) kepada Dinas Peternakan Provinsi berdasarkan pedoman yang ditetapkan Menteri Pertanian. Pasal 21 (1) Pemotongan hewan yang dagingnya diedarkan harus : a. Dilakukan di rumah pemotongan hewan dan; b. Mengikuti cara penyembelihan yang memenuhi kaidah kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan. (2) Dalam rangka menjamin ketentraman batin masyarakat, pemotongan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memperhatikan kaidah agama dan unsur kepercayaan yang dianut masyarakat. (3) Pemerintah daerah kabupaten/kota wajib memiliki rumah potong hewan yang memenuhi persyaratan teknis. Pasal 22 (1) Produk Asal Hewan yang keluar atau masuk provinsi Jawa Timur harus dilengkapi Sertifikat Veteriner produk hewan dan/atau produk olahan yang ditandatangani oleh Dokter Hewan yang berwenang. (2) Setiap perusahaan atau perorangan yang akan mengeluarkan dan memasukkan produk asal hewan dari/ke Provinsi Jawa Timur harus mendapatkan ijin dari pemerintah provinsi Jawa Timur melalui UPT Pelayanan Perijinan Terpadu (P2T) atas rekomendasi dari Dinas Peternakan Provinsi Jawa Timur. BAB VI KESEJAHTERAAN HEWAN Pasal 23 (1) Ketentuan mengenai kesejahteraan hewan diperlukan secara manusiawi yang meliputi : a. Pemeliharaan, pengamanan, perawatan dan pengayoman hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa lapar dan haus, rasa sakit, penganiayaan dan penyalahgunaan serta rasa takut dan tertekan; b. Pemotongan dan pembunuhan hewan dilakukan dengan sebaik-baiknya sehingga hewan bebas dari rasa sakit, rasa takut dan tertekan, penganiayaan dan penyalahgunaan. (2) Penerapan Kesejahteraan Hewan dimulai dari Budidaya / pembibitan ternak, pengangkutan sampai pemotongan. (3) Setiap Pemilik Hewan apabila mengeksploitasi hewan, peragaan hewan, pameran/expo hewan, kontes hewan, lomba hewan, budidaya/pembibitan hewan berkewajiban memperhatikan kesejahteraan hewan dengan memperlakukan hewan secara layak dan penuh perhatian. (4) Pemeliharaan hewan yang layak dilakukan dengan cara Menerapkan 5 (lima) kebebasan dalam Kesejahteraan Hewan : - Menyediakan tempat dan kandang atau kurungan yang memadai - Menyediakan pakan yang cukup - Memelihara kesehatan hewannya - Perlakuan khusus menurut jenis hewannya berdasarkan ketentuan berlaku - Memperlakukan hewan peliharaannya sesuai dengan kodratnya Tidak diliarkan/dilepas ditempat umum yang akan mengganggu keselamatan hewan, manusia dan lingkungan. (5) Pengangkutan hewan harus memenuhi syarat sebagai berikut : - Menyediakan tempat yang memadai bagi hewan - Hewan terlindung dari panas dan hujan - Alat angkut tidak membahayakan/aman bagi hewan - hewan merasa nyaman dan tidak stress Pasal 24 (1) Setiap ternak betina yang ada di kandang penampungan dilakukan pemeriksaan teknis kesehatan hewan dan kesehatan reproduksi oleh Dokter Hewan yang ditunjuk. (2) Ternak betina yang masih produktif berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan yang ditunjuk, segera ditempatkan pada kandang penampungan khusus dan dibudidayakan. (3) Ternak betina yang tidak produktif/majir/steril boleh dipotong berdasarkan hasil pemeriksaan dokter hewan yang ditunjuk yang dibuktikan dengan sertifikat veteriner yang menyebutkan hewan steril/majir dan diperbolehkan dipotong BAB VII OTORITAS VETERINER Pasal 25 (1) Dalam rangka penyelenggaraan kesehatan hewan diseluruh wilayah Jawa Timur dibentuk kelembagaan otoritas veteriner. (2) Otoritas veteriner dilaksanakan guna mendukung terlaksananya sistim kesehatan hewan nasional dan diwilayah Provinsi Jawa Timur. (3) Pelayanan kesehatan hewan meliputi pelayanan jasa laboratorium veteriner, pelayanan jasa laboratorium pemeriksaan dan pengujian veteriner, pelayanan jasa medik veteriner dan/atau pelayanan jasa di pusat kesehatan hewan serta pelayanan kesehatan hewan khusus pada sentra sapi perah. (4) Setiap orang/badan usaha yang memiliki usaha dibidang pelayanan kesehatan hewan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib memiliki ijin usaha Bupati/Walikota untuk pelayanan didalam wilayah Kabupaten/Kota dan wajib memiliki ijin Gubernur untuk pelayanan yang meliputi antar kota/antar kabupaten. BAB VIII KETENTUAN PIDANA Pasal 26 (1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 (ay 4), 6, 7, 8, 13, 15, 17, 19, 22 diancam dengan sanksi administratif dan pidana kurungan. (2) Sanksi administratif untuk pelanggaran pasal 5 (ay 4), 6, 7, 8, 13, 15, 17, 19, 22 berupa peringatan secara tertulis, larangan pemasukan atau pengeluaran, larangan peredaran dan/atau rekomendasi pencabutan usaha dan rekomendasi pencabutan API-U (Angka Pengenal Impor Umum). (3) Untuk memberikan efek jera dan tidak terulanginya pelanggaran, pemerintah dapat melakukan penggeledahan, penyitaan dan pemusnahan terhadap hewan, produk hewan dan bahan baku pakan serta obat hewan yang tidak memenuhi persyaratan (4) Pelanggaran terhadap pasal 5 ayat 4 diancam pidana kurungan 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). (5) Pelanggaran terhadap pasal 6 (ay 2) diancam pidana kurungan 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). (6) Pelanggaran terhadap pasal 7 (ay 2) diancam pidana kurungan 24 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). (7) Pelanggaran terhadap pasal 8 (ay 2) diancam pidana kurungan 6 (enam) bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 100.000.000,- (Seratus Juta Rupiah). (8) Pelanggaran terhadap pasal 13 diancam pidana kurungan 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). (9) Pelanggaran terhadap pasal 15 diancam pidana kurungan 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). (10) Pelanggaran terhadap pasal 17 diancam pidana kurungan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). (11) Pelanggaran terhadap pasal 19 diancam pidana kurungan 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). (12) Pelanggaran terhadap pasal 22 diancam pidana kurungan 6 bulan dan atau denda setinggi-tingginya Rp 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah). (13) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pelanggaran. BAB IX KETENTUAN PENYIDIKAN Pasal 27 (1) Selain oleh penyidik umum, penyidik atas tindak pidana dimaksud dalam peraturan daerah ini dapat juga dilakukan pejabat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dilingkungan pemerintah kabupaten/kota dan Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang pengangkatannya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Dalam melakukan tugas penyidikan, penyidik dimaksud pada ayat (1) pasal ini berwenang : a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana; b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu ditempat kerja dan melakukan pemeriksaan; c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. Melakukan penyitaan benda atau surat; e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang; f. Memanggil seseorang untuk didengar atau diperiksa sebagai saksi atau tersangka; g. Mendatangkan pemeriksaan perkara; orang ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan h. Menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum tindak pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya; i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan. (3) Pejabat penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dimaksud pada ayat (1) pasal ini membuat berita acara setiap tindakan yang dilakukan tentang : a. Pemeriksaan tersangka; b. Pemasukan rumah; c. Penyitaan benda; d. Pemeriksaan surat; e. Pemeriksaan saksi; f. Pemeriksaan ditempat kejadian dan mengirimkan kepada kejaksaan negeri melalui kepolisian. BAB X KETENTUAN PENUTUP Pasal 28 Hal-hal yang belum diatur dalam peraturan daerah ini, sepanjang mengenai pelaksanaannya akan ditetapkan lebih lanjut dengan peraturan Gubernur. Peraturan daerah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan daerah ini dengan penempatannya dalam lembaran daerah Provinsi Jawa Timur. Ditetapkan di Surabaya Pada tanggal : GUBERNUR JAWA TIMUR DR. H. SOEKARWO