HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF JOHN DEWEY Tinjauan Teoritis Wasitohadi Program Studi SI PGSD FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana ABSTRAK Mengenai hakekat pendidikan, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan hakekat pendidikan secara lengkap. Batasan tentang hakekat pendidikan yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya kadang berbeda satu dari yang lainnya. Perbedaan tersebut mungkin terjadi karena perbedaan orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Bagi John Dewey, pengalaman adalah basis pendidikan, atau dalam terminologi Dewey sendiri "pengalaman" sebagai "sarana dan tujuan pendidikan". Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus. Inti pendidikan adalah usaha untuk terus-menerus menyusun kembali (reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman hidup subjek didik. Pendidikan haruslah memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai rangkaian pengalamannya sedemikian rupa, sehingga ia terus bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman tersebut. Kata kunci: Hakikat Pendidikan, John Dewey. PENDAHULUAN Istilah hakekat bisa diartikan sebagai karakteristik atau ciri khas dari sesuatu, yang bisa membedakannya dari yang lain. Hakekat adalah hal terpenting dari sesuatu yang terdiri atas pengertian yang sifatnya abstrak. Abstrak berarti tidak konkrit atau tidak dapat dihayati atau diamati dengan panca indra (Imam Barnadib, 2002:4). Hakekat pendidikan, misalnya, dengan demikian bisa dimaknai sebagai karakteristik atau ciri khas dari pendidikan, yang sifatnya abstrak, yang bisa membedakannya dengan yang bukan pendidikan. Yang bukan pendidikan ini bisa bermacam-macam wujudnya. George R. Knight, misalnya, ketika membahas "apa hakekat pendidikan itu", dengan sadar ia belajar dan pelatihan, meskipun istilahistilah tersebut saling berkaitan (George R. Knight, 1982:7-10). Sementara itu, ada pula yang memahami hakekat pendidikan itu, dengan bertolak dari adanya perbedaan hakekat manusia dengan makhluk lain, misalnya binatang. Bertolak dari sini, kemudian muncul banyak pemahaman, misalnya bahwa pendidikan itu adalah untuk manusia, bukan untuk binatang. Manusia, kata pendapat ini, adalah animal educandum (binatang yang dapat dididik), ada pula yang mengatakan manusia adalah zoon politicon (hewan yang bermasyarakat), Max Scheller bilang manusia adalah Das Kranke Tier (hewan yang sakit) yang selalu gelisah dan bermasalah (Umar Tirtarahardja, 2000:3) membedakannya dengan istilah sekolah, 49 Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014; 49-61 Dalam tulisan ini, penulis akan mem- pendapat Langeveld, Langeveld mengartikan bahas mengenai "hakekat pendidikan dalam pendidikan sebagai suatu bimbingan yang perspektif John Dewey". Pembahasan dimulai diberikan oleh orang dewasa kepada anak dengan memahami hakekat pendidikan yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, secara umum, barn kemudian hakekat pen- yaitu kedewasaan. Sementara itu, Crow and didikan dalam perspektif John Dewey, Crow mendefinisikan pendidikan sebagai terutama menyangkut komponen-komponen proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang esensial. Sesudah itu, akan dilanjutkan yang cocok bagi individu untuk kehidupan dengan catatan-catatan kritis dan kesimpulan sosialnya dan membantu meneruskan adat sebagai penutup tulisan ini. dan budaya serta kelembagaan sosial dari HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM generasi ke generasi (Slameto, 2006:17) Sementara itu, H.A.RTilaar( 1999:17) BERAGAM PERSPEKTIF memahami hakekat pendidikan dari dua jenis Pendidikan, seperti sifat sasarannya yaitu manusia, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan hakekat pendidikan secara lengkap. Batasan tentang hakekat pendidikan yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya kadang berbeda satu dari yang lainnya. Perbedaan tersebut mungkin terjadi karena perbedaan orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya. Imam Barnadib (2002:4), memandang pendidikan sebagai fenomena utama dalam kehidupan manusia di mana orang yang telah dewasa membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk menjadi dewasa. Pendidikan dalam arti luas semacam itu, telah ada sejak manusia ada. Sejak awal mula kehidupannya, manusia sudah melakukan tindakan mendidik atas dasar pengalaman, bukan berdasarkan teori bagaimana sebaiknya mendidik. Dalam hal ini, pendidikan menunjuk pada pendidikan pada umumnya, yaitu pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat umum. Batasan pendidikan sebagaimana dikemukakan Imam Barnadib, mirip atau bisa dikatakan inti substansinya sama dengan 50 pendekatan, yaitu pendekatan reduksionisme dengan pendekatan holistik integratif. Kedua jenis pendekatan tersebut mempunyai kesamaan di dalam memberikan jawaban terhadap persoalan hakikat pendidikan, ialah bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan. Pendekatan reduksionisme melihat proses pendidikan, peserta didik dan keseluruhan perbuatan pendidikan, termasuk lembagalembaga pendidikan, telah menampilkan pandangan-pandangan ontologis maupun metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan. Pandangan-pandangan tersebut tidak menampilkan hakikat pendidikan secara utuh tapi sepihak berdasarkan sudut pandang yang digunakan. Dengan demikian proses pendidikan tidak dilihat secara keseluruhan. Ada berbagai jenis pendekatan reduksionisme, yang berdasarkan sudut pandang yang digunakan, masing-masing memiliki pendapat yang berbeda mengenai apa hakikat pendidikan itu. Pertama, pedagogisme. Dalam menjelaskan mengenai hakekat pendidikan, pendekatan ini bertolak dari keyakinan bahwa anak akan dibesarkan menjadi dewasa. Ini melahirkan teori yang menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi) manusia, misalnya nativisme (anak telah saja. Oleh sebab mengajar merupakan suatu mempunyai kemampuan yang dilahirkan dan tugas yang setua dengan manusia itu sendiri, tinggal dikembangkan saja), dan empirisme maka profesi pendidik mendapat kurang (anak dilahirkan seperti kertas putih yang penghargaan dibandingkan dengan profesi- akan diisi oleh pendidikan). Pandangan ini profesi lainnya. sangat menghormati perkembangan anak, Kelima, negativisme. Berkaitan dengan tapi cenderung melupakan bahwa anak hidup negativisme, ada tiga teori, pertama, tugas dalam suatu masyarakat tertentu dan mem- pendidikan adalah menjaga pertumbuhan punyai cita-cita hidup bersama yang tertentu anak. Untuk itu, perlu disingkirkan hal-hal yang dapat merusak atau yang sifatnya negatif pula. Kedua, filosofisme. Pendekatan ini terhadap pertumbuhan tersebut. Segala se- bertolak dari adanya pertentangan mengenai suatu seakan-akan telah tersedia di dalam did hakekat manusia dan hakekat anak. Anak anak yang akan bertumbuh dengan baik manusia mempunyai hakekat sendiri dan apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang berbeda dengan hakekat orang dewasa. Anak merugikan pertumbuhan tersebut. Tugas pen- bukanlah orang dewasa dalam bentuknya yang didik, tidak lebih dari seorang penjaga tanam- kecil. Anak mempunyai nilai-nilainya sendiri an yang menghindarkan tanaman tersebut yang akan berkembang menuju kepada nilai- dari gangguan hama. Kedua, melihat pendi- nilai seperti orang dewasa. Tugas pendidikan dikan sebagai usaha mengembangkan kepri- adalah membantu anak menuju kedewasaan- badian peserta didik. Ini pandangan negatif, nya sehingga anak dapat mengambil kepu- karena mengembangkan kepribadian anak tusannya sendiri. Menurut pandangan ini, implisit melindungi anak dari hal-hal yang pendidikan akan berakhir ketika anak manusia negatif. Hal-hal yang dapat mengganggu menjadi dewasa. perkembangan kepribadian yang bermoral Ketiga, religionisme. Pendekatan ini hams dihindari. Tugas pendidik adalah bertolak dari hakikat manusia sebagai makh- penjaga pertumbuhan kepribadian anak. luk yang religius. Di sini hakekat pendidikan Ketiga, proses pendidikan adalah melatih adalah membawa peserta didik menjadi peserta didik menjadi warga negara yang manusia yang religius karena sebagai makh- berguna. Ini berarti menghindarkan peserta luk ciptaan Tuhan peserta didik itu harus didik dari hal-hal yang dapat mengakibatkan dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan dia itu menjadi warga negara yang tidak harkatnya. Pendekatan ini sangat menekan- berguna. kan bahwa pendidikan adalah untuk mem- Keenam, sosiologisme. Meletakkan persiapkan peserta didik bagi kehidupannya hakekat pendidikan kepada keperluan hidup di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan agama bersama dalam masyarakat. Jadi, titik tolak- menjadi sentral dalam proses pendidikan. nya prioritas kepada kebutuhan masyarakat Keempat, psikologisme. Psikologisme dan bukan kepada kebutuhan individu. cenderung mereduksi ilmu pendidikan men- Sebagai anggota masyarakat, peserta didik jadi ilmu proses belajar mengajar, sehingga harus dipersiapkan menjadi anggota masya- hakikat pendidikan adalah proses belajar me- rakat yang baik. ngajar. Hal tersebut telah mempersempit pan- Sementara itu, pendekatan holistik dangan para pendidik seakan-akan ilmu pen- integratif memandang pendidikan secara didikan itu terbatas kepada ilmu mengajar menyeluruh, tidak parsial. Hakekat pendidik51 Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014: 49-61 an dalam pandangan ini adalah suatu proses suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik menumbuhkembangkan eksistensi peserta terarah kepada terbentuknya kepribadian didik yang memasyarakat, membudaya, peserta didik. Ketiga, pendidikan sebagai dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal, proses penyiapan warga negara. Pendidikan nasional dan global. Dalam hal ini, pendidik- sebagai penyiapan warga negara diartikan an merupakan suatu proses berkesinam- sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk bungan, proses pendidikan berarti menumbuh membekali peserta didik agar menjadi warga kembangkan eksistensi manusia yang me- negara yang baik. Keempat, pendidikan masyarakat dan membudaya, dimana proses sebagai penyiapan tenaga kerja. Artinya, bermasyarakat dan membudaya tersebut sebagai kegiatan yang membimbing peserta mempunyai dimensi-dimensi waktu dan didik sehingga memiliki bekal dasar untuk ruang. bekerja. Sementara itu, menurut Ki Hadjar Selanjutnya, menurut UU No. 20 tahun Dewantoro (1977:20), pendidikan merupakan 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak- pendidikan adalah usaha sadar dan terencana anak. Adapun maksud pendidikan, yaitu untuk mewujudkan suasana belajar dan menuntun segala kekuatan kodrat yang ada proses pembelajaran agar peserta didik secara pada anak-anak itu, agar mereka sebagai aktif mengembangkan potensi dirinya untuk manusia dan sebagai anggota masyarakat memiliki kekuatan spiritual keagamaan, dapat mencapai keselamatan dan kebahagia- pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, an yang setinggi-tingginya. Sedangkan menu- akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlu- rut Driyarkara (2007: 413), intisari dari pen- kan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. didikan ialah upaya memanusiakan manusia muda. Driyarkara menyebutnya sebagai HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF JOHN DEWEY proses hominisasi dan humanisasi. Hominisasi dan humanisasi adalah pengangkatan Di antara tiga tokoh di dalam aliran manusia muda sampai sedemikian tingginya prag-matisme, yaitu Peirce, James, dan John sehingga ia bisa menjalankan hidupnya seba- Dewey, John Dewey sering disebut sebagai gai manusia dan membudayakan diri. Pe- tokoh pragmatisme modem. Aliran ini me- ngangkatan manusia muda ke taraf insani, nyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori itulah yang menjelma dalam semua per- bergantung pada berfaedah tidaknya teori itu buatan mendidik, yang bentuk dan wujudnya bagi manusia dalam penghidupannya. Dengan beragam. demikian, ukuran untuk segala perbuatan Sementara itu, menurut Umar Tirta- adalah manfaatnya dalam praktek dan hasil rahardj a dan La Sula (2000:33) dari segi fungsi yang memajukan hidup. Benar tidaknya atau maknanya, pendidikan diartikan sebagai: sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai pertama, proses transformasi budaya. Seba- menurut manfaatnya dalam kehidupan atau gai proses transformasi budaya, pendidikan menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam dimaknai sebagai kegiatan pewarisan budaya kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan kita dari satu generasi ke generasi yang lain. berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang Kedua, pendidikan sebagai proses pem- dapat membawa hidup kita lebih maju dan bentukan pribadi. Sebagai proses pembentuk- lebih berguna. an pribadi, pendidikan diartikan sebagai 52 Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi) John Dewey tidak hanya menerima Pereduksian pengalaman pertama prinsip-prinsip pragmatis, tetapi juga me- dilakukan oleh kaum empiris Inggris yang ngatakan beberapa ide dan konsep pribadinya bersifat atomistik dan memahami pengalam- yang kemudian termasuk salah satu doktrin an hanyalah sebagai data inderawi yang dapat pragmatisme. Salah satu sumbangannya yang diserap oleh manusia (khususnya melalui penting adalah terhadap teori pendidikan, indra penglihatan dan pendengarannya) dan sama seperti sumbangannya terhadap tradisi lingkungan sekitarnya. Kaum empiris, mere- filsafat dan ketangkasannya mempertahan- duksi pengalaman pada kutub obyek yang kan orientasi pragmatis menuju ketrampilan dialami. Sebagai akibatnya, menurut Dewey, dan penerapannya bagi kehidupan manusia empirisme mereka menjadi tidak cukup (Albertine Minderop, 2005: 99). radikal, karena menghilangkan segi-segi Teori John Dewey tentang pendidikan tidak dapat lepas dad minatnya terhadap pengalaman empiris pada kutub subyek yang mengalami. bidang filsafat. Baginya, filsafat adalah pe- Pereduksian kedua dilakukan oleh mecah problem kehidupan, sedangkan pen- kaum rasionalis yang cenderung melecehkan didikan berisi melatih manusia untuk me- pengalaman sebagai hal yang tidak pasti nyelesaikan problem kehidupan. Oleh karena kebenarannya dan mudah mengecoh. Di mata itu filsafat dan pendidikan menurutnya tidak Dewey, kaum rasionalis melakukan apa yang dapat dipisahkan (Muh Sad Iman, 2004: 62). iasebut "thefallacy of intellectualism". Yang Filsafat merupakan dasar dari teori pen- ia maksudkan, kaum rasionalis terlalu men- didikan. dewakan pengetahuan intelektual, sehingga Salah satu kata kunci dalam filsafat memandang tindakan mengalami melulu John Dewey secara keseluruhan dan bukan sebagai sebuah cara mengetahui (a made of hanya dalam filsafat pendidikannya adalah knowing). Pengalaman tidak lain hanyalah "pengalaman" {experience). Pengalaman suatu bentuk primitif pengetahuan. Bagi adalah keseluruhan kegiatan dan hasil yang Dewey, pengalaman jauh lebih kaya dan kompleks serta bersegi banyak dari interaksi kompleks dibandingkan dengan pengetahuan. aktif manusia, sebagai makhiuk hidup yang Ia melawan dominasi epistemologi dalam sadar dan bertumbuh, dengan lingkungan di filsafat modem. Realitas pertama-tama ada- sekitarnya yang terus berubah dalam lah realitas untuk dialami dan bukan untuk perjalanan sejarah (Sudarminta, 2004). diketahui. Kegiatan mengetahui tidak dapat Melawan berbagai bentuk dualisme, bagi dilepaskan dari konteks kehidupan tempat Dewey, pengalaman selalu memuat kutub kegiatan tersebut dilakukan. subyek (dengan segala keinginan, kepenting- Menurut Dewey, pengalaman adalah an, perasaan, sejarah, budaya, dan latar basis pendidikan, atau dalam terminologi belakang pengetahuannya) maupun obyek Dewey sendiri "pengalaman" sebagai "sarana (dengan segala kompleksitasnya), mental dan tujuan pendidikan". (John Dewey, 2004). maupun fisik, rasional maupun empirik. Oleh karena itu, bagi John Dewey, pen- Pengertian ini dikemukakan oleh Dewey didikan pada hakekatnya merupakan suatu sebagai reaksi terhadap dua bentuk pereduk- proses penggalian dan pengolahan pengalam- sian atau pemiskinan pengertian pengalaman an secara terus-menerus. Inti pendidikan yang pada waktu itu umum dilakukan. tidak terletak dalam usaha menyesuaikan dengan standar kebaikan, kebenaran dan 53 Satya Widya, Vol. 30, No.l, Juni 2014: 49-61 keindahan yang abadi, melainkan dalam sebagai beban berat yang hams ditanggung usaha untuk terus-menerus menyusun kem- dan tidak ada kesenangan sedikitpun dalam bali (reconstruction) dan menata ulang belajar karena ia sendiri mengalami dan men- (reorganization) pengalaman hidup subjek dapatkan sesuatu yang bemilai, jelas tidak didik. Seperti dirumuskan oleh John Dewey bersifat mendidik, karena pengalaman ter- sendiri dalam bukunya, bahwa perumusan sebut akan membuat kegiatan pembelajaran teknis tentang pendidikan, yakni "menyusun selanjutnya tidak dijalankan dengan sepenuh kembali dan menata ulang pengalaman yang hati. Demikian juga, pengalaman yang menambahkan art! pada pengalaman tersebut, mematikan rasa ingin tahu subyek didik, dan yang menambah kemampuan untuk melemahkan inisiatifnya, dan banyak mere- mengarahkan jalan bag! pengalaman berikut- dam keinginan dan cita-citanya. nya". Dengan kata lain, pendidikan hamslah Tolok ukur kedua yang diberikan oleh memampukan subjek didik untuk menaf- Dewey untuk menilai apakah pengalaman sirkan dan memaknai rangkaian pengalaman- bersifat mendidik atau tidak adalah apakah nya sedemikian rupa, sehingga ia terus ber- pengalaman itu menjamin terjadinya inter- tumbuh dan diperkaya oleh pengalaman aksi antara realitas subyektif/intemal dalam tersebut. diri subjek didik dan realitas obyektif/eks- Demikianlah, bagi Dewey, pertumbuh- temal yang menjadi kondisi nyata bagi subyek an subyek didik melalui penyusunan kembali didik untuk hidup di tengah masyarakat dan dan penataan ulang pengalaman menjadi zamannya. Pendidikan yang baik dan ber- hakikat sekaligus tujuan pendidikan. Namun, basiskan pengalaman memang perlu mem- kendati pendidikan yang sejati dalam ke- perhatikan minat, bakat, keinginan, rasa ingin yakinan Dewey selalu diperoleh melalui tahu, inisiatif dan kebebasan individu subyek pengalaman, namun ia juga menyadari bah- didiknya sebagai realitas subyek/internal, wa tidak semua pengalaman bersifat men- tetapi tidak berarti lalu dapat mengabaikan didik. Ada pula pengalaman yang bersifat tak tuntutan berdasarkan kondisi obyektif/eks- mendidik, yakni pengalaman yang berakibat temal yang menurut penilaian para pendidik menghentikan dan merusak pertumbuhan ke sebagai orang dewasa layak diberikan. arah peningkatan kualitas pengalaman se- Berdasarkan pengalaman masa lalu yang terns lanjutnya yang lebih kaya. Baginya, masalah diuji kembali dalam pengalaman sekarang, pokok pendidikan yang berbasiskan pe- pengaturan sekolah, penentuan metode, ngalaman adalah memilih jenis pendidikan pemilihan bahan, dan disiplin kerja yang berdasarkan pengalaman yang dapat tetap mendukung pembelajaran subyek didik tetap hidup subur dan kreatif dalam pengalaman dapat dan perlu dilakukan. Yang penting selanjutnya. Bagi Dewey, kesinambungan adalah jangan sampai hal-hal itu dilakukan pengalaman yang menumbuhkan, tidak hanya tanpa memperhatikan kondisi subyek/inter- secara flsik, tetapi juga secara intelektual dan nal subyek didik pada waktu dan tempat moral, merupakan salah satu tolok ukur untuk pembelajaran dilaksanakan. Menurut Dewey, menilai apakah suatu pengalaman bersifat pola pendidikan tradisional cenderung melu- mendidik atau tidak. pakan kondisi subyektif/intemal subyek didik, Misalnya, pengalaman di tingkat pen- sedangkan progresivisme cenderung melupa- didikan dasar yang membuat subyek didik kan kondisi obyektif/ekstemal subjek didik. mengalami proses pembelajaran melulu Akibatnya, pada keduanya pendidikan tidak 54 Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi) dilakukan dengan sungguh-sungguh berbasis sesuatu yang sentral. Mata pelajaran, mereka pengalaman subyek didik dalam konteks claim, seharusnya dipilih dengan mengacu sosial-budaya atau kondisi obyektif masyarakat- pada kebutuhan siswa. Selain itu, kurikulum, nya. menurut Dewey dan pengikut pragmatisme Dengan pemahaman seperti itu, menu- lainnya, seharusnya tidak dibagi ke dalam rut Dewey (Glassman, 2001) peran pendidik- bidang matapelajaran yang bersifat mem- an yang sangat penting adalah mengajar pe- batasi dan tak wajar. Kurikulum mestinya serta didik tentang bagaimana menjalin lebih dibangun di seputar unit-unit yang wajar hubungan antara sejumlah pengalaman yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang sehingga terjadi penyimpulan dan pengujian mendesak dan pengalaman-pengalaman pengetahuan baru. Pengalaman baru akan siswa. Unit-unit studi yang spesifik mungkin menjadi pengetahuan baru apabila seseorang bervariasi dari kelas 4 dan berikutnya, tapi selalu bertanya dalam hatinya. Jawaban ideanya adalah bahwa mata pelajaran sekolah terhadap pertanyaan tersebut merupakan yang tradisionil (seni, sejarah, matematika, pengetahuan baru yang tersimpan pada membaca, dan lain-lain) dapat disusun ke struktur kognitif seseorang. Pendapat Dewey dalam teknik problem solving yang berguna menunjukkan bahwa pengetahuan baru akan untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa terjadi bila ada pengalaman baru. Oleh untuk belajar materi-materi tradisionil karena itu, semakin banyak pengalaman sebagaimana mereka bekerja pada problem- belajar yang dialami seseorang akan sema- problem atau isu-isu yang telah menarik kin banyak pengetahuan yang dimilikinya. mereka di dalam pengalaman sehari-hari. Pengalaman baru peserta didik Mengenai metode pendidikan, bagi diperoleh dari sekolah, baik yang dirancang Dewey metode pendidikan adalah upaya maupun tidak. Penentuan pengalaman yang menanamkan suatu disiplin, tetapi bukan diperoleh di sekolah harus melihat ke depan, otoritas. Yang terpenting adalah mengontrol yaitu tuntutan masyarakat di masa depan, anak melalui kekuatan eksternal. Dewey karena perubahan yang dilakukan saat ini berpendapat bahwa tidak ada sesuatu akan diperoleh hasilnya di masa depan. Aku- tindakan yang baik dan benar secara obyektif. mulasi pengetahuan baru bagi peserta didik Susunannya melibatkan kemauan manusia. menentukan kemampuan peserta didik. Semua nilai adalah subyektif. Disiplin dalam Kemampuan ini sering disebut dengan kom- pendidikan tidak boleh berisi otoritas. petensi, yaitu kemampuan yang dapat dilaku- Keinginan yang menyebabkan disiplin dalam kan oleh peserta didik. Kompetensi ini sangat pendidikan belumlah cukup. Perlu adanya penting dalam era globalisasi, karena persaing- usaha belajar bersama orang lain dalam an yang terjadi terletak pada kompetensi proses kerjasama. Disiplin dalam pendidik- lulusan lembaga pendidikan atau pelatihan. an memancar dari keinginan anak didik, Kompetensi lulusan ini ditentukan oleh suatu tempat berlangsungnya aktivitas anak pengalaman belajar peserta didik, sedang didik dalam usaha bersama mencapai tujuan pengalaman belaj ar ini merupakan bagian dari pendidikan. Metode pengajaran dengan kurikulum sekolah. disiplin berarti seseorang mengarahkan pela- Mengenai kurikulum, John Dewey jaran dengan disiplin. Cara yang dapat ditem- berkeyakinan mengenai perlunya menempat- puh adalah; (1) semua paksaan hams dibuang; kan siswa, kebutuhan dan minatnya sebagai gum hams membangkitkan "impulse" anak 55 Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014: 49-61 didik, sehingga timbul kekuatan internal kebijakan sosial sekolah, tujuan sekolah untuk belajar mencapai "mastery' (ketuntasan). adalah bukan agar peserta didik mengingat (2) Agar dapat muncul minat, guru harus serangkaian pengetahuan, tetapi lebih agar intim dengan kecakapan dan minat setiap mereka belajar bagaimana belajar agar murid. Tidak ada minat universal, maka supaya mereka dapat menyesuaikan dengan minat dan kemauan terhadap pelajaranpun dunia yang berubah secara terus menerus berbeda-beda, (3) Guru harus menciptakan pada masa sekarang dan yang akan datang. situasi di kelas sehingga setiap orang turut berpartisipasi dalam proses belajar. Oleh karena itu, bagi Dewey subyek didik bukanlah pribadi yang pasif. la adalah Selain itu, metode pendidikan seharus- manusia, makhluk hidup yang bertumbuh nya berpusat pada memberi siswa banyak kembang dengan dan dalam interaksi secara kebebasan memilih dalam mencari-cari aktif dengan lingkungan hidup di sekitamya. situasi-situasi belajar berpengalaman yang Realitas bagi Dewey juga bukan suatu yang akan menjadi paling bermakna baginya. Kelas mati dan tak berubah, melainkan suatu yang (yang dipandang tidak hanya sebagai setting dinamis dan terus berubah. Untuk itu, pen- sekolah, tetapi tempat dimana pengalaman didikan mesti berpusat pada kondisi konkrit diperoleh) dilihat di dalam hubungannya subyek didik dengan minat, bakat, dan ke- dengan sebuah laboratorium keilmuan dimana mampuannya serta peka terhadap perubahan gagasan diletakkan untuk diuji dan dikritisi. yang tems terjadi dalam masyarakat. Pendidik Studi lapangan, dalam catatan kaum prag- haruslah senantiasa siap sedia untuk mengubah matis, jelas memberi keuntungan-keuntung- metode dan kebijakan perencanaan pembe- an lebih, karena memberi kesempatan ber- lajarannya, seiring dengan perkembangan interaksi langsung dengan lingkungan. zaman yang erat terkait dengan kemajuan Adalah benar bahwa studi lapangan sains dan teknologi serta perubahan ling- dan pengalaman aktual lainnya banyak kungan hidup tempat pembelajaran dilak- menyita waktu. Namun, dengan metode itu sanakan mereka tampak lebih termotivasi. Sebagai Dari sudut pandang epistemologi kaum contoh, seseorang belajar lebih tentang pragmatis, siswa adalah seseorang yang perusahaan susu dan sapi dengan langsung mempunyai pengalaman (George R. Knight, ke gudang dan pemerahan, membau dan men- 1982:66). la seorang individu berpengalaman dengar suara seekor sapi daripada dengan yang mampu menggunakan kecerdasannya seminggu membaca dan memandang proses untuk memecahkan situasi-situasi problematik. pada layar film. Dengan demikian, metodologi Siswa belajar dari lingkungannya dan menja- pragmatisme adalah langsung dengan penga- lani berbagai konsekuensi dari tindakan- laman mereka. Dengan kata lain, anak-anak, tindakannya. Bagi kaum pragmatis, penga- menurut Dewey, seharusnya secara bertahap laman sekolah adalah bagian dari hidup lebih bembah dari belajar berdasarkan pengalaman daripada persiapan untuk hidup. Demikian- langsung ke metode belajar yang seolah me- lah, cara seseorang belajar di sekolah secara ngalami sendiri/dialami orang lain. Metode ini kualitatif tidak berbeda dari cara dia belajar seharusnya lebih bermakna karena mereka dalam berbagai aspek lain kehidupannya. membangun berdasarkan basis pengetahuan Sebagai siswa, setiap hari ia menghadapi ber- yang ditemukan pada pengalaman-pengalaman bagai masalah yang menyebabkannya me- signifikan dalam hidup sehari-hari. Dari segi ngalami pengalaman reflektif yang lengkap. 56 Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi) Penggunaan yang dihasilkan oleh kecer- proses pengambilan keputusan dari masya- dasannya menyebabkan tumbuh dan pertum- rakat yang lebih besar. Keputusan masya- buhan ini memampukan dia untuk berinter- rakat dan sekolah dalam kerangka ini dinilai aksi dengan dan beradaptasi terhadap dunia didalam sudut pandang konsekuensi sosial yang berubah. Ide yang berkembang menjadi mereka daripada di dalam kerangka tradisi alat untuk hidup yang sukses. yang keramat. Pembahan sosial, ekonomi dan Sementara itu guru menurut John Dewey bukanlah guru dalam pengertian politik dipandang baik jika hal itu memperbaiki kondisi masyarakat. tradisionil. Yakni, ia bukan seseorang yang Terkait dengan pandangan politik de- tahu apa yang dibutuhkan siswa di masa mokrasi tersebut, di antara karyanya, Demo- depan dan oleh karenanya mempunyai fungsi cracy and Education adalah buku yang memberi/menanamkan seperangkat penge- memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan tahuan esensial kepada siswa. Untuk satu hal, wawasan-wawasannya tentang pendidikan kaum pragmatis mengaku, tak seorangpun serta mempraktekkannya di sekolah-sekolah tahu apa yang siswa butuhkan sejak ia hidup yang ia dirikan. Karya ini berisi dasar-dasar di dunia yang berubah secara terus-menerus. pemikiran mengenai pendidikan, kehidupan Fakta ini sejalan dengan idea bahwa tak ada sosial dan politik. Di dalam bukunya ini, John satu kebenaran secara apriori atau mutlak Dewey mengatakan bahwa demokrasi mem- yang mana semua siswa hams mengetahui pakan sesuatu yang lebih daripada suatu pe- memodifikasi peran gum. ngertian politik; demokrasi mempakan suatu Gum dalam sebuah sekolah yang prag- kehidupan bersama yang saling berkaitan dan matik dapat dipandang sebagai anggota saling mengkomunikasikan pengalaman. pelajar dalam pengalaman pendidikan karena John Dewey mengatakan, bahwa suatu masya- masuk kelas setiap hari menghadapi dunia rakat hanya akan ada karena suatu komuni- yang bembah. Namun, gum adalah anggota kasi, karena saling membagi pengetahuan, perjalanan yang lebih berpengalaman dan dan itulah kriteria etis suatu masyarakat yang oleh karena itu dapat dipandang sebagai pem- baik. Jadi, demokrasi dan pendidikan dilihat bimbing atau direktur proyek. Dia adalah sebagai semacam dua muka dari suatu mata orang yang menasehati dan membimbing uang, demokrasi tidak dapat hidup tanpa aktivitas-aktivitas siswa dan dia menampil- pendidikan, dan sebaliknya pendidikan yang kan peran ini di dalam konteks dan dengan baik tidak akan hidup dalam suatu masya- keuntungan pengalaman yang lebih luas. rakat yang tidak demokratis. Di dalam pemi- Tetapi, yang penting untuk dicatat, dia tidak kirannya mengenai kaitan antara demokrasi mendasarkan kegiatan-kegiatan kelas pada dan pendidikan, Dewey beranggapan bahwa kebutuhan perasaannya sendiri. manusia perorangan hanya dapat terbentuk John Dewey juga dikenal dengan pan- apabila dalam rangka kegunaan sosialnya. dangannya tentang demokrasi dalam dunia Namun demikian, pemikiran John Dewey ini pendidikan. Dia melihat sekolah, secara tidak memassalkan individu, malahan me- ideal, sebagai sebuah kehidupan demokratis nganggap bahwa setiap individu adalah unik, dan belajar lingkungan yang mana setiap artinya yang tidak pernah lebur di dalam orang berpartisipasi di dalam proses pem- massa. buatan keputusan di dalam mengantisipasi Dari sisi aliran pendidikan, pemikiran datangnya partisipasi yang lebih luas di dalam Dewey tentang pendidikan cukup dekat 57 Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014: 49-61 dengan teori atau aliran pendidikan yang tungan dan kerugian yang nyata, kekurangan disebut progressivisme Namun demikian, dan kelebihan yang nyata, dan tentunya risiko dalam buku Experience and Education, ia yang nyata pula, yang oleh karena itu dengan juga cukup kritis terhadap aliran progre- mempergunakan kecerdasannya orang dapat ssivisme. Katanya, progressivisme tidak memperbaiki dirinya. Keyakinan terhadap memadai kalau dilihat dari pandangannya kesanggupan manusia untuk mencapai yang menjadikan pengalaman sebagai basis kesempumaan diri pribadinya, adalah sesuatu pendidikan. hal terbaik yang dapat diberikan oleh pen- Pola pendidikan lama atau tradisionil didikan sekuler. Dalam kasus John Dewey, yang memahami materi pelajaran sebagai dia telah menempuh hidup dalam dua pepe- suatu yang sudah baku dan pendidikan rangan dunia dan dapat mengatasi depresi sebagai pengalihan seperangkat pengetahuan ekonomi dunia dan perasaan hatinya me- dan ketrampilan yang wajib dikuasai oleh ngajaknya buat berbakti kepada tujuan subyek didik dari generasi ke generasi, serta keagamaan. pendidikan moral sebagai pembentukan Pertumbuhan, perkembangan, evolusi, kebiasaan bertindak sesuai dengan standar kemajuan, perbaikan, semuanya terdapat dan aturan moral yang berlaku sepanjang dalam pikiran John Dewey dan selalu men- zaman memang ditolak oleh Dewey. Demi- jadi bahan tulisannya. Dan dalam pengertian kian juga pandangan pendidikan tradisionil ini dia adalah progressive. Sebagai tokoh pro- tentang sekolah sebagai lembaga yang sama gressivisme, John Dewey termasuk golongan sekali terpisah dari kehidupan masyarakat aliran sosial yang timbul sebagai reaksi dan pendidikan sebagai kegiatan memper- terhadap pengabaian unsur-unsur sosial siapkan subyek didik untuk dapat memainkan dalam pendidikan oleh aliran individualis- perannya dalam masyarakat di kemudian me. Sebagai tokoh aliran sosial, dia ber- hari. Bagi Dewey, sebagaimana aliran pro- pendapat bahwa sekolah bukan semata-mata gressivisme, pendidikan orang muda bukan untuk kepentingan masyarakat tetapi juga hanya persiapan untuk hidup nanti di tengah memikirkan unsur-unsur psikologis. Maka masyarakat, tetapi sudah merupakan kehi- tipe sekolah kerja Dewey adalah sekolah dupan sendiri (George R. Knight, 1982;66). kerja sosiologis-psikologis. Memahami pendidikan melulu secara instrumentalistik dalam pandangan Dewey bertentangan dengan hakekat pendidikan itu sendiri. Dewey juga menyetujui kritik kaum progressivis terhadap pendidikan tradisionil yang sangat kaku, menuntut disiplin ketat, dan menuntut subyek didik jadi pasif. Menurut Muis Sad Iman (2004: 62), John Dewey dapat disebut, bahkan harus disebut sebagai seorang progressive. Dia sangat percaya kepada progress atau kemajuan, baik yang nyata maupun yang merupakan kemungkinan saja. Dia juga percaya bahwa dunia ini berisi penuh dengan segala yang nyata, keun58 Masih menurut Muis Sad Iman, dalam hidupnya Dewey telah memberi jasa yang begitu besar dalam lapangan pendidikan di sekolah. Di antara jasa-jasa Dewey yang layak untuk dikemukakan adalah, pertama, ia memberantas dengan keras kesalahan sekolah tradisionil dan memasukkan "keija" dalam ruangan sekolah; kedua, dalam sekolah lama jarak antara pengajaran dan penghidupan anak sangat jauh. Dialah yang mendekatkan kehidupan anak di sekolah dengan kehidupan dalam masyarakat. Ia mengubah sekolah kuno yang pasif mati itu menjadi sekolah baru, yang aktif hidup, hingga anak Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi) dapat menambah pengetahuan dan kecakapan- Pendidikan yang berkaitan dengan nya serta menemukan skill dan bakatnya struktur kekuasaan cenderung untuk meme- dengan baik. nuhi kebutuhan kelompok mayoritas atau Ketiga, di sekolah kuno pelajaran tiap kebudayaan mainstream. Pendidikan yang tahun selalu berlangsung sama, tetapi penga- demikian bersifat tidak demokratis dan banyak jaran proyek mengubah keadaan yang statis anak yang miskin termarginalkan. Lembaga itu menjadi dinamis; tiap tahun pengajaran pendidikan yang secara tidak sadar hanya berganti sesuai dengan masalah yang diambil mengabdi kepada budaya mainstream telah dari masyarakat yang selalu hidup dan memperkosa hak-hak asasi anak untuk mem- berubah, dan sesuai dengan perkembangan peroleh pendidikan. Tokoh pedagogik kritis, perhatian anak. Keempat, anak dilatih belajar misalnya Henry Girouk, McLaren, dan Tilaar. sungguh-sungguh dan bekerja sama, tidak Sedangkan pedagogik libertian, ber- seperti di sekolah kuno. Di sekolah tradisio- tolak dari pandangan pendidikan adalah nil anak hanya menghafal dan berbuat untuk proses penyadaran akan kebebasan individu kepentingan did saja. dalam berefleksi dan bertindak. Di dalam PENUTUP: Catatan-Catatan Kritis kenyataannya, lembaga pendidikan (sekolah) telah menjadi penjara bagi kebebasan indivi- Demikianlah analisis mengenai hake- du. Dengan kata lain, lembaga pendidikan kat pendidikan dalam perspektif John Dewey. telah menjadi alat penguasa untuk melestari- Dari segi pemikirannya, beberapa prinsip kan kekuasaannya. Pedagogik libertian yang pendidikan John Dewey masih relevan menghormati akan kemerdekaan individu diterapkan di Indonesia, meskipun kini telah serta melihat perkembangan peserta didik di berkembang secara amat pesat pemikiran- dalam budayanya secara kritis dan terarah, pemikiran pendidikan kontemporer lainnya, maka pedagogik libertian mengadopsi secara seperti pedagogik kritis dan pedagogik liber- kritis pandangan-pandangan postmodemisme tian (Tilaar, 2005:284). dan studi kultural. Tokoh orientasi pedagogik Pedagogik kritis pada hakekatnya me- libertian adalah Paulo Freire, Alexander lihat proses pendidikan bukan sebagai suatu S.Neill, Ivan Dlich, Wilhelm Reich dan lain- proses yang netral, tetapi berkaitan dengan lain. struktur kekuasaan. Pendidikan merupakan Kiranya, pembaca bisa menganalisis alat dari pemerintah atau kelompok yang lebih lanjut, bagaimana posisi pandangan berkuasa dalam melestarikan kekuasaannya. pendidikan John Dewey dalam konteks per- Oleh sebab itu, pedagogik kritis mencermati kembangan mutakhir teori pendidikan yang secara mendalam berbagai proses pendidikan yang temyata merupakan pemasungan dari telah diuraikan, baik pedagogik kritis dan pedagogik libertian. kemerdekaan peserta didik. Identitas peserta didik merupakan inti dari perkembangan seseorang. Selanjutnya, pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan dengan catatan kebudayaan itu sendiri dapat merupakan arena kekuasaan yang merantai kemerdekaan individu. SIMPULAN Dari uraian di atas dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Mengenai hakekat pendidikan mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang 59 Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014; 49-61 cukup memadai untuk menjelaskan hakekat pendidikan secara lengkap. 2. Batasan tentang hakekat pendidikan yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya kadang berbeda satu dari Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Adi Cita. Buchori, Mochtar. 1994. Ilmu Pendidikan dan Praktek Pendidikan Dalam Renungan. Kerjasama PT. Tiara Wacana, Yogya- karena perbedaan orientasinya, konsep karta, dengan IKIP Muhammadiyah Jakarta Press. dasar yang digunakan, aspek yang menjadi Depdikbud. 1985. Pendidikan di Indonesia tekanan, atau karena falsafah yang Dari Jaman ke Jaman. Jakarta: PN Balai Pustaka. yang lainnya. Perbedaan tersebut terjadi melandasinya. 3. Menurut John Dewey, pengalaman adalah basis pendidikan. Pengalaman sebagai Dimyati, Muhammad. 1998. Landasan Kependidikan. Jakarta: Depdikbud. sarana dan tujuan pendidikan. Pendidikan pada hakekatnya merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menems. Inti pendidikan adalah usaha untuk tems-menems menyusun kembali (reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman hidup subjek didik. 4. Bagi Dewey, pendidikan haruslah memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai rangkaian penga- Douglas J. Simpson. 2005. John Dewey and the Art of Teaching. London: Sage Publications. Driyarkara. 2007. Karya LengkapDriyarkara. Jakarta: PT. Gramedia. Dwi Siswoyo. 2007. Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press. Ekosusilo, Madyo dan Kasihadi, R.B. 1990. Dasar-dasar Pendidikan. Semarang: Effhar Publishing. lamannya sedemikian rupa, sehingga ia terus bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman tersebut. Hakekat pendidikan semacam itu, berimplikasi pada segenap komponen pendidikan lainnya, misalnya dalam pandangannya tentang kurikulum, metode pendidikan, peserta didik, peran guru, dan lain lain. Intinya adalah, bahwa segenap komponen pendidikan lainnya hams mendukung bagi terwujudnya idealisasi pendidikan yang menempatkan pengalaman sebagai basis orientasinya. DAFTAR PUSTAKA Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu Pendidikan. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Barnadib, Imam. 1994. Hand Out Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Progdi Ilmu Filsafat PPS UGM. 60 George R. Knight. 1982. Issues and Alternatives in educational Philosophy. Michigan: Andrews University Press. Glassman, M. May. 2001. Dewey and Vygotsky. Society, experience, and inquiry in educational practice. Educational Researcher, Vol.30, No. 4, pp.3-14. Hadi Susanto, Dirto, dkk. 1995. Pengantar Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: FIPIKIP. John Dewey. 2004. Experience and Education. Bandung:Teraju (teijemahan). John Dewey. 1956. Philosophy of Education. Iowa: Littlefield, Adams & Co. John Dewey. 1958. Experience and Nature. New York: Dover Publications, INC. Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif. Yogyakarta; Safuia Insania Press. Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi) Paulo Freire. 1997. Menggugat Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka pelajar. .1995. 50 Tahun Pembangunan Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta. Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT Pendidikan Nasional 1945-1995, Gramedia Widiasarana Indonesia. Salam, Burharuddin. 1995. Pengantar Peda- . 2005. Manifesto Pendidikan iVasibnaJ. gogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik). Tinjauan dari Perspektif Poslmodemis- Jakarta: Rineka Cipta. me dan Studi Kultural. Jakarta; Kompas Sudirman, dkk. 1989. Ilmu Pendidikan. CV Remadja Karya. Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indo- Tim Dosen FTP-IKIP Malang. 1980. Pengantar Dasar-dasar Kependidikan. IKIP Semarang Press. Zamroni. 2007. Pendidikan dan Demokrasi nesia. Bandung: PT Remaja Rosda- dalam Transisi. karya. Muhammadiyah. Jakarta: PSAP 61