PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DALAM AGAMA BUDDHA ( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara ) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh: Efriani Syukur NIM: 102032124624 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H./2007 M PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DALAM AGAMA BUDDHA ( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara ) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.) Oleh Efriani Syukur NIM: 102032124624 Pembimbing Drs. H. Roswen Dja’far NIP: 150 022 782 PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1427 H./2007 M LEMBAR PENGESAHAN Skripsi yang berjudul: Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha (Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara) Telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 28 Agustus 2007. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata I (SI) pada program Studi Perbandingan Agama. Jakarta, 28 Agustus 2007 Sidang Munaqosyah, Ketua Sidang Sekretaris Sidang Drs. Masri Mansoer, M.A Maulana, M.A NIP: 150 244 493 NIP: 150 293 221 Anggota, Penguji I Penguji II Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer Drs. M. Nuh Hasan, M.A NIP: 150 209 685 NIP: 150 240 090 Pembimbing, Drs. H. Roswen Dja’far NIP: 150 022 782 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………….............. i DAFTAR ISI..................................................................................................... iv BAB I : PENDAHULUAN………………………………………..... 1 A. Latar Belakang Masalah………………………………... 1 B. Perumusan Masalah…………………............................. 4 C. Tujuan Penulisan……………………………….............. 5 D. Tekhnik Penulisan………………………………………. 5 E. Sistematika Penulisan…………………………………... 7 BAB II : PUASA DALAM AGAMA BUDDHA A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha…………….. 8 B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha……….. 11 C. Masa Vassa……………………………………............... 16 D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha………............... 20 BAB III : PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA A. Gambaran Umum Vihara Dhammacakka Jaya…………. 27 B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya……….…......................................... 45 a. Puasa Bagi Umat Awam……………………...... 46 b. Puasa Bagi Umat Viharawan…………………… 56 1. Puasa Bagi Samanera…..……………………...58 2. Puasa Bagi Para Bhikkhu…………………….. 61 C. Makna Puasa (Uposatha) Bagi Umat Buddha…………66 D. Analisis……………………………………………….. 69 BAB IV : PENUTUP A. Kesimpulan…………………………………………... 72 B. Saran-saran…………………………………………… 74 DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 75 LAMPIRAN-LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Puasa di dalam kehidupan sehari-hari adalah bukan masalah yang asing lagi, bahkan hampir semua orang telah mengetahuinya, karena puasa ini merupakan suatu fenomena universal yang terdapat di dalam hampir semua kebudayaan, baik timur maupun barat. Oleh karena itu akan lebih menarik lagi apabila masalah puasa ini dikaji secara mendalam, khususnya puasa menurut agama Buddha, karena puasa menurut agama Buddha mempunyai keunikan tersendiri bila dibanding dengan puasa yang terdapat di dalam agama-agama besar dunia lainnya. Walaupun kadang-kadang orang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini hanyalah sebagai formalitas keagamaan.1 Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan, tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral dan psikologi yang mendalam.2 Di dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan sila,3 yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha 1 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Education, Foundational, 1993), h. 214 2 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214 3 Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), h. 2 (kebodohan batin).4 Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang dilakukan sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir (nibbana). Bhikkhu dan bhikkhuni diharapkan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan dalam dua disiplin moral (sila dan vinaya) sesuai dengan tanggung jawab mereka terhadap Patimokkha. Samanera dan samaneri harus memperhatikan Dasasila sebagai standar sila mereka. Bagi umat awam (upasaka dan upasika) memiliki Pancasila sebagai standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari dan atthasila dianjurkan sebagai sila khusus pada hari-hari Uposatha.5 Dasar ajaran puasa di dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila, dari atthasila, dasasila, dan patimokkha.6 Sehingga di dalam pelaksanaannya terdapat tingkat yang mendasar, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada setiap hari Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari.7 Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha telah menganjurkan kepada para bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari. Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan peraturan latihan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah hari.8 4 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991), h. 5 Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung 170 (Penerbit Karaniya: Yayasan Karaniya, tt), h. 1-2 6 Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha, tt), h. 25-25 ; Bhikkhu Khamio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Dhammadipa Arama, 1997), h. 31-32 ; dan Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 37-64. 7 Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp, tt), h. 36. 8 K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214 Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12.00 siang.9 Mereka berjanji pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat tengah hari dan melaksanakan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan perenungan dan mendengarkan Dhamma. Adapun waktu untuk menjalankan Uposathasila (peraturan yang dilaksanakan pada hari Uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam.10 Bagi para bhikkhu pada hari Uposatha (jika jumlah mereka lima atau lebih di dalam satu vihara), mereka akan berkumpul untuk mendengarkan 227 Patimokkhasila yang dibacakan oleh salah seorang bhikkhu. Pembacaan patimokkha ini berkisar antara satu jam, dan umat awam diperbolehkan ikut mendengarkan. Lepas dari kegiatan tersebut, para bhikkhu akan menjalankan latihan yang lebih ketat dari biasanya.11 Dan pada masa Vassa, para bhikkhu harus berdiam disuatu tempat dan tidak pergi ketempat lainnya sampai larut malam selama tiga bulan sampai tiba hari pavarana (upacara pengakhiran masa Vassa).12 Dari uraian tersebut diatas, maka apakah puasa di dalam agama Buddha itu hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan sebagai disiplin keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada berbagai agama. 9 Anomius, Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47. 10 Bhikkhu Vijano (Ven), Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996), h. 37. 11 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit Karaniya: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991), h. 61. 12 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1998), h. 30 Hal itulah yang menarik penulis untuk mengambil judul “Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha (studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara)”. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, dengan perumusan masalah sebagai berikut : 1. Apakah makna puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya? 2. Bagaimanakah pelaksanaan puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammcakka Jaya? C. Tujuan Penulisan Penulisan ini memiliki beberapa tujuan diantaranya : 1. Untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman terhadap Buddha Dhamma (ajaran Sang Buddha) khususnya puasa menurut agama Buddha. 2. Menambah khazanah kepustakaan pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Jurusan Perbandingan Agama dengan gelar Sarjana Teologi Islam (S.Th.I). D. Tekhnik Penulisan Dalam tekhnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuanketentuan dan petunjuk-petunjuk yang telah di tentukan oleh UIN syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA UIN, 2007)”. Adapun metode yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini di tempuh dengan dua cara, yaitu: Library Research (penelitian kepustakaan) dengan metode ini penulis mengadakan studi kepustakaan mengenai penelitian terhadap buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan cara yang kedua dengan cara Field Research13 (penelitian lapangan) dimana cara ini dilakukan untuk memperkuat data-data yang telah diproses dan penulis juga menggunakan teknik observasi sebagai alat pengumpulan data. Observasi yang penulis lakukan adalah dengan mendatangi dan mengamati jama’ah dan viharawan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dan melakukan wawancara langsung secara mendalam (indepth interview) dengan informan tersebut diatas tentang data-data yang diperlukan dan sesuai dengan judul skripsi. Dalam wawancara, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada kaitannya dengan skripsi. Disamping itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak tertulis. 13 Penelitian lapangan ini untuk mengetahui lebih jauh dalam praktek ajaran oleh penganutnya terutama para bhikkhu dan samanera samaneri (calon bhikkhu) dalam agama Buddha E. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan menjadi lima bab, dimana masing-masing mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topiktopik tertentu, yaitu sebagai berikut : Bab pertama berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, tekhnik penulisan, dan sistematika penulisan. Bab ini juga merupakan bab pendahuluan. Bab kedua landasan teori, yang memuat tinjauan tentang puasa di dalam agama Buddha, pembahasannya meliputi lima sub bab, yaitu: pengertian puasa menurut agama Buddha, sistem penanggalan dan sejarah hari Uposatha, masa Vassa, dan tujuan puasa di dalam agama Buddha. Bab ketiga menjelaskan tentang pelaksanaan dan makna puasa dalam agama Buddha yang meliputi gambaran umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, puasa bagi umat awam dan puasa bagi umat viharawan dan juga makna puasa bagi umat Buddha serta analisis. Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saransaran yang berkaitan dengan judul. Terakhir sekali penulis mencantumkan daftar pustaka yang digunakan sebagai bahan rujukan dari penulisan skripsi ini. BAB II PUASA DALAM AGAMA BUDDHA A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha Puasa di dalam agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah Upovasa. Akan tetapi di dalam pengertian sehari-hari, mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha.14 Istilah ini berasal dari bahasa Pali, yaitu bahasa yang dipakai pada jaman Sang Buddha Gotama. Istilah Uposatha mengandung dua arti, yaitu: 1. Uposatha berarti nama atau sebutan hari untuk menjalankan peraturanperaturan khusus, sehingga disebut sebagai hari Uposatha. 2. Uposatha berarti nama atau sebutan terhadap peraturan-peraturan yang dijalankan, sehingga disebut sebagai Uposathasila.15 Dalam Buddhist Dictionary, Uposatha ini diartikan sebagai berpuasa, hari puasa, yaitu hari Purnama sidhi, hari bulan baru dan hari seperempat bulan yang pertama dan yang terakhir.16 Kata Uposatha, juga mengandung makna “masuk dan berdiam diri”, dalam pengertian berdiam di dalam vihara atau komplek vihara.17 Maksud berdiam di sini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau berada di vihara atau komplek vihara (uposathavasamvasati), belajar dhamma 14 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007 15 Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tt), h. 21 16 Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Frewin: Co. Tto, 1972), h. 187 17 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit: Yayasan Karaniya, 1991), h. 59 melalui buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan delapan sila dan berlatih meditasi. 18 Jadi istilah Uposatha ini merupakan suatu istilah yang dipakai untuk melaksanakan suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan menahan diri (puasa).19 Menahan diri di sini maksudnya untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya. Selain untuk menghindari makan dan minum, puasa atau Upovasa (bahasa Pali) di dalam agama Buddha juga mempunyai pengertian: 1. Mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya sendiri maupun orang lain. 2. Meningkatkan kualitas diri, artinya segala kebajikan atau perbuatan baik yang pernah dilakukan, perlu selalu di ulang-ulang, dan kebajikan atau perbuatan baik yang belum dilakukan perlu dilakukan (kusalassa upasampada/selalu mengembangkan kebajikan). 20 Singkatnya apa yang disebut puasa atau upovasa itu bukan saja mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak-gerik pikiran, ucapan, dan jasmani.21 Karena puasa di dalam agama Buddha ini merupakan pelaksanaan sila, yang merupakan suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sehingga yang termasuk di dalam kelompok sila di sini adalah: • Pembicaraan benar (samma vaca) 18 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007 19 Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 28 20 21 Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993), h. 1-2 Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, h. 2 • Perbuatan benar (samma kammanta) • Mata pencaharian benar (samma ajiva) Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktek pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan, kebencian dan kebodohan batin.22 Sang Buddha melarang para bhikkhu mengambil makanan padat (yang mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam yang menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk berpantang mengambil makanan padat setelah tengah hari.23 Berkaitan dengan masalah puasa di dalam agama Buddha, bahwa kegunaan dari memakan makanan adalah tidak untuk kesenangan, pemabukan, menggemukkan badan atau untuk memperindah diri, tetapi hanyalah untuk kelangsungan hidup dan mempertahankan tubuh, menghentikan rasa tidak enak, dan untuk membantu kehidupan suci. Sehingga akan mendapatkan kebebasan tubuh dari gangguan-gangguan serta akan dapat hidup dengan tentram.24 B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha Di dalam kehidupan keagamaan umat Buddha, dalam satu bulan terdapat hari-hari khusus untuk melaksanakan peraturan pelatihan tertentu (sikkhapada). 22 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center, 1991), h. 23 K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha 44 Educational Foundational, 1993), h. 214 24 Bhikkhu Khemio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, 1980), h. 58-59 Hari khusus itu dipandang sebagai hari yang suci (sakral) dan disebut Uposathadivasa. Istilah Uposatha arti harfiahnya adalah masuk untuk berdiam diri (dalam keluhuran). Istilah ini digunakan untuk sebutan hari dimana upasaka-upasika (umat Buddha laki-laki dan perempuan) menjalankan peraturan pelatihan khusus yang terdiri dari delapan unsur peraturan pelatihan. Hari itu disebut hari Uposatha.25 Hari Uposatha adalah hari-hari tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan lunar. Biasanya kalender yang dibuat oleh umat Buddha, tanggal jatuhnya hari Uposatha diberi tanda khusus dengan warna tertentu sehingga mempermudah bagi mereka yang akan melaksanakan Atthangika Uposatha (delapan peraturan pelatihan pada hari Uposatha).26 Selain itu, dengan pemberian tanda dalam kalender tersebut, diharapkan agar para umat Buddha dapat melaksanakan delapan peraturan tersebut.27 Kebiasaan menjalankan Uposatha ini telah ada sebelum jamannya Sang Buddha. Sang Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan memperkenankannya untuk dipergunakan sebagai hari untuk bertemu bersama, membicarakan dan mendengarkan dhamma serta merupakan kesempatan untuk melaksanakan Uposatha bagi umat awam (atthanga Uposathasila). Sehubungan dengan pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengijinkan mereka melakukan Uposathasila pada tanggal 1 dan 15 pada penanggalan bulan.28 Pada hari Uposatha ini umat Buddha melakukan puja bhakti, yaitu berupa: 25 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997), h. 40 26 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40 27 Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila, h. 22 28 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 30 • Melakukan persembahan bunga/ dupa/ lilin di depan altar. • Melakukan puja kepada Sang Tiratana dan membaca parrita-parrita suci. • Memohon kepada bhikkhu untuk membimbing melaksanakan Pancasila (lima sila) atau atthasila (delapan sila). • Mendengarkan Khotbah Dhamma dari para bhikkhu atau pandita. • Ada pula umat yang melakukan makan sayuranis ( sayur mayur ) dan tidak makan daging. • Dan memperbanyak meditasi.29 Puasa di dalam agama Buddha mempunyai sejarah yang panjang, bahkan sebelum jaman Sang Buddha, yaitu dimulai dari tradisi para Brahmana yang menyucikan diri dengan menjalani ritus veda, menyepi meninggalkan rumah keluar selama beberapa waktu hingga selesai, saat yang dipilih untuk ritus itu biasanya berpedoman pada peredaran bulan, yaitu saat-saat bulan penuh dan bulan gelap atau kadang-kadang di saat-saat bulan separuh wajah.30 Pada masa itu, banyak kelompok petapa (samana) yang menggunakan hari-hari saat bulan penuh, bulan gelap, maupun bulan separuh wajah untuk memperdalam teori dan latihan-latihan mereka. Sang Buddha sendiri menganjurkan kepada siswa-siswanya untuk berkumpul di vihara pada hari-hari tersebut, mendengarkan pembacaan Patimokkha (aturan pokok bagi para bhikkhu) dan mengajarkan dhamma kepada umat yang datang ke vihara mereka.31 29 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997), h. 1 30 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 59 31 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 60 Demikian pula upacara-upacara yang dilaksanakan pada hari-hari Uposatha sudah dilaksanakan oleh orang-orang India pada jaman Sang Buddha. Atas saran Raja Bimbisara dari Magadha kepada Sang Buddha, maka hari-hari Uposatha ini kemudian juga dilaksanakan oleh para bhikkhu dan umat awam (upasaka-upasika) sampai sekarang ini.32 Secara lengkap Sang Buddha bersabda: “Demikianlah kejadiannya, Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berdiam di Rajagaha, di puncak karang Burung Nazar. Pada waktu itu kelana-kelana dari sekte lain mempunyai kebiasaan untuk berkumpul pada waktu pertengahan bulan pada tanggal 14 dan 15 dan perempatan bulan pada tanggal 8 dan berkhotbah tentang Dhamma. Orang-orang berdatangan untuk mendengarkannya. Mereka semakin menyukai dan semakin mempercayai kelana dari sekte lain. Maka kelana-kelana itu memperoleh bantuan. Maka ketika Raja Magadha Seniya Bimbisara sedang bermeditasi, ia merenungkan hal-hal ini: “mengapa para Yang Mulia untuk tidak berbuat serupa pada hari-hari itu?”. Kemudian ia menemui Sang Bhagava menyampaikan apa yang dipikirkannya dan menambahkan: “Guru, alangkah baiknya jika pada hari-hari itu pula para Yang Mulia untuk berkumpul”. Sang Bhagava memberi petunjuk tentang Dhamma kepada Raja itu, setelah mana ia meninggalkan tempat itu. Kemudian Sang Bhagava membuat hal itu suatu alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma kepada bhikkhu. Beliau berkata: “O, para bhikkhu, aku mengijinkan pertemuan pada pertengahan bulan, yaitu hari ke 14 dan ke 15, dan pada perempatan bulan, yaitu pada hari ke 8”. 32 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 5 Kemudian para bhikkhu mulai saat itu berkumpul bersama sebagaimana yang diijinkan Sang Bhagava, tetapi mereka duduk dengan diam. Orang-orang datang untuk mendengarkan Dhamma. Mereka menjadi kecewa sehingga mereka berkata: “Bagaimana para bhikkhu ini, putera-puteri Sakya berkumpul pada harihari ini hanya untuk membisu seperti tonggak?. Tidakkah Dhamma seharusnya dikhotbahkan pada waktu-waktu mereka berkumpul?”. Para bhikkhu mendengar hal ini, kemudian mereka menyampaikan kepada Sang Bhagava. Beliau menjadikan hal ini sebagai alasan untuk memberikan wejangan tentang Dhamma dan beliau berpesan demikian: “O, para bhikkhu, bila ada pertemuan pada pertengahan bulan dan perempatan bulan, aku mengijinkan untuk memberikan Dhamma.33 Pada saat-saat awal perkembangan agama Buddha, Sang Buddha sendiri yang memberikan ajaran pada pertemuan Sangha dan meningkatkan kebajikan yang merupakan inti dari ajaran (sasana) dan menjelaskannya, kemudian Sang Buddha memberikan ijin kepada Sangha untuk melaksanakan Uposatha sendiri. Di dalam setiap pertemuan suatu kelompok bhikkhu, seorang bhikkhu akan membacakan peraturan latihan yang disebut Patimokkha. Ini dilakukan apabila terdapat empat orang bhikkhu atau lebih. Apabila hanya terdapat tiga atau dua orang bhikkhu, mereka disebut gana (group). Mereka dibolehkan memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian mereka” masing-masing, bila hanya terdapat seorang bhikkhu, ia disebut puggala (seorang) dan ia harus membuat adhitthana atau tekad oleh dirinya sendiri.34 C. Masa Vassa 33 34 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 , h. 6-7 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 28 Selain hari Uposatha, musim hujan juga mempunyai peran penting bagi umat Buddha, karena masa-masa musim hujan ini akan memberikan peluang yang sangat besar bagi para bhikkhu untuk hidup lebih dekat dengan gurunya, bhikkhu senior yang telah lanjut latihan meditasinya, berpengalaman dalam vinaya atau yang telah banyak mendalami dan mengetahui sutta-sutta. Dalam kamus Buddha dharma, Vassa ini diartikan sebagai musim hujan. Masa Vassa adalah masa dimana menurut tradisi, pada musim penghujan para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat dan mentaati peraturan-peraturan Vassa. Masa Vassa ini berlangsung selama tiga bulan (90 hari) dan dimulai sehari sesudah Purnama sidhi bulan ke delapan (asalhamasa) dan berakhir pada Purnama sidhi bulan kesebelas (assajuyamasa) menurut penanggalan lunar. Demikian juga bagi umat awam, masa-masa ini dapat dipergunakan untuk: • Melatih diri menjadi samanera sementara ( calon bhikkhu/bhikkhuni) • Menjalankan latihan puasa bagi para bhikkhu dengan cara makan hanya satu kali untuk sehari atau praktek makan langsung dari satu wadah (pata), tanpa perlu menggunakan banyak piring atau mangkok. Latihan ini sangat baik untuk membatasi keserakahan terhadap makanan, kelezatan dan bentuknya yang menggiurkan. • Atau juga untuk melatih berdana sebanyak mungkin, sekuat-kuatnya sesuai dengan kemampuannya.35 Hal-hal yang berkenaan dengan masa Vassa ini terdapat di dalam Kitab Suci Tipitaka bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka. Sang Buddha bersabda: 35 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 78-82 ”Anujanami Bhikkhave Vassane Vassam Upagantum Dve Ma Bhikkhave Vassupana-yikaya Purimika Pacchimika Aparajju-gataya Asalhiya Purimika Upagantabha.” Yang artinya bahwa masa Vassa haruslah dilaksanakan oleh para bhikkhu. Selama masa itu terdapat hari pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup untuk mengakhirinya.36 Ketika jumlah bhikkhu berkembang pesat, Sang Buddha menetapkan peraturan bahwa bhikkhu harus berdiam di suatu tempat selama musim hujan (Vassa) dan tidak pergi ke tempat lain selama tiga bulan.37 Masa Vassa ini dimulai pada hari pertama sesudah Purnama sidhi bulan Asadha atau pada hari pertama bulan Savana (bulan 9 lunar Buddhis) dan diakhiri sesudah tiga bulan dilampaui, yaitu pada Purnama sidhi bulan Assayuja (bulan September/Oktober). Para bhikkhu dapat memulai masa Vassa pada hari pertama sesudah hari raya Asadha (hari raya untuk memperingati kejadian yang menyangkut kehidupan Sang Buddha dan ajarannya, yaitu saat Sang Buddha untuk pertama kalinya membabarkan ajarannya kepada lima orang pertapa) atau satu bulan kemudian. Hal ini dikenal sebagai Vassa pertama, dan Vassa kedua.38 Saat Vassa merupakan saat untuk para bhikkhu melaksanakan Samanadhamma (Dhamma untuk seseorang yang membuat dirinya damai) yaitu pelaksanaan meditasi ketenangan dan pandangan terang.39 Hari dimulainya massa Vassa apabila bulan memasuki konstelasi Asadha, namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang 36 Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka (Klaten: Vihara Bodhivamsa, tt), h. 158 37 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 29 38 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 80 39 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 32 penutupan masa Vassa, yaitu saat Purnama sidhi bulan Assayuja, diselenggarakanlah Pavarana, yaitu upacara pengakhiran masa Vassa dan dilanjutkan dengan persembahan dana yang secara umum dikenal dengan hari Kathina. Upacara Kathina akan berlangsung mulai bulan pertama pada saat bulan menyusut (tanggal 16) bulan Assayuja sampai Purnama sidhi bulan ke 12 (kattikamasa). Namun perayaan ini pada hakekatnya akan berlangsung selama satu bulan untuk memberi kesempatan kepada umat agar bisa mempersembahkan dana kepada Sangha.40 Terjadinya Vassa Lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu Sang Buddha beserta siswasiswanya membabarkan Dhamma. Perjalanan yang jauh dan musim yang berganti tidaklah menjadi halangan bagi Sang Buddha dan para siswanya. Hal ini terlihat dari adanya kelompok bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin, musim panas maupun musim hujan (di India dikenal tiga musim). Pada saat itu masa Vassa belum ditetapkan oleh Sang Buddha, sehingga para bhikkhu mengadakan perjalanan selama musim panas, musim dingin dan musim hujan. Tetapi ketika jumlah bhikkhu semakin meningkat dan para bhikkhu harus keluar masuk hutan, sawah maupun ladang, mengakibatkan tumbuhtumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan rusak terinjak-injak oleh para bhikkhu tersebut. 40 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 22 Melihat kenyataan ini, masyarakat mengkritik para bhikkhu dengan mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha) mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan, sehingga mereka menginjak tunas-tunas muda rumput dan mengakibatkan binatang-binatang kecil mati? tetapi petapa lain meskipun kurang baik dalam melaksanakan peraturan (vinaya), menetap selama musim hujan.” Mendengar keluhan masyarakat tersebut, beberapa bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian tersebut. Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda: “Para bhikkhu, saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa”. Kemudian terpikir oleh para bhikkhu, “kapan masa Vassa dimulai?”, mereka menanyakan hal ini kepada Sang Buddha dan kemudian beliau mengatakan “saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa pada musim hujan”. Kemudian terpikir lagi oleh para bhikkhu, “berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa?”. Mereka menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha dan beliau berkata: “O para bhikkhu, terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa. Periode pertama Vassa (purimikavasupanayika) dan periode terakhir (pacchimikavasupanayika). Periode pertama Vassa adalah sehari setelah Purnama di bulan Asalha (kini dikenal dengan hari raya Asadha). Periode berikutnya dimulai sebulan setelah Purnama di bulan Asadha. Itulah periode untuk memulai musim hujan”.41 Sejak saat itu para bhikkhu menetap selama tiga bulan musim hujan. Mereka lebih banyak melatih dan mengembangkan batin, belajar dari para bhikkhu yang lebih senior.42 41 Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka (Klaten: Vihara Bodhivamsa,1982), h. 186 42 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 23-24 D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha Puasa di dalam agama Buddha adalah melaksanakan sila, yang merupakan dasar utama dalam melaksanakan ajaran agama, yaitu mencakup semua perilaku dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan etika dalam agama Buddha.43 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala akar kejahatan, yaitu: lobha, dosa dan moha.44 • Lobha artinya ketamakan atau keserakahan. Dapat pula diartikan sebagai keterikatan pikiran terhadap obyek. • Dosa artinya kebencian atau rasa dendam. Dapat pula diartikan sebagai keinginan jahat. • Moha artinya kebodohan batin atau rasa tidak mengerti kebenaran mulia. Dapat pula diartikan sebagai avijja (tidak tahu), anana (tidak berpengetahuan), adasana (tidak dapat melihat dengan sewajarnya).45 Sebagaimana sabda Sang Buddha: Bilamana, O para bhikkhu, tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor, maka buah dan manfaatnya pun berlimpah, bersinar dan merebak. Dan bagaimana tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor yang membuatnya memiliki buah dan manfaat yang melimpah, bersinar, dan merebak? Disini, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan demikian: ”Selama hidup, para Arahat meninggalkan pembunuhan dan tidak melakukannya; dengan kail dan senjata yang disingkirkan, mereka penuh kesadaran, baik hati dan hidup dalam kasih sayang terhadap semua makhluk. Hari ini aku juga, selama 43 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 3 44 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170 45 Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp.tt), h. 27 siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama. Aku akan meniru para Arahat di dalam hal itu, dan tindakan Uposatha akan terpenuhi olehku.” Inilah faktor pertama yang dimiliknya. Selanjutnya, dia merenungkan: ”Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan tidak melakukannya; mereka menerima hanya apa yang diberikan, mengharapkan apa yang diberikan, dan berdiam dengan hati yang jujur, bebas dari keinginan mencuri. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor kedua yang dimilikinya. “Selama hidup, para Arahat meninggalkan kehidupan seksual dan hidup selibat, jauh dari seksualitas, menahan diri dari praktek hubungan seksual yang kasar. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor ketiga yang dimilikinya. “Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan berbicara yang tidak benar dan tidak melakukannya, mereka adalah pembicara kebenaran, pengikut kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor keempat yang dimilikinya. “Selama hidup, para Arahat meninggalkan anggur, minuman keras dan apapun yang bersifat meracuni yang menjadi landasan bagi kelalaian dan tidak melakukannya. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor kelima yang dimilikinya. “Selama hidup, para Arahat makan hanya sekali sehari dan menahan diri untuk tidak makan pada malam hari atau pada saat yang tidak tepat. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor keenam yang dimilikinya. “Selama hidup, para Arahat tidak menari, menyanyi, melihat pertunjukkan musik instrument dan pertunjukkan yang tidak pantas, dan mereka tidak menghias diri dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wangi-wangian dan minyak-minyakan. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor ketujuh yang dimilikinya. “Selama hidup, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan alas duduk yang mewah dan tidak melakukannya; mereka menggunakan tempat beristirahat yang rendah-bisa tempat tidur yang kecil atau alas jerami. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor kedelapan yang dimilikinya.46 Sila ini merupakan gerak-gerik kehendak (cetana) yang bersikap menghindarkan diri untuk tidak bertindak jahat dan bersikap mengendalikan diri untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan norma-norma kebaikan yang berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturan-peraturan yang ditentukan oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan atau tradisi yang baik.47 Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh hasil yang luhur, karena perkembangan batin tidak mungkin tercapai tanpa memiliki dasar sila ini. Sebagian umat Buddha yang meyakini adanya tumimbal lahir (hukum punarbhava), sebetulnya manusia sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali bahkan tidak terhitung, begitu juga halnya dengan kelaparan, tentu sudah berjutajuta kali bahkan tidak terhitung orang merasakan lapar. Dengan mengendalikan keinginan makan yang muncul setelah waktu berjuta-juta tahun yang lampau, 46 47 Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003), h. 526 Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170 secara tidak langsung sebetulnya hal tersebut juga merupakan latihan untuk mengendalikan emosi. Mengapa demikian? kalau seseorang mampu mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang lampau, mengapa tidak bisa menahan diri untuk tidak marah, misalnya. Dengan cara ini seseorang bisa menghadapi segala sesuatu dengan tenang dan tidak emosi. Walaupun cara menahan diri ini merupakan cara yang sederhana, tetapi cara ini ada kaitannya dengan praktek kesabaran.48 Begitu juga sampai pada tingkat tertentu, kemajuan di dalam Dhamma akan menurun di bawah pengaruh nafsu-nafsu keinginan jasmani yang timbul dari pikiran yang kotor. Kekotoran akan nafsu-nafsu itu akan dapat dikendalikan dengan baik justru ketika kekotoran dan nafsu-nafsu itu tampak dan muncul dengan begitu kuatnya. Hampir tidak mungkin mengendalikan kekotoran batin yang tidak tampak di permukaan meski mereka mungkin saja beroperasi di bawah sadar. Perilaku seorang bhikkhu yang baik menunjukkan cara yang benar untuk menghadapi kekotoran-kekotoran itu. Begitu pula halnya dengan hari-hari Uposatha, saat kekotoran-kekotoran itu menampakkan dirinya, mudahlah bagi kita mengendalikan dan memangkasnya dengan bantuan disiplin serta melaksanakan Atthasila (delapan sila).49 Dengan demikian, latihan-latihan itu benar-benar tindakan untuk menguji sejauh mana seseorang bisa mengendalikan dirinya. Atau jelasnya, sejauh mana bentuk-bentuk mental yang baik, yang terbentuk oleh praktek Dhamma selama ini, mampu mengalahkan karakter- 48 Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994), h. 49 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 66-67 48 karakter buruk yang dibentuk oleh batin yang serakah, benci yang diselumuti kebodohan.50 Sang Buddha sangat memuji keagungan pelaksanaan Atthasila, yang dimenangkan oleh pria dan wanita atas kekuasaan duniawi, yang meraih kekuasaan dan kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya dan diyakinkan akan memberikan buah kelahiran kembali di surga para dewata. Sang Buddha menjelaskan kepada Visakha berbagai bentuk perenungan batin (mental reflection), guna memperkuat diri bagi seseorang yang akan menjalankan Uposatha Arya, yang membimbing pada ketenangan dan kesucian batin. Sebagaimana terdapat di dalam kitab suci, Sang Buddha bersabda: “Dan apakah Uposatha Arya itu, Vesakha? Hal itu adalah pembersihan pikiran yang keruh dan kotor melalui proses yang benar. “Dan bagaimanakah hal itu dilaksanakan, Visakha?”. Dengan cara ini pengikut Sang Arya merenungkan Sang Tathagata sebagai berikut: “Demikianlah Sang Bhagava, yang maha suci yang telah mencapai Penerangan Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Sang Jalan (ke Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada Taranya, Guru para deva dan manusia, Yang sadar, Yang patut dimuliakan”. “Bila ia melakukan perenungan terhadap Tathagata batinnya menjadi tenang, timbul kegembiraan dan kekotoran batin menjadi lenyap”. “ Demikian pula ia melakukan perenungan terhadap Dhamma dan Sangha. Kebajikan seseorang dan kebajikan para dewa”.51 Dalam uraian Atanatiya Sutta. Pada hari kedelapan lunar, dewa penjaga mengirim utusannya ke alam dunia untuk meyakinkan apakah manusia memegang 50 51 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 68 Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3, h. 530 teguh kebenaran dan kebajikan. Mereka kirimkan anak-anaknya pada hari ke empat belas lunar untuk alasan dan tujuan yang sama. Pada hari ke lima belas para dewa penjaga sendiri turun ke bumi dan mengirimkan laporannya pada sidang para dewa di surga Tavatimsa. Mereka akan bergembira atau bersedih tergantung apa yang dia saksikan dari tingkah laku manusia dalam menegakkan dan menjalankan kebenaran dan kebajikan. Bila para dewa bergembira, maka berkah akan turun ke bumi, tetapi bila para dewa bersedih dan marah, maka akan memberi pertanda banyak kejahatan dan malapetaka akan terjadi.52 52 Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 , h. 529 BAB III PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA A. Gambaran Umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya didirikan berdasarkan Akte Notaris, Kartini Mulyadi, S.H., tanggal 9 Maret 1981, No. 248. Yayasan ini merupakan suatu lembaga yang berdasarkan hukum dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Peletakan batu pertama pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, yaitu Gde Padja, MA. SH pada tanggal 2 September 1982 pukul 09.00 WIB. Vihara ini terletak di blok C Sunter Agung Kelurahan Sunter Kecamatan Tanjung Priok wilayah Jakarta Utara di atas tanah seluas 8.640 m persegi. Tanah ini disumbangkan oleh Bapak Anton Haliman atas nama pengurus PT. Agung Podomoro. Pada tanggal 24 Agustus 1985, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir Sjadzali, M.A., dan didampingi oleh Panglima tertinggi Angkatan bersenjata dan Panglima Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jendral Athit Kamlang Ek.53 Sejarah Vihara ini diawali dengan nasehat Bhante Acariya Nirodha melalui Bhante Sutat Phan Pheree untuk mencari tanah calon vihara yang baik.54 Beliau mengatakan bahwa tanah tersebut terletak di sebelah Utara Jakarta. Tempatnya agak tinggi, terdapat pohon besar dan ada sumur di bawahnya. Dengan 53 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (YJDJ), Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1983), h. 30 54 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1892), h. 21 pedoman tersebut, dicarilah lokasi yang dimaksud. Pada awal tahun 1981 lokasinya sudah ditemukan, tempat itu ternyata masih penuh ditumbuhi alangalang, terdapat dua pohon besar dan sumur di bawahnya. Sesuai dengan petunjuk Bhante Acariya Nirodha, bahwa sesudah lokasi ditemukan segera menghubungi pemilik tanah. Tanah tersebut ternyata milik PT. Agung Podomoro. Dalam pembicaraan pihak yang akan membangun vihara dengan Direktur PT. Agung Podomoro Anton Haliman, disarankan untuk memperoleh ijin membangun vihara dari pemerintah daerah terlebih dahulu. Sejak pembicaraan tersebut di atas maka secara resmi Sangha Theravada Indonesia mengajukan permohonan untuk mendapat ijin mendirikan vihara dari pemerintah daerah. Permohonan ijin tersebut di bantu oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Imam Soebagyo. Perlu diketahui bahwa tanah tersebut menurut rencana kota adalah untuk bangunan perumahan. Karena akan digunakan sebagai bangunan tempat ibadah (vihara), maka harus ada persetujuan perubahan rencana dari tata kota. Ijin perubahan akhirnya dikabulkan oleh pemerintah daerah dan memakan waktu lebih dari 1 tahun, luas tanah 8.640 m persegi. Direncanakan bangunan induk (Uposathagara) didirikan dengan ukuran: panjang 22 meter tinggi maksimal 9 meter. Rencana bangunan Uposatha ini telah di gambar dengan teliti oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Aswin Suganda. Sedangkan rencana keseluruhan dirancang oleh Indira Sujana dan Ir. Evy Ekasanthirni. Semua perencanaan dibuat berlandaskan nilai keagamaan dan kebudayaan nasional Indonesia. Dana pembangunan vihara dikumpulkan sejak beberapa tahun sebelumnya dari seluruh umat dan juga para donatur di Jakarta. Pengolahan pembangunan vihara ini dilakukan oleh Badan Pengurus Yayasan “Jakarta Dhammacakka Jaya”. Ketua kehormatan dijabat oleh Anton Haliman, sedangkan Ketua Umum dijabat oleh Laksamana (Purnawirawan) Oyo Prayogo Kusno. Vihara atau arama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah yang dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi. Tempat yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting bagi umat Buddha yang tidak mungkin dapat dilupakan.55 Pada awalnya pengertian vihara sangat sederhana yaitu pondok atau tempat tinggal atau temp;at penginapan para bhikkhu dan bhikkhuni, samanera, samaneri. Namun kini pengertian vihara mulai berkembang, yaitu: Vihara adalah tempat melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi masing-masing baik secara perorangan maupun berkelompok. Didalam vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar.56 Dulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikkhu adalah goa-goa, di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, di tumpukan jerami, dan di tempat penduduk yang menyediakan tempat untuk menginap. Setelah banyak orang yang mendengarkan ajaran Sang Buddha dan berlindung kepada Sang Tri Ratna mereka bermaksud untuk memberikan tempat tinggal bagi para bhikkhu yang layak. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana di vihara. Pada mulanya umat Buddha belum mempunyai vihara secara khusus. Gagasan untuk membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh Raja Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika setelah Raja Bimbisara 55 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tt), h. 16 56 Suwarno T, Buddha Dharma Mahayana, Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999-2538 B.E., h. 908 mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai Sottapati (tingkat kesucian pertama) maka beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para bhikkhu. Atas pemberian tersebut, Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai berikut: • Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk lewat. • Tidak terlalu banyak suara di siang hari maupun malam hari. • Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan pohon menjalar. • Orang yang tinggal di situ mudah mendapat jubah, makanan, tempat tinggal, obat-obatan sebagai pengobatan bagi orang sakit. • Di tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih tua (senior) yang mempunyai pengetahuan tentang kitab suci (Dhamma-Vinaya). Sejak saat itu pengurusnya menerima Dana Vihara. Dengan semakin banyak penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara bukan hanya sebagai tempat singgah para bhikkhu tetapi juga digunakan oleh para upasaka dan upasika (umat awam laki-laki dan perempuan) untuk belajar dhamma. Pada hari-hari Uposatha umat Buddha datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma, menjalankan atthasila dan melatih meditasi. Vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para bhikkhu dan sebagai sarana ibadah umat Buddha. Sedangkan jika dilihat dari fungsi vihara, adalah sebagai berikut: a. Tempat tinggal para bhikkhu dan samanera. b. Tempat pendidikan putera-puteri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang berguna. c. Tempat yang memberikan rasa aman bagi semua umat Buddha. d. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan. e. Tempat untuk berbuat kebajikan dan kebaikan. f. Tempat menyebarkan dhamma. g. Tempat yang menunjukkan jalan kebebasan. h. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasi cita-cita kehidupan suci. i. Tempat kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat keagamaan.57 Sebagai tempat tinggal para bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha maka vihara terdiri dari beberapa bangunan, dimana setiap bangunan mempunyai fungsi tersendiri. Banyaknya bangunan tergantung pada kemampuan umat Buddha yang mendirikan vihara tersebut. Biasanya pekerjaan membangun vihara ini dilakukan secara gotong-royong oleh para umat yang memiliki keyakinan kepada Sang Tiratana.58 Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya terletak di Jalan Agung Permai XV/12 Blok C-3 Sunter Agung Podomoro ini mempunyai berbagai fasilitas untuk menunjang proses kegiatan penyebaran ajaran Buddha, diantaranya: 1. Uposathagara (gedung Uposatha) Uposathagara dibuat di tengah-tengah vihara dengan posisi menghadap ke utara. Gedung ini merupakan gedung induk yang di kelilingi oleh gedung-gedung lainnya. Uposathagara merupakan bangunan yang paling besar di antara bangunan lain di vihara. Uposathagara disebut pula sebagai Sima. Secara harfiah sima artinya batas. Gedung ini dibangun di atas tanah yang sudah diberi batas atau tanda 57 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, h. 30 58 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), h. 16-17 (sima). Uposathagara yang ada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dikukuhkan pada tanggal 24 Agustus 1985.59 Didalamnya terdapat cetiya yang digunakan untuk tempat menancapkan dupa, tempat lampu (lilin), bunga dan ornamen-ornamen lainnya. Cetiya paling atas terdapat Buddharupang diapit oleh rupang Sariputta dan Moggallana. Di belakang cetiya terdapat relief Buddha dalam ukuran kecil. Samping depan kiri dan kanan diletakkan kotak dana.60 Bila umat ingin melakukan puja bakti secara sendiri-sendiri ataupun bersama-sama maka diawali dengan sikap namakara.61 Di pintu masuk Uposathagara bagian luar terdapat bendera Buddhis dan bendera lambang Sangha Theravada Indonesia. Pada bagian luar juga dilengkapi genta dan tambur besar. Genta dan tambur digunakan sebagai tanda dimulainya upacara peringatan atau perayaan hari-hari besar agama Buddha. Untuk melaksanakan upacara tertentu dan juga sebagai tanda para bhikkhu akan melaksanakan fungsi Sangha.62 Uposatha artinya berdiam dan ghara artinya ruangan. Gedung ini merupakan bangunan utama dari suatu vihara yang dipakai untuk menyelenggarakan upacara keagamaan yang khusus untuk para bhikkhu (sanghakamma).63 Berdasarkan vinaya pitaka, sanghakama yang dilakukan dalam Uposathagara antara lain: 59 Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya, Pengukuhan Uposathagara Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, h. 35 60 61 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 Namakara adalah menghormati dengan sikap sujud atau sungkem, membuat lima titik anggota tubuh menyentuh lantai; dahi dan kedua telapak tangan merapat menyentuh lantai; titik kedua dan ketiga; kedua siku dan lutut, dan titik keempat kelima dua ujung telapak kaki. 62 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 63 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 a. Upacara penahbisan samanera menjadi bhikkhu (upasampada). b. Pembacaan Patimokkha, yaitu 227 peraturan kebhikkhuan yang dilakukan pada setiap bulan gelap dan terang. c. Upacara persembahan jubah Kathina. d. Upacara merehabilisir kesalahan sedang (majjimapatti) dari para bhikkhu.64 2. Dhammasala/Dhammasabha (Balai Dhamma). Dhammasala dibangun di depan kuti menghadap ke barat. Di dalam ruangan ini terdapat cetiya (altar) yang sama dengan cetiya Uposathagara namun Buddharupangnya lebih kecil. Di dalam Dhammasala juga terdapat kotak dana dan ornamen lainnya. Dhammasala berasal dari kata Dhamma dan sala. Dhamma artinya ajaran dan sala artinya ruangan. Dhammasala juga dikenal dengan bhakti sala. Bhakti artinya kebaktian dan sala artinya ruangan. Jadi Bhaktisala artinya tempat untuk melakukan puja bhakti.65 Dhammasala ini mempunyai fungsi untuk pembacaan parrita, pembabaran dhamma, diskusi dhamma, meditasi atau untuk melaksanakan Vesakha-Puja, Asalha-Puja, Magha-Puja, Kathina-Puja. Selain itu Dhammasala juga berfungsi sebagai tempat untuk melangsungkan pernikahan, ulang tahun atau upacara kematian.66 3. Kuti Kuti terletak di depan Uposathagara di sebelah kiri menghadap ke timur. Kuti ini berhadapan dengan Dhammasala. Bangunan kuti dibangun dua lantai dengan fungsi yang berbeda. Bagian atas terdapat lima kamar digunakan sebagai 64 Oka Diputra, Pelajaran Agama Buddha SMP untuk kelas 2, h. 1 65 Wawancara Pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 66 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja), h. 17 tempat tinggal bhikkhu. Lantai bawah digunakan sebagai ruang tamu dan ruang makan. Kuti adalah bangunan untuk tempat tinggal bagi para bhikkhu dan samanera (calon bhikkhu). Bangunan kuti ini merupakan bangunan yang terpisah dari gedung Uposatha. Menurut Bhante Jayaratano pada awalnya satu kuti didiami satu bhikkhu atau samanera (calon bhikkhu). Tetapi dengan bertambahnya jumlah bhikkhu maka dibuatkan kuti yang agak besar, dengan beberapa ruangan sehingga kuti ini dapat didiami oleh beberapa orang bhikkhu. Di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya sendiri terdapat lima kamar dengan dua tempat tidur. 67 4. Pohon Bodhi/Pohon Penerangan Pohon Bodhi atau pohon penerangan dalam bahasa latin Ficus Religiosa adalah tempat Sang Buddha duduk mencapai tingkat penerangan sempurna. Pohon Bodhi di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya ini ada 2 buah dan didatangkan langsung dari Thailand dan hasil dari cangkokan. Pohon Bodhi ditanam di taman, ketika orang masuk pintu utama vihara maka akan terlihat pohon bodhi. Dengan melihat letaknya diharapkan umat Buddha yang datang ke vihara akan langsung teringat akan kesempurnaan Sang Buddha. 5. Perpustakaan Narada Dewasa ini perpustakaan juga merupakan sarana yang penting untuk pembinaan kehidupan beragama di samping menambah ilmu pengetahuan. Umat Buddha dapat menambah pengetahuan tentang buku-buku yang tersedia di dalam perpustakaan.68 67 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 68 Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja), h. 18 Perpustakaan Narada ini berada di belakang Uposathgara berhadapan dengan jalan raya. perpustakaan dibangun dua lantai dengan fungsi yang berbeda. Lantai atas di gunakan sebagai perpustakaan yang dilengkapi dengan fasilitasfasilitas perpustakaan, yaitu buku-buku, komputer, audio visual. Perpustakaan Narada didirikan dalam rangka mengenang seorang bhikkhu berkebangsaan Sri Lanka bernama Narada Mahatera. Pendiriannya tidak hanya terbatas untuk umat Buddha, namun juga untuk masyarakat umum yang berlainan agama. Buku-buku yang terdapat di sana tidak terbatas hanya buku-buku agama Buddha, buku umum dan buku-buku agama lain pun banyak didapati di sana. 6. Kesekretariatan Gedung ini dibuat menjadi tiga ruangan. Ruang sekretariat, ruang tamu dan pos keamanan yang mempunyai fungsi yang berbeda. Ruang sekretariat berfungsi untuk melaksanakan administrasi vihara, menyerahkan dana dan untuk menyimpan dokumentasi. Ruang tamu digunakan pada saat kunjungan tamu resmi. Pos keamanan berfungsi untuk menjaga keamanan vihara juga sebagai tempat informasi. 7. Bursa Bursa buku vihara dibuatkan gedung yang juga dibagi menjadi tiga ruangan, yaitu: ruang bursa buku, ruang majalah, dan ruang pemeriksaan kesehatan (klinik). Bangunan ini digunakan untuk penjualan buku-buku dhamma dan souvenir yang bercirikan Buddha. Ruang sebelah bursa buku dipakai untuk pusat kegiatan. Majalah Dhammacakka, majalah ini terbit tri wulan, yaitu: Waisak, Kathina, Asadha, dan Magha Puja. Ruang yang paling ujung digunakan untuk pemeriksaan kesehatan. 8. Replika Candi Pawon Replika Candi Pawon ini adalah tempat untuk menyimpan abu para donatur dan pendiri Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. 9. Mading Tempat untuk menempelkan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh umat, baik itu tentang kegiatan vihara maupun informasi lowongan pekerjaan. 10. Bedug atau Gong Alat ini berfungsi sebagai tanda dimulai dan diakhirinya puja bhakti atau upacara khusus. 11. Kamar Mandi 12. Taman 13. Parkir. Lambang-lambang yang terdapat di vihara dimaksudkan untuk mengingatkan umat Buddha pada ajaran Sang Buddha parinibbana (mangkat), umat merenungkan Sang Buddha dan ajarannya melalui lambang-lambang yang sesuai. Adapun lambang yang dipakai di vihara Jakarta Dhammacakka Jaya antara lain rupang, stupa, cakka, dan lambang-lambang yang terdapat di altar. 1. Buddharupang (rupang) Banyak orang beranggapan bahwa penganut agama Buddha adalah penyembah berhala, mereka berpikir bahwa di depan Buddharupang umat Buddha menyembah Buddharupang dan meminta-minta segala sesuatu yang di kehendakinya, hal ini tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya dilakukan umat Buddha di hadapan Buddharupang tersebut. Dalam melakukan puja kepada Sang Buddha, sesuai dengan ajaran-Nya, Buddharupang melambangkan kehadiran Sang Buddha. Buddharupang menjadi lambang perwujudan Sang Buddha bukanlah semata-mata sebuah berhala yang disembah begitu saja. Umat Buddha menghormatinya karena Buddharupang memiliki makna filosofis yang dalam bagi mereka.69 Buddharupang sebagai lambang pemujaan tidak hanya dipuja sebagai sosok kepribadian. Sang Buddha yang sangat mulia, melainkan juga karena perjuangan dan ajaran beliau yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan. Sekalipun Buddharupang hanya terbuat dari kayu, batu, perunggu atau emas, umat Buddha tetap menghormatinya dengan cara beranjali (merangkap kedua tangan di depan dada) atau bernamaskara (bersujud) di hadapan Buddharupang, rasa bakti yang dilakukan di hadapan Buddharupang didasarkan rasa terima kasih kepada guru junjungan yang juga merupakan awal atau pintu memperoleh kebenaran atau paling tidak melakukan kusala kamma (kamma baik). Atas jasa-jasa beliau manusia dapat bebas dari penderitaan, menuju kebahagiaan, dan mencapai kebebasan. Rupang diletakkan di setiap bangunan vihara (Uposathagara, Dhammasala, Kuti dan Perpustakaan), gunanya agar umat mengetahui bahwa rupang merupakan lambang yang sering digunakan dalam agama Buddha. 2. Stupa Stupa (sansekerta) atau thupa (pali) adalah suatu monumen yang didirikan sebagai tempat untuk menempatkan abu jenazah sisa kremasi atau benda peninggalan (relic) dari orang suci atau Cakkavati (raja sejagat). Bentuk stupa adalah melambangkan empat unsur pokok yang berbentuk jasmani manusia, yaitu tanah, air, api dan udara. Stupa telah ada sejak masa Sang Buddha. Stupa juga 69 Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, (Skripsi S1 Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, Jakarta, 1997), h. 19. dijadikan sebagai objek penghormatan.70 Puja Bhakti maupun penghormatan pada stupa adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan perbuatan atau perilaku baik orang-orang suci yang peninggalan atau relicnya terdapat dalam stupa (pada masa hidupnya), agar umat Buddha dapat meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan pada stupa tersebut. Stupa yang ada di vihara Jakarta Dhammacakka jaya adalah stupa dalam bentuk kecil dan diletakkan di altar. 3. Cakka atau Cakra Kata cakka atau cakra ini dikenal dalam agama Buddha yang disebut Dhammacakka (Pali) atau Dhammacakra (Sansekerta) yang berarti roda dhamma, yaitu sebagai lambang permulaan pembabaran dhamma yang diajarkan Buddha Gotama kepada murid pertama 5 petapa. Lambang ini berbentuk lingkaran, di dalamnya terdapat ruji-ruji serta porosnya. Semua itu menggambarkan bahwa ban dari lingkaran roda itu sebagai belas kasihan yang tidak berhenti. Ruji-ruji di dalam lingkaran itu sebanyak delapan buah adalah menggambarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan, yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari demi tercapainya pembebasan mutlak atau nibbana. Lambang cakka di vihara ini diletakkan di pintu masuk Uposathagara. Lambang-lambang lain yang terdapat di cetiya adalah lampu/lilin, dupa, bunga dan air. a. Lampu penerangan Dalam melaksanakan puja di depan Sang Buddha digunakan lampu penerangan. Lampu ini melambangkan cahaya yang menerangi kegelapan. Ruangan yang semula gelap gulita, dapat menjadi terang dengan cahaya lampu. 70 Coerneles Wowor, Pelajaran Agama Buddha untuk SMA kelas 1 (Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003), h. 4-5. Demikian juga dhamma dapat menerangi batin yang gelap menuju penerangan sempurna. b. Dupa atau hio Di dalam vihara biasanya ada bau harum dari dupa yang ditancapkan di tempat khusus di altar. Dalam hal ini dupa melambangkan harumnya kebajikan yang dilakukan oleh siapa saja. Namun bau harumnya dupa tidak dapat melawan arah angin, sebaliknya bau harumnya kebajikan atau nama baik dapat melawan arah angin. Dalam Dhammapada disebutkan: Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar kesegala penjuru.71 Harum juga nama Sang Buddha karena beliau penemu jalan kebenaran. Inilah yang patut direnungkan dengan objek dupa yang ada. c. Bunga Bunga adalah lambang ketidakkekalan (Anicca), bunga segar yang diletakkan di altar setelah beberapa waktu akan menjadi layu. Begitu pula dengan badan dan jasmani, suatu waktu pasti akan menjadi tua, lapuk dan akhirnya mati. Pada saat dipetik dan dipersembahkan di cetiya, bunga masih segar dan harumnya membuat altar kelihatan indah dan agung namun beberapa waktu kemudian akan layu dan hancur. Begitulah ketidak kekalan (anicca) akan dialami oleh setiap perpaduan dari unsur-unsur baik yang hidup ataupun yang mati. d. Air Air dalam agama Buddha melambangkan kerendahan hati, kesejukkan, kemurnian, dan kebersihan karena air mempunyai sifat-sifat sebagai berikut: 71 Dhammapada, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, tt), h. 29 • Air dapat membersihkan noda-noda. • Air dapat memberikan tenaga hidup kepada makhluk-makhluk. • Air dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan. • Air selalu mencari tempat yang rendah. • Air kelihatannya lemah, akan tetapi suatu saat akan menjadi tenaga yang sangat besar. Selain itu air juga melambangkan kesucian, oleh karena itu hendaknya manusia mampu berbuat seperti air. Sifat air yang dapat membersihkan kekotoran memberikan arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagaikan air manusia juga dapat membersihkan segala kekotoran batinnya dengan cara melaksanakan meditasi. Kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Dhammacakka Jaya ini meliputi kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan. 1. Kegiatan Keagamaan a. Kegiatan Rutin Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dalam jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh umat Buddha ialah pemeriksaan kesehatan, pemberkatan perkawinan, latihan meditasi, puja bhakti umum, puja bhakti remaja, puja bhakti sore, puja bhakti mahasathi, puja bhakti uposatha, puja bhakti lanjut usia. Kebaktian-kebaktian ini dilakukan dengan membaca paritta, meditasi, permohonan Pancasila, permohonan Atthasila (bila dihadiri oleh bhikkhu), mendengarkan dhamma. Rangkaian puja bakti ini biasanya dilakukan di seluruh vihara agama Buddha. b. Kegiatan Berkala Kegiatan berkala adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang pada waktu tertentu dan beraturan. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang adalah memperingati hari raya Tri Suci waisak, asadha, kathina, dan magha puja, donor darah, perayaan HUT SIMA Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. c. Kegiatan Khusus Kegiatan keagamaan yang dilakukan secara khusus, yaitu: Pabbajja dan Upasampada. Pabbaja artinya meninggalkan rumah memasuki kehidupan tak berumah tangga. Orang yang telah mengikuti Pabbajja dipanggil samanera (calon bhikkhu), sedangkan orang yang telah di Upasampada disebut bhikkhu. 1. Kegiatan Pendidikan Keagamaan a. Kelas Dhamma Untuk mengetahui ajaran Sang Buddha, umat tidak hanya mendengarkan dhammadesana yang diadakan satu kali dalam seminggu. Sisi lain untuk mengerti ajaran Sang Buddha adalah dengan cara mengikuti kelas dhamma. Pada kelas dhamma umat bisa menanyakan yang belum dimengerti. Ini sangat baik bagi pemula yang sedang belajar dhamma, karena mereka dapat menanyakan dhamma yang belum diketahui. Ada lima manfaat yang diperoleh seseorang yang sering mendengarkan dhamma, yaitu: 1. Assutim sunati : mendengarkan sesuatu yang belum pernah didengar, belajar mengetahui sesuatu yang belum pernah diketahui. 2. Sutam pariyodapeti : sesuatu yang pernah didengar, dilaksanakan dengan tekun untuk mendapatkan kenyataan. 3. Kankham vihanti : melenyapkan keraguan, segala sesuatu yang ragu dilenyapkan. 4. Ditthim ujum karoti : berpandangan yang benar. 5. Cittamassa pasidati : pikirannya bersih.72 Setelah menyadari manfaat belajar dhamma maka akan banyak orang yang semakin tertarik mengikuti kelas dhamma. b. Sekolah Minggu Buddha Dhamma perlu diajarkan kepada anak-anak. Pengenalan Buddha dhamma kepada anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dengan demikian maka pribadi anak akan terbentuk dengan baik karena dhamma merupakan landasan pembentukan pribadi yang baik. Sekolah minggu merupakan pendidikan pengenalan Buddha Dhamma kepada anak. Pada hari minggu vihara mengadakan sekolah minggu untuk anak-anak. Buddha Dhamma disampaikan kepada anak dalam bentuk cerita, nyanyian ataupun praktek langsung dalam hal tata cara kebaktian. c. Kesenian Kesenian merupakan curahan hati bagi seseorang yang berjiwa seni melalui lantunan sebuah lagu misalnya, seseorang dapat menuangkan buah pikirannya. Banyak umat Buddha yang berjiwa seni, mereka akan merasa lebih mudah menuangkan dhamma lewat karya seninya dari pada harus menuangkan dhamma dengan metode lainnya. 2. Kegiatan Sosial Keagamaan Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain. Setelah 72 Panjika (Pandit Jinaratna. Kaharuddin), Kamus Buddha Dhamma, (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1994), h. 71-72 dana tersebut terkumpul, maka disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat yang membutuhkan. Kegiatan sosial tersebut dapat dilaksanakan di vihara. Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah melaksanakan salah satu ajaran Sang Buddha. B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Dalam agama Buddha pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan itu berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kelompok umat Buddha tersebut menjalani kehidupannya. Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian, yaitu: 1. Gharavasa (perumahtangga), yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lainlain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka. 2. Pabbajita, yaitu orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga (keduniawian) dan menjalani hidup suci untuk mencapai nibbana. Pabbajita tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi seorang petapa dari umat perumah tangga (gharavasa) yang memiliki saddha (keyakinan) dan simpatik. Pabbajita ini terdiri dari bhikkhu (laki-laki), bhikkhuni (perempuan), samanera (laki-laki) dan samaneri (perempuan).73 a. Puasa Bagi Umat Awam Umat Buddha yang menjalani hidup berkeluarga di dalam masyarakat disebut Upasaka dan Upasika. Kata Upasaka berarti yang duduk dekat dengan guru. Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih. Di dalam kehidupan sehari-hari upasaka dan upasika, mereka melatih diri untuk 73 Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997), h. 23 melaksanakan Pancasila. Pada kitab Suci Dhammapada 246-247, Sang Buddha bersabda: “Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar, mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan istri orang lain, atau menyerah pada minuman yang memabukkan, maka di dunia ini orang seperti itu seakan menggali kubur bagi dirinya sendiri”.74 Perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu harus dihindarkan, bila seseorang ingin menjadi seorang manusia tidak hanya jasmaninya saja, tetapi juga batinnya. Ke lima dari Pancasila itu merupakan petunjuk tingkah laku moral dasar dan minimal yang harus dilaksanakan oleh seorang umat Buddha. Uraian Pancasila Buddha Dhamma adalah sebagai berikut: 1. Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. 2. Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak diberikan. 3. Aku bertekad melatih diri menghindarkan perbuatan tidak suci. 4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar (bohong). 5. Aku bertekad melatih diri menghindari minuman keras, barang madat yang menyebabkan lemahnya kesadaran.75 Selain menjalankan Pancasila tersebut, pada hari-hari Uposatha umat Buddha dianjurkan untuk melaksanakan Atthasila (delapan sila), biasanya dengan berdiam di vihara selama hari tersebut. Selama di vihara umat dapat mendengarkan khotbah Dhamma atau melatih diri untuk melaksanakan meditasi. 74 75 Jutanago, Kitab Suci Dhammapada (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994), h. 127 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 6-7 Di dalam Atthasila, sila pertama, kedua, keempat, dan ke lima sama dengan Pancasila, tetapi sila yang ketiga di ganti menjadi: 3. Aku bertekad melatih diri tidak melakukan hubungan kelamin. Dan ditambah tiga sila lainnya, yaitu: 6. Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari. 7. Aku bertekad melatih diri menghindari marian, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukkan, memakai atau berhias dengan bebungaan, wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan untuk mempercantik tubuh. 8. Aku bertekad melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).76 Menurut Bapak Supiyamano, di dalam Pancasila Buddhis, orang masih dapat menikmati nafsu indera yang tidak bertentangan dengan Pancasila, tetapi di dalam Atthangasila/Atthasila, seseorang sudah tidak boleh lagi memuaskan nafsu indera atau melakukan hubungan kelamin meskipun dengan istri atau suaminya sendiri, tidak makan lewat tengah hari dan tidak makan makanan dan cairan tertentu yang tidak diijinkan pada malam hari, tidak mempercantik diri dengan kosmetik dan perhiasan, serta tidak menggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah.77 Pada tiap-tiap hari Uposatha, umat Buddha yang berniat menjalankan peraturan (sila), akan mengucapkan kalimat demi kalimat yang ada di dalam Atthasila, dan berusaha untuk tidak melanggar apa yang telah diucapkannya.78 76 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 7 77 Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007 Anjali G.S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha, 78 tt), h. 25 Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha pada hari Uposatha tidak mesti sama, hal ini tergantung pada apa yang menjadi prioritas mereka, yaitu belajar teori atau praktek dhamma. Jika hendak belajar teori atau tentang pengetahuan dhamma, dalam sehari mereka dapat mendengarkan tiga atau empat khotbah dhamma yang diberikan oleh para bhikkhu. Mereka dapat meminjam dan mempelajari buku-buku dhamma, atau mungkin juga diadakan sebuah kelas dhamma. Mereka dengan leluasa dapat membagi waktu untuk belajar meditasi, diskusi dhamma dengan para bhikkhu dan sebagainya. Jika hendak memperdalam praktek dhamma, umat dapat melakukan meditasi di vihara, mengisi waktu dengan konsentrasi setiap saat, sambil duduk maupun berjalan dan sesekali membantu bhikkhu mengerjakan tugas sehari-hari. Demikianlah sepanjang hari dan malam itu (beberapa umat yang bersemangat hanya tidur sedikit), mencurahkan waktunya untuk memperdalam dan mempraktekkan dhamma. Pada hari Uposatha, biasanya mereka lebih banyak melakukan perbuatan baik dari pada hari-hari biasanya, antara lain membersihkan vihara dan berdana kepada orang yang membutuhkan bantuan, terutama kepada bhikkhu sangha. Mereka yang melaksanakan Atthangika Uposatha disebut Upasatham Upavasati dan upacara memasuki hari uposatha disebut Upasatham samadiyati.79 Umat Buddha yang akan menjalankan Uposathasila pada hari Uposatha, biasanya mereka pergi ke vihara pagi hari sekitar pukul 05.30 untuk permohonan sila (Uposathasila) kepada para bhikkhu, bersikap tenang, terkendali, tidak emosi, tidak berbicara hal-hal yang tidak berguna, memusatkan pikiran kepada Sang Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Di vihara bersama dengan umat yang 79 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40 lain, yang juga menjalankan Uposathasila memanjatkan paritta dan meminta tuntunan uposathasila kepada bhikkhu sangha dan mendengarkan khotbah dhamma.80 Berikut adalah permohonan tuntunan Uposathasila yang diucapkan oleh umat Buddha yang akan menjalankan Uposathasila: Mayam Bhante Tisaranena saha Atthangasamannagatam Uposatham yacama Dutiyampi mayam Bhante Tisaranena saha Atthangasamannagatam Uposatham yacama Tatiyampi mayam Bhante Tisaranena saha Atthangasamannagatam Uposatham yacama Artinya Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini. Untuk kedua kalinya Bhante, Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini. Untuk ketiga kalinya Bhante, Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini. • Kemudian bhikkhu mengucapkan Vandana Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammsambuddhassa, 3 kali Artinya: Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah Mencapai Penerangan Sempurna (3x). 80 Bhikkhu Vijano, Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1986), h. 38 • Umat mengikuti kalimat demi kalimat • Bhikkhu mengucapkan Evam Vadehi • Umat menjawab Ama Bhante • Bhikkhu mengucapkan Tisarana • Umat mengikuti kalimat demi kalimat Buddham saranam gacchami Dhammam saranam gacchami Sangham saranam gacchami Dutiyampi Buddham saranam gacchami Dutiyampi Dhammam saranam gacchami Dutiyampi Sangham saranam gacchami Tatiyampi Buddham saranam gacchami Tatiyampi Dhammam saranam gacchami Tatiyampi Sangham saranam gacchami Artinya : Aku berlindung kepada Buddha Aku berlindung kepada Dhamma Aku berlindung kepada Sangha Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Buddha Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Dhamma Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Sangha Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Buddha Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Dhamma Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Sangha • Bhikkhu mengucapkan Saranagamanam Nitthitam • Umat mengucapkan Atthasila • Umat mengikuti kalimat demi kalimat 1. Panatipada veramani sikkhapadam samadiyami 2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami 3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami 4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami 5. Sura-meraya-majja-pamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami 6. Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami 7. Naccagita-vadita-visukadassana malagandha-vilepana dharana- mandana vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami 8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami Artinya: 1. Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup. 2. Aku bertekad melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak diberikan. 3. Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci. 4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar. 5. Aku bertekad melatih diri menghindari segala minuman keras, barang madat yang menyebabkan lemahnya kesadaran. 6. Aku bertekad melatih diri menghindari makan-makanan setelah tengah hari. 7. Aku bertekad melatih diri menghidari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat pertunjukkan, memakai atau berhias dengan bebungaan, wewangian dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan mempercantik tubuh. 8. Aku bertekad melatih diri menghindari penggunakan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah). • Bhikkhu mengucapkan • Umat mengikuti kalimat demi kalimat Imani Atthangasamannagata Buddhapannattam Uposatham Imanca rattim imanca divasam Sammadeva abhirakkhitum samadiyami Artinya: Kami menyatakan (tekad) melakukan Uposatha, yang telah diajarkan Sang Buddha. Terdiri dari delapan bagian sila, harus dijaga dengan baik, bersih dan sempurna, jangan sampai terputus atau melanggar selama satu hari ssatu malam. • Bhikkhu mengucapkan Imani Atthasikkhapadani Ajjekam Rattindivam Uposathavasena Sadhukam Rakkhitabbani Artinya: Inilah delapan latihan moral yang dijaga selama satu hari satu malam dalam melakukan Uposatha. • Hadirin menjawab: Ama Bhante • Bhikkhu mengucapkan: Silena sugatim yanti Silena bhogasampada Silena nibbutim yanti Tasma silam visodhaye Artinya: Dengan menjalankan sila berakibat hidup bahagia. Dengan menjalankan sila berakibat memperoleh kekayaan materi dan batin. Dengan menjalankan sila berakibat tercapainya kebahagiaan abadi atau nibbana. Oleh sebab itu laksankanlah sila itu dengan baik dan sempurna. • Hadirin menjawab: Ama Bhante Sadhu Sadhu Sadhu.81 Di dalam Uposatha Sutta, Sang Buddha mengajarkan renungan terhadap mereka yang hendak melatih Atthasila sebagai berikut: “Dengan menjalankan delapan sila pada hari Uposatha, saya melepaskan cara-cara yang biasa dilakukan orang, dan hidup seperti arahat, penuh cinta kasih, suci dan bijaksana.82 Puasa yang dilaksanakan oleh umat awam di dalam agama Buddha adalah untuk melaksanakan sila, yaitu sila ke enam dari Atthasila. Di dalam sila keenam ini terdapat istilah vikala-bhojana, yang terbentuk dari dua kata, yaitu vikala dan bhojana. Kata vikala terdiri dari awalan vi yang berarti berbeda, berlawanan dan kebalikan; dan kata kala yang berarti waktu yang salah. Kata bhojana berarti makanan. Gabungan dari dua kosa kata tersebut, vikala-bhojana dapat disepadankan dengan memakan makanan pada waktu yang salah. Artinya, tidak memakan makanan dan minuman di luar batas waktu yang telah ditentukan. Batas waktu yang tidak tepat adalah dimulai dari tengah hari, pukul 12.00 siang sampai pada keesokan harinya, yaitu bila kita sudah dapat melihat warna 81 Tuntunan Latihan Upasika Atthasila, (Penerbit: Pendidikan Bhikkhu/Samanera, tt), h. 22-25 82 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 13 Sangha Theravada Indonesaia (Biro hijau dari daun-daun atau telah dapat melihat garis-garis pada telapak tangan sendiri, baru boleh makan makanan.83 Dengan demikian, batas waktu makan yang diberikan adalah antara pukul 06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Meskipun demikian, hal ini tidak berarti selama jangka waktu tersebut lalu makan sesering mungkin. Bukan demikian, tetapi berusaha untuk menggunakan sesedikit mungkin. Bahkan kadang-kadang digunakan hanya dua kali saja, yaitu pukul 07.00 pagi dan pukul 11.00 siang.84 Menurut Bapak Supiyamano, sila ke enam ini sebenarnya meniru latihan yang dilakukan oleh para bhikkhu, tujuannya adalah untuk menghindari kemalasan yang dialami setelah bekerja seharian dan sehabis makan siang. Dengan menjalankan sila ini, badan menjadi lebih ringan dan siap digunakan untuk berlatih meditasi. Tetapi beberapa hal diperlukan di sini, yaitu makanan dan minuman yang diperbolehkan dimakan atau diminum setelah lewat tengah hari adalah minum obat, yaitu mereka yang bekerja, jika dirasa terlalu lelah setelah bekerja seharian penuh, maka teh atau kopi boleh diminum untuk membuat tubuh segar. Jika merasakan lapar maka coklat murni yang diseduh / dibuat minum, gula, madu, mentega dan sirup buah boleh digunakan. Bila masuk angin boleh minum jahe atau memakan jahe muda. Bila sembelit, dapat memakan buah asam. Sebaliknya yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti: nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan makanan.85 83 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 48 84 Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma, (Blitar: Vihara Samanggi Jaya, 1994), h. 85 Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007 48 b. Puasa Bagi Umat Viharawan Di dalam melaksanakan aturan pelatihan bagi umat viharawan, dilihat dari waktu pelaksanaannya, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu: 1. Puasa bagi para bhikkhu dan samanera (calon bhikkhu) adalah dilaksanakan setiap hari sesuai dengan tanggung jawab mereka di dalam Patimokkha.86 2. Pada hari Uposatha, selain berpuasa para bhikkhu juga berkumpul untuk mendengarkan 227 sila dari Patimokkha yang dibacakan oleh salah seorang bhikkhu.87 3. Pada masa musim hujan, para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat, dan meskipun masih melakukan tugas sehari-hari, mereka tidak boleh meninggalkan vihara sampai larut malam. Dalam kondisi lingkungan tertentu mereka diperbolehkan absen dari vihara atau tempat dimana mereka tinggal, paling lama tujuh hari.88 Perhimpunan para bhikkhu disebut Sangha. Kata Sangha tidaklah sematamata menunjukkan suatu kelompok bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu fungsi atau tugas. Jumlah bhikkhu yang membentuk sebuah Sangha ditentukan oleh fungsinya. Kebanyakan fungsi memerlukan Sangha dengan empat bhikkhu yang disebut catuvagga, tetapi beberapa fungsi lainnya memerlukan Sangha dengan lima, sepuluh, atau dua puluh bhikkhu (pancavagga, dasavagga, visativagga). Sangha dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: 86 Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung (Penerbit Karaniya-Yayasan Karaniya, tt), h. 2 87 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 61 88 Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 77 1. Samutti Sangha, yaitu perkumpulan para bhikkhu yang belum mencapai tingkat kesucian. 2. Ariya Sangha, yaitu perkumpulan para bhikkhu dan upasaka-upasika yang telah mencapai tingkat kesucian. Ariya Sangha inilah yang termasuk dalam tiga perlindungan (Tisarana): Buddha, Dhamma, dan Sangha.89 Dari sini maka pelaksanaan puasa bagi masyarakat viharawan dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu: 1. Puasa Bagi Samanera Sebelum menjadi bhikkhu, seorang umat Buddha harus ditahbiskan terlebih dahulu menjadi samanera dengan upacara Pabbaja. Kata samanera berasal dari kata samana (pertapa) dan nera (putera atau kecil). Seorang samanera harus mengikuti bimbingan yang diberikan oleh acariya (guru pembimbing) dan upajjahaya (guru penahbis) yang bertanggung jawab atas latihannya dalam dhamma dan vinaya, sebagai persiapan upasampada (upacara penerimaan anggota sangha). Seorang samanera harus melatih diri untuk melaksanakan dasasila (sepuluh peraturan latihan) dan 75 sila sekhiya (bagian dari Patimokkha). Setelah samanera diberi upasampada, ia diterima ke dalam sangha sebagai seorang bhikkhu yang belum berpengalaman.90 Seorang samanera tidak sepenuhnya melaksanakan Cattaro Silakkhanda (empat kelompok sila: Patimokkha samvara sila, indriya samvara sila, 89 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13 90 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13-14 ajivaparisuddhisila dan paccayasannissita sila). Bagi samanera mereka tidak melaksanakan Patimokkha sila yang terdiri dari 227 sila, tetapi mereka melaksanakan 10 sikkhapada (sepuluh peraturan latihan) dan 75 sekhiya dhamma (bagian penting dari Patimokkha). Di samping itu juga samanera melaksanakan Nasananga (sepuluh kesalahan yang mengakibatkan pengusiran) dan dandakamma (lima kesalahan yang mengakibatkan denda kerja).91 Puasa bagi samanera ini adalah dilaksanakan setiap hari, karena sudah menjadi kewajiban mereka untuk memperhatikan dasasila sebagai standar sila mereka dalam kehidupan sehari-hari. Waktu yang tepat bagi para samanera untuk makan adalah dimulai pada saat pagi hari ketika cahaya sudah cukup terang untuk melihat garis pada telapak tangan dan berakhir pada tengah hari. Dalam jangka waktu tersebut mereka dapat makan sekali atau dua kali. Bila hanya makan sekali, maka jumlah yang dimakan harus cukup untuk 24 jam, sedangkan bila makan dua kali, maka makan yang kedua dilakukan pada sekitar jam 11.00 agar selesai makan pada waktu tengah hari.92 Pelanggaran peraturan pelatihan (tidak makan pada waktu yang salah) ini telah terjadi bilamana terdapat empat faktor, yaitu: • Waktu di luar batas yang telah ditentukan. • Makanan atau minuman yang tidak diperbolehkan. • Usaha untuk memakan atau meminum. • Memakannya atau meminumnya.93 Sepuluh Nasananga atau peraturan pengusiran adalah kesalahan-kesalahan berat yang memerlukan pembaharuan terhadap seluruh peraturan, sekalipun hanya 91 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 141 92 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 93 Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 48 satu dari sepuluh peraturan itu yang dilanggar, sedangkan dandakamma atau denda kerja adalah kesalahan-kesalahan lebih ringan yang mengharuskan samanera menjalankan bentuk denda kerja, seperti menyapu lingkungan vihara atau membersihkan tempat-tempat sampah dan semacamnya.94 Adapun sila-sila yang dilaksanakan oleh para samanera (dasasila) adalah untuk sila yang pertama sampai sila yang keenam sama dengan sila-sila dalam Atthasila, untuk sila yang ketujuh dalam Atthasila dibagi menjadi dua bagian, yaitu menjadi sila ketujuh dan ke delapan, sila ke delapan dalam Atthasila menjadi sila ke sembilan dalam Dasasila, dan ditambah sila yang ke sepuluh. Sehingga sila ke tujuh sampai dengan ke sepuluh adalah sebagai berikut: • Sila ke-7: Naccagita-vadita-visuka dassana veramani sikkhapadam samadiyami, artinya menahan dari dari menari, menyanyi, bermain musik, dan pergi melihat tontonan. • Sila ke-8: Malagandha-vilepana-dharana-mandana-vibhusanat-thana veraman sikkhapadam samadiyami, artinya menahan diri dari memakai bunga, wangi-wangian, dan kosmetik dengan tujuan menghias dan mempercantik atau memperindah diri. • Sila ke 9: Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami, artinya menahan diri dari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang tinggi dan mewah. • Sila ke 10: Jatarupa-rajata-patiggahana veramani sikkhapadam samadiyami, artinya menahan diri dari menerima emas dan perak. Dari sepuluh peraturan latihan (dasasila) tersebut dilaksanakan oleh samanera dalam kehidupannya sehari-hari. 94 34 Bhikkhu Khemio (Pent.), Samanera Sikkha (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, 1980), h. 2. Puasa Bagi Para Bhikkhu Bhikkhu adalah umat Buddha yang melepaskan diri dari kehidupan duniawi untuk berjuang dengan sungguh-sungguh agar dapat mengakhiri penderitaan atau mencapai nibbana. Kata bhikkhu sering diterjemahkan sebagai “pengemis” atau “peminta sedekah”. Namun terjemahan itu tidaklah mencerminkan pengertian yang sesungguhnya, karena di dalam hubungan tersebut seorang bhikkhu tidaklah meminta, melainkan “menerima” apa yang dipersembahkan kepadanya.95 Menurut bhante Jayaratano puasa bagi para bhikkhu adalah dilaksanakan setiap hari, karena mereka harus menjalankan Patimokhasila, yang menjadi standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan makanan yang mereka makan adalah hasil dari pindapatta. Pindapatta adalah makanan yang diterima oleh para bhikkhu dari umat awam yang dipersembahkan ke dalam mangkuk (patta). Bhikkhu juga dapat menerima makanan melalui persembahan umat kepada vihara atau tempat dimana bhikkhu tinggal atau melalui undangan umat kepada bhikkhu untuk makan di rumah umat.96 Pada hari Uposatha, selain berpuasa para bhikkhu juga mempunyai kewajiban untuk melakukan pengakuan atas kesalahan yang pernah dilakukan. Pengakuan yang dilakukan tersebut tidak akan menyebabkan mendapat ampunan atau pembebasan kesalahan atau perbuatan buruk yang telah dilakukan namun akan mengetahui, mengingat dan menyadari atas perbuatan yang dilakukannya 95 Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13 96 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 sehingga muncul suatu usaha atau tekad untuk tidak mengulangi perbuatan tersebut dan tidak akan terulang lagi untuk selanjutnya.97 Di dalam vinaya, selain ringkasan aturan moral yang disebut dengan Patimokkha, tidak ada ajaran lain yang harus dibacakan pada hari Uposatha. Patimokkha ini mengajarkan suatu bentuk metode latihan diri untuk perkumpulan para bhikkhu. Mereka berkumpul bersama pada suatu tempat tertentu pada hari Uposatha dan jumlah minimal bhikkhu yang hadir pada tempat tersebut adalah empat orang bhikkhu dan setiap bhikkhu tidak boleh menghadiri pembacaan Patimokkha atas kuasa orang lain atau diwakilkan. Apabila jumlah bhikkhu yang ada pada suatu tempat pada hari Uposatha itu kurang dari empat, maka pelaksanaan pengakuan atas kesalahan atau pelanggaran terhadap peraturan Patimokkha adalah sebagai berikut: a. Parisudhi Uposatha untuk tiga orang bhikkhu. Apabila pada hari Uposatha, pada suatu tempat kediaman hanya ada tiga orang bhikkhu, mereka tetap harus melaksanakan Uposatha dengan mengumumkan “kemurnian” mereka. Hal ini dikenal sebagai Parisudhi Uposatha. Pertama-tama mereka harus mempersiapkan tugas yang akan dilaksanakan dan disempurnakan, termasuk di dalamnya adalah pengakuan atas pelanggaran. di antara 7 tingkat kesucian, yaitu: kesucian sila, kesucian manas, kesucian pandangan, kesucian dalam melenyapkan keragu-raguan, kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari kemajuan dan kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari jalan suci. Ketiga bhikkhu tersebut berkumpul bersama dengan membuat jarak satu hasta antara satu dengan yang lainnya. 97 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 b. Parisudhi Uposatha untuk dua orang bhikkhu. Apabila pada hari Uposatha di dalam suatu tempat hanya terdapat dua orang bhikkhu maka mereka tetap melaksanakan Parisudhi Uposatha hanya saja dalam masalah ini tidak ada pengumuman yang formal. Yang utama dilaksanakan adalah kesiapan pengakuan atas pelanggaran yang pernah dilakukan dan dimulai dari bhikkhu yang lebih tua. c. Adhitthana Uposatha untuk satu orang bhikkhu. Apabila pada hari Uposatha di dalam suatu tempat hanya terdapat satu orang bhikkhu, maka bhikkhu tersebut tetap wajib untuk menjaga Uposatha dengan jalan ketetapan hati. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah melaksanakan persiapan dengan membersihkan ruangan Uposatha atau tempat dimana biasanya Uposatha dilaksanakan, menyediakan air minum, menyiapkan satu tempat duduk yang tertuju pada lampu. Jika kewajiban ini telah sempurna sementara tidak ada bhikkhu lain yang datang, maka bhikkhu tersebut harus duduk dan membuat penyataan sebagai berikut: ”Ajja me Uposatho” (hari ini adalah hari Uposatha untuk saya).98 Demikian juga, pada musim hujan (vassa) di samping para bhikkhu harus menjalankan puasa mereka juga mempunyai kewajiban untuk berdiam di suatu tempat dan mentaati peraturan-peraturan yang berlangsung selama 90 hari dan dimulai sehari sesudah Purnama sidhi di bulan Asalhamasa (bulan kedelapan pada peninggalan bulan) dan berakhir pada Purnama sidhi bulan ke sebelas (assajujamasa). Dalam tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka dengan sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah Purnama sidhi di bulan 98 Phra Sasana Sobhana, The Patimokha 227 Fundamental Rules of A Bhikkhu, Ven Nanamoli Thera, transl. (Bangkok: Mahakutarajavidyalaya, 1969), h. 153-154 Asalha yang kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadhakala Purnama sidhi adalah patokan untuk memulai masa vassa.99 Menurut bhante Jayaratano sebelum memasuki hari Asadha, para bhikkhu sudah memilih dan berikrar untuk menjalankan masa vassa di vihara tertentu selama tiga bulan untuk memperdalam latihan samadhi dan memperbanyak pembabaran dhamma kepada para umat, di samping mempererat, saling pengertian, saling menghormati di antara anggota Sangha. Hal ini merupakan sesuatu yang penting bagi kemajuan dan pemeliharaan ajaran Sang Buddha.100 Selama masa vassa para bhikkhu latihan samana dhamma (dhamma yang membuat damai dan tenang seperti meditasi vipassana) dan para bhikkhu dapat membuat peraturan tertentu bagi diri mereka sendiri. Tetapi para bhikkhu dilarang membuat peraturan yang tidak sesuai dengan dhamma. Misalnya larangan berbicara atau mendengar dhamma vinaya, membaca dhamma, memberi dhammadesana, menahbiskan bhikkhu (upasampada) dan melaksanakan latihan dhutanga (latihan keras) untuk mengembangkan samana dhamma. Aturan-aturan tersebut tidak diperbolehkan dan para bhikkhu harus saling menasehati satu sama lain, rajin berbicara dhamma vinaya dan belajar tentang dhamma dan vinaya, menjalankan tugas-tugas keagamaan dan mengembangkan samana dhamma menurut kekuatan dan kemampuan masing-masing bhikkhu. Selain itu ada aturan-aturan lain yang harus dijalankan oleh para bhikkhu selama menjalankan vassa. Yaitu tidak meninggalkan tempat selama lebih dari tujuh hari yang disebut sattaha karaniya (tujuh hari untuk apa yang harus dikerjakan) atau sattaha pendek. Jika tidak maka masa vassa itu tidak berlaku lagi. Beberapa hal yang menyebabkan seorang bhikkhu dapat pergi adalah: 99 Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 21 100 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 1. Jika teman dhamma (bhikkhu dan samanera), atau ibu dan ayah sakit, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk merawatnya. 2. Jika teman dhamma ingin melepaskan jubah (karena nafsu keinginan duniawi), maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk memadamkan keinginan tersebut. 3. Jika terdapat beberapa tugas dari Sangha yang harus dikerjakan, seperti kerusakan vihara, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mencari bahan guna perbaikan. 4. Jika donatur ingin meningkatkan kebajikan mereka (kusala) dan mengundang bhikkhu, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mendukung keinginan mereka.101 Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan vassa selama tiga bulan penuh, Sang Buddha mengijinkan untuk melaksanakan Pavarana (upacara pengakhiran vassa) sebagai ganti Uposatha pada saat Purnama di bulan Khatika (bulan ke dua belas kalender lunar). Pavarana biasanya dilakukan pada tanggal 15, namun apabila Sangha tidak melakukan pavarana pada hari itu, upacara tersebut dapat ditunda dalam jangka waktu dua minggu atau satu bulan atau pada hari yang lainnya. Jumlah bhikkhu yang menghadiri pertemuan sekurangkurangnya lima bhikkhu. Pavarana merupakan kesempatan bagi para bhikkhu untuk saling mengingatkan satu sama lain.102 C. Makna Puasa (Uposatha) Bagi Umat Buddha Hari Uposatha merupakan hari yang sangat penting bagi umat Buddha, baik yang berstatus sebagai viharawan maupun umat awam, baik bagi mereka 101 Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya, h. 29-30 102 Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya, h. 30 yang telah mengenal dhamma maupun yang hanya mengenal agama Buddha secara tradisional. Hari inilah yang tepat untuk berkumpul, mengulangi kembali ajaran Sang Buddha, membaca paritta, mendengarkan dhammadesana, melakukan diskusi dhamma, menjalankan sila, berbuat baik, bermeditasi, dan melakukan praktik dhamma yang lainnya. Hari Uposatha (puasa) mengajarkan kepada umat Buddha agar menjadi manusia haruslah bermanfaat bagi orang lain. Umat juga diajarkan untuk berbuat banyak kebajikan, sebab menurut ajaran Buddha perbuatan baik atau kebajikan akan membawa kebahagiaan bagi pelakunya baik di dunia maupun setelahnya. Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan, tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral dan psikologi yang mendalam.103 Menurut bhante Jayaratno puasa dalam agama Buddha ialah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani. Ini semata-mata untuk menjalankan ajaran Sang Buddha. Khususnya untuk kesucian diri sendiri agar terhindar dari pikiran dan perbuatan yang tidak baik, membuang sifat sombong, dan memancarkan memancarkan cinta kasih pada sesama.104 Puasa adalah metode pelatihan untuk pengendalian diri. Puasa tidak hanya berfungsi menahan dan mengendalikan hawa nafsu, tetapi juga pengendalian pikiran dan hati agar tetap berada pada garis orbit yang telah digariskan dalam prinsip berpikir berdasarkan dhamma dan vinaya. Puasa tidak sama dengan orang kelaparan . Orang kelaparan terpaksa tidak makan dan minum karena tidak ada yang bisa dimakan atau diminum, sedangkan 103 K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha Education Foundational, 1993), h. 214 104 Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 mereka yang berpuasa secara sadar meninggalkan makan-minum, berhubungan seksual, tidak berbohong dan lain-lain sebagai bentuk pengendalian diri dalam melaksanakan sila yang ada dalam dhamma dan vinaya. Hanya orang yang kuat yang bisa mengendalikan dirinya. Oleh karena itu puasa bukanlah aktivitas fisik, melainkan aktifitas spiritual, karena yang bekerja jiwanya. Jadi kualitas puasa juga diukur secacra spiritual bukan materialnya. Sang Buddha berkali-kali menekankan bahwa pikiran merupakan awal dari segalanya, pikiran mendahului ucapan dan perbautan. Ini dapat dilihat dalam kitab Dhammapada ayat 2 yang berbunyi, “segala keadaan adalah hasil dari apa yang kita pikirkan, berdasarkan atas pikiran kita dan dibentuk oleh pikiran kita. Bila seseorang berbicara mengikutinya, sepertinya baying-bayang yang tidak pernah meninggalkan dirinya”. Pikiran yang terkendali akan mudah diarahkan dan membawa kebahagiaan. Ucapan dan perbautan lebih mudah diikuti dan dikendalikan. Karenanya mengendalikan ucapan dan perbuatan harus menjadi langkah pertama dan langkah yang sebaik-baiknya untuk mengendalikan pikiran. Bagi orang yang ucapan dan perbautannya terkendali, pikiran-pikiran jahat tidak akan mendapat kesempatan untuk dilakukan dan akhirnya padam. Hakikat puasa adalah menumbuhkan kecerdasan emosi dan spiritual manusia. Parameter bagi seseorang untuk mengetahui bahwa puasa yang dijlani dalam melaksanakan sila ini adalah akhlak mulia. Dengan berpuasa maka akan menambah keyakinan dan keimanan seseorang untuk semakin giat beribadah. Puasa membentengi pelakunya dari perbuatan buruk, kecerobohan, perbuatan keji, disamping meminimalkan rasa ketertarikan terhadap kesenangan dan keglamoran duniawi. D. Analisis Berdasarkan penjelasan tentang Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha ada beberapa hal yang perlu penulis tulis, yaitu: Puasa di dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang baru, tetapi merupakan masalah yang sudah dikenal banyak orang. Bahkan puasa sudah ada sejak jaman dahulu kala dan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh banyak orang. Biasanya puasa ini sering dilaksanakan sebagai tanda atau simbol adanya ketergantungan terhadap sesuatu yang lebih tinggi, suatu perjalanan ke arah kematangan spiritual yang bersifat transenden. Oleh karena itu di dalam beberapa kelompok agama, puasa secara berangsur-angsur menjadi standar untuk menunjukkan ketaatan dan pengabdian kepada Tuhan. Namun demikian, puasa di dalam agama Buddha adalah untuk menjadikan sila yang merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan pada kehidupan yang bebas dari kelahiran, kematian dan penderitaan (tumimbal lahir) dan juga untuk mencapai tujuan akhir yaitu Nibbana. Hal ini karena puasa dalam agama Buddha, Tuhan bukanlah yang menjadi central atau tujuan tetapi ingin membebaskan manusia dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin). Mungkin bagi mereka, Tuhan bukanlah ajaran utama dalam agama Buddha. Sementara puasa di dalam agama lain, contohnya puasa di dalam agama Islam adalah berdasarkan perintah Allah yang ada dalam al-Qu’ran. Dan dalam pelaksanaannya puasa dalam agama Buddha dilakukan mulai dari pukul 12.00 siang sampai pukul 06.00 pagi sedangkan puasa dalam Islam dilakukan dari mulai terbit fajar sampai terbenam matahari Banyak orang yang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini hanyalah formalitas keagamaan saja. Namun anggapan tersebut tidak benar, karena puasa di dalam agama Buddha bukan berarti perlombaan untuk tidak makan dengan prinsip siapa yang kuat dialah yang sukses. Puasa di dalam agama Buddha adalah untuk melaksanakan sila dan ditunjukkan untuk meningkatkan kualitas mental dan untuk mengurangi nafsu keserakahan (lobha). Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan adanya sila sebagai dasar utama dalam pengamalan ajaran agama Buddha, sehingga sudah selayaknya bagi umat Buddha untuk mempelajari dan mengamalkan dhamma ajaran Sang Buddha agar dapat meraih kesejahteraan lahir dan batin dalam kehidupan sekarang ini maupun kehidupan yang akan datang. Demikian juga pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha adalah merupakan wujud nyata dari kesaksian umat Buddha kepada Sang Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Kesaksian yang dimaksud adalah suatu bentuk kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran Buddha Dhamma (ajaran Sang Buddha), akan kebenaran hukum-hukum kesunyataan, yaitu dengan menjalankan dasar-dasar ajaran Cattari Ariya Saccani atau empat kesunyataan mulia tentang dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan dukkha. Dari hasil penelitian di lapangan, pelaksanaan puasa pada masa Vassa (musim hujan) di India dan di Indonesia tidak sama karena berbeda iklim jika di India umat Buddha melaksanakan masa Vassa setiap musim penghujan maka berbeda dengan pelaksanaan masa Vassa di Indonesia. Di Indonesia umat Buddha tidak melakukan Vassa pada musim hujan ini hanya sekedar mengikuti tradisi dari Sang Buddha tetapi dalam hal penetapan waktu Vassa, umat Buddha Theravada di Indonesia mengikuti penetapan Vassa berdasarkan atas penetapan penanggalan lunar dari Myanmar sedangkan umat Buddha Mahayana mengikuti penetapan penanggalan lunar dari Tiongkok. Sistem penanggalan bulan (lunar) lebih pendek sekitar 11 hari dibandingkan sistem penanggalan matahari (solar). Satu tahun penanggalan bulan = 354 hari; satu tahun penanggalan matahari = 365 hari (atau 366 hari setiap empat tahun sekali). Jadi setiap tahun, Tahun Baru lunar selalu maju sekitar 11 hari. Ini terjadi pada penanggalan Arab dan penanggalan Jawa. Coba lihat, bulan Puasa dan Idul Fitri, dan musim Haji terus bergeser maju, 11 hari setiap tahunnya. Yang menjadi masalah bagi masyarakat agraris ialah kapan musim hujan tiba, kapan harus bercocok tanam dan sebagainya., karena musim (yang bergantung pada penanggalan matahari = peredaan bumi mengelilingi matahari) menurut penanggalan bulan selalu bergeser terus. Di negara subtropis, masalahnya lebih rumit lagi: kapan mulai musim semi, musim panas, musim gugur dan musim dingin. Apakah harus bergeser mundur 11 hari setiap tahun penanggalan bulan? Untuk menjaga agar musim-musim itu jatuh kira-kira pada bulan-bulan yang sama, maka pada penanggalan bulan itu setiap 2-3 tahun sekali (3 x 11 hari = 33 hari) harus ditambahkan satu bulan tambahan (Lun). Ini bisa dilihat pada Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya. Selalu maju 11 hari setiap tahun, tapi setiap 2-3 tahun sekali selalu mundur kembali 1 bulan. Jadi Cap Go Meh selalu jatuh di bulan Februari-Maret, bertepatan dengan musim hujan lebat di Indonesia. Begitu pula hari Waisak, selalu maju 11 hari setiap tahun, tetapi selalu mundur kembali 1 bulan setiap 2-3 tahun sekali, sehingga hari masa Vassa tidak pernah keluar dari bulan Juni-Oktober.. Masalahnya, siapa yang menetapkan penambahan 1 bulan tambahan setiap 2-3 tahun sekali itu? Dalam masyarakat Buddhis tidak ada seperti Vatikan, yang memegang otoritas internasional tentang penanggalan keagamaan. Oleh karena itu Sangha-Sangha di negara-negara Buddhis, yang masing-masing mempunyai tradisi penghitungan tanggal turun-temurun, bisa saja kadang-kadang berbeda dalam menentukan kapan bulan ketigabelas itu ditambahkan. Beberapa orang mungkin berpikir bahwa aturan-aturan yang dilakukan pada hari Uposatha akan sukar dijalankan ditengah-tengah masyarakat yang modern dan yang lain mungkin akan mengacuhkannya begitu saja. Tetapi bagi umat Buddha yang arif, sebelum menjatuhkan penilaian, hal tersebut perlu dicoba karena usaha yang sungguh-sungguh untuk mempraktekkan Dhamma ajaran Sang Buddha tidak akan pernah menghasilkan kekecewaan. BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Dari hasil pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya menganai “Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha” maka dapat disimpulkan bahwa makna puasa dalam agama Buddha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani ke arah yang lebih baik. Menjadikan manusia agar manjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain dengan menjalankan Atthasila untuk umat awam, Patimokkhasila untuk para bhikkhu, dan Dasasila untuk samanera yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. Atthasila, Patimokkhasila dan Dasasila adalah sudah merangkum dari segala aspek kehidupan dalam masyarakat. Puasa di dalam agama Buddha dibedakan menjadi dua macam, yaitu puasa bagi umat awam dan bagi umat viharawan. Bagi umat awam puasa hanya dilaksanakan pada tiap hari Uposatha, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan setiap hari, karena bagi para samanera harus menjalankan Dasasila dan para bhikkhu harus menjalankan Patimokkhasila setiap hari. Dalam pelaksanaan puasa (Uposatha) di dalam Agama Buddha mulai dari pukul 12.00 siang sampai dengan pukul 06.00 pagi. Dan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yaitu diawali pada pukul 04.00 pagi dengan pembacaan 227 Patimokkhasila untuk para bhikkhu, pembacaan Dasasila untuk samanera kemudian pada pukul 05.30 pagi dilanjutkan dengan permohonan sila Atthasila untuk umat awam (upasaka dan upasika). Setelah permohonan sila maka umat biasanya tidak pulang ke rumah tetapi umat menetap di vihara selama satu hari atau biasa disebut uposathavasamvasati. Pada hari Uposatha kegiatan yang dilakukan oleh para bhikkhu, samanera (calon bhikkhu) dan umat awam laki-laki dan perempuan (upasaka dan upasika) adalah sama yaitu belajar dhamma melalui buku-buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan sila, berlatih meditasi dan biasanya umat juga membantu para bhikkhu mengerjakan pekerjaan seharihari seperti menyapu lingkungan vihara, membersihkan dhammasala, uposathagara dan kuti. Kemudian selama pukul 06.00 pagi sampai sebelum pukul 12.00 siang umat masih diperbolehkan untuk makan tetapi untuk para bhikkhu dan samanera mereka hanya di perbolehkan makan 1 kali atau 2 kali jika makannya 2 kali yaitu pukul 06.00 pagi dan 11.00 siang tetapi jika hanya makan 1 kali yaitu pukul 11.00 siang maka makanan yang dimakan harus kuat selama 24 jam. Kemudian malam harinya pada pukul 19.00 - 21.00 diadakan puja bhakti Uposatha. Perbedaan puasa (uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang notabennya adalah dari sekte Theravada dan puasa (uposatha) di vihara-vihara dari sekte Mahayana adalah jika dalam Theravada membimbing para umatnya untunk menjadi Arahat yaitu untuk keselamatan pribadi sedangkan dalam sekte Mahayana membimbing umatnya untuk menjadi Bodhisattva. Dalam sekte Mahayana umat awampun tergolong Bodhisattva maksudnya adalah setiap manusia mempunyai kesempatan untuk menjadi Bodhisattva asalkan ia mengikuti ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar. Dan juga dalam pelaksanaan silanya sekte Mahayana selain melaksanakan 227 Patimokkhasila mereka juga melaksanakan Bodhisattvasila. B. Saran-saran Setelah penulis mengadakan penelitian kemudian dituangkan dalam bentuk skripsi, maka ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan: 1. Bagi segenap umat Buddha khususnya, hendaknya pengetahuan ini dapat dijadikan suatu media untuk meningkatkan keyakinan terhadap Buddha Dhamma (ajaran Buddha) dan dapat melaksanakan puasa sesuai dengan apa yang telah diajarkan oleh Buddha sehingga tidak akan melaksanakan puasa secara asal-asalan atau ikut-ikut saja. 2. Sebagai umat beragama harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi dan terbuka, agar terjalinnya kerja sama dan sikap saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama. 3. Untuk penelitian atau mempelajari agama lain hendaklah dijadikan sebagai pemersatu bukan pemecah umat satu dengan umat lainnya. DAFTAR PUSTAKA Anjali G.S. Tuntunan Uposatha dan Atthasila, Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tanpa penulis. Anomius. Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara. Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980. Bhikkhu Kemio. Samanera Sikkha-Latihan Samanera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997. Bhikkhu Kantipalo. Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati. Jakarta: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991. Bhikkhu Subalaratano. Tanya Jawab Agama Buddha. Tanpa penerbit dan tanpa penulis. _________Pengantar Vinaya. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988. Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tanpa tahun. Bhikkhu Uttamo. Hidup Sesuai Dengan Dhamma. Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994 Bhikkhu Vijano (Ven). Dhamma Sekolah Minggu Buddhis. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996. Coerneles Wowor. Pelajaran Agama Buddha Untuk SMA kelas 1. Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003. Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi SI Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta, 1997. Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisa Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Herman S. Endro. Hari Raya Umat Buddha dan Kelender Buddhis 1996-2026. Jakarta: PT. Pola Bangun Lestari, 1997. Jutanango, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994. K. Sri Dhammananda. What Buddhist Believe. Taiwan The Corporate Body of The Buddha Education Fuondational, 1993. Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa, tanpa tahun. Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003. Matara Sri. Nanarama Mahathera. Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung. Penerbit: Karaniya: Yayasan Karaniya, tanpa tahun. Nyanataloka. Buddhist Dictionary. Frewin: Co.tto, 1972. Pandit J. Kaharuddin. Hidup dan Kehidupan. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991. Pandit Dhammavisarada. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997. Santina Petter Della. Konsep Dasar Buddhis. Bandung: Pemuda Vimala Dhamma, 1993. Supomo. Dasar-dasar Uposatha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993. Suwarno T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999 Sangha Theravada Indoenesia – Biro Pendidikan Bhikkhu dan Samenera. Tuntunan Latihan Upasaka Atthasila. tp.tt. Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1983 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1982 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pengukuhan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1985. Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007 DAFTAR PUSTAKA Anjali G.S. Tuntunan Uposatha dan Atthasila, Lembaran Khusus Agama Buddha Informasi, tanpa penulis. Anomius. Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara. Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980. Bhikkhu Kemio. Samanera Sikkha-Latihan Samanera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1997. Bhikkhu Kantipalo. Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati. Jakarta: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991. Bhikkhu Subalaratano. Tanya Jawab Agama Buddha. Tanpa penerbit dan tanpa penulis. _________Pengantar Vinaya. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988. Bhikkhu Subalaratano dan Samnera Uttamo, Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, tanpa tahun. Bhikkhu Uttamo. Hidup Sesuai Dengan Dhamma. Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994 Bhikkhu Vijano (Ven). Dhamma Sekolah Minggu Buddhis. Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1996. Coerneles Wowor. Pelajaran Agama Buddha Untuk SMA kelas 1. Jakarta: CV. Felita Nursatama Lestari, 2003. Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi SI Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda Jakarta, 1997. Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisa Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007. Herman S. Endro. Hari Raya Umat Buddha dan Kelender Buddhis 1996-2026. Jakarta: PT. Pola Bangun Lestari, 1997. Jutanango, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994. K. Sri Dhammananda. What Buddhist Believe. Taiwan The Corporate Body of The Buddha Education Fuondational, 1993. Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka , Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka. Klaten: Vihara Bodhivamsa, tanpa tahun. Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003. Matara Sri. Nanarama Mahathera . Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung. Penerbit: Karaniya: Yayasan Karaniya, tanpa tahun. Nyanataloka. Buddhist Dictionary. Frewin: Co.tto, 1972. Pandit J. Kaharuddin. Hidup dan Kehidupan. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991. Pandit Dhammavisarada. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997. Santina Petter Della. Konsep Dasar Buddhis. Bandung: Pemuda Vimala Dhamma, 1993. Supomo. Dasar-dasar Uposatha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993. Suwarno T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999 Sangha Theravada Indoenesia – Biro Pendidikan Bhikkhu dan Samenera. Tuntunan Latihan Upasaka Atthasila. tp.tt. Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1983 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Peletakkan Batu Pertama Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1982 Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pengukuhan Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1985. Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007 Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007 Vihara Jakarta Lampiran I 1. Pengertian Uposatha menurut bhante? Uposatha banyak pengertiannya. Uposatha atau puasa di dalam Agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil makanan dan minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah Upovasa. Akan tetapi dalam pengertian sehari-hari mereka lebih suka menyebutnya dengan istilah Uposatha. Kalau sebelum jaman Sang Buddha membabarkan dhamma hari Uposatha sudah dikenal oleh masyarakat India waktu jamannya masih sederhana atau masih primitive itu di terjemahkan sebagai hari suci dimana ketika bulan purnama dan bulan mati kemudian diantara tengah-tengah bulan itu seperti tanggal 1, 8, 15 dan 23 dianggap hari suci dimana mereka semua libur pekerjaannya, libur menjalankan minimal delapan sila. delapan sila sudah dikenal sebelum ajaran Buddha, termasuk lima sila juga sudah dikenal tapi bagi mereka yang moralnya baik, yang moralnya tidak baik malahan di langgar. Mereka meninggalkan semua pekerjaannya, kalau mereka mempunyai tanah yang luas, mempunyai taman yang luas, mereka biasanya masuk ke pondok yang khusus seperti bilik, mereka biasanya meditasi, bacabaca ajaran dan melakukan sesuatu sesuai dengan delapan sila itu. Bagi mereka yang dekat dengan kuil atau tempat-tempat pengajaran mereka datang untuk mendengarkan ajaran-ajaran dari para guru bijaksana atau para orang yang dianggap mampu untuk mengajarkan. 2. Bagaimana dengan sejarah hari Uposatha itu bhante? Uposatha itu memang bukan dari Sang Buddha asli. Sebenarnya Sang Buddha mengambil adat di India, salah satunya adalah Uposatha itu kemudian dikembangkan lebih baik lagi. Uposatha ini sudah menjadi adat orang India yang moralitasnya bagus. Uposatha itu dilestarikan sampai jaman Sang Buddha. Ketika Ratu Maha Maya mengandung Sang Buddha, sering menjalankan Uposatha. Jaman Sang Buddha Uposatha dikembangkan lebih baik lagi kearah kesucian. 3. Sistem penanggalannya seperti apa bhante? Itu kalender bulan bukan matahari atau solar tetapi lunar yang biasanya penanggalan imlek itu mirip juga hanya beda satu atau dua hari. 4. Hari Uposatha itu sebulan 2 kali yaitu pada tanggal 1 dan 15 penanggalan lunar, lalu kenapa bisa 4 kali pada tanggal 8 dan 23 penanggalan lunar bhante? Uposatha 4 kali itu untuk perumah tangga atau umat awam itu sudah disepakati bersama dan bagi para bhikkhu Uposathanya 2 kali yaitu bulan mati dan bulan terang. 5. Apakah puasa (uposatha) di wajibkan dalam Agama Buddha bhante? Puasa (uposatha) dalam agama Buddha itu tidak diwajibkan. Bagi para bhikkhu puasa (uposatha) itu wajib karena ada dalam vinaya tapi bagi perumah tangga atau umat awam itu hanya dianjurkan, silahkan dijalankan tapi kalau tidak dijalankan setidaknya berusaha mencoba berpuasa karena itu baik untuk dijalankan. 6. Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa? Sebenarnya dalam agama Buddha tidak ada kewajiban tapi mengajarkan kesadaran. Jadi jika tidak menjalankan puasa tidak berdosa. 7. Apa makna puasa (uposatha) bhante? Maknanya adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani kearah yang lebih baik. Delapan sila itu sudah merangkum semuanya dari segala aspek kehidupan kita dalam masyarakat. 8. Kalau dalam Islam puasa itu adalah menahan haus dan lapar serta menahan hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenam matahari, apakah puasa yang dilakukan umat Buddha sama halnya dengan puasa yang dilakukan umat Islam? Perhitungan Buddhis itu ketika terbit fajar itu adalah pergantian hari jadi bukan pukul 24.00. Jadi puasa dalam agama Buddha itu dimulai dari pukul 12.00 sampai sekitar pukul 4.30 subuh. 9. Kapan permohonan sila-nya bhante? Permohonan sila itu biasanya pada pagi hari kira-kira pukul 04.00 subuh umat sudah berada di vihara untuk meminta uposathasila kepada para bhikkhu. 10. Ajaran pertama Sang Buddha apa bhante? Dana, sila, saga, nekamanisangsa, kamasangmuara Lampiran II 11. Pengertian Uposatha menurut anda? Uposatha banyak artinya tetapi biasanya kami menyebut Uposatha adalah puasa yaitu menjalankan delapan sila yang telah diajarkan oleh Sang Buddha. 12. Apakah anda mengetahui sejarah Uposatha? Uposatha diambil dari tradisi India pada jaman Raja Bimbisara dan kemudian dikembangkan lagi oleh Sang Buddha. 13. Apakah puasa (uposatha) wajib dilaksanakan? Uposatha atau puasa dalam agama Buddha ini hanyalah dianjurkan dan tidak diwajibkan tetapi untuk para bhikkhu diwajibkan karena ada dalam peraturan kebhikkhuan (vinaya). 14. Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa? Tidak berdosa jika tidak melakukan Uposatha. 15. Apa saja yang tidak boleh dimakan pada hari Uposatha? Yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai penguat tubuh, seperti; nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam hal ini susu disamakan dengan makanan karena mumpunyai nilai penguat tubuh juga. 16. Apa makna puasa (uposatha) menurut anda? Makna Uposatha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani. Menjadikan manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain dengan menjalankan delapan sila yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha. 17. Apa yang diajarkan pada saat puasa (Uposatha) ini? Yang diajarkan bahwasanya kita sebagai umat Buddha haruslah berbuat banya kebajikan, sebab menurut ajaran Buddha perbuatan baik atau kebajikan akan membawa banyak kebahagiaan bagi pelakunya baik di dunia maupun setelahnya.