Harga Murah Obat Generik Bukan Berarti Kurang Berkhasiat! Oleh http://www.pdpersi.co.id Senin, 30 Agustus 2010 00:00 Pdpersi, Jakarta - Pro dan kontra mengenai obat generik hingga saat ini masih menjadi topik pembahasan yang menarik. Seperti negara lain, Indonesia berupaya meningkatkan pelayanan kesehatan, melindungi keuangan masyarakat dari biaya-biaya perawatan kesehatan, dan menjamin kepuasan konsumen secara berkelanjutan. Sebagian besar obat-obatan yang dibutuhkan untuk kondisi kesehatan sekarang sudah tidak berada di bawah perlindungan paten lagi, dengan begitu potensial untuk diproduksi sebagai obat generik yang murah. ”Setelah masa paten terlewati, industri farmasi yang lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya sama persis dengan obat originatornya,” ungkap Prof Iwan Dwi Prahasto dari bagian farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta dalam sebuah seminar di Jakarta, kemarin. Prof Iwan mengatakan bahwa industri farmasi yang memproduksi obat originator harus mengeluarkan biaya besar untuk riset sehingga berdampak pada harga obat yang relatif mahal. Riset yang dilakukan antara lain uji praklinik in vitro dan in vivo, uji pada hewan, maupun uji klinik pada umumnya yang melibatkan ratusan hingga ribuan subjek. ”Tidak demikian halnya pada industri farmasi yang memproduksi obat salinan,” ujar Prof Iwan. Industri farmasi tersebut hanya memerlukan uji ketersediaan hayati dan uji bioequivalensi sebagai syarat untuk registrasi ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Produsen obat merek dagang juga tidak perlu melakukan uji klinik sehingga biaya produksi obat merek dagang tidak berbeda dengan obat generik. Namun demikian, harga obat-obatan hanya salah satu dari komponen biaya yang harus dikeluarkan oleh pasien setelah menggunakan layanan kesehatan dasar atau layanan rumah sakit. Di satu sisi, dalam 50 tahun terakhir obat-obatan dan vaksin merupakan komponen masukan yang penting bagi layanan perawatan kesehatan yang efektif. Di sisi lain obat-obatan juga menjadi biaya utama yang membebani masyarakat. ”Di Indonesia, obat generik berharga ekonomis telah banyak tersedia untuk menangani berbagai penyakit yang umum,” kata dr Setiawan Soeparman dari Direktorat Bina Obat Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Namun demikian, ujar Prof Iwan, kenyataannya masih banyak distorsi informasi mengenai obat generik. Misalnya, sebagian masyarakat dan bahkan dokter telanjur menganggap obat generik untuk orang miskin. Selain itu, peresepan obat generik dianggap tidak bergengsi, murah, diragukan khasiatnya, dan kandungan zat aktifnya di bawah standar. ”Harga obat generik yang murah juga tidak jarang menjadi alasan penolakan. Mana mungkin obat yang murah memberi khasiat yang setara dengan obat yang mahal,” tutur dia dalam jurnal Policy Brief edisi Agustus 2010. Akibatnya, lanjut Prof Iwan, para dokter tetap meresepkan obat merek dagang, duta-duta farmasi tetap berkeliaran menyodorkan obat produk perusahaan, dan masyarakat lebih memilih untuk tidak diresepkan obat generik. Padahal, adalah hak pasien untuk mendapatkan obat generik. Seperti ia jelaskan di atas, industri farmasi biasanya memiliki hak paten untuk memasarkan obat selama 15-20 tahun. Obat itu lazim disebut obat originator. Setelah masa 1/2 Harga Murah Obat Generik Bukan Berarti Kurang Berkhasiat! Oleh http://www.pdpersi.co.id Senin, 30 Agustus 2010 00:00 paten terlewati, industri farmasi lain boleh memproduksi obat yang kandungan zat aktifnya persis dengan obat originator. Inilah yang disebut obat salinan atau obat generik. Jika obat ini diberi nama disebut sebagai obat merek dagang. Sedangkan obat salinan yang tidak diberi nama biasanya disebut obat generik. ”Apabila obat generik diberi logo perusahaan, disebut obat generik berlogo. Jadi, yang disebut obat merek dagang dan obat generik berlogo pada dasarnya adalah obat generik. Tidak ada yang berbeda dalam hal kandungan zat aktifnya,” tandas Prof Iwan. Peran Dokter Lantas mengapa mayoritas dokter lebih senang meresepkan obat merek dagang? Menurut Prof Iwan, bukan rahasia lagi bahwa mereka mendapatkan insentif yang tak kasat mata dibalik peresepan obat merek dagang. Mereka juga kerap mendapatkan akomodasi gratis hotel berbintang lima untuk menghadiri seminar atau kongres yang didanai oleh industri farmasi. Rasionalisasinya adalah dokter perlu menambah ilmu sesuai UU Praktik Kedokteran No 29 Tahun 2004. ”Kelompok dokter inilah yang sering berujar kepada pasien bahwa kalau ingin cepat sembuh jangan minum obat generik,” ungkap dia. Selain itu, lanjut Prof Iwan, dokter yang menyangsikan mutu obat generik jumlahnya tidak sedikit. ”Siapa yang berani menjamin mutu obat generik? Kalau pasien tidak sembuh setelah minum obat generik, apa ada yang berani menanggung?” tanya dia. Pijakan obat generik yang selama ini kokoh di puskesmas, kata Prof Iwan, mulai goyah, dan tidak sedikit yang terseok-seok. Ia meminta agar kebijakan obat harus disusun lebih menyeluruh. Industri farmasi yang tidak lagi memproduksi obat generik dengan alasan minim laba perlu dijewer. Kalau perlu pengajuan registrasi untuk obat berikutnya disuspensi agar timbul efek jera. Terhadap kalangan dokter, Prof Iwan meminta mereka untuk terus ingat bahwa wilayah kompetensinya adalah moral, etika, dan medikolegal. Sumber: http://www.pdpersi.co.id , Senin, 30 Aug 2010 2/2