HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM PERSPEKTIF JOHN DEWEY

advertisement
HAKEKAT PENDIDIKAN
DALAM PERSPEKTIF JOHN DEWEY
Tinjauan Teoritis
Wasitohadi
Program Studi SI PGSD
FKIP - Universitas Kristen Satya Wacana
ABSTRAK
Mengenai hakekat pendidikan, mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks.
Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah batasanpun yang cukup memadai
untuk menjelaskan hakekat pendidikan secara lengkap. Batasan tentang hakekat pendidikan
yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya kadang berbeda satu dari yang
lainnya. Perbedaan tersebut mungkin terjadi karena perbedaan orientasinya, konsep dasar
yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
Bagi John Dewey, pengalaman adalah basis pendidikan, atau dalam terminologi Dewey
sendiri "pengalaman" sebagai "sarana dan tujuan pendidikan". Pendidikan pada hakekatnya
merupakan suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus.
Inti pendidikan adalah usaha untuk terus-menerus menyusun kembali (reconstruction) dan
menata ulang (reorganization) pengalaman hidup subjek didik. Pendidikan haruslah
memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai rangkaian pengalamannya
sedemikian rupa, sehingga ia terus bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman tersebut.
Kata kunci: Hakikat Pendidikan, John Dewey.
PENDAHULUAN
Istilah hakekat bisa diartikan sebagai
karakteristik atau ciri khas dari sesuatu, yang
bisa membedakannya dari yang lain. Hakekat
adalah hal terpenting dari sesuatu yang terdiri
atas pengertian yang sifatnya abstrak. Abstrak
berarti tidak konkrit atau tidak dapat dihayati
atau diamati dengan panca indra (Imam
Barnadib, 2002:4). Hakekat pendidikan,
misalnya, dengan demikian bisa dimaknai
sebagai karakteristik atau ciri khas dari
pendidikan, yang sifatnya abstrak, yang bisa
membedakannya dengan yang bukan pendidikan. Yang bukan pendidikan ini bisa
bermacam-macam wujudnya. George R.
Knight, misalnya, ketika membahas "apa
hakekat pendidikan itu", dengan sadar ia
belajar dan pelatihan, meskipun istilahistilah tersebut saling berkaitan (George R.
Knight, 1982:7-10).
Sementara itu, ada pula yang memahami hakekat pendidikan itu, dengan bertolak
dari adanya perbedaan hakekat manusia
dengan makhluk lain, misalnya binatang.
Bertolak dari sini, kemudian muncul banyak
pemahaman, misalnya bahwa pendidikan itu
adalah untuk manusia, bukan untuk binatang.
Manusia, kata pendapat ini, adalah animal
educandum (binatang yang dapat dididik),
ada pula yang mengatakan manusia adalah
zoon politicon (hewan yang bermasyarakat),
Max Scheller bilang manusia adalah Das
Kranke Tier (hewan yang sakit) yang selalu
gelisah dan bermasalah (Umar Tirtarahardja,
2000:3)
membedakannya dengan istilah sekolah,
49
Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014; 49-61
Dalam tulisan ini, penulis akan mem-
pendapat Langeveld, Langeveld mengartikan
bahas mengenai "hakekat pendidikan dalam
pendidikan sebagai suatu bimbingan yang
perspektif John Dewey". Pembahasan dimulai
diberikan oleh orang dewasa kepada anak
dengan memahami hakekat pendidikan
yang belum dewasa untuk mencapai tujuan,
secara umum, barn kemudian hakekat pen-
yaitu kedewasaan. Sementara itu, Crow and
didikan dalam perspektif John Dewey,
Crow mendefinisikan pendidikan sebagai
terutama menyangkut komponen-komponen
proses yang berisi berbagai macam kegiatan
yang esensial. Sesudah itu, akan dilanjutkan
yang cocok bagi individu untuk kehidupan
dengan catatan-catatan kritis dan kesimpulan
sosialnya dan membantu meneruskan adat
sebagai penutup tulisan ini.
dan budaya serta kelembagaan sosial dari
HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM
generasi ke generasi (Slameto, 2006:17)
Sementara itu, H.A.RTilaar( 1999:17)
BERAGAM PERSPEKTIF
memahami hakekat pendidikan dari dua jenis
Pendidikan, seperti sifat sasarannya
yaitu manusia, mengandung banyak aspek
dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu, maka tidak sebuah
batasanpun yang cukup memadai untuk
menjelaskan hakekat pendidikan secara lengkap. Batasan tentang hakekat pendidikan
yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan
kandungannya kadang berbeda satu dari yang
lainnya. Perbedaan tersebut mungkin terjadi
karena perbedaan orientasinya, konsep dasar
yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan,
atau karena falsafah yang melandasinya.
Imam Barnadib (2002:4), memandang
pendidikan sebagai fenomena utama dalam
kehidupan manusia di mana orang yang telah
dewasa membantu pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk menjadi
dewasa. Pendidikan dalam arti luas semacam
itu, telah ada sejak manusia ada. Sejak awal
mula kehidupannya, manusia sudah melakukan tindakan mendidik atas dasar pengalaman, bukan berdasarkan teori bagaimana sebaiknya mendidik. Dalam hal ini, pendidikan
menunjuk pada pendidikan pada umumnya,
yaitu pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat umum.
Batasan pendidikan sebagaimana dikemukakan Imam Barnadib, mirip atau bisa
dikatakan inti substansinya sama dengan
50
pendekatan, yaitu pendekatan reduksionisme
dengan pendekatan holistik integratif. Kedua
jenis pendekatan tersebut mempunyai kesamaan di dalam memberikan jawaban terhadap persoalan hakikat pendidikan, ialah
bahwa pendidikan tidak dapat dikucilkan dari
proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun yang dapat eksis tanpa pendidikan.
Pendekatan reduksionisme melihat proses
pendidikan, peserta didik dan keseluruhan
perbuatan pendidikan, termasuk lembagalembaga pendidikan, telah menampilkan
pandangan-pandangan ontologis maupun
metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan. Pandangan-pandangan tersebut tidak
menampilkan hakikat pendidikan secara utuh
tapi sepihak berdasarkan sudut pandang yang
digunakan. Dengan demikian proses pendidikan tidak dilihat secara keseluruhan. Ada
berbagai jenis pendekatan reduksionisme,
yang berdasarkan sudut pandang yang digunakan, masing-masing memiliki pendapat yang
berbeda mengenai apa hakikat pendidikan
itu.
Pertama, pedagogisme. Dalam menjelaskan mengenai hakekat pendidikan, pendekatan ini bertolak dari keyakinan bahwa
anak akan dibesarkan menjadi dewasa. Ini
melahirkan teori yang menjelaskan faktorfaktor yang mempengaruhi perkembangan
Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi)
manusia, misalnya nativisme (anak telah
saja. Oleh sebab mengajar merupakan suatu
mempunyai kemampuan yang dilahirkan dan
tugas yang setua dengan manusia itu sendiri,
tinggal dikembangkan saja), dan empirisme
maka profesi pendidik mendapat kurang
(anak dilahirkan seperti kertas putih yang
penghargaan dibandingkan dengan profesi-
akan diisi oleh pendidikan). Pandangan ini
profesi lainnya.
sangat menghormati perkembangan anak,
Kelima, negativisme. Berkaitan dengan
tapi cenderung melupakan bahwa anak hidup
negativisme, ada tiga teori, pertama, tugas
dalam suatu masyarakat tertentu dan mem-
pendidikan adalah menjaga pertumbuhan
punyai cita-cita hidup bersama yang tertentu
anak. Untuk itu, perlu disingkirkan hal-hal yang
dapat merusak atau yang sifatnya negatif
pula.
Kedua, filosofisme. Pendekatan ini
terhadap pertumbuhan tersebut. Segala se-
bertolak dari adanya pertentangan mengenai
suatu seakan-akan telah tersedia di dalam did
hakekat manusia dan hakekat anak. Anak
anak yang akan bertumbuh dengan baik
manusia mempunyai hakekat sendiri dan
apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal yang
berbeda dengan hakekat orang dewasa. Anak
merugikan pertumbuhan tersebut. Tugas pen-
bukanlah orang dewasa dalam bentuknya yang
didik, tidak lebih dari seorang penjaga tanam-
kecil. Anak mempunyai nilai-nilainya sendiri
an yang menghindarkan tanaman tersebut
yang akan berkembang menuju kepada nilai-
dari gangguan hama. Kedua, melihat pendi-
nilai seperti orang dewasa. Tugas pendidikan
dikan sebagai usaha mengembangkan kepri-
adalah membantu anak menuju kedewasaan-
badian peserta didik. Ini pandangan negatif,
nya sehingga anak dapat mengambil kepu-
karena mengembangkan kepribadian anak
tusannya sendiri. Menurut pandangan ini,
implisit melindungi anak dari hal-hal yang
pendidikan akan berakhir ketika anak manusia
negatif. Hal-hal yang dapat mengganggu
menjadi dewasa.
perkembangan kepribadian yang bermoral
Ketiga, religionisme. Pendekatan ini
hams dihindari. Tugas pendidik adalah
bertolak dari hakikat manusia sebagai makh-
penjaga pertumbuhan kepribadian anak.
luk yang religius. Di sini hakekat pendidikan
Ketiga, proses pendidikan adalah melatih
adalah membawa peserta didik menjadi
peserta didik menjadi warga negara yang
manusia yang religius karena sebagai makh-
berguna. Ini berarti menghindarkan peserta
luk ciptaan Tuhan peserta didik itu harus
didik dari hal-hal yang dapat mengakibatkan
dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan
dia itu menjadi warga negara yang tidak
harkatnya. Pendekatan ini sangat menekan-
berguna.
kan bahwa pendidikan adalah untuk mem-
Keenam, sosiologisme. Meletakkan
persiapkan peserta didik bagi kehidupannya
hakekat pendidikan kepada keperluan hidup
di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan agama
bersama dalam masyarakat. Jadi, titik tolak-
menjadi sentral dalam proses pendidikan.
nya prioritas kepada kebutuhan masyarakat
Keempat, psikologisme. Psikologisme
dan bukan kepada kebutuhan individu.
cenderung mereduksi ilmu pendidikan men-
Sebagai anggota masyarakat, peserta didik
jadi ilmu proses belajar mengajar, sehingga
harus dipersiapkan menjadi anggota masya-
hakikat pendidikan adalah proses belajar me-
rakat yang baik.
ngajar. Hal tersebut telah mempersempit pan-
Sementara itu, pendekatan holistik
dangan para pendidik seakan-akan ilmu pen-
integratif memandang pendidikan secara
didikan itu terbatas kepada ilmu mengajar
menyeluruh, tidak parsial. Hakekat pendidik51
Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014: 49-61
an dalam pandangan ini adalah suatu proses
suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik
menumbuhkembangkan eksistensi peserta
terarah kepada terbentuknya kepribadian
didik yang memasyarakat, membudaya,
peserta didik. Ketiga, pendidikan sebagai
dalam tata kehidupan yang berdimensi lokal,
proses penyiapan warga negara. Pendidikan
nasional dan global. Dalam hal ini, pendidik-
sebagai penyiapan warga negara diartikan
an merupakan suatu proses berkesinam-
sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk
bungan, proses pendidikan berarti menumbuh
membekali peserta didik agar menjadi warga
kembangkan eksistensi manusia yang me-
negara yang baik. Keempat, pendidikan
masyarakat dan membudaya, dimana proses
sebagai penyiapan tenaga kerja. Artinya,
bermasyarakat dan membudaya tersebut
sebagai kegiatan yang membimbing peserta
mempunyai dimensi-dimensi waktu dan
didik sehingga memiliki bekal dasar untuk
ruang.
bekerja.
Sementara itu, menurut Ki Hadjar
Selanjutnya, menurut UU No. 20 tahun
Dewantoro (1977:20), pendidikan merupakan
2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
tuntunan di dalam hidup tumbuhnya anak-
pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
anak. Adapun maksud pendidikan, yaitu
untuk mewujudkan suasana belajar dan
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada
proses pembelajaran agar peserta didik secara
pada anak-anak itu, agar mereka sebagai
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk
manusia dan sebagai anggota masyarakat
memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
dapat mencapai keselamatan dan kebahagia-
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
an yang setinggi-tingginya. Sedangkan menu-
akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlu-
rut Driyarkara (2007: 413), intisari dari pen-
kan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
didikan ialah upaya memanusiakan manusia
muda. Driyarkara menyebutnya sebagai
HAKEKAT PENDIDIKAN DALAM
PERSPEKTIF JOHN DEWEY
proses hominisasi dan humanisasi. Hominisasi dan humanisasi adalah pengangkatan
Di antara tiga tokoh di dalam aliran
manusia muda sampai sedemikian tingginya
prag-matisme, yaitu Peirce, James, dan John
sehingga ia bisa menjalankan hidupnya seba-
Dewey, John Dewey sering disebut sebagai
gai manusia dan membudayakan diri. Pe-
tokoh pragmatisme modem. Aliran ini me-
ngangkatan manusia muda ke taraf insani,
nyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori
itulah yang menjelma dalam semua per-
bergantung pada berfaedah tidaknya teori itu
buatan mendidik, yang bentuk dan wujudnya
bagi manusia dalam penghidupannya. Dengan
beragam.
demikian, ukuran untuk segala perbuatan
Sementara itu, menurut Umar Tirta-
adalah manfaatnya dalam praktek dan hasil
rahardj a dan La Sula (2000:33) dari segi fungsi
yang memajukan hidup. Benar tidaknya
atau maknanya, pendidikan diartikan sebagai:
sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai
pertama, proses transformasi budaya. Seba-
menurut manfaatnya dalam kehidupan atau
gai proses transformasi budaya, pendidikan
menurut berfaedah tidaknya teori itu dalam
dimaknai sebagai kegiatan pewarisan budaya
kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan kita
dari satu generasi ke generasi yang lain.
berfikir adalah memperoleh hasil akhir yang
Kedua, pendidikan sebagai proses pem-
dapat membawa hidup kita lebih maju dan
bentukan pribadi. Sebagai proses pembentuk-
lebih berguna.
an pribadi, pendidikan diartikan sebagai
52
Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi)
John Dewey tidak hanya menerima
Pereduksian pengalaman pertama
prinsip-prinsip pragmatis, tetapi juga me-
dilakukan oleh kaum empiris Inggris yang
ngatakan beberapa ide dan konsep pribadinya
bersifat atomistik dan memahami pengalam-
yang kemudian termasuk salah satu doktrin
an hanyalah sebagai data inderawi yang dapat
pragmatisme. Salah satu sumbangannya yang
diserap oleh manusia (khususnya melalui
penting adalah terhadap teori pendidikan,
indra penglihatan dan pendengarannya) dan
sama seperti sumbangannya terhadap tradisi
lingkungan sekitarnya. Kaum empiris, mere-
filsafat dan ketangkasannya mempertahan-
duksi pengalaman pada kutub obyek yang
kan orientasi pragmatis menuju ketrampilan
dialami. Sebagai akibatnya, menurut Dewey,
dan penerapannya bagi kehidupan manusia
empirisme mereka menjadi tidak cukup
(Albertine Minderop, 2005: 99).
radikal, karena menghilangkan segi-segi
Teori John Dewey tentang pendidikan tidak dapat lepas dad minatnya terhadap
pengalaman empiris pada kutub subyek yang
mengalami.
bidang filsafat. Baginya, filsafat adalah pe-
Pereduksian kedua dilakukan oleh
mecah problem kehidupan, sedangkan pen-
kaum rasionalis yang cenderung melecehkan
didikan berisi melatih manusia untuk me-
pengalaman sebagai hal yang tidak pasti
nyelesaikan problem kehidupan. Oleh karena
kebenarannya dan mudah mengecoh. Di mata
itu filsafat dan pendidikan menurutnya tidak
Dewey, kaum rasionalis melakukan apa yang
dapat dipisahkan (Muh Sad Iman, 2004: 62).
iasebut "thefallacy of intellectualism". Yang
Filsafat merupakan dasar dari teori pen-
ia maksudkan, kaum rasionalis terlalu men-
didikan.
dewakan pengetahuan intelektual, sehingga
Salah satu kata kunci dalam filsafat
memandang tindakan mengalami melulu
John Dewey secara keseluruhan dan bukan
sebagai sebuah cara mengetahui (a made of
hanya dalam filsafat pendidikannya adalah
knowing). Pengalaman tidak lain hanyalah
"pengalaman" {experience). Pengalaman
suatu bentuk primitif pengetahuan. Bagi
adalah keseluruhan kegiatan dan hasil yang
Dewey, pengalaman jauh lebih kaya dan
kompleks serta bersegi banyak dari interaksi
kompleks dibandingkan dengan pengetahuan.
aktif manusia, sebagai makhiuk hidup yang
Ia melawan dominasi epistemologi dalam
sadar dan bertumbuh, dengan lingkungan di
filsafat modem. Realitas pertama-tama ada-
sekitarnya yang terus berubah dalam
lah realitas untuk dialami dan bukan untuk
perjalanan sejarah (Sudarminta, 2004).
diketahui. Kegiatan mengetahui tidak dapat
Melawan berbagai bentuk dualisme, bagi
dilepaskan dari konteks kehidupan tempat
Dewey, pengalaman selalu memuat kutub
kegiatan tersebut dilakukan.
subyek (dengan segala keinginan, kepenting-
Menurut Dewey, pengalaman adalah
an, perasaan, sejarah, budaya, dan latar
basis pendidikan, atau dalam terminologi
belakang pengetahuannya) maupun obyek
Dewey sendiri "pengalaman" sebagai "sarana
(dengan segala kompleksitasnya), mental
dan tujuan pendidikan". (John Dewey, 2004).
maupun fisik, rasional maupun empirik.
Oleh karena itu, bagi John Dewey, pen-
Pengertian ini dikemukakan oleh Dewey
didikan pada hakekatnya merupakan suatu
sebagai reaksi terhadap dua bentuk pereduk-
proses penggalian dan pengolahan pengalam-
sian atau pemiskinan pengertian pengalaman
an secara terus-menerus. Inti pendidikan
yang pada waktu itu umum dilakukan.
tidak terletak dalam usaha menyesuaikan
dengan standar kebaikan, kebenaran dan
53
Satya Widya, Vol. 30, No.l, Juni 2014: 49-61
keindahan yang abadi, melainkan dalam
sebagai beban berat yang hams ditanggung
usaha untuk terus-menerus menyusun kem-
dan tidak ada kesenangan sedikitpun dalam
bali (reconstruction) dan menata ulang
belajar karena ia sendiri mengalami dan men-
(reorganization) pengalaman hidup subjek
dapatkan sesuatu yang bemilai, jelas tidak
didik. Seperti dirumuskan oleh John Dewey
bersifat mendidik, karena pengalaman ter-
sendiri dalam bukunya, bahwa perumusan
sebut akan membuat kegiatan pembelajaran
teknis tentang pendidikan, yakni "menyusun
selanjutnya tidak dijalankan dengan sepenuh
kembali dan menata ulang pengalaman yang
hati. Demikian juga, pengalaman yang
menambahkan art! pada pengalaman tersebut,
mematikan rasa ingin tahu subyek didik,
dan yang menambah kemampuan untuk
melemahkan inisiatifnya, dan banyak mere-
mengarahkan jalan bag! pengalaman berikut-
dam keinginan dan cita-citanya.
nya". Dengan kata lain, pendidikan hamslah
Tolok ukur kedua yang diberikan oleh
memampukan subjek didik untuk menaf-
Dewey untuk menilai apakah pengalaman
sirkan dan memaknai rangkaian pengalaman-
bersifat mendidik atau tidak adalah apakah
nya sedemikian rupa, sehingga ia terus ber-
pengalaman itu menjamin terjadinya inter-
tumbuh dan diperkaya oleh pengalaman
aksi antara realitas subyektif/intemal dalam
tersebut.
diri subjek didik dan realitas obyektif/eks-
Demikianlah, bagi Dewey, pertumbuh-
temal yang menjadi kondisi nyata bagi subyek
an subyek didik melalui penyusunan kembali
didik untuk hidup di tengah masyarakat dan
dan penataan ulang pengalaman menjadi
zamannya. Pendidikan yang baik dan ber-
hakikat sekaligus tujuan pendidikan. Namun,
basiskan pengalaman memang perlu mem-
kendati pendidikan yang sejati dalam ke-
perhatikan minat, bakat, keinginan, rasa ingin
yakinan Dewey selalu diperoleh melalui
tahu, inisiatif dan kebebasan individu subyek
pengalaman, namun ia juga menyadari bah-
didiknya sebagai realitas subyek/internal,
wa tidak semua pengalaman bersifat men-
tetapi tidak berarti lalu dapat mengabaikan
didik. Ada pula pengalaman yang bersifat tak
tuntutan berdasarkan kondisi obyektif/eks-
mendidik, yakni pengalaman yang berakibat
temal yang menurut penilaian para pendidik
menghentikan dan merusak pertumbuhan ke
sebagai orang dewasa layak diberikan.
arah peningkatan kualitas pengalaman se-
Berdasarkan pengalaman masa lalu yang terns
lanjutnya yang lebih kaya. Baginya, masalah
diuji kembali dalam pengalaman sekarang,
pokok pendidikan yang berbasiskan pe-
pengaturan sekolah, penentuan metode,
ngalaman adalah memilih jenis pendidikan
pemilihan bahan, dan disiplin kerja yang
berdasarkan pengalaman yang dapat tetap
mendukung pembelajaran subyek didik tetap
hidup subur dan kreatif dalam pengalaman
dapat dan perlu dilakukan. Yang penting
selanjutnya. Bagi Dewey, kesinambungan
adalah jangan sampai hal-hal itu dilakukan
pengalaman yang menumbuhkan, tidak hanya
tanpa memperhatikan kondisi subyek/inter-
secara flsik, tetapi juga secara intelektual dan
nal subyek didik pada waktu dan tempat
moral, merupakan salah satu tolok ukur untuk
pembelajaran dilaksanakan. Menurut Dewey,
menilai apakah suatu pengalaman bersifat
pola pendidikan tradisional cenderung melu-
mendidik atau tidak.
pakan kondisi subyektif/intemal subyek didik,
Misalnya, pengalaman di tingkat pen-
sedangkan progresivisme cenderung melupa-
didikan dasar yang membuat subyek didik
kan kondisi obyektif/ekstemal subjek didik.
mengalami proses pembelajaran melulu
Akibatnya, pada keduanya pendidikan tidak
54
Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi)
dilakukan dengan sungguh-sungguh berbasis
sesuatu yang sentral. Mata pelajaran, mereka
pengalaman subyek didik dalam konteks
claim, seharusnya dipilih dengan mengacu
sosial-budaya atau kondisi obyektif masyarakat-
pada kebutuhan siswa. Selain itu, kurikulum,
nya.
menurut Dewey dan pengikut pragmatisme
Dengan pemahaman seperti itu, menu-
lainnya, seharusnya tidak dibagi ke dalam
rut Dewey (Glassman, 2001) peran pendidik-
bidang matapelajaran yang bersifat mem-
an yang sangat penting adalah mengajar pe-
batasi dan tak wajar. Kurikulum mestinya
serta didik tentang bagaimana menjalin
lebih dibangun di seputar unit-unit yang wajar
hubungan antara sejumlah pengalaman
yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang
sehingga terjadi penyimpulan dan pengujian
mendesak dan pengalaman-pengalaman
pengetahuan baru. Pengalaman baru akan
siswa. Unit-unit studi yang spesifik mungkin
menjadi pengetahuan baru apabila seseorang
bervariasi dari kelas 4 dan berikutnya, tapi
selalu bertanya dalam hatinya. Jawaban
ideanya adalah bahwa mata pelajaran sekolah
terhadap pertanyaan tersebut merupakan
yang tradisionil (seni, sejarah, matematika,
pengetahuan baru yang tersimpan pada
membaca, dan lain-lain) dapat disusun ke
struktur kognitif seseorang. Pendapat Dewey
dalam teknik problem solving yang berguna
menunjukkan bahwa pengetahuan baru akan
untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa
terjadi bila ada pengalaman baru. Oleh
untuk belajar materi-materi tradisionil
karena itu, semakin banyak pengalaman
sebagaimana mereka bekerja pada problem-
belajar yang dialami seseorang akan sema-
problem atau isu-isu yang telah menarik
kin banyak pengetahuan yang dimilikinya.
mereka di dalam pengalaman sehari-hari.
Pengalaman baru peserta didik
Mengenai metode pendidikan, bagi
diperoleh dari sekolah, baik yang dirancang
Dewey metode pendidikan adalah upaya
maupun tidak. Penentuan pengalaman yang
menanamkan suatu disiplin, tetapi bukan
diperoleh di sekolah harus melihat ke depan,
otoritas. Yang terpenting adalah mengontrol
yaitu tuntutan masyarakat di masa depan,
anak melalui kekuatan eksternal. Dewey
karena perubahan yang dilakukan saat ini
berpendapat bahwa tidak ada sesuatu
akan diperoleh hasilnya di masa depan. Aku-
tindakan yang baik dan benar secara obyektif.
mulasi pengetahuan baru bagi peserta didik
Susunannya melibatkan kemauan manusia.
menentukan kemampuan peserta didik.
Semua nilai adalah subyektif. Disiplin dalam
Kemampuan ini sering disebut dengan kom-
pendidikan tidak boleh berisi otoritas.
petensi, yaitu kemampuan yang dapat dilaku-
Keinginan yang menyebabkan disiplin dalam
kan oleh peserta didik. Kompetensi ini sangat
pendidikan belumlah cukup. Perlu adanya
penting dalam era globalisasi, karena persaing-
usaha belajar bersama orang lain dalam
an yang terjadi terletak pada kompetensi
proses kerjasama. Disiplin dalam pendidik-
lulusan lembaga pendidikan atau pelatihan.
an memancar dari keinginan anak didik,
Kompetensi lulusan ini ditentukan oleh
suatu tempat berlangsungnya aktivitas anak
pengalaman belajar peserta didik, sedang
didik dalam usaha bersama mencapai tujuan
pengalaman belaj ar ini merupakan bagian dari
pendidikan. Metode pengajaran dengan
kurikulum sekolah.
disiplin berarti seseorang mengarahkan pela-
Mengenai kurikulum, John Dewey
jaran dengan disiplin. Cara yang dapat ditem-
berkeyakinan mengenai perlunya menempat-
puh adalah; (1) semua paksaan hams dibuang;
kan siswa, kebutuhan dan minatnya sebagai
gum hams membangkitkan "impulse" anak
55
Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014: 49-61
didik, sehingga timbul kekuatan internal
kebijakan sosial sekolah, tujuan sekolah
untuk belajar mencapai "mastery' (ketuntasan).
adalah bukan agar peserta didik mengingat
(2) Agar dapat muncul minat, guru harus
serangkaian pengetahuan, tetapi lebih agar
intim dengan kecakapan dan minat setiap
mereka belajar bagaimana belajar agar
murid. Tidak ada minat universal, maka
supaya mereka dapat menyesuaikan dengan
minat dan kemauan terhadap pelajaranpun
dunia yang berubah secara terus menerus
berbeda-beda, (3) Guru harus menciptakan
pada masa sekarang dan yang akan datang.
situasi di kelas sehingga setiap orang turut
berpartisipasi dalam proses belajar.
Oleh karena itu, bagi Dewey subyek
didik bukanlah pribadi yang pasif. la adalah
Selain itu, metode pendidikan seharus-
manusia, makhluk hidup yang bertumbuh
nya berpusat pada memberi siswa banyak
kembang dengan dan dalam interaksi secara
kebebasan memilih dalam mencari-cari
aktif dengan lingkungan hidup di sekitamya.
situasi-situasi belajar berpengalaman yang
Realitas bagi Dewey juga bukan suatu yang
akan menjadi paling bermakna baginya. Kelas
mati dan tak berubah, melainkan suatu yang
(yang dipandang tidak hanya sebagai setting
dinamis dan terus berubah. Untuk itu, pen-
sekolah, tetapi tempat dimana pengalaman
didikan mesti berpusat pada kondisi konkrit
diperoleh) dilihat di dalam hubungannya
subyek didik dengan minat, bakat, dan ke-
dengan sebuah laboratorium keilmuan dimana
mampuannya serta peka terhadap perubahan
gagasan diletakkan untuk diuji dan dikritisi.
yang tems terjadi dalam masyarakat. Pendidik
Studi lapangan, dalam catatan kaum prag-
haruslah senantiasa siap sedia untuk mengubah
matis, jelas memberi keuntungan-keuntung-
metode dan kebijakan perencanaan pembe-
an lebih, karena memberi kesempatan ber-
lajarannya, seiring dengan perkembangan
interaksi langsung dengan lingkungan.
zaman yang erat terkait dengan kemajuan
Adalah benar bahwa studi lapangan
sains dan teknologi serta perubahan ling-
dan pengalaman aktual lainnya banyak
kungan hidup tempat pembelajaran dilak-
menyita waktu. Namun, dengan metode itu
sanakan
mereka tampak lebih termotivasi. Sebagai
Dari sudut pandang epistemologi kaum
contoh, seseorang belajar lebih tentang
pragmatis, siswa adalah seseorang yang
perusahaan susu dan sapi dengan langsung
mempunyai pengalaman (George R. Knight,
ke gudang dan pemerahan, membau dan men-
1982:66). la seorang individu berpengalaman
dengar suara seekor sapi daripada dengan
yang mampu menggunakan kecerdasannya
seminggu membaca dan memandang proses
untuk memecahkan situasi-situasi problematik.
pada layar film. Dengan demikian, metodologi
Siswa belajar dari lingkungannya dan menja-
pragmatisme adalah langsung dengan penga-
lani berbagai konsekuensi dari tindakan-
laman mereka. Dengan kata lain, anak-anak,
tindakannya. Bagi kaum pragmatis, penga-
menurut Dewey, seharusnya secara bertahap
laman sekolah adalah bagian dari hidup lebih
bembah dari belajar berdasarkan pengalaman
daripada persiapan untuk hidup. Demikian-
langsung ke metode belajar yang seolah me-
lah, cara seseorang belajar di sekolah secara
ngalami sendiri/dialami orang lain. Metode ini
kualitatif tidak berbeda dari cara dia belajar
seharusnya lebih bermakna karena mereka
dalam berbagai aspek lain kehidupannya.
membangun berdasarkan basis pengetahuan
Sebagai siswa, setiap hari ia menghadapi ber-
yang ditemukan pada pengalaman-pengalaman
bagai masalah yang menyebabkannya me-
signifikan dalam hidup sehari-hari. Dari segi
ngalami pengalaman reflektif yang lengkap.
56
Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi)
Penggunaan yang dihasilkan oleh kecer-
proses pengambilan keputusan dari masya-
dasannya menyebabkan tumbuh dan pertum-
rakat yang lebih besar. Keputusan masya-
buhan ini memampukan dia untuk berinter-
rakat dan sekolah dalam kerangka ini dinilai
aksi dengan dan beradaptasi terhadap dunia
didalam sudut pandang konsekuensi sosial
yang berubah. Ide yang berkembang menjadi
mereka daripada di dalam kerangka tradisi
alat untuk hidup yang sukses.
yang keramat. Pembahan sosial, ekonomi dan
Sementara itu guru menurut John
Dewey bukanlah guru dalam pengertian
politik dipandang baik jika hal itu memperbaiki kondisi masyarakat.
tradisionil. Yakni, ia bukan seseorang yang
Terkait dengan pandangan politik de-
tahu apa yang dibutuhkan siswa di masa
mokrasi tersebut, di antara karyanya, Demo-
depan dan oleh karenanya mempunyai fungsi
cracy and Education adalah buku yang
memberi/menanamkan seperangkat penge-
memperlihatkan keyakinan-keyakinan dan
tahuan esensial kepada siswa. Untuk satu hal,
wawasan-wawasannya tentang pendidikan
kaum pragmatis mengaku, tak seorangpun
serta mempraktekkannya di sekolah-sekolah
tahu apa yang siswa butuhkan sejak ia hidup
yang ia dirikan. Karya ini berisi dasar-dasar
di dunia yang berubah secara terus-menerus.
pemikiran mengenai pendidikan, kehidupan
Fakta ini sejalan dengan idea bahwa tak ada
sosial dan politik. Di dalam bukunya ini, John
satu kebenaran secara apriori atau mutlak
Dewey mengatakan bahwa demokrasi mem-
yang mana semua siswa hams mengetahui
pakan sesuatu yang lebih daripada suatu pe-
memodifikasi peran gum.
ngertian politik; demokrasi mempakan suatu
Gum dalam sebuah sekolah yang prag-
kehidupan bersama yang saling berkaitan dan
matik dapat dipandang sebagai anggota
saling mengkomunikasikan pengalaman.
pelajar dalam pengalaman pendidikan karena
John Dewey mengatakan, bahwa suatu masya-
masuk kelas setiap hari menghadapi dunia
rakat hanya akan ada karena suatu komuni-
yang bembah. Namun, gum adalah anggota
kasi, karena saling membagi pengetahuan,
perjalanan yang lebih berpengalaman dan
dan itulah kriteria etis suatu masyarakat yang
oleh karena itu dapat dipandang sebagai pem-
baik. Jadi, demokrasi dan pendidikan dilihat
bimbing atau direktur proyek. Dia adalah
sebagai semacam dua muka dari suatu mata
orang yang menasehati dan membimbing
uang, demokrasi tidak dapat hidup tanpa
aktivitas-aktivitas siswa dan dia menampil-
pendidikan, dan sebaliknya pendidikan yang
kan peran ini di dalam konteks dan dengan
baik tidak akan hidup dalam suatu masya-
keuntungan pengalaman yang lebih luas.
rakat yang tidak demokratis. Di dalam pemi-
Tetapi, yang penting untuk dicatat, dia tidak
kirannya mengenai kaitan antara demokrasi
mendasarkan kegiatan-kegiatan kelas pada
dan pendidikan, Dewey beranggapan bahwa
kebutuhan perasaannya sendiri.
manusia perorangan hanya dapat terbentuk
John Dewey juga dikenal dengan pan-
apabila dalam rangka kegunaan sosialnya.
dangannya tentang demokrasi dalam dunia
Namun demikian, pemikiran John Dewey ini
pendidikan. Dia melihat sekolah, secara
tidak memassalkan individu, malahan me-
ideal, sebagai sebuah kehidupan demokratis
nganggap bahwa setiap individu adalah unik,
dan belajar lingkungan yang mana setiap
artinya yang tidak pernah lebur di dalam
orang berpartisipasi di dalam proses pem-
massa.
buatan keputusan di dalam mengantisipasi
Dari sisi aliran pendidikan, pemikiran
datangnya partisipasi yang lebih luas di dalam
Dewey tentang pendidikan cukup dekat
57
Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014: 49-61
dengan teori atau aliran pendidikan yang
tungan dan kerugian yang nyata, kekurangan
disebut progressivisme Namun demikian,
dan kelebihan yang nyata, dan tentunya risiko
dalam buku Experience and Education, ia
yang nyata pula, yang oleh karena itu dengan
juga cukup kritis terhadap aliran progre-
mempergunakan kecerdasannya orang dapat
ssivisme. Katanya, progressivisme tidak
memperbaiki dirinya. Keyakinan terhadap
memadai kalau dilihat dari pandangannya
kesanggupan manusia untuk mencapai
yang menjadikan pengalaman sebagai basis
kesempumaan diri pribadinya, adalah sesuatu
pendidikan.
hal terbaik yang dapat diberikan oleh pen-
Pola pendidikan lama atau tradisionil
didikan sekuler. Dalam kasus John Dewey,
yang memahami materi pelajaran sebagai
dia telah menempuh hidup dalam dua pepe-
suatu yang sudah baku dan pendidikan
rangan dunia dan dapat mengatasi depresi
sebagai pengalihan seperangkat pengetahuan
ekonomi dunia dan perasaan hatinya me-
dan ketrampilan yang wajib dikuasai oleh
ngajaknya buat berbakti kepada tujuan
subyek didik dari generasi ke generasi, serta
keagamaan.
pendidikan moral sebagai pembentukan
Pertumbuhan, perkembangan, evolusi,
kebiasaan bertindak sesuai dengan standar
kemajuan, perbaikan, semuanya terdapat
dan aturan moral yang berlaku sepanjang
dalam pikiran John Dewey dan selalu men-
zaman memang ditolak oleh Dewey. Demi-
jadi bahan tulisannya. Dan dalam pengertian
kian juga pandangan pendidikan tradisionil
ini dia adalah progressive. Sebagai tokoh pro-
tentang sekolah sebagai lembaga yang sama
gressivisme, John Dewey termasuk golongan
sekali terpisah dari kehidupan masyarakat
aliran sosial yang timbul sebagai reaksi
dan pendidikan sebagai kegiatan memper-
terhadap pengabaian unsur-unsur sosial
siapkan subyek didik untuk dapat memainkan
dalam pendidikan oleh aliran individualis-
perannya dalam masyarakat di kemudian
me. Sebagai tokoh aliran sosial, dia ber-
hari. Bagi Dewey, sebagaimana aliran pro-
pendapat bahwa sekolah bukan semata-mata
gressivisme, pendidikan orang muda bukan
untuk kepentingan masyarakat tetapi juga
hanya persiapan untuk hidup nanti di tengah
memikirkan unsur-unsur psikologis. Maka
masyarakat, tetapi sudah merupakan kehi-
tipe sekolah kerja Dewey adalah sekolah
dupan sendiri (George R. Knight, 1982;66).
kerja sosiologis-psikologis.
Memahami pendidikan melulu secara
instrumentalistik dalam pandangan Dewey
bertentangan dengan hakekat pendidikan itu
sendiri. Dewey juga menyetujui kritik kaum
progressivis terhadap pendidikan tradisionil
yang sangat kaku, menuntut disiplin ketat,
dan menuntut subyek didik jadi pasif.
Menurut Muis Sad Iman (2004: 62),
John Dewey dapat disebut, bahkan harus
disebut sebagai seorang progressive. Dia sangat
percaya kepada progress atau kemajuan, baik
yang nyata maupun yang merupakan kemungkinan saja. Dia juga percaya bahwa dunia ini
berisi penuh dengan segala yang nyata, keun58
Masih menurut Muis Sad Iman, dalam
hidupnya Dewey telah memberi jasa yang
begitu besar dalam lapangan pendidikan di
sekolah. Di antara jasa-jasa Dewey yang
layak untuk dikemukakan adalah, pertama,
ia memberantas dengan keras kesalahan
sekolah tradisionil dan memasukkan "keija"
dalam ruangan sekolah; kedua, dalam sekolah lama jarak antara pengajaran dan penghidupan anak sangat jauh. Dialah yang mendekatkan kehidupan anak di sekolah dengan
kehidupan dalam masyarakat. Ia mengubah
sekolah kuno yang pasif mati itu menjadi
sekolah baru, yang aktif hidup, hingga anak
Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi)
dapat menambah pengetahuan dan kecakapan-
Pendidikan yang berkaitan dengan
nya serta menemukan skill dan bakatnya
struktur kekuasaan cenderung untuk meme-
dengan baik.
nuhi kebutuhan kelompok mayoritas atau
Ketiga, di sekolah kuno pelajaran tiap
kebudayaan mainstream. Pendidikan yang
tahun selalu berlangsung sama, tetapi penga-
demikian bersifat tidak demokratis dan banyak
jaran proyek mengubah keadaan yang statis
anak yang miskin termarginalkan. Lembaga
itu menjadi dinamis; tiap tahun pengajaran
pendidikan yang secara tidak sadar hanya
berganti sesuai dengan masalah yang diambil
mengabdi kepada budaya mainstream telah
dari masyarakat yang selalu hidup dan
memperkosa hak-hak asasi anak untuk mem-
berubah, dan sesuai dengan perkembangan
peroleh pendidikan. Tokoh pedagogik kritis,
perhatian anak. Keempat, anak dilatih belajar
misalnya Henry Girouk, McLaren, dan Tilaar.
sungguh-sungguh dan bekerja sama, tidak
Sedangkan pedagogik libertian, ber-
seperti di sekolah kuno. Di sekolah tradisio-
tolak dari pandangan pendidikan adalah
nil anak hanya menghafal dan berbuat untuk
proses penyadaran akan kebebasan individu
kepentingan did saja.
dalam berefleksi dan bertindak. Di dalam
PENUTUP: Catatan-Catatan Kritis
kenyataannya, lembaga pendidikan (sekolah)
telah menjadi penjara bagi kebebasan indivi-
Demikianlah analisis mengenai hake-
du. Dengan kata lain, lembaga pendidikan
kat pendidikan dalam perspektif John Dewey.
telah menjadi alat penguasa untuk melestari-
Dari segi pemikirannya, beberapa prinsip
kan kekuasaannya. Pedagogik libertian yang
pendidikan John Dewey masih relevan
menghormati akan kemerdekaan individu
diterapkan di Indonesia, meskipun kini telah
serta melihat perkembangan peserta didik di
berkembang secara amat pesat pemikiran-
dalam budayanya secara kritis dan terarah,
pemikiran pendidikan kontemporer lainnya,
maka pedagogik libertian mengadopsi secara
seperti pedagogik kritis dan pedagogik liber-
kritis pandangan-pandangan postmodemisme
tian (Tilaar, 2005:284).
dan studi kultural. Tokoh orientasi pedagogik
Pedagogik kritis pada hakekatnya me-
libertian adalah Paulo Freire, Alexander
lihat proses pendidikan bukan sebagai suatu
S.Neill, Ivan Dlich, Wilhelm Reich dan lain-
proses yang netral, tetapi berkaitan dengan
lain.
struktur kekuasaan. Pendidikan merupakan
Kiranya, pembaca bisa menganalisis
alat dari pemerintah atau kelompok yang
lebih lanjut, bagaimana posisi pandangan
berkuasa dalam melestarikan kekuasaannya.
pendidikan John Dewey dalam konteks per-
Oleh sebab itu, pedagogik kritis mencermati
kembangan mutakhir teori pendidikan yang
secara mendalam berbagai proses pendidikan
yang temyata merupakan pemasungan dari
telah diuraikan, baik pedagogik kritis dan
pedagogik libertian.
kemerdekaan peserta didik. Identitas peserta
didik merupakan inti dari perkembangan seseorang. Selanjutnya, pendidikan merupakan suatu proses pembudayaan dengan catatan kebudayaan itu sendiri dapat merupakan
arena kekuasaan yang merantai kemerdekaan
individu.
SIMPULAN
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut.
1. Mengenai hakekat pendidikan mengandung banyak aspek dan sifatnya sangat
kompleks. Karena sifatnya yang kompleks
itu, maka tidak sebuah batasanpun yang
59
Satya Widya, Vol. 30, No.l. Juni 2014; 49-61
cukup memadai untuk menjelaskan hakekat pendidikan secara lengkap.
2. Batasan tentang hakekat pendidikan yang
dibuat para ahli beraneka ragam, dan
kandungannya kadang berbeda satu dari
Barnadib, Imam. 2002. Filsafat Pendidikan.
Yogyakarta: Adi Cita.
Buchori, Mochtar. 1994. Ilmu Pendidikan dan
Praktek Pendidikan Dalam Renungan.
Kerjasama PT. Tiara Wacana, Yogya-
karena perbedaan orientasinya, konsep
karta, dengan IKIP Muhammadiyah
Jakarta Press.
dasar yang digunakan, aspek yang menjadi
Depdikbud. 1985. Pendidikan di Indonesia
tekanan, atau karena falsafah yang
Dari Jaman ke Jaman. Jakarta: PN
Balai Pustaka.
yang lainnya. Perbedaan tersebut terjadi
melandasinya.
3. Menurut John Dewey, pengalaman adalah
basis pendidikan. Pengalaman sebagai
Dimyati, Muhammad. 1998. Landasan
Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.
sarana dan tujuan pendidikan. Pendidikan
pada hakekatnya merupakan suatu proses
penggalian dan pengolahan pengalaman
secara terus-menems. Inti pendidikan adalah usaha untuk tems-menems menyusun
kembali (reconstruction) dan menata
ulang (reorganization) pengalaman hidup
subjek didik.
4. Bagi Dewey, pendidikan haruslah memampukan subjek didik untuk menafsirkan dan memaknai rangkaian penga-
Douglas J. Simpson. 2005. John Dewey and
the Art of Teaching. London: Sage
Publications.
Driyarkara. 2007. Karya LengkapDriyarkara.
Jakarta: PT. Gramedia.
Dwi Siswoyo. 2007. Ilmu Pendidikan.
Yogyakarta: UNY Press.
Ekosusilo, Madyo dan Kasihadi, R.B. 1990.
Dasar-dasar Pendidikan. Semarang:
Effhar Publishing.
lamannya sedemikian rupa, sehingga ia
terus bertumbuh dan diperkaya oleh
pengalaman tersebut. Hakekat pendidikan semacam itu, berimplikasi pada segenap komponen pendidikan lainnya, misalnya dalam pandangannya tentang kurikulum, metode pendidikan, peserta didik,
peran guru, dan lain lain. Intinya adalah,
bahwa segenap komponen pendidikan
lainnya hams mendukung bagi terwujudnya idealisasi pendidikan yang menempatkan pengalaman sebagai basis orientasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Uhbiyati, Nur. 1991. Ilmu
Pendidikan. Jakarta: Penerbit Rineka
Cipta.
Barnadib, Imam. 1994. Hand Out Filsafat
Pendidikan. Yogyakarta: Progdi Ilmu
Filsafat PPS UGM.
60
George R. Knight. 1982. Issues and Alternatives in educational Philosophy.
Michigan: Andrews University Press.
Glassman, M. May. 2001. Dewey and Vygotsky.
Society, experience, and inquiry in
educational practice. Educational
Researcher, Vol.30, No. 4, pp.3-14.
Hadi Susanto, Dirto, dkk. 1995. Pengantar
Ilmu Pendidikan. Yogyakarta: FIPIKIP.
John Dewey. 2004. Experience and Education.
Bandung:Teraju (teijemahan).
John Dewey. 1956. Philosophy of Education.
Iowa: Littlefield, Adams & Co.
John Dewey. 1958. Experience and Nature.
New York: Dover Publications, INC.
Muis Sad Iman. 2004. Pendidikan Partisipatif.
Yogyakarta; Safuia Insania Press.
Hakekat Pendidikan dalam Perspektif John Dewey (Wasitohadi)
Paulo Freire. 1997. Menggugat Pendidikan.
Yogyakarta: Pustaka pelajar.
.1995.
50 Tahun Pembangunan
Pidarta, Made. 1997. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.
Suatu Analisis Kebijakan. Jakarta: PT
Pendidikan Nasional 1945-1995,
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Salam, Burharuddin. 1995. Pengantar Peda-
. 2005. Manifesto Pendidikan iVasibnaJ.
gogik (Dasar-dasar Ilmu Mendidik).
Tinjauan dari Perspektif Poslmodemis-
Jakarta: Rineka Cipta.
me dan Studi Kultural. Jakarta; Kompas
Sudirman, dkk. 1989. Ilmu Pendidikan. CV
Remadja Karya.
Tilaar, H.A.R. 1999. Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani Indo-
Tim Dosen FTP-IKIP Malang. 1980. Pengantar
Dasar-dasar Kependidikan. IKIP
Semarang Press.
Zamroni. 2007. Pendidikan dan Demokrasi
nesia. Bandung: PT Remaja Rosda-
dalam
Transisi.
karya.
Muhammadiyah.
Jakarta:
PSAP
61
Download