TESIS ASAM α-LIPOAT MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAS YANG TERPAPAR EKSTRAK ASAP ROKOK IN VITRO IRWAN PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 TESIS ASAM α-LIPOAT MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAS YANG TERPAPAR EKSTRAK ASAP ROKOK IN VITRO Tesis Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik Kekhususan Anti Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana IRWAN NIM 0890761012 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK KEKHUSUSAN ANTI-AGING MEDICINE UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2011 LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 11 NOVEMBER 2011 Pembimbing I Pembimbing II Prof.Dr.dr. N Adiputra,MOH NIP: 194712111976021001 Prof.Dr.dr. Wimpie I Pangkahila,Sp.And.FAACS NIP: 194612131971071001 Mengetahui, Ketua Program Magister Program Studi Anti-Aging Medicine Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof. DR. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And.FAACS NIP: 194612131971071001 Tesis Ini Telah Diuji dan Dinilai oleh Panitia Penguji pada Program Pascasarjana Universitas Udayana Pada Tanggal 11 November 2011 Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 1906/UN14.4/HK/2011 Tanggal 31 Oktober 2011 Panitia Penguji Tesis adalah: Ketua : Prof. Dr. dr. N Adiputra, MOH Anggota : 1. Prof. DR. dr. Wimpie I Pangkahila, Sp.And, FAACS 2. Prof. dr. N Agus Bagiada, Sp.BIOK 3. Prof. DR. dr. J Alex Pangkahila, M.Sc, Sp.And 4. Prof. dr. N Tigeh Suryadhi, MPH. Ph.D UCAPAN TERIMA KASIH Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya penelitian dan penyusunan tesis yang berjudul “ Asam α-Lipoat Menurunkan Ekspresi MMP-1 Pada Kultur Fibroblas Yang Terpapar Ekstrak Asap Rokok Secara In-Vitro ” dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan tugas akhir studi untuk meraih gelar Magister pada Program Magister Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana. Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. dr. I. N. Adiputra M. OH., selaku pembimbing I sekaligus pembimbing akademik dan Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And., FAACS., selaku pembimbing II atas bimbingan, perhatian, dorongan, serta semangat yang telah diberikan selama mengikuti program studi magister, khususnya dalam penyelesaian tesis ini. Ucapan yang sama juga ditujukan kepada : 1. Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD(KHOM), atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan Program Magister di Universitas Udayana. 2. Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. AA. Raka Sudewi, Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa program magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana. 3. Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Prof. Dr. dr. Wimpie Pangkahila, Sp. And., FAACS, juga selaku pembimbing, atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik kekhususan Anti Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana, yang juga telah memberikan semangat, masukan dan bimbingan untuk menyelesaikan tesis ini. 4. Prof. Dr. dr. J. Alex Pangkahila, MSc, Sp.And., selaku penguji yangtelah banyak memberikan semangat, bimbingan dan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini. 5. Prof. dr. N. A. Bagiada, Sp.BIOK selaku penguji yang telah membimbing, mengarahkan serta memberi masukan dalam penyusunan tesis ini. 6. Prof. dr. N. Tigeh Suryadhi, MPH. PhD selaku penguji yang telah membimbing dan memberikan masukan dalam penyusunan tesis ini. 7. dr. AAGP. Wiraguna, Sp.KK, yang banyak memberikan bantuan dan masukan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini. 8. Drs. I. Ketut Tunas, Msi yang membimbing dalam analisis statistik. 9. Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada atas segala sarana, fasilitas dan segala kemudahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan. 10. Para dosen pengajar Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana, teman-teman sependidikan, dan seluruh karyawan bagian Ilmu Biomedik serta semua pihak yang telah membantu selama pendidikan, penelitian dan penulisan tesis ini. 11. Ibu TriYuliati dan ibu Haryati atas segala bantuan serta kemudahan yang diberikan dalam pelaksanaan penelitian sehingga penyusunan tesis dapat diselesaikan. 12. Keluarga terkasih, orang tua akan dukungan serta pengertian dalam memberikan kesempatan untuk menyelesaikan tesis ini. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu melimpahkan rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan dan penyelesaian tesis ini. Surabaya, Oktober 2011 Penulis ABSTRAK ASAM α-LIPOAT MENURUNKAN EKSPRESI MMP-1 PADA KULTUR FIBROBLAS YANG TERPAPAR EKSTRAK ASAP ROKOK IN VITRO Merokok menyebabkan banyak kematian setiap tahun, selain sangat berpengaruh terhadap berbagai penyakit sistemik, merokok juga menyebabkan berbagai gangguan pada kulit yang salah satunya adalah penuaan dini kulit. Merokok dapat meningkatkan kadar MMP-1, yang berakibat penghancuran serat kolagen, serat elastin dan proteoglikan, ketidakseimbangan antara sintesis dan degradasi pada metabolisme jaringan ikat di bagian dermis kulit. ROS memegang peranan penting dalam asap rokok dalam menyebabkan penuaan dini kulit. Ekstrak asap rokok telah terbukti mempercepat terjadinya penuaan dini kulit, secara in vivo dan in vitro. Pemberian asam α-lipoat yang dapat meredam ROS akan menghambat rangsangan terhadap MMP-1. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui, apakah asam α-lipoat mampu memberikan perlindungan terhadap penuaan dini kulit akibat paparan ekstrak asap rokok, dinilai dari penurunan ekspresi MMP-1. Rancangan penelitian ini adalah posttest only control group design. Penelitian in vitro menggunakan sel fibroblas yang dibiakkan dari kulit preputium post sirkumsisi. Terdiri dari 13 kelompok, yang dibagi ke dalam 3 kelompok yaitu kelompok kontrol (tanpa perlakuan), kelompok sel yang hanya mendapatkan paparan ekstrak asap rokok dengan variasi dosis 50μl/ml, 25μl/ml, 12,5μl/ml, dan kelompok yang diberikan asam α-lipoat dengan variasi dosis 50μg, 100μg dan 200μg sebelum dipapar oleh ekstrak asap rokok. Supernatan dari kultur sel fibroblas dikumpulkan setelah 24 jam dan ekspresi MMP-1 dinilai dengan MMP1 Human enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kit sesuai protokol. Hasil penelitian didapatkan bahwa ekstrak asap rokok pada semua variasi dosis mampu meningkatkan MMP-1 secara bermakna (p<0,05). Asam α-lipoat pada variasi dosis pemberian (50μg, 100μg dan 200μg) mampu menurunkan ekspresi MMP-1 akibat paparan ekstrak asap rokok pada kultur sel fibroblas dengan variasi dosis ekstrak asap rokok 50μl/ml, 25μl/ml, 12,5μl/ml secara bermakna (p<0,05). Dapat disimpulkan bahwa asam α-lipoat sebagai antioksidan mampu melindungi kulit dari penuaan dini akibat paparan ekstrak asap rokok dengan menurunkan ekspresi MMP-1. Diperlukan penelitian lebih lanjut, penelitian in vivo untuk mengetahui efek perlindungan asam α-lipoat terhadap penuaan dini kulit. Kata kunci : asam α-lipoat, ekstrak asap rokok, penuaan dini, ekspresi MMP-1. ABSTRACT α-LIPOIC ACID REDUCES MMP-1 EXPRESSION IN CULTURED FIBROBLAST EXPOSED TO CIGARETTE SMOKE EXTRACT IN VITRO Smoking causes many deaths each year, in addition to great effect on a variety of systemic diseases. Smoking also causes various skin disorders, such as premature aging of skin. Smoking can increase levels of MMP-1, which resulted in the destruction of collagen fibers, elastin fibers and proteoglycans, the imbalance between synthesis and degradation in connective tissue metabolism in the dermis of skin. ROS plays an important role in cigarette smoke in causing premature aging of skin. Cigarette smoke extract has been shown to accelerate the aging of skin, in vivo and in vitro. Giving α-lipoic acid that can scavenge the ROS would inhibit the stimulation of MMP-1. This study aims to determine, whether αlipoic acid could provide protection against premature skin aging caused by exposure to cigarette smoke extract, assessed from the decreased expression of MMP-1. The design of this study was posttest only control group design. In vitro studies using cell cultures of skin fibroblasts cultured from the prepuce postcircumcision, consisting of thirteen groups, divided into three groups : control group (without exposed), groups of cells that were exposed to cigarette smoke extract with dose variation 50μl/ml, 25μl/ml, 12,5μl/ml, and groups given α-lipoic acid with a variation dose of 50μg, 100μg and 200μg before being exposed by cigarette smoke extract. Supernatant from fibroblast cell cultures were collected after 24 hours and expression of MMP-1 was assessed by the Human MMP-1 enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) kit with accordance do to protocol. The results found that extract of cigarette smoke in all variations of the dose was able to increase MMP-1 significantly (p<0.05). α-lipoic acid on variations of dose administration (50μg, 100μg and 200μg) was able to reduce MMP-1 expression due to exposure to cigarette smoke extract on fibroblast cell cultures with a variety of doses of cigarette smoke extract 50μl/ml, 25μl/ml, 12,5μl/ml significant (p<0.05). It can be concluded that α-lipoic acid as antioxidant is capable of protecting the skin from premature aging due to exposure to cigarette smoke extract by reducing the expression of MMP-1. Further research is needed, in vivo studies to determine the effects of α-lipoic acid protection against premature skin aging. Key words : α-lipoic acid, cigarette smoke extract, premature aging, expression of MMP-1 DAFTAR ISI SAMPUL DALAM ...................................................................................................... i PRASYARAT GELAR ................................................................................................ ii LEMBAR PERSETUJUAN ......................................................................................... iii PENETAPAN PANITIA PENGUJI ............................................................................. iv UCAPAN TERIMA KASIH ........................................................................................ v ABSTRAK.....................................................................................................................viii ABSTRACT ................................................................................................................ ix DAFTAR ISI ............................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xiv DAFTAR TABEL ........................................................................................................ xv BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang............................................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 6 1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................ 6 1.4 Manfaat Penelitian ...................................................................................... 6 BAB II KAJIAN PUSTAKA ....................................................................................... 8 2.1 Aging ......................................................................................................... 8 2.1.1 Teori-teori aging ............................................................................... 9 2.2 Anatomi dan Fisiologi Kulit ....................................................................... 11 2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit manusia .................................................. 11 2.2.2 Kolagen............................................................................................. 14 2.2.3 Elastin ............................................................................................... 16 2.2.4 MMP................................................................................................. 17 2.2.5 Penuaan intrinsik kulit ....................................................................... 18 2.3 Penurunan Fungsi Kulit yang Berkaitan dengan Bertambahnya Usia .......... 19 2.3.1 Pergantian sel dan penyembuhan luka................................................ 19 2.3.2 Fungsi sensoris .................................................................................. 19 2.3.3 Perbaikan kerusakan DNA................................................................. 20 2.3.4 Fungsi imunitas ................................................................................. 20 2.3.5 Produksi vitamin D............................................................................ 20 2.3.6 Fungsi pertahanan dan proteksi mekanis ............................................ 21 2.4 Radikal Bebas ............................................................................................ 22 2.4.1 Definisi radikal bebas ........................................................................ 22 2.4.2 Tahapan pembentukan radikal bebas.................................................. 22 2.4.3 Sifat radikal bebas ............................................................................. 23 2.4.4 ROS ( Reactive Oxygen Species ) ...................................................... 24 2.5 Rokok ....................................................................................................... 27 2.5.1 Kandungan kimia rokok .................................................................... 28 2.5.1.1 Nikotin .................................................................................. 28 2.5.1.2 Tar ......................................................................................... 29 2.5.1.3 Gas ........................................................................................ 29 2.6 Merokok dan Kulit ..................................................................................... 30 2.6.1 Efek yang diakibatkan oleh merokok pada jaringan ikat kulit secara in vivo dan in vitro ............................................................................ 33 2.7 Antioksidan dan Kulit ................................................................................ 34 2.8 Asam α- lipoat ........................................................................................... 35 BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS PENELITIAN .......................... 41 3.1 Kerangka Berpikir...................................................................................... 41 3.2 Konsep ...................................................................................................... 42 3.3 Hipotesis Penelitian ................................................................................... 42 BAB IV METODE PENELITIAN ............................................................................... 43 4.1 Rancangan Penelitian ................................................................................. 43 4.2 Tempat Penelitian ...................................................................................... 47 4.3 Subyek dan Sampel .................................................................................... 47 4.3.1 Variabilitas populasi ......................................................................... 47 4.2.2 Besaran sampel ................................................................................ 48 4.4 Variabel ..................................................................................................... 48 4.4.1 Klasifikasi variabel ........................................................................... 48 4.4.2 Definisi operasional variabel ............................................................ 48 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian ................................................................. 50 4.5.1 Bahan Utama .................................................................................... 50 4.5.2 Bahan Penunjang .............................................................................. 50 4.5.3 Instrumen Penelitian ......................................................................... 50 4.6 Prosedur Penelitian in vitro ........................................................................ 51 4.6.1 Pemberian perlakuan in vitro ............................................................. 51 4.6.2 Penghitungan Jumlah Sel Uji ............................................................. 53 4.6.3 Uji Aktivitas in vitro.......................................................................... 54 4.7 Alur Penelitian ........................................................................................... 55 4.8 Analisis Data ............................................................................................. 55 BAB V HASIL PENELITIAN ..................................................................................... 57 5.1 Uji Normalitas Data ................................................................................... 57 5.2 Uji Homogenitas antar Kelompok .............................................................. 57 5.3 Pemberian Ekstrak Asap Rokok 50µl/ml (EAR 50µl/ml) ............................ 57 5.3.1 Uji Efek Pemberian EAR 50µl/ml ..................................................... 57 5.4 Pemberian Ekstrak Asap Rokok 25µl/ml (EAR 25µl/ml) ............................ 60 5.4.1 Uji Efek Pemberian EAR 25µl/ml ..................................................... 60 5.5 Pemberian Ekstrak Asap Rokok 12,5µl/ml (EAR 12,5µl/ml) ..................... 63 5.5.1 Uji Efek Pemberian EAR 12,5µl/ml.................................................. 63 BAB VI PEMBAHASAN ........................................................................................... 67 BAB VII SIMPULAN DAN SARAN .......................................................................... 72 7.1 Simpulan.................................................................................................. 72 7.2 Saran ....................................................................................................... 72 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 73 LAMPIRAN ................................................................................................................ 78 Lampiran 1 : Uji Normalitas Data MMP-1 Berdasarkan Paparan Ekstrak Asap Rokok (EAR) 50µl/ml, 25µl/ml dan 12,5µl/ml .................................................. 78 Lampiran 2 : Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD Test Kelompok EAR 50µl/ml .... 79 Lampiran 3 : Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD Test Kelompok EAR 25µl/ml .... 81 Lampiran 4 : Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD Test Kelompok EAR 12,5µl/ml . 83 Lampiran 5 : Foto-foto Penelitian ................................................................................ 85 DAFTAR GAMBAR Gambar 2.1 Mekanisme Molekuler dari Penuaan Kulit Dini yang Diinduksi Asap Tembakau ............................................................................................. 31 Gambar 2.2 Skema Kerja Asam α- lipoat .................................................................... 39 Bagan 4.1 Skema Rancangan Penelitian in vitro ...................................................... 44 Bagan 4.2 Alur Penelitian in vitro ............................................................................ 55 Gambar 5.1 Grafik Sesudah Paparan EAR 50µl/ml ..................................................... 59 Gambar 5.2 Grafik Sesudah Paparan EAR 25µl/ml ..................................................... 61 Gambar 5.3 Grafik Sesudah Paparan EAR 12,5µl/ml .................................................. 64 DAFTAR TABEL Tabel 5.1 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 50µl/ml............ 58 Tabel 5.2 Analisis Komparasi antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 50µl/ml ........................................................................................... 60 Tabel 5.3 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 25µl/ml............ 61 Tabel 5.4 Analisis Komparasi antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 25µl/ml ........................................................................................... 63 Tabel 5.5 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 12,5µl/ml ......... 64 Tabel 5.6 Analisis Komparasi antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 25µl/ml ........................................................................................... 66 DAFTAR SINGKATAN DAN LAMBANG MMP-1 : Matriks Metalloproteinase 1 EAR : Ekstrak Asap Rokok ROS : Reactive Oxygen Species A4M : American Academy of Anti-Aging Medicine AAL : Asam Alfa Lipoat SOD : Superoxide Dismutase TCF : Tissue Culture Flask RPMI 1640 : Rosenthal Park Memorial Institute 1640 TIMP : Tissue Inhibitors of Matrix Metalloproteinase TGF-β : Transforming Growth Factor β AP-2 : Activator Protein 2 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penuaan adalah suatu proses yang dialami oleh setiap manusia di dunia, tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi proses penuaan dapat diperlambat. Usia harapan hidup seseorang semakin panjang menyebabkan populasi lanjut usia semakin bertambah pula. Pada sensus penduduk yang pertama diadakan di Amerika Serikat pada tahun 1790, setengah dari populasi berusia di bawah 16 tahun. Pada tahun 1990, kurang dari seperempat populasi yang berusia di bawah 16 tahun. Jumlah golongan usia ini telah berubah dua kali lipat dalam 200 tahun. Kenyataannya, Biro Kependudukan Amerika Serikat meramalkan pada tahun 2025, akan ada 2 orang berusia 65 tahun untuk tiap 1 remaja/umur belasan (Goldman dan Klatz, 2007). Berdasarkan proyeksi penduduk pada tahun 2010 di Indonesia, diperkirakan pada tahun 2020, jumlah penduduk usia lanjut sebesar 11,34%. Dengan semakin bertambahnya usia, maka akan terjadi penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan terjadinya perubahan fisik baik tingkat seluler, organ, maupun sistem karena proses penuaan (Baskoro dan Konthen, 2008). Hingga tahun 2020, populasi dunia diperkirakan mencapai lebih dari 1 milyar orang berumur 60 tahun atau lebih, dan sebagian besar di negara sedang berkembang (Beers, 2005). Seiring dengan bertambahnya populasi orang tua maka bertambah juga berbagai permasalahan yang menyertai usia tersebut. Sebagian besar orang merasa pasrah bahwa menjadi tua harus mengalami segala macam penyakit, kemunduran, kekurangan, dan ketidakberdayaan. Bahkan, istilah “penyakit tua” sangat dikenal oleh masyarakat luas. Penuaan ditandai dengan penurunan dan bahkan berhentinya fungsi berbagai organ tubuh, dibedakan menjadi dua, yang pertama yaitu tanda fisik yang meliputi massa otot berkurang, lemak meningkat, kulit berkerut, dan lain sebagainya; sedangkan tanda yang kedua adalah tanda psikis seperti sulit tidur menurunnya gairah hidup, mudah cemas, dan masih banyak lagi (Pangkahila, 2007). Bersamaan dengan adanya perkembangan jaman dan bertambahnya ilmu pengetahuan telah dicetuskan suatu konsep baru pada tahun 1993 yaitu konsep Anti-Aging Medicine atau Kedokteran Anti-Penuaan yang mengharapkan manusia tetap dapat hidup dengan kualitas yang prima walaupun usia merambah naik. Bahkan, proses penuaan dapat diperlambat, ditunda, atau dihambat, dan usia harapan hidup menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007). Kulit merupakan organ yang kompleks dan dinamis yang menunjukkan tanda-tanda penuaan secara nyata. Kulit berhubungan langsung dengan lingkungan sekitar dan oleh karena tersebut penuaan yang juga sebagai konsekuensi dari kerusakan oleh lingkungan (Gilchrest dan Krutmann, 2006). Penuaan kulit kronologis meliputi segala perubahan yang terjadi pada kulit akibat dari perjalanan waktu saja. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai bagian dari hasil kumulasi kerusakan endogen dari pembentukan ROS (reactive oxygen species) secara terus-menerus yang terbentuk selama metabolisme oksidasi seluler (Gilchrest dan Krutmann, 2006). ROS, baik yang dihasilkan oleh metabolisme seluler maupun yang berasal dari lingkungan luar, dapat mengubah struktur asam amino yang cukup untuk menghasilkan hilangnya fungsi (Stadtman, 2001). Pelepasan ROS yang tidak terkontrol ikut berperan pada patogenesis terjadinya sejumlah gangguan kulit pada manusia termasuk di antaranya adalah neoplasma kutaneus (Black 2004b). Sesuai dengan konsep dalam Kedokteran Anti-Penuaan yang menyatakan bahwa penuaan dapat dihambat dan bahkan dapat dikembalikan ke keadaan semula maka perlu diketahui secara jelas penyebab-penyebab penuaan tersebut. Berbagai teori penyebab penuaan telah dikemukakan dan salah satunya adalah teori tentang radikal bebas yang pertama dikenalkan oleh R.Gerschman pada tahun 1954, yang kemudian dikembangkan oleh Dr. Denham Harman. Radikal bebas adalah suatu istilah yang digunakan untuk menjelaskan berbagai molekul yang memiliki elektron bebas, yang dapat dengan mudah bereaksi dengan molekul lain dengan jalan yang cepat dan merusak (Goldman dan Klatz, 2007). Rokok merupakan sumber radikal bebas yang cukup besar, dengan mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia, termasuk di dalamnya 43 zat yang telah diketahui bersifat karsinogenik dan 400 racun lainnya. Termasuk di dalamnya nikotin, tar dan karbon monoksida, termasuk juga formaldehid, amonia, hidrogen sianida, arsenik dan DDT (Ginzel, 1999). Merokok merupakan penyebab morbiditas yang dapat dihindari dan ini bertanggung jawab atas lebih dari tiga juta kematian dalam setahun di seluruh dunia. Sebagai tambahan akan hubungan yang kuat terhadap penyakit-penyakit sistemik, merokok juga berhubungan dengan berbagai kondisi dermatologis, termasuk penyembuhan luka yang buruk, penuaan dini kulit, karsinoma sel squamosa, melanoma, dan lain sebagainya (Morita, 2007a). Telah lama ditetapkan bahwa merokok memiliki efek yang mengganggu kulit. Studi epidemiologis mengindikasikan bahwa merokok merupakan faktor lingkungan yang penting dalam terjadinya penuaan dini kulit. Reactive oxygen species (ROS) berperan dalam penuaan dini kulit yang diakibatkan asap tembakau. Studi in vitro mengindikasikan bahwa ekstrak asap tembakau merusak produksi kolagen dan meningkatkan produksi tropoelastin dan matrix metalloproteinase (MMP), yang mendegradasi matriks protein, dan juga menyebabkan produksi abnormal dari material elastosis. Merokok meningkatkan level MMP, yang membawa pada keadaan degradasi serat-serat kolagen, elastin dan proteoglikan, diduga terjadi ketidakseimbangan antara biosintesis dan degradasi pada metabolisme jaringan penghubung dermis (Morita, 2007b). Penelitian yang telah dilakukan oleh Kim dkk di Universitas Nebraska Medical Center pada tahun 2004 mendapatkan hasil yang menyatakan bahwa asap rokok merangsang produksi dan aktivitas MMP-1 lewat pengaktifan jalur transduksi sinyal ERK1/2. Dengan menginduksi MMP1, asap rokok menyebabkan kerusakan jaringan yang berlebihan (Kim et al, 2004). Penelitian pada binatang dan manusia mendukung adanya peranan radikal bebas pada proses penuaan, dan penggunaan antioksidan dapat menghambat kerusakan akibat radikal bebas (Pangkahila, 2007). Asam α-lipoat memiliki keunikan dalam kemampuannya bertindak sebagai antioksidan yang dapat larut baik dalam jaringan lemak maupun air pada baik bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Dapat diserap dengan baik dalam sediaan oral. Karena keuntungankeuntungan ini dan tingkat toksisitas yang rendah, asam α-lipoat mendapatkan perhatian yang lebih sebagai agen terapeutik yang sangat potensial dalam berbagai kondisi klinis yang berhubungan dengan kerusakan yang disebabkan radikal bebas. Lester Packer, PhD, Universitas California di Berkeley, menyarankan asam α-lipoat sebagai kandidat antioksidan yang ideal karena perannya sebagai berikut spesifitasnya dalam memadamkan radikal bebas, aktivitas meng-kelasi metal, interaksi dengan antioksidan lainnya dan pengaruh pada ekspresi gen. Karena aktivitas biologisnya yang sangat banyak, termasuk kemampuan untuk meng-kelasi logam dan meredam banyak macam radikal bebas, asam α-lipoat dipertimbangkan oleh beberapa ahli sebagai antioksidan yang ideal (Nichols, 2001). Data di atas menunjukkan bahwa asam α-lipoat merupakan antioksidan yang baik, namun pada penelitian yang dilakukan oleh Lin dkk pada tahun 2004 mengatakan bahwa asam α-lipoat kurang efektif untuk melakukan perlindungan pada kulit, pada penelitian in vivo dengan subyek hewan , babi dengan menggunakan paparan sinar UV (Lin et al, 2004). Berdasarkan data di atas perlu dilakukan penelitian ini untuk membuktikan bahwa asam α-lipoat memiliki kemampuan untuk melindungi kulit, terutama struktur kolagen, dari kerusakan kulit yang diakibatkan paparan asap rokok. 1.2 Rumusan Masalah Permasalahan yang akan dicari jawabanya melalui penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: Apakah pemberian asam α-lipoat dapat menurunkan MMP-1 pada kultur fibroblast yang terpapar ekstrak asap rokok? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum : Mengetahui efek proteksi pemberian antioksidan pada kultur fibroblast dari kulit preputium manusia setelah paparan ekstrak asap rokok. Tujuan khusus : Mengetahui penurunan MMP-1 pada kultur fibroblast dari kulit preputium manusia yang terpapar ekstrak asap rokok setelah pemberian asam αlipoat . 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut : Manfaat ilmiah : - Memberikan informasi mengenai pemberian asam α-lipoat dapat menghambat peningkatan kadar MMP-1, yang bersifat destruktif terhadap kolagen, setelah paparan ekstrak asap rokok dan kemungkinan dapat dipergunakan sebagai dasar untuk dilakukan penelitian in vivo lebih lanjut pada manusia. Manfaat klinis : 13. Dapat digunakan sebagai dasar untuk praktek sehari-hari bagi pasien. Manfaat sosial : Sebagai acuan bagi masyarakat untuk memahami pentingnya antioksidan dan bahkan agar bagi para perokok boleh menyadari begitu buruknya dampak terhadap khususnya kulit dan kesehatan secara menyeluruh yang diakibatkan oleh rokok dan dapat berhenti merokok. BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Aging Aging atau penuaan secara praktis dapat dilihat sebagai suatu penurunan fungsi biologik dari usia kronologik. Aging tidak dapat dihindarkan dan berjalan dengan kecepatan berbeda, tergantung dari susunan genetik seseorang, lingkungan dan gaya hidup, sehingga aging dapat terjadi lebih dini atau lambat tergantung kesehatan masingmasing individu (Fowler, 2003). Menurut A4M (American Academy of Anti-Aging Medicine) aging adalah kelemahan dan kegagalan baik fisik maupun mental yang berhubungan dengan aging normal disebabkan oleh disfungsi fisiologik, dalam banyak kasus dapat diubah dengan intervensi kedokteran yang tepat (Klatz, 2003). Aging dapat dibagi menjadi dua konsep yang berbeda, yaitu : usia kronologis dan usia biologis. Usia kronologis yaitu usia berdasarkan urutan waktu, terhitung sejak tanggal lahir, sedangkan usia biologis merupakan fungsi fisik dan mental seseorang, yang terkadang dapat lebih muda atau lebih tua bila dibandingkan orang lain yang seusianya (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Perkembangan ilmu kedokteran, dalam hal ini Ilmu Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) atau Anti-Aging Medicine (AAM) telah membawa konsep baru dalam dunia kedokteran. Penuaan diperlakukan sebagai penyakit, sehingga dapat dan harus dicegah atau diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula sehingga usia harapan hidup dapat menjadi lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Goldman dan Klatz, 2007; Pangkahila, 2007). Dengan mencegah proses penuaan, fungsi berbagai organ tubuh dapat dipertahankan agar tetap optimal. Hasilnya organ tubuh dapat berfungsi seperti pada usia yang lebih muda, walaupun usia bertambah. Dengan demikian penampilan dan kualitas hidupnya lebih muda dibandingkan dengan usia sebenarnya (Pangkahila, 2007). Konsep dan definisi ilmu KAP atau AAM pada awalnya diperkenalkan oleh A4M ( American Academy of Anti-Aging Medicine) pada tahun 1993, definisinya adalah “Kedokteran Anti-Penuaan (KAP) adalah bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat ” (Pangkahila, 2007) 2.1.1 Teori-teori aging Teori terbaru dari aging dari tingkat seluler hingga molekuler secara umum terdiri dari 2 latar belakang, yaitu aging sebagai sesuatu yang terprogram dan aging merupakan sesuatu yang kebetulan. Teori program berdasarkan pemikiran bahwa sejak konsepsi hingga kematian, perkembangan manusia diperintah oleh jam biologis. Jam ini mengatur waktu yang tepat untuk sejumlah perubahan. Teori kebetulan menyatakan organisme menjadi tua oleh sejumlah kejadian acak. Contohnya kerusakan DNA oleh radikal bebas atau hanya wear and tear dari kehidupan sehari-hari. Ada 4 teori pokok dari aging (Goldman dan Klatz, 2007) Teori “wear and tear” Tubuh dan selnya mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Organ tubuh seperti hati, lambung, ginjal, kulit dan yang lainya, menurun karena toksin didalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin, karena sinar ultraviolet dan karena stres fisik dan emosional. Tetapi kerusakan ini tidak terbatas pada organ melainkan juga terjadi di tingkat sel. Teori neuroendokrin Teori ini berdasarkan peranan berbagai hormon bagi fungsi organ tubuh. Hormon dikeluarkan oleh beberapa organ yang dikendalikan oleh hipotalamus, sebuah kelenjar yang terletak di otak. Hipotalamus membentuk poros dengan hipofise dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonya. Dengan bertambahnya usia tubuh memproduksi hormon dalam jumlah kecil, yang akhirnya mengganggu berbagai sistem tubuh. Teori Kontrol Genetik Teori ini fokus pada genetik memprogram sandi sepanjang DNA, dimana kita dilahirkan dengan kode genetik yang unik, yang memungkinkan fungsi fisik dan mental tertentu. Dan penurunan genetik tersebut menentukan seberapa cepat kita menjadi tua dan berapa lama kita hidup. Teori Radikal Bebas Teori ini menjelaskan bahwa suatu organisme menjadi tua karena terjadi akumulasi kerusakan oleh radikal bebas dalam sel sepanjang waktu. Radikal bebas sendiri merupakan suatu molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas tinggi, karena kecenderungan menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas akan merusak molekul yang elektronya ditarik oleh radikal bebas tersebut sehingga menyebabkan kerusakan sel, gangguan fungsi sel, bahkan kematian sel. Molekul utama di dalam tubuh yang dirusak oleh radikal bebas adalah DNA, lemak dan protein (Suryohudoyo, 2000). Bersamaan dengan bertambahnya usia maka akumulasi kerusakan sel akibat radikal bebas semakin mengambil peranan, sehingga mengganggu metabolisme sel, juga merangsang mutasi sel, yang akhirnya membawa pada kanker dan kematian. Selain itu radikal bebas juga merusak kolagen dan elastin, suatu protein yang menjaga kulit tetap lembab, halus, fleksibel dan elastis. Jaringan tersebut akan menjadi rusak akibat paparan radikal bebas, terutama pada daerah wajah, dimana mengakibatkan lekukan kulit dan kerutan yang dalam akibat paparan yang lama oleh radikal bebas (Goldman dan Klatz, 2007). 2.2 Anatomi dan Fisiologi Kulit 2.2.1 Anatomi dan fisiologi kulit manusia Kulit terdiri dari tiga lapisan besar, yaitu epidermis, dermis dan hipodermis. 1. Epidermis Epidermis merupakan lapisan berfungsi untuk proteksi, yang terdiri akan keratinosit sebagai komponen yang terutama, kemudian melanosit, sel Langerhans, sel Merkel dan akson yang tidak bermyelin. Epidermis merupakan struktur yang terus memperbaharui diri secara kontinyu, yang memberikan tempat tumbuh bagi struktur turunan yang disebut appendage (kelompok pilosebaseus, kuku, dan kelenjar keringat). Ketebalan epidermis berkisar antara 0,4 sampai 1,5 mm dibandingkan dengan kedalaman kulit 1,5 sampai 4,0 mm. Sebagian besar epidermis terdiri dari sel keratinosit yang mengelompok menjadi empat lapisan, yang diberi nama sesuai dengan posisi atau sel pembentuk strukturnya. Sel tersebut berdiferensiasi progresif dari sel basal proliferatif, melekat dengan epidermal membran basal, menuju diferensiasi akhir stratum korneum terkeratinisasi, yang merupakan lapisan terluar dan barier kulit. Dermal-epidermal junction adalah daerah membran basal yang membentuk batas antara epidermis dan dermis. Fungsi utamanya adalah melekatkan antara epidermis dan dermis sehingga memberikan resistensi terhadap bahaya dari luar. Ini menunjang epidermis, membedakan polaritas pertumbuhan, organisasi sitoskleton sel basal, memberikan sinyal pertumbuhan, dan bertindak sebagai barier semipermiabel. 2. Dermis Dermis terdiri dari kelenjar ekrin dan apokrin, folikel rambut, pembuluh darah, syaraf dan jaringan halus dari serabut-serabut kolagen, serat-serat elastin dan komponen-komponen lainnya dari matriks ekstraseluler. Dermis merupakan sistem integrasi dari fibrus, filamentus, difus, dan elemen seluler jaringan penghubung yang mengakomodasi saraf, jaringan pembuluh darah, appendage epidermal, dan terdiri dari berbagai tipe sel, termasuk fibroblas, makofag, sel mast, dan sel yang berperan pada sistem imun. Dermis merupakan komponen terbesar pembentuk kulit sehingga mempertahankan pliabilitas, elastisitas dan kekuatan peregangan kulit. Ini melindungi tubuh dari trauma mekanik, mengikat air, dan berperan pada termoregulasi, dan mengandung reseptor berbagai stimulus. Dermis bekerjasama dengan epidermis dalam mempertahankan komponen masing-masing serta berinteraksi dalam perbaikan dan pembentukan kembali kulit setelah perlukaan. Dermis terdiri dari dua bagian, yaitu : papiler dermis dan retikuler dermis. Kedua bagian tersebut dapat dibedakan secara histologis, dan keduanya berbeda dalam hal organisasi jaringan penunjang, densitas sel, bentuk saraf dan pembuluh darah. Papiler dermis berbatasan dengan epidermis, sedangkan retikuler dermis terbentuk sebagian besar dari serat kolagen berdiameter besar, menyatu membentuk rangkaian, cabang serat elastin mengelilingi rangkaian tersebut. Pada orang normal, serat elastin dan rangkaian kolagen meningkat ukurannya secara progresif sampai ke hipodermis. Bagian terbawah dari retikuler dermis dikatakan transisi dari jaringan penunjang fibrus dengan jaringan penunjang lemak dari hipodermis. 3) Hipodermis (subkutis) Jaringan hipodermis menyekat tubuh, sebagai bantalan dan pelindung kulit, dan memungkinkan mobilitas kulit dari jaringan di bawahnya. Jaringan ini juga memberikan efek kosmetik dengan memberikan bentuk tubuh. Kulit merupakan organ kompleks yang melindungi dari lingkungan, pada saat bersamaan memungkinkan interaksi dengan lingkungannya. Kulit merupakan perpaduan yang dinamis, kompleks, terintegrasi dari sel, jaringan, dan elemen matriks yang memediasi berbagai fungsi, yaitu : kulit merupakan barier permeabilitas fisik, menjaga dari agen infeksius, termoregulasi, proteksi sinar ultraviolet, penyembuhan luka dan regenerasi, dan memberikan penampilan fisik luar (Kochevar et al., 2008). 2.2.2 Kolagen Kolagen merupakan komponen struktural penting pada jaringan pengikat kulit, memberi kekuatan peregangan pada kulit. Sekitar 70-80% berat kering kulit terdiri dari kolagen. Tipe kolagen yang paling banyak didapatkan di kulit adalah tipe I dan III, tipe I ini membentuk sekitar 80% dari kolagen total yang terdapat di kulit dan tipe III sekitar 15% (Raitio, 2005). Tipe kolagen lainnya yang ditemukan di dermis termasuk kolagen tipe IV, yang banyak didapatkan pada membran dasar, kolagen tipe V, terletak pada periseluler, kolagen tipe VI, berperan pada pembentukan matriks dan sebagai mikrofibril-mikrofibril di antara serat-serat kolagen, dan kolagen tipe VII, merupakan komponen struktural dari anchoring fibrils. Sebuah molekul kolagen terdiri dari tiga rantai-α, yang dapat bergantian rantai polipeptida yang sama maupun tidak sama. Sebagai contoh, kolagen tipe I terdiri dari dua rantai α1(I) identik, yang disintesis dari gen yang sama, dan rantai α2(I), yang disintesis oleh gen yang lain, sedangkan kolagen tipe III terdiri dari tiga rantai α1(III) identik yang dikode oleh gen tunggal (Raitio, 2005). Pembentukan triple helix pada molekul kolagen memerlukan glisin pada setiap asam amino ketiga pada rantai polipeptida, yang menghasilkan suatu rangkaian Gly-X-Y, dimana X dan Y dapat berupa asam amino apapun kecuali glisin. Asam amino esensial yang lain untuk pembentukan struktur triple helix adalah prolin dan 4-hidroksiprolin. Prolin sering ditemukan pada posisi X dan 4-hidroksiprolin pada posisi Y dari urutan asam amino. Sintesis kolagen kulit terutama terjadi pada fibroblas. Sintesis dari kolagen tersebut dibagi menjadi fase intraseluler dan ekstraseluler, yang kedua-duanya melibatkan modifikasi post-translasi yang sangat diperlukan untuk pembentukan triple helix dari molekul kolagen yang stabil, dengan cross-link yang tepat. Modifikasi intraseluler termasuk juga hidroksilasi residu prolin pada posisi Y menjadi 4-hidroksiprolin dan beberapa residu pada posisi X menjadi 3-hidroksiprolin begitu juga hidroksilasi residu lisin pada posisi Y menjadi hidroksilisin (Myllyharju dan Kivirikko 2001; Raitio, 2005). Askorbat sangat diperlukan dalam biosintesis dari kolagen dan berperan sebagai kofaktor pada hidroksilasi prolin dan lisin. Glikosilasi dari residu hidroksilisin dan asparagin juga terjadi pada intraseluler. Keduanya, baik hidroksilasi maupun glikosilasi terus berlanjut sampai pembentukan triple helix yang diinginkan dari molekul diperoleh. Molekul prokolagen yang terbentuk intraseluler dikeluarkan ke ruang ekstraseluler, dimana gugus prokolagen dipecah dan amino dan gugus karboksi pada propeptida pada kemudian endoproteinase yang spesifik (Raitio, 2005). diblokir ujung-ujungnya oleh berbagai 2.2.3 Elastin Serat elastin sangat penting untuk kelentingan dan elastisitas kulit, meskipun mereka ini hanya berjumlah sekitar 1-2% dari berat kering kulit (Raitio, 2005). Serat elastis terdiri dari elastin, yang terhitung sekitar 90% dari serat yang matur, dan komponen mikrofibriler, yang terletak di sekitar elastin dan berselang-seling di antaranya. Serat elastin berhimpun pada dermis sebagai jaringan tiga dimensi (Lewis et al., 2004). Elastin merupakan polipeptida yang berukuran sekitar 70kDa, yang dikode oleh kopi suatu gen tunggal yang didapatkan pada kromosom 7. Elastin dan protein mikrofibriler disintesis terutama oleh fibroblas (Lewis et al, 2004). Gen yang mengkode elastin, mengkode tropoelastin, protein prekursor untuk elastin. Tropoelastin disintesis intraseluler dan kemudian dikeluarkan ke ruang ekstraseluler, dimana cross-linking terjadi (Raitio, 2005). Faktor-faktor pertumbuhan dan berbagai sitokin mengambil bagian dalam regulasi dari ekspresi gen dan biosintesis elastin. Ekspresi elastin diregulasi meningkat secara invitro, contohnya, oleh insulin-like growth factor I dan transforming growth factor β1. Sitokin-sitokin lainnya seperti tumor necrosis factor α (TNFα) dan interferon γ (IFNγ) meregulasi turun akan ekspresi gen elastin (Raitio, 2005). Elastin dimetabolisme oleh enzim-enzim proteolitik, seperti serine-type elastases dan matrix metalloproteinases, yaitu stromelysin, macrophage metalloelastase (MMP-12), matrilysin (MMP-7) dan gelatinase (MMP-2 dan MMP-9) yang paling aktif bagi serat elastis (Lewis et al., 2004). 2.2.4 MMP ( Matrix metalloproteinase ) Terdapat tiga famili besar dari protease yang merupakan komponen untuk mendegradasi matriks ekstraseluler, yaitu serin, sistein dan metalloproteinases, mereka ini sangat penting berperan dalam perbaikan jaringan dan inflamasi maupun dalam invasi tumor dan metastase. Matrix metalloproteinases (MMPs) dan tissue inhibitors of matrix metalloproteinases (TIMPs) meregulasi degradasi kolagen, elastin dan komponen matriks ekstraseluler lainnya. Matrix metalloproteinases merupakan endopeptidase netral yang tergantung zinc, yang terbagi menjadi empat grup utama tergantung pada struktur primer dan spesifisitas substratnya, yaitu kolagenase, gelatinase, stromelysin dan membrane-type matrix metalloproteinases (Raitio, 2005). Kolagenase, MMP-1, MMP-8 dan MMP-13 merupakan proteinase utama yang mampu memulai degradasi serabut kolagen tipe I, II, III dan V, tetapi 72-kDa gelatinase (MMP-2) dan MT-1 MMP (MMP-14) juga mampu memotong serabut kolagen, sedangkan 92-kDa gelatinase (MMP-9) berperan dalam degradasi akhir dari serabut kolagen setelah proses pemotongan dan meregulasi re-epitelialisasi dari kulit (Mohan et al., 2002). MMP-1 mendegradasi kolagen tipe III dengan kecepatan yang lebih cepat daripada tipe I dan II, sedangkan MMP-8 mendegradasi kolagen tipe I dengan kecepatan yang lebih cepat daripada tipe III (Raitio, 2005). Proses penyembuhan luka dimulai dengan pembentukan fibrin clot, diikuti dengan pelepasan berbagai macam faktor-faktor pertumbuhan dari sel-sel yang mengalami cedera dan matriks ekstraseluler, inflamasi, pembentukan jaringan granulasi, epitelialisasi dan pada akhirnya produksi matriks dan remodelling (Ravanti dan Kähäri, 2000). Re-epitelialisasi dimulai dalam beberapa jam setelah kerusakan jaringan, dan manifestasi awalnya berupa proliferasi keratinosit. Sel epitelial yang baru terbentuk bermigrasi pada membran dasar, dan jika memungkinkan akan menyebrang matriks transien dari fibrin dan fibronektin disaat membran dasar sedang dalam perbaikan (Raitio, 2005). Selama masa remodelling, matriks ekstraseluler yang sementara didegradasi dan digantikan oleh kolagen. MMP-1 dan MMP-8 sangat penting berperan dalam regulasi akan proses penyembuhan luka, sedangkan MMP lainnya, seperti MMP-2, MMP-9 dan MMP-19, berperan juga pada perbaikan luka ( Mohan et al., 2002; Hieta et al., 2003). MMP-1 ditandai dengan bermigrasinya keratinosit basal pada semua tipe luka kutaneous dan penyempurnaan proses re-epitelialisasi menyebabkan menurunnya ekspresi dari MMP-1 (Raitio, 2005). 2.2.5 Penuaan intrinsik kulit Penuaan kulit intrinsik/kronologis meliputi segala perubahan yang terjadi pada kulit akibat dari perjalanan waktu saja. Perubahan-perubahan ini terjadi sebagai bagian dari hasil kumulasi kerusakan endogen dari pembentukan ROS (reactive oxygen species) secara terus-menerus yang terbentuk selama metabolisme oksidasi seluler. Pembentukan ROS merusak beberapa unsur seluler termasuk membran, enzim dan DNA dan juga turut campur dalam interaksi antara DNA-protein dan protein-protein meskipun dengan adanya sistem antioksidan seluler yang cukup rumit. Pemendekan telomer pada pembelahan sel juga dikatakan salah satu penyebab penuaan intrinsik kulit, selain oleh karena penurunan faktor pertumbuhan dan hormon. Manifestasi klinis penuaan kronologis kulit dapat berupa serosis, kekenduran, kerutan dan gambaran tumor jinak seperti keratosis seboroik dan angioma buah cherry (Gilchrest dan Kurtmann, 2006). 2.3 Penurunan Fungsi Kulit yang Berkaitan dengan Bertambahnya Usia 2.3.1 Pergantian sel dan penyembuhan luka Keratinosit meliputi 90% dari populasi sel di epidermis, dengan bertambahnya waktu, mereka kehilangan kapasitas proliferatif, kemampuan berdiferensiasi dengan tepat untuk membentuk stratum korneum yang bersifat protektif (Yaar dan Gilchrest, 2003) dan kemampuan untuk menguraikan sitokin-sitokin dan sinyal sel-sel lainnya pada respon terhadap rangsangan lingkungan (Gilchrest dan Kurtmann, 2006). 2.3.2 Fungsi sensoris Seiring dengan bertambahnya usia, terdapat penurunan sensori persepsi cahaya, sensasi getar, kemampuan untuk membedakan dua titik dan ketajaman ruang dan terjadi peningkatan ambang nyeri (Gilchrestdan Kurtmann, 2006). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa orang dengan usia 60 tahun atau lebih tua mengalami penurunan densitas serat-serat saraf baik yang bermyelin maupun yang tak bermyelin yang menjalarkan sensasi panas dan nyeri (Gibson dan Farrell, 2004). 2.3.3 Perbaikan kerusakan DNA Telah tercatat dengan baik bahwa kerusakan DNA dan frekuensi terjadinya mutasi meningkat dengan bertambahnya usia. Walaupun akumulasi mutasi dapat merupakan hasil dari bertambahnya waktu itu sendiri, ada data yang mendukung bahwa kapasitas perbaikan DNA menurun juga dengan bertambahnya usia. Bersamaan dengan itu beberapa penelitian menunjuk pada menurunnya kemampuan perbaikan DNA menjadi salah satu predisposisi dalam berkembangnya kanker pada orang tua (Gilchrest dan Kurtmann, 2006). 2.3.4 Fungsi imunitas Dengan bertambahnya usia, terdapat pengurangan jumlah sel Langerhans pada epidermis, yang merupakan skin's immune antigen-presenting effector cells (Yaar dan Gilchrest, 2003). Terdapat juga penurunan produksi dari sitokin epidermis interleukin (IL)-1α dan begitu juga terjadi penurunan produksi sitokin-sitokin selanjutnya termasuk IL-6, granulocyte-macrophage colony stimulating factor dan IL-8. Berbagai bukti juga menunjukkan dengan bertambahnya usia, terjadi penurunan imunitas seluler dan humoral. Penurunan pada sistem imunitas ini, menyebabkan orang tua lebih rentan terkena infeksi (Mouton et al., 2001) dan sebagai akibat penurunan sistem kekebalan ini memungkinkan kanker lebih mudah Kurtmann, 2006). 2.3.5 Produksi vitamin D berkembang pada orang tua (Gilchrest dan Epidemis kulit manusia berperan dalam pembentukan dari bentuk aktif vitamin D, 1,25(OH)2D3 (Yaar dan Gilchrest, 2003). Disamping perannya dalam menjaga homeostasis kalsium dan pemeliharaan tulang, 1,25(OH)2D3 juga terlibat dalam respon imun, mempengaruhi fungsi makrofag dan memodulasi pelepasan sitokin inflamatori (Gilchrest dan Kurtmann, 2006) dan mungkin pada pencegahan jenis kanker tertentu yang berasal dari jaringan epitelial seperti payudara dan kolon (Lowe et al., 2003). Dalam konteks ini perlu dicatat bahwa orang tua mengalami penurunan tingkat vitamin D, sebagian dikarenakan penurunan konsumsi vitamin D pada diet mereka, sebagian lainnya karena kekurangan paparan sinar matahari. Lebih jauh lagi tingkat dari prekursor vitamin D pada epidermis, 7-dehydrocholesterol per unit skin surface menurun secara linier mencapai 75% diantara dewasa muda sampai dewasa tua, diduga dikarenakan kekurangan prekursornya, individu yang lebih tua gagal mensintesa dengan jumlah yang cukup akan 1,25(OH)2D3 (Gilchrest dan Kurtmann, 2006). 2.3.6 Fungsi pertahanan dan proteksi mekanis Kemampuan termoregulasi yang menurun menyebabkan orang tua dapat menghadapi suatu kondisi yang mengancam jiwa termasuk heat stroke dan hipotermi. Penurunan produksi keringat dengan bertambahnya usia menambah kemungkinan orang tua mengalami heat stroke. Pada akhirnya, dengan menurunya androgen baik yang dihasilkan oleh gonad maupun androgen, menyebabkan penurunan produksi sebum mencapai 23% per dekade yang dimulai pada dekade kedua – terjadi penurunan sekitar 60% selama masa hidup dewasa (Yaar dan Gilchrest, 2003). 2.4 Radikal Bebas 2.4.1 Definisi radikal bebas Radikal bebas adalah atom atau molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan (unpaired electron). Radikal bebas memiliki sifat reaktifitas yang tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron dan dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal oleh karena hilangnya atau bertambahnya satu elektron pada molekul lain. Radikal bebas diproduksi secara endogen dan diperoleh pula secara eksogen. Secara endogen, radikal bebas diproduksi oleh mitokondria, membran plasma, lisosom, retikulum endoplasma dan inti sel. Secara eksogen, radikal bebas berasal dari asap rokok, polutan, radiasi ultraviolet, obat-obatan dan pestisida (Suryohudoyo, 2000). 2.4.2 Tahapan pembentukan radikal bebas Reaksi radikal bebas dapat dibagi menjadi tiga tahap (Setiati, 2003), yaitu: 1. Tahap inisiasi, yaitu tahapan yang menyebabkan terbentuknya radikal bebas. Cu RH + O2 R+ + HOO+ 2. Tahap propagasi, yaitu tahap dimana radikal bebas cenderung bertambah banyak dengan membuat reaksi rantai dengan molekul lain. R+ + O2 ROO+ 3. Tahap terminasi, yaitu apabila terjadi reaksi antara radikal bebas dengan radikal bebas lain atau antara radikal bebas dengan suatu senyawa pembasmi radikal (scavenger). R+ + R+ R:R Reduksi oksigen memerlukan pengalihan 4 elektron (electron transfer). Pengalihan ini tidak dapat sekaligus, tetapi dalam 4 tahapan yang setiap tahapannya hanya melibatkan pengalihan 1 elektron kendala yang mengharuskan oksigen hanya dapat menerima satu elektron setiap tahap menyebabkan terjadinya dua hal, yaitu kurang reaktifnya oksigen dan terbentuknya senyawa-senyawa oksigen reaktif seperti O2- (ion peroksida), H2O2 (hidrogen peroksida), OOH- (radikal peroksil), dan OH(radikal hidroksil). 2.4.3 Sifat radikal bebas Radikal bebas memiliki dua sifat, yaitu : 1. Reaktivitasnya tinggi, karena kecenderungannya menarik elektron. 2. Dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal Sifat radikal bebas yang mirip dengan oksidan terletak pada kecenderungannya untuk menarik elektron. Jadi sama halnya dengan oksidan, radikal bebas adalah penerima elektron. Itulah sebabnya dalam kepustakaan kedokteran, radikal bebas digolongkan dalam oksidan. Namun perlu diingat bahwa radikal bebas adalah oksidan tetapi tidak setiap oksidan adalah radikal bebas. Radikal bebas lebih berbahaya dibanding dengan oksidan yang bukan radikal. Hal ini disebabkan oleh kedua sifat radikal bebas di atas, yaitu reaktivitas yang tinggi dan kecenderungan membentuk radikal baru, yang pada gilirannya nanti apabila menjumpai molekul lain akan membentuk radikal baru lagi, sehingga terjadilah reaksi rantai (chain reaction). 2.4.4 ROS (Reactive Oxygen Species) Kulit merupakan organ tubuh yang terbesar, menyediakan suatu pertahanan diantara tubuh dengan lingkungan, dan secara terus menerus terpapar oleh serangan berbagai polutan lingkungan baik yang fisik maupun kimiawi (Athar, 2002). Sebagai tambahan, sejumlah besar dari kontaminan dalam diet dan obat-obatan dapat memberikan gejala toksisitasnya pada kulit (Sander et al., 2004). Bahan-bahan toksik yang berasal dari lingkungan atau hasil metabolitnya yang melekat dengan oksidan dan/atau secara langsung maupun tidak langsung mendorong produksi dari berbagai oksidan reaktif yang juga dikenal sebagai reactive oxygen species (ROS). ROS merupakan suatu senyawa yang hidupnya singkat yang terus terbentuk pada level yang rendah selama proses metabolisme aerobik yang normal. Yang termasuk ROS adalah singlet oxygen, anion superoksida, H2O2, radikal hidroksil, dan lain sebagainya (Bickers dan Athar, 2006). O2 dibentuk dengan memindahkan dari energi fisik atau kimia pada molekul oksigen (O2), yang pada suhu ambien berlaku sebagai triplet dan paramagnetik. O2 tidak memiliki elektron bebas dan ini merupakan oksidan yang sangat kuat. Langkah-langkah yang berurutan dalam pengurangan elektron pada O2 menyebabkan terbentuknya O2-, H2O2 dan OH-. Reaksi radikal bebas berbeda dengan yang bukan radikal bebas, dalam hal senyawa radikal bebas yang baru terbentuk menghasilkan sedikitnya satu produk dari hasil reaksinya. Radikal bebas merangsang suatu reaksi yang biasanya beruntun. Contohnya , berlaku sebagai donor elektron O2- dapat membawa pada pembentukan OH- melalui reaksi Fenton yang dipicu oleh O2-, dan dengan interaksi dengan NO, dapat menghasilkan peroksinitrit (ONOO-) yang sangat reaktif. Penerima elektron seperti molekul oksigen siap bereaksi dengan radikal bebas sampai diri mereka sendiri menjadi radikal bebas. Sumber tambahan dari radikal oksigen pada kulit sama halnya pada organ yang lain menyusup masuk kedalam leukosit yang memiliki sistem yang berlimpah untuk menghasilkan senyawa-senyawa radikal bebas tersebut, diantaranya O2- dan hipoklorit, yang merupakan sumber ROS insitu. Tujuan dasar dari pelepasan banyak ROS tersebut selama proses inflamasi adalah untuk membunuh atau menghancurkan mikroorganisme yang menyerang dan/atau untuk mendegradasi struktur jaringan yang rusak. Bukanlah target dari ROS sehingga dapat menginduksi stres oksidatif pada sel normal yang berdampingan menuju pada proses patologis (Bickers dan Athar, 2006). ROS, baik yang dihasilkan oleh metabolisme seluler maupun yang berasal dari lingkungan luar, dapat mengubah struktur asam amino yang cukup untuk menghasilkan hilangnya fungsi. Oksidasi juga dapat memecah rantai polipeptida secara langsung dan menyebabkan ikatan saling silang dari peptida dan protein (Stadtman, 2001). Protein karbonil, yang menjadi tanda akan oksidasi protein yang diperantarai ROS, dibentuk baik oleh pembelahan oksidatif protein atau dengan oksidasi secara langsung akan residu lisin, arginin, prolin dan treonin (Stadtman, 2001). Pada akhirnya ROS juga dapat menyebabkan modifikasi asam amino yang spesifik, 'sidik jari', yang menghasilkan perubahan pada struktur dan fungsi enzimatis protein. Paparan pada kulit yang menyebabkan terjadinya ionisasi dan radiasi UV dan/atau xenobiotik/obat-obatan menghasilkan ROS dalam jumlah yang banyak dengan cepat membanjiri antioksidan jaringan dan jalur-jalur pendegradasi oksidan lainnya. Pelepasan ROS yang tidak terkontrol ikut berperan pada patogenesis terjadinya sejumlah gangguan kulit pada manusia termasuk di antaranya adalah neoplasma kutaneus (Briganti dan Picardo, 2003; Black, 2004b). Agen-agen yang menyebabkan stres oksidatif pada kulit termasuk polutan yang berada pada udara lingkungan yang dihasilkan oleh asap kendaraan bermotor atau pabrik-pabrik, radiasi UV, kontaminan/zat tambahan/pengawet pada makanan, produkproduk kosmetik, obat-obatan, asap rokok, dan lain sebagainya (Athar, 2002). Selanjutnya, jalur yang diperantarai heme mungkin memiliki efek pro-oksidan, dimana heme oksigenase, enzim yang mendegradasi heme, dapat berfungsi baik sebagai antioksidan maupun pro-oksidan (Ryter dan Tyrell, 2000). Beberapa dari agen-agen ini secara intrinsik menghasilkan ROS ataupun metabolit-metabolitnya seperti reaksi redoks mengaktifkan quinone dan beberapa di antaranya berperan pada patogenesa dari berbagai gangguan/reaksi alergi/neoplasma kulit (Briganti dan Picardo, 2003; Black 2004; Sander et al., 2004). Penelitian-penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa paparan pada kulit akan berbagai agen-agen kimiawi ataupun fisik merangsang terjadinya stres oksidatif yang membawa pada induksi peroksidasi lipid kutaneus seiring dengan modulasi pada tingkat antioksidan dan enzim-enzim yang memetabolisme obat-obatan (Bickers dan Athar, 2006). Pada penelitian selanjutnya, menunjukkan bahwa ROS menginduksi sejumlah faktor-faktor transkripsi seperti activator protein 1 (AP-1) dan NFκB (Dhar et al., 2002). Telah diketahui bahwa O2- dapat memulai proses penyampaian sinyal pada c-jun N-terminal kinase (JNK), yang menyebabkan induksi pada kolagenase interstitial sama halnya dengan sintesis sitokin-sitokin proinflamasi seperti IL-1 dan IL-6 pada fibroblas yang diberikan radiasi UVA (Bickers dan Athar, 2006). Diantara senyawa-senyawa oksigen reaktif, radikal hidroksil merupakan senyawa yang paling berbahaya karena reaktivitasnya sangat tinggi. Radikal hidroksil dapat merusak tiga jenis senyawa yang penting untuk mempertahankan integritas sel, yaitu: 1. Asam lemak, khusus asam lemak tak jenuh yang merupakan komponen penting fosfolipid penyusun membran sel. 2. DNA, yang merupakan perangkap genetik sel. 3. Protein, yang memegang berbagai peran penting seperti enzim, reseptor, antibodi, dan pembentuk matriks serta sitoskeleton. 2.5 Rokok Merokok tembakau merupakan penyebab morbiditas yang cukup tinggi dan menurut data pada tahun 1996 didapati merokok bertanggung jawab atas lebih dari 3 juta kematian di seluruh dunia setiap tahunnya. Merokok merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas yang bisa dihindari. Selain mempunyai hubungan yang kuat dengan kanker paru-paru, emfisema, penyakit kardiovaskuler, penyakit dalam yang serius, kanker, merokok juga menyebabkan berbagai gangguan dermatologis, seperti proses penyembuhan yang jelek, penuaan dini kulit, karsinoma skuamous sel, melanoma, kanker mulut, jerawat, psoriasis dan kerontokan rambut (Morita, 2007a). 2.5.1 Kandungan kimia rokok Rokok terdiri dari gabungan bahan kimia yang sangat kompleks yaitu bahan kimia non spesifik dari pembakaran bahan-bahan organik dan bahan kimia yang spesifik dari pembakaran tembakau dan komponen lain dari rokok seperti nitrosamin spesifik tembakau (Fowles dan Bates, 2000). Telah diperkirakan bahwa ada lebih dari 4000 kandungan kimia dalam asap tembakau. Ada sekitar 400 telah diukur dalam asap utama dan asap sampingan. Dari sekitar 400 senyawa, ada sekitar 100 yang bersifat toksik (Fowles dan Bates, 2000). Beberapa bahan kimia pada rokok menurut Fowles dan Bates (2000) adalah: 2.5.1.1 Nikotin Nikotin merupakan zat utama dalam daun tembakau. Zat ini adalah alkaloid beracun yang merupakan senyawa organik dan terdiri dari karbon, hidrogen, nitrogen dan oksigen (Wang, 2000). Zat ini biasanya digunakan sebagai bahan racun serangga. Nikotin berwarna kuning pucat, bila terkena udara atau cahaya perlahan-lahan menjadi coklat. Bau dan rasa tidak enak serta bersifat toksis (Martindale, 1979). Nikotin merupakan amin tersier yang terdiri dari cincin pyridin dan cincin pyrolidin. Ini merupakan basa lemah, yang mampu melewati membran sel dalam bentuk unionized. Nikotin berikatan dengan reseptor asetilkolin pada ganglion otonomik, medula adrenal, neuromuscular junction dan otak. Rangsangan pada reseptor nikotinik menyebabkan pengeluaran katekolamin, dopamin, serotonin, vasopresin, hormon pertumbuhan dan ACTH (Benowitz, 1988). Nikotin mempunyai sifat sangat menyebabkan ketergantungan (adiksi) dan telah diketahui bahwa perokok dapat mempertahankan kadar nikotin dalam sirkulasi darahnya dengan mengatur kedalaman dan frekuensi dari isapan, tergantung pada jumlah nikotin yang ada pada rokok. Sesuai dengan faktanya bahwa perokok merokok beberapa kali dalam sehari, terjadi akumulasi nikotin dalam tubuh perokok (Jacob et al., 1999). Nikotin banyak di metabolisme oleh hati, sebagian melalui jalur sitokrom P450 dan hanya 5-10% diekskresikan melalui urin (Benowitz, 1996) 2.5.1.2 Tar Tar didefinisikan sebagai nikotin bebas kering , berwarna coklat, berbau tidak sedap dan berupa partikulat yang terbentuk selama pemanasan tembakau pada rokok (Fowles dan Bates, 2000). Fraksi partikulat dari asap rokok mengandung banyak bahan berbahaya diantaranya logam berat ( Cd, Hg, Pb ), poliaromatik hidrokarbon, dan nitrosamin yang tidak mudah menguap. 2.5.1.3 Gas Beberapa bahan kimia asap rokok ditemukan dalam fase gas seperti karbon monoksida (CO) dan benzene yang dikeluarkan dalam konsentrasi tinggi. Gas lain yang terbentuk selama reaksi pembakaran rokok dengan O2 adalah CO, NO2, SO2 dan H2O (Fowles dan Bates, 2000). Benzene adalah salah satu anggota dari hidrokarbon aromatik yang merupakan cairan tidak berwarna , jernih, mudah menguap dan larut dalam air. Senyawa ini merupakan kontaminan lingkungan dan telah diidentifikasi oleh IARC sebagai karsinogen. Sumber utama benzene berasal dari gas pembuangan kendaraan bermotor, bahan bakar kendaraan dan asap rokok. Benzene dalam asap rokok merupakan produk dari reaksi pirolisa (Fowles dan Bates, 2000). Karbon monoksida adalah gas tidak berwarna, tidak berbau, dan diproduksi oleh segala proses pembakaran yang tidak sempurna dari bahan-bahan mengandung karbon (Fowles dan Bates, 2000). Gas nitrogen oksida (NOx) yang merupakan gas buangan hasil dari pembakaran terdiri dari gas nitrogen monoksida (NO) dan gas nitrogen dioksida (NO2). Kedua macam gas tersebut mempunyai sifat berbeda dan berbahaya bagi kesehatan. Gas NO merupakan gas tidak berwarna dan tidak berbau. Gas NO2 berwarna merah kecoklatan dan berbau tajam menyengat hidung (Wardhana, 1995). Tembakau / asap tembakau juga mengandung nitrosamin, polynuclear aromatic hydrocarbon (PAH), klorin dioksin, furan, fenol, karbonil dan zat radioaktif; yang memberikan efek negatif pada tubuh. 2.6 Merokok dan Kulit Kejadian terjadinya kerut yang prematur ditemukan sebagai kejadian yang mempunyai hubungan secara bebas antara paparan sinar matahari dan jumlah pak rokok per tahun. Pada penelitian akhir-akhir ini, beberapa faktor yang mengacaukan, seperti usia dan paparan sinar matahari telah diperhitungkan (Yin et al., 2001). Perokok berat sigaret memiliki 4,7 kali lebih berkerut daripada yang bukan perokok, dan bagi mereka yang memiliki riwayat terpapar sinar matahari secara berlimpah, memiliki resiko yang meningkat 3,1 kali lipat dalam memiliki kerut yang lebih luas. Penelitian lain yang dilakukan oleh Ernster pada tahun 1995 tentang kerutan pada wajah yang diperoleh dari 227 kelompok yang tidak pernah merokok, 456 orang yang pernah merokok dan 228 orang yang masih merokok, mendukung penemuan bahwa terjadi kenaikan resiko timbulnya kerutan pada perokok (Ernster et al, 1995). Gambar 2.1 Mekanisme Molekuler dari Penuaan Kulit Dini yang Diinduksi Asap Tembakau Ernster, dkk melaporkan dengan mengendalikan faktor usia, paparan sinar matahari dan indeks massa tubuh, resiko menderita kerut dari sedang sampai dengan berat pada perokok dengan pembanding bukan perokok memiliki rasio 2,3 bagi laki-laki dan 3,1 bagi perempuan. Resiko munculnya kerut juga meningkat pada perempuan yang dulunya pernah merokok (Ernster et al, 1995). Kemungkinan hubungan antara banyaknya kerutan pada wajah pada perokok dengan efek samping sistemik dari merokok, seperti stroke, telah dilakukan evaluasi (Morita, 2007a). Pada suatu penelitian 40 perokok dan 40 bukan perokok, dari setengah yang menderita stroke, perokok didapati memiliki kerutan wajah yang lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok, tetapi derajat dari kerutan pada wajah tidak berkorelasi dengan kejadian terjadinya penyakit kardiovaskuler pada baik perokok maupun bukan perokok (Aizen dan Gilhar, 2001). Pada beberapa penelitian, peningkatan kerut secara signifikan berhubungan dengan jumlah pak rokok pertahun yang dikonsumsi. Perokok berat dengan disertai tingkat terkena paparan sinar matahari yang cukup tinggi mempunyai resiko yang jauh lebih besar untuk memiliki kerutan, dengan resiko sekitar 11-12 kali lebih tinggi dibandingkan dengan bukan perokok (Yin et al., 2001). Pada suatu survei di AS tentang kewaspadaan publik akan hubungan antara merokok dan penuaan kulit, berdasar wawancara yang dilakukan melalui telepon, didapati bahwa bukan perokok dan orang yang dulunya perokok memiliki kesadaran yang lebih akan efek merokok terhadap penampilan fisik daripada perokok. Temuan yang cukup menarik adalah hampir seperempat dari perokok percaya bahwa beberapa atau bahkan sebagian besar perokok akan berhenti dari kebiasaan merokoknya jika mereka tahu bila dengan merokok meningkatkan penuaan kulit wajah dan kerutan wajah. Penulis menekankan bahwa pendidikan kesehatan sangatlah penting sesuai dengan survei ini dan mengusulkan kesempatan yang cukup unik bagi para dermatologis untuk berperan serta pada program pencegahan kanker dan penghentian merokok (Demierre et al., 1999). 2.6.1 Efek yang diakibatkan oleh merokok pada jaringan ikat kulit secara in vivo dan in vitro Serat-serat elastis yang abnormal pada perokok berat telah dilaporkan oleh Frances dkk, Perancis, yang menemukan serat elastis pada kulit perokok berjumlah lebih banyak, lebih tebal dan lebih terfragmentasi dibanding dengan kulit bukan perokok. Perubahan pada serat elastis ini juga didapati pada serat elastis yang rusak akibat dari paparan sinar matahari, yang mengenai seluruh bagian dermis, kecuali bagian papiler dermis tidak terpengaruhi pada kulit perokok. Menurut penulis, letak kerusakan serat elastis yang terjadi akibat merokok mungkin berhubungan dengan penyebaran melalui vaskuler akan bahan-bahan toksik dari rokok sigaret (Raitio, 2005). Efek dari asap tembakau pada kelarutan dan saling-silang dari kolagen telah diteliti sebelumnya. Penurunan yang tergantung pada dosis terjadi pada kelarutan kolagen seiring dengan penurunan pada kandungan lisin dan hidroksilisin, disertai dengan kerentanan kolagen terhadap kolagenase, telah diamati. Lebih lanjut, satu kelompok dari Denmark Jorgensen dkk pada tahun 1998 melaporkan penurunan produksi kolagen pada kulit perokok (Raitio, 2005). Sebuah polytetrafluoroethylene subkutan, model penyembuhan luka yang digunakan untuk menentukan deposisi protein total dan kolagen matur di subkutis. Para perokok memiliki median yang lebih kecil secara signifikan dari jumlah hidroksiprolin pada kulitnya dibanding dengan bukan perokok, dan deposisi hidroksiprolin memiliki hubungan negatif dengan konsumsi sigaret. Komponen-komponen yang mudah menguap dari ekstrak asap sigaret telah menunjukkan dapat mempengaruhi kontraksi kolagen gel secara invitro, yang dapat menjadi faktor penghambat perbaikan lukan pada perokok (Raitio, 2005). Penelitian kultur sel pada fibroblas kulit manusia telah menunjukkan gangguan pada turnover matriks ekstraseluler setelah paparan ekstrak asap tembakau, yang menginduksi ekspresi mRNA dari matrix metalloproteinase MMP-1 dan MMP-3, dan ekspresi protein MMP-1, tetapi tidak berpengaruh ekspresi dari TIMP-1 ( tissue inhibitors of matrix metalloproteinase) dan TIMP-3, yang berakibat terjadinya degradasi matriks ekstraseluler, termasuk kolagen, elastin dan proteoglikan. Telah dibuktikan produksi kolagen tipe I dan III menurun setelah paparan terhadap ekstrak asap tembakau (Yin et al., 2000). 2.7 Antioksidan dan Kulit Penuaan kulit merupakan proses biologis yang kompleks yang termasuk didalamnya penuaan intrinsik dan ekstrinsik. Penuaan intrinsik mempengaruhi kulit pada cara yang sama sebagaimana pada organ-organ lainnya. Proses yang memperberat, berasal dari faktor lingkungan, seperti asap tembakau dan radiasi ultraviolet yang berperan terhadap terjadinya penuaan ekstrinsik. Kulit manusia normal bergantung pada keseimbangan antara biosintesis dan degradasi akan matriks ekstraseluler. Telah dilakukan penelitian untuk menentukan peran pemadam singlet oxygen yang poten yaitu sodium azide (NaN3), l-ascorbic acid, dan vitamin E dalam menghambat aktivitas reactive oxygen species (ROS) yang berasal dari ekstrak asap tembakau yang terlibat dalam peningkatan produksi MMP. Pada penelitian ini terbukti NaN3, l-ascorbic acid dan vitamin E menghambat induksi MMP setelah rangsangan pada fibroblas dengan ekstrak asap tembakau. Oleh karena itu terlihat bahwa ROS nampaknya merupakan faktor mayor yang bertanggung jawab dalam meng-induksi MMP pada perlakuan dengan ekstrak asap tembakau (Yin et al., 2000). Berbagai antioksidan enzimatik dan non-enzimatik melindungi kulit dari kerusakan oksidatif pada kulit yang terpapar oleh asap tembakau. Enzim yang memperbaiki trauma oksidasi pada kulit diantaranya superoksid dismutase, katalase dan tioreduksin dismutase, begitu juga antioksidan alamiah lainnya seperti vitamin A, C, E dan glutation, berperan langsung untuk mencegah kerusakan akibat radikal oksigen. 2.8 Asam α-lipoat Asam α-lipoat, pertama kali diisolasi pada tahun 1951 oleh Reed dkk sebagai agen katalis yang berhubungan dengan piruvat dehidrogenase, dikenal dengan berbagai nama, termasuk 2-dithiolane-3 pentanoic acid; 1,2-dithiolane-3 valeric acid; dan thioctic acid (Packer, 1995). Sejak awal telah diklasifikasikan sebagai vitamin, meskipun, setelah itu asam α-lipoat ditemukan bahwa ini disintesa oleh hewan dan manusia. Meskipun jalur enzim untuk terbentuknya asam α-lipoat ini masih belum dapat sepenuhnya dijelaskan, sistein nampaknya menjadi sumber dari sulfur dan oktanoat sebagai prekursor intermediet untuk 8-carbon fatty acid (Nichols, 2001). Asam α-lipoat ini dapat dengan mudah berubah menjadi bentuk tereduksinya, asam dihidrolipoat atau dihydrolipoic acid (DHLA), pada banyak jaringan tubuh. Struktur bangun Asam α-lipoat dan DHLA Asam α-lipoat S S CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 COOH DHLA SH SH CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 CH2 COOH Asam α-lipoat cukup unik dengan memiliki kemampuan berperan sebagai antioksidan dalam jaringan larut lemak maupun air, didalam bentuk teroksidasi maupun tereduksi. Asam α-lipoat juga sangat mudah diserap melalui konsumsi lewat oral. Oleh karena keuntungan-keuntungan ini dan toksisitas-nya yang rendah, asam α-lipoat mendapatkan perhatian yang meningkat dari para peneliti sebagai agen terapeutik yang efektif dan potensial pada berbagai kondisi klinis yang berhubungan dengan kerusakan akibat radikal bebas. Lester Packer, PhD, dari University of California di Berkeley, menyarankan asam α-lipoat sebagai kandidat antioksidan ideal karena perannya sebagai berikut : spesifitas dalam memadamkan radikal bebas, aktivitas meng-kelasi logam, interaksi dengan antioksidan lainnya dan beberapa efek pada ekspresi gen (Nichols, 2001). Fungsi dari asam α-lipoat sebagai antioksidan ditemukan pada tahun 1959 oleh Rosenburg dan Culik, yang melaporkan bahwa asam α-lipoat dapat mencegah gejala scurvy pada babi dengan defisiensi vitamin C dan pada tikus yang defisiensi vitamin E dengan diet yang kurang α-tokoferol. Podda dkk melaporkan bahwa asam α-lipoat mencegah gejala defisiensi vitamin E pada tikus yang diberikan diet yang kurang akan vitamin E, meskipun, asam α-lipoat tidak memiliki efek dalam mempertahankan konsentrasi vitamin E dalam jaringan (Packer, 1995). Bukti eksperimen menunjukkan pengurangan optimal akan dehidroaskorbat menjadi asam arkobat dapat diperoleh dengan adanya piruvat, asam α-lipoat dan ATP (Nichols, 2001). Asam α-lipoat memiliki potensial redoks yang rendah dan melalui bentuk tereduksinya, DHLA, sangat mudah memberikan elektronnya ke senyawa lainnya. Asam askorbat dan vitamin E secara tidak langsung, diperbaharui oleh DHLA disebut fungsi recycle, karena dapat mengubah dehydroascorbate menjadi asam askorbat, sehingga dapat menjalankan fungsi antioksidannya kembali (Jones et al, 2002). Busse et al menemukan asam α-lipoat dapat meningkatkan glutathione dalam intraseluler. DHLA juga dapat memperbaharui Coenzym Q10 dan NADPH atau NADH melalui glutathione (Nichols, 2001). Para ahli dalam persetujuan umum bahwa asam α-lipoat mampu memakan radikal hidroksil, asam hipoklor dan singlet oxygen tetapi tidak dengan peroksida hidrogen, peroksil dan superoksida. DHLA merupakan antioksidan dan juga prooksidan pada penelitian dimana radikal hidroksil dihasilkan. Ini melindungi dari pemutusan untaian tunggal DNA yang diinduksi oleh singlet oxygen, meskipun ini berlangsung secara tidak langsung dan beberapa langkah mungkin terlibat pada proses ini. Sandhya et al menyatakan bahwa asam α-lipoat bekerja dengan cara yang tergantung pada dosis pada perannya sebagai agen pelindung nephron melawan toksisitas yang diinduksi gentamicin pada suatu eksperimen (Nichols, 2001). Vitamin E α-tocopherol α-tocotrienol ROO ROOH Ubiquinone NADH NADPH succinate Ubiquinol Dihydrolipoic acid Dehydroascobate Glutathione α-ketodehydrogenase NADH α-lipoic acid Ascorbate Glutathione disulfide Vitamin E Radical Gambar 2.2 Skema Kerja Asam α-lipoat Asam α-lipoat tampaknya mampu meng-kelasi logam transisi pada sistem biologis. Sigel melaporkan asam α-lipoat membentuk kompleks yang stabil dengan ionion tembaga, mangan dan zinc. Kemampuan untuk meng-kelasi besi tetap belum jelas (Packer, 1995). Tikus dilindungi dari keracunan arsen dengan pemberian asam α-lipoat ketika rasio dari asam α-lipoat terhadap arsen paling sedikit 8:1. Perlindungan terjadi meskipun pemberian asam α-lipoat setelah gejala keracunan yang berat telah ada, telah dilaporkan oleh Grunert (Nichols, 2001). Bukti yang ada menduga asam α-lipoat dapat meng-kelasi tembaga. Ou dkk melaporkan R-enantiomer dan campuran rasemik tampaknya lebih efektif dibanding dengan S-enantiomer pada uji kadar logam yang dihasilkan dari efek kelasi logam. Pada isoloasi hepatosit, asam α-lipoat didapati mengurangi toksisitas yang diinduksi cadmium, meskipun DHLA lebih efektif (Ou, 1995). Sumanthi dkk juga melaporkan asam α-lipoat memberikan proteksi pada hepar melawan keracunan cadmium, meskipun dalam kondisi yang kekurangan glutathione secara eksperimental. Pada model tikus, dosis 30 mg akan asam α-lipoat secara penuh mencegah peroksidasi lipid yang diinduksi oleh cadmium pada otak, jantung, dan testis. Menurut Keith melalui eksperimen in-vitro yang telah dilakukannya menyatakan bahwa asam α-lipoat, yang bukan merupakan chelating agent yang paling efektif, akan menyingkirkan merkuri dari potongan renal (Nichols, 2001). Asam α-lipoat memiliki LD50 pada dosis 400-500 mg/kg dengan kategori pemberian dosis tinggi pada dosis 20 mg/kg. BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1 Kerangka Berpikir Bertambahnya usia akan mengakibatkan terjadinya penurunan berbagai fungsi organ tubuh dan perubahan fisik, baik tingkat seluler, organ maupun sistem. Ini semua diakibatkan karena proses penuaan. Ada banyak faktor yang menyebabkan orang menjadi tua melalui proses penuaan, dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok utama, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal yaitu radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal meliputi gaya hidup yang tidak sehat, kebiasaan yang salah, polusi lingkungan, bahan kimia, radiasi ultraviolet, obat-obatan, stres dan rokok. Kerangka konsep penelitian ini didasarkan pada teori dan hasil penelitian bahwa paparan asap rokok dapat menimbulkan kerusakan kulit. Kerusakan kulit yang terjadi akibat paparan asap rokok tersebut dapat ditandai dengan kerutan dan peningkatan enzim MMP-1, yaitu enzim yang mendegradasi kolagen. Proses ini dimulai dengan terbentuknya radikal bebas pada kulit setelah paparan asap rokok yang merusak struktur kulit mulai dari DNA, membran sel, dan protein. Asam α-lipoat berperan sebagai antioksidan yang dapat mencegah kerusakan oleh radikal bebas akibat paparan asap rokok pada kulit dengan mengikat (singlet oksigen dan mencegah peroksidasi lipid). 3.2 Konsep Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan kajian pustaka maka disusunlah konsep penelitian sebagai berikut : Asam α-lipoat dan Ekstrak Asap Rokok Faktor internal Radikal bebas Hormon yang menurun Faktor eksternal F I Stress Polusi lingkungan Glikosilasi Metilasi B Apoptosis R Penurunan Sistem Kekebalan Tubuh O Kultur Fibroblast Ekspresi MMP-1 3.3 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep, maka hipotesis yang dapat diajukan adalah Pemberian asam α-lipoat dapat menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur fibroblast yang terpapar ekstrak asap rokok. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental, dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Posttest only control group design pada penelitian in vitro dengan subyek kultur fibroblast (Campbell, 1963). Penelitian in vitro, dilakukan dengan menggunakan kultur sel fibroblast, dimana sel fibroblast diberikan asam α-lipoat dengan variasi 3 dosis 50μg/hr, 100μg/hr, dan 200μg/hr dan selanjutnya diberikan ekstrak asap rokok dengan variasi dosis 50μl/ml, 25μl/ml, dan 12,5μl/ml. Supernatan dari kultur sel fibroblast dikumpulkan setelah 24 jam dan nilai MMP-1 diamati dengan menggunakan MMP-1 Human enzyme-linked immunsorbent assay ( ELISA ) kit. P0 K K1 P1 K2 P2 P S R K K3 P3 K4 P4 K5 P5 K6 P6 K7 P7 K8 P8 K K9 P9 K10 P10 K11 P11 K12 P12 K13 Bagan 4.1 Skema Rancangan Penelitian in vitro Keterangan : P = Populasi S = Sampel R = Random K = MMP-1 di awal, sebelum diberikan perlakuan K1 = MMP-1 kelompok kontrol yang tidak dipapar ekstrak asap rokok di akhir penelitian K2 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 50μl/ml K3 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 25μl/ml K4 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 12,5μl/ml K5 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 50μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr K6 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 50μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 100μg/hr K7 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 50μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 200μg/hr K8 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 25μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr K9 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 25μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 100μg/hr K10 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 25μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 200μg/hr K11 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 12,5μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr K12 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 12,5μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 100μg/hr K13 = MMP-1 kelompok setelah terpapar ekstrak asap rokok 12,5μl/ml dan pemberian asam α-lipoat 200μg/hr P0 = Tidak ada perlakuan P1 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 50μl/ml P2 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 25μl/ml P3 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 12,5μl/ml P4 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 50μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr P5 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 50μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 100μg/hr P6 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 50μl/ml pada kelompok dengan pemberian α-lipoic acid 200μg/hr P7 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 25μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr P8 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 25μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 100μg/hr P9 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 25μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 200μg/hr P10 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 12,5μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr P11 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 12,5μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 100μg/hr P12 = Perlakuan pemberian ekstrak asap rokok 12,5μl/ml pada kelompok dengan pemberian asam α-lipoat 200μg/hr 4.2 Tempat Penelitian Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian dan Pengujian Terpadu Universitas Gajah Mada dan Laboratorium Bagian Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada. 4.3 Subyek dan Sampel 4.3.1 Variabilitas populasi Populasi pada penelitian in vitro adalah fibroblast yang diisolasi dari kulit preputium penis ( post sirkumsisi ) anak berusia 6-10 tahun yang sehat, sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan di LPPT Universitas Gajah Mada. Jumlah spesimen jaringan kulit preputium penis diambil sebanyak 5 spesimen, yang nantinya dipilih yang terbaik kondisinya. 4.3.2 Besaran sampel Pada penelitian in vitro perhitungan jumlah sampel dihitung dengan rumus Federer (1963) Rumus : ( n-1 )( k-1 ) ≥ 15 n = jumlah sampel (mewakili pengulangan perlakuan pada kelompok sampel) k = jumlah kelompok perlakuan (kelompok perlakuan yang diberikan sebanyak 13) sehingga didapatkan hasil : ( n-1 )( 13-1 ) ≥ 15 n = 2,25 ( 3 ) Jadi jumlah sampel yang diperlukan sebanyak 4 pada masing-masing kelompok perlakuan. 4.4 Variabel 4.4.1 Klasifikasi variabel a. Variabel bebas : dosis asam α-lipoat dan dosis ekstrak asap rokok b. Variabel tergantung : ekspresi MMP-1 c. Variabel kendali : media kultur dan sel fibroblast 4.4.2 Definisi operasional variabel 1. Dosis asam α-lipoat adalah jumlah asam α-lipoat yang diberikan sebagai bahan uji (dengan menggunakan bahan aktif asam α-lipoat yang diproduksi oleh Ferron Pharm) dengan dosis 50μg/hr, 100μg/hr dan 200μg/hr pada kelompok perlakuan dengan asam α-lipoat, sebelum diberikan perlakuan paparan ekstrak asap rokok. 2. Pembuatan ekstrak asap rokok Pada suhu ruang, ekstrak asap tembakau dihasilkan dengan melewatkan asap dari rokok melalui phosphate-buffered saline (PBS). Dua tabung yang berisi 20 ml PBS digunakan pada sistem ini. Satu sisi dari tabung ( A ) dihubungkan ke pompa, dan tabung yang lain ( B ) dihubungkan ke rokok. Satu buah rokok ( dengan kertas dan filter ) dipompa selama 2 detik dengan interval 1 menit. Kemudian larutan asap dari kedua tabung ( A+B= 40 ml ) dikumpulkan dan disesuaikan pH-nya menuju 7,4 dengan cairan natrium bikarbonat dan disaring dengan menggunakan filter 0,22μm ( Millipore Co., Bedford. Mass. ) 3. Dosis ekstrak asap tembakau adalah jumlah kadar ekstrak asap rokok yang diberikan pada kultur sel fibroblast, dengan konsentrasi 50μl/ml, 25μl/ml dan 12,5μl/ml. Pemberian ekstrak asap rokok dilakukan 1 kali pada masing-masing kelompok perlakuan. 4. Nilai ekspresi MMP-1 adalah nilai ekspresi MMP-1 pada supernatan kultur sel fibroblast yang dikumpulkan 24 jam setelah paparan dengan variasi dosis ekstrak asap rokok pada seluruh kelompok perlakuan dan kelompok kontrol, dinyatakan dengan satuan ng/gram dari protein seluler menggunakan human enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ) kit. 4.5 Bahan dan Instrumen Penelitian 4.5.1 Bahan Utama Bahan utama yang digunakan adalah bahan dasar asam α-lipoat, kit MMP-1, dan ekstrak asap rokok. 4.5.2 Bahan Penunjang Bahan penunjang yang digunakan pada proses kultur fibroblast ini adalah Media RPMI 1640 ( dengan glutamine, tanpa sodium bicarbonate ), Fetal Bovine Serum ( FBS ), Media Komplit 20% ( FBS 20 ml, penicillin streptomycin 2 ml, fungisone 0,5 ml, ditambahkan Media RPMI sampai dengan 100 ml ), Phosphat Buffer Saline ( PBS ), Trypsin. 4.5.3 Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Laminar Air Flow safety class II ( Labconco ) 2. Inkubator CO2 ( Memmer ) 3. Mikroskop inverted ( Leitz ) 4. Mikroskop binokuler ( Olympus ) 5. ELISA Reader ( Bio Rad 680 XR ) 6. Sentrifuge 1500 rpm 7. Tissue Culture Flask 8. Petri kecil dan besar 9. Well Plated 8x12 ( 96 wadah ) 10. Tabung sentrifuge 15 ml, conicle tube Eppendorff beserta raknya 11. Pipet mikro ( ukuran 20μl , 50-200μl , 100-1000μl ) 12. Bilik hitung Neubauer 13. Scalpel 14. Pinset 15. Gunting 4.6 Prosedur Penelitian in vitro 4.6.1 Pemberian perlakuan in vitro Kulit preputium penis yang telah disiapkan sebagai kultur primer dimasukan ke dalam medium komplit, kemudian disimpan satu hari dalam lemari pendingin dengan suhu 4ºC. Keesokan harinya kulit preputium penis tersebut diletakkan pada cawan petri, selanjutnya proses dilakukan dalam laminar flow. Kulit tersebut dipotong dengan ukuran 3-4 cm, dipisahkan dari jaringan subkutan dan epidermis. Setelah itu dipotong dengan ukuran sekecil-kecilnya menggunakan gunting jaringan dengan bantuan pinset. Selanjutnya potongan-potongan jaringan tersebut dipindahkan ke dalam 3 buah petri kecil, disusun dibagian tengah petri dan ditutup dengan cara agak ditekan menggunakan cover glass. Sisa media komplit di sekitarnya dibuang menggunakan pipet mikro, setelah sisa media komplit tersebut habis, diganti dengan media komplit 20% sebanyak 3 ml pada masing-masing petri, dan dipastikan cover glass yang menutupi potongan jaringan tersebut tidak mengambang dengan menekannya menggunakan ujung tip pipet mikro yang digunakan mengisi larutan media komplit tersebut. Kemudian ketiga petri kecil masing-masing ditutup dengan tutup petri, selanjutnya disusun dalam petri besar. Petri besar ditutup dan diberi label. Kultur primer yang ditumbuhkan ini disimpan dalam inkubator CO2 ( 37ºC, 5% CO2, kelembaban 95% ). Setelah 24 jam, kultur diamati setiap hari dengan mikroskop inverted, apakah sudah tampak adanya sel fibroblast. Diamati juga kemungkinan terjadinya kontaminasi bakteri atau jamur yang dapat menghambat pertumbuhan sel fibroblast. Apabila terjadi kontaminasi bakteri proses pertumbuhan kultur sel tidak dapat dilanjutkan dan harus segera diganti dengan yang baru. Media komplit 20% pada kultur diganti setiap 3 hari. Sel fibroblast yang tumbuh mempunyai sifat menempel pada dasar petri sedangkan sel yang mati akan mengambang di permukaan media, sehingga saat penggantian media sel yang mati akan ikut terbuang. Sel fibroblast dari kultur primer yang sudah konfluen 60-70% dapat dipanen dan dibiakkan kembali sebagai sub kultur ( kultur sekunder ). Supernatan dibuang, sisa larutan FBS yang masih ada dalam petri dibilas menggunakan media RPMI sampai bersih, setelah itu ditambahkan trypsin 0,25% sebanyak 1 ml untuk melepaskan sel yang melekat pada dasar petri, kemudian diinkubasi selama 8 menit. Dengan pemberian trypsin berbentuk bulat dan ukuranya menjadi lebih besar. Setelah inkubasi sejumlah sel dapat dibiakan kembali sebagai sub kultur dengan memindahkan sejumlah sel ke TCF lainnya yang telah diisi media komplit 7 ml, selanjutnya disimpan kembali dalam inkubator CO2 dan media diganti tiap 3 hari. Apabila sel telah cukup banyak jumlahnya dapat dilakukan panen sel dan penghitungan jumlah sel untuk proses perlakuan yang akan diberikan selanjutnya. 4.6.2 Penghitungan Jumlah Sel Uji Adapun cara penghitungan sel adalah dengan cara sebagai berikut, terlebih dahulu larutan yang tersisa dalam TCF dibuang, setelah suspensi sel telah bersih dari FBS, dipindahkan ke dalam tabung sentrifuge 15 ml yang telah diisi media RPMI, disentrifuge 1500 rpm selama 10 menit. Tampak sel menjadi berwarna putih mengendap di bagian dasar, supernatan dibuang. Sel yang telah mengendap ditambahkan media komplit 1 ml dan dihomogenkan. Suspensi sel yang telah homogen diambil sebanyak 20μl, dimasukkan ke dalam well plate, kemudian tambahkan tripan blue 180μl lalu dihomogenkan. Ambil sel sebanyak 10μl masukkan ke dalam bilik hitung Neubauer, selanjutnya dihitung jumlah sel fibroblast dengan menggunakan mikroskop binokuler pembesaran 10x. Cara penghitungannya adalah dengan menghitung seluruh sel fibroblast yang ditemukan dalam 4 buah kotak berukuran 4x4 pada bilik hitung, selanjutnya perhitungan dilakukan dengan menggunakan rumus seperti berikut ini n1 + n2 + n3 +n4 x 10 6 :10 Jumlah sel/ml = 4 n = jumlah sel dalam masing-masing bilik hitung 4 = jumlah bilik hitung 10 6 = konstanta jumlah sel per ml larutan 10 = jumlah pengenceran larutan 4.6.3 Uji Aktivitas in vitro Kultur fibroblast dibagi menjadi 3 kelompok dan sub kelompok dengan variasi dosis asam α-lipoat dan pemberian ekstrak asap rokok, yaitu : Kelompok 1 : tanpa perlakuan apapun, sebagai kontrol negatif Kelompok 2 : dengan perlakuan pemaparan dengan ekstrak asap rokok dengan dosis bervariasi 50μl/ml, 25μl/ml, dan 12,5μl/ml. Kelompok 3 : dengan pemberian asam α-lipoat dengan variasi dosis 50μg/hr, 100μg/hr, dan 200μg/hr, serta pemaparan ekstrak asap rokok dengan variasi dosis 50μl/ml, 25μl/ml, dan 12,5μl/ml. Dua puluh empat jam setelah perlakuan pemaparan dengan ekstrak asap rokok, supernatan dari masing-masing sub kelompok beserta pengulangan kelompok tersebut dikumpulkan dan ekspresi MMP-1 dinilai dengan menggunakan kit MMP-1 human enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ) dengan prosedur yang sesuai dengan protokol dari pabrik. 4.7 Alur Penelitian Kulit Preputium Kultur Fibroblast KONTROL Ekstrak Asap Rokok (μl/ml) EAR 50 Ekstrak Asap Rokok/EAR (μl/ml) dan asam α-lipoat/AAL (μg/hr) EAR 50 EAR 25 P0 P1 EAR 25 EAR 12,5 AAL 50 P4 AAL 100 P2 EAR 12,5 P5 AAL 200 P6 AAL 50 P3 P7 AAL 100 P8 AAL 200 P9 AAL 50 P10 AAL 100 P11 AAL 200 P12 Nilai MMP-1 setelah 24 jam Bagan 4.2 Alur Penelitian in vitro 4.8 Analisis Data Data yang didapatkan pada penelitian in vitro ini dianalisis sebagai berikut (Campbel, 1963; Sugiyono, 2009) : 1. Analisis Deskriptif 2. Analisis Normalitas dan Homogenitas : a. Uji Normalitas data dengan Saphiro-Wilk Test untuk mengetahui rerata data sampel berdistribusi normal atau tidak. b. Uji Homogenitas = test of the equality of variances = F test (Levene's Test for Equality of Variances). 3. Analisis Inferensial : A. Data berdistribusi normal : (nilai α = 0,05) Uji Compare means antar kelompok dengan Anova Test 1.Post test kelompok kontrol negatif, kelompok ekstrak asap rokok, dan kelompok asam α-lipoat + ekstrak asap rokok. 2. Data beda (selisih) kelompok kontrol negatif, kelompok ekstrak asap rokok, dan kelompok asam α-lipoat + ekstrak asap rokok. BAB V HASIL PENELITIAN Proses penelitian dimulai dengan pembiakan kultur sel fibroblast selama ± 6 minggu dengan mengikuti prosedur standar pembuatan kultur sel. Setelah jumlah sel fibroblast mencukupi dilakukan pembagian kelompok, menjadi 1 kelompok kontrol dan 12 kelompok perlakuan yang sesuai dengan rancangan penelitian. Setelah pemberian pelakuan, pengukuran nilai absorbansi MMP-1 menggunakan ELISA reader, selanjutnya analisis data dan pengolahan data menggunakan Program Statistic Base SPSS 11,5 for Windows didapatkan hasil sebagai berikut 5.1 Uji Normalitas Data Data sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan pada masing-masing kelompok diuji normalitasnya dengan menggunakan uji Shapiro-Wilk. Hasilnya menunjukkan data berdistribusi normal (p>0,05), disajikan pada Lampiran 1. 5.2 Uji Homogenitas Data antar Kelompok Data antar kelompok baik sebelum perlakuan maupun sesudah perlakuan diuji homogenitasnya dengan menggunakan uji Levene's test. Hasilnya menunjukkan data homogen (p>0,05), disajikan pada Lampiran 2, 3 dan 4. 5.3 Pemberian Ekstrak Asap Rokok 50μl/ml (EAR 50μl/ml) 5.3.1 Uji Efek Pemberian EAR 50μl/ml Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.1 berikut. Tabel 5.1 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 50μl/ml Kelompok subyek N Rerata SB Kontrol 4 0,114 0,010 EAR 50 4 0,346 0,017 EAR 50 + 50 AAL 4 0,274 0,014 EAR 50 + 100 AAL 4 0,251 0,005 EAR 50 + 200 AAL 4 0,222 0,009 F P 195,506 0,000 Tabel 5.1 di atas menunjukkan rerata MMP-1 pada kelompok kontrol adalah 0,114 ± 0,010, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 50 adalah 0,346 ± 0,017, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 50 + AAL50μg/hr adalah 0,274 ± 0,014, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 50 + AAL100μg/hr adalah 0,251 ± 0,005, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 50 + AAL200μg/hr adalah 0,222 ± 0,009 Tabel 5.1 di atas, dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa kelima kelompok sesudah diberikan perlakuan rerata MMP-1 berbeda secara bermakna (p<0,05). MMP-1 Gambar 5.1 Grafik Sesudah Pemberian EAR 50μl/ml Gambar 5.1 di atas menggambarkan bahwa dengan pemberian EAR 50μl/ml meningkatkan MMP-1, dan dengan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr, 100μg/hr dan 200μg/hr sebelum diberikan EAR dengan dosis yang sama tampak aktivitas MMP-1 mengalami penurunan. Sebagai uji lanjutan untuk mengetahui beda rerata kelompok yang berbeda perlu dilakukan uji lanjutan dengan Least Significant Difference – test (LSD). Didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel 5.2 dengan uraian sebagai berikut 1. Beda rerata antara kelompok kontrol dan kelompok EAR 50μl/ml didapatkan nilai p<0,05. 2. Beda rerata antara kelompok kontrol dengan kelompok EAR 50μl/ml + asam α-lipoat (variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan p<0,05. 3. Beda rerata antara kelompok EAR 50μl/ml dengan kelompok EAR 50μl/ml + asam α-lipoat (variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan nilai p<0,05. 4. Beda rerata antara kelompok EAR 50 + asam α-lipoat dengan variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan nilai p<0,05. Hasil uji disajikan pada tabel 5.2 di bawah ini : Tabel 5.2 Analisis Komparasi antar Kelompok setelah Pemberian EAR 50μl/ml Kelompok BR P Interpretasi Kontrol & EAR 50 0,231 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 50 + 50 AAL 0,160 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 50 + 100 AAL 0,136 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 50 + 200 AAL 0,108 0,000 Berbeda bermakna EAR 50 & EAR 50 + 50 AAL 0,715 0,000 Berbeda bermakna EAR 50 & EAR 50 + 100 AAL 0,095 0,000 Berbeda bermakna EAR 50 & EAR 50 + 200 AAL 0,123 0,000 Berbeda bermakna EAR 50 + 50 AAL & EAR 50 + 100 AAL 0,235 0,015 Berbeda bermakna EAR 50 + 50 AAL & EAR 50 + 200 AAL 0,517 0,000 Berbeda bermakna EAR 50 + 100 AAL & EAR 50 + 200 AAL 0,282 0,005 Berbeda bermakna 5.4 Pemberian Ekstrak Asap Rokok 25μl/ml (EAR 25μl/ml) 5.4.1 Uji Efek Pemberian EAR 25μl/ml Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.3 yang menunjukkan bahwa rerata MMP-1 pada kelompok kontrol adalah 0,114 ± 0,010, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 25 adalah 0,251 ± 0,012, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 25 + AAL50μg/hr adalah 0,234 ± 0,004, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 25 + AAL100μg/hr adalah 0,209 ± 0,013, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 25 + AAL200μg/hr adalah 0,184 ± 0,005. Tabel 5.3 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 25μl/ml Kelompok subyek N Rerata SB Kontrol 4 0,114 0,010 EAR 25 4 0,251 0,012 EAR 25 + 50 AAL 4 0,234 0,004 EAR 25 + 100 AAL 4 0,209 0,013 EAR 25 + 200 AAL 4 0,184 0,005 F P 117,989 0,000 Tabel 5.3 di atas, dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa kelima kelompok sesudah diberikan perlakuan reratanya berbeda secara bermakna (p<0,05). MMP-1 Gambar 5.2 Grafik Sesudah Pemberian EAR 25μl/ml Gambar 5.2 di atas menggambarkan bahwa dengan pemberian EAR 25μl/ml meningkatkan MMP-1, dan dengan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr, 100μg/hr dan 200μg/hr sebelum diberikan EAR dengan dosis yang sama tampak aktivitas MMP-1 mengalami penurunan. Sebagai uji lanjutan untuk mengetahui beda rerata kelompok yang berbeda perlu dilakukan uji lanjutan dengan Least Significant Difference – test (LSD). Didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel 5.2 dengan uraian sebagai berikut 1. Beda rerata antara kelompok kontrol dan kelompok EAR 25μl/ml didapatkan nilai p<0,05. 2. Beda rerata antara kelompok kontrol dengan kelompok EAR 25μl/ml + asam α-lipoat (variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan p<0,05. 3. Beda rerata antara kelompok EAR 25μl/ml dengan kelompok EAR 25μl/ml + asam α-lipoat (variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan nilai p<0,05. 4. Beda rerata antara kelompok EAR 25 + asam α-lipoat dengan variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan nilai p<0,05. Tabel 5.4 Analisis Komparasi antar Kelompok setelah Pemberian EAR 25μl/ml Kelompok BR P Interpretasi Kontrol & EAR 25 0,136 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 25 + 50 AAL 0,119 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 25 + 100 AAL 0,094 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 25 + 200 AAL 0,070 0,000 Berbeda bermakna EAR 25 & EAR 25 + 50 AAL 0,167 0,029 Berbeda bermakna EAR 25 & EAR 25 + 100 AAL 0,417 0,000 Berbeda bermakna EAR 25 & EAR 25 + 200 AAL 0,665 0,000 Berbeda bermakna EAR 25 + 50 AAL & EAR 25 + 100 AAL 0,250 0,003 Berbeda bermakna EAR 25 + 50 AAL & EAR 25 + 200 AAL 0,497 0,000 Berbeda bermakna EAR 25 + 100 AAL & EAR 25 + 200 AAL 0,247 0,003 Berbeda bermakna 5.5 Pemberian Ekstrak Asap Rokok 12,5μl/ml (EAR 12,5μl/ml) 5.5.1 Uji Efek Pemberian EAR 12,5μl/ml Uji efek perlakuan bertujuan untuk membandingkan rerata antar kelompok sesudah diberikan perlakuan. Hasil analisis kemaknaan dengan uji One Way Anova disajikan pada Tabel 5.5 yang menunjukkan bahwa rerata MMP-1 pada kelompok kontrol adalah 0,114 ± 0,010, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 12,5 adalah 0,175 ± 0,009, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 12,5 + AAL50μg/hr adalah 0,161 ± 0,004, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 12,5 + AAL100μg/hr adalah 0,142 ± 0,011, rerata MMP-1 pada kelompok EAR 12,5 + AAL200μg/hr adalah 0,128 ± 0,005. Tabel 5.5 Rerata MMP-1 antar Kelompok Sesudah Pemberian EAR 12,5μl/ml Kelompok subyek N Rerata SB Kontrol 4 0,114 0,010 EAR 12,5 4 0,175 0,009 EAR 12,5 + 50 AAL 4 0,161 0,004 EAR 12,5 + 100 AAL 4 0,142 0,011 EAR 12,5 + 200 AAL 4 0,128 0,005 F P 32,704 0,000 Tabel 5.5 di atas, dengan uji One Way Anova menunjukkan bahwa kelima kelompok sesudah diberikan perlakuan reratanya berbeda secara bermakna (p<0,05). MMP-1 Gambar 5.3 Grafik Sesudah Pemberian EAR 12,5μl/ml Gambar 5.3 di atas menggambarkan bahwa dengan pemberian EAR 12,5μl/ml meningkatkan MMP-1, dan dengan pemberian asam α-lipoat 50μg/hr, 100μg/hr dan 200μg/hr sebelum diberikan EAR dengan dosis yang sama tampak aktivitas MMP-1 mengalami penurunan. Sebagai uji lanjutan untuk mengetahui beda rerata kelompok yang berbeda perlu dilakukan uji lanjutan dengan Least Significant Difference – test (LSD). Didapatkan perbedaan yang bermakna antara kelompok-kelompok yang berbeda tersebut. Hal tersebut ditunjukkan pada tabel 5.6 dengan uraian sebagai berikut 1. Beda rerata antara kelompok kontrol dan kelompok EAR 12,5μl/ml didapatkan nilai p<0,05. 2. Beda rerata antara kelompok kontrol dengan kelompok EAR 12,5μl/ml + asam α-lipoat (variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan p<0,05. 3. Beda rerata antara kelompok EAR 12,5μl/ml dengan kelompok EAR 12,5μl/ml + asam α-lipoat (variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan nilai p<0,05. 4. Beda rerata antara kelompok EAR 12,5 + asam α-lipoat dengan variasi dosis 50, 100 dan 200μg/hr) menunjukkan nilai p<0,05. Tabel 5.6 Analisis Komparasi antar Kelompok setelah Pemberian EAR 12,5μl/ml Kelompok BR P Interpretasi Kontrol & EAR 12,5 0,060 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 12,5 + 50 AAL 0,047 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 12,5 + 100 AAL 0,028 0,000 Berbeda bermakna Kontrol & EAR 12,5 + 200 AAL 0,013 0,042 Berbeda bermakna EAR 12,5 & EAR 12,5 + 50 AAL 0,013 0,042 Berbeda bermakna EAR 12,5 & EAR 12,5 + 100 AAL 0,325 0,000 Berbeda bermakna EAR 12,5 & EAR 12,5 + 200 AAL 0,472 0,000 Berbeda bermakna EAR 12,5+50 AAL & EAR 12,5+100 AAL 0,019 0,007 Berbeda bermakna EAR 12,5+50 AAL & EAR 12,5+200 AAL 0,033 0,000 Berbeda bermakna EAR 12,5+100 AAL & EAR 12,5+200 AAL 0,014 0,028 Berbeda bermakna BAB VI PEMBAHASAN Berdasarkan teori yang telah diuraikan dimana paparan ekstrak asap rokok dapat menimbulkan kerusakan kolagen kulit. Akibat dari paparan ekstrak asap rokok yang menimbulkan keadaan stres pada sel fibroblas memicu pembentukan ROS, meningkatkan latent TGF-β serta menurunkan jumlah reseptor TGF-β. Hal tersebut meningkatkan produksi dari MMP-1,3,7 penumpukan yang menyebabkan peningkatan degradasi matriks kolagen, proteoglikan abnormal, serta akumulasi tropoelastin abnormal. Semua kerusakan tersebut mengakibatkan penghancuran matriks dermis serta gangguan pada sistem perbaikan. Apabila kerusakan pada kulit ini berlanjut terus menerus lebih jauh akan terjadi penuaan dini pada kulit tersebut. Dari hasil penelitian dan analisis data yang telah dilakukan pada hasil penelitian in vitro tampak bahwa ekstrak asap rokok berpengaruh terhadap terjadinya peningkatan MMP-1 yang dihasilkan oleh sel fibroblas, dimana terjadi peningkatan nilai MMP-1 yang signifikan (p<0,05) pada kelompok kultur sel fibroblas yang dipapar ekstrak asap rokok dosis 50μl/ml, 25μl/ml, 12,5μl/ml jika dibandingkan dengan kelompok kontrol. Peningkatan MMP-1 terjadi pada semua dosis. Pada pemaparan ekstrak asap rokok dosis 50μl/ml terjadi peningkatan MMP-1 sebesar 3,04 kali dari kontrol, pada pemaparan ekstrak asap rokok dosis 25μl/ml terjadi peningkatan MMP-1 sebesar 2,20 kali dari kontrol dan pada pemaparan ekstrak asap rokok 12,5μl/ml terjadi peningkatan MMP-1 sebesar 1,54 kali dari kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa MMP-1 dapat terbentuk pada berbagai variasi dosis. Peningkatan MMP-1 tertinggi pada penelitian ini terjadi pada paparan ekstrak asap rokok dosis 50μl/ml, yaitu sebesar 3,04 kali lipat dari MMP-1 pada kelompok kontrol yang tidak dipapar ekstrak asap rokok. Sedangkan pada paparan ekstrak asap rokok dengan dosis 12,5μl/ml terjadi peningkatan MMP-1 sebesar 1,54 kali lipat dari kontrol, peningkatan pada dosis ini lebih rendah jika dibandingkan dengan peningkatan MMP-1 pada dosis lainnya. Sebagai antioksidan, asam α-lipoat dinyatakan mampu memberikan perlindungan pada kulit terhadap paparan ekstrak asap rokok yang dapat memicu pembentukan radikal bebas, radikal hidroksil, singlet oxygen, serta kerusakan lainnya yang dapat ditimbulkan, sesuai dengan sifat asam α-lipoat yang dapat memakan berbagai macam radikal bebas dan mengkelasi logam (Nichols, 2001). Asam α-lipoat mempunyai kelebihan dibandingkan dengan antioksidan lainnya yaitu kelarutannya pada air dan lemak, sehingga memudahkan asam αlipoat melalui membran sel dan menetralkan radikal bebas (Gurer, 1999). Kelebihan lainnya adalah kemampuan untuk mendaur ulang beberapa antioksidan penting seperti vitamin C, E, dan glutation. Antioksidan menjadi teroksidasi akibat meredam sebuah radikal bebas, keadaan teroksidasi ini tidak dapat meredam radikal bebas yang baru, sampai antioksidan tersebut direduksi kembali. DHLA (dihydro-lipoic acid), bentuk tereduksi dari asam α-lipoat mampu mereduksi antioksidan yang telah teroksidasi, sehingga dapat berfungsi sebagai antioksidan kembali (Jones et al, 2002). Asam α-lipoat dapat meningkatkan kadar glutation pada kultur sel dan jaringan binatang yang sudah tua. Pada tikus, dosis oral 150mg/kgBB/hari selama 8 minggu mampu meningkatkan kadar glutation dalam darah dan hati (Suh et al, 2004). Asam α-lipoat juga memiliki kemampuan untuk meng-kelasi atau mengikat logam berat. Kedua bentuk asam α-lipoat telah ditemukan dapat membentuk bentukan kompleks dengan mangan, zinc, cadmium, timbal, kobalt, nikel dan ion besi (Lynch, 2001). Efek perlindungan tersebut di atas dapat dilihat dari kelompok kultur sel fibroblas yang mendapatkan perlindungan asam α-lipoat dengan berbagai variasi dosis sebelum diberikan paparan ekstrak asap rokok dengan variasi dosis, secara umum menunjukkan hambatan ekspresi MMP-1. Hal tersebut terlihat dari penurunan ekspresi MMP-1 pada kelompok kultur yang diberikan asam α-lipoat jika dibandingkan dengan kelompok kultur sel fibroblas yang tidak diberikan asam α-lipoat, dan dari hasil analisis menunjukkan perbedaan yang bermakna (p<0,05). Tampak hasil yang signifikan pada kelompok kultur sel fibroblas yang mendapat perlindungan asam α-lipoat 50μg, 100μg dan 200μg sebelum dipapar ekstrak asap rokok dengan dosis 50μl/ml, 25μl/ml, 12,5μl/ml. Pada kelompok kultur sel fibroblas yang dipapar ekstrak asap rokok dengan dosis 50μl/ml dengan perlindungan asam α-lipoat 50μg mengalami penurunan ekspresi MMP-1 sebesar 20,81%, pada pemberian asam α-lipoat dosis 100μg dan 200μg mengalami penurunan ekspresi MMP-1 sebesar 27,46 % dan 35,84%. Pada kelompok kultur sel fibroblas yang dipapar ekstrak asap rokok dengan dosis 25μl/ml dengan perlindungan asam α-lipoat 50μg, 100μg dan 200μg tampak terjadi penurunan ekspresi MMP-1 berturut-turut sebesar 6,77%, 16,73% dan 26,69% dibandingkan dengan kelompok kultur sel fibroblas yang tidak mendapatkan perlindungan asam α-lipoat. Pada kelompok kultur sel fibroblas yang dipapar ekstrak asap rokok dosis 12,5μl/ml dengan perlindungan asam α-lipoat dosis 50μg, 100μg dan 200μg tampak terjadi penurunan ekspresi MMP-1 berturut-turut sebesar 8,00%, 18,86% dan 26,86%. Dari hasil penelitian tampaknya dengan perlindungan antioksidan asam αlipoat terjadi penurunan ekspresi MMP-1 akibat paparan ekstrak asap rokok dengan berbagai dosis. Hal ini sesuai dengan sifat asam α-lipoat sebagai antioksidan yang dapat meredam radikal bebas, dan juga dapat mendaur ulang antioksidan lainnya. Pemberian asam α-lipoat menurunkan ekspresi MMP-1 dan diharapkan semakin kecil kerusakan kolagen yang pada umumnya terjadi seiring dengan proses penuaan. Kemampuan asam α-lipoat untuk melindungi kulit dari penuaan dini akibat paparan asap rokok atau merokok ini diharapkan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Mengingat jumlah perokok yang banyak dan seringkali kita menjadi perokok pasif, mengkonsumsi asam α-lipoat sebagai antioksidan dapat membantu menghambat perusakan kulit akibat radikal bebas yang ditimbulkan asap rokok dan terlebih baik lagi bila tidak merokok atau menghindari asap rokok. Merokok merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah. Selain sangat berpengaruh terhadap berbagai penyakit sistemik, juga menyebabkan berbagai gangguan pada kulit yang salah satunya adalah penuaan dini kulit. Merokok meningkatkan kadar MMP, yang berakibat penghancuran serat kolagen, serat elastin dan proteoglikan, ketidak seimbangan antara sintesa dan degradasi pada metabolisme jaringan ikat di dermis. ROS memegang peranan penting dalam asap rokok dalam menyebakan penuaan dini kulit. Pemberian antioksidan yang dapat memakan ROS akan menghambat rangsangan terhadap MMP. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai efek pemberian asam α-lipoat dapat menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur fibroblas yang dipapar ekstrak asap rokok dapat disimpulkan bahwa 1. Asam α-lipoat sebagai antioksidan dengan berbagai variasi dosis mampu menurunkan ekspresi MMP-1 pada kultur sel fibroblas yang dipapar oleh ekstrak asap rokok. 2. Dosis asam α-lipoat 200μg/hr memberikan efek proteksi tertinggi pada fibroblas yang terpapar ekstrak asap rokok. 7.2 Saran Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lebih mendalam tentang efek asam α-lipoat terhadap ekspresi MMP-1 pada kultur sel fibroblas yang dipapar oleh ekstrak asap rokok, efek proteksi asam α-lipoat pada kulit secara in vivo dan berbagai dosisnya. DAFTAR PUSTAKA Aizen, E. and Gilhar, A. 2001. Smoking Effect on Skin Wrinkling in The Aged Population. Int J Dermatol. Vol 40. p. 431-433. Athar, M. 2002. Oxidative Stress and Experimental Carcinogenesis. Indian J Exp Biol. vol 40. p. 656–667. Baskoro,A., Konthen, P.G. 2008. Basic Immunologyof Aging Process. Naskah Lengkap pada 5th Bali Endocrine Update 2nd Bali Aging and Geriatric Update Symposium. Bali 11-13 April 2008. Beers, M. 2005. The Merck Manual of Health & Aging. Amerika Serikat : Ballantine Book Trade Paperback. p. 24-25. Benowitz, N.L. 1988. Pharmacologic Aspects of Cigarette Smoking and Nicotine Addiction. N Engl J Med. vol 319. p. 1318-1330. Benowitz, N.L. 1996. Cotinine As a Biomarker of Environmental Tobacco Smoke Exposure. Epidemiol Rev. vol 18. p. 188-204. Bickers, D.R and Athar, M. 2006. Oxidative Stress in The Pathogenesis of Skin Disease. Journal of Investigative Dermatology. vol 126. p. 2565–2575. doi:10.1038/sj.jid.5700340 Black, H.S. 2004. ROS: A Step Closer to Elucidating Their Role in The Etiology Light-induced Skin Disorders. J Invest Dermatol. vol 122:xiii–v. of Briganti, S., Picardo, M. 2003. Antioxidant Activity, Lipid Peroxidation and Skin Diseases : What’s new. J Eur Acad Dermatol Venereol. vol 17. p. 663–669. Campbell, D. 1963. Experimental and Quasi-Experimental Design for Research. Houghton Miffin Company. p.13-22. Boston : Demierre, M. F., Brooks, D., Koh, H. K., Geller, A. C. 1999. Public Knowledge, Awareness, and Perceptions of The Association Between Skin Aging and Smoking. J Am Acad Dermatol. vol 41. p. 27-30. Dhar, A., Young, M. R., Colburn, N.H. 2002. The Role of AP-1, NF-kappaB and ROS/NOS in Skin Carcinogenesis: The JB6 Model is Predictive. Mol Cell Biochem. vol 234–235. p. 185–193. Ernster, V.L., Grady, D., Miike, R., Black, D., Selby, J., Kerlikowske, K. 1995. Facial Wringkling in Men and Women, by Smoking Status. American Journal Public Health. vol 85. p. 78-82. Fowles, J., Bates, M. 2000. The Chemical Constituents in Cigarette and Cigarette Smoke : Priorities For Harm Reduction. Epidemiology and Toxicology Group. ESR : Kenepuru Science Centre. Porirua. New Zealand. Fowler, B. 2003. Functional and Biological Markers of Aging in Klatz, R. Anti Medical Therapeutic. vol 5. The A4M Publication. Chicago. p. 43. Aging Gibson, S. J., Farrell, M. 2004. A Review of Age Differences Neurophysiology of Nociception and The Perceptual Experience of Pain. Pain. vol 20. p. 227-239. in The Clin J Gilchrest, B. A dan Krutmann, J. 2006. Skin Aging. Germany : Springer-Verlag Heidelberg, Germany. p.10-11, 34-42. Berlin Ginzel, K. H. 1999. What's In a Cigarette. University of Arkansas. Departement Pharmacology and Toxicology. Goldman, R dan Klatz, R. 2007. The New Anti-Aging Revolution. Malaysia : Printmate Sdn. Bhd. p. 19-25. Gurer, H., et al. 1999. Antioxidant Role of Alpha Lipoic Acid in Lead Toxicity. Radic Biol Med. vol 1. p. 75-81. Free Hieta, N., Impola, U., Lopez-Otin, C., Saarialho-Kere, U., Kähäri, V. M. 2003. Matrix Metalloproteinase-19 Expression in Dermal Wounds and by Fibroblasts in Culture. J Invest Dermatol. vol 121. p. 997-1004. Available from : http://herkules.oulu.fi/isbn9514277899/isbn9514277899.pdf. Accessed November 11, 2009. Jacob, P., Yu, L., Shulgin, A. T., Benowitz, N. L. 1999. Minor Tobacco Alkaloids as Biomarkers for Tobacco Use : Comparison of Users of Cigarettes, Smokeless Tobacco, Cigars, and Pipes. Am J Public Health. vol 89. p. 731736. Jones, W., Li, X., Qu, Z. C., Perriott, L., Whitesell, R. R., May, J. M. 2002. Uptake, Recycling, and Antioxidant Actions of Alpha Lipoic Acid in Endothelial Cells. Free Radic Biol Med. vol 33. p. 83-93. Klatz, R. 2003. Anti Chicago. p. 3. Aging Medical Therapeutic. vol 5. The A4M Publication. Kochevar, I. E., Taylor, C. R., Krutmann, J. 2008. Disorder Due To Ultraviolet Radiation. In: Wolff, K., Goldsmith, L. A., Katz, S. I., Gilchrest, B. A. Paller, A. S., Jeffell, D. J., editors. Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. 7th edition volume 1. Amerika Serikat : Mc-Graw-Hill, Inc. p. 59-63, 383-384, 797-799. Lewis, K. G., Bercovitch, L., Dill, S. W., Robinson–Bostom, L. 2004. Acquired Disorders of Elastic Tissue : Part I. Increased Elastic Tissue and Solar Elastotic Syndromes. J Am Acad Dermatol. vol 51. p. 1-21. Lin, J. Y., Lin, F. H., Burch, J. A., Selim, M. A., Monteiro-Riviere, N. A., Pinell, S. 2004. α- Lipoic Acid is Ineffective as Topical Antioxidant for Photoprotection Skin. J Invest Derm. vol 123. p. 996-998. Available from http://www.nature.com/jid/journal/v123/n5/full/5602557a.html. Accessed November, 27, 2010. Lynch, M. A. 2001. Lipoic Acid Confers Protection Against Oxidative Injury in Neuronal and Neuronal Tissue. Nutr Neurosci. vol 6. p. 419-438. R. of : Non- Lowe, L., Hansen, C. M., Senaratne, S., Colston, K. W. 2003. Mechanisms Implicated in The Growth Regulatory Effects of Vitamin D Compounds in Brest Cancer Cells. Recent Results Cancer Res. vol 164. p. 99-110. Martindale. 1979. The Extra Pharmacopoeia 27th edition. The pharmaceutical London. Press. Mohan, R., Shravan, K. C., Jung, J. C., Villar, W. V. L., McCabe, F., Russo, L. A., Lee, Y., McCarthy, B. E., Wollenberg, K. R., Jester, J. V., Wang, M , Welgus, H. G., Shipley, J. M., Senior, R. M., Fini, M. E. 2002. Matrix Metalloproteinase Gelatinase B (MMP-9) Coordinates and Effects Epithelial Regeneration. J Biol Chem. vol 277. p. 2065-2072. Morita, A. 2007a. Tobacco Smoke Causes Premature Skin Aging. Journal of Dermatological Science. vol 48. p. 169-175. Morita, A. 2007b. Tobacco Smoke Extract Induces Premature Skin Aging in Journal of Dermatological Science. vol 46. p. 69-71. Mouton, C. P., Bazaldua, O. V., Pierce, B., Espino, D. V. 2001. Common Older Adults. Am Fam Physician. vol 63. p. 257-268. Mouse. Infections Myllyharju, J., Kivirikko, K. I. 2001. Collagens and Collagen-related Diseases. Med. vol 33. p. 7-21. in Ann Nichols, T. B. 2001. α-lipoic acid : Biological Effects & Clinical Implications. Alternative Medicine Review. Thorne Research.vol 2. p. 177-183 Ou, P., Tritschler, H. J., Wolff, S. P. 1995. Thioctic (Lipoic) Acid: A Therapeutic Chelating Antioxidant. Biochem Pharmacol. vol 50. p. 123-126. Metal- Packer, L., Witt, E. H., Tritschler, H. J. 1995. Alpha−lipoic Acid as A Biological Antioxidant. Free Rad Biol Med. vol 19. p. 227-250. Pangkahila, W. 2007. Anti Aging Medicine : Memperlambat Penuaan, Meningkatkan Kualitas Hidup. Cetakan ke-1. Jakarta : Penerbit Buku Kompas. Hal : 35-42. Raitio, A. 2005. Comparison of the Appearance, Physical Qualities, Morphology, Collagen Synthesis & Extracellular Matrix Turnover of Skin in Smokers and Non-smokers. Smoking and Skin. Ravanti, L., Kähäri, V. M. 2000. Matrix Metalloproteinases in Wound Repair. Int J Mol Med. vol 6. p. 391-407. Available from : http://herkules.oulu.fi/isbn9514277899/isbn9514277899.pdf. November 11, 2009. Accessed Ryter, S. W., Tyrrell, R. M. 2000. The Heme Synthesis and Degradation Pathways: Role in Oxidant Sensitivity. Heme Oxygenase Has Both Pro and Antioxidant Properties. Free Radic Biol Med. vol 28. p. 289–309. Sander, C. S., Chang, H., Hamm, F., Elsner, P., Thiele, J. J. 2004. Role of Oxidative Stress and The Antioxidant Network in Cutaneous Carcinogenesis. Int J Dermatol. vol 43. p. 326–335. Setiati, S. 2003. Radikal Bebas, Antioksidan, dan Proses Menua dalam : Medika no. Tahun XXIX. Jakarta. p. 366. 6 Stadtman, E. R. 2001. Protein Oxidation in Aging and Age-related Disease. Ann N Acad Sci. vol 928. p. 22-38. Y Suh, J. H., Shenvi, S. V., Dixon, B. M. 2004. Decline in Transcriptional Activity of Nrf2 Causes Age-Related Loss of Glutathione Synthesis, Which is Reversible With Lipoic Acid. Proc Natl Acad Sci USA. vol 101. p. 3381-3386. Suryohudoyo, P. 2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler. Jakarta : CV. Infomedika. p. 31-46. Wardhana, W. A. 1995. Dampak Pencemaran Lingkungan. Penerbit Andi Offset. Yaar, M., Gilchrest, B. A. 2003. Aging of Skin. In Freedberg, I. M., Eizen, A.,Z., Wolff, K., Austen, K. F., Goldsmith, L. A., Katz, S. I. (eds) Fitzpatrick's Dermatology in General Medicine. McGraw-Hill. New York. vol 2. p. 1386-1398. Yin, L., Morita, A., Tsuji, T. 2000. Alterations of Extracellular Matrix Induced by Tobacco Smoke Extract. Arch Dermatol Res. vol 292. p. 188-194. Yin, L., Morita, A., Tsuji, T. 2001. Skin Aging Induced by Ultraviolet Exposure and Tobacco Smoking : Evidence from Epidemiological and Molecular Studies. Photodermatol Photoimmunol Photomed. vol 17. p. 178-183. Lampiran 1 Uji Normalitas Data MMP-1 Berdasarkan Dosis Paparan Ekstrak Asap Rokok 50μl/ml, 25μl/ml dan 12,5μl/ml Normalitas pada EAR 50μl/ml Tests of Normality a MMP-1 Kelompok Kontrol EAR 50 EAR 50 + 50 AAL EAR 50 + 100 AAL EAR 50 + 200 AAL Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .231 4 .219 4 .209 4 .215 4 .230 4 Statistic .974 .938 .985 .946 .939 . . . . . Shapiro-Wilk df 4 4 4 4 4 Sig. .865 .645 .928 .689 .645 a. Lilliefors Significance Correction Normalitas pada EAR 25μl/ml Tests of Normality a MMP-1 Kelompok Kontrol EAR 25 EAR 25 + 50 AAL EAR 25 + 100 AAL EAR 25 + 200 AAL Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .231 4 .190 4 .243 4 .212 4 .170 4 Statistic .974 .962 .905 .979 .983 . . . . . Shapiro-Wilk df 4 4 4 4 4 Sig. .865 .792 .457 .896 .921 a. Lilliefors Significance Correction Normalitas pada EAR 12,5μl/ml Tests of Normality a MMP-1 Kelompok Kontrol EAR 12,5 EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 100 AAL EAR 12,5 + 200 AAL Kolmogorov-Smirnov Statistic df Sig. .231 4 .287 4 .275 4 .241 4 .200 4 a. Lilliefors Significance Correction . . . . . Statistic .974 .849 .871 .959 .973 Shapiro-Wilk df 4 4 4 4 4 Sig. .865 .223 .304 .774 .861 Lampiran 2 Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD-test kelompok EAR 50μl/ml Descriptives MMP-1 N Kontrol EAR 50 EAR 50 + 50 AAL EAR 50 + 100 AAL EAR 50 + 200 AAL Total 4 4 4 4 4 20 Mean .11450 .34600 .27450 .25100 .22275 .24175 Std. Deviation .010344 .017263 .014480 .005292 .009394 .078308 Std. Error .005172 .008631 .007240 .002646 .004697 .017510 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .09804 .13096 .31853 .37347 .25146 .29754 .24258 .25942 .20780 .23770 .20510 .27840 Minimum .103 .323 .258 .246 .214 .103 Homogenitas kelompok EAR 50μl/ml Test of Homogeneity of Variances MMP-1 Levene Statistic 1.073 df1 df2 4 Sig. .404 15 Anova Test EAR 50μl/ml ANOVA MMP-1 Between Groups Within Groups Total Sum of Squares .114 .002 .117 df 4 15 19 Mean Square .029 .000 F 195.506 Sig. .000 Maximum .128 .362 .293 .258 .235 .362 Post Hoc Test EAR 50μl/ml Multiple Comparisons Dependent Variable: MMP-1 LSD (I) Kelompok Kontrol (J) Kelompok EAR 50 EAR 50 + 50 AAL EAR 50 + 100 AAL EAR 50 + 200 AAL EAR 50 Kontrol EAR 50 + 50 AAL EAR 50 + 100 AAL EAR 50 + 200 AAL EAR 50 + 50 AAL Kontrol EAR 50 EAR 50 + 100 AAL EAR 50 + 200 AAL EAR 50 + 100 AAL Kontrol EAR 50 EAR 50 + 50 AAL EAR 50 + 200 AAL EAR 50 + 200 AAL Kontrol EAR 50 EAR 50 + 50 AAL EAR 50 + 100 AAL Mean Difference (I-J) -.23150* -.16000* -.13650* -.10825* .23150* .07150* .09500* .12325* .16000* -.07150* .02350* .05175* .13650* -.09500* -.02350* .02825* .10825* -.12325* -.05175* -.02825* *. The mean difference is significant at the .05 level. Std. Error .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 .008549 Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .000 .015 .000 .000 .000 .015 .005 .000 .000 .000 .005 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.24972 -.21328 -.17822 -.14178 -.15472 -.11828 -.12647 -.09003 .21328 .24972 .05328 .08972 .07678 .11322 .10503 .14147 .14178 .17822 -.08972 -.05328 .00528 .04172 .03353 .06997 .11828 .15472 -.11322 -.07678 -.04172 -.00528 .01003 .04647 .09003 .12647 -.14147 -.10503 -.06997 -.03353 -.04647 -.01003 Lampiran 3 Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD-test kelompok EAR 25μl/ml Descriptives MMP-1 N Kontrol EAR 25 EAR 25 + 50 AAL EAR 25 + 100 AAL EAR 25 + 200 AAL Total 4 4 4 4 4 20 Mean .11450 .25100 .23425 .20925 .18450 .19870 Std. Deviation .010344 .012111 .004992 .013124 .005686 .049766 Std. Error .005172 .006055 .002496 .006562 .002843 .011128 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .09804 .13096 .23173 .27027 .22631 .24219 .18837 .23013 .17545 .19355 .17541 .22199 Minimum .103 .235 .230 .193 .178 .103 Homogenitas kelompok EAR 25μl/ml Test of Homogeneity of Variances MMP-1 Levene Statistic .712 df1 df2 4 Sig. .596 15 Anova Test EAR 25μl/ml ANOVA MMP-1 Between Groups Within Groups Total Sum of Squares .046 .001 .047 df 4 15 19 Mean Square .011 .000 F 117.989 Sig. .000 Maximum .128 .263 .241 .225 .191 .263 Post Hoc Test EAR 25μl/ml Multiple Comparisons Dependent Variable: MMP-1 LSD (I) Kelompok Kontrol (J) Kelompok EAR 25 EAR 25 + 50 AAL EAR 25 + 100 AAL EAR 25 + 200 AAL EAR 25 Kontrol EAR 25 + 50 AAL EAR 25 + 100 AAL EAR 25 + 200 AAL EAR 25 + 50 AAL Kontrol EAR 25 EAR 25 + 100 AAL EAR 25 + 200 AAL EAR 25 + 100 AAL Kontrol EAR 25 EAR 25 + 50 AAL EAR 25 + 200 AAL EAR 25 + 200 AAL Kontrol EAR 25 EAR 25 + 50 AAL EAR 25 + 100 AAL Mean Difference (I-J) -.13650* -.11975* -.09475* -.07000* .13650* .01675* .04175* .06650* .11975* -.01675* .02500* .04975* .09475* -.04175* -.02500* .02475* .07000* -.06650* -.04975* -.02475* *. The mean difference is significant at the .05 level. Std. Error .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 .006951 Sig. .000 .000 .000 .000 .000 .029 .000 .000 .000 .029 .003 .000 .000 .000 .003 .003 .000 .000 .000 .003 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.15132 -.12168 -.13457 -.10493 -.10957 -.07993 -.08482 -.05518 .12168 .15132 .00193 .03157 .02693 .05657 .05168 .08132 .10493 .13457 -.03157 -.00193 .01018 .03982 .03493 .06457 .07993 .10957 -.05657 -.02693 -.03982 -.01018 .00993 .03957 .05518 .08482 -.08132 -.05168 -.06457 -.03493 -.03957 -.00993 Lampiran 4 Uji Homogenitas, Anova Test dan LSD-test kelompok EAR 12,5μl/ml Descriptives MMP-1 N Kontrol EAR 12,5 EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 100 AAL EAR 12,5 + 200 AAL Total 4 4 4 4 4 20 Mean .11450 .17525 .16175 .14275 .12800 .14445 Std. Deviation .010344 .009106 .004031 .011442 .005715 .023823 Std. Error .005172 .004553 .002016 .005721 .002858 .005327 95% Confidence Interval for Mean Lower Bound Upper Bound .09804 .13096 .16076 .18974 .15534 .16816 .12454 .16096 .11891 .13709 .13330 .15560 Minimum .103 .167 .156 .129 .122 .103 Homogenitas kelompok EAR 12,5μl/ml Test of Homogeneity of Variances MMP-1 Levene Statistic .756 df1 df2 4 Sig. .570 15 Anova Test EAR 12,5μl/ml ANOVA MMP-1 Between Groups Within Groups Total Sum of Squares .010 .001 .011 df 4 15 19 Mean Square .002 .000 F 32.704 Sig. .000 Maximum .128 .185 .165 .157 .135 .185 Post Hoc Test EAR 12,5μl/ml Multiple Comparisons Dependent Variable: MMP-1 LSD (I) Kelompok Kontrol EAR 12,5 EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 100 AAL EAR 12,5 + 200 AAL (J) Kelompok EAR 12,5 EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 100 AAL EAR 12,5 + 200 AAL Kontrol EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 100 AAL EAR 12,5 + 200 AAL Kontrol EAR 12,5 EAR 12,5 + 100 AAL EAR 12,5 + 200 AAL Kontrol EAR 12,5 EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 200 AAL Kontrol EAR 12,5 EAR 12,5 + 50 AAL EAR 12,5 + 100 AAL Mean Difference (I-J) -.06075* -.04725* -.02825* -.01350* .06075* .01350* .03250* .04725* .04725* -.01350* .01900* .03375* .02825* -.03250* -.01900* .01475* .01350* -.04725* -.03375* -.01475* *. The mean difference is significant at the .05 level. Std. Error .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 .006081 Sig. .000 .000 .000 .042 .000 .042 .000 .000 .000 .042 .007 .000 .000 .000 .007 .028 .042 .000 .000 .028 95% Confidence Interval Lower Bound Upper Bound -.07371 -.04779 -.06021 -.03429 -.04121 -.01529 -.02646 -.00054 .04779 .07371 .00054 .02646 .01954 .04546 .03429 .06021 .03429 .06021 -.02646 -.00054 .00604 .03196 .02079 .04671 .01529 .04121 -.04546 -.01954 -.03196 -.00604 .00179 .02771 .00054 .02646 -.06021 -.03429 -.04671 -.02079 -.02771 -.00179 Lampiran 5 FOTO-FOTO PENELITIAN 1. Proses Pembuatan Ekstrak Asap Rokok Proses pembuatan EAR Persiapan alat-alat Penyesuaian pH Penyaringan EAR 2. Kultur Fibroblas Sel Fibroblas Sel Fibroblas yang mengendap Penghitungan sel fibroblas 3. Pembagian Kelompok Perlakuan Pembagian kelompok perlakuan dalam well plate 4. Pengukuran MMP-1 Persiapan kit MMP-1 Koleksi supernatan 24 jam post EAR Pembacaan hasil dengan ELISA Reader