BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pola hidup orang Indonesia yang semakin konsumtif menyebabkan pergeseran pola penyakit infeksi ke arah penyakit degeneratif. Pada umumnya, penyakit degeneratif seperti hipertensi, jantung, diabetes, kanker, dan sebagainya membutuhkan pengobatan dalam jangka panjang. Kekhawatiran terhadap efek samping penggunaan obat sintetik dalam jangka waktu panjang mengarahkan orang untuk menggunakan obat tradisional. Tingkat keamanan obat tradisional teruji karena mengacu pada penggunaan secara empirik sejak zaman dahulu. Di sisi lain, rendahnya daya beli masyarakat Indonesia terutama golongan menengah ke bawah, menjadi pendorong adanya peningkatan penggunaan obat tradisional. Oleh karena itu, pemanfaatan obat tradisional merupakan alternatif untuk peningkatan kualitas hidup (Wahyuono dkk., 2006). Manggis, dengan nama ilmiah Garcinia mangostana L. adalah salah satu keanekaragaman hayati negara tropis yang tersebar di daerah Asia Tenggara. Manggis dikenal sebagai Queen of Tropical Fruits oleh masyarakat internasional. Produksi buah manggis di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik pada tahun 2008 mencapai 65.133 ton dan pada tahun 2009 naik menjadi 105.558 ton. Penduduk lokal Thailand telah memanfaatkan kulit manggis sebagai obat tradisional untuk mengobati infeksi kulit dan luka (Mahabusarakam dkk., 1987; Pierce, 2003), serta disentri akibat amuba (Chopra dkk., 1956). Dalam pengobatan Ayurveda kulit manggis digunakan sebagai obat anti-inflamasi, diare, kolera, dan 1 disentri (Balasubramanian & Rajagopalan, 1988; Sen dkk., 1980). Di Asia Tenggara kulit manggis digunakan dalam bentuk seduhan untuk mengobati diare, infeksi saluran kemih dan gonorea (Wong, 2014). Metabolit sekunder tanaman bertanggung jawab atas adanya efek farmakologis. Kulit manggis mengandung berbagai macam metabolit sekunder, salah satunya adalah golongan xanton (Peres dkk., 2000). Senyawa ini berkhasiat sebagai antioksidan, antibiotik, antivirus, dan anti-inflamasi (Suksamrarn dkk., 2002). Menurut Jiang dkk. (2004), xanton diklasifikasikan dalam 5 kelompok, antara lain: xanton sederhana teroksigenasi, glikosida xanton, xanton terprenilasi, xantonolignoid, dan xanton golongan lain. Senyawa ini banyak terdapat dalam kulit buah, buah, kulit batang, dan daun manggis. Salah satu senyawa xanton terprenilasi yang berhasil diidentifikasi adalah alfa mangostin. Berdasarkan penelitian Chairungsrilerd dkk. (1996), alfa mangostin mampu menunjukkan aktivitas antihistamin. Hasil penelitian aktivitas antioksidan oleh Jung dkk. (2006), menunjukkan alfa mangostin beserta beberapa senyawa lain merupakan agen antioksidan poten. Penelitian Matsumoto dkk. (2003) terhadap sel leukemia manusia HL60 menghasilkan alfa mangostin memiliki aktivitas anti-proliferasi sel-sel kanker darah dan pemicu apoptosis paling poten diantara senyawa xanton lainnya. Isolasi senyawa aktif golongan xanton, yaitu alfa mangostin, pada kulit buah manggis telah dilakukan dengan berbagai macam cara. Beberapa penelitian terhadap metode ekstraksi telah menghasilkan isolasi senyawa aktif yang optimal. Titik berat pada proses ekstraksi adalah mempertahankan agar senyawa aktif tidak 2 3 rusak sehingga efek farmakologisnya tidak berkurang, berubah, atau menghasilkan respon negatif. Untuk mencegah kemungkinan tersebut dilakukan optimasi pada parameter-parameter ekstraksi, baik salah satu maupun kombinasi parameter ekstraksi. Golongan xanton termasuk alfa mangostin di dalamnya merupakan senyawa yang dapat diekstraksi dengan metode ekstraksi sederhana, yaitu maserasi dan infundasi. Nadkarni & Nadkarni (1999) menyebutkan ekstraksi mangostin dengan merebus kulit buah manggis dalam air menghasilkan mangostin, resin dan tanin. Rahmah (2012) menyatakan maserasi kulit manggis dengan pelarut etanol 70% menunjukkan adanya aktivitas inhibisi xantin oksidase. Penelitian serupa oleh Pradipta (2005), aktivitas xantin oksidase dihambat oleh senyawa xanton dalam kulit manggis. Penelitian terhadap metode konvensional dan modern bertujuan untuk mendapatkan alfa mangostin dengan kadar tinggi. Metode ekstraksi alfa mangostin yang optimal harus sebanding dengan biaya yang dikeluarkan. Adanya optimasi pada metode ekstraksi penting sebagai acuan bagi produsen sediaan farmasi untuk meningkatkan dan menjaga kualitas produknya sehingga efek farmakologis dapat tercapai. B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini yaitu: 1. Apakah metode maserasi dengan etanol lebih efektif dalam mengekstraksi alfa mangostin pada kulit buah manggis dibanding infundasi ? 4 2. Apakah fraksi etil asetat yang diperoleh melalui maserasi etanol lebih banyak mengandung alfa mangostin dibanding fraksi etanol hasil infundasi kulit buah manggis ? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah: 1. Mengetahui pengaruh perbedaan maserasi dengan etanol dibanding infundasi terhadap efektivitas ekstraksi kandungan alfa mangostin pada kulit buah manggis. 2. Mengetahui pengaruh perbedaan metode pembuatan fraksi etil asetat hasil maserasi dan fraksi etanol hasil infundasi kulit buah manggis terhadap kadar alfa mangostin. D. Tinjauan Pustaka 1. Uraian tentang Manggis Manggis merupakan salah satu tanaman yang tumbuh di kawasan tropis. Persebaran tanaman ini mulai dari kawasan Asia Tenggara sampai Amerika Tengah dan daerah tropis lainnya. Prihatman (2000) menyatakan di Indonesia manggis tersebar di berbagai daerah dengan berbagai macam nama lokal seperti manggih (Sumatera Barat), manggu (Sunda), manggis (Jawa), manggusto (Sulawesi Utara), dan mangustang (Maluku). 5 Menurut Verheij (1997) dan Backer & Bakhuizen van den Brink (1963), kedudukan kedudukan kategori taksan manggis menurut taksonomi tumbuhan adalah: Divisi : Spermatophyta Anak divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae Bangsa : Guttiferales Suku : Clusiaceae Marga : Garcinia Jenis : Garcinia mangostana L. Pohon manggis mampu tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian di bawah 1.000 m dpl. Prihatman (2000), menyatakan pertumbuhan terbaik dicapai pada daerah dengan ketinggian di bawah 500 m dpl. Manggis memiliki pertumbuhan lambat, tetapi umur tanaman relatif panjang. Umumnya tanaman mulai berbuah setelah 10-15 tahun jika bibit manggis berupa biji. Tinggi tanaman mencapai 10-25 meter dengan ukuran kanopi sedang dan tajuk rindang membentuk piramida. Batang berdiameter 25-35 cm dan memiliki kulit batang kayu berwarna cokelat gelap atau hampir hitam, kasar dan cenderung mengelupas. Manggis memiliki getah berwarna kuning atau resin yang ada pada semua jaringan tanaman (Cahyono & Juanda, 2000). Menurut Qosim (2007), daging buah manggis mengandung gula sakarosa, dekstrosa, dan levulosa. Dalam 100 g buah mengandung 79,2 g air; 0,5 g protein; 19,8 g karbohidrat; 0,3 g serat; 11 mg kalsium; 17 mg fosfor; 0,9 mg 6 besi; 14 IU vitamin A; 66 n/mg vitamin C; 0,09 mg vitamin B1 (tiamin); 0,06 mg vitamin B2 (riboflavin); dan 0,1 mg vitamin B5 (niasin). Penggunaan manggis secara konvensional adalah dalam bentuk segar, disajikan sebagai buah kaleng, maupun dalam bentuk sirup atau sari buah. Secara tradisional, buah manggis digunakan sebagai obat sariawan, wasir dan luka. Kulit buahnya dapat dimanfaatkan sebagai pewarna tekstil selain pemanfaatan air rebusannya sebagai obat tradisional. Batang pohon manggis digunakan sebagai bahan bangunan, kerajinan dan kayu bakar (Prihatman, 2000). Kulit buah manggis secara tradisional digunakan dalam pengobatan di berbagai negara, seperti India, Myanmar, Srilanka, dan Thailand (Mahabusarakam dkk., 1987). Pemanfaatan kulit buah manggis oleh masyarakat Asia Tenggara telah dikenal secara luas untuk mengobati sariawan, disentri, sistitis, diare, gonorea, dan eksim (Garnett & Sturton, 1932; Chopra dkk., 1956; Sen dkk., 1980). Banyaknya keterangan empirik mengenai khasiat kulit buah manggis, meningkatkan studi dan penelitian mengenai senyawa yang memiliki aktivitas farmakologi. Kandungan kimia yang terdapat dalam kulit buah manggis secara umum adalah xanton, mangostin, garsinon, flavonoid, dan tanin (Heyne, 1987). Xanton adalah senyawa yang sering diteliti karena banyak bertanggung jawab atas aktivitas farmakologi pada kulit buah manggis. Senyawa yang tergolong polifenol ini menurut penelitian Iswari & Sudaryono (2007), memiliki sifat antioksidan melebihi vitamin E dan vitamin C. Salah satu golongan xanton 7 yang berhasil diidentifikasi adalah alfa mangostin. Senyawa ini menurut Jung dkk. (2006) merupakan agen antioksidan poten. Berbagai macam aktivitas farmakologi seperti antikanker, antimikroorganisme dan anti-inflamasi telah ditunjukkan oleh alfa mangostin pada beberapa penelitian. 2. Xanton Metabolit sekunder bagi tanaman kebanyakan digunakan sebagai pertahanan diri. Namun, manfaat yang lebih menarik adalah khasiatnya bagi manusia. Salah satu metabolit sekunder dalam kulit manggis adalah xanton. Senyawa ini termasuk turunan difenil-γ-piron dan dalam sistem tata nama IUPAC disebut 9H-xanten-on. Xanton banyak terkandung dalam paku, jamur, lumut, dan tumbuhan tingkat tinggi. Sebagian besar xanton ditemukan pada suku Clusiaceae, Moraceae, Polygalaceae, dan Gentianaceae (Sluis, 1985). Kulit buah, buah, kulit batang, dan daun merupakan sumber xanton pada manggis. Klasifikasi xanton menurut Jiang dkk. (2004) dibedakan dalam 5 kelompok, antara lain: xanton sederhana yang teroksigenasi, glikosida xanton, xanton terprenilasi, xantonolignoid, dan xanton golongan lain. Secara umum struktur xanton mirip dengan flavonoid karena jalur biosintesisnya sangat terkait dengan jalur biosintesis flavonoid. Kerangka dasar xanton tersusun atas C6-C1-C6. Pada sinar UV 254 nm xanton memiliki kemiripan profil bercak dengan flavonoid, yaitu berwarna ungu dan berfluoresensi cokelat kemerahan di bawah sinar UV 366 nm. 8 Gambar 1. Kerangka xanton (Pedrazza-Chaverri dkk., 2008) Penelitian Souza & Pinto (2005), terdapat kira-kira 1000 macam xanton telah berhasil diidentifikasi. Aktivitas biologi senyawa berkaitan dengan struktur trisiklik berdampingan, namun, spesifikasinya tergantung keberadaan dan posisi substituen (Souza & Pinto, 2005; Jiang dkk., 2004). Beberapa studi menunjukkan aktivitas biologi xanton yang luar biasa, di antaranya sebagai antioksidan, antitumor, anti-inflamasi, anti-alergi, antibakteri, antivirus, dan antijamur. 3. Alfa mangostin Alfa mangostin merupakan salah satu senyawa yang termasuk dalam golongan xanton. Pada kulit buah manggis, kulit batang dan getah kering manggis banyak diisolasi senyawa ini (Dragendorff, 1930). Alfa mangostin atau yang disebut dengan 1,3,6-trihidroksi-7-metoksi-2,8-bis(3-metil-2butenil)-9H-xanten-on, memiliki banyak manfaat, terutama antioksidannya yang poten. Gambar 2. Struktur alfa mangostin (Pedrazza-Chaverri dkk., 2008) aktivitas 9 Jika dilihat strukturnya, alfa mangostin memiliki kerangka dasar xanton. Alfa mangostin termasuk dalam polifenol yang umumnya memiliki sifat polar, namun, substitusi oleh metoksi yang bersifat non-polar menyebabkan senyawa bersifat semi polar. Rumus molekul alfa mangostin adalah C24H22O6 dan berat molekul 410,46. Pemerian alfa mangostin berwarna kuning dan struktur kristalin padat (Anonim, 2001). Beragam kegunaan alfa mangostin telah dibuktikan oleh berbagai penelitian. Chairungsrilerd dkk. (1996) menggunakan ekstrak metanol kulit buah manggis terhadap kontraksi aorta dada kelinci terisolasi. Senyawa aktif yang mengindikasikan mampu menghambat kontraksi adalah alfa mangostin. Hal ini menunjukkan aktivitas alfa mangostin sebagai agen antihistamin. Weecharangsan dkk. (2006) melakukan penelitian aktivitas antioksidan terhadap ekstrak kulit buah manggis, yaitu: ekstrak air, etanol 50% & 95%, serta etil asetat dengan metode penangkapan radikal bebas, menunjukkan semua ekstrak berpotensi sebagai penangkal radikal bebas. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Jung dkk. (2006) melakukan penelitian aktivitas antioksidan dan salah satu senyawa dengan aktivitas antioksidan poten adalah alfa mangostin. Penelitian Matsumoto dkk. (2003) terhadap sel leukemia manusia HL60 menghasilkan alfa mangostin memiliki aktivitas antiproliferasi sel-sel darah dan pemicu apoptosis paling poten diantara senyawa xanton lainnya. Sifat umum alfa mangostin sebagai antioksidan dibuktikan oleh Williams dkk. (1995) dengan adanya aktivitas penghambatan proses oksidasi Low Density Lipoprotein (LDL) dalam aterosklerosis. 10 4. Metode Ekstraksi Metabolit sekunder dalam tanaman didapatkan dengan proses ekstraksi. Ekstraksi merupakan peristiwa perpindahan massa zat, semula berada di dalam ditarik oleh cairan penyari sehingga zat-zat aktif larut dalam cairan penyari. Kandungan kimia dalam cairan penyari akan terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dalam cairan penyari. Dengan mengetahui senyawa aktif di dalam tanaman akan mempermudah pemilihan cairan penyari dan metode ekstraksi yang tepat. Hasil ekstraksi yang selanjutnya diproses menjadi berbagai macam bentuk sediaan disebut dengan ekstrak. Ekstrak adalah sediaan pekat hasil ekstraksi zat aktif simplisia nabati atau hewani menggunakan pelarut yang sesuai. Sisa pelarut diuapkan dan massa atau sisa serbuk diperlakukan sedemikian hingga persyaratan terpenuhi (Anonim, 1995). Istilah untuk tanaman atau bahan alam yang digunakan dalam ekstraksi disebut simplisia (Anonim, 2009). Dinyatakan bahwa simplisia nabati dapat berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Umumnya, untuk simplisia tipe keras seperti biji, kulit kayu dan kulit akar sulit dipenetrasi oleh pelarut, sehingga perlu diserbuk sampai halus. Simplisia tipe lunak seperti rimpang dan daun tidak perlu diserbuk sampai halus karena mudah dipenetrasi oleh pelarut (Anonim, 2000). Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak hasil pemisahan cairan dan residu tanaman dinamakan micelle. Bentuk ini dapat diubah menjadi bentuk obat siap pakai, seperti ekstrak cair dan tingtura atau sebagai 11 produk/bahan antara yang dapat diproses menjadi ekstrak kering (Agoes, 2007). Metode ekstraksi dipilih berdasarkan beberapa faktor seperti sifat bahan mentah obat, daya penyesuaian dengan tiap macam metode ekstraksi dan kepentingan dalam memperoleh ekstrak (Ansel, 1989). Ekstraksi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: maserasi, perkolasi, refluks, soxhletasi, digesti, infundasi, dan dekokta (Anonim, 2000). Maserasi adalah salah satu jenis metode ekstraksi dingin, sehingga pelarut dan sampel tidak mengalami pemanasan. Maka, maserasi merupakan teknik ekstraksi untuk senyawa yang tidak tahan panas ataupun tahan panas. Namun, maserasi membutuhkan banyak dan waktu yang lama. Secara sederhana, maserasi sering disebut metode perendaman karena prosesnya dilakukan dengan merendam sampel dalam pelarut tanpa mengalami proses lain kecuali penggojogan atau pengadukan (Syamsuni, 2006). Prinsip penarikan (ekstraksi) senyawa pada sampel adalah dengan adanya gerak kinetik pelarut yang akan selalu bergerak pada suhu kamar walaupun tanpa penggojogan. Namun, penggojogan secara berkala dilakukan untuk mempercepat proses. Maserasi biasanya diikuti dengan remaserasi, yaitu pengulangan penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat (Anonim, 2000). Kelebihan maserasi yaitu dapat digunakan untuk jenis senyawa termostabil maupun termolabil. Selain itu, tidak diperlukan alat yang spesifik, dapat digunakan apa saja untuk proses perendaman dan prosedurnya sederhana (Agoes, 2007). Kekurangan maserasi adalah membutuhkan waktu 12 yang lama, biasanya paling cepat 3x24 jam, dan membutuhkan pelarut dalam jumlah yang banyak. Infundasi adalah metode eksraksi dengan pelarut air pada temperatur 90°C selama 15-20 menit (Anief, 2000). Panci infundasi terdiri atas 2 panci bertumpuk, panci di bawah berisi air ledeng, sedangkan bagian atas berisi akuades. Perhitungan waktu dimulai setelah panci di bawah yang berisi air ledeng mulai mendidih. Panci dilengkapi dengan tutup untuk menghindari senyawa minyak atsiri menguap saat proses pemanasan. Penggunaan temperatur 90°C untuk menghindari kerusakan senyawa tidak tahan panas, terutama jika terdapat kandungan minyak atsiri di dalam simplisia. Pemanasan akan mempermudah proses ekstrasi senyawa. Keuntungan metode ini adalah bahan dapat berupa tanaman segar. Selain bagian tanaman atau tanaman segar, simplisia juga digunakan sebagai bahan infundasi. Simplisia yang mengandung minyak atsiri cara menyerkai/menyaringnya adalah dengan serkai dingin, sehingga kandungan minyak atsiri tidak menguap saat proses penyerkaian. Simplisia yang tidak mengandung minyak atsiri dapat langsung diserkai saat masih panas. Kain mori atau kertas saring dapat digunakan untuk menyerkai. Kulit buah manggis secara umum mengandung xanton, mangostin, garsinon, flavonoid, dan tanin (Heyne, 1987). Alfa mangostin dapat diekstraksi dengan metode ekstraksi sederhana, yaitu maserasi dan infundasi. Nadkarni & Nadkarni (1999) melakukan ekstraksi dengan merebus kulit buah 13 manggis dalam air, menghasilkan mangostin, resin dan tanin. Proses penghilangan tanin dilakukan dengan merebus di dalam alkohol, kemudian alkohol diuapkan. Penelitian Rahmah (2012) menyatakan maserasi kulit manggis dengan pelarut etanol 70% menunjukkan adanya aktivitas inhibisi xantin oksidase. Penelitian serupa oleh Pradipta dkk. (2005) menghasilkan adanya penghambatan aktivitas xantin oksidase oleh senyawa xanton dalam kulit manggis. 5. Parameter Simplisia dan Ekstrak Simplisia harus memenuhi persyaratan kualitas untuk mendapatkan hasil ekstraksi yang benar dan optimal. Persyaratan kualitasnya berupa parameter simplisia, baik spesifik, maupun non-spesifk. Parameter-parameter simplisia antara lain: a. Parameter non-spesifik 1) Susut pengeringan Parameter susut pengeringan bertujuan memberikan batasan maksimal (rentang) besarnya senyawa yang hilang pada proses pengeringan dalam nilai persen. Senyawa tersebut merupakan sisa zat setelah pengeringan pada suhu 105°C selama 30 menit atau sampai bobot konstan. Dalam hal tertentu (jika bahan tidak mengandung minyak atsiri dan sisa pelarut organik menguap) identik dengan kadar air, yaitu kandungan air karena berada di lingkungan udara terbuka. 14 2) Kadar abu Parameter kadar abu memberikan informasi mengenai kandungan mineral dalam bahan, sejak awal proses sampai menjadi simplisia. Perhitungan kadar abu dilakukan terhadap bahan yang dipijarkan sampai tercapai bobot konstan. Pemijaran dilakukan pada suhu 800°C ± 25°C hingga hasil penimbangan dua kali berturut – turut tidak lebih dari 0,5 mg tiap gram bahan. 3) Kadar abu tak larut asam Abu tak larut asam menunjukkan senyawa anorganik yang tidak larut asam, senyawa ini terkait dengan keberadaan senyawa anorganik internal. (Anonim, 2009) b. Parameter spesifik Parameter spesifik simplisia berupa kandungan kimia bahan dan kandungan kimia bahan yang terlarut dalam pelarut tertentu. Kandungan kimia terhitung sebagai kadar senyawa identitas bahan dan minyak atsiri jika pada bahan mengandung minyak atsiri. Nilai kadar senyawa terhitung dalam % b/b, sedangkan minyak atsiri dalam % v/b. Pengukuran kandungan kimia bahan terlarut dihitung atas kelarutannya dalam etanol dan akuades. Kadar sari terlarut memberikan gambaran awal jumlah senyawa terlarut dalam masing-masing pelarut (Anonim, 2009). Ekstrak memiliki parameter non-spesifik serupa dengan simplisia, namun parameter non-spesifiknya hanya kadar air, kadar abu, dan kadar abu tak larut 15 asam (Anonim, 2009). Parameter non-spesifik ekstrak fokus pada kandungan air ekstrak dan cemaran di dalamnya. Informasi keduanya menentukan dosis sediaan dan menunjukkan tingkat cemaran selama proses ekstraksi. Parameter spesifik ekstrak berupa kadar senyawa dan kadar minyak atsiri ekstrak (jika terdapat kandungan minyak atsiri). Nilai parameter spesifik ekstrak menunjukkan efektivitas hasil ekstraksi, sehingga nilainya pada umumnya lebih tinggi dibandingkan kadar simplisia. 6. Isolasi Pembanding dengan Kromatografi Lapis Tipis Preparatif Senyawa di dalam tanaman dapat diisolasi dengan beberapa metode, salah satunya kromatografi lapis tipis preparatif. Perbedaan polaritas masing-masing senyawa memungkinkan proses pemisahan dengan pelarut tertentu yang memiliki polaritas serupa. Prinsip isolasi adalah perbedaan kemampuan suatu senyawa larut dalam pelarut dengan polaritas tertentu dan perbedaan daya serap adsorben terhadap masing-masing senyawa. Senyawa akan bergerak dengan kecepatan yang berbeda pada adsorben, sehingga terjadi pemisahan (Siti, 2010). Proses isolasi dengan kromatografi lapis tipis preparatif mirip dengan kromatografi lapis tipis, namun, lempeng lebih besar dengan alas kaca. Ukuran lempeng adalah 20x20 cm dan 20x40 cm dengan ketebalan 0,5-2 mm. Penotolan sampel kromatografi lapis preparatif berupa garis lurus, berbeda jika dibandingkan dengan kromatografi lapis tipis yang berupa totolan. Silika 16 gel merupakan penjerap dan umumnya digunakan pada kromatografi lapis tipis preparatif (Siti, 2010). 7. Pemisahan dan Penetapan Kadar Senyawa Pemisahan atau isolasi senyawa perlu dilakukan untuk mendapatkan senyawa dituju Kromatografi dalam umum jumlah besar digunakan untuk dan meminimalkan pengotor. memisahkan senyawa. Dasar pemisahan kromatografi dengan adanya proses partisi atau adsorbsi antara fase gerak dan fase diam (Handa dkk., 2008). Dalam kromatografi terjadi proses migrasi diferensial komponen-komponen cuplikan yang ditahan secara selektif oleh fase diam. Pergerakan senyawa pada sistem kromatografi berdasarkan kelarutan dan adsorbsinya pada fase diam dihitung sebagai retensi. Pada sistem pengembangan secara kontinyu seperti High Performance Liquid Chromatography (HPLC) dan Gas Chromatography (GC), nilai retensi dihitung sebagai retention time (Rt atau tR). Pada sistem pengembangan sederhana seperti Thin Layer Chromatography (TLC) atau Kromatografi Lapis Tipis (KLT), retensi dihitung sebagai Rf atau retention factor (Handa dkk., 2008). 17 Jenis fase diam pada kromatografi dengan sistem normal bersifat polar (seperti silika dan NH2) dengan eluen non-polar (seperti heksana, heptana dan diklorometan) maupun semi polar (seperti kloroform dan etil asetat). Modifikasi eluen dengan campuran pelarut bersifat polar seperti isopropanol, mampu meningkatkan polaritasnya. Pemisahan dalam sistem normal diawali senyawa kurang polar terelusi terlebih dulu diikuti dengan senyawa yang lebih polar (Handa dkk., 2008). Kemampuan Relatif Pelarut Heksana Toluen Dietil eter Diklorometan Kekuatan elusi meningkat Kekuatan elusi meningkat Aseton pada fase normal pada fase terbalik Tetrahidrofuran Etil asetat Asetonitril Isopropanol Etanol Metanol Air Gambar 3. Urutan pelarut pada sistem gradien (Handa dkk., 2008) Sistem eluen dalam kromatografi adalah isokratik dan gradien. Pelarut isokratik berarti digunakan satu jenis pelarut selama proses elusi. Tipe isokratik biasa digunakan untuk memisahkan senyawa yang tidak terlalu kompleks campurannya dan umum digunakan sebagai pelarut pada KLT. Pada sistem gradien, digunakan pelarut berbeda dan polaritasnya semakin meningkat selama proses elusi. Peningkatan gradien pelarut bertujuan untuk mengelusi senyawa dari non-polar bertahap sampai senyawa yang lebih polar (Handa dkk., 2008). Proses elusi dengan sistem gradien cenderung lebih cepat dan umumnya diterapkan pada HPLC. 18 Kromatografi lapis tipis adalah metode pemisahan fitokimia dengan prinsip seperti kromatografi pada umumnya, yaitu terdapat fase diam dan fase gerak. Sebagai fase diam digunakan adsorben halus, ditempatkan pada penyangga berupa pelat papan kaca, aluminium atau plastik (Soebagio dkk., 2005). Campuran senyawa dalam bentuk larutan ditotolkan sebagai bercak atau pita. Untuk tujuan analisis kualitatif digunakan sampel konsentrasi 0,1-1 mg/mL dan lebih kecil lagi pada analisis kuantitatif. Volume penotolan bercak adalah 1-5 μL dan 10 μL untuk pita (Handa dkk., 2008). Pemisahan campuran senyawa terjadi setelah pelat dimasukkan dalam bejana yang jenuh dengan larutan pengembang (fase gerak) tertentu. Adsorben atau fase diam dalam kromatografi lapis tipis disesuaikan berdasarkan sifat senyawa. Umumnya, digunakan pelat silika gel, dilengkapi dengan fluoresen (F254) dengan dasar aluminium karena hasilnya optimal dan efisien. Adsorben yang lebih kuat seperti aluminium oksida digunakan untuk senyawa dengan adsorbsi lemah. Selulosa sebagai adsorben digunakan untuk senyawa teradsorbsi kuat pada fase diam (Handa dkk., 2008). Metode KLT dipilih karena memungkinkan variasi kombinasi fase gerak. Polaritas senyawa menjadi dasar bagi pemilihan fase gerak yang sesuai untuk pemisahan. Metode trial and error sering diterapkan untuk menentukan fase gerak. Fase gerak disiapkan sesaat sebelum proses, kecuali beberapa fase gerak tertentu seperti campuran butanol-asam asetat glasial-air (4:1:5). Proses dilanjutkan dengan menjenuhkan bejana elusi. Proses penjenuhan bejana dipercepat dengan meletakkan kertas saring sepanjang dinding atau sebagian 19 bejana dan fase gerak dimasukkan setelahnya. Bejana dijenuhkan dalam posisi tertutup pada suhu ruang selama waktu tertentu (Handa dkk., 2008). Pelat KLT berisi totolan pembanding dan sampel. Pembanding digunakan sebagai acuan keberadaan senyawa yang ingin dipisahkan. Bercak pada KLT dapat berupa bercak secara visual berwarna pada sinar tampak maupun berwarna setelah disinari sinar ultraviolet. Deteksi bercak biasa dilakukan pada sinar tampak, sinar UV 254 nm dan sinar UV 366 nm. Penampakan pada sinar yang berbeda dapat membedakan jenis senyawa dalam campuran. Nilai Rf menyatakan derajat retensi suatu komponen dalam fase diam, dapat dihitung setelah bercak diidentifikasi pada masing-masing jenis sinar. Larutan tertentu terkadang disemprotkan untuk identifikasi jenis senyawa dalam campuran. Dengan keseluruhan profil bercak setelah dibandingkan dengan pembanding, dapat ditentukan keberadaan senyawa tertentu. Evaluasi secara kuantitatif dilakukan dengan alat densitometer atau TLC scanner. Pothitirat & Gritsanapan (2008), metode KLT-densitometri menghasilkan reprodusibilitas, akurasi dan selektivitas yang baik untuk analisis kuantitatif alfa mangostin dalam ekstrak kulit manggis. Densitometer menggunakan 2 mode, yaitu transmitan atau reflektan. Digunakan beberapa mode, antara lain fluoresen, ultraviolet maupun visibel. Data yang didapatkan secara otomatis masuk dalam komputer dan dapat disimpan dalam bentuk softcopy maupun hardcopy. Nilai panjang gelombang, profil spektra, dan kadar senyawa ditampilkan sebagai hasil analisis densitometer (Handa dkk., 2008). Pembanding ditotolkan dalam seri kadar tertentu, dapat dihitung 20 kadarnya dan nilai kadar senyawa merupakan hasil pengolahan regresi linier pembanding. E. Landasan Teori Maserasi merupakan salah satu ekstraksi dingin sederhana dan dilakukan dengan merendam serbuk simplisia ke dalam cairan penyari. Zat aktif di dalam bahan akan terlarut karena konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dan luar sel berbeda, sehingga terjadi proses difusi-osmosis berulang (Anonim, 1986). Ekstraksi panas dilakukan dengan melibatkan adanya sumber panas eksternal. Adanya panas mampu meningkatkan efektivitas ekstraksi dengan menjaga kondisi pelarut selalu dalam keadaan encer. Hal ini menyebabkan kondisi di dalam sel lebih pekat dan zat aktif berdifusi keluar sel ke dalam pelarut. Infundasi adalah ekstraksi panas menggunakan pelarut air dengan temperatur ekstraksi 96-98°C selama 15-20 menit (Anonim, 2000). Pemilihan fraksi ekstrak yang digunakan juga mempengaruhi kadar senyawa aktif. Purifikasi ekstrak meningkatkan kadar senyawa aktif dengan meningkatkan spesifitas senyawa yang diekstrak atau dengan mengeliminasi zat ballast dalam bahan. Proses purifikasi pada maserasi menggunakan pelarut dengan polaritas semakin kurang polar dibandingkan pelarut untuk maserasi. Pada infundasi, proses purifikasi biasa dilakukan dengan pelarut etanol kadar tinggi. Xanton merupakan salah satu contoh senyawa fenolik dan banyak terdapat pada kulit buah manggis. Salah satu golongan xanton yang berhasil diidentifikasi adalah alfa mangostin. Senyawa ini telah berhasil diisolasi dalam jumlah relatif 21 tinggi dalam ekstrak kulit manggis. Alfa mangostin dan senyawa lainnya yang termasuk dalam golongan xanton, memiliki sifat semi polar dengan adanya gugus metoksi dan gugus hidroksi. Dengan optimalisasi metode, alfa mangostin dalam serbuk kulit manggis dapat diekstraksi. F. Hipotesis 1. Metode maserasi dengan etanol lebih efektif dalam mengekstraksi kandungan alfa mangostin pada kulit manggis dibandingkan metode infundasi. 2. Fraksi etil asetat hasil maserasi etanol memiliki nilai kadar alfa mangostin yang lebih tinggi dibanding fraksi etanol hasil infundasi.