ESTIMASI PERTUMBUHAN RUMPUT BUFFEL (Cenchrus ciliaris

advertisement
ESTIMASI PERTUMBUHAN RUMPUT BUFFEL (Cenchrus ciliaris) DALAM SISTIM
INTERCROPPING DENGAN LAMTORO (Leucaena leucocephala) DAN EFFISIENSI
PENGGUNAAN AIR DENGAN MODEL SIMULASI DAIRYMOD
Esnawan Budisantoso dan P.Th. Fernandez
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian
ABSTRAK
Suatu penelitian tentang estimasi pertumbuhan rumput buffel (Cenchrus ciliaris) yang
ditanam dengan sistem intercropping diantara larikan lamtoro (Leucaena leucocephala) dan
effisiensi penggunaan air serta drainase air tanah telah dilakukan di Central Queensland –
Australia pada 5 Desember 2002 – 22 Maret 2003 dengan menggunakan sistem simulasi
DairyMod. Untuk menyederhanakan simulasi, model di set pada paddock rumput buffel seluas
100 ha dengan interval penyenggutan selama 60 hari dan diasumsikan bahwa padang tercukupi
nutrisi tanahnya. Estimasi drainase air tanah diasumsikan kedalaman akar rumput mencapai 80
cm dengan 50% distribusi akar berada di 50 cm dari permukaan tanah. Hasil validasi pengukuran
di lapang sesuai dengan keluaran simulasi sebesar 1940 kg/ha, sementara produksi biomass
sesungguhnya mencapai 2.050 kg ± 78 kg/ha. Total drainase air tanah ditentukan oleh intensitas
curah hujan harian. Dari hasil simulasi dengan data klimatologi selama 53 tahun, kira-kira terjadi
20% probabilitas drainase air tanah mencapai 20 mm, sedangkan probabilitas drainase 50 mm
hanya sebesar 6%. Simulasi model dengan DairyMod terbukti membantu dalam memperkirakan
pertumbuhan rumput buffel dan penggunaan air tanah dalam sistem intercropping dengan
lamtoro.
Kata kunci:
Rumput buffel (Cenchrus ciliaris), lamtoro (L. leucocephala), sistim simulasi,
DairyMod.
PENDAHULUAN
Effisiensi penggunaan sumberdaya tanah dan air yang berkelanjutan merupakan tujuan
dari perencanaan tata guna lahan. Sistim pertanaman agroforestry dimana pola penggunaan air
berkomplementer antara pepohonan yang mempunyai perakaran dalam dengan rerumputan
yang mempunyai perakaran dangkal merupakan kombinasi yang bagus untuk meningkatkan
penggunaan air dan meminimalkan runoff dan drainage (Droppelman et al., 2000 dan Ong et al.,
2000). Lamtoro (Leucaena leucocephala) yang dikenal sebagai multipurpose tree legume yang
ditanam dengan rumput buffel atau rumput rhodes telah muncul sebagai pilihan untuk
meningkatkan produktivitas sapi potong di Australia bagian utara, juga sistim ini meningkatakan
stabilitas lingkungan di daerah kering Central Queensland sebagai usaha pertanian yang
berkelanjutan (Wildin, 1993).
DairyMod adalah program model simulasi biofisik yang terdiri dari lima modul, yaitu (i)
dinamika air; (ii) akumulasi biomass dan penggunaan unsure karbon, (iii) dinamika bahan nutrisi
organik dan non-organik; (iv) pertumbuhan ternak, konsumsi pakan dan metabolisme ternak, dan
(v) pilihan manajemen (Johnson, et al., 2003). Model dijalankan dengan langkah harian yang
menghasilkan struktur yang comparative untuk menganalisa behaviour dari sistim padang
penggembalaan. Variable data klimat sebagai komponen utama dalam menjalankan simulasi ini,
yang terdiri dari radiasi sinar matahari, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan curah hujan.
Pengukuran drainase air tanah di lapangan sulit dilakukan, untuk itu sistem simulasi
digunakan untuk mengestimasi drainase air tanah. Modul dinamika air merupakan bagian penting
yang digunakan dalam studi ini, karena dalam modul ini estimasi penggunaan air dan drainase
air tanah oleh lamtoro dan rumput buffel diestimasikan.
MATERI DAN METODE
Percobaan di lapang
Percobaan dilakukan di lahan milik petani seluas 77 ha di Broken Plains, Rollestone
(148o36’ BT, 25o54’ LS, 330 m dpl), Central Queensland, Australia dari tanggal 5 Desember 2002
sampai dengan 22 Maret 2003. Curah hujan rata-rata per tahun adalah 640 mm, dengan 70%
curah hujan jatuh di bulan Desember sampai February. Maksimum dan minimum temperature
berkisar antara 34.9 – 20.7oC sampai 23.1 – 5.6oC. Jenis tanah adalah vertosol abu-abu menurut
klasifikasi sistim Australia (Isbell, 2002). Bulk density berkisar antara 1.27 – 1.35 g/cm3, dan pH
antara 4.2 – 9.0. Pada permukaan tanah pH bersifat alkali, sedangkan pH masam terdapat pada
keadalaman 1.5 m kebawah (Poole, 2003).
Vegetasi padang adalah tanaman lamtoro (Leucaena leucocephala) yang ditanam dalam
baris berjarak 8 m dan intercropping dengan buffel grass (Cenchrus ciliaris). Kondisi lamtoro saat
penelitian dimulai pada bulan Desember 2002 hanya batang pohon dengan sedikit daun yang
tertinggal setelah disenggut 308 ekor sapi selama 2 bulan. Begitu pula dengan kondisi rumput
buffel yang kering.
Pengukuran biomass tanaman dilakukan pada awal (5 Desember 2002) dan akhir (21
Maret 2003) penelitian. Pengukuran buffel grass dengan menggunakan metode ‘visual scoring
technique’ (Jones and Tothill, 1985). Dalam teknik pengukuran dengan metode ini vegetasi yang
berada dalam segi empat kuadrat dinilai secara visual dengan ranking nilai 1 sampai 10 dengan.
Nilai 1 dan 10 masing masing mewakili nilai terendah dan tertinggi dari estimasi biomass.
Pengukuran dilakukan dengan cara menempatkan kuadrat secara random dengan interval
kurang lebih 10 m sepanjang garis transek 1 km. Dari jumlah pengamatan sebanyak 116 kuadrat,
rumput yang berada dalam 12 kuadrat kemudian dipotong untuk menarik garis regressi antara
biomass dan nilai ranking. Persamaan eksponensial y = 873.86 e0.36x (r2 = 0.93) kemudian
digunakan untuk menghitung standing biomass rumput buffel, dimana y = standing biomass (kg
BK/ha) dan x = nilai estimasi ranking biomass dalam kuadrat. Pengukuran biomass lamtoro pada
awal penelitian dilakukan dengan cara memotong tanaman lamtoro dengan menggunkan gergaji
mesin sebanyak 20 x 2 m barisan lamtoro sepanjang garis transek.
Pertumbuhan rumput dan lamtoro diukur kembali pada 21 Maret 2003. Rumput diukur
dengan metode yang sama seperti pengukuran biomass awal. Sedangkan biomass pertumbuhan
lamtoro diukur dengan menggunakan ‘visual scoring technique’ dengan cara mengestimasi 2 m
larikan lamtoro dalam selang dua larikan. Sejumlah 100 sample estimasi dilakukan sepanjang
garis transek. Sebelas sample kemudian dipotong untuk menentukan persamaan regressi.
Persamaan regressi linear y = 55.75 x – 14.56 (y = biomass pertumbuhan lamtoro, kg BK/ha dan
x = nilai estimasi ranking biomass lamtoro sepanjang 2 m (r2 = 0.95).
Model simulasi
Perangkat lunak DairyMod digunakan untuk mengestimasi produksi biomas dan drainase
air tanah dari padang rumput buffel perennial di Central Queensland. Untuk menyederhanakan
simulasi, model di set pada paddock rumput buffel seluas 100 ha dengan interval penyenggutan
selama 60 hari dan diasumsikan bahwa padang rumput kecukupan nutrisi tanah. Dalam
mengestimasi drainase air tanah diasumsikan kedalaman akar rumput mencapai 80 cm dengan
50% distribusi akar berada di 50 cm dari permukaan tanah. Asumsi ini berdasar penelitian yang
dilakukan oleh Poole (2003) ditempat yang sama. Data sifat fisik tanah yang diambil dari penulis
yang sama digunakan sebagai input untuk menjalankan program simulasi (Tabel 3). Diasumsikan
juga bahwa hujan digunakan lebih dahulu oleh buffel grass, baru kemudian setelah terdapat
drainase air tanah, maka air tersebut digunakan oleh perakaran lamtoro yang lebih dalam untuk
kebutuhan pertumbuhan lamtoro.
Disadari bahwa program DairyMod memberikan fasilitas untuk memprediksi trend umum
dengan baik, keterbatasan dari parameter input dikombinasikan dengan kesulitan dalam verifikasi
model, maka nilai absolute darinase air tanah yang didapat dalam model mungkin kurang akurat.
Namun, trend model dan relativitas nilai perbandingan dari beberapa skenario yang dibuat
menunjukkan bahwa nilai ini cukup sahih.
Setelah semua input dimasukkan, model simulasi dijalankan dengan data klimatologi
daerah Rollestone selama 53 tahun.
Tabel 3. Sifat fisik tanah vertosol abu-abu di ‘Broken Plains’, Rolleston, Central Queensland
Soil horizon
Soil properties
Depth (cm)
Saturated water content (%v)
Ksat (cm/d)
Field capacity (-100 cm) (%v)
Wilting point (-150 m) (%v)
Capacitance model:
Air dry water content
Surface
A
B1
B2
5
52
115
46
29
50
51
250
46
31
70
62
43
44
33
170
62
2.6
46
33
22
13
13
13
HASIL DAN DISKUSI
Kondisi cuaca
Data klimatologi selama periode 1889 – 2003 digambarkan dalam Grafik 1. Data
diperoleh dari Stasiun Meterologi Rolleston yang berjarak sekitar 16 km dari lokasi percobaan.
Sebelum penelitian dimulai tercatat curah hujan terakhir sebanyak 46 mm di bulan Agustus,
selama bulan September – November tidak terdapat hujan. Dari tanggal 5 Desember 2002 – 22
Maret 2003 tercatat 197 mm hujan di Broken Plains. Rata-rata temperatur maksimum dan
minimum adalah 34,5oC dan 21,0oC, suhu beku (frost) tercatat 2 hari dengan temperatur dibawah
0oC selama masa percobaan.
Produksi biomass
Pertumbuhan kembali lamtoro sangat dipengaruhi oleh pertanaman intercrop dengan
rumput buffel. Pada saat penelitian dimulai pada Desember 2002, tanaman lamtoro sebagian
besar hanya terdiri dari batang kayu dengan jumlah daun kurang lebih 0,5% dari total standing
biomass. Dari pengamatan visual terlihat pertumbuhan rumput buffel sangat cepat dengan
respon curah hujan yang hanya 197 mm selama masa penelitian. Pertumbuhan sebanyak 2050
kg/ha, atau sekitar 1,92 g/m2/hari dengan tinggi mencapai 90 cm menyebabkan pertumbuhan
lamtoro terhambat.
Produksi biomass lamtoro selama pertumbuhan kembali sebesar 275 kg/ha, atau sekitar
0,25 g/m2/hari (Tabel 1). Hasil ini menunjukkan bahwa pertumbuhan kembali lamtoro tertekan
oleh pertumbuhan rumput buffel, dimana curah hujan 197 mm yang tidak meresap sampai di
kedalaman tanah dipergunakan dengan cepat oleh rumput buffel, sehingga pertumbuhan lamtoro
terhambat. Hasil ini ternyata berbeda dengan penelitian dengan topik kompetisi pohon-rumput
yang dilakukan oleh Kumar et al. (2001) dan Narain et al. (1997). Kumar et al (2001) melaporkan
bahwa lamtoro, Casuarina equisetifolia dan Alianthus triphysa menekan pertumbuhan rumput
yang ditanam diwbawahnya, yaitu rumput gajah hibrida (Pennisetum purpureum), rumput signal
(Brachiaria ruziziensis), rumput benggala (Panicum maximum) dan teosinte (Zea mexicana).
Lebih lanjut dikatakan bahwa rumput-rumput tersebut paling besar teretakan bila ditanam dengan
lamtoro dibandingkan dengan apabila ditanam bersama pohon lain.
Pertumbuhan normal rumput buffel tanpa pemupukan di Queensland bagian selatan
dengan curah hujan 550 – 900 mm diperkirakan sebesar 2,86 – 12 t/ha (Peake et al., 1990).
Effisiensi Penggunaan Air (Water-use-effeciency/WUE)
Selama periode penelitian curah hujan di daerah Rolleston tercatat 197 mm. Dengan
menggunakan metode SCS Runoff Curve Number (SCS-CN) untuk menghitung runoff (USDASCS, 1986), tidak terdeteksi adanya runoff selama masa penelitian. Dengan tidak adanua runoff,
maka estimasi effisiensi penggunaan air disini diasumsikan adalah effisiensi penggunaan air
hujan. Selama 15 minggu periode penelitian, WUE dari intercropping lamtoro – rumput buffel
sebesar 11,8 kg BK/ha/mm air (Tabel 2). Diasumsikan bahwa produk asimilasi selama
penelitian digunakan semuanya untuk menghasilkan pertumbuhan baru, bukan disimpan dalam
batang.
Tabel 1. Estimasi produksi biomass lamtoro dan rumput buffel di ‘Broken Plains’ between
December 2002 and March 2003
Tanggal / Pengukuran
Hasil Pengukuran
5 December 2002
Total biomass lamtoro (kg BK/ha)
Biomass daun lamtoro (kg BK/ha)
Persentase daun lamtoro dibanding total biomas (%)
Biomass rumput buffel (kg BK/ha)
Persentasi penutupan rumput (%)
Tinggi tanaman lamtoro (rerata and range) (m)
5000 ± 607
25 ± 0.5
0.5
1150 ± 72
25 ± 2
2.0 (1.5 to 2.5)
22 March 2003
Data pertumbuhan kembali lamtoro dan rumput buffel
Total biomass lamtoro (kg BK/ha)
Biomas daun lamtoro (kg BK /ha)
Persentasi daun lamtoro dibanding total biomass (%)
Biomass rumput buffel (kg/ha)
Persentasi penutupan rumput (%)
275 ± 12
243 ± 10
88
2050 ±78
45 ± 1.8
Tabel 2. Total biomass (kg BK/ha) and effisiensi penggunaan air (kg BK ha/mm curah hujan)
untuk lamtoro dan rumput buffel
Total curah hujan 5 Dec 02 – 22 Mar 03 (mm)
Vegetasi
a. Leucaena + buffel
b. Leucaena
c. Buffel
197
 Biomass
WUE
2325
275
2050
11.8
1.4
10.4
Model Simulasi
Grafik 2 menunjukkan output simulasi pertumbuah rumput buffel selama masa validasi,
dari tanggal 5 Desember 2002 – 22 Maret 2003. Hasil validasi pengukuran di lapang sesuai
dengan output simulasi sebesar 1940 kg/ha, hasil ini sangat mendekati hasi sesungguhnya di
lapang pada pengukuran tanggal 22 Maret 2003 sebesar 2.050 kg ± 78 kg/ha.
50
(a) Rainfall
Rainfall (mm)
40
30
20
10
0
2.4
(b) Grass biomass
2.2
2.0
Biomass (t/ha)
1.8
Live shoot (t/ha)
Dead shoot (t/ha)
Actual buffel grass shoot (t/ha)
1.6
1.4
1.2
1.0
0.8
0.6
0.4
0.2
1/12/02
1/1/03
1/2/03
1/3/03
1/4/03
Date
Grafik 2. (a) Curah hujan dan (b) output model simulasi produksi hijauan rumput buffel (C. ciliaris)
yang masih segar dan kering selama penelitan dari tanggal 5 Desember 2002 – 22
Maret 2003. (●) menunjukkan biomass terukur (t/ha) di lapang pada tanggal 22 Maret
2003.
Biomass rumput buffel per tahun yang dihasilkan dengan model simulasi menunjukkan
bahwa produksi biomass berhubungan erat dengan jumlah curah hujan tahunan. Grafik 2
menunjukkan rerata produksi rumput buffel per bulan selama periode 53 tahun. Pertumbuhan
yang tinggi terjadi pada musim panas, yaitu bulan Desember – Maret. Pertumbuhan menurun
pada bulan April, dimana curah hujan berkurang dan temperatur harian turun karena musim
dingin. Produksi terendah terjadi pada musim dingin dari bulan Juni sampai Agustus.
1400
(a) Rainfall
Rainfall (mm/annum)
1200
1000
800
600
400
200
0
1950
1960
1970
1980
1990
2000
1990
2000
1990
2000
Pasture growth (t/ha/annum)
14
(b) Pasture growth
12
10
8
6
4
2
0
1950
1960
1970
1980
250
Drainage (mm/annum)
(c) Total through drainage
200
150
100
50
0
1950
1960
1970
1980
Year
Grafik 3. Curah hujan tahunan (mm), output estimasi pertumbuhan rumput buffel (C. ciliaris) (t/ha)
dan total drainase air tanan (mm) selama periode tahun 1950 – 2003.
50
Buffel grass growth rate
kg/ha/day
40
30
20
10
0
Jan
Feb
Mar
Apr
May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct
Nov
Dec
Month
Grafik 4. Rerata pertumbuhan rumput buffel (C. ciliaris) dalam satu tahun selama periode 53
tahun, dari 1950 – 2003.
120
Probability of exceedence (%)
100
80
60
40
20
0
0
20
40
60
80
100
120
140
Deep drainage (mm/annum)
Grafik 5. Probabilitas drainasi air tanah dibawah vegetasi rumput buffel selama periode 53 tahun,
dari 1950 sampai 2003.
Total drainasi air tanah ditentukan oleh jumlah curah hujan, dengan drainasi air tanah di
kedalaman tanah sangat ditentukan oleh kondisi curah hujan dimana intensitas curah hujan yang
besar terjadi setelah hujan deras (Grafik 2c). Ketika intensitas curah hujan besar ditambah
dengan pertumbuhan rumput yang lambat dan evaporasi air yang rendah, maka drainasi air
tanah akan tinggi (data tidak diperlihatkan). Selama periode 53 tahun, terdapat kira-kira 20%
probabilitas 20 mm drainase air tanah. Namun hanya terdapat 6% probabilitas drainase air tanah
sebanyak 50 mm (Grafik 5).
Hasil output simulasi menunjukkan bahwa drainase air tanah di kedalaman, dimana
diharapakan air tanah tersebut akan digunakan untuk pertumbuhan lamtoro, hanya terjadi 6 kali
selama periode 1980 – 2003. Selama periode validasi berlangsung dari bulan Desember 2002 –
Maret 2003, curah hujan yang ada tidak mencukupi untuk terjadinya drainasi air tanah sehingga
menyebabkan pertumbuhan lamtoro terhambat. Dengan terbatasnya curah hujan, lamtoro tidak
mampu untuk menyerap air tanah dikedalaman karena air telah diserap oleh rumput buffel
dimana kepadatan akar buffel lebih tinggi. Konsekuensinya, pertumbuhan rumput sangat lamban
dibandingkan dengan rumput buffel akibat adanya kompetisi ini.
KESIMPULAN
Simulasi model dengan menggunakan DairyMod sangat membantu dalam mengestimasi
hasil luaran kompetisi penggunaan air antara lamtoro dan rumput buffel dalam sistim
intercropping. Dengan konidisi di Central Queensland, dapat dilihat bahwa tidak terjadi drainasi
air tanah di kedalaman selama periode validasi yang mengakibatkan berkurangnya air tanah
yang dapat diserap di kedalaman tanah oleh akar lamtoro. Fenomena ini mengakibatkan
penampilan pertumbuhan lamtoro kurang baik dibandingkan dengan rumput buffel.
Dalam sistem agroforestry lamtoro – rumput buffel, komponen lamtoro berparan penting
untuk meningkatkan produktivitas ternak dan lingkungan yang berkelanjutan. Dari hasil penelitian
yang dilakukan dalam jangka pendek ini menunjukkan bahwa lamtoro kurang bagus
pertumbuhannya, untuk itu perlu strategi manajemen untuk meningkatkan kemampuan lamtoro
dalam sistim yang kompetitif ini. Strategi tersebut antara lain:
1. Menanam larikan lamtoro dalam barisan ganda,
2. Jarak larikan yang dipersempit untuk meningkatkan daya kompetisi lamtoro;
3. Pengurangan intensitas defoliasi atau penyenggutan lamtoro oleh sapi, sehingga
meningkatkan kemampuan pertumbuhan kembali bila masih terdapat daun yang berada
di tanaman untuk memulai fotosintesis.
4. Menggunakan species rumput yang kurang kompetitif selain rumput buffel, terhadap
legum pohon.
DAFTAR PUSTAKA
Droppelman, K.J., J.E. Ephrath, and P.R. Berliner. 2000. Water use efficiency and uptake
patterns in a runoff agroforestry system in an arid environment. Agrofor. Syst. 49:
223-243.
Isbell, R. F. 2002. The Australian Soil Classification. CSIRO, Collingwood, Australia.
Johnson, I. R., G. M. Lodge, and R. E. White. 2003. The sustainable grazing systems pasture
model: Description, philosophy and application to the SGS national experiment. Aust. J.
Exp. Agric. 43: 711-728.
Jones, R. M., and J. C. Tothill. 1985. Botanal - a field and computing package for assessment of
plant biomass and botanic composition. In: J. C. Tothill and Mott. (eds.). Ecology and
Management of World's Savannas. p 318-320.
Kumar, B. M., S. J. George, and T. K. Suresh. 2001. Fodder grass productivity and soil fertility
changes under four grass+tree associations in Kerala, India. Agrofor. Syst. 52: 91-106.
Narain, P., R. K. Singh, N. S. Sindhwal, and P. Joshie. 1997. Agroforestry for soil and water
conservation in the Western Himalayan Valley region of India. 2. Crop and tree
production. Agrofor. Syst. 39: 191-203.
Ong, C. K., C.R. Black, J.S. Wallace, A.A.H. Kahn, J.E. Lott, N.A. Jackson, S.B. Howard and
D.M. Smith. 2000. Productivity, microclimate and water use in Grevillea robusta-based
agroforestry systems on hillslopes in semi-arid Kenya. Agric. Ecosyst. Environ. 80:
121-141.
Peake, D. C., R. J. Myers, and E. F. Henzell. 1990. Sown pasture production in relation to
fertilizer and rainfall in southern Queensland Australia. Trop. Grassl. 24: 291-298.
Poole, H. 2003. Dryland salinity management in central Queensland using Leucaena
leucocephala. Honours Thesis, The Univ. of Queensland, Australia.
USDA-SCS. 1986. Urban hydrology for small watersheds. Tech. Rel. 55. United State
Department of Agriculture, America.
Wildin, J. H. 1993. Major beef production gains from commercial rainfed leucaena-grass pastures
in Central Queensland, Australia. In: Proceedings of the XVII International Grassland
Congress, Rockhampton, Australia.
Download