1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pola hidup orang Indonesia yang semakin konsumtif menyebabkan
pergeseran pola penyakit infeksi ke arah penyakit degeneratif. Pada umumnya,
penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung, diabetes, kanker, dan sebagainya
membutuhkan pengobatan dalam jangka panjang. Kekhawatiran terhadap efek
samping penggunaan obat sintetik dalam jangka waktu panjang mengarahkan
orang untuk menggunakan obat tradisional. Tingkat keamanan obat tradisional
teruji karena mengacu pada penggunaan secara empirik sejak zaman dahulu. Di
sisi lain, rendahnya daya beli masyarakat Indonesia terutama golongan menengah
ke bawah, menjadi pendorong adanya peningkatan penggunaan obat tradisional.
Oleh karena itu, pemanfaatan obat tradisional merupakan alternatif untuk
peningkatan kualitas hidup (Wahyuono dkk., 2006).
Manggis, dengan nama ilmiah Garcinia mangostana L. adalah salah satu
keanekaragaman hayati negara tropis yang tersebar di daerah Asia Tenggara.
Manggis dikenal sebagai Queen of Tropical Fruits oleh masyarakat internasional.
Produksi buah manggis di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik pada tahun
2008 mencapai 65.133 ton dan pada tahun 2009 naik menjadi 105.558 ton.
Penduduk lokal Thailand telah memanfaatkan kulit manggis sebagai obat
tradisional untuk mengobati infeksi kulit dan luka (Mahabusarakam dkk., 1987;
Pierce, 2003), serta disentri akibat amuba (Chopra dkk., 1956). Dalam pengobatan
Ayurveda kulit manggis digunakan sebagai obat anti-inflamasi, diare, kolera, dan
1
disentri (Balasubramanian & Rajagopalan, 1988; Sen dkk., 1980). Di Asia
Tenggara kulit manggis digunakan dalam bentuk seduhan untuk mengobati diare,
infeksi saluran kemih dan gonorea (Wong, 2014).
Metabolit sekunder tanaman bertanggung jawab atas adanya efek
farmakologis. Kulit manggis mengandung berbagai macam metabolit sekunder,
salah satunya adalah golongan xanton (Peres dkk., 2000). Senyawa ini berkhasiat
sebagai antioksidan, antibiotik, antivirus, dan anti-inflamasi (Suksamrarn dkk.,
2002). Menurut Jiang dkk. (2004), xanton diklasifikasikan dalam 5 kelompok,
antara lain: xanton sederhana teroksigenasi, glikosida xanton, xanton terprenilasi,
xantonolignoid, dan xanton golongan lain. Senyawa ini banyak terdapat dalam
kulit buah, buah, kulit batang, dan daun manggis. Salah satu senyawa xanton
terprenilasi yang berhasil diidentifikasi adalah alfa mangostin. Berdasarkan
penelitian Chairungsrilerd dkk. (1996), alfa mangostin mampu menunjukkan
aktivitas antihistamin. Hasil penelitian aktivitas antioksidan oleh Jung dkk.
(2006), menunjukkan alfa mangostin beserta beberapa senyawa lain merupakan
agen antioksidan poten. Penelitian Matsumoto dkk. (2003) terhadap sel leukemia
manusia HL60 menghasilkan alfa mangostin memiliki aktivitas anti-proliferasi
sel-sel kanker darah dan pemicu apoptosis paling poten diantara senyawa xanton
lainnya.
Isolasi senyawa aktif golongan xanton, yaitu alfa mangostin, pada kulit
buah manggis telah dilakukan dengan berbagai macam cara. Beberapa penelitian
terhadap metode ekstraksi telah menghasilkan isolasi senyawa aktif yang optimal.
Titik berat pada proses ekstraksi adalah mempertahankan agar senyawa aktif tidak
2
3
rusak
sehingga
efek
farmakologisnya
tidak
berkurang,
berubah,
atau
menghasilkan respon negatif. Untuk mencegah kemungkinan tersebut dilakukan
optimasi pada parameter-parameter ekstraksi, baik salah satu maupun kombinasi
parameter ekstraksi.
Golongan xanton termasuk alfa mangostin di dalamnya merupakan
senyawa yang dapat diekstraksi dengan metode ekstraksi sederhana, yaitu
maserasi dan infundasi. Nadkarni & Nadkarni (1999) menyebutkan ekstraksi
mangostin dengan merebus kulit buah manggis dalam air menghasilkan
mangostin, resin dan tanin. Rahmah (2012) menyatakan maserasi kulit manggis
dengan pelarut etanol 70% menunjukkan adanya aktivitas inhibisi xantin
oksidase. Penelitian serupa oleh Pradipta (2005), aktivitas xantin oksidase
dihambat oleh senyawa xanton dalam kulit manggis.
Penelitian terhadap metode konvensional dan modern bertujuan untuk
mendapatkan alfa mangostin dengan kadar tinggi. Metode ekstraksi alfa
mangostin yang optimal harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Adanya
optimasi pada metode ekstraksi penting sebagai acuan bagi produsen sediaan
farmasi untuk meningkatkan dan menjaga kualitas produknya sehingga efek
farmakologis dapat tercapai.
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu:
1. Apakah metode maserasi dengan etanol lebih efektif dalam mengekstraksi alfa
mangostin pada kulit buah manggis dibanding infundasi ?
4
2. Apakah fraksi etil asetat yang diperoleh melalui maserasi etanol lebih banyak
mengandung alfa mangostin dibanding fraksi etanol hasil infundasi kulit buah
manggis ?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui pengaruh perbedaan maserasi dengan etanol dibanding infundasi
terhadap efektivitas ekstraksi kandungan alfa mangostin pada kulit buah
manggis.
2. Mengetahui pengaruh perbedaan metode pembuatan fraksi etil asetat hasil
maserasi dan fraksi etanol hasil infundasi kulit buah manggis terhadap kadar
alfa mangostin.
D. Tinjauan Pustaka
1. Uraian tentang Manggis
Manggis merupakan salah satu tanaman yang tumbuh di kawasan tropis.
Persebaran tanaman ini mulai dari kawasan Asia Tenggara sampai Amerika
Tengah dan daerah tropis lainnya. Prihatman (2000) menyatakan di Indonesia
manggis tersebar di berbagai daerah dengan berbagai macam nama lokal
seperti manggih (Sumatera Barat), manggu (Sunda), manggis (Jawa),
manggusto (Sulawesi Utara), dan mangustang (Maluku).
5
Menurut Verheij (1997) dan Backer & Bakhuizen van den Brink (1963),
kedudukan kedudukan kategori taksan manggis menurut taksonomi tumbuhan
adalah:
Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledoneae
Bangsa
: Guttiferales
Suku
: Clusiaceae
Marga
: Garcinia
Jenis
: Garcinia mangostana L.
Pohon manggis mampu tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian di
bawah 1.000 m dpl. Prihatman (2000), menyatakan pertumbuhan terbaik
dicapai pada daerah dengan ketinggian di bawah 500 m dpl. Manggis
memiliki pertumbuhan lambat, tetapi umur tanaman relatif panjang.
Umumnya tanaman mulai berbuah setelah 10-15 tahun jika bibit manggis
berupa biji. Tinggi tanaman mencapai 10-25 meter dengan ukuran kanopi
sedang dan tajuk rindang membentuk piramida. Batang berdiameter 25-35 cm
dan memiliki kulit batang kayu berwarna cokelat gelap atau hampir hitam,
kasar dan cenderung mengelupas. Manggis memiliki getah berwarna kuning
atau resin yang ada pada semua jaringan tanaman (Cahyono & Juanda, 2000).
Menurut Qosim (2007), daging buah manggis mengandung gula sakarosa,
dekstrosa, dan levulosa. Dalam 100 g buah mengandung 79,2 g air; 0,5 g
protein; 19,8 g karbohidrat; 0,3 g serat; 11 mg kalsium; 17 mg fosfor; 0,9 mg
6
besi; 14 IU vitamin A; 66 n/mg vitamin C; 0,09 mg vitamin B1 (tiamin); 0,06
mg vitamin B2 (riboflavin); dan 0,1 mg vitamin B5 (niasin).
Penggunaan manggis secara konvensional adalah dalam bentuk segar,
disajikan sebagai buah kaleng, maupun dalam bentuk sirup atau sari buah.
Secara tradisional, buah manggis digunakan sebagai obat sariawan, wasir dan
luka. Kulit buahnya dapat dimanfaatkan sebagai pewarna tekstil selain
pemanfaatan air rebusannya sebagai obat tradisional. Batang pohon manggis
digunakan sebagai bahan bangunan, kerajinan dan kayu bakar (Prihatman,
2000).
Kulit buah manggis secara tradisional digunakan dalam pengobatan di
berbagai
negara,
seperti
India,
Myanmar,
Srilanka,
dan
Thailand
(Mahabusarakam dkk., 1987). Pemanfaatan kulit buah manggis oleh
masyarakat Asia Tenggara telah dikenal secara luas untuk mengobati
sariawan, disentri, sistitis, diare, gonorea, dan eksim (Garnett & Sturton, 1932;
Chopra dkk., 1956; Sen dkk., 1980). Banyaknya keterangan empirik mengenai
khasiat kulit buah manggis, meningkatkan studi dan penelitian mengenai
senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi.
Kandungan kimia yang terdapat dalam kulit buah manggis secara umum
adalah xanton, mangostin, garsinon, flavonoid, dan tanin (Heyne, 1987).
Xanton adalah senyawa yang sering diteliti karena banyak bertanggung jawab
atas aktivitas farmakologi pada kulit buah manggis. Senyawa yang tergolong
polifenol ini menurut penelitian Iswari & Sudaryono (2007), memiliki sifat
antioksidan melebihi vitamin E dan vitamin C. Salah satu golongan xanton
7
yang berhasil diidentifikasi adalah alfa mangostin. Senyawa ini menurut Jung
dkk. (2006) merupakan agen antioksidan poten. Berbagai macam aktivitas
farmakologi seperti antikanker, antimikroorganisme dan anti-inflamasi telah
ditunjukkan oleh alfa mangostin pada beberapa penelitian.
2. Xanton
Metabolit sekunder bagi tanaman kebanyakan digunakan sebagai
pertahanan diri. Namun, manfaat yang lebih menarik adalah khasiatnya bagi
manusia. Salah satu metabolit sekunder dalam kulit manggis adalah xanton.
Senyawa ini termasuk turunan difenil-γ-piron dan dalam sistem tata nama
IUPAC disebut 9H-xanten-on. Xanton banyak terkandung dalam paku, jamur,
lumut, dan tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar xanton ditemukan pada
suku Clusiaceae, Moraceae, Polygalaceae, dan Gentianaceae (Sluis, 1985).
Kulit buah, buah, kulit batang, dan daun merupakan sumber xanton pada
manggis.
Klasifikasi xanton menurut Jiang dkk. (2004) dibedakan dalam 5
kelompok, antara lain: xanton sederhana yang teroksigenasi, glikosida xanton,
xanton terprenilasi, xantonolignoid, dan xanton golongan lain. Secara umum
struktur xanton mirip dengan flavonoid karena jalur biosintesisnya sangat
terkait dengan jalur biosintesis flavonoid. Kerangka dasar xanton tersusun atas
C6-C1-C6. Pada sinar UV 254 nm xanton memiliki kemiripan profil bercak
dengan flavonoid, yaitu berwarna ungu dan berfluoresensi cokelat kemerahan
di bawah sinar UV 366 nm.
8
Gambar 1. Kerangka xanton (Pedrazza-Chaverri dkk., 2008)
Penelitian Souza & Pinto (2005), terdapat kira-kira 1000 macam xanton
telah berhasil diidentifikasi. Aktivitas biologi senyawa berkaitan dengan
struktur trisiklik berdampingan, namun, spesifikasinya tergantung keberadaan
dan posisi substituen (Souza & Pinto, 2005; Jiang dkk., 2004). Beberapa studi
menunjukkan aktivitas biologi xanton yang luar biasa, di antaranya sebagai
antioksidan, antitumor, anti-inflamasi, anti-alergi, antibakteri, antivirus, dan
antijamur.
3. Alfa mangostin
Alfa mangostin merupakan salah satu senyawa yang termasuk dalam
golongan xanton. Pada kulit buah manggis, kulit batang dan getah kering
manggis banyak diisolasi senyawa ini (Dragendorff, 1930). Alfa mangostin
atau yang disebut dengan 1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3-metil-2butenil)-9H-xanten-on,
memiliki
banyak
manfaat,
terutama
antioksidannya yang poten.
Gambar 2. Struktur alfa mangostin (Pedrazza-Chaverri dkk., 2008)
aktivitas
9
Jika dilihat strukturnya, alfa mangostin memiliki kerangka dasar xanton.
Alfa mangostin termasuk dalam polifenol yang umumnya memiliki sifat polar,
namun, substitusi oleh metoksi yang bersifat non-polar menyebabkan senyawa
bersifat semi polar. Rumus molekul alfa mangostin adalah C24H22O6 dan berat
molekul 410,46. Pemerian alfa mangostin berwarna kuning dan struktur
kristalin padat (Anonim, 2001).
Beragam kegunaan alfa mangostin telah dibuktikan oleh berbagai
penelitian. Chairungsrilerd dkk. (1996) menggunakan ekstrak metanol kulit
buah manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi. Senyawa aktif
yang mengindikasikan mampu menghambat kontraksi adalah alfa mangostin.
Hal ini menunjukkan aktivitas alfa mangostin sebagai agen antihistamin.
Weecharangsan dkk. (2006) melakukan penelitian aktivitas antioksidan
terhadap ekstrak kulit buah manggis, yaitu: ekstrak air, etanol 50% & 95%,
serta etil asetat dengan metode penangkapan radikal bebas, menunjukkan
semua ekstrak berpotensi sebagai penangkal radikal bebas. Berdasarkan hasil
penelitian tersebut, Jung dkk. (2006) melakukan penelitian aktivitas
antioksidan dan salah satu senyawa dengan aktivitas antioksidan poten adalah
alfa mangostin. Penelitian Matsumoto dkk. (2003) terhadap sel leukemia
manusia HL60 menghasilkan alfa mangostin memiliki aktivitas antiproliferasi sel-sel darah dan pemicu apoptosis paling poten diantara senyawa
xanton lainnya. Sifat umum alfa mangostin sebagai antioksidan dibuktikan
oleh Williams dkk. (1995) dengan adanya aktivitas penghambatan proses
oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) dalam aterosklerosis.
10
4. Metode Ekstraksi
Metabolit sekunder dalam tanaman didapatkan dengan proses ekstraksi.
Ekstraksi merupakan peristiwa perpindahan massa zat, semula berada di
dalam ditarik oleh cairan penyari sehingga zat-zat aktif larut dalam cairan
penyari. Kandungan kimia dalam cairan penyari akan terpisah dari bahan yang
tidak dapat larut dalam cairan penyari. Dengan mengetahui senyawa aktif di
dalam tanaman akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan metode
ekstraksi yang tepat.
Hasil ekstraksi yang selanjutnya diproses menjadi berbagai macam bentuk
sediaan disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan pekat hasil ekstraksi
zat aktif simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Sisa
pelarut diuapkan dan massa atau sisa serbuk diperlakukan sedemikian hingga
persyaratan terpenuhi (Anonim, 1995). Istilah untuk tanaman atau bahan alam
yang digunakan dalam ekstraksi disebut simplisia (Anonim, 2009).
Dinyatakan bahwa simplisia nabati dapat berupa tumbuhan utuh, bagian
tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Umumnya, untuk simplisia tipe keras
seperti biji, kulit kayu dan kulit akar sulit dipenetrasi oleh pelarut, sehingga
perlu diserbuk sampai halus. Simplisia tipe lunak seperti rimpang dan daun
tidak perlu diserbuk sampai halus karena mudah dipenetrasi oleh pelarut
(Anonim, 2000).
Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak hasil pemisahan
cairan dan residu tanaman dinamakan micelle.
Bentuk ini dapat diubah
menjadi bentuk obat siap pakai, seperti ekstrak cair dan tingtura atau sebagai
11
produk/bahan antara yang dapat diproses menjadi ekstrak kering (Agoes,
2007). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat
bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi
dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak (Ansel, 1989). Ekstraksi dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: maserasi, perkolasi, refluks, soxhletasi,
digesti, infundasi, dan dekokta (Anonim, 2000).
Maserasi adalah salah satu jenis metode ekstraksi dingin, sehingga pelarut
dan sampel tidak mengalami pemanasan. Maka, maserasi merupakan teknik
ekstraksi untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas. Namun,
maserasi membutuhkan banyak dan waktu yang lama.
Secara sederhana, maserasi sering disebut metode perendaman karena
prosesnya dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut tanpa
mengalami proses lain kecuali penggojogan atau pengadukan (Syamsuni,
2006). Prinsip penarikan (ekstraksi) senyawa pada sampel adalah dengan
adanya gerak kinetik pelarut yang akan selalu bergerak pada suhu kamar
walaupun tanpa penggojogan. Namun, penggojogan secara berkala dilakukan
untuk mempercepat proses. Maserasi biasanya diikuti dengan remaserasi,
yaitu pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat
(Anonim, 2000).
Kelebihan maserasi yaitu dapat digunakan untuk jenis senyawa
termostabil maupun termolabil. Selain itu, tidak diperlukan alat yang spesifik,
dapat digunakan apa saja untuk proses perendaman dan prosedurnya
sederhana (Agoes, 2007). Kekurangan maserasi adalah membutuhkan waktu
12
yang lama, biasanya paling cepat 3x24 jam, dan membutuhkan pelarut dalam
jumlah yang banyak.
Infundasi adalah metode eksraksi dengan pelarut air pada temperatur 90°C
selama 15-20 menit (Anief, 2000). Panci infundasi terdiri atas 2 panci
bertumpuk, panci di bawah berisi air ledeng, sedangkan bagian atas berisi
akuades. Perhitungan waktu dimulai setelah panci di bawah yang berisi air
ledeng mulai mendidih. Panci dilengkapi dengan tutup untuk menghindari
senyawa minyak atsiri menguap saat proses pemanasan.
Penggunaan temperatur 90°C untuk menghindari kerusakan senyawa tidak
tahan panas, terutama jika terdapat kandungan minyak atsiri di dalam
simplisia. Pemanasan
akan mempermudah
proses ekstrasi
senyawa.
Keuntungan metode ini adalah bahan dapat berupa tanaman segar. Selain
bagian tanaman atau tanaman segar, simplisia juga digunakan sebagai bahan
infundasi.
Simplisia yang mengandung minyak atsiri cara menyerkai/menyaringnya
adalah dengan serkai dingin, sehingga kandungan minyak atsiri tidak
menguap saat proses penyerkaian. Simplisia yang tidak mengandung minyak
atsiri dapat langsung diserkai saat masih panas. Kain mori atau kertas saring
dapat digunakan untuk menyerkai.
Kulit buah manggis secara umum mengandung xanton, mangostin,
garsinon, flavonoid, dan tanin (Heyne, 1987). Alfa mangostin dapat
diekstraksi dengan metode ekstraksi sederhana, yaitu maserasi dan infundasi.
Nadkarni & Nadkarni (1999) melakukan ekstraksi dengan merebus kulit buah
13
manggis dalam air, menghasilkan mangostin, resin dan tanin. Proses
penghilangan tanin dilakukan dengan merebus di dalam alkohol, kemudian
alkohol diuapkan. Penelitian Rahmah (2012) menyatakan maserasi kulit
manggis dengan pelarut etanol 70% menunjukkan adanya aktivitas inhibisi
xantin oksidase. Penelitian serupa oleh Pradipta dkk. (2005) menghasilkan
adanya penghambatan aktivitas xantin oksidase oleh senyawa xanton dalam
kulit manggis.
5. Parameter Simplisia dan Ekstrak
Simplisia harus memenuhi persyaratan kualitas untuk mendapatkan hasil
ekstraksi yang benar dan optimal. Persyaratan kualitasnya berupa parameter
simplisia, baik spesifik, maupun non-spesifk. Parameter-parameter simplisia
antara lain:
a. Parameter non-spesifik
1) Susut pengeringan
Parameter susut pengeringan bertujuan memberikan batasan maksimal
(rentang) besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan dalam
nilai persen. Senyawa tersebut merupakan sisa zat setelah pengeringan
pada suhu 105°C selama 30 menit atau sampai bobot konstan. Dalam hal
tertentu (jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut
organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena
berada di lingkungan udara terbuka.
14
2) Kadar abu
Parameter kadar abu memberikan informasi mengenai kandungan
mineral dalam bahan, sejak awal proses sampai menjadi simplisia.
Perhitungan kadar abu dilakukan terhadap bahan yang dipijarkan sampai
tercapai bobot konstan. Pemijaran dilakukan pada suhu 800°C ± 25°C
hingga hasil penimbangan dua kali berturut – turut tidak lebih dari 0,5 mg
tiap gram bahan.
3) Kadar abu tak larut asam
Abu tak larut asam menunjukkan senyawa anorganik yang tidak larut
asam, senyawa ini terkait dengan keberadaan senyawa anorganik internal.
(Anonim, 2009)
b. Parameter spesifik
Parameter spesifik simplisia berupa kandungan kimia bahan dan
kandungan kimia bahan yang terlarut dalam pelarut tertentu. Kandungan
kimia terhitung sebagai kadar senyawa identitas bahan dan minyak atsiri
jika pada bahan mengandung minyak atsiri. Nilai kadar senyawa terhitung
dalam % b/b, sedangkan minyak atsiri dalam % v/b. Pengukuran
kandungan kimia bahan terlarut dihitung atas kelarutannya dalam etanol
dan akuades. Kadar sari terlarut memberikan gambaran awal jumlah
senyawa terlarut dalam masing-masing pelarut (Anonim, 2009).
Ekstrak memiliki parameter non-spesifik serupa dengan simplisia, namun
parameter non-spesifiknya hanya kadar air, kadar abu, dan kadar abu tak larut
15
asam (Anonim, 2009). Parameter non-spesifik ekstrak fokus pada kandungan
air ekstrak dan cemaran di dalamnya. Informasi keduanya menentukan dosis
sediaan dan menunjukkan tingkat cemaran selama proses ekstraksi. Parameter
spesifik ekstrak berupa kadar senyawa dan kadar minyak atsiri ekstrak (jika
terdapat kandungan minyak atsiri). Nilai parameter spesifik ekstrak
menunjukkan efektivitas hasil ekstraksi, sehingga nilainya pada umumnya
lebih tinggi dibandingkan kadar simplisia.
6. Isolasi Pembanding dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif
Senyawa di dalam tanaman dapat diisolasi dengan beberapa metode, salah
satunya kromatografi lapis tipis preparatif. Perbedaan polaritas masing-masing
senyawa memungkinkan proses pemisahan dengan pelarut tertentu yang
memiliki polaritas serupa. Prinsip isolasi adalah perbedaan kemampuan suatu
senyawa larut dalam pelarut dengan polaritas tertentu dan perbedaan daya
serap adsorben terhadap masing-masing senyawa. Senyawa akan bergerak
dengan kecepatan yang berbeda pada adsorben, sehingga terjadi pemisahan
(Siti, 2010).
Proses isolasi dengan kromatografi lapis tipis preparatif mirip dengan
kromatografi lapis tipis, namun, lempeng lebih besar dengan alas kaca.
Ukuran lempeng adalah 20x20 cm dan 20x40 cm dengan ketebalan 0,5-2 mm.
Penotolan sampel kromatografi lapis preparatif berupa garis lurus, berbeda
jika dibandingkan dengan kromatografi lapis tipis yang berupa totolan. Silika
16
gel merupakan penjerap dan umumnya digunakan pada kromatografi lapis
tipis preparatif (Siti, 2010).
7. Pemisahan dan Penetapan Kadar Senyawa
Pemisahan atau isolasi senyawa perlu dilakukan untuk mendapatkan
senyawa
dituju
Kromatografi
dalam
umum
jumlah
besar
digunakan untuk
dan
meminimalkan
pengotor.
memisahkan senyawa.
Dasar
pemisahan kromatografi dengan adanya proses partisi atau adsorbsi antara
fase gerak dan fase diam (Handa dkk., 2008). Dalam kromatografi terjadi
proses migrasi diferensial komponen-komponen cuplikan yang ditahan secara
selektif oleh fase diam.
Pergerakan senyawa pada sistem kromatografi berdasarkan kelarutan dan
adsorbsinya pada fase diam dihitung sebagai retensi. Pada sistem
pengembangan
secara
kontinyu
seperti
High
Performance
Liquid
Chromatography (HPLC) dan Gas Chromatography (GC), nilai retensi
dihitung sebagai retention time (Rt atau tR). Pada sistem pengembangan
sederhana seperti Thin Layer Chromatography (TLC) atau Kromatografi
Lapis Tipis (KLT), retensi dihitung sebagai Rf atau retention factor (Handa
dkk., 2008).
17
Jenis fase diam pada kromatografi dengan sistem normal bersifat polar
(seperti silika dan NH2) dengan eluen non-polar (seperti heksana, heptana dan
diklorometan) maupun semi polar (seperti kloroform dan etil asetat).
Modifikasi eluen dengan campuran pelarut bersifat polar seperti isopropanol,
mampu meningkatkan polaritasnya. Pemisahan dalam sistem normal diawali
senyawa kurang polar terelusi terlebih dulu diikuti dengan senyawa yang lebih
polar (Handa dkk., 2008).
Kemampuan Relatif Pelarut
Heksana
Toluen
Dietil eter
Diklorometan
Kekuatan elusi meningkat
Kekuatan elusi meningkat
Aseton
pada fase normal
pada fase terbalik
Tetrahidrofuran
Etil asetat
Asetonitril
Isopropanol
Etanol
Metanol
Air
Gambar 3. Urutan pelarut pada sistem gradien (Handa dkk., 2008)
Sistem eluen dalam kromatografi adalah isokratik dan gradien. Pelarut
isokratik berarti digunakan satu jenis pelarut selama proses elusi. Tipe
isokratik biasa digunakan untuk memisahkan senyawa yang tidak terlalu
kompleks campurannya dan umum digunakan sebagai pelarut pada KLT. Pada
sistem gradien, digunakan pelarut berbeda dan polaritasnya semakin
meningkat selama proses elusi. Peningkatan gradien pelarut bertujuan untuk
mengelusi senyawa dari non-polar bertahap sampai senyawa yang lebih polar
(Handa dkk., 2008). Proses elusi dengan sistem gradien cenderung lebih cepat
dan umumnya diterapkan pada HPLC.
18
Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia dengan
prinsip seperti kromatografi pada umumnya, yaitu terdapat fase diam dan fase
gerak. Sebagai fase diam digunakan adsorben halus, ditempatkan pada
penyangga berupa pelat papan kaca, aluminium atau plastik (Soebagio dkk.,
2005). Campuran senyawa dalam bentuk larutan ditotolkan sebagai bercak
atau pita. Untuk tujuan analisis kualitatif digunakan sampel konsentrasi 0,1-1
mg/mL dan lebih kecil lagi pada analisis kuantitatif. Volume penotolan bercak
adalah 1-5 μL dan 10 μL untuk pita (Handa dkk., 2008). Pemisahan campuran
senyawa terjadi setelah pelat dimasukkan dalam bejana yang jenuh dengan
larutan pengembang (fase gerak) tertentu.
Adsorben atau fase diam dalam kromatografi lapis tipis disesuaikan
berdasarkan sifat senyawa. Umumnya, digunakan pelat silika gel, dilengkapi
dengan fluoresen (F254) dengan dasar aluminium karena hasilnya optimal dan
efisien. Adsorben yang lebih kuat seperti aluminium oksida digunakan untuk
senyawa dengan adsorbsi lemah. Selulosa sebagai adsorben digunakan untuk
senyawa teradsorbsi kuat pada fase diam (Handa dkk., 2008).
Metode KLT dipilih karena memungkinkan variasi kombinasi fase gerak.
Polaritas senyawa menjadi dasar bagi pemilihan fase gerak yang sesuai untuk
pemisahan. Metode trial and error sering diterapkan untuk menentukan fase
gerak. Fase gerak disiapkan sesaat sebelum proses, kecuali beberapa fase
gerak tertentu seperti campuran butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5). Proses
dilanjutkan dengan menjenuhkan bejana elusi. Proses penjenuhan bejana
dipercepat dengan meletakkan kertas saring sepanjang dinding atau sebagian
19
bejana dan fase gerak dimasukkan setelahnya. Bejana dijenuhkan dalam posisi
tertutup pada suhu ruang selama waktu tertentu (Handa dkk., 2008).
Pelat KLT berisi totolan pembanding dan sampel. Pembanding digunakan
sebagai acuan keberadaan senyawa yang ingin dipisahkan. Bercak pada KLT
dapat berupa bercak secara visual berwarna pada sinar tampak maupun
berwarna setelah disinari sinar ultraviolet. Deteksi bercak biasa dilakukan
pada sinar tampak, sinar UV 254 nm dan sinar UV 366 nm. Penampakan pada
sinar yang berbeda dapat membedakan jenis senyawa dalam campuran. Nilai
Rf menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam, dapat
dihitung setelah bercak diidentifikasi pada masing-masing jenis sinar. Larutan
tertentu terkadang disemprotkan untuk identifikasi jenis senyawa dalam
campuran. Dengan keseluruhan profil bercak setelah dibandingkan dengan
pembanding, dapat ditentukan keberadaan senyawa tertentu.
Evaluasi secara kuantitatif dilakukan dengan alat densitometer atau TLC
scanner. Pothitirat & Gritsanapan (2008), metode KLT-densitometri
menghasilkan reprodusibilitas, akurasi dan selektivitas yang baik untuk
analisis kuantitatif alfa mangostin dalam ekstrak kulit manggis. Densitometer
menggunakan 2 mode, yaitu transmitan atau reflektan. Digunakan beberapa
mode, antara lain fluoresen, ultraviolet maupun visibel. Data yang didapatkan
secara otomatis masuk dalam komputer dan dapat disimpan dalam bentuk
softcopy maupun hardcopy. Nilai panjang gelombang, profil spektra, dan
kadar senyawa ditampilkan sebagai hasil analisis densitometer (Handa dkk.,
2008). Pembanding ditotolkan dalam seri kadar tertentu, dapat dihitung
20
kadarnya dan nilai kadar senyawa merupakan hasil pengolahan regresi linier
pembanding.
E. Landasan Teori
Maserasi merupakan salah satu ekstraksi dingin sederhana dan dilakukan
dengan merendam serbuk simplisia ke dalam cairan penyari. Zat aktif di dalam
bahan akan terlarut karena konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan
luar sel berbeda, sehingga terjadi proses difusi-osmosis berulang (Anonim, 1986).
Ekstraksi panas dilakukan dengan melibatkan adanya sumber panas eksternal.
Adanya panas mampu meningkatkan efektivitas ekstraksi dengan menjaga kondisi
pelarut selalu dalam keadaan encer. Hal ini menyebabkan kondisi di dalam sel
lebih pekat dan zat aktif berdifusi keluar sel ke dalam pelarut. Infundasi adalah
ekstraksi panas menggunakan pelarut air dengan temperatur ekstraksi 96-98°C
selama 15-20 menit (Anonim, 2000).
Pemilihan fraksi ekstrak yang digunakan juga mempengaruhi kadar senyawa
aktif. Purifikasi ekstrak meningkatkan kadar senyawa aktif dengan meningkatkan
spesifitas senyawa yang diekstrak atau dengan mengeliminasi zat ballast dalam
bahan. Proses purifikasi pada maserasi menggunakan pelarut dengan polaritas
semakin kurang polar dibandingkan pelarut untuk maserasi. Pada infundasi,
proses purifikasi biasa dilakukan dengan pelarut etanol kadar tinggi.
Xanton merupakan salah satu contoh senyawa fenolik dan banyak terdapat
pada kulit buah manggis. Salah satu golongan xanton yang berhasil diidentifikasi
adalah alfa mangostin. Senyawa ini telah berhasil diisolasi dalam jumlah relatif
21
tinggi dalam ekstrak kulit manggis. Alfa mangostin dan senyawa lainnya yang
termasuk dalam golongan xanton, memiliki sifat semi polar dengan adanya gugus
metoksi dan gugus hidroksi. Dengan optimalisasi metode, alfa mangostin dalam
serbuk kulit manggis dapat diekstraksi.
F. Hipotesis
1. Metode maserasi dengan etanol lebih efektif dalam mengekstraksi kandungan
alfa mangostin pada kulit manggis dibandingkan metode infundasi.
2. Fraksi etil asetat hasil maserasi etanol memiliki nilai kadar alfa mangostin
yang lebih tinggi dibanding fraksi etanol hasil infundasi.
Download