BAB II TINJAUAN PUSTAKA Dalam menjawab pertanyaan

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam menjawab pertanyaan penelitian pada Bab I, berikut ini dijelaskan beberapa teori
yang terkait, dinamika antar variabel dan hipotesis penelitian. Teori- teori yang digunakan
adalah teori perilaku prososial, efikasi diri, empati, serta penjelasan terkait BPBD.
A. Perilaku Prososial
Pada penjelasan mengenai perilaku prososial yang dibahas mencakup pengertian
perilaku prososial, dimensi perilaku prososial tersebut, faktor-faktor yang mendasari perilaku
prososial dan motivasi untuk berperilaku prososial.
1. Definisi Dari Perilaku Prososial
Perilaku prososial mencakup setiap tindakan yang membantu atau dirancang untuk
membantu orang lain, terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari
tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau
kepentingan pribadi (Taylor, dkk., 2009). Bierhoff (2002), menyatakan bahwa perilaku
prososial adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh si pemberi bantuan yang bermaksud
untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong terlepas dari motif si pemberi bantuan,
baik itu untuk mendapatkan pujian atau menghindari rasa bersalah.
Eisenberg dan Mussen (1989) menyatakan bahwa perilaku prososial berkenaan
dengan tindakan sukarela yang berniat untuk membantu atau dapat menguntungkan posisi
orang lain. Perilaku prososial merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap orang lain,
sebagaimana seseorang yang menjadi relawan terlepas dari paksaan. Meskipun perilaku
13
14
prososial menjadi suatu bentuk konsekuensi positif bagi orang lain, seseorang mungkin
berperilaku atas dasar atau memiliki berbagai alasan dalam memberikan bantuan. Lauren
(dalam Voughan & Hogg, 2014) mendefinisikan perilaku prososial merupakan suatu
bentuk perilaku yang memiliki konsekuensi serta kontribusi positif terhadap hubungan
sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain.
Menurut Baron dan Byrne (1984), perilaku prososial merupakan bentuk perilaku
atau perbuatan yang belum tentu menguntungkan individu, selain juga dapat
menimbulkan risiko dan korban jiwa bagi yang melakukan, namun bagaimanapun
perilaku menolong itu telah menjadi sebuah dasar norma dalam berperilaku. Jika menurut
Clarke (dalam Rahman, 2013) perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan
orang lain atau masyarakat secara umum.
Jika menurut pendapat Taylor, dkk. (2007) dalam mendefinisikan perilaku prososial
adalah perilaku altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih.
Bierhoff (2002), menambahkan adanya tindakan yang dilakukan oleh si pemberi bantuan
yang bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong. Serupa dengan
pernyataan Bierhoff, Eisenberg dan Mussen (1989) perilaku prososial menjadi suatu
bentuk konsekuensi positif bagi si penerima bantuan. Senada dengan itu, Clarke (dalam
Rahman, 2013) bahwa perilaku prososial adalah tindakan yang menguntungkan orang
lain. Sejalan dengan itu juga, Baron dan Byrne (1984) menyatakan bahwa perilaku
prososial belum tentu memiliki efek positif bagi di pemberi bantuan. Lauren (dalam
Voughan & Hogg, 2014) menyebutkan adanya kontribusi positif terhadap hubungan
sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa perilaku prososial merupakan
tindakan altruisme tanpa pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih, yang
15
bermaksud untuk meningkatkan keadaan orang yang ditolong atau sebagai bentuk
konsekuensi positif dalam hubungan sosial, fisik dan psikologis terhadap orang lain.
2. Dimensi Dari Perilaku Prososial
Terdapat tujuh dimensi perilaku prososial dari Eisenberg dan Mussen (dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2006) meliputi :
a. Sharing (berbagi)
Sharing atau berbagi adalah kesediaan berbagi perasaan dengan orang lain baik
dalam suasana suka maupun duka (Eisenberg & Mussen, 1989). Berbagi dapat
dilakukan apabila penerima menunjukkan kesukaan sebelum ada tindakan melalui
dukungan verbal dan fisik. Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau
bencana kita dapat mendengarkan permasalahan dan keluhan korban ataupun berbagi
informasi kepada orang lain.
b. Cooperative (bekerjasama)
Cooperative atau bekerjasama adalah kesediaan bekerjasama dengan orang lain
demi tercapainya suatu tujuan. Kerjasama biasanya saling menguntungkan, saling
memberi, saling menolong dan menenangkan (Brigham, 1991). Contoh, ketika
seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat bekerjasama untuk
menyelesaikan ataupun meringankan beban yang korban alami dan sekaligus
“kerjasama” tersebut menjadi suatu bentuk dukungan sosial.
c. Donating (menyumbang)
Donating atau menyumbang adalah kesedian untuk berderma, meliputi secara
suka rela memberikan suatu barang miliknya kepada yang membutuhkan, dan
bantuan yang dimiliki untuk membantu orang lain (Eisenberg & Mussen, 1989).
Contoh, ketika seseorang mengalami musibah atau bencana kita dapat memberikan
16
bantuan berupa benda yang kita miliki lebih untuk disumbangkan seperti pakaian
ataupun benda lain, tentu sesuai dengan kebutuhan korban.
d. Helping (menolong)
Helping atau menolong adalah kesediaan untuk menolong orang lain yang
sedang dalam sesusahan. Menolong meliputi membantu orang lain, menawarkan
bantuan kepada orang lain, atau melakukan sesuatu yang menunjang berlangsungnya
kegiatan orang lain (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami
kecelakaan dijalan kita dapat membantu korban untuk dibawa ke rumah sakit
sehingga korban mendapat pertolongan secara intensif.
e. Honesty (kejujuran)
Honesty atau kejujuran adalah suatu bentuk perilaku yang ditunjukkan dengan
perkataan yang sesuai dengan keadaan dan tidak menambahkan atau mengurangi
kenyataan yang ada (Brigham, 1991). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah
atau bencana kita membantu dengan sungguh-sungguh, tidak untuk mencari perhatian
dan simpati bahwa kita adalah sosok penolong atau dapat dikatakan berpura-pura
baik.
f. Generosity (berderma)
Generosity atau berderma adalah individu yang memiliki sifat altruis, memiliki
sikap suka beramal, suka memberi derma atau murah hati kepada orang lain yang
membutuhkan pertolongannya tanpa mengharapkan imbalan apapun dari orang yang
ditolongnya (Brigham, 1991). Contoh, ketika kita melihat seseorang mengalami
musibah atau bencana dan tidak memiliki uang untuk berobat, membawa korban
kerumah sakit, dan ketika kita memiliki uang lebih dapat untuk membiayai
pengobatan korban.
17
g. Mempertimbangkan Hak dan Kesejahteraan Orang Lain
Mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain adalah memberi sarana
bagi orang lain untuk mendapatkan kemudahan dalam segala urusan, memiliki
kepedulian terhadap orang lain dengan mengindahkan dan menghiraukan masalah
orang lain (Eisenberg & Mussen, 1989). Contoh, ketika seseorang mengalami
musibah ataupun bencana kita berkewajiban untuk membantu korban, walaupun
sebelumya kita pernah atau sedang berkonflik namun tiap manusia memiliki hak
untuk hidup, oleh karena itu kita harus senantiasa membantu.
Beberapa penelitian menggunakan aspek menurut Schroeder (dalam Rahman, 2013),
perilaku prososial terbagi dalam tiga aspek yaitu: helping, altruism, dan cooperation.
a. Helping
Helping dimaknai sebagai suatu tindakan yang memiliki konsekuensi
memberikan keuntungan atau meningkatkan kualitas hidup orang lain (Schroeder
dalam Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam pegawai BPBD
memberikan bantuan secara fisik maupun materi (uang atau benda).
b. Altruism
Altruism dimaknai sebagai perilaku menolong dalam hal si penolong
memberikan bantuan pada orang lain tanpa mengharapkan keuntungan (Schroeder
dalam Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam pegawai BPBD
membantu korban walaupun dengan risiko yang ada.
c. Cooperation
Cooperation dimaknai sebagai suatu hubungan antara dua orang atau lebih
yang saling tergantung secara positif karena tujuan tertentu (Schroeder dalam
18
Rahman, 2013). Contoh, ketika terjadi bencana alam, pegawai BPBD bekerjasama
dengan masyarakat sekitar guna memberikan bantuan kepada korban.
Jika dilihat dari dimensi yang disebutkan oleh Schroeder (dalam Rahman, 2013),
perilaku prososial terbagi dalam tiga aspek yaitu: helping, altruism, dan cooperation.
Sedangkan dimensi yang disebutkan Eisenberg dan Mussen (dalam Dayakisni &
Hudaniah, 2006) memiliki keragaman atau kaya dan lebih konprehensif, sejalan dengan
penelitian yang dilakukan yang telah sesuai dengan karakteristik pegawai BPBD. Dimensi
tersebut terdiri dari
sharing (berbagi), cooperative (bekerja sama), donating
(menyumbang), helping (memberikan bantuan), honesty (kejujuran), generosity
(berderma), dan mempertimbangkan hak dan kesejahteraan orang lain sehingga dimensi
tersebut menjadi acuan pembuatan skala perilaku prososial pada penelitian ini.
3. Faktor-Faktor Yang Mendasari Perilaku Prososial.
Terdapat beberapa faktor yang mendasari perilaku prososial menurut Staub (dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2006) antara lain:
a. Self-gain
Self-gain mengarah pada harapan seseorang untuk memperoleh atau
menghindari kehilangan sesuatu, misalnya ingin mendapatkan pengakuan, pujian atau
takut dikucilkan (Staub dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006).
b. Personal values and norms
Personal values and norms merupakan nilai-nilai dan norma sosial yang
diinternalisasikan oleh individu selama mengalami sosialisasi dan sebagian nilai-nilai
serta norma tersebut berkaitan dengan perilaku prososial, seperti berkewajiban
19
menegakan kebenaran dan keadilan serta adanya norma timbal balik (Staub dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2006).
c. Empathy
Empathy mengacu pada kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan
atau pengalaman orang lain. Kemampuan untuk empati ini erat kaitannya dengan
pengambilalihan peran. Sehingga prasyarat untuk mampu melakukan empati,
individu harus memiliki kemampuan untuk melakukan pengambilan peran(Staub
dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006).
Baron dan Byrne (1984), mengungkapkan adanya faktor yang memengaruhi seseorang
berperilaku prososial. Beberapa peneliti pada sudut pandang karakteristik orang yang
diberikan bantuan antara lain menurut jenis kelamin dan kepribadian.
a. Jenis kelamin: dikalangan anak-anak, anak penerempuan lebih altruistic dibanding
anak laki-laki. Namun dikalangan orang dewasa, bantuan yang ditawarkan oleh orang
dewasa berjenis kelamin laki-laki lebih kuat ketika berhadapan dengan korban
berjenis kelamin perempuan (Baron & Byrne, 1984).
b. Kepribadian: yang pertama, tingginya rasa malu membuat seseorang segan dalam
membantu atau memberikan pertolongan. Kedua, tingginya sikap antipati membuat
seseorang memiliki kecenderungan untuk tidak memberikan bantuan. Ketiga, adanya
persetujuan atau izin membuat kecenderungan seseorang meningkat dalam
memberikan bantuan. Keempat, tingginya tingkat religiusitas membuat seseorang
memiliki kecenderungan yang tinggi pula dalam memberikan bantuan. Terakhir yaitu
adanya empati membuat tingginya kecenderungan seseorang dalam memberikan
bantuan atau pertolongan kepada orang lain (Baron & Byrne, 1984).
20
Menurut Taylor, dkk. (2009) terdapat faktor yang mendasari seseorang dalam
memberikan bantuan yaitu: adanya kehadiran orang lain, sifat dari lingkungan fisik dan
tekanan batas waktu.
a. Kehadiran orang lain.
Latane dan Darley (dalam Taylor, dkk., 2009), menyebut ini sebagai bystander
effect (efek orang sekitar) yaitu suatu tendensi tantang bagaimana kehadiran orang
lain mengurangi kemungkinan setiap orang akan memberikan bantuan pada orang
lain yang kesulitan.
b. Kondisi lingkungan.
Beberapa riset menyebutkan bahwa kondisi lingkungan dapat memengaruhi
seseorang dalam memberikan bantuan. Kondisi lingkungan tersebut seperti cuaca,
setting lingkungan kebutuhan itu muncul, serta ukuran tempat. Tentu saja harus
diingat bahwa studi-studi ini hanya berhubungan dengan bantuan kepada orang yang
tidak dikenal (Taylor, dkk., 2009).
c. Tekanan waktu.
Beberapa studi menyebutkan bahwa tekanan waktu sangat memengaruhi
perilaku menolong. Faktor lain yang mungkin muncul yaitu konflik tentang siapa
yang akan menolong ketika berada dalam tekanan waktu (Taylor, dkk., 2009).
Jika dilihat dari penjabaran yang oleh Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006)
menyebutkan terdapat beberapa faktor yang mendasari perilaku prososial seperti self-gain,
personal values and norms, empathy.Selain itu Baron dan Byrne (1984), menambahkan
terdapat faktor yang memengaruhi seseorang berperilaku prososial diantaranya jenis
kelamin dan kepribadian. Terakhir menurut Taylor, dkk. (2009) terdapat faktor yang
21
mendasari seseorang dalam memberikan bantuan yaitu: adanya kehadiran orang lain, sifat
dari lingkungan fisik dan tekanan batas waktu. Kesimpulan yang dapat diambil dari
penjabaran diatas dari mengenai faktor-faktor yang memengaruhi perilaku prososial adalah:
adanya self-gain, personal values and norms, empathy, jenis kelamin, kepribadian,
kehadiran orang lain, kondisi lingkungan, dan tekanan waktu.
4. Motivasi Untuk Bertindak Prososial
Ada beberapa teori yang berusaha menjelaskan motivasi seseorang untuk bertindak
prososial menurut Dayakisni dan Hudaniah (2006) yaitu :
a. Empathy-Altruism Hypothesis
Konsep ini ditemukan oleh Fultz, Batson, Fortenbach dan McCarthy (dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2006) yang menyatakan bahwa tindakan prososial sematamata dimotivasi oleh perhatian terhadap kesejahteraan orang lain (si korban). Tanpa
adanya empati, orang melihat kejadian darurat tidak akan melakukan pertolongan,
jika ia dapat mudah melepaskan diri dari tanggung jawab untuk memberikan
pertolongan.
b. Negative State Relief Hypothesis
Pendekatan ini sering pula disebut dengan Egoistic Theory, sebab menurut
konsep ini perilaku prososial sesungguhnya dimotivasi oleh keinginan untuk
mengurangi perasaan negatif yang ada dalam diri calon penolong, bukan karena ingin
menyokong kesejahteraan orang lain. Jadi pertolongan hanya diberikan jika penonton
mengalami emosi negatif dan tidak ada cara lain untuk menghilangkan perasaan
tersebut, kecuali dengan menolong korban (Baron & Byrne dalam Dayakisni &
Hudaniah, 2006).
22
c. Empathic Joy Hypothesis
Menurut konsep Empathic Joy Hypothesis tindakan prososial dimotivasi oleh
perasaan positif ketika seseorang menolong. Ini hanya jika seseorang belajar tentang
dampak dari tindakan prososial tersebut. Sebagaimana pendapat Bandura (dalam
Dayakisni & Hudaniah, 2006) bahwa orang dapat belajar melakukan tindakan
menolong dapat memberinya hadiah bagi dirinya sendiri, yaitu membuat dia merasa
bahwa dirinya baik.
B. Efikasi Diri
Pada penjelasan mengenai Efikasi diri yang dibahas mencakup pengertian efikasi diri,
dimensi efikasi diri tersebut dan faktor-faktor yang memengaruhi efikasi diri.
1. Definisi Dari Efikasi diri
Bandura (1997)
menyatakan adanya aspek efikasi diri yang mengacu pada
keyakinan manusia mengenai efikasi diri memengaruhi bentuk tindakan yang akan
individu pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan individu berikan ke dalam
suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam menghadapi rintangan dan
kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapinya.
Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai evaluasi
seseorang mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas,
mencapai tujuan dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa
efikasi diri merupakan suatu keyakinan diri, bahwasannya individu mampu untuk
melakukan suatu tindakan yang nantinya menghasilkan suatu dampak yang diharapkan.
23
Gist (dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menyatakan bahwa efikasi diri
merupakan suatu gambaran umum mengenai suatu penilaian dari seberapa baik seseorang
dapat melakukan suatu perbuatan pada situasi yang beraneka ragam. Bandura dan Wood
(dalam Ghufron & Risnawita, 2014), menyatakan bahwa efikasi diri mengacu pada
keyakinan akan kemampuan individu untuk menggerakkan motivasi, kemampuan
kognitif, dan tindakan yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan situasi.
Jika menurut Bandura (1997) efikasi diri mengacu pada keyakinan akan
kemampuan yang dimiliki, keluesan individu dalam suatu aktivitas, serta ketangguhan
individu dalam menghadapi tantangan. Baron dan Byrne (1991) efikasi diri sebagai
evaluasi kemampuan diri untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan dan mengatasi
hambatan. Feist dan Feist (2010) menambahkan adanya perbuatan atau usaha dalam
mencapai tujuan. Sedangkan Gist (dalam Ghufron & Risnawita, 2014) menyatakan efikasi
diri berbicara tentang penilaian diri. Terakhir menurut Bandura dan Wood (dalam
Ghufron & Risnawita, 2014), menambahkan adanya motivasi, kemampuan kognitif, dan
tindakan yang dibutuhkan untuk memenuhi tuntutan situasi.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan keyakinan
akan kemampuan diri, ketangguhan individu dalam menghadapi tantangan, suatu bentuk
evaluasi diri dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan.
2. Dimensi Dari Efikasi Diri
Terdapat tiga dimensi efikasi diri dari Bandura (1997) meliputi :
a. Level
Level menjelaskan tentang bagaimana individu menghadapi sebuah tantangan
dengan kemampuan yang individu miliki, serta melakukan usaha sesuai
24
kemampuannya. Memiliki tingkat ketepatan sehingga individu dapat yakin akan
kemampuan dirinya mengerjakan suatu tugas dengan tepat. Memiliki tingkat
produktivitas sehingga individu yakin dapat menghasilkan sesuatu, dan memiliki
suatu cara bagaimana menghadapi ancaman sehingga induvidu dapat mengatasi
ancaman yang datang (Bandura, 1997). Contoh, petugas BPBD melihat seseorang
mengalami musibah atau bencana, individu akan siap dan yakin untuk dapat
membantu korban dengan kemampuan yang individu miliki.
b. Generality
Generality menjelaskan bagaimana seseorang dapat menilai keyakinan individu
untuk dapat melakukan tugas atau aktivitas yang cakupannya lebih luas. Adanya
derajat kesamaan aktivitas artinya, bagaimana individu melakukan aktivitas
menggunakan kemampuannya dengan melibatkan komponen konatif, kognitif, dan
afektif (Bandura, 1997). Contoh, ketika petugas BPBD akan memberikan bantuan
kepada orang lain yang mengalami musibah atau bencana tidak hanya membantu
dengan tenaga namun juga melibatkan cara berpikir dan melibatkan perasaan,
sehingga bantuan yang diberikan diharapkan akan efektif.
c. Strength
Keyakinan diri seseorang akan melemah ketika tidak didukung oleh adanya
pengalaman, mengingat orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan kemampuan
diri sendiri akan lebih gigih serta senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan
walaupun sulit dan penuh rintangan (Bandura, 1997). Contoh, ketika petugas BPBD
mengalami kesulitan dalam menghadapi kasus atau kejadian bencana, seseorang akan
termotivasi untuk mencari jalan keluar untuk menghadapi rintangan.
25
Dimensi menurut Bandura (1997) yang terdiri dari level, generality, dan strength
menjadi dimensi yang digunakan dalam pengembangan alat ukur atau skala efikasi diri pada
penelitian ini.
3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) ada beberapa hal yang memengaruhi efikasi diri pada
individu, antara lain:
a. Jenis kelamin
Adanya tingkat perbedaan pada perkembangan kemampuan dan kompetensi
antara laki-laki dan perempuan. Dalam kompetensi tertentu laki-laki memiliki efikasi
diri yang lebih tinggi dibanding dengan wanita, begitu pula sebaliknya wanita
memiliki efikasi diri yang tinggi dalam beberapa kompetensi tertentu dibandingkan
dengan pria (Bandura, 1997).
b. Usia
Setiap individu mengalami berbagai pengalaman dalam hidup, atau disebut
mengalami proses belajar sosial.jika dibandingkan antara individu muda dengan
individu yang lebih tua. Individu yang lebih muda diyakini memiliki rentang waktu
dan pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan individu yang lebih tua hal ini
dikarenakan individu yang lebih tua memiliki banyak pengalaman serta peristiwaperistiwa dalam hidup. Individu yang lebih tua diyakini akan lebih mampu mengatasi
suatu tugas dibandingkan dengan individu yang lebih muda, hal ini berkaitan dengan
pengalaman yang individu miliki (Bandura, 1997).
26
c. Tingkat pendidikan
Individu yang memiliki tingkat pendidikan yang tinggi diyakini memiliki
efikasi diri yang lebih tinggi dikarenakan individu tersebut lebih banyak belajar
dalam pendidikan formal. Selain itu, individu yang memiliki tingkat pendidikan yang
lebih tinggi akan lebih banyak mendapatkan kesempatan untuk belajar dalam
mengatasi permasalahan dalam hidup (Bandura, 1997).
d. Pengalaman
Melalui proses belajar dalam suatu organisasi atau perusahaan maka dapat
terbentuk efikasi diri. Efikasi diri dapat terjadi dikarenakan proses adaptasi dan
pembelajaran yang ada dalam situasi kerja. Dengan semakin banyaknya pengalaman
yang dimiliki maka semakin tinggi pula efikasi diri individu. Tetapi efikasi diri
individu juga dapat dipengaruhi oleh keberhasilan maupun kegagalan yang dialami
oleh individu yang menentukan tinggi dan rendahnya efikasi diri yang dimiliki
masing-masing individu (Bandura, 1997).
4. Sumber Efikasi Diri
Menurut Bandura (1997) efikasi diri dapat ditingkatkan atau menurun melalui salah
satu atau kombinasi dari empat sumber:
a. Pengalaman menguasai sesuatu (mastery experiences)
Sumber yang paling berpengaruh dari efikasi diri adalah pengalaman
menguasai sesuatu, yaitu perfoma masa lalu. Secara umum, performa yang berhasil
akan menghasilkan ekspektasi mengenai kemampuan atau menaikkan efikasi diri
individu, sebaliknya kegagalan cenderung akan menurunkan efikasi diri. Setelah
27
efikasi diri yang kuat berkembang melalui serangkaian keberhasilan, dampak negatif
dari kegagalan yang umum akan terkurangi (Bandura, 1997).
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Sumber kedua dari efikasi diri adalah vicarious experiences. Pengamatan
terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan yang sebanding dalam
mengerjakan suatu tugas akan meningkatkan efikasi diri individu dalam mengerjakan
tugas yang sama. Begitu sebaliknya, pengamatan terhadap kegagalan orang lain akan
menurunkan penilaian individu mengenai kemampuannya dan individu akan
mengurangi usaha yang dilakukan (Bandura, 1997).
c. Persuasi verbal (verbal persuasion)
Sumber yang ketiga dari efikasi diri adalah verbal persuasion. Pada persuasi
verbal, individu diarahkan dengan saran, nasehat dan bimbingan sehingga dapat
meningkatkan keyakinannya tentang kemampuan yang dimiliki yang dapat
membantu mencapai tujuan yang diinginkan. Individu yang diyakinkan secara verbal
cenderung akan berusaha lebih keras untuk mencapai keberhasilan (Bandura, 1997).
Menurut Bandura (dalam Feist & Feist, 2010) berhipotesis bahwa daya yang lebih
efektif dari sugesti berhubungan langsung dengan status dan otoritas yang
dipersepsikan dari orang yang melakukan persuasi.
d. Kondisi fisiologis (physiological state)
Sumber terakhir dari efikasi diri adalah physiological state. Individu akan
mendasarkan infomasi mengenai kondisi fisiologis mereka untuk menilai
kemampuannya. Ketegangan fisik pada situasi yang menekan dipandang individu
sebagai suatu tanda ketidakmampuan karena hal itu dapat melemahkan peformansi
kerja individu (Bandura, 1997).
28
C. Empati
Pada penjelasan mengenai empati yang dibahas mencakup pengertian empati, dimensi
empati tersebut, dan faktor-faktor yang memengaruhi ketepatan empati.
1. Definisi Dari Empati
Empati merupakan perasaan simpati dan perhatian terhadap orang lain, ikut
merasakan penderitaan orang lain. Selain itu empati dapat memotivasi orang untuk
membantu orang lain yang membutuhkan Taylor, dkk. (2009). Hoffman (dalam Goleman,
2001), berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban
potensial atau yang patut di tolong.
Allport (dalam Taufik, 2012) mendefinisikan empati sebagai perubahan imajinasi
seseorang ke dalam pikiran, perasaan dan perilaku orang lain, selain itu peran imitasi
merupakan titikberat di dalam empati. Dia menyatakan bahwa empati merukapan “the
imaginative transposing of oneself into the thinking, feeling, and acting of another.
Sedangkan Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) menyatakan bahwa empati
mengacu pada kemampuan seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman
orang lain.
Kohut (dalam Taufik, 2012) melihat empati sebagai suatu proses ketika seseorang
berpikir mengenai kondisi orang lain yang seakan-akan dia berada pada posisi orang lain
itu. Selanjutnya Kohut (dalam Taufik, 2012) melakukan penguatan atas definisinya
tersebut dengan mengatakan bahwa empati adalah kemampuan berpikir objektif tentang
kehidupan terdalam dari orang lain. Rogers (dalam Feist & Feist, 2010), menyatakan
bahwa empati adalah untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain, bergerak
didalamnya dengan hati-hati tanpa menghakimi.
29
Menurut Devito (1997), empati merupakan kemampuan seseorang untuk memahami
apa yang sedang dialami orang lain pada suatu saat tertentu serta mampu menempatkan
diri pada keadaan dan pengalaman orang lain. Rogers (dalam Taufik, 2012) menawarkan
dua konsepsi, yang pertama menuliskan bahwa empati adalah melihat kerangka berpikir
internal orang secara akurat. Kedua, dalam menghadapi orang lain tersebut individu
seolah-olah masuk dalam diri orang lain sehingga bisa merasakan dan mengalami
sebagaimana yang dirasakan dan dialami oleh orang lain, tetapi tanpa kehilangan identitas
dirinya sendiri.
Jika menurut Taylor, dkk. (2009) empati merupakan perasaan simpati dan perhatian
terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain, dan menjadi motivasi
seseorang dalam menolong. Hoffman (dalam Goleman, 2001) menambahkan empati
sebagai akar moralitas berperilaku. Allport (dalam Taufik, 2012) menambahkan empati
bersumber pada pikiran, perasaan dan perilaku orang lain. Senada dengan pendapat
Allport, Staub (dalam Dayakisni & Hudaniah, 2006) empati merupakan kemampuan
seseorang untuk ikut merasakan perasaan atau pengalaman orang lain. Devito (1997),
menambahkan adanya sikap mampu menempatkan diri pada keadaan orang lain.
Sedangkan Kohut (dalam Taufik, 2012) menyatakan adanya kemampuan berpikir objektif
tentang kehidupan terdalam dari orang lain. Selain itu Rogers (dalam Feist & Feist, 2010),
menyatakan untuk sementara hidup dalam kehidupan orang lain.
Berdasarkan hal diatas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan perasaan
simpati, dapat menempatkan diri pada keadaan orang lain, menjadi motivasi seseorang
dalam menolong, sebagai akar moralitas berperilaku, serta mampu berpikir objektif dalam
bersikap.
30
2. Dimensi Dari Empati
Terdapat beberapa dimensi empati dari Davis (dalam Taufik, 2012) meliputi :
a. Perspective-Taking
Perspective-Taking yaitu suatu tendensi untuk memahami pandanganpandangan dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari (Davis dalam Taufik,
2012). Batson, Early, dan Salvarani (dalam Baron & Byrne, 2005) mengambil
perspektif (perspective taking) terkait bagaimana seseorang mampu untuk
menempatkan diri dalam posisi orang lain. Contoh, ketika seseorang mengalami
musibah atau bencana kita senantiasa mencoba memahami serta meluangkan waktu
untuk membantu.
b. Empathic Concern
Empathic Concern yaitu suatu tendensi terhadap pengalaman-pengalaman yang
berhubungan dengan “kehangatan”, “rasa iba” dan perhatian terhadap kemalangan
orang lain (Davis dalam Taufik, 2012). Contoh, ketika seseorang mengalami musibah
atau bencana kita dapat “merangkul” dalam artian memberikan perhatian maupun
kepedulian terhadap orang lain yang membutuhkan bantuan
c. Personal Distres
Personal Distres yaitu dimensi yang mengukur reaksi-reaksi emosional
tertentu, ketika seseorang merasa tidak nyaman dengan perasaannya sendiri serta
melihat ketidaknyamanan pada emosi orang lain (Davis dalam Taufik, 2012). Contoh,
ketika orang lain mengalami musibah atau bencana kita menjadi merasa bersalah
ketika tidak memberikan bantuan kepada yang membutuhkan.
31
d. Fantacy
“Fantacy” cenderung untuk menempatkan diri sendiri kedalam perasaan dan
perilaku-perilaku dari karakter–karakter yang ada di dalam buku-buku cerita, novel,
game, film, dan situasi-situasi fiksi lainnya (Davis dalam Taufik, 2012). Batson,
Early, dan salvarani (dalam Baron & Byrne, 2005) pengambilan perspektif
melibatkan fantasi dimaksudkan bahwa seseorang merasa empati pada karakter fiktif.
Penonton yang merasa berempati akan mengalami kesedihan, ketatutan atau gembira
ketika emosi-emosi ini dialami oleh karakter dalam cerita. Contoh, ketika orang
mengalami musibah atau bencana kita dapat membayangkan gejolak perasaan yang
dialami oleh korban.
Dimensi menurut Davis (dalam Taufik, 2012) yang terdiri dari perspectivetaking, empatic concern, personal distres, dan fantacy menjadi dimensi yang
digunakan dalam pengembangan alat ukur atau skala empati dalam penelitian ini.
3. Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Empati.
Menurut Taufik (2012) ada beberapa faktor yang memengaruhi empati anatara lain
adalah faktor gender, faktor kognitif, faktor sosial, status sosial ekonomi, dan hubungan
dekat (close relationship).
a. Gender
Perempuan dikenal mudah merasakan kondisi emosional orang lain
dibandingkan dengan laki-laki. Menurut Gesn dan Graham (dalam Taufik, 2012)
temuan penelitiannya tentang gender dan akurasi empati hasilnya menunjukkan
bahwa akurasi empati perempuan lebih baik daripada laki-laki, tetapi ini hanya dalam
kondisi-kondisi tertentu. Namun terdapat catatan bahwa akurasi empati perempuan
32
tinggi ketika partisipan sadar bahwa empati seseorang sedang diukur atau ketika
stereotip gender ditonjolkan, yaitu akurasi empati partisipan perempuan lebih tinggi
terhadap target empati berjenis kelamin perempuan. Temuan-temuan itu berimplikasi
kepada motivasi, dan tidak menunjukkan akurasi yang lebih tinggi bilamana target
empati berbeda jenis kelamin dari dirinya (Gesn & Graham dalam Taufik, 2012).
Menurut Latane dan Dabbs (dalam Baron & Byrne, 2005) penelitian telah secara
konsisten menunjukan bahwa laki-laki lebih cenderung memberi pertolongan pada
wanita yang mengalami kesilitan. Meskipun wanita pada semua kalangan umur
mempunyai empati yang lebih tinggi dari pada pria (Shigetomi, Hartmann & Gelfand
dalam Baron & Byrne, 2005)
b. Faktor Kognitif
Menurut Ickes, Buysse, Pham, Rivers, Erikson, dan Hancock (dalam Taufik,
2012) keakuratan empati berkaitan dengan kecerdasan verbal, orang yang memiliki
kecerdasan verbal tinggi akan dapat berempati secara akurat dibandingkan dengan
orang yang rendah tingkat kecerdasan verbalnya. Orang-orang yang memiliki
kecerdasan verbal tinggi akan mudah mengekspresikan perasaan-perasaan dan
pikiran-pikirannya sendiri untuk memahami pikiran-pikiran dan perasaan orang lain.
Selain itu, kemampuan dalam mengungkapkan pikiran-pikiran dan perasaan dalam
bentuk verbal (bahasa) akan membuat target empati mudah dalam berbagi pikiran dan
perasaan dengannya.
c. Faktor Sosial
Pickett, Gardner, dan Knowles (dalam Taufik, 2012) menyatakan bahwa
individu-individu memungkinkan untuk mengarahkan perhatian terhadap isyaratisyarat interaksi sosial, termasuk dalam memahami karakteristik vokal. Maka empati
33
yang dilakukan secara akurat dapat memelihara hubungan sosial. Menurut Taylor
(2009) faktor sosial penting dalam membina hubungan yang positif dengan orang
lain, sebagaimana dengan terbinanya hubungan yang positif akan membentuk ikatan
saling membutuhkan satu sama lain.
d. Status Sosial Ekonomi
Kraus, Stephane, dan Keltner (dalam Taufik, 2012) menjelaskan, pada orangorang berstatus sosial ekonomi rendah kehidupan seseorang dipengaruhi oleh
karakteristik konteks lainnya, seperti tingkat dukungan yang telah seseorang terima.
Oleh karena itu, orang-orang dengan status sosial yang rendah memungkinkan untuk
mengubah perhatian seseorang dari pengalaman-pengalaman dan pikiran-pikiran
personal kepada kondisi lingkungan sekitar. Sehingga seseorang lebih sensitif
terhadap isyarat lembut dan gaya bicara orang lain, hal ini akan meningkatkan
kapasitas seseorang dalam memahami emosi target empati.
e. Hubungan Dekat (Close Relationship)
Dari berbagai penelitian yang dilakukan oleh para peneliti dapat disimpulkan
bahwa empati akan menjadi lebih efektif ketika dilakukan dengan lembut dan
nyaman namun akan menjadi lebih bermakna ketika kedua belah pihak membangun
suatu bentuk empati bersama tidak satu arah (Taufik, 2012).
D. Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD)
Pada penjelasan mengenai BPBD yang dibahas mencakup definisi bencana dan
penyelenggaraan penanggulangan bencana, dasar hukum BPBD, tugas dari BPBD dan fungsi
dari BPBD.
34
1. Definisi Bencana dan Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Menurut pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 tentang
penanggulangan bencana terdapat definisi terkait bencana serta penyelenggaraan
penanggulangan bencana sebagai berikut:
a. Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan
timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan
dampak psikologis (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007).
b. Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
Penyelenggaraan penanggulangan bencana adalah serangkaian upaya yang
meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi (Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007).
2. Dasar Hukum BPBD
Pada Undang-Undang nomor 24 tahun 2007 pada poin (a) terdapat pernyataan bahwa
”Negara Kesatuan Republik Indonesia bertanggung jawab melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan tujuan untuk
memberikan perlindungan terhadap kehidupan dan penghidupan termasuk
perlindungan atas bencana, dalam rangka mewujudkan kesejahteraan umum yang
berlandaskan Pancasila, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”. Undang-Undang nomor 24 tahun 2007
menjadi pedoman BNPB di tingkat pusat dan BPBD di tingkat daerah dalam
melaksanakan tugas.
35
Dasar hukum yang digunakan dalam pembentukan BPBD baik provinsi,
kabupaten/kota di Indonesia adalah Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 3 tahun 2008 tentang pedoman pembentukan Badan Penanggulangan
Bencana Daerah. Badan Penanggulangan Bencana Daerah, selanjutnya disebut BPBD
adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi
penanggulangan bencana di Daerah (Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan
Bencana Nomor 3 Tahun 2008).
3. Tugas BPBD
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai tugas yang telah diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
bencana Pasal 21 adalah sebagai berikut:
Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah
daerah dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan
bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta
rekonstruksi secara adil dan setara (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun
2007).
a. Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan
bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
b. Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana.
c. Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
d. Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.
36
e. Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah
setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat
bencana.
f. Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
g. Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah dan melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.
4. Fungsi BPBD
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai fungsi yang telah diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan
bencana Pasal 20 adalah sebagai berikut:
a. Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan
pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien serta,
b. Pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana,
terpadu, dan menyeluruh.
Ketika dicermati bahwa tugas penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan
bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara,
maupun fungsi penggulangan bencana yang diberikan masuk kedalam perilaku prososial.
E. Dinamika Peran Perilaku Prososial, Efikasi diri, dan Empati Pada Pegawai
BPBD di Bali.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Caprara, dkk. (2007) memperlihatkan bahwa
terdapat kontribusi dari variabel efikasi diri, dan empati terhadap variabel perilaku prososial.
37
BPBD memiliki tugas yaitu untuk memberikan bantuan maupun melakukan tindakan preventif
terkait dengan kebencanaan. Tugas yang diemban oleh pegawai BPBD merupakan bentuk
perilaku prososial jika dilihat dari sudut pandang psikologi sosial. Perilaku prososial
merupakan suatu bentuk tindakan membantu atau dirancang untuk membantu orang lain,
terlepas dari motif si penolong. Perilaku prososial bisa mulai dari tindakan altruisme tanpa
pamrih sampai tindakan yang dimotivasi oleh pamrih atau kepentingan pribadi (Taylor, dkk.,
2009).
Eisenberg dan Mussen (2003), menyatakan bahwa perilaku prososial berkenaan dengan
tindakan sukarela yang berniat untuk membantu atau dapat menguntungkan posisi orang lain.
Perilaku prososial merupakan suatu bentuk konsekuensi terhadap orang lain, disaat seseorang
yang menjadi relawan terlepas dari paksaan. Meskipun perilaku prososial menjadi suatu
bentuk konsekuensi positif bagi orang lain, seseorang mungkin berperilaku ada dasarnya atau
memiliki berbagai alasan dalam memberikan bantuan, apakah berdasarkan jenis kelamin dan
kepribadian (Baron & Byrne, 1984).
Dalam menjalankan tugasnya, pegawai BPBD dituntut untuk memiliki kompetensi,
ketangguhan, serta keluwesan sehingga dalam prakteknya dapat melakukan pekerjaan secara
efektif dan efisien. Oleh karena itu konsep psikologi yang terkait dengan hal tersebut adalah
efikasi diri. Efikasi diri mengacu pada keyakinan manusia mengenai efikasi diri memengaruhi
bentuk tindakan yang akan individu pilih untuk dilakukan, sebanyak apa usaha yang akan
individu berikan ke dalam suatu aktivitas, selama apa individu akan bertahan dalam
menghadapi rintangan dan kegagalan, serta ketangguhan individu dalam menghadapinya
(Bandura, 1997).
Beberapa dimensi efikasi diri yang terkait dengan pekerjaan dari pegawai BPBD yaitu
menyangkut level, generality, dan strength. Pegawai BPBD haruslah memiliki keyakinan akan
38
kemampuan dirinya, serta tahu akan potensi dirinya dalam usaha membantu korban bencana
ataupun ketika melakukan tindakan preventif di masyarakat.
Level menjelaskan tentang
bagaimana individu menghadapi sebuah tantangan dengan kemampuan yang individu miliki,
serta melakukan usaha sesuai kemampuannya. Memiliki tingkat ketepatan sehingga individu
dapat yakin akan kemampuan dirinya mengerjakan suatu tugas dengan tepat. Memiliki tingkat
produktivitas sehingga individu yakin dapat menghasilkan sesuatu, dan memiliki suatu cara
menghadapi ancaman sehingga induvidu dapat siap mengatasi ancaman yang datang
(Bandura, 1997).
Generality, terkait dengan bagaimana seseorang dapat menilai keyakinan diri sendiri
untuk dapat melakukan tugas atau aktivitas yang cakupannya lebih luas. Adanya derajat
kesamaan aktivitas artinya, bagaimana individu melakukan aktivitas menggunakan
kemampuannya dengan melibatkan komponen konatif, kognitif, dan afektif (Bandura, 1997).
Jadi pegawai BPBD dalam melakukan tugas tidak hanya melibatkan tenaga dalam
memberikan suatu pertolongan, namun juga melibatkan aspek afektif atau perasaan yang
termasuk dalam keterlibatan empati. Selain itu juga melibatkan aspek kognitif atau pemikiran
yang terkait bagaimana pegawai dalam menghadapi tantangan dan ringtangan seperti memiliki
pengetahuan terkait Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3).
Strength menyangkut keyakinan diri seseorang akan melemah ketika tidak didukung
oleh adanya pengalaman, mengingat orang yang memiliki keyakinan yang kuat akan
kemampuan diri sendiri akan lebih gigih serta senantiasa berjuang untuk mencapai tujuan
walaupun sulit dan penuh rintangan (Bandura, 1997). Pegawai BPBD yang turun ke lapangan
dalam memberikan bantuan pertolongan ataupun saat melakukan tindakan preventif
dimasyakat, akan mampu, kuat serta dapat berjuang untuk mencapai tujuan ketika pegawai
memiliki memiliki effikasi diri.
39
Baron dan Byrne (1991) mendefinisikan bahwa efikasi diri sebagai evaluasi seseorang
mengenai kemampuan atau kompetensi dirinya untuk melakukan suatu tugas, mencapai tujuan
dan mengatasi hambatan. Feist dan Feist (2010) menyatakan bahwa efikasi diri merupakan
suatu keyakinan diri, bahwasannya individu mampu untuk melakukan suatu tindakan yang
nantinya menghasilkan suatu dampak yang diharapkan. Dalam menjalankan pekerjaan sebagai
pegawai BPBD harus memiliki keyakinan akan diri untuk melakukan suatu tindakan saat
terjadi bencana maupun ketika melakukan usaha preventif, agar dapat berjalan secara efektif
dan efisien sesuai dengan tugas pokok BPBD itu sendiri. Dari uraian tersebut dapat
diperlihatkan kaitan antara perilaku prososial terhadap efikasi diri yang dimiliki oleh pegawai
BPBD dalam menunjang tugasnya. Dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Supanto (2007) menemukan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara variabel efikasi diri
terhadap perilaku prososial atau variabel efikasi diri dapat menjadi prediktor variabel perilaku
prososial.
Dalam menjalankan tugas kemanusiaan, pegawai BPBD tentunya kerap menemukan
kejadian-kejadian di lapangan yang membuat seseorang berempati melihat keadaan seseorang
yang terkena musibah. Menurut Taylor, dkk., (2009), empati merupakan perasaan simpati dan
perhatian terhadap orang lain, ikut merasakan penderitaan orang lain. Selain itu empati dapat
memotivasi orang untuk membantu orang lain yang membutuhkan. Hoffman (dalam Goleman,
2001), berpendapat bahwa akar moralitas ada dalam empati, sebab berempati pada korban
potensial atau yang patut ditolong. Selain itu dia juga menyatakan bahwa kemampuan yang
sama untuk merasakan empati, menempatkan diri pada posisi orang lain, sehingga membuat
seseorang menganut prinsip-prinsip moral tertentu. Ketika pegawai memiliki rasa empati yang
tinggi maka kecenderungan dalam melakukan perilaku menolong akan juga semakin
meningkat dalam hal ini perilaku menolong dikategorikan sebagai perilaku prososial. Hal
40
tersebut dibuktikan oleh pernyataan dari Taylor, dkk., (2009) bahwa perilaku prososial juga
dipengaruhi oleh tipe relasi antar-orang, entah itu karena suka, merasa berkewajiban, memiliki
pamrih, atau empati (Taylor, dkk., 2009). Selain itu banyak studi yang dilakukan di Amerika
yang menunjukkan bahwa empati meningkatkan perilaku prososial, Batson & Hoffman (dalam
Feist & Feist, 2010). Dari uraian tersebut, maka dapat disebutkan bahwa empati memiliki
peran terhadap perilaku prososial dalam bentuk perilaku menolong.
41
a. Level
b. Generality
c. Strength
Efikasi Diri
Perilaku Prososial
Empati
a.
b.
c.
d.
perspective-taking
empathic concern
personal distres
fantacy
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Sharing (Berbagi)
Cooperative (Bekerjasama)
Donating (Berbagi)
Helping (Menolong)
Honesty (Kejujuran)
Generosity (Berderma)
Mempertimbangkan Hak dan
Kesejahteraan Orang Lain.
Keterangan Gambar:
A.
: Variabel Penelitian
B.
: Peran
C.
: Dimensi variabel penelitian
D.
: Mencirikan variabel penelitian
Gambar 1. Diagram Peran Perilaku Prososial, Efikasi Diri, dan Empati Pada Pegawai
BPBD di Bali.
42
F. Hipotesis Penelitian
Dalam melakukan penelitian dengan analisis kuantitatif, peneliti melakukan suatu
prediksi mengenai jawaban atas pertanyaan penelitian yang di rumuskan dalam bentuk
hipotesis penelitian, artinya hipotesis merupakan suatu bentuk jawaban sementara atas
pertanyaan pada suatu penelitian, (Azwar, 1997)
Berdasarkan uraian teoretik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai hipotesis mayor dan hipotesis minor.
1.
Hipotesis Mayor:
Hipotesis alternatif (Ha) : Efikasi Diri dan Empati berperan terhadap Perilaku Prososial pada
pegawai BPBD di Bali.
2.
Hipotesis Minor:
a.
Hipotesis alternatif (Ha1): Efikasi Diri berperan terhadap Perilaku Prososial pada
pegawai BPBD di Bali.
b.
Hipotesis alternatif (Ha2): Empati berperan terhadap Perilaku Prososial pada
pegawai BPBD di Bali.
Download