1 MENANAMKAN NILAI MORAL PADA

advertisement
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
MENANAMKAN NILAI MORAL PADA ANAK USIA DINI
MELALUI BERCERITA
Ni Ketut Alit Suarti
(Dosen Program Studi Bimbingan dan Konseling FIP IKIP Mataram)
Email: [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan lingkungan masyarakat yang dinamis dapat memberikan berbagai dampak secara
simultan khususnya bagi perkembangan anak usia dini. Anak yang kurang mendapatkan perhatian dan
pendampingan akan cenderung untuk berperilaku dan berbuat diluar domain nilai-nilai moral. Anak
usia dini merupakan investasi yang sangat besar bagi keluarga dan bangsa. Untuk dapat mewujudkan
anak-anak yang cerdas dan berkembang potensinya, sebaiknya anak diberikan kesempatan yang luas
untuk bermain, bernyanyi, dan bercerita. Oleh karena itu, anak usia dini perlu mendapat perhatian yang
lebih serius baik dari orang tua, pendidik maupun masyarakat secara luas agar anak mendapat layanan
pendidikan yang layak dan dapat tumbuh dengan sempurna. Anak usia dini berada dalam masa
pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik pertumbuhan fisik, maupun perkembangan
mental. Salah satu metode yang dapat dilakukan oleh orang tua maupun pendidik untuk menanamkan
nilai-nilai moral bagi anak usia dini adalah melalui bercerita. Melalui bercerita, orang tua dapat
menstimulasi sekaligus mengenalkan kepada anak akan pentingnya pemahaman terhadap nilai-nilai
moral dalam kehidupan. Cerita yang didengar oleh anak secara berkelanjutan dapat merangsang anak
mengembangkan imajinasi positif untuk berbuat yang baik dan benar sesuai dengan pedoman moral
dan norma yang berlaku di sekitarnya.
Kata Kunci: Nilai Moral, Anak Usia Dini, Bercerita.
PENDAHULUAN
Anak merupakan harta yang sangat berharga bagi setiap orang tua, kehadiran
anak di tengah-tengah keluarga dapat membuat keluarga menjadi harmonis dan
bahagia. Keluarga yang harmonis dan berkualitas yaitu keluarga yang rukun dan
berbahagia, tertib, disiplin, saling menghargai, tolong menolong dalam kebajikan,
memiliki etos kerja yang baik, bertetangga dengan saling menghormati, taat
mengerjakan ibadah, berbakti pada yang lebih tua, mencintai ilmu pengetahuan dan
memanfaatkan waktu luang dengan hal yang positif dan mampu memenuhi
kebutuhan dasar keluarga (Basri, 1996). Setiap keluarga tidak semuanya dapat hidup
harmonis, namun beberapa diantaranya mengalami berbagai masalah yang berbedabeda. Faktor penyebabnya sangat bervariasi, salah satu diantaranya yakni
ketersinggungan yang diakibatkan oleh perbuatan maupun perkataan yang kurang
sopan. Permasalahan yang dialami oleh orang tua tersebut secara mendasar memiliki
dampak terhadap perkembangan psikolgis dan emosional anak, sehingga
permasalahan yang ada perlu untuk diminimalisir dan dipecahkan secara lebih tepat.
Masa depan suatu bangsa sangat ditentukan oleh kualitas dari anak saat ini.
Menjadi anak yang berkualitas tentu menjadi idaman bagi setiap orang tua dan
bangsa itu sendiri, oleh karena itu anak perlu mendapat perlindungan dan pendidikan
dari orang tua, pendidik, maupun masyarakat secara luas, untuk itu telah diatur dalam
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 28 B ayat
(2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta
memiliki hak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Salah satu
Halaman | 1
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
implementasi dari pasal ini adalah setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan
tingkat kecerdasan yang sesuai dengan minat serta bakatnya. Sementara dalam
Konvensi Hak-Hak Anak pasal 31 menyatakan bahwa hak anak untuk beristirahat dan
bersantai, bermain dan turut serta dalam kegiatan-kegiatan rekreasi yang sesuai
dengan usia anak yang bersangkutan dan turut serta secara bebas dalam kehidupan
budaya dan seni (Tedjasaputra, 2001).
Terkait dengan hak anak tersebut, peran orang tua, pendidik, maupun
pengasuh pada anak usia dini sangat penting dalam memberikan pendidikan yang
layak bagi anak, bahkan pendidikan tersebut semestinya telah diberikan sejak dalam
kandungan, hal ini dipertegas lagi oleh seorang ahli dalam kesehatan yaitu Fasli
Djalal mengatakan bahwa rangsangan kepada anak usia dini dapat diberikan sejak
anak dalam kandungan hingga usia enam tahun (Kompas, 2004), artinya pendidikan
tidak saja diberikan sejak lahir tetapi sejak dalam kandungan melalui orang tua dan
orang yang ada di lingkungan terdekatnya dengan harapan agar anak lahir menjadi
anak yang baik, cerdas, santun, sehat dan ceria.
Ki Hajar Dewantara dalam Shochib (1997) menjelaskan bahwa keluarga
merupakan pusat pendidikan yang pertama dan terpenting, karena sejak adanya
peradaban manusia sampai sekarang keluarga selalu memiliki pengaruh besar
terhadap perkembangan budi pekerti atau moral anak. Begitu besar peran orang tua
terhadap pembentukan budi pekerti atau moral anak, seolah-olah peran tersebut tidak
dapat digantikan oleh orang lain. Namun seiring dengan waktu dan umur anak, tentu
orang tua memiliki keterbatasan waktu dan kemampuan untuk mendidik dan pada
saatnya anak secara perlahan-lahan diarahkan untuk mengikuti pendidikan di sekolah
(pendidikan formal). Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga,
sekolah, dan masyarakat. Sekolah sebagai lembaga formal tempat untuk melanjutkan
pendidikan yang diperoleh dalam keluarga (Sujiono, 2012). Begitu besar peran orang
tua terhadap anak agar menjadi yang terbaik, berbudi pekerti, cerdas, sehat dan ceria.
Menjadi anak yang baik dan berkualitas seperti harapan dari orang tua, tidak
mudah untuk diucapkan, tetapi membutuhkan waktu dan pengorbanan dari berbagai
pihak baik dari orang tua, maupun lingkungannya harus memberikan dukungan yang
cukup kepada anak sehingga anak menjadi hidup terbiasa dengan kebaikan. Sebagai
orang tua perlu memiliki pegetahuan dan pemahaman mengenai metode yang tepat
digunakan untuk mendidik anak usia dini. Ada beberapa cara yang dilakukan baik
oleh orang tua, pendidik maupun pengasuh untuk mendidik dan memberikan
bimbingan kepada anak usia dini diantaranya yaitu melalui lagu, bermain, cerita,
menggambar dan lain sebagainya. Bagi anak usia dini bermain adalah aktivitas
primer, dengan bermain secara psikologis dan emosional anak menjadi lebih riang
dan gembira. Jenis permainanpun harus disesuaikan dengan tingkat usia, jenis
kelamin, tempat, media, dan kemampuan anak.
Bercerita merupakan suatu aktivitas yang menekankan pada proses
penyampaian nilai-nilai yang dapat dijadikan teladan bagi pengembangan prinsip
kehidupan. Akan tetapi akhir-akhir ini, aktivitas becerita yang dilakukan oleh orang
tua maupun pendidik kepada anak semakin berkurang dan mulai tereliminir oleh
Halaman | 2
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
perkembangan lingkungan eksternal. Jika dicermati dengan perkembangan zaman
yang ada saat ini dimana perkembangan teknologi mengalami perkembangan yang
sangat pesat, di sisi lain teknologi juga dapat mengganggu aktivitas manusia jika dari
pihak pengguna teknologi tidak bisa menggunakan dengan tepat sasaran, seperti
contoh orang tua setiap sore sampai malam disibukkan dengan menonton televisi
yang beraneka ragam jenis berita serta hiburan. Suasana seperti itu dapat
menyebabkan orang tua tidak memiliki waktu atau kesempatan untuk berceritadan
mendongeng kepada anak, semestinya orang tua lebih paham terhadap kebutuhan dan
perkembangan anak terutama perkembangan moral, supaya anak tumbuh dan
berkemabng menjadi anak yang cerdas, sehat dan ceria.
PEMBAHASAN
Pada dasarnya anak usia dini memiliki sifat yang suka meniru atau bersifat
imitasi dan suka berimajimasi terhadap sesuatu. Bloom dalam Siskandar (2003)
menjelaskan bahwa perkembangan mental yaitu perkembangan inteligensi,
kepribadian dan tingkah laku sosial sangat pesat ketika anak masih usia dini. Pada
usia dini sangat tepat diberikan pendidikan yang berkenaan dengan nilai moral,
karena anak masih bersifat polos dan suka meniru perbuatan atau tingkah laku orang
dewasa. Perilaku yang terkait dengan moral merupakan perilaku yang diperoleh dari
proses pembiasaan yang dilakukan oleh seseorang sejak anak usia dini. Peran
pendidikan bagi anak usia dini adalah merangsang kemampuan tumbuh kembang
pada saat yang tepat (Siskandar, 2003). Orang tua, pendidik atau pengasuh anak di
rumah memiliki kewajiban untuk mendidik dan memberikan contoh yang baik
kepada anak agar mereka dalam berperilaku sesuai dengan norma yang berlaku di
sekitar anak, seperti memberi atau mengambil sesuatu menggunakan tangan kanan,
menunjuk menggunakan tangan kanan, setelah menerima sesuatu dibiasakan dengan
mengucapkan terimakasih kepada pemberi, mengucapkan salam jika bertemu dengan
orang lain, berdoa sebelum dan sesudah melakukan kegiatan dan lain sebagainya.
Konsep Nilai Moral
Nilai moral terdiri 2 (dua) kata yaitu kata nilai dan kata moral. Nilai (value)
berasal dari Bahasa Latin “valere” secara harfiah berarti baik/buruk yang kemudian
artinya diperluas menjadi segala sesuatu yang disenangi, diinginkan, dicita-citakan
dan disepakati. Nilai berada dalam hati nurani dan pikiran sebagai suatu keyakinan
atau kepercayaan. Nilai harus dibina terus menerus karena nilai merupakan aspek
yang bisa timbul tenggelam atau pasang surut (Darmadi, 2006:). Sedangkan moral
dari segi etomologis berasal dari bahasa latin “Mores” yang berasal dari kata “Mos”.
Mores berarti adat istiadat, kelakuan, tabiat, watak, ahklak, yang kemudian artinya
berkembang menjadi sebagai kebiasaan dalam bertingkah laku yang baik, dan susila.
Moralita berarti yang mengenai kesusilaan (kesopanan, sopan-santun, keadaban).
Orang yang susila adalah orang yang baik budi bahasanya (Darmadi, 2006). Dengan
demikian maka yang dimaksud dengan nilai moral yaitu perilaku dan tutur bahasanya
sesuai dengan adat istiadat, kebiasaan, akhlak mulia, sopan santun dan berbudi luhur.
Halaman | 3
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Pasang surutnya nilai moral sebagai dampak dari perkembangan moral yaitu
terjadi perubahan penalaran, perasaan, dan perilaku tentang standar mengenai benar
dan salah. Perkembangan moral berkaitan dengan aturan-atuaran dan ketentuan
tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang dalam berinteraksi dengan
orang lain. Bagi anak usia dini proses perkembangan moral diperoleh melalui melihat
atau meniru dari orang lain yang pernah bersentuhan dengannya. Kohlberg
mengemukakan bahwa perkembangan moral dipengaruhi oleh suasana moralitas di
rumah, sekolah, dan lingkungan masyarakat luas. Selanjutnya Blasi menjelaskan
bahwa perkembangan moral juga dipengaruhi oleh umur, ras, status sosial, tingkat
inteligensi, dan bentuk lingkungan sosial (keluarga, sekolah) (Darmadi, 2006).
Tahap perkembangan penalaran moral telah dipostulatkan pada pemikiran
Dewey yang memandang bahwa perkembangan moral dibagi dalam 3 (tiga)
tingkatan, yaitu: 1) tingkat pra-moral (pre-conventional), 2) tingkat conventional, dan
3) tingkat autonomous. Pendapat Dewey tersebut kemudian dilanjutkan oleh Piaget
mengenai perkembangan moral yang dikaitkan dengan umur, yaitu: 1) tahap pramoral yaitu pada anak yang berumur di bawah 4 tahun, 2) tahap heteronomous yaitu
pada anak yang berumur 4-8 tahun, dan 3) tahap otonomous yaitu anak yang berumur
9-12 tahun (Budiningsih, 2008).
Terkait dengan tahap perkembangan moral tersebut, Kohlberg dalam
Budiningsih (2008) menjelaskan; Pertama Tingkat pra-Konvensional. Pada tingkat
ini biasanya anak tanggap terhadap aturan budaya, nilai baik dan buruk yang berlaku
di sekitarnya, tetapi anak menerima nilai baik atau buruk itu dalam rangka
memaksimalkan kenikmatan atau kesenangan yang berupa penghargaan (pujian) dan
meminimalkan hukuman fisik. Biasanya tingkat pra-moral meliputi 2 (dua) tahap,
yaitu: a) tahap orientasi hukuman dan kepatuhan, dimana anak memiliki orientasi
bahwa baik atau buruknya suatu tindakan ditentukan oleh akibat fisik yang akan
dialami, dan b) orientasi instrumentalistis, yaitu pada tahap ini tindakan anak selalu
diarahkan untuk memenuhi kebutuhan sendiri dengan memperalat orang lain.
Hubungan manusia dianggap seperti hubungan dagang (jual-beli) yang memiliki
unsur keterbukaan, dan saling tukar menukar. Prinsip ini dikaitkan dengan fisik dan
pragmatis. Prinsip kesalingannya adalah: kamu mencakar punggungku dan aku akan
ganti dengan mencakar punggungmu. Prinsip kesalingan kuat dimiliki oleh anak pada
usia di bawah 4 (empat) tahun, kadang-kadang anak satu dengan lainnya berkelahi
dengan alasan sepele seperti antar anak berebut mainan, saling olok, bermain kejarkejaran dan berujung dengan perkelahian bahkan salah satu ada yang menangis
karena merasa terdesak. Kejadian ini dapat membuat para orang tua masing-masing
menjadi salah paham, dan berdampak kepada perselisihan diantara mereka bahkan
sampai masalahnya menjadi besar, padahal hanya gara-gara anak bermain. Kedua
Tingkat Konvensional; yaitu anak menyadari sebagai anak yang berada di tengahtengah keluarga dan masyarakat. Menurut anak, keluarga dan masyarakat memiliki
kebenaran sendiri, oleh karena itu anak menganggap jika mereka menyimpang dari
kelompok dimana mereka berada akan dikucilkan atau terisolasi. Untuk itu
kecenderungan anak pada tahap ini menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang
Halaman | 4
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
berlaku di masyarakat. Pada tingkat ini perasaan yang muncul adalah malu. Pada
tingkat konvensional ini memiliki 2 tahapan yaitu; 1) orientasi kerukunan, pada tahap
ini anak memiliki pandangan bahwa tingkah laku yang baik adalah menyenangka,
menolong orang lain serta perilakunya diakui oleh orang lain. Tujuan utamanya
adalah untuk memperoleh hubungan sosial yang memuaskan dirinya, maka anak
berperan sesuai dengan harapan keluarga, masyarakat maupun bangsanya; dan 2)
orientasi ketertiban masyarakat dimana pada tahap ini anak menganggap bahwa
tingkah laku yang baik adalah memenuhi kewajiban, mematuhi hukuman,
menghormati keluarga, masyarakat dan bangsanya serta menjaga dan melakukan
tertib sosial merupakan perbuatan moral yang baik bagi anak (Budingisih, 2008).
Oleh karena itu pada usia 0-8 tahun yang tergolong anak usia dini dan sampai
memasuki kelas awal merupakan masa yang sangat tepat ditanamkan nilai-nilai
moral, karena pada masa tersebut adalah masa-masa yang sangat penting bagi anak
untuk memahami perilaku dan nilai baik atau buruk, dan perilaku benar atau salah
sesuai dengan norma yang berlaku walaupun sebelum usia 4 tahun anak belum paham
terhadap kebaikan dan nilai moral, tetapi jika pada usia-usia tersebut anak didampingi
dan diberikan bimbingan melalui cerita oleh orang tua, pendidik atau pengasuhnya,
maka perbuatan yang menyimpang dari nilai moral dapat diminimalisir dan secara
perlahan-lahan anak akan menjadi mengerti walaupun sekali waktu terjadi kesalah
pahaman antara anak yang satu dengan anak yang lainnya sempat berselisih pendapat.
Ketiga Tingkat Pasca-Konvensional atau tingkat otonom; Pada tingkat ini orang
bertindak sebagai subyek hukum dengan mengatasi hukum yang ada. Hukum
dianggapnya sebagai kontrak sosial demi ketertiban dan kesejahteraan umum.
Tingkat ini terdiri dari 2 tahap yaitu tahap orientasi kontrak sosial dan tahap orientasi
prinsip etis universal (Budiningsih, 2008). Pada tahap yang ketiga ini biasanya
dialami oleh anak yang berusia 9-12 tahun yang sudah tidak tergolong anak usia dini
lagi, bahkan mereka berada pada usia sekolah.
Anak usia dini adalah anak yang sedang membutuhkan upaya-upaya
pendidikan untuk mencapai optimalisasi semua aspek perkembangan baik
perkembangan fisik maupun psikis, yaitu intelektual, bahasa, motorik, dan sosio
emosional. Selain itu, anak usia dini adalah anak yang berusia dari sejak lahir sampai
dengan usia 6 (enam) tahun (Kloang Klede Putra Timur, 2003). Anak pada usia-usia
ini perlu diberikan pendidikan yang layak sesuai dengan umur dan stimulasi sesuai
dengan yang dibutuhkan untuk perkembangan anak. Perkembangan anak sangat
ditentukan oleh stimulasi yang diberikan kepada anak. Stimulasi yang tepat akan
bermakna bagi perkembangan yang diharapkan oleh orang tua maupun pendidik.
Salah satu aspek perkembangan yang tidak kalah pentingnya dengan
perkembangan kognitif, bahasa, sosial emosional, fisik motorik adalah perkembangan
nilai moral. Keberhasilan seseorang dalam kehidupannya tidak saja memiliki IQ yang
tinggi tetapi kecerdasan emosional dan yang terpenting adalah memiliki nilai moral.
Menjadi individu yang bermoral adalah individu yang hidup dengan kejujuran, tidak
melanggar norma atau aturan yang berlaku di masyarakat. Sebuah aturan atau norma
Halaman | 5
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
wajib ditaati oleh setiap masyarakat karena kunci kesuksesan bagi setiap orang jika
mereka memiliki moral yang tinggi.
Pendidikan yang diperoleh oleh anak sejak usia dini sangat mempengaruhi
terhadap perkembangan anak pada tahap berikutnya dan produktivitas kerja di masa
dewasanya. Pengembangan yang dibutuhkan meliputi tiga faktor yaitu: faktor gizi,
kesehatan dan stimulasi psikososial (Forum Padu, 2004). Ki Hajar Dewantara dalam
Santoso (2002) menjelaskan bahwa pendidikan anak sangat penting diberikan sejak
dini, dengan memberikan pendidikan yang berisi: penanaman nilai budi pekerti, nilai
seni, nilai budaya, kecerdasan, keterampilan dan agama. Stimulasi yang dapat
memberikan pengaruh terhadap perkembangan mental yang menyangkut perilaku
anak usia dini yang dikaitkan dengan baik dan buruk atau benar dan salah
membutuhkan perhatian yang serius baik dari orang tua, guru maupun para pengasuh.
Dengan harapan anak usia dini tumbuh dengan wajar sehingga dikemudian hari anak
hidup sehat, ceria dan cerdas. Oleh karena itu sangat tepat jika sejak dini anak
distimulasi dengan cerita. Dengan memperhatikan begitu besar peran pendidikan bagi
anak usia dini yaitu menstimulasi kemampuan tumbuh kembang pada saat yang tepat.
Rangsangan pendidikan sangat perlu diberikan kepada anak, karena anak merupakan
aset dari suatu keluarga dan bangsa. Stimulasi dari lingkungan sangat diperlukan oleh
anak dalam mengembangkan potensi kecerdasannya, maka upaya pendidikan sejak
dini adalah merupakan bentuk stimulasi psikososial sedini dan sebanyak mungkin
kepada anak (Forum Padu, 2004). Oleh karena itu pendekatan yang baik dan tepat
dalam menanamkan budi pekerti atau nilai-nilai moral kepada anak usia dini adalah
dengan memberikan contoh teladan, cerita atau dongeng, dan permainan yang sesuai
dengan umur perkembangannya (Sujiono, 2012). Mengembangkan keterampilan
hidup dapat dilakukan melalui berbagai proses pembiasaan. Hal ini dimaksudkan agar
anak belajar untuk menolong diri sendiri, mandiri dan bertanggungjawab serta
memiliki disiplin diri. Bagi anak usia dini keterampilan tersebut diperoleh melalui
beberapa strategi salah satunya dengan mendengarkan cerita atau sering disebut
dengan dongeng.
Menanamkan Nilai Moral melalui Bercerita
Anak usia dini merupakan investasi yang sangat besar bagi keluarga dan
bangsa. Untuk dapat menghasilkan anak-anak yang cerdas sehat jasmani dan rohani
serta potensi anak dapat berkembang sesuai dengan perkembangannya, maka
sebaiknya anak diberikan kesempatan untuk bermain, bernyanyi, bercerita yang
sebanyak-banyaknya, oleh karena itu anak usia dini perlu mendapat perhatian yang
lebih serius baik dari orang tua, pendidik maupun masyarakat secara luas agar anak
mendapat layanan pendidikan yang layak dan dapat tumbuh dengan sempurna. Anak
usia dini berada dalam masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat, baik
pertumbuhan fisik, maupun perkembangan mental (Suyanto, 2005:1-5). Salah satu
metode yang dapat dilakukan oleh orang tua maupun pendidik untuk menanamkan
nilai-nilai moral bagi anak usia dini adalah melalui bercerita.
Halaman | 6
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Kata “cerita” mengacu pada sesuatu yang diungkapkan dalam aktivitas
bercerita. Cerita dapat diartikan dalam beberapa pengertian, yaitu: a) tuturan yang
membentangkan bagaimana terjadinya suatu hal peristiwa, kejadian dan sebagainya,
b) karangan yang menuturkan perbuatan pengalaman, penderitaan orang kejadian dan
sebagainya, baik yang sungguh-sungguh maupun rekaan belaka, dan c) lakon yang
diwujudkan atau dipertunjukkan dan digambar hidup seperti sandiwara, wayang dan
sebagainya (Musfiroh, 2005). Berdasarkan pengertian tersebut dapat dimaknai bahwa
cerita adalah tuturan lisan, karya bentuk tulis atau pementasan tentang sesuatu
kejadian, peristiwa dan sebagainya yang terjadi di seputar dunia anak. Selanjutnya
Majid (2002) menjelaskan bahwa cerita adalah salah satu bentuk sastra yang bisa
dibaca atau hanya bisa didengar oleh orang yang tidak bisa membaca.
Cerita atau dongeng berada pada posisi pertama dalam mendidik etika atau
moral anak. Mereka cenderung menyukai dan menikmatinya, baik dari segi ide,
imajinasi, maupun peristiwa-peristiwanya (Majid, 2002). Cerita merupakan bagian
dari sastra untuk mengembangkan imajinasi anak usia dini, maka ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan yaitu sebagai berikut: a) cerita untuk perkembangan moral
(perbuatan yang baik dan yang tidak baik), b) hindari cerita yang menakutkan bagi
anak, c) cerita untuk perkembangan kognisi anak, d) cerita dapat bermanfaat untuk
perkembangan bahasa anak, e) cerita untuk perkembangan motorik, dan f) cerita
untuk perkembangan sosio-emosional anak.
Perkembangan sosio-emosional anak dapat disajikan untuk mengembangkan
sikap tenggang rasa, kerja sama, kemampuan berkomunikasi, pengertian, kepeduliaan
pada sesama, resolusi konflik, tata krama dan sopan santun, kemandirian, serta
tanggung jawab sosial. Cerita memiliki beberapa bentuk yang dapat dikategorikan
sebagai cerita anak, yaitu: a) Cerita Lisan, yaitu cerita yang disampaikan secara lisan
oleh seseorang kepada orang lain baik bersifat perseorangan maupun kelompok
orang, dengan menggunakan bahasa, mimik dan gerak, dengan tujuan agar yang
menerima cerita dapat menghayati isi cerita yang disampaikannya; b). Cerita Tertulis
adalah cerita yang dapat dipahami oleh pembaca melalui tulisan. Artinya seseorang
akan dapat mengerti isi cerita melalui membaca, baik membaca sendiri atau
dibacakan oleh orang lain; dan c). Cerita panggung, yaitu suatu cerita yang
diceritakan melalui pementasan di atas panggung. Cerita ini menuntut kemampuan
olah vokal, bermain peranan, acting, dan sebagainya. Cerita panggung sangat
bermanfaat bagi anak, yaitu: melatih konsentrasi, berlatih untuk tampil percaya diri di
depan orang banyak untuk dan berlatih menunjukkan kemampuan terutama dalam
memadukan antara bahasa dengan olah tubuh (Majid, 2002).
Terkait dengan cerita ada beberapa jenisnya, antara lain yaitu: a). Cerita
rakyat, yang meliputi dongeng, legenda, mite dan sage, b). Cerita realistis, yaitu cerita
yang terjadi dalam kehidupan dan dunia nyata, yang berisikan pesan-pesan moral, c).
Cerita sains (ilmiah), yaitu cerita ini mengandung unsur pengaruh dari teknologi
seperti: cerita robot, dan cerita di ruang angkasa, d). Cerita khayal dan fantasi
(contoh cerita peri sebagai mahluk penolong), e). Biografi (riwayat tokoh: RA
Kartini), dan f). Cerita keagamaan (cerita para nabi, pesan spiritual dan sebagainya).
Halaman | 7
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
Cerita dapat disimak dan bermakna bagi anak jika pencerita memperhatikan beberapa
komponen dari cerita, yaitu meliputi: a) Tema yang diangkat tidak boleh lepas dari
dunia anak dan mengandung pesan moral, b) Latar adalah segala keterangan yang
berkaitan dengan tempat, waktu, ruang dan suasana terjadinya peristiwa dalam suatu
karya sastra, c) Tokoh cerita sebagai individu rekaan yag mengalami berbagai
peristiwa dalam suatu cerita, dan d) Alur cerita yaitu urutan kejadian yang
dihubungkan secara sebab akibat. Hubungan cerita dalam sastra megandung unsur
kualitas sehingga peristiwa yang satu menyebabkan munculnya peristiwa yang lain
(Musfiroh, 2005:72).
Cerita sangat disenangi oleh anak bahkan setiap hari atau setiap saat orang
tua atau pendidik diharapkan untuk dapat meluangkan waktu bercerita kepada anak.
Tema-tema cerita yang diangkat sebaiknya menekankan pada pemahaman dan
penguatan nilai-nilai moral bagi anak. Oleh karena itu orang tua atau pendidik
hendaknya memperhatikan perkembangan anak terutama yang terkait dengan
perilaku yaitu moral anak. Dengan demikian melalui bercerita, manfaat yang dapat
diperoleh antara lain yaitu: a) Mengasah imajinasi anak, b) Mengembangkan
kemampuan berbahasa, c) Mengembangkan aspek sosial, d) Mengembangkan aspek
moral, e) Mengembangkan aspek emosi, f) Menumbuhkan semangat berprestasi, dan
g) Melatih konsentrasi anak.
Cerita atau dongeng sangat digemari oleh anak-anak, hanya saja cerita yang
diberikan oleh orang tua, pendidik maupun pengasuh sudah mulai berkurang,
sebaliknya peran utama orang tua tersebut tergantikan oleh tayangan media televisi.
Oleh karena itu, pada saat anak menonton televisi sebaiknya harus dalam
pendampingan intensif orang tua atau pengasuh agar bisa memilah dan memilih
tayangan media televisi yang relevan dengan perkembangan psikologis dan
emosional anak
KESIMPULAN
Pada dasarnya orang tua maupun pendidik memiliki peran yang sangat vital
untuk dapat mendukung perkembangan anak secara holistik. Peran tersebut dapat
direalisasikan melalui pembiasaan dengan aktivitas bercerita kepada anak. Melalui
bercerita, orang tua dapat menstimulasi sekaligus mengenalkan kepada anak akan
pentingnya pemahaman terhadap nilai-nilai moral dalam kehidupan. Cerita yang
didengar oleh anak, dapat merangsang anak mengembangkan imjinasi untuk berbuat
yang baik dan benar agar perbuatannya dapat diterima oleh keluarga maupun orang
lain yang ada di sekitarnya. Cerita banyak mengandung pesan-pesan moral yang
dapat dijadikan model (contoh) bagi anak usia dini. Pesan-pesan moral yang diterima
oleh anak sejak usia dini akan melekat dalam memori anak dan dapat menjadi budaya
(pembiasaan) dan karakter personal anak. Manfaat pemahaman nilai-nilai moral
melalui aktivitas bercerita kepada anak antara lain yaitu menuntun anak untuk dapat
berperilaku dan berbuat baik, sopan santun, saling menghormati antar sesama, hidup
harmoni sesuai dengan norma yang berlaku dan selalu ceria di tengah-tengah
keluarga dan masyarakat.
Halaman | 8
Jurnal Paedagogy
Volume 1 Nomor 1 Edisi Mei 2014
Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Mataram
DAFTAR PUSTAKA
Basri Hasan, 1996. Merawat Cinta Kasih. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Budingsih, Asri, 2008. Pembelajaran Moral Berpijak Pada Karakteristik Siswa dan
Budayanya, Yogyakarta: PT Rineka Cipta.
Darmadi, 2006. Dasar Konsep Pendidikan Moral, Bandung: Alfabeta.
Forum Padu, 2004. Potret Pengasuhan, Pendidikan dan Pengembangan Anak Usia
Dini di Indonesia, Jakarta.
http://ebekunt.wordpress.com/2010/06/30/konsep-konsep-dasar-pendidikan-anakusia-dini-3/).
Kloang Klede Putra Timur, 2003. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional,Jakarta.
Kompas. 2004. Perlu Gerakan Pendidikan Anak Usia Dini. http:/www.kompas.com
Majid, Abdul Azis. 2002. Mendidik Dengan Cerita, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Musfiroh, Tadkiroatun, 2005. Cerita untuk perkembangan anak, Yogyakarta: Navila.
Santoso Soegeng, 2002. Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta: Yayasan Citra
Pendidikan Indonesia.
Shochib, 1997. Pola Asuh Orang Tua Dalam membantu mengembangkan Disiplin
Diri, Jakarta; Rineka Cipta.
Siskandar, 2003. Buletin PAUD, Jurnal Ilmiah Anak Usia Dini, Menu Pembelajaran
PADU, Jakarta, Proyek Pengembangan Anak Dini Usia.
Sujiono, Yuliani Nurani. 2012. Konsep dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Jakarta:
Indeks.
Suyanto, Slamet. 2005. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini, Yogyakarta:
Hikayat Publishing.
Tedjasaputra, Mayke S. 2001. Bermain, Mainan dan Permainan untuk Pendidikan
Anak Usia Dini, Jakarta: Grasindo.
Halaman | 9
Download