Laporan Studi Pustaka (KPM 403) PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN (Kampung Naga, Kabupaten Tasikmalaya) CITRA PRATIWI I34120062 DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 i PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang berjudul "pengaruh kearifan lokal masyarakat adat kampung naga terhadap pengelolaan hutan" benar-benar hasil karya sendiri yang belum pernah diajukan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari pustaka yang diterbitkan atau tidak diterbitkan dari penulis lain, telah disebutkan dalam naskah dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Laporan Studi Pustaka. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkan pernyataan ini. Bogor, Desember 2015 Citra Pratiwi NIM. I34120062 ii ABSTRAK CITRA PRATIWI. Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan. Dibawah bimbingan SOERYO ADIWIBOWO. Kearifan lokal sering berkaitan dengan kearifan ekologi yang merupakan pedoman manusia agar arif dan berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik dan supranatural yang memandang manusia merupakan bagian dari alam. Kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dan ekosistem disekitarnya yang memiliki sistem kepercayaan, hukum dan pranata adat, serta pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alam secara lokal. Kearifan lokal hingga saat ini masih dipegang teguh oleh masyarakat adat sekitar yang hidupnya bergantung pada alam terutama hutan. Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memilki asal usul leluhur (secara turun temurun) diwilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idelogi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah nya sendiri. Hal ini lah yang berpengaruh pada pengelolaan hutan secara arif oleh masyarakat adat sehingga pelestarian hutan dapat terjamin keberlangsungannya. Penelitian ini akan menunjukan bagaimana kearifan lokal yang terjadi dalam pengelolaan hutan, dan bagaimana proses ajar yang berlangsung dalam menerapkan kearifan lokal tersebut, serta melihat apakah kearifan lokal yang terjadi menjadi faktor utama dalam pengelolaan hutan yang lestari. Kata kunci : kearifan lokal, masyarakat adat, pengelolaan hutan. ABSTRACT CITRA PRATIWI. The Local Wisdom of Indigenous People in Kampung Naga Influence to Against Forest Management. Supervised by SOERYO ADIWIBOWO. The local wisdom is often associated to ecological wisdom that become guidence for human to be wise and interact with natural biophysics environment and supranatural that see human as a part of nature. The local wisdom is formed because of the relationship between traditional communities and ecosystems around them who have belief systems, customary laws and institutions, as well as knowledge and how to manage natural resources locally. The local wisdom is still firmly held by indigenous people around the dependent nature, especially forests. Indigenous people are communities that have ancestral origin (hereditary) a particular geographic region and has a value system, ideological, economic, political, cultural, social and its own territory. This is the one that affects the wise forest management by indigenous people so that forest conservation can be guaranteed continuity. This study will show how local wisdom that occur in forest management, and how the process of teaching takes place in applying local wisdom and local knowledge to see if that happens to be a major factor in sustainable forest management. Keyword : Local wisdom, indigenous people, forest management. iii PENGARUH KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA TERHADAP PENGELOLAAN HUTAN Oleh CITRA PRATIWI I34120062 Laporan Studi Pustaka sebagai syarat kelulusan KPM 403 pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015 iv LEMBAR PENGESAHAN Dengan ini menyatakan bahwa Laporan Studi Pustaka yang disusun oleh: Nama Mahasiswa : Citra Pratiwi Nomor Pokok : I34120062 Judul :Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan dapat diterima sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Menyetujui, Dosen Pembimbing Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. NIP. 19550630 198103 1 003 Mengetahui, Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor Dr. Ir. Siti Amanah, MSc. NIP. 19670903 199212 2 001 Tanggal Pengesahan:_______________________________ v PRAKATA Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Studi Pustaka dengan judul "Pengaruh Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga Terhadap Pengelolaan Hutan" dengan baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK. Studi Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Soeryo Adiwibowo, MS. selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam penyusunan laporan Studi Pustaka ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada keluarga tercinta yang telah memberikan dukungan kepada penulis. Tidak lupa, terima kasih juga penulis sampaikan kepada Rara, Rini, Nevi, Vanya, Parti, Alia, Azki, Dijako, Cici, Yosafat, Egi, Wide, Syukur, Mona, Rizky, Nurul dan teman-teman Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (SKPM) angkatan 49 yang tidak mampu disebutkan satu-satu. Terima kasih senantiasa memberikan semangat dan dukungan kepada penulis dimulai dari penyusunan hingga penyelesaian laporan Studi Pustaka ini. Semoga laporan Studi Pustaka ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Bogor, Desember 2015 Citra Pratiwi. NIM. I34120062 vi DAFTAR ISI PERNYATAAN .................................................................................................................. i ABSTRAK .......................................................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................................iv PRAKATA.......................................................................................................................... v DAFTAR ISI.......................................................................................................................vi PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 Latar Belakang ................................................................................................................ 1 Tujuan ............................................................................................................................. 3 Metode Penulisan ............................................................................................................ 3 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA ..................................................................... 5 1. Hutan Dalam Kehidupan Masyarakat Hatam Di Lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arfak .......................................................................................................... 5 2. Dinamika Sosial Dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan Dan Lingkungan ..................................................................................................................... 7 3. Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Pembangunan Kehutanan ....................... 9 4. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Tapanuli Selatan....................................................................................................... 11 5. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan oleh masyarakat Baduy di Banten Selatan. 15 6. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng ......................................................................................... 17 7. Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang .................... 19 8. Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi) ............................................................................ 21 9. Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal Di Enam KomunitasKomunitas Adat Daerah Bengkulu ............................................................................... 23 10. Dinamika Masyarakat Tradisional Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya 26 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 29 Pengelolaan Hutan ............................................................................................................ 29 Pengetahuan Lokal dan Kearifan Lokal ........................................................................ 31 Proses Ajar Melalui Tatanan Adat ................................................................................ 33 vii Kepemimpinan .............................................................................................................. 33 SIMPULAN ...................................................................................................................... 34 Kerangka Analisis .......................................................................................................... 34 DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... 37 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Hutan merupakan salah satu kekayaan alam yang wajib dijaga kelestariannya, hutan sebagai penyeimbang alam dan paru-paru bumi, dalam kawasan hutan terdapat bermacam-macam keanekaragaman hayati dan non hayati, baik flora maupun fauna. Hutan merupakan kawasan yang sangat potensial terutama untuk kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang hidup disekitar hutan. Dalam pengelolaan sumberdaya hutan, terdapat beberapa stakeholder yang terlibat, yaitu masyarakat, swasta dan negara. Masyarakat desa sekitar hutan tidak dapat dipisahkan secara langsung karena merupakan bagian dari ekosistem hutan. Hutan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan sehari-hari oleh masyarakat. Oleh sebab itu masyarakat sekitar atau juga disebut masyarakat lokal tersebut akan tetap berusaha menjaga dan mengelola hutan tersebut meskipun akan ada sebagian orang yang tidak peduli akan fungsi hutan tersebut bagi kehidupan mereka Masyarakat sekitar hutan yang bermata pencaharian sebagai petani sangat menggantungkan hidupnya pada kekayaan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhannya. Banyak manfaat yang diperoleh jika masyarakat dilibatkan dalam pengelolaan hutan. Keterkaitan antara masyarakat dengan hutan telah berlangsung cukup lama karena hutan telah memberikan manfaat bagi kehidupan masyarakat. keberadaan hutan juga memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk bekerja terutama dalam hal pembukaan lahan, penebangan kayu, pembersihan lahan, sehingga memperoleh upah yang lumayan. Selain itu bagi masyarakat yang hidupnya bergantung pada sumber sumber dasar yang terdapat di hutan seperti kayu bakar, dan hasil hutan lainnya akan memberikan nilai tambah terutama bagi masyarakat yang berada disekitar kawasan hutan (Karisma 2010). Masyarakat sekitar hutan memiliki cara-cara tersendiri baik dalam mengelola maupun memanfaatkan hasil hutan. Masyarakat sekitar hutan menggunakan norma adat maupun budaya mereka dalam mengelola hutan. Budaya tersebut telah secara turun temurun digunakan dan dilaksanakan oleh nenek moyang mereka dalam menjaga lingkungan mereka yang disebut dengan kearifan lokal. Menurut Nababan (2008) dalam Mulyadi (2013) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem disekitarnya, yang memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumberdaya alam secara lokal. Pada masyarakat tradisonal apabila terjadi pelanggaran terhadap adat istiadat, maka perasaan bersalah akan selalu menghantuinya. Keraf (2002) dalam Arafah dkk (2011) menegaskan bahwa kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam 2 kehidupan di dalam komunitas ekologis. Sedanngkan menurut UU No 32 Tahun 2009 kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari dan masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat yang turun temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan lingkungan hidup, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum. Pemanfaatan hutan adalah kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya (Magdalena 2013) Masyarakat Kampung Naga sangat mematuhi budaya papagon hirup yakni wasiat seperti adanya hutan larangan dan kawasan makam, amanat tentang pola hidup yang sederhana, larangan pada perbuatan, saat upacara maupun pada benda, dan akibat pelanggaran terhadap tradisi seperti perasaan bersalah, telah menciptakan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam, sehingga lingkungan hidup terlestarikan (Ningrum 2012). Dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan, peran masyarakat diatur dalam Peraturan Perundang-undangan Nomor 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Artinya hak informasi lingkungan hidup adalah konsekuensi logis dari hak yang berperan pengelolaan lingkungan hidup berdasarkan asas keterbukaan. Hak terhadap informasi lingkungan hidup akan meningkatkan nilai dan efektifitas peran masyarakat dalam mengaktualisasi haknya atas lingkungan yang baik dan sehat. Tantangan perlindungan dan pengelolaan hutan di Indonesia seringkali datang dari masyarakat lokal di sekitar hutan. Padahal kelestarian pengelolaan hutan sangat tergantung kepada partisipasi masyarakat lokal dalam pengelolaan (Magdalena 2013). Masyarakat tradisional di Indonesia sering dijadikan sebagai tersangka utama atas terjadinya perusakan lahan hutan akibat sistem perladangan yang mereka lakukan. Namun jika diperhatikan secara seksama, sesungguhnya sistem perladangan masyarakat tradisional ini tidak berpengaruh besar terhadap kerusakan hutan, karena dalam kehidupan masyarakat tradisional ini terdapat juga aturan-aturan adat yang mengatur tentang sistem pengelolaan dan pemanfaatan hutan (Ariyanto dkk 2014). Dalam perkembangan terakhir ini pemerintah telah gagal mengelola hutan secara partisipatif karena tidak pernah melibatkan masyarakat sekitar hutan sebagai mitra kerja. Sehingga pemerintah cenderung mengabaikan kepentingan masyarakat sekitar hutan dengan dalih pembangunan dan penyelamatan aset-aset negara, pemerintah hanya lebih mempercayakan pengelolaan hutan oleh perusahaan besar seperti PT.Perhutani dan perusahaan-perusahaan besar lainnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan seperti perambahan, illegal 3 loging, pemanfaatan sumberdaya hutan yang tidak lestari adalah kegiatan yang tidak mendukung kelestarian hutan. Selain itu, pada penerapan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagai instrumen perlindungan hutan belum berhasil secara maksimal melindungi hutan dari kerusakan akibat perbuatan manusia. Satu di antara banyak sebab kegagalan hukum postif dalam perlindungan hutan disebabkan lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang selama berabad-abad dipraktikaan oleh komunitas adat sebagai bagian dari materi muatan hukum kehutanan lokal (Yamani 2011). Di era globalisasi saat ini, telah banyak ditemui berbagai krisis ekoligi yang muncul akibat terganggunya keseimbangan alam. Tanpa kita sadari berbagai tindakan dan sikap kita telah merusak ekologi, penggunaan teknologi yang tidak tepat guna atau berlebihan salah satu contoh yang dapat mengganggu keseimbangan alam seperti perubahan iklim, krisis air bersih, pencemaran udara, dan berbagai krisis ekologi lainnya. Oleh sebab itu perlu pengembangan dan pelestarian kearifan lokal yang berkembang di masyarakat lokal. . Berdasarkan hal tersebut, muncul ketertarikan bagi peneliti untuk menganalisis lebih mendalam mengenai pengaruh kearifan lokal masyarakat adat terhadap pengelolaan hutan. Tujuan Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penelitian ini bertujuan untuk 1) menganalisis kearifan lokal masyarakat adat dalam mengelola sumberdaya hutan, 2) menganalisis proses pengajaran kearifan lokal dari generasi ke generasi, karena jika kearifan lokal masih diajarkan maka hukum dan norma adat akan tetap berlaku dan dipastikan hutan masih tetap terjaga, tetapi jika sudah tidak diajarkan maka hukum dan norma adat akan luntur dan dipastikan hutan tidak akan lestari, dan 3) mengetahui tantangan dan ancaman yang dihadapi dalam proses ajar kearifan lokal dan melihat peran kepemimpinan adat dalam upaya melestarikan sumberdata hutan. Metode Penulisan Pembuatan tulisan ini dilakukan dengan cara studi literatur atau studi pustaka yaitu pengumpulan data sekunder dari sumber-sumber yang terkait dengan konsep kearifan lokal, masyarakat adat, pengelolaan hutan secara lestari yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan hukum dan norma adat. Data tersebut diperoleh dari berbagai sumber seperti buku, jurnal, hasil penelitian, skripsi, tesis maupun disertasi yang relevan dengan topik yang diangkat. Studi literatur ini dilakukan melaui beberapa tahap. Pertama, dilakukan dengan mencari dan mengumpulkan tulisan yang terkait dengan topik yang akan dibahas. Kedua, mempelajari dan meringkas sumber-sumber tersebut dan disajikan dalam 4 bentuk ringkasan studi pustaka yang relevan dengan topik. Ketiga, adalah menganalisis ringkasan studi pustaka tersebut. Keempat,menarik kesimpulan dan membuat hubungan dari hasil ringkasan dan analisis tulisan-tulisan yang digunakan sebagai sumber tersebut sehingga memunculkan sebuah kerangka teoritis yang menjadi dasar perumusan masalah untuk penelitian yang akan dilakukan. 5 RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA 1. Hutan Dalam Kehidupan Masyarakat Hatam Di Lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arfak Judul : Hutan Dalam Kehidupan Masyarakat Hatam Di Lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arfak Tahun : 2014 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Sausan Trida Salosa, San Afri Awang, Priyono Suryanto, Ris Penulis Hadi Purwanto Nama : Editor Judul : Buku Nama : Jurnal Manusia dan Lingkungan Jurnal Volume : Vol 21, No 3(2014): 349-355 (Edisi) Alamat : http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/396/300 URL/doi Tanggal : 14 September 2015 diunduh Ringkasan Pustaka : Menurut Saosa, Awan, Suryanto, dan Purwanto (2014) Pegunangan Arfak adalah suatu wilayah dengan keunikan tersendiri di wilayah Propinsi Papua Barat, wilayah ini di dominasi oleh gunung-gunung yang tinggi dan ekosistemnya. Hutan merupakan bagian dari kehidpan masyarakat Hatam. Tujuan dari penelitian ini adalah merumuskan strategi-strategi yang tepat dalam membangun dan menjaga kelestarian hutan .Secara umum sebagian besar wilayah Pegunungan Arfak masih berupa hutan baik primer maupun sekunder. Kehidupan masyarakat dalam mengelola lingkungan dan sumberdaya alamnya menjadi syarat utama untuk bertahan hidup. Ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sangat besar karena hutan menjadi sumber kehidupan baik sebagai sumber pangan, obatobatan, konstruksi dan budaya. Ekosistem pegunungan dengan suhu udara yang rendah menghasilkan flora dan fauna khas menjadi alasan ditetapkannya wilayah ini menjadi kawasan Cagar Alam Pegunungan Arfak. Metode penelitian yang dilakukan secara deskriptif dengna wawancara dan studi referensi. Menurut hasil penelitian diperkirakan cagar alam dimasa mendatang akan terancam dan bukan menjadi areal yang sangat aman untuk melindungi kekayaan flora dan fauna, karena kebutuhan lahan dan kayu akan meningkat, begitu pula kebutuhan akan sumberdaya alam, disisi lain akan terjadi berbagai kepentingan atas lahan baik oleh masyarakat sebagai pemilik ulayat yang memanfaatkan lahan secara tradisional dan kepentingan pemanfaatan untuk pembangunan oleh 6 pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Hal ini pun berkaitan dengan ancaman hutan seperti pertumbuhan penduduk yang berdampak pada penggunaan lahan hutan, erosi lahan pemukiman dan erosi lahan pertanian. Seseorang dikatakan memiliki pengetahuan lokal karena mengalami sehingga dia belajar dan akhirnya memiliki pemahaman tentang fenomena alam secara tradisional, yang dikenal sebagai pengetahuan tradisional (Silitoe 2012). Dari hasil penelitian ditemukan bahwa kawasan hutan yang dimanfaatkan oleh masyarakat terbagi atas 4 bagian yakni, susti yang merupakan kawasan yang diusahakan oleh masyarakat baik untuk tempat tinggal maupun untuk berkebun, nihmati yang merupakan kawasan hutan yang dapat dimasuki untuk mengambil kayu dengan persetujuan kepala suku, bahamti merupakan kawasan hutan yang berlumut dan terdapat di wilayah yang curam, dan terakhir adalah tumti yang merupakan bagian puncak. Hutan di pegunungan Arfak memiliki kekayaan alam yang tinggi, mereka pun memiliki nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan dan alam yang digambarkan dengan semboyan igya ser hanjob, dan kepatuhan kepada pemimpin mereka merupakan kelebihan mereka. hutan tidak dapat dengan bebas dimanfaatkan oleh masyarakat karena dilindungi, dan belum ada tanda batas yang jelas sehingga perlu ada koordinasi setiap ada kegiatan di wilayah tersebut. Terdapat faktor-faktor dalam kelestarian cagar alam dari kekuatan dan kelemahan menurut kekhasan alam, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor-faktor internal adalah meningkatnya kekayaan alam, nilai-nilai kearifan lokal dalam pemanfaatan hutan, serta kepatuhan terhadap pemimpin, tetapi hal ini pula dipengaruhi oleh rendahnya kualitas sumberdaya manusia, dan hampir sebagian masyarakat berpendidikan rendah. Sedangkan faktor-faktor eksternal adalah masyarakat di anggap sebagai subjek pembagunan, sarana prasarana meningkat, tetapi seringkali kendala nya adalah peraturan pemerintah yang tidak berpihak, pertumbuhan lahan dan bencana. Analisis Pustaka Pada jurnal ini mengangkat beberapa konsep yaitu tentang pemanfataan hutan, hukum/aturan/norma adat, ancaman terhadap hutan, pengetahuan lokal, kepemimpinan, dan konsep tentang cagar alam. Jurnal ini memberikan pengetahuan tambahan tentang pengelolaan hutan secara lestari kepada para pembaca nya, meskipun sudah ditetapkan daerah cagar alam masyarakat pun tetap menjaga kualitas hutan sesuai aturan adat mereka. bagi masyarakat hutan, hutan merupakan satu kekayaan sosial budaya karena pemanfaatan dan proses sosial budaya yang terjadi didalamnya, selain itu kehidupan masyarakat dalam mengelola lingkungan dan sumberdaya alamnya menjadi syarat utama untuk bertahan hidup. Status hutan sebagai cagar alam akan berpengaruh terhadap proses pemanfaatan yang dilakukan oleh masyarakat karena sebagai cagar alam ada aturan-aturan yang membatasi. 7 2. Dinamika Sosial Dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan Dan Lingkungan Judul : Dinamika Sosial Dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan Dan Lingkungan Tahun : 2010 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Gunggung Senoaji Penulis Nama : Editor Judul : Buku Nama : Jurnal Bumi dan Lestari Jurnal Volume : Vol 10, No 2(2010): 302-310 (Edisi) Alamat : http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/134/117 URL/doi Tanggal : 19 September 2015 diunduh Ringkasan Pustaka: Menurut Senoaji (2010) Masyarakat Baduy merupakan salah satu suku di Pulau Jawa yang hidupnya mengasingkan diri dari keramaian dan tidak mau tersentuh oleh kegiatan pembangunan. Atruan adat melarang warganya untuk menerima moderinasasi pembangunan. Pola kehidupan masyarakat Baduy sangat di tentukan oleh aturan-aturan dan norma-norma yang berperan penting dalam proses kehidupan sosial mereka. aturan dan norma itu dijabarkan dalam suatu hukum adat, yang berperan sebagai alat pengayom bagi seluruh warga sehingga mampu menggiring semua warganya kepada tertib hukum, untuk mampu mematuhi hak dan kewajibannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dinamika sosial budaya masyarakat Baduy dalam megelola hutan dan lingkungan serta pergesera aturan-aturan adat yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat Baduy dan lingkungannya, dengan menggunakan metode survei dengan pendekatan teknik PRA (Participation rural approach). Dari hasil penelitian Senoaji (2010) Masyarakat baduy percaya bahwa mereka adalah orang yang pertama kali diciptakan sebagai pengisi dunia dan bertempat tinggal di pusat bumi. Segala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada Buyut karuhun yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Kedudukan para pemimpin adat memiliki peranan dan kekuasaan luas 8 terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Puun sebagai pemimpin tertinggi adat Baduy adalah keturunan batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan (rukun Baduy) : ngukuh, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngersakeun sasaka pusaka harus di taati oleh masyarakat Baduy. Kedudukan para pemimpin adat memiliki peranan dan kekuasaan luas terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kehidupan itu sudah di tentukan oleh karuhun dengan maksud menyelamatkan taneuh titipan yang merupakan intinya jagat. Pikukuh itu harus ditaati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat luar yang sedang berkunjung ke Baduy diantaranya yaitu, dilarang merubah jalan air seperti membuat kolam ikan, dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur galian, dilarang masuk hutan titipan untuk menebang pohon, membuka ladang, mengambil hasil hutan lainnya, dilarang menanam tanamn budidaya perkebunan, dilarang memelihara binatang berkaki empat, dilarang berladang sendiri, dilarang berpakaian sembarangan. Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan tersebut berupa hukuman oleh ketua adatnya, mulai dari hukuman disuruh kerja, diasingkan ke suatu tempat, bahkan sampai dikeluarkan dari komunitas masyarakat Baduy. Hasil penelitian ini juga menjelaskan cara pengajaran kearifan lokal nya yaitu Buyut dan Pikukuh karuhun di lafalkan dengan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujrana yang selalu di sampaikan saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh orang tua kepada anaknya, ujaran-ujaran itu dianggap sebagai prinsip hidup masyarakat Baduy. Dinamika sosial masyarakat Baduy, yang penduduk nya semakin bertambah sehingga berkurangnya pemilikan lahan setiap keluarga menjadi penyebab terjadinya penyesuaian-penyesuaian dalam tatanan hukum adat. Dinamika sosial dan budaya masayarakat Baduy berdampak juga pada pengelolaan hutan, lahan, dan lingkungannnya, adalah masyarakat Baduy Luar telah berpakaian seperti masyarakat umum, mereka telah menggunakan bahan dan peralatan rumah tangga buatan pabrik, telah mengelola lahan di luar wilayah Baduy dengan sistem bagi hasil, dan atau sewa, perubahan masa bera lahan, sudah menggunakan alat transportasi seperti motor. Masyarakat Baduy Dalam mulai memperpendek masa bera lahannya. Ketua adat Baduy selalu mengingatkan kepada seluruh warganya untuk tidak membuka lahan hutan sebagai lahan pertanian, hal itu hanya berlaku di Baduy Dalam saja. Analisis Pustaka Pada jurnal ini mengangkat beberapa konsep yaitu tentang manfaat hutan bagi masyarakat Baduy, pandangan hutan dari masyarakat Baduy, hukum atau norma adat, proses ajar yang dilakukan masyarakat Baduy, dan kepemimpinan dan dinamika masyarakat Baduy. Pada jurnal ini menjelaskan tentang dinamika sosial budaya masyarakat Baduy dalam mengelola hutan dan lingkungannya, konsistensi antara judul, 9 tujuan, dan pembahasan sudah baik, hasil penelitiannya menjelaskansegala gerak laku masyarakat Baduy harus berpedoman kepada Buyut karuhun yang telah ditentukan dalam bentuk pikukuh karuhun. Kedudukan para pemimpin adat memiliki peranan dan kekuasaan luas terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Pikukuh itu harus di taati oleh masyarakat Baduy dan masyarakat yang sedang berkunjung ke Baduy diantaranya yaitu, dilarang merubah jalan air seperti membuat kolam ikan, dilarang mengubah bentuk tanah seperti membuat sumur galian, dilarang masuk hutan titipan untuk menebang pohon, membuka ladang, mengambil hasil hutan lainnya, dilarang menanam tanamn budidaya perkebunan, dilarang memelihara binatang berkaki empat, dilarang berladang sendiri, dilarang berpakaian sembarangan. Dinamika sosial masyarakat Baduy, yang penduduk nya semakin bertambah sehingga berkurangnya pemilikan lahan setiap keluarga menjadi penyebab terjadinya penyesuaian-penyesuaian dalam tatanan hukum adat. 3. Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Pembangunan Kehutanan Judul : Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Pembangunan Kehutanan Tahun : 2013 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Muhammad Mulyadi Penulis Nama Editor : Judul Buku : Nama Jurnal : Jurnal penelitian sosial dan ekonomi kehutanan Volume : Vol 10, No 4(2013): 224-234 (Edisi) Alamat : http://ejournal.forda-mof.org/ejournalURL/doi litbang/index.php/JPSE/article/view/170 Tanggal : 29 September 2015 diunduh Ringkasan Pustaka Pembangunan saat ini telah menimbulkan dampak negarif seperti pengabaian tatanan sosial dan budaya masyarakat adat. Sumber daya manusia merupakan modal dasar pembangunan yang utama, yang diharapkan mampu memaksimalkan potensinya dalam pembangunan. Pada negara berkembang eksploitasi sumberdaya alam merupakan salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian yang dikarenakan keterbatasan modal finansial dan dapat memberikan manfaat dalam bentuk pembukaan lapangan kerja bagi masyarakat miskin, namun pada kenyataannya pembangunan malah merampas tanah masyarakat adat. Sejak diberlakukannya UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah banyak hal positif yang timbul, otonomi daerah 10 memang dapat membawa perubahan positif di daearah dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur diri sendiri. Menurut Mulyadi (2013) masyarakat adat Battang Kota Palopo Sulawesi Selatan melakukan perlawanan terhadap kebijakan pemerintah daerah yang mengizinkan masuk perusahan tambang PT. Masmindo ke wilayah mereka dengan dalih pendapatan daerah untuk pembangnan dibandingkan melakukan pemberdayaan terhadap masyarakat adat. Seharusnya program pembangunan ini diharapkan dapat meningkatkan kehidupan masyarakat, oleh sebab itu perlu pemberdayaan berbasis masyarakat. menurut Soetomo dalam Mulyadi (2013) implementasi konsep pemberdayaan masyarakat melalui tindakan reorientasi, gerakan sosial, peran institusi lokal dan pengembangan kapasitas. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan deskripsi tentang pola pemberdayaan masyarakat adat dalam pembangunan yang tercermin dalam reorientasi, gerakan sosial, peran institusi lokal, dan peengembangan kapasitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan wawancara terhadap informan dan menempatkan peneliti sebagai key instrument. Menurut WALHI dalam Mulyadi (2013) masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur diwilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai , ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah sendiri, selain itu masyarakat adat hidup dengan pola kemasyarakatan tempat dimana hukum itu berproses dan sekaligus juga adalah merupakan hasil dari proses kemasyarakatan yang merupakan sumber dari hukum tersebut. Hutan adat merupakan kawasan hutan yang berada di wilayah adat. Masyarakat adat penghuni hutan di Indonesia memandang bahwa manusia adalah bagian dari alam yang harus memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasam dan kesatuan lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya. Menurut hasil penelitian Mulyadi (2013) masyarakat adat Battang hutan merupakan sumber lahan atau cadangan lahan di masa depan yang dikelola oleh pemangku adat. Hutan adat di daerah Battang dibagi menjadi dua kategori yaitu hutan biasa dan hutan larangan. Pada tahun 1992 kawasan hutan adat ini ditetapkan sebagai Taman Wisata Alam Naggala III seluas 500 ha. Kebijakan tersebut menimbulkan konflik dengan masyarakat adat setempat karena wilayah pemukiman dan lahan garapan masyarakat masuk kedalam klaim Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA). Yang melandasi pentingnya masyarakat adat dalam pengelolaan hutan menurut Arif (2004) dalam Mulyadi (2013) adalah mempunyai motivasi yang tinggi, mempunyai pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan, mempunyai hukum adat, mempunyai kelembagaan adat, dan sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas 11 diantara komunitas masyarakat adat. Kearifan lokal menjadi penting saat terjadinya common property pada peningkatan kepentingan yang menyebabkan sumberdaya menjadi menurun. Sehingga perlunya kearifan lokal dan biasanya pengelolaan hutan pun dipegang oleh pemangku adat. Pada evaluasi program pembangunan oleh Mulyadi (2013) otonomi daerah dan desentralisasi kehutanan malah memandang hutan sebagai sumber Pendapatan Asli Daerah yang sangat potensial, akibatnya memberikan dampak negatif seperti hutan gundul, gagal panen hingga masyarakat adat menderita kemiskinan yang ditandai dengan kerentanan, ketidakberdayaan, keterisolasian, dan ketidakmampuan masyarakat adat untuk menyampaikan aspirasi. Sehingga pola pemberdayaan masyarakat adat Battang dilakukan dengan reorientasi masyarakat adat dalam pembangunan, sikap yang tadinya menempatkan masyarakat sebagai penerima program saja berubah menjadi sikap yang menempatkan masyarakat sebagai subjek pelaku pembangunan, gerakan sosial masyarakat adat dalam pembangunan, jadi sekelompok orang bagian dari masyarakat adat terlibat secara sadar untuk berbuat dengan maksud untuk mengubah kondisinya, peran institusi lokal masyarakat adat dalam pembangunan, yaitu peran institusi lokal sebagai wadah yang mendorong masyarakat untuk bangkit dan memiliki kesadaran bahwa kalau tidak mereka sendiri yang bertindak siapa lagi, dan yang terakhir adalah pengembangan kapasitas masyarakat adat dalam pembangunan sebagai proses peningkatan kesadaran masyarakat itu sendiri. Analisis Pustaka Pada jurnal ini megangkat beberapa konsep yaitu tentang manfaat hutan bagi masyarakat adat, hukum dan norma adat, masyarakat adat, hutan adat,dan masyarakat hukum adat, ancaman terhadap hutan, landasan pentingnya pengelolaan hutan, dan konsep kepemimpinan. Pada jurnal ini dijelaskan bahwa masyarakat adat Battan, hutan merupakan sumber lahan atau cadangan lahan di masa depan yang dikelola oleh pemangku adat. Hutan adat di daerah Battang dibagi menjadi dua kategori yaitu hutan biasa dan hutan larangan. Penetapan hutan menjadi taman wisata alam menjadikan konflik antara BKSDA dengan masyarakat adat.Hasil dan pembahasan yang dipaparkan jurnal ini sudah cukup konsisten dengan judul penelitiannya, dari latarbelakang hingga kesimpulan sudah terstruktur alur ceritanya, hanya saja kelemahan di dalam jurnal ini belum dijelaskan secara rinci tentang keberhasilan progam pemperdayaan, selain itu di Bab pendahuluan disinggung masuknya PT Masmindo ke wilayah mereka, dan di pembahasan tidak dijelaskan pengaruh PT Masmindo tersebut. 4. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Tapanuli Selatan Judul : Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Tapanuli Selatan Tahun : 2005 12 Jenis Pustaka Bentuk Pustaka Nama Penulis Nama Editor Judul Buku Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diunduh : Jurnal : Elektronik : Zulkifli B. Lubis : - : - : Jurnal Antropolgi Indonesia : Vol 29, No 3(2005): 239-254 : http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3544/2815 : 22 September 2015 Ringkasan Pustaka Menurut Lubis (2005) kearifan lokal yang dikenal sebagai indigenous knowledge menjadi bagian penting dalam program pembangunan yang mengajarkan kita pada kerendahan hati dan kebutuhan untuk belajar dari suatu komunitas sebelum kita mengajari mereka, menurut zakaria dalam Lubis (2005) kearifan lokal atau kearifan lingkungan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Tulisan ini mengasumsikan bahwa kearifan lokal yang pernah ada dalam pengelolaan sumberdaya alam khususnya pengelolaan hutan dapat direvitalisasi untuk membangun partisipasi jika semua stakeholder terkait mampu menumbuhkan dan membangun modal sosial di anatara mereka yang berlandaskan konsensus dan komitmen baru yang diperbaharui dan dirumuskan secara bersama. Menurut hasil penelitian Lubis (2005) komunitas Angkola dan Mandailing mengenal beberapa konsep dasar berkenaan dengan pembagian tata ruang dan penguasaan wilayah serta sumberdaya yaitu Banua, Hutam dan Janjian. Banua merupakan kesatuan masyarakat hukum yang otonom dan dikepalai oleh seorang raja, setiap banua mempunyai tanah dan sumber air nya sendiri. Huta merupakan satukesatuan pemukiman penduduk, pemimpin di dalam satuan pemukiman tersebut dinamakan Raja Ihutan namun tidak berfungsi sebagai kepala pemerintahan. Janjian merupakan kumpulan sejumlah banua yang diikat oleh kesatuan adat dan bukan oleh kesatuan politik dan dipimpin oleh seorang raja Pamusuk. Setiap Huta/banua memiliki batas yuridiksi sendiri, sehingga 13 kewenangan untuk menguasai dan memanfaatkan wilayah berikut sumberdaya yang ada didalamnya sudah dimiliki secara otonom. Setiap Huta/Banua harus mempunyai kawasan hutan untuk mendukung penyelenggaraan kehidupan ekonomi, hutan juga dimanfaatkan untuk berburu binatang, pemanfaatan sumberdaya yang ada di dalam hutan biasana diatur oleh otoritas kerahaan dengan menerapkan apa yang disebut “bungo ni padang”yaitu sejenis restribusi atau kompensasi yang harus diserahkan kepada kerajaan. Setiap Huta/Banua juga memiliki kawasan hutan yang terlarang keberadaan hutan terlarang ini biasanya dilegitimasi oleh adanya unsur-unsur kepercayaan penduduk bahwa bagian tertentu dari wilayah hutan mereka tabu untuk dimasuki atau dibuka untuk lahan pertanian, ada kepercayaan pribumi bahwa tempat-tempat tertenutu didalam kawasan hutan dihuni oleh makhluk halus yang dapat mengganggu manusia, menurut Zakaria dalam Lubis (2005) hal tersebut disebut dengan kearifan lokal religio-magis yang fungsional untuk menjaga kelestarian sumberdaya, karena hutan larangan tersebut biasanya merupakan mata air, atau daerah resapan air. Menurut Lubis (2005) ada beberapa taksonomi kawasan hutan yaitu rubaton yang merupakan kawasan hutan belantara yang jarang dimasuki oleh manusia, tombak yang merupakan kawasan hutan lebat yang kepadatannya berada dibawah rubaton, harangan yaitu kawasan hutan yang biasa dimasuki oleh manusia dan kepadatannya berada dibawah tombak. Apabila hutan telah dibuka untuk pertanian menjadi kategori auma (lahan perladangan) jika lahan telah diberakan dalam beberapa musim tanam disebut sebagai gasgas (semak belukar) dan apabila semnak belukar tersebut dibiarkan tana diolah kembali menjadi hutan harangan. Setiap penduduk yang ingin membuka lahan harus mendapatkan izin terlebih dahulu dari pimpinan. Penduduk bebas memanfaatkan binatang yang ada di dalam kawasan hutan di daerah mereka sendiri sepanjang bukan hewan peliharaan seseorang. Karena pada dasarnya hutan adalah milik komunal. Sejak 1980an berkembang sebagai paranata baru yang tergolong bentuk kearifan lingkungan dalam pengelolaan sumberdaya sungai dibeberapa tempat sehingga akses penduduk terhadap sungai khususnya untuk menangkap ikan dibatasi dalam jangka waktu tertentu. Ada aturan-aturan adat yang mengatur pemanfaatan tanah dan sumberdaya lainnya didalam lingkungan sebuah Huta/Banua. Penetapan batas-batas wilayah antar Banua biasanya didasarkan pada alasan-alasan ideologis, historis, dan sosiopolitis bukan berdasarkan pada batas-batas geografis dan ekologis. Berdasarkan kenyataan tersebut, klaim terhadap tanah ulayat belum tentu dan tidak selalu berhimpitan dengan tanah yang sudah diusahakan secara kongkrit oleh penduduk didalam suatu Huta/Banua. 14 Dari hasil penelitian Lubis (2005) pada masa sekarang berlakunya sistem hukum nasional yang antara lain mengatur batasan-batasan wilayah membawa implikasi yang cukup besar terhadao tatanan penguasaan wilayah yang ada sebelumnya. UU No.5/1974 tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dan UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa merupaka hukum yang mengubah secara mendasar struktur kelembagaan wilayah yang ada di daerah Tapanuli. Struktur Huta, Banua dan Janjian menjadi kehilangan otoritas, aturan pembagian wilayah menurut adat pun tidak difungsikan lagi, sehingga tidak bisa digunakan lagi sebagai tempat berlindung untuk komunitas-komunitas lokal. Bentuk bentuk pengaturan atau pemanfaatan yang dilakukan oleh negara antara lain adalah memeberikan hak-hak penguasaan hutan (HPH), dengan perubahan strukur pembagian dan penguasaan wilayah tersebut maka banua yang ada di Angkola dikonversi dan dibagi-bagi menjadi sejumlah desa. Menurut Lubis (2005) masalah pokoknya sekarang adalah bagaimana komunitas lokal merekayasa dan menumbuhkan kreasi budaya khususnya dalam konteks pengelolaan lingkungan yang arif dan berpihak pada kelestarian lingkungan, sehingga yang diperlukan saat ini adalah perumusan ulang tentang hubungan yang layak antara komunitas dan para stakeholder lain dengan lingkungan alamnya. Kemampuan komunitas stemoat membangun dan mendayagunakan modal sosial dinatar mereka untuk bisa menumbuhkan dan membangun suatu kearifan dalam pengelolaan sumberdaya alam yaitu menetapkan sumberdaya yang kongkrit sebagai subjek pengelolaan, mengembangkan ide atau gagasan untuk pengelolaan sumberdaya melalui proses partisipatif, menemukan konsesnsus diantara para stakeholder, merumuskan tujuan pengelolaan untuk memenuhi kebutuhan bersama, menetapkan jaringan sosial atau satuan sosial yang menjadi konstituen pengelolaan, merajut pranata/instuitusibaik berupa sistem nilai, norma dan sanksi, membangun hubungan saling percaya dan melakukan siklus pendayagunaan modal sosial dengan membangun kekompakan atau kesatupaduan dikalangan jaringan sosial. Dan kalau semua sepakat untuk menjadikan aspek budaya sebagai suatu variabel penting niscaya kearifan lokal yang pernah ada akan lebih mudah dikembangkan kembali. Analisis Pustaka Pada jurnal ini membahas tentang beberapa konsep yaitu tentang manfaat hutan, hukum dan norma adat, perarturan-peraturan hutan adat, ancaman terhadap hutan, kearifan lokal, pentingnya kearifan lokal, dan konsep kepemimpinan. Jurnal ini memberikan pengetahuan baru kepada pembacanya, pada tulisan ini dijelaskan kearifan lokal atau kearifan lingkungan dapat didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenaan dengan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Tulisan ini mengasumsikan bahwa kearifan lokal yang pernah ada dalam pengelolaan 15 sumberdaya alam khususnya pengelolaan hutan dapat direvitalisasi untuk membangun partisipasi jika semua stakeholder terkait mampu menumbuhkan dan membangun modal sosial di anatara mereka yang berlandaskan konsensus dan komitmen baru yang diperbaharui dan dirumuskan secara bersama. Tetapi pada jurnal ini masih belum ada konsistensi antara judul, pendahuluan, dan pembahasannya. Yang dimaksudkan dengan menumbuhkan (kembali) kearifan lokal ini yang pembaca temukan masih hanya menjelaskan tentang kearifan lokal nya, yang pembaca tangkap menumbuhkan kembali kearifan lokal ini hanya sebagai saran dari penulis. Pembahasan yang ada di dalam jurnal ini berulangulang, yang sudah dibahas di awal di ulang ulang lagi, metode penelitiannya pun tidak dijelaskan, dan urutan bahasannya pun belum terstruktur. 5. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan oleh masyarakat Baduy di Banten Selatan Judul : Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan oleh masyarakat Baduy di Banten Selatan Tahun : 2004 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Gunggung Senoaji Penulis Nama : Editor Judul : Buku Nama : Jurnal Manusia dan Lingkungan Jurnal Volume : Vol 11, No 3(2004): 143-149 (Edisi) Alamat : http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/viewFile/361/283 URL/doi Tanggal : 28 September 2015 diunduh Ringkasan Pustaka Hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi yang berfungsi sebagai pabrik utama yang mengolah energi matahari menjadi energi-energi lain yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Selain itu hutan merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai ekonomi, yang sangat tinggi, nilai ekonomi yang sangat tinggi tersebut terdapat pada bagian yang sangat vital dari pabrik hutan, yaitu pohon-pohon sebagai pabrik kayu. Ancaman hutan menurut Simon dalam Senoaji (2004) adalah petambahan penduduk menuntut tercukupinya kebutuhan pangan, kebutuhan kayu bakar, dan tempat pemukiman. 16 Menurut Senoaji (2004) salah satu pengelolaan lingkungan hutan yang memperhatikan untuk kesejahteraan masyarakatnya adalah pengeloalan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy. Dalam pengelolaan lingkungan hidupnya, tata cara pengerjaannya diatur oleh ketentuan adat, dan harus dipatuhi dengan seksama. Menurut Nababan dalam Senoaji (2004) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dengan ekosistem disekitarnya, yang memiliki kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengelola sumber daya alam secara lokal. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik sosial ekonomi dan memahami aturan adat secara tata nilai yang berlaku dimasyarakat Baduy, termasuk dalam memanfaatkan lingkungan hutannya, dengan menggunakan metode penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif, sehingga penelitian ini dapat menggambarkan suatu obyek data atau suatu kondisi tertentu atau suatu kelompok manusia secara sistematis, faktual, dan akurat sesuai fakta di lapangan. Menurut hasil penelitian, mata pencaharian utama masyarakat Baduy adalah berladang dengan sistem perladangan berpindah sistem bera. Masyarakat Baduy tidak mengenal sekolah ataupun baca tulis, menurut mereka menjadi pintar adalah alasan untuk membuat kerusakan dibumi. Masyarakat Baduy pun mengenal dua sistem pemenrintahan yaitu sistem pemerintahan nasional dan sistem adat. Masyarakat Baduy dikelompokkan menjadi tiga golongan, yaitu masyarakat Baduy Dalam, Baduy Luar, dan Baduy Muslim. Masyarakat Baduy dalam menganggap bahwa lahan di wilayahnya adalah tanah adat. Mereka hanyalah bertindak sebagai pemilik lahan garapan dan bukan sebagai pemilik lahan, sedangkan bagi Baduy Luar kepemilikan lahan bersifat permanen yang disepakati bersama oleh semua warga, dan Baduy Luar pun sudah banyak yang membeli lahan di Luar Baduy yang disebut dengan Baduy Muslim. Memurut Senoaji (2004) pemanfaatan lingkungan hutan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. Masyarakat Baduy meyakini jika pemanfaatan alam dan hutannya masih tetap berpegang pada aturan adat dan pikukuh karuhun yang mereka anut, tidak akan terjadi bencana alam seperti kekeringan, banjir, dan perubahan cuaca. Seseorang tidak berhak dan tidak berkuasa untuk melanggar dan mengubah tatanan kehidupan yang telah ada dan sudah berlaku turun temurun. Jika taneuh titipan ini rusak, maka seluruh kehidupan masyarakat di dunia ini akan rusak pula. Norma dan aturan adat masyarakat Baduy merupakan penjabaran dari pikukuh karuhun yang harus dilaksanakan oleh semua masyarakatnya,dan membentuk suatu kearifan lokal masyarakat. Norma dan aturan itu mengatur semua sendi kehidupan mulai dari kehidupan bermasyarakat, beragama, dan hubungan dengan lingkungan. Ketentuan mutlak yang harus dilakukan oleh seluruh masyarakat Baduy adalah tata cara perladangan, perlakuan terhadap lingkungan hutannya, dan pelaksanaan rukun-rukun sunda wiwitan. 17 Hidupsederhana, menabung hasil pertanian, dan rajin bekerja adalah kunci sukses masyarakat Baduy dalam menghadapi perubahan lingkungannya. Analisis Pustaka Pada jurnal ini membahas tentang beberapa konsep yang sama seperti jurnal sebelumnya, yaitu tentang manfaat hutan bagi masyarakat, hukum dan norma adat, ancaman terhadap hutan, pentingnya mengelola hutan, pentingnya kearifan lokal, dan konsep kepemimpinan. Tidak jauh berbeda pada penelitian sebelumnya yang berjudul dinamika sosial dan budaya masyarakat baduy dalam mengelola hutan dan lingkungan, inti dari bahasan jurnal ini sudah dijelaskan pada penelitian sebelumnya, penulisnya pun memang sama. Ada informasi tambahan dari jurnal ini bahwa pemanfaatan lingkungan hutan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. 6. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng Judul : Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng Tahun : 2013 Jenis : Monograph Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Nyoman Wijana Penulis Nama : Editor Judul : Buku Nama : Seminar Nasional FMIPA Undiksha III Monogra ph Volume : (Edisi) Alamat : http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/ URL/doi view/2710 Tanggal : 28 September 2015 diunduh Ringkasan Pustaka Wilayah hutan menjadi sumber kelangsungan hidup bagi warga desa Tigawasa ini dijaga secara ketat dan digunakan secara arif sehingga kelestarian hutan tetap terjaga. Mereka mengakui dan percaya bahwa hutan itu adalah hutan 18 duwe yaitu milik dan atau pemberian ida Sang Hyang Widi Wasa (Tuhan yang Maha Esa) sehingga harus dijaga dan dilestarikan, sehingga menurut hasil penelitian hutan itu masih lestari. Berbeda dengan hutan-hutan yang ada di Indonesia yang dikelola oleh pemeritah banyak mengalami kerusakan. Hutan yang dikelola sistem adat lebih lestari dibandingkan dengan hutan yang dikelola oleh pemerintah, karena pengelolaan hutan adat melibatkan masyarakat tradisional berbasis kearifan lokal dan memandang hutan tersebut sebagai hutan duwe, hutan di anggap sebagai tempat suci, sehingga pelaksanaan upacara agama, khususnya pada piodalan dalem, dilakukan di hutan tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui kearifan lokal yang ada di Desa Tigawasa Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. Penelitian ini termasuk kedalam penelitian eksploratif dan deskriptif. Pengelolaan hutan yang ada di desa Tigawasa tersebut mengacu pada (1) Dresta yang merupakan tradisi yang ada di desa tersebut, tradisi yang dijalankan tersebut sesuai dengan warisan yang mereka terima dari leluhur mereka yang bercirikan kebaliagaan mereka, hutan sebagai tempat suci untuk penyelenggaran upacara agama. Pemanfaatan hutan sebagai keperluan atas masyarakat setempat, dalam pelaksanaannya pun harus melalui tahapan yang mengikuti aturan yang sudah disepakati bersama yang telah turun temurun. (2) upacara adat, upacara yang berhubungan dengan hutan yaitu Sabha Ngubeng, Sabha Mamiut, Sabha Sabuh Baas, dan Sabha Malguna.(3) awig-awig/regulasi, pengelolaan hutan ini sepenuhnya dikelola oleh desa adat yang dibantu oleh masyarakat, pengelolaan ini terkait dengan waktu pelaksanaan upacara, pengelolaan tata cara mencari kayu, dan pembuatan batas-batas kawasan hutan dengan tegalan milik warga. Kearifan lokal yang ada didesa tersebut merupakan kearifan lokal yang tumbuh dan lahir turun temurun. Kearifan ekologi merupakan pedoman manusia agar arif dalam berinteraksi dengan lingkungan alam iofisik (sekala) dan supernatural (niskala). Dalam kearifan ekologi manusia merupakan bagian dari alam. Pokok-pokok isi kearifan lokal meliputi unsur-unsur yaitu konsep lokal, cerita rakyat, ritual keagamaan, kepercayaan lokal, dan berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik. Hal yang sangat menonjol dan sangat mudah untuk dijadikam indikasi terhadap kepedulian dan kehormatan terhadap hutan itu adalah bahwa masyarakat sekitar hutan dan juga yang jauh tinggal dari hutan, tidak boleh dan tidak berani memasuki hutan tanpa melakukan pemberitahuan kepada ulu desa, dan mempertimbangkan harihari tertentu sebagai hari boleh masuk hutan. Analisis Pustaka Jurnal ini mengangkat beberapa konsep yaitu tentang hukum dan norma adat, manfaat hutan bagi masyarakat, ancaman terhadap hutan, kearifan lokal, dan konsep mengenai kepemimpinan. 19 Hasil dari penelitian ini memberikan informasi tambahan tentang pengelolaan hutan oleh masyarakat, bagi masyarakat daerah Tigawasa hutan adalah pemberian dari Tuhan sehingga harus dijaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan sebagai keperluan atas masyarakat setempat, dalam pelaksanaannya pun harus melalui tahapan yang mengikuti aturan yang sudah disepakati bersama yang telah turun temurun. Masyarakat sekitar hutan dan juga yang jauh tinggal dari hutan, tidak boleh dan tidak berani memasuki hutan tanpa melakukan pemberitahuan kepada ulu desa, dan mempertimbangkan hari-hari tertentu sebagai hari boleh masuk hutan. 7. Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang Judul : Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang Tahun : 2011 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Muh Dasir Penulis Nama : Editor Judul : Buku Nama : Jurnal Hutan dan Masyarakat Jurnal Volume : Vol.3, No 2(2011): 135-147 (Edisi) Alamat : http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/view/111/102 URL/doi Tanggal : 3Oktober 2015 diunduh Ringkasan Pustaka Menurut Dassir (2008) komunitas Ammatoa di Kajang merupakan salah satu komunitas adat yang hutannya masih terlindungi, komunitas tersebut berpegang teguh pada Pasang ri Kajang(sistem nilai budaya komunitas Ammatoa). Pasang merupakan kumpulan pesan-pesan, aturan bagaimana seseorang menempatkan diri terhadap makro mikro kosmos serta tatacara menjalin harmonisasi alam-manusia-Tuhan. Pasang menganjurkan agar tidak merusak hutan karena komunitas Ammatoa memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga keseimbangan lingkungan, bagi komunitas Ammatoa jika hutan rusak maka rusak pula kehidupan mereka. penelitian ini mengkaji sejauh mana keberadaan “pasang ri kajang” sebagai suatu pranata pengelolaan sumberdaya khususnya hutan dan komunitas Ammatoa sebagai pengguna 20 kawasan hutan, dengan metode wawancara kepada informan kunci dan dianalisis secara deskriptif. Menurut hasil penelitian bahwa komunitas adat Ammatoa tetap mempertahankan sistem nilai budaya dan cenderung lamban atau kurang menerima hal-hal yang baru bahkan ditolak sama sekali, seluruh aktifitas kehidupan mereka dipusatkan pada ajaran Pasang ri Kajang. Kawasan Hutan adat Tanah Toa dibagi kedalam tiga zona, yaitu hutan keramat yang merupakan pasang terlarang untuk dimasuki ataupun mengganggu flora dan fauna yang ada di dalamnya, hutan ini hanya dimasuki oleh Ammatoa dan anggota adat apabila ada upacara adat. Zona kedua merupakan zona perbatasan yang digunakan oleh Ammatoa dan anggota adat sebagai jalan masuk di hutan keramat, di zona ini diperbolehkan mengambil kayu dengan syarat-syarat tertentu. Dan zona yang ketiga merupakan hutan rakyat yang belum dibebani hak milik, dari hutan inilah masyarakat bisa memenuhi kebutuhan mereka terhadap kayu dengan persyaratan tertentu. Menurut Ibrahim dalam Dassir (2008) Pasang ri Kajang lebih menitikberatkan pada pelestarian hutan yaitu memelihara bumi beserta isinya (langit, manusia dan hutan), dilarang merusak hutan, hutan mempunyai fungsi hidrologis sebagai pengatur tata air, dan masyarakat adat Ammatoa menganggap hutan sebagai pusaka sehingga tanggungjawab untuk menjaga hutan dipegang oleh Ammatoa, serta tidak boleh ada penebangan maupun penanaman di hutan keramat agar mengalami suksesi alami sehingga tidak akan ada yang mengakui kepemilikan atas hutan secara pribadi. Ada beberapa larangan adat yang tidak boleh dilakukan dihutan yaitu larangan mengambil hasil hutan di hutan keramat, larangan untuk memburu satwa liar didalam hutan, dan larangan mengganggu lebah. Alat yang digunakan untuk menebang kayu pun harus alat tradisional berupa kompak dan parang, dan kayu yang ditebang harus dikeluarkan dengan cara diangkat dan digotong agar tidak merusak tanaman lainnya. Larangan larangan tersebut dibarengi dengan sanksi-sanksi adat yaitu cambuk yang berupa pembayaran denda, pembakaran linggis yang bertujuan untuk mengetahui siapa yang bersalah, hal ini dilakukan dengan membakar linggis sampai menyala lalu dipegang oleh semua orang, dan siapa yang bersalah dia yang akan terbakar tangannya, dan pembakaran passau digunakan jika pelaku melarikan diri, hal ini diambil dari sarang lebar lalu dibakar dan diberi manteramantera apabila ditiupkan akan menghampiri pelaku meskipun pelaku bersembunyi dimanapun, sipelaku akan terjangkit beberapa penyakit yang tidak bisa disembuhkan hingga akhirnya meninggal. Hal inilah yang membuat komunitas Ammatoa sangat takut melakukan pelanggaran terutama didalam hutan. 21 Analisis pustaka Pada jurnal ini membahas tentang beberapa konsep yaitu hutan adat, hukum dan norma adat, manfaat hutan bagi masyarakat, ancaman terhadap hutan, proses ajar kearifan lokal, dan konsep kepemimpinan. Hasil dari penelitian ini hampir sama dengan tulisan-tulisan sebelumnya bahwa masyarakat sekitar hutan menganggap hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga hidup mereka, dengan seperti itu mereka akan menjaga hutan dengan lestari, karena mereka yakin bahwa sumberdaya yang ada di hutan sangat memberikan manfaat bagi mereka. Jika hutan rusak maka kehidupan mereka pun dapat terancam. Selain itu masyarakat adat kajang juga mermbagi beberapa zona pemanfaatan hutan. Tetapi hal yang menarik pada tulisan ini adalah sanksi yang diberikan pada orang yang melanggar seperti cambuk, pembakaran linggis dan serangan lebah. 8. Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi) Judul : Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi) Tahun : 2011 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Nur Arafah, Dudung Darusman, Didik Suhartijo, Leti Penulis Sundawati Nama : Editor Judul Buku : Nama : Jurnal Ilmu Kehutanan Jurnal Volume : Vol 5, No 1(2011): 30-39 (Edisi) Alamat : http://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/article/view/580 URL/doi Tanggal : 29 September 2015 diunduh Ringkasan Pustaka Menurut Arafah et al(2011) masyarakat pulau-pulau kecil mempunyai kemampuan beradaptasi dengan memanfaatkan kondisi lingkungan yang terbatas dengan kearifan lokal. Menurut DKP dalam Arafah et al (2011) umumnya pulaupulau kecil mempunyai sejumlah permasalahan antara lain sulitnya dijangkau sehingga mempengaruhi percepatan pembangunan, kurangnya infrastruktur, 22 budaya lokal kadang bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Masyarakat di Pulau Wangi-wangi merasakan keterbatasan sumberdaya lahan, air tawar, dan tekanan penduduk yang tinggi yang mengancam eksistensi sumberdaya termasuk hutan. Penelitian ini mengkaji tentang pengelolaan hutan yang berkaitan dengan kearifan lokal, yaitu cara pandang dan tindakan manusia sebagai akibat interpretasi terhadap lingkungan alam yang terintegrasi dalam sistem budaya. Peneglolaan hutan adat Kaindea merupakan bentuk interaksi antara individu dengan lingkungannya yang telah berlangsung lama dimana kelestarian hutan adat merupakan bukti telah terjadinya tindakan saling percaya yang didasarkan pada norma-norma yang berlaku setempat. Tujuan dari penelitan ini mengetahui dinamika sistem pengelolaan Kaindea sebagai bentuk kearifan masyarakat dalam pengelolaan hutan di Pulau Wangi-wangi dan menjelaskan fungsi Kaindea secara ekologi, ekonomi, dan sosial budaya bagi masyarakat dan lingkungan serta menganalisis kebijakan pemerintah daerah dalam pengelolaan hutan di pulau Wangi-wangi. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif melalui wawncara dengan informan kunci, dan metode sejarah digunakan untuk menganalisis sejarah masyarakat Kaindea. Menurut hasil penelitian tata guna lahan di Pulau Wangi-wangi tidak berdasarkan wilayah administrasi tetapi berdasarkan wilayah adat, sebagian besar penggunaan lahan di pulau Wangi-Wangi untuk pertanian. Hutan Motokau di pulau wangi-wangi terbagi menjadi dua bagian besar yaitu Kaindea dan Motika, Kaindea merupakan hutan yang sengaja dibuat oleh masyarakat sebagai tempat pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat, dengan sistem kepemilikan komunal (adat ataupun keluarga). Hutan mempunyai fungsi ekonomi, ekologi dan sosial budaya sepeti hutan adat lainnya. Semua Kaindea merupakan milik dan dikelola oleh Sara agar tetap lestari. Sara melalui perangkat adat akan mengawasi dan mengelola Kaindea sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan. Pemberian kawasan Kaindea kepada keluarga adalah bentuk terimakasih dan penghormatan atas dedikasi mereka terhadap negeri. Dari hasil penelitian dikatakan bahwa tanaman di Kaindea merupakan tanaman kehutanan yang mempunyai nilai penting untuk kebutuhan hidup masyarakat dan untuk konservasi dan sampai saat ini masih terpelihara. Hutan Kaindea merupakan alternatif bagi pemangku adat untuk memenuhi kebutuhan pangan. Hutan diartikan sebagai media konservasi tanah dan air yang berguna bagi kesuburan lahan sekitar. Hutan kaindea merupakan suatu kawasan hutan kawasan yang tidak dapat dipisahkan dengan kebun sebagai basis kehidupan masyarakat. kaindea berfungsi lindung sebagai konservasi air dan penyedia unsur hara bagi kebun sekitar. Hutan Kaindea dilarang mengambil kayu apalagi mengonversi lahannya, untuk kebutuhan kayu masyarakat mengambilnya dari hutan motika, yaitu hutan adat yang diperuntukan untuk hutan produksi. Masyarakat sangat peduli akan keselamatan hutan sebagai milik bersama. Pandangan tersebut menyatakan bahwa siapa yang merusak akan diberi gelar 23 sebagai orang rusak. Sanksi yang diberikan Sara berbeda tergantung pada besar kecil dan substansi pelanggaran tanpa membedakan status sosial dalam masyarakat. Menurut Korten (1986) dalam Arafah et al (2011) pengelolaan sumberdaya berbasis masyarakat dilakukan dengan tiga alasan yaitu 1) local variety yang merupakan masyarakat lokal mempunyai karakteristik lingkungan yang beragam baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi yang harus ditanggapi secara cepat dan tepat 2) local resources yaitu sumberdaya berada di tengah-tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan, 3) local accountability yaitu masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap sumberdaya alam akan memiliki komitmen dan tanggung jawab penuh untuk mengelola sumberdaya alam secara bijaksana sesuai dengan prinsip kearifan lokal. Analisis Pustaka Konsep yang diangkat pada jurnal ini adalah tentang hukum dan norma adat, manfaat hutan bagi masyarakat, ancaman terhadap hutan, kearifan lokal, permasalahan-permasalahn di pulau kecil, dan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat. Pada jurnal ini hubungan antara judul, tujuan dan isi sudah sesuai, bahasa yang digunakan nya pun mudah dipahami, sehingga pembaca dapat dengan mudah menangkap tulisan ini yang memberikan informasi baru mengenai tata cara pengelolaan hutan di Pulau Wangi-Wangi, Pulau Wangi-Wangi merupakan pulau kecil dengan beragam permasalahan yang ada, namum masyarakat Pulau tersebut tetap mempertahankan kearifan local mereka demi kesejahteraan hidup mereka. Hutan yang berada di Pulau Wangi-Wangi ini terbagi menjadi dua, yaitu hutan Kaindea, dann Hutan Motika. Hutan kaindea merupakan hutan yang difungsikan sebagai hutan lindung untuk konservasi tanah dan air, masyarakat pulau tersebut yang akan memanfaatkan hutan sebagai kegiatan ekonomi dapat memanfaatkan hutan Motika, selain itu pula norma norma yang ada di masyakarat ini berbentuk lisan, dan hukuman yang dijatuhkan bagi orang yang melanggar adalah berupa sanksi adat. 9. Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal Di Enam Komunitas-Komunitas Adat Daerah Bengkulu Judul : Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal Di Enam Komunitas-Komunitas Adat Daerah Bengkulu Tahun : 2011 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Muhammad Yamani Penulis 24 Nama Editor Judul Buku Nama Jurnal Volume (Edisi) Alamat URL/doi Tanggal diunduh : : : Jurnal Hukum : Vol 18, No 2(2011): 175-192 : http://undana.ac.id/jsmallfibtop/JURNAL/HUKUM/HUKUM%202011/ 10%20M.%20Yamani.pdf : 16 September 2015 Ringkasan Pustaka Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji nilai-nilai hukum lokal terhadap hutan dengan kaitannya dalam strategi perlindungan hutan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan historis kemudian dianalis dengan pendekatan komparatif. Menurut hasil penelitian bahwa hukum lokal yang secara efektif diatur dalam pemerintahan tradisional, telah berhasil dalam menanamkan nilai-nilai moral kepada setiap anggotanya yang menjadi justiabelennya, dimana setiap orangnya dengan kesadarannya sendiri ikut serta secara aktif dalam menjaga hutan di dalam wilayah ulayat dan bertindak dengan perhatian sebagai petunjuk hukum hutan lokal. Dalam penelitian ini dijelaskan bahwa salah satu yang menjadi faktor rusaknya hutan adalah lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang selama berabad-abad di praktikan oleh komunitas adat sebagai bagian dari mater muatan hukum kehutanan lokal. Perubahan sikap waga komunitas adat dalam partisipasinya melindungi hutan setidaknya dikuatkan oleh fakta antara lain yang menunjukkan tidak efektifnya sistem perlindungan hutan di bawah hukum positif khususnya dalam penerapan Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 sistem perlindungan hutan yang berlaku justru menjauhkan masyarakat sekitar hutan, maka masyarakat cenderung membiarkan kasus-kasusu perambahan hutan, meskipun mereka mengetahuinya. Menurut Hartiman dalam Yamani (2011) Pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai, apabila ada perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan yang dimaksud ialah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumberdaya, pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumberdaya yang lebih berkeadilan. Materi muatan hukum kehutanan lokal materil pada enam komunitas adat secara garis besarnya mengatur perbuatan materil menyangkut hutan, yaitu (1) setiap orang dilarang menebang habis pohon dalam hutan yang berakibat terjadinya kegundulan hutan, karena dapat menimbulkan bencana (2) setiap orang 25 dilarang menebang pohon menguasai hutan, sumber air, sungai, pantai dan laut secara individual, (4) setiap orang tidak boleh membuka hutan tanpa izin pejabat marga (5)setiap orang tidak boleh menebang pohon dalam hutan tanpa izin pejabat marga, dll. Adanya pengaturan perbuatan yang dilarang berdasarkan materi muatan hukum lokal materil pada enam komunitas adat daerah Bengkulu, menunjukkansejak lama komunitas adat sudah memiliki sistem norma tidak tertulis yang menjadi hukum positif kala itu. Hal itu mejadi instrumen dalam pengelolaan hutan, yangmencerminkan kekhawatiran rusaknya hutan yang dianggap sebagai bagian darisistem penyangga kehidupan masyarakat tradisional, baik secara ekonomis maupun ekologis. Partisipasi warga masyarakat dari setiap komunitas adat daerah Bengkulu dalam memelihara kawasan hutan wilayahnya meluntur bahkan hilang, pasca dihapusnya pemerintahan tradisional marga. Pemerintah mengambil alih pengaturan hutan secara sentralistis, dan urusan penjagaan hutan menjadi kewenangan jagawana, sehingga hubungan masyarakat lokal dengan hutan yang sudah terjalin ratusan tahun terputus, dan bersamaan dengan itu hilang pula rasa memiliki dan rasa tanggungjawab warga masyarakat sekitar kawasan hutan untuk berpartisipasi melestarikan hutan. Puncak pemisahan komunitas adat dari kawasan hutan sekitarnya berlangsung dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa yang secara sistematis telah melunturkan sendi-sendi kearifan lokal (local wisdom) dalam lingkup dinamika kemargaan yang selama ini menjadi lembaga kontrol terhadap perilaku masyarakat pendukung kebudayaan marga. Hilangnya sistem marga mengakibatkan memudarnya nilai-nilai tradisional dan pada gilirannya telah menurunkan tingkat kohesi sosial. Pasca penghapusan marga sebagai masyarakat hukum adat, dan kedudukan hutan ulayat dijadikan hutan negara, maka mulai terjadi perubahan, di mana negara dengan hak menguasai atas hutan mengatur peruntukan hutan dengan visi kesejahteraan rakyat. Pemerintah memberikan izin baik kepada perorangan maupun badan hukum swasta untuk melakukan pengelolaan hutan, namun mengabaikan kepentingan rakyat yang dulunya menjadi anggota komunitas masyarakat hukum adat. Kemitraan yang harmonis saling menerima dan memberi antara negara dan swasta secara tidak disadari, menimbulkan frustasi pada masyarakat lokal yang terabaikan, sehingga terbangunlah sikap atau fantasi mental. Analisis pustaka Jurnal ini membahas tentang beberapa konsep yaitu definisi hutan, hukum dan norma adat, ancaman terhadap hutan, kegagalan peraturan pemerintah, perlindungan hutan, dan kosnep kepemimpinan. 26 Pada jurnal ini dijelaskan bahwa pengelolaan hutan berbasis hukum adat di daerah Bengkulu yaitu (1)setiap orang dilarang menebang habis pohon dalam hutan yang berakibat terjadinya kegundulan hutan, karena dapat menimbulkan bencana (2) setiap orang dilarang menebang pohon menguasai hutan, sumber air, sungai, pantai dan laut secara individual, (4) setiap orang tidak boleh membuka hutan tanpa izin pejabat marga (5)setiap orang tidak boleh menebang pohon dalam hutan tanpa izin pejabat marga, dll Pada jurnal penelitian yang berjudul strategi perlindungan hutan berbasis hukum adat lokal ini masih belum konsisten dengan pembahasan yang dijelaskan, bahasan pada jurnal ini menitikberatkan adalah pudarnya pengelolaan hutan berbasis hukum adat lokal karena adanya peraturan pemerintah yang tidak efektif, sehingga terjadi kerusakan pada hutan. Pengelolaan hutan berbasis hukum adat lokal hanya sebagai pengantar saja. 10. Dinamika Masyarakat Tradisional Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya Judul : Dinamika Masyarakat Tradisional Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya Tahun : 2012 Jenis : Jurnal Pustaka Bentuk : Elektronik Pustaka Nama : Epon Ningrum Penulis Nama : Editor Judul : Buku Nama : Jurnal Sosial dan Perlindungan Jurnal Volume : Vol 28, No 1(2012): 47-54 (Edisi) Alamat : http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/338/36 URL/doi Tanggal : 7 Oktober 2015 diunduh Ringkasan Pustaka Menurut Ningrum (2012) Dinamika masyarakat Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya terkontrol oleh adat istiadat. Terdapat tiga fungsi kebudayaan bagi masyarakat yaitu : (1) karya melindungi masyarakat dari lingkungan alam, (2) karsa untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang disebut adat istiadat, dan (3) cipta untuk mengekspresikan keinginan atau 27 perasaan (Soekanto 1982). Pada hakikatnya, setiap individu maupun kelompok akan mengalami dinamika, terdapat tiga aspek perubahan masyarakat yaitu (1) perubahan ide, (2) pengaruh unsur budaya material terhadap mental masyarakat, dan (3) perubahan ideologi (Sorokin dalam Ningrum 2006). Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dinamika masyarakat adat istiadat masyarakat Kampung Naga, dengan menggunakan pendekatan kualitatif melalui metode deskriptif. Menurut Sajogyo (1985) dalam Ningrum (2012) masyarakat tradisional merupakan orang-orang atau suku bangsa yang sudah hidup sesuai dengan tradisi yang tidak terputus-putus. Tradisi adalah tali pengikat yang kuat dalam membangun tata tertib masyarakat, sedangkan adat merupaka eujud idea dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang terhimpun dalam adat istiadat (Mannhein 1987). Pada masyarakat Kampung Naga mematuhi budaya papagon hirup yakni wasiat, amanat, pamali, dan akibat telah menciptakan kehidupan yang harmonis dengan lingkungan sosial dan lingkungan alam, sehingga lingkungan hidup terlestarikan. Hasil penelitian Ningrum (2012) adat istiadat masyarakat tradisional Kampung Naga berupa wasiat, amanat, akibat, dan larangan salah satu dari aspek wasiat yaitu berupa hutan naga (hutan larangan). Wasiat hutan naga tidak boleh dijamah oleh siapapun. Hutan naga merupakan kawasan suci yang tidak boleh tersentuh oleh manusia. Menurut Ningrum (2012) bagi masyarakat kampung naga, adat istiadat bersifat protektionis terhadap perubahan yang dipandang dapat mengganggu keseimbangan sosial, kehidupan masyarakat kampung naga mengalami dinamikan pada aspek sosial, ekonomi, dan budaya yang meliputi perubahan teknologi, mata pencaharian, pendapatan, dan kepemilikan fasilitas hidup. Masyarakat kampung naga memiliki keterampilan membuat peralatan rumah tangga dari bambu, hal ini mengacu pada orientasi bisnis, perubahan tersebut menunjukan produk kerajinan yang memiliki ekonomi tinggi dengan jangkauan pemasaran hingga luar negeri. Bagi masyarakat kampung naga usaha kerajinan tidak terproteksi oleh adat istiadat, sehingga perubahannya tidak menyebabkan perubahan sosial. Fasilitas hidup yang dimiliki oleh masyarakat adalah transportasi, media informasi dan hiburan, dan rumah permanen, tetapi semua itu berada di luar kampung naga. Fenomena tersebut menunjukkan terpeliharanya solidaritas pola hidup sederhana, dan damai di kampung naga. Tulisan ini juga mendiskusikan strategi pemberdayaan masyarakat kampung naga, masyarakat kampung naga bersifat terbuka terhadap inovasi yang tidak bertentangan dengan adat istiadat, sehingga upaya pemberdayaan nya pun dilakukan melalui strategi inovasi yang memiliki daya sesuai dengan budaya lokal. Masyarakat kampung naga relatif mudah mengadopsi inovasi apabila secara ekonomi menguntungkan, secara teknis mudah digunakan, secara budaya tidak bertengtangan dengan adat istiadat, dan praktis. 28 Analisis Pustaka Jurnal ini membahas beberapa konsep yaitu tentang hukum dan norma adat, definisi adat dan masyarakat hukum adat. Pada jurnal ini menjelaskan tentang dinamika kehidupan masyarakat kampung naga, masyarakat kampung naga sangat mematuhi adat budayanya yang disebut dengan papagon hirup seperti wasiat, amanat, larangan, dan akibat. Keempat hal ini menjadi pedoman hidup mereka antar manusia mauun dengan lingkungan. Masyarakat adat kampung naga pun sangat terbuka dengan inovasiinovasi yang muncul selama hal tersebut tidak bertentangan dengan adat budayanya dan memberikan manfaat bagi mereka. 29 RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN Pengelolaan Hutan Konsep Hutan dan Hutan Adat Hutan dalam konsepsi hukum lokal merupakan suatu tempat yang banyak ditumbuhi aneka ragam pepohonan besar berumur ratusan tahun, dengan kepadatan dan kelembaban tinggi, dan temoat hidup berbagai jenis inatang buas dan liar bahkan tempat makhluk halus (Yamani 2011). Sedangkan hutan adat menurut Nababan (2008) dalam Mulyadi (2013) merupakan kawasan hutan yang berada di wilayah adat yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari siklus kehidupan komunitas adat penghuninya. Masyarakat penghuni hutan adat memandang manusia bagian dari alam yang harus salaling memelihara dan menjaga keseimbangan dan harmoni. Pada kasus masyarakat adat Kajang, pengelolaan hutan adat terbagi menjadi tiga bagian yaitu, hutan keramat. Hutan perbatasan, dan hutan rakyat. Hutan keramat merupakan hutan larangan dimana hanya para pemangku adat saja yang boleh masuk dan hanya untuk keperluan upacara adat, sedangkan hutan perbatasan merupakan jalan masuk menuju hutan, pada hutan perbatasan pun dilarang mengambil kayu ataupun sebagainya, dan masyarakat memanfaatkan dan mengelola hutan pada hutan rakyat yang belum dibebani oleh hak milik (Dasir 2011) . Manfaat Hutan Bagi Kehidupan Masyarakat Sekitar Hutan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam mengaplikasi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sangat besar karena hutan sebagai sumber lahan atau cadangan di masa depan, selain itu hutan pun menjadi sumber kehidupan baik sebagai sumber pangan, obat-obatan, konstruksi dan budaya (Salosa, dkk 2014) dan (Mulyani 2014). menurut (Senoaji 2004) hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi yang berfungsi sebagai pabrik utama yang mengolah energi matahari menjadi energi-energi lain yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Hutan merupakan suatu sumberdaya alam tinggi yang mempunyai niali ekonomi yang sangat tinggi, nilai ekonomi yang tinggi tersebut terdapat pada bagian yang sangat vital dari pabrik hutan, yaitu pohon-pohon sebagai pabrik kayu. Hal ini di dukung oleh pendapat (Yamani 2011) bahwa hutan pun mempunyai 3 fungsi yaitu : fungsi ekonomi sebagai sumber kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, kedua fungsi ekologi yaitu sebagai cadangan air, dan terakhir adalah fungsi sosial budaya yaitu hutan menyediakan kebutuhan upacara adat, tempat sara melakukan pertemuan rahasia untuk membicarakan berbagai hal tentang kondisi masyarakat. hal ini dapat dilihat pada masyarakat Baduy menurut (Senoaji 2010) dalam masyarakat Baduy mereka percaya bahwa mereka diciptakan untuk mengelola tanah suci yang menjadi pusat bumi. Tanah Baduy dilarang rusak, gunung tidak boleh dilebur, hutan tidak boleh dirusak, aliran air tidak boleh diganggu dan lembah tidak boleh dirusak. 30 Ancaman Terhadap Hutan Saat ini keberadaan hutan menjadi terancam yang disebabkan oleh pertumbuhan penduduk yang berdampak pada penggunaan lahan hutan, erosi lahan pemukiman dan erosi lahan pertanian (walokow 2012) dalam (Salosa, dkk 2014) selain itu menurut (Senoaji 2010) pembangunan pun seringkali menimbulkan dampak negatif karena tidak disertainya tanggung jawab untuk melakukan perlindungan, konservasi, rehabilitasi dan reklamasi hutan akibatnya hutan menjadi gundul, bencana, gagal panen, serta kehilangan mata pencaharian penduduk asli hutan. Peraturan penrundang-undangan pun tidak menjamin kelestarian terhadap hutan. Pada hukum UU No 5/1974 tentang pokok pemerintahan di daerah dan UU No. 5/1979 tentang pemerintahan desa mengubah secara mendasar struktur kelembagaan wilayah. Meskipun hak-hak asal usul tanah ualayat diakui dalam UU No. 5/1960 tentang UUPA. Pada kenyataannya hanya dikebiri sehingga tidak bisa sebagai tempat berlindung bagi komunitas-komunitas lokal dalam mengatur hak ulayat. Selain itu pula diberlakukannya HPH yang berdampak pada kemampuan warga komunitas lokal untuk menanam investasi di wilayah-wilayah periferal sudah tentu kala dengan investor pengusaha HPH maupun perkebunan (Lubis 2005). Hal ini ditunjukan pada kasus hutan di Bali bahwa hutan yang dikelola oleh pemerintah justru mengalami gangguan dan perambahan yang terus menerus, akibatnya hutan di Bali mengalami kebakaran, penebangan liar dan pembirikan, kasus yang menarik di Bali ketika masyarakat melakukan penghijauan malah ditembak dengan senjata (Wijana 2013). Selain itu kasus pada kawasan TNBBS Bengkulu yang mengalami perambahan terus menerus dan tidak efektifnya sistem perlindungan hutan dibawah hukum. Kalau saja warga sekitar hutan dilibatkan dalam pemeliharaan hutan, merekalah yang bergerak cepat dan melaporkan setiap perbuatan pengrusakan hutan yang terjadi di wilayahnya. Akan tetapi karena sistem hukum perlindungan hutan yang berlaku justru menjauhkan masyarakat sekitar hutan. Maka masyarakat cenderung membiarkan kasus-kasus perambahan hutan (Yamani 2011) . Permasalahan-permasalahan hutan yang berdampak pada gagalnya perlindungan hutan disebabkan karena lunturnya tabu dan larangan mengenai hutan yang selama berabad-abad dipraktikkan oleh komunitas adat sebagai bagian dari materi muatan hukum kehutanan lokal (Yamani 2011). Pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan berkeadilan dapat tercapai apabila ada perubahan paradigma. Paradigma baru pembangunan kehutanan yang dimaksud ialah pergeseran orientasi dari pengelolaan hutan menjadi pengelolaan sumberdaya, pengelolaan sentralistik menjadi desentralistik, serta pengelolaan sumberdaya alam yang lebih berkeadilan. Menurut (Senoaji 2004) Pemanfaatan lingkungan yang arif akan menghasilkan suatu keseimbangan alam yang memberikan nilai manfaat, kedamaian, kesejahteraan, dan ketenangan bagi kehidupan penduduknya. Sebaliknya akan timbul bencana alam jika dimanfaatkan dengan sembarangan. Masyarakat Baduy yakin jika pemanfaatan alam dan 31 hutannya masih tetap berpegang teguh pada aturan adat dan pikukuh karuhun tidak akan terjadi bencana alam. Menurut Karten (1986) dalam (Arafah dkk 2011) pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dilakukan dengan tiga alasan yaitu : 1. Local variety: masyarakat lokal punya karakteristik lingkungan yang beragam baik dalam aspek biofisik, sosial dan ekonomi harus ditanggapi secara tepat dan cepat. 2. Local resources: sumberdaya berada ditengah-tengah masyarakat yang dibutuhkan dan saling ketergantungan. 3. Local accountability: masyarakat yang mempunyai ketergantungan terhadap sumberdaya akan memiliki komitmen dan tanggung jawab penuh untuk mengelola sumberdaya secara bijaksana sesuai prinsip kearifan lokal. Pengetahuan Lokal dan Kearifan Lokal Konsep pengetahuan lokal dan kearifan lokal Terdapat perbedaan antara pengetahuan lokal dan kearifan lokal. Seseorang dikatakan memliki pengetahuan lokal karena mengalami sehingga dia belajar dan akhirnya memiliki pemahaman tentang femomena alam secara tradisional, yang dikenal sebagai pengetahuan tradisional (Sillitoe 2012) dalam (Salosa, dkk 2014). Sedangkan kearifan lokal (Fox 1996) dalam (Arafah dkk 2011) berkaitan dengan cara hidup yang memanfaatkan dua sumberdaya yaitu perladangan dan perairan laut. Kearifan yang tumbuh dan hidup di masa lalu bukanlah sesuatu yang tumbuh dari langit melainkan hal kreasi budaya dari komunitas yang lahir sebagai bentuk adaptasi mereka terhadap kondisi lingkungan alam dan lingkungan sosial yang eksis pada masa itu (Lubis 2005). Kearifan lokal sering berkaitan dengan kearifan ekologi yang merupakan pedoman manusia agar arif dan berinteraksi dengan lingkungan alam biofisik dan supranatural. Hal ini didukung oleh (Nababan 1995) dalam (Senoaji 2004) kearifan lokal terbentuk karena adanya hubungan antara masyarakat tradisional dan ekosistem disekitarnya yang memiliki sistem kepercayaan, hukum dan pranata adat, pengetahuan dan cara mengeloal sumber daya alm secara lokal Dalam kearifan ekologi memandang bahwa manusia merupakan bagian dari alam (Wijana 2013). Kearifan lokal dan kearifan lingkungan pun dapat didefiniskan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam. Pokok-pokok isi kearifan lokal menurut (Wijana 2013) mencakup 1) konsep lokal, 2) cerita rakyat yang sering berhubungan dengan mitos, 3) ritual keagaman 4) kepercayaan lokal, 5) berbagai pantangan dan anjuran yang terwujud sebagai sistem perilaku dan kebiasaan publik. Menurut (Arif 1994) dalam (Mulyani 2014) terdapat berbagai hal yang melandasi pentingnya masyarakat adat dalam mengelola hutan yaitu: 1) mereka mempunyai motivasi yang kuat untuk mengelola hutan dengan baik, karena anggapan mereka terhadap hutan adalah hal yang positif, 2) mereka mempunyai 32 pengetahuan asli bagaimana memelihara dan memanfaatkan sumberdaya hutan. 3) mereka mempunyai hukum adat yang menuntun mereka dalam berprilaku, 4) mereka mempunyai kelembagaan adat, dan 5) sudah memiliki organisasi dan jaringan kerja untuk membangun solidaritas diantara komunitas masyarakat adat. Pengetahuan lokal terhadap sumberdaya alam itu membentuk kearifan terhadap pengelolaan hutan. Hal ini dibuktikan pada masyarakat Baduy menurut (Senoaji 2004) bahwa kehidupan sosial ekonomi dan budaya Baduy telah mengadaptasikan dirinya dengan lingkungan sekitar sejak beratus-ratus tahun yang lalu secara turun temurun. Hubungan timbal balik antara sistem sosial masyarakat Baduy dengan lingkungan biofisik telah menyebabkan masyarakat Baduy memilki kemampuan mengelola sumberdaya alam yang ada. Masyarakat Adat, Masyarakat Hukum Adat dan Norma Aturan Adat Menurut (Mulyani 2014) Masyarakat adat merupakan kelompok masyarakat yang memilki asal usul leluhur (secara turun temurun) diwilayah geografis tertentu serta memiliki sistem nilai, idelogi, ekonomi, politik, budaya, sosial dan wilayah nya sendiri, sedangkan menurut (Ningrum 2010) masyarakat tradisional merupakan orang-orang atau suku bangsa yang sudah hidup sesuai dengan tradisi yang tidak terputus-putus, tradisi adalah tali pengikat yang kuat dalam membangun tata tertib masyarakat. adat sendiri merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang terhimpun dalam adat istiadat (Salosa, dkk 2014). masyarakat hukum adat merupakan kesatuan kemasyarakatan yang mempunyai kelengkapanuntuk sanggup berdiri sendiri yaitu mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa, dan kesatuan lingkungan hidupberdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua anggotanya (Mulyani 2014). Hukum, aturan dan norma yang ada disetiap masyarakat berbeda-beda, pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, dkk 2014) konsep “igya ser hanjob” merupakan konsep kemandirian masyarakat untuk menjaga dan mengelola kawasan hutan untuk menjadi sumber pangan, bahan bangunan, obat-obatan dan lain-lain. Menurut (Senoaji 2010) pada masyarakat Baduy berpedoman pada rukun Baduy: ngukuh, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngersakeun sasaka pusaka harus di taati oleh masyarakat Baduy. Aturan adat telah mengatur hubungan mereka dengan alam sehingga manusia dan alamnua hidup berdampingan dan berkesinambungan. Pelanggaran terhadap hukum adat tersebut akan dikenakan hukuman oleh ketua adatnya, mulai dari hukum bekerja, hingga diasingkan bahkan dikeluarkan dari komunitas. Pada masyarakat desa Tiga Wasa (Wijana 2013) mereka percaya bahwa hutan itu adalah “duwe” yaitu hutan milik dan atau pemberian Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan yang Maha Esa) sehingga wajib dilestarikan dan dijaga. Hutan sebagai tempat suci untuk penyelenggaraan upacara agama. Tradisi lainnya adalah pelakasanaan dan pemanfaatan hutan sebagai keperluan masyarakat setempat 33 disepakati secara bersama sehingga menjadikan kehidupan mereka lebih nyaman hidup berdampingan dengan isi hutan tersebut. Sama seperti kasus sebelumnya pada masyarakat adat Kajang (Dasir 2011) mereka berpegang teguh pada pasang ri kajang yang merupakan sistem nilai budaya Ammatoa sebagai petuah-petuah yang menganjurkan agar tidak merusak hutan, karena memandang hutan sebagai sumber kehidupan dan penyangga keseimbangan lingkungan. Mereka percaya jika hutan rusak maka kehidupan pun akan rusak. Bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi cambuk, pembakaran linggis jika berbohong, dan sarang lebah jika pelaku melarikan diri. Proses Ajar Melalui Tatanan Adat Proses ajar ini sangat penting untuk keberlanjutan alam, karena proses ajar ini berpengaruh pada sikap dan perilaku dari setiap generasi ke generasi. Melihat bagaimana mereka mengajarkan suatu aturan dan norma adat mereka sehingga hal tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang dan nanti. Proses ajar yang dilakukan oleh masyarakat Baduy (Senoaji 2010) buyut dan pikukuh karuhun di lafalkan dengan bahasa sunda kolot dalam bentuk ujaran yang selalu disampaikan pada saat upacara-upacara adat atau akan diceritakan oleh para orang tua kepada anaknya. Proses ajar juga bisa berlangsung melalui pelibatan anggota rumah tangga --anak-anak dan pemuda-- dalam budidaya pertanian, dan kegiatan gotongroyong desa (Adiwibowo 2015, pers comm). Ujaran-ujaran inilah yang dianggap prinsip hidup bagi masyarakat Baduy. Kepemimpinan Konsep kepemimpinan mempengaruhi hukum/norma/aturan adat dan mempengaruhi juga proses ajar yang berlangsung dikalangan masyarakat. pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, dkk 2014) kawasan hutan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat harus sesuai izin kepala suku. Kepala suku ini berperan penting dalam mengatur tata kelola hutan, agar masyarakat tidak sembarangan dalam memanfaatkan hutan. Dalam masyarakat Baduy pun (Senoaji 2010) kepemimpinan ketua adat menjadi penting dengan istilah lainnya yaitu “Puun” Puun sebagai pemimin tertinggi adat Baduy adalah keturunan Batara serta dianggap sebagai penguasa agama sunda wiwitan. Aturan dan tata cara pelaksanaan sunda wiwitan ini di pimpin oleh Puun sebagai ketua adat amasyarakat Baduy. Kedudukan para pemimpin adat memiliki peranan dan kekuasaan terhadap keseluruhan sistem sosial budayanya. Wewenang dan kedudukan itu sudah di tentukan oleh karuhun dengan maksud menyelamatkan bumi. 34 SIMPULAN Kerangka Analisis Hutan sangat berperan dalam kehidupan masyarakat terutama dalam mengaplikasi nilai budaya dalam kehidupan masyarakat. ketergantungan terhadap alam dan lingkungan sangat besar karena hutan sebagai sumber lahan atau cadangan di masa depan, selain itu hutan pun menjadi sumber kehidupan baik sebagai sumber pangan, obat-obatan, konstruksi dan budaya (Salosa, dkk 2014) dan (Mulyani 2014). menurut (Senoaji 2004) hutan sebagai penyeimbang ekosistem bumi yang berfungsi sebagai pabrik utama yang mengolah energi matahari menjadi energi-energi lain yang dibutuhkan oleh makhluk hidup. Hutan merupakan suatu sumberdaya alam tinggi yang mempunyai niali ekonomi yang sangat tinggi, nilai ekonomi yang tinggi tersebut terdapat pada bagian yang sangat vital dari pabrik hutan, yaitu pohon-pohon sebagai pabrik kayu. Hal ini di dukung oleh pendapat (Yamani 2011) bahwa hutan pun mempunyai 3 fungsi yaitu : fungsi ekonomi sebagai sumber kehidupan baik langsung maupun tidak langsung, kedua fungsi ekologi yaitu sebagai cadangan air, dan terakhir adalah fungsi sosial budaya yaitu hutan menyediakan kebutuhan upacara adat, tempat sara melakukan pertemuan rahasia untuk membicarakan berbagai hal tentang kondisi masyarakat. Hal ini dapat berjalan dengan efektif jika proses ajar dilakukan oleh setiap generasi dan hukum/aturan/norma berlaku di setiap kehidupan masyarakat adat. Pada kehidupan lokal proses ajar melalui tatanan adat sangat penting untuk keberlanjutan alam, karena proses ajar ini berpengaruh pada sikap dan perilaku dari setiap generasi ke generasi. Melihat bagaimana mereka mengajarkan suatu kebiasaan, tata kelakuan adat mereka sehingga hal tersebut masih terus berlangsung hingga sekarang dan nanti. Sehingga hal ini berpengaruh pada keberlanjutan aturan/norma/hukum adat terutama tentang perlindungan hutan. Pada setiap hutan adat memiliki hukum, aturan dan norma yang ada disetiap masyarakat berbeda-beda. Menurut (Senoaji 2010) Pada masyarakat Baduy berpedoman pada rukun Baduy: ngukuh, ngawalu, muja, ngalaksa, ngalanjak, ngapundayan dan ngersakeun sasaka pusaka harus di taati oleh masyarakat Baduy. Aturan adat telah mengatur hubungan mereka dengan alam sehingga manusia dan alamnya hidup berdampingan dan berkesinambungan. Kedua hal tersebut akan menjadi efektif karena dipengaruhi oleh faktor kepemimpinan, pemimpin adat mengontrol keberlangsungan seluruh kehidupan yang berlangsung, serta pemimpin adat mempunyai wewenang dan aturan tentang berkehidupan. Pemimpin adat pula yang memegang penuh adat dan kekuasaan. pada masyarakat pegunungan Arfak (Salosa, dkk 2014) kawasan hutan yang akan dimanfaatkan oleh masyarakat harus sesuai izin kepala suku. Kepala suku ini berperan penting dalam mengatur tata kelola hutan, agar masyarakat tidak sembarangan dalam memanfaatkan hutan. 35 Tetapi yang terjadi saat ini dengan adanya peraturan pemerintah bertolak belakang dengan peraturan adat yang sudah lama berjalan secara turun temurun. Bahkan dengan adanya peraturan pemerintah kelembagaan adat yang sudah terbangun akan menjadi luntur. Pada hukum UU No 32 Tahun 1999 dan UU No 23 Tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dengan adanya keinginan dari Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, meskipun hakhak asal usul tanah ulayat diakui dalam UU No. 5/1960 tentang UUPA. Pada kenyataannya hanya dikebiri sehingga tidak bisa sebagai tempat berlindung bagi komunitas-komunitas lokal dalam mengatur hak ulayat. Selain itu pula diberlakukannya HPH yang berdampak pada kemampuan warga komunitas lokal untuk menanam investasi di wilayah-wilayah periferal sudah tentu kala dengan investor pengusaha HPH maupun perkebunan (Lubis 2005). Akibatnya keberadaan hutan ini akan menjadi terancam karena lunturnya tabu dan larangan mengenai huatn yang selama berabad-abad dipraktikkan oleh komunitas adat sebagai bagian dari materi muatan hukum kehutanan lokal (Yamani 2011). : mempengaruhi Gambar 2. Kerangka Analisis Keterangan: Dari hasil penelusuran pustaka sepuluh jurnal belum ditemukan artikel ilmiah tentang proses ajar pengelolaan hutan yang berlangsung dikalangan warga 36 masyarakat adat Kampung Naga., sehingga pertanyaan penelitian yang diajukan adalah : 1. Bagaimanakah pengetahuan asli atau kearifan lokal masyarakat adat Kampung Naga dalam mengelola sumberdaya hutan? 2. Bagaimana proses pengajaran kearifan lokal dalam menjaga sumberdaya hutan dari generasi ke generasi? 3. Apa tantangan dan ancaman yang dihadapi dalam proses ajar kearifan lokal? Sejauh mana peran kepemimpinan adat dalam proses pengajaran kearifan lokal dalam upaya melestarikan sumberdaya hutan di Kampung Naga? 37 DAFTAR PUSTAKA Arafah, N. Darusman, D. Suhartijo, D. Sundawati, L. 2011. Kaindea: Dinamika Pengelolaan Hutan Adat di Pulau Kecil (Studi Kasus: Pulau Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi). [Internet]. [Dikutip 29 September 2015]. Ilmu Kehutanan. Vol. 5. No.1. Dapat diunduh dari: http://jurnal.ugm.ac.id/jikfkt/article/view/580 Dasir, M. 2011. Pranata Sosial Sistem Pengelolaan Hutan Masyarakat Adat Kajang. [Internet]. [dikutip 3 Oktober 2015]. Hutan dan Masyarakat. Vol.3. No.2. Dapat diunduh dari: http://journal.unhas.ac.id/index.php/hm/article/view/111/102 Karisma, BM. 2010. Studi Pemanfaatan Sumberdaya Hutan Oleh Masyarakat Desa Sekitar Hutan Dan Tata Kelolanya. [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. [dikutip 5 Oktober 2015]. Dapat diunduh dari: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/63478 Lubis, ZB. 2005. Menumbuhkan (Kembali) Kearifan Lokal Dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Tapanuli Selatan. [Internet]. [dikutip 22 september 2015]. Antropologi Indonesia. Vol.29. No.3. Dapat diunduh dari: http://journal.ui.ac.id/index.php/jai/article/view/3544/2815 Magdalena. 2013. Peran Hukum Adat Dalam Pengelolaan Dan Perlindungan Hutan Di Desa Sesaot, Nusa Tenggara Barat dan Desa Setulang, Kalimantan Timur. [Internet]. [dikutip 21 Oktober 2015]. Sosial Ekonomi. Vol.10 No.2. Dapat diunduh dari: http://fordamof.org/files/Jurnal_Sosek_vol_10-2-2013-4.Magdalena.pdf Mulyadi, M. 2013. Pemberdayaan Masyarakat Adat Dalam Pembangunan Kehutanan. [Internet]. [dikutip 29 September 2015]. Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol.10 No.4. Dapat diunduh dari: http://ejournal.forda-mof.org/ejournal-litbang/index.php/JPSE/article/view/170 Ningrum, E. 2012. Dinamika Masyarakat Tradisional Kampung Naga di Kabupaten Tasikmalaya. [Internet]. [dikutip 7 Oktober 2015]. Sosial dan Perlindungan. Vol.28. No. 1. Dapat diunduh dari: http://ejournal.unisba.ac.id/index.php/mimbar/article/view/338/36 Salosa, ST. Awang, SA. Suryanto,P. Purwanto H. 2014. Hutan Dalam Kehidupan Masyarakat Hatam Di Lingkungan Cagar Alam Pegunungan Arfak. [Internet]. [Dikutip 14 September 2015]. Manusia dan Lingkungan Vol.21 No.3. Dapat diunduh dari: http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/view/396/300 Senoaji, G. 2010. Dinamika Sosial Dan Budaya Masyarakat Baduy Dalam Mengelola Hutan Dan Lingkungan. [Internet]. [Dikutip 19 September 2015]. Bumi dan Lestari. Vol.10 No.2. Dapat diunduh dari: http://ojs.unud.ac.id/index.php/blje/article/view/134/117 Senoaji, G. 2004. Pemanfaatan Hutan dan Lingkungan oleh masyarakat Baduy di Banten Selatan. [Internet]. [dikutip 28 September 2015]. Manusia dan 38 Lingkungan. Vol.11. No.3. Dapat diunduh dari: http://jpeces.ugm.ac.id/ojs/index.php/JML/article/viewFile/361/283 Yamani, M. 2011. Strategi Perlindungan Hutan Berbasis Hukum Lokal Di Enam Komunitas-Komunitas Adat Daerah Bengkulu. [Internet]. [dikutip 16 September 2015]. Hukum. Vol. 18. No. 2. Dapat diunduh dari: http://undana.ac.id/jsmallfibtop/JURNAL/HUKUM/HUKUM%202011/10 %20M.%20Yamani.pdf Wijana, N. 2013. Pengelolaan Hutan Berbasis Kearifan Lokal di Desa Tigawasa, Kecamatan Banjar, Kabupaten Buleleng. [Internet]. [dikutip 28 September 2015]. Monograph. Seminar Nasional FMIPA Undiksha III. Dapat diunduh dari: http://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/semnasmipa/article/view/2710