BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori yang terkait, dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. Teori- teori yang digunakan adalah teori perilaku prososial, efikasi diri, empati, serta penjelasan terkait BPBD. A. Perilaku Prososial Pada penjelasan mengenai perilaku prososial yang dibahas mencakup pengertian perilaku prososial, dimensi perilaku prososial tersebut, faktor-faktor yang mendasari perilaku prososial dan motivasi untuk berperilaku prososial. 1. Definisi Dari Perilaku Prososial Perilaku prososial mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi (Taylor, dkk., 2009). Bierhoff (2002), menyatakan bahwa perilaku prososial adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh si pemberi bantuan yang bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong terlepas dari motif si pemberi bantuan, baik itu untuk mendapatkan pujian atau menghindari rasa bersalah. Eisenberg dan Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial berkenaan dengan tindakan sukarela yang berniat untuk membantu atau dapat menguntungkan posisi orang lain. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap orang lain, sebagaimana seseorang yang menjadi relawan terlepas dari paksaan. Meskipun perilaku 13 14 prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi orang lain, seseorang mungkin berperilaku atas dasar atau memiliki berbagai alasan dalam memberikan bantuan. Lauren (dalam Voughan & Hogg, 2014) mendefinisikan perilaku prososial merupakan suatu bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi serta kontribusi positif terhadap hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain. Menurut Baron dan Byrne (1984), perilaku prososial merupakan bentuk perilaku atau perbuatan yang belum tentu menguntungkan individu, selain juga dapat menimbulkan risiko dan korban jiwa bagi yang melakukan, namun bagaimanapun perilaku menolong itu telah menjadi sebuah dasar norma dalam berperilaku. Jika menurut Clarke (dalam Rahman, 2013) perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain atau masyarakat secara umum. Jika menurut pendapat Taylor, dkk. (2007) dalam mendefinisikan perilaku prososial adalah perilaku altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih. Bierhoff (2002), menambahkan adanya tindakan yang dilakukan oleh si pemberi bantuan yang bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong. Serupa dengan pernyataan Bierhoff, Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi si penerima bantuan. Senada dengan itu, Clarke (dalam Rahman, 2013) bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang lain. Sejalan dengan itu juga, Baron dan Byrne (1984) menyatakan bahwa perilaku prososial belum tentu memiliki efek positif bagi di pemberi bantuan. Lauren (dalam Voughan & Hogg, 2014) menyebutkan adanya kontribusi positif terhadap hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain. Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih, yang 15 bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong atau sebagai bentuk konsekuensi positif dalam hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain. 2. Dimensi Dari Perilaku Prososial Terdapat tujuh dimensi perilaku prososial dari Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) meliputi : a. Sharing (berbagi) Sharing atau berbagi adalah kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain baik dalam suasana suka maupun duka (Eisenberg & Mussen, 1989). Berbagi dapat dilakukan apabila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui dukungan verbal dan fisik. Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat mendengarkan permasalahan dan keluhan korban ataupun berbagi informasi kepada orang lain. b. Cooperative (bekerjasama) Cooperative atau bekerjasama adalah kesediaan bekerjasama dengan orang lain demi tercapainya suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling memberi, saling menolong dan menenangkan (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat bekerjasama untuk menyelesaikan ataupun meringankan beban yang korban alami dan sekaligus “kerjasama” tersebut menjadi suatu bentuk dukungan sosial. c. Donating (menyumbang) Donating atau menyumbang adalah kesedian untuk berderma, meliputi secara suka rela memberikan suatu barang miliknya kepada yang membutuhkan, dan bantuan yang dimiliki untuk membantu orang lain (Eisenberg & Mussen, 1989). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat memberikan 16 bantuan berupa benda yang kita miliki lebih untuk disumbangkan seperti pakaian ataupun benda lain, tentu sesuai dengan kebutuhan korban. d. Helping (menolong) Helping atau menolong adalah kesediaan untuk menolong orang lain yang sedang dalam sesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain, menawarkan bantuan kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya kegiatan orang lain (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami kecelakaan dijalan kita dapat membantu korban untuk dibawa ke rumah sakit sehingga korban mendapat pertolongan secara intensif. e. Honesty (kejujuran) Honesty atau kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau mengurangi kenyataan yang ada (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita membantu dengan sungguh-sungguh, tidak untuk mencari perhatian dan simpati bahwa kita adalah sosok penolong atau dapat dikatakan berpura-pura baik. f. Generosity (berderma) Generosity atau berderma adalah individu yang memiliki sifat altruis, memiliki sikap suka beramal, suka memberi derma atau murah hati kepada orang lain yang membutuhkan pertolongannya tanpa mengharapkan imbalan apapun dari orang yang ditolongnya (Brigham, 1991). Contoh, ketika kita melihat seseorang mengalami musibah atau bencana dan tidak memiliki uang untuk berobat, membawa korban kerumah sakit, dan ketika kita memiliki uang lebih dapat untuk membiayai pengobatan korban. 17 g. Mempertimbangkan Hak dan Kesejahteraan Orang Lain Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain adalah memberi sarana bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan dalam segala urusan, memiliki kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan menghiraukan masalah orang lain (Eisenberg & Mussen, 1989). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah ataupun bencana kita berkewajiban untuk membantu korban, walaupun sebelumya kita pernah atau sedang berkonflik namun tiap manusia memiliki hak untuk hidup, oleh karena itu kita harus senantiasa membantu. Beberapa penelitian menggunakan aspek menurut Schroeder (dalam Rahman, 2013), perilaku prososial terbagi dalam tiga aspek yaitu: helping, altruism, dan cooperation. a. Helping Helping dimaknai sebagai suatu tindakan yang memiliki konsekuensi memberikan keuntungan atau meningkatkan kualitas hidup orang lain (Schroeder dalam Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam pegawai BPBD memberikan bantuan secara fisik maupun materi (uang atau benda). b. Altruism Altruism dimaknai sebagai perilaku menolong dalam hal si penolong memberikan bantuan pada orang lain tanpa mengharapkan keuntungan (Schroeder dalam Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam pegawai BPBD membantu korban walaupun dengan risiko yang ada. c. Cooperation Cooperation dimaknai sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih yang saling tergantung secara positif karena tujuan tertentu (Schroeder dalam 18 Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam, pegawai BPBD bekerjasama dengan masyarakat sekitar guna memberikan bantuan kepada korban. Jika dilihat dari dimensi yang disebutkan oleh Schroeder (dalam Rahman, 2013), perilaku prososial terbagi dalam tiga aspek yaitu: helping, altruism, dan cooperation. Sedangkan dimensi yang disebutkan Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) memiliki keragaman atau kaya dan lebih konprehensif, sejalan dengan penelitian yang dilakukan yang telah sesuai dengan karakteristik pegawai BPBD. Dimensi tersebut terdiri dari sharing (berbagi), cooperative (bekerja sama), donating (menyumbang), helping (memberikan bantuan), honesty (kejujuran), generosity (berderma), dan mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain sehingga dimensi tersebut menjadi acuan pembuatan skala perilaku prososial pada penelitian ini. 3. Faktor-Faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial. Terdapat beberapa faktor yang mendasari perilaku prososial menurut Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) antara lain: a. Self-gain Self-gain mengarah pada harapan seseorang untuk memperoleh atau menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau takut dikucilkan (Staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). b. Personal values and norms Personal values and norms merupakan nilai-nilai dan norma sosial yang diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai serta norma tersebut berkaitan dengan perilaku prososial, seperti berkewajiban 19 menegakan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik (Staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). c. Empathy Empathy mengacu pada kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan pengambilalihan peran. Sehingga prasyarat untuk mampu melakukan empati, individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran(Staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). Baron dan Byrne (1984), mengungkapkan adanya faktor yang memengaruhi seseorang berperilaku prososial. Beberapa peneliti pada sudut pandang karakteristik orang yang diberikan bantuan antara lain menurut jenis kelamin dan kepribadian. a. Jenis kelamin: dikalangan anak-anak, anak penerempuan lebih altruistic dibanding anak laki-laki. Namun dikalangan orang dewasa, bantuan yang ditawarkan oleh orang dewasa berjenis kelamin laki-laki lebih kuat ketika berhadapan dengan korban berjenis kelamin perempuan (Baron & Byrne, 1984). b. Kepribadian: yang pertama, tingginya rasa malu membuat seseorang segan dalam membantu atau memberikan pertolongan. Kedua, tingginya sikap antipati membuat seseorang memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan bantuan. Ketiga, adanya persetujuan atau izin membuat kecenderungan seseorang meningkat dalam memberikan bantuan. Keempat, tingginya tingkat religiusitas membuat seseorang memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam memberikan bantuan. Terakhir yaitu adanya empati membuat tingginya kecenderungan seseorang dalam memberikan bantuan atau pertolongan kepada orang lain (Baron & Byrne, 1984). 20 Menurut Taylor, dkk. (2009) terdapat faktor yang mendasari seseorang dalam memberikan bantuan yaitu: adanya kehadiran orang lain, sifat dari lingkungan fisik dan tekanan batas waktu. a. Kehadiran orang lain. Latane dan Darley (dalam Taylor, dkk., 2009), menyebut ini sebagai bystander effect (efek orang sekitar) yaitu suatu tendensi tantang bagaimana kehadiran orang lain mengurangi kemungkinan setiap orang akan memberikan bantuan pada orang lain yang kesulitan. b. Kondisi lingkungan. Beberapa riset menyebutkan bahwa kondisi lingkungan dapat memengaruhi seseorang dalam memberikan bantuan. Kondisi lingkungan tersebut seperti cuaca, setting lingkungan kebutuhan itu muncul, serta ukuran tempat. Tentu saja harus diingat bahwa studi-studi ini hanya berhubungan dengan bantuan kepada orang yang tidak dikenal (Taylor, dkk., 2009). c. Tekanan waktu. Beberapa studi menyebutkan bahwa tekanan waktu sangat memengaruhi perilaku menolong. Faktor lain yang mungkin muncul yaitu konflik tentang siapa yang akan menolong ketika berada dalam tekanan waktu (Taylor, dkk., 2009). Jika dilihat dari penjabaran yang oleh Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mendasari perilaku prososial seperti self-gain, personal values and norms, empathy.Selain itu Baron dan Byrne (1984), menambahkan terdapat faktor yang memengaruhi seseorang berperilaku prososial diantaranya jenis kelamin dan kepribadian. Terakhir menurut Taylor, dkk. (2009) terdapat faktor yang 21 mendasari seseorang dalam memberikan bantuan yaitu: adanya kehadiran orang lain, sifat dari lingkungan fisik dan tekanan batas waktu. Kesimpulan yang dapat diambil dari penjabaran diatas dari mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perilaku prososial adalah: adanya self-gain, personal values and norms, empathy, jenis kelamin, kepribadian, kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan tekanan waktu. 4. Motivasi Untuk Bertindak Prososial Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan motivasi seseorang untuk bertindak prososial menurut Dayakisni dan Hudaniah (2006) yaitu : a. Empathy-Altruism Hypothesis Konsep ini ditemukan oleh Fultz, Batson, Fortenbach dan McCarthy (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) yang menyatakan bahwa tindakan prososial sematamata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa adanya empati, orang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan, jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan pertolongan. b. Negative State Relief Hypothesis Pendekatan ini sering pula disebut dengan Egoistic Theory, sebab menurut konsep ini perilaku prososial sesungguhnya dimotivasi oleh keinginan untuk mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri calon penolong, bukan karena ingin menyokong kesejahteraan orang lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton mengalami emosi negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan tersebut, kecuali dengan menolong korban (Baron & Byrne dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006). 22 c. Empathic Joy Hypothesis Menurut konsep Empathic Joy Hypothesis tindakan prososial dimotivasi oleh perasaan positif ketika seseorang menolong. Ini hanya jika seseorang belajar tentang dampak dari tindakan prososial tersebut. Sebagaimana pendapat Bandura (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar melakukan tindakan menolong dapat memberinya hadiah bagi dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa bahwa dirinya baik. B. Efikasi Diri Pada penjelasan mengenai Efikasi diri yang dibahas mencakup pengertian efikasi diri, dimensi efikasi diri tersebut dan faktor-faktor yang memengaruhi efikasi diri. 1. Definisi Dari Efikasi diri Bandura (1997) menyatakan adanya aspek efikasi diri yang mengacu pada keyakinan manusia mengenai efikasi diri memengaruhi bentuk tindakan yang akan individu pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapinya. Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan suatu keyakinan diri, bahwasannya individu mampu untuk melakukan suatu tindakan yang nantinya menghasilkan suatu dampak yang diharapkan. 23 Gist (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menyatakan bahwa efikasi diri merupakan suatu gambaran umum mengenai suatu penilaian dari seberapa baik seseorang dapat melakukan suatu perbuatan pada situasi yang beraneka ragam. Bandura dan Wood (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi. Jika menurut Bandura (1997) efikasi diri mengacu pada keyakinan akan kemampuan yang dimiliki, keluesan individu dalam suatu aktivitas, serta ketangguhan individu dalam menghadapi tantangan. Baron dan Byrne (1991) efikasi diri sebagai evaluasi kemampuan diri untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menambahkan adanya perbuatan atau usaha dalam mencapai tujuan. Sedangkan Gist (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) menyatakan efikasi diri berbicara tentang penilaian diri. Terakhir menurut Bandura dan Wood (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menambahkan adanya motivasi, kemampuan kognitif, dan tindakan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan situasi. Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan akan kemampuan diri, ketangguhan individu dalam menghadapi tantangan, suatu bentuk evaluasi diri dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan. 2. Dimensi Dari Efikasi Diri Terdapat tiga dimensi efikasi diri dari Bandura (1997) meliputi : a. Level Level menjelaskan tentang bagaimana individu menghadapi sebuah tantangan dengan kemampuan yang individu miliki, serta melakukan usaha sesuai 24 kemampuannya. Memiliki tingkat ketepatan sehingga individu dapat yakin akan kemampuan dirinya mengerjakan suatu tugas dengan tepat. Memiliki tingkat produktivitas sehingga individu yakin dapat menghasilkan sesuatu, dan memiliki suatu cara bagaimana menghadapi ancaman sehingga induvidu dapat mengatasi ancaman yang datang (Bandura, 1997). Contoh, petugas BPBD melihat seseorang mengalami musibah atau bencana, individu akan siap dan yakin untuk dapat membantu korban dengan kemampuan yang individu miliki. b. Generality Generality menjelaskan bagaimana seseorang dapat menilai keyakinan individu untuk dapat melakukan tugas atau aktivitas yang cakupannya lebih luas. Adanya derajat kesamaan aktivitas artinya, bagaimana individu melakukan aktivitas menggunakan kemampuannya dengan melibatkan komponen konatif, kognitif, dan afektif (Bandura, 1997). Contoh, ketika petugas BPBD akan memberikan bantuan kepada orang lain yang mengalami musibah atau bencana tidak hanya membantu dengan tenaga namun juga melibatkan cara berpikir dan melibatkan perasaan, sehingga bantuan yang diberikan diharapkan akan efektif. c. Strength Keyakinan diri seseorang akan melemah ketika tidak didukung oleh adanya pengalaman, mengingat orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri akan lebih gigih serta senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan walaupun sulit dan penuh rintangan (Bandura, 1997). Contoh, ketika petugas BPBD mengalami kesulitan dalam menghadapi kasus atau kejadian bencana, seseorang akan termotivasi untuk mencari jalan keluar untuk menghadapi rintangan. 25 Dimensi menurut Bandura (1997) yang terdiri dari level, generality, dan strength menjadi dimensi yang digunakan dalam pengembangan alat ukur atau skala efikasi diri pada penelitian ini. 3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) ada beberapa hal yang memengaruhi efikasi diri pada individu, antara lain: a. Jenis kelamin Adanya tingkat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi antara laki-laki dan perempuan. Dalam kompetensi tertentu laki-laki memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu pula sebaliknya wanita memiliki efikasi diri yang tinggi dalam beberapa kompetensi tertentu dibandingkan dengan pria (Bandura, 1997). b. Usia Setiap individu mengalami berbagai pengalaman dalam hidup, atau disebut mengalami proses belajar sosial.jika dibandingkan antara individu muda dengan individu yang lebih tua. Individu yang lebih muda diyakini memiliki rentang waktu dan pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan individu yang lebih tua hal ini dikarenakan individu yang lebih tua memiliki banyak pengalaman serta peristiwaperistiwa dalam hidup. Individu yang lebih tua diyakini akan lebih mampu mengatasi suatu tugas dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini berkaitan dengan pengalaman yang individu miliki (Bandura, 1997). 26 c. Tingkat pendidikan Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi diyakini memiliki efikasi diri yang lebih tinggi dikarenakan individu tersebut lebih banyak belajar dalam pendidikan formal. Selain itu, individu yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam mengatasi permasalahan dalam hidup (Bandura, 1997). d. Pengalaman Melalui proses belajar dalam suatu organisasi atau perusahaan maka dapat terbentuk efikasi diri. Efikasi diri dapat terjadi dikarenakan proses adaptasi dan pembelajaran yang ada dalam situasi kerja. Dengan semakin banyaknya pengalaman yang dimiliki maka semakin tinggi pula efikasi diri individu. Tetapi efikasi diri individu juga dapat dipengaruhi oleh keberhasilan maupun kegagalan yang dialami oleh individu yang menentukan tinggi dan rendahnya efikasi diri yang dimiliki masing-masing individu (Bandura, 1997). 4. Sumber Efikasi Diri Menurut Bandura (1997) efikasi diri dapat ditingkatkan atau menurun melalui salah satu atau kombinasi dari empat sumber: a. Pengalaman menguasai sesuatu (mastery experiences) Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman menguasai sesuatu, yaitu perfoma masa lalu. Secara umum, performa yang berhasil akan menghasilkan ekspektasi mengenai kemampuan atau menaikkan efikasi diri individu, sebaliknya kegagalan cenderung akan menurunkan efikasi diri. Setelah 27 efikasi diri yang kuat berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif dari kegagalan yang umum akan terkurangi (Bandura, 1997). b. Pengalaman orang lain (vicarious experience) Sumber kedua dari efikasi diri adalah vicarious experiences. Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan efikasi diri individu dalam mengerjakan tugas yang sama. Begitu sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan menurunkan penilaian individu mengenai kemampuannya dan individu akan mengurangi usaha yang dilakukan (Bandura, 1997). c. Persuasi verbal (verbal persuasion) Sumber yang ketiga dari efikasi diri adalah verbal persuasion. Pada persuasi verbal, individu diarahkan dengan saran, nasehat dan bimbingan sehingga dapat meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan yang dimiliki yang dapat membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai keberhasilan (Bandura, 1997). Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) berhipotesis bahwa daya yang lebih efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi. d. Kondisi fisiologis (physiological state) Sumber terakhir dari efikasi diri adalah physiological state. Individu akan mendasarkan infomasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai kemampuannya. Ketegangan fisik pada situasi yang menekan dipandang individu sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan peformansi kerja individu (Bandura, 1997). 28 C. Empati Pada penjelasan mengenai empati yang dibahas mencakup pengertian empati, dimensi empati tersebut, dan faktor-faktor yang memengaruhi ketepatan empati. 1. Definisi Dari Empati Empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain. Selain itu empati dapat memotivasi orang untuk membantu orang lain yang membutuhkan Taylor, dkk. (2009). Hoffman (dalam Goleman, 2001), berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial atau yang patut di tolong. Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi seseorang ke dalam pikiran, perasaan dan perilaku orang lain, selain itu peran imitasi merupakan titikberat di dalam empati. Dia menyatakan bahwa empati merukapan “the imaginative transposing of oneself into the thinking, feeling, and acting of another. Sedangkan Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa empati mengacu pada kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses ketika seseorang berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada pada posisi orang lain itu. Selanjutnya Kohut (dalam Taufik, 2012) melakukan penguatan atas definisinya tersebut dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain. Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), menyatakan bahwa empati adalah untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain, bergerak didalamnya dengan hati-hati tanpa menghakimi. 29 Menurut Devito (1997), empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu serta mampu menempatkan diri pada keadaan dan pengalaman orang lain. Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan dua konsepsi, yang pertama menuliskan bahwa empati adalah melihat kerangka berpikir internal orang secara akurat. Kedua, dalam menghadapi orang lain tersebut individu seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, tetapi tanpa kehilangan identitas dirinya sendiri. Jika menurut Taylor, dkk. (2009) empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain, dan menjadi motivasi seseorang dalam menolong. Hoffman (dalam Goleman, 2001) menambahkan empati sebagai akar moralitas berperilaku. Allport (dalam Taufik, 2012) menambahkan empati bersumber pada pikiran, perasaan dan perilaku orang lain. Senada dengan pendapat Allport, Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) empati merupakan kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Devito (1997), menambahkan adanya sikap mampu menempatkan diri pada keadaan orang lain. Sedangkan Kohut (dalam Taufik, 2012) menyatakan adanya kemampuan berpikir objektif tentang kehidupan terdalam dari orang lain. Selain itu Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), menyatakan untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain. Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan perasaan simpati, dapat menempatkan diri pada keadaan orang lain, menjadi motivasi seseorang dalam menolong, sebagai akar moralitas berperilaku, serta mampu berpikir objektif dalam bersikap. 30 2. Dimensi Dari Empati Terdapat beberapa dimensi empati dari Davis (dalam Taufik, 2012) meliputi : a. Perspective-Taking Perspective-Taking yaitu suatu tendensi untuk memahami pandanganpandangan dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari (Davis dalam Taufik, 2012). Batson, Early, dan Salvarani (dalam Baron & Byrne, 2005) mengambil perspektif (perspective taking) terkait bagaimana seseorang mampu untuk menempatkan diri dalam posisi orang lain. Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita senantiasa mencoba memahami serta meluangkan waktu untuk membantu. b. Empathic Concern Empathic Concern yaitu suatu tendensi terhadap pengalaman-pengalaman yang berhubungan dengan “kehangatan”, “rasa iba” dan perhatian terhadap kemalangan orang lain (Davis dalam Taufik, 2012). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat “merangkul” dalam artian memberikan perhatian maupun kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan c. Personal Distres Personal Distres yaitu dimensi yang mengukur reaksi-reaksi emosional tertentu, ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri serta melihat ketidaknyamanan pada emosi orang lain (Davis dalam Taufik, 2012). Contoh, ketika orang lain mengalami musibah atau bencana kita menjadi merasa bersalah ketika tidak memberikan bantuan kepada yang membutuhkan. 31 d. Fantacy “Fantacy” cenderung untuk menempatkan diri sendiri kedalam perasaan dan perilaku-perilaku dari karakter–karakter yang ada di dalam buku-buku cerita, novel, game, film, dan situasi-situasi fiksi lainnya (Davis dalam Taufik, 2012). Batson, Early, dan salvarani (dalam Baron & Byrne, 2005) pengambilan perspektif melibatkan fantasi dimaksudkan bahwa seseorang merasa empati pada karakter fiktif. Penonton yang merasa berempati akan mengalami kesedihan, ketatutan atau gembira ketika emosi-emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita. Contoh, ketika orang mengalami musibah atau bencana kita dapat membayangkan gejolak perasaan yang dialami oleh korban. Dimensi menurut Davis (dalam Taufik, 2012) yang terdiri dari perspectivetaking, empatic concern, personal distres, dan fantacy menjadi dimensi yang digunakan dalam pengembangan alat ukur atau skala empati dalam penelitian ini. 3. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Empati. Menurut Taufik (2012) ada beberapa faktor yang memengaruhi empati anatara lain adalah faktor gender, faktor kognitif, faktor sosial, status sosial ekonomi, dan hubungan dekat (close relationship). a. Gender Perempuan dikenal mudah merasakan kondisi emosional orang lain dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Gesn dan Graham (dalam Taufik, 2012) temuan penelitiannya tentang gender dan akurasi empati hasilnya menunjukkan bahwa akurasi empati perempuan lebih baik daripada laki-laki, tetapi ini hanya dalam kondisi-kondisi tertentu. Namun terdapat catatan bahwa akurasi empati perempuan 32 tinggi ketika partisipan sadar bahwa empati seseorang sedang diukur atau ketika stereotip gender ditonjolkan, yaitu akurasi empati partisipan perempuan lebih tinggi terhadap target empati berjenis kelamin perempuan. Temuan-temuan itu berimplikasi kepada motivasi, dan tidak menunjukkan akurasi yang lebih tinggi bilamana target empati berbeda jenis kelamin dari dirinya (Gesn & Graham dalam Taufik, 2012). Menurut Latane dan Dabbs (dalam Baron & Byrne, 2005) penelitian telah secara konsisten menunjukan bahwa laki-laki lebih cenderung memberi pertolongan pada wanita yang mengalami kesilitan. Meskipun wanita pada semua kalangan umur mempunyai empati yang lebih tinggi dari pada pria (Shigetomi, Hartmann & Gelfand dalam Baron & Byrne, 2005) b. Faktor Kognitif Menurut Ickes, Buysse, Pham, Rivers, Erikson, dan Hancock (dalam Taufik, 2012) keakuratan empati berkaitan dengan kecerdasan verbal, orang yang memiliki kecerdasan verbal tinggi akan dapat berempati secara akurat dibandingkan dengan orang yang rendah tingkat kecerdasan verbalnya. Orang-orang yang memiliki kecerdasan verbal tinggi akan mudah mengekspresikan perasaan-perasaan dan pikiran-pikirannya sendiri untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan orang lain. Selain itu, kemampuan dalam mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan dalam bentuk verbal (bahasa) akan membuat target empati mudah dalam berbagi pikiran dan perasaan dengannya. c. Faktor Sosial Pickett, Gardner, dan Knowles (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwa individu-individu memungkinkan untuk mengarahkan perhatian terhadap isyaratisyarat interaksi sosial, termasuk dalam memahami karakteristik vokal. Maka empati 33 yang dilakukan secara akurat dapat memelihara hubungan sosial. Menurut Taylor (2009) faktor sosial penting dalam membina hubungan yang positif dengan orang lain, sebagaimana dengan terbinanya hubungan yang positif akan membentuk ikatan saling membutuhkan satu sama lain. d. Status Sosial Ekonomi Kraus, Stephane, dan Keltner (dalam Taufik, 2012) menjelaskan, pada orangorang berstatus sosial ekonomi rendah kehidupan seseorang dipengaruhi oleh karakteristik konteks lainnya, seperti tingkat dukungan yang telah seseorang terima. Oleh karena itu, orang-orang dengan status sosial yang rendah memungkinkan untuk mengubah perhatian seseorang dari pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikiran personal kepada kondisi lingkungan sekitar. Sehingga seseorang lebih sensitif terhadap isyarat lembut dan gaya bicara orang lain, hal ini akan meningkatkan kapasitas seseorang dalam memahami emosi target empati. e. Hubungan Dekat (Close Relationship) Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dapat disimpulkan bahwa empati akan menjadi lebih efektif ketika dilakukan dengan lembut dan nyaman namun akan menjadi lebih bermakna ketika kedua belah pihak membangun suatu bentuk empati bersama tidak satu arah (Taufik, 2012). D. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Pada penjelasan mengenai BPBD yang dibahas mencakup definisi bencana dan penyelenggaraan penanggulangan bencana, dasar hukum BPBD, tugas dari BPBD dan fungsi dari BPBD. 34 1. Definisi Bencana dan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Menurut pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana terdapat definisi terkait bencana serta penyelenggaraan penanggulangan bencana sebagai berikut: a. Bencana Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). b. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). 2. Dasar Hukum BPBD Pada Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 pada poin (a) terdapat pernyataan bahwa ”Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 menjadi pedoman BNPB di tingkat pusat dan BPBD di tingkat daerah dalam melaksanakan tugas. 35 Dasar hukum yang digunakan dalam pembentukan BPBD baik provinsi, kabupaten/kota di Indonesia adalah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 tahun 2008 tentang pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, selanjutnya disebut BPBD adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penanggulangan bencana di Daerah (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Nomor 3 Tahun 2008). 3. Tugas BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana Pasal 21 adalah sebagai berikut: Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007). a. Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. b. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana. c. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana. d. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya. 36 e. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana. f. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang. g. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan. 4. Fungsi BPBD Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi yang telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan bencana Pasal 20 adalah sebagai berikut: a. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien serta, b. Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan menyeluruh. Ketika dicermati bahwa tugas penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara, maupun fungsi penggulangan bencana yang diberikan masuk kedalam perilaku prososial. E. Dinamika Peran Perilaku Prososial, Efikasi diri, dan Empati Pada Pegawai BPBD di Bali. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Caprara, dkk. (2007) memperlihatkan bahwa terdapat kontribusi dari variabel efikasi diri, dan empati terhadap variabel perilaku prososial. 37 BPBD memiliki tugas yaitu untuk memberikan bantuan maupun melakukan tindakan preventif terkait dengan kebencanaan. Tugas yang diemban oleh pegawai BPBD merupakan bentuk perilaku prososial jika dilihat dari sudut pandang psikologi sosial. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk tindakan membantu atau dirancang untuk membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi (Taylor, dkk., 2009). Eisenberg dan Mussen (2003), menyatakan bahwa perilaku prososial berkenaan dengan tindakan sukarela yang berniat untuk membantu atau dapat menguntungkan posisi orang lain. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap orang lain, disaat seseorang yang menjadi relawan terlepas dari paksaan. Meskipun perilaku prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi orang lain, seseorang mungkin berperilaku ada dasarnya atau memiliki berbagai alasan dalam memberikan bantuan, apakah berdasarkan jenis kelamin dan kepribadian (Baron & Byrne, 1984). Dalam menjalankan tugasnya, pegawai BPBD dituntut untuk memiliki kompetensi, ketangguhan, serta keluwesan sehingga dalam prakteknya dapat melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien. Oleh karena itu konsep psikologi yang terkait dengan hal tersebut adalah efikasi diri. Efikasi diri mengacu pada keyakinan manusia mengenai efikasi diri memengaruhi bentuk tindakan yang akan individu pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapinya (Bandura, 1997). Beberapa dimensi efikasi diri yang terkait dengan pekerjaan dari pegawai BPBD yaitu menyangkut level, generality, dan strength. Pegawai BPBD haruslah memiliki keyakinan akan 38 kemampuan dirinya, serta tahu akan potensi dirinya dalam usaha membantu korban bencana ataupun ketika melakukan tindakan preventif di masyarakat. Level menjelaskan tentang bagaimana individu menghadapi sebuah tantangan dengan kemampuan yang individu miliki, serta melakukan usaha sesuai kemampuannya. Memiliki tingkat ketepatan sehingga individu dapat yakin akan kemampuan dirinya mengerjakan suatu tugas dengan tepat. Memiliki tingkat produktivitas sehingga individu yakin dapat menghasilkan sesuatu, dan memiliki suatu cara menghadapi ancaman sehingga induvidu dapat siap mengatasi ancaman yang datang (Bandura, 1997). Generality, terkait dengan bagaimana seseorang dapat menilai keyakinan diri sendiri untuk dapat melakukan tugas atau aktivitas yang cakupannya lebih luas. Adanya derajat kesamaan aktivitas artinya, bagaimana individu melakukan aktivitas menggunakan kemampuannya dengan melibatkan komponen konatif, kognitif, dan afektif (Bandura, 1997). Jadi pegawai BPBD dalam melakukan tugas tidak hanya melibatkan tenaga dalam memberikan suatu pertolongan, namun juga melibatkan aspek afektif atau perasaan yang termasuk dalam keterlibatan empati. Selain itu juga melibatkan aspek kognitif atau pemikiran yang terkait bagaimana pegawai dalam menghadapi tantangan dan ringtangan seperti memiliki pengetahuan terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3). Strength menyangkut keyakinan diri seseorang akan melemah ketika tidak didukung oleh adanya pengalaman, mengingat orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan diri sendiri akan lebih gigih serta senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan walaupun sulit dan penuh rintangan (Bandura, 1997). Pegawai BPBD yang turun ke lapangan dalam memberikan bantuan pertolongan ataupun saat melakukan tindakan preventif dimasyakat, akan mampu, kuat serta dapat berjuang untuk mencapai tujuan ketika pegawai memiliki memiliki effikasi diri. 39 Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai evaluasi seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan suatu keyakinan diri, bahwasannya individu mampu untuk melakukan suatu tindakan yang nantinya menghasilkan suatu dampak yang diharapkan. Dalam menjalankan pekerjaan sebagai pegawai BPBD harus memiliki keyakinan akan diri untuk melakukan suatu tindakan saat terjadi bencana maupun ketika melakukan usaha preventif, agar dapat berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan tugas pokok BPBD itu sendiri. Dari uraian tersebut dapat diperlihatkan kaitan antara perilaku prososial terhadap efikasi diri yang dimiliki oleh pegawai BPBD dalam menunjang tugasnya. Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Supanto (2007) menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel efikasi diri terhadap perilaku prososial atau variabel efikasi diri dapat menjadi prediktor variabel perilaku prososial. Dalam menjalankan tugas kemanusiaan, pegawai BPBD tentunya kerap menemukan kejadian-kejadian di lapangan yang membuat seseorang berempati melihat keadaan seseorang yang terkena musibah. Menurut Taylor, dkk., (2009), empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain. Selain itu empati dapat memotivasi orang untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Hoffman (dalam Goleman, 2001), berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban potensial atau yang patut ditolong. Selain itu dia juga menyatakan bahwa kemampuan yang sama untuk merasakan empati, menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga membuat seseorang menganut prinsip-prinsip moral tertentu. Ketika pegawai memiliki rasa empati yang tinggi maka kecenderungan dalam melakukan perilaku menolong akan juga semakin meningkat dalam hal ini perilaku menolong dikategorikan sebagai perilaku prososial. Hal 40 tersebut dibuktikan oleh pernyataan dari Taylor, dkk., (2009) bahwa perilaku prososial juga dipengaruhi oleh tipe relasi antar-orang, entah itu karena suka, merasa berkewajiban, memiliki pamrih, atau empati (Taylor, dkk., 2009). Selain itu banyak studi yang dilakukan di Amerika yang menunjukkan bahwa empati meningkatkan perilaku prososial, Batson & Hoffman (dalam Feist & Feist, 2010). Dari uraian tersebut, maka dapat disebutkan bahwa empati memiliki peran terhadap perilaku prososial dalam bentuk perilaku menolong. 41 a. Level b. Generality c. Strength Efikasi Diri Perilaku Prososial Empati a. b. c. d. perspective-taking empathic concern personal distres fantacy a. b. c. d. e. f. g. Sharing (Berbagi) Cooperative (Bekerjasama) Donating (Berbagi) Helping (Menolong) Honesty (Kejujuran) Generosity (Berderma) Mempertimbangkan Hak dan Kesejahteraan Orang Lain. Keterangan Gambar: A. : Variabel Penelitian B. : Peran C. : Dimensi variabel penelitian D. : Mencirikan variabel penelitian Gambar 1. Diagram Peran Perilaku Prososial, Efikasi Diri, dan Empati Pada Pegawai BPBD di Bali. 42 F. Hipotesis Penelitian Dalam melakukan penelitian dengan analisis kuantitatif, peneliti melakukan suatu prediksi mengenai jawaban atas pertanyaan penelitian yang di rumuskan dalam bentuk hipotesis penelitian, artinya hipotesis merupakan suatu bentuk jawaban sementara atas pertanyaan pada suatu penelitian, (Azwar, 1997) Berdasarkan uraian teoretik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan sebagai hipotesis mayor dan hipotesis minor. 1. Hipotesis Mayor: Hipotesis alternatif (Ha) : Efikasi Diri dan Empati berperan terhadap Perilaku Prososial pada pegawai BPBD di Bali. 2. Hipotesis Minor: a. Hipotesis alternatif (Ha1): Efikasi Diri berperan terhadap Perilaku Prososial pada pegawai BPBD di Bali. b. Hipotesis alternatif (Ha2): Empati berperan terhadap Perilaku Prososial pada pegawai BPBD di Bali.