Tidak bisa dipungkiri, teknologi masa depan haruslah teknologi berwawasan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ketika para ilmuwan mencoba menjelajah hingga titik terjauh dari batas-batas teknologi yang bisa diwujudkan, (teknologi ruang angkasa, teknologi nano dan mungkin saja femto), tetap saja ekplorasi terhadap teknologi yang berorientasi “kembali ke alam” mampu menarik minat ribuan ilmuwan bahkan kini muncul istilah “green and sustainable technology” alias teknologi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan dan “renewable energy” alias energi terbarukan. Salah satu teknolgi hijau yang kiranya paling layak diterapkan di negara berkembang dan berpenduduk banyak dengan sumber daya bahan alam yang demikian melimpah (tentu saja Indonesia memenuhi kriteria tersebut), adalah teknologi pemanfaatan biomass. Apakah itu biomass? Secara gamblang biomass adalah material yang berasal dari tumbuhan maupun hewan termasuk manusia. Namun biomass dalam sudut pandang industri juga berarti material biologis yang bisa diubah menjadi sumber energi atau material industri. Kita katakan mereka sebagai material organik atau biologis karena sebagian besar komposisinya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen maupun nitrogen dan dihasilkan oleh proses biologis, misalnya hasil pertanian, perkebunan, sampah organik, limbah cair pembuatan tahu, limbah padat dan cair penggilingan tebu, feses hewan ternak dan sebagainya. Pada prinsipnya biomass sudah mengandung energi potensial yang dapat diubah menjadi berbagai macam energi lain, misalnya energi panas. Hasil proses pembakaran biomass dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air yang menghasilkan uap untuk menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik. Membakar biomass bukan salah satu cara terbaik menghasilkan energi panas karena dampak langsung yang dihasilkan dari pembakaran biomass tidak baik untuk lingkungan dan efisiensi energi yang dihasilkan tidaklah demikian besar akibat dari pembakaran tidak sempurna. Maka perlu dipikirkan cara untuk mendapatkan sumber energi yang efisien dengan cara mengolah biomass. Gas methan atau biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses pembusukan material organik, methanol maupun ethanol dapat dihasilkan dari proses fermentasi produk pertanian yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, misalnya jagung dan kentang. Sementara itu minyak yang dihasilkan dari segala macam bijian-bijian yang dapat dimakan, minyak kelapa maupun minyak tanaman jarak, tanaman kapok, bahkan minyak jelantah dapat diubah menjadi bahan bakar mesin diesel dan disebut sebagai biodiesel. Biomass tidak melulu digunakan sebagai material penghasil energi, namun dia juga dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan baku antara (intermediate) yang nantinya diubah menjadi material industri. Kita mengenal plastik merupakan hasil proses polimerisasi senyawa hidrokarbon dari minyak dan gas bumi. Gas methan, methanol dan ethanol yang dihasilkan dari biomass juga dapat diubah menjadi plastik melalui berbagai macam proses kimiawi (polimerisasi). Surfaktan untuk deterjen atau pelumas bisa dihasilkan dari minyak kelapa. Chitosan yang diekstrak dari limbah perikanan bisa diubah menjadi polimer yang dapat dimakan (edible polymer) atau bahkan sebagai polimer untuk memisahkan berbagai macam gas. Biomass yang juga merupakan sumber bahan pangan pokok (feedstock), misalnya tepung jagung, bisa diubah menjadi material bernilai tambah (added value material) menjadi senyawa aditif dalam teknologi pangan, misalnya sorbitol (salah satu jenis gula diet). Lebih jauh lagi, limbah padat misalnya tandan kelapa sawit, ampas penggilingan tebu, atau serat enceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bangunan (multipleks, panel, atau komposit serat-plastik). Sampah pangan dan produk pertanian bisa langsung dimanfaatkan sebagai material pembuatan kompos untuk pertanian organik, sebuah cara bercocok tani yang tidak menggunakan zat penyubur dan pembasmi hama sintetis. Dari segala macam contoh sederhana di atas dengan sudut pandang pengembangan teknologi berwawasan ramah lingkungan, yang paling menarik dan menggugah minat industri besar adalah mengubah biomass menjadi material sumber energi dan senyawa kimia antara. Sedangkan mengubah biomass menjadi aditif bahan pangan, material pendukung pertanian atau material rumah tangga tampaknya lebih sesuai bagi kalangan industri kecil dan menengah. Secuplik kisah teknik kimia dan industri menyelamatkan lingkungan dan swadaya energi – Pemanfaatan biomass sebagai sumber energi Gembar gembor tentang pemanasan global gemanya semakin digaungkan dengan telah diselenggarakannya pertemuan tingkat dunia yang membahas pemanasan global di Bali pada bulan Desember 3 – 14 2007 atas prakarsa UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Semangat langkah penyelamatan bumi dari pemanasan global dan perubahan iklim yang ektrim kini bukan lagi menjadi isyu di tataran negaranegara maju namun telah menjadi isyu lokal di bebagai pelosok dunia. Tanggung jawab terbesar tentunya ditekankan pada kalangan industri yang menjadi kontributor utama penghasil gas-gas rumah kaca. Berikut ini adalah kutipan dari Kompas Cybermedia, rubrik Iptek, 01 Oktober 2007 yang berjudul Listrik dari Limbah Tapioka. Berkat teknologi, dua pabrik tapioka di Lampung akan memenuhi kebutuhan energi listrik dari limbahnya sendiri. Proyek konversi energi ini tidak hanya akan akan mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil tapi juga akan mengurangi gas rumah kaca. Setiap tahunnya, teknologi pencerna anaerob (anaerob digester) yang dipasang di kedua pabrik milik PT Budi Acid Jaya Tbk.di Way Jepara dan Unit 6 itu akan mengolah seluruh limbah cair sehingga menghasilkan 4.500 ton gas metan. Selanjutnya gas metan akan digunakan untuk memberikan energi kepada generator tenaga gas yang menghasilkan listrik bagi kedua pabrik tersebut. Energi yang dihasilkan dari arus limbah cair ini akan memberikan daya listrik pada pabrik kami dan mengurangi ketergantungan kami pada bahan bakar fosil, kata Presiden Direktur PT BAJ Santoso Winata. Ia mengatakan alat digester di samping mengurangi bau juga akan memberikan sumber energi terbarukan yang akan mengurangi biaya operasional pabrik secara keseluruhan. Alat digester yang akan diregistrasi pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai bagian Protokol Kyoto, adalah salah satu dari banyak proyek yang dikembangkan Cargill di Indonesia. Teknologi dalam proyek ini tidak hanya menyediakan energi dari sumber energi alternatif tapi juga akan menghasilkan kredit karbon yang dapat diperjualbelikan pada pasar iklim global. Untuk dua proyek saja, diperkirakan akan mengurangi emisi yang setara dengan 950.000 ton karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer dalam periode 10 tahun. Tentang anaerobic digester Anaerobic digester [1] merupakan suatu proses bioteknologi yang dapat mengubah limbah biologis misalnya manure (kotoran hewan ternak), limbah pengolahan bahan pangan maupun limbah produk pertanian dengan cara mencerna, mendegradasi limbah tadi menggunakan bantuan mikroba menjadi produk yang mengandung senyawa karbon paling sederhana misalnya biogas (methan). Sebagaimana diistilahkan “anaerob”, maka proses pencernaan berlangsung tanpa melibatkan atau meminimalkan kehadiran udara (lebih tepatnya oksigen) menyerupai proses fermentasi ketan menjadi tape dengan bantuan ragi.