Naskah Akademik RUU-Keantariksaan Oktober2010

advertisement
NASKAH AKADEMIK
RANCANGAN UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR… TAHUN …
TENTANG
KEANTARIKSAAN
Jakarta, Oktober 2010
PUSAT ANALISIS DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN
DEPUTI BIDANG SAINS, PENGKAJIAN, DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN
LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL
DAFTAR ISI
Halaman
Daftar Isi ........................................................................................
Daftar Gambar ...............................................................................
Daftar Tabel ....................................................................................
BAB I.
A.
B.
C.
D.
A.
B.
C.
D.
E.
F.
G.
H.
I.
J.
K.
L.
M.
N.
O.
P.
Q.
R.
S.
PENDAHULUAN
Latar Belakang ......................................................................
Identifikasi Masalah ..............................................................
Tujuan dan Kegunaan ...........................................................
Metode Penelitian...................................................................
BAB II.
ASAS-ASAS
YANG
PENYUSUNAN NORMA
DIGUNAKAN
1
17
21
22
DALAM
Asas-asas yang Digunakan .....................................................
Pengertian dan Batasan ..........................................................
Tujuan Undang-Undang Tentang Keantariksaan .....................
Ruang Lingkup Undang-Undang Tentang Keantariksaan ……..
Status Hukum Antariksa ………………………………………………
Batas Ruang Udara dan Antariksa ………………………………….
Penyelenggaraan Keantariksaan …………………………………….
Keamanan dan Keselamatan ....................................................
Pendaftaran dan Lisensi ...........................................................
Tanggung Jawab dan Kerugian .................................................
Asuransi dan Penjaminan .........................................................
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ...................................
Pelestarian Lingkungan .............................................................
Pembiayaan dan Insentif ...........................................................
Peran Serta Masyarakat ............................................................
Penyelesaian Sengketa ..............................................................
Penyelidikan dan Penyidikan .....................................................
Ketentuan Sanksi ......................................................................
Prinsip Pengaturan Kelembagaan Dalam Undang-Undang
Tentang Keantariksaan .............................................................
BAB III.
i
iii
iv
23
32
35
36
36
37
40
99
101
104
111
114
115
118
123
124
129
130
136
MATERI
MUATAN
PERATURAN
PERUNDANGUNDANGAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN
HUKUM POSITIF
A.
Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Tentang
Keantariksaan ........................................................................... 142
B.
Analisis Keterkaitan Dengan Hukum Positif ..............................
151
Halaman| i
BAB IV.
A.
B.
PENUTUP
Kesimpulan .............................................................................. 170
Saran ........................................................................................ 172
DAFTAR PUSTAKA
---000---
Halaman| ii
DAFTAR GAMBAR
1.1
1.2
1.3
1.4
1.5
1.6
1.7
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8
2.9
2.10
2.11.
2.12.
2.13.
2.14.
2.15.
2.16.
2.17.
2.18.
2.19.
Halaman
Satelit Lapan-Tubsat …………………………………………………
2
Stasiun Bumi SDA Lapan-Pare-Pare ……………………………..
4
Sistem Keantariksaan ……………………………………………….
6
Tahapan Sistem Transportasi Antariksa India
1963-2009 ………………………………………………………………
12
Produk Litbang Roket LAPAN 1963-2009 ……………………….
12
Sebaran Bidang Orbit Sampah Antariksa .………………………
15
Kegagalan peluncuran Roket Delta Tahun 1986 ………………
15
Bandar Antariksa Amerika Serikat yang ada dan
direncanakan........................................................................
50
Proses Peluncuran Satelit dengan Air Launch System ……….
52
Peluncuran Sea Launch System …………………………………..
53
Bandar Antariksa Kourou, French, Guiana ……………………..
53
Bentuk Ancaman Teknologi Antariksa ...................................
58
Sistem Transportasi Antariksa ELV (Jenis Roket) ……………..
61
Sistem Transportasi Antariksa RLV (Jenis Space Shuttle) …..
61
Profil Misi Space Shuttle ……………………………………………..
62
Space Shuttle Atlantis Diluncurkan Dengan Pesawat
Boeing 747 ………………………………………………………………
62
Space Shuttle Atlantis Sedang Terbang Menurun Untuk
Pendaratan ……………………………………………………………..
65
Satelit Inderaja yang Diakuisisi LAPAN …………………………..
76
Tiga Segmen dalam Sistem GPS ............................................
78
Konstelasi Sistem Satelit GPS ………………………………………
78
Sistim Teknologi Antariksa Berbasis Satelit untuk
Management Bencana ………………………………………………..
84
Mekanisme Permohonan Pengamatan Bencana dari ADRC
ke Sentinel Asia …………………………………………………………
86
Sistem dan Prosedur Pengoperasian Sentinel Asia …………….
87
Pentahapan Penanggulangan Bencana ……………………………
90
Program Persatelitan Korea Selatan ………………………………..
121
Besaran Biaya Program Keantariksaan Negara-negara ……….
122
---000---
Halaman| iii
DAFTAR TABEL
1.1
2.1
2.2
2.3
2.4
2.5
2.6
2.7
2.8.
2.9.
2.10.
2.11.
2.12.
2.13.
2.14.
2.15.
2.16.
Halaman
Daftar Turis Ke International Space Station ……………………
8
Bandar Antariksa Amerika Serikat ...........................................
47
Bandar Antariksa Di Asia .........................................................
48
Bandar Antariksa di Luar Amerika Serikat ...............................
49
Biaya Pembangunan Spaceport ................................................
50
Fasilitas yang ada di Bandar Antariksa ....................................
51
Beberapa Contoh Teknologi Keantariksaan yang bersifat
guna ganda (dual uses) .............................................................
57
Kemampuan Sistem Transportasi …………………………………….
63
Some examples of space technology spin-offs ..........................
64
Bentuk Aplikasi Pemanfaatan Telekomunikasi …………………
67
Comparison of GNSS systems ………………………………………….
80
Anggota the International Charter on Space and Major Disaster
85
Negara Anggota/Agency dan Jenis Data yang diminta melalui
Sentinel Asia ………………………………………………………………
87
Global Space Activities Revenue and Budget 2007 ……………….
93
Permintaan terhadap Jasa komersialisasi keantariksaan..........
95
Permintaan Anggaran NASA Tahun 2010-2014 ………………….. 119
Anggaran Multi-Tahun Amerika Serikat yang Disetujui ………..
119
---000---
Halaman| iv
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
1.
Kegiatan keantariksaan di Indonesia diawali sejak tahun 1960an
dengan peluncuran roket Kartika-1 oleh AURI. Kemudian tidak lama
sesudah LAPAN dibentuk pada tahun 1963, roket Kappa-8 diluncurkan
pada tahun 1964. Pada perkembangan selanjutnya sampai dengan tahun
2007 LAPAN telah berhasil mengembangkan roket ilmiah (sounding rocket)
RX-100, RX-150 dan RX-250. Angka 100, 150, 250, menunjukan ukuran
diameter roket. Roket RX-250 dirancang mencapai misi ilmiah dengan
tinggi terbang 27,9 km dan jarak jangkau 51,3 km, roket ini merupakan
generasi ketiga dengan focus perancangan pada pengurangan berat
struktur, menggunakan tabung motor roket tipis sehingga diperoleh
ketinggian dan jarak jangkau maksimal. Roket-roket produksi LAPAN
tersebut telah melewati prosedur uji coba dan validasi, dan telah ditetapkan
sebagai produk roket standar LAPAN. Roket pertahanan dikembangkan
pula atas kerjasama LAPAN dengan Badan Litbang
Departemen
Pertahanan, Dinas Litbang TNI-AL, TNI-AU dan TNI-AD serta kantor
Kementerian Riset dan Teknologi. Di pihak swasta, BUMN strategis turut
aktif dalam pengembangan peroketan di Indonesia adalah PT PINDAD, dan
PT Dirgantara Indonesia.
2.
Roket peluncur satelit dirancang dengan memanfaatkan hasil-hasil
dari pengembangan roket sonda yang telah dan tengah dikembangkan
LAPAN. RPS dirancang berdasarkan kemampuan produksi RX-320 dan RX420. RPS ditargetkan dapat menempatkan satelit pada ketinggian 300 km
dari permukaan bumi dengan orbit ekuatorial. RPS direncanakan akan
diluncurkan tahun 2014 dengan membawa satelit seberat 21 kg. Fungsi
utama Satelit tersebut adalah pengukur atau indikator keberhasilan RPS
mencapai orbit yang ditentukan.
3.
Pada 10 Januari Tahun 2007, Indonesia berhasil meluncurkan satelit
LAPAN-TUBSAT dari kota Sriharikota, Selatan India menggunakan Roket
India C7 bersama satelit India "Carthosat-2". Satelit LAPAN-TUBSAT ,
merupakan generasi pertama satelit buatan Indonesia, setelah selama 30
tahun, Indonesia menggunakan tujuh satelit seri "Palapa" buatan asing,
yaitu buatan perusahaan Hughes Aircraft Company (Amerika Serikat).
Halaman | 1
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Gambar 1.1
Satelit LAPAN-TUBSAT
4.
Keberhasilan peluncuran satelit Lapan-TUBSat merupakan langkah
awal Indonesia menuju kemandirian dalam pengembangan teknologi
antariksa. Satelit Lapan-TUBSat yang beratnya 56 kg tergolong satelit
mikro, mengudara di atas wilayah Indonesia pada ketinggian 630 kilometer,
beresolusi tinggi hingga lima meter. Jika dibandingkan dengan Landsat
yang memiliki resolusi 79 meter, maka Lapan-TUBSat memiliki resolusi 15
kali lebih tajam.
5. Kemampuan operasi satelit telah banyak dimiliki oleh Bangsa
Indonesia baik dalam rangka pengoperasian satelit milik sendiri maupun
milik bangsa lain. Walaupun banyak pengalaman namun jenis satelit yang
pernah dioperasikan oleh Indonesia baru dua macam yaitu satelit
telekomunikasi dan satelit eksperimental observasi lingkungan. Termasuk
jenis satelit telekomunikasi adalah satelit Palapa, satelit Garuda (semula
disebut ACes) dan satelit Cakrawarta, satelit M2A, satelit Telkom 1 dan
Telkom2. Sedangkan satelit eksperimental yang telah dioperasikan adalah
satelit LAPAN-TUBsat. Indonesia sudah meluncurkan satelit komunikasi
sebanyak 8 buah yang sudah di–deorbit (PALAPA-A, PALAPA B, C).
6.
Di dalam mewujudkan terselenggaranya telekomunikasi secara baik,
sejak tahun 1976 Indonesia telah memanfaatkan satelit komunikasi milik
sendiri yang diberi nama Palapa A1. Satelit ini merupakan program Sistem
Komunikasi Satelit Domestik (SKSD). Pada tahun tersebut Indonesia
menjadi negara ketiga di dunia setelah Canada dan Amerika Serikat yang
mengoperasikan SKSD dengan menggunakan satelit GSO, yakni Sistem
Palapa A. Satelit ini memberikan layanan teleponi dan faksimil antar kota di
Indonesia dan juga menjadi infrastruktur utama pendistribusian program
televisi. Perkembangan satelit telekomunikasi Indonesia diawali dengan
pengoperasian Palapa A-1 tahun 1976 hingga pengoperasian Palapa D
tahun 2009.
Halaman | 2
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
7.
Pemanfaatan satelit penginderaan jauh dimulai sejak akhir tahun
1970an dengan kegiatan pemantauan cuaca dengan satelit TIROS-N dan
satelit meteorologi. Khusus dalam penanganan bencana alam, satelit
penginderaan jauh observasi bumi dan satelit penginderaan jauh
lingkungan/meteorologi sangat berperan dalam memberikan data/informasi
untuk peringatan dini, pertolongan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam
rangka penegakan hukum, satelit penginderaan jauh (observasi bumi) dapat
memberikan data penyimpangan pembangunan fisik (seperti reboisasi) di
seluruh Indonesia. Lingkungan global (yang intinya adalah perubahan iklim
global) sebagai dinamika yang dapat terjadi dalam sistem kebumian sangat
berpengaruh pada lingkungan bumi Indonesia dan sebaliknya.
8.
Pihak pengguna (pemerintah dan swasta) juga telah memanfaatkan
data penginderaan jauh secara intensif untuk berbagai keperluan antara
lain :
a. Mitigasi bencana alam, antara lain banjir, kekeringan, tanah
longsor, kebakaran hutan, gempa bumi dan letusan gunung
berapi;
b. Pengelolaan sumberdaya alam (SDA), antara lain informasi
tematik tentang perubahan tutupan lahan, pengelolaan hutan,
perkebunan, lahan, sawah, penaksiran panen, penataan air
(sungai, danau, bendungan, saluran irigasi), dan eksplorasi
geologi, pertambangan dan mineral;
c. Pemanfaatan di bidang kelautan di wilayah Indonesia dan
sekitarnya antara lain untuk informasi Zona Potensi
Penangkapan Ikan (ZPPI), pengembangan di kawasan pesisir,
terumbu karang, hutan bakau dan lingkungan laut, dan
budidaya perikanan pantai;
d. Penataan ruang dan wilayah di tingkat pemerintah pusat
maupun daerah otonom dan pengembangan daerah urban.
e. Perlindungan lingkungan hidup dan penyusunan AMDAL;
f.
Updating informasi tematik pada peta land-use, geologi, hidrologi
dan kelautan;
g. Kegiatan lain yang terkait dengan pemetaan dan sistem informasi
geografi.
9.
Pemanfaatan satelit navigasi dan geoposisi terutama sangat
berkembang untuk pemetaan.
Jasa geodesi semula dikemas untuk
membuat peta dasar digital permukaan bumi. Oleh tingkat kecermatannya
yang tinggi, peta ini memiliki kemanfaatan yang beraneka ragam. Ia dapat
dipergunakan sebagai wadah untuk menempatkan informasi digital yang
diperoleh dari berbagai sumber, seperti data statistik, data inderaja satelit
dan data yang lain. Sehingga ia menjadi penting sekali bagi SIG (Sistem
Informasi Geografi). Pengalaman di Aceh menunjukkan bahwa digabung
dengan citra inderaja satelit sebelum terjadi bencana, ia menjadi sangat
bermanfaat dalam melakukan penelusuran kembali batas batas hak milik
tanah yang terhapus oleh bencana tsunami. Jasa geodesi antara lain dapat
Halaman | 3
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
diperoleh dari Bakosurtanal, LIPI dan Badan Pertanahan Nasional yang
mengoperasikan jejaring (network) stasiun bumi satelit GPS (Global
Positioning System).
10. Untuk mendukung pengoperasian satelit dan perolehan datanya,
diperlukan pengoperasian stasiun bumi pengendali satelit maupun stasiun
bumi penginderaan jauh.
LAPAN mengembangkan stasiun bumi satelit
penginderaan jauh sejak tahun 1976 mulai dengan Pengembangan stasiun
Automatic Picture Transmission (APT) untuk pengamatan cuaca. Sejak itu
LAPAN terus mengupgrade kemampuan stasiun bumi penginderaan jauh
sesuai dengan perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh yang
dioperasikan. Saat ini ada tiga lokasi utama stasiun bumi penginderaan
jauh yaitu di Pekayon – Jakarta, Parepare – Sulawesi Selatan, dan Biak –
Papua.
Gambar 1.2
Stasiun Bumi SDA LAPAN, Parepare
11. Pabrikasi perangkat Stasiun Bumi, sudah dirintis Pada tahun akhir
1980-an dan akhir 1990an dengan PT LEN, PT INTI, PT CMI, PT HARIF, PT
RFC, PT EN, akan tetapi tidak semuanya dapat bertahan. Secara umum,
Indonesia sudah mampu untuk rancang bangun perangkat stasiun bumi,
tetapi kondisinya hanya untuk mempertahankan kelangsungan (survival)
mengingat persaingan yang ketat dalam hal harga dan kualitas.
Halaman | 4
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
12. Perkembangan teknologi peroketan dan persatelitan pada khususnya,
maupun keantariksaan pada umumnya di Indonesia hingga saat ini masih
menghadapi berbagai masalah atau kendala. Beberapa di antaranya adalah
keterbatasan sarana dan prasarana litbang keantariksaan, keterbatasan
dalam ketersediaan bahan baku peroketan, ketersediaan lokasi litbang dan
peluncuran roket yang mendapat perlindungan khusus, alih teknologi
dalam pembelian satelit telekomunikasi maupun satelit inderaja dan
aplikasi lainnya (mengingat bahwa Indonesia masih bergantung pada
industri dari negara lain), keterbatasan dukungan industri dalam negeri
untuk mencapai kemandirian teknologi keantariksaan.
Meskipun
keterlibatan swasta dalam aplikasi teknologi satelit (telekomunikasi dan
inderaja) sudah intensif, namun peran serta swasta pada segmen teknologi
(hulu) masih sangat terbatas.
13. Disamping itu belum adanya Rencana Induk pembangunan
keantariksaan yang terintegrasi di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) Nasional maupun Rencana Pembangunan Jangka
Menengah (RPJM) Nasional, menyebabkan pembangunan di bidang
kentariksaan atau kedirgantaraan belum memperoleh perhatian yang
memadai dan berkesinambungan.
14. Di sisi internasional, kegiatan antariksa atau keantariksaan pada
hakekatnya adalah segala sesuatu tentang dan yang berkaitan dengan
usaha dan kegiatan umat manusia dalam rangka pendayagunaan
antariksa1. Pendayagunaan antariksa telah dimulai sejak diluncurkannya
Satelit Sputnik I tanggal 4 Oktober 1957 ke orbit Bumi oleh Uni Soviet.
Keberhasilan Uni Soviet yang sekarang dikenal dengan Federasi Rusia
dalam pendayagunaan antariksa diikuti oleh Amerika Serikat, sehingga
kedua negara tersebut dipandang sebagai pelopor penyelenggaraan
keantariksaan. Pada tahapan selanjutnya mulai diikuti oleh negara-negara
lainnya seperti : Perancis, Jerman, China, Jepang, India, Brasil, Korea
Selatan dan lain-lain.
15. Sampai saat ini batas antara ruang udara dan antariksa (batas
ketinggian berapa ruang udara berakhir atau batas ketinggian berapa
antariksa dimulai) belum ada kesepakatan secara internasional2. Namun
demikian
berbagai
kecenderungan
dalam
pembahasan
di
fora
internasional3, teori-teori yang digunakan untuk penentuan batas4,
pandangan negara-negara mengarah pada ketinggian 100 km -120 Km. Di
1
2
3
4
Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998.
Sejak awal pembahasan tahun 1957 sampai dengan tahun 2010 masuk dalam agenda
Sidang Subkomite Hukum UNCOPUOS.
Terdapat beberapa Negara yang mengusulkan batas seperti Federasi Rusia (110 Km),
Australia (100 Km), Korea Selatan (110 Km).
Beberapa teori yang digunakan untuk penentuan batas yaitu (1) kondisi alamiah,
Penentuan batas berdasarkan: konsep lapisan atmosfir, dan sifat fisika tertentu (2)
kharakteristik wahana: penentuan batas berdasarkan kemampuan ketinggian pesawat
terbang, perigee terendah wahana antariksa dan garis Von Karman.
Halaman | 5
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
samping itu, apabila dilihat dari gerak benda yang digerakkan terutama
oleh gaya gravitasi dalam suatu orbit, secara spasial mulai sekitar pada
ketinggian 110 – 120 km.
16. Sistem keantariksaan, secara tradisional, terdiri dari 3 segmen
utama, yaitu: segmen bumi, segmen antariksa, dan segmen koneksi
komunikasi5. Namun demikian dalam rangka menguraikan tentang sistem
keantariksaan untuk tujuan pengendalian keantariksaan maka Mayor
Wilson menggunakan 6 sistem utama untuk menjelaskan dan akses
terhadap sistem keantariksaan yaitu segmen bumi, segmen koneksi,
segmen antariksa, segmen koneksi data, segmen pengguna dan segmen
peluncur6, sebagaimana ilustrasi dalam Gambar 1.3.
Gambar 1.3
Sistem Keantariksaan
5
6
Mayor ad Wilson, “ Securing the Heavens: A Perspective on Space Control, School of
Advanced Air Power Studies, Air University, Maxwell Air Force Base, Alabama, June
1999. Hal 23. Dalam Air Force Doctrine Document 2-2, Space Operations, 23 August
1998, describes “space systems” as consisting of three elements: space, terrestrial and
link. Space includes “all components for which astrodynamics is the primary principle
governing movement” such as satellites, space shuttles, etc. Terrestrial includes all
“land, sea and airborne (C3) equipment” such as ground stations, communication nodes,
as well as all operations personnel. The link includes “communication between the space
element and the terrestrial-based element” such as data link signals.
Ibid. Mayor Wilson, 1999. we will use six primary segments to define and assess space
systems—ground control segment, C3 link segment, space segment, data link segment,
user segment, as well as a launch segment.
Halaman | 6
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
17. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah kegiatan penyediaan,
pelayanan dan/atau bantuan keantariksaan sehingga memungkinkan
terselenggaranya keantariksaan7. Berdasarkan sistem keantariksaan
sebagaimana tersebut dalam paragraf 16, maka penyelenggaraan
keantariksaan ditujukan untuk penguasaan teknologi keantariksaan,
pemanfaatan teknologi keantariksaan, peluncuran wahana antariksa,
penelitian keantariksaan, dan jenis kegiatan lain yang dilaksanakan dengan
bantuan teknologi keantariksaan (spin-off space technology). Mengingat
karakteristik penyelenggaraan keantariksaan bersifat high-tech, highrisk
dan highcost, maka dalam penyelenggaraan keantariksaan harus
memperhatikan keamanan dan keselamatan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia keantariksaan yang
profesional, keandalan sarana dan prasarana keantariksaan, perlindungan
dan pelestarian fungsi lingkungan, ketentuan nasional dan perjanjian
internasional yang berlaku.
18. Dewasa ini, dinamika perkembangan keantariksaan internasional
yang pada awalnya ditujukan untuk penelitian, kepentingan militer dan
ilmu pengetahuan telah berubah mengarah kepada perlombaan
penguasaan teknologi keantariksaan (roket dan satelit untuk berbagai
kepentingan) dan upaya eksplorasi dan penggunaan sumber daya alam di
antariksa (bulan dan benda langit lainnya). Dilihat dari sisi penyelenggara,
dinamika perkembangan keantariksaan juga telah bergeser yang pada
awalnya hanya dilakukan oleh Negara, berkembang kepada keterlibatan
organisasi internasional (Governmental Organization dan Non-Govermental
Organization), dan swasta (nasional maupun asing). Bahkan saat ini sudah
melibatkan
orang
pribadi
seperti
perjalanan
wisata
antariksa.
Perkembangan dinamika ini tidak terlepas dari perkembangan berbagai
bentuk aspek komersialisasi antariksa yang pada awalnya hanya di bidang
telekomunikasi kemudian berkembang pada bidang-bidang lainnya seperti
penginderaan jauh, peluncuran, dan lain-lain. Beberapa individu yang
terlibat dalam penyelenggaraan keantariksaan khususnya wisata antariksa
dapat dilihat dalam Tabel 1.1.
7
Analogi pengertian penyelenggaraan dengan pengertian penyelenggaraan yang
digunakan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
Halaman | 7
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 1.1
Daftar Turis Ke International Space Station8
No
1.
2.
3.
4.
Nama
Durasi Perjalanan
Negara Asal
Biaya9
Dennis Tito
28 April – 6 Mei 2001
Mark
Shuttleworth
Gregory Olsen
25 April – 5 Mei 2002
Amerika
Serikat
Afrika Selatan
/ Inggeris
Amerika
Serikat
Hongaria/AS
US$ 20
Juta
US$ 22.5
Juta
US$ 20
Juta
US$ 35
Juta
1-11 Oktober 2005
Charles Simonyl 7-21 April 2007 dan
26 Maret- 8 April 2009
19. Dewasa ini, terdapat berbagai organisasi internasional yang terkait
dengan penyelenggaraan keantariksaan. Secara umum organisasi
internasional tersebut dapat dikelompokkan ke dalam :
a. Organisasi internasional keantariksaan di bawah sistem PBB
seperti : (i) United Nations Committee on Peaceful Uses of Outer
Space (UN-COPUOS), (ii) International Telecommunication Union
(ITU), (iii) Komite Internasional Perlucutan Senjata-KIPS(Conference of Disarmament - CD) (iv) Regional Space Applications
Programme Asia and the Pacific (RESAP) – Economic and Social
Commission for the Asia and the Pacific (ESCAP), (v) Centre for
Space Science and Technology Education in Asia and the Pacific
(CSSTE-AP) (vi) United Nations Platform for Space-based
Information for Disaster Management and Emergency Response –
UN-SPIDER) dll.
b. Organisasi internasional di luar sistem PBB baik multilateral
maupun regional seperti (i) The International Astronautical
Federation (IAF) (ii) International Geosphere - Biosphere
Programme (IGBP) (iii) The Committee on Space Research
(COSPAR) (iv) International Sociaty for Photogrammetry and
Remote Sensing (ISPRS), (v) Missile Technology Control Regime
(MTCR), SCOSTEP, APSCO, GEOSS dan lain-lain.
20. Di samping pembagian sebagaimana tersebut dalam paragraph 19,
juga terdapat organisasi internasional yang bertujuan untuk pemanfaatan
keantariksaan kepentingan komersial tertentu10, seperti : (i) Immarsat11, (ii)
8
9
10
11
Media Indonesia, “Badut Ruang Angkasa Tiba Kembali Di Bumi”, Edisi Senin 12 Oktober
2009, Hal 17.
Di ambil dari berbagai referensi lainnya.
Lihat Van Traa, Hanneke Louis, Commercial Utilization of Outer Space, Legal Aspects,
Ph.D Dissertation, University of Utrecht, The Netherlands, 1989.
Lihat, Convention on The International Maritime Satellite Organization (Inmarsat) with
Annex and Operating Agreement (1976); as amended 1985; with Protocol (1981).
Halaman | 8
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Intelsat12, (iii) Intersputnik13, (iv) Arabsat14, dll. Selain itu juga terdapat
organisasi internasional yang membahas aspek teknis penyelenggaraan
keantariksaan dan bertujuan untuk pembangunan kapasitas (capacity
building), kerja sama internasional, dan tukar menukar informasi, termasuk
pendidikan di bidang penyelenggaraan keantariksaan seperti ditingkat
internasional yaitu IAF, COSPAR, IGBP, The Scientific Committee On SolarTErrestrial Physics (SCOSTEP), The Global Earth Observation System of
Systems (GEOSS), Islamic Network (ISNET) sedangkan ditingkat regional,
seperti : The Asia - Pasific Space Cooperation Organization (APSCO), Center
for Space Science & Technology Education in Asia and the Pacific (CSSTE-AP),
Asia-Pacific Regional Space Agency Forum (APRSAF), Sentinel Asia dan lainlain.
21. Dalam bidang regulasi internasional keantariksaan, saat ini terdapat
beberapa organisasi internasional yang membahas masalah-masalah
regulasi terkait penyelenggaraan keantariksaan seperti Komite Perserikatan
Bangsa Bangsa Tentang Penggunaan Antariksa Untuk Tujuan Damai
(United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space UNCOPUOS),
Uni
Telekomunikasi
Internasional
(International
Telecommunication Union - ITU), Komite Internasional Perlucutan SenjataKIPS- (Conference of Disarmament - CD) dan The International Institute for
the Unification of Private Law - Unidroit. UNCOPUOS membahas aspek
teknis, politik dan hukum penyelenggaraan keantariksaan untuk maksud
damai. ITU membahas koordinasi Negara-negara dalam pemanfaatan
antariksa untuk kepentingan telekomunikasi dan penyiaran khususnya
terkait koordinasi penggunaan slot orbit dan spectrum frekuensi. KIPS
salah satu tugasnya membahas upaya pencegahan perlombaan
persenjataan di antariksa (prevention arms race of outer space). Sedangkan
Unidroit salah satunya tugasnya membahas regulasi pemanfaatan
antariksa untuk tujuan komersial.
22. Beberapa perjanjian internasional keantariksaan yang telah disahkan
oleh UNCOPUOS baik yang telah berlaku sebagai hukum positif maupun
yang masih berbentuk Resolusi Majelis Umum adalah :
a. Yang Berlaku sebagai Hukum Positif15 yaitu:
1) “Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and
Other Celestial Bodies”. Treaty ini terbuka untuk
ditandatangani negara-negara sejak 27 Januari 1967 dan
diberlakukan sebagai hukum positif (entry into force) sejak
Lihat, Agreement Relating to The International Telecommunications Satellite Organization
"Intelsat" (With Annexes And Operating Agreement) (1971).
13 Lihat, Agrement on the establishment of the "INTERSPUTNIK" International System
and Organization of Space Communications.
14 Lihat, Agreement of the Arab Corporation for Space Communication, 1990.
15 Naskah Urgensi Ratifikasi Space Treaty 1967, Pussisfogan, Lapan 2002
12
Halaman | 9
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
2)
3)
4)
5)
b.
16
10 Oktober 1967, sehingga seringkali treaty ini disingkat
dengan Outer Space Treaty, 196716.
“Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of
Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer
Space”, terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak
22 April 1968 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 3
Desember 1968, yang kemudian disingkat dengan Rescue
Agreement, 1968.
Convention on International Liability for Damage Caused by
Space Objects of, 1972, terbuka untuk ditandatangani
negara-negara sejak 29 Maret 1972 dan berlaku sebagai
hukum positif sejak 1 September 1972, yang kemudian
disingkat dengan Liability Convention, 1972.
Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of
Astronouts and the Return of Objects Launched into Outer
Space , 1968, terbuka untuk ditandatangani negara-negara
sejak 14 Januari 1975 dan berlaku sebagai hukum positif
sejak 15 September 1976, yang kemudian disingkat dengan
Registration Convention, 1975.
“Agreement Governing the Activities of States on the Moon and
Other Celestial Bodies”, terbuka untuk ditandatangani
negara-negara sejak 18 Desember 1979 dan berlaku sebagai
hukum positif sejak 11 Juli 1984.
Yang Berbentuk Resolusi Majelis Umum yaitu:
1) “The Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from
Space, disahkan berdasarkan Resolusi MU PBB, Nomor
41/65, 3 Desember 1986.
2) “The Principles Relevant to the Use of Nuclear Power Sources
in Outer Space”, disahkan berdasarkan Resolusi MU PBB,
Nomor 47/68, 14 Desember 1992.
3) “Declaration on International Cooperation in the Exploration
and Use of Outer Space for the Benefit and in the Interest of
All States, Taking into Particular Account the Needs of
Developing Countries”, disahkan berdasarkan Resolusi MU
PBB, Nomor 53/122, Desember 1996.
4) “Application of the concept of the launching state”, disahkan
berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, Nomor 59/115,
25 Januari 2005.
Resolusi PBB yang diadopt menjadi Outer Space Treaty 1967 adalah Declaration of Legal
Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space
(1963) dengan materi prinsip sebagai berikut: (i) Space exploration should be carried out
for the benefit of all countries. (ii) Outer space and celestial bodies are free for
exploration and use by all states and are not subject to national appropriation by claim
of sovereignty. (iii) States are liable for damage caused by spacecraft and bear
international responsibility for national and non-governmental activities in outer space.
Halaman | 10
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
5)
6)
“Recommendations on enhancing the practice of States and
international intergovernmental organizations in registering
space objects”, disahkan berdasarkan Resolusi Majelis
Umum PBB, Nomor 62/101, 10 Januari 2008.
Space Debris Mitigation Guideline, 2008.
23. Outer Space Treaty, 1967 merupakan perjanjian induk dan piagam
atau peraturan internasional pertama yang memuat prinsip-prinsip dasar
hukum antariksa. Di samping itu, Outer Space Treaty, 1967 juga dipandang
sebagai Magna Charta pengaturan penyelenggaraan keantariksaan. Karena
pengaturannya bersifat universal, maka prinsip-prinsip yang terkandung
dalam Outer Space Treaty, 1967 dianggap sebagai “jus cogens”. Oleh
karena itu, semua perjanjian lain yang dirumuskan dan disahkan
merupakan perjanjian internasional pelaksanaannya dan wajib sesuai
dengan Prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Outer Space Treaty,
1967. Prinsip-prinsip hukum dalam Outer Space Treaty, 1967 adalah :
a. Pemanfaatan Antariksa Untuk Kepentingan Semua Negara dan
Maksud Damai.
b. Kebebasan Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa
c. Larangan Pemilikan Nasional
d. Larangan Penempatan Persenjataan
e. Tanggung Jawab Negara Secara Internasional
f.
Kerja Sama Internasional
g. Yurisdiksi Negara terhadap benda antariksanya dan personilnya
h. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan
i.
Perlindungan Terhadap Antariksawan
24. Beberapa regulasi terkait penyelenggaraan keantariksaan yang telah
dihasilkan ITU khususnya yang berkaitan dengan penggunaan slot orbit
dan spektrum frekuensi untuk tujuan telekomunikasi dan penyiaran
adalah:
a. Konstitusi dan Konvensi ITU.
b. Radio Regulation.
25. Beberapa regulasi terkait penyelenggaraan keantariksaan yang telah
dihasilkan oleh Komite Internasional Perlucutan Senjata adalah:
a. A/RES/64/28, 12 Januari 2010, Prinsip-prinsip yang berkaitan
dengan Pencegahan Perlombaan Persenjataan di Antariksa (The
Prevention of an Arms Race in Outer Space) 17
b. UN GA Resolution No. 110 (II), 3 November 1947, Prinsip
menghukum propaganda untuk ancaman atau pelanggaran
perdamaian internasional (The Principle Condemning Propaganda
for Threat or Breach of International Peace)
17http://daccess-ods.un.org/TMP/3663344.38323975.html
Halaman | 11
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
UN Security Council Resolution No. 1540, April 2004 Resolusi
Non-Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (Non-Proliferation of
Weapon of Mass Destruction) 18
26. Demikian juga dinamika keantariksaan nasional yang cenderung
beralih dari aspek aplikasi pemanfaatan teknologi keantariksaan kepada
penguasaan teknologi keantariksaan menuju kemandirian dan pemenuhan
kebutuhan untuk pembangunan yang pada gilirannya penyelenggaraan
keantariksaan mampu mendorong pencapaian tujuan pembangunan
nasional. Dinamika tersebut mencerminkan bahwa penguasaan teknologi
keantariksaan Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan Negara-negara
berkembang lainnya seperti China dan India yang era awal partisipasi
penyelenggaraan keantariksaannya dapat dikatakan sama dengan
Indonesia, namun saat ini kedua Negara tersebut telah mendekati
kemampuan Negara pelopor teknologi keantariksaan. Untuk itu, Indonesia
perlu mengejar ketertinggalan tersebut. Perbandingan tersebut di atas
dapat dilihat dari Gambar 1.4. dan 1.5.
Gambar 1.419 :
Tahapan Sistem Transportasi
Antariksa India 1963-2009
Gambar 1.5:
Produk Litbang Roket LAPAN
1963-2009
27. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara
kepulauan dengan jumlah pulaunya adalah 17.508 pulau, baik yang
bernama maupun yang belum bernama. Indonesia terbentang antara 6 0 LU
sampai 110 LS, dan dari 910 BT sampai 1410 BT, serta terletak antara dua
benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Indonesia memiliki wilayah
daratan seluas ± 2.012.402 km2 dan wilayah perairan seluas ± 5.877.879
18
19
daces-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/328/43/PDF/N0432843.pdf?OpenElement
DR. K. Radakrisnan,”Building Indigenous Space Industry Capacities: The Indian
Experience, Space Industry in Emerging Nations Symposium to strengthen the Partnership
with Industry February 12, 2008.
Halaman | 12
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
km2 dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. Indonesia, terletak di antara
benua Asia dan Australia, dan di antara Samudera Pasifik dan Samudera
Hindia. Tercatat ada 92 pulau terluar yang ada di wilayah Indonesia. Ratarata luas pulau Indonesia adalah antara 0,02 km2 hingga 200 km2. Hanya
50% dari 92 pulau-pulau terluar ini yang berpenghuni20. Dengan kondisi
dan kharakteristik tersebut, maka Indonesia memiliki ketergantungan
dalam pemanfatan teknologi keantariksaan dan sekaligus memiliki
keunggulan komparatif yaitu :
20
a.
Posisi geografis Indonesia yang terletak di wilayah khatulistiwa
serta membentang pada 6o LU - 11o LS dan 91o BT - 141o BT
memiliki
keunggulan
komparatif
pemanfaatan
teknologi
antariksa apabila dibandingkan dengan wilayah Negara lainnya.
Wahana antariksa (al. satelit) yang ditempatkan di orbit bumi di
atas khatulistiwa seperti Orbit Geostasioner (GSO) memberikan
pelayanan cakupan wilayah yang lebih luas dan layanan
komunikasi yang lebih baik dari pada orbit bumi lainnya. Posisi
geografis yang mendekati Oo (nol derajat), apabila digunakan
untuk peluncuran wahana antariksa akan mengurangi biaya
peluncuran dan memberikan keuntungan ekonomi yang
signifikan (lebih kurang 35% keuntungan dari biaya yang
dikeluarkan sesungguhnya).
b.
Posisi Indonesia dilihat dari letaknya yang dilalui ekuator, di
antara dua benua dan dua samudara, konfigurasi geografinya
yang merupakan wilayah perairan dengan ribuan pulau besar
dan kecil, dan hutan tropisnya yang luas menjadikan wilayah
Indonesia sebagai salah satu lokasi yang tepat atau laboratorium
alam bagi penelitian perubahan iklim global. Pemanfaatan
teknologi antariksa khususnya pemanfaatan satelit penginderaan
jauh merupakan salah satu sarana yang tidak dapat ditinggalkan
untuk memperoleh data terkait dengan perubahan iklim global
tersebut.
c.
Sistem teknologi berbasis antariksa menyediakan pengembangan
prediksi cuaca, satelit siaran langsung, dan pelayanan navigasi
yang lebih maju. Sistem tersebut membuka peluang-peluang
baru dalam pelayanan pendidikan jarak jauh (tele-education) dan
pelayanan kesehatan jarak jauh (tele-medicine). Dengan kondisi
Indonesia tersebut, maka penyelenggaraan keantariksaan untuk
kepentingan dimaksud dapat berlangsung lebih baik.
http://www.indonesia.go.id/, download 18 Maret 2010.
http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_satelit_Indonesia, download 18 Maret 2010.
Bakar, Siti Nurbaya. 2008. “12 Pulau Terluar Rentan Diambil Negara Asing”. Media
Indonesia, 9 Desember 2008.
Halaman | 13
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
d.
Memperhatikan kawasan yang sedemikian luas, Indonesia
memerlukan bantuan dan dukungan pemanfaatan teknologi
keantariksaan
untuk telekomunikasi
dapat
merekatkan
hubungan antar masyarakat dan sebangsa sebagai Negara
Kesatuan Republik Indonesia sehingga pertumbuhan pangsa
pasar telekomunikasi (terutama seluler) sangat pesat.
28. Dalam rangka menjaga kesinambungan ketergantungan dalam
pengoperasian sistem satelit perlu adanya ketersediaan spektrum frekuensi
dan slot orbit yang merupakan sumber daya alam terbatas dan
perolehannya melalui pendaftaran di ITU. Untuk itu, Pemerintah perlu
mendorong proses dan penyediaan spektrum frekuensi dan untuk
kebutuhan nasional dalam jangka panjang dan menjaga pemenuhan proses
pendaftarannya di fora internasional tersebut secara konsisten.
29. Teknologi keantariksaan bersifat teknologi guna ganda (dual uses).
Masyarakat internasional memandang bahwa teknologi ini tergolong kepada
kelompok teknologi pemusnah masal (weapon mass destruction) yang
pemilikan, penyebaran dan penguasaannya sangat dikontrol oleh
masyarakat internasional terutama Negara maju. Penguasaan teknologi
jenis ini juga menyediakan dukungan yang berharga untuk kebijakan luar
negeri, khususnya bantuan kemanusiaan, dan kesinambungan serta
pengembangan kebijakan. Oleh karena itu, dengan penguasaan teknologi
keantariksaan, secara politik internasional dapat meningkatkan posisi
tawar Indonesia dalam percaturan politik global. Sebagai contoh Korea
Utara dengan kemampuan Roket Taepodong memiliki posisi tawar dalam
negosiasi dengan Amerika Serikat.
30. Di samping manfaat sebagaimana disebut pada paragraf 26-29,
penyelenggaraan keantariksaan juga memiliki risiko antara lain:
a. Risiko peluncuran seperti : kegagalan peluncuran, pencemaran
lingkungan, bahaya penggunaan material nuklir, pengaruh
terhadap operasi antariksa berawak, dan pengaruh lainnya.
Beberapa kejadian terkait risiko ini adalah :
1) Satelit mata-mata Rusia bertenaga nuklir Cosmos 1402,
pernah jatuh di Kanada 1982.
2) Ariane 5 buatan Perancis berbahan bakar cair oksigenhidrogen seberat 25 metrik ton yang meledak tak lama
setelah diluncurkan dari Kourou, Guyana, 1996.
3) Long March buatan Cina yang melenceng dari trayektorinya
lalu membumihanguskan sebuah desa.
4) Titan IV buatan Lockheed Martin, AS, yang meledak tahun
1999.
b. Risiko tabrakan seperti tabrakan dengan pesawat terbang,
tabrakan dengan satelit/wahana antariksa, tabrakan dengan
sampah antariksa berukuran besar, tabrakan dengan sampah
antariksa berukuran kecil, seperti : tabrakan Cosmos 2251 yang
Halaman | 14
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
diluncurkan Rusia tahun 1993 dengan
diluncurkan America Serikat tahun 199721.
Konflik antar Negara dll.
Gambar 1.6:
Sebaran Bidang Orbit
Sampah Antariksa
Iridum
33
yang
Gambar 1.7:
Kegagalan Peluncuran Roket Delta
Tahun 198622 .
31. Status Indonesia terhadap perjanjian keantariksaan internasional
yang telah meratifikasi 4 dari 5 perjanjian internasional keantariksaan dan
telah menandatangani dan meratifikasi berbagai perjanjian regional dan
bilateral
mengenai
keantariksaan
yang
memerlukan
pengaturan
implementasi. Beberapa perjanjian internasional tersebut adalah:
a. Perjanjian internasional keantariksaan yang telah diratifikasi
oleh Indonesia yaitu:
1) Treaty on Principles Governing the Activities of States in the
Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and
Other Celestial Bodies, 1967 atau yang dikenal dengan Space
Treaty, 1967, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2002;
2) Convention on International Liability for Damage Caused by
Space Objects of 1972 atau yang dikenal dengan Liability
Convention, 1972, yang telah diratifikasi dengan Keppres
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1996;
3) Convention on Registration of Objects Launched into Outer
Space atau yang dikenal sebagai Registration Convention,
1975, yang telah diratifikasi dengan Keppres Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1997;
4) Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of
Astronouts and the Return of Objects Launched into Outer
Space , 1968 atau yang dikenal dengan Rescue Agreement,
Tabrakan pada ketinggian 800 km diatas Siberia, Rusia pada 10 Februari 2009. Sumber:
“Terancam Sampah Antariksa”, Tempo, Edisi 23 Februari – 1 Maret 2009.
22 http://www.spacelaunchreport.com/thorh12.html.
21
Halaman | 15
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
1968, yang telah diratifikasi dengan Keppres Republik
Indonesia Nomor 4 Tahun 1999.
b.
Perjanjian regional dan bilateral keantariksaan yang telah
ditandatangi dan diratifikasi oleh Indonesia yaitu:
1) Convention
of
the
Asia-Pacific
Space
Cooperation
Organization, yang ditandatangani oleh Indonesia tanggal 28
Oktober 2005.
2) Agreement Between the Government of the Republic of
Indonesia and the Government of the Russian Federation on
Cooperation in the Field of Exploration and Use of Outer Space
for Peaceful Purposes, ditandatangani 1 Desember 2006 dan
telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun
2010.
3) Agreement between the Government of the Republic of
Indonesia and the Cabinet of Ministers of Ukraine on
Cooperation in the Exploration and Peaceful Uses of Outer
Space yang ditandatangani tanggal 6 Nopember 2008.
4) Memorandum of Understanding between the National
Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) of the Republic of
Indonesia and the Indian Space Research Organization
(ISRO) of the Republic of India for Cooperation in the
Establishment of Telemetry, Tracking and Command Station
for Satellites and Launch Vehicles yang ditandatangani
tanggal 25 April 1997.
5) Agreement between the European Space Agency and the
Indonesian National Institute of Aeronautics and Space
concerning the Direct Reception, Archiving, Processing and
Distribution of ERS-1 SAR Data yang ditandatangani tanggal
1 February 1995.
6) Memorandum of Understanding Between the National Institute
of Aeronautics and Space of The Republic of Indonesia
(LAPAN) and the National Space Development Agency of Japan
(NASDA) for the Cooperative Project of Utilization for Japanese
Earth Resources Satellite-1 Data yang ditandatangi tanggal
23 August 1994.
7) Collaborative Research Agreement Between the National
Space Development Agency of Japan and the National
Institute of Aeronautics and Space of The Republic of
Indonesia (LAPAN) for Studies for Production of Fundamental
Datasets for Earth Science and Technology Researches yang
ditandatangani tanggal 21 December 1994.
32. Sebagai konsekuensi transformasi hukum internasional ke dalam
hukum nasional diperlukan (tindakan) pengaturan nasional. Pengaturan
nasional tersebut secara khusus berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban
hukum dari penyelenggaraan keantariksaan yang dilaksanakan di dan dari
Halaman | 16
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
wilayah Indonesia. Penyelenggaraan keantariksaan dapat dilakukan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, swasta nasional, organisasi
internasional, Negara lain dan swasta asing. Namun perumusan
pengaturan tersebut dalam suatu peraturan perundang-undangan tentang
keantariksaan pada dasarnya tetap merupakan subsistem dari sistem
hukum nasional secara keseluruhan.
B.
Identifikasi Masalah
33. Dalam rangka merumuskan norma-norma yang bertujuan untuk
mewujudkan pengaturan keantariksaan secara nasional, sehingga dapat
menjembatani kebijakan dan kepentingan antara pembuat kebijakan,
perancang peraturan perundang-undangan, dan pemangku kepentingan
serta termasuk pula di dalamnya adalah masyarakat yang akan merasakan
dampak langsung dan tidak langsung dari adanya Undang-Undang tentang
Keantariksaan, maka dalam hal ini perlu dikemukakan beberapa
identifikasi masalah yang telah dianalisis dari hasil penelitian secara
kompehensif, yaitu sebagai berikut:
a.
Ketertinggalan Indonesia dari Negara lainnya seperti China,
India, Korea, dan Brazil dalam semua aspek penyelenggaraan
keantariksaan seperti teknologi, penguasaan ilmu pengetahuan,
politik, hukum.
b.
Pendefinisian
Dalam kaitannya dengan masalah pendefinisian terdapat
beberapa penggunaan istilah dalam perjanjian internasional dan
perkembangan kegiatan antariksa yang masih belum jelas. Di
satu sisi, pendefinisian diperlukan sebagai bagian dari konsep
operasional RUU ini, sedangkan di sisi lain agar dapat
memberikan kejelasan mengenai beberapa istilah di dalam
perjanjian internasional keantariksaan yang masih belum jelas,
yang memungkinkan timbulnya berbagai interpretasi hukum.
Beberapa istilah tersebut adalah:
1) antariksa (outer space)
2) benda antariksa dan benda-benda langit (space object dan
celestial bodies)
3) wahana antariksa (spacecraft, space vehicle)
4) dirgantara (aerospace)
5) ruang udara (airspace)
6) negara peluncur (launching state)
7) otoritas peluncuran (launching authority).
c.
Ruang lingkup keantariksaan
Dalam kaitannya dengan ruang lingkup keantariksaan terdapat
beberapa aspek yang masih belum jelas, yaitu:
Halaman | 17
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
1)
2)
3)
4)
Status
antariksa
didasarkan
atas
prinsip
hukum
internasional yang tertuang dalam Traktat Antariksa 1967,
yaitu kepentingan bersama (common interest), wilayah
kemanusiaan (province of all mankind), dan warisan bersama
umat manusia (common heritage of mankind). Prinsip-prinsip
tersebut kadangkala diinterpretasikan berbeda oleh negaranegara maju sesuai dengan kepentingannya, meskipun
terdapat prinsip hukum non-appropriation (tidak dapat
dimiliki) terhadap wilayah antariksa yang tertuang dalam
Pasal II Traktat Antariksa 1967. Oleh karena itu, terdapat
pandangan-pandangan yang berbeda terhadap prinsip
hukum tersebut dalam wacana keilmuan internasional dan
pandangan beberapa negara maju bahwa antariksa dapat
dikapling oleh badan-badan non pemerintah, seperti
misalnya pihak swasta.23 Oleh karena masih memungkinkan
menimbulkan berbagai interpretasi hukum, maka status
antariksa ini perlu ditegaskan dalam undang-undang ini.
Batas ruang udara dan antariksa. Dalam hal ini masih
belum terdapat kejelasan mengenai batas ruang udara dan
antariksa sebab keduanya didasarkan atas rejim hukum
yang berbeda.
Yurisdiksi negara
atas
keantariksaan,
benda-benda
antariksa, dan personil dan/atau pihak swasta yang
melakukan kegiatan antariksa. Dalam hal ini masih belum
jelas bagaimana kewenangan negara atas keantariksaan,
benda-benda antariksa, dan personil atau pihak swasta
dalam penyelenggaraan keantariksaan.
Keantariksaan, yaitu masih belum teridentifikasi secara
komprehensif mengenai komponen-komponen aktivitas yang
terkait dengan penyelenggaraan keantariksaan yang perlu
diatur agar dapat memberikan kepastian hukum.
d.
Kewenangan Pemerintah terhadap aktivitas badan-badan nonpemerintah (non governmental entities).
Hal ini terkait dengan belum jelasnya masalah bentuk-bentuk
lisensi dan mekanismenya, serta mekanisme tanggung jawab
negara atas aktivitas pihak atau badan-badan non-pemerintah
dalam keantariksaan, salah satunya adalah pihak swasta. Di
samping itu, belum terdapat kejelasan pengaturan mengenai halhal yang terkait dengan hak dan kewajiban yang diberikan
kepada pihak swasta sebagai konsekuensi atas keikutsertaannya
dalam penyelenggaraan keantariksaan.
e.
Keamanan, Keselamatan
23
Allan Wasser dan Douglas Jones. Space Settlements Property Rights, and Intenational Law: Could a Lunar
Settlement Claim the Lunar Real Estate It Need to Survive?. Journal of Air law and Commerce. P. 43. Sumber:
Internet, diakses 20 Desember 2008. Hlm. 44-45.
Halaman | 18
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
1)
2)
Mengenai masalah keamanan, hal ini terkait dengan upaya
yang harus dilakukan untuk melindungi kepentingan
nasional dalam konteks kedaulatan negara dan wilayah
teritorial Indonesia.
Mengenai masalah keselamatan, hal ini merupakan bagian
yang sangat penting dalam pengaturan keantariksaan agar
terwujud proses keantariksaan yang dapat terlaksana
dengan baik, lancar, dan aman. Terkait dengan masalah
keselamatan ini masih belum terdapat pengaturan dalam
bidang
keantariksaan
mengenai
lisensi,
standar
keselamatan, dan lembaga yang menanganinya.
f.
Pendaftaran
Masalah pendaftaran ini terkait dengan pengaturan benda-benda
antariksa yang akan diluncurkan. Bagian ini adalah untuk
memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Registration
Convention 1975. Di samping itu, secara nasional masih belum
terdapat kejelasan mengenai pendokumentasian data-data
benda-benda antariksa yang hendak diluncurkan dalam wilayah
Indonesia dan benda-benda antariksa atas nama Indonesia yang
hendak diluncurkan di wilayah negara lain serta pendaftaran
sarana dan prasarana keantariksaan. Di samping itu, masih
belum terdapat kejelasan lembaga mana yang berwenang sebagai
tempat pendaftaran dan yang akan melakukan pendaftaran pada
Sekretariat Jenderal PBB, ITU, dan badan/lembaga internasional
lainnya.
g.
Tanggung Jawab dan Asuransi
1) Masalah tanggung jawab, terkait dengan konsep tanggung
jawab internasional (International Responsibility) dan
tanggung gugat internasional (International Liability) yang
pengaturannya tertuang dalam Space Treaty 1967 dan
Liability Convention 1972. Dalam hal ini pengaturan secara
nasional
mengenai
prosedur
dan
mekanisme
pertanggungjawaban Negara baik antara Negara dengan
pihak asing, Negara dengan pelaku kegiatan keantariksaan
Indonesia seperti pihak swasta, dan Negara dengan
masyarakat yang semuanya didasarkan atas perlindungan
terhadap korban (victim oriented).
2) Masalah asuransi, terkait dengan kewajiban asuransi dan
besaran dana yang harus dapat ditentukan kepada setiap
pelaku keantariksaan untuk menutup kerugian yang dialami
oleh pihak ketiga.
h.
Kelembagaan
Masalah ini terkait dengan belum terdapat kejelasan mengenai
lembaga mana yang mempunyai wewenang untuk mengatur,
Halaman | 19
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
mengawasi atau yang bertanggung jawab terhadap suatu
kegiatan antariksa dan mengenai koordinasi di antara
lembaga/instansi sesuai dengan kewenangan yang diberikan
kepadanya. Saat ini lembaga yang sudah ada masih terbatas
pada
kewenangan
koordinasi
dan
litbang
di
bidang
keantariksaan (Kementerian Ristek dan LPNK) dan regulator slot
orbit (Kementerian Kominfo).
i.
Kerjasama Internasional
Masalah ini terkait dengan upaya pemerintah untuk memberikan
dorongan dan dukungan terhadap kerja sama internasional di
bidang keantariksaan dengan memperhatikan kepentingan
nasional dan upaya alih teknologi dalam rangka membangun
genuine capability.
j.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Masalah ini terkait belum terdapat kejelasan secara nasional
mengenai perlindungan hukum terhadap berbagai penemuan di
bidang iptek keantariksaan baik untuk melindungi temuantemuan yang bersifat nasional maupun terhadap HKI asing.
Meskipun masalah HKI telah diatur dalam peraturan perundangundangan nasional, namun terdapat hal-hal khusus yang perlu
diperhatikan terkait peyelenggaraan keantariksaan.
k.
Perlindungan Lingkungan
Berdasarkan pemikiran bahwa keantariksaan harus diabdikan
bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia sekaligus
mendukung pembangunan keantariksaan yang berkelanjutan,
maka pengaturan keantariksaan berorientasi pada kegiatan yang
berwawasan lingkungan dengan memenuhi persyaratanpersyaratan AMDAL sebagaimana telah diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan
Pelestarian Lingkungan.
l.
Penyelesaian Sengketa
Dalam hal ini masih belum terdapat kejelasan pengaturan
mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bilamana terjadi
sengketa hukum dalam penyelenggaraan keantariksaan.
.
m. Pengalihan Kepemilikan
Dalam hal ini belum terdapat kejelasan pengaturan mengenai
prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku
keantariksaan bilamana melakukan alih kepemilikan sebab hal
ini akan berimplikasi terhadap masalah tanggung jawab
internasional.
Halaman | 20
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
n.
Pengaturan yang terkait dengan kecenderungan konvergensi
antariksa antara kegiatan di bidang penerbangan dan
keantariksaan, yaitu dengan adanya pengoperasian aerospace
plane, aerospace object, orbital space plane yang memerlukan
pengaturan lebih lanjut untuk menjamin kepastian hukum. Di
samping itu, perlu pengaturan kegiatan peluncuran satelit yang
bersifat airlaunch system, sealaunch system, dan pengoperasian
satelit yang menggunakan air platform, misalnya high altitude
platform system.
o.
Peran serta masyarakat.
Hal ini mengingat bahwa sebagian besar kegiatan keantariksaan
adalah berisiko tinggi, untuk mengantisipasi perlu peran serta
masyarakat.
C.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan
34. Tujuan penyusunan Naskah Akademis RUU Tentang Keantariksaan
adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan UndangUndang Tentang Keantariksaan, yang memberikan arah, dan menetapkan
ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan berkaitan
dengan keantariksaan.
35. Tujuan
penyusunan
Rancangan
Undang-Undang
Tentang
Keantariksaan
(RUUK) adalah
sebagai
payung
hukum
untuk
mengimplementasikan berbagai ketentuan internasional yang sudah
diratifikasi dan perjanjian yang telah dibuat tersebut di atas. Di samping
itu RUUK juga dimaksudkan untuk menata dan mengatur semua
penyelenggaraan keantariksaan di Indonesia untuk mencapai kemandirian
di bidang teknologi antariksa dan penataan kelembagaan keantariksaan
yang pada gilirannya mampu mendorong pencapaian tujuan nasional.
2.
Kegunaan
36.
Kegunaan Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan ini adalah:
a. Memberikan pemahaman kepada pembentuk Undang-Undang
dan masyarakat mengenai urgensi konsep dasar dan konsep
hirarki peraturan perundang-undangan yang wajib diacu dan
diakomodasi dalam RUU tentang Keantariksaan;
b. Memberi pemahaman kepada pembentuk Undang-Undang dan
masyarakat mengenai urgensi penyusunan RUU tentang
Keantariksaan dengan mengacu dan mengakomodasi konsep
dasar dan konsep hirarki sebagaimana dimaksud di atas;
Halaman | 21
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
d.
D.
Mempermudah perumusan asas-asas dan tujuan serta pasalpasal yang akan diatur dalam RUU tentang Keantariksaan.
Menjadi dokumen resmi yang menyatukan konsep Rancangan
Undang-Undang yang akan dibahas bersama Dewan Perwakilan
Rakyat Republik Indonesia dalam penyusunan prioritas
Prolegnas (Untuk suatu Naskah Akademik RUU).
Metode Penelitian
37. Metode penelitian dalam penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan
melalui pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan
menggunakan data sekunder maupun data primer.
a. Metode Yuridis Normatif dilakukan melalui studi pustaka yang
menelaah (terutama) data sekunder, baik yang berupa
perundang-undangan maupun hasil penelitian, hasil pengkajian
dan referensi lainnya.
b. Metode Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data
primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat.
Data primer dapat diperoleh dengan cara: pengamatan
(observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara,
mendengar pendapat nara sumber, atau para ahli, menyebar
kuesioner dan sebagainya.
c. Metode penelitian pada Naskah Akademik ini menggunakan
pendekatan Yuridis Normatif yang terutama menggunakan data
sekunder, dan dianalisis secara kualitatif. Namun demikian,
data primer juga sangat diperlukan sebagai penunjang dan
untuk konfirmasi data sekunder.
d. Proses penyusunan Naskah Akademik ini melibatkan ahli/pakar
dari kalangan industri, teoritisi, akademisi, praktisi hukum,
pengusaha, sebagai narasumber melalui penyelenggaraan forum
dialog, forum komunikasi, penelitian lapangan, guna menyaring
pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan.
--000—
Halaman | 22
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
BAB II
ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA
A.
Asas-Asas Yang Digunakan
38. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dalam Pasal 5
dan penjelasannya dinyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan
Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan
Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi:
a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f.
Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.
39. Selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1) dan (2) dan penjelasannya juga
dinyatakan bahwa ayat (1) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan
mengandung asas :
a. pengayoman;
b. kemanusian;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f.
bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i.
ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau.
j.
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
40. Dan pada ayat (2), Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan ymg bersangkutan.
Sedangkan yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain:
a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada
hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan
asas praduga tak bersalah;
b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian,
antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan
iktikad baik.
41. Berdasarkan paragraf 22 dan 23, dan Status Indonesia terhadap
perjanjian internasional keantariksaan sebagaimana tersebut dalam
Halaman | 23
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
paragraf 31, maka dalam penyusunan UUK harus memperhatikan prinsipprinsip hukum yang terdapat dalam Traktat Antariksa 1967.
42. Traktat Antariksa, 1967 terdiri dari Mukadimah dan 17 Pasal yang
memuat materi pokok yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan larangan
bagi negara-negara dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan
penggunaan antariksa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya.
Dalam mukadimah dinyatakan bahwa latar belakang pembentukan Traktat
Antariksa 1967 diilhami oleh harapan besar yang terbuka dihadapan umat
manusia dengan berhasilnya penjelajahan manusia keantariksa dan adanya
kepentingan bersama seluruh umat manusia dalam kemajuan eksplorasi
dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai.
43. Tujuan Traktat Antariksa 1967 antara lain : (i) mendorong kemajuan
eksplorasi dan pendayagunaan antariksa berdasarkan prinsip-prinsip
damai dan untuk maksud damai, (ii) meningkatkan eksplorasi dan
penggunaan antariksa yang harus dilaksanakan untuk kemanfaatan semua
bangsa tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi atau ilmu
pengetahuan mereka, dan (iii) memperluas kerja sama internasional baik
dalam aspek ilmu pengetahuan maupun aspek hukum dalam eksplorasi
dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai.
44. Mukadimah Traktat Antariksa, 1967 tersebut telah menjadi acuan
dan menjiwai rumusan materi pengaturan yang dituangkan dalam 17 Pasal
dengan materi pokok sebagai berikut :
a.
Pemanfaatan Antariksa Untuk Kepentingan Semua Negara
dan Maksud Damai.
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa kegiatan eksplorasi
dan penggunaan antariksa harus dilaksanakan demi untuk
kemanfaatan (benefits) dan kepentingan (interests) semua negara
tanpa memandang tingkat ekonomi atau perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi suatu negara. Selanjutnya ditegaskan
bahwa seluruh umat manusia mempunyai kepentingan bersama
dalam kemajuan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk
maksud-maksud damai. Di samping itu, juga ditegaskan Bulan
dan benda langit lainnya harus digunakan secara eksklusif
untuk maksud-maksud damai.
b.
Kebebasan Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa status antariksa
adalah kawasan kemanusiaan (the province of all mankind).
Dalam hal ini antariksa dan benda-benda langit bebas untuk
dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara, tanpa
diskriminasi berdasarkan asas persamaan dan sesuai dengan
hukum internasional. Negara-negara mempunyai kebebasan
Halaman | 24
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
akses terhadap semua kawasan benda-benda langit dan dalam
melakukan penyelidikan ilmiah di antariksa.
c.
Larangan Pemilikan Nasional
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan mengenai larangan
negara-negara untuk menuntut pemilikan nasional
antariksa, termasuk bulan dan benda langit lainnya
berdasarkan tuntutan kedaulatan, dengan cara penggunaan
pendudukan, maupun dengan cara-cara lainnya.
bagi
atas
baik
atau
d.
Larangan Penempatan Persenjataan
Traktat Antariksa, 1967 memuat ketentuan yang melarang
negara-negara untuk meluncurkan benda-benda yang membawa
senjata nuklir atau senjata perusak masal lainnya, membangun
persenjataan tersebut di orbit sekeliling bumi, bendabenda langit
atau menempatkannya di antariksa. Demikian juga, negaranegara dilarang untuk membangun pangkalan militer, instalasi
dan perbentengan, serta percobaan segala senjata dan tindakan
manuver militer pada benda-benda langit.
Selain itu diterapkan pula asas yang mengutuk tindakan
propaganda yang ditujukan atau diperkirakan dapat merangsang
atau mendorong timbulnya ancaman terhadap perdamaian,
gangguan terhadap perdamaian atau dilakukannya tindakan
agresi.
e.
Tanggung Jawab Negara Secara Internasional
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa negara-negara harus
bertanggung jawab secara internasional atas kegiatan antariksa
nasionalnya, baik yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah
maupun non pemerintah, dan menjamin kegiatan nasionalnya
dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam
Traktat Antariksa, 1967. Badan-badan non pemerintah (swasta)
yang
hendak
melaksanakan
kegiatan
antariksa
harus
mendapatkan otorisasi dan dalam pengawasan secara terus
menerus oleh negara yang bersangkutan. Disamping itu,
ditegaskan pula bahwa negara atau kelompok negara yang
tergabung dalam organisasi antar pemerintah harus bertanggung
jawab terhadap masalah-masalah praktis yang timbul akibat
kegiatan negara atau organisasi antar pemerintah tersebut.
Prinsip ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam Convention on
International Liability for Damage Caused by Space Object, 1972.
f.
Kerja Sama Internasional
Traktat
Antariksa,
1967
menegaskan
bahwa
dalam
melaksanakan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa,
negara-negara harus berpedoman pada prinsip-prinsip kerja
sama dan saling membantu, serta harus memperhatikan
Halaman | 25
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
kepentingan yang serupa negara-negara lain peserta perjanjian
(Traktat Antariksa, 1967). Untuk itu negara-negara harus
memberikan kemudahan, mendorong dan meningkatkan kerja
sama dan saling pengertian internasional. Selain itu ditegaskan
pula bahwa dalam rangka meningkatkan kerja sama
internasional tersebut, negaranegara peserta perjanjian harus
mempertimbangkan berdasarkan asas persamaan setiap
permohonan dari negara lain peserta perjanjian untuk
mendapatkan kesempatan mengamati penerbangan obyek-objek
antariksa yang diluncurkan oleh negara-negara tersebut.
Bentuk lain dari pencerminan semangat kerja sama internasional
adalah dibukanya kesempatan bagi negara-negara untuk
mengadakan konsultasi apabila negara tersebut mempunyai
alasan untuk meyakini bahwa suatu kegiatan atau percobaan di
antariksa termasuk bulan dan benda langit lainnya yang
direncanakan akan menimbulkan interferensi yang secara
potensial membahayakan kegiatan dari negara lain peserta
perjanjian dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk
bulan dan benda langit lainnya untuk maksud damai, dapat
mengajukan permohonan untuk mengadakan konsultasi
mengenai kegiatan atau percobaan tersebut.
Guna meningkatkan kerja sama internasional dalam eksplorasi
dan penggunaan antariksa untuk maksud damai, negara-negara
peserta perjanjian yang melakukan kegiatan di antariksa
termasuk Bulan dan benda langit lainnya sepakat untuk
memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB, masyarakat
umum dan ilmiah, sejauh hal yang dimungkinkan dan dapat
dilaksanakan, tentang sifat, perilaku, lokasi dan hasil-hasil dari
kegiatan tersebut. Sekretaris Jenderal PBB, setelah menerima
informasi tersebut, harus siap untuk mendiseminasikannya
secara segera dan efektif.
g.
Yurisdiksi
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa negara yang
memiliki dan mendaftarkan benda antariksa (pesawat/wahana
antariksa) tetap mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk
mengawasi benda antariksa yang diluncurkannya tersebut,
termasuk personil di dalamnya. Kepemilikan benda antariksa
atau bagian komponennya tidak dipengaruhi oleh keberadaannya
di antariksa atau di bendabenda langit atau pada saat obyek
antariksa tersebut kembali ke bumi.
h.
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa setiap negara yang
melaksanakan kegiatan antariksa harus menghindari terjadinya
Halaman | 26
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
bahaya kontaminasi dan perubahan yang dapat merusak
lingkungan, termasuk lingkungan di Bumi. Apabila suatu negara
mengetahui bahwa kegiatan atau percobaan yang dilakukannya
atau warga negaranya akan membahayakan atau mengganggu
kegiatan negara lain, maka negara yang melaksanakan kegiatan
tersebut dapat mengkonsultasikan kegiatannya pada tingkat
internasional. Dalam hal ini, negara lain mempunyai kesempatan
untuk ikut mengawasi setiap kegiatan suatu negara yang
diperkirakan dapat menimbulkan ancaman terhadap kegiatan
eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk tujuan damai.
i.
Perlindungan Terhadap Antariksawan
Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa antariksawan
dianggap sebagai duta umat manusia. Apabila antariksawan
mengalami kecelakaan, kesulitan atau pendaratan darurat di
wilayah negara anggota lainnya atau di laut bebas, maka negaranegara harus memberikan semua bantuan yang memungkinkan.
Prinsip ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam Agreement on the
Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of
Objects Launched into Outer Space, 1968
45. Dari sisi Indonesia, berdasarkan Konsepsi Kedirgantaraan Nasional
1998 yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna II DEPANRI 1998,
bangsa Indonesia memandang bahwa wilayah daratan dan perairan
Indonesia dengan kondisi dan konstelasi geografinya, dan dirgantara
dengan ciri-ciri dan kondisinya merupakan satu kesatuan wilayah atau
kawasan dalam mengembangkan kehidupannya. Bangsa Indonesia
dipandang mampu atau dibina untuk mampu mendayagunakan dirgantara
dalam mengembangkan kehidupannya guna merealisasikan aspirasi dan
cita-citanya.
46. Pemahaman terhadap cara pandang bangsa Indonesia dikembangkan
melalui pemikiran dengan tinjauan terhadap fenomena kehidupan yang
berkaitan dengan kedirgantaraan, meliputi "Wadah", "Isi" dan "Tata Laku"
bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang
dimaksud "Wadah" adalah segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia yang meliputi daratan, perairan, dan dirgantara yang
terdiri dari ruang udara sebagai wilayah kedaulatan dan antariksa sebagai
kawasan kepentingan nasional. Wilayah daratan dan perairan Indonesia
dengan kondisi dan konstelasi geografinya, dan dirgantara dengan ciri-ciri
dan kondisinya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam
pendayagunaan dirgantara bagi pengembangan kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Yang dimaksud dengan "Isi", adalah aspirasi
bangsa Indonesia dalam pendayagunaan dirgantara dalam rangka
mewujudkan cita-cita sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945,
yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Rakyat yang berkehidupan kebangsaan yang bebas bertanggungjawab,
Halaman | 27
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
termotivasi dan terdorong dalam pendayagunaan dirgantara sebagai bagian
dari segenap upaya bangsa dalam mencapai tujuan nasional dan
mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kaitan ini, bangsa Indonesia
bertekad untuk bersatu padu dalam mewujudkan aspirasi dan cita-citanya
melalui pendayagunaan dirgantara dalam kondisi tegaknya kedaulatan atas
wilayah udara nasional dan terwujudnya pengakuan internasional atas
kepentingan
Indonesia
dalam
pendayagunaan
dirgantara
secara
menyeluruh.
47.
Dengan demikian, "Isi" menyangkut dua hal esensial yaitu :
a. Pendayagunaan dirgantara berpedoman pada pemanfaatan
sebesar-besar kondisi dan konstelasi geografi wilayah daratan
dan perairan Indonesia dengan memperhitungkan jumlah
penduduknya yang besar, terdiri dari berbagai suku yang
memiliki budaya dan tradisi serta pola kehidupan yang
beranekaragam, dan ciri-ciri serta kondisi dirgantara sebagai
satu kesatuan, yang mengarah pada pengembangan segenap
aspek kehidupan baik dalam lingkup nasional maupun
internasional.
b. Pendayagunaan dirgantara didasarkan pada asas persatuan dan
kesatuan, kesejahteraan dan keamanan, dan konsultasi dan
kerja sama. "Tata Laku" merupakan proses atau hasil interaksi
antara "Wadah" dan "Isi" yang meliputi tata laku batiniah dan
tata laku lahiriah. Tata laku batiniah mencerminkan kepribadian
bangsa dalam pendayagunaan dirgantara. Sedangkan tata laku
lahiriah tercermin dalam penyelenggaraan dan pengaturan
kedirgantaraan nasional yang berasaskan kesejahteraan dan
keamanan, dan konsultasi dan kerja sama.
48. "Tata Laku" baik dalam arti proses maupun sebagai hasil interaksi
antara "Wadah" dan "Isi" selain mempengaruhi atau menentukan
pembentukan aspirasi masyarakat dalam pendayagunaan dirgantara bagi
perwujudan cita-cita dan pencapaian tujuan nasional, juga mendasari
pemanfaatan dan pendayagunaan segenap potensi, sumberdaya dan sarana
baik kemampuan fisik maupun non fisik yang dimiliki bangsa. Untuk itu,
geopolitik kedirgantaraan nasional senantiasa memperhatikan ciri-ciri dan
kondisi dirgantara dalam hubungannya dengan kondisi dan konstelasi
geografi Indonesia, serta perkembangan lingkungan strategis baik dalam
lingkup nasional maupun internasional.
49. Berdasarkan pemahaman pada paragraph 45 s/d 48 maka
Pengembangan Kedirgantaraan Nasional dilakukan melalui pengembangan
unsur-unsurnya, sehingga dapat berperan dalam Pembangunan Nasional.
Dengan memperhatikan kendala dan peluang yang timbul dari faktor-faktor
yang berpengaruh, unsur-unsur Kedirgantaraan Nasional dikembangkan
secara terpadu dan serasi, yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan
dengan pengembangan unsur-unsur Pembangunan Nasional lainnya.
Halaman | 28
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Dalam kaitan ini unsur-unsur Kedirgantaraan Nasional yang wajib
dikembangkan sebagai berikut24:
24
a.
Sumber Daya Manusia dikembangkan untuk terwujudnya
kemampuan mandiri yang berkualitas dan unggul dalam
pengembangan semua aspek kedirgantaraan yang meliputi
ilmiah teknis, politik dan hukum, dan manajemen.
b.
Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dirgantara dikembangkan
untuk terciptanya kemajuan dalam pemanfaatan, pengembangan
dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan
yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan
peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa guna
memacu Pembangunan Nasional yang berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas,
maju, mandiri serta sejahtera, yang dilandasi nilai-nilai spiritual,
moral, dan etik didasarkan nilai luhur budaya bangsa serta nilai
keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
c.
Industri Dirgantara dikembangkan untuk terwujudnya industri
rekayasa untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi
kebutuhan nasional dan ekspor yang dapat bersaing dengan
produk negara lain.
d.
Jasa Kedirgantaraan dikembangkan untuk terwujudnya industri
jasa kedirgantaraan untuk menghasilkan berbagai produk jasa
yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dan mempunyai daya
saing dengan jasa kedirgantaraan dari negara lain.
e.
Sumber Daya Alam baik yang berada di daratan, di perairan
maupun di dirgantara dikembangkan dan dipelihara untuk
selalu tersedia digunakan sebesar-besarnya dan secara
berkelanjutan dalam pendayagunaan dirgantara.
f.
Politik dan Hukum Kedirgantaraan dikembangkan untuk
tegaknya kedaulatan atas wilayah udara nasional dan
terwujudnya pengakuan internasional atas kepentingan nasional
dalam pendayagunaan dirgantara secara menyeluruh yang
didukung hukum nasional dan perjanjian internasional yang
berkaitan dengan pendayagunaan dirgantara.
g.
Kelembagaan
Kedirgantaraan
dikembangkan
untuk
terwujudnya produktivitas yang tinggi dalam pendayagunaan
dirgantara yang didukung oleh organisasi, mekanisme koordinasi
dalam keterpaduan baik dalam lingkup pendayagunaan
Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998.
Halaman | 29
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
dirgantara
itu
sendiri
maupun
dengan
bidang-bidang
pembangunan lainnya, sistem informasi kedirgantaraan dan
kerja sama dengan bangsa dan negara lain.
50. Berdasarkan hal tersebut dalam paragraf 38 s/d 49 di atas. maka
penyusunan UUK ini didasarkan pada asas sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, Traktat Antariksa 1967 dan
pengembangan Unsur-unsur yang termuat dalam Konsepsi Kedirgantaraan
Nasional tersebut. Berdasarkan pemahaman tersebut maka asas yang
digunakan dalam penyusunan UUK dapat dikelompokkan menjadi 3
(tiga) bagian yaitu:
a.
Asas
yang
didasarkan
pada
pemenuhan
kewajiban
internasional yaitu :
1) “asas
tanggung
jawab
Negara”
adalah
semua
penyelenggaraan keantariksaan di wilayah dan yurisdiksi
serta atas nama Pemerintah Republik Indonesia berada
dalam pengawasan pemerintah Republik Indonesia dan
menjadi tanggung jawab pemerintah secara internasional25.
2) “asas keamanan dan keselamatan” adalah penyelenggaraan
keantariksaan dilaksanakan dengan menjaga keamanan dan
keselamatan keantariksaan.
3) “asas kelestarian” adalah penyelenggaraan keantariksaan
dilaksanakan dengan menjaga kelestarian fungsi lingkungan
bumi dan dirgantara;
b.
Asas yang didasar pada sistem
keantariksaan
dan
kharakteristik teknologi keantariksaan yaitu :
1) “asas
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi”
adalah
penyelenggaraan
keantariksaan
ditujukan
untuk
penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksan
dan eksplorasi dan pendayagunaan antariksa.
2)
“asas ketelitian dan kehati-hatian” adalah penyelenggaraan
keantariksaan dilakukan secara cermat dan akurat serta
ditetapkan sesuai dengan standar dan prosedur yang
berlaku.
3) “asas keberlanjutan” adalah penyelenggaraan keantariksaan
dilakukan secara terencana dan terus-menerus.
4) “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan keantariksaan
merupakan kesatuan yang terpadu, utuh, saling menunjang,
serta saling mengisi antara penyelenggara dan pengguna
jasa, baik pada tataran nasional, regional, maupun
internasional.
Perumusan didasarkan pada prinsip tanggung jawab Negara secara internasional yang
termuat dalam Pasal VI Traktat Antariksa 1967.
25
Halaman | 30
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
5)
6)
c.
“asas kemandirian” adalah penyelenggaraan keantariksaan
harus
bersendikan
kepada
kepribadian
bangsa,
berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan
kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional
dalam keantariksaan26.
“asas manfaat” adalah penyelenggaraan keantariksaan
harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya
bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan
pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan
pertahanan dan keamanan27.
Asas yang didasarkan pada pemenuhan peraturan perundangundangan nasional yang berlaku yaitu:
1) “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah
penyelenggaraan
keantariksaan
harus
dilaksanakan
sehingga
terdapat
keseimbangan,
keserasian,
dan
keselarasan, antara sarana dan prasarana, antara
penyelenggara dan pengguna jasa keantariksaan, antara
kepentingan individu dan masyarakat, serta antara
kepentingan nasional dan internasional.
2) “asas
pertahanan
negara”
adalah
penyelenggaraan
keantariksaan
senantiasa
diabdikan
untuk
mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keamanan dan
keselamatan warga Negara.
3) “asas transparansi dan akuntabilitas” adalah bahwa
penyelenggaraan keantariksaan dilakukan secara terbuka
dan dapat dipertanggungjawabkan;
4) “asas
kepentingan
umum”
adalah
penyelenggaraan
keantariksaan
harus
mengutamakan
kepentingan
masyarakat luas.
5) “asas tata kelola pemerintahan yang baik“ adalah
penyelenggaraan
keantariksaan
dijiwai
oleh
prinsip
partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan
keadilan28.
6) “asas
ketertiban
dan
kepastian
hukum”
adalah
penyelenggaraan keantariksaan harus menjamin terciptanya
ketertiban dan kepastian hukum29.
Analogi dengan perumusan dalam Undang-undang Nomor 1
Penerbangan.
27 Analogi dengan perumusan dalam Undang-undang
Nomor 1
Penerbangan.
28 Analogi dengan perumusan dalam Undang-Undang Nomor 32
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
29 Analogi dengan perumusan dalam Undang-Undang Nomor 43
Wilayah Negara.
26
Tahun 2009 Tentang
Tahun 2009 Tentang
Tahun 2009 Tentang
Tahun 2008 Tentang
Halaman | 31
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
B.
Pengertian dan Batasan
51. Pengertian yang termuat dalam UUK, perumusannya tersebut
didasarkan pada pengertian yang terdapat dalam Konsepsi Kedirgantaraan
Nasional 1998 (Konsisdirnas 1998), Peraturan-perundang-undangan
nasional, hasil Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional dan
yang didasarkan pada studi banding dengan peraturan perundangundangan keantariksaan negara lain khususnya yang terkait pengertian
dalam khasanah ilmu dan teknologi keantariksaan. Berdasarkan berbagai
hal tersebut maka dalam UUK terdapat beberapa pengertian yang dikaitkan
dengan sumbernya sebagai berikut:
30
31
32
a.
Antariksa, Ruang Udara dan Dirgantara disusun berdasarkan
pengertian yang termuat dalam Konsepsi Kedirgantaraan
Nasional 1998. Pengertian tersebut adalah:
1) Dirgantara30 adalah ruang di sekeliling dan melingkupi
bumi beserta segala isinya, meluas tiada batas mulai dari
permukaan bumi yang terbagi atas ruang udara dan
antariksa, yang dipandang sebagai wilayah, ruang gerak,
media hidup dan sumber daya alam bagi kehidupan umat
manusia.
2) Ruang udara31 adalah ruang yang mengelilingi dan
melingkupi seluruh permukaan bumi; ruang tersebut
mengandung udara bersifat gas yang disebut atmosfir bumi.
3) Antariksa32 adalah ruang beserta isinya yang terdapat di
luar ruang udara, serta yang mengelilingi dan melingkupi
ruang udara.
b.
Kegiatan antariksa atau keantariksaan pada hakekatnya adalah
segala sesuatu tentang dan yang berkaitan dengan usaha dan
kegiatan umat manusia dalam rangka pendayagunaan antariksa.
Penggunaan pengertian ini didasarkan rumusan yang terdapat
dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Sedangkan yang
termasuk penyelenggaraan keantariksaan adalah penguasaan
teknologi, pemanfaatan teknologi, peluncuran wahana antariksa,
penelitian dan penjalaran teknologi keantariksaan. Perincian dari
tujuan dan cakupan penyelenggaraan keantariksaan tersebut
adalah:
1) Penguasaan teknologi keantariksaan dimaksud untuk
penguasaan sistem keantariksaan sebagaimana dimaksud
dalam paragraf 6 secara mandiri oleh bangsa Indonesia
sehingga
terjamin
kesinambungan
penyelenggaraan
keantariksaan nasional.
Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998 halaman 42.
Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998.
Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998.
Halaman | 32
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
2)
3)
4)
5)
c.
Pemanfaatan teknologi keantariksaan dapat ditujukan
untuk berbagai kepentingan seperti telekomunikasi,
penyiaran, penginderaan jauh, navigasi dan posisi lokasi,
mitigasi bencana dan komersialisasi antariksa.
Peluncuran wahana antariksa dimaksudkan untuk dapat
menguasai
teknologi
sistem
keantariksaan
secara
keseluruhan yang merupakan teknologi utama dalam
penyelenggaraan keantariksaan yang pada gilirannya dapat
menjamin
kesinambungan
dan
menghilangkan
ketergantungan dalam penyelenggaraan keantariksaan.
Penelitian keantariksaan dimaksudkan untuk memahami
gejala dan dinamika antariksa, baik pengaruhnya terhadap
bumi,
atmosfir
maupun
pengaruhnya
terhadap
penyelenggaraan keantariksaan, sehingga dapat mendukung
dan
mengamankan
pelaksanaan
penyelenggaraan
keantariksaan.
Penjalaran teknologi keantariksaan merupakan bagian yang
penting mengingat sifat teknologi keantariksaan yang dapat
menjadi pemicu pengembangan teknologi lainnya. Di
samping teknologi keantariksaan juga dapat mendukung
berbagai kegiatan lain untuk dapat terlaksana dengan baik
dan efisien.
Benda Antariksa, didasarkan pada pemahaman bahwa dalam
Bahasa Indonesia istilah benda antariksa mengandung arti
sebagai benda buatan manusia dan benda alamiah di antariksa.
Sedangkan dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998,
disebutkan bahwa salah satu unsur-unsur dari kedirgantaraan
nasional adalah termasuk sumber daya alam di antariksa.
Berdasarkan pemahaman ini maka dalam UUK benda
antariksa diartikan lebih luas dari pengertian yang
terkandung dalam terminologi ”space object” yang terdapat
dalam Liability Convention 1972 dan Registration 1975. Hal ini
mengingat bahwa dalam Traktat Antariksa, 1967 terdapat
berbagai bentuk penyebutan yang mengandung makna ”space
object” yaitu (i) Obyek yang diluncurkan keantariksa (objects
launched into outer space33), (ii) Obyek dan obyek antariksa
(object34 and space object35), (iii) bukan benda antariksa yang
diluncurkan keantariksa (non-space objects launched into outer
space36), (iv) obyek antariksa bukan buatan manusia (non manmade space objects37), (v) wahana antariksa (space vehicles38), (vi)
Article 7 Outer Space Treaty, 1967, paragraph 1 Preamble Rescue Agreement, 1968.
Preamble paragraph 4 dan 7, Pasal I, II, IV, V dan VI Registration Convention, 1975.
35 Pasal 2 ayat (1) Registration Convention, 1975.
36 Paragraph 5 Preamble Registration Convention, 1975.
37 Article 3 ayat (2) Moon Agreement, 1979 menyebut “man-made space object” sehingga
menurut Bincheng dapat diartikan terbalik yaitu adanya non-made space object.
33
34
Halaman | 33
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
pesawat antariksa (spacecraft39), (vii) obyek yang ditempatkan
atau dibangun pada benda-benda langit (object landed or
constructed on a celestial body40), (viii) benda antariksa dan
bagian-bagiannya (space object and pharaphernalia 41), dan (ix)
Obyek yang tidak berfungsi lagi dan limbah (non functional object
and debris). Dengan demikian yang dimaksud dengan benda
antariksa adalah semua hal tercakup dalam pengertian yang
dimuat dalam berbagai pemahaman tersebut di atas. Yang
dalam UUK ini dinyatakan bahwa Benda antariksa adalah
setiap benda baik buatan manusia maupun bukan (benda
alamiah) dimana saja berada yang terkait dengan keantariksaan
serta sumber daya alam di antariksa. Yang termasuk benda
alamiah antara lain adalah bulan dan benda-benda langit
lainnya.
d.
Wahana antariksa adalah benda buatan manusia dimanapun
berada yang ditujukan untuk dan terkait dengan keantariksaan
serta bagian-bagiannya. Pengertian ini sama dengan pengertian
”space object” yang terdapat dalam Liability Convention 1972
dan Registration 1975.
e.
Bandar Antariksa adalah suatu kawasan yang didalamnya
terdapat antara lain landasan tempat peluncuran dan reentry
serta landasan pacu, ruang pabrikasi untuk keperluan integrasi,
termasuk infrastruktur, peralatan dan kebutuhan untuk proses
peluncuran, dan wahana antariksa yang diluncurkan.
Penggunaan istilah ini didasarkan pada analogi dengan istilah
“Bandar udara” (Airport) yang digunakan untuk take-off dan
landing pesawat udara serta ATC nya.
Namun demikian,
mengingat bahwa tidak ada pengertian baku secara internasional
dari kata “spaceport” maka pengertian “Bandar Antariksa” yang
dimuat dalam UUK lebih ditujukan sebagai identifikasi sarana
dan prasarana yang terdapat dalam suatu kawasan peluncuran
atau dalam bahasa Inggeris disebut dengan istilah spaceport.
f.
Asset antariksa (space assets) merupakan terminologi baru yang
dikembangkan dalam kaitannya dengan komersialisasi antariksa,
khususnya dalam pembahasan draft protocol on matters specific
to space assets to the Convention on International Interests in
Article V Outer Space Treaty, 1967
Article 1,2,3 dan 4 Rescue Agreement, 1968.
40 Article VIII Outer Space Treaty, 1967.
41 Terdapat tiga peristilahan yang digunakan untuk mengungkap material yang menjadi
cakupan dari istilah space object yaitu (i) “component part” dalam article 1 (d) Liability
Convention, 1972 dan article 1 (b) Registration Convention, 1975 (ii) launch vehicle and
part thereof dalam article 1 (d) Liability Convention, 1972 dan article 1 (b) Registration
Convention, 1975 (iii) space objects and payloads dalam praktek yang dibuat NASA dan
muatan Article III Liability Convention, 1975 dengan menyebut property on board”.
38
39
Halaman | 34
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Mobile Equipment. Terminologi ini tidak terdapat dalam rumusan
Traktat Antariksa 1967. Dalam pembahasan draft protocol space
asset, pemahaman tentang pengertian aset antariksa dikaitkan
dengan benda antariksa yang dapat dijadikan sebagai obyek
penjaminan baik bersifat benda atau hak-hak terkait dengan
benda tersebut seperti hak penggunaan slot orbit dan spectrum
frekuensi. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia
yang dapat dijadikan obyek penjaminan adalah benda bergerak
dan tidak bergerak dengan cara penjaminan yang berbeda.
Dengan demikian, pemahaman terhadap pengertian aset
antariksa adalah didasarkan pada makna benda antariksa
buatan manusia (wahana antariksa) dan hak-hak terkait
dengannya (antara lain hak penggunaan spectrum frekuensi, slot
orbit, lisensi penyelenggaraan dan sebagainya) yang dapat
dijadikan obyek penjaminan.
g.
C.
Penyelenggara Keantariksaan, didasarkan pada pemahaman
dalam Pasal VI Traktat Antariksa 1967, yang menyatakan bahwa
semua penyelenggaraan keantariksaan di wilayah dan yurisdiksi
menjadi
tanggung
jawab
negara
secara
internasional.
Sungguhpun pada saat perumusan aturan ini terdapat
pemahaman hanya Negara yang melakukan penyelenggaraan
keantariksaan, namun mengingat perkembangan keantariksaan
saat ini yang mengarah adanya keterlibatan peran swasta dalam
keantariksaan, maka terhadap penyelenggaraan keantariksaan
yang berlangsung di Indonesia dibuka kemungkinan untuk
dilakukan oleh siapapun selain negara (pemerintah) dan
pemerintah daerah baik badan hukum nasional maupun badan
hukum asing serta orang pribadi. Dengan dibukanya peluang
ini, maka pengawasan dan pengendalian pemerintah terhadap
penyelenggara keantariksaan menjadi sangat penting dalam
rangka memenuhi ketentuan Pasal VI Traktat Antariksa, 1967
tersebut, yang salah satu kewajiban Negara (Pemerintah) adalah
melaksanakan tanggung jawab secara internasional terhadap
semua penyelenggaraan keantariksaan di wilayah dan
yurisdiksinya.
Tujuan Undang-Undang Tentang Keantariksaan
52. Tujuan yang ingin dicapai dengan diterbitkannya Undang-Undang
Tentang Keantariksaan adalah:
a. Mewujudkan kemandirian dan meningkatnya daya saing bangsa
dan negara dalam penyelenggaraan keantariksaan;
b. Melaksanakan
penyelenggaraan
keantariksaan
untuk
kesejahteraan yang optimal;
c. Menjamian keberlanjutan penyelenggaraan keantariksaan untuk
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
Halaman | 35
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
d.
e.
f.
g.
h.
D.
Mewujudkan
landasan
dan
kepastian
hukum
dalam
penyelenggaraan keantariksaan;
Mewujudkan penyelenggaraan keantariksaan yang menjadi
komponen pendukung pertahanan dan integritas NKRI
Menciptakan
keamanan
dan
keselamatan
dalam
penyelenggaraan keantariksaan;
Melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif
yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan keantariksaan; dan,
Melaksanakan penerapan perjanjian Internasional keantariksaan
yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
Ruang Lingkup Undang-Undang Tentang Keantariksaan
53. Ruang lingkup (objek) yang diatur dalam RUU Tentang Keantariksaan
meliputi antara lain :
a. Semua komponen dan aktivitas yang terkait dengan
penyelenggaraan keantariksaan yang dilaksanakan untuk
penguasaan teknologi keantariksaan, pemanfaatan teknologi
keantariksaan, peluncuran wahana antariksa, penelitian
keantariksaan, dan jenis kegiatan lain yang dilaksanakan dengan
bantuan teknologi keantariksaan
b. Semua penyelenggara yang melaksanakan penyelenggaraan
keantariksaan
yang
dapat
berupa
negara,
organisasi
internasional dan lembaga swasta, individu baik domestik
maupun asing.
c. Semua penyelenggara yang melaksanakan keantariksaan di
dan/dari wilayah Republik Indonesia dan/atau dilaksanakan
untuk dan/atau atas nama pemerintah Indonesia.
d. Semua kegiatan pemanfaatan teknologi keantariksaan untuk
kepentingan telekomunikasi, penyiaran, penginderaan jauh,
mitigasi bencana, geoposisi dan navigasi,dan komersialisasi
antariksa.
e. Setiap individu atau badan hukum yang melibatkan diri dalam
penyelenggaraan keantariksaan dan terkait dengan Negara
Republik Indonesia.
E.
Status Hukum Antariksa
54. Berdasarkan uraian paragrap 12 (pengertian antariksa), pargaraf 13
(hal-hal yang terdapat di antariksa), Pargaraf 23 (Traktat Antariksa sebagai
Magna Charta atau Ius Cogens), paragraph 31 (status Indonesia yang telah
meratifikasi Traktat Antariksa 1967), dan paragraph 44 (prinsip-prinsip
Traktat Antariksa 1967 yang dijadikan asas dalam penyusunan norma),
maka dalam UUK memuat rumusan status hukum antariksa dengan
maksud yang sama dengan pasal-pasal terkaitnya sebagai berikut :
Halaman | 36
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
F.
a.
Status Hukum Antariksa42
1) Antariksa merupakan wilayah bersama umat manusia yang
dalam eksplorasi dan penggunaannya sesuai dengan Traktat
Antariksa 1967.
2) Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh
semua negara, tanpa diskriminasi berdasarkan asas
persamaan dan sesuai dengan hukum internasional.
3) Antariksa tidak tunduk kepada kepemilikan nasional, baik
berdasarkan tuntutan kedaulatan, dengan cara penggunaan
atau pendudukan/penguasaan, maupun dengan cara-cara
lainnya.
b.
Yurisdiksi43
1) Setiap wahana antariksa yang diluncurkan untuk dan/atau
atas nama Republik Indonesia berada dalam yurisdiksi dan
kontrol Pemerintah Republik Indonesia.
2) Setiap orang yang berada dalam sarana dan prasarana
keantariksaan milik Indonesia tunduk pada peraturan
perundang-undangan Indonesia.
Batas Ruang Udara dan Antariksa
55. Di ruang udara, setelah melalui perdebatan panjang mengenai konsep
kedaulatan Negara versus kebebasan di ruang udara, maka melalui
ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 ditetapkan pengakuan mengenai
kedaulatan negara yang bersifat lengkap dan eksklusif (penuh dan utuh)
atas ruang udara di atas wilayahnya44. Pengakuan ini sekaligus melengkapi
konsep kewilayahan yang bersifat tri-dimensional, di mana daratan sebagai
dimensi pertama, perairan sebagai dimensi ke dua dan ruang udara sebagai
dimensi ke tiga.
56. Ruang udara mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu Negara
tidak hanya dilihat dari aspek integritas wilayah dan keamanan
nasionalnya, tetapi juga sekaligus sebagai asset pembangunan (ekonomi)
nasional
yang
harus
didayagunakan
sebaik-baiknya.
Untuk
mengilustrasikan pentingnya ruang udara, digambarkan bahwa suatu
Negara bisa saja tidak mempunyai laut (mis: land-locked states), akan tetapi
pasti memiliki ruang udara.
Jadi ruang udara merupakan atribut
kewilayahan suatu Negara yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan
Negara itu sendiri45.
Lihat, Pasal I dan II Traktat Antariksa 1967.
Lihat Pasal VI dan VIII Traktat Antariksa 1967.
44 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang berbunyi “the contracting States recognize that
every State has complete and exclusive sovereignty in the airspace above its territory”.
45 Supancana, I.B.R, “ Pendekatan Hukum Dalam Pengelolaan Ruang Udara (Air Space
Management)”, Bahan Ceramah pada Sekolah Staf Komando TNI AU Angkatan 40,
Lembang – Bandung, Juni, 2003, halaman 1.
42
43
Halaman | 37
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
57. Berdasarkan Pasal II Traktat Antariksa 1967 terdapat larangan
tuntutan kedaulatan dalam bentuk apapun terhadap antariksa dan adanya
pengakuan bahwa antariksa sebagai wilayah kemanusiaan (province of all
mankind). Dengan adanya ketentuan ini, secara hukum terbagilah wilayah
ruang yang ada di atas permukaan bumi ini menjadi dua bagian yaitu
ruang udara dan antariksa. Ruang udara sebagai dimensi ketiga dipandang
sebagai wilayah kedaulatan dan antariksa sebagai wilayah kemanusiaan
(province of all mankinds).
58. Berdasarkan hal tersebut di atas, muncullah permasalahan
dimanakah batas antara ruang udara dan antariksa tersebut.
Permasalahan wilayah udara, kedaulatan di ruang udara dan batas ruang
udara telah dibahas sejak pembahasan Konvensi Paris, 1919, Konvensi
Chicago 1944 dan Traktat Antariksa 1967. Namun sampai dengan saat ini,
belum ada ketentuan internasional yang secara tegas menyebut tentang
batas kedaulatan suatu negara di ruang udara. Ketiga ketentuan tersebut
hanya mampu memisahkan jenis kegiatan yang dapat dilakukan di ruang
udara dan di antariksa. Sedangkan terhadap batas kedua wilayah tersebut
belum ada kesepakatan sampai saat ini.
59. Pada umumnya negara-negara barat atau negara-negara yang sudah
maju penguasaan teknologi keantariksaannya lebih cenderung untuk
memilih pemecahan masalah batas ruang udara dan antariksa (dibahas
dalam mata acara Definisi dan Delimitasi Antariksa di Subkomite Hukum
UNCOPUOS) dengan menentukan “definisi” dari Antariksa. Atau dapat
dikatakan cenderung untuk menggunakan pendekatan “fungsional”.
Negara-negara yang cenderung untuk memilih pendekatan ini menganggap
bahwa masalah ini harus dilihat terutama dari segi “sifat” dan “type”
kegiatan keantariksaan yang akan dilakukan. Dalam kaitan ini dilakukan
pembedaan terhadap kegiatan penerbangan (aeronautical) dan kegiatan
keantariksaan (astronautical), dimana kegiatan astronautical tunduk
kepada ketentuan hukum antariksa (Space Treaties), tanpa memandang
ketinggian dimana kegiatan tersebut berlangsung, baik berada diruang
udara ataupun di antariksa.
60. Berdasarkan uraian tentang definisi, antariksa dan benda antariksa
tersebut 59 di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kata
“definition/definisi” dari berbagai kamus dan para pakar dapat dikatakan
relatif sama yaitu suatu ketentuan atau kalimat yang mengungkapkan
suatu makna. Sehingga apabila dikaitkan dengan Definisi Antariksa akan
menjadi suatu pengertian atau ketentuan mengenai antariksa secara luas,
baik menyangkut status, kondisi, isi dan hal lainnya yang berkaitan seperti
kegiatan yang berlangsung di antariksa. Dalam pembahasan masalah
Definisi dan Delimitasi
Antariksa di forum UN-COPUOS terdapat
kecenderungan bagi negara-negara yang menyetujui adanya Definisi
Antariksa dapat dikatagorikan sebagai negara yang setuju terhadap
Halaman | 38
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
pendekatan “fungsional”. Jadi tidak ada batas yang definitif dalam
pengertian batas wilayah antara ruang udara dan antariksa. Pendekatan
fungsional ini menganggap bahwa ruang udara dan antariksa merupakan
satu kesatuan, dimana wahana udara maupun wahana antariksa (space
object) dapat menggunakan kedua ruang tersebut sebagai satu media dalam
melakukan penerbangan baik menuju orbit bumi maupun kembali ke
bumi.
61. Kecenderungan sikap negara-negara terhadap masalah definisi dan
delimitasi antariksa dapat tercermin dari pandangan yang disampaikan
dalam pembahasan masalah ini dan ketentuan yang dicantumkan dalam
peraturan perundang-undangan nasionalnya. Berbagai sikap tersebut
adalah:
a. Australia, Pada Sidang Subkomite Hukum 2002, delegasi
Australia mengemukakan bahwa definisi dan delimitasi antariksa
merupakan masalah yang cukup rumit dan perlu dibahas secara
seksama. Dalam Australian Space Activity Act 1998 yang
kemudian disempurnakan dengan Act Tahun 2002 dimuat
rumusan untuk menetapkan ketinggian 100 km di atas
permukaan laut sebagai patokan untuk keperluan praktis dan
bahwa benda yang berada di atas ketinggian tersebut
dipertimbangkan sebagai space object. Namun demikian,
penetapan batas tersebut bukanlah merupakan delimitasi
antariksa.
b. Amerika Serikat, Dalam Sidang-sidang UNCOPUOS, khususnya
dalam pembahasan masalah definisi dan delimitasi antariksa,
delegasi Amerika Serikat selalu menyatakan bahwa tidak ada
kepentingan yang mendesak untuk menentukan definisi dan
delimitasi antariksa. Penetapan hal tersebut hanya akan
menghambat kemajuan perkembangan teknologi. Namun secara
diam diam, US Spacecommand beranggapan bahwa antariksa
dimulai dari ketinggian 100 NM.
c. Korea
Selatan, Pada
Sidang
Komite
Antariksa
PBB
(UNCOPUOS), Juni tahun 2003, Korea Selatan mengajak negaranegara untuk membahas batas udara dan antariksa berkisar
antara 100 sampai 110 Km;
d. Uni Soviet/Federasi Russia, Pada Sidang Subkomite Hukum
tahun 1980, bekas negara Uni Soviet pernah mengusulkan agar
batas ruang udara ditetapkan 100 sampai dengan 120 km
dihitung dari permukaan laut. Dalam perkembangannya,
sebagaimana telah dikemukakan di atas Rusia telah mengajukan
pembahasan rejim hukum aerospace object dalam agenda
Definisi
dan
Delimitasi
Antariksa
pada
Sidang-sidang
UNCOPUOS sejak tahun 1992.
62. Kecenderungan, Apabila dilihat dari ketentuan nasional negaranegara, pada umumnya tidak terdapat materi aturan yang secara tegas
Halaman | 39
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
menyatakan batas kedaulatan negara di ruang udara. Aturan–aturan yang
ada cenderung hanya menyatakan bahwa negara berdaulat atas ruang
udara di atas wilayahnya secara penuh dan utuh. Sedangkan di antariksa
tetap mengakui sebagai kawasan kemanusiaan (kawasan bersama umat
manusia).
63. Pembahasan masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa, walaupun
tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetap berlangsung dengan
substansi pembahasan masalah penetapan rejim hukum aerospace object.
Apabila rejim hukum tersebut ditetapkan maka dapat diyakini pembahasan
masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa akan dianggap selesai, karena
rejim hukum tersebut sebenarnya telah memberikan jawaban pemecahan
masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa dengan menggunakan
pendekatan fungsional yaitu berdasarkan pada fungsi atau misi wahana
dan bukan berdasarkan pendekatan kewilayahan (spasial).
64. Dalam konteks UUK ini Indonesia mengartikan batas ruang udara
dan antariksa sebagaimana yang telah disepakati dalam Kongres
Kedirgantaraan Nasional Kedua tahun 2003 yaitu (i) Diusulkan Indonesia
menganut pendekatan spasial dalam penetapan Definisi dan Delimitasi
Antariksa. Dengan pendekatan ini, serta memperhatikan sifat fisik, perilaku
wahana di dirgantara, politik dan pertahanan maka batas ruang udara dan
antariksa yang paling tepat adalah pada ketinggian 110 km dari permukaan
laut. (ii) Guna menindaklanjuti usulan pendekatan spasial ini perlu
dilakukan koordinasi dan pembahasan komprehensif serta diplomasi di
tataran internasional. Kemudian dilakukan pembahasan dengan pihak
legislatif sesuai dengan prosedur yang berlaku46. Alasan penetapan secara
spasial semata-mata ditujukan untuk adanya pengakuan internasional
terhadap kedaulatan Negara di ruang udara nasionalnya khususnya
pengakuan dalam aplikasi teknologi antariksa. Di samping itu, penetapan
batas secara spasial ini, lebih merupakan penggunaan pendekatan hukum
dari pada pendekatan kemampuan teknis Indonesia yang dalam
kenyataannya saat ini Indonesia belum mampu menjangkau ketinggian
tersebut.
G.
Penyelenggaraan Keantariksaan
65. Bagi Indonesia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa
sangat besar kontribusinya dalam rangka memenuhi kepentingan
nasionalnya, baik dari perspektif keamanan maupun kesejahteraannya.
Beberapa
bentuk
partisipasi
Indonesia
dalam
penyelenggaraan
keantariksaan adalah (i) sejak tahun 1966 telah terlibat dalam
Pengoperasian Intelsat47; (ii) sejak tahun 1976 mengoperasikan satelit SKSD
Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta 22-24 Desember 2003,
halaman 13,
47 Indonesia masuk menjadi Negara anggota Intelsat tahun 1966.
46
Halaman | 40
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Palapa (iii) sampai saat ini sudah mengoperasikan beberapa sistem satelit
untuk berbagai keperluan seperti Komunikasi, Penyiaran, Penginderaan
Jauh, dan Survey (Palapa A-B,C, Telkom 1, 2, Indostar, Garuda, LAPAN
Tubsat).
1.
Penelitian Keantariksaan
66. Lingkungan alam global bersifat dinamis yang sangat berpengaruh
pada lingkungan alam Indonesia dan demikian pula sebaliknya. Kondisi
hutan tropis sangat berpengaruh pada kondisi atmosfir tropis, sirkulasi
atmosfir global menghantarkan dinamika kondisi atmosfir tropis ke daerah
lintang tengah dan tinggi. Demikian pula sebaliknya, sirkulasi air laut
global serta sirkulasi atmosfer global menyebarkan dampak perubahan
kondisi tutupan es di Kutub, tidak hanya di daerah lintang tinggi, tetapi
juga ke daerah lintang tengah dan rendah. Sehubungan dengan lingkungan
global, selain karakterisasi dan pemahaman atas proses fenomena unsurunsur pembentuk sistem kebumian, ilmu dan teknologi satelit
penginderaan jauh (observasi lingkungan Bumi) merupakan sarana vital
untuk mengenali dinamika lingkungan alam global seperti temperatur,
tingkat permukaan air laut dan pola arus laut serta sirkulasi atmosfer. Oleh
karena karakteristik fisik yang khas, maka masyarakat internasional
memandang wilayah Indonesia sebagai laboratorium alam (natural
laboratory) yang penting dalam penelitian lingkungan alam global.
67. Sehubungan dengan paragraf di atas, maka UUK merekomendasikan
agar penelitian keantariksaan baik fenomena yang terjadi di antariksa
maupun yang berdampak pada lingkungan bumi tetap harus dilakukan
secara berkesinambungan.
2.
Penguasaan Teknologi Keantariksaan
68. Meskipun telah lebih dari 46 tahun menjadi negara pengoperasi
dan pengguna teknologi keantariksaan dan termasuk dalam jajaran
negara pengguna yang paling awal di kawasan Asia, penguasaan teknologi
keantariksaan Indonesia masih tertinggal dibanding dengan beberapa
negara seperti Jepang, India, China dan Iran, Korea Selatan. Tanpa
penguasaan teknologi keantariksaan yang memadai, Indonesia tidak akan
mampu secara mandiri memanfaatkan antariksa untuk kepentingan
nasionalnya, sehingga terpaksa bergantung pada penyediaan teknologi dan
jasa dari negara lain. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini akan
menyulitkan posisi nasional Indonesia secara ekonomis, sosial budaya,
politik hingga pertahanan dan keamanan.
69. Pembangunan penguasaan teknologi keantariksaan merupakan aspek
yang sangat penting dalam menyiapkan akses ke antariksa dan
pemanfaatan antariksa untuk kesejahteraan. Perkembangan teknologi
keantariksaan nasional saat ini untuk teknologi roket baru pada tahap
Halaman | 41
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
pengembangan roket sonda sedangkan untuk bandar antariksa untuk
pelucuran-peluncuran roket pengorbit belum ada. Teknologi satelit baru
sampai tahap manufaktur satelit mikro dengan berat s.d 70 kg. Teknologi
manufaktur stasiun bumi telekomunikasi, inderaja, sains dan lainnya baru
sampai tahap integrasi sistem.
70. Infrastruktur Peluncuran Benda Antariksa di dalam negeri seperti
Bandar Antariksa (spaceport) belum ada sementara Sistem Telemetri
Tracking and Command (TT&C) yang saat ini dioperasikan dalam kerjasama
LAPAN-ISRO maupun TT&C milik Telkom dan Indosat belum diperuntukan
bagi peluncuran satelit dari Indonesia. Peluncuran satelit-satelit milik
Indonesia dilaksanakan dengan jasa peluncuran di luar negeri padahal
belum ada kebijakan nasional yang kuat untuk membangun kemampuan
peluncuran di dalam negeri. Sedangkan Legal aspek peluncuran atau
pendaratan kembali belum dibangun.
71. Industri pemasok bahan baku, komponen struktur dan elektronik
masih bergantung pada pemasok luar negeri tapi masih terkendala dengan
pembatasan ekspor. Untuk sementara industri pemasok dalam negeri
masih sangat terbatas yaitu PT Dirgantara Indonesia, PT. PINDAD dan PT.
Karakatau Steel, namun sulit melayani keperluan untuk pengembangan
teknologi dirgantara nasional.
72. Beberapa landasan perlunya penguasaan teknologi keantariksaan
dapat dikemukakan sebagai berikut 48:
a. Sistem satelit dan roket pengorbit satelit akan merupakan
aset nasional dengan nilai strategis yang tinggi;
b. Pemanfaatan antariksa nasional Indonesia yang sepenuhnya
berada di tangan sendiri akan menjamin aspek-aspek ekonomi,
sosial budaya, politik, pertahanan dan keamanan;
c. Dalam pola hubungan antar negara Indonesia akan mempunyai
posisi tawar-menawar politik yang lebih baik dan dapat menarik
keuntungan ekonomis dari pengguna-pengguna potensial sistem
satelit dan roket pengorbit satelit tersebut;
d. Teknologi satelit
dan roket pengorbit satelit merupakan
teknologi yang sarat dengan persyaratan yang ketat dan
mutakhir, sehingga penguasaan teknologi tersebut merupakan
loncatan iptek yang strategis.
e. Bidang Pertanian, yaitu peningkatan produktifitas pertanian
dalam skala menengah dan besar pada daerah pedesaan melalui
penggunaan satelit untuk identifikasi karakteristik tanah,
prediksi cuaca, dan prediksi panen yang tepat;
f.
Bidang Transportasi, melalui pemantauan dan pelaporan untuk
Dr.-Ing. Soewarto Hardhienata,”Route – Map Pengembangan Satelit dan Roket Pengorbit
Satelit.
48
Halaman | 42
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
g.
h.
i.
j.
k.
l.
mengoptimasikan route perjalanan bus, truk, dan kapal sehingga
biaya transportasi menjadi lebih murah;
Bidang Komunikasi, yaitu sebagai sarana komunikasi untuk
daerah perkotaan, daerah pedesaan atau daerah terpencil
dengan infrastruktur yang saat ini belum memadai atau belum
ada sama sekali;
Bidang Meteorologi dan Pemantauan Bencana Alam, yaitu
untuk deteksi dini bencana alam dan pertolongan pertama –
dengan memanfaatkan sistem yang mengintegrasikan jaringan
satelit komunikasi, penginderaan dan misi ilmiah. Sistem ini
berhubungan langsung dengan pengguna, menghilangkan
kebutuhan proses sentral dan sistem distribusi. Pada beberapa
kasus, pemantauan secara “real time” dan terdesentralisasi
merupakan keharusan, sebagai contoh: kebakaran hutan, polusi,
perikanan, dsb. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan
pemanfaatan satelit;
Bidang Pendidikan, yaitu untuk pendidikan jarak jauh (long
distance education) baik untuk masyarakat umum maupun
ilmiah. Disamping itu, program pengembangan satelit sangat
cocok untuk kepentingan pelatihan peneliti dan engineer dengan
menyediakan obyek langsung dan pengalaman langsung (handson experience) pada semua langkah dan aspek misi satelit – dari
disain, produksi, test, dan peluncuran, sampai ke operasi orbit;
Bidang Kesehatan, melalui program Telemedecine yang
merupakan aplikasi untuk meningkatkan efisiensi pada
pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan transmisi data yang
diperoleh dari sensor-sensor yang mudah penggunaannya ke
unit-unit pemrosesan yang komplek pada pusat-pusat
kesehatan. Hal ini memungkinkan pelayanan kesehatan secara
efektif dan efisiensi yang akan mencakup daerah-daerah miskin
dengan pelayanan kesehatan yang tidak memadai.
Sebagai
contoh dari aplikasi satelit dalam bidang kesehatan adalah
kegiatan telemedicine pada proyek Healthsat. Proyek ini hanya
menggunakan satelit seberat 60 kg pada orbit LEO untuk
merelay data kesehatan informasi antara Nigeria dan Amerika
Utara. Dalam kondisi bencana alam, aplikasi satelit dapat
memainkan peranan penting untuk mencapai korban secara
cepat dalam penyediaan bantuan logistik;
Bidang Penelitian Antariksa Atas, misalnya penelitian ilmiah
mengenai ozon, perilaku matahari, dan penelitian fenomena
antariksa lainnya.
Bidang Investasi, yaitu pengurangan secara bertahap investasi
yang mahal untuk akses pelayanan jasa antariksa, yang selama
ini banyak dikeluarkan untuk negara-negara penyedia jasa
satelit. Pengunaan jasa satelit khususnya untuk komunikasi dan
penginderaan jauh dari negara-negara maju membutuhkan
investasi yang besar. Hal ini disebabkan karena teknologi satelit
Halaman | 43
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
itu sendiri merupakan teknologi yang masih mahal dengan
investasi yang besar;
m. Bidang Teknologi, untuk meningkatkan level keahlian dalam
teknologi dan ilmu antariksa sehingga dapat menjamin
penentuan spesifikasi yang tepat pada sistem yang akan dipakai
untuk kebutuhan nasional. Sering kali, kurangnya pengetahuan
akan menghasilkan keputusan yang kurang tepat untuk
memenuhi kebutuhan nasional;
n. Bidang Pertahanan dan Keamanan, dengan adanya sistem
satelit dan sistem roket pengorbit satelit yang mandiri jelas akan
meningkatkan deterenitas. Bangsa yang setiap saat dapat
melakukan komunikasi cepat ke seluruh pelosok negeri dan
dapat melihat serta memantau negaranya dari antariksa dan
mempunyai kemampuan untuk melihat dan memantau negara
lain akan disegani dan dihormati. Terlebih lagi jika hal tersebut
disertai dengan kemampuan pengorbitan satelit ke ruang
angkasa, dimana diketahui bahwa sistem roket merupakan
sistem yang mempunyai fungsi ganda (dual uses) baik untuk
kepentingan sipil maupun pertahanan tergantung dari arah
penerbangan dan jenis muatan roketnya.
o. Di dalam penerapannya, sistem satelit dan roket pengorbit
satelit dapat memberikan peluang berusaha (business
opportunity) yang sangat besar, terutama bagi industri berbasis
teknologi tinggi, untuk mengembangkan usahanya.
1) Untuk bidang satelit, peluang berusaha tersebut utamanya
ada pada penyediaan segmen ruas bumi yang akan
dimanfaatkan oleh pengguna yang jumlahnya bisa sangat
besar dan usaha pemanfaatan data yang dikumpulkan oleh
satelit, seperti data inderaja.
2) Untuk bidang roket pengorbit satelit peluang usaha ada
pada penyediaan bahan baku roket yang jumlahnya juga
sangat besar.
3) Berkembangnya usaha-usaha berbasis teknologi tinggi
dalam jumlah yang besar tersebut tidak hanya secara
langsung meningkatkan peluang bekerja (job opportunity),
tetapi juga akan memberikan sumbangan yang sangat
berarti bagi ketahanan nasional dalam bidang sumber daya
manusia (SDM) yang berdaya saing tinggi di pasar global.
p. Ketergantungan akan sistem pemanfaatan antariksa berbasis
satelit yang disediakan oleh negara lain mengakibatkan
ketiadaan jaminan akan kesinambungan penyediaan jasa
pemanfaatan antariksa nasional Indonesia apabila terjadi
perubahan
kebijaksanaan
dan/atau
politik
di
negara
penyedia/pembuat satelit.
q. Kehilangan kesempatan peluang manufaktur produk yang
mempunyai nilai tambah yang tinggi. Penggunaan sistem satelit
untuk pemanfaatan antariksa sudah menjadi standard
Halaman | 44
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
internasional, sehingga penggunaan sistem tersebut akan terus
mengalami peningkatan. Peralatan-peralatan untuk menunjang
aplikasi sistem satelit untuk pemanfaatan antariksa dan biaya
peluncuran satelit juga masih sangat mahal. Oleh karena itu,
impor dan ketergantungan yang terus menerus terhadap produkproduk dan jasa dari luar akan merupakan pengeluaran yang
sangat besar. Selain merupakan kehilangan pangsa pasar dalam
negeri sendiri yang sangat besar, bangsa Indonesia juga akan
kehilangan peluang memanfaatkan pasar dunia yang terus
tumbuh dengan cepat.
73. Penguasaan teknologi keantariksaan termasuk program kegiatan
jangka panjang. Berbagai program keantariksaan negara-negara pada
umumnya digagas untuk perwujudan waktu 10 sampai dengan 25 tahun
yang
akan
datang.
Pada
Umumnya
program
penyelenggaraan
keantariksaan memuat aspek-aspek berikut :
a. Tujuan dan lingkup dari kebijakan-kebijakan penyelenggaraan
keantariksaan;
b. Struktur Organisasi dan strategi untuk penyelenggaraan
keantariksaan;
c. Perencanaan
implementasi
untuk
penyelenggaraan
keantariksaan;
d. Rencana-rencana untuk dasar-dasar pengembangan dan
infrastruktur penting bagi pembangunan penyelenggaraan
keantariksaan;
e. Perencanaan investasi untuk memperoleh sumber daya
keuangan bagi pengembangan keantariksaan;
f.
Rencanakan untuk pelatihan keahlian yang diperlukan bagi
pengembangan keantariksaan;
g. Uraikan singkat kerja sama internasional untuk meningkatkan
pembangunan keantariksaan;
h. Petunjuk untuk meningkatkan proyek-proyek pembangunan
keantariksaan;
i.
Hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan dan manajemen
benda-benda antariksa dalam penyelenggaraan keantariksaan;
j.
Aplikasi-aplikasi praktis yang menggunakan hasil-hasil dari
pengembangan keantariksaan, seperti informasi melalui satelit.
k. Semua uraian di atas harus memperhatikan tujuan
pengembangan
unsur-unsur
kedirgantaraan
sebagaimana
termuat dalam paragraf 45.
74. Berdasarkan uraian pargaraf 68 s.d 73 tersebut di atas, maka
beberapa program utama untuk mendukung penguasaan teknologi
keantariksaan yang dimuat dalam UUK ini dan menjadi prioritas adalah :
a. Penetapan program pembangunan bandar antariksa dalam
waktu 2 tahun sudah beroperasi dan mampu meluncurkan roket
yang membawa satelit sendiri dalam waktu 10 tahun;
Halaman | 45
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
c.
d.
e.
a.
Penguasaan Teknologi Wahana Peluncur Satelit.
Implementasi pembangunan bank data penginderaan jauh
nasional guna perolehan data yang berkesinambungan, akurat
dan tepat waktu. (uraian lebih lanjut disatukan dalam
pemanfaatan teknologi penginderaan jauh).
Pembangunan dan pengembangan satelit untuk kepentingan
pelayanan umum (non-comercial purposes) dan Pembangunan
satelit untuk penelitian dan pengembangan.
Pengembangan teknologi penerbangan berkecepatan tinggi. (STS)
Pembangunan Bandar Antariksa (Spaceport)
75. Bandar Antariksa (spaceport) adalah suatu kawasan yang padanya
terdapat antara lain landasan tempat peluncuran dan reentry serta
landasan pacu, ruang pabrikasi untuk keperluan integrasi, termasuk
sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk proses peluncuran, dan
wahana antariksa yang diluncurkan. Pengertian Bandar antariksa disini
bukanlah merupakan definisi tetapi lebih ditekankan pada kriteria atau
sarana dan prasarana yang harus dimiliki suatu Bandar antariksa.
76. Saat ini terdapat 35 negara yang memiliki fasilitas bandar antariksa.
Bandar antariksa tersebut pada umumnya dimiliki dan dioperasikan oleh
pemerintah49. Beberapa bandar antariksa yang baru muncul ada yang
dioperasikan oleh swasta. Di samping itu, bandar antariksa yang dimiliki
oleh negara-negara ada yang banyak jumlahnya dan ada yang hanya satu
bandar antariksa saja. Gambar 2.1 dan Tabel 2.1 s.d 2.3 berikut ini
memperlihatkan jumlah bandar antariksa yang dimiliki Amerika Serikat, di
wilayah Asia, dan Bandar antariksa di luar Amerika Serikat.
49
Derek Webber, Horses for Courses – Spaceport Types, International Space Development
Conference, ISDC 2005, Washington DC, May 19 -22 2005. Hlm 1.
Halaman | 46
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Gambar : 2.1.
Bandar Antariksa Amerika Serikat yang ada dan direncanakan 50
Tabel 2.1.
Bandar Antariksa Amerika Serikat 51
50
51
Existing and Proposed Spaceport, Part I 2002. Hlm 55.
Ibid. Derek Webber, ISDC 2005, Washington DC, May 19-22 2005. Hlm 4.
Halaman | 47
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.2.
Bandar Antariksa Di Asia52
52
Ibid Derek Weber, 2005, Hlm 5.
Halaman | 48
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.3.
Bandar Antariksa di Luar Amerika Serikat53
77. Biaya pembangunan bandar antariksa tersebut juga beragam. Pada
umumnya biaya tersebut ditentukan sesuai dengan fasilitas sarana dan
prasarana yang dimiliki oleh bandar antariksa tersebut. Sebagai
perbandingan biaya pembangunan bandar antariksa dapat dilihat dalam
53
Ibid Derek Weber, 2005, Hlm 5.
Halaman | 49
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.4. dan jenis fasilitas yang ada di bandar antariksa dalam Tabel
2.5. berikut:
Tabel 2.4.
Biaya Pembangunan Spaceport54
No.
Negara
1.
Amerika
2.
UAE
3.
4.
Nama
Biaya
Spaceport
US $ 225 Juta
Amerika
United Arab
US $ 265 Juta
Emirab Spaceport
Mid Atlantic
Regional
Spaceport
Singapore
US $ 30 Juta in
Upgrade to
existing
spaceport
US $ 115 Juta
Spaceport
Singapore
555. Brazil
Alcantara
Center
Spece
US $ 470 Juta
656. Korea
Selatan
Naro
Center
Space US $ 500 Juta –
1M
Sumber
Pendanaan
New Mexcico
State Goverment
Pemerintah dan
Perusahaan
Swasta
Dukungan
Pemerintah
Virginia dan
Maryland
Pemerintah dan
Perusahaan
Swasta
Pemerintah dan
Perusahaan
Swasta
Pemerintah dan
Perusahaan
Swasta
Greats Expectations, An Assessment of the Potential for Suborbital Transportation,
International Space University, Final Report, Masters 2008, Hlm 65.
55
www.globalsecurity.org/space/world/brazil/alcantara.htm.
56
“Korea Starts Construction for Space Center,” SpaceDaily.com, August 12, 2003,
http://www.spacedaily.com/news/korea-03b.html.
54
Halaman | 50
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.5
Fasilitas yang ada di Bandar Antariksa 57
Ibid. Derek Webber, Horses for Courses – Spaceport Types, International Space
Development Conference, ISDC 2005, Washington DC, May 19-22 2005. Hlm 7.
57
Halaman | 51
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
78. Peluncuran wahana antariksa ditinjau dari lokasi peluncuran
(”launching site”) secara umum dapat dilakukan dengan dua sistem.
Pertama, sistem peluncuran statis, dan kedua, sistem peluncuran
bergerak (dinamis). Pada tahun-tahun awal peluncuran wahana antariksa
(1957) sebagian besar peluncuran satelit dengan menggunakan sistem
pertama (statis). Kelebihan dari sistem peluncuran statis adalah berat roket
maupun muatannya relatif tidak terbatas, namun memerlukan biaya
pembangunan fasilitas yang sangat besar dan waktu persiapan/
pembangunan yang
lebih lama.
Sistem peluncuran dinamis dapat
dilakukan dari darat (land based launching), dari laut/perairan (sea launch),
dan dari udara (air launch). Sea launch dapat dilakukan dari kapal induk,
kapal selam atau satu platform/rig yang terapung di lautan. Sedangkan
sistem peluncuran dari udara (Air launch) dilakukan dari pesawat terbang
yang mengudara pada satu ketinggian di lokasi yang ditentukan sesuai
keperluannya (sesuai orbit yang dituju oleh muatannya).
79. Pada umumnya system peluncuran dinamis dapat dilakukan dari
lokasi yang berpindah-pindah sesuai kebutuhan. Oleh karena itu sistem
peluncuran jenis ini memiliki kekurangan yaitu berat dari roket dan
muatannya akan menjadi terbatas (lebih ringan jika dibandingkan dengan
sistem peluncuran statis), namun dapat lebih menghemat dalam pemakaian
bahan bakar sehingga biaya peluncuran lebih ringan dan lifetime satelit
dapat lebih panjang. Gambar 2.2. adalah proses peluncuran melalui Air
Launch System, Gambar 2.3. peluncuran Sea launch, dan Gambar 2.4.
Bandar Antariksa Kourou, French, Guiana.
Gambar 2.2.
Proses Peluncuran Satelit dengan Air Launch System58
Kresno Putro, “Tinjauan Beberapa Sistem Peluncuran Satelit Dengan Pesawat Udara
(Air Launch Space Transportation System)”, 2008.
58
Halaman | 52
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Gambar 2.3.
Peluncuran Sea Launch System59
Gambar 2.4.
Bandar Antariksa Kourou,
French, Guiana60
80. Pembangunan bandar antariksa merupakan salah satu sarana untuk
mendorong penguasaan teknologi.
Pembangunan bandar antariksa di
samping memberikan manfaat ekonomi seperti halnya pembangunan
bandar udara (airport), juga memberikan dampak positif untuk kepentingan
pertahanan keamanan negara (effect deterrence).
81. Berdasarkan uraian paragraf 27 a (manfaat posisi geografis Indonesia
bagi peluncuran wahana antariksa), paragraf 74, dan paragraf 77 (biaya
dan fasilitas bandar antariksa), maka seandainya Indonesia membangun
bandar antariksa tersebut perlu adanya serangkaian pengaturan terkait
penyelenggaraan bandar antariksa tersebut. Penyelenggaraan bandar
antariksa terkait dengan masalah mulai tahapan pembangunan,
pengoperasian, pemeliharaan serta aspek komersialnya.
82. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam UUK upaya pembangunan
bandar antariksa sedapat mungkin dapat dilakukan dalam (secepat
mungkin/waktu 10 tahun) dan sudah mampu meluncurkan satelit setelah
2 tahun pembangunannya.
b.
Wahana Peluncur Satelit
83. Teknologi wahana peluncur satelit atau dalam UUK disebut wahana
peluncur adalah wahana antariksa yang ditujukan untuk menempatkan,
meluncurkan dan mengantarkan benda antariksa dan benda lainnya di dan
59
60
Ibid. Existing and Proposed Spaceport, Part I 2002. Hlm 62.
Ibid. Existing and Proposed Spaceport, Part I 2002. Hlm 66.
Halaman | 53
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
ke antariksa. Dalam khasanah bahasa Indonesia wahana peluncur ini
disebut dengan istilah roket, misil dan rudal untuk maksud yang sama.
84. Dalam kenyataannya roket ini dapat dikelompokkan ke dalam 3
kelompok yaitu61 :
a. Wahana peluncur satelit seperti Proton, Soyuz (Rusia), Delta,
Atlas, Ares (Amerika Serikat), Ariane (Eropa), Long March (China),
GSLV, PSLV (India), Shavit (Israil).
b. Roket Sonda (untuk tujuan Penelitian) seperti Nike, Super Loki
(Amerika Serikat), Leopard (Inggeris), Rohini (India), Cirrus
(Jerman), Kappa (Jepang), Canopus (Argentina), VS-40 (Brasil),
Zenit (Swis),
c. Roket Senjata, baik yang terkendali dan tidak terkendali. Tidak
terkendali seperti Fajr-3/5 (Iran), Khaibar (Hisbullah), FFAR,
R4M, AIR-2, terkendali (Misil Balistik) seperti Al Samoud 2 (Iraq),
Sekuel SS, Minutemen, LGM-118A Peacekeeper, V-2, ScudA/B/C, No-Dong, Shahab62 .
85. Kemampuan penguasaan teknologi di bidang peroketan mempunyai
arti penting bagi suatu Negara untuk:63
a. Menunjukkan keunggulan dan kemampuan bangsa di mata
dunia.
b. Menguasai teknologi strategis yg bersifat eksklusif dan prestis.
c. Memperkuat format sistem pertahanan negara.
61A.
Darmawan, “Jejak Roket Dunia” Disampaikan dalam: Lokakarya Pengembangan
Kemampuan Nasional di Bidang Peroketan DRN-BPPT, 17 November 2008.
62 Bandingkan dengan Jürgen SCHEFFRAN, “Missiles in conflict: the issue of missiles in all
its complexity”, 2007, yang mengambil sumber dari “Weapons of Mass Destruction
Commission, 2006, Weapons of Terror: Freeing the World of Nuclear, Biological and Chemical
Arms, Stockholm; The Issue of Missiles in All Its Aspects: Report of the Secretary-General,UN
document A/57/229, 23 July 2002” yang memuat berbagai definisi terkait misil yaitu : (i)
Rocket: a vehicle that obtains thrust by the ejection of fast-moving fluid. In military terms
it is a self-propelled weapon without a guidance system (i.e. once fired, it cannot be
redirected). Most rockets have a relatively short range and can carry only small payloads.
(ii) Missile: an unmanned, self-propelled, self-contained, unrecallable, guided or unguided
vehicle designed to deliver a weapon or other payload. (iii) Ballistic missile: a missile
guided during powered flight and unguided during free flight, when the trajectory that it
follows is subject only to the external influences of gravity and atmospheric drag. (iv) Cruise
missile: a manoeuvrable missile that is propelled, usually at low altitudes, to its target by
an air-breathing jet engine that operates throughout the flight. (v) Unmanned aerial
vehicle (UAV): a pilotless aircraft with similar characteristics to a cruise missile; sometimes
called a drone. (vi) Payloads: these can consist of conventional weapons (explosives, cluster
bombs, etc.), or nuclear, biological and chemical weapons. (vii) Launching: missiles can be
launched from land (hand-held or shoulder-fired, mobile erector, truck, train, silo), sea
(ship and submarine), and air. (viii) Ranges are used to classify ballistic missiles: Shortrange ballistic missile (SRBM) = 70–1,000km, Medium-range ballistic missile (MRBM) =
1,000– 3,000km, Intermediate-range ballistic missile (IRBM) = 3,000–5,500km,
Intercontinental ballistic missile (ICBM) = over 5,500km.
63 Ibid. A. Darmawan, 17 November 2008.
Halaman | 54
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
d.
e.
f.
Menjadikan sebuah negara disegani negara lain dan dipandang
bermartabat dalam pergaulan internasional.
Mendorong kemajuan iptek, yang mana selanjutnya bisa
dimanfaatkan untuk mempertinggi kemakmuran bangsa.
Untuk spin-off (misalnya. Dalam pembuatan roket pengorbit
satelit), menghidupkan industri-industri pendukungnya.
86. Berdasarkan uraian paragraf 14 (wahana peluncur sebagai salah satu
sistem keantariksaan), paragraf 29 (teknologi wahana peluncur sebagai
salah satu teknologi guna ganda-dual uses), dan paragraf 84 s.d 85 (sifat
dan jenis teknologi ini), maka penguasaan teknologi wahana peluncur oleh
suatu negara akan diawasi (dikontrol) oleh masyarakat internasional
terutama oleh negara maju yang telah menguasai teknologi tersebut.
Pengontrolan ini dilakukan mulai dari tahapan program (program
planning) sampai kepada pengguna akhir (end users) berdasarkan suatu
regim yang dibentuk oleh kelompok negara tertentu yaitu Missile Technology
Control Regime (MTCR)64. MTCR mewajibkan negara-negara anggotanya
untuk mengatur dalam hukum nasionalnya mengenai pengawasan dan
pengendalian terkait teknologi misil65.
87. Selain MTCR sebagaimana dimuat paragraf 86
juga terdapat
Resolution 1540 (2004) yang disahkan oleh Dewan Keamanan pada sidang
ke 4956, tanggal 28 April 2004. Resolusi ini memuat materi antara lain,
bahwa semua Negara agar mengambil langkah dan penerapan efektif untuk
mengendalikan dan mencegah penyebaran senjata nuklir, kimia dan biologi
serta sistem pengantarnya (dhi. Misil), termasuk material terkait padanya
dalam hal-hal66:
a. Develop and maintain appropriate effective measures to account for
and secure such items in production, use, storage or transport;
b. Develop and maintain appropriate effective physical protection
measures;
Lihat, Missile Technology Control Regime, 1987. Saat ini, keanggotaan regime ini
berkembang menjadi 34 negara anggota yaitu : Distributed by the Bureau of International
Information Programs, U.S. Department of State. 34 negara anggota MTCR dan tahun
masuk menjadi anggota adalah: (1) Argentina - 11/93, (2) Australia - 07/90, (3) Austria 02/91 (4). Belgium - 04/90 (5) Brazil - 10/95 (6) Bulgaria - 06/04 (7). Canada - 04/87 (8)
Czech Republic - 07/98, (9) Denmark - 11/90, (10) Finland - 09/91, (11) France - 04/87,
(12) Germany - 04/87, (13) Greece - 06/92, (14) Hungary - 11/93, (15) Iceland - 02/93, (16)
Ireland - 06/92, (17) Italy - 04/87, (18) Japan - 04/87, (19) Luxembourg - 04/90, (20)
Netherlands - 04/90, (21) New Zealand - 01/91, (22) Norway - 01/91, (23) Poland - 07/98,
(24) Portugal - 05/92, (25) Russia - 08/95, (26) South Africa - 09/95, (27) South Korea 04/01, (28) Spain - 09/89, (29) Sweden - 09/91, (30) Switzerland - 05/92, (31) Turkey 04/97, (32) Ukraine - 07/98, (33) United Kingdom - 04/87, (34) United States - 04/87. Di
samping itu, terdapat 3 negara yang Adherents to the MTCR, yaitu (1) Israel - 01/92, (2)
Romania - 09/92, (3) Slovakia - 01/94.
65 Paragraf 7 Missile Technology Control Regime, 1987
66 Resolution 1540 (2004) yang disahkan oleh Dewan Keamanan pada sidang ke 4956,
tanggal 28 April 2004, para 3.
64
Halaman | 55
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
d.
Develop and maintain appropriate effective border controls and law
enforcement efforts to detect, deter, prevent and combat, including
through international cooperation when necessary, the illicit
trafficking and brokering in such items in accordance with their
national legal authorities and legislation and consistent with
international law;
Establish, develop, review and maintain appropriate effective
national export and trans-shipment controls over such items,
including appropriate laws and regulations to control export,
transit, trans-shipment and re-export and controls on providing
funds and services related to such export and trans-shipment such
as financing, and transporting that would contribute to
proliferation, as well as establishing end-user controls; and
establishing and enforcing appropriate criminal or civil penalties for
violations of such export control laws and regulations;
88. Berbeda halnya dengan penguasaan teknologi satelit yang relatif
mudah diperoleh melalui alih teknologi, penguasaan teknologi roket relatif
sulit. Berbagai perjanjian multilateral seperti Missile Technology Control
Regime (MTCR) dan perundang-undangan nasional pemilik teknologi roket
(Amerika Serikat dengan Shutter Control) telah dirasakan oleh negaranegara berkembang sangat menghambat alih teknologi roket. Adanya
hambatan oleh pemilik teknologi roket dikarenakan adanya keraguan
apabila telah mempunyai kemampuan meluncurkan roket yang mampu
meluncurkan wahana antariksa (satelit dan muatan lain) baik ke LEO
maupun MEO pasti mempunyai kemampuan untuk membuat IRBM, dan
yang mempunyai kemampuan meluncurkan ke GSO pasti mempunyai
kemampuan membuat ICBM. Selain itu, teknologi roket yang di dalamnya
terkandung teknologi misil balistik untuk kepentingan militer, wahana
antariksa (satelit, anjungan dan stasiun) juga dapat digunakan untuk
kepentingan militer. Tabel 2.6. berikut menunjukan beberapa contoh
teknologi keantariksaan yang bersifat guna ganda (dual uses).
Halaman | 56
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.667
Beberapa Contoh Teknologi Keantariksaan
yang bersifat guna ganda (dual uses)
89. Di lihat dari sisi Indonesia, berdasarkan paragraf 31 butir b. 1) dan 2)
(perjanjian regional dan bilateral yang telah ditandatangani Indonesia dan
salah satu di antaranya telah diratifikasi), beberapa perjanjian tersebut
mensyaratkan agar Indonesia membuat pengaturan nasional tentang
pengendalian ekspor terkait teknologi keantariksaan68.
90. Dalam pengaturan nasional tersebut, hendaknya pemerintah mampu
menjamin pengawasan dan pengendalian terhadap teknologi keantariksaan
terutama aspek keamanannya untuk tidak jatuh ketangan pihak-pihak
yang tidak bertanggung jawab, yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk
ancaman sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.5. berikut 69:
67
Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, Project on The
Commercialisation of Space and the Development of Space Infrastructure: The Role of
Public and Private Actors, 7th May 2004, hlm 22.
68 Pasal 23 Convention of the Asia-Pacific Space Cooperation Organization, dan Pasal 13
Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the
Russian Federation on Cooperation in the Field of Exploration and Use of Outer Space for
Peaceful Purposes, ditandatangani 1 Desember 2006.
69 Report Independent Working Group on Missile Defense, the Space Relationship, & the
Twenty-First Century, The Institute for Foreign Policy Analysis, 2009.
Halaman | 57
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Gambar 2.5.
Bentuk Ancaman Teknologi Antariksa
91. Di samping itu, sehubungan dengan pengawasan dan pengendalian
yang sangat ketat dari negara-negara maju terkait masalah teknologi ini,
maka pada umumnya negara-negara yang ingin menguasai dan
memperoleh teknologi ini, banyak mengupayakan perolehannya melalui
pasar gelap (black market). Sehubungan dengan hal ini, maka sistem
pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan di Indonesia70 dapat
menghambat perolehan teknologi ini.
92. Berdasarkan paragraf 77 s.d 85 dan dengan memperhatikan Pasal 8
Undang-Undang 10 tahun 2004 71 (materi muatan peraturan perundangundangan terkait masalah keamanan dan wilayah negara), serta untuk
mengamankan kepentingan Indonesia, maka khusus materi mengenai
masalah ini dalam UUK diamanatkan untuk diatur dengan Undang-Undang
tersendiri yaitu Undang-Undang Tentang Pengawasan dan Pengendalian
Lintas Batas Teknologi Antariksa.
c.
Satelit untuk kepentingan Umum
93. Di ruas antariksa, juga terdapat wahana antariksa yang disebut
satelit yang ditempatkan di orbit sekeliling bumi. Sebagaimana telah
Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan
Jasa.
71 Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 menyatakan : Materi muatan yang harus
diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang: a. mengatur lebih lanjut ketentuan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak-hak
asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan
kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan
pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara,
b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang.
70
Halaman | 58
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
disampaikan sepintas di atas bahwa fungsi satelit adalah sebagai pembawa
muatan peralatan yang disesuaikan dengan misi dari satelit tersebut .
Beberapa misi satelit yang telah banyak dimanfaatkan saat ini adalah
untuk kepentingan telekomunikasi, penyiaran, penginderaan jauh,
meteorologi, satelit mata-mata, navigasi dan penelitian, bahkan untuk
kepentingan militer lainnya seperti perang antar satelit atau satelit
penghancur. Secara garis besar sistem satelit terdiri dari beberapa bagian
yaitu:
a.
Sub-sistem struktur dan mekanisme
b.
Sub-sistem daya
c.
Sub-sistem stabilisasi dan
kontrol orbit
d.
Sub-sistem Tracking, telemetry & command (TT& C)
e.
Sub-sistem Propulsi
f.
Sub-sistem Thermal Control
g.
Sub-sistem Radio Frekuensi dan Antenna.
94. Beberapa contoh satelit yang dikenal dan telah beroperasi selama ini,
antara lain :
a. Satelit Palapa milik Indonesia
b. Satelit Intelsat, yang dioperasikan secara internasional oleh
Intelsat International.
c. Satelit Inmarsat, yang dioperasikan juga secara internasional
untuk kepentingan navigasi dan telekomunikasi maritim .
d. Satelit “Thaicom” milik Thailand (Muangthai)
e. Satelit “Measat” milik Malaysia
f.
Satelit “Aussat” milik Australia
g. Satelit “Arabsat” milik negara negara Arab
h. Satelit “PanAmSat” milik Amerika Serikat
j.
Satelit “Westar” milik Kanada
k. Satelit “Kopernicus” milik Jerman
l.
Satelit “Stasioner” milik Federasi Rusia
m. Satelit “China Sat” milik RRC
n. Satelit “Yuri” milik Jepang.
95. Selain satelit-satelit tersebut di atas masih banyak satelit-satelit
lainnya yang telah dan masih beroperasi di orbitnya masing-masing, baik
yang berada pada orbit rendah (Low Earth Orbit), orbit menengah (Medium
Earth Orbit)/ICO dan orbit geo-stasioner (Geo Stationary Earth Orbit-GEO).
96. Sebagaimana bidang-bidang lainnya, hasil kegiatan keantariksaan
telah memberikan kontribusi yang besar dalam dunia pendidikan. Hal ini
juga tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini semua negara dalam
melakukan kegiatan pendidikan tidak bisa terlepas dari hasil kegiatan
keantariksaan. Di Indonesia pemanfaatan teknologi antariksa telah
digunakan untuk Sistem Pembelajaran Jarak Jauh yang dilakukan oleh
Departemen Pendidikan Nasional melalui Universitas Terbuka.
Halaman | 59
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
97. Pada saat ini, pemanfaatan teknologi antariksa melalui penggunaan
VSAT (Very Small Aperture Terminal) telah dapat dilakukan kegiatankegiatan terkait dengan pendidikan antara lain korespondensi ilmiah jarak
jauh, update teknologi, belajar jarak jauh, akses jarak jauh ke
perpustakaan, video conference, dan data broadcast.
98. Di samping itu, kegiatan keantariksaan dalam bidang pelayanan
kesehatan pada saat ini dikenal dengan istilah telehealth atau telemedicine
(pelayanan kesehatan atau pengobatan jarak jauh). Di negara-negara yang
teknologi antariksa sudah maju telah memanfaatkan teknologi ini untuk
pelayanan kesehatan. Teknologi antariksa, seperti teknologi satelit
komunikasi yang dapat menjangkau daerah yang luas sampai ke pelosokpelosok daerah dapat diubah data digitalnya untuk akses pelayanan medis,
pelatihan dokter, perawat, dan pelayanan kesehatan.
99. Beberapa contoh negara yang telah memanfaatkan teknologi
antariksa untuk pelayanan kesehatan antara lain adalah India, Jepang, dan
Tailand. India dalam hal ini Indian Space Research Organization (ISRO),
memulai proyek teknologi antariksa untuk pelayanan kesehatan pada
tahun 2001. Pembangunan proyek di lakukan di rumah-rumah sakit yang
berada di daerah terpencil yang sukar dijangkau dengan cepat, antara lain
seperti di daerah pantai Pulau Andaman, Nocobar, dan Lakshadweep,
daerah pegunungan Jamnu & Kashmir. Dari kegiatan ini, lebih dari 12.500
pasien telah dapat melakukan telekonsultasi kesehatan tanpa harus pergi
ke dokter atau rumah sakit yang ada di kota. Di Jepang teknologi antariksa
untuk pelayanan kesehatan juga diterapkan untuk daerah-daerah terpencil.
Pelayanan kesehatan yang dilakukan antara lain adalah teleradiologi,
telekonsultasi, dan telepathologi. Sedangkan di Thailand, karena banyak
dokter spesialis yang tidak suka mengembangkan prakteknya di pedesaan,
maka pemerintah Thailand memanfaatkan teknologi antariksa dengan
menggunakan satelit Thaicom-1 untuk pelayanan kesehatan antara lain
adalah untuk konsultasi medis, video conference, konsultasi store &
forward.
100. Indonesia yang mempunyai wilayah cukup luas dan sulit dijangkau,
masih banyak daerah-daerah yang tidak memiliki paramedis dan fasilitas
pelayanan kesehatan yang cukup. Dengan menilik pengalaman-pengalaman
yang dilakukan oleh India, Jepang, Thailand atau negara-negara maju
lainnya, pemanfaatan teknologi antariksa khususnya teknologi satelit
komunikasi sangat bermanfaat bagi pelayanan kesehatan
101. Sehubungan dengan paragraf 94 s.d 98, satelit untuk kepentingan
pemanfaatan telekomunikasi dan penyiaran telah dioperasikan oleh pihak
swasta. Oleh karena itu dalam UUK satelit yang akan disiapkan dan
dioperasikan oleh LAPAN adalah satelit untuk pelayanan kepentingan
umum, seperti untuk pendidikan jarak jauh (tele-education) dan kesehatan
Halaman | 60
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
jarak jauh (tele-health) serta untuk melayani kebutuhan militer, karena
satelit jenis ini tidak diminati oleh pihak swasta.
d.
Sistem Transportasi Antariksa
102. Sistem transportasi antariksa dibagi dalam 2 (dua) bentuk yaitu (i)
sistem satu jalur tak berawak (unmanned one-way systems) lebih dikenal
dengan Expendable Launch Vehicles (ELV) dan (ii) sistem dua jalur yang
dapat digunakan kembali baik berawak maupun tak berawak (two-way
reusable manned or unmanned systems) lebih dikenal dengan Reuseable
Launch Vehicles (RLV)72. Kedua system tersebut mempunyai persyaratan,
sifat dan jenis teknologi yang berbeda. Beberapa contoh jenis ELV adalah
Ariane-5 (Eropa), Delta-4, Atlas-5 (Amerika Serikat), Proton dan Soyuz
(Federasi Rusia), Zenit (Ukraina), H2A (Jepang), PSLV dan GSLV (India), dan
Long March (China). RLV terdiri dari 3 jenis yaitu (i) Non-reusable
recoverable orbital systems. (ii) Reusable (partly or totally) recoverable orbital
systems dan (iii) Suborbital reusable systems 73. Beberapa contoh RLV
adalah Columbia, Challenger, Discovery dan Atlantis. Challenger telah
meledak ketika proses peluncuran pada tahun 1986, dan akhirnya dibuat
Endeavour sebagai penggantinya. Sedangkan Columbia meledak ketika
proses memasuki atmosfer bumi pada tahun 2003 74.
Jenis sistem
transportasi antariksa ELV dan RLV sebagaimana terlihat dalam Gambar
2.6 dan 2.7.
Gambar 2.7
Gambar 2.6
Sistem
Transportasi
Antariksa RLV
Sistem Transportasi Antariksa ELV
(Jenis Space Shuttle)
(Jenis Roket)
72
73
74
OECD, Space 2030, Exploring The Future of Space Applications, 2004, hlm 144.
Ibid. OECD, Space 2030, Exploring The Future of Space Applications, 2004, hlm 144
www.nasa. gov
Halaman | 61
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
103. Jenis transportasi yang RLV (space shuttle) dapat diluncurkan dengan
dua cara, yaitu: (i) dengan roket pendorong, dan (ii) dengan diangkut oleh
suatu pesawat berbadan besar seperti Boeing 747. Setelah pisah dengan
roket pendorong atau pesawat yang mengangkutnya, Space Shuttle memiliki
sifat seperti pesawat udara, yaitu dapat terbang di udara dan apabila akan
mendarat dimungkinkan dapat melintas di atas wilayah udara suatu
negara. Gambar 2.8 menunjukkan profil dari suatu misi Space Shuttle
yang diluncurkan menggunakan roket pendorong, Gambar 2.9 Space
Shuttle yang diluncurkan menggunakan pesawat udara dan Gambar 2.10
Space Shuttle Atlantis Sedang Terbang Menurun Untuk Pendaratan.
Gambar 2.8
Profil Misi Space Shuttle75
Gambar 2.9:
Space Shuttle Atlantis Diluncurkan
Dengan Pesawat Boeing 747
75
Gambar 2.10:
Space Shuttle Atlantis Sedang
Terbang Menurun Untuk Pendaratan
“Space Shutlle”, 2010 (last modified), http://en.wikipedia.org/wiki/Space_Shuttle.
Halaman | 62
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
104. Sistem transportasi antariksa baik jenis ELV maupun RLV masingmasing memiliki kemampuan daya angkut yang berbeda. Daya angkut ini
dikelompokkan ke dalam empat kelas, yaitu: (i) kelas peluncur berat (Heavy
Lift Launch Vehicles = HLLV), (ii) kelas peluncur besar (Large Launch
Vehicles = LLV), (iii) kelas peluncur menengah (Medium Launch Vehicles =
MLV), dan (iv) kelas peluncur kecil (Small Launch Vehicles = SLV). Dalam
Tabel-1 ditunjukkan klasifikasi kemampuan daya angkut masing-masing
kelas ke Low Earth Orbit (LEO) dan Geosynchronous Transfer Orbit (GTO).
Tabel 2.7.
Kemampuan Sistem Transportasi
Kelas
HLLV
LLV
MLV
SLV
Kemampuan (kg)
LEO
GTO
> 10.000
> 5.000
5.000 –
2.000 –
10.000
5.000
2.000 –
1.000 - 2000
5.000
< 2.000
< 1.000
105. Sistem transportasi antariksa yang diklasifikasikan ke dalam
peluncur berat adalah Ariane-5, Proton D1e/D1, Titan III, Titan IV, Zenit,
Zenit Sealaunch, dan Space Shuttle. Kelas peluncur besar adalah Ariane
44L, Atlas II AS, Long March LM-2E, Long March LM-3A, H-II, dan GSLV.
Kelas peluncur menengah adalah DELTA-II 6925, DELTA-II 7925, LMLV,
Long March LM-3, PSLV, Tsyklon, dan Molniya. Sedangkan kelas peluncur
kecil adalah ASLV, SLV-3, Start, Taurus, Cosmos, Rockot, Athena-1,
Athena-2, OSP, Pegasus-XL, dan Conestoga.
106. Sehubungan dengan RLV, pada saat pembahasan masalah Definisi
dan Delimitasi Antariksa, terdapat usulan Federasi Rusia mengenai ”legal
aspect of aerospace object”.
Sunguhpun belum terdapat kesepakatan
tentang definisi Aerospace object, namun telah ada kesepahaman bahwa
Aerospace object merupakan benda antariksa buatan manusia yang mampu
meluncur seperti roket dan terbang bermanuver seperti pesawat udara.
Beberapa jenis aerospace object yang akan dikembangkan oleh negaranegara dimasa depan adalah Hermes (ESA), Hotol (Inggeris), Hope (Jepang),
Sanger (Jerman) dan NASP (Amerika Serikat), yang semuanya dalam proses
perencanaan dan ada yang karena masalah keuangan dibatalkan.
107. Berbeda dengan maksud uraian paragraf 102-103 (wahana peluncur
satelit yang hanya tergolong ELV), pada bagian ini lebih difokuskan pada
RLV dengan bentuk perkembangan masa depan (konvergensi) sebagaimana
tersebut dalam paragraf 100.
Halaman | 63
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
108. Dengan asumsi bahwa aerospace object menggunakan teknologi yang
bersifat RLV yang telah dikonvergensi sehingga juga mampu bergerak
seperti pesawat udara yang berkecepatan tinggi, maka sehubungan dengan
ini UUK merekomendasikan agar Indonesia perlu mengupayakan
penguasaan teknologi penerbangan berkecepatan tinggi (di atas 6 mach)
yang bertujuan untuk melengkapi cikal bakal penguasaan teknologi
aerospace obeject dimaksud. Rumusan dalam UUK tersebut juga sekaligus
merupakan antisipasi pengaturan tindak lanjut dari aerospace obeject
dimasa datang.
e.
Penjalaran (Spin-off) Teknologi Keantariksaan
109. Berdasarkan data NASA, spin-off adalah suatu teknologi yang telah
dikomersialisasikan melalui pendanaan, penelitian, lisensi, fasilitas, atau
bantuan NASA76.
110. Saat ini, Spin-offs aplikasi teknologi keantariksaan telah
menghasilkan sejumlah produk untuk berbagai sektor, yaitu: human
resource development, environmental
monitoring, natural resource
management, public health, medicine and public safety, telecommunications,
computers and information technology, industrial productivity and
manufacturing technology and transportation Secara lengkap sejumlah
indikator spin-offs dari aplikasi teknologi keantariksaan dapat dilihat pada
Tabel 2.8. dibawah ini77 .
Tabel 2.8
Some examples of space technology spin-offs
1
Environment
2
Health care
-
Hazardous gas detectors
Pollution-control devices
Wind generators
Sewage-treatment systems
Image-processing software
Oil spill clean-up
Patient-monitoring systems
Portable X-ray equipment
Physical therapy equipment
Invisible dental braces
New pharmaceuticals
Scratch-resistant lenses
A NASA spin-off is a technology that has been commercialized through NASA funding,
research, licensing, facilities, or assistance. NASA also publishes an annual journal titled
Spinoff which features products whose development can be linked to NASA, for example
through NASA funding (such as SBIR or STTR awards), licensing (from NASA patents),
facilities (such as product testing at NASA facilities), NASA assistance (such as former NASA
scientists helping to design a product), or NASA research.
77 Commercial Aspects of Space Exploration, including Spin-off
Benefits, UNISPACE III
Background Paper 7, A/CONF.184/BP/7, 27 May 1998
76
Halaman | 64
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
3
Industrial productivity
4
Public safety
5
Transportation
6
Computer technology
7
Advanced materials
8
Construction
9
Consumer and home
products
-
Cable testers
Laser technologies
Wood-bond testing
Inspection tools
Industrial robotics
Industrial control systems
Fire-fighting systems
Cathode-ray tube filter lenses
Radiation blocking
Noise-reduction technology
Traffic-monitoring systems
Aircraft de-icing systems
Car airbags
Car anti-lock braking systems
Electromagnetic compatibility test
facilities
Expert system software
Software management systems
Data-acquisition systems
Error-free software
Image-compression devices
Composite materials
Dry lubricants
Teflon and non-stick coatings
High-temperature coatings
Metal coatings
Plasma-heating devices
Energy-efficient coatings
Accurate surveying
Computer-aided
design/manufacturing
enhancements
Lightweight structures
Analysis software
Piping connectors
Redundancy flashlight systems
Art preservation
Velcro fasteners
Cordless tools
Tang orange drink
Water filters
111. Khusus NASA, telah menginformasikan bahwa terdapat 24 produk
NASA yang merupakan spin-off teknologi keantariksaan yaitu 78:
a. Bidang kesehatan dan obat-obatan yaitu (1) Light-emitting diodes
(LEDs), (2) Infrared ear thermometers (3) Ventricular assist device,
dan (4) Artificial limbs;
78
NASA technology spin-off.
Halaman | 65
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Bidang Transportasi yaitu (5) Aircraft anti-icing systems, (6)
Highway safety, (7) Improved radial tires, dan (8) Chemical
detection.
Keselamatan umum yaitu (9) Video enhancing and analysis
systems, (10) Fire-resistant reinforcement, dan (11) Firefighting
equipment.
Consumer, home, and recreation yaitu (12) Tempur foam, (13)
Enriched baby food (14) Portable cordless vacuums, dan (15)
Freeze drying.
Environmental and agricultural resources yaitu (16) Water
purification, (17) Solar energy, dan (18) Pollution remediation.
Computer technology yaitu (19) Virtual reality research, (20)
Structural analysis software, dan (21) Remotely controlled ovens.
Industrial productivity yaitu (22) Powdered lubricants, (23)
Improved mine safety, dan (24) Food safety.
112. Berdasarkan perkembangan tersebut di atas, untuk masa yang akan
datang akan banyak berkembang spin-off teknologi keantariksaan dan
kegiatan lain yang dibantu oleh teknologi keantariksaan. Oleh karena itu,
dalam UUK perlu diamanatkan bahwa masalah spin-off teknologi
keantariksaan perlu diatur kemudian.
3.
Peluncuran Wahana Antariksa
113. Sehubungan dengan uraian paragraf 69-76 (Pembangunan lokasi
untuk Bandar antariksa) dan paragraf 77-86 (Teknologi Wahana Peluncur
Satelit), paragraf 96-102, (Sistem Transportasi Antariksa masa depan),
maka semua kegiatan yang dilakukan terkait ketiga hal tersebut dapat
dilakukan di luar negeri, di dalam negeri dan dalam bentuk uji coba
peluncuran.
114. Mengingat uraian sebagaimana dimaksud paragraph 113 di atas, dan
sesuai dengan Pasal VI Traktat Antariksa 1967, maka semua kegiatan
tersebut menjadi “tanggung jawab Negara secara internasional”. Di samping
itu, mengingat kharakteristik dan sifat penyelenggaraan keantariksaan yang
berisiko tinggi maka semua penyelenggaraannya harus memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu sebagai berikut :
a. keamanan dan keselamatan;
b. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. sumber daya manusia keantariksaan yang profesional;
d. manfaat, efektivitas dan efisiensi;
e. keandalan sarana dan prarana keantariksaan;
f.
perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan;
g. ketentuan nasional yang berlaku dan perjanjian internasional
dimana Indonesia menjadi Pihak.
Halaman | 66
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
115. Sehubungan dengan pemenuhan persyaratan tersebut, maka dalam
UUK diamanatkan agar semua penyelenggaraan keantariksaan khususnya
peluncuran wahana antariksa wajib memperoleh ijin Menteri. Khusus
dalam hal uji coba, yang bertujuan untuk pengembangan penguasaan
teknologi keantariksaan maka pelaksanaannya dilakukan untuk dan atas
nama pemerintah RI (dhi. LAPAN).
4.
Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan
116. Saat ini telah terdapat berbagai bentuk pemanfaatan teknologi
antariksa untuk berbagai keperluan yaitu : Telekomunikasi, Penyiaran,
Penginderaan Jauh, Mitigasi Bencana, Geoposisi dan Navigasi,
Komersialisasi Keantariksaan.
a.
Telekomunikasi
117. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau
penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat,
tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau
sistem elektromagnetik lainnya79.
118. Dewasa ini telah terdapat berbagai bentuk
penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan
sebagaimana dimuat dalam Tabel 2.9.
pengembangan
telekomunikasi
Tabel 2.9.
Bentuk Aplikasi Pemanfaatan Telekomunikasi80
119. Pemanfaatan keantariksaan untuk kepentingan telekomunikasi telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi. Undang-Undang ini telah mempunyai serangkaian
peraturan pelaksanaan antara lain sebagai berikut :
79
80
Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi.
Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, 7th May 2004, hlm 25.
Halaman | 67
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang
Penggunaan Orbit dan Spektrum Frekuensi Radio.
Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang
Penyelenggaraan Telekomunikasi.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : Km. 31 Tahun 2003
Tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia.
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 37
Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri
Komunikasi Dan Informatika Nomor : 13/P/M.Kominfo/8/2005
Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan
Satelit.
Peraturan Direktur Jenderal Pos Dan Telekomunikasi Nomor :
357/Dirjen/2006 Tentang Penerbitan Izin Stasiun Radio Untuk
Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan Satelit.
Keputusan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 01/
Kep/ M.Kominfo/ 1/2006 Tentang Penetapan Anggota Komite
Regulasi
Telekomunikasi
(KRT)
Pada
Badan
Regulasi
Telekomunikasi Indonesia (BRTI).
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor : 02/Per/M.Kominfo/3/2008 Tentang Pedoman
Pembangunan
Dan
Penggunaan
Menara
Bersama
Telekomunikasi.
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor: 22/P/M.Kominfo/4/2007 Tentang Perubahan
Kedua Atas Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika
Nomor : 08/P/M.Kominfo/3/2007 Tentang Tata Cara Perizinan
Dan Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta.
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 36/Per/
M.Kominfo/10 /2008 Tentang Penetapan Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia.
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika
Nomor: 31/PermenKominfo/I/81/2009 Tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor; 361
Perkominfo No 01/2008 Tentang Penetapan Badan Regulasi
Telekomunikasi Indonesia.
120. Sehubungan dengan uraian paragraph 118 dan 119 di atas, maka
UUK tidak akan mengatur pemanfaatan antariksa untuk kepentingan
telekomunikasi ini. Oleh karena itu, UUK hanya mengamanatkan bahwa
Halaman | 68
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan telekomunikasi diatur
oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Penyiaran
121. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana
pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa
dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel,
dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan
bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran81.
122. Penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan penyiaran telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Di
samping itu, Undang-Undang ini juga merupakan dasar utama bagi
pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah
pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola
oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal
maupun kepentingan kekuasaan. Apabila ditelaah secara mendalam,
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua
semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari
berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan
digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah
semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah
dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan.
123. Saat ini, telah terdapat serangkai peraturan pelaksanaan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 antara lain :
a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005
Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik.
b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2005
Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran
Komunitas.
c. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 3/P/KPI/08/2006
Tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
d. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 3/P/KPI/08/2006
Tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran.
e. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik
Indonesia Nomor: 28 /P/M.Kominfo/09/2008 Tentang Tata Cara
Dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran.
f.
Peraturan
Komisi
Penyiaran
Indonesia
Nomor
01/P/KPI/05/2009 Tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran
Indonesia
124. Secara internasional terdapat resolusi Majelis Umum yang mengatur
masalah penyiaran yaitu UNGA Resolution mengenai Principles Governing
81
Pasal 1 angka 2, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran.
Halaman | 69
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
the Use by States of Artificial Earth Satellites for International Direct
Television Broadcasting, dikenal dengan Prinsip-prinsip hukum Siaran
Langsung Melalui Satelit. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya
meliputi:
a. maksud dan tujuan;
b. berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional;
c. hak-hak dan manfaat;
d. kerjasama internasional;
e. penyelesaian sengketa secara damai;
f.
tanggung jawab Negara;
g. hak dan kewajiban untuk berkonsultasi;
h. hak cipta dan hak-hak yang terkait;
i.
pemberitahuan kepada PBB;
j.
konsultasi dan persetujuan antar Negara;
125. Sungguhpun saat ini telah terdapat aturan internasional mengenai
penyiaran namun ketentuan tersebut belum berlaku sebagai hukum positif.
Oleh karena itu, mengingat bahwa masalah penyiaran sudah diatur dalam
peraturan perundang-undangan nasional, maka dalam UUK masalah ini
tidak diatur tetapi hanya diamanatkan bahwa penyelenggaraan
keantariksaan untuk kepentingan penyiaran diatur sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c.
Penginderaan Jauh
126. Pada awal kehadirannya teknologi Inderaja Satelit diperuntukkan
bagi kegiatan dan operasi militer. Namun dalam tahap-tahap
perkembangan selanjutnya pemanfaatannya lebih banyak diarahkan
kepada kepentingan pembangunan di segala bidang. Kemajuan yang
dicapai dalam teknologi Inderaja ini telah mampu menyajikan macammacam data atau informasi spasial yang semakin akurat. Bahkan informasi
produk Inderaja tersebut tidak saja mengenai segala sesuatu yang ada di
muka bumi, melainkan juga potensi sumber daya tambang yang ada
diperut bumi dan kedalaman laut. Hingga saat ini teknologi Inderaja telah
mengalami beberapa tahap perkembangan. Berawal dari pengamatan jarak
dekat melalui wahana helikopter, kemudian dengan pesawat terbang sayap
tetap, selanjutnya dengan balon udara dan sekarang dengan wahana satelit
yang mengorbit pada ketinggian ratusan hingga ribuan kilometer dari
permukaan bumi, yang jumlahnya semakin bertambah, demikian juga
kemampuannya.
127. Teknologi penginderaan jauh ini mempunyai beberapa kelebihan
antara lain:
a. Pemanfaatannya telah dapat menyajikan informasi geografi dari
suatu liputan wilayah yang luas dalam waktu relatif singkat.
Halaman | 70
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
c.
d.
e.
Telah terjalin kerjasama dengan semua pemilik satelit dan
mendapat beberapa kemudahan seperti pinjaman alat, bantuan
teknologi dan lain-lain.
Dengan teknologi ini pemutakhiran data dapat dilakukan secara
periodik dengan siklus waktu yang singkat bahkan setiap saat
biIamana diperlukan.
Kemajuan teknologi Inderaja yang dapat diintegrasikan dengan
teknologi informasi dan komputer sehingga memungkinkan
pemanfaatannya dalam bidang-bidang yang semakin luas.
Kemajuannya yang pesat di bidang resolusi spasial, dimana
sekarang telah mencapai kurang dari 1 meter memungkinkan
kedepan citra satelit digunakan sebagai bahan pembuatan peta
topografi dan peta tematik skala besar. Saat ini rekaman citra
satelit telah dapat mengidentifikasi benda dengan ukuran 1 x 1
m (contoh : Citra Satelit Ikonos-2). (ketika resolusi spasial citra
satelit sudah mencapai < 1 m).
128. Pada saat ini di dunia telah ada beberapa satelit Inderaja. Beberapa
diantaranya telah dan akan dimanfaatkan Indonesia, yaitu :
a. Landsat milik USA. Landsat sampai saat ini telah sampai pada
generasi ketujuh sesuai dengan kemampuan resolusinya
dibedakan atas tipe MSS (Multi Spectral Scanner) yang beresolusi
80 m dan tipe TM (Thematic Mapper) yang beresolusi 30 m (pada
landsat-5 dan Landsat-7). Landsat adalah pengembangan dari
ERTS (Earth Resources Technology Satellite).
b. Satelit SPOT. Satelit SPOT milik Perancis yang diluncurkan
tahun 1986 dan beredar pada ketinggian 830 km cakupan ulang
pada daerah yang sama setiap 16 hari, SPOT memiliki dua
sensor (HRV1 dan HRV2). Kamampuan lebar cakupan 60-80 km.
c. Satelit Radar SAR (Synthetic Aperture Radar). atau Radarsar
adalah milik Kanada (Canadian Space Agency), pengoperasiannya
dikontrol dari stasiun bumi yang ada di Prince Albert,
Saskatchevan. Quebec. Kelebihan satelit dengan sensor SAR
dapat menembus awan dan kegelapan malam serta mampu
menampilkan data stereoskopis, pengulangan orbit setiap 24
hari.
d. Satelit ERS (Earth Resources Satellite. Satelit ini dibangun dan
dikembangkan oleh ESA (European Space Agency). Terdiri dari
ERS-1 dan ERS-2, merupakan satelit sumberdaya alam.
Keduanya mengorbit pada trek orbit yang sama, yaitu orbit polar
yang membawa sensor SAR sehingga memiliki kemampuan
seperti Radarsat82.
e. Advanced Land Observing Satellite (ALOS), atau dalam bahasa
Jepang disebut Daichi, adalah satelit yang diluncurkan oleh
Japan Aerospace Exploration Agency pada 24 Januari 2006.
82
Sitanggang, G., 1998
Halaman | 71
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Daichi ini memiliki ukuran panjang 4,5 m x lebar 3,5 m x tinggi
6,5 m, dengan massa sekitar 4 ton. Dengan ukuran tersebut,
satelit ini merupakan salah satu satelit terbesar di antara Land
Observing Satellites. ALOS memiliki tiga instrumen sensor utama.
Pertama, PRISM, yaitu sebuah panchromatic radiometer dengan
resolusi spasial bertujuan memperoleh data termasuk mengenai
elevasi. Kedua adalah AVNIR-2, sensor ini dapat terlihat dan
merupakan near-infrared radiometer, berfungsi untuk mengamati
daratan dan zona pantai, serta memberikan resolusi spasial yang
lebih baik. Ketiga yakni PALSAR, adalah tipe bentuk susunan Lband Synthetic Aperture Radar, yang merupakan sensor
microwave aktif untuk observasi di hari cerah, siang hari, dan
malam hari.
129. Di samping itu, dalam sidang-sidang UNCOPUOS terdapat informasi
tentang perkembangan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sebagai
berikut83:
a. Adanya peningkatan sejumlah sensor berbasis antariksa yang
ada dan yang direncanakan untuk masa datang, seperti sensor
yang dibawa oleh satelit seperti ADEOS-II (MIDORI-II), ALOS,
Aqua, Aquarius/SAC-D, CALIPSO, CARTOSAT-1, CBERS-2B,
CBERS-3,CBERS-4, COMS, EOS, Envisat, GCOM, GOES, IRS1C, IRS-1D, IRS-P3, Jason 2, KOMPSAT-2, KOMPSAT-3,
Landsat-5, Landsat-7, Metop, NPOESS, NigeriaSat-1, NigeriaSat2, OCEANSAT-1, OCEANSAT-3, Odin, PARASOL, RADARSAT,
RESOURCESAT-1, SPOT, SSR, Terra, TS, TRMM, dll;
b. Sejumlah proyek-proyek internasional di bidang pemanfaatan
teknologi satelit telah berlangsung dan ditujukan untuk
mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti program
ALTIKA, EOPA (the Earth Observation Partnership of the Americas,
TIGER (the ESA Terrestrial Initiative of Global Environmental
Research, Sentinel-Asia, CBERS (kerja sama China dan Brazil);
c. Terdapat tiga negara di ASIA yang sangat maju dalam
pengembangan
teknologi
antariksa
(termasuk
teknologi
penginderaan jauh) yaitu: Jepang (APRSAF); China (APSCO);India
(Bilateral);
d. Amerika merencanakan meluncurkan Landsat-8 (skala s/d 1:
50.000) for free; Resolusi tinggi: Ikonos, Quickbird, Geo Eye
urusan swasta.
e. Eropa: pemerintah menyerahkan pengelolaan satelit resolusi
tinggi (SPOT 6 dst) ke swasta. Pemerintah hanya mengelola
satelit resolusi rendah dan menengah seperti Envisat, dll.
130. Khusus Negara-negara Asean terdapat perkembangan pemanfaatan
satelit penginderaan jauh sebagai berikut:
83
Laporan Delri Ke Sidang UNCOPUOS 2007-2009.
Halaman | 72
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
a.
b.
c.
d.
Tahun 2007 Indonesia (LAPAN), meluncurkan LAPAN-TUB SAT,
satelit mikro (orbit polar) yang membawa sensor video
survaillance dengan resolusi spasial 5 dan 200 m;
Tahun 2008, Thailand sudah meluncurkan THEOS, satelit mini
(orbit polar) sejenis SPOT;
Singapura akan meluncurkan X-SAT (orbit polar) ;
Malaysia akan meluncurkan RAZAK SAT (equatorial orbit);
131. Saat ini telah terdapat sejumlah stasiun bumi penginderaan jauh
antara lain adalah Prince Albert (Canada), Fair Bank (Alaska, USA),
Goldstone (California, USA), Curoba (Brazil), Chiquita (Argentina), Kiruna
(Swedia), Fucino (ltalia), Yohannes burg (Afrika Selatan), Hiderabad (India),
Bangkok (Thailand), Alice Spring (Australia), Singapura, Pare-pare
(Indonesia), Taiwan, dan Malaysia.
132. Dari sisi regulasi internasional, saat ini telah ada The Principles
Relating to Remote Sensing of the Earth from Space, 1986 yang disahkan
berdasarkan Resolusi MU PBB, Nomor 41/65, 3 Desember 1986. Beberapa
prinsip yang terdapat dalam resolusi Majelis Umum PBB ini adalah :
a. Beberapa pengertian peristilahan yaitu :
1) Penginderaan Jauh (Remote sensing) adalah penginderaan
permukaan bumi dari antariksa dengan menggunakan
peralatan emisi gelombang elektromagnetik, refleksi, difraksi
untuk tujuan meningkatkan manajemen sumber daya alam,
penggunaan tanah dan perlindungan lingkungan.
2) Data primer adalah data mentah hasil sensor perlatan
pengindera yang ditansmisikan, atau diturunkan secara
telemetri ke bumi dari antariksa dalam bentuk sinyal
elektromagnetik, film fotografi, pita magnetik atau bentuk
alain apappun.
3) Data terproses adalah hasil produk dari pemrosesan data
primer, sehingga menjadi data yang dapat digunakan.
4) Informasi teranalisis adalah informasi sebagai hasil dari
interpretasi
data
terproses,
data
masukan,
atau
pengetahuan dari sumber lain.
5) Akitivitas penginderaan jauh adalah kegiatan operasi
penginderaan jauh dari antariksa, pengumpulan data primer
dan stasiun penyimpanan, kegiatan dalam rangka
pemrosesan,
interpretasi
dan
penyebarluasan
data
terproses.
b. Kegiatan penginderaan jauh diselenggarakan untuk keuntungan
dan kepentingan seluruh negara dengan tanpa diskriminasi
perbedaan ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi
terutama dengan mempertimbangkan kebutuhan negara-negara
berkembang.
c. Kegiatan penginderaan jauh diselenggarakan harus sesuai
hukum internasional, termasuk Piagam PBB, Traktat Antariksa
Halaman | 73
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
1967 serta aturan yang relevan dari Uni Telekomunikasi
Internasional.
Kegiatan penginderaan jauh diselenggarakan harus sesuai
dengan prinsip pada Pasal I Traktat Antariksa 1967, khususnya
yang berhubungan bahwa eksplorasi dan penggunanaan
antariksa dilaksanakan untuk keuntungan dan kepentingan
semua negara dengan tanpa diskriminasi perbedaan ekonomi,
sosial, pengembangana ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan
menyatakan prinsip kebebasan eksplorasi dan penggunaan
dengan basis persamaan. Kegiatan penginderaan jauh harus
menghormati prinsip kedaulatan yang utuh dan permanen dari
negara-negara dan rakyat atas sumber daya alamnya, dengan
menghormati hak dan kepentingannya sesuai dengan hukum
internasional, dan negara lain dan entitas dalam yurisdiksinya,
Kegiatan demikian tidak boleh diselenggarakan untuk
mengganggu hak legitimasi dan kepentingan negara yang
diindera.
Negara-negara yang menyelenggarakan kegiatan penginderaan
jauh harus meningkatkan kerja sama internasional. Dan pada
akhirnya harus memberikan kesempatan negara-negara untuk
berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi demikian harus berdasar
kesamaan dan keuntungan.
Dalam hal makimalisasi keuntungan yang dapat diperoleh dari
kegiatan penginderaan jauh, negara-negara mendorong, dalam
persetuan dan pengelolaaan lain,
bagi pendirian dan
pengoperasian pengumpulan data, stasiun penyimpanan,
pemrosesan, fasilitas interpretasi dalam jejaring persetujuan
regional yang dimungkinkan.
Negara-negara yang berpartisipasi dalam kegiatan penginderaan
jauh harus memberikan bantuan teknikal kepada negar-negara
berkepentingan lain atas dasar saling menguntungkan.
PBB dan Badan-badan yang relevan dalam sistem PBB harus
meningkatkan kerjasama internasional, termasuk bantuan
teknikal dan koordinasi dalam area kegiatan penginderaan jauh.
Sesuai dengan Pasal IV Konvensi Registrasi Benda yang
diluncurkan ke Antariksa dan Pasal XI Traktat Antariksa 1967,
negara yang menyelenggarakan program penginderaan jauh
harus menginformasikan pada Sekjen PBB.
Selain itu harus
memberikan
informasi
relevan
lain
guna
memperluas
kemungkinan dan praktik yang memungkinkan kepada negara
lain khususnya negara berkembang.
Penginderaan
jauh
harus
meningkatkan
perlindungan
lingkungan alamiah bumi. Negara-negara yang berpartisipasi
dalam kegiatan penginderaan jauh, jika mempunyai informasi
identifikasi yang dapat mencegah fenomena membahayakan
lingkungan alamiah bumi memberikan informasi pada negaranegara yang konsen berkepentingan.
Halaman | 74
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
k.
Penginderaan jauh harus meningkatkan perlindungan umat
manusia dari bencana alam. Negara-negara yang berpartisipasi
dalam kegiatan ini, apabila memiliki data terproses atau
informasi teranalisis yang dapat digunakan untuk menghindari
bencana alam, menyebabkan bencana alam di masa mendatang
harus menyebarluaskan data informasi kepada negara-negara
yang berkepentingan sesegera mungkin.
l.
Data primer dan data terproses tentang wilayah atau dalam
yurisdiksi yang negara lain diproduksi, negara terindera harus
memiliki akses tanpa diskriminasi dan biaya yang wajar
demikian pula pada data teranalisis, khususnya bagi negaranegara berkembang.
m. Guna meningkatkan dan mengintensifkan kerja sama
internasional khususnya bagi negara berkembang, Negara yang
melakukan kegiatan penginderaan jauh atas permintaan
menyelenggarakan komnsultasi dengan negara terindera untuk
dapat kesempatan partisipasi berdasar saling menguntungkan
atas data derivatnya.
n. Guna memenuhi Pasal VI Traktat Antariksa 1967 Negara yang
menyelenggarakan penginderaan jauh, memikul tanggung jawab
internasional dan menjamin aktivitas diselenggarakan sesuai
dengan prinsip-prinsip ini dan norma hukum internasional,
termasuk jika kegiatan dilakukan oleh organisasi pemerintah
dan organisasi nonpmerintah, Prinsip ini tanpa kecuali
memberlakukan prinsip tanggung jawab negara.
o. Setiap sengketa internasional yang timbul dari penerapan
prinsip-prinsip ini, atas kesepakatan para pihak akan
diselesaikan dengan prosedur secara damai.
133. Pengaturan internasional ini belum berlaku sebagai hukum positif.
Salah satu prinsip utamanya adalah “kegiatan penginderaan jauh bumi dari
antariksa wajib menghormati kedaulatan Negara” (lihat paragraf di atas
butir d). Di lihat dari sisi Indonesia, dan berdasarkan kharakteristik dan
kemampuan
perkembangan
teknologi
penginderaan
jauh,
maka
pemberlakuan salah satu prinsip hukum internasional tersebut sangat
penting bagi Indonesia.
134. Indonesia secara umum baru menguasai teknologi penginderaan jauh
di hilir (pengoperasian dan pemeliharaan stasiun bumi, pengolahan data
dan pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan), sedikit demi sedikit
sudah bergerak ke hulu dengan meluncurkan satelit mikro LAPAN-TUB
SAT. Untuk keperluan pemanfaatan teknologi inderaja, LAPAN
mengoperasikan 4 stasiun bumi inderaja :
a. St. Bumi di Pekayon-Jkt: menerima data lingkungan dan cuaca
dari satelit NOAA dan Fengyun
b. St. Bumi PJ di Parepare: menerima data untuk sumber daya
alam dari satelit LANDSAT 7, SPOT 2,4 dan MODIS
Halaman | 75
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
d.
St. Bumi PJ di Biak: menerima data lingkungan dan cuaca dari
satelit NOAA dan Fengyun
St. Bumi PJ di Rumpin: menerima data dari satelit MODIS dan
LAPAN-TUB SAT
Gambar
2.11. memperlihatkan beberapa satelit Inderaja yang
diakuisisi oleh LAPAN.
SATELIT INDERAJA
YANG DIAKUSISI LAPAN
NOAA
LANDSAT
SPOT
ERS
GMS
FENYUNG
TERRA/AQUA
JERS-1
MTSAT
Gambar 2.11
135. Data satelit penginderaan jauh tersebut telah dimanfaatkan untuk
berbagai kegiatan seperti untuk pemantauan cuaca, lingkungan, bencana
alam, mitigasi bencana, tata ruang, sumberdaya alam (pertanian dan
perkebunan, kehutanan, kelautan dan perikanan), audit lingkungan,
pertahanan keamanan dll. Beberapa pengguna baik kalangan pemerintah
maupun swasta juga telah memanfaatkan data tersebut untuk berbagai
keperluan antara lain :
a. Pemerintah pusat (Dept. Kehutanan, Dept. Pertanian, KLH, BPS,
BPK, POLRI, Dittopad, dll)
b. Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, contoh: Kab.
Nunukan, Agam, Pasaman Barat, Maros, Pinrang, Barru, dll.
Propinsi Jambi, Gorontalo, dll. Pemerintah Pusat: Dept.
Kehutanan, Dept. Pertanian, KLH, BPS, BPK, POLRI, Dittopad,
dan lain-lain.
c. Kalangan Swasta.
136. Pada saat ini, untuk memperoleh data yang memiliki resolusi tinggi
atau menengah, Indonesia harus membeli atau menyewa satelit, sedang
untuk data-data yang memiliki resolusi rendah (satelit lingkungan dan
Halaman | 76
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
cuaca) dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Untuk mendapatkan data
satelit Spot (termasuk data yang memiliki resolusi menengah), Lapan
menyewa ke pemiliknya dengan harga €300,000 untuk satu tahun dengan
lama tracking 20.000 detik (tahun 2008). Sedang untuk mendapatkan data
satelit yang memiliki resolusi tinggi, seperti data Quickbird dan Ikonos,
LAPAN memesan ke luar negeri. Untuk melayani user yang membutuhkan
data resolusi tinggi, maka LAPAN membeli data ke luar negeri seperti data
satelit Quickbird dengan resolusi 0,6 m dan data satelit Ikonos dengan
resolusi satu meter.
137. Berdasarkan
posisi
Indonesia
tersebut, kharakteristik
dan
kemampuan perkembangan teknologi penginderaan jauh, dan pemahaman
bahwa teknologi penginderaan jauh juga termasuk salah satu teknologi
guna ganda (lihat tabel 3.6), maka Indonesia perlu menjaga kesinambungan
pengoperasian stasiun bumi tersebut, termasuk pembentukan Bank Data
Penginderaan Jauh Nasional. Di samping itu, prinsip kegiatan
penginderaan jauh bumi dari antariksa wajib menghormati kedaulatan
Negara perlu dicantumkan dalam UUK. Sesuai dengan materi muatannya
maka semua hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri.
d.
Geoposisi/Navigasi (GNSS)
138. Sistem Satelit Navigasi Global (Global Navigation Satellite SystemsGNSS) adalah sistem satelit yang digunakan untuk menunjukkan lokasi
geografis (garis bujur, garis lintang dan ketinggian) dan sinyal waktu dari
satelit ke alat penerima pengguna di permukaan bumi. Penerima di
permukaan bumi dapat mengetahui posisinya, serta waktu yang tepat.
139. Sistem ini terdiri dari tiga segmen utama, yaitu segmen antariksa
(space segment), segmen sistem kendali (control system segment), dan
segmen pengguna (user segment). Hubungan ketiga segmen ini dapat
ditunjukkan pada Gambar 2.12. Dan khusus segmen antariksa terdiri dari
konstelasi beberapa jumlah satelit seperti terlihat dalam Gambar 2.13.
Halaman | 77
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Gambar 2.12
Tiga Segmen dalam Sistem GPS
Gambar 2.13
Konstelasi Sistem Satelit GPS
140. Saat ini terdapat beberapa jenis konstelasi Sistem Satelit navigasi
global (GNSS) yang sedang beroperasi, yaitu:
a.
GPS adalah suatu sistem navigasi dan penentu posisi lokasi yang
memanfaatkan satelit dan dikelola oleh Departemen Pertahanan
Amerika Serikat. Nama lengkapnya adalah NAVSTAR GPS
(Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning
System) ada juga yang mengartikan “Navigation System Using
Timing and Ranging”., tetapi orang lebih mengenal dengan nama
GPS. Sistem mulai diaktifkan untuk umum 17 Juli 1995,
digunakan untuk memberikan informasi mengenai posisi, waktu
dan kecepatan dengan ketelitian sangat tinggi secara global
tanpa ada batasan waktu dan cuaca84.
b.
GLONASS — merupakan sistem navigasi yang dikembangkan
sejak tahun 1980 oleh militer Rusia. Nantinya, GLONASS akan
menjadi alat oleh Rusia untuk berkompetisi dengan Global
Positioning System (GPS) milik Amerika dan sistem navigasi
Galileo milik Eropa. Milik Rusia ini sedang dalam perbaikan dan
diperkirakan selesai pada tahun 2010 ini. Nantinya GLONASS
akan memiliki 24 satelit. 18 satelit untuk mencakup seluruh
wilayah Rusia, sedangkan 6 lainnya diperlukan untuk
menyediakan layanan navigasi di seluruh dunia.85
Bernhard Sianipar, “Status Dan Prospek Pemanfaantan Satelit Navigasi Dan Geodesi Di
Indonesia”, Kajian Kebijakan Keantariksaan, Volume 2, Publikasi Ilmiah LAPAN, ISBN 9798554-96-5, Tahun 2006.
85 http://techno.okezone.com/read/2008/12/26/54/177098/54/selangkah-lagi-sistemnavigasi-rusia-selesai
84
Halaman | 78
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
86
c.
Galileo — Sistem yang sedang dikembangkan oleh Uni Eropa,
dengan bantuan RRC, Israel, India, Moroko, Arab Saudi, Korea
Selatan, dan Ukraina. Galileo merupakan sistem satelit navigasi
global Eropa yang pertama dengan tingkat akurasi yang tinggi
dan dikontrol dan dikelola oleh pihak sipil Uni Eropa. Adapun
tujuan Uni Eropa untuk menciptakan satelit baru ini adalah
untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian GPS dan
untuk dapat bersaing dalam dunia persatelitan dengan negaranegara maju seperti Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk
memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi
mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia tanpa
bergantung pada waktu dan cuaca kepada banyak orang secara
simultan. Satelit ini masih baru dan mulai diluncurkan pada
tahun 2005, dan beroperasi secara penuh pada tahun 2008, saat
ini dalam perbaikan dan diperkirakan selesai pada tahun 2013.
Segmen angkasa Galileo terdiri dari 30 satelit, dimana terdapat
27 satelit yang aktif dan 3 satelit cadangan (spare) dalam
Medium Earth Orbit (MEO) pada ketinggian 23600 km.86
d.
Compass- Badan Luar Angkasa China telah meluncurkan satelit
navigasi Beidou yang merupakan bagian dari sistem navigasi
yang diberi nama “Compass”. Sistem navigasi ini terutama
didesain untuk pembangunan ekonomi China, memberikan
navigasi dan layanan posisi bagi transportasi, meteorologi, lahan
minyak potensial, pengawasan kebakaran hutan, perkiraan
bencana, telekomunikasi dan keamanan publik. China
merupakan salah satu dari beberapa negara yang mampu
mengembangkan sistem satelit navigasi sendiri. Laporan awal
menyebutkan China dapat menyebutkan posisi dengan akurasi
dalam 10 meter, akurasi kecepatan 0,2 meter per detik dan
ketepatan waktu 50 nanodetik. Sistem navigasi tersebut
melibatkan sedikitnya 35 satelit, lima satelit berorbit
geostasioner dan 30 satelit di orbit menengah (medium earth
orbit -MEO). Satelit dan roket dikembangkan oleh Akademi Ilmu
Antariksa China dan Akademi Teknologi Peluncuran China, yang
dikelola di bawah China Aerospace Science and Technology
Corporation. Tabel 2.10 memperlihatkan perbandingan sistem
GNSS tersebut.
“Satelit Galileo”, http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=502
Halaman | 79
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.10.
Comparison of GNSS systems
System
Country
Coding
Orbital
height &
period
Number of
satellites
Status
United
States
CDMA
20,200km,
12.0h
≥24
operational
GLONASS Russia
FDMA
19,100km,
11.3h
24 (≥24 after
CDMA
support)
operational with
restrictions, CDMA
in preparation
CDMA
23,222km,
14.1h
≥27
in preparation
CDMA
21,150km,
12.6h
35
in preparation
GPS
Galileo
European
Union
Compass China
141. Selain bersifat global ada pula yang beroperasi secara regional (RNSSs
- Regional Navigation Satellite Systems). Seperti :
a. Beidou milik China, Beidou — Sistem lokal di RRC yang akan
dikembangkan menjadi sistem internasional bernama COMPASS,
beroperasi pada tahun 2015
b. DORIS karya Perancis.
c. Indian Regional Navigational Satellite System (IRNSS) — adalah
sistem satelit navigasi yang sedang dikembangkan oleh Indian
Space Research Organisation dan sepenuhnya dibawah
pengawasan pemerintah India. Proyek pembangunan dimulai
pada tahun 2006 dan akan diimplementasikan pada tahun 2012.
Sebanyak 7 satelit akan akan ditempatkan di GEO
d. The Quasi-Zenith Satellite System (QZSS) merupakan satelit yang
beroperasi di atas Jepang. 87
142. Khusus GPS adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang
berfungsi dengan baik dan merupakan sistem satelit navigasi paling populer
dan mulai banyak diaplikasikan di Tanah Air untuk navigasi darat dan laut
bahkan sudah bisa digunakan secara individu. Ketiga segmen dalam sistem
GPS, adalah sebagai berikut:
a. Segmen Antariksa, terdiri dari 24 buah satelit GPS yang secara
kontinu memancarkan sinyal–sinyal yang membawa data kode
dan pesan navigasi yang berguna untuk penentuan posisi,
“Lomba” Sistem Navigasi Satelit Global, 07 April 2010, http://www.bakosurtanal.go.id/
index.php?m=30&view=534
87
Halaman | 80
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
c.
kecepatan dan waktu. Satelit-satelit tersebut ditempatkan pada
enam bidang orbit dengan periode orbit 12 jam, dan ketinggian
orbit 20.200 km di atas permukaan bumi. Keenam bidang orbit
tersebut memiliki jarak spasi yang sama, dan berinklinasi 55o
terhadap
ekuator.
Untuk
masing-masing
bidang
orbit
ditempatkan empat buah satelit, dan jarak antar satelit tidak
sama.
Segmen Sistem Kendali, terdiri dari Master Control Station (MCS),
Ground Station, dan beberapa Monitor Station (MS) yang berfungsi
untuk mengontrol dan memonitor pergerakan satelit. Master
Control Station berada di Schriever Air Force Base, dekat Colorado
Springs, Colorado, yang lainnya adalah:
1) Station monitor berada di Hawaii dan Kwajalein di lautan
Pacific; Diego Garcia di lautan Hindia; Ascension Island di
lautan Atlantik; Cape Canaveral, Florida dan Colorado
Springs, Colorado
2) Empat stasion antena bumi besar berfungsi mengirim
perintah dan data ke satelit.
Segmen Pengguna, terdiri dari para pengguna satelit GPS baik
yang ada di darat, laut maupun udara Dalam hal ini receiver GPS
dibutuhkan untuk menerima dan memproses sinyal-sinyal dari
GPS untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan, dan
waktu.
Receiver GPS dapat ditenteng, atau dipasang di pesawat udara,
kapal, tank, kapal selam, mobil, dan truck. Receiver ini
mendeteksi, decode, dan memproses signal satelit GPS. Lebih
dari 100 model Receiver berbeda yang telah digunakan. Ukuran
Receiver yang dapat digenggam, yaitu sebesar telepon cellular,
jam tangan, atau sebesar Personal Data Assistant, dan ada juga
beratnya hanya 28 ons. Pemasaran untuk jenis unit yang dapat
digenggam, didistribusikan oleh Angkatan udara Amerika.
143. Satelit navigasi GPS beroperasi di sekeliling Bumi, yakni pada
ketinggian 20.200km dari muka Bumi, dan gerak satelit dikontrol oleh
stasiun bumi pengontrol yang ada di : pulau-pulau di Samudra Atlantik;
Samudra Hindia; Samudra Pasifik; dan di Colorado Springs, AS. Dengan
dua sarana ini, pemakai (users) yang memiliki alat penerima sinyal dari
satelit GPS dapat terbantu untuk mencari posisi di muka Bumi secara
cuma-cuma. Misal, untuk tujuan pemantauan armada angkutan, operator
di stasiun pusat perusahaan angkutan itu dapat mengetahui keberadaan
armadanya di mana pun. Ini dimungkinkan karena pada alat penerima
sinyal GPS yang dibawa kendaraan itu juga terpasang antena radio. Antena
itu mengeluarkan sinyal gelombang radio pada frekuensi yang telah
ditetapkan.
144. Ada 3 macam tipe alat GPS, dengan masing-masing memberikan
tingkat ketelitian posisi yang berbeda-beda.
Halaman | 81
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
a.
b.
c.
Tipe alat GPS pertama adalah tipe navigasi (Handheld dan Handy
GPS), ketelitian posisi yang diberikan saat ini baru dapat
mencapai 3 sampai 6 meter. Tipe pertama ini yang sering
digunakan untuk keperluan umum seperti pada ponsel,
penunjuk arah pada alat transportasi, untuk pendakian dan
sebagainya.
Tipe alat yang kedua adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe
pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan
yang membutuhkan ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai
dengan beberapa desimeter.
Tipe terakhir adalah tipe geodetik dual frekuensi yang dapat
memberikan ketelitian posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini
biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti
pembangunan jaringan titik kontrol, survai deformasi, dan
geodinamika.
145. Pengembangan aplikasi data GPS yang telah dilakukan, antara lain
adalah:
a. Aplikasi-aplikasi militer, GPS digunakan untuk keperluan
perang, seperti menuntun arah bom, atau mengetahui posisi
pasukan berada. Dengan cara ini maka kita bisa mengetahui
mana teman mana lawan untuk menghindari salah target,
ataupun menetukan pergerakan pasukan.88
b. Navigasi, GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi
seperti kompas. Beberapa jenis kendaraan telah dilengkapi
dengan GPS untuk alat bantu nivigasi, dengan menambahkan
peta, maka bisa digunakan untuk memandu pengendara,
sehingga pengendara bisa mengetahui jalur mana yang
sebaiknya dipilih untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
c. Mitigasi bencana
d. Studi Kelautan (Arus, Gelombang dan Pasang Surut)
e. Sistem Informasi Geografis, Untuk keperluan Sistem Informasi
Geografis, GPS sering juga diikutsertakan dalam pembuatan
peta, seperti mengukur jarak perbatasan, ataupun sebagai
referensi pengukuran.
f.
Pemantauan Gempa, ini, GPS dengan ketelitian tinggi bisa
digunakan untuk memantau pergerakan tanah, yang ordenya
hanya mm dalam setahun. Pemantauan pergerakan tanah
berguna untuk memperkirakan terjadinya gempa, baik
pergerakan vulkanik ataupun tektonik
g. Sistem Pelacakan Kendaraan, dengan bantuan GPS pemilik
kendaraan/pengelola armada bisa mengetahui ada dimana saja
kendaraannya/aset bergeraknya berada saat ini, dengan bantuan
digital map / peta digital lengkap dengan informasi koordinat
88
http://tigorsipopeye.blogdetik.com/category/tak-berkategori/
Halaman | 82
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
h.
i.
lintang dan bujur serta ketinggian yang akan ditampilkan pada
layar perangkat GPS tersebut secara 2D ataupun 3D.
Aplikasi Olah Raga & Rekreatif
Survei & Pemetaan (darat dan laut)
146. Indonesia telah memanfaatkan jasa teknologi Navigasi dan Geodesi.
Salah satu Instansi pemerintah yang melakukan kegiatan navigasi dan
geodesi adalah BAKOSURTANAL. Pemanfaatan GPS untuk survei dan
pemetaan yang dilakukan Bakosurtanal, antara lain : untuk pengadaan
jaring titik kerangka pemetaan nasional. Sementara instansi lain, seperti:
Departemen PU, Departemen Kehutanan, dan Badan Pertanahan Nasional,
memanfaatkannya untuk memonitor deformasi bendungan, dan penentuan
batas persil tanah dan kawasan hutan.
147. Mengingat bahwa peraturan perundangan tentang pemanfaatan GPS
belum ada, maka dalam UUK diamanatkan agar perlu diatur.
e.
Mitigasi Bencana
148. Bencana (disaster)89 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang
mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat
yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun
faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia,
kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis.
Mitigasi (mitigation) adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko
bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan
peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Paradigma
mitigasi bencana telah mengalami pergeseran dalam upaya penanggulangan
bencana dalam upaya mendukung
program pembangunan, misalnya:
melalui perkuatan ekonomi, penerapan teknologi, pengentasan kemiskinan
dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, teknologi keantariksaan
diharapkan dapat lebih berperan dalam mitigasi bencana yang terjadi di
Indonesia.
149. Letak geografis dan kondisi alamiah yang sedemikian rupa tersebut
dalam paragraf 27 di atas, telah mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi;
a. satu-satunya wilayah di Bumi ini, yang memiliki ciri ‘benua
maritim’ (Djalal, 1998).
b. Sebagai benua maritim, wilayah Indonesia mengalami fenomena
klimatologis ekstrim yang dikenal sebagai gejala ENSO (El NinoSouthern Oscillation), yaitu suatu anomali iklim periodik yang
disebabkan oleh terjadinya anomali suhu permukaan laut Pasifik
(Mason et all, 1999; Hendon, 2003).
89
Karakteristik Bencana dan Mitgasinya, BAKORNAS PB, 2007
Halaman | 83
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
d.
wilayah Indonesia juga mendapat pengaruh dari anomali
klimatologis yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD),
yaitu anomali iklim yang disebabkan oleh anomali suhu
permukaan Lautan India (Saji, NH et al, 1999; Rizaldi Boer et al,
2004). Hal inilah yang mengakibatkan sering terjadinya kondisi
klimatologis ekstrim baik ekstrim kering ataupun ekstrim basah
di Indonesia. Sebagai daerah pertemuan dua jalur gunung api
(Lingkar Pasifik dan Lingkar Mediteran), wilayah Indonesia
memiliki sekurang-kurangnya 129 gunung api yang termasuk
kategori aktif (Indro Pratomo, 2006). Jumlah ini merupakan
sekitar 13% gunung api aktif yang ada di dunia saat ini
(Geocities, 2009). Di samping itu, masih terdapat dalam jumlah
besar gunung api yang sedang istirahat.
Wilayah Indonesia juga merupakan daerah pertemuan lempeng
kerak-bumi Asia dan Australia, yang sedang bergerak, sehingga
merupakan wilayah tektonik aktif. Kondisi yang demikian,
menjadikan wilayah Indonesia rawan gempa baik tektonik
maupun vulkanik.
150. Peran teknologi antariksa untuk mitigasi bencana dilakukan melalui
perolehan informasi dari berbagai jenis pemanfaatan satelit yang dapat
memberikan informasi baik prabencana, saat bencana, dan pasca bencana
yang sangat berguna untuk upaya mitigasi dan rehabilitasi bencana.
Berbagai peran teknologi keantariksaan untuk informasi bencana dapat
dilihat dalam Gambar 2.14.
Gambar 2.14.
Sistim Teknologi Antariksa Berbasis Satelit
untuk Management Bencana
Halaman | 84
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
151. Saat ini terdapat berbagai organisasi Internasional yang menawarkan
bantuan informasi dari teknologi antariksa untuk penanganan bencana
yaitu :
a. United Nations Platform for Space Based Information for Disaster
Management and Emergency Response (UN-SPIDER), merupakan
organisasi di bawah system PBB yang difokuskan untuk integrasi
sistim jaringan (networking) mitigasi bencana antar negaranegara anggota PBB.
b. Sedangkan di luar sistim PBB, juga terdapat organisasi yang
berkecimpung dalam mitigasi bencana berbasis teknologi
antariksa, misalnya : GEO dan GEOSS, dll.
c. Negara-negara yang tergabung dalam space faring membentuk
the International Charter on Space and Major Disaster tahun 2000
yang bertujuan untuk mengintegrasikan sistim antariksa bagi
kepentingan mitigasi bencana yang memberlakukan persyaratan
bahwa setiap anggota harus memiliki satelit untuk kepentingan
tersebut. Dalam prakteknya data yang diterbitkan oleh Charter
pada fase tanggap darurat (the response phase) memiliki tingkat
akurasi tinggi dan disajikan secara terus-menerus dengan
jangkauan seluruh dunia. Keanggotaan Charter ini dapat dilihat
pada Tabel 2.11.
Tabel 2.11.
Anggota the International Charter on
Space and Major Disaster90
152. Sedangkan di kawasan Asia Pasifik, aktivitas tersebut di atas
didorong oleh adanya bencana gempa bumi di Kobe, Jepang dan akhirnya
menggiring negara-negara di Asia terutama yang tergabung dalam Asia
90
Presentation to the JPTM the International Charter for Space and Major Disasters by Hide Yamazaki, 2009.
Halaman | 85
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Pasifik Regional Space Agency Forum (APRSAF) membentuk ADSR (Asian
Disaster Space Reduction) yang menghasilkan komitmen untuk
melaksanakan mitigasi bencana berbasis teknologi antariksa di Asia Pasifik.
Secara teknis hal tersebut diwujudkan dengan mendirikan Sentinel Asia
(Disaster Management Support System in the Asia and Pacific Region) sebagai
suatu sistim pengiriman data kebencanaan melalui satelit dan jaringannya
(WIND dan internet) kepada pemerintah maupun non pemerintah yang
memerlukan data tersebut. Gambar 2.15 dan 2.16 di bawah menunjukkan
mekanisme perolehan dan pengiriman data dan prosedur pengoperasian
dalam Sentinel Asia. Sedangkan Tabel 2.12. memperlihatkan jenis data
yang diminta oleh negara-negara sampai dengan tahun 2008:
Gambar 2.15.
Mekanisme Permohonan Pengamatan Bencana
dari ADRC ke Sentinel Asia91
91
nd
Emergency Observation by Naoki Yamaguchi, Sentinel Asia step2, 2 JPTM, Discovery Kartika Plaza Hotel,
Bali, Indonesia, July 15 – 17, 2009
Halaman | 86
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Gambar 2.16.
Sistem dan Prosedur Pengoperasian Sentinel Asia
Tabel 2.12.
Negara Anggota/Agency dan
Jenis Data yang diminta melalui Sentinel Asia
92
92
Ibid, Naoki Yamaguchi, 2009
Halaman | 87
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
153. Dilihat dari sisi jenis bencana dapat digolongkan pada: (1) bencana
umum dan (2) bencana akibat penyelenggaraan keantariksaan. Sedangkan
bencana akibat penyelenggaraan keantariksaan dapat dibedakan bencana
kecelakaan penyelenggaraan keantariksaan dan bencana akibat jatuhnya
benda antariksa (alamiah (unmanmade), buatan manusia (manmade)).
154. Khusus terhadap bencana atau peristiwa yang diakibatkan oleh
penyelenggaraan keantariksaan, saat ini telah terdapat ketentuan
internasional yang mengatur yaitu “Agreement on the Rescue of Astronauts,
the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer
Space”, yang disingkat Rescue Agreement 1968.
155. Rescue Agreement 1968 ini merupakan penjabaran dari ketentuan
Pasal V Traktat Antariksa 1967” yang menyatakan bahwa astronaut adalah
duta kemanusiaan (“astronaut is the envoys of mankind”). Sebagai
konsekuensinya, perjanjian ini meletakkan kewajiban bagi Negara lain
untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memberikan
pertolongan bagi astronaut yang melakukan pendaratan darurat
(“emergency landing”), mengalami kecelakaan atau dalam keadaan
“distress”, serta mengembalikan benda antariksanya kepada Negara
Peluncur.
156. Perjanjian ini yang terdiri dari 10 pasal memuat prinsip-prinsip
sebagai berikut:
a.
Kewajiban Negara anggota untuk menyampaikan pemberitahuan
baik kepada pihak peluncur (launching authority) maupun
kepada Sekretaris Jenderal PBB atas setiap informasi atau
penemuan menyangkut astronauts yang mengalami kecelakaan,
melakukan pendaratan atau dalam keadaan “distress” pada
wilayah yurisdiksi Negara anggota lainnya;
b.
Kewajiban Negara anggota untuk segera mengambil langkahlanglah yang diperlukan untuk menyelamatkan dan memberikan
bantuan yang diperlukan serta melaporkan atas langkah-langkah
yang diperlukan tersebut baik kepada negara peluncur maupun
Sekretaris Jenderal PBB. Di samping itu mendorong pihak
peluncur dan Negara anggota bekerjasama bagi upaya
penyelamatan yang efektif;
c.
Kewajiban Negara anggota yang terdekat dengan lokasi kejadian
di laut lepas di luar wilayahnya untuk segera memberikan
bantuan
dan
melakukan
operasi
penyelamatan
serta
melaporkannya baik kepada pihak peluncur maupun kepada
Sekretaris Jenderal PBB;
d.
Kewajiban Negara anggota untuk mengembalikan astronauts dan
atau benda-benda antariksa kepada pihak Negara peluncur;
e.
Kewajiban pihak Negara peluncur untuk membiayai segala
kegiatan Negara anggota yang memberikan bantuan dan
mengembalikan baik astronaut maupun benda antariksanya;
Halaman | 88
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
f.
Pihak peluncur (launching authority) diartikan sebagai baik
Negara yang bertanggungjawab atas peluncuran maupun
organisasi
internasional
yang
bertanggung
jawab
atas
peluncuran.
157. Secara umum ketentuan yang terdapat dalam Rescue Agreement 1968
tidak menimbulkan persoalan, karena menonjolkan aspek kemanusiaan,
akan tetapi dalam pelaksanaannya dapat memunculkan persoalanpersoalan praktis yang perlu dipecahkan, seperti:
a. Dikaitkan dengan perkembangan kegiatan keantariksaan yang
mungkin menyertakan personil seperti “payload specialist”,
“researcher”, “scientist” dan bahkan “military personnel”,
termasuk keikutsertaan “space tourist”, apakah mereka semua
dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang adalah merupakan
“envoys of mankind”? jika tidak, apakah parameter yang dapat
digunakan?
b. Apakah Negara anggota tetap wajib memberikan bantuan kepada
astronaut Negara lain yang melakukan misi militer (mis: matamata) yang tidak bersahabat kepada negaranya?
c. Bagaimana mekanisme penegakan hukum yang dapat dilakukan
terhadap Negara yang tidak memberikan bantuan sesuai
kewajiban dalam Rescue Agreement 1968?
d. Mengapa istilah “launching authority” hanya berlaku bagi Negara
dan organisasi internasional, bagaimana bila pihak peluncur
adalah perusahaan swasta, apakah dapat diklasifikasikan
sebagai “launching authority”?;
e. Mengingat Rescue Agreement 1968 merupakan perjanjian yang
relatif lama, apakah tepat waktu untuk melakukan amandemen
terhadap ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak
sesuai dengan perkembangan yang terjadi?
158. Dengan mendasarkan kepada masih adanya beberapa persoalan yang
berkaitan dengan interpretasi dan implementasi Rescue Agreement 1968,
maka dalam rangka mengintegrasikan Rescue Agreement 1968 ke dalam
UUK harus dilakukan dengan memperhatikan dan mengantisipasi
perkembangan yang terjadi dengan tetap bersandar kepada kepentingan
nasional.
159. Di tingkat nasional lembaga yang berwenang dalam penyelenggaraan
penanggulangann bencana adalah Badan Nasional Penanggulangan
Bencana (BNPB) sebagaimana dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana. Sesuai dengan definisi “penyelenggaraan
penanggulangan bencana” adalah serangkaian upaya yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana,
kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Halaman | 89
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Berdasarkan definisi tersebut maka penyelenggaraan penanggulangan
bencana dapat dibagi dalam empat tahapan93, yaitu :
a. Tahap prabencana yang dilakuan dalam situasi tidak terjadi
bencana
b. Tahap prabencana yang dilakukan dalam situasi terdapat potensi
bencana
c. Tahap saat tanggap darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi
bencana
d. Tahap pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi
bencana.
Lebih lanjut pentahapan tersebut dapat diamati dalam Gambar 3.17
berikut:
Gambar 2.17.
Pentahapan Penanggulangan Bencana
160. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam UUK
diamanatkan untuk :
a. Mekanisme peran teknologi keantariksaan untuk pemberian
informasi terkait mitigasi bencana baik bencana umum maupun
bencana keantariksaan,
Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 tentang Pedomana Penyelenggaraan Rencana
Penanggulanganb Bencana.
93
Halaman | 90
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
c.
d.
e.
f.
Mekanisme cara perolehannya, mengingat Indonesia telah
berpartisipasi dalam Organisasi Internasional terkait (UN-SPIDER
dan Sentinel Asia), baik berupa upaya untuk mendapatkan
informasi dari ataupun masuk menjadi anggota Organisasi
Internasional terkait lainnya.
Mekanisme pemberian informasi di tingkat nasional.
Mekanisme tanggap darurat khususnya terkait bencana akibat
penyelenggaraan keantariksaan termasuk risiko kejatuhan.
(Pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia sebagai Negara
anggota Rescue Agreement 1968).
Ketentuan mengenai
hal-hal tersebut di atas diatur dalam
Peraturan Pemerintah tersendiri.
Komersialisasi Keantariksaan
161. Mengenai arti dan kriteria komersialisasi antariksa terdapat beberapa
pandangan seperti Jerzy Rzymanek, mengatakan tentang adanya
kekaburan makna sehubungan dengan pengertian umum dalam literatur
yang mengkaitkan kata “commercial” dari kata “space commercialization”,
yang seolah-olah hanya mengacu pada bentuk kegiatan yang dilakukan
semata-mata oleh swasta. Menurut Van Traa, dalam disertasinya
mengemukakan bahwa pertama-tama kita dihadapkan pada pilihan tentang
peristilahan mana yang digunakan “commercial space activities” atau
commercial use of outer space?. Menurut pandangannya, hal ini perlu
dipersoalkan mengingat adanya perbedaan persepsi antara Eropa dan
Amerika mengenai pengertian “commercial”.
162. Menurut kamus bahasa Inggris, ciri utama kata “commercial” adalah
maksud atau tujuan untuk memperoleh keuntungan (“the purposes to make
profit”) atau minimal memperoleh pengembalian yang wajar atas suatu
investasi yang dilakukan (to make a reasonable return on investment) 94.
Sebaliknya di Amerika Serikat, kata “commercial” pada umumnya selalu
dikaitkan dengan keterlibatan swasta, baik yang didasarkan atas subsidi
pemerintah, maupun yang hanya sekedar diatur oleh pemerintah. Oleh
karena itu, usahanya dapat berbentuk suatu korsorsium nasional, atau
bahkan suatu konglomerat multi nasional. Akan tetapi tanpa melihat
bentuknya, pada dasarnya setiap usaha komersial selalu didasarkan atas
dorongan untuk mencari keuntungan, karenanya tidak menutup
kemungkinan bagi pemerintah, organisasi internasional, dan swasta untuk
melakukannya baik secara mandiri maupun melalui kerja sama di antara
mereka.
Van Traa, Hanneke Louis, Eigelmann, “Commercial Utilization of Outer Space, Legal
Aspects, Disertasi pada Rijk Universiteit Utrecht, 1989, halaman 18.
94
Halaman | 91
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
163. Sementara itu, Nathan Goldman, menyatakan bahwa setiap
keuntungan yang diperoleh dari kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan
antariksa dapat diklasifikasikan dalam pengertian “space commerce”. Istilah
ini mengandung makna yang khusus yaitu mengacu pada pasaran bagi
barang dan jasa antariksa, termasuk transportasi antariksa, komunikasi
melalui satelit, industri pabrikasi, penambangan pada benda-benda langit
dan bahkan penggunaan energi surya, baik oleh perusahaan swasta
maupun oleh pemerintah95.
164. Sedangkan menurut I.B.R. Supancana, mengartikan komersialisasi
itu tidak identik dengan privatisasi, semata-mata, tetapi secara umum
diartikan sebagai setiap upaya yang dilakukan untuk mencari keuntungan,
tanpa memandang apakah dilakukan oleh negara, perusahaan swasta atau
bahkan badan hukum lain seperti organisasi internasional, baik antar
pemerintah maupun non pemerintah96. Dalam konteks UUK ini pengertian
komersialisasi keantariksaan akan mengacu pada pandangan ini.
165. Dengan memahami arti dan kriteria pengertian komersialisasi
keantariksaan tersebut di atas, dan dengan pemahaman bahwa
komersialiasi adalah memperoleh keuntungan sebagai tujuan utama dari
pada sekedar untuk tujuan ilmiah, artistic, intelektual ataupun filosofis (a
commercialization is an exploitation for the purpose of profit as the primary
aim, rather than for example, for scientific, intellectual or philosophical
purpose)97,
maka
belum semua
sektor
dalam
penyelenggaraan
keantariksaan yang memasuki era komersialisasi. Beberapa bentuk
komersialisasi keantariksaan saat ini adalah : (i) Pabrikasi satelit, (ii)
Transportasi antariksa, (iii) Disain, Fabrikasi dan Pengoperasian Segmen
Bumi (iv) Jasa Telekomunikasi, (v) Penginderaan Jauh dan system informasi
geografis (GIS), dan (vi) Jasa navigasi.
166. Beberapa sector penyelenggaraan keantariksaan saat ini yang telah
masuk dalam komersialisasi serta memperoleh keuntungan dapat dilihat
dalam Tabel 2.13 berikut.
Goldman, Nathan, American Space Law: International and Domestic, IOWA, 1988.
Ida Bagus Rahmadi Supancana, “Antisipasi Hukum terhadap Arah dan Perkembangan
Komersialisasi Ruang Angkasa, 1992, halaman 7.
97 John M.Logsdon, Ray A. Williamson, Henry R. Hertzfeld, “Privatizing the Space Shuttle
Issues and Approach, Space Policy Institute Elliot School of International Affairs the George
Washington University, Washington, DC March 17, 2000,
95
96
Halaman | 92
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.13
Global Space Activities Revenue and Budget 200798.
98
Sumber: http://www.thespaceport.org/resources/overview/space_budgets.php Diakses: 4 Mei 2010.
Halaman | 93
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
167. Bentuk-bentuk komersialisasi antariksa yang diidentifikasi untuk
masa depan adalah99 :
b. Space manufacturing
c. Asteroid detection/negation
d. Space rescue
e. Fast package delivery
f.
Space servicing and transfer
g. Hazardous waste disposal
h. Space tourism
i.
Ultra high speed civil transport
j.
Entertainment (digital movie satellites, orbiting movie studio, space
athletic events, artificial space
k. phenomena, multiuse LEO business parks
l.
Space debris management
m. Space medical facilities
n. Space settlements
o. Space utilities markets (extraterrestrial resources such as lunar
liquid oxygen, helium-3 (He3)
p. Space burial
Tabel 2.14. berikut memperlihatkan kemungkinan permintaan jasa
komersialisasi keantariksaan untuk masa yang akan datang.
99
Ibid. Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, 7th May 2004.
Halaman | 94
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tabel 2.14.100
Permintaan terhadap Jasa komersialisasi keantariksaan
168. Berdasarkan kondisi komersialisasi keantariksaan tersebut di atas,
khusus terkait komersialisasi pemanfaatan telekomunikasi dan penyiaran
telah diatur pada peraturan perundang-undangan terkait. Sehubungan
dengan hal ini, maka yang dimaksud dengan pengaturan komersialisasi
keantariksaan dalam UUK ini adalah pengaturan aspek komersialisasi
keantariksaan di luar yang telah diatur dalam peraturan telekomunikasi
dan penyiaran tersebut. Klausula ini merupakan antisipasi perkembangan
kemampuan penguasaan teknologi Indonesia di masa datang jika telah
memungkinkan terlibat dalam komersialisasi.
g.
Sistem Informasi Keantariksaan
169. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang dimaksud dengan
Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang
mengandung nilai, makan, dan pesan, baik data, fakta maupun
penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan
Ibid. Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, 7th May 2004,
hlm 38.
100
Halaman | 95
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan
teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
nonelektronik. Sedangkan Informasi Publik adalah informasi yang
dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan
publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang
sesuai dengan UUK ini serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah
pejabat
yang
bertanggung
jawab
di
bidang
penyimpanan,
pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan
publik.
170. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU tersebut juga dinyatakan Badan Publik
wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik
yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik,
selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dengan memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan
nonelektronik.
Sedangkan berdasarkan Pasal 9 dinyatakan bahwa
informasi Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala
meliputi :
a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik;
b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait;
c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau
d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan.
171. Di samping itu, dalam pasal 10 dan 11 dinyatakan bahwa Badan
Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat
mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dan dalam
Pasal 11 adanya kewajiban untuk menyediakan Informasi Publik setiap saat
yang meliputi:
a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah
penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan;
b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya;
c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya;
d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan
pengeluaran tahunan Badan Publik;
e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga;
f.
informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam
pertemuan yang terbuka untuk umum;
g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan
pelayanan masyarakat; dan/atau
h. laporan
mengenai
pelayanan
akses
Informasi
Publik
sebagaimana diatur dalam UUK ini.
172. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terkait dengan sistem
informasi dan data keantariksaan dalam UUK ini akan tercakup semua
Halaman | 96
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
kewajiban tersebut di atas serta kewajiban lain sebagaimana termuat
secara khusus dalam beberapa pasal UUK ini seperti menyediakan
informasi terkait bencana dan lain-lain.
5.
Kegiatan Keantariksaan untuk Pertahanan dan Keamanan
...
6.
Kerja Sama dan Alih Teknologi
173. Kerjasama internasional tidak dapat dilepaskan dari hubungan luar
negeri Indonesia dengan negara lain. Undang-Undang No. 37 Tahun 1999
Tentang Hubungan Luar Negeri, Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa Politik
Luar Negeri Republik Indonesia adalah kebijakan, sikap, dan langkah
Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan
dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum
internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional
guna mencapai tujuan nasional."
174. Dalam perkembangan globalisasi, ketergantungan antar negara dalam
semua aspek kehidupan akan semakin kuat. Pada awalnya, kebijaksanaan
yang dilaksanakan oleh negara-negara dalam rangka kerjasama lebih
ditekankan pada kepentingan politik negara-negara yang bersangkutan.
Namun dalam era globalisasi, walaupun masih mengandung kepentingan
politik, lebih ditekankan pada kepentingan ekonomi melalui kerjasama yang
dilakukan. Untuk ini, negara-negara akan selalu mempertahankan bahkan
meningkatkan keunggulan masing-masing yang mengarah pada perolehan
keuntungan ekonomi. Hal ini berarti bahwa ketergantungan antar negara
yang semakin kuat akan mendorong berlangsungnya kerjasama yang
sekaligus dibarengi dengan persaingan yang semakin meningkat. Kondisi
seperti ini akan mempengaruhi upaya kerjasama oleh Indonesia dengan
negara/pihak lain dalam pembangunan keantariksaan.
175. Teknologi antariksa pada umumnya masih dikuasai oleh beberapa
negara, terutama kelompok negara maju yang sangat protektif di dalam alih
teknologi terhadap negara-negara lain di luar kelompoknya. Dengan adanya
persaingan yang semakin meningkat seperti tersebut di atas, maka
umumnya proteksi alih teknologi ini masih akan terus berlangsung,
walaupun kadar proteksi bagi alih teknologi tertentu dapat berkurang
dalam rangka menciptakan pasar yang lebih besar bagi penggunaan
teknologi lain yang benar-benar diproteksi oleh negara maju. Untuk meraih
peluang tersebut diperlukan kebijaksanaan kerjasama yang tepat yang
berpedoman pada cara pandang dan sikap bangsa Indonesia dalam
pendayagunaan keantariksaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dan keamanan bangsa dan negara dan politik luar negeri Indonesia.
Halaman | 97
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
176. Kerja sama bilateral di bidang kedirgantaraan antar negara
berkembang dan antara negara berkembang dan negara maju terus
meningkat.
Kerja sama antar negara berkembang dalam sektor
keantariksaan, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, masih dalam
tukar-menukar pengalaman dan informasi. Kerja sama antara negara
berkembang dan negara maju, selain tukar-menukar pengalaman dan
informasi serta pelaksanaan kegiatan aplikasi teknologi antariksa, juga
telah berlangsung dalam pengembangan teknologi satelit (utamanya satelit
ukuran kecil).
177. Kerja sama antara negara berkembang dan negara maju dalam
konteks alih teknologi antariksa utamanya teknologi roket yang selama ini
jarang terjadi, (kalaupun terjadi, negara berkembang harus membeli
dengan biaya yang cukup besar), akhir-akhir ini telah muncul tanda-tanda
kecil bahwa negara tertentu seperti China (melalui industri/sektor swasta)
akan membuka diri untuk kerja sama dalam konteks alih teknologi.
Mungkin melalui pendekatan yang tepat, Rusia, Ukraina dan India juga
terbuka untuk alih teknologi tersebut. Permasalahannya ialah bahwa
dalam kerja sama alih teknologi seperti itu, negara penerima alih teknologi
akan berperan sebagai pembeli artinya harus membayar kepada pemberi
teknologi sebesar yang disepakati kedua belah pihak.
178. China dengan kekuatan ekonominya yang semakin meningkat dan
penanaman pengaruh terhadap negara-negara dan sekaligus dukungan
bagi China untuk kepemimpinannya dalam keamanan global diperkirakan
akan bersedia memberikan pinjaman dalam kerja sama alih teknologi
tersebut. Berbeda halnya dengan Rusia, Ukraina dan India, pinjaman
seperti itu akan sulit terrealisasikan. Sedangkan dengan negara-negara
Eropa (ESA), Amerika Serikat dan Jepang, kerja sama alih teknologi roket
nampaknya dalam dekade mendatang masih belum dapat berlangsung.
NASA (Amerika Serikat) dalam kebijakan strategisnya secara jelas
dinyatakan bahwa NASA akan bekerja sama dengan institusi dari negara
lain hanya apabila institusi dari negara lain tersebut mampu memenuhi
komitmennya (a.l. sejumlah dana tertentu), sangat bermanfaat dan
menghasilkan “cost savings”, keahlian dan fasilitas khusus bagi NASA
secara berimbang. Sehubungan dengan ini, negara berkembang yang
mempunyai kemampuan ekonomi dan teknologi antariksa yang masih
rendah sangat kecil kemungkinannya untuk dapat melakukan kerjasama
dengan Amerika Serikat dalam pengembangan teknologi antariksa.
179. Satu hal yang cukup menonjol dalam kerjasama bilateral (termasuk
kerjasama multilateral) saat ini dan diyakini berlaku ke depan ialah bahwa
setiap negara peserta (participant) harus dapat berkontribusi dalam
pendanaan ataupun teknologi. Kerjasama bilateral ataupun multilateral
saat ini selalu menerapkan prinsip ‘fair return’.
Halaman | 98
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
180. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka Dalam RUUK dimuat
rumusan kerja sama keantariksaan Indonesia sebagai berikut :
a. Kerjasama internasional keantariksaan diarahkan kepada upaya
alih teknologi dan/atau ilmu pengetahuan dalam rangka
pengembangan dan pemanfaatan teknologi keantariksaan, serta
mendorong kemandirian dalam teknologi keantariksaan.
b. Dalam rangka proses pencapaian arah tersebut, untuk setiap
bidang alih teknologi keantariksaan, setiap pelaksanaan kerja
sama internasional keantariksaan dapat mempertimbangkan:
1) Peluang pelatihan dan bekerja bagi staf teknisi terkait;
2) Hubungan dengan pusat-pusat penelitian baik pemerintah
maupun swasta;
3) Pengusahaan bersama oleh swasta dan pemerintah;
4) Dorongan pengembangan kemampuan kapasitas untuk
penelitian,
penerapan
dan
manajemen
melalui
pengembangan sumber daya manusia, peningkatan
kapasitas
kelembagaan
untuk
penelitian
dan
pengembangan, program-program implementasi, penelitian
kebutuhan teknologi dan kemitraan jangka panjang antara
pemilik teknologi dan pengguna potensial lokal.
c. Setiap Penyelenggara dapat melaksanakan kerja sama
keantariksaan secara mandiri maupun bekerjasama dengan
pihak lain atas dasar prinsip sukarela, kesetaraan, dan saling
menguntungkan serta tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
d. Kerja sama internasional keantariksaan antara penyelenggara
nasional dan lembaga swasta asing/pihak asing wajib
diberitahukan kepada Lembaga.
e. Setiap partisipasi Delegasi Republik Indonesia dalam fora
internasional keantariksaan terlebih dahulu memperoleh
rekomendasi dari Lembaga.
H.
Keamanan dan Keselamatan
181. Industri antariksa telah berkembang dengan sangat pesat di hampir
seluruh dunia dan bersamaan dengan itu meningkat pula kebutuhan untuk
memastikan dan menjamin keselamatan masyarakat, personil yang terlibat
di bumi, kru, dan partisipan lainnya yang terlibat dalam kegiatan
keantariksaan. Meningkatnya resiko keselamatan ini merupakan dampak
meluasnya upaya internasional baik sipil maupun komersial yang saat ini
melibatkan berpuluh lembaga dan perusahaan baru di seluruh dunia, baik
yang merupakan bisnis peluncuran komersial secara umum dan
peluncuran wahana antariksa berawak maupun pengembangan wisata
antariksa, dengan membangun berbagai tipe wahana antariksa dan roket.
Peningkatan resiko ini juga merefleksikan kurangnya kemajuan teknis,
Halaman | 99
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
lemah atau tidak adanya aturan internasional, dan kurangnya standard
internasional yang valid.
182. Resiko keselamatan dalam misi antariksa bisa didefinisikan secara
luas, mengacu pada keselamatan masyarakat umum (di bumi, laut, dan
udara), keselamatan personil peluncuran, dan keselamatan awak wahana
antariksa. Keselamatan antariksa secara umum juga bisa didefinisikan
lebih luas mencakup upaya perlindungan fasilitas berharga di bumi
(misalnya launching pad), perlindungan system strategis dan mahal di orbit
(misalnya satelit dan stasiun bumi), dan perlindungan lingkungan bumi
dan antariksa.
183. Sampai saat ini, sudah hampir banyak orang yang tewas di bumi
karena ledakan roket selama pembuatan, persiapan peluncuran, maupun
saat peluncuran. Beberapa peluncuran juga harus ditunda atau dibatalkan
oleh petugas keselamatan peluncuran untuk melindungi masyarakat dari
resiko karena peluncuran diperkirakan bermasalah. Beberapa kali pula
terjadi kasus kegagalan peluncuran sehingga terjadi ledakan di tempat
peluncuran ataupun wahana yang diluncurkan gagal mencapai orbit dan
kembali ke bumi tanpa bisa dikendalikan. Selain itu, beberapa astronot
juga tewas dalam penerbangan mereka ke atau kembali dari antariksa.
Sebagai perbandingan, resiko kehilangan nyawa dalam penerbangan
pesawat komersial diperkirakan satu dalam dua juta penerbangan, resiko
kehilangan nyawa dalam pertempuran menggunakan pesawat jet sekitar
satu dalam sepuluh ribu penerbangan, sedangkan resiko kehilangan nyawa
dalam penerbangan wahana antariksa berawak adalah satu dalam seratus
penerbangan.
184. Selain resiko kehilangan nyawa manusia, dalam kategori lain adalah
resiko kerusakan lingkungan misalnya karena penyebaran material
radioaktif akibat ledakan dalam proses peluncuran. Selain itu, ada resiko
banyaknya sampah antariksa (space debris) dan resiko re-entry wahana
antariksa yang tidak dapat dikendalikan. Sampah antariksa terdiri dari
bangkai satelit (satelit yang sudah tidak digunakan), pecahan logam,
sampah dari ledakan satelit, dan lain-lain. Beberapa material ini akan terus
berada di orbit bumi selama ratusan tahun dan berpotensi menimbulkan
bencana apabila bertabrakan dengan satelit atau wahana antariksa yang
aktif.
185. Kegiatan keantariksaan, yang dilakukan dengan mengacu pada
traktat-traktat yang telah disahkan oleh PBB, bisa menyebabkan bahaya
pada manusia dan membuat kerusakan pada property umum maupun
swasta serta lingkungan. Beragamnya disiplin professional yang terkait
dengan kegiatan keantariksaan dan tanggung jawab hukum yang melekat
pada negara-negara memerlukan regulasi internasional untuk melindungi
penduduk bumi dari konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan
dari kegiatan keantariksaan. Terkait dengan upaya perlindungan tersebut,
Halaman | 100
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
saat ini terdapat beberapa standard keselamatan kegiatan keantariksaan
internasional yang termuat dalam ISO Safety Standards, antara lain:
a. ISO 14620-1 (Space Systems-Safety Requirements-Part 1: System
Safety)
b. ISO 14620-2 (Space Systems-Safety Requirements-Part 2: Launch
Site Operation)
c. ISO 14620-3 (Space Systems-Safety Requirements-Part 3: Flight
Safety System);
d. ISO 17666 (Space Systems-Risk Management)
e. ISO 14624 1 to 7 (Space Systems-Safety and Compatibility of
Materials-Part 1 to 7) dan lain.
186. Standard-standard tersebut disusun oleh komite teknis ISO yang
terkait dengan system dan operasi keantariksaan (space systems and
operation)-TC 20/SC 14, yang terdiri dari: Amerika Serikat (selaku
sekretariat), Brazil, Canada, China, Inggris, Israel, Italy, Jepang, Jerman,
Perancis, Rusia, dan Ukraina. Selain itu, terdapat beberapa negara selaku
observer, yakni: Argentina, India, Korea Selatan, Polandia, Slovakia, dan
Swedia.
187. Sehubungan dengan hal tersebut, terkait dengan keamanan dan
keselamatan keantariksaan, maka dalam UUK ini ditetapkan sebagai
berikut:
1) Yang dimaksud keamanan keantariksaan adalah suatu keadaan
yang memberikan perlindungan kepada keantariksaan dari
tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan
sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur. Sedangkan
Keselamatan keantariksaan adalah suatu keadaan terpenuhinya
persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah Indonesia,
wahana antariksa, kawasan bandar antariksa, transportasi
antariksa, navigasi keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas
penunjang dan fasilitas umum lainnya.
2) Kewenangan LAPAN untuk membuat program dan stándar
keamanan dan keselamatan keantariksaan.
188. Dalam kaitan ini, program keamanan dan keselamatan tersebut
sangat terkait dengan aplikasi secara teknis, untuk itu, dengan berinduk
pada UUK ini perlu ditetapkan dalam ketentuan khusus yang bersifat
teknis yang akan ditetapkan oleh Kepala LAPAN yang berkoordinasi dengan
instansi terkait.
I.
Pendaftaran dan Lisensi
1.
Pendaftaran
Halaman | 101
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
189. Pendaftaran infrastruktur di bidang keantariksaan merupakan aspek
yang penting dan sangat terkait dengan masalah tanggung jawab dan
penggantian kerugian.
Saat ini berdasarkan ketentuan internasional
terdapat 2 jenis pendaftaran yaitu Pendaftaran berdasarkan Registration
Convention 1975 yang terkait dengan pendaftaran benda antariksa ke PBB
(dhi. OOSA) dan (ii) Pendaftaran berdasarkan ketentuan Internasional
Telecomunication Union terkait dengan pendaftaran penggunaan slot orbit
dan spektrum frekuensi. Khusus terhadap masalah pendaftaran slot orbit
dan spektrum frekuensi ke ITU tunduk pada ketentuan ITU.
190. Khusus untuk kepentingan telekomunikasi dan penyiaran di
Indonesia ketentuan implementasinya sudah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan peraturan
pelaksanaannya dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang
Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya.
191. Konvensi tentang pendaftaran atas benda/obyek yang diluncurkan ke
antariksa atau yang dikenal dengan Registration Convention 1975
merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal VIII Traktat Antariksa 1967.
Perjanjian yang terdiri dari 12 pasal ini mengatur hal-hal sebagai berikut:
a. Kewajiban Negara peluncur untuk mendaftarkan objek yang
diluncurkan ke antariksa dalam suatu sistem pendaftaran yang
terpelihara
serta melaporkan pendaftaran tersebut kepada
Sekretaris Jenderal PBB;
b. Dalam suatu peluncuran bersama para pihak wajib menetapkan
pihak yang harus melakukan pendaftaran;
c. Sekretaris Jenderal PBB wajib memelihara catatan pendaftaran
atas benda-benda yang diluncurkan ke antariksa, termasuk
segala informasi yang melengkapinya. Informasi yang ada dalam
catatan pendaftaran tersebut bersifat terbuka untuk diakses
secara penuh;
d. Informasi-informasi apa yang harus disampaikan oleh Negara
pendaftar seperti: nama Negara peluncur; tanda-tanda dan
nomor registrasi ; tanggal dan wilayah atau lokasi peluncuran;
parameter dasar orbit yang meliputi “nodal period”, “apogee”, dan
“perigee”; fungsi umum dari benda antariksa yang bersangkutan;
informasi lain yang diperlukan yang disampaikan secara berkala;
dan informasi dalam hal benda angkasa tersebut sudah tidak
berfungsi;
e. Kerjasama untuk memberikan bantuan dalam mengidentifikasi
benda antariksa yang menimbulkan kerugian;
f.
Berlakunya perjanjian ini bagi Intergovernmental Organization
(IGO) yang menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban sesuai
dengan ketentuan konvensi.
Halaman | 102
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
192. Berdasarkan ketentuan Registration Convention, 1975 terdapat
beberapa bentuk kewajiban negara anggota dalam rangka mematuhi
ketentuan ini yaitu :
a. Tiap Negara peluncur harus mendaftarkan benda antariksa yang
diluncurkannya kepada Sekjen PBB (Pasal II Ayat (1));
b. Sesegera mungkin memberitahukan mengenai objek antariksa
yang telah didaftar dan tidak berada lagi di orbit (Pasal IV ayat 1);
c. Jika suatu objek antariksa diluncurkan ke orbit bumi ditandai
dengan suatu tanda dan/atau nomor pendaftaran, Negara
tersebut
harus
memberitahukan
Sekjen
PBB
tentang
keadaan/fakta tersebut (Pasal V);
d. Dari waktu kewaktu boleh memberikan keterangan tambahan
tentang objek antariksa yang telah didaftarkan kepada Sekjen
PBB (Pasal IV ayat 2);
e. Jika suatu Negara Peserta tidak mampu mengidentifikasi benda
antariksa yang menyebabkan keadaan bahaya, Negara-negara
peserta lain yang mempunyai fasilitas monitor dan fasilitas
penjejak (Tracking), atas suatu permintaan, harus memberikan
pertolongan seluas-luasnya atau memberitahukan Sekjen PBB
untuk membantu sesuai dengan kondisi yang ada dari benda
antariksa tersebut (Pasal VI para 1).
193. Sesuai dengan Status Indonesia sebagai Negara Pihak, maka khusus
masalah pendaftaran ini, LAPAN telah mengirim surat ke Ditjen Postel dan
memperoleh jawaban berupa surat persetujuan tentang LAPAN untuk
menjadi pelaksana pendaftaran benda antariksa (roket dan satelit)
Indonesia ke Sekretariat Jenderal PBB. Namun surat tersebut tidak
menyebutkan tentang pembentukan Badan Register Nasional Benda
Antariksa. Sehubungan dengan hal tersebut maka pengaturan tentang
pendaftaran ini LAPAN hanya memuat tata cara pendaftaran Benda
Antariksa ke LAPAN dan LAPAN ke PBB. Namun siapa yang berwenang
memberikan tanda dan atau nomor pendaftaran
(semestinya adalah
wewenang Badan Register Nasional Benda Antariksa).
194. Selain kedua jenis, pendaftaran tersebut di atas, saat ini sedang
disusun The Preliminary Draft Protocol to the Convention on International
Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Space Assets.
Rencananya draft protocol ini akan disahkan pada sidang Governing
Council Unidroit tahun 2011. Protocol Space Asset ini juga memberikan
kewajiban untuk melakukan pendaftaran benda antariksa terkait dengan
masalah perjanjian penjaminannya. Oleh karena itu, berdasarkan kondisi
tersebut, masalah pendaftaran di bidang keantariksaan sampai saat ini,
yang diatur hanya hal-hal yang terkait dengan pendaftaran untuk
kepentingan telekomunikasi dan penyiaran.
195. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka dalam UUK, akan diatur
masalah pendaftaran di luar yang telah dicakup dalam Undang-Undang
Halaman | 103
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Telekomunikasi dan Penyiaran tersebut. Adapun secara rinci ketentuan
tentang pendaftaran ini akan diatur dalam Peraturan kepala LAPAN,
mengingat cakupannya yang bersifat teknis operasional. Namun demikian
sunguhpun bersifat teknis, pengaturan ini harus mampu mengikat keluar
ke dalam.
2.
Lisensi/Perijinan
196. Ketentuan tentang perijinan sangat penting dalam kegiatan
keantariksaan, hal ini mengingat sifat dari kegiatan keantariksaan itu
sendiri yang high tech, high risk dan highcost. Di samping itu, perijinan ini
juga menjadi salah satu bentuk pelaksanaan kewajiban internasional yang
termuat dalam Traktat Antariksa 1967, khususnya Pasal VI dan Pasal VIII,
dimana negara wajib melakukan pengawasan dan pengendalian secara
terus menerus terhadap penyelenggaraan keantariksaan nasionalnya.
Salah satu bentuk pengawasan dan pengendalian pemerintah tersebut
adalah melalui pemberian izin atau otorisasi.
197. Dilihat dari kegiatannya terdapat beberapa bentuk perijinan dalam
penyelenggaraan keantariksaan antara lain :
a. Ijin pembangunan infrastruktur keantariksaan;
b. Ijin tempat kegiatan peluncuran;
c. Ijin peluncuran
d. Ijin penggunaan frekuensi dan slot orbit;
e. Bentuk perijinan lainnya;
198. Mengingat bahwa ijin keantariksaan untuk kepentingan pemanfaatan
telekomunikasi dan penyiaran sudah diatur dalam peraturan perundangundangan yang ada. Maka dalam konteks peraturan ini, semua perijinan
yang telah diatur, akan tunduk pada aturan yang berlaku. Sedangkan
perijinan yang belum diatur atau diluar ketentuan yang berlaku saat ini,
adalah termasuk materi yang akan diatur dalam UUK ini. Untuk itu, dalam
implementasinya mengenai perijinan ini akan diatur dalam Peraturan
Pemerintah tersendiri.
J.
Tanggung Jawab dan Kerugian
199. Secara umum tanggung jawab dapat dibedakan dalam tanggung
jawab yang bersifat publik (responsibility) dan tanggung jawab yang bersifat
keperdataan (liability). Tanggung jawab dalam arti liability berarti kewajiban
untuk mengganti kerugian atau mengembalikan kepada keadaan semula,
sedangkan tanggung jawab dalam arti responsibility adalah hal-hal yang
secara hukum harus dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak. Dengan
demikian responsibility mempunyai pengertian yang lebih luas, baik dalam
bentuk maupun cakupannya. Responsibility dapat berupa tindakan berbuat
Halaman | 104
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
atau tidak berbuat sesuatu. Liability lahir dari adanya responsibility, akan
tetapi tidak semua responsibility mengakibatkan adanya liability.
200. Pihak yang dapat dikenakan pertanggungjawaban dapat berupa
negara dan bukan negara (organisasi internasional, badan hukum dan
perseorangan). Tanggung jawab negara dalam arti responsibility, menurut
Oppenheim dapat dibagi dua yaitu Vicarious State Responsibility dengan
Original State Responsibility. Original State Responsibility timbul dari
tindakan-tindakan yang dilakukan oleh atau atas ijin pemerintah suatu
negara.
Sedangkan Vicarious State Responsibility timbul dari tindakan
tanpa kuasa, baik yang dilakukan oleh organ-organ negara, perseorangan,
atau pribadi hukum lainnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan
bahwa akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan tanpa kuasa tidak
selalu menimbulkan tanggung jawab pada negara yang bersangkutan101 .
201. Dalam kondisi masyarakat yang semakin kompleks, dimana
hubungan yang dilakukan tidak terbatas antar negara/pemerintah saja,
tetapi juga meliputi hubungan antar lembaga-lembaga, organisasiorganisasi, perwakilan dan bahkan individu, maka permasalahan tanggung
jawab negara juga semakin kompleks. Atas dasar kekompleksan
permasalahannya, maka banyak dikembangkan teori-teori yang berkaitan
dengan tanggung jawab negara.
202. Teori-teori yang berkaitan dengan tanggung jawab negara ini tidak
lepas dari pengaruh perkembangan mengenai hukum pertanggungan dalam
hukum keperdataan yang berlaku di masyarakat yang pada awalnya
mempunyai lingkup domestik (lokal) , kemudian berkembang pada lingkup
yang lebih luas. Konsep perbuatan melawan hukum yang semula
didasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault theory), artinya tiada
tanggung jawab untuk mengganti kerugian tanpa bukti adanya kesalahan
(no liability without fault).
Namun kemudian pada akhir abad ke XIX
prinsip ini tidak dapat lagi dipertahankan sebagai satu-satunya prinsip
pertanggungjawaban, karena dianggap tidak lagi sepenuhnya mampu
memenuhi tuntutan perkembangan kegiatan manusia. Pergeseran nilai ini
ditunjukkan melalui putusan hakim dalam kasus Ryland Vs Fletcher,
dimana dinyatakan: ...The doctrine of strict liability (or absolute liability) has
evolved in modern times in scertain kinds of situation where injury has been
caused by an activity that is not wrongful, but give rise to liability in the
absence of an allegation of negligence or fault....
203. Pada perkembangan selanjutnya ternyata prinsip ganti rugi yang
berkembang
pada
hukum
keperdataan
tersebut
mempengaruhi
perkembangan teori-teori tentang tanggung jawab negara (state
responsibility). Sehubungan dengan masalah tanggung jawab ini,
IBR. Supancana, “Tanggung Jawab dalam Kegiatan Kedirgantaraan”, Bahan Masukan
Penyusunan RUU Kedirgantaraan Nasional, 1995.
101
Halaman | 105
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
diperlukan adanya kejelasan mengenai pihak-pihak yang bertanggung
jawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan
keantariksaan yang dilakukannya, serta prinsip tanggung jawab yang
diberlakukan baik kegiatan tersebut dilakukan oleh negara maupun subyek
hukum lainnya.
204. Perjanjian yang terdiri dari 28 (dua puluh delapan) pasal ini memuat
ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut:
a. Pengertian-pengertian
pokok
seperti
kerugian
(damage),
peluncuran (launching), negara peluncur (launching state), benda
antariksa (space object);
b. Prinsip pertanggungjawaban yang bersifat absolut (absolute
liability) dalam hal kerugian terjadi pada permukaan bumi atau
pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan. Sementara
itu bagi kerugian yang terjadi antariksa, maka pertanggungjawabannya didasarkan atas unsure kesalahan (liability based on
fault);
c. Pihak yang bertanggungjawab atas kerugian yang diakibatkan
oleh benda-benda antariksa adalah Negara peluncur (launching
state) yang meliputi:Negara yang benar-benar meluncurkan,
Negara yang membiayai peluncuran maupun Negara yang
menyediakan wilayah dan fasilitasnya untuk kepentingan
peluncuran. Dalam hal dilakukan peluncuran bersama, maka
pertanggungjawabannya bersifat bersama-sama dan tanggung
renteng.;
d. Pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi adalah Negara
yang tidak termasuk dalam pengertian Negara peluncur
(termasuk badan hukum maupun badan pribadinya) yang
menderita kerugian akibat kegiatan Negara peluncur;
e. Tata cara pengajuan tuntutan ganti rugi pada instansi pertama
dilakukan melalui saluran diplomatik (diplomatic channel), jika
gagal dapat dibentuk Komisi Penuntut (claim commission) atas
kesepakatan Negara korban dan Negara peluncur. Gugatan juga
dapat dilakukan melalui pengadilan, pengadilan administrasi atau
badan-badan pemerintah terkait pada Negara peluncur;
f. Penetapan jumlah ganti rugi harus didasarkan atas prinsipprinsip hukum internasional serta prinsip keadilan untuk
memulihkan keadaan korban seperti sebelumnya;
g. Dalam hal terjadinya “large scale danger” sebagai akibat dari
kegiatan benda antariksa yang dapat membahayakan kehidupan
manusia dan kehidupan, maka Negara peluncur wajib
memberikan bantuan kepada Negara korban dalam melakukan
“search and recovery and clean-up operation” jika diminta oleh
Negara korban;
Halaman | 106
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
h. Perjanjian ini juga berlaku bagi organisasi internasional yang
menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban sebagaimana
diatur dalam perjanjian ini.
205. Sebagaimana diketahui, Liability Convention, 1972 memuat tentang
tanggung
jawab
Negara
peluncur
terhadap
akibat
kegiatan
keantariksaannya. Sistim pertanggung jawaban Negara peluncur ini tidak
begitu lazim dalam hukum internasional, karena tidak ditemukan
ketentuan yang sama di bidang lainnya, tidak juga untuk kegiatan-kegiatan
industri nuklir. Menurut pandangan Armel Kerres, Liability Convention,
1972 memuat ketentuan yang dipandang sangat efisien berkaitan dengan
korban di Bumi yaitu102 :
a. Tujuannya adalah untuk tanggung jawab bagi korban di bumi,
tidak untuk di antariksa. Tidak ada kesalahan yang harus
dibuktikan, hal ini sangat penting, karena tidak mungkin bagi
korban untuk membuktikan kesalahan dari suatu kegiatan yang
bersifat rahasia di antariksa.
b. Tanggung jawab untuk jumlah yang tidak terbatas. Tidak seperti
kejadian yang terjadi di laut atau kecelakaan nuklir yang
terdapat batasan jumlah yang harus dibayarkan.
Hal ini
dipandang penting dan adil, karena tidaklah fair apabila korban
yang secara potensial tidak melakukan apa-apa menderita
kerugian.
c. Tanggung jawab tidak memiliki batas waktu;
d. Tanggung jawab mutlak. Tidak terdapat kemungkinan
membebaskan diri dari tanggung jawab. Tidak juga tindakan
tuhan, tidak ada kesalahan pihak ketiga, tidak juga ada
kesalahan dari korban. Hanya terhadap kesalahan fatal, atau
tindakan atau kelalaian yang dilakukan yang menimbulkan
kerugian (Liability based on gross negligence, or an act, or
omission done with intent to cause damage, sesuai dengan Pasal
VI Liability Convention, 1972).
e. Tanggung jawab bersifat global.
Tanggung jawab Negara
peluncur berlaku terhadap semua bentuk kegiatan, pada waktu
peluncuran, phase pemisahan, melintas di orbit, selama masa
hidup satelit di orbit dan kembali ke Bumi (de-orbit) beberapa
abad kemudian.
f.
Jika terdapat lebih dari satu Negara peluncur atau jika dua
benda
antariksa
berbenturan,
maka
Negara
peluncur
bertanggung jawab secara bersama-sama dan sebagian,
berdasarkan kesepakatan di antara mereka. Hal ini tidak akan
menggurangi hak korban untuk mendapatkan ganti kerugian
secara penuh.
Armel Kerres, “Liability Convention and Liability For Space Activities”, Proceeding
UN/IASL on Capacity Building in Space Law, United Nations, 2003, halaman 28.
102
Halaman | 107
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
206. Liability Convention, 1972 mempertimbangkan kewajiban untuk
bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh suatu negara
peluncur di mana saja hal itu terjadi. Perbedaan antara kerugian yang
terjadi di bumi dan kerugian yang terjadi di antariksa, hanya berlakunya
aturan yang lebih detil. Fakta bahwa kita hanya mempunyai satu sistem
untuk kemungkinan kerugian di bumi dan untuk kemungkinan kerusakan
di antariksa menghambat penerapan Konvensi. Kedua-kasus tersebut dan
kewajiban yang dikenakan ditetapkan dalam suatu system yang sama yaitu
Liability Convention, 1972. Dasar pemikiran atau logika yang timbul
keduanya merupakan hal yang berbeda, oleh karena itu, aturannya pun
harus berbeda.
207. Dalam suatu kasus dari suatu absolute liability, masalah ini
merupakan hal yang pokok dalam hukum. Dalam hal ini suatu perjanjian,
harus menentukan siapa yang dapat dikenakan kewajiban untuk
bertanggung jawab. Liability Convention, 1972 menetapkan bahwa negara
peluncur. Hal ini dipandang adalah tepat, namun demikian Liability
Convention, 1972 menetapkan bahwa untuk peristiwa yang terjadi di
antariksa negara peluncur dapat dikenakan, tetapi hanya jika
kesalahannya terbukti. Hal seperti ini tidak berlaku bagi korban di bumi,
dimana Negara peluncur bertanggung jawab secara mutlak.
208. Sehubungan dengan hal tersebut maka ruang lingkup Liability
Convention,1972 dipandang hanya terbatas pada:
a.
Hanya terhadap kerugian yang disebabkan oleh benda
antariksa. Liability Convention, 1972 menetapkan bahwa Negara
peluncur bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang
disebabkan oleh benda antariksanya.
Apabila terjadi suatu
kegagalan benda antariksa (sebagai contoh jika suatu satelit
berhenti memancarkan signal) dan kerugian yang terjadi
berlangsung di atas bumi. Di mana seseorang yang
menggunakan signal yang dikirim oleh suatu benda antariksa
tersebut bukanlah sebagai pihak ketiga untuk kegiatan tersebut
dan mereka mengambil manfaat dari peristiwa tersebut.
Berdasarkan kasus tersebut tercermin bahwa pada waktu
mengesahkan Konvensi ini, Negara Peserta hanya mempunyai
pikiran terhadap kerusakan phisik atau kerusakan mekanis dan
bukan suatu gangguan pelayanan yang terkait dengan benda
antariksa.
b.
Tidak berlaku tanggung jawab antar Negara peluncur. Apabila
terjadi kasus, dimana suatu benda antariksa milik Pemerintah
Germany diluncurkan dari Kourou oleh Roket Ariane. Beberapa
tahun kemudian benda antariksa tersebut jatuh di Perancis dan
menimbulkan kerugian pada warga Perancis. Dapatkah Perancis
menuntut Germany berdasarkan Liability Convention, 1972.
Halaman | 108
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Jelas jawabannya adalah tidak. Karena kedua Negara merupakan
pihak yang secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap
akibat yang ditimbulkan oleh benda antariksa yang sama. Oleh
karena itu, posisi Perancis tidaklah berbeda dengan posisi
Germany, keduanya adalah Negara peluncur. Oleh karena itu,
tidak mungkin antara satu Negara peluncur menuntut Negara
peluncur lainnya untuk akibat yang ditimbulkan oleh benda
antariksa yang sama mereka luncurkan, berdasarkan ketentuan
Liability Convention, 1972. Kemungkinan bagi Perancis menuntut
pihak Germany hanya berdasarkan persetujuan yang ada di
antara mereka.
c.
Tidak mengatur tentang pembagian Risiko antar Negara
peluncur. Berdasarkan Pasal V ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa
ayat (i) “Bila mana dua atau lebih Negara bersama meluncurkan
sebuah benda antariksa, mereka secara bersama atau sendirisendiri bertanggung jawab atas setiap kerusakan yang
disebabkan oleh mereka. Ayat (2) Negara peluncur yang telah
membayar ganti rugi atas kerugian ,mempunyai hak untuk
menuntut penggantian kepada Negara peserta lainnya yang ikut
dalam peluncuran bersama tersebut. Negara peserta dalam
suatu peluncuran bersama dapat membuat perjanjian tentang
besarnya tanggung jawab keuangan yang menjadi kewajiban
mereka terhadap hal-hal yang merupakan tanggung jawab
mereka bersama atau tanggung jawab mereka sendiri-sendiri.
Perjanjian tersebut harus tanpa mengurangi adanya hak satu
Negara yang menderita kerusakan untuk memperoleh semua
ganti rugi berdasarkan konvensi ini dari setiap atau semua
Negara peluncur secara bersama dan atau sendiri-sendiri.
209. Berdasarkan Pasal IV ayat 2, menyatakan bahwa dalam hal tanggung
jawab secara bersama dan tanggung jawab secara sendiri-sendiri yang
dinyatakan dalam ayat (1) Pasal ini, beban ganti rugi terhadap kerusakan
dibagi secara adil antara kedua Negara penyebab kerusakan sesuai dengan
besarnya kesalahan, bila besarnya kesalahan masing-masing tidak dapat
ditentukan, tanggung jawab ganti rugi harus dibagi sama antara kedua
Negara tersebut. Pembagian tersebut harus tanpa mengurangi hak Negara
ketiga untuk mendapatkan seluruh ganti rugi yang harus dibayar
berdasarkan Konvensi ini dari salah satu atau semua Negara peluncur yang
secara bersama dan sendiri-sendiri bertanggung jawab.
210. Berdasarkan kedua materi tersebut di atas, terlihat bahwa Liability
Convention, mengakui adanya peluncuran bersama dan tanggung jawab
bersama berdasarkan persetujuan di antara mereka. Namun dalam
beberapa kasus, terdapat Negara peluncur yang keterlibatannya sangat
sedikit, seperti halnya Negara-negara yang hanya meminjamkan wilayahnya
Halaman | 109
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
kepada Negara lain untuk melakukan kegiatan peluncuran.
tidak diatur oleh Liability Convention, 1972.
Hal ini jelas
211. Liability Convention, 1972 menentukan bahwa setiap tuntutan ganti
rugi harus diajukan oleh negara penuntut melalui saluran diplomatik atau
jika negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara
peluncur, negara penuntut dapat meminta negara lain untuk mengajukan
tuntutan terhadap negara peluncur atau mewakili kepentingannya melalui
Sekretaris Jenderal PBB asalkan kedua pihak merupakan anggota PBB.
Tuntutan ganti rugi atas kerugian harus diajukan kepada negara peluncur
dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal terjadinya kerugian
atau tanggal diketahuinya negara peluncur yang bertanggung jawab, atau
mulai dari diketahuinya fakta-fakta adanya kerugian tersebut. Pengajuan
perubahan tuntutan dan dokumen tambahan dimungkinkan menurut
konvensi ini, walaupun batas waktu sudah habis, yaitu dalam hal ketika
tuntutan diajukan kerusakan belum diketahui seluruhnya.
212. Apabila tuntutan ganti rugi melalui saluran diplomatik tidak dapat
menyelesaikan kasus tersebut, maka dalam waktu satu satu tahun sejak
negara penuntut memberitahu negara peluncur tentang penyerahan
dokumen tuntutannya, atas permohonan salah satu pihak, kedua pihak
harus membentuk Komisi Penuntut yang akan menyelesaikan
kasus
tersebut. Komisi penuntut menentukan prosedur penyelesaian tuntutan,
tempat sidang, nilai-nilai tuntutan dan menetapkan besarnya ganti
kerugian yang bisa dibayarkan, bila ada. Keputusan Komisi merupakan
keputusan final dan mengikat para pihak, dengan catatan apabila kedua
belah pihak menyetujuinya.
Apabila kedua pihak tidak menyetujui
keputusan tersebut, Komisi harus memberikan putusan berupa
rekomendasi akhir untuk mana para pihak harus mempertimbangkan
dengan itikad baik. Komisi harus memberi suatu alasan putusannya
kepada Negara penuntut dan peluncur. Berdasarkan mekanisme tersebut di
atas, terlihat bahwa Keputusan Komisi Penuntut tidaklah merupakan
keputusan hukum yang mengikat dan bersifat final.
213. Indonesia telah meratifikasi Liability Convention 1972, oleh karena itu
semua ketentuannya harus diaplikasikan dalam UUK ini. Sehubungan
dengan aplikasi tersebut, maka beberapa prinsip umum yang ada dalam
Liability Convention 1972, dimuat secara tegas dalam UUK ini yaitu :
a. Penetapan bahwa Pemerintah RI akan bertanggung jawab
terhadap semua kegiatan keantariksaan nasionalnya.
b. Pelimpahan tanggung jawab negara RI terhadap penyelenggara
keantariksaan dalam mengganti kerugian yang ditimbulkan
terhadap pihak ketiga dan kerusakan lingkungan.
c. Pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak bagi setiap
kegiatan keantariksaan terhadap korban di Bumi dan di ruang
udara (pihak ketiga);
d. Pemberlakuan Prinsip tanggung jawab atas kesalahan terhadap
Halaman | 110
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
e.
f.
kerugian di antariksa.
Pengalihan tanggung jawab secara otomatis apabila terjadi
transfer kepemilikan benda antariksa di orbit pada waktu tanggal
terjadinya persetujuan.
Sedangkan
besaran
penggantian
kerugian
ditentukan
berdasarkan kondisi dengan menganut prinsip pemulihan
kembali pada keadaan semula (khusus untuk kerugian terjadi
terhadap pihak ketiga dan kerusakan lingkungan).
214. Sehubungan dengan aplikasi lebih lanjut berbagai prinsip utama
tersebut di atas, maka akan dimuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
K.
Asuransi dan Penjaminan
1.
Asuransi
215. Asuransi merupakan salah satu bentuk yang diwajibkan dalam
pelaksanaan penyelenggaraan keantariksaan. Premi asuransi peluncuran
satelit masih cukup tinggi, berkisar antara 17-19 % dari nilai satelit.
Tingginya premi ini disebabkan oleh masih tingginya resiko yang timbul
dari jenis kegiatan keantariksaan ini. Berbagai faktor ikut menentukan
besarnya premi, seperti jumlah kegagalan peluncuran, jumlah klaim yang
diajukan, besar kerugian yang diderita, peluncuran yang digunakan dan
kapasitas asuransi yang tersedia pada perusahaan-perusahaan asuransi. Di
samping itu, pembuat satelit dan muatan (payload) dan para
subkontraktornya juga dapat menjadi bahan pertimbangan.
216. Dari klaim terhadap perusahaan asuransi dapat terlihat masih
tingginya resiko peluncuran satelit. 67 % dari klaim yang diajukan
berkaitan dengan kegagalan kendaraan peluncur, 20 % karena masalah
yang timbul pada masa awal hidup satelit di orbit sebelum dialihkan
kepada pemilik untuk penggunaan secara operasional, dan sisanya 13 %
disebabkan oleh kegagalan dalam operasi satelit. Karena besarnya
kemungkinan kerugian yang timbul, sudah menjadi praktek perusahaanperusahaan asuransi satelit di dunia untuk melakukan penanggungan
bersama (co-insurance) dan pengasuransian kembali (re-insurance).
Kapasitas asuransi yang tersedia pada perusahaan-perusahaan asuransi
juga masih terbatas. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kegagalan
suatu peluncuran dapat menimbulkan pengaruh yang cukup besar
terhadap pendapatan perusahaan-perusahaan ini dari bisnis asuransi
selanjutnya.
217. Dalam
merundingkan
kerugian
premi,
perusahaan
dapat
meningkatkan posisi tawarnya dengan menggunakan peralatan peluncuran
yang mempunyai reputasi baik. Meskipun terbuka kemungkinan untuk
meningkatkan posisi tawar, tetap timbul kritik terhadap perusahaan
asuransi yang dalam praktek tidak membedakan premi untuk peluncuran
Halaman | 111
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
yang mempunyai pengawasan kualitas yang ketat dan hanya menderita
sedikit kerugian dengan peluncur yang mempunyai reputasi buruk. Dengan
masih tingginya premi asuransi, terbuka kemungkinan beberapa bentuk
penutupan asuransi. Pertama, perusahaan dapat menanggung sendiri
segala resiko yang terjadi dengan satelit (self insurance) bentuk ini cocok
untuk perusahaan-perusahaan besar atau para pemilik atau operator dari
sejumlah satelit. Resiko kerugian dapat dikurangi melalui penggunaan dana
secara internal yang dengan penutupan asuransi biasa dana tersebut akan
dibayarkan perusahaan asuransi dalam bentuk premi.
218. INTELSAT adalah salah satu contoh operator satelit yang
menanggung sendiri resiko satelitnya dan sekaligus mengalami akibat dari
pertanggungan sendiri ini, yaitu ketika salah satu satelitnya gagal mencapai
orbit yang dikehendaki. Pertanyaan yang timbul disini adalah dalam hal
terjadi kerugian, apakah pihak operator dapat menuntut pihak lain. Di
samping itu, perusahaan juga dapat menanggung sendiri sebagai dari
resiko, sementara sebagian lagi dari resiko ditutup melalui asuransi
komersil. INMARSAT menggunakan cara kombinasi ini untuk menanggung
segala resiko satelit INMARSAT II.
219. Dalam asuransi satelit juga dikenal klausul on loss return premium
yang berarti apabila tidak timbul kerugian, sebagian dari premi akan
dikembalikan kepada tertanggung. Premi yang dikembalikan ini biasanya
berkisar antara 15 sampai dengan 33,3 %. Penggunaan klausul ini banyak
tergantung pada perkembangan pasar asuransi satelit. Dalam keadaan
pasar yang buruk, misalnya apabila terjadi kegagalan beberapa peluncuran,
akan makin sulit untuk memasukan klausul ini dalam ketentuan perjanjian
asuransi peluncuran. Metode penutupan asuransi yang baru juga
dikembangkan. Salah satu metode tersebut adalah asuransi paket (package
insurance). Dengan asurnsi ini sejumlah satelit diasuransikan berdasarkan
satu polis sehingga resiko tersebut dan pihak penanggung dapat menutup
kerugian dengan mudah.
220. Sampai saat ini sudah terdapat beberapa jenis asuransi kegiatan
keantariksaan yaitu :
a. Construction Insurance (Memberikan jaminan atas kerusakan
atau kerugian pada saat satelit dibuat di pabrik pembuat).
b. Pre-Launch Insurance (memberikan jaminan atas kerusakan atau
kerugian pada saat satelit diangkut dari pabrik pembuat ke
launch site, perakitan dan verifikasi sub sistem satelit, hingga
final test atas satelit sebelum diluncurkan).
c. Launch Insurance (memberikan jaminan atas kerusakan atau
kerugian (termasuk kegagalan peluncuran) pada satelit yang
dimulai dari penyalaan roket hingga satelit mencapai orbitnya).
d. Satelit In-Orbit Insurance (Memberikan jaminan atas kerusakan
atau kerugian pada fase operasional satelit yakni saat satelit
beroperasi di orbit yang telah ditetapkan).
Halaman | 112
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
e.
Liability Insurance (Memberikan jaminan atas tanggung jawab
kepada pihak ketiga (property damage dan bodily injury) sejak
masa konstruksi satelit hingga fase operasional satelit).
221. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam UUK ini hanya
diwajibkan kepada penyelenggara keantariksaan untuk membayar premi
dalam jumlah maksimum yang mampu untuk menutup kerugian yang
timbul terhadap pihak ketiga dan kerusakan lingkungan sesuai dengan
prinsip tanggung jawab mutlak di atas. Sedangkan terhadap pembayaran
bentuk premi asuransi lainnya, diserahkan sepenuhnya kepada pelaksana
kegiatan apakah akan mengasuransikan atau tidak.
2.
Penjaminan
222. Masalah menjadikan benda-benda antariksa sebagai obyek
penjaminan merupakan masalah baru di bidang keantariksaan. Isu ini
muncul pada waktu munculnya isu komersialisasi antariksa, yang
kemudian dalam pembahasan aturan hukumnya UNCOPUOS menyerahkan
kepada Unidroit. Sampai saat ini Unidroit telah mengesahkan 3 ketentuan
terkait ini yaitu : (i) Convention on International Interests in Mobile Equipment
(ii) Protocol To The Convention on International Interests in Mobile Equipment
on Matters Specific to Aircraft Equipment (keduanya disahkan secara
bersamaan tanggal 16 Nopember 2001), (iii) the Luxembourg Protocol to the
Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters specific
to Railway Rolling Stock (disahkan 23 Pebruari 2007). Aircraft Protocol
sesuai dengan ketentuan sudah berlaku sejak 1 Maret 2006.
223. Saat ini sedang dalam pembahasan protocol yang ketiga yaitu The
Preliminary Draft Protocol to the Convention on International Interests in
Mobile Equipment on Matters Specific to Space Assets. Rencananya draft
protocol ini akan disahkan pada sidang Governing Council Unidroit tahun
2011. Sesuai dengan tujuan protocol ini, maka Protocol Space Asset akan
memberikan manfaat untuk;
a. pengurangan biaya dan simplifikasi keuangan satelit,
b. kesanggupan menarik lembaga keuangan yang lebih banyak
untuk pendanaan satelit,
c. Ketentuan yang seragam yang mencakup hak mulai sejak
pabrikasi, sampai peluncuran bahkan setelahnya,
d. Ketentuan-ketentuan yang melindungi lebih dari penyelenggara
satelit saja,
e. Ketentuan perlindungan terhadap kontrak-kontrak penjualan
termasuk security agreements, retention agreements dan leasing
agreements.
f.
Ketentuan perbaikan kesalahan yang cepat dan bersifat final.
224. Dilihat dari manfaat protocol tersebut, maka seperti halnya Protocol
Aircraft, dimana Indonesia telah meratifikasinya bersamaan dengan Cape
Halaman | 113
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Town Convention yaitu dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Convention on International
Interests in Mobile Equipment (Konvensi Tentang Kepentingan Internasional
Dalam Peralatan Bergerak) Beserta Protocol to the Convention on International
Interests in Mobile Equipmen on Matters Specific to Aircraft Equipment
(Protokol Pada Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam
Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-Masalah Khusus Pada Peralatan
Pesawat Udara), ada kemungkinan Indonesia akan meratifikasi Protocol
Space Asset ini apabila telah disahkan.
225. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dalam UUK ini dibuka
kemungkinan untuk Indonesia memberlakukan Protokol Space Asset,
dengan mengkaitkan materi muatannya pada ketentuan tentang
komersialisasi antariksa yang akan disusun nantinya. Oleh karena itu
pencantuman ketentuan penjaminan ini akan mengacu pada aspek
tanggung jawab dan kerugian, sistem pendaftaran dan komersialisasi
keantariksaan.
L.
Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual
226. Sangat disadari bahwa kegiatan keantariksaan terkait erat dengan
aktivitas intelektual dimana hasil kreasi intelektual yang terjadi dilindungi
dengan keberlakukuan hukum tentang hak kekayaan intelektual (contoh;
Paten, Hak Cipta, Merek, Rahasia Dagang, dan lain-lain). Oleh karena itu,
dalam perumusan UUK perlu diberikan pengakuan dan perlindungan
terhadap hak kekayaan intelektual yang terkait dengan jasa nilai tambah
dan juga produk-produk intelektual yang digunakan secara memadai.
Termasuk di dalamnya adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak
kekayaan intelektual asing. Untuk itu, keserasian dengan undang-undang
yang terkait di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual harus
menjadi pedoman dalam penyusunan UUK. Di samping itu perjanjianperjanjian internacional di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual
yang telah diratifikasi seyogyanya juga dijadikan pedoman.
227. Berbagai Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual mencakup antara
lain: Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, undangundang No.14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang No.31 tahun
2001 tantang Rahasia Dagang, Undang- undang No.32 tahun 2000 tentang
Disain Tata letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-undang No.7 tahun 1994
tentang Pengesahan WTO Agreement, khususnya tentang TRIPs (Trade
Related Aspects of Intelectual Property Rights). Di samping itu terdapat
beberapa Keputusan Presiden yang perlu diperhatikan yaitu: Keppres No.
16 tahun 1997 tentang Pengesahan Paten Cooperation Treaty (PCT) and
Regulation under The PCT. Keputusan Presiden No.19 tahun 1997 tentang
Pengesahan WIPO Copy Rights Treaty, serta Keputusan Presiden No. 18
Halaman | 114
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of
Liteary and Artistic Works.
228. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam UUK ini dimuat jaminan
perlindungan bagi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) keantariksaan yang
dimiliki oleh perseorangan atau Badan Hukum yang perolehannya sesuai
dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Di samping itu
dalam hal kegiatan bersama di bidang keantariksaan yang melibatkan
negara dan/atau badan usaha nasional dengan negara dan/atau badan
usaha asing, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas penemuan dan/atau
ciptaan yang dihasilkan berdasarkan perjanjian bersama.
M.
Pelestarian Lingkungan
229. Berdasarkan Pasal IX Traktat Antariksa 1967, ditegaskan bahwa
setiap negara yang melaksanakan kegiatan antariksa harus menghindari
terjadinya bahaya kontaminasi dan perubahan yang dapat merusak
lingkungan, termasuk lingkungan di Bumi. Apabila suatu negara
mengetahui bahwa kegiatan atau percobaan yang dilakukannya atau warga
negaranya akan membahayakan atau mengganggu kegiatan negara lain,
maka
negara
yang
melaksanakan
kegiatan
tersebut
dapat
mengkonsultasikan kegiatannya pada tingkat internasional. Dalam hal ini,
negara lain mempunyai kesempatan untuk ikut mengawasi setiap kegiatan
suatu negara yang diperkirakan dapat menimbulkan ancaman terhadap
kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk tujuan damai.
230. Dengan
pemahaman
bahwa
keantariksaan
diabdikan bagi
kepentingan kemanusiaan, maka dalam pelaksanaannya harus senantiasa
berorientasi kepada lingkungan (environmental oriented) untuk kepentingan
pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam
perkembangan
terakhir
dampak
lingkungan
yang
timbul
dari
103
penyelenggaraan keantariksaan meliputi
:
a. Pembangunan dan pengoperasian bandar antariksa dan
infrastuktur bumi (spaceports and ground infrastructure)
menyebabkan pencemaran terkait : kualitas udara, ruang udara,
sumber daya biologi, aspek budaya, tanah dan geologi, hal-hal
terkait material dan limbah berbahaya, kesehatan dan
keselamatan, tata guna tanah, kebisingan, dampak sosio
ekonomi dan keadilan lingkungan, kepadatan dan transportasi,
dan sumber daya air.
103
Great Expectations An Assesment of the Potential for Sub Orbital Transportations
Final Report - Master 2008, hal 69 – 73.
Halaman | 115
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
c.
d.
Kebisingan (noise), sampai dengan saat ini belum ada studi
terkait tingkatan ledakan suara dari wahana peluncur yang
dapat diterima ambang batas kebisingan,
Penipisan ozon (ozone depletion) yang dapat dipicu dari tipe
bahan bahar yang dipergunakan (the types of propellants used)
dalam kegiatan peluncuran roket,
Jejak asap (carbon footprint) untuk kegiatan sistim transportasi
suborbital diidentifikasi dengan parameter : penipisan ozon,
keasaman, dan pemanasan global. Beberapa pakar menyarakan
penggunaan bahan bakar cair (liquid propellant) sampai batas 12
s/d 20 km dimana masih terdapat selimut ozon.
231. Sehubungan dengan paragraf 230 di atas, ditingkat nasional telah
ada berbagai undang-undang dan peraturan perundangan terkait di bidang
perlindungan dan pelestarian lingkungan, antara lain:
a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
b. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya;
c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi UN
Convention on Biological Diversity;
d. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1994 tentang Pengesahan
Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UN Framework
Convention on Climate Change);
e. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran Udara, dll.
232. Berdasarkan pada paragraph 231 di atas, maka rumusan tentang
pelestarian fungsi lingkungan bumi dan antariksa dimaksudkan sebagai
rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan bumi dan antariksa.
233. Sehubungan dengan tujuan pelestarian lingkungan bumi dan
antariksa, maka beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, antara lain :
a. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain,
dan sumber daya lainnya serta keseimbangan antarketiganya.
b. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang
masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Kerusakan lingkungan
adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap
sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang
melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup.
c. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar
makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus
Halaman | 116
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
d.
ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya
dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan
hidup.
Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas
perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup
yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap
melestarikan fungsinya. Ekosistem adalah tatanan unsur
lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuhmenyeluruh
dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan,
stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup.
234. Penyelenggaraan keantariksaan merupakan suatu usaha dan/atau
kegiatan yang dapat memberi pengaruh perubahan pada lingkungan hidup.
Pada umumnya dampak penting pengaruh perubahan pada lingkungan
hidup ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana
usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena
dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f.
berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
235. Untuk mengukur besarnya dampak penting tersebut maka setiap
penyelenggaraan keantariksaan wajib melakukan analisis mengenai
dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal. Amdal adalah
kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang
direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan. Dokumen AMDAL yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup, meliputi: ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan); RPL (Rencana
Pemantauan Lingkungan); serta RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan).
236. Berdasarkan uraian pargaraf 229-235 di atas, maka dalam UUK ini
dinyatakan
bahwa
setiap
penyelenggaraan
keantariksaan
wajib
mempertimbangkan perlindungan dan pelestarian lingkungan bumi dan
antariksa yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang
nasional dan internasional yang berlaku.
Halaman | 117
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
N.
Pembiayaan dan Insentif
1.
Pembiayaan
237. Pada umumnya pembiayaan keantariksaan negara-negara ditetapkan
dengan terlebih dahulu menetapkan program keantariksaan (space
programmes) atau kebijakan keantariksaan (space policy). Berdasarkan
space policy tersebut ditetapkan proyek unggulan dan tenggang waktu
(time frame) untuk mencapainya. Pembiayaan keantariksaan ditetapkan
berdasarkan besaran biaya yang dibutuhkan untuk menciptakan proyek
unggulan tersebut. Oleh karena itu besaran pembiayaannya adalah besaran
biaya keseluruhan menciptakan proyek unggulan dibagi waktu
pencapaiannya. Penetapan biaya ini ditetapkan langsung dalam satu
kebijakan untuk beberapa tahun. Beberapa contoh sistem pembiayaan
tersebut adalah :
a.
Amerika Serikat :
238. Dalam 10 tahun yang akan datang, NASA akan berfokus kepada
enam Strategic Goals untuk kemajuan pencapaian Visi Eksplorasi
Antariksa (Space Exploration). Masing-masing dari 6 (enam) Strategic Goals
didefinisikan secara jelas dan didukung oleh Outcomes multi-year yang akan
meningkatkan kemampuan NASA untuk mengukur dan melaporkan
pemenuhan-pemenuhan NASA dalam pencapaiannya. Adapun 6 tujuan
strategis tersebut adalah sebagai berikut104 :
Strategic Goal 1: Fly the Shuttle as safely as possible until its retirement, not
later than 2010.
Strategic Goal 2: Complete the International Space Station in a manner
consistent with NASA’s International Partner commitments
and the needs of human exploration.
Strategic Goal 3: Develop a balanced overall program of science, exploration,
and aeronautics consistent with the redirection of the
human spaceflight program to focus on exploration.
Strategic Goal 4: Bring a new Crew Exploration Vehicle into service as soon
as possible after Shuttle retirement.
Strategic Goal 5: Encourage the pursuit of appropriate partnerships with the
emerging comercial space sector.
Strategic Goal 6: establish a lunar return program having the maximum
possible utility for later missions to Mars and other
destinations.
104
National Aeronautics and Space Administration , “ 2006 NASA Strategic Plan”, 2006.
Halaman | 118
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
239. Selanjutnya untuk masing-masing tujuan strategis ditetapkan
proyek-proyek unggulan untuk pencapaiannya. Berdasarkan proyek
unggulan NASA mengusulkan besaran biayanya yang summarynya terlihat
dalam Tabel 2.15 dan Tabel 2.16 sebagai berikut 105 :
Tabel 2.15
Permintaan Anggaran NASA Tahun 2010-2014
240. Berdasarkan usulan pembiayaan NASA, dilakukan pembahasan dan
ditetapkan anggaran multi-year sekaligus sebagai berikut106:
Tabel 2.16
Anggaran Multi-Tahun Amerika Serikat yang Disetujui
105
106
National Aeronautics and Space Administration, “Fiscal Year 2010 Budget Estimates”
National Aeronautics and Space Administration, “Fiscal Year 2010 Budget Estimates”,
Halaman | 119
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
b.
Korea Selatan
241. Berdasarkan Law Number 7538, Space Development Promotion Act, 31
Mei 2005, Dalam Pasal 5 : Establishing Basic Plan for Promoting Space
Development, Korea Selatan menetapkan program keantariksaannya
sebagai berikut107 :
(1) The Korean government shall establish a basic plan (hereinafter
referred to as "Basic Plan") for promoting space development and for
using and managing space objects. The Basic Plan shall include the
following items:
1. Purpose and scope of space development policies;
2. Organizational structure and strategy for space development;
3. Implementation plan for space development;
4. Plans for expanding the foundation and infrastructure
necessary for space development;
5. Investment planning for obtaining the financial resources
necessary for space development;
6. Plans for training specialists necessary for space development;
A/AC.105/C.2/2009/CRP.14, Law Number 7538, Space Development Promotion Act, 31
Mei 2005, 30 March 2009.
107
Halaman | 120
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
7.
(2)
(3)
Outlines for international cooperation to promote space
development;
8. Guidelines for promoting space development projects;
9. Matters related to the use and management of space objects;
10. Practical applications using the results of space development,
such as satellite information, etc; and
11. Other provisions designated by Presidential Decree for the
promotion of space development and the use and management
of space objects.
The Korean government shall develop a Basic Plan every five
(5) years and it shall be confirmed by the National Space
Committee in accordance with Article 6.1. When amending the
Basic Plan, the same procedure shall apply, except for minor
changes set by the Presidential Decree.
The Minister of Science and Technology shall release the confirmed
Basic Plan and develop an execution plan in accordance with the
Basic Plan every year. This execution plan shall be deliberated on by
the heads of related central administrative agencies (the "head of the
National Intelligence Service" is included hereinafter); Information
concerning national security may not be released.
242. Berdasarkan Basic Plan tersebut, Korea Selatan menetapkan program
unggulan keantariksaan seperti Gambar 2.18. menunjukan program
persatelitan Korea Selatan 108:
Gambar 2.18
Program Persatelitan Korea Selatan
Basic Research Bureau Ministry of Science and Technology (MOST) Republic of Korea
“Space Development Policy and International Cooperation, Nov., 2007
108
Halaman | 121
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
243. Keberhasilan program keantariksaan Negara-negara di samping harus
dengan sasaran yang jelas dan termasuk tahapannya juga ditentukan
dengan komitmen anggaran yang dialokasikan.
Di samping itu,
sungguhpun telah dilakukan pentahapan yang jelas tidak jarang bahkan
dapat dikatakan pada umumnya proyek dan program keantariksaan
mengalami kemunduran dari jadual yang telah ditentukan. Kendala ini
pada umumnya dapat bersifat teknis dan non teknis seperti keselamatan
dan keamanan teknologi yang digunakan. Gambar 2.19 berikut
memperlihatkan perbandingan besaran anggaran keantariksaan Negaranegara di dunia berdasarkan data anggaran tahun 2009. Dari gambar
tersebut terlihat besaran biaya program keantariksaan beberapa Negara:
a.
Beberapa Negara Asia yaitu (i) Jepang US$ 2.340 Juta (ii) China
US$ 1.269 Juta (iii) India US$ 906 Juta (iv) Iran US$ 100 Juta,
(v) Pakistan US$ 71 Juta.
b.
Beberapa Negara Asean yaitu: (1) Malaysia US$ 25 Juta, (ii)
Thailand US$ 20 Juta (iii) Vietnam US$ 19 Juta (iv) Indonesia
US$ 18 Juta.
Gambar 2.19.
Besaran Biaya Program Keantariksaan Negara-negara
244. Berdasarkan proses penganggaran negara-negara tersebut, maka
dalam UUK ditetapkan bahwa semua penganggaran proyek keantariksaan
Halaman | 122
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
harus bersifat multi-tahun dan penetapannya melalui usulan dari Panitia
Teknis DEPANRI, kemudian diproses sesuai sistem penetapan anggaran
yang berlaku di Indonesia.
2.
Insentif
245. Sebagaimana dikemukakan bahwa keantariksaan merupakan proyek
jangka panjang. Oleh karena itu, dilihat dari kepentingan pengusaha
(bisnis) dan sistem pengembalian investasi sangat kurang menarik,
mengingat ROI baru akan kembali setelah 4-5 tahun investasi berlangsung.
Hal ini jugalah yang menyebabkan pembangunan keantariksaan di berbagai
negara
selalu
diprakarsai
oleh
negara
yang
bersangkutan
(dhi.pemerintahnya) di samping awalnya lebih ditujukan untuk kepentingan
militer.
Dengan terbukanya peluang swasta dan perkembangan
komersialisasi keantariksaan, maka saat ini keantariksaan sudah mulai
dilirik oleh berbagai Allians (Multi National Enterprises) sebagai lahan baru
dalam investasi.
246. Mengingat kondisi tersebut di atas, maka dalam rangka mendorong
peran swasta khususnya industri serta investasi di bidang keantariksaan,
maka dalam UUK dibuka kesempatan bagi penyelenggaran pionir
keantariksaan untuk memperoleh insentif berupa, keringanan bea masuk,
pajak, kemudahan investasi dan bentuk insentif lainnya yang sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun
dalam perolehannya harus melalui kesepakatan pada fórum DEPANRI, dan
diusulkan/ berdasarkan persetujuan Kepala Lembaga.
O.
Peran Serta Masyarakat
247. Dalam penyelenggaraan kegiatan keantariksaan, masyarakat berhak
untuk :
a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan keantariksaan;
b. memperoleh manfaat atas penyelenggaraan keantariksaan;
c. memperoleh penghargaan yang sesuai dari pemerintah sesuai
dengan kinerja yang dihasilkan.
248. Mayarakat dapat berperan dengan dalam rangka meningkatkan
pengembangan dan pemanfaatan teknologi keantariksaan melalui penelitian
dan pengembangan teknologi terkait keantariksaan dan penggunaan
informasi terkait keantariksaan.
Halaman | 123
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
P.
Penyelesaian Sengketa
1.
Bentuk-Bentuk Sengketa Keantariksaan
249. Berdasarkan pandangan Dr. Huang Huikang, dilihat dari pihak-pihak
yang bersengketa, maka sengketa keantariksaan dapat dibagi dalam 6
bentuk yaitu:
a. Antara negara vs Negara (State versus State);
Sengketa antara Negara dengan Negara merupakan bentuk
sengketa berdasarkan hukum internasional. Pada umumnya
sengketa ini dapat diselesaikan pada tingkat internasional, yang
dilakukan dengan cara penyelesaian bentuk-bentuk klasik yang
pernah
dilakukan.
Demikian
juga
dengan
sengketa
keantariksaan antara dua Negara dapat dengan mengacu pada
ketentuan internasional yang ada, dan hukum antariksa
internasional.
b.
Negara vs Organisasi Internasional antar Pemerintah (IGO).
Sengketa antara Negara dengan Organisasi Internasional antar
pemerintah dapat terbagi dalam 2 bentuk yaitu (i) Dimana suatu
Negara menjadi anggota organisasi internasional antar
pemerintah tersebut (ii) Suatu Negara bukan menjadi anggota
organisasi internasional antar pemerintah. Dalam kasus pertama
dimana suatu Negara menjadi anggota oragnisasi internasional
tersebut, maka sengketa di antara keduanya diselesaikan melalui
ketentuan yang dibuat oleh organisasi internasional antar
pemerintah tersebut. Terhadap kasus kedua, sesungguhnya
hukum internasional umum dan berbagai pilihan penyelesaian
sengketa dapat ditawarkan dan hal ini dipandang sesuai. Dalam
kedua kasus ini, tidak terdapat perbedaan yang mendasar antara
hukum internasional umum dan hukum antariksa internasional
(yang dalam hal ini dipandang sebagai hukum internasional
khusus).
c.
Negara vs Pihak swasta ( State versus private entity)
Sengketa antara Negara dengan pihak swasta ini juga terbagi
dalam dua bentuk yaitu (i) Antara Negara dengan pihak swasta
yang berada di bawah jurisdiksi Negara tersebut (ii) Antara
Negara dengan pihak swasta yang tidak dibawah jurisdiksinya.
Dalam kedua kasus ini biasanya hukum nasional yang
diberlakukan. Perbedaan mendasar antara kasus pertama dan
kasus kedua adalah bahwa dalam kasus pertama pihak swasta
secara hukum bukanlah dalam posisi yang seimbang. Sebaliknya
dalam kasus kedua, penerapan ketentuan nasional dan
mekanisme penyelesaian sengketa selalu kurang menghasilkan.
Permasalahan antara faktor kegiatan keantariksaan dan sifat
internasional
serta
keterlibatan
swasta,
menimbulkan
Halaman | 124
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
permasalahan yang memerlukan pengaturan lebih dari satu
hukum nasional saja, termasuk mekanisme penyelesaian
sengketanya. Oleh karena itu sengketa ini secara potensial
merupakan sengketa yang khusus.
d.
Antar sesama organisasi internasional antarpemerintah Intergovernmental Organization (IGO vs IGO)
Sengketa antar sesama organisasi internasional antarpemerintah
sangat jarang terjadi, khusus di bidang keantariksaan, karena
terbatasnya jumlah IGO tersebut. IGO merupakan organisasi
yang sangat khusus dan kompleks untuk dapat terlibat dalam
suatu sengketa antara yang satu dengan yang lain. Di samping
itu seringkali antara organisasi ini mempunyai keanggotaan
Negara-negara yang hampir bersamaan. Sehingga dalam
penyelesaian sengketa selalu diserahkan pada mekanisme
hukum internasional yang ada, minimal antar sesama Negara
anggota, apalagi sesama Negara pendirinya. IGO biasanya
memberlakukan prinsip primat hukum nasional dari pada
hukum internasional, yang berarti bahwa hukum nasional lebih
kuat dari pada hukum internasional. Pada umumnya, dalam
menyelesaikan sengketa yang timbul dilakukan di pengadilan
nasional dan atau berdasarkan hukum nasional sendiri.
e.
Organisasi Internasional antar pemerintah versus pihak swasta
(IGO vs Private Entity)
Sengketa antara IGO dengan pihak swasta dapat menimbulkan
situasi yang kompleks, dimana para pihak lebih menyukai
penyelesaian melalui hukum nasional dan mekanisme
penyelesaian sengketa di tingkat nasional. Hal ini juga
tergantung pada apakah perusahaan swasta tersebut berada
pada jurisdiksi negara anggota IGO, atau Negara tuan rumah
(host state). Dalam hukum antariksa, hal ini menjadi masalah
penting khususnya berkaitan dengan di mana wilayah
operasional IGO dan tempat kedudukan dari perusahaan swasta.
f.
Antar sesama perusahaan swasta (Private entity vs private
entity).
Sengketa sesama perusahaan swasta menjadi sulit apabila
perusahaan swasta ini berasal dari jurisdiksi yang berbeda.
Sungguhpun
dalam
konteks
kegiatan
keantariksaan
internasional, banyak terjadi kerjasama internasional atau
kerjasama antara publik dan swasta dalam berbagai bentuk,
masalah yang penting adalah apakah sistem hukum yang ada
dapat diakui oleh mekanisme hukum nasional yang ada.
Terdapat berbagai solusi dalam hukum nasional masing-masing
Negara. Namun demikian, tidak satupun hukum nasional
Halaman | 125
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
tersebut menerapkan cara yang
mekanisme penyelesaian sengketa.
2.
persis
sama
dalam
hal
Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum Antariksa
250. Ketentuan tentang penyelesaian sengketa keantariksaan dapat
ditemukan dalam 5 perjanjian tersebut yang materinya memuat sebagai
berikut :
a) Outer Space Treaty, 1967
Traktat Antariksa tidak secara tegas memuat ketentuan mengenai
penyelesaian sengketa, tetapi Traktat tersebut mengacu pada
pemberlakuan hukum internasional (Pasal III) dan kebutuhan bagi
konsultasi yang tepat (Pasal IX).
b) Rescue Agreement, 1968
Dalam Rescue Agreement, 1968, ketentuan mengenai penyelesaian
sengketa diwujudkan dalam prosedur untuk pengembalian benda
antariksa yang telah melakukan pendaratan darurat atau telah
mengalami “distress” termasuk pengembalian astronoutnya
kepada negara peluncur.
c) Liability Convention, 1972
Liability Convention, 1972 memuat prosedur hukum bagi
perselisihan pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka
dalam hal terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh benda
antariksa. Penyelesaian tersebut harus dilakukan melalui saluran
diplomatic. Dalam kasus penyelesaian melalui saluran diplomatik
mengalami kegagalan, maka pihak-pihak yang bersengketa boleh
mengajukan kasus tersebut pada suatu Komisi Penuntut yang
akan bertindak sebagai suatu semi pengadilan arbitrase. Ada
kritik
terhadap
prosedur
untuk
penyelesaian
sengketa
berdasarkan Liability Convention, 1972, karena hanya berlaku
terhadap negara peserta perjanjian.
Di samping itu, penyelesaian perselihannya bersifat antar
pemerintah (G to G) dapat menjadi tidak efektif dalam kasus
apabila yang terlibat bukan lembaga hukum negara akan
menimbulkan prosedur birokrasi yang panjang. Hal lain yang
perlu dicermati adalah didasarkan pada kenyataan bahwa
prosedur tersebut tidak dapat menjamin penyelesaian akhir,
karena keputusan Komisi Penuntut berdasarkan Konvensi adalah
hanya bersifat final dan mengikat apabila pihak-pihak yang
bersengketa telah menyetujuinya, tanpa adanya persetujuan
tersebut, hal itu akan hanya dinyatakan sebagai rekomendasi,
atau rekonsiliasi saja.
d)
Moon Agreement, 1979
Dalam Moon Agreement, 1979 beberapa prosedur konsultasi
dikembangkan dalam kasus kegiatan eksplorasi dan eksploitasi
oleh suatu negara terhadap sumber daya alam baik dipermukaan
Halaman | 126
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
maupun di bawah permukaan Bulan yang dapat membahayakan
kegiatan Negara lain. Sungguhpun demikian, hal yang perlu
dicatat bahwa agreement ini hanya berlaku terhadap Bulan dan
sumber daya di dalamnya.
3.
Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Beberapa Resolusi Majelis
Umum (UNGA Resolutions)
251. Dari keempat Resolusi Majelis Umum tersebut, terdapat 3 Resolusi
yang memuat tentang penyelesaian sengketa keantariksaan yaitu Resolusi
DBS, Remote sensing dan NPS yang materinya dapat dikatakan sama yaitu
diselesaikan melalui prosedur yang sudah berlaku bagi penyelesaian
sengketa secara damai, yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa
sesuai dengan ketentuan-ketentuan Piagam PBB.
4.
Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Ketentuan ITU
252. Prosedur penyelesaian sengketa berkaitan dengan interpretasi atau
penerapan dari ketentuan atau pengaturan Adminitrasi International
Telecommunication Union (ITU) dimuat dalam Konstitusi dan Konvensi ITU
1992. Ketentuan tersebut memuat alternatif penyelesaian sengketa secara
damai baik dengan negosisi melalui saluran diplomatik atau sesuai dengan
prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian bilateral atau multilateral yang
disepakati oleh para pihak untuk penyelesaian sengketa internasional,
termasuk cara-cara lain yang disepakati para pihak secara bersama. Di
samping itu juga dibuka peluang penyelasai sengketa melalui arbitrase
dimana di dalam ketentuan Konvensi memuat prosedur khusus untuk
penunjukan arbitrator dalam kasus para pihak yang bersengketa lebih dari
dua pihak yang dalam hal ini dibuka peluang untuk penunjukan arbitrator
tunggal.
253. Hal yang paling penting dalam prosedur arbitrase tersebut adalah
bahwa keputusan yang dibuat oleh arbitrator adalah bersifat final dan
mengikat bagi para pihak yang bersengketa (Pasal 41 Konvensi). Hal ini
merupakan penyimpangan dari prosedur arbitrase secara normal, dimana
keputusan bersifal final dan mengikat hanya jika para pihak menyetujui.
Sungguhpun demikian apabila dilihat dari keputusan arbitrator ini hanya
berbentuk rekomendasi atau saran yang tidak mengikat.
5.
Penyelesaian
Sengketa
Organisasi
Internasional
keantariksaan.
Berdasarkan
Ketentuan-Ketentuan
yang
terlibat
dalam
kegiatan
254. Dewasa ini terdapat beberapa organisasi internasional yang terlibat
dalam kegiatan keantariksaan seperti INTELSAT (The International Satellite
Organization), INMARSAT (The International Maritime Satellite Organization,
EUTELSAT (The European Telecommunication Satellite Organization) dan
Halaman | 127
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
ESA (the European Space Agency). Semua Organisasi yang terlibat dalam
kegiatan keantariksaan ini mempunyai peraturan dasar organisasi yang
juga memuat materi tentang penyelesaian sengketa yang timbul di antara
para pihak.
255. Apabila dilihat dari ketentuan-ketentuan organisasi internasional
tersebut, tercermin adanya pilihan alternatif penyelesaian sengketa
sungguhpun hanya terhadap sengketa tertentu saja seperti sengketa antar
Negara anggota, Negara anggota dengan organisasi yang berkaitan dengan
hak dan kewajiban berdasarkan Ketentuan Organisasi. Dari alternatif
penyelesaian sengketa yang dimuat dalam ketentuan organisasi tersebut,
pada umumnya pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan
yang utama. Hal yang penting dan yang membedakan antara satu
organisasi internasional dengan yang lain adalah prosedur arbitrase dan
sifat keputusannya. Seperti dalam ketentuan organisasi INTELSAT,
prosedur arbitrase berlaku terhadap sengketa hukum saja, untuk
INMARSAT dan EUTELSAT arbitrase hanya berlaku sebagai prosedur wajib,
sedangkan bagi ESA juga membuka peluang penyelesaian sengketa melalui
arbitrase terhadap kontrak-kontrak di luar ESA. Selanjutnya dalam hal sifat
keputusan arbitrator pada umumnya bersifat final dan mengikat bagi para
pihak.
6.
Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Space Station Cooperation
Agreement
256. Pada tangal 28 September 1988 ditandatangani suatu persetujuan
antara pemerintah Amerika Serikat, Kanada, ESA dan Jepang tentang Kerja
sama dalam Detail Desain, Pembangunan, Pengoperasian dan Penggunaan
secara Permanen Stasiun Antariksa Sipil Berawak (Cooperation in the
Detailed Design, Development, Opartion, and Utilization of the Permanently
Manned Civil Space Station) yang selanjutnya disebut Persetujuan Stasiun
Antariksa (Space Station Agreement). Dalam ketentuan persetujuan
tersebut juga memuat tentang penyelesaian sengketa, dimana penyelesaian
sengketa antara para pihak dilakukan melalui konsultasi di antara pihak
yang bersengketa, dan apabila tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme
dispute resolution dengan persetujuan para pihak. Mekanisme tersebut
adalah konsiliasi, mediasi atau arbitrase.
7.
Alternative Dispute Resolution Mechanism
257. ADR, singkatan yang diterima untuk menguraikan cara-cara
memecahkan sengketa dengan cepat dari suatu prosedur pengadilan yang
panjang. ADR didefinisikan sebagai “A set of practice and techniques that
aim (i) to permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefit
of all disputants; (ii) to reduce the cost of conventional litigation and the
delays to which it is ordinarily subject; or (iii) to prevent legal disputes that
would otherwise likely be brought to the courts.
Halaman | 128
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
258. Adapun yang termasuk metodologi dan prosedur ADR adalah
arbitrase, mediasi, konsiliasi, negosiasi, pencegahan sengketa, peradilan
mini, special masters, pakar-pakar netral (ditunjuk oleh pengadilan atau
dipilih oleh para pihak), ombudsmen, hakim swasta, dan kesimpulan
pengadilan
jury.
Masing-masing
prosedur
ini
dibentuk
untuk
menyelesaikan masalah melalui pendekatan yang berbeda.
259. Sehubungan dengan berbagai bentuk sengketa dan upaya
penyelesaian sengketa tersebut di atas, maka dalam UUK ini terlebih
dahulu disarankan untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa
yang terdapat dalam Liability Convention 1972, yaitu saluran diplomatic
khususnya terhadap sengketa yang melibatkan 2 negara atau lebih.
Sedangkan apabila upaya tersebut tidak berhasil, dibuka peluang untuk
menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai lainnya,
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun demikian, apabila para
pihak telah memilih salah satu metode penyelasaian damai, dalam RUU
ditetapkan bahwa putusannya bersifat mengikat dan final. Hal ini
didasarkan alasan bahwa space asset pada umumnya memiliki lifetime, dan
juga untuk mengakomodir perkembangan baru yaitu pemberlakuan
protocol space assets. Hal ini untuk menghindari penyelesaian sengketa
yang dapat berlarut-larut, apabila melalui mekanisme nasional yang ada.
Q.
Penyelidikan dan Penyidikan
260. Istilah penyelidikan telah dikenal dalam Undang-undang Nomor
11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun tidak
dijelaskan artinya. Definisi mengenai penyelidikan dijelaskan oleh Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara
Pidana, Pasal (5) KUHAP : Yang dimaksud dengan penyelidikan adalah
serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Penyelidikan
berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang
sesungguhnya telah terjadi dan bertujuan membuat berita acara serta
laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan.
261. Sedangkan istilah penyidikan dipakai sebagai istilah yuridis atau
hukum pada tahun 1961 yaitu sejak dimuat dalam Undang-undang Nomor
13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara.
Penyidikan berasal dari kata "sidik" yang artinya terang. Jadi panyidikan
artinya membuat terang atau jelas. Walaupun kedua istilah "penyidikan"
dan "penyelidikan" berasal dari kata yang sama KUHAP membedakan
keduanya dalam fungsi yang berbeda, Penyidikan artinya membuat terang
kejahatan [Belanda = "Opsporing"] [Inggris = "Investigation"]. Namun istilah
dan pengertian penyidikan pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu :
Halaman | 129
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
a.
b.
Istilah dan pengertian secara gramatikal. Dalam kamus besar
Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan kedua tahun
1989 halaman 837 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur
oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti
pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang
berarti periksa, menyidik, menyelidik atau Mengamat-amati
Istilah dan pengertian secara yuridis. Dalam Pasal 1 butir (2)
KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara
yang
diatur
dalam
undang-undang
ini
untuk
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
262. Jika terjadinya tindakan kejahatan, pelanggaran wilayah, dan
bentuk-bentuk kegiatan lain yang dilarang baik oleh peraturan perundangundangan nasional, maupun oleh UUK ini, maka penyidikan, penuntutan,
dan pemeriksaan terhadap tindak pidananya dilakukan berdasarkan
ketentuan hukum acara pidana Indonesia. Untuk membantu pelaksanaan
undang-undang keantariksaan ini di Indonesia, penyidik pejabat polisi,
dalam kasus-kasus terkait bidang keantariksaan, dapat dibantu Pegawai
negeri sipil atau pakar terkait yang ditunjuk. Hal ini didasarkan pada sifat
kegiatan penyelenggaraan keantariksaan sebagaimana disebut dalam
paragraf 29-30. Di samping itu penyelenggaraan keantariksaan akan
melibatkan pihak-pihak yang bersifat lintas Negara.
263. Sehubungan dengan paragraph 262 di atas, maka dalam UUK
disarankan agar PNS atau pakar yang ditunjuk tersebut sekurangkurangnya memiliki keahlian di bidang yaitu (i) penguasaan teknologi
keantariksaan, (ii) hubungan luar negeri, (iii) ketenaganukliran, dan; (iv)
hukum kedirgantaraan.
R.
Ketentuan Sanksi
264. Masalah pemidanaan merupakan masalah yang sering menjadi
sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan karena masalah pidana menjadi
barometer keadilan dalam penegakan hukum khusus ketentuan pidana.
Adil atau tidak adil dalam praktek penegakan hukum selain menjadi
urusan filsafat dalam hukum pidana dan pemidanaan juga menjadi urusan
bagaimana filsafat tersebut diterapkan dalam kehidupan yang nyata atau
riil serta terukur. Sehingga di masa yang akan datang, urusan keadilan
dalam pemidanaan bukan menjadi urusan selera atau perasaan jaksa
penuntut umum atau hakim berdasarkan wewenang hukum yang
Halaman | 130
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
dimilikinya, melainkan urusan rasa keadilan masyarakat yang perlu
memiliki instrumen yang jelas, tegas dan terukur109.
265. Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusan delik,
walaupun ada juga yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuan
khusus) lainnya. Sebagai bagian dari perumusan delik, maka perumusan
sanksi pidana juga merupakan sub-sistem yang tidak berdiri sendiri.
Artinya, untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumusan
sanksi pidana itu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu
sub-sistem aturan/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam
aturan umum KUHP atau aturan khusus dalam UU khusus ybs.
266. Dilihat dari sudut ”strafsoort” (jenis-jenis sanksi pidana), semua
aturan pemidanaan di dalam KUHP berorientasi pada “strafsoort” yang ada/
disebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokok maupun pidana
tambahan. Oleh karena itu, apabila UU khusus menyebut jenis-jenis
pidana/tindakan lain yang tidak ada di dalam KUHP (misal ”pidana
pengawasan” seperti disebut dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan
Anak; pidana pembayaran ganti rugi atau uang pengganti; dsb.), maka UU
khusus itu harus membuat aturan pemidanaan khusus untuk jenis-jenis
sanksi pidana itu.110
267. Dilihat dari sudut “strafmaat” (ukuran jumlah/lamanya pidana),
aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi pada sistem minimal umum
dan maksimal khusus, tidak berorientasi pada sistem minimal khusus.
Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan pemidanaan untuk ancaman
pidana minimal khusus. Oleh karena itu, apabila UU khusus membuat
ancaman pidana minimal khusus, maka harus disertai juga dengan
aturan/pedoman penerapannya. Dalam UU khusus selama ini, kebanyakan
masalah ini tidak diatur, kecuali dalam UU Terorisme dan UU TP Korupsi,
walaupun pengaturannya masih sangat sumir dan lebih tertuju pada batasbatas berlakunya pidana minimal itu. Menurut UU Terorisme, tidak berlaku
untuk anak di bawah 18 tahun (Pasal 19); dan menurut UU TPK, tidak
berlaku untuk TPK yang bernilai kurang dari 5 juta rupiah (Psl. 12A).
268. Menurut pola KUHP, jenis pidana yang dirumuskan/diancamkan
dalam perumusan delik hanya pidana pokok dan/atau pidana
tambahannya. Pidana “kurungan pengganti” tidak dirumuskan dalam
perumusan delik (aturan khusus), tetapi dimasukkan dalam aturan umum
mengenai pelaksanaan pidana (“strafmodus”). Oleh karena itu, UU
khusus tidak perlu memasukkan pidana kurungan pengganti sebagai jenis
pidana yang diancamkan dalam perumusan delik (seperti misalnya terlihat
109
110
Kajian Terhadap Ketentuan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP, Dr.Mudzakkir, S.H., MH. Fakultas
Hukum Universitas Islam Indonesia (UII)
Prinsip-Prinsip Dasar Atau Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan Pidana Dalam
Perundang-Undangan Oleh :Barda Nawawi Arief, Fak Hukum niversitas Diponegoro.
Halaman | 131
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
dalam UU:5/1999 ttg. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat”), terlebih apabila jumlah lamanya kurungan pengganti itu
tidak menyimpang dari aturan umum KUHP. Kalau pun menyimpang,
perumusannya tidak dimasukkan sebagai “strafsoort” dalam perumusan
delik, tetapi diatur tersendiri dalam aturan tentang pelaksanaan pidana
(“strafmode/strafmodus”).111
269. Aturan pemidanaan umum dalam KUHP berorientasi pada
(natural person), tidak ditujukan pada “korporasi”. Oleh karena itu,
UU khusus (RUU Keantariksaan) menyebutkan adanya sanksi
untuk korporasi, maka harus disertai juga dengan aturan
pemidanaan untuk korporasi. Misal mengenai :
a. aturan pertanggungjawaban korporasi;
b. aturan pelaksanaan pidana denda untuk korporasi.
“orang”
apabila
pidana
khusus
270. Di dalam perundang-undangan selama ini terlihat hal-hal yang
memasukkan “korporasi” sebagai subjek tindak pidana, namun dengan
berbagai variasi istilah, ada korporasi yang dijadikan subjek tindak pidana,
tetapi UU yang bersangkutan. tidak membuat ketentuan pidana atau
“Pertanggungjawaban Pidana” untuk korporasi. Dalam hal UU membuat
ketentuan PJP korporasi, belum ada pola aturan pemidanaan korporasi
yang seragam dan konsisten, antara lain terlihat hal-hal sbb. 112:
a. ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan “kapan
korporasi
melakukan
TP
dan
kapan
dapat
dipertanggungjawabkan”;
b. ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan, “siapa
yang yang dapat dipertanggungjawabkan”.
c. “jenis sanksi” :
1) ada yang pidana pokok saja; ada yang pidana pokok dan
tambahan; dan ada yang ditambah lagi dengan tindakan
“tata tertib”;
2) pidana denda adayang sama dengan delik pokok; ada yang
diperberat;
3) ada yang menyatakan dapat dikenakan tindakan tata tertib,
tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya;
d. Jenis pidana/tindakan untuk korporasi, tidak berpola/tidak
seragam kebanyakan hanya dikenakan pidana denda (bersifat
“financial sanction”),
jarang yang berupa “Structural
sanctions“ atau “restriction on enterpreneurial activities”
(pembatasan kegiatan usaha; pembubaran korporasi) dan
“Stigmatising sanctions”(pengumuman keputusan hakim;
teguran korporasi).
111
112
ibid
Prinsip-Prinsip Dasar Atau Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan Pidana Dalam PerundangUndangan Oleh :Barda Nawawi Arief, Fak Hukum niversitas Diponegoro
Halaman | 132
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
271. Penerapan sanksi yang akan diberlakukan dalam RUU Keantariksaan
antara lain adalah sanksi pidana, dalam UU No. 10 Tahun 2004
diistilahkan dengan Ketentuan Pidana, sanksi ini di dalamnya
mengandung 2 hal yaitu : pelanggaran dan kejahatan. Yang dimaksud
pelanggaran hukum adalah telah terpenuhinya suatu peristiwa
penyimpangan terhadap norma ataupun kaidah yang berlaku (dalam rangka
pelaksanaan kegiatan keantariksaan) di wilayah Indonesia. Sedangkan
yang dimaksud dengan kejahatan adalah suatu tindakan atau perbuatan
tercela dan berhubungan dengan pelanggaran hukum. Jadi dalam kaitan ini,
kejahatan itu merupakan suatu tindakan ataupun perbuatan yang
dinyatakan melanggar perundang-undangan yang berlaku. Adapun tindakan
kejahatan meliputi antara lain:
a. Melanggar norma dan kaidah hukum yang diberlakukan di
wilayah Indonesia;
b. Melanggar ketentuan-ketentuan hukum dan atau peraturan
perundang undangan yang telah diberlakukan di Indonesia;
c. Melakukan penyimpangan terhadap aturan yang dapat
merugikan, mengancam kehidupan bangsa, negara dan
pemerintahan yang sah;
d. Melakukan penyimpangan material maupun intelektual yang
telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan;
e. Menerima
suap,
dan
atau
penyalahgunaan
wewenang/kekuasaan.
272. Berdasarkan uraian paragraph 267 di atas, maka bentuk-bentuk
pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan keantariksaan dapat
diidentifikasi sebagai berikut:
a. Penyimpangan terhadap prosedur perolehan perijinan;
b. Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati yang
merugikan salah satu para pihak;
c. Pelanggaran yang dilakukan oleh person maupun lembaga,
ataupun oknum sebagai lembaga, namun perbuatannya tidak
mengandung atau berakibat kesalahan;
d. Terjadi kelalaian yang dilakukan oleh person maupun lembaga,
ataupun oknum sebagai lembaga,
tetapi tidak mengancam
ketertiban umum maupun kelangsungan hidup negara, dan
pemerintah yang sah;
e. Terjadi culpa/kekurang hati-hatian yang dilakukan oleh person
maupun lembaga, ataupun oknum sebagai lembaga tanpa
sengaja, tetapi tidak mengancam ketertiban umum maupun
kelangsungan hidup negara, dan pemerintah yang sah;
f.
Penyalahgunaan kewenangan ringan yang dilakukan tanpa
disadari oleh person maupun lembaga, ataupun oknum sebagai
lembaga, tetapi tidak mengancam ketertiban umum maupun
kelangsungan hidup negara, dan pemerintah yang sah.
Halaman | 133
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
273. Sedangkan
bentuk-bentuk
tindakan
kejahatan
dalam
penyelenggaraan keantariksaan antara lain:
a. Kegiatan peluncuran yang tidak mempunyai ijin yang
menimbulkan kerugian dan atau ancaman terhadap kedaulatan
negara.
b. Peluncuran benda antariksa yang ditujukan untuk kepentingan
provokasi,
menimbulakan
bencana
kemanusiaan,
dan
mengakibatkan rusaknya lingkungan.
c. Kegiatan keantariksaan peluncuran dan atau pengoperasian
yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak ketiga, baik dalam
maupun luar.
d. Pengembangan penelitian yang mengarah kepada pembuatan
persenjataan dengan daya rusak tinggi.
e. Melakukan percobaan peluncuran tanpa ijin, tanpa ada sop yang
telah ditetapkan.
f.
Melanggar kesepakatan terhadap pemberian gantirugi kepada
pihak ketiga.
g. Kegiatan peluncuran benda antariksa yang jelas-jelas dapat
diketahui akan menimbulkan bencana baik terhadap kehidupan
maupun lingkungan.
h. Kegiatan peluncuran benda antariksa yang beresiko tinggi tanpa
dilakukan dengan prosedur yang baik.
i.
Mengoperasikan benda antariksa dan pemanfaatan teknologi
antariksa untuk tujuan kejahatan, seperti untuk kegiatan matamata, kegiatan sabotase, kegiatan pemusnahan kehidupan dll.
j.
Tidak memberitahukan kepada pihak berwenang dan atau
autoritas akan adanya kegiatan peluncuran benda antariksa.
274. Adapun penerapan sanksi lain yang akan dirumuskan dalam UUK
adalah sanksi administrasi, yang menjadi pertanyaan di sini adalah
Mengapa harus ada ketentuan sanksi administrasi dalam UUK?. Untuk
menjawab pertanyaan tersebut perlu lihat dalam batang tubuh UUK,
apakah ada tugas pengawasan dan atau kewenangan yang diberikan RUU
tersebut kepada institusi yang terkait dengan kegiatan keantariksaan.
Sebagai contoh dalam salah satu pasal yang terkait dengan peluncuran,
pendaftaran, dan kegiatan lainnya, ternyata ada perintah dari undangundang ini yang memerintahkan suatu institusi untuk mengeluarkan ijin,
persyaratan, dan rekomendasi atas kegiatan yang dilakukan penyelenggara
keantariksaan.
275. Melihat aturan yang terdapat dalam batang tubuh UUK, di mana
dengan jelas telah menetapkan adanya kewajiban, perintah, dan larangan,
maka penerapan sanksi administrasi yang akan diberlakukan/diterapkan
Halaman | 134
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
dalam UUK tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dapat
dilihat dan dipenuhinyan kriteria sanksi administrasi antara lain 113:
a. Legitimitasi : wewenang pengawasan dan wewenang penerapan
sanksi ter
b. Instrumen hukum (1)
Jenis-jenis seperti paksaan nyata, uang
paksaan, denda
administrasi, pencabutan ijin (2) Prosedur
penerapan yaitu uang jaminan, peringatan/pengumuman.
c. Norma hukum:
1) Dasar
tentang
kemungkinan
menerapkan
sanksi
administrasi:
o Adanya wewenang untuk menerapkan sanksi,
o Adanya pelanggar,
o Adanya dukungan fakta yang memadai.
2) Dasar tentang kepatutan mengenakan sanksi administrasi;
3) Dasar tentang keseimbangan sanksi
administrasi yang
dikenakan.
d. Kumulasi sanksi:
1) Kumulasi
eksternal: sanksi
administrasi
diterapkan
bersama-sama sanksi lain, seperti sanksi pidana maupun
perdata.
2) Kumulasi internal: dua atau lebih sanksi administrasi dapat
diterapkan secara bersama-sama.
276. Melihat ketentuan sanksi administrasi tersebut di atas, maka
penerapan
sanksi
administrasi
dapat
dilakukan
apabila
pelaku/penyelenggara keantariksaan melanggar ketentuan dan atau
persyaratan yang telah dikeluarkan pihak yang berwenang. Berdasarkan
hal tersebut maka dalam penyelenggaraan keantariksaan yang dapat
dikenakan sanksi administrasi antara lain:
a. Kegiatan peluncuran yang tidak memenuhi ijin dari pemerintah
dan atau tanpa persyaratan yang jelas;
b. Kegiatan penelitian yang tidak menjalankan prosedur operasional
yang baku.
c. Penyelenggara tidak melakukan pendaftaran benda antariksa
sasuai dengan ketentuan yang berlaku.
d. Peneliti dapat dicabut ijin dan atau sertifikat keahliannya apabila
dengan nyata-nyata melakukan pelanggaran yang dapat
menimbulkan kerugian dan atau kerusakan.
e. Tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana direkomendasikan
dalam UUK (pembangunan bandar antariksa).
f.
Penyalahgunaan lisensi yang telah diberikan kepada seseorang
untuk dimanfaatkan sekelompok orang yang di luar
kewenangannya.
113
Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan, Muklis, Fakultas Hukum,
Universitas Trunojoyo
Halaman | 135
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
g.
h.
i.
Melakukan aktivitas di kawasan yang dengan nyata-nyata
dilarang untuk melakukan kegiatan sebagaimana ditentukan
UUK.
Memanfaatkan hasil teknologi keantariksaan untuk kepentingan
pribadi yang dampaknya dapat merugikan pihak lain.
Penyalahgunaan kewenangan yang diberikan untuk memberi
kemudahan dengan menyalahi prosedur.
277. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka UUK akan memuat
sanksi pidana dan saksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana
tersebut di atas.
S.
Prinsip Pengaturan Kelembagaan Dalam Undang-Undang Tentang
Keantariksaan
278. Lembaga yang akan menjadi pelaksana dari UUK adalah Dewan
Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) dan Lembaga Penerbangan
dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dalam UUK akan dilakukan revitalisasi
Kedudukan, Tugas dan Fungsi kedua Lembaga tersebut serta koordinasi
nasional di bidang keantariksaan. Adapun Kedudukan, Tugas dan Fungsi
DEPANRI dan LAPAN sesuai dengan pembentukannya saat ini adalah:
1.
Kedudukan, Tugas dan Fungsi DEPANRI
279. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 jo
Keputusan Presiden Nomor 132 Tahun 1998, kedudukan, tugas pokok,
fungsi dan susunan keanggotaan DEPANRI adalah sebagal berikut:
a. Kedudukan
Forum koordinasi tingkat tinggi di bidang kebijakan pemanfaatan
wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan,
telekomunikasi dan kepentingan nasional lainnya.
b. Tugas Pokok
Membantu Presiden Republik Indonesia dalam merumuskan
kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan antariksa.
c. Fungsi
Dalam melaksanakan tugasnya, DEPANRI menyelenggarakan
fungsi:
Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah udara
nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi
dan kepentingan nasional lainnya;
Memberikan pertimbangan pendapat maupun saran kepada
Presiden mengenai pengaturan dan pemanfaatan wilayah
udara dan antariksa di bidang-bidang tersebut di atas.
Halaman | 136
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
2.
Tugas dan Fungsi LAPAN
280. Berdasarkan Pasal 46-48 Keputusan Presiden Republik Indonesia
Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen,
Bagian Keenambelas, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional,
dinyatakan bahwa :
a. Pasal 46, LAPAN mempunyai tugas melaksanakan tugas
pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan
kedirgantaraan dan pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.
Pasal 47, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 46, LAPAN menyelenggarakan fungsi :
1) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang
penelitian
dan
pengembangan
kedirgantaraan
danpemanfaatannya;
2) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas
LAPAN;
3) pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan
terhadap
kegiatan
instansi
pemerintah
di
bidang
kedirgantaraan dan pemanfaatannya;
4) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi
umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan,
organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan,
kearsipan,
hukum,
persandian,
perlengkapan,
dan
rumahtangga.
c.
Pasal 48, Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47, LAPAN mempunyai kewenangan :
1) penyusunan rencana nasional secara makro dibidangnya;
2) perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung
pembangunan secara makro;
3) penetapan sistem informasi dibidangnya;
4) kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku yaitu :
a) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di
bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan
dan pemanfaatannya.
b) penginderaan/pemotretan jarak jauh dan pemberian
rekomendasi perizinan orbitsatelit.
281. Selanjutnya dalam Pasal 30 dan 31 Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 110 Tahun 2001 TentangUnit Organisasi Dan Tugas
Eselon I
Lembaga Pemerintah Non Departemen Presiden Republik
Indonesia, Bagian Kelimabelas Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional,
dinyatakan bahwa:
Halaman | 137
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
a.
b.
Pasal 30 LAPAN terdiri dari:
1) Kepala;
2) Sekretariat Utama;
3) Deputi Bidang Penginderaan Jauh;
4) Deputi
Bidang
Sains,
Pengkajian,
Kedirgantaraan;
5) Deputi Bidang Teknologi Dirgantara.
dan
Informasi
Pasal 31,
(1) Kepala mempunyai tugas :
a. memimpin LAPAN sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
b. menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum
sesuai dengan tugas LAPAN;
c. menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas LAPAN
yang menjadi tanggung jawabnya;
d. membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi
dan organisasi lain.
(2) Sekretariat Utama mempunyai tugas mengkoordinasikan
perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap
program, administrasi dan sumber daya di lingkungan
LAPAN.
(3) Deputi Bidang Penginderaan Jauh mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang penginderaan jauh.
(4) Deputi
Bidang
Sains,
Pengkajian,
dan
Informasi
Kedirgantaraan
mempunyai
tugas
melaksanakan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang sains,
pengkajian, dan informasi kedirgantaraan.
(5) Deputi Bidang Teknologi Dirgantara mempunyai tugas
melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di
bidang teknologi dirgantara.
282. Selain DEPANRI dan LAPAN, terdapat beberapa lembaga pemerintah
lainnya di bidang pemanfaatan teknologi antariksa, antara lain: Badan
Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMG), Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI).
283. Di samping lembaga-lembaga pemerintah, pada saat ini secara umum
terdapat kecenderungan meningkatnya peran lembaga-lembaga nonpemerintah dalam penyelenggaraan keantariksaan. Hal ini juga berlaku di
Indonesia di mana terdapat minimal 2 organisasi non-pemerintah yang
sangat aktif, yaitu Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) dan Masyarakat
Telematika (MASTEL). ASSI semula dibentuk oleh beberapa perusahaan
operator satelit, masing-masing: TELKOM, INDOSAT, Pasifik Satelit
Halaman | 138
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Nusantara (PSN), Media Citra Indostar (MCI) dan Aces. Kemudian
keanggotaannya terbuka bagi operator asing, perusahaan, profesional, para
ahli, akademisi dan bahkan individual. Dalam kiprahnya ASSI telah
memperoleh pengakuan luas, baik dari kalangan pemerintah, swasta
maupun internasional. ASSI juga memberikan kontribusi aktif dalam
perumusan kebijakan dan pengaturan di bidang keantariksaan. Secara
berkala ASSI juga menyelenggarakan pelatihan mengenai teknologi
keantariksaan dan materi-materi yang berkaitan dengan masalah regulasi
serta mengeluarkan sertifikasi terhadap produk maupun proses yang
terkait dengan keantariksaan.
284. Konvergensi
di
bidang
komunikasi
(termasuk
“space
communication”), informasi dan computer
menjadi telematika telah
membuka jasa-jasa baru disamping jasa-jasa konvensional yang telah
berlangsung selama ini. Perkembangan tersebut telah melahirkan pemainpemain baru (“new players”). MASTEL adalah organisasi yang didirikan oleh
masyarakat telematika, yang di dalamnya terdapat operator telekomunikasi,
“Internet Service Providers”, “computer vendors”, “content providers”,
professional, dan lain-lain. Sejauh ini MASTEL telah banyak memberikan
kontribusinya dalam pembentukan hukum di Indonesia, khususnya di
bidang hukum telekomunikasi, hukum penyiaran dan hukum telematika
(“cyber law”). Sebagai mitra dialog pemerintah, peranannya tidak dapat
diabaikan, termasuk dalam pengembangan hukum keantariksaan nasional.
285. Salah satu problem besar yang perlu diatasi dalam kerangka
perumusan dan pengaturan penyelenggaraan keantariksaan adalah
masalah koordinasi di antara lembaga-lembaga terkait, baik lembagalembaga pemerintah maupun non-pemerintah, sehingga mampu
membangun sinerji sebagai kekuatan yang besar menjadi “Indonesia
Incorporated”. Terjadinya tumpang tindih pelaksanaan jenis kegiatan
penyelenggaraan keantariksaan di antara lembaga-lembaga terkait
seringkali menimbulkan ketidakjelasan tugas dan fungsi masing-masing
sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Diharapkan UUK
mampu
menyentuh
dan
mengatasi
persoalan
tersebut
dengan
mendefinisikan dan menjabarkan secara jelas tentang tugas, fungsi dan
wewenang masing-masing serta memformulasikan mekanisme koordinasi di
antara mereka.
286. Berdasarkan uraian tersebut beberapa revitalisasi terhadap fungsi
kementerian dan lembaga yang penting dilakukan adalah :
a. DEPANRI: adalah lembaga non struktural yang dipimpin oleh
Presiden RI, dengan Sekretariat di bawah koordinasi Kementerian
Riset dan Teknologi yang merupakan forum koordinasi kebijakan
nasional tertinggi di bidang penerbangan dan keantariksaan.
Dipandang kurang efektif untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya. Berdasarkan kondisi lembaga-lembaga dengan tugas
dan fungsi sejenis dengan DEPANRI di negara-negara lain seperti
Halaman | 139
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
NASA (Amerika Serikat) dan ROSCOSMOS (Federasi Rusia), serta
ANGKASA (Malaysia), maka kedudukan DEPANRI sebaiknya
langsung berada di bawah Presiden mengingat sifat teknologi
keantariksaan.
DEPANRI yang baru bertugas menyusun
kebijakan dan rencana pembangunan di bidang penerbangan
dan keantariksaan jangka menengah dan jangka panjang serta
mengawasi dan mengendalikan pelaksanaannya.
b.
Menteri (koordinator LAPAN) menjadi: Pelaksana Harian
DEPANRI dan regulator peluncuran dan penempatan benda
antariksa; Menteri mengangkat tim adhok untuk membuat
rekomendasi tentang pemberian lisensi bandar antariksa, ijin
peluncuran di dalam negeri dan luar negeri, penanganan
kecelakaan dll; Tim adhok diusulkan oleh LAPAN.
c.
Kemkominfo menjadi Regulator penggunaan frekuensi satelitsatelit Indonesia, slot orbit satelit dan perijinan di ruas bumi dan
ruas pengguna khusus untuk pemanfaatan telekomunikasi dan
penyiaran. Di samping itu, adanya kewajiban untuk memjaga
kesinambungan tersedianya slot orbit dan spectrum frekuensi
bagi Indonesia baik untuk pemerintah maupun swasta nasional.
d.
LAPAN: adalah lembaga non kementerian di bawah koordinasi
Kementerian Riset dan Teknologi yang memiliki tugas dan fungsi
pokok yaitu:
1) Pengembangan Teknologi Dirgantara;
2) Penelitian, Pengembangan, dan pemanfaatan sains antariksa
(ionosfer, geomagnet, matahari, dan astronomi) dan sains
berbasis antariksa (untuk sains atmosfer);
3) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan
jauh untuk pemantauan bumi;
4) Pengkajian kebijakan keantariksaan;
5) Diseminasi informasi keantariksaan;
6) Pelaksana dan pengoperasi Bandar Antariksa (bisa
mengikutsertakan pihak lain termasuk swasta);
7) Pelaksana Peluncuran di Dalam Negeri termasuk percobaan
peluncurannya (bisa mengikutsertakan pihak lain termasuk
swasta);
8) Pengoperasian
stasiun
bumi
dan
infrastruktur
keantariksaan lain;
9) Pengelola Bank Data Inderaja Nasional;
10) Pendaftaran benda antariksa ke PBB;
11) Pemantauan Benda Jatuh Antariksa. LAPAN juga bertindak
sebagai pemberi sertifikasi usaha remote sensing, kontrol
terhadap kualitas data Inderaja, Metoda Pengolahan,
Stasiun bumi Inderaja, Satelit Inderaja Indonesia. LAPAN
juga mengontrol aspek keamanan dan keselamatan
Halaman | 140
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
penyelenggaraan keantariksaan di dalam negeri khususnya
yang berkaitan dengan penyelenggaraan keantariksaan yang
berisiko terhadap masyarakat dan lingkungan.
287. Sehubungan dengan tugas dan fungsi baru LAPAN tersebut di atas,
maka untuk masa yang akan datang LAPAN juga akan mengeluarkan
pengaturan terkait penyelenggaraan keantariksaan yang berlaku keluar dan
ke dalam (dalam arti mengikat nasional).
Berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Status Lembaga tidak
memungkinkan untuk mengeluarkan pengaturan yang bersifat demikian.
Oleh karena itu kata Lembaga sebaiknya diganti dengan kata Badan.
Berdasarkan kondisi ini diusulkan agar nama LAPAN diubah dengan Badan
Kedirgantaraan Republik Indonesia (Government Body of Republic
Indonesian Aerospace) disingkat BKRI atau Badan Kedirgantaraan
Indonesia (Government Body of Indonesian Aerospace) disingkat BKI.
Penamaan ini didasarkan pada alasan sebagai berikut :
a. Mayoritas penamaan institusi keantariksaan Negara-negara di
dunia banyak yang penamaannya dilekatkan dengan nama
Negara tersebut seperti:
1) Iranian Space Agency (ISA);
2) China National Space Administration (CNSA)
3) Rusian Federation Space Agency (RFSA);
4) British National Space Centre (BNSC);
5) Indian Space Research Organization (ISRO);
6) Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA)
7) Bulgarian Aerospace Agency (BASA);
8) Canadian Space Agency (CSA); dll.
b. Singkatan yang dipergunakan tersebut yaitu (BKRI atau BKI)
belum ada yang mempergunakan di Republik Indonesia.
c. Kata Kedirgantaraan adalah pengganti kata Penerbangan dan
Antariksa.
---000---
Halaman | 141
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
BAB III
MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN
KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF
A.
Materi Muatan RUU Tentang Keantariksaan
1.
Materi Muatan
288. Lingkup materi muatan yang akan diatur dalam UUK meliputi
seluruh komponen dan aktivitas di bidang keantariksaan dengan segala
aspek yang dituangkan dalam bab-bab sebagai berikut :
a. Ketentuan Umum;
b. Azas dan Tujuan dan Ruang Lingkup;
c. Status Antariksa, Yuridiksi dan Batas Ruang Udara dan
Antariksa;
d. Pembinaan
1) Peran Pemerintah
2) tugas dan wewenang;
e. Penyelenggaraan Keantariksaan;
1) Umum;
2) Penguasaan Teknologi Keantariksaan;
3) Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan;
4) Peluncuran Wahana Antariksa;
5) Penelitian Keantariksaan;
6) Penjalaran Teknologi Keantariksaan
f.
Keamanan dan Keselamatan;
g. Pendaftaran dan Lisensi;
h. Tanggung Jawab dan Kerugian;
i.
Asuransi dan Penjaminan;
j.
Kerja Sama Internasional dan Alih Teknologi;
k. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual;
l.
Pelestarian Lingkungan;
m. Pembiayaan dan Insentif;
n. Sistem Informasi Keantariksaan;
o. Peran serta masyarakat;
p. Penyelesaian Sengketa;
q. Penyelidikan dan Penyidikan;
r. Sanksi;
s. Ketentuan Peralihan;
t.
Ketentuan Penutup.
289. Secara lengkap materi muatan RUUK sebagaimana dimuat dalam
Lampiran 2.
Halaman | 142
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
2.
Pokok-Pokok
Materi
Keantariksaan
Rancangan
Undang-Undang
Tentang
290. Dengan mendasarkan pada uraian terdahulu, maka beberapa Pokok
Materi dalam UUK adalah :
a.
b.
Pengertian
1)
Dirgantara adalah ruang di sekeliling dan melingkupi bumi
beserta segala isinya, meluas tiada batas mulai dari permukaan
bumi yang terbagi atas ruang udara dan antariksa, yang
dipandang sebagai wilayah, ruang gerak, media hidup dan
sumber daya alam bagi kehidupan umat manusia.
2)
Ruang udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi
seluruh permukaan bumi; ruang tersebut mengandung udara
bersifat gas yang disebut atmosfir bumi.
3)
Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar
ruang udara, serta yang mengelilingi dan melingkupi ruang
udara
4)
Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang dan yang berkaitan
dengan usaha dan kegiatan umat manusia dalam rangka
pendayagunaan antariksa.
Kelembagaan
1)
Presiden mempunyai kewenangan dalam menetapkan RPJP dan
RPJM mengenai Keantariksaan yang telah disusun dan diajukan
oleh LAPAN beserta instansi terkait lainnya.
2)
Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) adalah
pengambil kebijakan nasional di bidang penerbangan dan
keantariksaan. Dewan tersebut adalah: Ketua: Presiden; Wakil
Ketua: Menneg. Ristek; Sekretaris: Ketua LAPAN; Anggota:
Menhan, Menkominfo, Menhub, Menkeu, Ketua Bappenas, Ka.
Staf TNI AU.
3)
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)-LPND
mempunyai tugas di bidang Kedirgantaraan, Pengembangan
Teknologi, Penginderaan Jauh, Sains Atmosfer Antariksa dan
Kebijakan Kedirgantaraan. Dalam hal ini LAPAN mempunyai
kewenangan khusus dalam hal penginderaan jarak jauh dan
rekomendasi orbit satelit. Beberapa spesifikasi tugas, pokok, dan
fungsi LAPAN adalah sebagai berikut:
Halaman | 143
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
k)
l)
m)
n)
o)
p)
4)
Pengembangan Teknologi Dirgantara
Penelitian, Pengembangan, dan pemanfaatan sains antariksa
(ionosfer, geomagnet, matahari, dan astronomi) dan sains
berbasis antariksa (untuk sains atmosfer)
Pengembangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan
jauh untuk pemantauan bumi
Pengkajian kebijakan keantariksaan
Diseminasi informasi keantariksaan
Pelaksana dan pengoperasi Bandar Antariksa (bisa
mengikutsertakan pihak lain termasuk swasta)
Pelaksana Peluncuran di dalam negeri
Pengoperasian
stasiun
bumi
dan
infrastruktur
keantariksaan lain.
Pengelola Bank Data Inderaja Nasional
Pendaftaran benda antariksa ke PBB
Pemantauan Benda Jatuh Antariksa;
Pemberi sertifikasi usaha penginderaan jauh, kontrol
terhadap kualitas data penginderaan jauh, metode
pengolahan, satelit penginderaan jauh, dan beberapa
lainnya;
Mengawasi dan menjadi konsultan dalam pembuatan satelit;
Membangun design konsep dan design teknis yang dapat
dibantu oleh pakar dari dalam dan luar negeri serta dalam
rangka implementasi design satelit diserahkan pada
kontraktor dalam negeri, sedangkan dalam operasionalnya
dapat dibantu oleh pihak swasta lain dari dalam dan luar
negeri;
memberikan asuransi khusus untuk kematian dan cacat
tubuh serta tunjangan resiko bahaya dan atau pemeriksaan
kesehatan secara berkala bagi personil keantariksaan yang
bekerja pada lingkungan potensi bahaya ledakan minimal
berjarak dua ratus meter dari pusat potensi bahaya;
menetapkan dan menegakkan standard rancangan untuk
keamanan dan keselamatan di dalam kegiatan mulai dari
rancang bangun, pabrikasi, perakitan, perawatan, dan
penyimpanan.
Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mempunyai
tugas dalam merumuskan kebijakan nasional, kebijakan
pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan
informatika yang terdiri dari: pos, telekomunikasi, penyiaran,
teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan
diseminasi informasi. Depkominfo mempunyai kewenangan
pengaturan dalam penggunaan frekuensi satelit-satelit Indonesia,
serta pengaturan slot orbit satelit dan perijinan ruas bumi dan
ruas pengguna untuk kepentingan telekomunikasi dan
penyiaran.
Halaman | 144
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
d.
5)
Menteri Negara Riset dan Teknologi (Mennegristek) merupakan
menteri
yang
ditugaskan
sebagai
koordinator
LAPAN.
Mennegristek mempunyai tugas membantu Presiden dalam
merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang riset, ilmu
pengetahuan, dan teknologi; melakukan pengaturan mengenai
peluncuran dan penempatan benda antariksa. Menteri
mempunyai tugas mengangkat tim ad hoc sesuai usulan dari
LAPAN untuk membuat rekomendasi mengenai pemberian lisensi
bandar antariksa, ijin peluncuran di dalam negeri dan luar
negeri, penanganan kecelakaan benda antariksa, dan beberapa
tugas lainnya.
6)
Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal)
mempunyai kewenangan dalam pengaturan mengenai perijinan
di ruas pengguna.
Penyelenggaraan Keantariksaan
1)
Kegiatan penyelenggaraan keantariksaan bertujuan diantaranya
untuk menyiapkan akses ke antariksa dengan pengembangan
teknologi, melakukan observasi dan mempelajari bumi dan
antariksa (penelitian sains), mengembangkan pemanfaatan sains
dan teknologi antariksa untuk kesejahteraan, meningkatkan
kemampuan pertahanan dan ketahanan negara, menyelaraskan
dengan peraturan keantariksaan internasional.
2)
Aspek utama dalam penyelenggaraan keantariksaan yang
meliputi:
a) Pengembangan
Kebijakan
Nasional
dalam
Bidang
Keantariksaan yang diwujudkan dalam RPJP dan RPJM
b) Pengembangan Penguasaan teknologi wahana peluncur,
satelit, dan penerbangan khususnya dalam hal penguasaan
teknologi penerbangan kecepatan tinggi dan yang
dipergunakan sebagai sarana keantariksaan
c) Pengembangan sains atmosfer dan antariksa
d) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi antariksa untuk
penginderaan
jauh,
telekomunikasi,
navigasi
dan
geoposisi/geospasial
e) Peluncuran Benda antariksa di dalam negeri dan luar negeri
f)
Pemantauan benda jatuh antariksa
g) Kerjasama internasional di bidang keantariksaan
Aspek Penguasaan Teknologi Keantariksaan
Penguasaan teknologi wahana peluncur, satelit, dan penerbangan
seperti yang dikemukakan di atas (huruf b) terdapat beberapa
sasaran yang hendak dicapai yang terdiri dari:
Halaman | 145
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
1)
2)
3)
4)
5)
6)
7)
LAPAN menjadi penyelenggara pengembangan teknologi wahana
peluncur, satelit, dan penerbangan;
LAPAN menjadi penyelenggaran Operasi Bandar Antariksa;
Adanya dukungan kebijakan nasional yang kuat;
Pemerintah membangun Bandar Antariksa dan menyediakan
tempat serta fasilitas yang memadai untuk riset dan
pengembangan teknologi roket dan satelit;
Adanya perlindungan hukum untuk para pelaksana dari
tuntutan akibat kecelakaan;
Adanya dukungan pemerintah untuk impor teknologi;
Pengaturan terhadap TT&C asing.
e.
Aspek Industri kedirgantaraan sebagai salah satu wujud
perkembangan penyelenggaraan keantariksaan di dalam negeri
memuat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu:
1) Industri dalam negeri mampu memasok komponen, bahan baku
untuk manufaktur roket dan satelit;
2) Industri dalam negeri mampu menyelenggarakan manufaktur
subsistem dan sistem kedirgantaraan;
3) Industri
dalam negeri
mampu menyelenggarakan
jasa
maintenance;
4) Lembaga membina integrasi dan distribusi tanggungjawab
kemampuan nasional dalam bidang keantariksaan (swasta,
akademisi, lembaga litbang dan lembaga keuangan);
5) Pemerintah
bertindak
sebagai captive
market
industri
keantariksaan nasional;
6) Pemerintah mendorong industri yang mempunyai fungsi ganda
untuk mendukung program keantariksaan atas rekomendasi dari
lembaga.
f.
Aspek infrastruktur keantariksaan, beberapa hal yang perlu
diperhatikan dalam pengaturan lebih lanjut adalah mengenai
kewajiban pemerintah untuk:
1) menyediakan
dan
menetapkan
zona
penyelenggaraan
keantariksaan yang terdiri dari: bandar antariksa, stasiun uji
coba wahana antariksa, kawasan riset sains antariksa, kawasan
riset dan rekayasa teknologi antariksa, dan kawasan industri
keantariksaan;
2) menetapkan zona penyelenggaraan keantariksaan sebagai zona
terlarang/kawasan terlarang dalam radius 10 km mendukung
infrastruktur yang menuju zona keantariksaan;
3) menyiapkan pembiayaan pembangunan satelit komunikasi
untuk operasi TNI, tele-edukasi, tele-medicine, dan kegiatan
strategis pemerintah lainnya;
4) memberikan perlindungan hukum bagi peneliti & perekayasa
keantariksaan. Perlindungan hukum mencakup antara lain
pembebasan dari tuntutan kecelakaan;
Halaman | 146
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
5)
6)
melakukan
pembinaan
penelitian
dan
perekayasaan
keantariksaan dan teknologi penerbangan yang terkait dengan
keantariksaan;
melarang mendirikan bangunan dan mebebaskan lahan yang
dapat membahayakan keselamatan / peluncuran dan
lingkungan untuk setiap orang atau badan hukum.
g.
Aspek transfer teknologi terdapat beberapa hal yang perlu
mendapat pengaturan:
1) Semua pihak yang ingin mengadakan aset antariksa (satelit,
Stasiun Bumi dll) harus mendapatkan rekomendasi dari lapan.
Rekomendasi harus mencakup:
a) Jaminan untuk tidak menggangu kepentingan nasional
b) Jaminan untuk memberikan transfer teknologi
c) Jaminan untuk memberdayakan sebanyak mungkin industri
keantariksaan nasional (local content)
2) Pemerintah mendorong kerjasama internasional baik bilateral
maupun multilateral dalam penguasaan dan transfer teknologi
3) Pemerintah
membangun
kerjasama
internasional
untuk
memungkinkan terjadinya impor teknologi;
4) Pemerintah
membangun
kerjasama
internasional
untuk
memungkinkan impor komponen dan subsistem
yang
diperlukan.
5) Pemerintah membantu mengatasi masalah pengendalian ekspor
dalam bidang keantariksaan secara pemerintah ke pemerintah (G
to G).
6) Pemerintah dalam mendorong transfer teknologi membuat
pengaturan tentang keamanan lintas batas teknologi antariksa
7) Adanya lex spesialist dalam peraturan pengadaan barang dan
jasa keantariksaan.
h.
Penjalaran Teknologi Keantariksaan (Spin off).
1) Dalam pengembangan industri energi terbarukan, lembaga
adalah lembaga Pembina, rujukan dan pemberi sertifikasi
teknologi energi angin
2) Dalam pengembangan wahana terbang dengan kecepatan > 0.6
mach, lembaga adalah pembina, rujukan dan pemberi sertifikasi
i.
Penyelenggaraan pemanfaatan satelit penginderaan jauh adalah:
1) Penguatan tupoksi lembaga sebagai penyelenggara bank data
inderja nasional dengan kewenangan dan kewajiban yang
mendukung efektivitas pelaksanaannya;
2) Lembaga menjadi satu-satunya penyelenggara Stasiun Bumi
Inderja resolusi menengah dan tinggi;
3) Pemberi sertifikasi kompetensi pengolahan data Inderaja.
Halaman | 147
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Dalam rangka kegiatan penginderaan jauh LAPAN memiliki peran
dalam :
1) Pengaturan frekuensi untuk satelit maupun stasiun bumi
penerima data inderaja;
2) Pengoperasian stasiun bumi untuk satelit inderaja resolusi
menengah dan rendah dan mendorong pihak swasta untuk
membangun dan mengoperasikan stasiun bumi satelit inderaja
resolusi tinggi;
3) Penyediaan data satelit inderaja resolusi rendah dan menengah
serta mendorong swasta dalam dalam penyediaan data satelit
inderaja resolusi tinggi;
4) Pengadaan data dimana diperlukan wali data inderaja,
penguatan bank data inderaja nasional, Common License,
kataloging metadata dan data;
5) Standarisasi metode dan informasi inderaja serta menjadi
pembina dan rujukan nasional jika diminta;
6) Penyediaan data inderaja terkait bencana sebagai fokal poin
nasional dalam hubungan dengan lembaga-lembaga multilateral
maupun bilateral dan diberi wewenang untuk meminta data
satelit inderaja dari institusi Pemerintah maupun Swasta terkait
bencana;
7) Melaksanakan litbang teknologi inderaja, pengolahan data dan
informasi, serta pemanfaatan data satelit inderaja;
8) Pelayanan data dan informasi penginderaan jauh;
9) Rekomendasi dalam kerjasama internasional di bidang inderaja
10) Pengturan pendidikan luar sekolah bidang penginderaan jauh
satelit;
11) Pemeliharaan historical data penginderaan jauh satelit;
12) Standarisasi data penginderaan jauh satelit serta sebagai
lembaga Pembina dan rujukan nasional.
j.
Kegiatan
sains
antariksa
sebagai
salah
satu
kegiatan
penyelenggaraan keantariksaan difokuskan pada :
1) Mitigasi gangguan dan bencana yang terjadi akibat dinamika
matahari (antara lain gangguan komunikasi radio) dan antariksa
(benda jatuh antariksa);
2) Mendorong kemajuan penguasaan sains dan teknologi antariksa;
3) Pemasyarakatan melalui pendidikan dan pelatihan.
k.
Perkembangan sains antariksa dapat dirangkumkan sebagai berikut:
1) Pemantauan dinamika cuaca antariksa (ionosfer, geomagnet,
aktivitas matahari) dilaksanakan secara rutin;
2) Diseminasi Informasi prediksi frekuensi komunikasi radio sudah
berkembang;
3) Pemanfaatan untuk keperluan antisipasi gangguan navigasi,
operasi
satelit,
jaringan
listrik
masih
dalam
tahap
pengembangan;
Halaman | 148
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
4)
5)
6)
7)
8)
9)
l.
Mitigasi dan sistem peringatan dini gangguan /bencana akibat
dinamika matahari dan antariksa sudah ada dan terus
dikembangkan;
Sektor swasta belum bisa berkontribusi secara aktif;
Peraturan perundangan yang mengatur pengembangan dan
pemanfaatan sains antariksa belum ada;
Penguasaan rancang bangun sistem pengamat, payload ,dan
sensor belum berkembang;
Perkembangan sistem pengamat antariksa mencakup antara
lain: teleskop matahari, solar radio spektrograph, ionosonde,
fluks gate magnetometer, pengembangan aplikasi satelit
pengamat matahari seperti
SOHO, TRACE, Hinode, GOES,
STEREO, dan pengamatan astronomi;
Lembaga menjadi penyelengara
dalam pengembangan sains
antariksa (matahari, astronomi) dan sains berbasis antariksa,
antisipasi terhadap gangguan dan bencana yang diakibatkan
oleh proses-proses alam di antariksa, peringatan dini tentang
benda jatuh dari antariksa, pendidikan generasi muda dan
pendidikan untuk menumbuhkan semangat keantariksaan
dalam rangka membangkitkan kreativitas dan inovasi nasional.
Penyelenggaraan peluncuran benda antariksa dalam negeri
1)
2)
Menteri dapat memberikan ijin peluncuran satu objek antariksa
atau satu seri peluncuran objek antariksa di wilayah Indonesia
dengan menggunakan suatu jenis wahana antariksa tertentu.
Peluncuran objek antariksa tersebut dapat dikaitkan dengan
pendaratan kembali objek antariksa tersebut di wilayah tertentu
di Indonesia.
Ijin peluncuran dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan
berikut :
a) Badan hukum yang meluncurkan objek antariksa sudah
memegang lisensi kegiatan keantariksaan di Indonesia;
b) Badan Hukum yang akan meluncurkan objek antariksa
dapat dijamin kompetensinya dalam kegiatan peluncuran;
c) Menteri sudah memberikan persetujuan bahwa persyaratan
keuangan maupun jaminan asuransi peluncuran maupun
pendaratan kembali objek antariksa di wilayah Indonesia,
sudah dipenuhi;
d) Menteri sudah memberikan persetujuan bahwa potensi atau
kemungkinan terjadinya kecelakaan atau gangguan
kesehatan masyarakat maupun kerugian materil akibat
peluncuran maupun pendaratan kembali objek antariksa,
sangat kecil.
Halaman | 149
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
m.
Peluncuran benda antariksa dalam negeri
1) Menteri sudah memberikan persetujuan bahwa objek antariksa
yang akan diluncurkan atau didaratkan kembali di Indonesia
tidak membawa senjata nuklir atau senjata pemusnah masal
atau senjata berbahaya lainnya;
2) Menteri tidak mempertimbangkan kemungkinan gangguan
terhadap keamanan nasional, pelanggaran terhadap kebijakan
luar negeri dan kewajiban internasional yang akan menyebabkan
ijin peluncuran tidak diberikan;
3) Jika peluncuran dilakukan oleh negara lain yang juga bertindak
sebagai negara peluncur maka ijin peluncuran harus
memperhatikan apakah sudah ada perjanjian yang menjamin
bahwa Indonesia dapat dibebaskan dari liability atau indemnifies
terhadap kerugian yang dapat ditimbulkan dari peluncuran.
n.
Penyelenggaraan peluncuran benda antariksa luar negeri
1) Menteri dapat memberikan ijin peluncuran objek antariksa
untuk otorisasi peluncuran objek antariksa tertentu atau
peluncuran satu seri objek antariksa;
2) Ijin diberikan apabila persyaratan standar seperti al :
asuransi/keuangan, gangguan terhadap kesehatan, keamanan
dan kerugian materil, pelanggaran terhadap keamanan dalam
negeri, kebijakan luar negeri dan kewajiban internasional dan
kriteria-kriteria lain yang ditetapkan telah terpenuhi;
3) Dalam pemberian ijin Menteri akan mempertimbangkan
perjanjian antara Indonesia dengan negara peluncur lain yang
berkait dengan liability dan indemnify terhadap kerusakan yang
disebabkan atau akan disebabkan oleh objek antariksa yang
akan diluncurkan serta ketentuan lain dalam perjanjian;
4) ijin mengatur juga jangka waktu dan mulai berlakunya ijinserta
ketentuan lain seperti hukuman terhadap pelanggaran, transfer
ijin, prosedur pengajuan permohonan, penghentian sementara
sebagaimana dalam pengaturan lisensi keantariksaan dan ijin
peluncuran.
o.
Hal lain yang terkait adalah pengaturan tentang kewenangan
Lembaga (LAPAN) dalam memberikan informasi tentang : fenomena
cuaca dan lingkungan antariksa baik informasi positif maupun
negative, bencana antariksa, benda jatuh antariksa alami dan buatan
dan evakuasi benda antariksa;
Halaman | 150
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
B.
Analisis Keterkaitan Dengan Hukum Positif
291. Sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 12
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan, memberikan definisi mengenai Materi Muatan
Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam
Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hirarki
Peraturan Perundang-undangan. Artinya, bahwa materi muatan suatu
peraturan perundang-undangan yang sedang disusun oleh Pemerintah dan
DPR-RI
baik
yang
berbentuk
Undang-undang/Perpu,
Peraturan
Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah harus disesuaikan
dengan jenis, fungsi, dan hirarki peraturan perundang-undangan, yaitu
yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU 10 Tahun 2004. Ditambahkan
pula dalam Pasal 7 ayat (5) yang menyatakan bahwa kekuatan hukum
Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
292. Hal serupa dikemukakan pula dalam Pasal 4 Peraturan Presiden
Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan
Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan
Presiden yang menyatakan bahwa konsepsi dan materi pengaturan
Rancangan Undang-Undang yang disusun harus selaras dengan falsafah
negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, undang-undang lain, dan kebijakan yang terkait dengan materi yang
akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut. Artinya bahwa
materi rancangan undang-undang yang sedang disusun oleh suatu instansi
harus diselaraskan dengan Pancasila sebagai sumber hukum negara, UUD
1945, undang-undang yang mempunyai materi yang terkait dengan materi
rancangan undang-undang yang sedang disusun, dan kebijakan yang
terkait dengan materi yang akan diatur dalam suatu rancangan undangundang.
293. Posisi Undang-undang dalam jenis dan hirarki peraturan perundangundangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 berada setelah
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, artinya bahwa
dalam rangka menyelaraskan materi muatan rancangan undang-undang
yang sedang disusun, maka materi rancangan undang-undang harus
bersinergi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dan materi undang-undang yang mempunyai korelasi dengan materi
rancangan undang-undang yang sedang disusun.
294. Dengan demikian, untuk meletakkan suatu rancangan undangundang dalam posisi yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ketika
diimplementasikan dalam masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya,
serta mengurangi upaya pengujian undang-undang secara materiil di
Halaman | 151
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Mahkamah Konstitusi (MK), maka materi yang akan diatur dalam peraturan
perundang-undangan tersebut harus sesuai atau selaras atau bersinergi
dengan materi yang diatur pula dalam peraturan perundang-undangan lain
sesuai dengan hirarkinya.
295. Upaya yang dilakukan dalam menyesuaikan atau menyelaraskan
dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi,
dan hirarki peraturan perundang-undangan inilah seringkali dikatakan
sebagai suatu upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan. Istilah
harmonisasi dipergunakan dalam Pasal 18 ayat (2) UU 10 Tahun 2004 yang
menyatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan
konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden,
dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang
peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini istilah harmonisasi
mempunyai makna untuk menyesuaikan dengan peraturan perundangundangan atau hukum positif yang terkait sebab senyatanya, istilah
harmonisasi itu sendiri secara definitif tidak tertuang dalam UU 10 Tahun
2004.
296. Menelisik istilah harmonisasi, sesungguhnya berawal dari kata yang
dipergunakan dalam ilmu musik Barat, yaitu salah satu teori musik yang
mengajarkan bagimana menyusun sutau rangkaian akord-akord agar
musik tersebut dapat enak didengar dan selaras.114 Sedangkan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, 115 harmonisasi berarti upaya
mencari keselarasan.
297. Sedangkan makna harmonisasi yang dituangkan dalam buku
Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM RI
menyatakan
bahwa
pengharmonisasian
adalah
kegiatan
untuk
mengharmonisasikan atau menyelaraskan atau dalam bahasa Inggrisnya
harmonize diartikan bring into harmony dan harmoni diartikan sebagai
pleasing combination of related things. Ditambahkan pula makna
harmonisasi yang diberikan oleh Kusnu Goesniadhie, yaitu upaya atau
proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan,
dan keseimbangan antara berbagai faktor yang sedemikian rupa sehingga
faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk suatu
keseluruhan dari undang-undang sebagai bagian dari suatu sistem.116
Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Harmoni_%28musik%29. Diakses: 28 April 2010.
2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Penerbit
PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.848.
116 Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Ditjen. Peraturan Perundangundangan, Kementerian Hukum dan HAM. Pengharmonisasian, Pembulatan, dan
Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. UNDP Indonesia.
Hlm. 7.
114
115Depdiknas,
Halaman | 152
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
298. Menurut Wicipto Setiadi, Depkumham) upaya pengharmonisasian
sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) UU 10 Tahun 2004
merupakan upaya menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan
dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi,
sederajad, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain di luar peraturan
perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling
bertentangan atau tumpang tindih (overlapping). Hal ini merupakan
konsekuensi dari adanya hirarki peraturan perundang-undangan.
299. Tujuan dari upaya harmonisasi ini adalah untuk (i) untuk memenuhi
ketentuan yang tertuang dalam UU 10 Tahun 2004 sekaligus ditinjau dari
ilmu hukum bahwa peraturan perundang-undangan merupakan bagian
dari suatu sistem hukum di mana antara satu peraturan perundangundangan dengan lainnya mempunyai keterkaitan, ketergantungan, dan
merupakan satu kebulatan yang utuh; (ii) sebagai upaya preventif untuk
mencegah diajukannya permohonan pengujian peraturan perundangundangan kepada kekuasaan kehakiman yang berkompeten yaitu
Mahkamah Konstitusi untuk undang-undang dan Mahkamah Agung untuk
peraturan perundang-undangan yang hirarkinya di bawah undang-undang;
(iii) untuk menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan
agar dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum, sebab hukum
dibuat agar dapat diimplementasikan dalam masyarakat.117
300. Dengan demikian, sesuai dengan uraian yang telah dikemukakan di
atas mengenai hirarki peraturan perundang-undangan dan upaya
pengharmonisasian dalam penyusunan suatu rancangan peraturan
perundang-undangan, maka dalam rangka menyelaraskan materi muatan
Rancangan Undang-Undang Tentang Keantariksaan (RUUK) diperlukan
pula suatu upaya penyelarasan materi muatan RUUK dengan materi
muatan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu dalam hal ini
Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, agar
tidak terjadi perbenturan dan tumpang tindih materi muatan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
301. Peraturan perundang-undangan lainnya yang dimaksud di sini
adalah yang berjenis undang-undang. Hal demikian dilakukan karena UUK
merupakan peraturan perundang-undangan yang berjenis undang-undang.
Terdapat dua alasan penyelarasan (harmonisasi) UUK dengan undangundang, yaitu: (i) sesuai dengan Teori Jenjang Hukum (Stufenbau Theory)
yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum
yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih
tinggi, sedangkan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber pada norma
yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang
tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu
norma dasar (grund norm). Hal ini berarti bahwa menurut teori tersebut
117
ibid. Hlm. 10.
Halaman | 153
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
suatu norma yang dibentuk harus didasarkan pada norma yang
tingkatannya atau hirarkinya berada di atas norma yang dibentuk, yaitu
Pancasila dan UUD 1945 sebagai norma dasar, selain itu harmonisasi
RUUK harus didasarkan pada undang-undang yang mempunyai tingkatan
yang sama dengan RUUK sebab undang-undang bersifat aplikatif yang
mengatur secara spesifik suatu bidang. Hal ini dimaksudkan agar tidak
terjadi perbenturan kepentingan diantara bidang-bidang yang diatur; (ii)
dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) prinsip hukum, yaitu: lex posteriori
derogat legi priori (peraturan atau undang-undang yang terbaru
mengenyampingkan peraturan atau undang-undang yang lama), lex
specialis derogat legi generali (peraturan atau undang-undang yang khusus
mengenyampingkan peraturan atau undang-undang yang bersifat umum),
lex superior derogat legi inferiori (peraturan atau undang-undang yang lebih
tinggi mengenyampingkan peraturan atau undang-undang yang lebih
rendah).
302. Dengan menganut pada ketiga prinsip hukum tersebut, UUK
memenuhi kriteria sebagai peraturan atau undang-undang yang bersifat
khusus sebab bidang yang diatur khusus mengenai penyelenggaraan
keantariksaan, selain itu UUK merupakan peraturan yang hirarkinya lebih
tinggi dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan
Peraturan Daerah, dengan demikian bukan merupakan keharusan
bilamana UUK tidak menyelaraskan dengan peraturan perundangundangan lain yang hirarkinya di bawah undang-undang. Di samping itu,
RUUK merupakan undang-undang yang dibentuk terbaru dibandingkan
peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal yang sama.
303. Dengan demikian, berdasarkan pada ketiga prinsip hukum tersebut
UUK dapat diharmonisasi dengan undang-undang yang materi muatannya
terkait dengan materi muatan UUK. Namun demikian, perlu diingat kembali
bahwa hukum merupakan suatu sistem hukum, sehingga antara peraturan
perundang-undangan yang satu dengan lainnya baik sederajad maupun
lebih rendah bahkan yang lebih tinggi merupakan satu jalinan yang saling
melengkapi dan mengisi (komplementer) dalam memberikan pengaturan di
berbagai bidang. Oleh karena itu, bukan merupakan suatu larangan
bilamana UUK disamping menyelaraskan dengan undang-undang, perlu
juga untuk menyeleraskan dengan peraturan di bawah undang-undang.
Sebab hal ini untuk menghindari tumpang tindih misalnya pengaturan
tentang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya.
304. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dan sesuai dengan materi
muatan UUK, maka beberapa peraturan-perundang yang terkait dengan
materi yang diatur oleh UUK antara lain sebagai berikut :
Halaman | 154
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
1.
Undang-Undang Dasar 1945
305. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alenia IV Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan bahwa:
“............ untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.........”
306. Tujuan nasional sebagaimana dikemukakan dalam alinea IV
Pembukaan UUD 1945 tersebut di atas merupakan salah satu sumber
hukum utama yang harus diperhatikan dalam setiap bentuk perumusan
kebijakan dan pengaturan, termasuk dalam perumusan kebijakan dan
pengaturan nasional bagi kegiatan keantariksaan. Oleh karenanya, dalam
konteks upaya perumusan UUK, maka dengan berdasarkan pada tujuan
nasional tersebut kegiatan keantariksaan dapat diarahkan pada pencapaian
tujuan-tujuan seperti:
a. mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa
dan negara dalam penyelenggaraan keantariksaan;
b. mengoptimalkan
penyelenggaraan
keantariksaan
untuk
kesejahteraan;
c. menjamin keberlanjutan penyelenggaraan keantariksaan untuk
kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan;
d. memberikan
landasan
dan
kepastian
hukum
dalam
penyelenggaraan keantariksaan;
e. mewujudkan pertahanan, keamanan dan keselamatan;
f.
melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif
yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan keantariksaan; dan,
g. mengoptimalkan
penerapan
perjanjian
Internasional
keantariksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
2.
Undang-Undang Republik
tentang Wilayah Negara.
Indonesia
Nomor
43 Tahun
2009
307. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2009, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 1 Angka 1
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya
disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman,
perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di
bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber
kekayaan yang terkandung di dalamnya.
308. Pengakuan terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang terdiri dari unsur wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
Halaman | 155
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya,
serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang
terkandung di dalamnya. Untuk wilayah daratan dan perairan sudah
ditetapkan batas kedaulatannya, namun untuk wilayah udara belum
menetapkan batas sejauhmana kedaulatan ruang udara Indonesia.
309. Sementara antariksa telah disepakati dan disahkan dalam Traktat
Antariksa 1967 khusus pasal 2 dinyatakan; larangan tuntutan kedaulatan
dalam bentuk apapun terhadap antariksa dan antariksa dinyatakan sebagai
wilayah seluruh umat manusia. Hal ini dinyatakan dalam UUK dalam
bagian Status Antariksa.
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang
Penerbangan.
310. Berdasarkan UU Nomor Nomor 1 Tahun 2009, maka terdapat materi
yang terkait dengan materi UUK yaitu:
Pasal 5
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif
atas wilayah udara Republik Indonesia.
Pasal 6
Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah
udara
Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia,
Pemerintah
melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang
udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional,
pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan
udara.
Pasal 7
1) Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah menetapkan kawasan
udara terlarang dan terbatas.
2) Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang
terbang melalui kawasan udara terlarang.
3) Larangan terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat
permanen dan menyeluruh.
4) Kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara
negara.
311. Batas kedaulatan Negara atas wilayah udara NKRI perlu dipertegas
dalam Undang-Undang, meskipun Negara Indonesia sudah menyatakan
kedaulatan atas wilayah Udara Republik Indonesia, namun belum
menetapkan sampai sejauh mana batas wilayah udaranya tersebut, untuk
itu RUU Tentang Keantariksaan dapat menjawab pertanyaan tersebut
dengan menetapkan batas antara wilayah ruang udara dan antariksa
adalah pada ketinggian 110 km dari permukaan laut. Penetapan ketinggian
Halaman | 156
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
110 km ini ditujukan semata-mata untuk pengakuan terhadap kedaulatan
Negara di ruang udara.
4.
Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Kementerian Negara.
Nomor
39
Tahun
2008
312. Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 25
(1). Hubungan fungsional antara Kementerian dan lembaga
pemerintah nonkementerian dilaksanakan secara sinergis sebagai
satu sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2). Lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah
Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri
yang mengoordinasikan.
(3). Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan fungsional antara
Menteri dan lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Presiden.
313. Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebagaimana Instansi
LAPAN bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang
Mengoordinasikannya, meskipun Peraturan Presiden mengenai hubungan
fungsional antara Menteri dengan LPNK belum ada, namun atas dasar
Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun
2005 terutama pada Pasal 106 huruf i menyebutkan bahwa Menteri Negara
Riset dan Teknologi mengoordinasikan bagi LIPI, LAPAN, BPPT, BATAN,
BAPETEN, BAKOSURTANAL, dan BSN.
1.
Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Hubungan Luar Negeri
Nomor
37
Tahun
1999
314. Berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 1999, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 13
Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun
non departemen, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian
internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana
tersebut dengan Menteri.
Pasal 14
Pejabat lembaga pemerintah, baik depatemen maupun nondepartemen,
yang akan menandatangani perjanjian internasional yang dibuat
antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain,
Halaman | 157
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya,
harus mendapat surat kuasa dari Menteri.
Pasal l5
Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional diatur dengan undang-undang tersendiri.
315. Penyelenggaraan keantariksaan banyak berhubungan dengan Negara
lain (Hubungan Luar Negeri) hubungan yang dibangun tentunya didasarkan
atas Perjanjian Internasional sehingga ada hubungan hukum diantara
pihak. Hubungan luar negeri yang dimaksud dalam Penyelenggaraan
Keantariksaan dapat berupa Kerjasama Internasional dan keanggotaan
dalam forum dan/atau Organisasi Internasional. Upaya menjalin hubungan
luar negeri ini tentunya sangat berhubungan dengan tujuan percepatan
penguasaan teknologi antariksa di dalam negeri.
2.
Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Perjanjian Internasional.
Nomor
24
Tahun
2000
316. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2000, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 5
(1). Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen
maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional,
terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai
rencana tersebut dengan Menteri.
(2). Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan
perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi
Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu
pedoman delegasi Republik Indonesia.
(3). Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat
persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut :
a. latar belakang permasalahan;
b. analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis
serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan
nasional Indonesia;
c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat
dilakukan untuk mencapai kesepakatan.
(4). Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan
oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau
pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup
kewenangan masing-masing.
317. Dari ketentuan Pasal 5 UU Nomor 24 Tahun 2000 memberikan
kewajiban kepada lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik
departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang
mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih
Halaman | 158
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut
dengan Menteri. Yang dimaksud Menteri adalah Menteri yang
mengkoordinasikan lembaga negara dan lembaga pemerintah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang
Kementerian Negara.
3.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002
Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan
Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
318. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2002, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 21
(1). Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan
instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1).
(2). Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
diberikan sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat
mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi.
(3). Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan
dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu
pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga.
(4). Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga
litbang dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai
Lembaga Pemerintah Non Kementerian maupun sebagai unit kerja
Kementerian atau pemerintah daerah tertentu.
(5). Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan
akuntabel.
Penjelasan Ayat 4
Pada tingkat pusat, pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat
ini dapat berupa:
a. Lembaga litbang Kementerian dan lembaga lain yang sejenis yang
berada di bawah naungan Kementerian tertentu yang
kegiatannya berkaitan dengan permasalahan sektor tertentu;
b. Lembaga litbang non Kementerian yang merupakan organisasi
yang berdiri sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan
permasalahan lintas sektor. Pada saat undang-undang ini dibuat,
yang termasuk dalam jenis lembaga ini, antara lain, adalah
Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional;
Halaman | 159
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
c.
d.
Lembaga penunjang Kementerian dan lembaga lain yang sejenis
berada di bawah naungan Kementerian tertentu yang
kegiatannya berkaitan dengan permasalahan sektor tertentu;
Lembaga penunjang non Kementerian merupakan organisasi yang
berdiri sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan
lintas sektor. Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk
dalam jenis lembaga ini, antara lain, adalah Badan Koordinasi
Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengawas Tenaga Nuklir,
Badan Standardisasi Nasional.
319. Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi
dalam undang-undang ini diatur aspek-aspek penting seperti fungsi
kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi,
fungsi dan peran pemerintah, peran serta masyarakat, pembiayaan dan
bahkan dilengkapi dengan ketentuan mengenai sanksi. Sebagai Peraturan
Pelaksananya antara lain Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
48 Tahun 2009 tentang Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian,
Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Yang
Berisiko Tinggi dan Berbahaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun
2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta hasil kegiatan
penelitian dan pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang.
4.
Undang-Undang Republik
Tentang Telekomunikasi.
Indonesia
Nomor
36
Tahun
1999
320. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 1999, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 32
(1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan ,dibuat ,dirakit,
dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik
Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan
berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denga Peraturan
Pemerintah.
Pasal 33
(1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib
mendapat izin Pemerintah
(2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus
sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu
(3) Pemerintah
melakukan
pengawasan
da
pengendalian
penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit.
(4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit
yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
Halaman | 160
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
10.
Undang-Undang Republik
Tentang Penyiaran
Indonesia
Nomor
32
Tahun
2002
321. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 1 Angka 2
Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana
pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di
antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui
udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara
serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima
siaran.
322. Pemanfaatan teknologi satelit terus berkembang pesat, antara lain di
bidang telekomunikasi, khususnya dalam kegiatan penyiaran. Keputusan
pemerintah atas penggunaan DVB-T sebagai standar TV digital terestrial
akan menjadi lokomotif terjadinya migrasi dari era penyiaran analog
menuju era penyiaran digital di Indonesia. Pilihan ini membuka peluang
ketersediaan saluran siaran yang lebih banyak, yang berimplikasi dalam
banyak aspek. Untuk itu, peran pemerintah menjadi sangat strategis dalam
mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia dan sarana
prasarana yang mampu menanggapi tantangan di era penyiaran digital.
Momentum penyiaran digital ini diharapkan dapat menjadi pemicu tumbuh
dan berkembangnya kemandirian bangsa.
5.
Undang-Undang Republik
Tentang Kepariwisataan
Indonesia
Nomor
10
Tahun
2009
323. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 1 Angka 1
Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
Pasal 1 Angka 3
Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah.
Pasal 1 Angka 7
Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan
pariwisata.
Halaman | 161
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
6.
Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Penanggulangan Bencana.
Nomor
24
Tahun
2007
324. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 64
Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang disebabkan
oleh kegiatan keantariksaan yang menimbulkan bencana menjadi
tanggung jawab negara peluncur dan/atau pemilik sesuai dengan
hukum dan perjanjian internasional.
Penjelasan Pasal 64
Yang dimaksud dengan “kegiatan keantariksaan” adalah kegiatan
yang berkaitan dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana,
antara lain, peluncuran satelit dan eksplorasi ruang angkasa.
7.
Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Penanaman Modal.
Nomor
25
Tahun
2007
325. Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2007, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 3 Ayat 2
Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk:
a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional;
b. menciptakan lapangan kerja;
c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan;
d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional;
e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional;
f.
mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan;
g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil
dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri
maupun dari luar negeri; dan
h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
326. Penanaman Modal kemungkinan dapat dilakukan dalam kegiatan
keantariksaan guna meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi
nasional, namun untuk penanaman modal asing memang perlu untuk
dikaji karena kegiatan keantariksaan ada yang bersifat strategis yang
tertutup untuk penanam modal asing. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12
Ayat 1 dan 2 sebagai berikut:
1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan
penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang
dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.
2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah:
a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang;
dan
b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup
berdasarkan undang-undang.
Halaman | 162
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
13.
Undang-Undang Republik Indonesia
Tentang Ketenaganukliran.
Nomor
10
Tahun
1997
327. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1997, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 16
(1). Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga
nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan
ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta
perlindungan terhadap lingkungan hidup.
(2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 17
(1). Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali
dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
(2). Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi
nuklir lainnya serta dekomisioning reactor nuklir wajib memiliki
izin.
(3). Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
328. Penggunaan
tenaga
nuklir
bagi
kegiatan
penyelenggaraan
keantariksaan harus memperhatikan ketentuan penggunaan dan
keamanan tenaga nuklir yang diatur dan dikeluarkan oleh badan yang
berwenang.
14.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang
Usaha Perasuransian
329. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1992, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 1 Angka 1
Asuransi atau Pertanggungan adalah perjaniian antara dua pihak
atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada
tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau
kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab
hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung,
yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk
memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau
hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Pasal 2 huruf a
Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan
menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi
Halaman | 163
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa
asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu
peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya
seseorang.
330. Asuransi Kegiatan keantariksaan memiliki karakteristik spesifik (Pre
launch Insurance, Launch Insurance In Orbit Policies Insurance, Third Party &
Government Property Insurance, re launch guarantees). Dari spesifikasi
tersebut belum diatur dalam usaha perasuransian, maka perlu diatur lebih
lanjut, dan pada intinya adalah penyelengaraan keantariksaan biayanya
sangat tinggi maka asuransi mutlak diperlukan.
15.
Undang-Undang Republik
Tentang Penataan Ruang.
Indonesia
Nomor
26
Tahun
2007
331. Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 1 Angka 28
Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya
diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara
nasional terhadap kedaulatan Negara, pertahanan dan keamanan
Negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk
wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia.
332. Sebagai peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor
26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, beberapa
lokasi (kawasan) penelitian dan pengembangan Lembaga Penerbangan dan
Antariksa Nasional (LAPAN) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional
yang dipandang dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam
dan/atau teknologi tinggi. Dan disadari bahwa penyelengaraan
keantariksaan nantinya membutuhkan lokasi yang diperuntukkan sebagai
Bandar Antariksa maupun Ground Station Satelit yang dapat dikategorikan
sebagai kawasan strategis yang dipandang dari sudut kepentingan
pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi.
16.
Undang-Undang Republik
tentang Kearsipan.
Indonesia
Nomor
43
Tahun
2009
333. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2009, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 33
Arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan kegiatan yang
menggunakan sumber dana Negara dinyatakan sebagai arsip milik
negara.
Pasal 34 Ayat 2
Negara secara khusus memberikan pelindungan dan penyelamatan
arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan
Halaman | 164
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian
internasional, kontrak karya, dan masalah-masalah pemerintahan
yang strategis.
Pasal 43 Ayat 3
Arsip yang tercipta pada lembaga negara, pemerintahan daerah, dan
perguruan tinggi negeri yang berkaitan dengan kegiatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib diserahkan kepada ANRI
dalam bentuk salinan autentik dari naskah asli paling lama 1 (satu)
tahun setelah dilakukan pelaporan kepada ANRI.
334. Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas, sangat jelas bahwa
lembaga-lembaga Pemerintah diharuskan menyerahkan naskah arsip yang
berkaitan kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian
internasional, kontrak karya, dan masalah-masalah pemerintahan yang
strategis kepada ANRI, termasuk arsip yang dimiliki LAPAN yang berkaitan
dengan
perjanjian
internasional
dan
masalah
strategis
seperti
penyelengaraan keantariksaan.
17.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP)
14
Tahun
2008
335. Dalam UU Tentang KIP terdapat ketentuan yang mengharuskan
semua badan publik untuk mengumumkan informasi publik secara
berkala, paling sedikit enam bulan sekali, mengumumkan secara sertamerta suatu informasi salah satunya yang dapat mengancam hajat hidup
orang banyak dan ketertiban umum, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja
sejak diterimanya permintaan, badan publik bersangkutan wajib
menyampaikan pemberitahuan tertulis apakah informasi yang diminta itu
berada di bawah penguasaannya atau tidak. Apabila informasi yang diminta
itu tak berada di bawah penguasaannya, badan publik wajib
memberitahukan badan publik mana yang menguasai informasi itu.
Informasi yang dihasilkan dari kegiatan keantariksaan dapat dikategorikan
sebagai informasi publik (selain sebagaimana pengecualian Pasal 17 UU
Tentang KIP) terutama informasi penginderaan jauh dalam kegiatan mitigasi
bencana, informasi benda jatuh antariksa harus diumumkan secara serta
merta. Dalam UU KIP ini dinyatakan bahwa :
Pasal 1
(1). Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data,
fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan
dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format
sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi
secara elektronik ataupun nonelektronik.
(2). Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang
berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara
dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan public
Halaman | 165
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi
lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
(3). Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan
badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan
penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau
organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh
dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri.
Pasal 2
(1). Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh
setiap Pengguna Informasi Publik.
(2).
Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas.
(3). Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon
Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan
cara sederhana.
(4). Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai
dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum
didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul
apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta
setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup
Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar
daripada membukanya atau sebaliknya.
18.
Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI).
336. Sangat disadari bahwa kegiatan keantariksaan terkait erat dengan
aktivitas intelektual dimana hasil kreasi intelektual yang terjadi dilindungi
dengan keberlakukuan hukum tentang hak kekayaan intelektual (contoh;
Paten, Hak Cipta, Merek, Rahasia Dagang, dan lain-lain). Oleh karena itu,
dalam perumusan RUU Keantariksaan perlu diberikan pengakuan dan
perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang terkait dengan jasa
nilai tambah dan juga produk-produk intelektual yang digunakan secara
memadai. Termasuk di dalamnya adalah pengakuan dan perlindungan
terhadap hak kekayaan intelektual asing. Untuk itu, keserasian dengan
undang-undang yang terkait di bidang perlindungan hak kekayaan
intelektual
harus
menjadi
pedoman
dalam
penyusunan
RUU
Keantariksaan. Di samping itu perjanjian-perjanjian internasional di bidang
perlindungan hak kekayaan intelektual yang telah diratifikasi seyogyanya
juga dijadikan pedoman.
337. Berbagai Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang
terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual mencakup antara
lain: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 31
Halaman | 166
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Tahun 2001 Tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2000 Tentang Disain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan WTO Agreement, khususnya
tentang TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights). Di
samping itu terdapat beberapa Keputusan Presiden yang perlu diperhatikan
yaitu: Keppres Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Paten
Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under The PCT. Keppres Nomor 19
Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copy Rights Treaty, serta Keppres
Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the
Protection of Liteary and Artistic Works.
19.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
2009
338. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 22
(1). Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting
terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal.
(2). Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria:
a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak
rencana usaha dan/atau kegiatan;
b. luas wilayah penyebaran dampak;
c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung;
d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan
terkena dampak;
e. sifat kumulatif dampak;
f.
berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau
g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
339. Penyelenggaraan keantariksaan yang dilakukan penyelenggara wajib
menjamin terpeliharanya pelestarian fungsi lingkungan bumi dan antariksa
sesuai daya dukung dan daya tampungnya. Dalam hal ini yang dimaksud
dengan pelestarian fungsi lingkungan bumi dan antariksa hidup adalah
rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya
tampung lingkungan bumi dan antariksa. Daya dukung lingkungan adalah
kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia,
makhluk hidup lain, dan sumber daya lainnya serta keseimbangan
antarketiganya. Daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan
untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau
dimasukkan ke dalamnya. Dan khusus Penyelenggaraan keantariksaan
untuk tujuan pembangunan bandar antariksa wajib memiliki AMDAL
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tersebut.
Halaman | 167
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
20.
Undang-Undang Republik Indonesia
tentang Pemerintahan Daerah
Nomor
32
Tahun
2004
340. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka terdapat materi yang
terkait dengan materi UUK yaitu :
Pasal 10
(1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan
yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan
yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan
Pemerintah.
(2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur
dan
mengurus
sendiri
urusan
pemerintahan
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
(3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a.
politik luar negeri;
b.
pertahanan;
c.
keamanan;
d.
yustisi;
e.
moneter dan fiskal nasional; dan
f.
agama.
21.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
1999
341. Dalam hal terjadi sengketa penyelenggaraan keantariksaan,
penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar
pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela penyelenggara yang
bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute
Resolution) adalah Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat,
melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar
pengadilan dengan cara Mediasi, Negosiasi, Konsiliasi dan Arbitrase.
342. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar
peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat
secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase pada dasarnya
merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Untuk
keperluan tersebut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan
kompetisi absolut atas pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian di
antara para pihak, maupun perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul atas
penyelesaian sengketa melalui pengadilan.
Halaman | 168
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
22.
Peraturan Perundang-Undangan Lainnya.
343. Dalam rangka menganalisis keterkaitan RUU tentang Keantariksaan
dengan hukum positif khususnya peraturan perundang-undangan terkait
perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan ratifikasi
perjanjian internasional keantariksaan secara khusus keterkaitannya telah
dimasukkan dalam uraian Bab III.
Sedangkan terhadap perjanjian
internasional di luar perjanjian internasional keantariksaan namun terkait
baik langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan
keantariksaan dianggap implementasinya di tingkat nasional sudah diatur
dalam peraturan perundang-undangan nasional sebagaimana disebut
dalam butir 2-21 di atas.
---000---
Halaman | 169
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
344. Dari beberapa uraian pada awal bab dan selanjutnya, maka dapat
diambil suatu kesimpulan :
a. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor
M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan
Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan
maka seluruh proses penyusunsn naskah akademik peraturan
perundang-undangan mengacu pada Peraturan Menteri tersebut.
b. Dilihat dari Konsep Dasar Pembangunan Keantariksaan,
Kebijakan dan Program Pembangunan Keantariksaan serta
Kelembagaannya terdapat kebutuhan akan lahirnya suatu
Undang-undang Tentang Keantariksaan untuk mencapai tujuan
dan kepentingan nasional di bidang keantariksaan;
c. Dilihat dari sisi urgensinya, terutama dikaitkan dengan dinamika
kepentingan nasional di bidang keantariksaan, manfaat dan
konsekuensinya serta upaya pengembangan hukum antariksa
nasional sebagai bagian dari sistem hukum nasional terdapat
urgensi lahirnya Undang-Undang Tentang Keantariksaan;
d. Dalam rangka perumusan RUU Tentang Keantariksaan perlu
diperhatikan upaya harmonisasi, baik terhadap undang-undang
dan peraturan perundang-undangan nasional terkait yang
berlaku maupun terhadap aturan-aturan hukum internasional
terkait yang berlaku;
e. Materi muatan RUU Tentang Keantariksaan secara umum terdiri
dari landasan dan asas serta pokok-pokok materi pengaturan
yang
mengatur
aspek-aspek
seperti:
status
antariksa,
keselamatan misi yang dikaitkan dengan sistem lisensi nasional,
kepentingan keamanan nasional, registrasi, tanggung jawab
Negara,
sistem
pertanggung-jawaban,
perlindungan
hak
kekayaan intelektual, perlindungan dan pelestarian lingkungan,
kelembagaan, kerjasama internasional, peran serta, subjek
hukum non-negara, penyelesaian sengketa, ketentuan sanksi,
ketentuan peralihan dan ketentuan penutup.
345. Berdasarkan uraian dalam tersebut dapat disimpulkan bahwa
terdapat beberapa pengaturan pelaksanaan dari RUU Tentang
Keantariksaan, bahkan salah satunya masih dalam bentuk Undang-undang
tersendiri. Bentuk peraturan pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut:
a. Undang-Undang Tentang Pengendalian Lintas Batas Teknologi
Keantariksaan.
Bagian
Ketiga,
Pengembangan
Teknologi
Keantariksaan. Pasal 16 Ayat 3.
Halaman | 170
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Peraturan Pemerintah Tentang Pengawasan dan Pengendalian
Keantariksaan, (Pasal 8 Ayat 6).
c. Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Keantariksaan
(Pasal 11 ayat 4).
d. Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Bandar
Antariksa (Pasal 15 ayat 5).
e. Peraturan Pemerintah Tentang Kerja sama Internasional
Keantariksaan (Pasal 16 ayat 3).
f.
Peraturan Pemerintah Tentang Pengaturan pemanfaatan
Teknologi Keantariksaan untuk kepentingan penginderaan jauh
(Pasal 25).
g. Peraturan Pemerintah Tentang Presedur dan Mekanisme
Penanganan bencana Keantariksaan (Pasal 27 Ayat 2).
h. Peraturan
Pemerintah
Tentang Pemanfaatan
Teknologi
Keantariksaan untuk kepentingan Komersialisasi Keantariksaan
(Pasal 29 ayat 2).
i.
Peraturan Pemerintah Tentang Peluncuran Wahana Antariksa
Dalam Negeri (Pasal 29 ayat 2).
j.
Peraturan
Pemerintah
Tentang
Penjalaran
Teknologi
Keantariksaan (Pasal 35 ayat 3).
k. Peraturan Pemerintah Tentang Standar dan Prosedur
Keamanan dan Keselamatan Keantariksaan (Pasal 38)
l.
Peraturan Pemerintah Tentang Prosedur dan Persyaratan
Pemberian Lisensi Terhadap Penyelenggaraan Keantariksaan
(Pasal 41 ayat 7).
m. Peraturan Pemerintah Tentang Pengaturan Tanggung Jawab
dan Kerugian Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 47).
n. Peraturan Pemerintah Tentang Kriteria AMDAL Terhadap
Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 53 ayat 5).
o. Peraturan
Pemerintah
Tentang
Sistem
Informasi
Keantariksaan (Pasal 56 ayat 7).
p. Peraturan Presiden Tentang Kedudukan, tugas pokok, fungsi,
susunan dan tata kerja Dewan dan Lembaga (Pasal 9 ayat 6).
q. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Prosedur dan Tata Cara
Penetapan dan Penggunaan Infrastruktur Penyelenggaraan
Keantariksaan (Pasal 13 Ayat 6).
r. Peraturan
Kepala
Lembaga
Tentang
Penyelenggaraan
Keantariksaan Dalam Negeri dan Luar Negeri (Pasal 17 Ayat 4).
s. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Penguasaan Teknologi
Penerbangan (Pasal 18 Ayat 3).
t.
Peraturan Kepala Lembaga Tentang Prosedur dan Mekanisme
Pemberian Informasi Hasil Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan
Dalam Rangka Mitigasi Bencana (Pasal 26 Ayat 3).
u. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Penyelenggaraan Penelitian
Teknologi Keantariksaan (Pasal 33 Ayat 4).
b.
Halaman | 171
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
B.
Saran
1.
Skala Prioritas Penyusunan Peraturan
Undang Tentang Keantariksaan
Pelaksanaan
Undang-
346. Berdasarkan uraian tersebut disarankan agar prioritas pengaturan
tindak lanjut dari RUU tentang Keantariksaan adalah :
a. Undang-Undang mengenai Teknologi Wahana Peluncur Satelit.
Bagian Ketiga, Pengembangan Teknologi Keantariksaan. Pasal 16
Ayat 3.
b. Peraturan Pemerintah mengenai Pengawasan dan Pengendalian
keantariksaan yang dilakukan oleh penyelenggara di wilayah dan
yurisdiksi Republik Indonesia. Pasal 8 Ayat 6.
c. Peraturan Pemerintah mengenai Pengaturan Tanggung Jawab
dan Kerugian Keantariksaan (Pasal 47).
d. Peraturan Pemerintah mengenai Pengaturan pemanfaatan
teknologi Keantariksaan untuk kepentingan penginderaan jauh
(Pasal 25).
2.
Kegiatan lain yang mendukung RUU tentang Keantariksaan
347. Beberapa kegiatan lain yang dapat mendukung pemberlakuan RUU
tentang Keantariksaan adalah :
a. Melanjutkan perundingan antara Indonesia dan Federasi Rusia
tentang Rusia draft ”Agreement on Technology Safeguards
Associated With Cooperation in the Field of the Exploration and
Use of Outer Space for Peaceful Purposes” (TSA)
b. Melanjutkan Ratifikasi Konvensi Pembentukan Asia-Pasific Space
Cooperation Organization (APSCO) yang telah ditandatangani
oleh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 bersama dengan 7
negara lainnya yaitu Bangladesh, China, Iran, Mongolia,
Pakistan, Peru dan Thailand. Pada tanggal 1 Juni 2006, Turkey
menjadi Negara ke-9 yang ikut menandatangani Konvensi
APSCO. Saat ini tinggal Indonesia dan Turkey yang belum
meratifikasi Konvensi tersebut.
---000---
Halaman | 172
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
DAFTAR PUSTAKA
A.
BUKU
Benko, Marietta and Kai-Uwe Schrogl (eds). International Space Law in
the Making. Frontier Edition.
Cheng, Bin. 1997. Studies in International Space Law. Clarendon
Press. Oxford.
Christol, Carl Q. 1991. Space Law: Past, Present and Future.
Crawford, James. 2002. The International Law Commissions’ Articles
on State Responsibility. Cambridge University Press.
Csabafi, Imre Anthony. 1971. The Concept of State Jurisdiction in
International Space Law. Martinus Nijhoff Publishers.
Goldman, Nathan. 1985. Space Commerce: Free Enterprise on the High
Frontier. Massachussets.
Goldman, Nathan. 1988. American Space Law: International and
Domestic. Iowa.
Hacket, George T. 1994. Space Debris and The Corpus Iuris Spatialis.
Frontier Publication.
Horbach, Nathalie LJT. 1996. Liability Vs Responsibility Under
International Law. PhD Dissertation. Leiden University.
Jasani, Bhupendra (ed). 1991. Peaceful and Non-Peaceful Uses of
Outer Space. Taylor and Francis.
Jasani, Bhupendra (ed). 1991. Outer Space, A Source of Conflicts or
Cooperation. The United Nations University Press.
Jorgensen, Nina H.B. 2000. The Responsibility
International Crimes. Oxford University Press.
of
States
for
Kayser, Valerie. 2001. Launching Space Objects: Issues of Liability and
Future Prospects. Kluwer Academic Publishers.
Meredith, Pamela L & George S Robinson. 1992. Space Law: A Case
Study for the Practitioner. Martinus Nijhoff Publishers.
Piradov, AS. International Space Law. 1976. Moskow.
Rijnen, GCM and W de Graaf. 1988. The Pollution of Outer Space, in
Particular of the Geostationary Orbit. Martinus Nijhoff Publisher.
I.B.R Supancana. 1998. The International Regulatory Regime
Governing the Utilization of Earth-Orbits. Ph.D Dissertation. Leiden
University. The Netherlands.
Halaman | 173
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
_______. 2003. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan.
Penerbit Mitra Karya. Jakarta.
_______. 2006. Pelembagaan Undang-Undang Keantariksaan Nasional.
Seri Publikasi Center for Regulatory Research (Pusat Kajian Regulasi. CV
Mitra Karya. Jakarta.
United Nations. 1986. Space Activities of the United Nations and
International Organizations.
Van Traa & Hanneke Louis. 1989. Commercial Utilization of Outer
Space, Legal Aspects. Ph.D Dissertation. University of Utrecht. The
Netherlands.
Verschoor, I.H.Ph Diederiks. 1993. An Introduction to Space Law.
Kluwer Law and Taxation Publishers. The Netherlands.
Von Der Dunk, Frans G. 1998. Private Enterprise and Public Interest in
the European Spacescape. PhD Dissertation. Leiden University. The
Netherlands.
Wassenbergh, Henri A. 1991. Principles of Outer Space Law in
Hindsight. Martinus Nijhoff Publishers. The Netherlands.
Young, Andrew J. 1989. Law and Policy in the Space Station’s Era.
Martinus Nijhoff Publishers. The Netherlands.
Zwaan, Tanja L (ed). 1989. Space Law: Views of the Future. Kluwer.
The Netherlands.
B.
ARTIKEL/MAKALAH
Aoki, Setsuko. 2003. Emerging System of Property Rights System in
Outer Space. Discussion Paper Presented at UN/Korea Workshop on Space
Law.;
Beckman, Robert C. 2003. 1968 Rescue Agreement- An Overview.
Discussion Paper Presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
Davis, Michael. 2003. Australia’s Space Policies and Institutions.
Discussion Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
Dunk, Frans Von Der. 2003. The Outer Space Treaty. Discussion
Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
Gabrynowics, Joanne Irene. 2003. Origin and Characteristics of the
Space Law Treaty Regime. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space
Law.
Hashim, Fatimah Yusro. 2003. The Convention on International
Liability for Damages Caused by Space Objects and The Domestic Regulatory
Responses to Its Implication. Discussion Paper presented at UN/Korea
Workshop on Space Law.
Halaman | 174
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Kerrest, Armel. 2003. Liability Convention and National Licensing
Regimes. Paper Presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
Kim, Doo Hwan. 2003. The Article VI of the Outer Space Treaty. Paper
presented at UN/Korea Space Law Workshop.
Lee, Ricky J. 2003. The Convention on International Liability for
Damages Caused by Space Objects and The Domestic Regulatory Responses
to Its Implementation. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space
Law.
Othman, Mazlan. 2003 The National Space Programme of Malaysia.
Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
Shin, Hongkyun. 2003. Emerging System of Property Right in the Outer
Space. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
Steptoe, E Jason. 2003. U.S. National Aeronautics and Space Act,
Origins, Scope, Application. Paper presented at UN/Korea Workshop on
Space Law.
Tennen, Leslie L. 2003. Emerging System of Copyrights in Outer Space.
Discussion Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law.
C.
PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL
BIDANG
KEANTARIKSAAN
BEBERAPA
NEGARA
DI
Argentina, National Decree no 995/91 Creation of the National
Commission on Space Activities.
Argentina, National Decree No 125/95 Establishment of the National
Registry of Objects Launched into Outer Space.
Australia, Space Activities Act 1998.
Brazil, Law no 8.854 of 1984, Establishing the Brazilian Space
Agency.
Brazil, Resolution no 51 Resolution on Commercial Launching
Activities from Brazilian Territory.
Brazil, Law no 9.994 of 2000, Creating the Program to the Scientific
and Technological Development of Space Sector (Industry).
Brazil, Regulation on Procedures and on Definition of necessary
requirements for the request, evaluation, issuance, follow-up and
supervision of licenses for carrying out launching space activities on
Brazilian Territory.
Canada, Aeronautic Act of 1985.
Canada, Canadian Space Agency Act as Amended in 2001.
Canada, Civil International Space Station Agreement Implementation
Act of 1999.
Halaman | 175
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Chile, Supreme Decree no 338 on the Establishment of a Presidential
Advisory Committee Known as the Chilean Space Agency of 2001.
France, Law no 61-1382 of 1961 regarding Statute of the Centre
National d’Etudes Spatiales.
France, Decree no 62-153, Regulations relating to the CNES.
France, Decree no 89-508 of 1988 & Decree no 90-112 of 1989
Concerning The Space Committee.
Germany, Law Governing the Transfer of Responsibilities for Space
Activities of 1998.
Italy, Law no 186 of 1988 on the Establishment of Italian Space
Agency.
Italy, Legislative Decree no 204 of 1998 Concerning Disposition for the
Coordination, the Development and the Evaluation of the National Policy
Regarding Scientific and Technologic Research.
Italy, Legislative Decree no 27 of 1998 on the Restructuring of the
Italian Space Agency.
Italy, Legislative Decree no 128 of 2003 on the Restructuring of ASI.
Japan, Law no 161 of 2002 concerning Japan Aerospace Exploration
Agency.
Norway, Act no 38 of 1969 on Launching Objects from Norwegian
Territory in Outer Space.
Russian Federation, Presidential EDICT no 185 of 1992 about the
Structure of Management of Space Activity in Russian Federation.
Russian Federation, Presidential EDICT no 2005, of 1994 on the
Organization of the Further Utilization of the Baikonur Cosmodrome in the
Interests of the Russia’s Federation’s Space Activity.
Russian Federation, Decree no 5663-1 about Space Activity.
Russian Federation, Decree no 104 of 1996 on Statute on Licensing
Space Operation.
Russian Federation, Decree no 422 on Measures to Fulfill the Russian
Federal Space Program and International Space Agreements.
South Africa, Space Affairs Act of 1993.
South Africa, Space Affairs Amendment Act no 1530 of 1995.
Spain, Royal Decree No. 278-1995 on the Establishment in Spain of
Registry of Objects Launched into Outer Space as Provided for in the
Convention adopted by the Union Nations General Assembly on 12
November 1974.
Sweden, Act on Space Activities.
Halaman | 176
Oktober 2010
Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan
Sweden, Decree on Space Activities.
Ukraine, Ordinance of the Supreme Soviet of Ukraine on Space.
Ukraine, Decree No. 17 of the Ukraine on the Establishment of the
National Space Agency of Ukraine (29/02/1992).
United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, Outer Space
Act, 1986.
United States of America, The National Aeronautics and Space Act.
United States of America, National Space Program.
United States of America, Commercial Space Act, 1998.
United States of America, Commercial Space Competitiveness
United States of America, Land Remote Sensing Policy.
United States
Matching Grants.
of
America,
Space
Transportation
infrastructure
United States of America, Inventions in Outer Space.
---000---
Halaman | 177
Download