pelaksanaan dan makna puasa (uposatha) dalam agama buddha

advertisement
PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA)
DALAM AGAMA BUDDHA
( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara )
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh:
Efriani Syukur
NIM: 102032124624
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1427 H./2007 M
PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA)
DALAM AGAMA BUDDHA
( Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara )
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh
Efriani Syukur
NIM: 102032124624
Pembimbing
Drs. H. Roswen Dja’far
NIP: 150 022 782
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1427 H./2007 M
LEMBAR PENGESAHAN
Skripsi yang berjudul:
Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha
(Studi kasus di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara)
Telah diajukan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Ushuluddin dan Filsafat,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 28 Agustus 2007.
Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana
Strata I (SI) pada program Studi Perbandingan Agama.
Jakarta, 28 Agustus 2007
Sidang Munaqosyah,
Ketua Sidang
Sekretaris Sidang
Drs. Masri Mansoer, M.A
Maulana, M.A
NIP: 150 244 493
NIP: 150 293 221
Anggota,
Penguji I
Penguji II
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer
Drs. M. Nuh Hasan, M.A
NIP: 150 209 685
NIP: 150 240 090
Pembimbing,
Drs. H. Roswen Dja’far
NIP: 150 022 782
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………………………………………………..............
i
DAFTAR ISI..................................................................................................... iv
BAB I
: PENDAHULUAN……………………………………….....
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………...
1
B. Perumusan Masalah………………….............................
4
C. Tujuan Penulisan………………………………..............
5
D. Tekhnik Penulisan………………………………………. 5
E. Sistematika Penulisan…………………………………... 7
BAB II
: PUASA DALAM AGAMA BUDDHA
A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha…………….. 8
B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha……….. 11
C. Masa Vassa……………………………………............... 16
D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha………............... 20
BAB III
: PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA) DI
VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA
A. Gambaran Umum Vihara Dhammacakka Jaya…………. 27
B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka
Jaya……….…......................................... 45
a. Puasa Bagi Umat Awam……………………...... 46
b. Puasa Bagi Umat Viharawan…………………… 56
1.
Puasa Bagi
Samanera…..……………………...58
2. Puasa Bagi Para Bhikkhu…………………….. 61
C.
Makna Puasa (Uposatha) Bagi Umat Buddha…………66
D.
Analisis……………………………………………….. 69
BAB IV
: PENUTUP
A.
Kesimpulan…………………………………………... 72
B.
Saran-saran…………………………………………… 74
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 75
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Puasa di dalam kehidupan sehari-hari adalah bukan masalah yang asing
lagi, bahkan hampir semua orang telah mengetahuinya, karena puasa ini
merupakan suatu fenomena universal yang terdapat di dalam hampir semua
kebudayaan, baik timur maupun barat. Oleh karena itu akan lebih menarik lagi
apabila masalah puasa ini dikaji secara mendalam, khususnya puasa menurut
agama Buddha, karena puasa menurut agama Buddha mempunyai keunikan
tersendiri bila dibanding dengan puasa yang terdapat di dalam agama-agama besar
dunia lainnya. Walaupun kadang-kadang orang menganggap bahwa puasa di
dalam agama Buddha ini hanyalah sebagai formalitas keagamaan.1
Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan,
tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral
dan psikologi yang mendalam.2
Di dalam agama Buddha, puasa merupakan perwujudan dari pelaksanaan
sila,3 yaitu suatu cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk pikiran
yang tidak baik dan merupakan suatu usaha untuk membebaskan diri dari segala
akar kejahatan, yaitu lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha
1
K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha
Education, Foundational, 1993), h. 214
2
K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214
3
Herman S.Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta:
Yayasan Dhammadiepa Arama, 1997), h. 2
(kebodohan batin).4 Dimana setiap orang memiliki sila yang baku, yang dilakukan
sebagai suatu usaha untuk mencapai tujuan akhir (nibbana).
Bhikkhu dan bhikkhuni diharapkan mematuhi peraturan yang telah
ditetapkan dalam dua disiplin moral (sila dan vinaya) sesuai dengan tanggung
jawab
mereka
terhadap
Patimokkha.
Samanera
dan
samaneri
harus
memperhatikan Dasasila sebagai standar sila mereka. Bagi umat awam (upasaka
dan upasika) memiliki Pancasila sebagai standar sila mereka di dalam kehidupan
sehari-hari dan atthasila dianjurkan sebagai sila khusus pada hari-hari Uposatha.5
Dasar ajaran puasa di dalam agama Buddha terdapat di dalam ajaran sila,
dari atthasila, dasasila, dan patimokkha.6 Sehingga di dalam pelaksanaannya
terdapat tingkat yang mendasar, yaitu bagi umat awam puasa dilaksanakan pada
setiap hari Uposatha yang jatuh pada tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut penanggalan
lunar, sedangkan bagi umat viharawan puasa dilaksanakan pada setiap hari.7
Pelaksanaan puasa ini telah diajarkan oleh Sang Buddha, dimana Sang Buddha
telah menganjurkan kepada para bhikkhu untuk tidak makan setelah tengah hari.
Demikian pula orang-orang yang melaksanakan atthasila (delapan peraturan
latihan hidup suci) untuk berpantang dari mengambil makanan setelah tengah
hari.8
4
Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre, 1991), h.
5
Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung
170
(Penerbit Karaniya: Yayasan Karaniya, tt), h. 1-2
6
Lihat Anjali G.S, Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama
Buddha, tt), h. 25-25 ; Bhikkhu Khamio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Dhammadipa
Arama, 1997), h. 31-32 ; dan Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi
Agama Buddha Nalanda, 1988), h. 37-64.
7
Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp, tt), h. 36.
8
K. Sri Dhammananda, What Buddhis Believe, h. 214
Pada hari puasa umat Buddha hanya dibolehkan makan dari pagi sampai
tengah hari, yaitu sebelum matahari melewati jam 12.00 siang.9 Mereka berjanji
pada dirinya sendiri untuk berpantang memakan makanan setelah lewat tengah
hari dan melaksanakan delapan peraturan latihan lainnya serta melakukan
perenungan dan mendengarkan Dhamma.
Adapun waktu untuk menjalankan Uposathasila (peraturan yang
dilaksanakan pada hari Uposatha) itu dimulai sejak terbitnya matahari hingga
keesokan harinya, jadi dengan demikian pelaksanaan puasa di dalam agama
Buddha itu selama 24 jam atau sehari semalam.10 Bagi para bhikkhu pada hari
Uposatha (jika jumlah mereka lima atau lebih di dalam satu vihara), mereka akan
berkumpul untuk mendengarkan 227 Patimokkhasila yang dibacakan oleh salah
seorang bhikkhu. Pembacaan patimokkha ini berkisar antara satu jam, dan umat
awam diperbolehkan ikut mendengarkan.
Lepas dari kegiatan tersebut, para bhikkhu akan menjalankan latihan yang
lebih ketat dari biasanya.11 Dan pada masa Vassa, para bhikkhu harus berdiam
disuatu tempat dan tidak pergi ketempat lainnya sampai larut malam selama tiga
bulan sampai tiba hari pavarana (upacara pengakhiran masa Vassa).12
Dari uraian tersebut diatas, maka apakah puasa di dalam agama Buddha itu
hanya sebagai formalitas keagamaan ataukah dapat dikatakan sebagai disiplin
keagamaan yang merupakan fenomena universal yang ada pada berbagai agama.
9
Anomius, Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara (Jakarta: Balai Kitab
Tri Dharma Indonesia, 1980), h. 47.
10
Bhikkhu Vijano (Ven), Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa
Arama, 1996), h. 37.
11
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit
Karaniya: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991), h. 61.
12
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha
Nalanda, 1998), h. 30
Hal itulah yang menarik penulis untuk mengambil judul “Pelaksanaan dan Makna
Puasa (Uposatha) dalam Agama Buddha (studi kasus di Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya Sunter Jakarta Utara)”.
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, maka
dalam skripsi ini penulis akan membahas mengenai Pelaksanaan dan Makna Puasa
(Uposatha) dalam Agama Buddha di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, dengan
perumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah makna puasa menurut agama Buddha di Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya?
2. Bagaimanakah pelaksanaan puasa menurut agama Buddha di Vihara
Jakarta Dhammcakka Jaya?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan ini memiliki beberapa tujuan diantaranya :
1.
Untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman terhadap Buddha
Dhamma (ajaran Sang Buddha) khususnya puasa menurut agama Buddha.
2.
Menambah khazanah kepustakaan pada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3.
Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang
merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka
menyelesaikan studi tingkat sarjana program strata 1 (S1) di Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat, Jurusan Perbandingan Agama dengan gelar Sarjana Teologi
Islam (S.Th.I).
D. Tekhnik Penulisan
Dalam tekhnik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuanketentuan dan petunjuk-petunjuk yang telah di tentukan oleh UIN syarif
Hidayatullah Jakarta, yaitu “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan
Disertasi)” UIN Syarif Hidayatullah (Jakarta; CeQDA UIN, 2007)”.
Adapun metode yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini di
tempuh dengan dua cara, yaitu: Library Research (penelitian kepustakaan) dengan
metode ini penulis mengadakan studi kepustakaan mengenai penelitian terhadap
buku-buku yang ada kaitannya dengan pembahasan skripsi ini. Sedangkan cara
yang kedua dengan cara Field Research13 (penelitian lapangan) dimana cara ini
dilakukan untuk memperkuat data-data yang telah diproses dan penulis juga
menggunakan teknik observasi sebagai alat pengumpulan data. Observasi yang
penulis lakukan adalah dengan mendatangi dan mengamati jama’ah dan
viharawan di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dan melakukan wawancara
langsung secara mendalam (indepth interview) dengan informan tersebut diatas
tentang data-data yang diperlukan dan sesuai dengan judul skripsi. Dalam
wawancara, penulis telah mempersiapkan beberapa pertanyaan yang ada
kaitannya dengan skripsi. Disamping itu, ada pertanyaan-pertanyaan yang tidak
tertulis.
13
Penelitian lapangan ini untuk mengetahui lebih jauh dalam praktek ajaran oleh penganutnya
terutama para bhikkhu dan samanera samaneri (calon bhikkhu) dalam agama Buddha
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan menjadi lima
bab, dimana masing-masing mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topiktopik tertentu, yaitu sebagai berikut :
Bab pertama berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan
penulisan, tekhnik penulisan, dan sistematika penulisan. Bab ini juga merupakan
bab pendahuluan.
Bab kedua landasan teori, yang memuat tinjauan tentang puasa di dalam
agama Buddha, pembahasannya meliputi lima sub bab, yaitu: pengertian puasa
menurut agama Buddha, sistem penanggalan dan sejarah hari Uposatha, masa
Vassa, dan tujuan puasa di dalam agama Buddha.
Bab ketiga menjelaskan tentang pelaksanaan dan makna puasa dalam
agama Buddha yang meliputi gambaran umum Vihara Jakarta Dhammacakka
Jaya, puasa bagi umat awam dan puasa bagi umat viharawan dan juga makna
puasa bagi umat Buddha serta analisis.
Bab keempat merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saransaran yang berkaitan dengan judul. Terakhir sekali penulis mencantumkan daftar
pustaka yang digunakan sebagai bahan rujukan dari penulisan skripsi ini.
BAB II
PUASA DALAM AGAMA BUDDHA
A. Pengertian Puasa Menurut Agama Buddha
Puasa di dalam agama Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan
diri dari mengambil makanan atau minuman pada waktu yang salah, yang disebut
dengan istilah Upovasa. Akan tetapi di dalam pengertian sehari-hari, mereka lebih
suka menyebutnya dengan istilah Uposatha.14 Istilah ini berasal dari bahasa Pali,
yaitu bahasa yang dipakai pada jaman Sang Buddha Gotama.
Istilah Uposatha mengandung dua arti, yaitu:
1. Uposatha berarti nama atau sebutan hari untuk menjalankan peraturanperaturan khusus, sehingga disebut sebagai hari Uposatha.
2. Uposatha berarti nama atau sebutan terhadap peraturan-peraturan yang
dijalankan, sehingga disebut sebagai Uposathasila.15
Dalam Buddhist Dictionary, Uposatha ini diartikan sebagai berpuasa, hari
puasa, yaitu hari Purnama sidhi, hari bulan baru dan hari seperempat bulan yang
pertama dan yang terakhir.16
Kata Uposatha, juga mengandung makna “masuk dan berdiam diri”,
dalam pengertian berdiam di dalam vihara atau komplek vihara.17 Maksud
berdiam di sini bukan berarti diam dan tidak melakukan sesuatu tetapi tinggal atau
berada di vihara atau komplek vihara (uposathavasamvasati), belajar dhamma
14
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007
15
Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha
Informasi, tt), h. 21
16
Nyanataloka, Buddhist Dictionary (Frewin: Co. Tto, 1972), h. 187
17
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati (Penerbit:
Yayasan Karaniya, 1991), h. 59
melalui buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan delapan sila dan
berlatih meditasi. 18
Jadi istilah Uposatha ini merupakan suatu istilah yang dipakai untuk
melaksanakan suatu upacara keagamaan yang ketat, yang berhubungan dengan
menahan diri (puasa).19 Menahan diri di sini maksudnya untuk mengendalikan diri
dari hawa nafsu jahat, seperti rasa dengki, iri hati, marah, serakah dan sebagainya.
Selain untuk menghindari makan dan minum, puasa atau Upovasa (bahasa
Pali) di dalam agama Buddha juga mempunyai pengertian:
1. Mengendalikan diri untuk tidak berbuat sesuatu yang merugikan dirinya
sendiri maupun orang lain.
2. Meningkatkan kualitas diri, artinya segala kebajikan atau perbuatan baik yang
pernah dilakukan, perlu selalu di ulang-ulang, dan kebajikan atau perbuatan
baik yang belum dilakukan perlu dilakukan (kusalassa upasampada/selalu
mengembangkan kebajikan). 20
Singkatnya apa yang disebut puasa atau upovasa itu bukan saja
mengendalikan diri dari makan dan minum, tetapi meliputi seluruh gerak-gerik
pikiran, ucapan, dan jasmani.21
Karena puasa di dalam agama Buddha ini merupakan pelaksanaan sila,
yang merupakan suatu ajaran kesusilaan yang didasarkan atas konsepsi cinta kasih
dan belas kasihan kepada semua makhluk. Sehingga yang termasuk di dalam
kelompok sila di sini adalah:
•
Pembicaraan benar (samma vaca)
18
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta, 8 Mei 2007
19
Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha
Nalanda, 1988), h. 28
20
21
Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, (Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993), h. 1-2
Supomo, Dasar-Dasar Uposatha, h. 2
•
Perbuatan benar (samma kammanta)
•
Mata pencaharian benar (samma ajiva)
Puasa di dalam agama Buddha merupakan salah satu cara praktek
pengendalian diri dari segala bentuk pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha
untuk membebaskan diri dari segala kejahatan, yaitu: ketamakan, kebencian dan
kebodohan batin.22 Sang Buddha melarang para bhikkhu mengambil makanan
padat (yang mengenyangkan) setelah lewat tengah hari. Begitu juga umat awam
yang menjalankan delapan peraturan (atthasila) pada hari Uposatha, untuk
berpantang mengambil makanan padat setelah tengah hari.23
Berkaitan dengan masalah puasa di dalam agama Buddha, bahwa
kegunaan dari memakan makanan adalah tidak untuk kesenangan, pemabukan,
menggemukkan badan atau untuk memperindah diri, tetapi hanyalah untuk
kelangsungan hidup dan mempertahankan tubuh, menghentikan rasa tidak enak,
dan untuk membantu kehidupan suci. Sehingga akan mendapatkan kebebasan
tubuh dari gangguan-gangguan serta akan dapat hidup dengan tentram.24
B. Sistem Penanggalan dan Sejarah Hari Uposatha
Di dalam kehidupan keagamaan umat Buddha, dalam satu bulan terdapat
hari-hari khusus untuk melaksanakan peraturan pelatihan tertentu (sikkhapada).
22
Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan (Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center, 1991), h.
23
K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Taiwan: The Corporate Body of The Buddha
44
Educational Foundational, 1993), h. 214
24
Bhikkhu Khemio, Samanera Sikkha-Latihan Samanera (Jakarta: Sangha Theravada
Indonesia, 1980), h. 58-59
Hari khusus itu dipandang sebagai hari yang suci (sakral) dan disebut Uposathadivasa.
Istilah Uposatha arti harfiahnya adalah masuk untuk berdiam diri (dalam
keluhuran). Istilah ini digunakan untuk sebutan hari dimana upasaka-upasika
(umat Buddha laki-laki dan perempuan) menjalankan peraturan pelatihan khusus
yang terdiri dari delapan unsur peraturan pelatihan. Hari itu disebut hari
Uposatha.25
Hari Uposatha adalah hari-hari tanggal 1, 8, 15 dan 23 menurut
penanggalan lunar. Biasanya kalender yang dibuat oleh umat Buddha, tanggal
jatuhnya hari Uposatha diberi tanda khusus dengan warna tertentu sehingga
mempermudah bagi mereka yang akan melaksanakan Atthangika Uposatha
(delapan peraturan pelatihan pada hari Uposatha).26 Selain itu, dengan pemberian
tanda dalam kalender tersebut, diharapkan agar para umat Buddha dapat
melaksanakan delapan peraturan tersebut.27
Kebiasaan menjalankan Uposatha ini telah ada sebelum jamannya Sang
Buddha. Sang Buddha menyetujui kebiasaan tersebut dan memperkenankannya
untuk dipergunakan sebagai hari untuk bertemu bersama, membicarakan dan
mendengarkan dhamma serta merupakan kesempatan untuk melaksanakan
Uposatha bagi umat awam (atthanga Uposathasila). Sehubungan dengan
pertemuan para bhikkhu, Sang Buddha mengijinkan mereka melakukan
Uposathasila pada tanggal 1 dan 15 pada penanggalan bulan.28
Pada hari Uposatha ini umat Buddha melakukan puja bhakti, yaitu berupa:
25
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997), h. 40
26
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40
27
Anjali G. S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila, h. 22
28
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 30
•
Melakukan persembahan bunga/ dupa/ lilin di depan altar.
•
Melakukan puja kepada Sang Tiratana dan membaca parrita-parrita
suci.
•
Memohon kepada bhikkhu untuk membimbing melaksanakan
Pancasila (lima sila) atau atthasila (delapan sila).
•
Mendengarkan Khotbah Dhamma dari para bhikkhu atau pandita.
•
Ada pula umat yang melakukan makan sayuranis ( sayur mayur ) dan tidak
makan daging.
•
Dan memperbanyak meditasi.29
Puasa di dalam agama Buddha mempunyai sejarah yang panjang, bahkan
sebelum jaman Sang Buddha, yaitu dimulai dari tradisi para Brahmana yang
menyucikan diri dengan menjalani ritus veda, menyepi meninggalkan rumah
keluar selama beberapa waktu hingga selesai, saat yang dipilih untuk ritus itu
biasanya berpedoman pada peredaran bulan, yaitu saat-saat bulan penuh dan bulan
gelap atau kadang-kadang di saat-saat bulan separuh wajah.30
Pada masa itu, banyak kelompok petapa (samana) yang menggunakan
hari-hari saat bulan penuh, bulan gelap, maupun bulan separuh wajah untuk
memperdalam
teori
dan
latihan-latihan
mereka.
Sang
Buddha
sendiri
menganjurkan kepada siswa-siswanya untuk berkumpul di vihara pada hari-hari
tersebut, mendengarkan pembacaan Patimokkha (aturan pokok bagi para bhikkhu)
dan mengajarkan dhamma kepada umat yang datang ke vihara mereka.31
29
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 (Jakarta:
Yayasan Dhammadipa Arama, 1997), h. 1
30
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 59
31
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 60
Demikian pula upacara-upacara yang dilaksanakan pada hari-hari
Uposatha sudah dilaksanakan oleh orang-orang India pada jaman Sang Buddha.
Atas saran Raja Bimbisara dari Magadha kepada Sang Buddha, maka hari-hari
Uposatha ini kemudian juga dilaksanakan oleh para bhikkhu dan umat awam
(upasaka-upasika) sampai sekarang ini.32
Secara lengkap Sang Buddha bersabda:
“Demikianlah kejadiannya, Pada suatu waktu Sang Bhagava sedang berdiam di
Rajagaha, di puncak karang Burung Nazar. Pada waktu itu kelana-kelana dari
sekte lain mempunyai kebiasaan untuk berkumpul pada waktu pertengahan bulan
pada tanggal 14 dan 15 dan perempatan bulan pada tanggal 8 dan berkhotbah
tentang Dhamma. Orang-orang berdatangan untuk mendengarkannya. Mereka
semakin menyukai dan semakin mempercayai kelana dari sekte lain. Maka
kelana-kelana itu memperoleh bantuan. Maka ketika Raja Magadha Seniya
Bimbisara sedang bermeditasi, ia merenungkan hal-hal ini: “mengapa para Yang
Mulia untuk tidak berbuat serupa pada hari-hari itu?”.
Kemudian ia menemui Sang Bhagava menyampaikan apa yang dipikirkannya dan
menambahkan: “Guru, alangkah baiknya jika pada hari-hari itu pula para Yang
Mulia untuk berkumpul”. Sang Bhagava memberi petunjuk tentang Dhamma
kepada Raja itu, setelah mana ia meninggalkan tempat itu. Kemudian Sang
Bhagava membuat hal itu suatu alasan untuk memberikan wejangan tentang
Dhamma kepada bhikkhu. Beliau berkata: “O, para bhikkhu, aku mengijinkan
pertemuan pada pertengahan bulan, yaitu hari ke 14 dan ke 15, dan pada
perempatan bulan, yaitu pada hari ke 8”.
32
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 5
Kemudian para bhikkhu mulai saat itu berkumpul bersama sebagaimana
yang diijinkan Sang Bhagava, tetapi mereka duduk dengan diam. Orang-orang
datang untuk mendengarkan Dhamma. Mereka menjadi kecewa sehingga mereka
berkata: “Bagaimana para bhikkhu ini, putera-puteri Sakya berkumpul pada harihari ini hanya untuk membisu seperti tonggak?. Tidakkah Dhamma seharusnya
dikhotbahkan pada waktu-waktu mereka berkumpul?”.
Para bhikkhu mendengar hal ini, kemudian mereka menyampaikan kepada
Sang Bhagava. Beliau menjadikan hal ini sebagai alasan untuk memberikan
wejangan tentang Dhamma dan beliau berpesan demikian: “O, para bhikkhu, bila
ada pertemuan pada pertengahan bulan dan perempatan bulan, aku mengijinkan
untuk memberikan Dhamma.33
Pada saat-saat awal perkembangan agama Buddha, Sang Buddha sendiri
yang memberikan ajaran pada pertemuan Sangha dan meningkatkan kebajikan
yang merupakan inti dari ajaran (sasana) dan menjelaskannya, kemudian Sang
Buddha memberikan ijin kepada Sangha untuk melaksanakan Uposatha sendiri.
Di dalam setiap pertemuan suatu kelompok bhikkhu, seorang bhikkhu
akan membacakan peraturan latihan yang disebut Patimokkha. Ini dilakukan
apabila terdapat empat orang bhikkhu atau lebih. Apabila hanya terdapat tiga atau
dua orang bhikkhu, mereka disebut gana (group). Mereka dibolehkan
memberitahukan satu sama lain tentang “kemurnian mereka” masing-masing, bila
hanya terdapat seorang bhikkhu, ia disebut puggala (seorang) dan ia harus
membuat adhitthana atau tekad oleh dirinya sendiri.34
C. Masa Vassa
33
34
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026 , h. 6-7
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 28
Selain hari Uposatha, musim hujan juga mempunyai peran penting bagi
umat Buddha, karena masa-masa musim hujan ini akan memberikan peluang yang
sangat besar bagi para bhikkhu untuk hidup lebih dekat dengan gurunya, bhikkhu
senior yang telah lanjut latihan meditasinya, berpengalaman dalam vinaya atau
yang telah banyak mendalami dan mengetahui sutta-sutta.
Dalam kamus Buddha dharma, Vassa ini diartikan sebagai musim hujan.
Masa Vassa adalah masa dimana menurut tradisi, pada musim penghujan para
bhikkhu harus berdiam di suatu tempat dan mentaati peraturan-peraturan Vassa.
Masa Vassa ini berlangsung selama tiga bulan (90 hari) dan dimulai sehari
sesudah Purnama sidhi bulan ke delapan (asalhamasa) dan berakhir pada Purnama
sidhi bulan kesebelas (assajuyamasa) menurut penanggalan lunar.
Demikian juga bagi umat awam, masa-masa ini dapat dipergunakan untuk:
•
Melatih diri menjadi samanera sementara ( calon bhikkhu/bhikkhuni)
•
Menjalankan latihan puasa bagi para bhikkhu dengan cara makan hanya satu
kali untuk sehari atau praktek makan langsung dari satu wadah (pata), tanpa
perlu menggunakan banyak piring atau mangkok. Latihan ini sangat baik
untuk membatasi keserakahan terhadap makanan, kelezatan dan bentuknya
yang menggiurkan.
•
Atau juga untuk melatih berdana sebanyak mungkin, sekuat-kuatnya sesuai
dengan kemampuannya.35
Hal-hal yang berkenaan dengan masa Vassa ini terdapat di dalam Kitab
Suci Tipitaka bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka.
Sang Buddha bersabda:
35
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 78-82
”Anujanami Bhikkhave Vassane Vassam Upagantum Dve Ma Bhikkhave
Vassupana-yikaya
Purimika
Pacchimika
Aparajju-gataya
Asalhiya
Purimika Upagantabha.”
Yang artinya bahwa masa Vassa haruslah dilaksanakan oleh para bhikkhu. Selama
masa itu terdapat hari pertama untuk memulai dan terdapat hari penutup untuk
mengakhirinya.36
Ketika jumlah bhikkhu berkembang pesat, Sang Buddha menetapkan
peraturan bahwa bhikkhu harus berdiam di suatu tempat selama musim hujan
(Vassa) dan tidak pergi ke tempat lain selama tiga bulan.37 Masa Vassa ini dimulai
pada hari pertama sesudah Purnama sidhi bulan Asadha atau pada hari pertama
bulan Savana (bulan 9 lunar Buddhis) dan diakhiri sesudah tiga bulan dilampaui,
yaitu pada Purnama sidhi bulan Assayuja (bulan September/Oktober).
Para bhikkhu dapat memulai masa Vassa pada hari pertama sesudah hari
raya Asadha (hari raya untuk memperingati kejadian yang menyangkut kehidupan
Sang Buddha dan ajarannya, yaitu saat Sang Buddha untuk pertama kalinya
membabarkan ajarannya kepada lima orang pertapa) atau satu bulan kemudian.
Hal ini dikenal sebagai Vassa pertama, dan Vassa kedua.38 Saat Vassa merupakan
saat untuk para bhikkhu melaksanakan Samanadhamma (Dhamma untuk
seseorang yang membuat dirinya damai) yaitu pelaksanaan meditasi ketenangan
dan pandangan terang.39
Hari dimulainya massa Vassa apabila bulan memasuki konstelasi Asadha,
namun pada tahun kabisat haruslah dimulai 30 hari kemudian. Malam menjelang
36
Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka
(Klaten: Vihara Bodhivamsa, tt), h. 158
37
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 29
38
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 80
39
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 32
penutupan
masa
Vassa,
yaitu
saat
Purnama
sidhi
bulan
Assayuja,
diselenggarakanlah Pavarana, yaitu upacara pengakhiran masa Vassa dan
dilanjutkan dengan persembahan dana yang secara umum dikenal dengan hari
Kathina.
Upacara Kathina akan berlangsung mulai bulan pertama pada saat bulan
menyusut (tanggal 16) bulan Assayuja sampai Purnama sidhi bulan ke 12
(kattikamasa). Namun perayaan ini pada hakekatnya akan berlangsung selama
satu bulan untuk memberi kesempatan kepada umat agar bisa mempersembahkan
dana kepada Sangha.40
Terjadinya Vassa
Lebih dari dua ribu lima ratus tahun yang lalu Sang Buddha beserta siswasiswanya membabarkan Dhamma. Perjalanan yang jauh dan musim yang berganti
tidaklah menjadi halangan bagi Sang Buddha dan para siswanya. Hal ini terlihat
dari adanya kelompok bhikkhu yang mengadakan perjalanan pada musim dingin,
musim panas maupun musim hujan (di India dikenal tiga musim).
Pada saat itu masa Vassa belum ditetapkan oleh Sang Buddha, sehingga
para bhikkhu mengadakan perjalanan selama musim panas, musim dingin dan
musim hujan. Tetapi ketika jumlah bhikkhu semakin meningkat dan para bhikkhu
harus keluar masuk hutan, sawah maupun ladang, mengakibatkan tumbuhtumbuhan yang ditanam oleh para petani pada musim hujan rusak terinjak-injak
oleh para bhikkhu tersebut.
40
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 22
Melihat kenyataan ini, masyarakat mengkritik para bhikkhu dengan
mengatakan “mengapa para bhikkhu Sakyaputta (murid-murid Sang Buddha)
mengadakan perjalanan pada musim dingin, panas, dan hujan, sehingga mereka
menginjak tunas-tunas muda rumput dan mengakibatkan binatang-binatang kecil
mati? tetapi petapa lain meskipun kurang baik dalam melaksanakan peraturan
(vinaya), menetap selama musim hujan.” Mendengar keluhan masyarakat tersebut,
beberapa bhikkhu menghadap Sang Buddha dan melaporkan kejadian tersebut.
Sang Buddha kemudian memberikan keterangan yang masuk akal dan bersabda:
“Para bhikkhu, saya ijinkan kalian melaksanakan masa Vassa”. Kemudian terpikir
oleh para bhikkhu, “kapan masa Vassa dimulai?”, mereka menanyakan hal ini
kepada Sang Buddha dan kemudian beliau mengatakan “saya ijinkan kalian
melaksanakan masa Vassa pada musim hujan”. Kemudian terpikir lagi oleh para
bhikkhu, “berapa banyak periode untuk memulai masa Vassa?”. Mereka
menyampaikan hal ini kepada Sang Buddha dan beliau berkata: “O para bhikkhu,
terdapat dua masa untuk memasuki masa Vassa. Periode pertama Vassa
(purimikavasupanayika) dan periode terakhir (pacchimikavasupanayika). Periode
pertama Vassa adalah sehari setelah Purnama di bulan Asalha (kini dikenal
dengan hari raya Asadha). Periode berikutnya dimulai sebulan setelah Purnama di
bulan Asadha. Itulah periode untuk memulai musim hujan”.41
Sejak saat itu para bhikkhu menetap selama tiga bulan musim hujan.
Mereka lebih banyak melatih dan mengembangkan batin, belajar dari para
bhikkhu yang lebih senior.42
41
Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka
(Klaten: Vihara Bodhivamsa,1982), h. 186
42
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 23-24
D. Tujuan Puasa di Dalam Agama Buddha
Puasa di dalam agama Buddha adalah melaksanakan sila, yang merupakan
dasar utama dalam melaksanakan ajaran agama, yaitu mencakup semua perilaku
dan sifat-sifat baik yang termasuk di dalam ajaran moral dan etika dalam agama
Buddha.43 Sila adalah cara untuk mengendalikan diri dari segala bentuk-bentuk
pikiran yang tidak baik dan merupakan usaha untuk membebaskan diri dari segala
akar kejahatan, yaitu: lobha, dosa dan moha.44
•
Lobha artinya ketamakan atau keserakahan. Dapat pula diartikan sebagai
keterikatan pikiran terhadap obyek.
•
Dosa artinya kebencian atau rasa dendam. Dapat pula diartikan sebagai
keinginan jahat.
•
Moha artinya kebodohan batin atau rasa tidak mengerti kebenaran mulia.
Dapat pula diartikan sebagai avijja (tidak tahu), anana (tidak berpengetahuan),
adasana (tidak dapat melihat dengan sewajarnya).45
Sebagaimana sabda Sang Buddha:
Bilamana, O para bhikkhu, tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan
faktor, maka buah dan manfaatnya pun berlimpah, bersinar dan merebak. Dan
bagaimana tindakan Uposatha sempurna di dalam delapan faktor
yang
membuatnya memiliki buah dan manfaat yang melimpah, bersinar, dan merebak?
Disini, para bhikkhu, seorang siswa mulia merenungkan demikian:
”Selama hidup, para Arahat meninggalkan pembunuhan dan tidak melakukannya;
dengan kail dan senjata yang disingkirkan, mereka penuh kesadaran, baik hati dan
hidup dalam kasih sayang terhadap semua makhluk. Hari ini aku juga, selama
43
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 3
44
Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170
45
Bhikkhu Subalaratano, Tanya Jawab Agama Buddha (tp.tt), h. 27
siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama. Aku akan meniru para
Arahat di dalam hal itu, dan tindakan Uposatha akan terpenuhi olehku.” Inilah
faktor pertama yang dimiliknya.
Selanjutnya, dia merenungkan: ”Selama hidup, para Arahat meninggalkan
perbuatan mengambil apa yang tidak diberikan dan tidak melakukannya; mereka
menerima hanya apa yang diberikan, mengharapkan apa yang diberikan, dan
berdiam dengan hati yang jujur, bebas dari keinginan mencuri. Hari ini aku juga,
selama siang dan malam ini akan melakukan hal yang sama…”Inilah faktor kedua
yang dimilikinya.
“Selama hidup, para Arahat meninggalkan kehidupan seksual dan hidup
selibat, jauh dari seksualitas, menahan diri dari praktek hubungan seksual yang
kasar. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang
sama…”Inilah faktor ketiga yang dimilikinya.
“Selama hidup, para Arahat meninggalkan perbuatan berbicara yang tidak
benar dan tidak melakukannya, mereka adalah pembicara kebenaran, pengikut
kebenaran, dapat dipercaya dan dapat diandalkan, bukan penipu dunia. Hari ini
aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…”Inilah
faktor keempat yang dimilikinya.
“Selama hidup, para Arahat meninggalkan anggur, minuman keras dan
apapun yang bersifat meracuni yang menjadi landasan bagi kelalaian dan tidak
melakukannya. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan
hal yang sama…” Inilah faktor kelima yang dimilikinya.
“Selama hidup, para Arahat makan hanya sekali sehari dan menahan diri
untuk tidak makan pada malam hari atau pada saat yang tidak tepat. Hari ini aku
juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor
keenam yang dimilikinya.
“Selama hidup, para Arahat tidak menari, menyanyi, melihat pertunjukkan
musik instrument dan pertunjukkan yang tidak pantas, dan mereka tidak menghias
diri dengan mengenakan kalung bunga dan menggunakan wangi-wangian dan
minyak-minyakan. Hari ini aku juga, selama siang dan malam ini, akan
melakukan hal yang sama…” Inilah faktor ketujuh yang dimilikinya.
“Selama hidup, para Arahat meninggalkan penggunaan tempat tidur dan
alas duduk yang mewah dan tidak melakukannya; mereka menggunakan tempat
beristirahat yang rendah-bisa tempat tidur yang kecil atau alas jerami. Hari ini aku
juga, selama siang dan malam ini, akan melakukan hal yang sama…” Inilah faktor
kedelapan yang dimilikinya.46
Sila ini merupakan gerak-gerik kehendak (cetana) yang bersikap
menghindarkan diri untuk tidak bertindak jahat dan bersikap mengendalikan diri
untuk tidak melanggar peraturan-peraturan dan norma-norma kebaikan yang
berkenaan dengan pembersihan batin, maupun peraturan-peraturan yang
ditentukan oleh masyarakat yang merupakan kebiasaan atau tradisi yang baik.47
Sila ini merupakan dasar yang mutlak untuk memperoleh hasil yang luhur, karena
perkembangan batin tidak mungkin tercapai tanpa memiliki dasar sila ini.
Sebagian umat Buddha yang meyakini adanya tumimbal lahir (hukum
punarbhava), sebetulnya manusia sudah mengalami kelahiran berjuta-juta kali
bahkan tidak terhitung, begitu juga halnya dengan kelaparan, tentu sudah berjutajuta kali bahkan tidak terhitung orang merasakan lapar. Dengan mengendalikan
keinginan makan yang muncul setelah waktu berjuta-juta tahun yang lampau,
46
47
Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 (Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003), h. 526
Pandit J. Kaharuddin, Hidup dan Kehidupan, h. 170
secara tidak langsung sebetulnya hal tersebut juga merupakan latihan untuk
mengendalikan
emosi.
Mengapa
demikian?
kalau
seseorang
mampu
mengendalikan keinginan makan yang telah muncul berjuta-juta tahun yang
lampau, mengapa tidak bisa menahan diri untuk tidak marah, misalnya. Dengan
cara ini seseorang bisa menghadapi segala sesuatu dengan tenang dan tidak emosi.
Walaupun cara menahan diri ini merupakan cara yang sederhana, tetapi cara ini
ada kaitannya dengan praktek kesabaran.48
Begitu juga sampai pada tingkat tertentu, kemajuan di dalam Dhamma
akan menurun di bawah pengaruh nafsu-nafsu keinginan jasmani yang timbul dari
pikiran yang kotor. Kekotoran akan nafsu-nafsu itu akan dapat dikendalikan
dengan baik justru ketika kekotoran dan nafsu-nafsu itu tampak dan muncul
dengan begitu kuatnya. Hampir tidak mungkin mengendalikan kekotoran batin
yang tidak tampak di permukaan meski mereka mungkin saja beroperasi di bawah
sadar.
Perilaku seorang bhikkhu yang baik menunjukkan cara yang benar untuk
menghadapi kekotoran-kekotoran itu. Begitu pula halnya dengan hari-hari
Uposatha, saat kekotoran-kekotoran itu menampakkan dirinya, mudahlah bagi
kita mengendalikan dan memangkasnya dengan bantuan disiplin serta
melaksanakan Atthasila (delapan sila).49 Dengan demikian, latihan-latihan itu
benar-benar tindakan untuk menguji sejauh mana seseorang bisa mengendalikan
dirinya. Atau jelasnya, sejauh mana bentuk-bentuk mental yang baik, yang
terbentuk oleh praktek Dhamma selama ini, mampu mengalahkan karakter-
48
Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma (Jakarta: Vihara Samaggi Jaya, 1994), h.
49
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 66-67
48
karakter buruk yang dibentuk oleh batin yang serakah, benci yang diselumuti
kebodohan.50
Sang Buddha sangat memuji keagungan pelaksanaan Atthasila, yang
dimenangkan oleh pria dan wanita atas kekuasaan duniawi, yang meraih
kekuasaan dan kebahagiaan pada kehidupan selanjutnya dan diyakinkan akan
memberikan buah kelahiran kembali di surga para dewata. Sang Buddha
menjelaskan kepada Visakha berbagai bentuk perenungan batin (mental
reflection), guna memperkuat diri bagi seseorang yang akan menjalankan
Uposatha Arya, yang membimbing pada ketenangan dan kesucian batin.
Sebagaimana terdapat di dalam kitab suci, Sang Buddha bersabda:
“Dan apakah Uposatha Arya itu, Vesakha? Hal itu adalah pembersihan pikiran
yang keruh dan kotor melalui proses yang benar. “Dan bagaimanakah hal itu
dilaksanakan, Visakha?”. Dengan cara ini pengikut Sang Arya merenungkan Sang
Tathagata sebagai berikut:
“Demikianlah Sang Bhagava, yang maha suci yang telah mencapai Penerangan
Sempurna, sempurna pengetahuan serta tindak-tanduknya, sempurna menempuh Sang Jalan (ke
Nibbana), pengenal segenap alam, pembimbing manusia yang tiada Taranya, Guru para deva dan
manusia, Yang sadar, Yang patut dimuliakan”.
“Bila ia melakukan perenungan terhadap Tathagata batinnya menjadi
tenang, timbul kegembiraan dan kekotoran batin menjadi lenyap”. “ Demikian
pula ia melakukan perenungan terhadap Dhamma dan Sangha. Kebajikan
seseorang dan kebajikan para dewa”.51
Dalam uraian Atanatiya Sutta. Pada hari kedelapan lunar, dewa penjaga
mengirim utusannya ke alam dunia untuk meyakinkan apakah manusia memegang
50
51
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 68
Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3, h. 530
teguh kebenaran dan kebajikan. Mereka kirimkan anak-anaknya pada hari ke
empat belas lunar untuk alasan dan tujuan yang sama. Pada hari ke lima belas para
dewa penjaga sendiri turun ke bumi dan mengirimkan laporannya pada sidang
para dewa di surga Tavatimsa. Mereka akan bergembira atau bersedih tergantung
apa yang dia saksikan dari tingkah laku manusia dalam menegakkan dan
menjalankan kebenaran dan kebajikan. Bila para dewa bergembira, maka berkah
akan turun ke bumi, tetapi bila para dewa bersedih dan marah, maka akan
memberi pertanda banyak kejahatan dan malapetaka akan terjadi.52
52
Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3 , h. 529
BAB III
PELAKSANAAN DAN MAKNA PUASA (UPOSATHA)
DI VIHARA JAKARTA DHAMMACAKKA JAYA
A. Gambaran Umum Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya didirikan berdasarkan Akte Notaris,
Kartini Mulyadi, S.H., tanggal 9 Maret 1981, No. 248. Yayasan ini merupakan
suatu lembaga yang berdasarkan hukum dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Peletakan batu pertama pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka
Jaya oleh Ditjen Bimas Hindu dan Buddha Departemen Agama RI, yaitu Gde
Padja, MA. SH pada tanggal 2 September 1982 pukul 09.00 WIB. Vihara ini
terletak di blok C Sunter Agung Kelurahan Sunter Kecamatan Tanjung Priok
wilayah Jakarta Utara di atas tanah seluas 8.640 m persegi. Tanah ini
disumbangkan oleh Bapak Anton Haliman atas nama pengurus PT. Agung
Podomoro. Pada tanggal 24 Agustus 1985, Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
diresmikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Munawir Sjadzali, M.A.,
dan didampingi oleh Panglima tertinggi Angkatan bersenjata dan Panglima
Angkatan Darat Kerajaan Thailand, Jendral Athit Kamlang Ek.53
Sejarah Vihara ini diawali dengan nasehat Bhante Acariya Nirodha
melalui Bhante Sutat Phan Pheree untuk mencari tanah calon vihara yang baik.54
Beliau mengatakan bahwa tanah tersebut terletak di sebelah Utara Jakarta.
Tempatnya agak tinggi, terdapat pohon besar dan ada sumur di bawahnya. Dengan
53
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya (YJDJ), Pembangunan Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1983), h. 30
54
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Peletakkan Batu Pertama Pembangunan
Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, (Jakarta: YJDJ, 1892), h. 21
pedoman tersebut, dicarilah lokasi yang dimaksud. Pada awal tahun 1981
lokasinya sudah ditemukan, tempat itu ternyata masih penuh ditumbuhi alangalang, terdapat dua pohon besar dan sumur di bawahnya.
Sesuai dengan petunjuk Bhante Acariya Nirodha, bahwa sesudah lokasi
ditemukan segera menghubungi pemilik tanah. Tanah tersebut ternyata milik PT.
Agung Podomoro. Dalam pembicaraan pihak yang akan membangun vihara
dengan Direktur PT. Agung Podomoro Anton Haliman, disarankan untuk
memperoleh ijin membangun vihara dari pemerintah daerah terlebih dahulu. Sejak
pembicaraan tersebut di atas maka secara resmi Sangha Theravada Indonesia
mengajukan permohonan untuk mendapat ijin mendirikan vihara dari pemerintah
daerah. Permohonan ijin tersebut di bantu oleh Ir. Rai Pratadaja dan Ir. Imam
Soebagyo.
Perlu diketahui bahwa tanah tersebut menurut rencana kota adalah untuk
bangunan perumahan. Karena akan digunakan sebagai bangunan tempat ibadah
(vihara), maka harus ada persetujuan perubahan rencana dari tata kota. Ijin
perubahan akhirnya dikabulkan oleh pemerintah daerah dan memakan waktu lebih
dari 1 tahun, luas tanah 8.640 m persegi. Direncanakan bangunan induk
(Uposathagara) didirikan dengan ukuran: panjang 22 meter tinggi maksimal 9
meter. Rencana bangunan Uposatha ini telah di gambar dengan teliti oleh Ir. Rai
Pratadaja dan Ir. Aswin Suganda. Sedangkan rencana keseluruhan dirancang oleh
Indira Sujana dan Ir. Evy Ekasanthirni. Semua perencanaan dibuat berlandaskan
nilai keagamaan dan kebudayaan nasional Indonesia.
Dana pembangunan vihara dikumpulkan sejak beberapa tahun sebelumnya
dari seluruh umat dan juga para donatur di Jakarta. Pengolahan pembangunan
vihara ini dilakukan oleh Badan Pengurus Yayasan “Jakarta Dhammacakka Jaya”.
Ketua kehormatan dijabat oleh Anton Haliman, sedangkan Ketua Umum dijabat
oleh Laksamana (Purnawirawan) Oyo Prayogo Kusno.
Vihara atau arama pertama dalam sejarah Buddha terletak di atas tanah
yang dinamakan Isipatana Migadaya (taman rusa Isipatana), dekat kota Banarasi.
Tempat yang sangat indah ini mengandung makna sejarah yang sangat penting
bagi umat Buddha yang tidak mungkin dapat dilupakan.55
Pada awalnya pengertian vihara sangat sederhana yaitu pondok atau
tempat tinggal atau temp;at penginapan para bhikkhu dan bhikkhuni, samanera,
samaneri. Namun kini pengertian vihara mulai berkembang, yaitu:
Vihara adalah tempat melakukan segala macam bentuk upacara keagamaan
menurut keyakinan, kepercayaan, dan tradisi agama Buddha, serta tempat umat
awam melakukan ibadah atau sembahyang menurut keyakinan, kepercayaan, dan
tradisi masing-masing baik secara perorangan maupun berkelompok. Didalam
vihara terdapat satu atau lebih ruangan untuk penempatan altar.56
Dulu sebelum dikenal vihara, tempat tinggal para bhikkhu adalah goa-goa,
di bawah pohon, di kuburan, di atas bukit, di tumpukan jerami, dan di tempat
penduduk yang menyediakan tempat untuk menginap. Setelah banyak orang yang
mendengarkan ajaran Sang Buddha dan berlindung kepada Sang Tri Ratna mereka
bermaksud untuk memberikan tempat tinggal bagi para bhikkhu yang layak. Sang
Buddha kemudian memperbolehkan umat berdana di vihara.
Pada mulanya umat Buddha belum mempunyai vihara secara khusus.
Gagasan untuk membangun sebuah vihara pertama kali dilakukan oleh Raja
Bimbisara dari kerajaan Rajagaha. Suatu ketika setelah Raja Bimbisara
55
Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), (Jakarta: Sangha Theravada
Indonesia, tt), h. 16
56
Suwarno T, Buddha Dharma Mahayana, Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999-2538
B.E., h. 908
mendengarkan ajaran Sang Buddha dan mencapai Sottapati (tingkat kesucian
pertama) maka beliau memberikan persembahan kepada Sang Buddha dan para
bhikkhu. Atas pemberian tersebut, Sang Buddha memberikan persyaratan sebagai
berikut:
•
Tempat tersebut tidak jauh, dekat dan ada jalan untuk lewat.
•
Tidak terlalu banyak suara di siang hari maupun malam hari.
•
Tempat tersebut tidak banyak gangguan serangga, angin, terik matahari dan
pohon menjalar.
•
Orang yang tinggal di situ mudah mendapat jubah, makanan, tempat tinggal,
obat-obatan sebagai pengobatan bagi orang sakit.
•
Di tempat tersebut ada bhikkhu yang lebih tua (senior) yang mempunyai
pengetahuan tentang kitab suci (Dhamma-Vinaya).
Sejak saat itu pengurusnya menerima Dana Vihara. Dengan semakin
banyak penganut ajaran Sang Buddha, maka vihara bukan hanya sebagai tempat
singgah para bhikkhu tetapi juga digunakan oleh para upasaka dan upasika (umat
awam laki-laki dan perempuan) untuk belajar dhamma. Pada hari-hari Uposatha
umat Buddha datang ke vihara untuk mendengarkan dhamma, menjalankan
atthasila dan melatih meditasi.
Vihara adalah sebagai tempat singgah atau tempat tinggal bagi para
bhikkhu dan sebagai sarana ibadah umat Buddha. Sedangkan jika dilihat dari
fungsi vihara, adalah sebagai berikut:
a. Tempat tinggal para bhikkhu dan samanera.
b. Tempat pendidikan putera-puteri bangsa, agar menjadi warga masyarakat yang
berguna.
c. Tempat yang memberikan rasa aman bagi semua umat Buddha.
d. Tempat pendidikan moral, sopan santun dan kebudayaan.
e. Tempat untuk berbuat kebajikan dan kebaikan.
f. Tempat menyebarkan dhamma.
g. Tempat yang menunjukkan jalan kebebasan.
h. Tempat latihan meditasi dalam usaha merealisasi cita-cita kehidupan suci.
i. Tempat kegiatan-kegiatan sosial yang bersifat keagamaan.57
Sebagai tempat tinggal para bhikkhu dan tempat ibadah umat Buddha
maka vihara terdiri dari beberapa bangunan, dimana setiap bangunan mempunyai
fungsi tersendiri. Banyaknya bangunan tergantung pada kemampuan umat Buddha
yang mendirikan vihara tersebut. Biasanya pekerjaan membangun vihara ini
dilakukan secara gotong-royong oleh para umat yang memiliki keyakinan kepada
Sang Tiratana.58
Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya terletak di Jalan Agung Permai XV/12
Blok C-3 Sunter Agung Podomoro ini mempunyai berbagai fasilitas untuk
menunjang proses kegiatan penyebaran ajaran Buddha, diantaranya:
1. Uposathagara (gedung Uposatha)
Uposathagara dibuat di tengah-tengah vihara dengan posisi menghadap ke
utara. Gedung ini merupakan gedung induk yang di kelilingi oleh gedung-gedung
lainnya. Uposathagara merupakan bangunan yang paling besar di antara
bangunan lain di vihara.
Uposathagara disebut pula sebagai Sima. Secara harfiah sima artinya
batas. Gedung ini dibangun di atas tanah yang sudah diberi batas atau tanda
57
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya, Pembangunan Vihara Jakarta Dhammacakka
Jaya, h. 30
58
Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Utamo, Bhakti (Puja), h. 16-17
(sima). Uposathagara yang ada di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya dikukuhkan
pada tanggal 24 Agustus 1985.59
Didalamnya terdapat cetiya yang digunakan untuk tempat menancapkan
dupa, tempat lampu (lilin), bunga dan ornamen-ornamen lainnya. Cetiya paling
atas terdapat Buddharupang diapit oleh rupang Sariputta dan Moggallana. Di
belakang cetiya terdapat relief Buddha dalam ukuran kecil. Samping depan kiri
dan kanan diletakkan kotak dana.60 Bila umat ingin melakukan puja bakti secara
sendiri-sendiri ataupun bersama-sama maka diawali dengan sikap namakara.61
Di pintu masuk Uposathagara bagian luar terdapat bendera Buddhis dan
bendera lambang Sangha Theravada Indonesia. Pada bagian luar juga dilengkapi
genta dan tambur besar. Genta dan tambur digunakan sebagai tanda dimulainya
upacara peringatan atau perayaan hari-hari besar agama Buddha. Untuk
melaksanakan upacara tertentu dan juga sebagai tanda para bhikkhu akan
melaksanakan fungsi Sangha.62
Uposatha artinya berdiam dan ghara artinya ruangan. Gedung ini
merupakan
bangunan
utama
dari
suatu
vihara
yang
dipakai
untuk
menyelenggarakan upacara keagamaan yang khusus untuk para bhikkhu
(sanghakamma).63
Berdasarkan
vinaya
pitaka,
sanghakama
yang
dilakukan
dalam
Uposathagara antara lain:
59
Yayasan Jakarta Dhammacakka Jaya, Pengukuhan Uposathagara Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya, h. 35
60
61
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
Namakara adalah menghormati dengan sikap sujud atau sungkem, membuat lima titik
anggota tubuh menyentuh lantai; dahi dan kedua telapak tangan merapat menyentuh lantai; titik kedua
dan ketiga; kedua siku dan lutut, dan titik keempat kelima dua ujung telapak kaki.
62
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
63
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
a. Upacara penahbisan samanera menjadi bhikkhu (upasampada).
b. Pembacaan Patimokkha, yaitu 227 peraturan kebhikkhuan yang dilakukan
pada setiap bulan gelap dan terang.
c. Upacara persembahan jubah Kathina.
d. Upacara merehabilisir kesalahan sedang (majjimapatti) dari para bhikkhu.64
2. Dhammasala/Dhammasabha (Balai Dhamma).
Dhammasala dibangun di depan kuti menghadap ke barat. Di dalam
ruangan ini terdapat cetiya (altar) yang sama dengan cetiya Uposathagara namun
Buddharupangnya lebih kecil. Di dalam Dhammasala juga terdapat kotak dana
dan ornamen lainnya. Dhammasala berasal dari kata Dhamma dan sala. Dhamma
artinya ajaran dan sala artinya ruangan. Dhammasala juga dikenal dengan bhakti
sala. Bhakti artinya kebaktian dan sala artinya ruangan. Jadi Bhaktisala artinya
tempat untuk melakukan puja bhakti.65
Dhammasala ini mempunyai fungsi untuk pembacaan parrita, pembabaran
dhamma, diskusi dhamma, meditasi atau untuk melaksanakan Vesakha-Puja,
Asalha-Puja, Magha-Puja, Kathina-Puja. Selain itu Dhammasala juga berfungsi
sebagai tempat untuk melangsungkan pernikahan, ulang tahun atau upacara
kematian.66
3. Kuti
Kuti terletak di depan Uposathagara di sebelah kiri menghadap ke timur.
Kuti ini berhadapan dengan Dhammasala. Bangunan kuti dibangun dua lantai
dengan fungsi yang berbeda. Bagian atas terdapat lima kamar digunakan sebagai
64
Oka Diputra, Pelajaran Agama Buddha SMP untuk kelas 2, h. 1
65
Wawancara Pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
66
Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja), h. 17
tempat tinggal bhikkhu. Lantai bawah digunakan sebagai ruang tamu dan ruang
makan.
Kuti adalah bangunan untuk tempat tinggal bagi para bhikkhu dan
samanera (calon bhikkhu). Bangunan kuti ini merupakan bangunan yang terpisah
dari gedung Uposatha.
Menurut Bhante Jayaratano pada awalnya satu kuti didiami satu bhikkhu
atau samanera (calon bhikkhu). Tetapi dengan bertambahnya jumlah bhikkhu
maka dibuatkan kuti yang agak besar, dengan beberapa ruangan sehingga kuti ini
dapat didiami oleh beberapa orang bhikkhu. Di Vihara Jakarta Dhammacakka
Jaya sendiri terdapat lima kamar dengan dua tempat tidur. 67
4. Pohon Bodhi/Pohon Penerangan
Pohon Bodhi atau pohon penerangan dalam bahasa latin Ficus Religiosa
adalah tempat Sang Buddha duduk mencapai tingkat penerangan sempurna. Pohon
Bodhi di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya ini ada 2 buah dan didatangkan
langsung dari Thailand dan hasil dari cangkokan. Pohon Bodhi ditanam di taman,
ketika orang masuk pintu utama vihara maka akan terlihat pohon bodhi. Dengan
melihat letaknya diharapkan umat Buddha yang datang ke vihara akan langsung
teringat akan kesempurnaan Sang Buddha.
5. Perpustakaan Narada
Dewasa ini perpustakaan juga merupakan sarana yang penting untuk
pembinaan kehidupan beragama di samping menambah ilmu pengetahuan. Umat
Buddha dapat menambah pengetahuan tentang buku-buku yang tersedia di dalam
perpustakaan.68
67
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
68
Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja), h. 18
Perpustakaan Narada ini berada di belakang Uposathgara berhadapan
dengan jalan raya. perpustakaan dibangun dua lantai dengan fungsi yang berbeda.
Lantai atas di gunakan sebagai perpustakaan yang dilengkapi dengan fasilitasfasilitas perpustakaan, yaitu buku-buku, komputer, audio visual.
Perpustakaan Narada didirikan dalam rangka mengenang seorang bhikkhu
berkebangsaan Sri Lanka bernama Narada Mahatera. Pendiriannya tidak hanya
terbatas untuk umat Buddha, namun juga untuk masyarakat umum yang berlainan
agama. Buku-buku yang terdapat di sana tidak terbatas hanya buku-buku agama
Buddha, buku umum dan buku-buku agama lain pun banyak didapati di sana.
6. Kesekretariatan
Gedung ini dibuat menjadi tiga ruangan. Ruang sekretariat, ruang tamu
dan pos keamanan yang mempunyai fungsi yang berbeda. Ruang sekretariat
berfungsi untuk melaksanakan administrasi vihara, menyerahkan dana dan untuk
menyimpan dokumentasi. Ruang tamu digunakan pada saat kunjungan tamu
resmi. Pos keamanan berfungsi untuk menjaga keamanan vihara juga sebagai
tempat informasi.
7. Bursa
Bursa buku vihara dibuatkan gedung yang juga dibagi menjadi tiga
ruangan, yaitu: ruang bursa buku, ruang majalah, dan ruang pemeriksaan
kesehatan (klinik). Bangunan ini digunakan untuk penjualan buku-buku dhamma
dan souvenir yang bercirikan Buddha. Ruang sebelah bursa buku dipakai untuk
pusat kegiatan. Majalah Dhammacakka, majalah ini terbit tri wulan, yaitu:
Waisak, Kathina, Asadha, dan Magha Puja. Ruang yang paling ujung digunakan
untuk pemeriksaan kesehatan.
8. Replika Candi Pawon
Replika Candi Pawon ini adalah tempat untuk menyimpan abu para
donatur dan pendiri Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.
9. Mading
Tempat untuk menempelkan berbagai informasi yang dibutuhkan oleh
umat, baik itu tentang kegiatan vihara maupun informasi lowongan pekerjaan.
10. Bedug atau Gong
Alat ini berfungsi sebagai tanda dimulai dan diakhirinya puja bhakti atau
upacara khusus.
11. Kamar Mandi
12. Taman
13. Parkir.
Lambang-lambang
yang
terdapat
di
vihara
dimaksudkan
untuk
mengingatkan umat Buddha pada ajaran Sang Buddha parinibbana (mangkat),
umat merenungkan Sang Buddha dan ajarannya melalui lambang-lambang yang
sesuai. Adapun lambang yang dipakai di vihara Jakarta Dhammacakka Jaya antara
lain rupang, stupa, cakka, dan lambang-lambang yang terdapat di altar.
1. Buddharupang (rupang)
Banyak orang beranggapan bahwa penganut agama Buddha adalah
penyembah berhala, mereka berpikir bahwa di depan Buddharupang umat Buddha
menyembah Buddharupang dan meminta-minta segala sesuatu yang di
kehendakinya, hal ini tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya dilakukan umat
Buddha di hadapan Buddharupang tersebut.
Dalam melakukan puja kepada Sang Buddha, sesuai dengan ajaran-Nya,
Buddharupang melambangkan kehadiran Sang Buddha. Buddharupang menjadi
lambang perwujudan Sang Buddha bukanlah semata-mata sebuah berhala yang
disembah begitu saja. Umat Buddha menghormatinya karena Buddharupang
memiliki makna filosofis yang dalam bagi mereka.69 Buddharupang sebagai
lambang pemujaan tidak hanya dipuja sebagai sosok kepribadian. Sang Buddha
yang sangat mulia, melainkan juga karena perjuangan dan ajaran beliau yang
dapat membebaskan manusia dari penderitaan.
Sekalipun Buddharupang hanya terbuat dari kayu, batu, perunggu atau
emas, umat Buddha tetap menghormatinya dengan cara beranjali (merangkap
kedua tangan di depan dada) atau bernamaskara (bersujud) di hadapan
Buddharupang, rasa bakti yang dilakukan di hadapan Buddharupang didasarkan
rasa terima kasih kepada guru junjungan yang juga merupakan awal atau pintu
memperoleh kebenaran atau paling tidak melakukan kusala kamma (kamma baik).
Atas jasa-jasa beliau manusia dapat bebas dari penderitaan, menuju kebahagiaan,
dan mencapai kebebasan.
Rupang diletakkan di setiap bangunan vihara (Uposathagara, Dhammasala,
Kuti dan Perpustakaan), gunanya agar umat mengetahui bahwa rupang merupakan
lambang yang sering digunakan dalam agama Buddha.
2. Stupa
Stupa (sansekerta) atau thupa (pali) adalah suatu monumen yang didirikan
sebagai tempat untuk menempatkan abu jenazah sisa kremasi atau benda
peninggalan (relic) dari orang suci atau Cakkavati (raja sejagat). Bentuk stupa
adalah melambangkan empat unsur pokok yang berbentuk jasmani manusia, yaitu
tanah, air, api dan udara. Stupa telah ada sejak masa Sang Buddha. Stupa juga
69
Dwiyanti, Fungsi Vihara bagi Umat Buddha, (Skripsi S1 Sekolah Tinggi Agama Buddha
Nalanda, Jakarta, 1997), h. 19.
dijadikan sebagai objek penghormatan.70 Puja Bhakti maupun penghormatan pada
stupa adalah suatu sikap mental dengan tujuan merenungkan dan selalu ingat akan
perbuatan atau perilaku baik orang-orang suci yang peninggalan atau relicnya
terdapat dalam stupa (pada masa hidupnya), agar umat Buddha dapat
meneladaninya. Inilah makna dari penghormatan pada stupa tersebut.
Stupa yang ada di vihara Jakarta Dhammacakka jaya adalah stupa dalam
bentuk kecil dan diletakkan di altar.
3. Cakka atau Cakra
Kata cakka atau cakra ini dikenal dalam agama Buddha yang disebut
Dhammacakka (Pali) atau Dhammacakra (Sansekerta) yang berarti roda dhamma,
yaitu sebagai lambang permulaan pembabaran dhamma yang diajarkan Buddha
Gotama kepada murid pertama 5 petapa. Lambang ini berbentuk lingkaran, di
dalamnya terdapat ruji-ruji serta porosnya. Semua itu menggambarkan bahwa ban
dari lingkaran roda itu sebagai belas kasihan yang tidak berhenti. Ruji-ruji di
dalam lingkaran itu sebanyak delapan buah adalah menggambarkan Jalan Mulia
Berunsur Delapan, yang harus dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari demi
tercapainya pembebasan mutlak atau nibbana.
Lambang cakka di vihara ini diletakkan di pintu masuk Uposathagara.
Lambang-lambang lain yang terdapat di cetiya adalah lampu/lilin, dupa, bunga
dan air.
a. Lampu penerangan
Dalam melaksanakan puja di depan Sang Buddha digunakan lampu
penerangan. Lampu ini melambangkan cahaya yang menerangi kegelapan.
Ruangan yang semula gelap gulita, dapat menjadi terang dengan cahaya lampu.
70
Coerneles Wowor, Pelajaran Agama Buddha untuk SMA kelas 1 (Jakarta: CV. Felita
Nursatama Lestari, 2003), h. 4-5.
Demikian juga dhamma dapat menerangi batin yang gelap menuju penerangan
sempurna.
b. Dupa atau hio
Di dalam vihara biasanya ada bau harum dari dupa yang ditancapkan di
tempat khusus di altar. Dalam hal ini dupa melambangkan harumnya kebajikan
yang dilakukan oleh siapa saja. Namun bau harumnya dupa tidak dapat melawan
arah angin, sebaliknya bau harumnya kebajikan atau nama baik dapat melawan
arah angin. Dalam Dhammapada disebutkan:
Harumnya bunga tak dapat melawan arah angin. Begitu pula harumnya kayu
cendana, bunga tagara dan melati. Tetapi harumnya kebajikan dapat
melawan arah angin; harumnya nama orang bajik dapat menyebar kesegala
penjuru.71
Harum juga nama Sang Buddha karena beliau penemu jalan kebenaran.
Inilah yang patut direnungkan dengan objek dupa yang ada.
c. Bunga
Bunga adalah lambang ketidakkekalan (Anicca), bunga segar yang
diletakkan di altar setelah beberapa waktu akan menjadi layu. Begitu pula dengan
badan dan jasmani, suatu waktu pasti akan menjadi tua, lapuk dan akhirnya mati.
Pada saat dipetik dan dipersembahkan di cetiya, bunga masih segar dan harumnya
membuat altar kelihatan indah dan agung namun beberapa waktu kemudian akan
layu dan hancur. Begitulah ketidak kekalan (anicca) akan dialami oleh setiap
perpaduan dari unsur-unsur baik yang hidup ataupun yang mati.
d. Air
Air dalam agama Buddha melambangkan kerendahan hati, kesejukkan,
kemurnian, dan kebersihan karena air mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
71
Dhammapada, (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, tt), h. 29
•
Air dapat membersihkan noda-noda.
•
Air dapat memberikan tenaga hidup kepada makhluk-makhluk.
•
Air dapat menyesuaikan diri dengan semua keadaan.
•
Air selalu mencari tempat yang rendah.
•
Air kelihatannya lemah, akan tetapi suatu saat akan menjadi tenaga yang
sangat besar.
Selain itu air juga melambangkan kesucian, oleh karena itu hendaknya
manusia mampu berbuat seperti air. Sifat air yang dapat membersihkan kekotoran
memberikan arti tersendiri dalam kehidupan manusia. Bagaikan air manusia juga
dapat membersihkan segala kekotoran batinnya dengan cara melaksanakan
meditasi.
Kegiatan yang dilaksanakan di Vihara Dhammacakka Jaya ini meliputi
kegiatan keagamaan, pendidikan keagamaan dan kegiatan sosial keagamaan.
1. Kegiatan Keagamaan
a. Kegiatan Rutin
Kegiatan rutin adalah kegiatan yang dilaksanakan berulang-ulang dalam
jangka panjang. Kegiatan yang dilakukan secara rutin oleh umat Buddha ialah
pemeriksaan kesehatan, pemberkatan perkawinan, latihan meditasi, puja bhakti
umum, puja bhakti remaja, puja bhakti sore, puja bhakti mahasathi, puja bhakti
uposatha, puja bhakti lanjut usia. Kebaktian-kebaktian
ini dilakukan dengan
membaca paritta, meditasi, permohonan Pancasila, permohonan Atthasila (bila
dihadiri oleh bhikkhu), mendengarkan dhamma. Rangkaian puja bakti ini biasanya
dilakukan di seluruh vihara agama Buddha.
b. Kegiatan Berkala
Kegiatan berkala adalah kegiatan yang dilakukan berulang-ulang pada
waktu tertentu dan beraturan. Kegiatan yang dilakukan berulang-ulang adalah
memperingati hari raya Tri Suci waisak, asadha, kathina, dan magha puja, donor
darah, perayaan HUT SIMA Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya.
c. Kegiatan Khusus
Kegiatan keagamaan yang dilakukan secara khusus, yaitu: Pabbajja dan
Upasampada. Pabbaja artinya meninggalkan rumah memasuki kehidupan tak
berumah tangga. Orang yang telah mengikuti Pabbajja dipanggil samanera (calon
bhikkhu), sedangkan orang yang telah di Upasampada disebut bhikkhu.
1. Kegiatan Pendidikan Keagamaan
a. Kelas Dhamma
Untuk mengetahui ajaran Sang Buddha, umat tidak hanya mendengarkan
dhammadesana yang diadakan satu kali dalam seminggu. Sisi lain untuk mengerti
ajaran Sang Buddha adalah dengan cara mengikuti kelas dhamma. Pada kelas
dhamma umat bisa menanyakan yang belum dimengerti. Ini sangat baik bagi
pemula yang sedang belajar dhamma, karena mereka dapat menanyakan dhamma
yang belum diketahui. Ada lima manfaat yang diperoleh seseorang yang sering
mendengarkan dhamma, yaitu:
1. Assutim sunati
: mendengarkan sesuatu yang belum pernah
didengar, belajar mengetahui sesuatu yang
belum pernah diketahui.
2. Sutam pariyodapeti
: sesuatu yang pernah didengar, dilaksanakan
dengan tekun untuk mendapatkan kenyataan.
3. Kankham vihanti
: melenyapkan keraguan, segala sesuatu yang
ragu dilenyapkan.
4. Ditthim ujum karoti
: berpandangan yang benar.
5. Cittamassa pasidati
: pikirannya bersih.72
Setelah menyadari manfaat belajar dhamma maka akan banyak orang yang
semakin tertarik mengikuti kelas dhamma.
b. Sekolah Minggu
Buddha Dhamma perlu diajarkan kepada anak-anak. Pengenalan Buddha
dhamma kepada anak sebaiknya dilakukan sejak dini. Dengan demikian maka
pribadi anak akan terbentuk dengan baik karena dhamma merupakan landasan
pembentukan pribadi yang baik. Sekolah minggu merupakan pendidikan
pengenalan Buddha Dhamma kepada anak. Pada hari minggu vihara mengadakan
sekolah minggu untuk anak-anak. Buddha Dhamma disampaikan kepada anak
dalam bentuk cerita, nyanyian ataupun praktek langsung dalam hal tata cara
kebaktian.
c. Kesenian
Kesenian merupakan curahan hati bagi seseorang yang berjiwa seni
melalui lantunan sebuah lagu misalnya, seseorang dapat menuangkan buah
pikirannya. Banyak umat Buddha yang berjiwa seni, mereka akan merasa lebih
mudah menuangkan dhamma lewat karya seninya dari pada harus menuangkan
dhamma dengan metode lainnya.
2. Kegiatan Sosial Keagamaan
Aksi sosial adalah salah satu kegiatan dalam bentuk dana. Dana yang umat
berikan dapat berupa uang, makanan, pakaian, donor darah, dan lain-lain. Setelah
72
Panjika (Pandit Jinaratna. Kaharuddin), Kamus Buddha Dhamma, (Jakarta: Tri Sattva
Buddhist Centre, 1994), h. 71-72
dana tersebut terkumpul, maka disalurkan melalui seksi sosial ke tempat-tempat
yang membutuhkan. Kegiatan sosial tersebut dapat dilaksanakan di vihara.
Dengan melakukan aksi sosial ini maka umat telah melaksanakan salah satu ajaran
Sang Buddha.
B. Pelaksanaan Puasa (Uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya
Dalam agama Buddha pelaksanaan sila dalam bentuk peraturan pelatihan
itu berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan kelompok umat Buddha tersebut
menjalani kehidupannya. Dalam hal ini umat Buddha terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:
1. Gharavasa (perumahtangga), yaitu orang yang menjalani hidup berkeluarga
atau tidak, mempunyai pekerjaan seperti: petani, pedagang, militer, dan lainlain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka.
2. Pabbajita, yaitu orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga
(keduniawian) dan menjalani hidup suci untuk mencapai nibbana. Pabbajita
tidak mempunyai pekerjaan, hidupnya dari menerima dana yang layak bagi
seorang petapa dari umat perumah tangga (gharavasa) yang memiliki saddha
(keyakinan) dan simpatik. Pabbajita ini terdiri dari bhikkhu (laki-laki),
bhikkhuni (perempuan), samanera (laki-laki) dan samaneri (perempuan).73
a. Puasa Bagi Umat Awam
Umat Buddha yang menjalani hidup berkeluarga di dalam masyarakat
disebut Upasaka dan Upasika. Kata Upasaka berarti yang duduk dekat dengan
guru. Kadang-kadang disebut pula umat yang berpakaian putih. Di dalam
kehidupan sehari-hari upasaka dan upasika, mereka melatih diri untuk
73
Pandita Dhammavisarada Drs. Teja S.M Rashid, Sila dan Vinaya (Jakarta: Penerbit Buddhis
Bodhi, 1997), h. 23
melaksanakan Pancasila. Pada kitab Suci Dhammapada 246-247, Sang Buddha
bersabda:
“Barang siapa membunuh makhluk hidup, suka berbicara tidak benar,
mengambil apa yang tidak diberikan, merusak kesetiaan istri orang lain, atau
menyerah pada minuman yang memabukkan, maka di dunia ini orang seperti
itu seakan menggali kubur bagi dirinya sendiri”.74
Perbuatan-perbuatan yang tidak baik itu harus dihindarkan, bila seseorang
ingin menjadi seorang manusia tidak hanya jasmaninya saja, tetapi juga batinnya.
Ke lima dari Pancasila itu merupakan petunjuk tingkah laku moral dasar dan
minimal yang harus dilaksanakan oleh seorang umat Buddha. Uraian Pancasila
Buddha Dhamma adalah sebagai berikut:
1. Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Aku bertekad melatih diri menghindari pengambilan barang yang tidak
diberikan.
3. Aku bertekad melatih diri menghindarkan perbuatan tidak suci.
4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar (bohong).
5. Aku bertekad melatih diri menghindari minuman keras, barang madat yang
menyebabkan lemahnya kesadaran.75
Selain menjalankan Pancasila tersebut, pada hari-hari Uposatha umat
Buddha dianjurkan untuk melaksanakan Atthasila (delapan sila), biasanya dengan
berdiam di vihara selama hari tersebut. Selama di vihara umat dapat
mendengarkan khotbah Dhamma atau melatih diri untuk melaksanakan meditasi.
74
75
Jutanago, Kitab Suci Dhammapada (Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994), h. 127
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya (Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha
Nalanda, 1988), h. 6-7
Di dalam Atthasila, sila pertama, kedua, keempat, dan ke lima sama dengan
Pancasila, tetapi sila yang ketiga di ganti menjadi:
3. Aku bertekad melatih diri tidak melakukan hubungan kelamin.
Dan ditambah tiga sila lainnya, yaitu:
6. Aku bertekad melatih diri menghindari makan makanan setelah tengah hari.
7. Aku bertekad melatih diri menghindari marian, menyanyi, bermain musik, dan
pergi melihat pertunjukkan, memakai atau berhias dengan bebungaan,
wewangian, dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan untuk mempercantik
tubuh.
8. Aku bertekad melatih diri menghindari penggunaan tempat tidur dan tempat
duduk yang tinggi dan besar (mewah).76
Menurut Bapak Supiyamano, di dalam Pancasila Buddhis, orang masih
dapat menikmati nafsu indera yang tidak bertentangan dengan Pancasila, tetapi di
dalam Atthangasila/Atthasila, seseorang sudah tidak boleh lagi memuaskan nafsu
indera atau melakukan hubungan kelamin meskipun dengan istri atau suaminya
sendiri, tidak makan lewat tengah hari dan tidak makan makanan dan cairan
tertentu yang tidak diijinkan pada malam hari, tidak mempercantik diri dengan
kosmetik dan perhiasan, serta tidak menggunakan tempat tidur dan tempat duduk
yang tinggi dan mewah.77
Pada tiap-tiap hari Uposatha, umat Buddha yang berniat menjalankan
peraturan (sila), akan mengucapkan kalimat demi kalimat yang ada di dalam
Atthasila, dan berusaha untuk tidak melanggar apa yang telah diucapkannya.78
76
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 7
77
Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007
Anjali G.S., Tuntunan Uposatha dan Atthasila (Jakarta: Lembaran Khusus Agama Buddha,
78
tt), h. 25
Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh umat Buddha pada hari Uposatha
tidak mesti sama, hal ini tergantung pada apa yang menjadi prioritas mereka, yaitu
belajar teori atau praktek dhamma. Jika hendak belajar teori atau tentang
pengetahuan dhamma, dalam sehari mereka dapat mendengarkan tiga atau empat
khotbah dhamma yang diberikan oleh para bhikkhu. Mereka dapat meminjam dan
mempelajari buku-buku dhamma, atau mungkin juga diadakan sebuah kelas
dhamma. Mereka dengan leluasa dapat membagi waktu untuk belajar meditasi,
diskusi dhamma dengan para bhikkhu dan sebagainya.
Jika hendak memperdalam praktek dhamma, umat dapat melakukan
meditasi di vihara, mengisi waktu dengan konsentrasi setiap saat, sambil duduk
maupun berjalan dan sesekali membantu bhikkhu mengerjakan tugas sehari-hari.
Demikianlah sepanjang hari dan malam itu (beberapa umat yang bersemangat
hanya tidur sedikit), mencurahkan waktunya untuk memperdalam dan
mempraktekkan dhamma.
Pada hari Uposatha, biasanya mereka lebih banyak melakukan perbuatan
baik dari pada hari-hari biasanya, antara lain membersihkan vihara dan berdana
kepada orang yang membutuhkan bantuan, terutama kepada bhikkhu sangha.
Mereka yang melaksanakan Atthangika Uposatha disebut Upasatham Upavasati
dan upacara memasuki hari uposatha disebut Upasatham samadiyati.79
Umat Buddha yang akan menjalankan Uposathasila pada hari Uposatha,
biasanya mereka pergi ke vihara pagi hari sekitar pukul 05.30 untuk permohonan
sila (Uposathasila) kepada para bhikkhu, bersikap tenang, terkendali, tidak emosi,
tidak berbicara hal-hal yang tidak berguna, memusatkan pikiran kepada Sang
Tiratana (Buddha, Dhamma dan Sangha). Di vihara bersama dengan umat yang
79
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 40
lain, yang juga menjalankan Uposathasila memanjatkan paritta dan meminta
tuntunan uposathasila kepada bhikkhu sangha dan mendengarkan khotbah
dhamma.80
Berikut adalah permohonan tuntunan Uposathasila yang diucapkan oleh
umat Buddha yang akan menjalankan Uposathasila:
Mayam Bhante Tisaranena saha
Atthangasamannagatam Uposatham yacama
Dutiyampi mayam Bhante Tisaranena saha
Atthangasamannagatam Uposatham yacama
Tatiyampi mayam Bhante Tisaranena saha
Atthangasamannagatam Uposatham yacama
Artinya
Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari
Uposatha ini. Untuk kedua kalinya Bhante, Kami mohon Tisarana dan
Atthasila (yang ada pada diri samana) pada hari Uposatha ini. Untuk ketiga
kalinya Bhante, Kami mohon Tisarana dan Atthasila (yang ada pada diri
samana) pada hari Uposatha ini.
•
Kemudian bhikkhu mengucapkan Vandana
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammsambuddhassa, 3 kali
Artinya:
Terpujilah Sang Bhagava, Yang Maha Suci, Yang telah Mencapai
Penerangan Sempurna (3x).
80
Bhikkhu Vijano, Dhamma-Sekolah Minggu Buddhis (Jakarta: Yayasan Dhammadipa
Arama, 1986), h. 38
•
Umat mengikuti kalimat demi kalimat
•
Bhikkhu mengucapkan Evam Vadehi
•
Umat menjawab Ama Bhante
•
Bhikkhu mengucapkan Tisarana
•
Umat mengikuti kalimat demi kalimat
Buddham saranam gacchami
Dhammam saranam gacchami
Sangham saranam gacchami
Dutiyampi Buddham saranam gacchami
Dutiyampi Dhammam saranam gacchami
Dutiyampi Sangham saranam gacchami
Tatiyampi Buddham saranam gacchami
Tatiyampi Dhammam saranam gacchami
Tatiyampi Sangham saranam gacchami
Artinya :
Aku berlindung kepada Buddha
Aku berlindung kepada Dhamma
Aku berlindung kepada Sangha
Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Buddha
Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Dhamma
Untuk kedua kalinya aku berlindung kepada Sangha
Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Buddha
Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Dhamma
Untuk ketiga kalinya aku berlindung kepada Sangha
•
Bhikkhu mengucapkan Saranagamanam Nitthitam
•
Umat mengucapkan Atthasila
•
Umat mengikuti kalimat demi kalimat
1. Panatipada veramani sikkhapadam samadiyami
2. Adinnadana veramani sikkhapadam samadiyami
3. Abrahmacariya veramani sikkhapadam samadiyami
4. Musavada veramani sikkhapadam samadiyami
5. Sura-meraya-majja-pamadatthana veramani sikkhapadam samadiyami
6. Vikala-bhojana veramani sikkhapadam samadiyami
7. Naccagita-vadita-visukadassana
malagandha-vilepana
dharana-
mandana vibhusanatthana veramani sikkhapadam samadiyami
8. Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami
Artinya:
1. Aku bertekad melatih diri menghindari pembunuhan makhluk hidup.
2. Aku bertekad melatih diri menghindari mengambil barang yang tidak
diberikan.
3. Aku bertekad melatih diri menghindari perbuatan tidak suci.
4. Aku bertekad melatih diri menghindari ucapan yang tidak benar.
5. Aku bertekad melatih diri menghindari segala minuman keras, barang
madat yang menyebabkan lemahnya kesadaran.
6. Aku bertekad melatih diri menghindari makan-makanan setelah tengah
hari.
7. Aku bertekad melatih diri menghidari menari, menyanyi, bermain
musik, dan pergi melihat pertunjukkan, memakai atau berhias dengan
bebungaan, wewangian dan barang olesan (kosmetik) dengan tujuan
mempercantik tubuh.
8. Aku bertekad melatih diri menghindari penggunakan tempat tidur dan
tempat duduk yang tinggi dan besar (mewah).
•
Bhikkhu mengucapkan
•
Umat mengikuti kalimat demi kalimat
Imani Atthangasamannagata
Buddhapannattam Uposatham
Imanca rattim imanca divasam
Sammadeva abhirakkhitum samadiyami
Artinya:
Kami menyatakan (tekad) melakukan Uposatha, yang telah diajarkan Sang
Buddha. Terdiri dari delapan bagian sila, harus dijaga dengan baik, bersih
dan sempurna, jangan sampai terputus atau melanggar selama satu hari
ssatu malam.
•
Bhikkhu mengucapkan
Imani Atthasikkhapadani Ajjekam Rattindivam
Uposathavasena Sadhukam Rakkhitabbani
Artinya:
Inilah delapan latihan moral yang dijaga selama satu hari satu malam
dalam melakukan Uposatha.
•
Hadirin menjawab: Ama Bhante
•
Bhikkhu mengucapkan:
Silena sugatim yanti
Silena bhogasampada
Silena nibbutim yanti
Tasma silam visodhaye
Artinya:
Dengan menjalankan sila berakibat hidup bahagia.
Dengan menjalankan sila berakibat memperoleh kekayaan materi dan
batin.
Dengan menjalankan sila berakibat tercapainya kebahagiaan abadi atau
nibbana.
Oleh sebab itu laksankanlah sila itu dengan baik dan sempurna.
•
Hadirin menjawab: Ama Bhante
Sadhu Sadhu Sadhu.81
Di dalam Uposatha Sutta, Sang Buddha mengajarkan renungan terhadap
mereka yang hendak melatih Atthasila sebagai berikut:
“Dengan menjalankan delapan sila pada hari Uposatha, saya melepaskan
cara-cara yang biasa dilakukan orang, dan hidup seperti arahat, penuh cinta kasih,
suci dan bijaksana.82
Puasa yang dilaksanakan oleh umat awam di dalam agama Buddha adalah
untuk melaksanakan sila, yaitu sila ke enam dari Atthasila. Di dalam sila keenam
ini terdapat istilah vikala-bhojana, yang terbentuk dari dua kata, yaitu vikala dan
bhojana. Kata vikala terdiri dari awalan vi yang berarti berbeda, berlawanan dan
kebalikan; dan kata kala yang berarti waktu yang salah. Kata bhojana berarti
makanan. Gabungan dari dua kosa kata tersebut, vikala-bhojana dapat
disepadankan dengan memakan makanan pada waktu yang salah. Artinya, tidak
memakan makanan dan minuman di luar batas waktu yang telah ditentukan.
Batas waktu yang tidak tepat adalah dimulai dari tengah hari, pukul 12.00
siang sampai pada keesokan harinya, yaitu bila kita sudah dapat melihat warna
81
Tuntunan Latihan Upasika Atthasila, (Penerbit:
Pendidikan Bhikkhu/Samanera, tt), h. 22-25
82
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 13
Sangha Theravada Indonesaia (Biro
hijau dari daun-daun atau telah dapat melihat garis-garis pada telapak tangan
sendiri, baru boleh makan makanan.83
Dengan demikian, batas waktu makan yang diberikan adalah antara pukul
06.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 siang. Meskipun demikian, hal ini tidak
berarti selama jangka waktu tersebut lalu makan sesering mungkin. Bukan
demikian, tetapi berusaha untuk menggunakan sesedikit mungkin. Bahkan
kadang-kadang digunakan hanya dua kali saja, yaitu pukul 07.00 pagi dan pukul
11.00 siang.84
Menurut Bapak Supiyamano, sila ke enam ini sebenarnya meniru latihan
yang dilakukan oleh para bhikkhu, tujuannya adalah untuk menghindari
kemalasan yang dialami setelah bekerja seharian dan sehabis makan siang.
Dengan menjalankan sila ini, badan menjadi lebih ringan dan siap digunakan
untuk berlatih meditasi. Tetapi beberapa hal diperlukan di sini, yaitu makanan dan
minuman yang diperbolehkan dimakan atau diminum setelah lewat tengah hari
adalah minum obat, yaitu mereka yang bekerja, jika dirasa terlalu lelah setelah
bekerja seharian penuh, maka teh atau kopi boleh diminum untuk membuat tubuh
segar. Jika merasakan lapar maka coklat murni yang diseduh / dibuat minum,
gula, madu, mentega dan sirup buah boleh digunakan. Bila masuk angin boleh
minum jahe atau memakan jahe muda. Bila sembelit, dapat memakan buah asam.
Sebaliknya yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai
penguat tubuh, seperti: nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam
hal ini susu disamakan dengan makanan.85
83
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 48
84
Bhikkhu Uttamo, Hidup Sesuai dengan Dhamma, (Blitar: Vihara Samanggi Jaya, 1994), h.
85
Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007
48
b. Puasa Bagi Umat Viharawan
Di dalam melaksanakan aturan pelatihan bagi umat viharawan, dilihat dari
waktu pelaksanaannya, dapat dikategorikan menjadi tiga bagian, yaitu:
1. Puasa bagi para bhikkhu dan samanera (calon bhikkhu) adalah dilaksanakan
setiap hari sesuai dengan tanggung jawab mereka di dalam Patimokkha.86
2. Pada hari Uposatha, selain berpuasa para bhikkhu juga berkumpul untuk
mendengarkan 227 sila dari Patimokkha yang dibacakan oleh salah seorang
bhikkhu.87
3. Pada masa musim hujan, para bhikkhu harus berdiam di suatu tempat, dan
meskipun
masih
melakukan
tugas
sehari-hari,
mereka
tidak
boleh
meninggalkan vihara sampai larut malam. Dalam kondisi lingkungan tertentu
mereka diperbolehkan absen dari vihara atau tempat dimana mereka tinggal,
paling lama tujuh hari.88
Perhimpunan para bhikkhu disebut Sangha. Kata Sangha tidaklah sematamata menunjukkan suatu kelompok bhikkhu, namun lebih berarti sebagai para
bhikkhu yang berkumpul untuk menjalankan suatu fungsi atau tugas. Jumlah
bhikkhu yang membentuk sebuah Sangha ditentukan oleh fungsinya. Kebanyakan
fungsi memerlukan Sangha dengan empat bhikkhu yang disebut catuvagga, tetapi
beberapa fungsi lainnya memerlukan Sangha dengan lima, sepuluh, atau dua
puluh bhikkhu (pancavagga, dasavagga, visativagga).
Sangha dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
86
Matara Sri Nanarama Mahathera, Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung
(Penerbit Karaniya-Yayasan Karaniya, tt), h. 2
87
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 61
88
Bhikkhu Khantipalo, Saya Seorang Buddhis, h. 77
1. Samutti Sangha, yaitu perkumpulan para bhikkhu yang belum mencapai
tingkat kesucian.
2. Ariya Sangha, yaitu perkumpulan para bhikkhu dan upasaka-upasika yang
telah mencapai tingkat kesucian.
Ariya Sangha inilah yang termasuk dalam tiga perlindungan (Tisarana): Buddha,
Dhamma, dan Sangha.89
Dari sini maka pelaksanaan puasa bagi masyarakat viharawan dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Puasa Bagi Samanera
Sebelum menjadi bhikkhu, seorang umat Buddha harus ditahbiskan
terlebih dahulu menjadi samanera dengan upacara Pabbaja. Kata samanera
berasal dari kata samana (pertapa) dan nera (putera atau kecil). Seorang samanera
harus mengikuti bimbingan yang diberikan oleh acariya (guru pembimbing) dan
upajjahaya (guru penahbis) yang bertanggung jawab atas latihannya dalam
dhamma dan vinaya, sebagai persiapan upasampada (upacara penerimaan anggota
sangha). Seorang samanera harus melatih diri untuk melaksanakan dasasila
(sepuluh peraturan latihan) dan 75 sila sekhiya (bagian dari Patimokkha). Setelah
samanera diberi upasampada, ia diterima ke dalam sangha sebagai seorang
bhikkhu yang belum berpengalaman.90
Seorang samanera tidak sepenuhnya melaksanakan Cattaro Silakkhanda
(empat kelompok sila: Patimokkha samvara sila, indriya samvara sila,
89
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13
90
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13-14
ajivaparisuddhisila dan paccayasannissita sila). Bagi samanera mereka tidak
melaksanakan Patimokkha sila yang terdiri dari 227 sila, tetapi mereka
melaksanakan 10 sikkhapada (sepuluh peraturan latihan) dan 75 sekhiya dhamma
(bagian penting dari Patimokkha). Di samping itu juga samanera melaksanakan
Nasananga
(sepuluh
kesalahan
yang
mengakibatkan
pengusiran)
dan
dandakamma (lima kesalahan yang mengakibatkan denda kerja).91
Puasa bagi samanera ini adalah dilaksanakan setiap hari, karena sudah
menjadi kewajiban mereka untuk memperhatikan dasasila sebagai standar sila
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Waktu yang tepat bagi para samanera untuk
makan adalah dimulai pada saat pagi hari ketika cahaya sudah cukup terang untuk
melihat garis pada telapak tangan dan berakhir pada tengah hari.
Dalam jangka waktu tersebut mereka dapat makan sekali atau dua kali.
Bila hanya makan sekali, maka jumlah yang dimakan harus cukup untuk 24 jam,
sedangkan bila makan dua kali, maka makan yang kedua dilakukan pada sekitar
jam 11.00 agar selesai makan pada waktu tengah hari.92
Pelanggaran peraturan pelatihan (tidak makan pada waktu yang salah) ini
telah terjadi bilamana terdapat empat faktor, yaitu:
•
Waktu di luar batas yang telah ditentukan.
•
Makanan atau minuman yang tidak diperbolehkan.
•
Usaha untuk memakan atau meminum.
•
Memakannya atau meminumnya.93
Sepuluh Nasananga atau peraturan pengusiran adalah kesalahan-kesalahan
berat yang memerlukan pembaharuan terhadap seluruh peraturan, sekalipun hanya
91
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 141
92
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
93
Pandita Dhammavisarada, Sila dan Vinaya, h. 48
satu dari sepuluh peraturan itu yang dilanggar, sedangkan dandakamma atau
denda kerja adalah kesalahan-kesalahan lebih ringan yang mengharuskan
samanera menjalankan bentuk denda kerja, seperti menyapu lingkungan vihara
atau membersihkan tempat-tempat sampah dan semacamnya.94
Adapun sila-sila yang dilaksanakan oleh para samanera (dasasila) adalah
untuk sila yang pertama sampai sila yang keenam sama dengan sila-sila dalam
Atthasila, untuk sila yang ketujuh dalam Atthasila dibagi menjadi dua bagian,
yaitu menjadi sila ketujuh dan ke delapan, sila ke delapan dalam Atthasila menjadi
sila ke sembilan dalam Dasasila, dan ditambah sila yang ke sepuluh. Sehingga sila
ke tujuh sampai dengan ke sepuluh adalah sebagai berikut:
•
Sila
ke-7:
Naccagita-vadita-visuka
dassana
veramani
sikkhapadam
samadiyami, artinya menahan dari dari menari, menyanyi, bermain musik, dan
pergi melihat tontonan.
•
Sila
ke-8:
Malagandha-vilepana-dharana-mandana-vibhusanat-thana
veraman sikkhapadam samadiyami, artinya menahan diri dari memakai bunga,
wangi-wangian, dan kosmetik dengan tujuan menghias dan mempercantik atau
memperindah diri.
•
Sila ke 9: Uccasayana-mahasayana veramani sikkhapadam samadiyami,
artinya menahan diri dari penggunaan tempat tidur dan tempat duduk yang
tinggi dan mewah.
•
Sila ke 10: Jatarupa-rajata-patiggahana veramani sikkhapadam samadiyami,
artinya menahan diri dari menerima emas dan perak.
Dari sepuluh peraturan latihan (dasasila) tersebut dilaksanakan oleh samanera
dalam kehidupannya sehari-hari.
94
34
Bhikkhu Khemio (Pent.), Samanera Sikkha (Jakarta: Sangha Theravada Indonesia, 1980), h.
2. Puasa Bagi Para Bhikkhu
Bhikkhu adalah umat Buddha yang melepaskan diri dari kehidupan
duniawi untuk berjuang dengan sungguh-sungguh agar dapat mengakhiri
penderitaan atau mencapai nibbana. Kata bhikkhu sering diterjemahkan sebagai
“pengemis”
atau
“peminta
sedekah”.
Namun
terjemahan
itu
tidaklah
mencerminkan pengertian yang sesungguhnya, karena di dalam hubungan tersebut
seorang
bhikkhu
tidaklah
meminta,
melainkan
“menerima”
apa
yang
dipersembahkan kepadanya.95
Menurut bhante Jayaratano puasa bagi para bhikkhu adalah dilaksanakan
setiap hari, karena mereka harus menjalankan Patimokhasila, yang menjadi
standar sila mereka di dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan makanan yang
mereka makan adalah hasil dari pindapatta. Pindapatta adalah makanan yang
diterima oleh para bhikkhu dari umat awam yang dipersembahkan ke dalam
mangkuk (patta). Bhikkhu juga dapat menerima makanan melalui persembahan
umat kepada vihara atau tempat dimana bhikkhu tinggal atau melalui undangan
umat kepada bhikkhu untuk makan di rumah umat.96
Pada hari Uposatha, selain berpuasa para bhikkhu juga mempunyai
kewajiban untuk melakukan pengakuan atas kesalahan yang pernah dilakukan.
Pengakuan yang dilakukan tersebut tidak akan menyebabkan mendapat ampunan
atau pembebasan kesalahan atau perbuatan buruk yang telah dilakukan namun
akan mengetahui, mengingat dan menyadari atas perbuatan yang dilakukannya
95
Bhikkhu Subalaratano, Pengantar Vinaya, h. 13
96
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
sehingga muncul suatu usaha atau tekad untuk tidak mengulangi perbuatan
tersebut dan tidak akan terulang lagi untuk selanjutnya.97
Di dalam vinaya, selain ringkasan aturan moral yang disebut dengan
Patimokkha, tidak ada ajaran lain yang harus dibacakan pada hari Uposatha.
Patimokkha ini mengajarkan suatu bentuk metode latihan diri untuk perkumpulan
para bhikkhu. Mereka berkumpul bersama pada suatu tempat tertentu pada hari
Uposatha dan jumlah minimal bhikkhu yang hadir pada tempat tersebut adalah
empat orang bhikkhu dan setiap bhikkhu tidak boleh menghadiri pembacaan
Patimokkha atas kuasa orang lain atau diwakilkan. Apabila jumlah bhikkhu yang
ada pada suatu tempat pada hari Uposatha itu kurang dari empat, maka
pelaksanaan pengakuan atas kesalahan atau pelanggaran terhadap peraturan
Patimokkha adalah sebagai berikut:
a. Parisudhi Uposatha untuk tiga orang bhikkhu.
Apabila pada hari Uposatha, pada suatu tempat kediaman hanya ada tiga
orang bhikkhu, mereka tetap harus melaksanakan Uposatha dengan
mengumumkan “kemurnian” mereka. Hal ini dikenal sebagai Parisudhi
Uposatha. Pertama-tama mereka harus mempersiapkan tugas yang akan
dilaksanakan dan disempurnakan, termasuk di dalamnya adalah pengakuan
atas pelanggaran. di antara 7 tingkat kesucian, yaitu: kesucian sila, kesucian
manas, kesucian pandangan, kesucian dalam melenyapkan keragu-raguan,
kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari kemajuan dan
kesucian pengetahuan tentang hakikat yang sesungguhnya dari jalan suci.
Ketiga bhikkhu tersebut berkumpul bersama dengan membuat jarak satu hasta
antara satu dengan yang lainnya.
97
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
b. Parisudhi Uposatha untuk dua orang bhikkhu.
Apabila pada hari Uposatha di dalam suatu tempat hanya terdapat dua
orang bhikkhu maka mereka tetap melaksanakan Parisudhi Uposatha hanya
saja dalam masalah ini tidak ada pengumuman yang formal. Yang utama
dilaksanakan adalah kesiapan pengakuan atas pelanggaran yang pernah
dilakukan dan dimulai dari bhikkhu yang lebih tua.
c. Adhitthana Uposatha untuk satu orang bhikkhu.
Apabila pada hari Uposatha di dalam suatu tempat hanya terdapat satu
orang bhikkhu, maka bhikkhu tersebut tetap wajib untuk menjaga Uposatha
dengan jalan ketetapan hati. Pertama-tama yang harus dilakukan adalah
melaksanakan persiapan dengan membersihkan ruangan Uposatha atau tempat
dimana
biasanya
Uposatha
dilaksanakan,
menyediakan
air
minum,
menyiapkan satu tempat duduk yang tertuju pada lampu. Jika kewajiban ini
telah sempurna sementara tidak ada bhikkhu lain yang datang, maka bhikkhu
tersebut harus duduk dan membuat penyataan sebagai berikut: ”Ajja me
Uposatho” (hari ini adalah hari Uposatha untuk saya).98
Demikian juga, pada musim hujan (vassa) di samping para bhikkhu harus
menjalankan puasa mereka juga mempunyai kewajiban untuk berdiam di suatu
tempat dan mentaati peraturan-peraturan yang berlangsung selama 90 hari dan
dimulai sehari sesudah Purnama sidhi di bulan Asalhamasa (bulan kedelapan
pada peninggalan bulan) dan berakhir pada Purnama sidhi bulan ke sebelas
(assajujamasa). Dalam tahun kabisat, dimana terdapat bulan Asalha ganda, maka
dengan sendirinya masa vassa dimulai sehari sesudah Purnama sidhi di bulan
98
Phra Sasana Sobhana, The Patimokha 227 Fundamental Rules of A Bhikkhu, Ven Nanamoli
Thera, transl. (Bangkok: Mahakutarajavidyalaya, 1969), h. 153-154
Asalha yang kedua dan bukan yang pertama. Hari Asadhakala Purnama sidhi
adalah patokan untuk memulai masa vassa.99
Menurut bhante Jayaratano sebelum memasuki hari Asadha, para bhikkhu
sudah memilih dan berikrar untuk menjalankan masa vassa di vihara tertentu
selama tiga bulan untuk memperdalam latihan samadhi dan memperbanyak
pembabaran dhamma kepada para umat, di samping mempererat, saling
pengertian, saling menghormati di antara anggota Sangha. Hal ini merupakan
sesuatu yang penting bagi kemajuan dan pemeliharaan ajaran Sang Buddha.100
Selama masa vassa para bhikkhu latihan samana dhamma (dhamma yang
membuat damai dan tenang seperti meditasi vipassana) dan para bhikkhu dapat
membuat peraturan tertentu bagi diri mereka sendiri. Tetapi para bhikkhu dilarang
membuat peraturan yang tidak sesuai dengan dhamma. Misalnya larangan
berbicara atau mendengar dhamma vinaya, membaca dhamma, memberi
dhammadesana, menahbiskan bhikkhu (upasampada) dan melaksanakan latihan
dhutanga (latihan keras) untuk mengembangkan samana dhamma.
Aturan-aturan tersebut tidak diperbolehkan dan para bhikkhu harus saling
menasehati satu sama lain, rajin berbicara dhamma vinaya dan belajar tentang
dhamma dan vinaya, menjalankan tugas-tugas keagamaan dan mengembangkan
samana dhamma menurut kekuatan dan kemampuan masing-masing bhikkhu.
Selain itu ada aturan-aturan lain yang harus dijalankan oleh para bhikkhu selama
menjalankan vassa. Yaitu tidak meninggalkan tempat selama lebih dari tujuh hari
yang disebut sattaha karaniya (tujuh hari untuk apa yang harus dikerjakan) atau
sattaha pendek. Jika tidak maka masa vassa itu tidak berlaku lagi.
Beberapa hal yang menyebabkan seorang bhikkhu dapat pergi adalah:
99
Herman S. Endro, Hari Raya Umat Buddha dan Kalender Buddhis 1996-2026, h. 21
100
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
1. Jika teman dhamma (bhikkhu dan samanera), atau ibu dan ayah sakit, maka
seorang bhikkhu dapat pergi untuk merawatnya.
2. Jika teman dhamma ingin melepaskan jubah (karena nafsu keinginan
duniawi), maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk memadamkan keinginan
tersebut.
3. Jika terdapat beberapa tugas dari Sangha yang harus dikerjakan, seperti
kerusakan vihara, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mencari bahan
guna perbaikan.
4. Jika donatur ingin meningkatkan kebajikan mereka (kusala) dan mengundang
bhikkhu, maka seorang bhikkhu dapat pergi untuk mendukung keinginan
mereka.101
Bagi para bhikkhu yang telah melaksanakan vassa selama tiga bulan
penuh, Sang Buddha mengijinkan
untuk melaksanakan Pavarana (upacara
pengakhiran vassa) sebagai ganti Uposatha pada saat Purnama di bulan Khatika
(bulan ke dua belas kalender lunar). Pavarana biasanya dilakukan pada tanggal
15, namun apabila Sangha tidak melakukan pavarana pada hari itu, upacara
tersebut dapat ditunda dalam jangka waktu dua minggu atau satu bulan atau pada
hari yang lainnya. Jumlah bhikkhu yang menghadiri pertemuan sekurangkurangnya lima bhikkhu. Pavarana merupakan kesempatan bagi para bhikkhu
untuk saling mengingatkan satu sama lain.102
C. Makna Puasa (Uposatha) Bagi Umat Buddha
Hari Uposatha merupakan hari yang sangat penting bagi umat Buddha,
baik yang berstatus sebagai viharawan maupun umat awam, baik bagi mereka
101
Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya, h. 29-30
102
Bhikkhu Subalaratano (ed), Pengantar Vinaya, h. 30
yang telah mengenal dhamma maupun yang hanya mengenal agama Buddha
secara tradisional. Hari inilah yang tepat untuk berkumpul, mengulangi kembali
ajaran Sang Buddha, membaca paritta, mendengarkan dhammadesana, melakukan
diskusi dhamma, menjalankan sila, berbuat baik, bermeditasi, dan melakukan
praktik dhamma yang lainnya.
Hari Uposatha (puasa) mengajarkan kepada umat Buddha agar menjadi
manusia haruslah bermanfaat bagi orang lain. Umat juga diajarkan untuk berbuat
banyak kebajikan, sebab menurut ajaran Buddha perbuatan baik atau kebajikan
akan membawa kebahagiaan bagi pelakunya baik di dunia maupun setelahnya.
Puasa di dalam agama Buddha bukanlah sebagai formalitas keagamaan,
tetapi sebagai suatu bentuk amalan yang didasarkan pada suatu pengetahuan moral
dan psikologi yang mendalam.103
Menurut bhante Jayaratno puasa dalam agama Buddha ialah berusaha
untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani. Ini semata-mata untuk
menjalankan ajaran Sang Buddha. Khususnya untuk kesucian diri sendiri agar
terhindar dari pikiran dan perbuatan yang tidak baik, membuang sifat sombong,
dan memancarkan memancarkan cinta kasih pada sesama.104
Puasa adalah metode pelatihan untuk pengendalian diri. Puasa tidak hanya
berfungsi menahan dan mengendalikan hawa nafsu, tetapi juga pengendalian
pikiran dan hati agar tetap berada pada garis orbit yang telah digariskan dalam
prinsip berpikir berdasarkan dhamma dan vinaya.
Puasa tidak sama dengan orang kelaparan . Orang kelaparan terpaksa tidak
makan dan minum karena tidak ada yang bisa dimakan atau diminum, sedangkan
103
K. Sri Dhammananda, What Buddhist Believe (Taiwan: The Corporate Body of The
Buddha Education Foundational, 1993), h. 214
104
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
mereka yang berpuasa secara sadar meninggalkan makan-minum, berhubungan
seksual, tidak berbohong dan lain-lain sebagai bentuk pengendalian diri dalam
melaksanakan sila yang ada dalam dhamma dan vinaya. Hanya orang yang kuat
yang bisa mengendalikan dirinya. Oleh karena itu puasa bukanlah aktivitas fisik,
melainkan aktifitas spiritual, karena yang bekerja jiwanya. Jadi kualitas puasa juga
diukur secacra spiritual bukan materialnya.
Sang Buddha berkali-kali menekankan bahwa pikiran merupakan awal dari
segalanya, pikiran mendahului ucapan dan perbautan. Ini dapat dilihat dalam kitab
Dhammapada ayat 2 yang berbunyi, “segala keadaan adalah hasil dari apa yang
kita pikirkan, berdasarkan atas pikiran kita dan dibentuk oleh pikiran kita. Bila
seseorang berbicara mengikutinya, sepertinya baying-bayang yang tidak pernah
meninggalkan dirinya”.
Pikiran
yang
terkendali
akan
mudah
diarahkan
dan
membawa
kebahagiaan. Ucapan dan perbautan lebih mudah diikuti dan dikendalikan.
Karenanya mengendalikan ucapan dan perbuatan harus menjadi langkah pertama
dan langkah yang sebaik-baiknya untuk mengendalikan pikiran. Bagi orang yang
ucapan dan perbautannya terkendali, pikiran-pikiran jahat tidak akan mendapat
kesempatan untuk dilakukan dan akhirnya padam.
Hakikat puasa adalah menumbuhkan kecerdasan emosi dan spiritual
manusia. Parameter bagi seseorang untuk mengetahui bahwa puasa yang dijlani
dalam melaksanakan sila ini adalah akhlak mulia. Dengan berpuasa maka akan
menambah keyakinan dan keimanan seseorang untuk semakin giat beribadah.
Puasa membentengi pelakunya dari perbuatan buruk, kecerobohan, perbuatan keji,
disamping meminimalkan rasa ketertarikan terhadap kesenangan dan keglamoran
duniawi.
D. Analisis
Berdasarkan penjelasan tentang Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha)
dalam Agama Buddha ada beberapa hal yang perlu penulis tulis, yaitu:
Puasa di dalam kehidupan sehari-hari bukanlah merupakan hal yang baru,
tetapi merupakan masalah yang sudah dikenal banyak orang. Bahkan puasa sudah
ada sejak jaman dahulu kala dan sampai saat ini masih dilaksanakan oleh banyak
orang. Biasanya puasa ini sering dilaksanakan sebagai tanda atau simbol adanya
ketergantungan terhadap sesuatu yang lebih tinggi, suatu perjalanan ke arah
kematangan spiritual yang bersifat transenden. Oleh karena itu di dalam beberapa
kelompok agama, puasa secara berangsur-angsur menjadi standar untuk
menunjukkan ketaatan dan pengabdian kepada Tuhan.
Namun demikian, puasa di dalam agama Buddha adalah untuk menjadikan
sila yang merupakan suatu cara untuk mencapai tujuan pada kehidupan yang
bebas dari kelahiran, kematian dan penderitaan (tumimbal lahir) dan juga untuk
mencapai tujuan akhir yaitu Nibbana. Hal ini karena puasa dalam agama Buddha,
Tuhan bukanlah yang menjadi central atau tujuan tetapi ingin membebaskan
manusia dari lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (kebodohan batin).
Mungkin bagi mereka, Tuhan bukanlah ajaran utama dalam agama Buddha.
Sementara puasa di dalam agama lain, contohnya puasa di dalam agama Islam
adalah berdasarkan perintah Allah yang ada dalam al-Qu’ran. Dan dalam
pelaksanaannya puasa dalam agama Buddha dilakukan mulai dari pukul 12.00
siang sampai pukul 06.00 pagi sedangkan puasa dalam Islam dilakukan dari mulai
terbit fajar sampai terbenam matahari
Banyak orang yang menganggap bahwa puasa di dalam agama Buddha ini
hanyalah formalitas keagamaan saja. Namun anggapan tersebut tidak benar,
karena puasa di dalam agama Buddha bukan berarti perlombaan untuk tidak
makan dengan prinsip siapa yang kuat dialah yang sukses. Puasa di dalam agama
Buddha adalah untuk melaksanakan sila dan ditunjukkan untuk meningkatkan
kualitas mental dan untuk mengurangi nafsu keserakahan (lobha).
Agama Buddha adalah agama yang mengajarkan adanya sila sebagai dasar
utama dalam pengamalan ajaran agama Buddha, sehingga sudah selayaknya bagi
umat Buddha untuk mempelajari dan mengamalkan dhamma ajaran Sang Buddha
agar dapat meraih kesejahteraan lahir dan batin dalam kehidupan sekarang ini
maupun kehidupan yang akan datang.
Demikian juga pelaksanaan puasa di dalam agama Buddha adalah
merupakan wujud nyata dari kesaksian umat Buddha kepada Sang Tiratana
(Buddha, Dhamma dan Sangha). Kesaksian yang dimaksud adalah suatu bentuk
kepercayaan atau keyakinan akan kebenaran Buddha Dhamma (ajaran Sang
Buddha), akan kebenaran hukum-hukum kesunyataan, yaitu dengan menjalankan
dasar-dasar ajaran Cattari Ariya Saccani atau empat kesunyataan mulia tentang
dukkha, asal mula dukkha, lenyapnya dukkha dan jalan untuk melenyapkan
dukkha.
Dari hasil penelitian di lapangan, pelaksanaan puasa pada masa Vassa
(musim hujan) di India dan di Indonesia tidak sama karena berbeda iklim jika di
India umat Buddha melaksanakan masa Vassa setiap musim penghujan maka
berbeda dengan pelaksanaan masa Vassa di Indonesia. Di Indonesia umat Buddha
tidak melakukan Vassa pada musim hujan ini hanya sekedar mengikuti tradisi dari
Sang Buddha tetapi dalam hal penetapan waktu Vassa, umat Buddha Theravada di
Indonesia mengikuti penetapan Vassa berdasarkan atas penetapan penanggalan
lunar dari Myanmar sedangkan umat Buddha Mahayana mengikuti penetapan
penanggalan lunar dari Tiongkok.
Sistem penanggalan bulan (lunar) lebih pendek sekitar 11 hari
dibandingkan sistem penanggalan matahari (solar). Satu tahun penanggalan bulan
= 354 hari; satu tahun penanggalan matahari = 365 hari (atau 366 hari setiap
empat tahun sekali). Jadi setiap tahun, Tahun Baru lunar selalu maju sekitar 11
hari. Ini terjadi pada penanggalan Arab dan penanggalan Jawa. Coba lihat, bulan
Puasa dan Idul Fitri, dan musim Haji terus bergeser maju, 11 hari setiap tahunnya.
Yang menjadi masalah bagi masyarakat agraris ialah kapan musim hujan
tiba, kapan harus bercocok tanam dan sebagainya., karena musim (yang
bergantung pada penanggalan matahari = peredaan bumi mengelilingi matahari)
menurut penanggalan bulan selalu bergeser terus. Di negara subtropis, masalahnya
lebih rumit lagi: kapan mulai musim semi, musim panas, musim gugur dan musim
dingin. Apakah harus bergeser mundur 11 hari setiap tahun penanggalan bulan?
Untuk menjaga agar musim-musim itu jatuh kira-kira pada bulan-bulan
yang sama, maka pada penanggalan bulan itu setiap 2-3 tahun sekali (3 x 11 hari =
33 hari) harus ditambahkan satu bulan tambahan (Lun). Ini bisa dilihat pada
Tahun Baru Imlek, Cap Go Meh dan sebagainya. Selalu maju 11 hari setiap tahun,
tapi setiap 2-3 tahun sekali selalu mundur kembali 1 bulan. Jadi Cap Go Meh
selalu jatuh di bulan Februari-Maret, bertepatan dengan musim hujan lebat di
Indonesia. Begitu pula hari Waisak, selalu maju 11 hari setiap tahun, tetapi selalu
mundur kembali 1 bulan setiap 2-3 tahun sekali, sehingga hari masa Vassa tidak
pernah keluar dari bulan Juni-Oktober..
Masalahnya, siapa yang menetapkan penambahan 1 bulan tambahan setiap
2-3 tahun sekali itu? Dalam masyarakat Buddhis tidak ada seperti Vatikan, yang
memegang otoritas internasional tentang penanggalan keagamaan. Oleh karena itu
Sangha-Sangha di negara-negara Buddhis, yang masing-masing mempunyai
tradisi penghitungan tanggal turun-temurun, bisa saja kadang-kadang berbeda
dalam menentukan kapan bulan ketigabelas itu ditambahkan.
Beberapa orang mungkin berpikir bahwa aturan-aturan yang dilakukan
pada hari Uposatha akan sukar dijalankan ditengah-tengah masyarakat yang
modern dan yang lain mungkin akan mengacuhkannya begitu saja. Tetapi bagi
umat Buddha yang arif, sebelum menjatuhkan penilaian, hal tersebut perlu dicoba
karena usaha yang sungguh-sungguh untuk mempraktekkan Dhamma ajaran Sang
Buddha tidak akan pernah menghasilkan kekecewaan.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil pembahasan yang dikemukakan pada bab sebelumnya menganai
“Pelaksanaan dan Makna Puasa (Uposatha) Dalam Agama Buddha” maka dapat
disimpulkan bahwa makna puasa dalam agama Buddha adalah berusaha untuk
memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani ke arah yang lebih baik. Menjadikan
manusia agar manjadi manusia yang lebih baik dan bermanfaat bagi orang lain
dengan menjalankan Atthasila untuk umat awam, Patimokkhasila untuk para
bhikkhu, dan Dasasila untuk samanera yang telah ditetapkan oleh Sang Buddha.
Atthasila, Patimokkhasila dan Dasasila adalah sudah merangkum dari segala
aspek kehidupan dalam masyarakat.
Puasa di dalam agama Buddha dibedakan menjadi dua macam, yaitu puasa
bagi umat awam dan bagi umat viharawan. Bagi umat awam puasa hanya
dilaksanakan pada tiap hari Uposatha, sedangkan bagi umat viharawan puasa
dilaksanakan setiap hari, karena bagi para samanera harus menjalankan Dasasila
dan para bhikkhu harus menjalankan Patimokkhasila setiap hari.
Dalam pelaksanaan puasa (Uposatha) di dalam Agama Buddha mulai dari
pukul 12.00 siang sampai dengan pukul 06.00 pagi. Dan di Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya yaitu diawali pada pukul 04.00 pagi dengan pembacaan 227
Patimokkhasila untuk para bhikkhu, pembacaan Dasasila untuk samanera
kemudian pada pukul 05.30 pagi dilanjutkan dengan permohonan sila Atthasila
untuk umat awam (upasaka dan upasika). Setelah permohonan sila maka umat
biasanya tidak pulang ke rumah tetapi umat menetap di vihara selama satu hari
atau biasa disebut uposathavasamvasati. Pada hari Uposatha kegiatan yang
dilakukan oleh para bhikkhu, samanera (calon bhikkhu) dan umat awam laki-laki
dan perempuan (upasaka dan upasika) adalah sama yaitu belajar dhamma melalui
buku-buku, diskusi, mendengarkan khotbah, menjalankan sila, berlatih meditasi
dan biasanya umat juga membantu para bhikkhu mengerjakan pekerjaan seharihari
seperti
menyapu
lingkungan
vihara,
membersihkan
dhammasala,
uposathagara dan kuti. Kemudian selama pukul 06.00 pagi sampai sebelum pukul
12.00 siang umat masih diperbolehkan untuk makan tetapi untuk para bhikkhu dan
samanera mereka hanya di perbolehkan makan 1 kali atau 2 kali jika makannya 2
kali yaitu pukul 06.00 pagi dan 11.00 siang tetapi jika hanya makan 1 kali yaitu
pukul 11.00 siang maka makanan yang dimakan harus kuat selama 24 jam.
Kemudian malam harinya pada pukul 19.00 - 21.00 diadakan puja bhakti
Uposatha.
Perbedaan puasa (uposatha) di Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya yang
notabennya adalah dari sekte Theravada dan puasa (uposatha) di vihara-vihara
dari sekte Mahayana adalah jika dalam Theravada membimbing para umatnya
untunk menjadi Arahat yaitu untuk keselamatan pribadi sedangkan dalam sekte
Mahayana membimbing umatnya untuk menjadi Bodhisattva. Dalam sekte
Mahayana umat awampun tergolong Bodhisattva maksudnya adalah setiap
manusia mempunyai kesempatan untuk menjadi Bodhisattva asalkan ia mengikuti
ajaran Sang Buddha dengan baik dan benar. Dan juga dalam pelaksanaan silanya
sekte Mahayana selain melaksanakan 227 Patimokkhasila mereka juga
melaksanakan Bodhisattvasila.
B. Saran-saran
Setelah penulis mengadakan penelitian kemudian dituangkan dalam
bentuk skripsi, maka ada beberapa hal yang perlu penulis sampaikan:
1. Bagi segenap umat Buddha khususnya, hendaknya pengetahuan ini dapat
dijadikan suatu media untuk meningkatkan keyakinan terhadap Buddha
Dhamma (ajaran Buddha) dan dapat melaksanakan puasa sesuai dengan apa
yang telah diajarkan oleh Buddha sehingga tidak akan melaksanakan puasa
secara asal-asalan atau ikut-ikut saja.
2. Sebagai umat beragama harus mempunyai sikap toleransi yang tinggi dan
terbuka, agar terjalinnya kerja sama dan sikap saling menghormati dan
menghargai antar sesama pemeluk agama.
3. Untuk penelitian atau mempelajari agama lain hendaklah dijadikan sebagai
pemersatu bukan pemecah umat satu dengan umat lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anjali G.S. Tuntunan Uposatha dan Atthasila, Lembaran Khusus Agama Buddha
Informasi, tanpa penulis.
Anomius. Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara.
Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980.
Bhikkhu Kemio. Samanera Sikkha-Latihan Samanera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa
Arama, 1997.
Bhikkhu Kantipalo. Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati.
Jakarta: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991.
Bhikkhu Subalaratano. Tanya Jawab Agama Buddha. Tanpa penerbit dan tanpa
penulis.
_________Pengantar Vinaya. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda,
1988.
Bhikkhu Subalaratano dan Samanera Uttamo, Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha
Theravada Indonesia, tanpa tahun.
Bhikkhu Uttamo. Hidup Sesuai Dengan Dhamma. Jakarta: Vihara Samaggi Jaya,
1994
Bhikkhu Vijano (Ven). Dhamma Sekolah Minggu Buddhis. Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1996.
Coerneles Wowor. Pelajaran Agama Buddha Untuk SMA kelas 1. Jakarta: CV. Felita
Nursatama Lestari, 2003.
Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi SI Sekolah Tinggi Agama
Buddha Nalanda Jakarta, 1997.
Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisa Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Herman S. Endro. Hari Raya Umat Buddha dan Kelender Buddhis 1996-2026.
Jakarta: PT. Pola Bangun Lestari, 1997.
Jutanango, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994.
K. Sri Dhammananda. What Buddhist Believe. Taiwan The Corporate Body of The
Buddha Education Fuondational, 1993.
Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka, Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka.
Klaten: Vihara Bodhivamsa, tanpa tahun.
Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003.
Matara Sri. Nanarama Mahathera. Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung.
Penerbit: Karaniya: Yayasan Karaniya, tanpa tahun.
Nyanataloka. Buddhist Dictionary. Frewin: Co.tto, 1972.
Pandit J. Kaharuddin. Hidup dan Kehidupan. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre,
1991.
Pandit Dhammavisarada. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997.
Santina Petter Della. Konsep Dasar Buddhis. Bandung: Pemuda Vimala Dhamma,
1993.
Supomo. Dasar-dasar Uposatha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993.
Suwarno T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999
Sangha Theravada Indoenesia – Biro Pendidikan Bhikkhu dan Samenera. Tuntunan
Latihan Upasaka Atthasila. tp.tt.
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pembangunan Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1983
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Peletakkan Batu Pertama Pembangunan
Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1982
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pengukuhan Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1985.
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007
DAFTAR PUSTAKA
Anjali G.S. Tuntunan Uposatha dan Atthasila, Lembaran Khusus Agama Buddha
Informasi, tanpa penulis.
Anomius. Dhamma Rakkha-Kumpulan Parrita Penting Untuk Upacara.
Jakarta: Balai Kitab Tri Dharma Indonesia, 1980.
Bhikkhu Kemio. Samanera Sikkha-Latihan Samanera. Jakarta: Yayasan Dhammadipa
Arama, 1997.
Bhikkhu Kantipalo. Saya Seorang Buddhis-Bagaimana Menjadi Buddhis Sejati.
Jakarta: Yayasan Buddhis Karaniya, 1991.
Bhikkhu Subalaratano. Tanya Jawab Agama Buddha. Tanpa penerbit dan tanpa
penulis.
_________Pengantar Vinaya. Jakarta: Sekolah Tinggi Agama Buddha Nalanda, 1988.
Bhikkhu Subalaratano dan Samnera Uttamo, Bhakti (Puja). Jakarta: Sangha
Theravada Indonesia, tanpa tahun.
Bhikkhu Uttamo. Hidup Sesuai Dengan Dhamma. Jakarta: Vihara Samaggi Jaya,
1994
Bhikkhu Vijano (Ven). Dhamma Sekolah Minggu Buddhis. Jakarta: Yayasan
Dhammadipa Arama, 1996.
Coerneles Wowor. Pelajaran Agama Buddha Untuk SMA kelas 1. Jakarta: CV. Felita
Nursatama Lestari, 2003.
Dwiyanti. “Fungsi Vihara Bagi Umat Buddha.” Skripsi SI Sekolah Tinggi Agama
Buddha Nalanda Jakarta, 1997.
Hamid Nasuhi dkk. Pedoman Penulisa Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi).
Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah, 2007.
Herman S. Endro. Hari Raya Umat Buddha dan Kelender Buddhis 1996-2026.
Jakarta: PT. Pola Bangun Lestari, 1997.
Jutanango, Kitab Suci Dhammapada, Jakarta: Yayasan Dhammadipa Arama, 1994.
K. Sri Dhammananda. What Buddhist Believe. Taiwan The Corporate Body of The
Buddha Education Fuondational, 1993.
Kitab Suci Tipitaka Bagian Vinaya Pitaka , Mahavagga Vassupaniya-kakkhandhaka.
Klaten: Vihara Bodhivamsa, tanpa tahun.
Kitab Suci Tipitaka Bagian Anguttara Nikaya 3. Klaten: Vihara Bodhivamsa, 2003.
Matara Sri. Nanarama Mahathera . Tujuh Tingkat Kesucian dan Pengertian Langsung.
Penerbit: Karaniya: Yayasan Karaniya, tanpa tahun.
Nyanataloka. Buddhist Dictionary. Frewin: Co.tto, 1972.
Pandit J. Kaharuddin. Hidup dan Kehidupan. Jakarta: Tri Sattva Buddhist Centre,
1991.
Pandit Dhammavisarada. Sila dan Vinaya. Jakarta: Penerbit Buddhis Bodhi, 1997.
Santina Petter Della. Konsep Dasar Buddhis. Bandung: Pemuda Vimala Dhamma,
1993.
Supomo. Dasar-dasar Uposatha. Yogyakarta: Vihara Vidyaloka Vidyasena, 1993.
Suwarno T. Buddha Dharma Mahayana. Majelis Agama Buddha Indonesia, 1999
Sangha Theravada Indoenesia – Biro Pendidikan Bhikkhu dan Samenera. Tuntunan
Latihan Upasaka Atthasila. tp.tt.
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Pembangunan Vihara Jakarta
Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1983
Yayasan Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Peletakkan Batu Pertama Pembangunan
Vihara Jakarta Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1982
Yayasan
Vihara
Jakarta
Dhammacakka
Jaya.
Pengukuhan
Dhammacakka Jaya. Jakarta:YJDJ, 1985.
Wawancara pribadi dengan Bhante Jayaratano, Jakarta 8 Mei 2007
Wawancara pribadi dengan Bapak Supiyamano, Jakarta 8 Mei 2007
Vihara
Jakarta
Lampiran I
1. Pengertian Uposatha menurut bhante?
Uposatha banyak pengertiannya. Uposatha atau puasa di dalam Agama
Buddha adalah suatu usaha untuk menghindarkan diri dari mengambil
makanan dan minuman pada waktu yang salah, yang disebut dengan istilah
Upovasa. Akan tetapi dalam pengertian sehari-hari mereka lebih suka
menyebutnya dengan istilah Uposatha.
Kalau sebelum jaman Sang Buddha membabarkan dhamma hari Uposatha
sudah dikenal oleh masyarakat India waktu jamannya masih sederhana atau
masih primitive itu di terjemahkan sebagai hari suci dimana ketika bulan
purnama dan bulan mati kemudian diantara tengah-tengah bulan itu seperti
tanggal 1, 8, 15 dan 23 dianggap hari suci dimana mereka semua libur
pekerjaannya, libur menjalankan minimal delapan sila. delapan sila sudah
dikenal sebelum ajaran Buddha, termasuk lima sila juga sudah dikenal tapi
bagi mereka yang moralnya baik, yang moralnya tidak baik malahan di
langgar.
Mereka
meninggalkan
semua
pekerjaannya,
kalau
mereka
mempunyai tanah yang luas, mempunyai taman yang luas, mereka biasanya
masuk ke pondok yang khusus seperti bilik, mereka biasanya meditasi, bacabaca ajaran dan melakukan sesuatu sesuai dengan delapan sila itu. Bagi
mereka yang dekat dengan kuil atau tempat-tempat pengajaran mereka datang
untuk mendengarkan ajaran-ajaran dari para guru bijaksana atau para orang
yang dianggap mampu untuk mengajarkan.
2. Bagaimana dengan sejarah hari Uposatha itu bhante?
Uposatha itu memang bukan dari Sang Buddha asli. Sebenarnya Sang Buddha
mengambil adat di India, salah satunya adalah Uposatha itu kemudian
dikembangkan lebih baik lagi. Uposatha ini sudah menjadi adat orang India
yang moralitasnya bagus. Uposatha itu dilestarikan sampai jaman Sang
Buddha. Ketika Ratu Maha Maya mengandung Sang Buddha, sering
menjalankan Uposatha. Jaman Sang Buddha Uposatha dikembangkan lebih
baik lagi kearah kesucian.
3. Sistem penanggalannya seperti apa bhante?
Itu kalender bulan bukan matahari atau solar tetapi lunar yang biasanya
penanggalan imlek itu mirip juga hanya beda satu atau dua hari.
4. Hari Uposatha itu sebulan 2 kali yaitu pada tanggal 1 dan 15 penanggalan
lunar, lalu kenapa bisa 4 kali pada tanggal 8 dan 23 penanggalan lunar bhante?
Uposatha 4 kali itu untuk perumah tangga atau umat awam itu sudah
disepakati bersama dan bagi para bhikkhu Uposathanya 2 kali yaitu bulan mati
dan bulan terang.
5. Apakah puasa (uposatha) di wajibkan dalam Agama Buddha bhante?
Puasa (uposatha) dalam agama Buddha itu tidak diwajibkan. Bagi para
bhikkhu puasa (uposatha) itu wajib karena ada dalam vinaya tapi bagi
perumah tangga atau umat awam itu hanya dianjurkan, silahkan dijalankan
tapi kalau tidak dijalankan setidaknya berusaha mencoba berpuasa karena itu
baik untuk dijalankan.
6. Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa?
Sebenarnya dalam agama Buddha tidak ada kewajiban tapi mengajarkan
kesadaran. Jadi jika tidak menjalankan puasa tidak berdosa.
7. Apa makna puasa (uposatha) bhante?
Maknanya adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan jasmani
kearah yang lebih baik. Delapan sila itu sudah merangkum semuanya dari
segala aspek kehidupan kita dalam masyarakat.
8. Kalau dalam Islam puasa itu adalah menahan haus dan lapar serta menahan
hawa nafsu dari terbit fajar sampai terbenam matahari, apakah puasa yang
dilakukan umat Buddha sama halnya dengan puasa yang dilakukan umat
Islam?
Perhitungan Buddhis itu ketika terbit fajar itu adalah pergantian hari jadi
bukan pukul 24.00. Jadi puasa dalam agama Buddha itu dimulai dari pukul
12.00 sampai sekitar pukul 4.30 subuh.
9. Kapan permohonan sila-nya bhante?
Permohonan sila itu biasanya pada pagi hari kira-kira pukul 04.00 subuh umat
sudah berada di vihara untuk meminta uposathasila kepada para bhikkhu.
10. Ajaran pertama Sang Buddha apa bhante?
Dana, sila, saga, nekamanisangsa, kamasangmuara
Lampiran II
11. Pengertian Uposatha menurut anda?
Uposatha banyak artinya tetapi biasanya kami menyebut Uposatha adalah
puasa yaitu menjalankan delapan sila yang telah diajarkan oleh Sang Buddha.
12. Apakah anda mengetahui sejarah Uposatha?
Uposatha diambil dari tradisi India pada jaman Raja Bimbisara dan kemudian
dikembangkan lagi oleh Sang Buddha.
13. Apakah puasa (uposatha) wajib dilaksanakan?
Uposatha atau puasa dalam agama Buddha ini hanyalah dianjurkan dan tidak
diwajibkan tetapi untuk para bhikkhu diwajibkan karena ada dalam peraturan
kebhikkhuan (vinaya).
14. Apakah berdosa jika tidak menjalankan puasa?
Tidak berdosa jika tidak melakukan Uposatha.
15. Apa saja yang tidak boleh dimakan pada hari Uposatha?
Yang tidak boleh dimakan adalah makanan yang mempunyai nilai penguat
tubuh, seperti; nasi, sayur mayur, lauk pauk, roti, susu dan lainnya. Dalam hal
ini susu disamakan dengan makanan karena mumpunyai nilai penguat tubuh
juga.
16. Apa makna puasa (uposatha) menurut anda?
Makna Uposatha adalah berusaha untuk memperbaiki pikiran, ucapan dan
jasmani. Menjadikan manusia agar menjadi manusia yang lebih baik dan
bermanfaat bagi orang lain dengan menjalankan delapan sila yang telah
ditetapkan oleh Sang Buddha.
17. Apa yang diajarkan pada saat puasa (Uposatha) ini?
Yang diajarkan bahwasanya kita sebagai umat Buddha haruslah berbuat banya
kebajikan, sebab menurut ajaran Buddha perbuatan baik atau kebajikan akan
membawa banyak kebahagiaan bagi pelakunya baik di dunia maupun
setelahnya.
Download