PENINGKATAN KEMAMPUAN SISWA MEMAHAMI SUDUT MELALUI PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIK INDONESIA DI KELAS V SD NEGERI 62 LUBUKLINGGAU TAHUN PELAJARAN 2015/2016 Oleh: Tiya Agustasari1, Sukasno2, Idul Adha3 Email: [email protected] ABSTRACT This thesis entitled "Improvement of Student Understanding Approach Angle Through Indonesian Realistic Mathematics Education in Class V of Elementary School number 62 Lubuklinggau academic year 2015/2016". Problems in this study is whether the use PMRI approach can improve the ability of students to understand the material in the corner of the class V SD Negeri 62 Lubuklinggau academic year 2015/2016. This study was conducted at SD Negeri 62 Lubuklinggau with class V research subjects and the number of students 23 people, consisting of 10 men and 13 women. This research is a classroom action research (PTK) are conducted in two cycles. Implementation of class action procedure consists of four components for each cycle, namely 1) the action plan; 2) implementation of the action; 3) observation; 4) reflection. Data collection technique used is the technique of observation and tests in the form of a description. Data were analyzed using the calculation of the average. The classical mastery learning students in the first cycle of 30.43% with an average value of 43.35 and the second cycle of 82.61% with an average value of 86.13. Improved learning outcomes after a given action by 172.24%. As for the average activity of students in the first cycle of 50.31% and the second cycle of 67.70%. Based on this so that in this study it can be concluded that the use PMRI approach can improve the ability of students to understand the material in the corner of the class V SD Negeri 62 lubuklinggu the school year 2015/2016. Keywords: PMRI, Learning Activities, PTK PENDAHULUAN Kline (dalam Suherman, 2001:19) mengemukakan bahwa “Matematika itu bukanlah pengetahuan menyendiri yang dapat sempurna karena dirinya sendiri, tetapi adanya matematika itu terutama untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai permasalahan sosial, ekonomi dan alam”. Matematika mempunyai fungsi sebagai alat, pola pikir dan ilmu atau pengetahuan. Dengan demikian proses belajar mengajar matematika perlu mendapat perhatian khusus agar dapat memberikan sumbangan yang besar dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, terutama dalam menghadapi tantangan masa depan (Suherman, 2001:65). Matematika merupakan ilmu yang penting dan harus dipelajari oleh siswa akan tetapi dari hasil observasi dilapangan banyak siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar matematika, tidak suka bahkan takut pada pelajaran matematika. Oleh karena itu, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Melalui soal kontekstual memudahkan siswa membayangkan soal secara visual, menangkap maksud soal, dan dapat mengkomunikasikan dan mengilustrasikannya dalam bentuk yang berbeda (Armanto, 2008). Dalam pembelajaran matematika di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau, materi pengukuran sudut masih dianggap sulit oleh siswa. Hal ini karena dalam kegiatan belajar mengajar guru hanya mengajarkan matematika secara abstrak. Untuk meningkatkan kemampuan siswa memahami materi matematika khususnya mengenai sudut, peneliti akan mencoba memulai pembelajaran dengan masalah kontekstual dengan menggunakan pendekatan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Dimana siswa akan diberikan masalah kontekstual yang selanjutnya siswa akan menyimpulkan sendiri pengertian dari sudut dan dapat mengukur sudut dengan benar. Adapun kelemahan dalam proses pembelajaran matematika di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau antara lain yaitu: 1. Pada proses belajar mengajar matematika, guru belum mengaitkan materi sudut dengan kehidupan nyata. Guru hanya menyampaikan definisi, langkah-langkah penyelesaian, contoh soal dan latihan kepada siswa tanpa menggunakan alat bantu yang sesuai dengan lingkungan di sekitar siswa yang mendukung proses belajar mengajar. 2. Aktivitas siswa selama proses belajar berlangsung terlihat pasif dan kurang semangat. Saat guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya, siswa cenderung diam dan saat guru memberikan pertanyaan seputar materi sudut yang telah dijelaskan sebelumnya, hanya ada beberapa siswa yang menjawab pertanyaan tersebut dengan orang yang sama. Terdapat banyak siswa yang tidak dapat mengukur sudut dari soal yang diberikan oleh guru. 3. Rendahnya pemahaman siswa mengenai materi sudut. Hal ini tampak dari hasil ulangan harian matematika siswa. Ulangan harian dilakukan disetiap akhir bab dan telah dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu ulangan harian bab 1 dengan materi bilangan cacah dan bilangan bulat, ulangan harian bab 2 dengan materi waktu, dan ulanga harian bab 3 dengan materi sudut. Pada ulangan harian bab 1 nilai rata-rata kelas sebesar 57,83 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah tersebut sebesar 65. Dari 23 siswa, hanya 47,83% atau sebanyak 11 siswa yang dinyatakan tuntas dan 52,17% atau sebanyak 12 siswa yang belum tuntas. Pada ulangan harian bab 2 nilai rata-rata kelas sebesar 63,04 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah tersebut sebesar 65. Dari 23 siswa, hanya 65,22% atau sebanyak 15 siswa yang dinyatakan tuntas dan 34,78% atau sebanyak 8 siswa yang belum tuntas. Pada ulangan harian bab 3 nilai rata-rata kelas sebesar 23,78 dengan Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) yang ditetapkan sekolah tersebut sebesar 65. Dari 23 siswa, hanya 8,70% atau sebanyak 2 siswa yang dinyatakan tuntas dan 91,30% atau sebanyak 21 siswa yang belum tuntas. Mencermati hasil ulangan harian siswa pada bab 3, timbul dugaan bahwa kondisi tersebut disebabkan karena kegiatan pembelajaran kurang ralistik sehingga siswa kesulitan menggunakan busur derajat dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan sudut. Untuk mengatasi permasalahan di atas, guru hendaknya memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang melibatkan siswa agar aktif dalam belajar secara mental, fisik, dan sosial. Penyampaian materi pelajaran juga harus disesuaikan dengan kemampuan siswa, karena keberhasilan siswa dipengaruhi oleh penguasaan guru dalam penyampaian materi kepada siswa. Salah satunya dengan pendekatan PMRI dimana pembelajaran ini tidak sekedar menunjukan adanya suatu koneksi dengan dunia nyata (real-word) tetapi lebih mengacu pada fokus pendidikan matematika realistik dalam menempatkan penekanan penggunaan suatu situasi yang bisa dibayangkan (imageneable) oleh siswa (Wijaya, 2012:20) Pendekatan PMRI menekankan kepada konstruksi dari konteks benda-benda konkrit sebagai titik awal bagi siswa guna memperoleh konsep matematika. Benda-benda konkret dan obyek-obyek lingkungan sekitar dapat digunakan sebagai konteks pembelajaran matematika dalam membangun keterkaitan matematika melalui interaksi sosial. Benda-benda konkrit dimanipulasi oleh siswa dalam kerangka menunjang usaha siswa dalam proses matematisasi konkret ke abstrak. Siswa perlu diberi kesempatan agar dapat mengkontruksi dan menghasilkan matematika dengan cara dan bahasa mereka sendiri. Kegiatan refleksi juga diperlukan terhadap aktivitas sosial sehingga dapat terjadi pemaduan dan penguatan hubungan antar pokok bahasan dalam struktur pemahaman matematika. Salah satu manfaat dalam mempelajari matematika adalah untuk menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari, atau untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari dengan menggunakan konsep-konsep matematika. Dengan mengajukan masalah kontekstual, siswa secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika terutama tentang sudut, untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Apakah penggunaan pendekatan PMRI dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami materi sudut di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016? LANDASAN TEORI PMRI adalah suatu cara pandang terhadap pembelajaran matamatika yang ditempatkan sebagai suatu proses bagi siswa untuk menemukan sendiri pengetahuan matematika berdasarkan pengalaman dalam pemanfaatan lingkungan dan pengetahuan informal yang dimiliki siswa. Dalam pandangan ini matematika disajikan bukan sebagai barang “jadi” yang dapat dipindahkan oleh guru ke dalam pikiran siswa, tetapi siswa menemukan sendiri dan menggunakan matematika untuk menyelesaikan masalah. Menurut Gravemeijer (dalam Armanto, 2008) terdapat tiga prinsip utama dalam PMRI, yaitu 1) Guided reinvention and progressive mathematization (penemuan terbimbing dan bermatimatika secara progresif); 2) Didactical phenomenology (fenomena pembelajaran); dan 3) Self-developed models (model pengembangan sendiri). Prinsip pertama, yaitu penemuan terbimbing berarti siswa diberi kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. “proses bermatika secara progresif siswa”, artinya dalam mempelajari matematika perlu diupayakan agar dapat mempunyai pengalaman dalam menemukan sendiri berbagai konsep, prinsip metematika, dan lain sebagainya melalui proses matematisasi horizontal dan vertikal. Matematika horizontal, siswa diharapkan mampu mengidentifikasi soal kontekstual sehingga dapat ditransfer ke dalam soal bentuk matematika berupa model, diagram, tabel (model informal) untuk lebih dipahami. Sedangkan matematika vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau non formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur matematika yang berlaku. Prinsip kedua dalam PMRI adalah fenomena didatik atau pembelajaran yang menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Situasi yang berisikan fenomena yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal. Dalam hal ini dua macam mathematization haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal. Pada prinsip ini memberikan kesempatan bagi siswa untuk menggunakan penalaran (reasoning) dan kemampuan akademiknya untuk mencapai generalisasi konsep matematika. Prinsip ketiga dalam PMRI adalah model yang dikembangkan sendiri yaitu pada saat menyelesaikan masalah nyata (kontekstual), siswa mengembangkan model sendiri. Peran self-developed models merupakan jembatan bagi siswa antara pengetahuan matematika tidak formal dan formal dari siswa, artinya siswa membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah. Didalam menyelesaikan soal kontekstual dari situasi nyata, siswa menemukan “model dari” (model-of ) situasi tersebut (bentuk informal), dan kemudian diikuti dengan penemuan “model untuk” (model-for) bentuk tersebut (bentuk formal matematika), hingga mendapatkan penyelesaian masalah tersebut dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar. Model tersebut dimaksudkan sebagai wahana untuk mengembangkan proses berpikir siswa, dari proses berpikir yang paling dikenal oleh siswa ke arah proses berpikir yang lebih formal. Menurut Suwarsono (dalam Julie, 2008) Pendekatan PMRI mempunyai 5 karakteristik yaitu: 1) Konteks nyata Pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI bertitik pangkal dariMasalah-masalah yang kontekstual. Kemudian siswa membahasakan masalah-masalah yang kontekstual itu kedalam bahasa matematika, selanjutnya siswa menyelesaikan masalah itu dengan alat-alat yang ada didalam matematika, dan akhirnya dapat membahasakan kembali jawaban yang diperoleh yang masih dalam bahasa matematika kedalam bahasa sehari-hari. Dengan demikian pemahaman siswa terhadap konsep tersebut menjadi lebih baik. Penggunaan konteks nyata tersebut diwujudkan dalam soal kontekstual. Penggunaan soal kontekstual ini mempunyai beberapa fungsi seperti yang dikemukakan Van den Heuvel-Panhuizen (dalam Armanto, 2008) yaitu membantu siswa agar soal dapat dipecahkan, menunjang terbentuknya ruang gerak dan transparansi soal, dan dapat melahirkan berbagai variasi strategi. Matematisasi konseptual atau proses pengembangan ide dan konsep matematika yang dimulai dari dunia nyata oleh De Lange digambarkan dalam suatu tahapan yang sederhana . Dunia nyata Matematisasi dan aplikasi Matematisasi dan refleksi Abstraksi dari formalisasi 2) Model-model Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematik yang dikembangkan oleh siswa sendiri. Peran pengembangan model oleh siswa sendiri adalah untuk jembatan bagi siswa dari situasi nyata ke situasi abstrak. Ada beberapa tahap pemodelan, yaitu situasional, model-of, model-for dan pengetahuan formal. Pada awalnya, situasi dihubungkan dengan aktivitas nyata. Siswa dapat membayangkan pengalaman yang telah dimiliki, strategi dan penerapannya ke dalam situasi. Kemudian model digeneralisasi dan formalisasi menjadi model-of, diungkapkan secara tertulis. Selanjutnya, siswabekerja dengan bilangan dengan penalaran matematik tanpa berpikir situasi kembali, model-of menjadi model-for yang pada akhirnya menjadi pengetahuan formal. Model-model tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: Formal Knowledge Model -for Model - of Situation Berikut ini contoh iceberg dengan materi sudut: Matematika Abstrak,Membaca besar sudut menggunakan sudut satauan dan busur derajat Membangun pengetahuan, besar sudut satuan = = = = Pembentukan Skema (Model of) dengan menggunakan model desain jam Contoh permasalahan kontekstual pada materi sudut “membaca sudut” Gambar 1 Iceberg atau gunung es PMRI materi sudut 3) Produksi dan konstruksi siswa Di dalam proses pembelajaran siswalah yang aktif untuk mengkonstruksi pengetahuannya, bukan guru yang mentransfer pengetahuan kepada siswa. Peran guru adalah sebagai fasilitator, sehingga siswa dapat mengkonstruksi pengetahuannya. Dengan penggunaan “produksi bebas” siswa didorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang dianggap penting dalam proses pembelajaran. Strategi-strategi informal siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam pengembangan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkondtruksi pengetahuan matematika formal. 4) Interaksi Interaksi merupakan karakteristik dari proses pembelajaran, dimana interaksi antara siswa yang satu dengan yang lainnya, antara siswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam PMRI. Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negosiasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pertanyaan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentukbentuk informal siswa. 5) Keterkaitan Unit-unit dalam matematika saling berkaitan satu sama lain. Jika dalam pembelajaran matematika kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks tidak hanya unsurunsur dalam matematika tetapi juga bidang lain. Dalam pembelajaran dengan pendekatan PMRI, siswa diharapkan di dalam mengkonstruksi pengetahuannya tidak hanya memandang satu cabang dengan cabang yang lain itu saling lepas, melainkan sebagai suatu kesatuan yang saling mendukung. Menurut Soedjadi (2007:9-10) mengemukakan bahwa langkah-langkah PMRI sebagai berikut: 1) Mempersiapkan Kelas a) Persiapkan sarana dan Prasarana pembelajaran yang diperlukan, misalnya buku siswa, Lembar Kerja Siswa (LKS), alat peraga dan sebagainya. b) Kelompokkan siswa jika perlu (sesuai dengan rencana). c) Sampaikan tujuan atau kompetensi dasar yang diharapkan dicapai serta cara yang akan dipakai pada hari itu. 2) Kegiatan Pembelajaran a) Berikan masalah kontekstual atau mungkin berupa soal cerita (secara lisan atau tertulis). Masalah tersebut untuk dipahami siswa. b) Berilah penjelasan singkat dan seperlunya saja, jika ada siswa yang belum memahami soal atau masalah kontekstual yang diberikan. Mungkin secara individual ataupun secara kelompok. (Jangan menunjukkan penyelesaian, boleh mengajukan pertanyaan pancingan). c) Mintalah siswa secara kelompok ataupun individual, untuk mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan dengan caranya sendiri. Berilah waktu yang cukup siswa untuk mengerjakannya. d) Jika dalam waktu yang dipandang cukup, siswa tidak ada satupun yang dapat menemukan cara pemecahan, petunjuk seperlunya atau berilah pertanyaan yang menantang. Petunjuk itu dapat berupa LKS ataupun bentuk lain. e) Mintalah seorang siswa atau wakil dari kelompok siswa untuk menyampaikan hasil kerjanya atau hasil pemikirannya (bisa lebih dari satu orang). f) Tawarkan kepada seluruh kelas untuk mengemukakan pendapatnya atau tanggapannya tentang berbagai penyelesaian yang disajikan temannya di depan kelas. Apabila ada penyelesaian lebih dari satu, ungkaplah semua. g) Buatlah kesepakatan kelas tentang penyelesaian manakah yang dianggap paling tepat. Terjadi suatu negosiasi. Berikanlah penekanan kepada penyelesaian yang dipilih atau benar h) Bila masih tidak ada penyelesaian yang benar, mintalah kepada siswa memikirkan cara lain. Menurut De Lange dalam (Zani, 2008), pembelajaran matematika dengan pendekatan PMRI meliputi aspek-aspek berikut: 1) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang “riil” bagi siswasesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya sehingga siswa segera terlibat dalam pembelajaran secara bermakna. 2) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut. 3) Siswa mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terdapat persoalan/ masalah yang diajukan. 4) Pengajaran berlangsung secara interaktif: siswa menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (siswa lain), setuju terhadap jawaban temannya, menyatakan ketidaksetujuan,mencari alternatif penyelesaian yang lain dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan langkah-langkah pembelajaran pendekatan PMRI yang akan digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut: 1) Mempersiapkan sarana dan prasarana atau perlengkapan pembelajaran yang diperlukan. 2) Memberikan masalah kontekstual dalam kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan materi yang akan dipelajari. 3) Memberikan penjelasan singkat dan seperlunya jika ada siswa yang belum memahami masalah kontekstual yang diberikan. 4) Siswa mengerjakan atau menjawab masalah kontekstual yang diberikan dengan cara sendiri atau secara kelompok. 5) Meminta seorang siswa atau wakil dari kelompok untuk menyampaikan hasil pemikirannya di depan kelas. 6) Meminta siswa yang lain untuk menanggapi tentang penyelesaian masalah yang di sampaikan oleh temannya. 7) Mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan. Menurut Suwarsono (dalam Masbied, 6 April 2015) terdapat beberapa kelebihan dan kelemahan dari PMRI. Beberapa kelebihan PMRI antara lain yaitu: 1) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa tentang keterkaitan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan kegunaan pada umumnya bagi manusia. 2) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut. 3) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara yang satu dengan orang yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu sungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian masalah tersebut. 4) Pembelajaran matematika realistik memberikan pengertian yang jelas kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan tercapai. Sedangkan beberapa kelemahan dalam penerapan pendekatan PMRI antara lain sebagai berikut: 1) Tidak mudah untuk merubah pandangan yang mendasar tentang berbagai hal, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal atau masalah kontekstual, sedangkan perubahan itu merupakan syarat untuk dapat diterapkannya PMR. 2) Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut dalam pembelajaran matematika realistik tidak selalu mudah untuk setiap pokok bahasan matematika yang dipelajari siswa, terlebihlebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacammacam cara. 3) Tidak mudah bagi guru untuk mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara dalam menyelesaikan soal atau memecahkan masalah. 4) Tidak mudah bagi guru untuk memberi bantuan kepada siswa agar dapat melakukan penemuan kembali konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika yang dipelajari. METODE PENELITIAN Penelitian tindakan ini dilakukan dua siklus. Menurut Kurt Lewin (dalam Arikunto, 2010:131) model penelitian tindakan terdiri dari empat komponen pokok yang juga menunjukan langkah, yaitu: 1) perencanaan (planning), 2) tindakan (acting), 3) pengamatan (observing) dan 4) refleksi (reflecting). Hubungan antara keempat komponen tersebut menunjukan sebuah siklus atau kegiatan berulang. “Siklus” inilah yang sebetulnya menjadi salah satu ciri utama dari penelitian tindakan, yaitu bahwa penelitian tindakan harus dilaksanakan dalam bentuk siklus, bukan hanya satu kali intervensi saja. Subjek penelitian tindakan ini adalah siswa kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Teknik pengumpulan yang digunakan dalam penelitian tindakan ini adalah observasi dan tes. Observasi dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung. Observasi dilakukan dengan cara mengamati dan mancatat segala aktivitas yang dilakukan siswa dalam proses belajar mengajar dengan pendekatan PMRI. Observasi dilakukan juga untuk mengetahui aktivitas guru selama proses pembelajaran. Dalam kegiatan ini peneliti dibantu oleh 2 orang observer untuk mengamati atau mencatat aktivitas siswa dan guru selama pelaksanaan tindakan berlangsung. Lembar observasi siswa dilakukan sebanyak 4 periode dalam setiap pertemuan. Dimana setiap periode waktunya 15 menit. Tes adalah serentetan pertanyaan atau latihan serta alat lain yang digunakan untuk mengukur keteramplan, pengetahuan intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki oleh individu atau kelompok (Arikunto, 2010:193). Tes yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tes hasil belajar siswa, yaitu tes yang digunakan untuk mengukur ketercapaian hasil belajar siswa setiap akhir siklus. Langkah-langkah analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menentukan nilai rata-rata, persentase aktivitas siswa, dan keberhasilan pemberian tindakan. INDIKATOR KEBERHASILAN Berdasarkan dari semua siklus yang telah dilakukan maka dapat dikatakan berhasil apabila aktivitas dan hasil belajar siswa meningkat. Peningkatan yang terjadi pada aktivitas belajar siswa, dapat dilihat dari hasil pengamatan secara langsung dalam proses pembelajaran di kelas berdasarkan kriteria indikator sebagai berikut: 1. Aktif dalam memperhatikan atau mendengarkan penjelasan guru; 2. Siswa mampu menanggapi pendapat orang lain; 3. Mengajukan pertanyaan; 4. Mengajukan pendapat; 5. Mencatat kesimpulan materi pembelajaran selama proses pembelajaran berlangsung; 6. Siswa mampu mengerjakan LKS dengan diskusi dalam kelompok; 7. Menggunakan alat atau benda dalam memecahkan masalah pada LKS. Sedangkan untuk hasil prestasi belajar siswa telah mencapai tingkat keberhasilan apabila ketuntasan klasikal 80% dari jumlah siswa. Kriteriakriteria tersebut ditentukan berdasarkan pertimbangan dari keadaan sekolah yang memiliki keterbatasan sarana yang kurang mendukung dalam proses pembelajaran serta kemampuan siswa dalam berfikir masih tergolong lemah. Sehingga dalam hal ini siklus dapat dihentikan apabila kriteria keberhasilan tersebut telah tercapai. PEMBAHASAN Dalam proses penelitian yang dilaksanakan di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau ini peneliti menggunakan pendekatan PMRI dan dilaksanakan pada materi sudut. Jumlah pertemuan yang dilakukan peneliti adalah sebanyak enam kali pertemuan, dengan rincian pertemuan pertama dan kedua, pemberian tindakan siklus pertama, pertemuan ketiga pelaksanaan tes siklus pertama, pertemuan keempat dan kelima, pemberian tindakan siklus kedua, pertemuan keenam pelaksanaan tes siklus kedua. Pelaksanaan penelitian dengan menggunakan Pendekatan PMRI dilaksanakan di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau dengan jumlah siswa sebanyak 23 orang yang terdiri dari 10 orang laki-laki dan 13 orang perempuan. Selama proses pembelajaran siswa dibagi menjadi 5 kelompok pada siklus pertama dan 6 kelompok pada siklus kedua. Pembagian kelompok dilakukan secara acak. Pengelompokkan seperti ini dapat memberikan kesempatan siswa untuk saling mengenal dan saling berdiskusi. Siswa diharapkan membantu antar anggota kelompoknya, berdiskusi, dan berargumentasi, saling berbagi pengetahuan yang dimiliki serta saling mengisi kekurangan masing-masing anggota kelompok dalam memahami materi yang diberikan. Setelah peneliti melaksanakan pembelajaran yang diawali dengan masalah kontestual, pembentukan skema (model of), membangun pengetahuan (model for), pengetahuan formal. Masing-masing kelompok Lembar Kerja Siswa (LKS). Setiap kelompok bertanggung jawab terhadap LKS yang diberikan. Dalam upaya memahami dan menyelesaikan LKS yang telah diberikan, setiap anggota disarankan untuk bekerja sama dan tidak hanya mengandalkan satu ornag teman saja. Setelah waktu untuk diskusi dirasa sudah cukup, guru menunjuk salah satu kelompok untuk mempresentasikan hasil diskusi di depan kelas. Kemudian siswa lain menanggapi jika ada kesalahan atau hal-hal yang belum jelas tentang materi tersebut. Hasil pengamatan aktivitas siswa pada siklus I menunjukkan kategori kurang karena rata-rata persentase hasil pengamatan aktivitas siswa baru mencapai 50,31%. Adapun rincian persentase untuk aspek memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan LKS dengan berdiskusi kelompok sebesar 100%. aktivitas menggunakan alat atau benda dalam memecahkan masalah pada LKS sebesar 91,30%, aktivitas mengajukan pertanyaan sebesar 28,26%, aktivitas mengajukan pendapat sebesar 13,04%, aktivitas menanggapi pendapat orang lain sebesar 4,35% , aktivitas mencatat kesimpulan sebesar 15,22%. Jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 7 orang ( 30,43% ). Penilaian terhadap hasil belajar siswa bertujuan untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar. Pada siklus I, rata-rata hasil belajar yg telah dicapai sebesar 43,35 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 0. Indikator keberhasilan secara klasikal pada siklus I baru mencapai 30,43%. Dengan melihat hasil tes akhir siklus I secara klasikal ternyata dari 23 siswa masih terdapat 16 siswa yang belum tuntas sehingga perlu dilakukan tindakan perbaikan pada siklus kedua. Selama proses pelaksanaan tindakan siklus pertama, ditemukan hal-hal sebagai berikut: a. Pembelajaran masih terlihat seperti pembelajaran kelompok biasa. Pada siklus satu guru hanya menggunakan desain jam sebagai media. b. Siswa masih banyak yang bingung cara menggunakan mistar busur derajat. Hal ini diperkuat dengan kurangnya contoh cara menggunakan mistar busur derajat. c. Siswa yang bertanya, mengajukan pendapat, dan menanggapi pendapat orang lain masih sangat sedikit. Siswa bertanya, mengajukan pendapat adalah siswa dengan orang yang sama. Waktu banyak terbuang karena terlalu lama memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengajukan pendapat. d. Peneliti kurang detail dalam menjelaskan materi pada pokok bahasan membaca sudut. Guru tidak menetapkan sudut yang akan dibaca pada jarum jam apakah sudut yang lebih dari atau yang kurang dari . e. Jumlah anggota kelompok terlalu banyak dan posisi meja kurang mendukung sehingga sulit bagi siswa untuk berdiskusi. Secara garis besar pelaksanaan siklus pertama berlangsung cukup baik dan kondusif, tetapi kegiatan pada siklus pertama perlu diulang agar kemampuan siswa dalam mempelajari materi pelajaran menggunakan pendekatan PMRI dapat ditingkatkan. Oleh sebab itu perlu dilakukan perbaikan-perbaikan dalam melaksanakan tindakan pembelajaran di kelas pada siklus kedua. Pada siklus kedua, hasil pengamatan aktvitas siswa menunjukkan kategori cukup baik karena rata-rata persentase hasil pengamatan siswa telah mencapai 67,70. Dengan rincian aktivitas siswa untuk aspek memperhatikan penjelasan guru, mengerjakan LKS dengan berdiskusi kelompok, dan menggunakan alat atau benda dalam memecahkan masalah pada LKS sebesar 100%, aktivitas mengajukan pertanyaan sebesar 52,17%, aktivitas mengajukan pendapat sebesar 56,52%, aktivitas menanggapi pendapat orang lain sebesar 19,57%, aktivitas mencatat kesimpulan sebesar 45.65%. Dengan melihat hasil tes akhir siklus II secara individu, siswa yang kurang aktif dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar sudah berkurang dibandingakan siklus I. Data hasil tes siklus II menunjukkan bahwa rata-rata hasil belajar siswa mencapai 86,13 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 55. Indikator keberhasilan secara klasikal pada siklus II mencapai 82,61%. Hal ini berarti terdapat peningkatan jumlah siswa yang tuntas belajar sebanyak 12 orang (52,17%). Peningkatan rata-rata hasil belajar dari siklus pertama ke siklus kedua sebesar 98,69%. Sedangkan peningkatan hasil belajar setelah diberi tindakan sebesar 172,24%. Berdasarkan hasil tersebut, indikator keberhasilan yang dirumuskan sudah tercapai. Tabel 11 Distribusi Frekuensi Hasil Belajar Setelah Diberi Tindakan Tes Rentang Keterangan Pra Siklus Siklus 1 Siklus 2 Nilai Persentase Persentase Persentase F F F 0 – 64 21 91,30% 16 69,57% 4 17,39 % Meningkat 65 - 100 2 8,70% 7 30,43% 19 82,61% Meningkat Selama proses pelaksanaan tindakan siklus kedua, ditemukan hal-hal sebagai berikut: a. Penampilan siswa dalam menyajikan materi pelajaran di depan kelas sebagai wakil dari kelompok sudah percaya diri, tidak malu-malu dengan kawan-kawannya. Hal ini karena siswa sudah terbiasa tampil di depan kelas. b. Keberanian siswa dalam mengeluarkan pendapat semakin tampak. c. Pembelajaran matematika juga terlihat lebih realistik karena selain di dalam kelas kegiatan pembelajaran juga dilakukan di luar kelas. Kegiatan di luar kelas siswa mengukur langsung benda yang memiliki sudut dengan busur. d. Media yang digunakan lebih realistik. Media tersebut salah satunya adalah jam dinding. Hal ini dimaksudkan agar siswa mengetahui bahwa sudut yang dibentuk oleh jarum jam tidak selalu tepat berada pada angka jika tidak berada tepak pada angka maka siswa harus menggunakan busur derajat untuk membaca sudut yang dibentuk oleh jarum jam tersebut. Secara garis besar pelaksanaan siklus kedua sudah baik karena indikator yang diharapkan sudah tercapai. Pada siklus kedua siswa sudah terbiasa dengan pembelajaran yang dilaksanakan, sehingga ketertarikan siswa dengan pembelajaran ini meningkat. Dengan demikian penerapan pendekatan PMRI dapat meningkatkan pemahaman siswa kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau pada materi sudut. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dari siklus pertama sampai siklus kedua maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan pendekatan PMRI di kelas V SD Negeri 62 Lubuklinggau dapat meningkatkan kemampuan siswa memahami materi Pengukuran sudut (membaca sudut, menggambar sudut, dan mengukur sudut). 1. Hasil Belajar Siswa Ketuntasan belajar siswa secara klasikal pada siklus I sebesar 30,43% dengan nilai rata-rata sebesar 43,35 dan pada siklus II sebesar 82,61% dengan nilai rata-rata sebesar 86,13. Peningkatan hasil belajar siswa setelah diberi tindakan sebesar 172,24% 2. Aktivitas Belajar Berdasarkan hasil observasi aktivitas belajar siswa terdapat peningkatan. Hal ini dapat dilihat dari rata-rata aktivitas siswa dalam pembelajaran matematika dengan menerapkan pendekatan PMRI pada siklus pertama sebesar 50,31% dengan kategori kurang sekali sedangkan pada siklus kedua sebesar 67,70% dengan kategori cukup. DAFTAR PUSTAKA Arikunto. 2010. Prosedur Penelitian. Yogyakarta: Rineka Cipta. Armanto, Dian. 2008. Matematika Adalah Jembatan untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV. Julie, Hongki. 2008. Matematika adalah Jembatan untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV. Masbied. 2010. Implementasi Pembelajaran Matematika Realistik Setting Kooperatif Materi Aritmetika Sosial Pada Siswa Kelas VII SMP. [online] 75 http://www.duniapelajar.com/2010/03/20/implementasipembelajaranmatem atika-realistik-setting-kooperatif-materi-aritmetika-sosial-pada-siswa kelasvii-smp/ [6 April 2015]. Purwanto, Ngalim. 2010. Prinsip-prinsip dan teknik evaluasi pengajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Soedjadi, R. 2007. Dasar-dasar Penddidikan Matematika Realistik Indonesia, Jurnal Pendidikan Matematika. Vol I (2), 9-10. Suherman, Eman. dkk. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung. Wijaya, Ariyadi. 2012. Pendidikan Matematika Realistik. Yogyakarta: Graha Ilmu Zani, M. Yusri. 2008. Matematika adalah Jembatan untuk Kehidupan yang Lebih Baik. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIV.