NASKAH AKADEMIK RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR… TAHUN … TENTANG KEANTARIKSAAN Jakarta, Oktober 2010 PUSAT ANALISIS DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN DEPUTI BIDANG SAINS, PENGKAJIAN, DAN INFORMASI KEDIRGANTARAAN LEMBAGA PENERBANGAN DAN ANTARIKSA NASIONAL DAFTAR ISI Halaman Daftar Isi ........................................................................................ Daftar Gambar ............................................................................... Daftar Tabel .................................................................................... BAB I. A. B. C. D. A. B. C. D. E. F. G. H. I. J. K. L. M. N. O. P. Q. R. S. PENDAHULUAN Latar Belakang ...................................................................... Identifikasi Masalah .............................................................. Tujuan dan Kegunaan ........................................................... Metode Penelitian................................................................... BAB II. ASAS-ASAS YANG PENYUSUNAN NORMA DIGUNAKAN 1 17 21 22 DALAM Asas-asas yang Digunakan ..................................................... Pengertian dan Batasan .......................................................... Tujuan Undang-Undang Tentang Keantariksaan ..................... Ruang Lingkup Undang-Undang Tentang Keantariksaan …….. Status Hukum Antariksa ……………………………………………… Batas Ruang Udara dan Antariksa …………………………………. Penyelenggaraan Keantariksaan ……………………………………. Keamanan dan Keselamatan .................................................... Pendaftaran dan Lisensi ........................................................... Tanggung Jawab dan Kerugian ................................................. Asuransi dan Penjaminan ......................................................... Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual ................................... Pelestarian Lingkungan ............................................................. Pembiayaan dan Insentif ........................................................... Peran Serta Masyarakat ............................................................ Penyelesaian Sengketa .............................................................. Penyelidikan dan Penyidikan ..................................................... Ketentuan Sanksi ...................................................................... Prinsip Pengaturan Kelembagaan Dalam Undang-Undang Tentang Keantariksaan ............................................................. BAB III. i iii iv 23 32 35 36 36 37 40 99 101 104 111 114 115 118 123 124 129 130 136 MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANGUNDANGAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF A. Materi Muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Keantariksaan ........................................................................... 142 B. Analisis Keterkaitan Dengan Hukum Positif .............................. 151 Halaman| i BAB IV. A. B. PENUTUP Kesimpulan .............................................................................. 170 Saran ........................................................................................ 172 DAFTAR PUSTAKA ---000--- Halaman| ii DAFTAR GAMBAR 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 1.6 1.7 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15. 2.16. 2.17. 2.18. 2.19. Halaman Satelit Lapan-Tubsat ………………………………………………… 2 Stasiun Bumi SDA Lapan-Pare-Pare …………………………….. 4 Sistem Keantariksaan ………………………………………………. 6 Tahapan Sistem Transportasi Antariksa India 1963-2009 ……………………………………………………………… 12 Produk Litbang Roket LAPAN 1963-2009 ………………………. 12 Sebaran Bidang Orbit Sampah Antariksa .……………………… 15 Kegagalan peluncuran Roket Delta Tahun 1986 ……………… 15 Bandar Antariksa Amerika Serikat yang ada dan direncanakan........................................................................ 50 Proses Peluncuran Satelit dengan Air Launch System ………. 52 Peluncuran Sea Launch System ………………………………….. 53 Bandar Antariksa Kourou, French, Guiana …………………….. 53 Bentuk Ancaman Teknologi Antariksa ................................... 58 Sistem Transportasi Antariksa ELV (Jenis Roket) …………….. 61 Sistem Transportasi Antariksa RLV (Jenis Space Shuttle) ….. 61 Profil Misi Space Shuttle …………………………………………….. 62 Space Shuttle Atlantis Diluncurkan Dengan Pesawat Boeing 747 ……………………………………………………………… 62 Space Shuttle Atlantis Sedang Terbang Menurun Untuk Pendaratan …………………………………………………………….. 65 Satelit Inderaja yang Diakuisisi LAPAN ………………………….. 76 Tiga Segmen dalam Sistem GPS ............................................ 78 Konstelasi Sistem Satelit GPS ……………………………………… 78 Sistim Teknologi Antariksa Berbasis Satelit untuk Management Bencana ……………………………………………….. 84 Mekanisme Permohonan Pengamatan Bencana dari ADRC ke Sentinel Asia ………………………………………………………… 86 Sistem dan Prosedur Pengoperasian Sentinel Asia ……………. 87 Pentahapan Penanggulangan Bencana …………………………… 90 Program Persatelitan Korea Selatan ……………………………….. 121 Besaran Biaya Program Keantariksaan Negara-negara ………. 122 ---000--- Halaman| iii DAFTAR TABEL 1.1 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8. 2.9. 2.10. 2.11. 2.12. 2.13. 2.14. 2.15. 2.16. Halaman Daftar Turis Ke International Space Station …………………… 8 Bandar Antariksa Amerika Serikat ........................................... 47 Bandar Antariksa Di Asia ......................................................... 48 Bandar Antariksa di Luar Amerika Serikat ............................... 49 Biaya Pembangunan Spaceport ................................................ 50 Fasilitas yang ada di Bandar Antariksa .................................... 51 Beberapa Contoh Teknologi Keantariksaan yang bersifat guna ganda (dual uses) ............................................................. 57 Kemampuan Sistem Transportasi ……………………………………. 63 Some examples of space technology spin-offs .......................... 64 Bentuk Aplikasi Pemanfaatan Telekomunikasi ………………… 67 Comparison of GNSS systems …………………………………………. 80 Anggota the International Charter on Space and Major Disaster 85 Negara Anggota/Agency dan Jenis Data yang diminta melalui Sentinel Asia ……………………………………………………………… 87 Global Space Activities Revenue and Budget 2007 ………………. 93 Permintaan terhadap Jasa komersialisasi keantariksaan.......... 95 Permintaan Anggaran NASA Tahun 2010-2014 ………………….. 119 Anggaran Multi-Tahun Amerika Serikat yang Disetujui ……….. 119 ---000--- Halaman| iv Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang 1. Kegiatan keantariksaan di Indonesia diawali sejak tahun 1960an dengan peluncuran roket Kartika-1 oleh AURI. Kemudian tidak lama sesudah LAPAN dibentuk pada tahun 1963, roket Kappa-8 diluncurkan pada tahun 1964. Pada perkembangan selanjutnya sampai dengan tahun 2007 LAPAN telah berhasil mengembangkan roket ilmiah (sounding rocket) RX-100, RX-150 dan RX-250. Angka 100, 150, 250, menunjukan ukuran diameter roket. Roket RX-250 dirancang mencapai misi ilmiah dengan tinggi terbang 27,9 km dan jarak jangkau 51,3 km, roket ini merupakan generasi ketiga dengan focus perancangan pada pengurangan berat struktur, menggunakan tabung motor roket tipis sehingga diperoleh ketinggian dan jarak jangkau maksimal. Roket-roket produksi LAPAN tersebut telah melewati prosedur uji coba dan validasi, dan telah ditetapkan sebagai produk roket standar LAPAN. Roket pertahanan dikembangkan pula atas kerjasama LAPAN dengan Badan Litbang Departemen Pertahanan, Dinas Litbang TNI-AL, TNI-AU dan TNI-AD serta kantor Kementerian Riset dan Teknologi. Di pihak swasta, BUMN strategis turut aktif dalam pengembangan peroketan di Indonesia adalah PT PINDAD, dan PT Dirgantara Indonesia. 2. Roket peluncur satelit dirancang dengan memanfaatkan hasil-hasil dari pengembangan roket sonda yang telah dan tengah dikembangkan LAPAN. RPS dirancang berdasarkan kemampuan produksi RX-320 dan RX420. RPS ditargetkan dapat menempatkan satelit pada ketinggian 300 km dari permukaan bumi dengan orbit ekuatorial. RPS direncanakan akan diluncurkan tahun 2014 dengan membawa satelit seberat 21 kg. Fungsi utama Satelit tersebut adalah pengukur atau indikator keberhasilan RPS mencapai orbit yang ditentukan. 3. Pada 10 Januari Tahun 2007, Indonesia berhasil meluncurkan satelit LAPAN-TUBSAT dari kota Sriharikota, Selatan India menggunakan Roket India C7 bersama satelit India "Carthosat-2". Satelit LAPAN-TUBSAT , merupakan generasi pertama satelit buatan Indonesia, setelah selama 30 tahun, Indonesia menggunakan tujuh satelit seri "Palapa" buatan asing, yaitu buatan perusahaan Hughes Aircraft Company (Amerika Serikat). Halaman | 1 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Gambar 1.1 Satelit LAPAN-TUBSAT 4. Keberhasilan peluncuran satelit Lapan-TUBSat merupakan langkah awal Indonesia menuju kemandirian dalam pengembangan teknologi antariksa. Satelit Lapan-TUBSat yang beratnya 56 kg tergolong satelit mikro, mengudara di atas wilayah Indonesia pada ketinggian 630 kilometer, beresolusi tinggi hingga lima meter. Jika dibandingkan dengan Landsat yang memiliki resolusi 79 meter, maka Lapan-TUBSat memiliki resolusi 15 kali lebih tajam. 5. Kemampuan operasi satelit telah banyak dimiliki oleh Bangsa Indonesia baik dalam rangka pengoperasian satelit milik sendiri maupun milik bangsa lain. Walaupun banyak pengalaman namun jenis satelit yang pernah dioperasikan oleh Indonesia baru dua macam yaitu satelit telekomunikasi dan satelit eksperimental observasi lingkungan. Termasuk jenis satelit telekomunikasi adalah satelit Palapa, satelit Garuda (semula disebut ACes) dan satelit Cakrawarta, satelit M2A, satelit Telkom 1 dan Telkom2. Sedangkan satelit eksperimental yang telah dioperasikan adalah satelit LAPAN-TUBsat. Indonesia sudah meluncurkan satelit komunikasi sebanyak 8 buah yang sudah di–deorbit (PALAPA-A, PALAPA B, C). 6. Di dalam mewujudkan terselenggaranya telekomunikasi secara baik, sejak tahun 1976 Indonesia telah memanfaatkan satelit komunikasi milik sendiri yang diberi nama Palapa A1. Satelit ini merupakan program Sistem Komunikasi Satelit Domestik (SKSD). Pada tahun tersebut Indonesia menjadi negara ketiga di dunia setelah Canada dan Amerika Serikat yang mengoperasikan SKSD dengan menggunakan satelit GSO, yakni Sistem Palapa A. Satelit ini memberikan layanan teleponi dan faksimil antar kota di Indonesia dan juga menjadi infrastruktur utama pendistribusian program televisi. Perkembangan satelit telekomunikasi Indonesia diawali dengan pengoperasian Palapa A-1 tahun 1976 hingga pengoperasian Palapa D tahun 2009. Halaman | 2 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 7. Pemanfaatan satelit penginderaan jauh dimulai sejak akhir tahun 1970an dengan kegiatan pemantauan cuaca dengan satelit TIROS-N dan satelit meteorologi. Khusus dalam penanganan bencana alam, satelit penginderaan jauh observasi bumi dan satelit penginderaan jauh lingkungan/meteorologi sangat berperan dalam memberikan data/informasi untuk peringatan dini, pertolongan, rehabilitasi dan rekonstruksi. Dalam rangka penegakan hukum, satelit penginderaan jauh (observasi bumi) dapat memberikan data penyimpangan pembangunan fisik (seperti reboisasi) di seluruh Indonesia. Lingkungan global (yang intinya adalah perubahan iklim global) sebagai dinamika yang dapat terjadi dalam sistem kebumian sangat berpengaruh pada lingkungan bumi Indonesia dan sebaliknya. 8. Pihak pengguna (pemerintah dan swasta) juga telah memanfaatkan data penginderaan jauh secara intensif untuk berbagai keperluan antara lain : a. Mitigasi bencana alam, antara lain banjir, kekeringan, tanah longsor, kebakaran hutan, gempa bumi dan letusan gunung berapi; b. Pengelolaan sumberdaya alam (SDA), antara lain informasi tematik tentang perubahan tutupan lahan, pengelolaan hutan, perkebunan, lahan, sawah, penaksiran panen, penataan air (sungai, danau, bendungan, saluran irigasi), dan eksplorasi geologi, pertambangan dan mineral; c. Pemanfaatan di bidang kelautan di wilayah Indonesia dan sekitarnya antara lain untuk informasi Zona Potensi Penangkapan Ikan (ZPPI), pengembangan di kawasan pesisir, terumbu karang, hutan bakau dan lingkungan laut, dan budidaya perikanan pantai; d. Penataan ruang dan wilayah di tingkat pemerintah pusat maupun daerah otonom dan pengembangan daerah urban. e. Perlindungan lingkungan hidup dan penyusunan AMDAL; f. Updating informasi tematik pada peta land-use, geologi, hidrologi dan kelautan; g. Kegiatan lain yang terkait dengan pemetaan dan sistem informasi geografi. 9. Pemanfaatan satelit navigasi dan geoposisi terutama sangat berkembang untuk pemetaan. Jasa geodesi semula dikemas untuk membuat peta dasar digital permukaan bumi. Oleh tingkat kecermatannya yang tinggi, peta ini memiliki kemanfaatan yang beraneka ragam. Ia dapat dipergunakan sebagai wadah untuk menempatkan informasi digital yang diperoleh dari berbagai sumber, seperti data statistik, data inderaja satelit dan data yang lain. Sehingga ia menjadi penting sekali bagi SIG (Sistem Informasi Geografi). Pengalaman di Aceh menunjukkan bahwa digabung dengan citra inderaja satelit sebelum terjadi bencana, ia menjadi sangat bermanfaat dalam melakukan penelusuran kembali batas batas hak milik tanah yang terhapus oleh bencana tsunami. Jasa geodesi antara lain dapat Halaman | 3 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan diperoleh dari Bakosurtanal, LIPI dan Badan Pertanahan Nasional yang mengoperasikan jejaring (network) stasiun bumi satelit GPS (Global Positioning System). 10. Untuk mendukung pengoperasian satelit dan perolehan datanya, diperlukan pengoperasian stasiun bumi pengendali satelit maupun stasiun bumi penginderaan jauh. LAPAN mengembangkan stasiun bumi satelit penginderaan jauh sejak tahun 1976 mulai dengan Pengembangan stasiun Automatic Picture Transmission (APT) untuk pengamatan cuaca. Sejak itu LAPAN terus mengupgrade kemampuan stasiun bumi penginderaan jauh sesuai dengan perkembangan teknologi satelit penginderaan jauh yang dioperasikan. Saat ini ada tiga lokasi utama stasiun bumi penginderaan jauh yaitu di Pekayon – Jakarta, Parepare – Sulawesi Selatan, dan Biak – Papua. Gambar 1.2 Stasiun Bumi SDA LAPAN, Parepare 11. Pabrikasi perangkat Stasiun Bumi, sudah dirintis Pada tahun akhir 1980-an dan akhir 1990an dengan PT LEN, PT INTI, PT CMI, PT HARIF, PT RFC, PT EN, akan tetapi tidak semuanya dapat bertahan. Secara umum, Indonesia sudah mampu untuk rancang bangun perangkat stasiun bumi, tetapi kondisinya hanya untuk mempertahankan kelangsungan (survival) mengingat persaingan yang ketat dalam hal harga dan kualitas. Halaman | 4 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 12. Perkembangan teknologi peroketan dan persatelitan pada khususnya, maupun keantariksaan pada umumnya di Indonesia hingga saat ini masih menghadapi berbagai masalah atau kendala. Beberapa di antaranya adalah keterbatasan sarana dan prasarana litbang keantariksaan, keterbatasan dalam ketersediaan bahan baku peroketan, ketersediaan lokasi litbang dan peluncuran roket yang mendapat perlindungan khusus, alih teknologi dalam pembelian satelit telekomunikasi maupun satelit inderaja dan aplikasi lainnya (mengingat bahwa Indonesia masih bergantung pada industri dari negara lain), keterbatasan dukungan industri dalam negeri untuk mencapai kemandirian teknologi keantariksaan. Meskipun keterlibatan swasta dalam aplikasi teknologi satelit (telekomunikasi dan inderaja) sudah intensif, namun peran serta swasta pada segmen teknologi (hulu) masih sangat terbatas. 13. Disamping itu belum adanya Rencana Induk pembangunan keantariksaan yang terintegrasi di dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Nasional maupun Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Nasional, menyebabkan pembangunan di bidang kentariksaan atau kedirgantaraan belum memperoleh perhatian yang memadai dan berkesinambungan. 14. Di sisi internasional, kegiatan antariksa atau keantariksaan pada hakekatnya adalah segala sesuatu tentang dan yang berkaitan dengan usaha dan kegiatan umat manusia dalam rangka pendayagunaan antariksa1. Pendayagunaan antariksa telah dimulai sejak diluncurkannya Satelit Sputnik I tanggal 4 Oktober 1957 ke orbit Bumi oleh Uni Soviet. Keberhasilan Uni Soviet yang sekarang dikenal dengan Federasi Rusia dalam pendayagunaan antariksa diikuti oleh Amerika Serikat, sehingga kedua negara tersebut dipandang sebagai pelopor penyelenggaraan keantariksaan. Pada tahapan selanjutnya mulai diikuti oleh negara-negara lainnya seperti : Perancis, Jerman, China, Jepang, India, Brasil, Korea Selatan dan lain-lain. 15. Sampai saat ini batas antara ruang udara dan antariksa (batas ketinggian berapa ruang udara berakhir atau batas ketinggian berapa antariksa dimulai) belum ada kesepakatan secara internasional2. Namun demikian berbagai kecenderungan dalam pembahasan di fora internasional3, teori-teori yang digunakan untuk penentuan batas4, pandangan negara-negara mengarah pada ketinggian 100 km -120 Km. Di 1 2 3 4 Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Sejak awal pembahasan tahun 1957 sampai dengan tahun 2010 masuk dalam agenda Sidang Subkomite Hukum UNCOPUOS. Terdapat beberapa Negara yang mengusulkan batas seperti Federasi Rusia (110 Km), Australia (100 Km), Korea Selatan (110 Km). Beberapa teori yang digunakan untuk penentuan batas yaitu (1) kondisi alamiah, Penentuan batas berdasarkan: konsep lapisan atmosfir, dan sifat fisika tertentu (2) kharakteristik wahana: penentuan batas berdasarkan kemampuan ketinggian pesawat terbang, perigee terendah wahana antariksa dan garis Von Karman. Halaman | 5 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan samping itu, apabila dilihat dari gerak benda yang digerakkan terutama oleh gaya gravitasi dalam suatu orbit, secara spasial mulai sekitar pada ketinggian 110 – 120 km. 16. Sistem keantariksaan, secara tradisional, terdiri dari 3 segmen utama, yaitu: segmen bumi, segmen antariksa, dan segmen koneksi komunikasi5. Namun demikian dalam rangka menguraikan tentang sistem keantariksaan untuk tujuan pengendalian keantariksaan maka Mayor Wilson menggunakan 6 sistem utama untuk menjelaskan dan akses terhadap sistem keantariksaan yaitu segmen bumi, segmen koneksi, segmen antariksa, segmen koneksi data, segmen pengguna dan segmen peluncur6, sebagaimana ilustrasi dalam Gambar 1.3. Gambar 1.3 Sistem Keantariksaan 5 6 Mayor ad Wilson, “ Securing the Heavens: A Perspective on Space Control, School of Advanced Air Power Studies, Air University, Maxwell Air Force Base, Alabama, June 1999. Hal 23. Dalam Air Force Doctrine Document 2-2, Space Operations, 23 August 1998, describes “space systems” as consisting of three elements: space, terrestrial and link. Space includes “all components for which astrodynamics is the primary principle governing movement” such as satellites, space shuttles, etc. Terrestrial includes all “land, sea and airborne (C3) equipment” such as ground stations, communication nodes, as well as all operations personnel. The link includes “communication between the space element and the terrestrial-based element” such as data link signals. Ibid. Mayor Wilson, 1999. we will use six primary segments to define and assess space systems—ground control segment, C3 link segment, space segment, data link segment, user segment, as well as a launch segment. Halaman | 6 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 17. Penyelenggaraan Keantariksaan adalah kegiatan penyediaan, pelayanan dan/atau bantuan keantariksaan sehingga memungkinkan terselenggaranya keantariksaan7. Berdasarkan sistem keantariksaan sebagaimana tersebut dalam paragraf 16, maka penyelenggaraan keantariksaan ditujukan untuk penguasaan teknologi keantariksaan, pemanfaatan teknologi keantariksaan, peluncuran wahana antariksa, penelitian keantariksaan, dan jenis kegiatan lain yang dilaksanakan dengan bantuan teknologi keantariksaan (spin-off space technology). Mengingat karakteristik penyelenggaraan keantariksaan bersifat high-tech, highrisk dan highcost, maka dalam penyelenggaraan keantariksaan harus memperhatikan keamanan dan keselamatan, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sumber daya manusia keantariksaan yang profesional, keandalan sarana dan prasarana keantariksaan, perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan, ketentuan nasional dan perjanjian internasional yang berlaku. 18. Dewasa ini, dinamika perkembangan keantariksaan internasional yang pada awalnya ditujukan untuk penelitian, kepentingan militer dan ilmu pengetahuan telah berubah mengarah kepada perlombaan penguasaan teknologi keantariksaan (roket dan satelit untuk berbagai kepentingan) dan upaya eksplorasi dan penggunaan sumber daya alam di antariksa (bulan dan benda langit lainnya). Dilihat dari sisi penyelenggara, dinamika perkembangan keantariksaan juga telah bergeser yang pada awalnya hanya dilakukan oleh Negara, berkembang kepada keterlibatan organisasi internasional (Governmental Organization dan Non-Govermental Organization), dan swasta (nasional maupun asing). Bahkan saat ini sudah melibatkan orang pribadi seperti perjalanan wisata antariksa. Perkembangan dinamika ini tidak terlepas dari perkembangan berbagai bentuk aspek komersialisasi antariksa yang pada awalnya hanya di bidang telekomunikasi kemudian berkembang pada bidang-bidang lainnya seperti penginderaan jauh, peluncuran, dan lain-lain. Beberapa individu yang terlibat dalam penyelenggaraan keantariksaan khususnya wisata antariksa dapat dilihat dalam Tabel 1.1. 7 Analogi pengertian penyelenggaraan dengan pengertian penyelenggaraan yang digunakan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Halaman | 7 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 1.1 Daftar Turis Ke International Space Station8 No 1. 2. 3. 4. Nama Durasi Perjalanan Negara Asal Biaya9 Dennis Tito 28 April – 6 Mei 2001 Mark Shuttleworth Gregory Olsen 25 April – 5 Mei 2002 Amerika Serikat Afrika Selatan / Inggeris Amerika Serikat Hongaria/AS US$ 20 Juta US$ 22.5 Juta US$ 20 Juta US$ 35 Juta 1-11 Oktober 2005 Charles Simonyl 7-21 April 2007 dan 26 Maret- 8 April 2009 19. Dewasa ini, terdapat berbagai organisasi internasional yang terkait dengan penyelenggaraan keantariksaan. Secara umum organisasi internasional tersebut dapat dikelompokkan ke dalam : a. Organisasi internasional keantariksaan di bawah sistem PBB seperti : (i) United Nations Committee on Peaceful Uses of Outer Space (UN-COPUOS), (ii) International Telecommunication Union (ITU), (iii) Komite Internasional Perlucutan Senjata-KIPS(Conference of Disarmament - CD) (iv) Regional Space Applications Programme Asia and the Pacific (RESAP) – Economic and Social Commission for the Asia and the Pacific (ESCAP), (v) Centre for Space Science and Technology Education in Asia and the Pacific (CSSTE-AP) (vi) United Nations Platform for Space-based Information for Disaster Management and Emergency Response – UN-SPIDER) dll. b. Organisasi internasional di luar sistem PBB baik multilateral maupun regional seperti (i) The International Astronautical Federation (IAF) (ii) International Geosphere - Biosphere Programme (IGBP) (iii) The Committee on Space Research (COSPAR) (iv) International Sociaty for Photogrammetry and Remote Sensing (ISPRS), (v) Missile Technology Control Regime (MTCR), SCOSTEP, APSCO, GEOSS dan lain-lain. 20. Di samping pembagian sebagaimana tersebut dalam paragraph 19, juga terdapat organisasi internasional yang bertujuan untuk pemanfaatan keantariksaan kepentingan komersial tertentu10, seperti : (i) Immarsat11, (ii) 8 9 10 11 Media Indonesia, “Badut Ruang Angkasa Tiba Kembali Di Bumi”, Edisi Senin 12 Oktober 2009, Hal 17. Di ambil dari berbagai referensi lainnya. Lihat Van Traa, Hanneke Louis, Commercial Utilization of Outer Space, Legal Aspects, Ph.D Dissertation, University of Utrecht, The Netherlands, 1989. Lihat, Convention on The International Maritime Satellite Organization (Inmarsat) with Annex and Operating Agreement (1976); as amended 1985; with Protocol (1981). Halaman | 8 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Intelsat12, (iii) Intersputnik13, (iv) Arabsat14, dll. Selain itu juga terdapat organisasi internasional yang membahas aspek teknis penyelenggaraan keantariksaan dan bertujuan untuk pembangunan kapasitas (capacity building), kerja sama internasional, dan tukar menukar informasi, termasuk pendidikan di bidang penyelenggaraan keantariksaan seperti ditingkat internasional yaitu IAF, COSPAR, IGBP, The Scientific Committee On SolarTErrestrial Physics (SCOSTEP), The Global Earth Observation System of Systems (GEOSS), Islamic Network (ISNET) sedangkan ditingkat regional, seperti : The Asia - Pasific Space Cooperation Organization (APSCO), Center for Space Science & Technology Education in Asia and the Pacific (CSSTE-AP), Asia-Pacific Regional Space Agency Forum (APRSAF), Sentinel Asia dan lainlain. 21. Dalam bidang regulasi internasional keantariksaan, saat ini terdapat beberapa organisasi internasional yang membahas masalah-masalah regulasi terkait penyelenggaraan keantariksaan seperti Komite Perserikatan Bangsa Bangsa Tentang Penggunaan Antariksa Untuk Tujuan Damai (United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space UNCOPUOS), Uni Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union - ITU), Komite Internasional Perlucutan SenjataKIPS- (Conference of Disarmament - CD) dan The International Institute for the Unification of Private Law - Unidroit. UNCOPUOS membahas aspek teknis, politik dan hukum penyelenggaraan keantariksaan untuk maksud damai. ITU membahas koordinasi Negara-negara dalam pemanfaatan antariksa untuk kepentingan telekomunikasi dan penyiaran khususnya terkait koordinasi penggunaan slot orbit dan spectrum frekuensi. KIPS salah satu tugasnya membahas upaya pencegahan perlombaan persenjataan di antariksa (prevention arms race of outer space). Sedangkan Unidroit salah satunya tugasnya membahas regulasi pemanfaatan antariksa untuk tujuan komersial. 22. Beberapa perjanjian internasional keantariksaan yang telah disahkan oleh UNCOPUOS baik yang telah berlaku sebagai hukum positif maupun yang masih berbentuk Resolusi Majelis Umum adalah : a. Yang Berlaku sebagai Hukum Positif15 yaitu: 1) “Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestial Bodies”. Treaty ini terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak 27 Januari 1967 dan diberlakukan sebagai hukum positif (entry into force) sejak Lihat, Agreement Relating to The International Telecommunications Satellite Organization "Intelsat" (With Annexes And Operating Agreement) (1971). 13 Lihat, Agrement on the establishment of the "INTERSPUTNIK" International System and Organization of Space Communications. 14 Lihat, Agreement of the Arab Corporation for Space Communication, 1990. 15 Naskah Urgensi Ratifikasi Space Treaty 1967, Pussisfogan, Lapan 2002 12 Halaman | 9 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 2) 3) 4) 5) b. 16 10 Oktober 1967, sehingga seringkali treaty ini disingkat dengan Outer Space Treaty, 196716. “Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space”, terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak 22 April 1968 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 3 Desember 1968, yang kemudian disingkat dengan Rescue Agreement, 1968. Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects of, 1972, terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak 29 Maret 1972 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 1 September 1972, yang kemudian disingkat dengan Liability Convention, 1972. Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of Astronouts and the Return of Objects Launched into Outer Space , 1968, terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak 14 Januari 1975 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 15 September 1976, yang kemudian disingkat dengan Registration Convention, 1975. “Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies”, terbuka untuk ditandatangani negara-negara sejak 18 Desember 1979 dan berlaku sebagai hukum positif sejak 11 Juli 1984. Yang Berbentuk Resolusi Majelis Umum yaitu: 1) “The Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Space, disahkan berdasarkan Resolusi MU PBB, Nomor 41/65, 3 Desember 1986. 2) “The Principles Relevant to the Use of Nuclear Power Sources in Outer Space”, disahkan berdasarkan Resolusi MU PBB, Nomor 47/68, 14 Desember 1992. 3) “Declaration on International Cooperation in the Exploration and Use of Outer Space for the Benefit and in the Interest of All States, Taking into Particular Account the Needs of Developing Countries”, disahkan berdasarkan Resolusi MU PBB, Nomor 53/122, Desember 1996. 4) “Application of the concept of the launching state”, disahkan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, Nomor 59/115, 25 Januari 2005. Resolusi PBB yang diadopt menjadi Outer Space Treaty 1967 adalah Declaration of Legal Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Uses of Outer Space (1963) dengan materi prinsip sebagai berikut: (i) Space exploration should be carried out for the benefit of all countries. (ii) Outer space and celestial bodies are free for exploration and use by all states and are not subject to national appropriation by claim of sovereignty. (iii) States are liable for damage caused by spacecraft and bear international responsibility for national and non-governmental activities in outer space. Halaman | 10 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 5) 6) “Recommendations on enhancing the practice of States and international intergovernmental organizations in registering space objects”, disahkan berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB, Nomor 62/101, 10 Januari 2008. Space Debris Mitigation Guideline, 2008. 23. Outer Space Treaty, 1967 merupakan perjanjian induk dan piagam atau peraturan internasional pertama yang memuat prinsip-prinsip dasar hukum antariksa. Di samping itu, Outer Space Treaty, 1967 juga dipandang sebagai Magna Charta pengaturan penyelenggaraan keantariksaan. Karena pengaturannya bersifat universal, maka prinsip-prinsip yang terkandung dalam Outer Space Treaty, 1967 dianggap sebagai “jus cogens”. Oleh karena itu, semua perjanjian lain yang dirumuskan dan disahkan merupakan perjanjian internasional pelaksanaannya dan wajib sesuai dengan Prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Outer Space Treaty, 1967. Prinsip-prinsip hukum dalam Outer Space Treaty, 1967 adalah : a. Pemanfaatan Antariksa Untuk Kepentingan Semua Negara dan Maksud Damai. b. Kebebasan Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa c. Larangan Pemilikan Nasional d. Larangan Penempatan Persenjataan e. Tanggung Jawab Negara Secara Internasional f. Kerja Sama Internasional g. Yurisdiksi Negara terhadap benda antariksanya dan personilnya h. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan i. Perlindungan Terhadap Antariksawan 24. Beberapa regulasi terkait penyelenggaraan keantariksaan yang telah dihasilkan ITU khususnya yang berkaitan dengan penggunaan slot orbit dan spektrum frekuensi untuk tujuan telekomunikasi dan penyiaran adalah: a. Konstitusi dan Konvensi ITU. b. Radio Regulation. 25. Beberapa regulasi terkait penyelenggaraan keantariksaan yang telah dihasilkan oleh Komite Internasional Perlucutan Senjata adalah: a. A/RES/64/28, 12 Januari 2010, Prinsip-prinsip yang berkaitan dengan Pencegahan Perlombaan Persenjataan di Antariksa (The Prevention of an Arms Race in Outer Space) 17 b. UN GA Resolution No. 110 (II), 3 November 1947, Prinsip menghukum propaganda untuk ancaman atau pelanggaran perdamaian internasional (The Principle Condemning Propaganda for Threat or Breach of International Peace) 17http://daccess-ods.un.org/TMP/3663344.38323975.html Halaman | 11 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. UN Security Council Resolution No. 1540, April 2004 Resolusi Non-Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (Non-Proliferation of Weapon of Mass Destruction) 18 26. Demikian juga dinamika keantariksaan nasional yang cenderung beralih dari aspek aplikasi pemanfaatan teknologi keantariksaan kepada penguasaan teknologi keantariksaan menuju kemandirian dan pemenuhan kebutuhan untuk pembangunan yang pada gilirannya penyelenggaraan keantariksaan mampu mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional. Dinamika tersebut mencerminkan bahwa penguasaan teknologi keantariksaan Indonesia masih tertinggal jauh dibandingkan Negara-negara berkembang lainnya seperti China dan India yang era awal partisipasi penyelenggaraan keantariksaannya dapat dikatakan sama dengan Indonesia, namun saat ini kedua Negara tersebut telah mendekati kemampuan Negara pelopor teknologi keantariksaan. Untuk itu, Indonesia perlu mengejar ketertinggalan tersebut. Perbandingan tersebut di atas dapat dilihat dari Gambar 1.4. dan 1.5. Gambar 1.419 : Tahapan Sistem Transportasi Antariksa India 1963-2009 Gambar 1.5: Produk Litbang Roket LAPAN 1963-2009 27. Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan dengan jumlah pulaunya adalah 17.508 pulau, baik yang bernama maupun yang belum bernama. Indonesia terbentang antara 6 0 LU sampai 110 LS, dan dari 910 BT sampai 1410 BT, serta terletak antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia/Oceania. Indonesia memiliki wilayah daratan seluas ± 2.012.402 km2 dan wilayah perairan seluas ± 5.877.879 18 19 daces-dds-ny.un.org/doc/UNDOC/GEN/N04/328/43/PDF/N0432843.pdf?OpenElement DR. K. Radakrisnan,”Building Indigenous Space Industry Capacities: The Indian Experience, Space Industry in Emerging Nations Symposium to strengthen the Partnership with Industry February 12, 2008. Halaman | 12 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan km2 dengan panjang garis pantai ± 81.000 km. Indonesia, terletak di antara benua Asia dan Australia, dan di antara Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Tercatat ada 92 pulau terluar yang ada di wilayah Indonesia. Ratarata luas pulau Indonesia adalah antara 0,02 km2 hingga 200 km2. Hanya 50% dari 92 pulau-pulau terluar ini yang berpenghuni20. Dengan kondisi dan kharakteristik tersebut, maka Indonesia memiliki ketergantungan dalam pemanfatan teknologi keantariksaan dan sekaligus memiliki keunggulan komparatif yaitu : 20 a. Posisi geografis Indonesia yang terletak di wilayah khatulistiwa serta membentang pada 6o LU - 11o LS dan 91o BT - 141o BT memiliki keunggulan komparatif pemanfaatan teknologi antariksa apabila dibandingkan dengan wilayah Negara lainnya. Wahana antariksa (al. satelit) yang ditempatkan di orbit bumi di atas khatulistiwa seperti Orbit Geostasioner (GSO) memberikan pelayanan cakupan wilayah yang lebih luas dan layanan komunikasi yang lebih baik dari pada orbit bumi lainnya. Posisi geografis yang mendekati Oo (nol derajat), apabila digunakan untuk peluncuran wahana antariksa akan mengurangi biaya peluncuran dan memberikan keuntungan ekonomi yang signifikan (lebih kurang 35% keuntungan dari biaya yang dikeluarkan sesungguhnya). b. Posisi Indonesia dilihat dari letaknya yang dilalui ekuator, di antara dua benua dan dua samudara, konfigurasi geografinya yang merupakan wilayah perairan dengan ribuan pulau besar dan kecil, dan hutan tropisnya yang luas menjadikan wilayah Indonesia sebagai salah satu lokasi yang tepat atau laboratorium alam bagi penelitian perubahan iklim global. Pemanfaatan teknologi antariksa khususnya pemanfaatan satelit penginderaan jauh merupakan salah satu sarana yang tidak dapat ditinggalkan untuk memperoleh data terkait dengan perubahan iklim global tersebut. c. Sistem teknologi berbasis antariksa menyediakan pengembangan prediksi cuaca, satelit siaran langsung, dan pelayanan navigasi yang lebih maju. Sistem tersebut membuka peluang-peluang baru dalam pelayanan pendidikan jarak jauh (tele-education) dan pelayanan kesehatan jarak jauh (tele-medicine). Dengan kondisi Indonesia tersebut, maka penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan dimaksud dapat berlangsung lebih baik. http://www.indonesia.go.id/, download 18 Maret 2010. http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_satelit_Indonesia, download 18 Maret 2010. Bakar, Siti Nurbaya. 2008. “12 Pulau Terluar Rentan Diambil Negara Asing”. Media Indonesia, 9 Desember 2008. Halaman | 13 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan d. Memperhatikan kawasan yang sedemikian luas, Indonesia memerlukan bantuan dan dukungan pemanfaatan teknologi keantariksaan untuk telekomunikasi dapat merekatkan hubungan antar masyarakat dan sebangsa sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia sehingga pertumbuhan pangsa pasar telekomunikasi (terutama seluler) sangat pesat. 28. Dalam rangka menjaga kesinambungan ketergantungan dalam pengoperasian sistem satelit perlu adanya ketersediaan spektrum frekuensi dan slot orbit yang merupakan sumber daya alam terbatas dan perolehannya melalui pendaftaran di ITU. Untuk itu, Pemerintah perlu mendorong proses dan penyediaan spektrum frekuensi dan untuk kebutuhan nasional dalam jangka panjang dan menjaga pemenuhan proses pendaftarannya di fora internasional tersebut secara konsisten. 29. Teknologi keantariksaan bersifat teknologi guna ganda (dual uses). Masyarakat internasional memandang bahwa teknologi ini tergolong kepada kelompok teknologi pemusnah masal (weapon mass destruction) yang pemilikan, penyebaran dan penguasaannya sangat dikontrol oleh masyarakat internasional terutama Negara maju. Penguasaan teknologi jenis ini juga menyediakan dukungan yang berharga untuk kebijakan luar negeri, khususnya bantuan kemanusiaan, dan kesinambungan serta pengembangan kebijakan. Oleh karena itu, dengan penguasaan teknologi keantariksaan, secara politik internasional dapat meningkatkan posisi tawar Indonesia dalam percaturan politik global. Sebagai contoh Korea Utara dengan kemampuan Roket Taepodong memiliki posisi tawar dalam negosiasi dengan Amerika Serikat. 30. Di samping manfaat sebagaimana disebut pada paragraf 26-29, penyelenggaraan keantariksaan juga memiliki risiko antara lain: a. Risiko peluncuran seperti : kegagalan peluncuran, pencemaran lingkungan, bahaya penggunaan material nuklir, pengaruh terhadap operasi antariksa berawak, dan pengaruh lainnya. Beberapa kejadian terkait risiko ini adalah : 1) Satelit mata-mata Rusia bertenaga nuklir Cosmos 1402, pernah jatuh di Kanada 1982. 2) Ariane 5 buatan Perancis berbahan bakar cair oksigenhidrogen seberat 25 metrik ton yang meledak tak lama setelah diluncurkan dari Kourou, Guyana, 1996. 3) Long March buatan Cina yang melenceng dari trayektorinya lalu membumihanguskan sebuah desa. 4) Titan IV buatan Lockheed Martin, AS, yang meledak tahun 1999. b. Risiko tabrakan seperti tabrakan dengan pesawat terbang, tabrakan dengan satelit/wahana antariksa, tabrakan dengan sampah antariksa berukuran besar, tabrakan dengan sampah antariksa berukuran kecil, seperti : tabrakan Cosmos 2251 yang Halaman | 14 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. diluncurkan Rusia tahun 1993 dengan diluncurkan America Serikat tahun 199721. Konflik antar Negara dll. Gambar 1.6: Sebaran Bidang Orbit Sampah Antariksa Iridum 33 yang Gambar 1.7: Kegagalan Peluncuran Roket Delta Tahun 198622 . 31. Status Indonesia terhadap perjanjian keantariksaan internasional yang telah meratifikasi 4 dari 5 perjanjian internasional keantariksaan dan telah menandatangani dan meratifikasi berbagai perjanjian regional dan bilateral mengenai keantariksaan yang memerlukan pengaturan implementasi. Beberapa perjanjian internasional tersebut adalah: a. Perjanjian internasional keantariksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia yaitu: 1) Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space, Including the Moon and Other Celestial Bodies, 1967 atau yang dikenal dengan Space Treaty, 1967, yang telah diratifikasi dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2002; 2) Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects of 1972 atau yang dikenal dengan Liability Convention, 1972, yang telah diratifikasi dengan Keppres Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 1996; 3) Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space atau yang dikenal sebagai Registration Convention, 1975, yang telah diratifikasi dengan Keppres Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1997; 4) Agreement on the Rescue of Astronouts, the Return of Astronouts and the Return of Objects Launched into Outer Space , 1968 atau yang dikenal dengan Rescue Agreement, Tabrakan pada ketinggian 800 km diatas Siberia, Rusia pada 10 Februari 2009. Sumber: “Terancam Sampah Antariksa”, Tempo, Edisi 23 Februari – 1 Maret 2009. 22 http://www.spacelaunchreport.com/thorh12.html. 21 Halaman | 15 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 1968, yang telah diratifikasi dengan Keppres Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1999. b. Perjanjian regional dan bilateral keantariksaan yang telah ditandatangi dan diratifikasi oleh Indonesia yaitu: 1) Convention of the Asia-Pacific Space Cooperation Organization, yang ditandatangani oleh Indonesia tanggal 28 Oktober 2005. 2) Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Russian Federation on Cooperation in the Field of Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purposes, ditandatangani 1 Desember 2006 dan telah diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2010. 3) Agreement between the Government of the Republic of Indonesia and the Cabinet of Ministers of Ukraine on Cooperation in the Exploration and Peaceful Uses of Outer Space yang ditandatangani tanggal 6 Nopember 2008. 4) Memorandum of Understanding between the National Institute of Aeronautics and Space (LAPAN) of the Republic of Indonesia and the Indian Space Research Organization (ISRO) of the Republic of India for Cooperation in the Establishment of Telemetry, Tracking and Command Station for Satellites and Launch Vehicles yang ditandatangani tanggal 25 April 1997. 5) Agreement between the European Space Agency and the Indonesian National Institute of Aeronautics and Space concerning the Direct Reception, Archiving, Processing and Distribution of ERS-1 SAR Data yang ditandatangani tanggal 1 February 1995. 6) Memorandum of Understanding Between the National Institute of Aeronautics and Space of The Republic of Indonesia (LAPAN) and the National Space Development Agency of Japan (NASDA) for the Cooperative Project of Utilization for Japanese Earth Resources Satellite-1 Data yang ditandatangi tanggal 23 August 1994. 7) Collaborative Research Agreement Between the National Space Development Agency of Japan and the National Institute of Aeronautics and Space of The Republic of Indonesia (LAPAN) for Studies for Production of Fundamental Datasets for Earth Science and Technology Researches yang ditandatangani tanggal 21 December 1994. 32. Sebagai konsekuensi transformasi hukum internasional ke dalam hukum nasional diperlukan (tindakan) pengaturan nasional. Pengaturan nasional tersebut secara khusus berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban hukum dari penyelenggaraan keantariksaan yang dilaksanakan di dan dari Halaman | 16 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan wilayah Indonesia. Penyelenggaraan keantariksaan dapat dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah, badan hukum, swasta nasional, organisasi internasional, Negara lain dan swasta asing. Namun perumusan pengaturan tersebut dalam suatu peraturan perundang-undangan tentang keantariksaan pada dasarnya tetap merupakan subsistem dari sistem hukum nasional secara keseluruhan. B. Identifikasi Masalah 33. Dalam rangka merumuskan norma-norma yang bertujuan untuk mewujudkan pengaturan keantariksaan secara nasional, sehingga dapat menjembatani kebijakan dan kepentingan antara pembuat kebijakan, perancang peraturan perundang-undangan, dan pemangku kepentingan serta termasuk pula di dalamnya adalah masyarakat yang akan merasakan dampak langsung dan tidak langsung dari adanya Undang-Undang tentang Keantariksaan, maka dalam hal ini perlu dikemukakan beberapa identifikasi masalah yang telah dianalisis dari hasil penelitian secara kompehensif, yaitu sebagai berikut: a. Ketertinggalan Indonesia dari Negara lainnya seperti China, India, Korea, dan Brazil dalam semua aspek penyelenggaraan keantariksaan seperti teknologi, penguasaan ilmu pengetahuan, politik, hukum. b. Pendefinisian Dalam kaitannya dengan masalah pendefinisian terdapat beberapa penggunaan istilah dalam perjanjian internasional dan perkembangan kegiatan antariksa yang masih belum jelas. Di satu sisi, pendefinisian diperlukan sebagai bagian dari konsep operasional RUU ini, sedangkan di sisi lain agar dapat memberikan kejelasan mengenai beberapa istilah di dalam perjanjian internasional keantariksaan yang masih belum jelas, yang memungkinkan timbulnya berbagai interpretasi hukum. Beberapa istilah tersebut adalah: 1) antariksa (outer space) 2) benda antariksa dan benda-benda langit (space object dan celestial bodies) 3) wahana antariksa (spacecraft, space vehicle) 4) dirgantara (aerospace) 5) ruang udara (airspace) 6) negara peluncur (launching state) 7) otoritas peluncuran (launching authority). c. Ruang lingkup keantariksaan Dalam kaitannya dengan ruang lingkup keantariksaan terdapat beberapa aspek yang masih belum jelas, yaitu: Halaman | 17 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 1) 2) 3) 4) Status antariksa didasarkan atas prinsip hukum internasional yang tertuang dalam Traktat Antariksa 1967, yaitu kepentingan bersama (common interest), wilayah kemanusiaan (province of all mankind), dan warisan bersama umat manusia (common heritage of mankind). Prinsip-prinsip tersebut kadangkala diinterpretasikan berbeda oleh negaranegara maju sesuai dengan kepentingannya, meskipun terdapat prinsip hukum non-appropriation (tidak dapat dimiliki) terhadap wilayah antariksa yang tertuang dalam Pasal II Traktat Antariksa 1967. Oleh karena itu, terdapat pandangan-pandangan yang berbeda terhadap prinsip hukum tersebut dalam wacana keilmuan internasional dan pandangan beberapa negara maju bahwa antariksa dapat dikapling oleh badan-badan non pemerintah, seperti misalnya pihak swasta.23 Oleh karena masih memungkinkan menimbulkan berbagai interpretasi hukum, maka status antariksa ini perlu ditegaskan dalam undang-undang ini. Batas ruang udara dan antariksa. Dalam hal ini masih belum terdapat kejelasan mengenai batas ruang udara dan antariksa sebab keduanya didasarkan atas rejim hukum yang berbeda. Yurisdiksi negara atas keantariksaan, benda-benda antariksa, dan personil dan/atau pihak swasta yang melakukan kegiatan antariksa. Dalam hal ini masih belum jelas bagaimana kewenangan negara atas keantariksaan, benda-benda antariksa, dan personil atau pihak swasta dalam penyelenggaraan keantariksaan. Keantariksaan, yaitu masih belum teridentifikasi secara komprehensif mengenai komponen-komponen aktivitas yang terkait dengan penyelenggaraan keantariksaan yang perlu diatur agar dapat memberikan kepastian hukum. d. Kewenangan Pemerintah terhadap aktivitas badan-badan nonpemerintah (non governmental entities). Hal ini terkait dengan belum jelasnya masalah bentuk-bentuk lisensi dan mekanismenya, serta mekanisme tanggung jawab negara atas aktivitas pihak atau badan-badan non-pemerintah dalam keantariksaan, salah satunya adalah pihak swasta. Di samping itu, belum terdapat kejelasan pengaturan mengenai halhal yang terkait dengan hak dan kewajiban yang diberikan kepada pihak swasta sebagai konsekuensi atas keikutsertaannya dalam penyelenggaraan keantariksaan. e. Keamanan, Keselamatan 23 Allan Wasser dan Douglas Jones. Space Settlements Property Rights, and Intenational Law: Could a Lunar Settlement Claim the Lunar Real Estate It Need to Survive?. Journal of Air law and Commerce. P. 43. Sumber: Internet, diakses 20 Desember 2008. Hlm. 44-45. Halaman | 18 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 1) 2) Mengenai masalah keamanan, hal ini terkait dengan upaya yang harus dilakukan untuk melindungi kepentingan nasional dalam konteks kedaulatan negara dan wilayah teritorial Indonesia. Mengenai masalah keselamatan, hal ini merupakan bagian yang sangat penting dalam pengaturan keantariksaan agar terwujud proses keantariksaan yang dapat terlaksana dengan baik, lancar, dan aman. Terkait dengan masalah keselamatan ini masih belum terdapat pengaturan dalam bidang keantariksaan mengenai lisensi, standar keselamatan, dan lembaga yang menanganinya. f. Pendaftaran Masalah pendaftaran ini terkait dengan pengaturan benda-benda antariksa yang akan diluncurkan. Bagian ini adalah untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam Registration Convention 1975. Di samping itu, secara nasional masih belum terdapat kejelasan mengenai pendokumentasian data-data benda-benda antariksa yang hendak diluncurkan dalam wilayah Indonesia dan benda-benda antariksa atas nama Indonesia yang hendak diluncurkan di wilayah negara lain serta pendaftaran sarana dan prasarana keantariksaan. Di samping itu, masih belum terdapat kejelasan lembaga mana yang berwenang sebagai tempat pendaftaran dan yang akan melakukan pendaftaran pada Sekretariat Jenderal PBB, ITU, dan badan/lembaga internasional lainnya. g. Tanggung Jawab dan Asuransi 1) Masalah tanggung jawab, terkait dengan konsep tanggung jawab internasional (International Responsibility) dan tanggung gugat internasional (International Liability) yang pengaturannya tertuang dalam Space Treaty 1967 dan Liability Convention 1972. Dalam hal ini pengaturan secara nasional mengenai prosedur dan mekanisme pertanggungjawaban Negara baik antara Negara dengan pihak asing, Negara dengan pelaku kegiatan keantariksaan Indonesia seperti pihak swasta, dan Negara dengan masyarakat yang semuanya didasarkan atas perlindungan terhadap korban (victim oriented). 2) Masalah asuransi, terkait dengan kewajiban asuransi dan besaran dana yang harus dapat ditentukan kepada setiap pelaku keantariksaan untuk menutup kerugian yang dialami oleh pihak ketiga. h. Kelembagaan Masalah ini terkait dengan belum terdapat kejelasan mengenai lembaga mana yang mempunyai wewenang untuk mengatur, Halaman | 19 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan mengawasi atau yang bertanggung jawab terhadap suatu kegiatan antariksa dan mengenai koordinasi di antara lembaga/instansi sesuai dengan kewenangan yang diberikan kepadanya. Saat ini lembaga yang sudah ada masih terbatas pada kewenangan koordinasi dan litbang di bidang keantariksaan (Kementerian Ristek dan LPNK) dan regulator slot orbit (Kementerian Kominfo). i. Kerjasama Internasional Masalah ini terkait dengan upaya pemerintah untuk memberikan dorongan dan dukungan terhadap kerja sama internasional di bidang keantariksaan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan upaya alih teknologi dalam rangka membangun genuine capability. j. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HKI) Masalah ini terkait belum terdapat kejelasan secara nasional mengenai perlindungan hukum terhadap berbagai penemuan di bidang iptek keantariksaan baik untuk melindungi temuantemuan yang bersifat nasional maupun terhadap HKI asing. Meskipun masalah HKI telah diatur dalam peraturan perundangundangan nasional, namun terdapat hal-hal khusus yang perlu diperhatikan terkait peyelenggaraan keantariksaan. k. Perlindungan Lingkungan Berdasarkan pemikiran bahwa keantariksaan harus diabdikan bagi kepentingan dan kesejahteraan umat manusia sekaligus mendukung pembangunan keantariksaan yang berkelanjutan, maka pengaturan keantariksaan berorientasi pada kegiatan yang berwawasan lingkungan dengan memenuhi persyaratanpersyaratan AMDAL sebagaimana telah diatur dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan. l. Penyelesaian Sengketa Dalam hal ini masih belum terdapat kejelasan pengaturan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa bilamana terjadi sengketa hukum dalam penyelenggaraan keantariksaan. . m. Pengalihan Kepemilikan Dalam hal ini belum terdapat kejelasan pengaturan mengenai prosedur dan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku keantariksaan bilamana melakukan alih kepemilikan sebab hal ini akan berimplikasi terhadap masalah tanggung jawab internasional. Halaman | 20 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan n. Pengaturan yang terkait dengan kecenderungan konvergensi antariksa antara kegiatan di bidang penerbangan dan keantariksaan, yaitu dengan adanya pengoperasian aerospace plane, aerospace object, orbital space plane yang memerlukan pengaturan lebih lanjut untuk menjamin kepastian hukum. Di samping itu, perlu pengaturan kegiatan peluncuran satelit yang bersifat airlaunch system, sealaunch system, dan pengoperasian satelit yang menggunakan air platform, misalnya high altitude platform system. o. Peran serta masyarakat. Hal ini mengingat bahwa sebagian besar kegiatan keantariksaan adalah berisiko tinggi, untuk mengantisipasi perlu peran serta masyarakat. C. Tujuan dan Kegunaan 1. Tujuan 34. Tujuan penyusunan Naskah Akademis RUU Tentang Keantariksaan adalah sebagai landasan ilmiah bagi penyusunan rancangan UndangUndang Tentang Keantariksaan, yang memberikan arah, dan menetapkan ruang lingkup bagi penyusunan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan keantariksaan. 35. Tujuan penyusunan Rancangan Undang-Undang Tentang Keantariksaan (RUUK) adalah sebagai payung hukum untuk mengimplementasikan berbagai ketentuan internasional yang sudah diratifikasi dan perjanjian yang telah dibuat tersebut di atas. Di samping itu RUUK juga dimaksudkan untuk menata dan mengatur semua penyelenggaraan keantariksaan di Indonesia untuk mencapai kemandirian di bidang teknologi antariksa dan penataan kelembagaan keantariksaan yang pada gilirannya mampu mendorong pencapaian tujuan nasional. 2. Kegunaan 36. Kegunaan Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan ini adalah: a. Memberikan pemahaman kepada pembentuk Undang-Undang dan masyarakat mengenai urgensi konsep dasar dan konsep hirarki peraturan perundang-undangan yang wajib diacu dan diakomodasi dalam RUU tentang Keantariksaan; b. Memberi pemahaman kepada pembentuk Undang-Undang dan masyarakat mengenai urgensi penyusunan RUU tentang Keantariksaan dengan mengacu dan mengakomodasi konsep dasar dan konsep hirarki sebagaimana dimaksud di atas; Halaman | 21 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. d. D. Mempermudah perumusan asas-asas dan tujuan serta pasalpasal yang akan diatur dalam RUU tentang Keantariksaan. Menjadi dokumen resmi yang menyatukan konsep Rancangan Undang-Undang yang akan dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam penyusunan prioritas Prolegnas (Untuk suatu Naskah Akademik RUU). Metode Penelitian 37. Metode penelitian dalam penyusunan Naskah Akademik ini dilakukan melalui pendekatan Yuridis Normatif maupun Yuridis Empiris dengan menggunakan data sekunder maupun data primer. a. Metode Yuridis Normatif dilakukan melalui studi pustaka yang menelaah (terutama) data sekunder, baik yang berupa perundang-undangan maupun hasil penelitian, hasil pengkajian dan referensi lainnya. b. Metode Yuridis Empiris dapat dilakukan dengan menelaah data primer yang diperoleh/dikumpulkan langsung dari masyarakat. Data primer dapat diperoleh dengan cara: pengamatan (observasi), diskusi (Focus Group Discussion), wawancara, mendengar pendapat nara sumber, atau para ahli, menyebar kuesioner dan sebagainya. c. Metode penelitian pada Naskah Akademik ini menggunakan pendekatan Yuridis Normatif yang terutama menggunakan data sekunder, dan dianalisis secara kualitatif. Namun demikian, data primer juga sangat diperlukan sebagai penunjang dan untuk konfirmasi data sekunder. d. Proses penyusunan Naskah Akademik ini melibatkan ahli/pakar dari kalangan industri, teoritisi, akademisi, praktisi hukum, pengusaha, sebagai narasumber melalui penyelenggaraan forum dialog, forum komunikasi, penelitian lapangan, guna menyaring pandangan dan aspirasi dari semua pemangku kepentingan. --000— Halaman | 22 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan BAB II ASAS-ASAS YANG DIGUNAKAN DALAM PENYUSUNAN NORMA A. Asas-Asas Yang Digunakan 38. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004, dalam Pasal 5 dan penjelasannya dinyatakan bahwa dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perudang-undangan yang baik yang meliputi: a. Kejelasan tujuan; b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan; d. Dapat dilaksanakan; e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan; f. Kejelasan rumusan; dan g. Keterbukaan. 39. Selanjutnya dalam Pasal 6 Ayat (1) dan (2) dan penjelasannya juga dinyatakan bahwa ayat (1) Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan mengandung asas : a. pengayoman; b. kemanusian; c. kebangsaan; d. kekeluargaan; e. kenusantaraan; f. bhinneka tunggal ika; g. keadilan; h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan; i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau. j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. 40. Dan pada ayat (2), Selain asas sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan ymg bersangkutan. Sedangkan yang dimaksud dengan "asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan", antara lain: a. dalam Hukum Pidana, misalnya, asas legalitas, asas tiada hukuman tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak bersalah; b. dalam Hukum Perdata, misalnya, dalam hukum perjanjian, antara lain, asas kesepakatan, kebebasan berkontrak, dan iktikad baik. 41. Berdasarkan paragraf 22 dan 23, dan Status Indonesia terhadap perjanjian internasional keantariksaan sebagaimana tersebut dalam Halaman | 23 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan paragraf 31, maka dalam penyusunan UUK harus memperhatikan prinsipprinsip hukum yang terdapat dalam Traktat Antariksa 1967. 42. Traktat Antariksa, 1967 terdiri dari Mukadimah dan 17 Pasal yang memuat materi pokok yang berkaitan dengan hak, kewajiban dan larangan bagi negara-negara dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa, termasuk bulan dan benda-benda langit lainnya. Dalam mukadimah dinyatakan bahwa latar belakang pembentukan Traktat Antariksa 1967 diilhami oleh harapan besar yang terbuka dihadapan umat manusia dengan berhasilnya penjelajahan manusia keantariksa dan adanya kepentingan bersama seluruh umat manusia dalam kemajuan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai. 43. Tujuan Traktat Antariksa 1967 antara lain : (i) mendorong kemajuan eksplorasi dan pendayagunaan antariksa berdasarkan prinsip-prinsip damai dan untuk maksud damai, (ii) meningkatkan eksplorasi dan penggunaan antariksa yang harus dilaksanakan untuk kemanfaatan semua bangsa tanpa memandang tingkat perkembangan ekonomi atau ilmu pengetahuan mereka, dan (iii) memperluas kerja sama internasional baik dalam aspek ilmu pengetahuan maupun aspek hukum dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai. 44. Mukadimah Traktat Antariksa, 1967 tersebut telah menjadi acuan dan menjiwai rumusan materi pengaturan yang dituangkan dalam 17 Pasal dengan materi pokok sebagai berikut : a. Pemanfaatan Antariksa Untuk Kepentingan Semua Negara dan Maksud Damai. Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa harus dilaksanakan demi untuk kemanfaatan (benefits) dan kepentingan (interests) semua negara tanpa memandang tingkat ekonomi atau perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi suatu negara. Selanjutnya ditegaskan bahwa seluruh umat manusia mempunyai kepentingan bersama dalam kemajuan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk maksud-maksud damai. Di samping itu, juga ditegaskan Bulan dan benda langit lainnya harus digunakan secara eksklusif untuk maksud-maksud damai. b. Kebebasan Eksplorasi dan Penggunaan Antariksa Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa status antariksa adalah kawasan kemanusiaan (the province of all mankind). Dalam hal ini antariksa dan benda-benda langit bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara, tanpa diskriminasi berdasarkan asas persamaan dan sesuai dengan hukum internasional. Negara-negara mempunyai kebebasan Halaman | 24 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan akses terhadap semua kawasan benda-benda langit dan dalam melakukan penyelidikan ilmiah di antariksa. c. Larangan Pemilikan Nasional Traktat Antariksa, 1967 menegaskan mengenai larangan negara-negara untuk menuntut pemilikan nasional antariksa, termasuk bulan dan benda langit lainnya berdasarkan tuntutan kedaulatan, dengan cara penggunaan pendudukan, maupun dengan cara-cara lainnya. bagi atas baik atau d. Larangan Penempatan Persenjataan Traktat Antariksa, 1967 memuat ketentuan yang melarang negara-negara untuk meluncurkan benda-benda yang membawa senjata nuklir atau senjata perusak masal lainnya, membangun persenjataan tersebut di orbit sekeliling bumi, bendabenda langit atau menempatkannya di antariksa. Demikian juga, negaranegara dilarang untuk membangun pangkalan militer, instalasi dan perbentengan, serta percobaan segala senjata dan tindakan manuver militer pada benda-benda langit. Selain itu diterapkan pula asas yang mengutuk tindakan propaganda yang ditujukan atau diperkirakan dapat merangsang atau mendorong timbulnya ancaman terhadap perdamaian, gangguan terhadap perdamaian atau dilakukannya tindakan agresi. e. Tanggung Jawab Negara Secara Internasional Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa negara-negara harus bertanggung jawab secara internasional atas kegiatan antariksa nasionalnya, baik yang dilakukan oleh badan-badan pemerintah maupun non pemerintah, dan menjamin kegiatan nasionalnya dilaksanakan sesuai ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Traktat Antariksa, 1967. Badan-badan non pemerintah (swasta) yang hendak melaksanakan kegiatan antariksa harus mendapatkan otorisasi dan dalam pengawasan secara terus menerus oleh negara yang bersangkutan. Disamping itu, ditegaskan pula bahwa negara atau kelompok negara yang tergabung dalam organisasi antar pemerintah harus bertanggung jawab terhadap masalah-masalah praktis yang timbul akibat kegiatan negara atau organisasi antar pemerintah tersebut. Prinsip ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam Convention on International Liability for Damage Caused by Space Object, 1972. f. Kerja Sama Internasional Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa dalam melaksanakan kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa, negara-negara harus berpedoman pada prinsip-prinsip kerja sama dan saling membantu, serta harus memperhatikan Halaman | 25 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan kepentingan yang serupa negara-negara lain peserta perjanjian (Traktat Antariksa, 1967). Untuk itu negara-negara harus memberikan kemudahan, mendorong dan meningkatkan kerja sama dan saling pengertian internasional. Selain itu ditegaskan pula bahwa dalam rangka meningkatkan kerja sama internasional tersebut, negaranegara peserta perjanjian harus mempertimbangkan berdasarkan asas persamaan setiap permohonan dari negara lain peserta perjanjian untuk mendapatkan kesempatan mengamati penerbangan obyek-objek antariksa yang diluncurkan oleh negara-negara tersebut. Bentuk lain dari pencerminan semangat kerja sama internasional adalah dibukanya kesempatan bagi negara-negara untuk mengadakan konsultasi apabila negara tersebut mempunyai alasan untuk meyakini bahwa suatu kegiatan atau percobaan di antariksa termasuk bulan dan benda langit lainnya yang direncanakan akan menimbulkan interferensi yang secara potensial membahayakan kegiatan dari negara lain peserta perjanjian dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa termasuk bulan dan benda langit lainnya untuk maksud damai, dapat mengajukan permohonan untuk mengadakan konsultasi mengenai kegiatan atau percobaan tersebut. Guna meningkatkan kerja sama internasional dalam eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk maksud damai, negara-negara peserta perjanjian yang melakukan kegiatan di antariksa termasuk Bulan dan benda langit lainnya sepakat untuk memberitahukan kepada Sekretaris Jenderal PBB, masyarakat umum dan ilmiah, sejauh hal yang dimungkinkan dan dapat dilaksanakan, tentang sifat, perilaku, lokasi dan hasil-hasil dari kegiatan tersebut. Sekretaris Jenderal PBB, setelah menerima informasi tersebut, harus siap untuk mendiseminasikannya secara segera dan efektif. g. Yurisdiksi Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa negara yang memiliki dan mendaftarkan benda antariksa (pesawat/wahana antariksa) tetap mempunyai yurisdiksi dan wewenang untuk mengawasi benda antariksa yang diluncurkannya tersebut, termasuk personil di dalamnya. Kepemilikan benda antariksa atau bagian komponennya tidak dipengaruhi oleh keberadaannya di antariksa atau di bendabenda langit atau pada saat obyek antariksa tersebut kembali ke bumi. h. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa setiap negara yang melaksanakan kegiatan antariksa harus menghindari terjadinya Halaman | 26 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan bahaya kontaminasi dan perubahan yang dapat merusak lingkungan, termasuk lingkungan di Bumi. Apabila suatu negara mengetahui bahwa kegiatan atau percobaan yang dilakukannya atau warga negaranya akan membahayakan atau mengganggu kegiatan negara lain, maka negara yang melaksanakan kegiatan tersebut dapat mengkonsultasikan kegiatannya pada tingkat internasional. Dalam hal ini, negara lain mempunyai kesempatan untuk ikut mengawasi setiap kegiatan suatu negara yang diperkirakan dapat menimbulkan ancaman terhadap kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk tujuan damai. i. Perlindungan Terhadap Antariksawan Traktat Antariksa, 1967 menegaskan bahwa antariksawan dianggap sebagai duta umat manusia. Apabila antariksawan mengalami kecelakaan, kesulitan atau pendaratan darurat di wilayah negara anggota lainnya atau di laut bebas, maka negaranegara harus memberikan semua bantuan yang memungkinkan. Prinsip ini telah dijabarkan lebih lanjut dalam Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space, 1968 45. Dari sisi Indonesia, berdasarkan Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998 yang telah disahkan dalam Sidang Paripurna II DEPANRI 1998, bangsa Indonesia memandang bahwa wilayah daratan dan perairan Indonesia dengan kondisi dan konstelasi geografinya, dan dirgantara dengan ciri-ciri dan kondisinya merupakan satu kesatuan wilayah atau kawasan dalam mengembangkan kehidupannya. Bangsa Indonesia dipandang mampu atau dibina untuk mampu mendayagunakan dirgantara dalam mengembangkan kehidupannya guna merealisasikan aspirasi dan cita-citanya. 46. Pemahaman terhadap cara pandang bangsa Indonesia dikembangkan melalui pemikiran dengan tinjauan terhadap fenomena kehidupan yang berkaitan dengan kedirgantaraan, meliputi "Wadah", "Isi" dan "Tata Laku" bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Yang dimaksud "Wadah" adalah segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia yang meliputi daratan, perairan, dan dirgantara yang terdiri dari ruang udara sebagai wilayah kedaulatan dan antariksa sebagai kawasan kepentingan nasional. Wilayah daratan dan perairan Indonesia dengan kondisi dan konstelasi geografinya, dan dirgantara dengan ciri-ciri dan kondisinya merupakan satu kesatuan yang utuh dalam pendayagunaan dirgantara bagi pengembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Yang dimaksud dengan "Isi", adalah aspirasi bangsa Indonesia dalam pendayagunaan dirgantara dalam rangka mewujudkan cita-cita sebagaimana dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu negara Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Rakyat yang berkehidupan kebangsaan yang bebas bertanggungjawab, Halaman | 27 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan termotivasi dan terdorong dalam pendayagunaan dirgantara sebagai bagian dari segenap upaya bangsa dalam mencapai tujuan nasional dan mewujudkan cita-cita nasional. Dalam kaitan ini, bangsa Indonesia bertekad untuk bersatu padu dalam mewujudkan aspirasi dan cita-citanya melalui pendayagunaan dirgantara dalam kondisi tegaknya kedaulatan atas wilayah udara nasional dan terwujudnya pengakuan internasional atas kepentingan Indonesia dalam pendayagunaan dirgantara secara menyeluruh. 47. Dengan demikian, "Isi" menyangkut dua hal esensial yaitu : a. Pendayagunaan dirgantara berpedoman pada pemanfaatan sebesar-besar kondisi dan konstelasi geografi wilayah daratan dan perairan Indonesia dengan memperhitungkan jumlah penduduknya yang besar, terdiri dari berbagai suku yang memiliki budaya dan tradisi serta pola kehidupan yang beranekaragam, dan ciri-ciri serta kondisi dirgantara sebagai satu kesatuan, yang mengarah pada pengembangan segenap aspek kehidupan baik dalam lingkup nasional maupun internasional. b. Pendayagunaan dirgantara didasarkan pada asas persatuan dan kesatuan, kesejahteraan dan keamanan, dan konsultasi dan kerja sama. "Tata Laku" merupakan proses atau hasil interaksi antara "Wadah" dan "Isi" yang meliputi tata laku batiniah dan tata laku lahiriah. Tata laku batiniah mencerminkan kepribadian bangsa dalam pendayagunaan dirgantara. Sedangkan tata laku lahiriah tercermin dalam penyelenggaraan dan pengaturan kedirgantaraan nasional yang berasaskan kesejahteraan dan keamanan, dan konsultasi dan kerja sama. 48. "Tata Laku" baik dalam arti proses maupun sebagai hasil interaksi antara "Wadah" dan "Isi" selain mempengaruhi atau menentukan pembentukan aspirasi masyarakat dalam pendayagunaan dirgantara bagi perwujudan cita-cita dan pencapaian tujuan nasional, juga mendasari pemanfaatan dan pendayagunaan segenap potensi, sumberdaya dan sarana baik kemampuan fisik maupun non fisik yang dimiliki bangsa. Untuk itu, geopolitik kedirgantaraan nasional senantiasa memperhatikan ciri-ciri dan kondisi dirgantara dalam hubungannya dengan kondisi dan konstelasi geografi Indonesia, serta perkembangan lingkungan strategis baik dalam lingkup nasional maupun internasional. 49. Berdasarkan pemahaman pada paragraph 45 s/d 48 maka Pengembangan Kedirgantaraan Nasional dilakukan melalui pengembangan unsur-unsurnya, sehingga dapat berperan dalam Pembangunan Nasional. Dengan memperhatikan kendala dan peluang yang timbul dari faktor-faktor yang berpengaruh, unsur-unsur Kedirgantaraan Nasional dikembangkan secara terpadu dan serasi, yang keseluruhannya merupakan satu kesatuan dengan pengembangan unsur-unsur Pembangunan Nasional lainnya. Halaman | 28 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Dalam kaitan ini unsur-unsur Kedirgantaraan Nasional yang wajib dikembangkan sebagai berikut24: 24 a. Sumber Daya Manusia dikembangkan untuk terwujudnya kemampuan mandiri yang berkualitas dan unggul dalam pengembangan semua aspek kedirgantaraan yang meliputi ilmiah teknis, politik dan hukum, dan manajemen. b. Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Dirgantara dikembangkan untuk terciptanya kemajuan dalam pemanfaatan, pengembangan dan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedirgantaraan yang dibutuhkan bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan peradaban, serta ketangguhan dan daya saing bangsa guna memacu Pembangunan Nasional yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan menuju masyarakat yang berkualitas, maju, mandiri serta sejahtera, yang dilandasi nilai-nilai spiritual, moral, dan etik didasarkan nilai luhur budaya bangsa serta nilai keimanan dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. c. Industri Dirgantara dikembangkan untuk terwujudnya industri rekayasa untuk menghasilkan produk yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dan ekspor yang dapat bersaing dengan produk negara lain. d. Jasa Kedirgantaraan dikembangkan untuk terwujudnya industri jasa kedirgantaraan untuk menghasilkan berbagai produk jasa yang dapat memenuhi kebutuhan nasional dan mempunyai daya saing dengan jasa kedirgantaraan dari negara lain. e. Sumber Daya Alam baik yang berada di daratan, di perairan maupun di dirgantara dikembangkan dan dipelihara untuk selalu tersedia digunakan sebesar-besarnya dan secara berkelanjutan dalam pendayagunaan dirgantara. f. Politik dan Hukum Kedirgantaraan dikembangkan untuk tegaknya kedaulatan atas wilayah udara nasional dan terwujudnya pengakuan internasional atas kepentingan nasional dalam pendayagunaan dirgantara secara menyeluruh yang didukung hukum nasional dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pendayagunaan dirgantara. g. Kelembagaan Kedirgantaraan dikembangkan untuk terwujudnya produktivitas yang tinggi dalam pendayagunaan dirgantara yang didukung oleh organisasi, mekanisme koordinasi dalam keterpaduan baik dalam lingkup pendayagunaan Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Halaman | 29 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan dirgantara itu sendiri maupun dengan bidang-bidang pembangunan lainnya, sistem informasi kedirgantaraan dan kerja sama dengan bangsa dan negara lain. 50. Berdasarkan hal tersebut dalam paragraf 38 s/d 49 di atas. maka penyusunan UUK ini didasarkan pada asas sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004, Traktat Antariksa 1967 dan pengembangan Unsur-unsur yang termuat dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional tersebut. Berdasarkan pemahaman tersebut maka asas yang digunakan dalam penyusunan UUK dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian yaitu: a. Asas yang didasarkan pada pemenuhan kewajiban internasional yaitu : 1) “asas tanggung jawab Negara” adalah semua penyelenggaraan keantariksaan di wilayah dan yurisdiksi serta atas nama Pemerintah Republik Indonesia berada dalam pengawasan pemerintah Republik Indonesia dan menjadi tanggung jawab pemerintah secara internasional25. 2) “asas keamanan dan keselamatan” adalah penyelenggaraan keantariksaan dilaksanakan dengan menjaga keamanan dan keselamatan keantariksaan. 3) “asas kelestarian” adalah penyelenggaraan keantariksaan dilaksanakan dengan menjaga kelestarian fungsi lingkungan bumi dan dirgantara; b. Asas yang didasar pada sistem keantariksaan dan kharakteristik teknologi keantariksaan yaitu : 1) “asas ilmu pengetahuan dan teknologi” adalah penyelenggaraan keantariksaan ditujukan untuk penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi keantariksan dan eksplorasi dan pendayagunaan antariksa. 2) “asas ketelitian dan kehati-hatian” adalah penyelenggaraan keantariksaan dilakukan secara cermat dan akurat serta ditetapkan sesuai dengan standar dan prosedur yang berlaku. 3) “asas keberlanjutan” adalah penyelenggaraan keantariksaan dilakukan secara terencana dan terus-menerus. 4) “asas keterpaduan” adalah penyelenggaraan keantariksaan merupakan kesatuan yang terpadu, utuh, saling menunjang, serta saling mengisi antara penyelenggara dan pengguna jasa, baik pada tataran nasional, regional, maupun internasional. Perumusan didasarkan pada prinsip tanggung jawab Negara secara internasional yang termuat dalam Pasal VI Traktat Antariksa 1967. 25 Halaman | 30 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 5) 6) c. “asas kemandirian” adalah penyelenggaraan keantariksaan harus bersendikan kepada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam keantariksaan26. “asas manfaat” adalah penyelenggaraan keantariksaan harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan27. Asas yang didasarkan pada pemenuhan peraturan perundangundangan nasional yang berlaku yaitu: 1) “asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan” adalah penyelenggaraan keantariksaan harus dilaksanakan sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara sarana dan prasarana, antara penyelenggara dan pengguna jasa keantariksaan, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional. 2) “asas pertahanan negara” adalah penyelenggaraan keantariksaan senantiasa diabdikan untuk mempertahankan kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan keamanan dan keselamatan warga Negara. 3) “asas transparansi dan akuntabilitas” adalah bahwa penyelenggaraan keantariksaan dilakukan secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan; 4) “asas kepentingan umum” adalah penyelenggaraan keantariksaan harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas. 5) “asas tata kelola pemerintahan yang baik“ adalah penyelenggaraan keantariksaan dijiwai oleh prinsip partisipasi, transparansi, akuntabilitas, efisiensi, dan keadilan28. 6) “asas ketertiban dan kepastian hukum” adalah penyelenggaraan keantariksaan harus menjamin terciptanya ketertiban dan kepastian hukum29. Analogi dengan perumusan dalam Undang-undang Nomor 1 Penerbangan. 27 Analogi dengan perumusan dalam Undang-undang Nomor 1 Penerbangan. 28 Analogi dengan perumusan dalam Undang-Undang Nomor 32 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 29 Analogi dengan perumusan dalam Undang-Undang Nomor 43 Wilayah Negara. 26 Tahun 2009 Tentang Tahun 2009 Tentang Tahun 2009 Tentang Tahun 2008 Tentang Halaman | 31 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan B. Pengertian dan Batasan 51. Pengertian yang termuat dalam UUK, perumusannya tersebut didasarkan pada pengertian yang terdapat dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998 (Konsisdirnas 1998), Peraturan-perundang-undangan nasional, hasil Indonesia telah meratifikasi perjanjian internasional dan yang didasarkan pada studi banding dengan peraturan perundangundangan keantariksaan negara lain khususnya yang terkait pengertian dalam khasanah ilmu dan teknologi keantariksaan. Berdasarkan berbagai hal tersebut maka dalam UUK terdapat beberapa pengertian yang dikaitkan dengan sumbernya sebagai berikut: 30 31 32 a. Antariksa, Ruang Udara dan Dirgantara disusun berdasarkan pengertian yang termuat dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Pengertian tersebut adalah: 1) Dirgantara30 adalah ruang di sekeliling dan melingkupi bumi beserta segala isinya, meluas tiada batas mulai dari permukaan bumi yang terbagi atas ruang udara dan antariksa, yang dipandang sebagai wilayah, ruang gerak, media hidup dan sumber daya alam bagi kehidupan umat manusia. 2) Ruang udara31 adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi; ruang tersebut mengandung udara bersifat gas yang disebut atmosfir bumi. 3) Antariksa32 adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar ruang udara, serta yang mengelilingi dan melingkupi ruang udara. b. Kegiatan antariksa atau keantariksaan pada hakekatnya adalah segala sesuatu tentang dan yang berkaitan dengan usaha dan kegiatan umat manusia dalam rangka pendayagunaan antariksa. Penggunaan pengertian ini didasarkan rumusan yang terdapat dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Sedangkan yang termasuk penyelenggaraan keantariksaan adalah penguasaan teknologi, pemanfaatan teknologi, peluncuran wahana antariksa, penelitian dan penjalaran teknologi keantariksaan. Perincian dari tujuan dan cakupan penyelenggaraan keantariksaan tersebut adalah: 1) Penguasaan teknologi keantariksaan dimaksud untuk penguasaan sistem keantariksaan sebagaimana dimaksud dalam paragraf 6 secara mandiri oleh bangsa Indonesia sehingga terjamin kesinambungan penyelenggaraan keantariksaan nasional. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998 halaman 42. Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Ibid. Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998. Halaman | 32 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 2) 3) 4) 5) c. Pemanfaatan teknologi keantariksaan dapat ditujukan untuk berbagai kepentingan seperti telekomunikasi, penyiaran, penginderaan jauh, navigasi dan posisi lokasi, mitigasi bencana dan komersialisasi antariksa. Peluncuran wahana antariksa dimaksudkan untuk dapat menguasai teknologi sistem keantariksaan secara keseluruhan yang merupakan teknologi utama dalam penyelenggaraan keantariksaan yang pada gilirannya dapat menjamin kesinambungan dan menghilangkan ketergantungan dalam penyelenggaraan keantariksaan. Penelitian keantariksaan dimaksudkan untuk memahami gejala dan dinamika antariksa, baik pengaruhnya terhadap bumi, atmosfir maupun pengaruhnya terhadap penyelenggaraan keantariksaan, sehingga dapat mendukung dan mengamankan pelaksanaan penyelenggaraan keantariksaan. Penjalaran teknologi keantariksaan merupakan bagian yang penting mengingat sifat teknologi keantariksaan yang dapat menjadi pemicu pengembangan teknologi lainnya. Di samping teknologi keantariksaan juga dapat mendukung berbagai kegiatan lain untuk dapat terlaksana dengan baik dan efisien. Benda Antariksa, didasarkan pada pemahaman bahwa dalam Bahasa Indonesia istilah benda antariksa mengandung arti sebagai benda buatan manusia dan benda alamiah di antariksa. Sedangkan dalam Konsepsi Kedirgantaraan Nasional 1998, disebutkan bahwa salah satu unsur-unsur dari kedirgantaraan nasional adalah termasuk sumber daya alam di antariksa. Berdasarkan pemahaman ini maka dalam UUK benda antariksa diartikan lebih luas dari pengertian yang terkandung dalam terminologi ”space object” yang terdapat dalam Liability Convention 1972 dan Registration 1975. Hal ini mengingat bahwa dalam Traktat Antariksa, 1967 terdapat berbagai bentuk penyebutan yang mengandung makna ”space object” yaitu (i) Obyek yang diluncurkan keantariksa (objects launched into outer space33), (ii) Obyek dan obyek antariksa (object34 and space object35), (iii) bukan benda antariksa yang diluncurkan keantariksa (non-space objects launched into outer space36), (iv) obyek antariksa bukan buatan manusia (non manmade space objects37), (v) wahana antariksa (space vehicles38), (vi) Article 7 Outer Space Treaty, 1967, paragraph 1 Preamble Rescue Agreement, 1968. Preamble paragraph 4 dan 7, Pasal I, II, IV, V dan VI Registration Convention, 1975. 35 Pasal 2 ayat (1) Registration Convention, 1975. 36 Paragraph 5 Preamble Registration Convention, 1975. 37 Article 3 ayat (2) Moon Agreement, 1979 menyebut “man-made space object” sehingga menurut Bincheng dapat diartikan terbalik yaitu adanya non-made space object. 33 34 Halaman | 33 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan pesawat antariksa (spacecraft39), (vii) obyek yang ditempatkan atau dibangun pada benda-benda langit (object landed or constructed on a celestial body40), (viii) benda antariksa dan bagian-bagiannya (space object and pharaphernalia 41), dan (ix) Obyek yang tidak berfungsi lagi dan limbah (non functional object and debris). Dengan demikian yang dimaksud dengan benda antariksa adalah semua hal tercakup dalam pengertian yang dimuat dalam berbagai pemahaman tersebut di atas. Yang dalam UUK ini dinyatakan bahwa Benda antariksa adalah setiap benda baik buatan manusia maupun bukan (benda alamiah) dimana saja berada yang terkait dengan keantariksaan serta sumber daya alam di antariksa. Yang termasuk benda alamiah antara lain adalah bulan dan benda-benda langit lainnya. d. Wahana antariksa adalah benda buatan manusia dimanapun berada yang ditujukan untuk dan terkait dengan keantariksaan serta bagian-bagiannya. Pengertian ini sama dengan pengertian ”space object” yang terdapat dalam Liability Convention 1972 dan Registration 1975. e. Bandar Antariksa adalah suatu kawasan yang didalamnya terdapat antara lain landasan tempat peluncuran dan reentry serta landasan pacu, ruang pabrikasi untuk keperluan integrasi, termasuk infrastruktur, peralatan dan kebutuhan untuk proses peluncuran, dan wahana antariksa yang diluncurkan. Penggunaan istilah ini didasarkan pada analogi dengan istilah “Bandar udara” (Airport) yang digunakan untuk take-off dan landing pesawat udara serta ATC nya. Namun demikian, mengingat bahwa tidak ada pengertian baku secara internasional dari kata “spaceport” maka pengertian “Bandar Antariksa” yang dimuat dalam UUK lebih ditujukan sebagai identifikasi sarana dan prasarana yang terdapat dalam suatu kawasan peluncuran atau dalam bahasa Inggeris disebut dengan istilah spaceport. f. Asset antariksa (space assets) merupakan terminologi baru yang dikembangkan dalam kaitannya dengan komersialisasi antariksa, khususnya dalam pembahasan draft protocol on matters specific to space assets to the Convention on International Interests in Article V Outer Space Treaty, 1967 Article 1,2,3 dan 4 Rescue Agreement, 1968. 40 Article VIII Outer Space Treaty, 1967. 41 Terdapat tiga peristilahan yang digunakan untuk mengungkap material yang menjadi cakupan dari istilah space object yaitu (i) “component part” dalam article 1 (d) Liability Convention, 1972 dan article 1 (b) Registration Convention, 1975 (ii) launch vehicle and part thereof dalam article 1 (d) Liability Convention, 1972 dan article 1 (b) Registration Convention, 1975 (iii) space objects and payloads dalam praktek yang dibuat NASA dan muatan Article III Liability Convention, 1975 dengan menyebut property on board”. 38 39 Halaman | 34 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Mobile Equipment. Terminologi ini tidak terdapat dalam rumusan Traktat Antariksa 1967. Dalam pembahasan draft protocol space asset, pemahaman tentang pengertian aset antariksa dikaitkan dengan benda antariksa yang dapat dijadikan sebagai obyek penjaminan baik bersifat benda atau hak-hak terkait dengan benda tersebut seperti hak penggunaan slot orbit dan spectrum frekuensi. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia yang dapat dijadikan obyek penjaminan adalah benda bergerak dan tidak bergerak dengan cara penjaminan yang berbeda. Dengan demikian, pemahaman terhadap pengertian aset antariksa adalah didasarkan pada makna benda antariksa buatan manusia (wahana antariksa) dan hak-hak terkait dengannya (antara lain hak penggunaan spectrum frekuensi, slot orbit, lisensi penyelenggaraan dan sebagainya) yang dapat dijadikan obyek penjaminan. g. C. Penyelenggara Keantariksaan, didasarkan pada pemahaman dalam Pasal VI Traktat Antariksa 1967, yang menyatakan bahwa semua penyelenggaraan keantariksaan di wilayah dan yurisdiksi menjadi tanggung jawab negara secara internasional. Sungguhpun pada saat perumusan aturan ini terdapat pemahaman hanya Negara yang melakukan penyelenggaraan keantariksaan, namun mengingat perkembangan keantariksaan saat ini yang mengarah adanya keterlibatan peran swasta dalam keantariksaan, maka terhadap penyelenggaraan keantariksaan yang berlangsung di Indonesia dibuka kemungkinan untuk dilakukan oleh siapapun selain negara (pemerintah) dan pemerintah daerah baik badan hukum nasional maupun badan hukum asing serta orang pribadi. Dengan dibukanya peluang ini, maka pengawasan dan pengendalian pemerintah terhadap penyelenggara keantariksaan menjadi sangat penting dalam rangka memenuhi ketentuan Pasal VI Traktat Antariksa, 1967 tersebut, yang salah satu kewajiban Negara (Pemerintah) adalah melaksanakan tanggung jawab secara internasional terhadap semua penyelenggaraan keantariksaan di wilayah dan yurisdiksinya. Tujuan Undang-Undang Tentang Keantariksaan 52. Tujuan yang ingin dicapai dengan diterbitkannya Undang-Undang Tentang Keantariksaan adalah: a. Mewujudkan kemandirian dan meningkatnya daya saing bangsa dan negara dalam penyelenggaraan keantariksaan; b. Melaksanakan penyelenggaraan keantariksaan untuk kesejahteraan yang optimal; c. Menjamian keberlanjutan penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; Halaman | 35 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan d. e. f. g. h. D. Mewujudkan landasan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan keantariksaan; Mewujudkan penyelenggaraan keantariksaan yang menjadi komponen pendukung pertahanan dan integritas NKRI Menciptakan keamanan dan keselamatan dalam penyelenggaraan keantariksaan; Melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan keantariksaan; dan, Melaksanakan penerapan perjanjian Internasional keantariksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Ruang Lingkup Undang-Undang Tentang Keantariksaan 53. Ruang lingkup (objek) yang diatur dalam RUU Tentang Keantariksaan meliputi antara lain : a. Semua komponen dan aktivitas yang terkait dengan penyelenggaraan keantariksaan yang dilaksanakan untuk penguasaan teknologi keantariksaan, pemanfaatan teknologi keantariksaan, peluncuran wahana antariksa, penelitian keantariksaan, dan jenis kegiatan lain yang dilaksanakan dengan bantuan teknologi keantariksaan b. Semua penyelenggara yang melaksanakan penyelenggaraan keantariksaan yang dapat berupa negara, organisasi internasional dan lembaga swasta, individu baik domestik maupun asing. c. Semua penyelenggara yang melaksanakan keantariksaan di dan/dari wilayah Republik Indonesia dan/atau dilaksanakan untuk dan/atau atas nama pemerintah Indonesia. d. Semua kegiatan pemanfaatan teknologi keantariksaan untuk kepentingan telekomunikasi, penyiaran, penginderaan jauh, mitigasi bencana, geoposisi dan navigasi,dan komersialisasi antariksa. e. Setiap individu atau badan hukum yang melibatkan diri dalam penyelenggaraan keantariksaan dan terkait dengan Negara Republik Indonesia. E. Status Hukum Antariksa 54. Berdasarkan uraian paragrap 12 (pengertian antariksa), pargaraf 13 (hal-hal yang terdapat di antariksa), Pargaraf 23 (Traktat Antariksa sebagai Magna Charta atau Ius Cogens), paragraph 31 (status Indonesia yang telah meratifikasi Traktat Antariksa 1967), dan paragraph 44 (prinsip-prinsip Traktat Antariksa 1967 yang dijadikan asas dalam penyusunan norma), maka dalam UUK memuat rumusan status hukum antariksa dengan maksud yang sama dengan pasal-pasal terkaitnya sebagai berikut : Halaman | 36 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan F. a. Status Hukum Antariksa42 1) Antariksa merupakan wilayah bersama umat manusia yang dalam eksplorasi dan penggunaannya sesuai dengan Traktat Antariksa 1967. 2) Antariksa bebas untuk dieksplorasi dan digunakan oleh semua negara, tanpa diskriminasi berdasarkan asas persamaan dan sesuai dengan hukum internasional. 3) Antariksa tidak tunduk kepada kepemilikan nasional, baik berdasarkan tuntutan kedaulatan, dengan cara penggunaan atau pendudukan/penguasaan, maupun dengan cara-cara lainnya. b. Yurisdiksi43 1) Setiap wahana antariksa yang diluncurkan untuk dan/atau atas nama Republik Indonesia berada dalam yurisdiksi dan kontrol Pemerintah Republik Indonesia. 2) Setiap orang yang berada dalam sarana dan prasarana keantariksaan milik Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan Indonesia. Batas Ruang Udara dan Antariksa 55. Di ruang udara, setelah melalui perdebatan panjang mengenai konsep kedaulatan Negara versus kebebasan di ruang udara, maka melalui ketentuan pasal 1 Konvensi Chicago 1944 ditetapkan pengakuan mengenai kedaulatan negara yang bersifat lengkap dan eksklusif (penuh dan utuh) atas ruang udara di atas wilayahnya44. Pengakuan ini sekaligus melengkapi konsep kewilayahan yang bersifat tri-dimensional, di mana daratan sebagai dimensi pertama, perairan sebagai dimensi ke dua dan ruang udara sebagai dimensi ke tiga. 56. Ruang udara mempunyai arti yang sangat penting bagi suatu Negara tidak hanya dilihat dari aspek integritas wilayah dan keamanan nasionalnya, tetapi juga sekaligus sebagai asset pembangunan (ekonomi) nasional yang harus didayagunakan sebaik-baiknya. Untuk mengilustrasikan pentingnya ruang udara, digambarkan bahwa suatu Negara bisa saja tidak mempunyai laut (mis: land-locked states), akan tetapi pasti memiliki ruang udara. Jadi ruang udara merupakan atribut kewilayahan suatu Negara yang tidak bisa dilepaskan dari keberadaan Negara itu sendiri45. Lihat, Pasal I dan II Traktat Antariksa 1967. Lihat Pasal VI dan VIII Traktat Antariksa 1967. 44 Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang berbunyi “the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty in the airspace above its territory”. 45 Supancana, I.B.R, “ Pendekatan Hukum Dalam Pengelolaan Ruang Udara (Air Space Management)”, Bahan Ceramah pada Sekolah Staf Komando TNI AU Angkatan 40, Lembang – Bandung, Juni, 2003, halaman 1. 42 43 Halaman | 37 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 57. Berdasarkan Pasal II Traktat Antariksa 1967 terdapat larangan tuntutan kedaulatan dalam bentuk apapun terhadap antariksa dan adanya pengakuan bahwa antariksa sebagai wilayah kemanusiaan (province of all mankind). Dengan adanya ketentuan ini, secara hukum terbagilah wilayah ruang yang ada di atas permukaan bumi ini menjadi dua bagian yaitu ruang udara dan antariksa. Ruang udara sebagai dimensi ketiga dipandang sebagai wilayah kedaulatan dan antariksa sebagai wilayah kemanusiaan (province of all mankinds). 58. Berdasarkan hal tersebut di atas, muncullah permasalahan dimanakah batas antara ruang udara dan antariksa tersebut. Permasalahan wilayah udara, kedaulatan di ruang udara dan batas ruang udara telah dibahas sejak pembahasan Konvensi Paris, 1919, Konvensi Chicago 1944 dan Traktat Antariksa 1967. Namun sampai dengan saat ini, belum ada ketentuan internasional yang secara tegas menyebut tentang batas kedaulatan suatu negara di ruang udara. Ketiga ketentuan tersebut hanya mampu memisahkan jenis kegiatan yang dapat dilakukan di ruang udara dan di antariksa. Sedangkan terhadap batas kedua wilayah tersebut belum ada kesepakatan sampai saat ini. 59. Pada umumnya negara-negara barat atau negara-negara yang sudah maju penguasaan teknologi keantariksaannya lebih cenderung untuk memilih pemecahan masalah batas ruang udara dan antariksa (dibahas dalam mata acara Definisi dan Delimitasi Antariksa di Subkomite Hukum UNCOPUOS) dengan menentukan “definisi” dari Antariksa. Atau dapat dikatakan cenderung untuk menggunakan pendekatan “fungsional”. Negara-negara yang cenderung untuk memilih pendekatan ini menganggap bahwa masalah ini harus dilihat terutama dari segi “sifat” dan “type” kegiatan keantariksaan yang akan dilakukan. Dalam kaitan ini dilakukan pembedaan terhadap kegiatan penerbangan (aeronautical) dan kegiatan keantariksaan (astronautical), dimana kegiatan astronautical tunduk kepada ketentuan hukum antariksa (Space Treaties), tanpa memandang ketinggian dimana kegiatan tersebut berlangsung, baik berada diruang udara ataupun di antariksa. 60. Berdasarkan uraian tentang definisi, antariksa dan benda antariksa tersebut 59 di atas, dapat disimpulkan bahwa pengertian kata “definition/definisi” dari berbagai kamus dan para pakar dapat dikatakan relatif sama yaitu suatu ketentuan atau kalimat yang mengungkapkan suatu makna. Sehingga apabila dikaitkan dengan Definisi Antariksa akan menjadi suatu pengertian atau ketentuan mengenai antariksa secara luas, baik menyangkut status, kondisi, isi dan hal lainnya yang berkaitan seperti kegiatan yang berlangsung di antariksa. Dalam pembahasan masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa di forum UN-COPUOS terdapat kecenderungan bagi negara-negara yang menyetujui adanya Definisi Antariksa dapat dikatagorikan sebagai negara yang setuju terhadap Halaman | 38 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan pendekatan “fungsional”. Jadi tidak ada batas yang definitif dalam pengertian batas wilayah antara ruang udara dan antariksa. Pendekatan fungsional ini menganggap bahwa ruang udara dan antariksa merupakan satu kesatuan, dimana wahana udara maupun wahana antariksa (space object) dapat menggunakan kedua ruang tersebut sebagai satu media dalam melakukan penerbangan baik menuju orbit bumi maupun kembali ke bumi. 61. Kecenderungan sikap negara-negara terhadap masalah definisi dan delimitasi antariksa dapat tercermin dari pandangan yang disampaikan dalam pembahasan masalah ini dan ketentuan yang dicantumkan dalam peraturan perundang-undangan nasionalnya. Berbagai sikap tersebut adalah: a. Australia, Pada Sidang Subkomite Hukum 2002, delegasi Australia mengemukakan bahwa definisi dan delimitasi antariksa merupakan masalah yang cukup rumit dan perlu dibahas secara seksama. Dalam Australian Space Activity Act 1998 yang kemudian disempurnakan dengan Act Tahun 2002 dimuat rumusan untuk menetapkan ketinggian 100 km di atas permukaan laut sebagai patokan untuk keperluan praktis dan bahwa benda yang berada di atas ketinggian tersebut dipertimbangkan sebagai space object. Namun demikian, penetapan batas tersebut bukanlah merupakan delimitasi antariksa. b. Amerika Serikat, Dalam Sidang-sidang UNCOPUOS, khususnya dalam pembahasan masalah definisi dan delimitasi antariksa, delegasi Amerika Serikat selalu menyatakan bahwa tidak ada kepentingan yang mendesak untuk menentukan definisi dan delimitasi antariksa. Penetapan hal tersebut hanya akan menghambat kemajuan perkembangan teknologi. Namun secara diam diam, US Spacecommand beranggapan bahwa antariksa dimulai dari ketinggian 100 NM. c. Korea Selatan, Pada Sidang Komite Antariksa PBB (UNCOPUOS), Juni tahun 2003, Korea Selatan mengajak negaranegara untuk membahas batas udara dan antariksa berkisar antara 100 sampai 110 Km; d. Uni Soviet/Federasi Russia, Pada Sidang Subkomite Hukum tahun 1980, bekas negara Uni Soviet pernah mengusulkan agar batas ruang udara ditetapkan 100 sampai dengan 120 km dihitung dari permukaan laut. Dalam perkembangannya, sebagaimana telah dikemukakan di atas Rusia telah mengajukan pembahasan rejim hukum aerospace object dalam agenda Definisi dan Delimitasi Antariksa pada Sidang-sidang UNCOPUOS sejak tahun 1992. 62. Kecenderungan, Apabila dilihat dari ketentuan nasional negaranegara, pada umumnya tidak terdapat materi aturan yang secara tegas Halaman | 39 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan menyatakan batas kedaulatan negara di ruang udara. Aturan–aturan yang ada cenderung hanya menyatakan bahwa negara berdaulat atas ruang udara di atas wilayahnya secara penuh dan utuh. Sedangkan di antariksa tetap mengakui sebagai kawasan kemanusiaan (kawasan bersama umat manusia). 63. Pembahasan masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa, walaupun tidak mengalami kemajuan yang berarti, tetap berlangsung dengan substansi pembahasan masalah penetapan rejim hukum aerospace object. Apabila rejim hukum tersebut ditetapkan maka dapat diyakini pembahasan masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa akan dianggap selesai, karena rejim hukum tersebut sebenarnya telah memberikan jawaban pemecahan masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa dengan menggunakan pendekatan fungsional yaitu berdasarkan pada fungsi atau misi wahana dan bukan berdasarkan pendekatan kewilayahan (spasial). 64. Dalam konteks UUK ini Indonesia mengartikan batas ruang udara dan antariksa sebagaimana yang telah disepakati dalam Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua tahun 2003 yaitu (i) Diusulkan Indonesia menganut pendekatan spasial dalam penetapan Definisi dan Delimitasi Antariksa. Dengan pendekatan ini, serta memperhatikan sifat fisik, perilaku wahana di dirgantara, politik dan pertahanan maka batas ruang udara dan antariksa yang paling tepat adalah pada ketinggian 110 km dari permukaan laut. (ii) Guna menindaklanjuti usulan pendekatan spasial ini perlu dilakukan koordinasi dan pembahasan komprehensif serta diplomasi di tataran internasional. Kemudian dilakukan pembahasan dengan pihak legislatif sesuai dengan prosedur yang berlaku46. Alasan penetapan secara spasial semata-mata ditujukan untuk adanya pengakuan internasional terhadap kedaulatan Negara di ruang udara nasionalnya khususnya pengakuan dalam aplikasi teknologi antariksa. Di samping itu, penetapan batas secara spasial ini, lebih merupakan penggunaan pendekatan hukum dari pada pendekatan kemampuan teknis Indonesia yang dalam kenyataannya saat ini Indonesia belum mampu menjangkau ketinggian tersebut. G. Penyelenggaraan Keantariksaan 65. Bagi Indonesia, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi antariksa sangat besar kontribusinya dalam rangka memenuhi kepentingan nasionalnya, baik dari perspektif keamanan maupun kesejahteraannya. Beberapa bentuk partisipasi Indonesia dalam penyelenggaraan keantariksaan adalah (i) sejak tahun 1966 telah terlibat dalam Pengoperasian Intelsat47; (ii) sejak tahun 1976 mengoperasikan satelit SKSD Laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, Jakarta 22-24 Desember 2003, halaman 13, 47 Indonesia masuk menjadi Negara anggota Intelsat tahun 1966. 46 Halaman | 40 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Palapa (iii) sampai saat ini sudah mengoperasikan beberapa sistem satelit untuk berbagai keperluan seperti Komunikasi, Penyiaran, Penginderaan Jauh, dan Survey (Palapa A-B,C, Telkom 1, 2, Indostar, Garuda, LAPAN Tubsat). 1. Penelitian Keantariksaan 66. Lingkungan alam global bersifat dinamis yang sangat berpengaruh pada lingkungan alam Indonesia dan demikian pula sebaliknya. Kondisi hutan tropis sangat berpengaruh pada kondisi atmosfir tropis, sirkulasi atmosfir global menghantarkan dinamika kondisi atmosfir tropis ke daerah lintang tengah dan tinggi. Demikian pula sebaliknya, sirkulasi air laut global serta sirkulasi atmosfer global menyebarkan dampak perubahan kondisi tutupan es di Kutub, tidak hanya di daerah lintang tinggi, tetapi juga ke daerah lintang tengah dan rendah. Sehubungan dengan lingkungan global, selain karakterisasi dan pemahaman atas proses fenomena unsurunsur pembentuk sistem kebumian, ilmu dan teknologi satelit penginderaan jauh (observasi lingkungan Bumi) merupakan sarana vital untuk mengenali dinamika lingkungan alam global seperti temperatur, tingkat permukaan air laut dan pola arus laut serta sirkulasi atmosfer. Oleh karena karakteristik fisik yang khas, maka masyarakat internasional memandang wilayah Indonesia sebagai laboratorium alam (natural laboratory) yang penting dalam penelitian lingkungan alam global. 67. Sehubungan dengan paragraf di atas, maka UUK merekomendasikan agar penelitian keantariksaan baik fenomena yang terjadi di antariksa maupun yang berdampak pada lingkungan bumi tetap harus dilakukan secara berkesinambungan. 2. Penguasaan Teknologi Keantariksaan 68. Meskipun telah lebih dari 46 tahun menjadi negara pengoperasi dan pengguna teknologi keantariksaan dan termasuk dalam jajaran negara pengguna yang paling awal di kawasan Asia, penguasaan teknologi keantariksaan Indonesia masih tertinggal dibanding dengan beberapa negara seperti Jepang, India, China dan Iran, Korea Selatan. Tanpa penguasaan teknologi keantariksaan yang memadai, Indonesia tidak akan mampu secara mandiri memanfaatkan antariksa untuk kepentingan nasionalnya, sehingga terpaksa bergantung pada penyediaan teknologi dan jasa dari negara lain. Dalam jangka panjang, ketergantungan ini akan menyulitkan posisi nasional Indonesia secara ekonomis, sosial budaya, politik hingga pertahanan dan keamanan. 69. Pembangunan penguasaan teknologi keantariksaan merupakan aspek yang sangat penting dalam menyiapkan akses ke antariksa dan pemanfaatan antariksa untuk kesejahteraan. Perkembangan teknologi keantariksaan nasional saat ini untuk teknologi roket baru pada tahap Halaman | 41 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan pengembangan roket sonda sedangkan untuk bandar antariksa untuk pelucuran-peluncuran roket pengorbit belum ada. Teknologi satelit baru sampai tahap manufaktur satelit mikro dengan berat s.d 70 kg. Teknologi manufaktur stasiun bumi telekomunikasi, inderaja, sains dan lainnya baru sampai tahap integrasi sistem. 70. Infrastruktur Peluncuran Benda Antariksa di dalam negeri seperti Bandar Antariksa (spaceport) belum ada sementara Sistem Telemetri Tracking and Command (TT&C) yang saat ini dioperasikan dalam kerjasama LAPAN-ISRO maupun TT&C milik Telkom dan Indosat belum diperuntukan bagi peluncuran satelit dari Indonesia. Peluncuran satelit-satelit milik Indonesia dilaksanakan dengan jasa peluncuran di luar negeri padahal belum ada kebijakan nasional yang kuat untuk membangun kemampuan peluncuran di dalam negeri. Sedangkan Legal aspek peluncuran atau pendaratan kembali belum dibangun. 71. Industri pemasok bahan baku, komponen struktur dan elektronik masih bergantung pada pemasok luar negeri tapi masih terkendala dengan pembatasan ekspor. Untuk sementara industri pemasok dalam negeri masih sangat terbatas yaitu PT Dirgantara Indonesia, PT. PINDAD dan PT. Karakatau Steel, namun sulit melayani keperluan untuk pengembangan teknologi dirgantara nasional. 72. Beberapa landasan perlunya penguasaan teknologi keantariksaan dapat dikemukakan sebagai berikut 48: a. Sistem satelit dan roket pengorbit satelit akan merupakan aset nasional dengan nilai strategis yang tinggi; b. Pemanfaatan antariksa nasional Indonesia yang sepenuhnya berada di tangan sendiri akan menjamin aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, politik, pertahanan dan keamanan; c. Dalam pola hubungan antar negara Indonesia akan mempunyai posisi tawar-menawar politik yang lebih baik dan dapat menarik keuntungan ekonomis dari pengguna-pengguna potensial sistem satelit dan roket pengorbit satelit tersebut; d. Teknologi satelit dan roket pengorbit satelit merupakan teknologi yang sarat dengan persyaratan yang ketat dan mutakhir, sehingga penguasaan teknologi tersebut merupakan loncatan iptek yang strategis. e. Bidang Pertanian, yaitu peningkatan produktifitas pertanian dalam skala menengah dan besar pada daerah pedesaan melalui penggunaan satelit untuk identifikasi karakteristik tanah, prediksi cuaca, dan prediksi panen yang tepat; f. Bidang Transportasi, melalui pemantauan dan pelaporan untuk Dr.-Ing. Soewarto Hardhienata,”Route – Map Pengembangan Satelit dan Roket Pengorbit Satelit. 48 Halaman | 42 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan g. h. i. j. k. l. mengoptimasikan route perjalanan bus, truk, dan kapal sehingga biaya transportasi menjadi lebih murah; Bidang Komunikasi, yaitu sebagai sarana komunikasi untuk daerah perkotaan, daerah pedesaan atau daerah terpencil dengan infrastruktur yang saat ini belum memadai atau belum ada sama sekali; Bidang Meteorologi dan Pemantauan Bencana Alam, yaitu untuk deteksi dini bencana alam dan pertolongan pertama – dengan memanfaatkan sistem yang mengintegrasikan jaringan satelit komunikasi, penginderaan dan misi ilmiah. Sistem ini berhubungan langsung dengan pengguna, menghilangkan kebutuhan proses sentral dan sistem distribusi. Pada beberapa kasus, pemantauan secara “real time” dan terdesentralisasi merupakan keharusan, sebagai contoh: kebakaran hutan, polusi, perikanan, dsb. Kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan pemanfaatan satelit; Bidang Pendidikan, yaitu untuk pendidikan jarak jauh (long distance education) baik untuk masyarakat umum maupun ilmiah. Disamping itu, program pengembangan satelit sangat cocok untuk kepentingan pelatihan peneliti dan engineer dengan menyediakan obyek langsung dan pengalaman langsung (handson experience) pada semua langkah dan aspek misi satelit – dari disain, produksi, test, dan peluncuran, sampai ke operasi orbit; Bidang Kesehatan, melalui program Telemedecine yang merupakan aplikasi untuk meningkatkan efisiensi pada pelayanan kesehatan dengan memanfaatkan transmisi data yang diperoleh dari sensor-sensor yang mudah penggunaannya ke unit-unit pemrosesan yang komplek pada pusat-pusat kesehatan. Hal ini memungkinkan pelayanan kesehatan secara efektif dan efisiensi yang akan mencakup daerah-daerah miskin dengan pelayanan kesehatan yang tidak memadai. Sebagai contoh dari aplikasi satelit dalam bidang kesehatan adalah kegiatan telemedicine pada proyek Healthsat. Proyek ini hanya menggunakan satelit seberat 60 kg pada orbit LEO untuk merelay data kesehatan informasi antara Nigeria dan Amerika Utara. Dalam kondisi bencana alam, aplikasi satelit dapat memainkan peranan penting untuk mencapai korban secara cepat dalam penyediaan bantuan logistik; Bidang Penelitian Antariksa Atas, misalnya penelitian ilmiah mengenai ozon, perilaku matahari, dan penelitian fenomena antariksa lainnya. Bidang Investasi, yaitu pengurangan secara bertahap investasi yang mahal untuk akses pelayanan jasa antariksa, yang selama ini banyak dikeluarkan untuk negara-negara penyedia jasa satelit. Pengunaan jasa satelit khususnya untuk komunikasi dan penginderaan jauh dari negara-negara maju membutuhkan investasi yang besar. Hal ini disebabkan karena teknologi satelit Halaman | 43 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan itu sendiri merupakan teknologi yang masih mahal dengan investasi yang besar; m. Bidang Teknologi, untuk meningkatkan level keahlian dalam teknologi dan ilmu antariksa sehingga dapat menjamin penentuan spesifikasi yang tepat pada sistem yang akan dipakai untuk kebutuhan nasional. Sering kali, kurangnya pengetahuan akan menghasilkan keputusan yang kurang tepat untuk memenuhi kebutuhan nasional; n. Bidang Pertahanan dan Keamanan, dengan adanya sistem satelit dan sistem roket pengorbit satelit yang mandiri jelas akan meningkatkan deterenitas. Bangsa yang setiap saat dapat melakukan komunikasi cepat ke seluruh pelosok negeri dan dapat melihat serta memantau negaranya dari antariksa dan mempunyai kemampuan untuk melihat dan memantau negara lain akan disegani dan dihormati. Terlebih lagi jika hal tersebut disertai dengan kemampuan pengorbitan satelit ke ruang angkasa, dimana diketahui bahwa sistem roket merupakan sistem yang mempunyai fungsi ganda (dual uses) baik untuk kepentingan sipil maupun pertahanan tergantung dari arah penerbangan dan jenis muatan roketnya. o. Di dalam penerapannya, sistem satelit dan roket pengorbit satelit dapat memberikan peluang berusaha (business opportunity) yang sangat besar, terutama bagi industri berbasis teknologi tinggi, untuk mengembangkan usahanya. 1) Untuk bidang satelit, peluang berusaha tersebut utamanya ada pada penyediaan segmen ruas bumi yang akan dimanfaatkan oleh pengguna yang jumlahnya bisa sangat besar dan usaha pemanfaatan data yang dikumpulkan oleh satelit, seperti data inderaja. 2) Untuk bidang roket pengorbit satelit peluang usaha ada pada penyediaan bahan baku roket yang jumlahnya juga sangat besar. 3) Berkembangnya usaha-usaha berbasis teknologi tinggi dalam jumlah yang besar tersebut tidak hanya secara langsung meningkatkan peluang bekerja (job opportunity), tetapi juga akan memberikan sumbangan yang sangat berarti bagi ketahanan nasional dalam bidang sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing tinggi di pasar global. p. Ketergantungan akan sistem pemanfaatan antariksa berbasis satelit yang disediakan oleh negara lain mengakibatkan ketiadaan jaminan akan kesinambungan penyediaan jasa pemanfaatan antariksa nasional Indonesia apabila terjadi perubahan kebijaksanaan dan/atau politik di negara penyedia/pembuat satelit. q. Kehilangan kesempatan peluang manufaktur produk yang mempunyai nilai tambah yang tinggi. Penggunaan sistem satelit untuk pemanfaatan antariksa sudah menjadi standard Halaman | 44 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan internasional, sehingga penggunaan sistem tersebut akan terus mengalami peningkatan. Peralatan-peralatan untuk menunjang aplikasi sistem satelit untuk pemanfaatan antariksa dan biaya peluncuran satelit juga masih sangat mahal. Oleh karena itu, impor dan ketergantungan yang terus menerus terhadap produkproduk dan jasa dari luar akan merupakan pengeluaran yang sangat besar. Selain merupakan kehilangan pangsa pasar dalam negeri sendiri yang sangat besar, bangsa Indonesia juga akan kehilangan peluang memanfaatkan pasar dunia yang terus tumbuh dengan cepat. 73. Penguasaan teknologi keantariksaan termasuk program kegiatan jangka panjang. Berbagai program keantariksaan negara-negara pada umumnya digagas untuk perwujudan waktu 10 sampai dengan 25 tahun yang akan datang. Pada Umumnya program penyelenggaraan keantariksaan memuat aspek-aspek berikut : a. Tujuan dan lingkup dari kebijakan-kebijakan penyelenggaraan keantariksaan; b. Struktur Organisasi dan strategi untuk penyelenggaraan keantariksaan; c. Perencanaan implementasi untuk penyelenggaraan keantariksaan; d. Rencana-rencana untuk dasar-dasar pengembangan dan infrastruktur penting bagi pembangunan penyelenggaraan keantariksaan; e. Perencanaan investasi untuk memperoleh sumber daya keuangan bagi pengembangan keantariksaan; f. Rencanakan untuk pelatihan keahlian yang diperlukan bagi pengembangan keantariksaan; g. Uraikan singkat kerja sama internasional untuk meningkatkan pembangunan keantariksaan; h. Petunjuk untuk meningkatkan proyek-proyek pembangunan keantariksaan; i. Hal-hal yang berhubungan dengan penggunaan dan manajemen benda-benda antariksa dalam penyelenggaraan keantariksaan; j. Aplikasi-aplikasi praktis yang menggunakan hasil-hasil dari pengembangan keantariksaan, seperti informasi melalui satelit. k. Semua uraian di atas harus memperhatikan tujuan pengembangan unsur-unsur kedirgantaraan sebagaimana termuat dalam paragraf 45. 74. Berdasarkan uraian pargaraf 68 s.d 73 tersebut di atas, maka beberapa program utama untuk mendukung penguasaan teknologi keantariksaan yang dimuat dalam UUK ini dan menjadi prioritas adalah : a. Penetapan program pembangunan bandar antariksa dalam waktu 2 tahun sudah beroperasi dan mampu meluncurkan roket yang membawa satelit sendiri dalam waktu 10 tahun; Halaman | 45 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. c. d. e. a. Penguasaan Teknologi Wahana Peluncur Satelit. Implementasi pembangunan bank data penginderaan jauh nasional guna perolehan data yang berkesinambungan, akurat dan tepat waktu. (uraian lebih lanjut disatukan dalam pemanfaatan teknologi penginderaan jauh). Pembangunan dan pengembangan satelit untuk kepentingan pelayanan umum (non-comercial purposes) dan Pembangunan satelit untuk penelitian dan pengembangan. Pengembangan teknologi penerbangan berkecepatan tinggi. (STS) Pembangunan Bandar Antariksa (Spaceport) 75. Bandar Antariksa (spaceport) adalah suatu kawasan yang padanya terdapat antara lain landasan tempat peluncuran dan reentry serta landasan pacu, ruang pabrikasi untuk keperluan integrasi, termasuk sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk proses peluncuran, dan wahana antariksa yang diluncurkan. Pengertian Bandar antariksa disini bukanlah merupakan definisi tetapi lebih ditekankan pada kriteria atau sarana dan prasarana yang harus dimiliki suatu Bandar antariksa. 76. Saat ini terdapat 35 negara yang memiliki fasilitas bandar antariksa. Bandar antariksa tersebut pada umumnya dimiliki dan dioperasikan oleh pemerintah49. Beberapa bandar antariksa yang baru muncul ada yang dioperasikan oleh swasta. Di samping itu, bandar antariksa yang dimiliki oleh negara-negara ada yang banyak jumlahnya dan ada yang hanya satu bandar antariksa saja. Gambar 2.1 dan Tabel 2.1 s.d 2.3 berikut ini memperlihatkan jumlah bandar antariksa yang dimiliki Amerika Serikat, di wilayah Asia, dan Bandar antariksa di luar Amerika Serikat. 49 Derek Webber, Horses for Courses – Spaceport Types, International Space Development Conference, ISDC 2005, Washington DC, May 19 -22 2005. Hlm 1. Halaman | 46 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Gambar : 2.1. Bandar Antariksa Amerika Serikat yang ada dan direncanakan 50 Tabel 2.1. Bandar Antariksa Amerika Serikat 51 50 51 Existing and Proposed Spaceport, Part I 2002. Hlm 55. Ibid. Derek Webber, ISDC 2005, Washington DC, May 19-22 2005. Hlm 4. Halaman | 47 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.2. Bandar Antariksa Di Asia52 52 Ibid Derek Weber, 2005, Hlm 5. Halaman | 48 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.3. Bandar Antariksa di Luar Amerika Serikat53 77. Biaya pembangunan bandar antariksa tersebut juga beragam. Pada umumnya biaya tersebut ditentukan sesuai dengan fasilitas sarana dan prasarana yang dimiliki oleh bandar antariksa tersebut. Sebagai perbandingan biaya pembangunan bandar antariksa dapat dilihat dalam 53 Ibid Derek Weber, 2005, Hlm 5. Halaman | 49 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.4. dan jenis fasilitas yang ada di bandar antariksa dalam Tabel 2.5. berikut: Tabel 2.4. Biaya Pembangunan Spaceport54 No. Negara 1. Amerika 2. UAE 3. 4. Nama Biaya Spaceport US $ 225 Juta Amerika United Arab US $ 265 Juta Emirab Spaceport Mid Atlantic Regional Spaceport Singapore US $ 30 Juta in Upgrade to existing spaceport US $ 115 Juta Spaceport Singapore 555. Brazil Alcantara Center Spece US $ 470 Juta 656. Korea Selatan Naro Center Space US $ 500 Juta – 1M Sumber Pendanaan New Mexcico State Goverment Pemerintah dan Perusahaan Swasta Dukungan Pemerintah Virginia dan Maryland Pemerintah dan Perusahaan Swasta Pemerintah dan Perusahaan Swasta Pemerintah dan Perusahaan Swasta Greats Expectations, An Assessment of the Potential for Suborbital Transportation, International Space University, Final Report, Masters 2008, Hlm 65. 55 www.globalsecurity.org/space/world/brazil/alcantara.htm. 56 “Korea Starts Construction for Space Center,” SpaceDaily.com, August 12, 2003, http://www.spacedaily.com/news/korea-03b.html. 54 Halaman | 50 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.5 Fasilitas yang ada di Bandar Antariksa 57 Ibid. Derek Webber, Horses for Courses – Spaceport Types, International Space Development Conference, ISDC 2005, Washington DC, May 19-22 2005. Hlm 7. 57 Halaman | 51 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 78. Peluncuran wahana antariksa ditinjau dari lokasi peluncuran (”launching site”) secara umum dapat dilakukan dengan dua sistem. Pertama, sistem peluncuran statis, dan kedua, sistem peluncuran bergerak (dinamis). Pada tahun-tahun awal peluncuran wahana antariksa (1957) sebagian besar peluncuran satelit dengan menggunakan sistem pertama (statis). Kelebihan dari sistem peluncuran statis adalah berat roket maupun muatannya relatif tidak terbatas, namun memerlukan biaya pembangunan fasilitas yang sangat besar dan waktu persiapan/ pembangunan yang lebih lama. Sistem peluncuran dinamis dapat dilakukan dari darat (land based launching), dari laut/perairan (sea launch), dan dari udara (air launch). Sea launch dapat dilakukan dari kapal induk, kapal selam atau satu platform/rig yang terapung di lautan. Sedangkan sistem peluncuran dari udara (Air launch) dilakukan dari pesawat terbang yang mengudara pada satu ketinggian di lokasi yang ditentukan sesuai keperluannya (sesuai orbit yang dituju oleh muatannya). 79. Pada umumnya system peluncuran dinamis dapat dilakukan dari lokasi yang berpindah-pindah sesuai kebutuhan. Oleh karena itu sistem peluncuran jenis ini memiliki kekurangan yaitu berat dari roket dan muatannya akan menjadi terbatas (lebih ringan jika dibandingkan dengan sistem peluncuran statis), namun dapat lebih menghemat dalam pemakaian bahan bakar sehingga biaya peluncuran lebih ringan dan lifetime satelit dapat lebih panjang. Gambar 2.2. adalah proses peluncuran melalui Air Launch System, Gambar 2.3. peluncuran Sea launch, dan Gambar 2.4. Bandar Antariksa Kourou, French, Guiana. Gambar 2.2. Proses Peluncuran Satelit dengan Air Launch System58 Kresno Putro, “Tinjauan Beberapa Sistem Peluncuran Satelit Dengan Pesawat Udara (Air Launch Space Transportation System)”, 2008. 58 Halaman | 52 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Gambar 2.3. Peluncuran Sea Launch System59 Gambar 2.4. Bandar Antariksa Kourou, French, Guiana60 80. Pembangunan bandar antariksa merupakan salah satu sarana untuk mendorong penguasaan teknologi. Pembangunan bandar antariksa di samping memberikan manfaat ekonomi seperti halnya pembangunan bandar udara (airport), juga memberikan dampak positif untuk kepentingan pertahanan keamanan negara (effect deterrence). 81. Berdasarkan uraian paragraf 27 a (manfaat posisi geografis Indonesia bagi peluncuran wahana antariksa), paragraf 74, dan paragraf 77 (biaya dan fasilitas bandar antariksa), maka seandainya Indonesia membangun bandar antariksa tersebut perlu adanya serangkaian pengaturan terkait penyelenggaraan bandar antariksa tersebut. Penyelenggaraan bandar antariksa terkait dengan masalah mulai tahapan pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan serta aspek komersialnya. 82. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam UUK upaya pembangunan bandar antariksa sedapat mungkin dapat dilakukan dalam (secepat mungkin/waktu 10 tahun) dan sudah mampu meluncurkan satelit setelah 2 tahun pembangunannya. b. Wahana Peluncur Satelit 83. Teknologi wahana peluncur satelit atau dalam UUK disebut wahana peluncur adalah wahana antariksa yang ditujukan untuk menempatkan, meluncurkan dan mengantarkan benda antariksa dan benda lainnya di dan 59 60 Ibid. Existing and Proposed Spaceport, Part I 2002. Hlm 62. Ibid. Existing and Proposed Spaceport, Part I 2002. Hlm 66. Halaman | 53 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan ke antariksa. Dalam khasanah bahasa Indonesia wahana peluncur ini disebut dengan istilah roket, misil dan rudal untuk maksud yang sama. 84. Dalam kenyataannya roket ini dapat dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu61 : a. Wahana peluncur satelit seperti Proton, Soyuz (Rusia), Delta, Atlas, Ares (Amerika Serikat), Ariane (Eropa), Long March (China), GSLV, PSLV (India), Shavit (Israil). b. Roket Sonda (untuk tujuan Penelitian) seperti Nike, Super Loki (Amerika Serikat), Leopard (Inggeris), Rohini (India), Cirrus (Jerman), Kappa (Jepang), Canopus (Argentina), VS-40 (Brasil), Zenit (Swis), c. Roket Senjata, baik yang terkendali dan tidak terkendali. Tidak terkendali seperti Fajr-3/5 (Iran), Khaibar (Hisbullah), FFAR, R4M, AIR-2, terkendali (Misil Balistik) seperti Al Samoud 2 (Iraq), Sekuel SS, Minutemen, LGM-118A Peacekeeper, V-2, ScudA/B/C, No-Dong, Shahab62 . 85. Kemampuan penguasaan teknologi di bidang peroketan mempunyai arti penting bagi suatu Negara untuk:63 a. Menunjukkan keunggulan dan kemampuan bangsa di mata dunia. b. Menguasai teknologi strategis yg bersifat eksklusif dan prestis. c. Memperkuat format sistem pertahanan negara. 61A. Darmawan, “Jejak Roket Dunia” Disampaikan dalam: Lokakarya Pengembangan Kemampuan Nasional di Bidang Peroketan DRN-BPPT, 17 November 2008. 62 Bandingkan dengan Jürgen SCHEFFRAN, “Missiles in conflict: the issue of missiles in all its complexity”, 2007, yang mengambil sumber dari “Weapons of Mass Destruction Commission, 2006, Weapons of Terror: Freeing the World of Nuclear, Biological and Chemical Arms, Stockholm; The Issue of Missiles in All Its Aspects: Report of the Secretary-General,UN document A/57/229, 23 July 2002” yang memuat berbagai definisi terkait misil yaitu : (i) Rocket: a vehicle that obtains thrust by the ejection of fast-moving fluid. In military terms it is a self-propelled weapon without a guidance system (i.e. once fired, it cannot be redirected). Most rockets have a relatively short range and can carry only small payloads. (ii) Missile: an unmanned, self-propelled, self-contained, unrecallable, guided or unguided vehicle designed to deliver a weapon or other payload. (iii) Ballistic missile: a missile guided during powered flight and unguided during free flight, when the trajectory that it follows is subject only to the external influences of gravity and atmospheric drag. (iv) Cruise missile: a manoeuvrable missile that is propelled, usually at low altitudes, to its target by an air-breathing jet engine that operates throughout the flight. (v) Unmanned aerial vehicle (UAV): a pilotless aircraft with similar characteristics to a cruise missile; sometimes called a drone. (vi) Payloads: these can consist of conventional weapons (explosives, cluster bombs, etc.), or nuclear, biological and chemical weapons. (vii) Launching: missiles can be launched from land (hand-held or shoulder-fired, mobile erector, truck, train, silo), sea (ship and submarine), and air. (viii) Ranges are used to classify ballistic missiles: Shortrange ballistic missile (SRBM) = 70–1,000km, Medium-range ballistic missile (MRBM) = 1,000– 3,000km, Intermediate-range ballistic missile (IRBM) = 3,000–5,500km, Intercontinental ballistic missile (ICBM) = over 5,500km. 63 Ibid. A. Darmawan, 17 November 2008. Halaman | 54 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan d. e. f. Menjadikan sebuah negara disegani negara lain dan dipandang bermartabat dalam pergaulan internasional. Mendorong kemajuan iptek, yang mana selanjutnya bisa dimanfaatkan untuk mempertinggi kemakmuran bangsa. Untuk spin-off (misalnya. Dalam pembuatan roket pengorbit satelit), menghidupkan industri-industri pendukungnya. 86. Berdasarkan uraian paragraf 14 (wahana peluncur sebagai salah satu sistem keantariksaan), paragraf 29 (teknologi wahana peluncur sebagai salah satu teknologi guna ganda-dual uses), dan paragraf 84 s.d 85 (sifat dan jenis teknologi ini), maka penguasaan teknologi wahana peluncur oleh suatu negara akan diawasi (dikontrol) oleh masyarakat internasional terutama oleh negara maju yang telah menguasai teknologi tersebut. Pengontrolan ini dilakukan mulai dari tahapan program (program planning) sampai kepada pengguna akhir (end users) berdasarkan suatu regim yang dibentuk oleh kelompok negara tertentu yaitu Missile Technology Control Regime (MTCR)64. MTCR mewajibkan negara-negara anggotanya untuk mengatur dalam hukum nasionalnya mengenai pengawasan dan pengendalian terkait teknologi misil65. 87. Selain MTCR sebagaimana dimuat paragraf 86 juga terdapat Resolution 1540 (2004) yang disahkan oleh Dewan Keamanan pada sidang ke 4956, tanggal 28 April 2004. Resolusi ini memuat materi antara lain, bahwa semua Negara agar mengambil langkah dan penerapan efektif untuk mengendalikan dan mencegah penyebaran senjata nuklir, kimia dan biologi serta sistem pengantarnya (dhi. Misil), termasuk material terkait padanya dalam hal-hal66: a. Develop and maintain appropriate effective measures to account for and secure such items in production, use, storage or transport; b. Develop and maintain appropriate effective physical protection measures; Lihat, Missile Technology Control Regime, 1987. Saat ini, keanggotaan regime ini berkembang menjadi 34 negara anggota yaitu : Distributed by the Bureau of International Information Programs, U.S. Department of State. 34 negara anggota MTCR dan tahun masuk menjadi anggota adalah: (1) Argentina - 11/93, (2) Australia - 07/90, (3) Austria 02/91 (4). Belgium - 04/90 (5) Brazil - 10/95 (6) Bulgaria - 06/04 (7). Canada - 04/87 (8) Czech Republic - 07/98, (9) Denmark - 11/90, (10) Finland - 09/91, (11) France - 04/87, (12) Germany - 04/87, (13) Greece - 06/92, (14) Hungary - 11/93, (15) Iceland - 02/93, (16) Ireland - 06/92, (17) Italy - 04/87, (18) Japan - 04/87, (19) Luxembourg - 04/90, (20) Netherlands - 04/90, (21) New Zealand - 01/91, (22) Norway - 01/91, (23) Poland - 07/98, (24) Portugal - 05/92, (25) Russia - 08/95, (26) South Africa - 09/95, (27) South Korea 04/01, (28) Spain - 09/89, (29) Sweden - 09/91, (30) Switzerland - 05/92, (31) Turkey 04/97, (32) Ukraine - 07/98, (33) United Kingdom - 04/87, (34) United States - 04/87. Di samping itu, terdapat 3 negara yang Adherents to the MTCR, yaitu (1) Israel - 01/92, (2) Romania - 09/92, (3) Slovakia - 01/94. 65 Paragraf 7 Missile Technology Control Regime, 1987 66 Resolution 1540 (2004) yang disahkan oleh Dewan Keamanan pada sidang ke 4956, tanggal 28 April 2004, para 3. 64 Halaman | 55 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. d. Develop and maintain appropriate effective border controls and law enforcement efforts to detect, deter, prevent and combat, including through international cooperation when necessary, the illicit trafficking and brokering in such items in accordance with their national legal authorities and legislation and consistent with international law; Establish, develop, review and maintain appropriate effective national export and trans-shipment controls over such items, including appropriate laws and regulations to control export, transit, trans-shipment and re-export and controls on providing funds and services related to such export and trans-shipment such as financing, and transporting that would contribute to proliferation, as well as establishing end-user controls; and establishing and enforcing appropriate criminal or civil penalties for violations of such export control laws and regulations; 88. Berbeda halnya dengan penguasaan teknologi satelit yang relatif mudah diperoleh melalui alih teknologi, penguasaan teknologi roket relatif sulit. Berbagai perjanjian multilateral seperti Missile Technology Control Regime (MTCR) dan perundang-undangan nasional pemilik teknologi roket (Amerika Serikat dengan Shutter Control) telah dirasakan oleh negaranegara berkembang sangat menghambat alih teknologi roket. Adanya hambatan oleh pemilik teknologi roket dikarenakan adanya keraguan apabila telah mempunyai kemampuan meluncurkan roket yang mampu meluncurkan wahana antariksa (satelit dan muatan lain) baik ke LEO maupun MEO pasti mempunyai kemampuan untuk membuat IRBM, dan yang mempunyai kemampuan meluncurkan ke GSO pasti mempunyai kemampuan membuat ICBM. Selain itu, teknologi roket yang di dalamnya terkandung teknologi misil balistik untuk kepentingan militer, wahana antariksa (satelit, anjungan dan stasiun) juga dapat digunakan untuk kepentingan militer. Tabel 2.6. berikut menunjukan beberapa contoh teknologi keantariksaan yang bersifat guna ganda (dual uses). Halaman | 56 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.667 Beberapa Contoh Teknologi Keantariksaan yang bersifat guna ganda (dual uses) 89. Di lihat dari sisi Indonesia, berdasarkan paragraf 31 butir b. 1) dan 2) (perjanjian regional dan bilateral yang telah ditandatangani Indonesia dan salah satu di antaranya telah diratifikasi), beberapa perjanjian tersebut mensyaratkan agar Indonesia membuat pengaturan nasional tentang pengendalian ekspor terkait teknologi keantariksaan68. 90. Dalam pengaturan nasional tersebut, hendaknya pemerintah mampu menjamin pengawasan dan pengendalian terhadap teknologi keantariksaan terutama aspek keamanannya untuk tidak jatuh ketangan pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang dapat menimbulkan bentuk-bentuk ancaman sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.5. berikut 69: 67 Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, Project on The Commercialisation of Space and the Development of Space Infrastructure: The Role of Public and Private Actors, 7th May 2004, hlm 22. 68 Pasal 23 Convention of the Asia-Pacific Space Cooperation Organization, dan Pasal 13 Agreement Between the Government of the Republic of Indonesia and the Government of the Russian Federation on Cooperation in the Field of Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purposes, ditandatangani 1 Desember 2006. 69 Report Independent Working Group on Missile Defense, the Space Relationship, & the Twenty-First Century, The Institute for Foreign Policy Analysis, 2009. Halaman | 57 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Gambar 2.5. Bentuk Ancaman Teknologi Antariksa 91. Di samping itu, sehubungan dengan pengawasan dan pengendalian yang sangat ketat dari negara-negara maju terkait masalah teknologi ini, maka pada umumnya negara-negara yang ingin menguasai dan memperoleh teknologi ini, banyak mengupayakan perolehannya melalui pasar gelap (black market). Sehubungan dengan hal ini, maka sistem pengadaan barang dan jasa sesuai dengan ketentuan di Indonesia70 dapat menghambat perolehan teknologi ini. 92. Berdasarkan paragraf 77 s.d 85 dan dengan memperhatikan Pasal 8 Undang-Undang 10 tahun 2004 71 (materi muatan peraturan perundangundangan terkait masalah keamanan dan wilayah negara), serta untuk mengamankan kepentingan Indonesia, maka khusus materi mengenai masalah ini dalam UUK diamanatkan untuk diatur dengan Undang-Undang tersendiri yaitu Undang-Undang Tentang Pengawasan dan Pengendalian Lintas Batas Teknologi Antariksa. c. Satelit untuk kepentingan Umum 93. Di ruas antariksa, juga terdapat wahana antariksa yang disebut satelit yang ditempatkan di orbit sekeliling bumi. Sebagaimana telah Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2003 Tentang Pengadaan Barang dan Jasa. 71 Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 menyatakan : Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi hal-hal yang: a. mengatur lebih lanjut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang meliputi: 1. hak-hak asasi manusia; 2. hak dan kewajiban warga negara; 3. pelaksanaan dan penegakan kedaulatan negara serta pembagian kekuasaan negara; 4. wilayah negara dan pembagian daerah; 5. kewarganegaraan dan kependudukan; 6. keuangan negara, b. diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang. 70 Halaman | 58 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan disampaikan sepintas di atas bahwa fungsi satelit adalah sebagai pembawa muatan peralatan yang disesuaikan dengan misi dari satelit tersebut . Beberapa misi satelit yang telah banyak dimanfaatkan saat ini adalah untuk kepentingan telekomunikasi, penyiaran, penginderaan jauh, meteorologi, satelit mata-mata, navigasi dan penelitian, bahkan untuk kepentingan militer lainnya seperti perang antar satelit atau satelit penghancur. Secara garis besar sistem satelit terdiri dari beberapa bagian yaitu: a. Sub-sistem struktur dan mekanisme b. Sub-sistem daya c. Sub-sistem stabilisasi dan kontrol orbit d. Sub-sistem Tracking, telemetry & command (TT& C) e. Sub-sistem Propulsi f. Sub-sistem Thermal Control g. Sub-sistem Radio Frekuensi dan Antenna. 94. Beberapa contoh satelit yang dikenal dan telah beroperasi selama ini, antara lain : a. Satelit Palapa milik Indonesia b. Satelit Intelsat, yang dioperasikan secara internasional oleh Intelsat International. c. Satelit Inmarsat, yang dioperasikan juga secara internasional untuk kepentingan navigasi dan telekomunikasi maritim . d. Satelit “Thaicom” milik Thailand (Muangthai) e. Satelit “Measat” milik Malaysia f. Satelit “Aussat” milik Australia g. Satelit “Arabsat” milik negara negara Arab h. Satelit “PanAmSat” milik Amerika Serikat j. Satelit “Westar” milik Kanada k. Satelit “Kopernicus” milik Jerman l. Satelit “Stasioner” milik Federasi Rusia m. Satelit “China Sat” milik RRC n. Satelit “Yuri” milik Jepang. 95. Selain satelit-satelit tersebut di atas masih banyak satelit-satelit lainnya yang telah dan masih beroperasi di orbitnya masing-masing, baik yang berada pada orbit rendah (Low Earth Orbit), orbit menengah (Medium Earth Orbit)/ICO dan orbit geo-stasioner (Geo Stationary Earth Orbit-GEO). 96. Sebagaimana bidang-bidang lainnya, hasil kegiatan keantariksaan telah memberikan kontribusi yang besar dalam dunia pendidikan. Hal ini juga tidak dapat dipungkiri bahwa pada saat ini semua negara dalam melakukan kegiatan pendidikan tidak bisa terlepas dari hasil kegiatan keantariksaan. Di Indonesia pemanfaatan teknologi antariksa telah digunakan untuk Sistem Pembelajaran Jarak Jauh yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Universitas Terbuka. Halaman | 59 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 97. Pada saat ini, pemanfaatan teknologi antariksa melalui penggunaan VSAT (Very Small Aperture Terminal) telah dapat dilakukan kegiatankegiatan terkait dengan pendidikan antara lain korespondensi ilmiah jarak jauh, update teknologi, belajar jarak jauh, akses jarak jauh ke perpustakaan, video conference, dan data broadcast. 98. Di samping itu, kegiatan keantariksaan dalam bidang pelayanan kesehatan pada saat ini dikenal dengan istilah telehealth atau telemedicine (pelayanan kesehatan atau pengobatan jarak jauh). Di negara-negara yang teknologi antariksa sudah maju telah memanfaatkan teknologi ini untuk pelayanan kesehatan. Teknologi antariksa, seperti teknologi satelit komunikasi yang dapat menjangkau daerah yang luas sampai ke pelosokpelosok daerah dapat diubah data digitalnya untuk akses pelayanan medis, pelatihan dokter, perawat, dan pelayanan kesehatan. 99. Beberapa contoh negara yang telah memanfaatkan teknologi antariksa untuk pelayanan kesehatan antara lain adalah India, Jepang, dan Tailand. India dalam hal ini Indian Space Research Organization (ISRO), memulai proyek teknologi antariksa untuk pelayanan kesehatan pada tahun 2001. Pembangunan proyek di lakukan di rumah-rumah sakit yang berada di daerah terpencil yang sukar dijangkau dengan cepat, antara lain seperti di daerah pantai Pulau Andaman, Nocobar, dan Lakshadweep, daerah pegunungan Jamnu & Kashmir. Dari kegiatan ini, lebih dari 12.500 pasien telah dapat melakukan telekonsultasi kesehatan tanpa harus pergi ke dokter atau rumah sakit yang ada di kota. Di Jepang teknologi antariksa untuk pelayanan kesehatan juga diterapkan untuk daerah-daerah terpencil. Pelayanan kesehatan yang dilakukan antara lain adalah teleradiologi, telekonsultasi, dan telepathologi. Sedangkan di Thailand, karena banyak dokter spesialis yang tidak suka mengembangkan prakteknya di pedesaan, maka pemerintah Thailand memanfaatkan teknologi antariksa dengan menggunakan satelit Thaicom-1 untuk pelayanan kesehatan antara lain adalah untuk konsultasi medis, video conference, konsultasi store & forward. 100. Indonesia yang mempunyai wilayah cukup luas dan sulit dijangkau, masih banyak daerah-daerah yang tidak memiliki paramedis dan fasilitas pelayanan kesehatan yang cukup. Dengan menilik pengalaman-pengalaman yang dilakukan oleh India, Jepang, Thailand atau negara-negara maju lainnya, pemanfaatan teknologi antariksa khususnya teknologi satelit komunikasi sangat bermanfaat bagi pelayanan kesehatan 101. Sehubungan dengan paragraf 94 s.d 98, satelit untuk kepentingan pemanfaatan telekomunikasi dan penyiaran telah dioperasikan oleh pihak swasta. Oleh karena itu dalam UUK satelit yang akan disiapkan dan dioperasikan oleh LAPAN adalah satelit untuk pelayanan kepentingan umum, seperti untuk pendidikan jarak jauh (tele-education) dan kesehatan Halaman | 60 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan jarak jauh (tele-health) serta untuk melayani kebutuhan militer, karena satelit jenis ini tidak diminati oleh pihak swasta. d. Sistem Transportasi Antariksa 102. Sistem transportasi antariksa dibagi dalam 2 (dua) bentuk yaitu (i) sistem satu jalur tak berawak (unmanned one-way systems) lebih dikenal dengan Expendable Launch Vehicles (ELV) dan (ii) sistem dua jalur yang dapat digunakan kembali baik berawak maupun tak berawak (two-way reusable manned or unmanned systems) lebih dikenal dengan Reuseable Launch Vehicles (RLV)72. Kedua system tersebut mempunyai persyaratan, sifat dan jenis teknologi yang berbeda. Beberapa contoh jenis ELV adalah Ariane-5 (Eropa), Delta-4, Atlas-5 (Amerika Serikat), Proton dan Soyuz (Federasi Rusia), Zenit (Ukraina), H2A (Jepang), PSLV dan GSLV (India), dan Long March (China). RLV terdiri dari 3 jenis yaitu (i) Non-reusable recoverable orbital systems. (ii) Reusable (partly or totally) recoverable orbital systems dan (iii) Suborbital reusable systems 73. Beberapa contoh RLV adalah Columbia, Challenger, Discovery dan Atlantis. Challenger telah meledak ketika proses peluncuran pada tahun 1986, dan akhirnya dibuat Endeavour sebagai penggantinya. Sedangkan Columbia meledak ketika proses memasuki atmosfer bumi pada tahun 2003 74. Jenis sistem transportasi antariksa ELV dan RLV sebagaimana terlihat dalam Gambar 2.6 dan 2.7. Gambar 2.7 Gambar 2.6 Sistem Transportasi Antariksa RLV Sistem Transportasi Antariksa ELV (Jenis Space Shuttle) (Jenis Roket) 72 73 74 OECD, Space 2030, Exploring The Future of Space Applications, 2004, hlm 144. Ibid. OECD, Space 2030, Exploring The Future of Space Applications, 2004, hlm 144 www.nasa. gov Halaman | 61 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 103. Jenis transportasi yang RLV (space shuttle) dapat diluncurkan dengan dua cara, yaitu: (i) dengan roket pendorong, dan (ii) dengan diangkut oleh suatu pesawat berbadan besar seperti Boeing 747. Setelah pisah dengan roket pendorong atau pesawat yang mengangkutnya, Space Shuttle memiliki sifat seperti pesawat udara, yaitu dapat terbang di udara dan apabila akan mendarat dimungkinkan dapat melintas di atas wilayah udara suatu negara. Gambar 2.8 menunjukkan profil dari suatu misi Space Shuttle yang diluncurkan menggunakan roket pendorong, Gambar 2.9 Space Shuttle yang diluncurkan menggunakan pesawat udara dan Gambar 2.10 Space Shuttle Atlantis Sedang Terbang Menurun Untuk Pendaratan. Gambar 2.8 Profil Misi Space Shuttle75 Gambar 2.9: Space Shuttle Atlantis Diluncurkan Dengan Pesawat Boeing 747 75 Gambar 2.10: Space Shuttle Atlantis Sedang Terbang Menurun Untuk Pendaratan “Space Shutlle”, 2010 (last modified), http://en.wikipedia.org/wiki/Space_Shuttle. Halaman | 62 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 104. Sistem transportasi antariksa baik jenis ELV maupun RLV masingmasing memiliki kemampuan daya angkut yang berbeda. Daya angkut ini dikelompokkan ke dalam empat kelas, yaitu: (i) kelas peluncur berat (Heavy Lift Launch Vehicles = HLLV), (ii) kelas peluncur besar (Large Launch Vehicles = LLV), (iii) kelas peluncur menengah (Medium Launch Vehicles = MLV), dan (iv) kelas peluncur kecil (Small Launch Vehicles = SLV). Dalam Tabel-1 ditunjukkan klasifikasi kemampuan daya angkut masing-masing kelas ke Low Earth Orbit (LEO) dan Geosynchronous Transfer Orbit (GTO). Tabel 2.7. Kemampuan Sistem Transportasi Kelas HLLV LLV MLV SLV Kemampuan (kg) LEO GTO > 10.000 > 5.000 5.000 – 2.000 – 10.000 5.000 2.000 – 1.000 - 2000 5.000 < 2.000 < 1.000 105. Sistem transportasi antariksa yang diklasifikasikan ke dalam peluncur berat adalah Ariane-5, Proton D1e/D1, Titan III, Titan IV, Zenit, Zenit Sealaunch, dan Space Shuttle. Kelas peluncur besar adalah Ariane 44L, Atlas II AS, Long March LM-2E, Long March LM-3A, H-II, dan GSLV. Kelas peluncur menengah adalah DELTA-II 6925, DELTA-II 7925, LMLV, Long March LM-3, PSLV, Tsyklon, dan Molniya. Sedangkan kelas peluncur kecil adalah ASLV, SLV-3, Start, Taurus, Cosmos, Rockot, Athena-1, Athena-2, OSP, Pegasus-XL, dan Conestoga. 106. Sehubungan dengan RLV, pada saat pembahasan masalah Definisi dan Delimitasi Antariksa, terdapat usulan Federasi Rusia mengenai ”legal aspect of aerospace object”. Sunguhpun belum terdapat kesepakatan tentang definisi Aerospace object, namun telah ada kesepahaman bahwa Aerospace object merupakan benda antariksa buatan manusia yang mampu meluncur seperti roket dan terbang bermanuver seperti pesawat udara. Beberapa jenis aerospace object yang akan dikembangkan oleh negaranegara dimasa depan adalah Hermes (ESA), Hotol (Inggeris), Hope (Jepang), Sanger (Jerman) dan NASP (Amerika Serikat), yang semuanya dalam proses perencanaan dan ada yang karena masalah keuangan dibatalkan. 107. Berbeda dengan maksud uraian paragraf 102-103 (wahana peluncur satelit yang hanya tergolong ELV), pada bagian ini lebih difokuskan pada RLV dengan bentuk perkembangan masa depan (konvergensi) sebagaimana tersebut dalam paragraf 100. Halaman | 63 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 108. Dengan asumsi bahwa aerospace object menggunakan teknologi yang bersifat RLV yang telah dikonvergensi sehingga juga mampu bergerak seperti pesawat udara yang berkecepatan tinggi, maka sehubungan dengan ini UUK merekomendasikan agar Indonesia perlu mengupayakan penguasaan teknologi penerbangan berkecepatan tinggi (di atas 6 mach) yang bertujuan untuk melengkapi cikal bakal penguasaan teknologi aerospace obeject dimaksud. Rumusan dalam UUK tersebut juga sekaligus merupakan antisipasi pengaturan tindak lanjut dari aerospace obeject dimasa datang. e. Penjalaran (Spin-off) Teknologi Keantariksaan 109. Berdasarkan data NASA, spin-off adalah suatu teknologi yang telah dikomersialisasikan melalui pendanaan, penelitian, lisensi, fasilitas, atau bantuan NASA76. 110. Saat ini, Spin-offs aplikasi teknologi keantariksaan telah menghasilkan sejumlah produk untuk berbagai sektor, yaitu: human resource development, environmental monitoring, natural resource management, public health, medicine and public safety, telecommunications, computers and information technology, industrial productivity and manufacturing technology and transportation Secara lengkap sejumlah indikator spin-offs dari aplikasi teknologi keantariksaan dapat dilihat pada Tabel 2.8. dibawah ini77 . Tabel 2.8 Some examples of space technology spin-offs 1 Environment 2 Health care - Hazardous gas detectors Pollution-control devices Wind generators Sewage-treatment systems Image-processing software Oil spill clean-up Patient-monitoring systems Portable X-ray equipment Physical therapy equipment Invisible dental braces New pharmaceuticals Scratch-resistant lenses A NASA spin-off is a technology that has been commercialized through NASA funding, research, licensing, facilities, or assistance. NASA also publishes an annual journal titled Spinoff which features products whose development can be linked to NASA, for example through NASA funding (such as SBIR or STTR awards), licensing (from NASA patents), facilities (such as product testing at NASA facilities), NASA assistance (such as former NASA scientists helping to design a product), or NASA research. 77 Commercial Aspects of Space Exploration, including Spin-off Benefits, UNISPACE III Background Paper 7, A/CONF.184/BP/7, 27 May 1998 76 Halaman | 64 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 3 Industrial productivity 4 Public safety 5 Transportation 6 Computer technology 7 Advanced materials 8 Construction 9 Consumer and home products - Cable testers Laser technologies Wood-bond testing Inspection tools Industrial robotics Industrial control systems Fire-fighting systems Cathode-ray tube filter lenses Radiation blocking Noise-reduction technology Traffic-monitoring systems Aircraft de-icing systems Car airbags Car anti-lock braking systems Electromagnetic compatibility test facilities Expert system software Software management systems Data-acquisition systems Error-free software Image-compression devices Composite materials Dry lubricants Teflon and non-stick coatings High-temperature coatings Metal coatings Plasma-heating devices Energy-efficient coatings Accurate surveying Computer-aided design/manufacturing enhancements Lightweight structures Analysis software Piping connectors Redundancy flashlight systems Art preservation Velcro fasteners Cordless tools Tang orange drink Water filters 111. Khusus NASA, telah menginformasikan bahwa terdapat 24 produk NASA yang merupakan spin-off teknologi keantariksaan yaitu 78: a. Bidang kesehatan dan obat-obatan yaitu (1) Light-emitting diodes (LEDs), (2) Infrared ear thermometers (3) Ventricular assist device, dan (4) Artificial limbs; 78 NASA technology spin-off. Halaman | 65 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. c. d. e. f. g. Bidang Transportasi yaitu (5) Aircraft anti-icing systems, (6) Highway safety, (7) Improved radial tires, dan (8) Chemical detection. Keselamatan umum yaitu (9) Video enhancing and analysis systems, (10) Fire-resistant reinforcement, dan (11) Firefighting equipment. Consumer, home, and recreation yaitu (12) Tempur foam, (13) Enriched baby food (14) Portable cordless vacuums, dan (15) Freeze drying. Environmental and agricultural resources yaitu (16) Water purification, (17) Solar energy, dan (18) Pollution remediation. Computer technology yaitu (19) Virtual reality research, (20) Structural analysis software, dan (21) Remotely controlled ovens. Industrial productivity yaitu (22) Powdered lubricants, (23) Improved mine safety, dan (24) Food safety. 112. Berdasarkan perkembangan tersebut di atas, untuk masa yang akan datang akan banyak berkembang spin-off teknologi keantariksaan dan kegiatan lain yang dibantu oleh teknologi keantariksaan. Oleh karena itu, dalam UUK perlu diamanatkan bahwa masalah spin-off teknologi keantariksaan perlu diatur kemudian. 3. Peluncuran Wahana Antariksa 113. Sehubungan dengan uraian paragraf 69-76 (Pembangunan lokasi untuk Bandar antariksa) dan paragraf 77-86 (Teknologi Wahana Peluncur Satelit), paragraf 96-102, (Sistem Transportasi Antariksa masa depan), maka semua kegiatan yang dilakukan terkait ketiga hal tersebut dapat dilakukan di luar negeri, di dalam negeri dan dalam bentuk uji coba peluncuran. 114. Mengingat uraian sebagaimana dimaksud paragraph 113 di atas, dan sesuai dengan Pasal VI Traktat Antariksa 1967, maka semua kegiatan tersebut menjadi “tanggung jawab Negara secara internasional”. Di samping itu, mengingat kharakteristik dan sifat penyelenggaraan keantariksaan yang berisiko tinggi maka semua penyelenggaraannya harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu sebagai berikut : a. keamanan dan keselamatan; b. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi; c. sumber daya manusia keantariksaan yang profesional; d. manfaat, efektivitas dan efisiensi; e. keandalan sarana dan prarana keantariksaan; f. perlindungan dan pelestarian fungsi lingkungan; g. ketentuan nasional yang berlaku dan perjanjian internasional dimana Indonesia menjadi Pihak. Halaman | 66 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 115. Sehubungan dengan pemenuhan persyaratan tersebut, maka dalam UUK diamanatkan agar semua penyelenggaraan keantariksaan khususnya peluncuran wahana antariksa wajib memperoleh ijin Menteri. Khusus dalam hal uji coba, yang bertujuan untuk pengembangan penguasaan teknologi keantariksaan maka pelaksanaannya dilakukan untuk dan atas nama pemerintah RI (dhi. LAPAN). 4. Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan 116. Saat ini telah terdapat berbagai bentuk pemanfaatan teknologi antariksa untuk berbagai keperluan yaitu : Telekomunikasi, Penyiaran, Penginderaan Jauh, Mitigasi Bencana, Geoposisi dan Navigasi, Komersialisasi Keantariksaan. a. Telekomunikasi 117. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya79. 118. Dewasa ini telah terdapat berbagai bentuk penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan sebagaimana dimuat dalam Tabel 2.9. pengembangan telekomunikasi Tabel 2.9. Bentuk Aplikasi Pemanfaatan Telekomunikasi80 119. Pemanfaatan keantariksaan untuk kepentingan telekomunikasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Undang-Undang ini telah mempunyai serangkaian peraturan pelaksanaan antara lain sebagai berikut : 79 80 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, 7th May 2004, hlm 25. Halaman | 67 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Orbit dan Spektrum Frekuensi Radio. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Keputusan Menteri Perhubungan Nomor : Km. 31 Tahun 2003 Tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 37 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 13/P/M.Kominfo/8/2005 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan Satelit. Peraturan Direktur Jenderal Pos Dan Telekomunikasi Nomor : 357/Dirjen/2006 Tentang Penerbitan Izin Stasiun Radio Untuk Penyelenggaraan Telekomunikasi Yang Menggunakan Satelit. Keputusan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 01/ Kep/ M.Kominfo/ 1/2006 Tentang Penetapan Anggota Komite Regulasi Telekomunikasi (KRT) Pada Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI). Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor : 02/Per/M.Kominfo/3/2008 Tentang Pedoman Pembangunan Dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor: 22/P/M.Kominfo/4/2007 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 08/P/M.Kominfo/3/2007 Tentang Tata Cara Perizinan Dan Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Swasta. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor : 36/Per/ M.Kominfo/10 /2008 Tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor: 31/PermenKominfo/I/81/2009 Tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Nomor; 361 Perkominfo No 01/2008 Tentang Penetapan Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia. 120. Sehubungan dengan uraian paragraph 118 dan 119 di atas, maka UUK tidak akan mengatur pemanfaatan antariksa untuk kepentingan telekomunikasi ini. Oleh karena itu, UUK hanya mengamanatkan bahwa Halaman | 68 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan telekomunikasi diatur oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Penyiaran 121. Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran81. 122. Penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan penyiaran telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Di samping itu, Undang-Undang ini juga merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). Semangatnya adalah pengelolaan sistem penyiaran yang merupakan ranah publik harus dikelola oleh sebuah badan independen yang bebas dari campur tangan pemodal maupun kepentingan kekuasaan. Apabila ditelaah secara mendalam, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran lahir dengan dua semangat utama, pertama pengelolaan sistem penyiaran harus bebas dari berbagai kepentingan karena penyiaran merupakan ranah publik dan digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik. Kedua adalah semangat untuk menguatkan entitas lokal dalam semangat otonomi daerah dengan pemberlakuan sistem siaran berjaringan. 123. Saat ini, telah terdapat serangkai peraturan pelaksanaan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2002 antara lain : a. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Publik. b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2005 Tentang Penyelenggaraan Penyiaran Lembaga Penyiaran Komunitas. c. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 3/P/KPI/08/2006 Tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran. d. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 3/P/KPI/08/2006 Tentang Izin Penyelenggaraan Penyiaran. e. Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika Republik Indonesia Nomor: 28 /P/M.Kominfo/09/2008 Tentang Tata Cara Dan Persyaratan Perizinan Penyelenggaraan Penyiaran. f. Peraturan Komisi Penyiaran Indonesia Nomor 01/P/KPI/05/2009 Tentang Kelembagaan Komisi Penyiaran Indonesia 124. Secara internasional terdapat resolusi Majelis Umum yang mengatur masalah penyiaran yaitu UNGA Resolution mengenai Principles Governing 81 Pasal 1 angka 2, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. Halaman | 69 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan the Use by States of Artificial Earth Satellites for International Direct Television Broadcasting, dikenal dengan Prinsip-prinsip hukum Siaran Langsung Melalui Satelit. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya meliputi: a. maksud dan tujuan; b. berlakunya ketentuan-ketentuan hukum internasional; c. hak-hak dan manfaat; d. kerjasama internasional; e. penyelesaian sengketa secara damai; f. tanggung jawab Negara; g. hak dan kewajiban untuk berkonsultasi; h. hak cipta dan hak-hak yang terkait; i. pemberitahuan kepada PBB; j. konsultasi dan persetujuan antar Negara; 125. Sungguhpun saat ini telah terdapat aturan internasional mengenai penyiaran namun ketentuan tersebut belum berlaku sebagai hukum positif. Oleh karena itu, mengingat bahwa masalah penyiaran sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional, maka dalam UUK masalah ini tidak diatur tetapi hanya diamanatkan bahwa penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan penyiaran diatur sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. c. Penginderaan Jauh 126. Pada awal kehadirannya teknologi Inderaja Satelit diperuntukkan bagi kegiatan dan operasi militer. Namun dalam tahap-tahap perkembangan selanjutnya pemanfaatannya lebih banyak diarahkan kepada kepentingan pembangunan di segala bidang. Kemajuan yang dicapai dalam teknologi Inderaja ini telah mampu menyajikan macammacam data atau informasi spasial yang semakin akurat. Bahkan informasi produk Inderaja tersebut tidak saja mengenai segala sesuatu yang ada di muka bumi, melainkan juga potensi sumber daya tambang yang ada diperut bumi dan kedalaman laut. Hingga saat ini teknologi Inderaja telah mengalami beberapa tahap perkembangan. Berawal dari pengamatan jarak dekat melalui wahana helikopter, kemudian dengan pesawat terbang sayap tetap, selanjutnya dengan balon udara dan sekarang dengan wahana satelit yang mengorbit pada ketinggian ratusan hingga ribuan kilometer dari permukaan bumi, yang jumlahnya semakin bertambah, demikian juga kemampuannya. 127. Teknologi penginderaan jauh ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain: a. Pemanfaatannya telah dapat menyajikan informasi geografi dari suatu liputan wilayah yang luas dalam waktu relatif singkat. Halaman | 70 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. c. d. e. Telah terjalin kerjasama dengan semua pemilik satelit dan mendapat beberapa kemudahan seperti pinjaman alat, bantuan teknologi dan lain-lain. Dengan teknologi ini pemutakhiran data dapat dilakukan secara periodik dengan siklus waktu yang singkat bahkan setiap saat biIamana diperlukan. Kemajuan teknologi Inderaja yang dapat diintegrasikan dengan teknologi informasi dan komputer sehingga memungkinkan pemanfaatannya dalam bidang-bidang yang semakin luas. Kemajuannya yang pesat di bidang resolusi spasial, dimana sekarang telah mencapai kurang dari 1 meter memungkinkan kedepan citra satelit digunakan sebagai bahan pembuatan peta topografi dan peta tematik skala besar. Saat ini rekaman citra satelit telah dapat mengidentifikasi benda dengan ukuran 1 x 1 m (contoh : Citra Satelit Ikonos-2). (ketika resolusi spasial citra satelit sudah mencapai < 1 m). 128. Pada saat ini di dunia telah ada beberapa satelit Inderaja. Beberapa diantaranya telah dan akan dimanfaatkan Indonesia, yaitu : a. Landsat milik USA. Landsat sampai saat ini telah sampai pada generasi ketujuh sesuai dengan kemampuan resolusinya dibedakan atas tipe MSS (Multi Spectral Scanner) yang beresolusi 80 m dan tipe TM (Thematic Mapper) yang beresolusi 30 m (pada landsat-5 dan Landsat-7). Landsat adalah pengembangan dari ERTS (Earth Resources Technology Satellite). b. Satelit SPOT. Satelit SPOT milik Perancis yang diluncurkan tahun 1986 dan beredar pada ketinggian 830 km cakupan ulang pada daerah yang sama setiap 16 hari, SPOT memiliki dua sensor (HRV1 dan HRV2). Kamampuan lebar cakupan 60-80 km. c. Satelit Radar SAR (Synthetic Aperture Radar). atau Radarsar adalah milik Kanada (Canadian Space Agency), pengoperasiannya dikontrol dari stasiun bumi yang ada di Prince Albert, Saskatchevan. Quebec. Kelebihan satelit dengan sensor SAR dapat menembus awan dan kegelapan malam serta mampu menampilkan data stereoskopis, pengulangan orbit setiap 24 hari. d. Satelit ERS (Earth Resources Satellite. Satelit ini dibangun dan dikembangkan oleh ESA (European Space Agency). Terdiri dari ERS-1 dan ERS-2, merupakan satelit sumberdaya alam. Keduanya mengorbit pada trek orbit yang sama, yaitu orbit polar yang membawa sensor SAR sehingga memiliki kemampuan seperti Radarsat82. e. Advanced Land Observing Satellite (ALOS), atau dalam bahasa Jepang disebut Daichi, adalah satelit yang diluncurkan oleh Japan Aerospace Exploration Agency pada 24 Januari 2006. 82 Sitanggang, G., 1998 Halaman | 71 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Daichi ini memiliki ukuran panjang 4,5 m x lebar 3,5 m x tinggi 6,5 m, dengan massa sekitar 4 ton. Dengan ukuran tersebut, satelit ini merupakan salah satu satelit terbesar di antara Land Observing Satellites. ALOS memiliki tiga instrumen sensor utama. Pertama, PRISM, yaitu sebuah panchromatic radiometer dengan resolusi spasial bertujuan memperoleh data termasuk mengenai elevasi. Kedua adalah AVNIR-2, sensor ini dapat terlihat dan merupakan near-infrared radiometer, berfungsi untuk mengamati daratan dan zona pantai, serta memberikan resolusi spasial yang lebih baik. Ketiga yakni PALSAR, adalah tipe bentuk susunan Lband Synthetic Aperture Radar, yang merupakan sensor microwave aktif untuk observasi di hari cerah, siang hari, dan malam hari. 129. Di samping itu, dalam sidang-sidang UNCOPUOS terdapat informasi tentang perkembangan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh sebagai berikut83: a. Adanya peningkatan sejumlah sensor berbasis antariksa yang ada dan yang direncanakan untuk masa datang, seperti sensor yang dibawa oleh satelit seperti ADEOS-II (MIDORI-II), ALOS, Aqua, Aquarius/SAC-D, CALIPSO, CARTOSAT-1, CBERS-2B, CBERS-3,CBERS-4, COMS, EOS, Envisat, GCOM, GOES, IRS1C, IRS-1D, IRS-P3, Jason 2, KOMPSAT-2, KOMPSAT-3, Landsat-5, Landsat-7, Metop, NPOESS, NigeriaSat-1, NigeriaSat2, OCEANSAT-1, OCEANSAT-3, Odin, PARASOL, RADARSAT, RESOURCESAT-1, SPOT, SSR, Terra, TS, TRMM, dll; b. Sejumlah proyek-proyek internasional di bidang pemanfaatan teknologi satelit telah berlangsung dan ditujukan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan, seperti program ALTIKA, EOPA (the Earth Observation Partnership of the Americas, TIGER (the ESA Terrestrial Initiative of Global Environmental Research, Sentinel-Asia, CBERS (kerja sama China dan Brazil); c. Terdapat tiga negara di ASIA yang sangat maju dalam pengembangan teknologi antariksa (termasuk teknologi penginderaan jauh) yaitu: Jepang (APRSAF); China (APSCO);India (Bilateral); d. Amerika merencanakan meluncurkan Landsat-8 (skala s/d 1: 50.000) for free; Resolusi tinggi: Ikonos, Quickbird, Geo Eye urusan swasta. e. Eropa: pemerintah menyerahkan pengelolaan satelit resolusi tinggi (SPOT 6 dst) ke swasta. Pemerintah hanya mengelola satelit resolusi rendah dan menengah seperti Envisat, dll. 130. Khusus Negara-negara Asean terdapat perkembangan pemanfaatan satelit penginderaan jauh sebagai berikut: 83 Laporan Delri Ke Sidang UNCOPUOS 2007-2009. Halaman | 72 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan a. b. c. d. Tahun 2007 Indonesia (LAPAN), meluncurkan LAPAN-TUB SAT, satelit mikro (orbit polar) yang membawa sensor video survaillance dengan resolusi spasial 5 dan 200 m; Tahun 2008, Thailand sudah meluncurkan THEOS, satelit mini (orbit polar) sejenis SPOT; Singapura akan meluncurkan X-SAT (orbit polar) ; Malaysia akan meluncurkan RAZAK SAT (equatorial orbit); 131. Saat ini telah terdapat sejumlah stasiun bumi penginderaan jauh antara lain adalah Prince Albert (Canada), Fair Bank (Alaska, USA), Goldstone (California, USA), Curoba (Brazil), Chiquita (Argentina), Kiruna (Swedia), Fucino (ltalia), Yohannes burg (Afrika Selatan), Hiderabad (India), Bangkok (Thailand), Alice Spring (Australia), Singapura, Pare-pare (Indonesia), Taiwan, dan Malaysia. 132. Dari sisi regulasi internasional, saat ini telah ada The Principles Relating to Remote Sensing of the Earth from Space, 1986 yang disahkan berdasarkan Resolusi MU PBB, Nomor 41/65, 3 Desember 1986. Beberapa prinsip yang terdapat dalam resolusi Majelis Umum PBB ini adalah : a. Beberapa pengertian peristilahan yaitu : 1) Penginderaan Jauh (Remote sensing) adalah penginderaan permukaan bumi dari antariksa dengan menggunakan peralatan emisi gelombang elektromagnetik, refleksi, difraksi untuk tujuan meningkatkan manajemen sumber daya alam, penggunaan tanah dan perlindungan lingkungan. 2) Data primer adalah data mentah hasil sensor perlatan pengindera yang ditansmisikan, atau diturunkan secara telemetri ke bumi dari antariksa dalam bentuk sinyal elektromagnetik, film fotografi, pita magnetik atau bentuk alain apappun. 3) Data terproses adalah hasil produk dari pemrosesan data primer, sehingga menjadi data yang dapat digunakan. 4) Informasi teranalisis adalah informasi sebagai hasil dari interpretasi data terproses, data masukan, atau pengetahuan dari sumber lain. 5) Akitivitas penginderaan jauh adalah kegiatan operasi penginderaan jauh dari antariksa, pengumpulan data primer dan stasiun penyimpanan, kegiatan dalam rangka pemrosesan, interpretasi dan penyebarluasan data terproses. b. Kegiatan penginderaan jauh diselenggarakan untuk keuntungan dan kepentingan seluruh negara dengan tanpa diskriminasi perbedaan ekonomi, sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi terutama dengan mempertimbangkan kebutuhan negara-negara berkembang. c. Kegiatan penginderaan jauh diselenggarakan harus sesuai hukum internasional, termasuk Piagam PBB, Traktat Antariksa Halaman | 73 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan d. e. f. g. h. i. j. 1967 serta aturan yang relevan dari Uni Telekomunikasi Internasional. Kegiatan penginderaan jauh diselenggarakan harus sesuai dengan prinsip pada Pasal I Traktat Antariksa 1967, khususnya yang berhubungan bahwa eksplorasi dan penggunanaan antariksa dilaksanakan untuk keuntungan dan kepentingan semua negara dengan tanpa diskriminasi perbedaan ekonomi, sosial, pengembangana ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan menyatakan prinsip kebebasan eksplorasi dan penggunaan dengan basis persamaan. Kegiatan penginderaan jauh harus menghormati prinsip kedaulatan yang utuh dan permanen dari negara-negara dan rakyat atas sumber daya alamnya, dengan menghormati hak dan kepentingannya sesuai dengan hukum internasional, dan negara lain dan entitas dalam yurisdiksinya, Kegiatan demikian tidak boleh diselenggarakan untuk mengganggu hak legitimasi dan kepentingan negara yang diindera. Negara-negara yang menyelenggarakan kegiatan penginderaan jauh harus meningkatkan kerja sama internasional. Dan pada akhirnya harus memberikan kesempatan negara-negara untuk berpartisipasi di dalamnya. Partisipasi demikian harus berdasar kesamaan dan keuntungan. Dalam hal makimalisasi keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan penginderaan jauh, negara-negara mendorong, dalam persetuan dan pengelolaaan lain, bagi pendirian dan pengoperasian pengumpulan data, stasiun penyimpanan, pemrosesan, fasilitas interpretasi dalam jejaring persetujuan regional yang dimungkinkan. Negara-negara yang berpartisipasi dalam kegiatan penginderaan jauh harus memberikan bantuan teknikal kepada negar-negara berkepentingan lain atas dasar saling menguntungkan. PBB dan Badan-badan yang relevan dalam sistem PBB harus meningkatkan kerjasama internasional, termasuk bantuan teknikal dan koordinasi dalam area kegiatan penginderaan jauh. Sesuai dengan Pasal IV Konvensi Registrasi Benda yang diluncurkan ke Antariksa dan Pasal XI Traktat Antariksa 1967, negara yang menyelenggarakan program penginderaan jauh harus menginformasikan pada Sekjen PBB. Selain itu harus memberikan informasi relevan lain guna memperluas kemungkinan dan praktik yang memungkinkan kepada negara lain khususnya negara berkembang. Penginderaan jauh harus meningkatkan perlindungan lingkungan alamiah bumi. Negara-negara yang berpartisipasi dalam kegiatan penginderaan jauh, jika mempunyai informasi identifikasi yang dapat mencegah fenomena membahayakan lingkungan alamiah bumi memberikan informasi pada negaranegara yang konsen berkepentingan. Halaman | 74 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan k. Penginderaan jauh harus meningkatkan perlindungan umat manusia dari bencana alam. Negara-negara yang berpartisipasi dalam kegiatan ini, apabila memiliki data terproses atau informasi teranalisis yang dapat digunakan untuk menghindari bencana alam, menyebabkan bencana alam di masa mendatang harus menyebarluaskan data informasi kepada negara-negara yang berkepentingan sesegera mungkin. l. Data primer dan data terproses tentang wilayah atau dalam yurisdiksi yang negara lain diproduksi, negara terindera harus memiliki akses tanpa diskriminasi dan biaya yang wajar demikian pula pada data teranalisis, khususnya bagi negaranegara berkembang. m. Guna meningkatkan dan mengintensifkan kerja sama internasional khususnya bagi negara berkembang, Negara yang melakukan kegiatan penginderaan jauh atas permintaan menyelenggarakan komnsultasi dengan negara terindera untuk dapat kesempatan partisipasi berdasar saling menguntungkan atas data derivatnya. n. Guna memenuhi Pasal VI Traktat Antariksa 1967 Negara yang menyelenggarakan penginderaan jauh, memikul tanggung jawab internasional dan menjamin aktivitas diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip ini dan norma hukum internasional, termasuk jika kegiatan dilakukan oleh organisasi pemerintah dan organisasi nonpmerintah, Prinsip ini tanpa kecuali memberlakukan prinsip tanggung jawab negara. o. Setiap sengketa internasional yang timbul dari penerapan prinsip-prinsip ini, atas kesepakatan para pihak akan diselesaikan dengan prosedur secara damai. 133. Pengaturan internasional ini belum berlaku sebagai hukum positif. Salah satu prinsip utamanya adalah “kegiatan penginderaan jauh bumi dari antariksa wajib menghormati kedaulatan Negara” (lihat paragraf di atas butir d). Di lihat dari sisi Indonesia, dan berdasarkan kharakteristik dan kemampuan perkembangan teknologi penginderaan jauh, maka pemberlakuan salah satu prinsip hukum internasional tersebut sangat penting bagi Indonesia. 134. Indonesia secara umum baru menguasai teknologi penginderaan jauh di hilir (pengoperasian dan pemeliharaan stasiun bumi, pengolahan data dan pemanfaatannya untuk berbagai kepentingan), sedikit demi sedikit sudah bergerak ke hulu dengan meluncurkan satelit mikro LAPAN-TUB SAT. Untuk keperluan pemanfaatan teknologi inderaja, LAPAN mengoperasikan 4 stasiun bumi inderaja : a. St. Bumi di Pekayon-Jkt: menerima data lingkungan dan cuaca dari satelit NOAA dan Fengyun b. St. Bumi PJ di Parepare: menerima data untuk sumber daya alam dari satelit LANDSAT 7, SPOT 2,4 dan MODIS Halaman | 75 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. d. St. Bumi PJ di Biak: menerima data lingkungan dan cuaca dari satelit NOAA dan Fengyun St. Bumi PJ di Rumpin: menerima data dari satelit MODIS dan LAPAN-TUB SAT Gambar 2.11. memperlihatkan beberapa satelit Inderaja yang diakuisisi oleh LAPAN. SATELIT INDERAJA YANG DIAKUSISI LAPAN NOAA LANDSAT SPOT ERS GMS FENYUNG TERRA/AQUA JERS-1 MTSAT Gambar 2.11 135. Data satelit penginderaan jauh tersebut telah dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan seperti untuk pemantauan cuaca, lingkungan, bencana alam, mitigasi bencana, tata ruang, sumberdaya alam (pertanian dan perkebunan, kehutanan, kelautan dan perikanan), audit lingkungan, pertahanan keamanan dll. Beberapa pengguna baik kalangan pemerintah maupun swasta juga telah memanfaatkan data tersebut untuk berbagai keperluan antara lain : a. Pemerintah pusat (Dept. Kehutanan, Dept. Pertanian, KLH, BPS, BPK, POLRI, Dittopad, dll) b. Pemerintah Daerah Propinsi dan Kabupaten/Kota, contoh: Kab. Nunukan, Agam, Pasaman Barat, Maros, Pinrang, Barru, dll. Propinsi Jambi, Gorontalo, dll. Pemerintah Pusat: Dept. Kehutanan, Dept. Pertanian, KLH, BPS, BPK, POLRI, Dittopad, dan lain-lain. c. Kalangan Swasta. 136. Pada saat ini, untuk memperoleh data yang memiliki resolusi tinggi atau menengah, Indonesia harus membeli atau menyewa satelit, sedang untuk data-data yang memiliki resolusi rendah (satelit lingkungan dan Halaman | 76 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan cuaca) dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Untuk mendapatkan data satelit Spot (termasuk data yang memiliki resolusi menengah), Lapan menyewa ke pemiliknya dengan harga €300,000 untuk satu tahun dengan lama tracking 20.000 detik (tahun 2008). Sedang untuk mendapatkan data satelit yang memiliki resolusi tinggi, seperti data Quickbird dan Ikonos, LAPAN memesan ke luar negeri. Untuk melayani user yang membutuhkan data resolusi tinggi, maka LAPAN membeli data ke luar negeri seperti data satelit Quickbird dengan resolusi 0,6 m dan data satelit Ikonos dengan resolusi satu meter. 137. Berdasarkan posisi Indonesia tersebut, kharakteristik dan kemampuan perkembangan teknologi penginderaan jauh, dan pemahaman bahwa teknologi penginderaan jauh juga termasuk salah satu teknologi guna ganda (lihat tabel 3.6), maka Indonesia perlu menjaga kesinambungan pengoperasian stasiun bumi tersebut, termasuk pembentukan Bank Data Penginderaan Jauh Nasional. Di samping itu, prinsip kegiatan penginderaan jauh bumi dari antariksa wajib menghormati kedaulatan Negara perlu dicantumkan dalam UUK. Sesuai dengan materi muatannya maka semua hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. d. Geoposisi/Navigasi (GNSS) 138. Sistem Satelit Navigasi Global (Global Navigation Satellite SystemsGNSS) adalah sistem satelit yang digunakan untuk menunjukkan lokasi geografis (garis bujur, garis lintang dan ketinggian) dan sinyal waktu dari satelit ke alat penerima pengguna di permukaan bumi. Penerima di permukaan bumi dapat mengetahui posisinya, serta waktu yang tepat. 139. Sistem ini terdiri dari tiga segmen utama, yaitu segmen antariksa (space segment), segmen sistem kendali (control system segment), dan segmen pengguna (user segment). Hubungan ketiga segmen ini dapat ditunjukkan pada Gambar 2.12. Dan khusus segmen antariksa terdiri dari konstelasi beberapa jumlah satelit seperti terlihat dalam Gambar 2.13. Halaman | 77 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Gambar 2.12 Tiga Segmen dalam Sistem GPS Gambar 2.13 Konstelasi Sistem Satelit GPS 140. Saat ini terdapat beberapa jenis konstelasi Sistem Satelit navigasi global (GNSS) yang sedang beroperasi, yaitu: a. GPS adalah suatu sistem navigasi dan penentu posisi lokasi yang memanfaatkan satelit dan dikelola oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat. Nama lengkapnya adalah NAVSTAR GPS (Navigation Satellite Timing and Ranging Global Positioning System) ada juga yang mengartikan “Navigation System Using Timing and Ranging”., tetapi orang lebih mengenal dengan nama GPS. Sistem mulai diaktifkan untuk umum 17 Juli 1995, digunakan untuk memberikan informasi mengenai posisi, waktu dan kecepatan dengan ketelitian sangat tinggi secara global tanpa ada batasan waktu dan cuaca84. b. GLONASS — merupakan sistem navigasi yang dikembangkan sejak tahun 1980 oleh militer Rusia. Nantinya, GLONASS akan menjadi alat oleh Rusia untuk berkompetisi dengan Global Positioning System (GPS) milik Amerika dan sistem navigasi Galileo milik Eropa. Milik Rusia ini sedang dalam perbaikan dan diperkirakan selesai pada tahun 2010 ini. Nantinya GLONASS akan memiliki 24 satelit. 18 satelit untuk mencakup seluruh wilayah Rusia, sedangkan 6 lainnya diperlukan untuk menyediakan layanan navigasi di seluruh dunia.85 Bernhard Sianipar, “Status Dan Prospek Pemanfaantan Satelit Navigasi Dan Geodesi Di Indonesia”, Kajian Kebijakan Keantariksaan, Volume 2, Publikasi Ilmiah LAPAN, ISBN 9798554-96-5, Tahun 2006. 85 http://techno.okezone.com/read/2008/12/26/54/177098/54/selangkah-lagi-sistemnavigasi-rusia-selesai 84 Halaman | 78 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 86 c. Galileo — Sistem yang sedang dikembangkan oleh Uni Eropa, dengan bantuan RRC, Israel, India, Moroko, Arab Saudi, Korea Selatan, dan Ukraina. Galileo merupakan sistem satelit navigasi global Eropa yang pertama dengan tingkat akurasi yang tinggi dan dikontrol dan dikelola oleh pihak sipil Uni Eropa. Adapun tujuan Uni Eropa untuk menciptakan satelit baru ini adalah untuk mengurangi ketergantungan terhadap pemakaian GPS dan untuk dapat bersaing dalam dunia persatelitan dengan negaranegara maju seperti Amerika Serikat. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu secara kontinyu di seluruh dunia tanpa bergantung pada waktu dan cuaca kepada banyak orang secara simultan. Satelit ini masih baru dan mulai diluncurkan pada tahun 2005, dan beroperasi secara penuh pada tahun 2008, saat ini dalam perbaikan dan diperkirakan selesai pada tahun 2013. Segmen angkasa Galileo terdiri dari 30 satelit, dimana terdapat 27 satelit yang aktif dan 3 satelit cadangan (spare) dalam Medium Earth Orbit (MEO) pada ketinggian 23600 km.86 d. Compass- Badan Luar Angkasa China telah meluncurkan satelit navigasi Beidou yang merupakan bagian dari sistem navigasi yang diberi nama “Compass”. Sistem navigasi ini terutama didesain untuk pembangunan ekonomi China, memberikan navigasi dan layanan posisi bagi transportasi, meteorologi, lahan minyak potensial, pengawasan kebakaran hutan, perkiraan bencana, telekomunikasi dan keamanan publik. China merupakan salah satu dari beberapa negara yang mampu mengembangkan sistem satelit navigasi sendiri. Laporan awal menyebutkan China dapat menyebutkan posisi dengan akurasi dalam 10 meter, akurasi kecepatan 0,2 meter per detik dan ketepatan waktu 50 nanodetik. Sistem navigasi tersebut melibatkan sedikitnya 35 satelit, lima satelit berorbit geostasioner dan 30 satelit di orbit menengah (medium earth orbit -MEO). Satelit dan roket dikembangkan oleh Akademi Ilmu Antariksa China dan Akademi Teknologi Peluncuran China, yang dikelola di bawah China Aerospace Science and Technology Corporation. Tabel 2.10 memperlihatkan perbandingan sistem GNSS tersebut. “Satelit Galileo”, http://geodesy.gd.itb.ac.id/?page_id=502 Halaman | 79 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.10. Comparison of GNSS systems System Country Coding Orbital height & period Number of satellites Status United States CDMA 20,200km, 12.0h ≥24 operational GLONASS Russia FDMA 19,100km, 11.3h 24 (≥24 after CDMA support) operational with restrictions, CDMA in preparation CDMA 23,222km, 14.1h ≥27 in preparation CDMA 21,150km, 12.6h 35 in preparation GPS Galileo European Union Compass China 141. Selain bersifat global ada pula yang beroperasi secara regional (RNSSs - Regional Navigation Satellite Systems). Seperti : a. Beidou milik China, Beidou — Sistem lokal di RRC yang akan dikembangkan menjadi sistem internasional bernama COMPASS, beroperasi pada tahun 2015 b. DORIS karya Perancis. c. Indian Regional Navigational Satellite System (IRNSS) — adalah sistem satelit navigasi yang sedang dikembangkan oleh Indian Space Research Organisation dan sepenuhnya dibawah pengawasan pemerintah India. Proyek pembangunan dimulai pada tahun 2006 dan akan diimplementasikan pada tahun 2012. Sebanyak 7 satelit akan akan ditempatkan di GEO d. The Quasi-Zenith Satellite System (QZSS) merupakan satelit yang beroperasi di atas Jepang. 87 142. Khusus GPS adalah satu-satunya sistem navigasi satelit yang berfungsi dengan baik dan merupakan sistem satelit navigasi paling populer dan mulai banyak diaplikasikan di Tanah Air untuk navigasi darat dan laut bahkan sudah bisa digunakan secara individu. Ketiga segmen dalam sistem GPS, adalah sebagai berikut: a. Segmen Antariksa, terdiri dari 24 buah satelit GPS yang secara kontinu memancarkan sinyal–sinyal yang membawa data kode dan pesan navigasi yang berguna untuk penentuan posisi, “Lomba” Sistem Navigasi Satelit Global, 07 April 2010, http://www.bakosurtanal.go.id/ index.php?m=30&view=534 87 Halaman | 80 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. c. kecepatan dan waktu. Satelit-satelit tersebut ditempatkan pada enam bidang orbit dengan periode orbit 12 jam, dan ketinggian orbit 20.200 km di atas permukaan bumi. Keenam bidang orbit tersebut memiliki jarak spasi yang sama, dan berinklinasi 55o terhadap ekuator. Untuk masing-masing bidang orbit ditempatkan empat buah satelit, dan jarak antar satelit tidak sama. Segmen Sistem Kendali, terdiri dari Master Control Station (MCS), Ground Station, dan beberapa Monitor Station (MS) yang berfungsi untuk mengontrol dan memonitor pergerakan satelit. Master Control Station berada di Schriever Air Force Base, dekat Colorado Springs, Colorado, yang lainnya adalah: 1) Station monitor berada di Hawaii dan Kwajalein di lautan Pacific; Diego Garcia di lautan Hindia; Ascension Island di lautan Atlantik; Cape Canaveral, Florida dan Colorado Springs, Colorado 2) Empat stasion antena bumi besar berfungsi mengirim perintah dan data ke satelit. Segmen Pengguna, terdiri dari para pengguna satelit GPS baik yang ada di darat, laut maupun udara Dalam hal ini receiver GPS dibutuhkan untuk menerima dan memproses sinyal-sinyal dari GPS untuk digunakan dalam penentuan posisi, kecepatan, dan waktu. Receiver GPS dapat ditenteng, atau dipasang di pesawat udara, kapal, tank, kapal selam, mobil, dan truck. Receiver ini mendeteksi, decode, dan memproses signal satelit GPS. Lebih dari 100 model Receiver berbeda yang telah digunakan. Ukuran Receiver yang dapat digenggam, yaitu sebesar telepon cellular, jam tangan, atau sebesar Personal Data Assistant, dan ada juga beratnya hanya 28 ons. Pemasaran untuk jenis unit yang dapat digenggam, didistribusikan oleh Angkatan udara Amerika. 143. Satelit navigasi GPS beroperasi di sekeliling Bumi, yakni pada ketinggian 20.200km dari muka Bumi, dan gerak satelit dikontrol oleh stasiun bumi pengontrol yang ada di : pulau-pulau di Samudra Atlantik; Samudra Hindia; Samudra Pasifik; dan di Colorado Springs, AS. Dengan dua sarana ini, pemakai (users) yang memiliki alat penerima sinyal dari satelit GPS dapat terbantu untuk mencari posisi di muka Bumi secara cuma-cuma. Misal, untuk tujuan pemantauan armada angkutan, operator di stasiun pusat perusahaan angkutan itu dapat mengetahui keberadaan armadanya di mana pun. Ini dimungkinkan karena pada alat penerima sinyal GPS yang dibawa kendaraan itu juga terpasang antena radio. Antena itu mengeluarkan sinyal gelombang radio pada frekuensi yang telah ditetapkan. 144. Ada 3 macam tipe alat GPS, dengan masing-masing memberikan tingkat ketelitian posisi yang berbeda-beda. Halaman | 81 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan a. b. c. Tipe alat GPS pertama adalah tipe navigasi (Handheld dan Handy GPS), ketelitian posisi yang diberikan saat ini baru dapat mencapai 3 sampai 6 meter. Tipe pertama ini yang sering digunakan untuk keperluan umum seperti pada ponsel, penunjuk arah pada alat transportasi, untuk pendakian dan sebagainya. Tipe alat yang kedua adalah tipe geodetik single frekuensi (tipe pemetaan), yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan yang membutuhkan ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai dengan beberapa desimeter. Tipe terakhir adalah tipe geodetik dual frekuensi yang dapat memberikan ketelitian posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaringan titik kontrol, survai deformasi, dan geodinamika. 145. Pengembangan aplikasi data GPS yang telah dilakukan, antara lain adalah: a. Aplikasi-aplikasi militer, GPS digunakan untuk keperluan perang, seperti menuntun arah bom, atau mengetahui posisi pasukan berada. Dengan cara ini maka kita bisa mengetahui mana teman mana lawan untuk menghindari salah target, ataupun menetukan pergerakan pasukan.88 b. Navigasi, GPS banyak juga digunakan sebagai alat navigasi seperti kompas. Beberapa jenis kendaraan telah dilengkapi dengan GPS untuk alat bantu nivigasi, dengan menambahkan peta, maka bisa digunakan untuk memandu pengendara, sehingga pengendara bisa mengetahui jalur mana yang sebaiknya dipilih untuk mencapai tujuan yang diinginkan. c. Mitigasi bencana d. Studi Kelautan (Arus, Gelombang dan Pasang Surut) e. Sistem Informasi Geografis, Untuk keperluan Sistem Informasi Geografis, GPS sering juga diikutsertakan dalam pembuatan peta, seperti mengukur jarak perbatasan, ataupun sebagai referensi pengukuran. f. Pemantauan Gempa, ini, GPS dengan ketelitian tinggi bisa digunakan untuk memantau pergerakan tanah, yang ordenya hanya mm dalam setahun. Pemantauan pergerakan tanah berguna untuk memperkirakan terjadinya gempa, baik pergerakan vulkanik ataupun tektonik g. Sistem Pelacakan Kendaraan, dengan bantuan GPS pemilik kendaraan/pengelola armada bisa mengetahui ada dimana saja kendaraannya/aset bergeraknya berada saat ini, dengan bantuan digital map / peta digital lengkap dengan informasi koordinat 88 http://tigorsipopeye.blogdetik.com/category/tak-berkategori/ Halaman | 82 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan h. i. lintang dan bujur serta ketinggian yang akan ditampilkan pada layar perangkat GPS tersebut secara 2D ataupun 3D. Aplikasi Olah Raga & Rekreatif Survei & Pemetaan (darat dan laut) 146. Indonesia telah memanfaatkan jasa teknologi Navigasi dan Geodesi. Salah satu Instansi pemerintah yang melakukan kegiatan navigasi dan geodesi adalah BAKOSURTANAL. Pemanfaatan GPS untuk survei dan pemetaan yang dilakukan Bakosurtanal, antara lain : untuk pengadaan jaring titik kerangka pemetaan nasional. Sementara instansi lain, seperti: Departemen PU, Departemen Kehutanan, dan Badan Pertanahan Nasional, memanfaatkannya untuk memonitor deformasi bendungan, dan penentuan batas persil tanah dan kawasan hutan. 147. Mengingat bahwa peraturan perundangan tentang pemanfaatan GPS belum ada, maka dalam UUK diamanatkan agar perlu diatur. e. Mitigasi Bencana 148. Bencana (disaster)89 adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan/atau faktor nonalam maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis. Mitigasi (mitigation) adalah serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan kemampuan menghadapi ancaman bencana. Paradigma mitigasi bencana telah mengalami pergeseran dalam upaya penanggulangan bencana dalam upaya mendukung program pembangunan, misalnya: melalui perkuatan ekonomi, penerapan teknologi, pengentasan kemiskinan dan sebagainya. Dalam konteks tersebut, teknologi keantariksaan diharapkan dapat lebih berperan dalam mitigasi bencana yang terjadi di Indonesia. 149. Letak geografis dan kondisi alamiah yang sedemikian rupa tersebut dalam paragraf 27 di atas, telah mengakibatkan wilayah Indonesia menjadi; a. satu-satunya wilayah di Bumi ini, yang memiliki ciri ‘benua maritim’ (Djalal, 1998). b. Sebagai benua maritim, wilayah Indonesia mengalami fenomena klimatologis ekstrim yang dikenal sebagai gejala ENSO (El NinoSouthern Oscillation), yaitu suatu anomali iklim periodik yang disebabkan oleh terjadinya anomali suhu permukaan laut Pasifik (Mason et all, 1999; Hendon, 2003). 89 Karakteristik Bencana dan Mitgasinya, BAKORNAS PB, 2007 Halaman | 83 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. d. wilayah Indonesia juga mendapat pengaruh dari anomali klimatologis yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole (IOD), yaitu anomali iklim yang disebabkan oleh anomali suhu permukaan Lautan India (Saji, NH et al, 1999; Rizaldi Boer et al, 2004). Hal inilah yang mengakibatkan sering terjadinya kondisi klimatologis ekstrim baik ekstrim kering ataupun ekstrim basah di Indonesia. Sebagai daerah pertemuan dua jalur gunung api (Lingkar Pasifik dan Lingkar Mediteran), wilayah Indonesia memiliki sekurang-kurangnya 129 gunung api yang termasuk kategori aktif (Indro Pratomo, 2006). Jumlah ini merupakan sekitar 13% gunung api aktif yang ada di dunia saat ini (Geocities, 2009). Di samping itu, masih terdapat dalam jumlah besar gunung api yang sedang istirahat. Wilayah Indonesia juga merupakan daerah pertemuan lempeng kerak-bumi Asia dan Australia, yang sedang bergerak, sehingga merupakan wilayah tektonik aktif. Kondisi yang demikian, menjadikan wilayah Indonesia rawan gempa baik tektonik maupun vulkanik. 150. Peran teknologi antariksa untuk mitigasi bencana dilakukan melalui perolehan informasi dari berbagai jenis pemanfaatan satelit yang dapat memberikan informasi baik prabencana, saat bencana, dan pasca bencana yang sangat berguna untuk upaya mitigasi dan rehabilitasi bencana. Berbagai peran teknologi keantariksaan untuk informasi bencana dapat dilihat dalam Gambar 2.14. Gambar 2.14. Sistim Teknologi Antariksa Berbasis Satelit untuk Management Bencana Halaman | 84 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 151. Saat ini terdapat berbagai organisasi Internasional yang menawarkan bantuan informasi dari teknologi antariksa untuk penanganan bencana yaitu : a. United Nations Platform for Space Based Information for Disaster Management and Emergency Response (UN-SPIDER), merupakan organisasi di bawah system PBB yang difokuskan untuk integrasi sistim jaringan (networking) mitigasi bencana antar negaranegara anggota PBB. b. Sedangkan di luar sistim PBB, juga terdapat organisasi yang berkecimpung dalam mitigasi bencana berbasis teknologi antariksa, misalnya : GEO dan GEOSS, dll. c. Negara-negara yang tergabung dalam space faring membentuk the International Charter on Space and Major Disaster tahun 2000 yang bertujuan untuk mengintegrasikan sistim antariksa bagi kepentingan mitigasi bencana yang memberlakukan persyaratan bahwa setiap anggota harus memiliki satelit untuk kepentingan tersebut. Dalam prakteknya data yang diterbitkan oleh Charter pada fase tanggap darurat (the response phase) memiliki tingkat akurasi tinggi dan disajikan secara terus-menerus dengan jangkauan seluruh dunia. Keanggotaan Charter ini dapat dilihat pada Tabel 2.11. Tabel 2.11. Anggota the International Charter on Space and Major Disaster90 152. Sedangkan di kawasan Asia Pasifik, aktivitas tersebut di atas didorong oleh adanya bencana gempa bumi di Kobe, Jepang dan akhirnya menggiring negara-negara di Asia terutama yang tergabung dalam Asia 90 Presentation to the JPTM the International Charter for Space and Major Disasters by Hide Yamazaki, 2009. Halaman | 85 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Pasifik Regional Space Agency Forum (APRSAF) membentuk ADSR (Asian Disaster Space Reduction) yang menghasilkan komitmen untuk melaksanakan mitigasi bencana berbasis teknologi antariksa di Asia Pasifik. Secara teknis hal tersebut diwujudkan dengan mendirikan Sentinel Asia (Disaster Management Support System in the Asia and Pacific Region) sebagai suatu sistim pengiriman data kebencanaan melalui satelit dan jaringannya (WIND dan internet) kepada pemerintah maupun non pemerintah yang memerlukan data tersebut. Gambar 2.15 dan 2.16 di bawah menunjukkan mekanisme perolehan dan pengiriman data dan prosedur pengoperasian dalam Sentinel Asia. Sedangkan Tabel 2.12. memperlihatkan jenis data yang diminta oleh negara-negara sampai dengan tahun 2008: Gambar 2.15. Mekanisme Permohonan Pengamatan Bencana dari ADRC ke Sentinel Asia91 91 nd Emergency Observation by Naoki Yamaguchi, Sentinel Asia step2, 2 JPTM, Discovery Kartika Plaza Hotel, Bali, Indonesia, July 15 – 17, 2009 Halaman | 86 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Gambar 2.16. Sistem dan Prosedur Pengoperasian Sentinel Asia Tabel 2.12. Negara Anggota/Agency dan Jenis Data yang diminta melalui Sentinel Asia 92 92 Ibid, Naoki Yamaguchi, 2009 Halaman | 87 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 153. Dilihat dari sisi jenis bencana dapat digolongkan pada: (1) bencana umum dan (2) bencana akibat penyelenggaraan keantariksaan. Sedangkan bencana akibat penyelenggaraan keantariksaan dapat dibedakan bencana kecelakaan penyelenggaraan keantariksaan dan bencana akibat jatuhnya benda antariksa (alamiah (unmanmade), buatan manusia (manmade)). 154. Khusus terhadap bencana atau peristiwa yang diakibatkan oleh penyelenggaraan keantariksaan, saat ini telah terdapat ketentuan internasional yang mengatur yaitu “Agreement on the Rescue of Astronauts, the Return of Astronauts and the Return of Objects Launched into Outer Space”, yang disingkat Rescue Agreement 1968. 155. Rescue Agreement 1968 ini merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal V Traktat Antariksa 1967” yang menyatakan bahwa astronaut adalah duta kemanusiaan (“astronaut is the envoys of mankind”). Sebagai konsekuensinya, perjanjian ini meletakkan kewajiban bagi Negara lain untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan guna memberikan pertolongan bagi astronaut yang melakukan pendaratan darurat (“emergency landing”), mengalami kecelakaan atau dalam keadaan “distress”, serta mengembalikan benda antariksanya kepada Negara Peluncur. 156. Perjanjian ini yang terdiri dari 10 pasal memuat prinsip-prinsip sebagai berikut: a. Kewajiban Negara anggota untuk menyampaikan pemberitahuan baik kepada pihak peluncur (launching authority) maupun kepada Sekretaris Jenderal PBB atas setiap informasi atau penemuan menyangkut astronauts yang mengalami kecelakaan, melakukan pendaratan atau dalam keadaan “distress” pada wilayah yurisdiksi Negara anggota lainnya; b. Kewajiban Negara anggota untuk segera mengambil langkahlanglah yang diperlukan untuk menyelamatkan dan memberikan bantuan yang diperlukan serta melaporkan atas langkah-langkah yang diperlukan tersebut baik kepada negara peluncur maupun Sekretaris Jenderal PBB. Di samping itu mendorong pihak peluncur dan Negara anggota bekerjasama bagi upaya penyelamatan yang efektif; c. Kewajiban Negara anggota yang terdekat dengan lokasi kejadian di laut lepas di luar wilayahnya untuk segera memberikan bantuan dan melakukan operasi penyelamatan serta melaporkannya baik kepada pihak peluncur maupun kepada Sekretaris Jenderal PBB; d. Kewajiban Negara anggota untuk mengembalikan astronauts dan atau benda-benda antariksa kepada pihak Negara peluncur; e. Kewajiban pihak Negara peluncur untuk membiayai segala kegiatan Negara anggota yang memberikan bantuan dan mengembalikan baik astronaut maupun benda antariksanya; Halaman | 88 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan f. Pihak peluncur (launching authority) diartikan sebagai baik Negara yang bertanggungjawab atas peluncuran maupun organisasi internasional yang bertanggung jawab atas peluncuran. 157. Secara umum ketentuan yang terdapat dalam Rescue Agreement 1968 tidak menimbulkan persoalan, karena menonjolkan aspek kemanusiaan, akan tetapi dalam pelaksanaannya dapat memunculkan persoalanpersoalan praktis yang perlu dipecahkan, seperti: a. Dikaitkan dengan perkembangan kegiatan keantariksaan yang mungkin menyertakan personil seperti “payload specialist”, “researcher”, “scientist” dan bahkan “military personnel”, termasuk keikutsertaan “space tourist”, apakah mereka semua dapat dikategorikan sebagai “astronaut” yang adalah merupakan “envoys of mankind”? jika tidak, apakah parameter yang dapat digunakan? b. Apakah Negara anggota tetap wajib memberikan bantuan kepada astronaut Negara lain yang melakukan misi militer (mis: matamata) yang tidak bersahabat kepada negaranya? c. Bagaimana mekanisme penegakan hukum yang dapat dilakukan terhadap Negara yang tidak memberikan bantuan sesuai kewajiban dalam Rescue Agreement 1968? d. Mengapa istilah “launching authority” hanya berlaku bagi Negara dan organisasi internasional, bagaimana bila pihak peluncur adalah perusahaan swasta, apakah dapat diklasifikasikan sebagai “launching authority”?; e. Mengingat Rescue Agreement 1968 merupakan perjanjian yang relatif lama, apakah tepat waktu untuk melakukan amandemen terhadap ketentuan-ketentuan yang dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan yang terjadi? 158. Dengan mendasarkan kepada masih adanya beberapa persoalan yang berkaitan dengan interpretasi dan implementasi Rescue Agreement 1968, maka dalam rangka mengintegrasikan Rescue Agreement 1968 ke dalam UUK harus dilakukan dengan memperhatikan dan mengantisipasi perkembangan yang terjadi dengan tetap bersandar kepada kepentingan nasional. 159. Di tingkat nasional lembaga yang berwenang dalam penyelenggaraan penanggulangann bencana adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) sebagaimana dimuat dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Sesuai dengan definisi “penyelenggaraan penanggulangan bencana” adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Halaman | 89 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Berdasarkan definisi tersebut maka penyelenggaraan penanggulangan bencana dapat dibagi dalam empat tahapan93, yaitu : a. Tahap prabencana yang dilakuan dalam situasi tidak terjadi bencana b. Tahap prabencana yang dilakukan dalam situasi terdapat potensi bencana c. Tahap saat tanggap darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana d. Tahap pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana. Lebih lanjut pentahapan tersebut dapat diamati dalam Gambar 3.17 berikut: Gambar 2.17. Pentahapan Penanggulangan Bencana 160. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam UUK diamanatkan untuk : a. Mekanisme peran teknologi keantariksaan untuk pemberian informasi terkait mitigasi bencana baik bencana umum maupun bencana keantariksaan, Peraturan Kepala BNPB No. 4 Tahun 2008 tentang Pedomana Penyelenggaraan Rencana Penanggulanganb Bencana. 93 Halaman | 90 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. c. d. e. f. Mekanisme cara perolehannya, mengingat Indonesia telah berpartisipasi dalam Organisasi Internasional terkait (UN-SPIDER dan Sentinel Asia), baik berupa upaya untuk mendapatkan informasi dari ataupun masuk menjadi anggota Organisasi Internasional terkait lainnya. Mekanisme pemberian informasi di tingkat nasional. Mekanisme tanggap darurat khususnya terkait bencana akibat penyelenggaraan keantariksaan termasuk risiko kejatuhan. (Pelaksanaan kewajiban internasional Indonesia sebagai Negara anggota Rescue Agreement 1968). Ketentuan mengenai hal-hal tersebut di atas diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. Komersialisasi Keantariksaan 161. Mengenai arti dan kriteria komersialisasi antariksa terdapat beberapa pandangan seperti Jerzy Rzymanek, mengatakan tentang adanya kekaburan makna sehubungan dengan pengertian umum dalam literatur yang mengkaitkan kata “commercial” dari kata “space commercialization”, yang seolah-olah hanya mengacu pada bentuk kegiatan yang dilakukan semata-mata oleh swasta. Menurut Van Traa, dalam disertasinya mengemukakan bahwa pertama-tama kita dihadapkan pada pilihan tentang peristilahan mana yang digunakan “commercial space activities” atau commercial use of outer space?. Menurut pandangannya, hal ini perlu dipersoalkan mengingat adanya perbedaan persepsi antara Eropa dan Amerika mengenai pengertian “commercial”. 162. Menurut kamus bahasa Inggris, ciri utama kata “commercial” adalah maksud atau tujuan untuk memperoleh keuntungan (“the purposes to make profit”) atau minimal memperoleh pengembalian yang wajar atas suatu investasi yang dilakukan (to make a reasonable return on investment) 94. Sebaliknya di Amerika Serikat, kata “commercial” pada umumnya selalu dikaitkan dengan keterlibatan swasta, baik yang didasarkan atas subsidi pemerintah, maupun yang hanya sekedar diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu, usahanya dapat berbentuk suatu korsorsium nasional, atau bahkan suatu konglomerat multi nasional. Akan tetapi tanpa melihat bentuknya, pada dasarnya setiap usaha komersial selalu didasarkan atas dorongan untuk mencari keuntungan, karenanya tidak menutup kemungkinan bagi pemerintah, organisasi internasional, dan swasta untuk melakukannya baik secara mandiri maupun melalui kerja sama di antara mereka. Van Traa, Hanneke Louis, Eigelmann, “Commercial Utilization of Outer Space, Legal Aspects, Disertasi pada Rijk Universiteit Utrecht, 1989, halaman 18. 94 Halaman | 91 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 163. Sementara itu, Nathan Goldman, menyatakan bahwa setiap keuntungan yang diperoleh dari kegiatan eksplorasi dan pemanfaatan antariksa dapat diklasifikasikan dalam pengertian “space commerce”. Istilah ini mengandung makna yang khusus yaitu mengacu pada pasaran bagi barang dan jasa antariksa, termasuk transportasi antariksa, komunikasi melalui satelit, industri pabrikasi, penambangan pada benda-benda langit dan bahkan penggunaan energi surya, baik oleh perusahaan swasta maupun oleh pemerintah95. 164. Sedangkan menurut I.B.R. Supancana, mengartikan komersialisasi itu tidak identik dengan privatisasi, semata-mata, tetapi secara umum diartikan sebagai setiap upaya yang dilakukan untuk mencari keuntungan, tanpa memandang apakah dilakukan oleh negara, perusahaan swasta atau bahkan badan hukum lain seperti organisasi internasional, baik antar pemerintah maupun non pemerintah96. Dalam konteks UUK ini pengertian komersialisasi keantariksaan akan mengacu pada pandangan ini. 165. Dengan memahami arti dan kriteria pengertian komersialisasi keantariksaan tersebut di atas, dan dengan pemahaman bahwa komersialiasi adalah memperoleh keuntungan sebagai tujuan utama dari pada sekedar untuk tujuan ilmiah, artistic, intelektual ataupun filosofis (a commercialization is an exploitation for the purpose of profit as the primary aim, rather than for example, for scientific, intellectual or philosophical purpose)97, maka belum semua sektor dalam penyelenggaraan keantariksaan yang memasuki era komersialisasi. Beberapa bentuk komersialisasi keantariksaan saat ini adalah : (i) Pabrikasi satelit, (ii) Transportasi antariksa, (iii) Disain, Fabrikasi dan Pengoperasian Segmen Bumi (iv) Jasa Telekomunikasi, (v) Penginderaan Jauh dan system informasi geografis (GIS), dan (vi) Jasa navigasi. 166. Beberapa sector penyelenggaraan keantariksaan saat ini yang telah masuk dalam komersialisasi serta memperoleh keuntungan dapat dilihat dalam Tabel 2.13 berikut. Goldman, Nathan, American Space Law: International and Domestic, IOWA, 1988. Ida Bagus Rahmadi Supancana, “Antisipasi Hukum terhadap Arah dan Perkembangan Komersialisasi Ruang Angkasa, 1992, halaman 7. 97 John M.Logsdon, Ray A. Williamson, Henry R. Hertzfeld, “Privatizing the Space Shuttle Issues and Approach, Space Policy Institute Elliot School of International Affairs the George Washington University, Washington, DC March 17, 2000, 95 96 Halaman | 92 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.13 Global Space Activities Revenue and Budget 200798. 98 Sumber: http://www.thespaceport.org/resources/overview/space_budgets.php Diakses: 4 Mei 2010. Halaman | 93 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 167. Bentuk-bentuk komersialisasi antariksa yang diidentifikasi untuk masa depan adalah99 : b. Space manufacturing c. Asteroid detection/negation d. Space rescue e. Fast package delivery f. Space servicing and transfer g. Hazardous waste disposal h. Space tourism i. Ultra high speed civil transport j. Entertainment (digital movie satellites, orbiting movie studio, space athletic events, artificial space k. phenomena, multiuse LEO business parks l. Space debris management m. Space medical facilities n. Space settlements o. Space utilities markets (extraterrestrial resources such as lunar liquid oxygen, helium-3 (He3) p. Space burial Tabel 2.14. berikut memperlihatkan kemungkinan permintaan jasa komersialisasi keantariksaan untuk masa yang akan datang. 99 Ibid. Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, 7th May 2004. Halaman | 94 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tabel 2.14.100 Permintaan terhadap Jasa komersialisasi keantariksaan 168. Berdasarkan kondisi komersialisasi keantariksaan tersebut di atas, khusus terkait komersialisasi pemanfaatan telekomunikasi dan penyiaran telah diatur pada peraturan perundang-undangan terkait. Sehubungan dengan hal ini, maka yang dimaksud dengan pengaturan komersialisasi keantariksaan dalam UUK ini adalah pengaturan aspek komersialisasi keantariksaan di luar yang telah diatur dalam peraturan telekomunikasi dan penyiaran tersebut. Klausula ini merupakan antisipasi perkembangan kemampuan penguasaan teknologi Indonesia di masa datang jika telah memungkinkan terlibat dalam komersialisasi. g. Sistem Informasi Keantariksaan 169. Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik yang dimaksud dengan Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makan, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan Ibid. Walter Peeters, Claire Jolly, Evaluation Of Future Space Markets, 7th May 2004, hlm 38. 100 Halaman | 95 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. Sedangkan Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan UUK ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab di bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan/atau pelayanan informasi di badan publik. 170. Selanjutnya dalam Pasal 7 UU tersebut juga dinyatakan Badan Publik wajib menyediakan, memberikan dan/atau menerbitkan Informasi Publik yang berada di bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dengan memanfaatkan sarana dan/atau media elektronik dan nonelektronik. Sedangkan berdasarkan Pasal 9 dinyatakan bahwa informasi Informasi yang Wajib Disediakan dan Diumumkan Secara Berkala meliputi : a. informasi yang berkaitan dengan Badan Publik; b. informasi mengenai kegiatan dan kinerja Badan Publik terkait; c. informasi mengenai laporan keuangan; dan/atau d. informasi lain yang diatur dalam peraturan perundangundangan. 171. Di samping itu, dalam pasal 10 dan 11 dinyatakan bahwa Badan Publik wajib mengumumkan secara serta-merta suatu informasi yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum. Dan dalam Pasal 11 adanya kewajiban untuk menyediakan Informasi Publik setiap saat yang meliputi: a. daftar seluruh Informasi Publik yang berada di bawah penguasaannya, tidak termasuk informasi yang dikecualikan; b. hasil keputusan Badan Publik dan pertimbangannya; c. seluruh kebijakan yang ada berikut dokumen pendukungnya; d. rencana kerja proyek termasuk di dalamnya perkiraan pengeluaran tahunan Badan Publik; e. perjanjian Badan Publik dengan pihak ketiga; f. informasi dan kebijakan yang disampaikan Pejabat Publik dalam pertemuan yang terbuka untuk umum; g. prosedur kerja pegawai Badan Publik yang berkaitan dengan pelayanan masyarakat; dan/atau h. laporan mengenai pelayanan akses Informasi Publik sebagaimana diatur dalam UUK ini. 172. Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka terkait dengan sistem informasi dan data keantariksaan dalam UUK ini akan tercakup semua Halaman | 96 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan kewajiban tersebut di atas serta kewajiban lain sebagaimana termuat secara khusus dalam beberapa pasal UUK ini seperti menyediakan informasi terkait bencana dan lain-lain. 5. Kegiatan Keantariksaan untuk Pertahanan dan Keamanan ... 6. Kerja Sama dan Alih Teknologi 173. Kerjasama internasional tidak dapat dilepaskan dari hubungan luar negeri Indonesia dengan negara lain. Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 Tentang Hubungan Luar Negeri, Pasal 1 ayat 2 menjelaskan bahwa Politik Luar Negeri Republik Indonesia adalah kebijakan, sikap, dan langkah Pemerintah Republik Indonesia yang diambil dalam melakukan hubungan dengan negara lain, organisasi internasional, dan subyek hukum internasional lainnya dalam rangka menghadapi masalah internasional guna mencapai tujuan nasional." 174. Dalam perkembangan globalisasi, ketergantungan antar negara dalam semua aspek kehidupan akan semakin kuat. Pada awalnya, kebijaksanaan yang dilaksanakan oleh negara-negara dalam rangka kerjasama lebih ditekankan pada kepentingan politik negara-negara yang bersangkutan. Namun dalam era globalisasi, walaupun masih mengandung kepentingan politik, lebih ditekankan pada kepentingan ekonomi melalui kerjasama yang dilakukan. Untuk ini, negara-negara akan selalu mempertahankan bahkan meningkatkan keunggulan masing-masing yang mengarah pada perolehan keuntungan ekonomi. Hal ini berarti bahwa ketergantungan antar negara yang semakin kuat akan mendorong berlangsungnya kerjasama yang sekaligus dibarengi dengan persaingan yang semakin meningkat. Kondisi seperti ini akan mempengaruhi upaya kerjasama oleh Indonesia dengan negara/pihak lain dalam pembangunan keantariksaan. 175. Teknologi antariksa pada umumnya masih dikuasai oleh beberapa negara, terutama kelompok negara maju yang sangat protektif di dalam alih teknologi terhadap negara-negara lain di luar kelompoknya. Dengan adanya persaingan yang semakin meningkat seperti tersebut di atas, maka umumnya proteksi alih teknologi ini masih akan terus berlangsung, walaupun kadar proteksi bagi alih teknologi tertentu dapat berkurang dalam rangka menciptakan pasar yang lebih besar bagi penggunaan teknologi lain yang benar-benar diproteksi oleh negara maju. Untuk meraih peluang tersebut diperlukan kebijaksanaan kerjasama yang tepat yang berpedoman pada cara pandang dan sikap bangsa Indonesia dalam pendayagunaan keantariksaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan keamanan bangsa dan negara dan politik luar negeri Indonesia. Halaman | 97 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 176. Kerja sama bilateral di bidang kedirgantaraan antar negara berkembang dan antara negara berkembang dan negara maju terus meningkat. Kerja sama antar negara berkembang dalam sektor keantariksaan, sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, masih dalam tukar-menukar pengalaman dan informasi. Kerja sama antara negara berkembang dan negara maju, selain tukar-menukar pengalaman dan informasi serta pelaksanaan kegiatan aplikasi teknologi antariksa, juga telah berlangsung dalam pengembangan teknologi satelit (utamanya satelit ukuran kecil). 177. Kerja sama antara negara berkembang dan negara maju dalam konteks alih teknologi antariksa utamanya teknologi roket yang selama ini jarang terjadi, (kalaupun terjadi, negara berkembang harus membeli dengan biaya yang cukup besar), akhir-akhir ini telah muncul tanda-tanda kecil bahwa negara tertentu seperti China (melalui industri/sektor swasta) akan membuka diri untuk kerja sama dalam konteks alih teknologi. Mungkin melalui pendekatan yang tepat, Rusia, Ukraina dan India juga terbuka untuk alih teknologi tersebut. Permasalahannya ialah bahwa dalam kerja sama alih teknologi seperti itu, negara penerima alih teknologi akan berperan sebagai pembeli artinya harus membayar kepada pemberi teknologi sebesar yang disepakati kedua belah pihak. 178. China dengan kekuatan ekonominya yang semakin meningkat dan penanaman pengaruh terhadap negara-negara dan sekaligus dukungan bagi China untuk kepemimpinannya dalam keamanan global diperkirakan akan bersedia memberikan pinjaman dalam kerja sama alih teknologi tersebut. Berbeda halnya dengan Rusia, Ukraina dan India, pinjaman seperti itu akan sulit terrealisasikan. Sedangkan dengan negara-negara Eropa (ESA), Amerika Serikat dan Jepang, kerja sama alih teknologi roket nampaknya dalam dekade mendatang masih belum dapat berlangsung. NASA (Amerika Serikat) dalam kebijakan strategisnya secara jelas dinyatakan bahwa NASA akan bekerja sama dengan institusi dari negara lain hanya apabila institusi dari negara lain tersebut mampu memenuhi komitmennya (a.l. sejumlah dana tertentu), sangat bermanfaat dan menghasilkan “cost savings”, keahlian dan fasilitas khusus bagi NASA secara berimbang. Sehubungan dengan ini, negara berkembang yang mempunyai kemampuan ekonomi dan teknologi antariksa yang masih rendah sangat kecil kemungkinannya untuk dapat melakukan kerjasama dengan Amerika Serikat dalam pengembangan teknologi antariksa. 179. Satu hal yang cukup menonjol dalam kerjasama bilateral (termasuk kerjasama multilateral) saat ini dan diyakini berlaku ke depan ialah bahwa setiap negara peserta (participant) harus dapat berkontribusi dalam pendanaan ataupun teknologi. Kerjasama bilateral ataupun multilateral saat ini selalu menerapkan prinsip ‘fair return’. Halaman | 98 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 180. Berdasarkan kondisi tersebut di atas, maka Dalam RUUK dimuat rumusan kerja sama keantariksaan Indonesia sebagai berikut : a. Kerjasama internasional keantariksaan diarahkan kepada upaya alih teknologi dan/atau ilmu pengetahuan dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan teknologi keantariksaan, serta mendorong kemandirian dalam teknologi keantariksaan. b. Dalam rangka proses pencapaian arah tersebut, untuk setiap bidang alih teknologi keantariksaan, setiap pelaksanaan kerja sama internasional keantariksaan dapat mempertimbangkan: 1) Peluang pelatihan dan bekerja bagi staf teknisi terkait; 2) Hubungan dengan pusat-pusat penelitian baik pemerintah maupun swasta; 3) Pengusahaan bersama oleh swasta dan pemerintah; 4) Dorongan pengembangan kemampuan kapasitas untuk penelitian, penerapan dan manajemen melalui pengembangan sumber daya manusia, peningkatan kapasitas kelembagaan untuk penelitian dan pengembangan, program-program implementasi, penelitian kebutuhan teknologi dan kemitraan jangka panjang antara pemilik teknologi dan pengguna potensial lokal. c. Setiap Penyelenggara dapat melaksanakan kerja sama keantariksaan secara mandiri maupun bekerjasama dengan pihak lain atas dasar prinsip sukarela, kesetaraan, dan saling menguntungkan serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. d. Kerja sama internasional keantariksaan antara penyelenggara nasional dan lembaga swasta asing/pihak asing wajib diberitahukan kepada Lembaga. e. Setiap partisipasi Delegasi Republik Indonesia dalam fora internasional keantariksaan terlebih dahulu memperoleh rekomendasi dari Lembaga. H. Keamanan dan Keselamatan 181. Industri antariksa telah berkembang dengan sangat pesat di hampir seluruh dunia dan bersamaan dengan itu meningkat pula kebutuhan untuk memastikan dan menjamin keselamatan masyarakat, personil yang terlibat di bumi, kru, dan partisipan lainnya yang terlibat dalam kegiatan keantariksaan. Meningkatnya resiko keselamatan ini merupakan dampak meluasnya upaya internasional baik sipil maupun komersial yang saat ini melibatkan berpuluh lembaga dan perusahaan baru di seluruh dunia, baik yang merupakan bisnis peluncuran komersial secara umum dan peluncuran wahana antariksa berawak maupun pengembangan wisata antariksa, dengan membangun berbagai tipe wahana antariksa dan roket. Peningkatan resiko ini juga merefleksikan kurangnya kemajuan teknis, Halaman | 99 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan lemah atau tidak adanya aturan internasional, dan kurangnya standard internasional yang valid. 182. Resiko keselamatan dalam misi antariksa bisa didefinisikan secara luas, mengacu pada keselamatan masyarakat umum (di bumi, laut, dan udara), keselamatan personil peluncuran, dan keselamatan awak wahana antariksa. Keselamatan antariksa secara umum juga bisa didefinisikan lebih luas mencakup upaya perlindungan fasilitas berharga di bumi (misalnya launching pad), perlindungan system strategis dan mahal di orbit (misalnya satelit dan stasiun bumi), dan perlindungan lingkungan bumi dan antariksa. 183. Sampai saat ini, sudah hampir banyak orang yang tewas di bumi karena ledakan roket selama pembuatan, persiapan peluncuran, maupun saat peluncuran. Beberapa peluncuran juga harus ditunda atau dibatalkan oleh petugas keselamatan peluncuran untuk melindungi masyarakat dari resiko karena peluncuran diperkirakan bermasalah. Beberapa kali pula terjadi kasus kegagalan peluncuran sehingga terjadi ledakan di tempat peluncuran ataupun wahana yang diluncurkan gagal mencapai orbit dan kembali ke bumi tanpa bisa dikendalikan. Selain itu, beberapa astronot juga tewas dalam penerbangan mereka ke atau kembali dari antariksa. Sebagai perbandingan, resiko kehilangan nyawa dalam penerbangan pesawat komersial diperkirakan satu dalam dua juta penerbangan, resiko kehilangan nyawa dalam pertempuran menggunakan pesawat jet sekitar satu dalam sepuluh ribu penerbangan, sedangkan resiko kehilangan nyawa dalam penerbangan wahana antariksa berawak adalah satu dalam seratus penerbangan. 184. Selain resiko kehilangan nyawa manusia, dalam kategori lain adalah resiko kerusakan lingkungan misalnya karena penyebaran material radioaktif akibat ledakan dalam proses peluncuran. Selain itu, ada resiko banyaknya sampah antariksa (space debris) dan resiko re-entry wahana antariksa yang tidak dapat dikendalikan. Sampah antariksa terdiri dari bangkai satelit (satelit yang sudah tidak digunakan), pecahan logam, sampah dari ledakan satelit, dan lain-lain. Beberapa material ini akan terus berada di orbit bumi selama ratusan tahun dan berpotensi menimbulkan bencana apabila bertabrakan dengan satelit atau wahana antariksa yang aktif. 185. Kegiatan keantariksaan, yang dilakukan dengan mengacu pada traktat-traktat yang telah disahkan oleh PBB, bisa menyebabkan bahaya pada manusia dan membuat kerusakan pada property umum maupun swasta serta lingkungan. Beragamnya disiplin professional yang terkait dengan kegiatan keantariksaan dan tanggung jawab hukum yang melekat pada negara-negara memerlukan regulasi internasional untuk melindungi penduduk bumi dari konsekuensi-konsekuensi yang mungkin ditimbulkan dari kegiatan keantariksaan. Terkait dengan upaya perlindungan tersebut, Halaman | 100 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan saat ini terdapat beberapa standard keselamatan kegiatan keantariksaan internasional yang termuat dalam ISO Safety Standards, antara lain: a. ISO 14620-1 (Space Systems-Safety Requirements-Part 1: System Safety) b. ISO 14620-2 (Space Systems-Safety Requirements-Part 2: Launch Site Operation) c. ISO 14620-3 (Space Systems-Safety Requirements-Part 3: Flight Safety System); d. ISO 17666 (Space Systems-Risk Management) e. ISO 14624 1 to 7 (Space Systems-Safety and Compatibility of Materials-Part 1 to 7) dan lain. 186. Standard-standard tersebut disusun oleh komite teknis ISO yang terkait dengan system dan operasi keantariksaan (space systems and operation)-TC 20/SC 14, yang terdiri dari: Amerika Serikat (selaku sekretariat), Brazil, Canada, China, Inggris, Israel, Italy, Jepang, Jerman, Perancis, Rusia, dan Ukraina. Selain itu, terdapat beberapa negara selaku observer, yakni: Argentina, India, Korea Selatan, Polandia, Slovakia, dan Swedia. 187. Sehubungan dengan hal tersebut, terkait dengan keamanan dan keselamatan keantariksaan, maka dalam UUK ini ditetapkan sebagai berikut: 1) Yang dimaksud keamanan keantariksaan adalah suatu keadaan yang memberikan perlindungan kepada keantariksaan dari tindakan melawan hukum melalui keterpaduan pemanfaatan sumber daya manusia, fasilitas, dan prosedur. Sedangkan Keselamatan keantariksaan adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dalam pemanfaatan wilayah Indonesia, wahana antariksa, kawasan bandar antariksa, transportasi antariksa, navigasi keantariksaan, masyarakat, serta fasilitas penunjang dan fasilitas umum lainnya. 2) Kewenangan LAPAN untuk membuat program dan stándar keamanan dan keselamatan keantariksaan. 188. Dalam kaitan ini, program keamanan dan keselamatan tersebut sangat terkait dengan aplikasi secara teknis, untuk itu, dengan berinduk pada UUK ini perlu ditetapkan dalam ketentuan khusus yang bersifat teknis yang akan ditetapkan oleh Kepala LAPAN yang berkoordinasi dengan instansi terkait. I. Pendaftaran dan Lisensi 1. Pendaftaran Halaman | 101 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 189. Pendaftaran infrastruktur di bidang keantariksaan merupakan aspek yang penting dan sangat terkait dengan masalah tanggung jawab dan penggantian kerugian. Saat ini berdasarkan ketentuan internasional terdapat 2 jenis pendaftaran yaitu Pendaftaran berdasarkan Registration Convention 1975 yang terkait dengan pendaftaran benda antariksa ke PBB (dhi. OOSA) dan (ii) Pendaftaran berdasarkan ketentuan Internasional Telecomunication Union terkait dengan pendaftaran penggunaan slot orbit dan spektrum frekuensi. Khusus terhadap masalah pendaftaran slot orbit dan spektrum frekuensi ke ITU tunduk pada ketentuan ITU. 190. Khusus untuk kepentingan telekomunikasi dan penyiaran di Indonesia ketentuan implementasinya sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, dan peraturan pelaksanaannya dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran dan peraturan pelaksanaannya. 191. Konvensi tentang pendaftaran atas benda/obyek yang diluncurkan ke antariksa atau yang dikenal dengan Registration Convention 1975 merupakan penjabaran dari ketentuan Pasal VIII Traktat Antariksa 1967. Perjanjian yang terdiri dari 12 pasal ini mengatur hal-hal sebagai berikut: a. Kewajiban Negara peluncur untuk mendaftarkan objek yang diluncurkan ke antariksa dalam suatu sistem pendaftaran yang terpelihara serta melaporkan pendaftaran tersebut kepada Sekretaris Jenderal PBB; b. Dalam suatu peluncuran bersama para pihak wajib menetapkan pihak yang harus melakukan pendaftaran; c. Sekretaris Jenderal PBB wajib memelihara catatan pendaftaran atas benda-benda yang diluncurkan ke antariksa, termasuk segala informasi yang melengkapinya. Informasi yang ada dalam catatan pendaftaran tersebut bersifat terbuka untuk diakses secara penuh; d. Informasi-informasi apa yang harus disampaikan oleh Negara pendaftar seperti: nama Negara peluncur; tanda-tanda dan nomor registrasi ; tanggal dan wilayah atau lokasi peluncuran; parameter dasar orbit yang meliputi “nodal period”, “apogee”, dan “perigee”; fungsi umum dari benda antariksa yang bersangkutan; informasi lain yang diperlukan yang disampaikan secara berkala; dan informasi dalam hal benda angkasa tersebut sudah tidak berfungsi; e. Kerjasama untuk memberikan bantuan dalam mengidentifikasi benda antariksa yang menimbulkan kerugian; f. Berlakunya perjanjian ini bagi Intergovernmental Organization (IGO) yang menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan konvensi. Halaman | 102 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 192. Berdasarkan ketentuan Registration Convention, 1975 terdapat beberapa bentuk kewajiban negara anggota dalam rangka mematuhi ketentuan ini yaitu : a. Tiap Negara peluncur harus mendaftarkan benda antariksa yang diluncurkannya kepada Sekjen PBB (Pasal II Ayat (1)); b. Sesegera mungkin memberitahukan mengenai objek antariksa yang telah didaftar dan tidak berada lagi di orbit (Pasal IV ayat 1); c. Jika suatu objek antariksa diluncurkan ke orbit bumi ditandai dengan suatu tanda dan/atau nomor pendaftaran, Negara tersebut harus memberitahukan Sekjen PBB tentang keadaan/fakta tersebut (Pasal V); d. Dari waktu kewaktu boleh memberikan keterangan tambahan tentang objek antariksa yang telah didaftarkan kepada Sekjen PBB (Pasal IV ayat 2); e. Jika suatu Negara Peserta tidak mampu mengidentifikasi benda antariksa yang menyebabkan keadaan bahaya, Negara-negara peserta lain yang mempunyai fasilitas monitor dan fasilitas penjejak (Tracking), atas suatu permintaan, harus memberikan pertolongan seluas-luasnya atau memberitahukan Sekjen PBB untuk membantu sesuai dengan kondisi yang ada dari benda antariksa tersebut (Pasal VI para 1). 193. Sesuai dengan Status Indonesia sebagai Negara Pihak, maka khusus masalah pendaftaran ini, LAPAN telah mengirim surat ke Ditjen Postel dan memperoleh jawaban berupa surat persetujuan tentang LAPAN untuk menjadi pelaksana pendaftaran benda antariksa (roket dan satelit) Indonesia ke Sekretariat Jenderal PBB. Namun surat tersebut tidak menyebutkan tentang pembentukan Badan Register Nasional Benda Antariksa. Sehubungan dengan hal tersebut maka pengaturan tentang pendaftaran ini LAPAN hanya memuat tata cara pendaftaran Benda Antariksa ke LAPAN dan LAPAN ke PBB. Namun siapa yang berwenang memberikan tanda dan atau nomor pendaftaran (semestinya adalah wewenang Badan Register Nasional Benda Antariksa). 194. Selain kedua jenis, pendaftaran tersebut di atas, saat ini sedang disusun The Preliminary Draft Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Space Assets. Rencananya draft protocol ini akan disahkan pada sidang Governing Council Unidroit tahun 2011. Protocol Space Asset ini juga memberikan kewajiban untuk melakukan pendaftaran benda antariksa terkait dengan masalah perjanjian penjaminannya. Oleh karena itu, berdasarkan kondisi tersebut, masalah pendaftaran di bidang keantariksaan sampai saat ini, yang diatur hanya hal-hal yang terkait dengan pendaftaran untuk kepentingan telekomunikasi dan penyiaran. 195. Berdasarkan kondisi tersebut diatas, maka dalam UUK, akan diatur masalah pendaftaran di luar yang telah dicakup dalam Undang-Undang Halaman | 103 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Telekomunikasi dan Penyiaran tersebut. Adapun secara rinci ketentuan tentang pendaftaran ini akan diatur dalam Peraturan kepala LAPAN, mengingat cakupannya yang bersifat teknis operasional. Namun demikian sunguhpun bersifat teknis, pengaturan ini harus mampu mengikat keluar ke dalam. 2. Lisensi/Perijinan 196. Ketentuan tentang perijinan sangat penting dalam kegiatan keantariksaan, hal ini mengingat sifat dari kegiatan keantariksaan itu sendiri yang high tech, high risk dan highcost. Di samping itu, perijinan ini juga menjadi salah satu bentuk pelaksanaan kewajiban internasional yang termuat dalam Traktat Antariksa 1967, khususnya Pasal VI dan Pasal VIII, dimana negara wajib melakukan pengawasan dan pengendalian secara terus menerus terhadap penyelenggaraan keantariksaan nasionalnya. Salah satu bentuk pengawasan dan pengendalian pemerintah tersebut adalah melalui pemberian izin atau otorisasi. 197. Dilihat dari kegiatannya terdapat beberapa bentuk perijinan dalam penyelenggaraan keantariksaan antara lain : a. Ijin pembangunan infrastruktur keantariksaan; b. Ijin tempat kegiatan peluncuran; c. Ijin peluncuran d. Ijin penggunaan frekuensi dan slot orbit; e. Bentuk perijinan lainnya; 198. Mengingat bahwa ijin keantariksaan untuk kepentingan pemanfaatan telekomunikasi dan penyiaran sudah diatur dalam peraturan perundangundangan yang ada. Maka dalam konteks peraturan ini, semua perijinan yang telah diatur, akan tunduk pada aturan yang berlaku. Sedangkan perijinan yang belum diatur atau diluar ketentuan yang berlaku saat ini, adalah termasuk materi yang akan diatur dalam UUK ini. Untuk itu, dalam implementasinya mengenai perijinan ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah tersendiri. J. Tanggung Jawab dan Kerugian 199. Secara umum tanggung jawab dapat dibedakan dalam tanggung jawab yang bersifat publik (responsibility) dan tanggung jawab yang bersifat keperdataan (liability). Tanggung jawab dalam arti liability berarti kewajiban untuk mengganti kerugian atau mengembalikan kepada keadaan semula, sedangkan tanggung jawab dalam arti responsibility adalah hal-hal yang secara hukum harus dipertanggungjawabkan kepada suatu pihak. Dengan demikian responsibility mempunyai pengertian yang lebih luas, baik dalam bentuk maupun cakupannya. Responsibility dapat berupa tindakan berbuat Halaman | 104 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan atau tidak berbuat sesuatu. Liability lahir dari adanya responsibility, akan tetapi tidak semua responsibility mengakibatkan adanya liability. 200. Pihak yang dapat dikenakan pertanggungjawaban dapat berupa negara dan bukan negara (organisasi internasional, badan hukum dan perseorangan). Tanggung jawab negara dalam arti responsibility, menurut Oppenheim dapat dibagi dua yaitu Vicarious State Responsibility dengan Original State Responsibility. Original State Responsibility timbul dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh atau atas ijin pemerintah suatu negara. Sedangkan Vicarious State Responsibility timbul dari tindakan tanpa kuasa, baik yang dilakukan oleh organ-organ negara, perseorangan, atau pribadi hukum lainnya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa akibat hukum dari perbuatan yang dilakukan tanpa kuasa tidak selalu menimbulkan tanggung jawab pada negara yang bersangkutan101 . 201. Dalam kondisi masyarakat yang semakin kompleks, dimana hubungan yang dilakukan tidak terbatas antar negara/pemerintah saja, tetapi juga meliputi hubungan antar lembaga-lembaga, organisasiorganisasi, perwakilan dan bahkan individu, maka permasalahan tanggung jawab negara juga semakin kompleks. Atas dasar kekompleksan permasalahannya, maka banyak dikembangkan teori-teori yang berkaitan dengan tanggung jawab negara. 202. Teori-teori yang berkaitan dengan tanggung jawab negara ini tidak lepas dari pengaruh perkembangan mengenai hukum pertanggungan dalam hukum keperdataan yang berlaku di masyarakat yang pada awalnya mempunyai lingkup domestik (lokal) , kemudian berkembang pada lingkup yang lebih luas. Konsep perbuatan melawan hukum yang semula didasarkan atas adanya unsur kesalahan (fault theory), artinya tiada tanggung jawab untuk mengganti kerugian tanpa bukti adanya kesalahan (no liability without fault). Namun kemudian pada akhir abad ke XIX prinsip ini tidak dapat lagi dipertahankan sebagai satu-satunya prinsip pertanggungjawaban, karena dianggap tidak lagi sepenuhnya mampu memenuhi tuntutan perkembangan kegiatan manusia. Pergeseran nilai ini ditunjukkan melalui putusan hakim dalam kasus Ryland Vs Fletcher, dimana dinyatakan: ...The doctrine of strict liability (or absolute liability) has evolved in modern times in scertain kinds of situation where injury has been caused by an activity that is not wrongful, but give rise to liability in the absence of an allegation of negligence or fault.... 203. Pada perkembangan selanjutnya ternyata prinsip ganti rugi yang berkembang pada hukum keperdataan tersebut mempengaruhi perkembangan teori-teori tentang tanggung jawab negara (state responsibility). Sehubungan dengan masalah tanggung jawab ini, IBR. Supancana, “Tanggung Jawab dalam Kegiatan Kedirgantaraan”, Bahan Masukan Penyusunan RUU Kedirgantaraan Nasional, 1995. 101 Halaman | 105 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan diperlukan adanya kejelasan mengenai pihak-pihak yang bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh penyelenggaraan keantariksaan yang dilakukannya, serta prinsip tanggung jawab yang diberlakukan baik kegiatan tersebut dilakukan oleh negara maupun subyek hukum lainnya. 204. Perjanjian yang terdiri dari 28 (dua puluh delapan) pasal ini memuat ketentuan-ketentuan pokok sebagai berikut: a. Pengertian-pengertian pokok seperti kerugian (damage), peluncuran (launching), negara peluncur (launching state), benda antariksa (space object); b. Prinsip pertanggungjawaban yang bersifat absolut (absolute liability) dalam hal kerugian terjadi pada permukaan bumi atau pada pesawat udara yang sedang dalam penerbangan. Sementara itu bagi kerugian yang terjadi antariksa, maka pertanggungjawabannya didasarkan atas unsure kesalahan (liability based on fault); c. Pihak yang bertanggungjawab atas kerugian yang diakibatkan oleh benda-benda antariksa adalah Negara peluncur (launching state) yang meliputi:Negara yang benar-benar meluncurkan, Negara yang membiayai peluncuran maupun Negara yang menyediakan wilayah dan fasilitasnya untuk kepentingan peluncuran. Dalam hal dilakukan peluncuran bersama, maka pertanggungjawabannya bersifat bersama-sama dan tanggung renteng.; d. Pihak yang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi adalah Negara yang tidak termasuk dalam pengertian Negara peluncur (termasuk badan hukum maupun badan pribadinya) yang menderita kerugian akibat kegiatan Negara peluncur; e. Tata cara pengajuan tuntutan ganti rugi pada instansi pertama dilakukan melalui saluran diplomatik (diplomatic channel), jika gagal dapat dibentuk Komisi Penuntut (claim commission) atas kesepakatan Negara korban dan Negara peluncur. Gugatan juga dapat dilakukan melalui pengadilan, pengadilan administrasi atau badan-badan pemerintah terkait pada Negara peluncur; f. Penetapan jumlah ganti rugi harus didasarkan atas prinsipprinsip hukum internasional serta prinsip keadilan untuk memulihkan keadaan korban seperti sebelumnya; g. Dalam hal terjadinya “large scale danger” sebagai akibat dari kegiatan benda antariksa yang dapat membahayakan kehidupan manusia dan kehidupan, maka Negara peluncur wajib memberikan bantuan kepada Negara korban dalam melakukan “search and recovery and clean-up operation” jika diminta oleh Negara korban; Halaman | 106 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan h. Perjanjian ini juga berlaku bagi organisasi internasional yang menyatakan menerima hak-hak dan kewajiban sebagaimana diatur dalam perjanjian ini. 205. Sebagaimana diketahui, Liability Convention, 1972 memuat tentang tanggung jawab Negara peluncur terhadap akibat kegiatan keantariksaannya. Sistim pertanggung jawaban Negara peluncur ini tidak begitu lazim dalam hukum internasional, karena tidak ditemukan ketentuan yang sama di bidang lainnya, tidak juga untuk kegiatan-kegiatan industri nuklir. Menurut pandangan Armel Kerres, Liability Convention, 1972 memuat ketentuan yang dipandang sangat efisien berkaitan dengan korban di Bumi yaitu102 : a. Tujuannya adalah untuk tanggung jawab bagi korban di bumi, tidak untuk di antariksa. Tidak ada kesalahan yang harus dibuktikan, hal ini sangat penting, karena tidak mungkin bagi korban untuk membuktikan kesalahan dari suatu kegiatan yang bersifat rahasia di antariksa. b. Tanggung jawab untuk jumlah yang tidak terbatas. Tidak seperti kejadian yang terjadi di laut atau kecelakaan nuklir yang terdapat batasan jumlah yang harus dibayarkan. Hal ini dipandang penting dan adil, karena tidaklah fair apabila korban yang secara potensial tidak melakukan apa-apa menderita kerugian. c. Tanggung jawab tidak memiliki batas waktu; d. Tanggung jawab mutlak. Tidak terdapat kemungkinan membebaskan diri dari tanggung jawab. Tidak juga tindakan tuhan, tidak ada kesalahan pihak ketiga, tidak juga ada kesalahan dari korban. Hanya terhadap kesalahan fatal, atau tindakan atau kelalaian yang dilakukan yang menimbulkan kerugian (Liability based on gross negligence, or an act, or omission done with intent to cause damage, sesuai dengan Pasal VI Liability Convention, 1972). e. Tanggung jawab bersifat global. Tanggung jawab Negara peluncur berlaku terhadap semua bentuk kegiatan, pada waktu peluncuran, phase pemisahan, melintas di orbit, selama masa hidup satelit di orbit dan kembali ke Bumi (de-orbit) beberapa abad kemudian. f. Jika terdapat lebih dari satu Negara peluncur atau jika dua benda antariksa berbenturan, maka Negara peluncur bertanggung jawab secara bersama-sama dan sebagian, berdasarkan kesepakatan di antara mereka. Hal ini tidak akan menggurangi hak korban untuk mendapatkan ganti kerugian secara penuh. Armel Kerres, “Liability Convention and Liability For Space Activities”, Proceeding UN/IASL on Capacity Building in Space Law, United Nations, 2003, halaman 28. 102 Halaman | 107 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 206. Liability Convention, 1972 mempertimbangkan kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kerugian yang disebabkan oleh suatu negara peluncur di mana saja hal itu terjadi. Perbedaan antara kerugian yang terjadi di bumi dan kerugian yang terjadi di antariksa, hanya berlakunya aturan yang lebih detil. Fakta bahwa kita hanya mempunyai satu sistem untuk kemungkinan kerugian di bumi dan untuk kemungkinan kerusakan di antariksa menghambat penerapan Konvensi. Kedua-kasus tersebut dan kewajiban yang dikenakan ditetapkan dalam suatu system yang sama yaitu Liability Convention, 1972. Dasar pemikiran atau logika yang timbul keduanya merupakan hal yang berbeda, oleh karena itu, aturannya pun harus berbeda. 207. Dalam suatu kasus dari suatu absolute liability, masalah ini merupakan hal yang pokok dalam hukum. Dalam hal ini suatu perjanjian, harus menentukan siapa yang dapat dikenakan kewajiban untuk bertanggung jawab. Liability Convention, 1972 menetapkan bahwa negara peluncur. Hal ini dipandang adalah tepat, namun demikian Liability Convention, 1972 menetapkan bahwa untuk peristiwa yang terjadi di antariksa negara peluncur dapat dikenakan, tetapi hanya jika kesalahannya terbukti. Hal seperti ini tidak berlaku bagi korban di bumi, dimana Negara peluncur bertanggung jawab secara mutlak. 208. Sehubungan dengan hal tersebut maka ruang lingkup Liability Convention,1972 dipandang hanya terbatas pada: a. Hanya terhadap kerugian yang disebabkan oleh benda antariksa. Liability Convention, 1972 menetapkan bahwa Negara peluncur bertanggung jawab terhadap setiap kerugian yang disebabkan oleh benda antariksanya. Apabila terjadi suatu kegagalan benda antariksa (sebagai contoh jika suatu satelit berhenti memancarkan signal) dan kerugian yang terjadi berlangsung di atas bumi. Di mana seseorang yang menggunakan signal yang dikirim oleh suatu benda antariksa tersebut bukanlah sebagai pihak ketiga untuk kegiatan tersebut dan mereka mengambil manfaat dari peristiwa tersebut. Berdasarkan kasus tersebut tercermin bahwa pada waktu mengesahkan Konvensi ini, Negara Peserta hanya mempunyai pikiran terhadap kerusakan phisik atau kerusakan mekanis dan bukan suatu gangguan pelayanan yang terkait dengan benda antariksa. b. Tidak berlaku tanggung jawab antar Negara peluncur. Apabila terjadi kasus, dimana suatu benda antariksa milik Pemerintah Germany diluncurkan dari Kourou oleh Roket Ariane. Beberapa tahun kemudian benda antariksa tersebut jatuh di Perancis dan menimbulkan kerugian pada warga Perancis. Dapatkah Perancis menuntut Germany berdasarkan Liability Convention, 1972. Halaman | 108 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Jelas jawabannya adalah tidak. Karena kedua Negara merupakan pihak yang secara bersama-sama bertanggung jawab terhadap akibat yang ditimbulkan oleh benda antariksa yang sama. Oleh karena itu, posisi Perancis tidaklah berbeda dengan posisi Germany, keduanya adalah Negara peluncur. Oleh karena itu, tidak mungkin antara satu Negara peluncur menuntut Negara peluncur lainnya untuk akibat yang ditimbulkan oleh benda antariksa yang sama mereka luncurkan, berdasarkan ketentuan Liability Convention, 1972. Kemungkinan bagi Perancis menuntut pihak Germany hanya berdasarkan persetujuan yang ada di antara mereka. c. Tidak mengatur tentang pembagian Risiko antar Negara peluncur. Berdasarkan Pasal V ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa ayat (i) “Bila mana dua atau lebih Negara bersama meluncurkan sebuah benda antariksa, mereka secara bersama atau sendirisendiri bertanggung jawab atas setiap kerusakan yang disebabkan oleh mereka. Ayat (2) Negara peluncur yang telah membayar ganti rugi atas kerugian ,mempunyai hak untuk menuntut penggantian kepada Negara peserta lainnya yang ikut dalam peluncuran bersama tersebut. Negara peserta dalam suatu peluncuran bersama dapat membuat perjanjian tentang besarnya tanggung jawab keuangan yang menjadi kewajiban mereka terhadap hal-hal yang merupakan tanggung jawab mereka bersama atau tanggung jawab mereka sendiri-sendiri. Perjanjian tersebut harus tanpa mengurangi adanya hak satu Negara yang menderita kerusakan untuk memperoleh semua ganti rugi berdasarkan konvensi ini dari setiap atau semua Negara peluncur secara bersama dan atau sendiri-sendiri. 209. Berdasarkan Pasal IV ayat 2, menyatakan bahwa dalam hal tanggung jawab secara bersama dan tanggung jawab secara sendiri-sendiri yang dinyatakan dalam ayat (1) Pasal ini, beban ganti rugi terhadap kerusakan dibagi secara adil antara kedua Negara penyebab kerusakan sesuai dengan besarnya kesalahan, bila besarnya kesalahan masing-masing tidak dapat ditentukan, tanggung jawab ganti rugi harus dibagi sama antara kedua Negara tersebut. Pembagian tersebut harus tanpa mengurangi hak Negara ketiga untuk mendapatkan seluruh ganti rugi yang harus dibayar berdasarkan Konvensi ini dari salah satu atau semua Negara peluncur yang secara bersama dan sendiri-sendiri bertanggung jawab. 210. Berdasarkan kedua materi tersebut di atas, terlihat bahwa Liability Convention, mengakui adanya peluncuran bersama dan tanggung jawab bersama berdasarkan persetujuan di antara mereka. Namun dalam beberapa kasus, terdapat Negara peluncur yang keterlibatannya sangat sedikit, seperti halnya Negara-negara yang hanya meminjamkan wilayahnya Halaman | 109 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan kepada Negara lain untuk melakukan kegiatan peluncuran. tidak diatur oleh Liability Convention, 1972. Hal ini jelas 211. Liability Convention, 1972 menentukan bahwa setiap tuntutan ganti rugi harus diajukan oleh negara penuntut melalui saluran diplomatik atau jika negara tersebut tidak mempunyai hubungan diplomatik dengan negara peluncur, negara penuntut dapat meminta negara lain untuk mengajukan tuntutan terhadap negara peluncur atau mewakili kepentingannya melalui Sekretaris Jenderal PBB asalkan kedua pihak merupakan anggota PBB. Tuntutan ganti rugi atas kerugian harus diajukan kepada negara peluncur dalam waktu tidak lebih dari satu tahun sejak tanggal terjadinya kerugian atau tanggal diketahuinya negara peluncur yang bertanggung jawab, atau mulai dari diketahuinya fakta-fakta adanya kerugian tersebut. Pengajuan perubahan tuntutan dan dokumen tambahan dimungkinkan menurut konvensi ini, walaupun batas waktu sudah habis, yaitu dalam hal ketika tuntutan diajukan kerusakan belum diketahui seluruhnya. 212. Apabila tuntutan ganti rugi melalui saluran diplomatik tidak dapat menyelesaikan kasus tersebut, maka dalam waktu satu satu tahun sejak negara penuntut memberitahu negara peluncur tentang penyerahan dokumen tuntutannya, atas permohonan salah satu pihak, kedua pihak harus membentuk Komisi Penuntut yang akan menyelesaikan kasus tersebut. Komisi penuntut menentukan prosedur penyelesaian tuntutan, tempat sidang, nilai-nilai tuntutan dan menetapkan besarnya ganti kerugian yang bisa dibayarkan, bila ada. Keputusan Komisi merupakan keputusan final dan mengikat para pihak, dengan catatan apabila kedua belah pihak menyetujuinya. Apabila kedua pihak tidak menyetujui keputusan tersebut, Komisi harus memberikan putusan berupa rekomendasi akhir untuk mana para pihak harus mempertimbangkan dengan itikad baik. Komisi harus memberi suatu alasan putusannya kepada Negara penuntut dan peluncur. Berdasarkan mekanisme tersebut di atas, terlihat bahwa Keputusan Komisi Penuntut tidaklah merupakan keputusan hukum yang mengikat dan bersifat final. 213. Indonesia telah meratifikasi Liability Convention 1972, oleh karena itu semua ketentuannya harus diaplikasikan dalam UUK ini. Sehubungan dengan aplikasi tersebut, maka beberapa prinsip umum yang ada dalam Liability Convention 1972, dimuat secara tegas dalam UUK ini yaitu : a. Penetapan bahwa Pemerintah RI akan bertanggung jawab terhadap semua kegiatan keantariksaan nasionalnya. b. Pelimpahan tanggung jawab negara RI terhadap penyelenggara keantariksaan dalam mengganti kerugian yang ditimbulkan terhadap pihak ketiga dan kerusakan lingkungan. c. Pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak bagi setiap kegiatan keantariksaan terhadap korban di Bumi dan di ruang udara (pihak ketiga); d. Pemberlakuan Prinsip tanggung jawab atas kesalahan terhadap Halaman | 110 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan e. f. kerugian di antariksa. Pengalihan tanggung jawab secara otomatis apabila terjadi transfer kepemilikan benda antariksa di orbit pada waktu tanggal terjadinya persetujuan. Sedangkan besaran penggantian kerugian ditentukan berdasarkan kondisi dengan menganut prinsip pemulihan kembali pada keadaan semula (khusus untuk kerugian terjadi terhadap pihak ketiga dan kerusakan lingkungan). 214. Sehubungan dengan aplikasi lebih lanjut berbagai prinsip utama tersebut di atas, maka akan dimuat dalam bentuk Peraturan Pemerintah. K. Asuransi dan Penjaminan 1. Asuransi 215. Asuransi merupakan salah satu bentuk yang diwajibkan dalam pelaksanaan penyelenggaraan keantariksaan. Premi asuransi peluncuran satelit masih cukup tinggi, berkisar antara 17-19 % dari nilai satelit. Tingginya premi ini disebabkan oleh masih tingginya resiko yang timbul dari jenis kegiatan keantariksaan ini. Berbagai faktor ikut menentukan besarnya premi, seperti jumlah kegagalan peluncuran, jumlah klaim yang diajukan, besar kerugian yang diderita, peluncuran yang digunakan dan kapasitas asuransi yang tersedia pada perusahaan-perusahaan asuransi. Di samping itu, pembuat satelit dan muatan (payload) dan para subkontraktornya juga dapat menjadi bahan pertimbangan. 216. Dari klaim terhadap perusahaan asuransi dapat terlihat masih tingginya resiko peluncuran satelit. 67 % dari klaim yang diajukan berkaitan dengan kegagalan kendaraan peluncur, 20 % karena masalah yang timbul pada masa awal hidup satelit di orbit sebelum dialihkan kepada pemilik untuk penggunaan secara operasional, dan sisanya 13 % disebabkan oleh kegagalan dalam operasi satelit. Karena besarnya kemungkinan kerugian yang timbul, sudah menjadi praktek perusahaanperusahaan asuransi satelit di dunia untuk melakukan penanggungan bersama (co-insurance) dan pengasuransian kembali (re-insurance). Kapasitas asuransi yang tersedia pada perusahaan-perusahaan asuransi juga masih terbatas. Akibatnya, tidak mengherankan apabila kegagalan suatu peluncuran dapat menimbulkan pengaruh yang cukup besar terhadap pendapatan perusahaan-perusahaan ini dari bisnis asuransi selanjutnya. 217. Dalam merundingkan kerugian premi, perusahaan dapat meningkatkan posisi tawarnya dengan menggunakan peralatan peluncuran yang mempunyai reputasi baik. Meskipun terbuka kemungkinan untuk meningkatkan posisi tawar, tetap timbul kritik terhadap perusahaan asuransi yang dalam praktek tidak membedakan premi untuk peluncuran Halaman | 111 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan yang mempunyai pengawasan kualitas yang ketat dan hanya menderita sedikit kerugian dengan peluncur yang mempunyai reputasi buruk. Dengan masih tingginya premi asuransi, terbuka kemungkinan beberapa bentuk penutupan asuransi. Pertama, perusahaan dapat menanggung sendiri segala resiko yang terjadi dengan satelit (self insurance) bentuk ini cocok untuk perusahaan-perusahaan besar atau para pemilik atau operator dari sejumlah satelit. Resiko kerugian dapat dikurangi melalui penggunaan dana secara internal yang dengan penutupan asuransi biasa dana tersebut akan dibayarkan perusahaan asuransi dalam bentuk premi. 218. INTELSAT adalah salah satu contoh operator satelit yang menanggung sendiri resiko satelitnya dan sekaligus mengalami akibat dari pertanggungan sendiri ini, yaitu ketika salah satu satelitnya gagal mencapai orbit yang dikehendaki. Pertanyaan yang timbul disini adalah dalam hal terjadi kerugian, apakah pihak operator dapat menuntut pihak lain. Di samping itu, perusahaan juga dapat menanggung sendiri sebagai dari resiko, sementara sebagian lagi dari resiko ditutup melalui asuransi komersil. INMARSAT menggunakan cara kombinasi ini untuk menanggung segala resiko satelit INMARSAT II. 219. Dalam asuransi satelit juga dikenal klausul on loss return premium yang berarti apabila tidak timbul kerugian, sebagian dari premi akan dikembalikan kepada tertanggung. Premi yang dikembalikan ini biasanya berkisar antara 15 sampai dengan 33,3 %. Penggunaan klausul ini banyak tergantung pada perkembangan pasar asuransi satelit. Dalam keadaan pasar yang buruk, misalnya apabila terjadi kegagalan beberapa peluncuran, akan makin sulit untuk memasukan klausul ini dalam ketentuan perjanjian asuransi peluncuran. Metode penutupan asuransi yang baru juga dikembangkan. Salah satu metode tersebut adalah asuransi paket (package insurance). Dengan asurnsi ini sejumlah satelit diasuransikan berdasarkan satu polis sehingga resiko tersebut dan pihak penanggung dapat menutup kerugian dengan mudah. 220. Sampai saat ini sudah terdapat beberapa jenis asuransi kegiatan keantariksaan yaitu : a. Construction Insurance (Memberikan jaminan atas kerusakan atau kerugian pada saat satelit dibuat di pabrik pembuat). b. Pre-Launch Insurance (memberikan jaminan atas kerusakan atau kerugian pada saat satelit diangkut dari pabrik pembuat ke launch site, perakitan dan verifikasi sub sistem satelit, hingga final test atas satelit sebelum diluncurkan). c. Launch Insurance (memberikan jaminan atas kerusakan atau kerugian (termasuk kegagalan peluncuran) pada satelit yang dimulai dari penyalaan roket hingga satelit mencapai orbitnya). d. Satelit In-Orbit Insurance (Memberikan jaminan atas kerusakan atau kerugian pada fase operasional satelit yakni saat satelit beroperasi di orbit yang telah ditetapkan). Halaman | 112 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan e. Liability Insurance (Memberikan jaminan atas tanggung jawab kepada pihak ketiga (property damage dan bodily injury) sejak masa konstruksi satelit hingga fase operasional satelit). 221. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka dalam UUK ini hanya diwajibkan kepada penyelenggara keantariksaan untuk membayar premi dalam jumlah maksimum yang mampu untuk menutup kerugian yang timbul terhadap pihak ketiga dan kerusakan lingkungan sesuai dengan prinsip tanggung jawab mutlak di atas. Sedangkan terhadap pembayaran bentuk premi asuransi lainnya, diserahkan sepenuhnya kepada pelaksana kegiatan apakah akan mengasuransikan atau tidak. 2. Penjaminan 222. Masalah menjadikan benda-benda antariksa sebagai obyek penjaminan merupakan masalah baru di bidang keantariksaan. Isu ini muncul pada waktu munculnya isu komersialisasi antariksa, yang kemudian dalam pembahasan aturan hukumnya UNCOPUOS menyerahkan kepada Unidroit. Sampai saat ini Unidroit telah mengesahkan 3 ketentuan terkait ini yaitu : (i) Convention on International Interests in Mobile Equipment (ii) Protocol To The Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Aircraft Equipment (keduanya disahkan secara bersamaan tanggal 16 Nopember 2001), (iii) the Luxembourg Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters specific to Railway Rolling Stock (disahkan 23 Pebruari 2007). Aircraft Protocol sesuai dengan ketentuan sudah berlaku sejak 1 Maret 2006. 223. Saat ini sedang dalam pembahasan protocol yang ketiga yaitu The Preliminary Draft Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipment on Matters Specific to Space Assets. Rencananya draft protocol ini akan disahkan pada sidang Governing Council Unidroit tahun 2011. Sesuai dengan tujuan protocol ini, maka Protocol Space Asset akan memberikan manfaat untuk; a. pengurangan biaya dan simplifikasi keuangan satelit, b. kesanggupan menarik lembaga keuangan yang lebih banyak untuk pendanaan satelit, c. Ketentuan yang seragam yang mencakup hak mulai sejak pabrikasi, sampai peluncuran bahkan setelahnya, d. Ketentuan-ketentuan yang melindungi lebih dari penyelenggara satelit saja, e. Ketentuan perlindungan terhadap kontrak-kontrak penjualan termasuk security agreements, retention agreements dan leasing agreements. f. Ketentuan perbaikan kesalahan yang cepat dan bersifat final. 224. Dilihat dari manfaat protocol tersebut, maka seperti halnya Protocol Aircraft, dimana Indonesia telah meratifikasinya bersamaan dengan Cape Halaman | 113 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Town Convention yaitu dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2007 Tentang Pengesahan Convention on International Interests in Mobile Equipment (Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak) Beserta Protocol to the Convention on International Interests in Mobile Equipmen on Matters Specific to Aircraft Equipment (Protokol Pada Konvensi Tentang Kepentingan Internasional Dalam Peralatan Bergerak Mengenai Masalah-Masalah Khusus Pada Peralatan Pesawat Udara), ada kemungkinan Indonesia akan meratifikasi Protocol Space Asset ini apabila telah disahkan. 225. Berdasarkan kondisi tersebut, maka dalam UUK ini dibuka kemungkinan untuk Indonesia memberlakukan Protokol Space Asset, dengan mengkaitkan materi muatannya pada ketentuan tentang komersialisasi antariksa yang akan disusun nantinya. Oleh karena itu pencantuman ketentuan penjaminan ini akan mengacu pada aspek tanggung jawab dan kerugian, sistem pendaftaran dan komersialisasi keantariksaan. L. Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual 226. Sangat disadari bahwa kegiatan keantariksaan terkait erat dengan aktivitas intelektual dimana hasil kreasi intelektual yang terjadi dilindungi dengan keberlakukuan hukum tentang hak kekayaan intelektual (contoh; Paten, Hak Cipta, Merek, Rahasia Dagang, dan lain-lain). Oleh karena itu, dalam perumusan UUK perlu diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang terkait dengan jasa nilai tambah dan juga produk-produk intelektual yang digunakan secara memadai. Termasuk di dalamnya adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual asing. Untuk itu, keserasian dengan undang-undang yang terkait di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual harus menjadi pedoman dalam penyusunan UUK. Di samping itu perjanjianperjanjian internacional di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual yang telah diratifikasi seyogyanya juga dijadikan pedoman. 227. Berbagai Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual mencakup antara lain: Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, undangundang No.14 tahun 2001 tentang Paten, Undang-undang No.31 tahun 2001 tantang Rahasia Dagang, Undang- undang No.32 tahun 2000 tentang Disain Tata letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-undang No.7 tahun 1994 tentang Pengesahan WTO Agreement, khususnya tentang TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights). Di samping itu terdapat beberapa Keputusan Presiden yang perlu diperhatikan yaitu: Keppres No. 16 tahun 1997 tentang Pengesahan Paten Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under The PCT. Keputusan Presiden No.19 tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copy Rights Treaty, serta Keputusan Presiden No. 18 Halaman | 114 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Liteary and Artistic Works. 228. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam UUK ini dimuat jaminan perlindungan bagi Hak Kekayaan Intelektual (HKI) keantariksaan yang dimiliki oleh perseorangan atau Badan Hukum yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut di atas. Di samping itu dalam hal kegiatan bersama di bidang keantariksaan yang melibatkan negara dan/atau badan usaha nasional dengan negara dan/atau badan usaha asing, Hak Kekayaan Intelektual (HKI) atas penemuan dan/atau ciptaan yang dihasilkan berdasarkan perjanjian bersama. M. Pelestarian Lingkungan 229. Berdasarkan Pasal IX Traktat Antariksa 1967, ditegaskan bahwa setiap negara yang melaksanakan kegiatan antariksa harus menghindari terjadinya bahaya kontaminasi dan perubahan yang dapat merusak lingkungan, termasuk lingkungan di Bumi. Apabila suatu negara mengetahui bahwa kegiatan atau percobaan yang dilakukannya atau warga negaranya akan membahayakan atau mengganggu kegiatan negara lain, maka negara yang melaksanakan kegiatan tersebut dapat mengkonsultasikan kegiatannya pada tingkat internasional. Dalam hal ini, negara lain mempunyai kesempatan untuk ikut mengawasi setiap kegiatan suatu negara yang diperkirakan dapat menimbulkan ancaman terhadap kegiatan eksplorasi dan penggunaan antariksa untuk tujuan damai. 230. Dengan pemahaman bahwa keantariksaan diabdikan bagi kepentingan kemanusiaan, maka dalam pelaksanaannya harus senantiasa berorientasi kepada lingkungan (environmental oriented) untuk kepentingan pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Dalam perkembangan terakhir dampak lingkungan yang timbul dari 103 penyelenggaraan keantariksaan meliputi : a. Pembangunan dan pengoperasian bandar antariksa dan infrastuktur bumi (spaceports and ground infrastructure) menyebabkan pencemaran terkait : kualitas udara, ruang udara, sumber daya biologi, aspek budaya, tanah dan geologi, hal-hal terkait material dan limbah berbahaya, kesehatan dan keselamatan, tata guna tanah, kebisingan, dampak sosio ekonomi dan keadilan lingkungan, kepadatan dan transportasi, dan sumber daya air. 103 Great Expectations An Assesment of the Potential for Sub Orbital Transportations Final Report - Master 2008, hal 69 – 73. Halaman | 115 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. c. d. Kebisingan (noise), sampai dengan saat ini belum ada studi terkait tingkatan ledakan suara dari wahana peluncur yang dapat diterima ambang batas kebisingan, Penipisan ozon (ozone depletion) yang dapat dipicu dari tipe bahan bahar yang dipergunakan (the types of propellants used) dalam kegiatan peluncuran roket, Jejak asap (carbon footprint) untuk kegiatan sistim transportasi suborbital diidentifikasi dengan parameter : penipisan ozon, keasaman, dan pemanasan global. Beberapa pakar menyarakan penggunaan bahan bakar cair (liquid propellant) sampai batas 12 s/d 20 km dimana masih terdapat selimut ozon. 231. Sehubungan dengan paragraf 230 di atas, ditingkat nasional telah ada berbagai undang-undang dan peraturan perundangan terkait di bidang perlindungan dan pelestarian lingkungan, antara lain: a. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup b. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; c. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1994 tentang Ratifikasi UN Convention on Biological Diversity; d. Undang-Undang Nomor 6 tahun 1994 tentang Pengesahan Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UN Framework Convention on Climate Change); e. Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, dll. 232. Berdasarkan pada paragraph 231 di atas, maka rumusan tentang pelestarian fungsi lingkungan bumi dan antariksa dimaksudkan sebagai rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan bumi dan antariksa. 233. Sehubungan dengan tujuan pelestarian lingkungan bumi dan antariksa, maka beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, antara lain : a. Daya dukung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan sumber daya lainnya serta keseimbangan antarketiganya. b. Daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Kerusakan lingkungan adalah perubahan langsung dan/atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. c. Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus Halaman | 116 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan d. ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya. Ekosistem adalah tatanan unsur lingkungan hidup yang merupakan kesatuan utuhmenyeluruh dan saling mempengaruhi dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas lingkungan hidup. 234. Penyelenggaraan keantariksaan merupakan suatu usaha dan/atau kegiatan yang dapat memberi pengaruh perubahan pada lingkungan hidup. Pada umumnya dampak penting pengaruh perubahan pada lingkungan hidup ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 235. Untuk mengukur besarnya dampak penting tersebut maka setiap penyelenggaraan keantariksaan wajib melakukan analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal. Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Dokumen AMDAL yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, meliputi: ANDAL (Analisis Dampak Lingkungan); RPL (Rencana Pemantauan Lingkungan); serta RKL (Rencana Pengelolaan Lingkungan). 236. Berdasarkan uraian pargaraf 229-235 di atas, maka dalam UUK ini dinyatakan bahwa setiap penyelenggaraan keantariksaan wajib mempertimbangkan perlindungan dan pelestarian lingkungan bumi dan antariksa yang dalam pelaksanaannya sesuai dengan peraturan perundang nasional dan internasional yang berlaku. Halaman | 117 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan N. Pembiayaan dan Insentif 1. Pembiayaan 237. Pada umumnya pembiayaan keantariksaan negara-negara ditetapkan dengan terlebih dahulu menetapkan program keantariksaan (space programmes) atau kebijakan keantariksaan (space policy). Berdasarkan space policy tersebut ditetapkan proyek unggulan dan tenggang waktu (time frame) untuk mencapainya. Pembiayaan keantariksaan ditetapkan berdasarkan besaran biaya yang dibutuhkan untuk menciptakan proyek unggulan tersebut. Oleh karena itu besaran pembiayaannya adalah besaran biaya keseluruhan menciptakan proyek unggulan dibagi waktu pencapaiannya. Penetapan biaya ini ditetapkan langsung dalam satu kebijakan untuk beberapa tahun. Beberapa contoh sistem pembiayaan tersebut adalah : a. Amerika Serikat : 238. Dalam 10 tahun yang akan datang, NASA akan berfokus kepada enam Strategic Goals untuk kemajuan pencapaian Visi Eksplorasi Antariksa (Space Exploration). Masing-masing dari 6 (enam) Strategic Goals didefinisikan secara jelas dan didukung oleh Outcomes multi-year yang akan meningkatkan kemampuan NASA untuk mengukur dan melaporkan pemenuhan-pemenuhan NASA dalam pencapaiannya. Adapun 6 tujuan strategis tersebut adalah sebagai berikut104 : Strategic Goal 1: Fly the Shuttle as safely as possible until its retirement, not later than 2010. Strategic Goal 2: Complete the International Space Station in a manner consistent with NASA’s International Partner commitments and the needs of human exploration. Strategic Goal 3: Develop a balanced overall program of science, exploration, and aeronautics consistent with the redirection of the human spaceflight program to focus on exploration. Strategic Goal 4: Bring a new Crew Exploration Vehicle into service as soon as possible after Shuttle retirement. Strategic Goal 5: Encourage the pursuit of appropriate partnerships with the emerging comercial space sector. Strategic Goal 6: establish a lunar return program having the maximum possible utility for later missions to Mars and other destinations. 104 National Aeronautics and Space Administration , “ 2006 NASA Strategic Plan”, 2006. Halaman | 118 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 239. Selanjutnya untuk masing-masing tujuan strategis ditetapkan proyek-proyek unggulan untuk pencapaiannya. Berdasarkan proyek unggulan NASA mengusulkan besaran biayanya yang summarynya terlihat dalam Tabel 2.15 dan Tabel 2.16 sebagai berikut 105 : Tabel 2.15 Permintaan Anggaran NASA Tahun 2010-2014 240. Berdasarkan usulan pembiayaan NASA, dilakukan pembahasan dan ditetapkan anggaran multi-year sekaligus sebagai berikut106: Tabel 2.16 Anggaran Multi-Tahun Amerika Serikat yang Disetujui 105 106 National Aeronautics and Space Administration, “Fiscal Year 2010 Budget Estimates” National Aeronautics and Space Administration, “Fiscal Year 2010 Budget Estimates”, Halaman | 119 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan b. Korea Selatan 241. Berdasarkan Law Number 7538, Space Development Promotion Act, 31 Mei 2005, Dalam Pasal 5 : Establishing Basic Plan for Promoting Space Development, Korea Selatan menetapkan program keantariksaannya sebagai berikut107 : (1) The Korean government shall establish a basic plan (hereinafter referred to as "Basic Plan") for promoting space development and for using and managing space objects. The Basic Plan shall include the following items: 1. Purpose and scope of space development policies; 2. Organizational structure and strategy for space development; 3. Implementation plan for space development; 4. Plans for expanding the foundation and infrastructure necessary for space development; 5. Investment planning for obtaining the financial resources necessary for space development; 6. Plans for training specialists necessary for space development; A/AC.105/C.2/2009/CRP.14, Law Number 7538, Space Development Promotion Act, 31 Mei 2005, 30 March 2009. 107 Halaman | 120 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 7. (2) (3) Outlines for international cooperation to promote space development; 8. Guidelines for promoting space development projects; 9. Matters related to the use and management of space objects; 10. Practical applications using the results of space development, such as satellite information, etc; and 11. Other provisions designated by Presidential Decree for the promotion of space development and the use and management of space objects. The Korean government shall develop a Basic Plan every five (5) years and it shall be confirmed by the National Space Committee in accordance with Article 6.1. When amending the Basic Plan, the same procedure shall apply, except for minor changes set by the Presidential Decree. The Minister of Science and Technology shall release the confirmed Basic Plan and develop an execution plan in accordance with the Basic Plan every year. This execution plan shall be deliberated on by the heads of related central administrative agencies (the "head of the National Intelligence Service" is included hereinafter); Information concerning national security may not be released. 242. Berdasarkan Basic Plan tersebut, Korea Selatan menetapkan program unggulan keantariksaan seperti Gambar 2.18. menunjukan program persatelitan Korea Selatan 108: Gambar 2.18 Program Persatelitan Korea Selatan Basic Research Bureau Ministry of Science and Technology (MOST) Republic of Korea “Space Development Policy and International Cooperation, Nov., 2007 108 Halaman | 121 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 243. Keberhasilan program keantariksaan Negara-negara di samping harus dengan sasaran yang jelas dan termasuk tahapannya juga ditentukan dengan komitmen anggaran yang dialokasikan. Di samping itu, sungguhpun telah dilakukan pentahapan yang jelas tidak jarang bahkan dapat dikatakan pada umumnya proyek dan program keantariksaan mengalami kemunduran dari jadual yang telah ditentukan. Kendala ini pada umumnya dapat bersifat teknis dan non teknis seperti keselamatan dan keamanan teknologi yang digunakan. Gambar 2.19 berikut memperlihatkan perbandingan besaran anggaran keantariksaan Negaranegara di dunia berdasarkan data anggaran tahun 2009. Dari gambar tersebut terlihat besaran biaya program keantariksaan beberapa Negara: a. Beberapa Negara Asia yaitu (i) Jepang US$ 2.340 Juta (ii) China US$ 1.269 Juta (iii) India US$ 906 Juta (iv) Iran US$ 100 Juta, (v) Pakistan US$ 71 Juta. b. Beberapa Negara Asean yaitu: (1) Malaysia US$ 25 Juta, (ii) Thailand US$ 20 Juta (iii) Vietnam US$ 19 Juta (iv) Indonesia US$ 18 Juta. Gambar 2.19. Besaran Biaya Program Keantariksaan Negara-negara 244. Berdasarkan proses penganggaran negara-negara tersebut, maka dalam UUK ditetapkan bahwa semua penganggaran proyek keantariksaan Halaman | 122 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan harus bersifat multi-tahun dan penetapannya melalui usulan dari Panitia Teknis DEPANRI, kemudian diproses sesuai sistem penetapan anggaran yang berlaku di Indonesia. 2. Insentif 245. Sebagaimana dikemukakan bahwa keantariksaan merupakan proyek jangka panjang. Oleh karena itu, dilihat dari kepentingan pengusaha (bisnis) dan sistem pengembalian investasi sangat kurang menarik, mengingat ROI baru akan kembali setelah 4-5 tahun investasi berlangsung. Hal ini jugalah yang menyebabkan pembangunan keantariksaan di berbagai negara selalu diprakarsai oleh negara yang bersangkutan (dhi.pemerintahnya) di samping awalnya lebih ditujukan untuk kepentingan militer. Dengan terbukanya peluang swasta dan perkembangan komersialisasi keantariksaan, maka saat ini keantariksaan sudah mulai dilirik oleh berbagai Allians (Multi National Enterprises) sebagai lahan baru dalam investasi. 246. Mengingat kondisi tersebut di atas, maka dalam rangka mendorong peran swasta khususnya industri serta investasi di bidang keantariksaan, maka dalam UUK dibuka kesempatan bagi penyelenggaran pionir keantariksaan untuk memperoleh insentif berupa, keringanan bea masuk, pajak, kemudahan investasi dan bentuk insentif lainnya yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Namun dalam perolehannya harus melalui kesepakatan pada fórum DEPANRI, dan diusulkan/ berdasarkan persetujuan Kepala Lembaga. O. Peran Serta Masyarakat 247. Dalam penyelenggaraan kegiatan keantariksaan, masyarakat berhak untuk : a. memperoleh informasi yang berkaitan dengan keantariksaan; b. memperoleh manfaat atas penyelenggaraan keantariksaan; c. memperoleh penghargaan yang sesuai dari pemerintah sesuai dengan kinerja yang dihasilkan. 248. Mayarakat dapat berperan dengan dalam rangka meningkatkan pengembangan dan pemanfaatan teknologi keantariksaan melalui penelitian dan pengembangan teknologi terkait keantariksaan dan penggunaan informasi terkait keantariksaan. Halaman | 123 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan P. Penyelesaian Sengketa 1. Bentuk-Bentuk Sengketa Keantariksaan 249. Berdasarkan pandangan Dr. Huang Huikang, dilihat dari pihak-pihak yang bersengketa, maka sengketa keantariksaan dapat dibagi dalam 6 bentuk yaitu: a. Antara negara vs Negara (State versus State); Sengketa antara Negara dengan Negara merupakan bentuk sengketa berdasarkan hukum internasional. Pada umumnya sengketa ini dapat diselesaikan pada tingkat internasional, yang dilakukan dengan cara penyelesaian bentuk-bentuk klasik yang pernah dilakukan. Demikian juga dengan sengketa keantariksaan antara dua Negara dapat dengan mengacu pada ketentuan internasional yang ada, dan hukum antariksa internasional. b. Negara vs Organisasi Internasional antar Pemerintah (IGO). Sengketa antara Negara dengan Organisasi Internasional antar pemerintah dapat terbagi dalam 2 bentuk yaitu (i) Dimana suatu Negara menjadi anggota organisasi internasional antar pemerintah tersebut (ii) Suatu Negara bukan menjadi anggota organisasi internasional antar pemerintah. Dalam kasus pertama dimana suatu Negara menjadi anggota oragnisasi internasional tersebut, maka sengketa di antara keduanya diselesaikan melalui ketentuan yang dibuat oleh organisasi internasional antar pemerintah tersebut. Terhadap kasus kedua, sesungguhnya hukum internasional umum dan berbagai pilihan penyelesaian sengketa dapat ditawarkan dan hal ini dipandang sesuai. Dalam kedua kasus ini, tidak terdapat perbedaan yang mendasar antara hukum internasional umum dan hukum antariksa internasional (yang dalam hal ini dipandang sebagai hukum internasional khusus). c. Negara vs Pihak swasta ( State versus private entity) Sengketa antara Negara dengan pihak swasta ini juga terbagi dalam dua bentuk yaitu (i) Antara Negara dengan pihak swasta yang berada di bawah jurisdiksi Negara tersebut (ii) Antara Negara dengan pihak swasta yang tidak dibawah jurisdiksinya. Dalam kedua kasus ini biasanya hukum nasional yang diberlakukan. Perbedaan mendasar antara kasus pertama dan kasus kedua adalah bahwa dalam kasus pertama pihak swasta secara hukum bukanlah dalam posisi yang seimbang. Sebaliknya dalam kasus kedua, penerapan ketentuan nasional dan mekanisme penyelesaian sengketa selalu kurang menghasilkan. Permasalahan antara faktor kegiatan keantariksaan dan sifat internasional serta keterlibatan swasta, menimbulkan Halaman | 124 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan permasalahan yang memerlukan pengaturan lebih dari satu hukum nasional saja, termasuk mekanisme penyelesaian sengketanya. Oleh karena itu sengketa ini secara potensial merupakan sengketa yang khusus. d. Antar sesama organisasi internasional antarpemerintah Intergovernmental Organization (IGO vs IGO) Sengketa antar sesama organisasi internasional antarpemerintah sangat jarang terjadi, khusus di bidang keantariksaan, karena terbatasnya jumlah IGO tersebut. IGO merupakan organisasi yang sangat khusus dan kompleks untuk dapat terlibat dalam suatu sengketa antara yang satu dengan yang lain. Di samping itu seringkali antara organisasi ini mempunyai keanggotaan Negara-negara yang hampir bersamaan. Sehingga dalam penyelesaian sengketa selalu diserahkan pada mekanisme hukum internasional yang ada, minimal antar sesama Negara anggota, apalagi sesama Negara pendirinya. IGO biasanya memberlakukan prinsip primat hukum nasional dari pada hukum internasional, yang berarti bahwa hukum nasional lebih kuat dari pada hukum internasional. Pada umumnya, dalam menyelesaikan sengketa yang timbul dilakukan di pengadilan nasional dan atau berdasarkan hukum nasional sendiri. e. Organisasi Internasional antar pemerintah versus pihak swasta (IGO vs Private Entity) Sengketa antara IGO dengan pihak swasta dapat menimbulkan situasi yang kompleks, dimana para pihak lebih menyukai penyelesaian melalui hukum nasional dan mekanisme penyelesaian sengketa di tingkat nasional. Hal ini juga tergantung pada apakah perusahaan swasta tersebut berada pada jurisdiksi negara anggota IGO, atau Negara tuan rumah (host state). Dalam hukum antariksa, hal ini menjadi masalah penting khususnya berkaitan dengan di mana wilayah operasional IGO dan tempat kedudukan dari perusahaan swasta. f. Antar sesama perusahaan swasta (Private entity vs private entity). Sengketa sesama perusahaan swasta menjadi sulit apabila perusahaan swasta ini berasal dari jurisdiksi yang berbeda. Sungguhpun dalam konteks kegiatan keantariksaan internasional, banyak terjadi kerjasama internasional atau kerjasama antara publik dan swasta dalam berbagai bentuk, masalah yang penting adalah apakah sistem hukum yang ada dapat diakui oleh mekanisme hukum nasional yang ada. Terdapat berbagai solusi dalam hukum nasional masing-masing Negara. Namun demikian, tidak satupun hukum nasional Halaman | 125 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan tersebut menerapkan cara yang mekanisme penyelesaian sengketa. 2. persis sama dalam hal Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Hukum Antariksa 250. Ketentuan tentang penyelesaian sengketa keantariksaan dapat ditemukan dalam 5 perjanjian tersebut yang materinya memuat sebagai berikut : a) Outer Space Treaty, 1967 Traktat Antariksa tidak secara tegas memuat ketentuan mengenai penyelesaian sengketa, tetapi Traktat tersebut mengacu pada pemberlakuan hukum internasional (Pasal III) dan kebutuhan bagi konsultasi yang tepat (Pasal IX). b) Rescue Agreement, 1968 Dalam Rescue Agreement, 1968, ketentuan mengenai penyelesaian sengketa diwujudkan dalam prosedur untuk pengembalian benda antariksa yang telah melakukan pendaratan darurat atau telah mengalami “distress” termasuk pengembalian astronoutnya kepada negara peluncur. c) Liability Convention, 1972 Liability Convention, 1972 memuat prosedur hukum bagi perselisihan pihak-pihak untuk menyelesaikan sengketa mereka dalam hal terjadinya kerusakan yang disebabkan oleh benda antariksa. Penyelesaian tersebut harus dilakukan melalui saluran diplomatic. Dalam kasus penyelesaian melalui saluran diplomatik mengalami kegagalan, maka pihak-pihak yang bersengketa boleh mengajukan kasus tersebut pada suatu Komisi Penuntut yang akan bertindak sebagai suatu semi pengadilan arbitrase. Ada kritik terhadap prosedur untuk penyelesaian sengketa berdasarkan Liability Convention, 1972, karena hanya berlaku terhadap negara peserta perjanjian. Di samping itu, penyelesaian perselihannya bersifat antar pemerintah (G to G) dapat menjadi tidak efektif dalam kasus apabila yang terlibat bukan lembaga hukum negara akan menimbulkan prosedur birokrasi yang panjang. Hal lain yang perlu dicermati adalah didasarkan pada kenyataan bahwa prosedur tersebut tidak dapat menjamin penyelesaian akhir, karena keputusan Komisi Penuntut berdasarkan Konvensi adalah hanya bersifat final dan mengikat apabila pihak-pihak yang bersengketa telah menyetujuinya, tanpa adanya persetujuan tersebut, hal itu akan hanya dinyatakan sebagai rekomendasi, atau rekonsiliasi saja. d) Moon Agreement, 1979 Dalam Moon Agreement, 1979 beberapa prosedur konsultasi dikembangkan dalam kasus kegiatan eksplorasi dan eksploitasi oleh suatu negara terhadap sumber daya alam baik dipermukaan Halaman | 126 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan maupun di bawah permukaan Bulan yang dapat membahayakan kegiatan Negara lain. Sungguhpun demikian, hal yang perlu dicatat bahwa agreement ini hanya berlaku terhadap Bulan dan sumber daya di dalamnya. 3. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Beberapa Resolusi Majelis Umum (UNGA Resolutions) 251. Dari keempat Resolusi Majelis Umum tersebut, terdapat 3 Resolusi yang memuat tentang penyelesaian sengketa keantariksaan yaitu Resolusi DBS, Remote sensing dan NPS yang materinya dapat dikatakan sama yaitu diselesaikan melalui prosedur yang sudah berlaku bagi penyelesaian sengketa secara damai, yang disepakati oleh para pihak yang bersengketa sesuai dengan ketentuan-ketentuan Piagam PBB. 4. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Ketentuan ITU 252. Prosedur penyelesaian sengketa berkaitan dengan interpretasi atau penerapan dari ketentuan atau pengaturan Adminitrasi International Telecommunication Union (ITU) dimuat dalam Konstitusi dan Konvensi ITU 1992. Ketentuan tersebut memuat alternatif penyelesaian sengketa secara damai baik dengan negosisi melalui saluran diplomatik atau sesuai dengan prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian bilateral atau multilateral yang disepakati oleh para pihak untuk penyelesaian sengketa internasional, termasuk cara-cara lain yang disepakati para pihak secara bersama. Di samping itu juga dibuka peluang penyelasai sengketa melalui arbitrase dimana di dalam ketentuan Konvensi memuat prosedur khusus untuk penunjukan arbitrator dalam kasus para pihak yang bersengketa lebih dari dua pihak yang dalam hal ini dibuka peluang untuk penunjukan arbitrator tunggal. 253. Hal yang paling penting dalam prosedur arbitrase tersebut adalah bahwa keputusan yang dibuat oleh arbitrator adalah bersifat final dan mengikat bagi para pihak yang bersengketa (Pasal 41 Konvensi). Hal ini merupakan penyimpangan dari prosedur arbitrase secara normal, dimana keputusan bersifal final dan mengikat hanya jika para pihak menyetujui. Sungguhpun demikian apabila dilihat dari keputusan arbitrator ini hanya berbentuk rekomendasi atau saran yang tidak mengikat. 5. Penyelesaian Sengketa Organisasi Internasional keantariksaan. Berdasarkan Ketentuan-Ketentuan yang terlibat dalam kegiatan 254. Dewasa ini terdapat beberapa organisasi internasional yang terlibat dalam kegiatan keantariksaan seperti INTELSAT (The International Satellite Organization), INMARSAT (The International Maritime Satellite Organization, EUTELSAT (The European Telecommunication Satellite Organization) dan Halaman | 127 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan ESA (the European Space Agency). Semua Organisasi yang terlibat dalam kegiatan keantariksaan ini mempunyai peraturan dasar organisasi yang juga memuat materi tentang penyelesaian sengketa yang timbul di antara para pihak. 255. Apabila dilihat dari ketentuan-ketentuan organisasi internasional tersebut, tercermin adanya pilihan alternatif penyelesaian sengketa sungguhpun hanya terhadap sengketa tertentu saja seperti sengketa antar Negara anggota, Negara anggota dengan organisasi yang berkaitan dengan hak dan kewajiban berdasarkan Ketentuan Organisasi. Dari alternatif penyelesaian sengketa yang dimuat dalam ketentuan organisasi tersebut, pada umumnya pilihan penyelesaian sengketa melalui arbitrase merupakan yang utama. Hal yang penting dan yang membedakan antara satu organisasi internasional dengan yang lain adalah prosedur arbitrase dan sifat keputusannya. Seperti dalam ketentuan organisasi INTELSAT, prosedur arbitrase berlaku terhadap sengketa hukum saja, untuk INMARSAT dan EUTELSAT arbitrase hanya berlaku sebagai prosedur wajib, sedangkan bagi ESA juga membuka peluang penyelesaian sengketa melalui arbitrase terhadap kontrak-kontrak di luar ESA. Selanjutnya dalam hal sifat keputusan arbitrator pada umumnya bersifat final dan mengikat bagi para pihak. 6. Penyelesaian Sengketa Berdasarkan Space Station Cooperation Agreement 256. Pada tangal 28 September 1988 ditandatangani suatu persetujuan antara pemerintah Amerika Serikat, Kanada, ESA dan Jepang tentang Kerja sama dalam Detail Desain, Pembangunan, Pengoperasian dan Penggunaan secara Permanen Stasiun Antariksa Sipil Berawak (Cooperation in the Detailed Design, Development, Opartion, and Utilization of the Permanently Manned Civil Space Station) yang selanjutnya disebut Persetujuan Stasiun Antariksa (Space Station Agreement). Dalam ketentuan persetujuan tersebut juga memuat tentang penyelesaian sengketa, dimana penyelesaian sengketa antara para pihak dilakukan melalui konsultasi di antara pihak yang bersengketa, dan apabila tidak dapat diselesaikan melalui mekanisme dispute resolution dengan persetujuan para pihak. Mekanisme tersebut adalah konsiliasi, mediasi atau arbitrase. 7. Alternative Dispute Resolution Mechanism 257. ADR, singkatan yang diterima untuk menguraikan cara-cara memecahkan sengketa dengan cepat dari suatu prosedur pengadilan yang panjang. ADR didefinisikan sebagai “A set of practice and techniques that aim (i) to permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefit of all disputants; (ii) to reduce the cost of conventional litigation and the delays to which it is ordinarily subject; or (iii) to prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the courts. Halaman | 128 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 258. Adapun yang termasuk metodologi dan prosedur ADR adalah arbitrase, mediasi, konsiliasi, negosiasi, pencegahan sengketa, peradilan mini, special masters, pakar-pakar netral (ditunjuk oleh pengadilan atau dipilih oleh para pihak), ombudsmen, hakim swasta, dan kesimpulan pengadilan jury. Masing-masing prosedur ini dibentuk untuk menyelesaikan masalah melalui pendekatan yang berbeda. 259. Sehubungan dengan berbagai bentuk sengketa dan upaya penyelesaian sengketa tersebut di atas, maka dalam UUK ini terlebih dahulu disarankan untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa yang terdapat dalam Liability Convention 1972, yaitu saluran diplomatic khususnya terhadap sengketa yang melibatkan 2 negara atau lebih. Sedangkan apabila upaya tersebut tidak berhasil, dibuka peluang untuk menggunakan mekanisme penyelesaian sengketa secara damai lainnya, sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun demikian, apabila para pihak telah memilih salah satu metode penyelasaian damai, dalam RUU ditetapkan bahwa putusannya bersifat mengikat dan final. Hal ini didasarkan alasan bahwa space asset pada umumnya memiliki lifetime, dan juga untuk mengakomodir perkembangan baru yaitu pemberlakuan protocol space assets. Hal ini untuk menghindari penyelesaian sengketa yang dapat berlarut-larut, apabila melalui mekanisme nasional yang ada. Q. Penyelidikan dan Penyidikan 260. Istilah penyelidikan telah dikenal dalam Undang-undang Nomor 11/PNPS/1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, namun tidak dijelaskan artinya. Definisi mengenai penyelidikan dijelaskan oleh Undangundang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Undang-undang Hukum Acara Pidana, Pasal (5) KUHAP : Yang dimaksud dengan penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini. Penyelidikan dilakukan sebelum penyidikan. Penyelidikan berfungsi untuk mengetahui dan menentukan peristiwa apa yang sesungguhnya telah terjadi dan bertujuan membuat berita acara serta laporannya yang nantinya merupakan dasar permulaan penyidikan. 261. Sedangkan istilah penyidikan dipakai sebagai istilah yuridis atau hukum pada tahun 1961 yaitu sejak dimuat dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 1961 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Penyidikan berasal dari kata "sidik" yang artinya terang. Jadi panyidikan artinya membuat terang atau jelas. Walaupun kedua istilah "penyidikan" dan "penyelidikan" berasal dari kata yang sama KUHAP membedakan keduanya dalam fungsi yang berbeda, Penyidikan artinya membuat terang kejahatan [Belanda = "Opsporing"] [Inggris = "Investigation"]. Namun istilah dan pengertian penyidikan pada dasarnya terbagi menjadi dua yaitu : Halaman | 129 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan a. b. Istilah dan pengertian secara gramatikal. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka cetakan kedua tahun 1989 halaman 837 dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik yang diatur oleh undang-undang untuk mencari dan mengumpulkan bukti pelaku tindak pidana. Asal kata penyidikan adalah sidik yang berarti periksa, menyidik, menyelidik atau Mengamat-amati Istilah dan pengertian secara yuridis. Dalam Pasal 1 butir (2) KUHAP dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. 262. Jika terjadinya tindakan kejahatan, pelanggaran wilayah, dan bentuk-bentuk kegiatan lain yang dilarang baik oleh peraturan perundangundangan nasional, maupun oleh UUK ini, maka penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan terhadap tindak pidananya dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana Indonesia. Untuk membantu pelaksanaan undang-undang keantariksaan ini di Indonesia, penyidik pejabat polisi, dalam kasus-kasus terkait bidang keantariksaan, dapat dibantu Pegawai negeri sipil atau pakar terkait yang ditunjuk. Hal ini didasarkan pada sifat kegiatan penyelenggaraan keantariksaan sebagaimana disebut dalam paragraf 29-30. Di samping itu penyelenggaraan keantariksaan akan melibatkan pihak-pihak yang bersifat lintas Negara. 263. Sehubungan dengan paragraph 262 di atas, maka dalam UUK disarankan agar PNS atau pakar yang ditunjuk tersebut sekurangkurangnya memiliki keahlian di bidang yaitu (i) penguasaan teknologi keantariksaan, (ii) hubungan luar negeri, (iii) ketenaganukliran, dan; (iv) hukum kedirgantaraan. R. Ketentuan Sanksi 264. Masalah pemidanaan merupakan masalah yang sering menjadi sorotan masyarakat. Hal ini disebabkan karena masalah pidana menjadi barometer keadilan dalam penegakan hukum khusus ketentuan pidana. Adil atau tidak adil dalam praktek penegakan hukum selain menjadi urusan filsafat dalam hukum pidana dan pemidanaan juga menjadi urusan bagaimana filsafat tersebut diterapkan dalam kehidupan yang nyata atau riil serta terukur. Sehingga di masa yang akan datang, urusan keadilan dalam pemidanaan bukan menjadi urusan selera atau perasaan jaksa penuntut umum atau hakim berdasarkan wewenang hukum yang Halaman | 130 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan dimilikinya, melainkan urusan rasa keadilan masyarakat yang perlu memiliki instrumen yang jelas, tegas dan terukur109. 265. Sanksi pidana pada umumnya dirumuskan dalam perumusan delik, walaupun ada juga yang dirumuskan terpisah dalam pasal (ketentuan khusus) lainnya. Sebagai bagian dari perumusan delik, maka perumusan sanksi pidana juga merupakan sub-sistem yang tidak berdiri sendiri. Artinya, untuk dapat diterapkan (dioperasionalkan/difungsikan), perumusan sanksi pidana itu masih harus ditunjang oleh sub-sub sistem lainnya, yaitu sub-sistem aturan/pedoman dan asas-asas pemidanaan yang ada di dalam aturan umum KUHP atau aturan khusus dalam UU khusus ybs. 266. Dilihat dari sudut ”strafsoort” (jenis-jenis sanksi pidana), semua aturan pemidanaan di dalam KUHP berorientasi pada “strafsoort” yang ada/ disebut dalam KUHP, baik berupa pidana pokok maupun pidana tambahan. Oleh karena itu, apabila UU khusus menyebut jenis-jenis pidana/tindakan lain yang tidak ada di dalam KUHP (misal ”pidana pengawasan” seperti disebut dalam UU No. 3/1997 tentang Pengadilan Anak; pidana pembayaran ganti rugi atau uang pengganti; dsb.), maka UU khusus itu harus membuat aturan pemidanaan khusus untuk jenis-jenis sanksi pidana itu.110 267. Dilihat dari sudut “strafmaat” (ukuran jumlah/lamanya pidana), aturan pemidanaan dalam KUHP berorientasi pada sistem minimal umum dan maksimal khusus, tidak berorientasi pada sistem minimal khusus. Artinya, di dalam KUHP tidak ada aturan pemidanaan untuk ancaman pidana minimal khusus. Oleh karena itu, apabila UU khusus membuat ancaman pidana minimal khusus, maka harus disertai juga dengan aturan/pedoman penerapannya. Dalam UU khusus selama ini, kebanyakan masalah ini tidak diatur, kecuali dalam UU Terorisme dan UU TP Korupsi, walaupun pengaturannya masih sangat sumir dan lebih tertuju pada batasbatas berlakunya pidana minimal itu. Menurut UU Terorisme, tidak berlaku untuk anak di bawah 18 tahun (Pasal 19); dan menurut UU TPK, tidak berlaku untuk TPK yang bernilai kurang dari 5 juta rupiah (Psl. 12A). 268. Menurut pola KUHP, jenis pidana yang dirumuskan/diancamkan dalam perumusan delik hanya pidana pokok dan/atau pidana tambahannya. Pidana “kurungan pengganti” tidak dirumuskan dalam perumusan delik (aturan khusus), tetapi dimasukkan dalam aturan umum mengenai pelaksanaan pidana (“strafmodus”). Oleh karena itu, UU khusus tidak perlu memasukkan pidana kurungan pengganti sebagai jenis pidana yang diancamkan dalam perumusan delik (seperti misalnya terlihat 109 110 Kajian Terhadap Ketentuan Pemidanaan Dalam Draft RUU KUHP, Dr.Mudzakkir, S.H., MH. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Prinsip-Prinsip Dasar Atau Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan Pidana Dalam Perundang-Undangan Oleh :Barda Nawawi Arief, Fak Hukum niversitas Diponegoro. Halaman | 131 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan dalam UU:5/1999 ttg. “Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat”), terlebih apabila jumlah lamanya kurungan pengganti itu tidak menyimpang dari aturan umum KUHP. Kalau pun menyimpang, perumusannya tidak dimasukkan sebagai “strafsoort” dalam perumusan delik, tetapi diatur tersendiri dalam aturan tentang pelaksanaan pidana (“strafmode/strafmodus”).111 269. Aturan pemidanaan umum dalam KUHP berorientasi pada (natural person), tidak ditujukan pada “korporasi”. Oleh karena itu, UU khusus (RUU Keantariksaan) menyebutkan adanya sanksi untuk korporasi, maka harus disertai juga dengan aturan pemidanaan untuk korporasi. Misal mengenai : a. aturan pertanggungjawaban korporasi; b. aturan pelaksanaan pidana denda untuk korporasi. “orang” apabila pidana khusus 270. Di dalam perundang-undangan selama ini terlihat hal-hal yang memasukkan “korporasi” sebagai subjek tindak pidana, namun dengan berbagai variasi istilah, ada korporasi yang dijadikan subjek tindak pidana, tetapi UU yang bersangkutan. tidak membuat ketentuan pidana atau “Pertanggungjawaban Pidana” untuk korporasi. Dalam hal UU membuat ketentuan PJP korporasi, belum ada pola aturan pemidanaan korporasi yang seragam dan konsisten, antara lain terlihat hal-hal sbb. 112: a. ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan “kapan korporasi melakukan TP dan kapan dapat dipertanggungjawabkan”; b. ada yang merumuskan dan ada yang tidak merumuskan, “siapa yang yang dapat dipertanggungjawabkan”. c. “jenis sanksi” : 1) ada yang pidana pokok saja; ada yang pidana pokok dan tambahan; dan ada yang ditambah lagi dengan tindakan “tata tertib”; 2) pidana denda adayang sama dengan delik pokok; ada yang diperberat; 3) ada yang menyatakan dapat dikenakan tindakan tata tertib, tetapi tidak disebutkan jenis-jenisnya; d. Jenis pidana/tindakan untuk korporasi, tidak berpola/tidak seragam kebanyakan hanya dikenakan pidana denda (bersifat “financial sanction”), jarang yang berupa “Structural sanctions“ atau “restriction on enterpreneurial activities” (pembatasan kegiatan usaha; pembubaran korporasi) dan “Stigmatising sanctions”(pengumuman keputusan hakim; teguran korporasi). 111 112 ibid Prinsip-Prinsip Dasar Atau Pedoman Perumusan/Formulasi Ketentuan Pidana Dalam PerundangUndangan Oleh :Barda Nawawi Arief, Fak Hukum niversitas Diponegoro Halaman | 132 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 271. Penerapan sanksi yang akan diberlakukan dalam RUU Keantariksaan antara lain adalah sanksi pidana, dalam UU No. 10 Tahun 2004 diistilahkan dengan Ketentuan Pidana, sanksi ini di dalamnya mengandung 2 hal yaitu : pelanggaran dan kejahatan. Yang dimaksud pelanggaran hukum adalah telah terpenuhinya suatu peristiwa penyimpangan terhadap norma ataupun kaidah yang berlaku (dalam rangka pelaksanaan kegiatan keantariksaan) di wilayah Indonesia. Sedangkan yang dimaksud dengan kejahatan adalah suatu tindakan atau perbuatan tercela dan berhubungan dengan pelanggaran hukum. Jadi dalam kaitan ini, kejahatan itu merupakan suatu tindakan ataupun perbuatan yang dinyatakan melanggar perundang-undangan yang berlaku. Adapun tindakan kejahatan meliputi antara lain: a. Melanggar norma dan kaidah hukum yang diberlakukan di wilayah Indonesia; b. Melanggar ketentuan-ketentuan hukum dan atau peraturan perundang undangan yang telah diberlakukan di Indonesia; c. Melakukan penyimpangan terhadap aturan yang dapat merugikan, mengancam kehidupan bangsa, negara dan pemerintahan yang sah; d. Melakukan penyimpangan material maupun intelektual yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan; e. Menerima suap, dan atau penyalahgunaan wewenang/kekuasaan. 272. Berdasarkan uraian paragraph 267 di atas, maka bentuk-bentuk pelanggaran hukum dalam penyelenggaraan keantariksaan dapat diidentifikasi sebagai berikut: a. Penyimpangan terhadap prosedur perolehan perijinan; b. Pelanggaran terhadap perjanjian yang telah disepakati yang merugikan salah satu para pihak; c. Pelanggaran yang dilakukan oleh person maupun lembaga, ataupun oknum sebagai lembaga, namun perbuatannya tidak mengandung atau berakibat kesalahan; d. Terjadi kelalaian yang dilakukan oleh person maupun lembaga, ataupun oknum sebagai lembaga, tetapi tidak mengancam ketertiban umum maupun kelangsungan hidup negara, dan pemerintah yang sah; e. Terjadi culpa/kekurang hati-hatian yang dilakukan oleh person maupun lembaga, ataupun oknum sebagai lembaga tanpa sengaja, tetapi tidak mengancam ketertiban umum maupun kelangsungan hidup negara, dan pemerintah yang sah; f. Penyalahgunaan kewenangan ringan yang dilakukan tanpa disadari oleh person maupun lembaga, ataupun oknum sebagai lembaga, tetapi tidak mengancam ketertiban umum maupun kelangsungan hidup negara, dan pemerintah yang sah. Halaman | 133 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 273. Sedangkan bentuk-bentuk tindakan kejahatan dalam penyelenggaraan keantariksaan antara lain: a. Kegiatan peluncuran yang tidak mempunyai ijin yang menimbulkan kerugian dan atau ancaman terhadap kedaulatan negara. b. Peluncuran benda antariksa yang ditujukan untuk kepentingan provokasi, menimbulakan bencana kemanusiaan, dan mengakibatkan rusaknya lingkungan. c. Kegiatan keantariksaan peluncuran dan atau pengoperasian yang mengakibatkan kerugian terhadap pihak ketiga, baik dalam maupun luar. d. Pengembangan penelitian yang mengarah kepada pembuatan persenjataan dengan daya rusak tinggi. e. Melakukan percobaan peluncuran tanpa ijin, tanpa ada sop yang telah ditetapkan. f. Melanggar kesepakatan terhadap pemberian gantirugi kepada pihak ketiga. g. Kegiatan peluncuran benda antariksa yang jelas-jelas dapat diketahui akan menimbulkan bencana baik terhadap kehidupan maupun lingkungan. h. Kegiatan peluncuran benda antariksa yang beresiko tinggi tanpa dilakukan dengan prosedur yang baik. i. Mengoperasikan benda antariksa dan pemanfaatan teknologi antariksa untuk tujuan kejahatan, seperti untuk kegiatan matamata, kegiatan sabotase, kegiatan pemusnahan kehidupan dll. j. Tidak memberitahukan kepada pihak berwenang dan atau autoritas akan adanya kegiatan peluncuran benda antariksa. 274. Adapun penerapan sanksi lain yang akan dirumuskan dalam UUK adalah sanksi administrasi, yang menjadi pertanyaan di sini adalah Mengapa harus ada ketentuan sanksi administrasi dalam UUK?. Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu lihat dalam batang tubuh UUK, apakah ada tugas pengawasan dan atau kewenangan yang diberikan RUU tersebut kepada institusi yang terkait dengan kegiatan keantariksaan. Sebagai contoh dalam salah satu pasal yang terkait dengan peluncuran, pendaftaran, dan kegiatan lainnya, ternyata ada perintah dari undangundang ini yang memerintahkan suatu institusi untuk mengeluarkan ijin, persyaratan, dan rekomendasi atas kegiatan yang dilakukan penyelenggara keantariksaan. 275. Melihat aturan yang terdapat dalam batang tubuh UUK, di mana dengan jelas telah menetapkan adanya kewajiban, perintah, dan larangan, maka penerapan sanksi administrasi yang akan diberlakukan/diterapkan Halaman | 134 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan dalam UUK tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Hal tersebut dapat dilihat dan dipenuhinyan kriteria sanksi administrasi antara lain 113: a. Legitimitasi : wewenang pengawasan dan wewenang penerapan sanksi ter b. Instrumen hukum (1) Jenis-jenis seperti paksaan nyata, uang paksaan, denda administrasi, pencabutan ijin (2) Prosedur penerapan yaitu uang jaminan, peringatan/pengumuman. c. Norma hukum: 1) Dasar tentang kemungkinan menerapkan sanksi administrasi: o Adanya wewenang untuk menerapkan sanksi, o Adanya pelanggar, o Adanya dukungan fakta yang memadai. 2) Dasar tentang kepatutan mengenakan sanksi administrasi; 3) Dasar tentang keseimbangan sanksi administrasi yang dikenakan. d. Kumulasi sanksi: 1) Kumulasi eksternal: sanksi administrasi diterapkan bersama-sama sanksi lain, seperti sanksi pidana maupun perdata. 2) Kumulasi internal: dua atau lebih sanksi administrasi dapat diterapkan secara bersama-sama. 276. Melihat ketentuan sanksi administrasi tersebut di atas, maka penerapan sanksi administrasi dapat dilakukan apabila pelaku/penyelenggara keantariksaan melanggar ketentuan dan atau persyaratan yang telah dikeluarkan pihak yang berwenang. Berdasarkan hal tersebut maka dalam penyelenggaraan keantariksaan yang dapat dikenakan sanksi administrasi antara lain: a. Kegiatan peluncuran yang tidak memenuhi ijin dari pemerintah dan atau tanpa persyaratan yang jelas; b. Kegiatan penelitian yang tidak menjalankan prosedur operasional yang baku. c. Penyelenggara tidak melakukan pendaftaran benda antariksa sasuai dengan ketentuan yang berlaku. d. Peneliti dapat dicabut ijin dan atau sertifikat keahliannya apabila dengan nyata-nyata melakukan pelanggaran yang dapat menimbulkan kerugian dan atau kerusakan. e. Tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana direkomendasikan dalam UUK (pembangunan bandar antariksa). f. Penyalahgunaan lisensi yang telah diberikan kepada seseorang untuk dimanfaatkan sekelompok orang yang di luar kewenangannya. 113 Penerapan Sanksi Administrasi Dalam Peraturan Perundang-Undangan, Muklis, Fakultas Hukum, Universitas Trunojoyo Halaman | 135 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan g. h. i. Melakukan aktivitas di kawasan yang dengan nyata-nyata dilarang untuk melakukan kegiatan sebagaimana ditentukan UUK. Memanfaatkan hasil teknologi keantariksaan untuk kepentingan pribadi yang dampaknya dapat merugikan pihak lain. Penyalahgunaan kewenangan yang diberikan untuk memberi kemudahan dengan menyalahi prosedur. 277. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka UUK akan memuat sanksi pidana dan saksi administrasi terhadap pelanggaran sebagaimana tersebut di atas. S. Prinsip Pengaturan Kelembagaan Dalam Undang-Undang Tentang Keantariksaan 278. Lembaga yang akan menjadi pelaksana dari UUK adalah Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Dalam UUK akan dilakukan revitalisasi Kedudukan, Tugas dan Fungsi kedua Lembaga tersebut serta koordinasi nasional di bidang keantariksaan. Adapun Kedudukan, Tugas dan Fungsi DEPANRI dan LAPAN sesuai dengan pembentukannya saat ini adalah: 1. Kedudukan, Tugas dan Fungsi DEPANRI 279. Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 99 Tahun 1993 jo Keputusan Presiden Nomor 132 Tahun 1998, kedudukan, tugas pokok, fungsi dan susunan keanggotaan DEPANRI adalah sebagal berikut: a. Kedudukan Forum koordinasi tingkat tinggi di bidang kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi dan kepentingan nasional lainnya. b. Tugas Pokok Membantu Presiden Republik Indonesia dalam merumuskan kebijaksanaan umum di bidang penerbangan dan antariksa. c. Fungsi Dalam melaksanakan tugasnya, DEPANRI menyelenggarakan fungsi: Merumuskan kebijakan pemanfaatan wilayah udara nasional dan antariksa bagi penerbangan, telekomunikasi dan kepentingan nasional lainnya; Memberikan pertimbangan pendapat maupun saran kepada Presiden mengenai pengaturan dan pemanfaatan wilayah udara dan antariksa di bidang-bidang tersebut di atas. Halaman | 136 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 2. Tugas dan Fungsi LAPAN 280. Berdasarkan Pasal 46-48 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 Tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen, Bagian Keenambelas, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional, dinyatakan bahwa : a. Pasal 46, LAPAN mempunyai tugas melaksanakan tugas pemerintahan di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. b. Pasal 47, Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46, LAPAN menyelenggarakan fungsi : 1) pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan danpemanfaatannya; 2) koordinasi kegiatan fungsional dalam pelaksanaan tugas LAPAN; 3) pemantauan, pemberian bimbingan dan pembinaan terhadap kegiatan instansi pemerintah di bidang kedirgantaraan dan pemanfaatannya; 4) penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang perencanaan umum, ketatausahaan, organisasi dan tatalaksana, kepegawaian, keuangan, kearsipan, hukum, persandian, perlengkapan, dan rumahtangga. c. Pasal 48, Dalam menyelenggarakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47, LAPAN mempunyai kewenangan : 1) penyusunan rencana nasional secara makro dibidangnya; 2) perumusan kebijakan di bidangnya untuk mendukung pembangunan secara makro; 3) penetapan sistem informasi dibidangnya; 4) kewenangan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : a) perumusan dan pelaksanaan kebijakan tertentu di bidang penelitian dan pengembangan kedirgantaraan dan pemanfaatannya. b) penginderaan/pemotretan jarak jauh dan pemberian rekomendasi perizinan orbitsatelit. 281. Selanjutnya dalam Pasal 30 dan 31 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 110 Tahun 2001 TentangUnit Organisasi Dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen Presiden Republik Indonesia, Bagian Kelimabelas Lembaga Penerbangan Antariksa Nasional, dinyatakan bahwa: Halaman | 137 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan a. b. Pasal 30 LAPAN terdiri dari: 1) Kepala; 2) Sekretariat Utama; 3) Deputi Bidang Penginderaan Jauh; 4) Deputi Bidang Sains, Pengkajian, Kedirgantaraan; 5) Deputi Bidang Teknologi Dirgantara. dan Informasi Pasal 31, (1) Kepala mempunyai tugas : a. memimpin LAPAN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. menyiapkan kebijakan nasional dan kebijakan umum sesuai dengan tugas LAPAN; c. menetapkan kebijakan teknis pelaksanaan tugas LAPAN yang menjadi tanggung jawabnya; d. membina dan melaksanakan kerjasama dengan instansi dan organisasi lain. (2) Sekretariat Utama mempunyai tugas mengkoordinasikan perencanaan, pembinaan, dan pengendalian terhadap program, administrasi dan sumber daya di lingkungan LAPAN. (3) Deputi Bidang Penginderaan Jauh mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penginderaan jauh. (4) Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi Kedirgantaraan mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang sains, pengkajian, dan informasi kedirgantaraan. (5) Deputi Bidang Teknologi Dirgantara mempunyai tugas melaksanakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang teknologi dirgantara. 282. Selain DEPANRI dan LAPAN, terdapat beberapa lembaga pemerintah lainnya di bidang pemanfaatan teknologi antariksa, antara lain: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMG), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 283. Di samping lembaga-lembaga pemerintah, pada saat ini secara umum terdapat kecenderungan meningkatnya peran lembaga-lembaga nonpemerintah dalam penyelenggaraan keantariksaan. Hal ini juga berlaku di Indonesia di mana terdapat minimal 2 organisasi non-pemerintah yang sangat aktif, yaitu Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) dan Masyarakat Telematika (MASTEL). ASSI semula dibentuk oleh beberapa perusahaan operator satelit, masing-masing: TELKOM, INDOSAT, Pasifik Satelit Halaman | 138 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Nusantara (PSN), Media Citra Indostar (MCI) dan Aces. Kemudian keanggotaannya terbuka bagi operator asing, perusahaan, profesional, para ahli, akademisi dan bahkan individual. Dalam kiprahnya ASSI telah memperoleh pengakuan luas, baik dari kalangan pemerintah, swasta maupun internasional. ASSI juga memberikan kontribusi aktif dalam perumusan kebijakan dan pengaturan di bidang keantariksaan. Secara berkala ASSI juga menyelenggarakan pelatihan mengenai teknologi keantariksaan dan materi-materi yang berkaitan dengan masalah regulasi serta mengeluarkan sertifikasi terhadap produk maupun proses yang terkait dengan keantariksaan. 284. Konvergensi di bidang komunikasi (termasuk “space communication”), informasi dan computer menjadi telematika telah membuka jasa-jasa baru disamping jasa-jasa konvensional yang telah berlangsung selama ini. Perkembangan tersebut telah melahirkan pemainpemain baru (“new players”). MASTEL adalah organisasi yang didirikan oleh masyarakat telematika, yang di dalamnya terdapat operator telekomunikasi, “Internet Service Providers”, “computer vendors”, “content providers”, professional, dan lain-lain. Sejauh ini MASTEL telah banyak memberikan kontribusinya dalam pembentukan hukum di Indonesia, khususnya di bidang hukum telekomunikasi, hukum penyiaran dan hukum telematika (“cyber law”). Sebagai mitra dialog pemerintah, peranannya tidak dapat diabaikan, termasuk dalam pengembangan hukum keantariksaan nasional. 285. Salah satu problem besar yang perlu diatasi dalam kerangka perumusan dan pengaturan penyelenggaraan keantariksaan adalah masalah koordinasi di antara lembaga-lembaga terkait, baik lembagalembaga pemerintah maupun non-pemerintah, sehingga mampu membangun sinerji sebagai kekuatan yang besar menjadi “Indonesia Incorporated”. Terjadinya tumpang tindih pelaksanaan jenis kegiatan penyelenggaraan keantariksaan di antara lembaga-lembaga terkait seringkali menimbulkan ketidakjelasan tugas dan fungsi masing-masing sehingga menimbulkan interpretasi yang berbeda-beda. Diharapkan UUK mampu menyentuh dan mengatasi persoalan tersebut dengan mendefinisikan dan menjabarkan secara jelas tentang tugas, fungsi dan wewenang masing-masing serta memformulasikan mekanisme koordinasi di antara mereka. 286. Berdasarkan uraian tersebut beberapa revitalisasi terhadap fungsi kementerian dan lembaga yang penting dilakukan adalah : a. DEPANRI: adalah lembaga non struktural yang dipimpin oleh Presiden RI, dengan Sekretariat di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi yang merupakan forum koordinasi kebijakan nasional tertinggi di bidang penerbangan dan keantariksaan. Dipandang kurang efektif untuk melaksanakan tugas dan fungsinya. Berdasarkan kondisi lembaga-lembaga dengan tugas dan fungsi sejenis dengan DEPANRI di negara-negara lain seperti Halaman | 139 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan NASA (Amerika Serikat) dan ROSCOSMOS (Federasi Rusia), serta ANGKASA (Malaysia), maka kedudukan DEPANRI sebaiknya langsung berada di bawah Presiden mengingat sifat teknologi keantariksaan. DEPANRI yang baru bertugas menyusun kebijakan dan rencana pembangunan di bidang penerbangan dan keantariksaan jangka menengah dan jangka panjang serta mengawasi dan mengendalikan pelaksanaannya. b. Menteri (koordinator LAPAN) menjadi: Pelaksana Harian DEPANRI dan regulator peluncuran dan penempatan benda antariksa; Menteri mengangkat tim adhok untuk membuat rekomendasi tentang pemberian lisensi bandar antariksa, ijin peluncuran di dalam negeri dan luar negeri, penanganan kecelakaan dll; Tim adhok diusulkan oleh LAPAN. c. Kemkominfo menjadi Regulator penggunaan frekuensi satelitsatelit Indonesia, slot orbit satelit dan perijinan di ruas bumi dan ruas pengguna khusus untuk pemanfaatan telekomunikasi dan penyiaran. Di samping itu, adanya kewajiban untuk memjaga kesinambungan tersedianya slot orbit dan spectrum frekuensi bagi Indonesia baik untuk pemerintah maupun swasta nasional. d. LAPAN: adalah lembaga non kementerian di bawah koordinasi Kementerian Riset dan Teknologi yang memiliki tugas dan fungsi pokok yaitu: 1) Pengembangan Teknologi Dirgantara; 2) Penelitian, Pengembangan, dan pemanfaatan sains antariksa (ionosfer, geomagnet, matahari, dan astronomi) dan sains berbasis antariksa (untuk sains atmosfer); 3) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan bumi; 4) Pengkajian kebijakan keantariksaan; 5) Diseminasi informasi keantariksaan; 6) Pelaksana dan pengoperasi Bandar Antariksa (bisa mengikutsertakan pihak lain termasuk swasta); 7) Pelaksana Peluncuran di Dalam Negeri termasuk percobaan peluncurannya (bisa mengikutsertakan pihak lain termasuk swasta); 8) Pengoperasian stasiun bumi dan infrastruktur keantariksaan lain; 9) Pengelola Bank Data Inderaja Nasional; 10) Pendaftaran benda antariksa ke PBB; 11) Pemantauan Benda Jatuh Antariksa. LAPAN juga bertindak sebagai pemberi sertifikasi usaha remote sensing, kontrol terhadap kualitas data Inderaja, Metoda Pengolahan, Stasiun bumi Inderaja, Satelit Inderaja Indonesia. LAPAN juga mengontrol aspek keamanan dan keselamatan Halaman | 140 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan penyelenggaraan keantariksaan di dalam negeri khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan keantariksaan yang berisiko terhadap masyarakat dan lingkungan. 287. Sehubungan dengan tugas dan fungsi baru LAPAN tersebut di atas, maka untuk masa yang akan datang LAPAN juga akan mengeluarkan pengaturan terkait penyelenggaraan keantariksaan yang berlaku keluar dan ke dalam (dalam arti mengikat nasional). Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, Status Lembaga tidak memungkinkan untuk mengeluarkan pengaturan yang bersifat demikian. Oleh karena itu kata Lembaga sebaiknya diganti dengan kata Badan. Berdasarkan kondisi ini diusulkan agar nama LAPAN diubah dengan Badan Kedirgantaraan Republik Indonesia (Government Body of Republic Indonesian Aerospace) disingkat BKRI atau Badan Kedirgantaraan Indonesia (Government Body of Indonesian Aerospace) disingkat BKI. Penamaan ini didasarkan pada alasan sebagai berikut : a. Mayoritas penamaan institusi keantariksaan Negara-negara di dunia banyak yang penamaannya dilekatkan dengan nama Negara tersebut seperti: 1) Iranian Space Agency (ISA); 2) China National Space Administration (CNSA) 3) Rusian Federation Space Agency (RFSA); 4) British National Space Centre (BNSC); 5) Indian Space Research Organization (ISRO); 6) Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA) 7) Bulgarian Aerospace Agency (BASA); 8) Canadian Space Agency (CSA); dll. b. Singkatan yang dipergunakan tersebut yaitu (BKRI atau BKI) belum ada yang mempergunakan di Republik Indonesia. c. Kata Kedirgantaraan adalah pengganti kata Penerbangan dan Antariksa. ---000--- Halaman | 141 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan BAB III MATERI MUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DAN KETERKAITANNYA DENGAN HUKUM POSITIF A. Materi Muatan RUU Tentang Keantariksaan 1. Materi Muatan 288. Lingkup materi muatan yang akan diatur dalam UUK meliputi seluruh komponen dan aktivitas di bidang keantariksaan dengan segala aspek yang dituangkan dalam bab-bab sebagai berikut : a. Ketentuan Umum; b. Azas dan Tujuan dan Ruang Lingkup; c. Status Antariksa, Yuridiksi dan Batas Ruang Udara dan Antariksa; d. Pembinaan 1) Peran Pemerintah 2) tugas dan wewenang; e. Penyelenggaraan Keantariksaan; 1) Umum; 2) Penguasaan Teknologi Keantariksaan; 3) Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan; 4) Peluncuran Wahana Antariksa; 5) Penelitian Keantariksaan; 6) Penjalaran Teknologi Keantariksaan f. Keamanan dan Keselamatan; g. Pendaftaran dan Lisensi; h. Tanggung Jawab dan Kerugian; i. Asuransi dan Penjaminan; j. Kerja Sama Internasional dan Alih Teknologi; k. Perlindungan Hak Atas Kekayaan Intelektual; l. Pelestarian Lingkungan; m. Pembiayaan dan Insentif; n. Sistem Informasi Keantariksaan; o. Peran serta masyarakat; p. Penyelesaian Sengketa; q. Penyelidikan dan Penyidikan; r. Sanksi; s. Ketentuan Peralihan; t. Ketentuan Penutup. 289. Secara lengkap materi muatan RUUK sebagaimana dimuat dalam Lampiran 2. Halaman | 142 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 2. Pokok-Pokok Materi Keantariksaan Rancangan Undang-Undang Tentang 290. Dengan mendasarkan pada uraian terdahulu, maka beberapa Pokok Materi dalam UUK adalah : a. b. Pengertian 1) Dirgantara adalah ruang di sekeliling dan melingkupi bumi beserta segala isinya, meluas tiada batas mulai dari permukaan bumi yang terbagi atas ruang udara dan antariksa, yang dipandang sebagai wilayah, ruang gerak, media hidup dan sumber daya alam bagi kehidupan umat manusia. 2) Ruang udara adalah ruang yang mengelilingi dan melingkupi seluruh permukaan bumi; ruang tersebut mengandung udara bersifat gas yang disebut atmosfir bumi. 3) Antariksa adalah ruang beserta isinya yang terdapat di luar ruang udara, serta yang mengelilingi dan melingkupi ruang udara 4) Keantariksaan adalah segala sesuatu tentang dan yang berkaitan dengan usaha dan kegiatan umat manusia dalam rangka pendayagunaan antariksa. Kelembagaan 1) Presiden mempunyai kewenangan dalam menetapkan RPJP dan RPJM mengenai Keantariksaan yang telah disusun dan diajukan oleh LAPAN beserta instansi terkait lainnya. 2) Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional (DEPANRI) adalah pengambil kebijakan nasional di bidang penerbangan dan keantariksaan. Dewan tersebut adalah: Ketua: Presiden; Wakil Ketua: Menneg. Ristek; Sekretaris: Ketua LAPAN; Anggota: Menhan, Menkominfo, Menhub, Menkeu, Ketua Bappenas, Ka. Staf TNI AU. 3) Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN)-LPND mempunyai tugas di bidang Kedirgantaraan, Pengembangan Teknologi, Penginderaan Jauh, Sains Atmosfer Antariksa dan Kebijakan Kedirgantaraan. Dalam hal ini LAPAN mempunyai kewenangan khusus dalam hal penginderaan jarak jauh dan rekomendasi orbit satelit. Beberapa spesifikasi tugas, pokok, dan fungsi LAPAN adalah sebagai berikut: Halaman | 143 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan a) b) c) d) e) f) g) h) i) j) k) l) m) n) o) p) 4) Pengembangan Teknologi Dirgantara Penelitian, Pengembangan, dan pemanfaatan sains antariksa (ionosfer, geomagnet, matahari, dan astronomi) dan sains berbasis antariksa (untuk sains atmosfer) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi penginderaan jauh untuk pemantauan bumi Pengkajian kebijakan keantariksaan Diseminasi informasi keantariksaan Pelaksana dan pengoperasi Bandar Antariksa (bisa mengikutsertakan pihak lain termasuk swasta) Pelaksana Peluncuran di dalam negeri Pengoperasian stasiun bumi dan infrastruktur keantariksaan lain. Pengelola Bank Data Inderaja Nasional Pendaftaran benda antariksa ke PBB Pemantauan Benda Jatuh Antariksa; Pemberi sertifikasi usaha penginderaan jauh, kontrol terhadap kualitas data penginderaan jauh, metode pengolahan, satelit penginderaan jauh, dan beberapa lainnya; Mengawasi dan menjadi konsultan dalam pembuatan satelit; Membangun design konsep dan design teknis yang dapat dibantu oleh pakar dari dalam dan luar negeri serta dalam rangka implementasi design satelit diserahkan pada kontraktor dalam negeri, sedangkan dalam operasionalnya dapat dibantu oleh pihak swasta lain dari dalam dan luar negeri; memberikan asuransi khusus untuk kematian dan cacat tubuh serta tunjangan resiko bahaya dan atau pemeriksaan kesehatan secara berkala bagi personil keantariksaan yang bekerja pada lingkungan potensi bahaya ledakan minimal berjarak dua ratus meter dari pusat potensi bahaya; menetapkan dan menegakkan standard rancangan untuk keamanan dan keselamatan di dalam kegiatan mulai dari rancang bangun, pabrikasi, perakitan, perawatan, dan penyimpanan. Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo) mempunyai tugas dalam merumuskan kebijakan nasional, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan teknis di bidang komunikasi dan informatika yang terdiri dari: pos, telekomunikasi, penyiaran, teknologi informasi dan komunikasi, layanan multimedia dan diseminasi informasi. Depkominfo mempunyai kewenangan pengaturan dalam penggunaan frekuensi satelit-satelit Indonesia, serta pengaturan slot orbit satelit dan perijinan ruas bumi dan ruas pengguna untuk kepentingan telekomunikasi dan penyiaran. Halaman | 144 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. d. 5) Menteri Negara Riset dan Teknologi (Mennegristek) merupakan menteri yang ditugaskan sebagai koordinator LAPAN. Mennegristek mempunyai tugas membantu Presiden dalam merumuskan kebijakan dan koordinasi di bidang riset, ilmu pengetahuan, dan teknologi; melakukan pengaturan mengenai peluncuran dan penempatan benda antariksa. Menteri mempunyai tugas mengangkat tim ad hoc sesuai usulan dari LAPAN untuk membuat rekomendasi mengenai pemberian lisensi bandar antariksa, ijin peluncuran di dalam negeri dan luar negeri, penanganan kecelakaan benda antariksa, dan beberapa tugas lainnya. 6) Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (Bakosurtanal) mempunyai kewenangan dalam pengaturan mengenai perijinan di ruas pengguna. Penyelenggaraan Keantariksaan 1) Kegiatan penyelenggaraan keantariksaan bertujuan diantaranya untuk menyiapkan akses ke antariksa dengan pengembangan teknologi, melakukan observasi dan mempelajari bumi dan antariksa (penelitian sains), mengembangkan pemanfaatan sains dan teknologi antariksa untuk kesejahteraan, meningkatkan kemampuan pertahanan dan ketahanan negara, menyelaraskan dengan peraturan keantariksaan internasional. 2) Aspek utama dalam penyelenggaraan keantariksaan yang meliputi: a) Pengembangan Kebijakan Nasional dalam Bidang Keantariksaan yang diwujudkan dalam RPJP dan RPJM b) Pengembangan Penguasaan teknologi wahana peluncur, satelit, dan penerbangan khususnya dalam hal penguasaan teknologi penerbangan kecepatan tinggi dan yang dipergunakan sebagai sarana keantariksaan c) Pengembangan sains atmosfer dan antariksa d) Pengembangan dan pemanfaatan teknologi antariksa untuk penginderaan jauh, telekomunikasi, navigasi dan geoposisi/geospasial e) Peluncuran Benda antariksa di dalam negeri dan luar negeri f) Pemantauan benda jatuh antariksa g) Kerjasama internasional di bidang keantariksaan Aspek Penguasaan Teknologi Keantariksaan Penguasaan teknologi wahana peluncur, satelit, dan penerbangan seperti yang dikemukakan di atas (huruf b) terdapat beberapa sasaran yang hendak dicapai yang terdiri dari: Halaman | 145 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) LAPAN menjadi penyelenggara pengembangan teknologi wahana peluncur, satelit, dan penerbangan; LAPAN menjadi penyelenggaran Operasi Bandar Antariksa; Adanya dukungan kebijakan nasional yang kuat; Pemerintah membangun Bandar Antariksa dan menyediakan tempat serta fasilitas yang memadai untuk riset dan pengembangan teknologi roket dan satelit; Adanya perlindungan hukum untuk para pelaksana dari tuntutan akibat kecelakaan; Adanya dukungan pemerintah untuk impor teknologi; Pengaturan terhadap TT&C asing. e. Aspek Industri kedirgantaraan sebagai salah satu wujud perkembangan penyelenggaraan keantariksaan di dalam negeri memuat beberapa sasaran yang hendak dicapai, yaitu: 1) Industri dalam negeri mampu memasok komponen, bahan baku untuk manufaktur roket dan satelit; 2) Industri dalam negeri mampu menyelenggarakan manufaktur subsistem dan sistem kedirgantaraan; 3) Industri dalam negeri mampu menyelenggarakan jasa maintenance; 4) Lembaga membina integrasi dan distribusi tanggungjawab kemampuan nasional dalam bidang keantariksaan (swasta, akademisi, lembaga litbang dan lembaga keuangan); 5) Pemerintah bertindak sebagai captive market industri keantariksaan nasional; 6) Pemerintah mendorong industri yang mempunyai fungsi ganda untuk mendukung program keantariksaan atas rekomendasi dari lembaga. f. Aspek infrastruktur keantariksaan, beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pengaturan lebih lanjut adalah mengenai kewajiban pemerintah untuk: 1) menyediakan dan menetapkan zona penyelenggaraan keantariksaan yang terdiri dari: bandar antariksa, stasiun uji coba wahana antariksa, kawasan riset sains antariksa, kawasan riset dan rekayasa teknologi antariksa, dan kawasan industri keantariksaan; 2) menetapkan zona penyelenggaraan keantariksaan sebagai zona terlarang/kawasan terlarang dalam radius 10 km mendukung infrastruktur yang menuju zona keantariksaan; 3) menyiapkan pembiayaan pembangunan satelit komunikasi untuk operasi TNI, tele-edukasi, tele-medicine, dan kegiatan strategis pemerintah lainnya; 4) memberikan perlindungan hukum bagi peneliti & perekayasa keantariksaan. Perlindungan hukum mencakup antara lain pembebasan dari tuntutan kecelakaan; Halaman | 146 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 5) 6) melakukan pembinaan penelitian dan perekayasaan keantariksaan dan teknologi penerbangan yang terkait dengan keantariksaan; melarang mendirikan bangunan dan mebebaskan lahan yang dapat membahayakan keselamatan / peluncuran dan lingkungan untuk setiap orang atau badan hukum. g. Aspek transfer teknologi terdapat beberapa hal yang perlu mendapat pengaturan: 1) Semua pihak yang ingin mengadakan aset antariksa (satelit, Stasiun Bumi dll) harus mendapatkan rekomendasi dari lapan. Rekomendasi harus mencakup: a) Jaminan untuk tidak menggangu kepentingan nasional b) Jaminan untuk memberikan transfer teknologi c) Jaminan untuk memberdayakan sebanyak mungkin industri keantariksaan nasional (local content) 2) Pemerintah mendorong kerjasama internasional baik bilateral maupun multilateral dalam penguasaan dan transfer teknologi 3) Pemerintah membangun kerjasama internasional untuk memungkinkan terjadinya impor teknologi; 4) Pemerintah membangun kerjasama internasional untuk memungkinkan impor komponen dan subsistem yang diperlukan. 5) Pemerintah membantu mengatasi masalah pengendalian ekspor dalam bidang keantariksaan secara pemerintah ke pemerintah (G to G). 6) Pemerintah dalam mendorong transfer teknologi membuat pengaturan tentang keamanan lintas batas teknologi antariksa 7) Adanya lex spesialist dalam peraturan pengadaan barang dan jasa keantariksaan. h. Penjalaran Teknologi Keantariksaan (Spin off). 1) Dalam pengembangan industri energi terbarukan, lembaga adalah lembaga Pembina, rujukan dan pemberi sertifikasi teknologi energi angin 2) Dalam pengembangan wahana terbang dengan kecepatan > 0.6 mach, lembaga adalah pembina, rujukan dan pemberi sertifikasi i. Penyelenggaraan pemanfaatan satelit penginderaan jauh adalah: 1) Penguatan tupoksi lembaga sebagai penyelenggara bank data inderja nasional dengan kewenangan dan kewajiban yang mendukung efektivitas pelaksanaannya; 2) Lembaga menjadi satu-satunya penyelenggara Stasiun Bumi Inderja resolusi menengah dan tinggi; 3) Pemberi sertifikasi kompetensi pengolahan data Inderaja. Halaman | 147 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Dalam rangka kegiatan penginderaan jauh LAPAN memiliki peran dalam : 1) Pengaturan frekuensi untuk satelit maupun stasiun bumi penerima data inderaja; 2) Pengoperasian stasiun bumi untuk satelit inderaja resolusi menengah dan rendah dan mendorong pihak swasta untuk membangun dan mengoperasikan stasiun bumi satelit inderaja resolusi tinggi; 3) Penyediaan data satelit inderaja resolusi rendah dan menengah serta mendorong swasta dalam dalam penyediaan data satelit inderaja resolusi tinggi; 4) Pengadaan data dimana diperlukan wali data inderaja, penguatan bank data inderaja nasional, Common License, kataloging metadata dan data; 5) Standarisasi metode dan informasi inderaja serta menjadi pembina dan rujukan nasional jika diminta; 6) Penyediaan data inderaja terkait bencana sebagai fokal poin nasional dalam hubungan dengan lembaga-lembaga multilateral maupun bilateral dan diberi wewenang untuk meminta data satelit inderaja dari institusi Pemerintah maupun Swasta terkait bencana; 7) Melaksanakan litbang teknologi inderaja, pengolahan data dan informasi, serta pemanfaatan data satelit inderaja; 8) Pelayanan data dan informasi penginderaan jauh; 9) Rekomendasi dalam kerjasama internasional di bidang inderaja 10) Pengturan pendidikan luar sekolah bidang penginderaan jauh satelit; 11) Pemeliharaan historical data penginderaan jauh satelit; 12) Standarisasi data penginderaan jauh satelit serta sebagai lembaga Pembina dan rujukan nasional. j. Kegiatan sains antariksa sebagai salah satu kegiatan penyelenggaraan keantariksaan difokuskan pada : 1) Mitigasi gangguan dan bencana yang terjadi akibat dinamika matahari (antara lain gangguan komunikasi radio) dan antariksa (benda jatuh antariksa); 2) Mendorong kemajuan penguasaan sains dan teknologi antariksa; 3) Pemasyarakatan melalui pendidikan dan pelatihan. k. Perkembangan sains antariksa dapat dirangkumkan sebagai berikut: 1) Pemantauan dinamika cuaca antariksa (ionosfer, geomagnet, aktivitas matahari) dilaksanakan secara rutin; 2) Diseminasi Informasi prediksi frekuensi komunikasi radio sudah berkembang; 3) Pemanfaatan untuk keperluan antisipasi gangguan navigasi, operasi satelit, jaringan listrik masih dalam tahap pengembangan; Halaman | 148 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 4) 5) 6) 7) 8) 9) l. Mitigasi dan sistem peringatan dini gangguan /bencana akibat dinamika matahari dan antariksa sudah ada dan terus dikembangkan; Sektor swasta belum bisa berkontribusi secara aktif; Peraturan perundangan yang mengatur pengembangan dan pemanfaatan sains antariksa belum ada; Penguasaan rancang bangun sistem pengamat, payload ,dan sensor belum berkembang; Perkembangan sistem pengamat antariksa mencakup antara lain: teleskop matahari, solar radio spektrograph, ionosonde, fluks gate magnetometer, pengembangan aplikasi satelit pengamat matahari seperti SOHO, TRACE, Hinode, GOES, STEREO, dan pengamatan astronomi; Lembaga menjadi penyelengara dalam pengembangan sains antariksa (matahari, astronomi) dan sains berbasis antariksa, antisipasi terhadap gangguan dan bencana yang diakibatkan oleh proses-proses alam di antariksa, peringatan dini tentang benda jatuh dari antariksa, pendidikan generasi muda dan pendidikan untuk menumbuhkan semangat keantariksaan dalam rangka membangkitkan kreativitas dan inovasi nasional. Penyelenggaraan peluncuran benda antariksa dalam negeri 1) 2) Menteri dapat memberikan ijin peluncuran satu objek antariksa atau satu seri peluncuran objek antariksa di wilayah Indonesia dengan menggunakan suatu jenis wahana antariksa tertentu. Peluncuran objek antariksa tersebut dapat dikaitkan dengan pendaratan kembali objek antariksa tersebut di wilayah tertentu di Indonesia. Ijin peluncuran dapat diberikan apabila memenuhi persyaratan berikut : a) Badan hukum yang meluncurkan objek antariksa sudah memegang lisensi kegiatan keantariksaan di Indonesia; b) Badan Hukum yang akan meluncurkan objek antariksa dapat dijamin kompetensinya dalam kegiatan peluncuran; c) Menteri sudah memberikan persetujuan bahwa persyaratan keuangan maupun jaminan asuransi peluncuran maupun pendaratan kembali objek antariksa di wilayah Indonesia, sudah dipenuhi; d) Menteri sudah memberikan persetujuan bahwa potensi atau kemungkinan terjadinya kecelakaan atau gangguan kesehatan masyarakat maupun kerugian materil akibat peluncuran maupun pendaratan kembali objek antariksa, sangat kecil. Halaman | 149 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan m. Peluncuran benda antariksa dalam negeri 1) Menteri sudah memberikan persetujuan bahwa objek antariksa yang akan diluncurkan atau didaratkan kembali di Indonesia tidak membawa senjata nuklir atau senjata pemusnah masal atau senjata berbahaya lainnya; 2) Menteri tidak mempertimbangkan kemungkinan gangguan terhadap keamanan nasional, pelanggaran terhadap kebijakan luar negeri dan kewajiban internasional yang akan menyebabkan ijin peluncuran tidak diberikan; 3) Jika peluncuran dilakukan oleh negara lain yang juga bertindak sebagai negara peluncur maka ijin peluncuran harus memperhatikan apakah sudah ada perjanjian yang menjamin bahwa Indonesia dapat dibebaskan dari liability atau indemnifies terhadap kerugian yang dapat ditimbulkan dari peluncuran. n. Penyelenggaraan peluncuran benda antariksa luar negeri 1) Menteri dapat memberikan ijin peluncuran objek antariksa untuk otorisasi peluncuran objek antariksa tertentu atau peluncuran satu seri objek antariksa; 2) Ijin diberikan apabila persyaratan standar seperti al : asuransi/keuangan, gangguan terhadap kesehatan, keamanan dan kerugian materil, pelanggaran terhadap keamanan dalam negeri, kebijakan luar negeri dan kewajiban internasional dan kriteria-kriteria lain yang ditetapkan telah terpenuhi; 3) Dalam pemberian ijin Menteri akan mempertimbangkan perjanjian antara Indonesia dengan negara peluncur lain yang berkait dengan liability dan indemnify terhadap kerusakan yang disebabkan atau akan disebabkan oleh objek antariksa yang akan diluncurkan serta ketentuan lain dalam perjanjian; 4) ijin mengatur juga jangka waktu dan mulai berlakunya ijinserta ketentuan lain seperti hukuman terhadap pelanggaran, transfer ijin, prosedur pengajuan permohonan, penghentian sementara sebagaimana dalam pengaturan lisensi keantariksaan dan ijin peluncuran. o. Hal lain yang terkait adalah pengaturan tentang kewenangan Lembaga (LAPAN) dalam memberikan informasi tentang : fenomena cuaca dan lingkungan antariksa baik informasi positif maupun negative, bencana antariksa, benda jatuh antariksa alami dan buatan dan evakuasi benda antariksa; Halaman | 150 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan B. Analisis Keterkaitan Dengan Hukum Positif 291. Sesuai dengan ketentuan yang tertuang dalam Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, memberikan definisi mengenai Materi Muatan Peraturan Perundang-undangan adalah materi yang dimuat dalam Peraturan Perundang-undangan sesuai dengan jenis, fungsi, dan hirarki Peraturan Perundang-undangan. Artinya, bahwa materi muatan suatu peraturan perundang-undangan yang sedang disusun oleh Pemerintah dan DPR-RI baik yang berbentuk Undang-undang/Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah harus disesuaikan dengan jenis, fungsi, dan hirarki peraturan perundang-undangan, yaitu yang tertuang dalam Pasal 7 ayat (1) UU 10 Tahun 2004. Ditambahkan pula dalam Pasal 7 ayat (5) yang menyatakan bahwa kekuatan hukum Peraturan Perundang-undangan adalah sesuai dengan hirarki sebagaimana dimaksud pada ayat (1). 292. Hal serupa dikemukakan pula dalam Pasal 4 Peraturan Presiden Nomor 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden yang menyatakan bahwa konsepsi dan materi pengaturan Rancangan Undang-Undang yang disusun harus selaras dengan falsafah negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, undang-undang lain, dan kebijakan yang terkait dengan materi yang akan diatur dalam Rancangan Undang-Undang tersebut. Artinya bahwa materi rancangan undang-undang yang sedang disusun oleh suatu instansi harus diselaraskan dengan Pancasila sebagai sumber hukum negara, UUD 1945, undang-undang yang mempunyai materi yang terkait dengan materi rancangan undang-undang yang sedang disusun, dan kebijakan yang terkait dengan materi yang akan diatur dalam suatu rancangan undangundang. 293. Posisi Undang-undang dalam jenis dan hirarki peraturan perundangundangan menurut Pasal 7 ayat (1) UU 10 Tahun 2004 berada setelah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, artinya bahwa dalam rangka menyelaraskan materi muatan rancangan undang-undang yang sedang disusun, maka materi rancangan undang-undang harus bersinergi dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan materi undang-undang yang mempunyai korelasi dengan materi rancangan undang-undang yang sedang disusun. 294. Dengan demikian, untuk meletakkan suatu rancangan undangundang dalam posisi yang mempunyai kekuatan hukum mengikat ketika diimplementasikan dalam masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya, serta mengurangi upaya pengujian undang-undang secara materiil di Halaman | 151 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Mahkamah Konstitusi (MK), maka materi yang akan diatur dalam peraturan perundang-undangan tersebut harus sesuai atau selaras atau bersinergi dengan materi yang diatur pula dalam peraturan perundang-undangan lain sesuai dengan hirarkinya. 295. Upaya yang dilakukan dalam menyesuaikan atau menyelaraskan dengan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan jenis, fungsi, dan hirarki peraturan perundang-undangan inilah seringkali dikatakan sebagai suatu upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan. Istilah harmonisasi dipergunakan dalam Pasal 18 ayat (2) UU 10 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini istilah harmonisasi mempunyai makna untuk menyesuaikan dengan peraturan perundangundangan atau hukum positif yang terkait sebab senyatanya, istilah harmonisasi itu sendiri secara definitif tidak tertuang dalam UU 10 Tahun 2004. 296. Menelisik istilah harmonisasi, sesungguhnya berawal dari kata yang dipergunakan dalam ilmu musik Barat, yaitu salah satu teori musik yang mengajarkan bagimana menyusun sutau rangkaian akord-akord agar musik tersebut dapat enak didengar dan selaras.114 Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008, 115 harmonisasi berarti upaya mencari keselarasan. 297. Sedangkan makna harmonisasi yang dituangkan dalam buku Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan, Kementerian Hukum dan HAM RI menyatakan bahwa pengharmonisasian adalah kegiatan untuk mengharmonisasikan atau menyelaraskan atau dalam bahasa Inggrisnya harmonize diartikan bring into harmony dan harmoni diartikan sebagai pleasing combination of related things. Ditambahkan pula makna harmonisasi yang diberikan oleh Kusnu Goesniadhie, yaitu upaya atau proses untuk merealisasi keselarasan, kesesuaian, keserasian, kecocokan, dan keseimbangan antara berbagai faktor yang sedemikian rupa sehingga faktor-faktor tersebut menghasilkan kesatuan atau membentuk suatu keseluruhan dari undang-undang sebagai bagian dari suatu sistem.116 Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Harmoni_%28musik%29. Diakses: 28 April 2010. 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Keempat, Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, Hal.848. 116 Direktorat Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Ditjen. Peraturan Perundangundangan, Kementerian Hukum dan HAM. Pengharmonisasian, Pembulatan, dan Pemantapan Konsepsi Rancangan Peraturan Perundang-undangan. UNDP Indonesia. Hlm. 7. 114 115Depdiknas, Halaman | 152 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 298. Menurut Wicipto Setiadi, Depkumham) upaya pengharmonisasian sesuai dengan yang tertuang dalam Pasal 18 ayat (2) UU 10 Tahun 2004 merupakan upaya menyelaraskan suatu peraturan perundang-undangan dengan peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajad, maupun yang lebih rendah, dan hal-hal lain di luar peraturan perundang-undangan, sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang tindih (overlapping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hirarki peraturan perundang-undangan. 299. Tujuan dari upaya harmonisasi ini adalah untuk (i) untuk memenuhi ketentuan yang tertuang dalam UU 10 Tahun 2004 sekaligus ditinjau dari ilmu hukum bahwa peraturan perundang-undangan merupakan bagian dari suatu sistem hukum di mana antara satu peraturan perundangundangan dengan lainnya mempunyai keterkaitan, ketergantungan, dan merupakan satu kebulatan yang utuh; (ii) sebagai upaya preventif untuk mencegah diajukannya permohonan pengujian peraturan perundangundangan kepada kekuasaan kehakiman yang berkompeten yaitu Mahkamah Konstitusi untuk undang-undang dan Mahkamah Agung untuk peraturan perundang-undangan yang hirarkinya di bawah undang-undang; (iii) untuk menjamin proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar dilakukan secara taat asas demi kepastian hukum, sebab hukum dibuat agar dapat diimplementasikan dalam masyarakat.117 300. Dengan demikian, sesuai dengan uraian yang telah dikemukakan di atas mengenai hirarki peraturan perundang-undangan dan upaya pengharmonisasian dalam penyusunan suatu rancangan peraturan perundang-undangan, maka dalam rangka menyelaraskan materi muatan Rancangan Undang-Undang Tentang Keantariksaan (RUUK) diperlukan pula suatu upaya penyelarasan materi muatan RUUK dengan materi muatan peraturan perundang-undangan lainnya, yaitu dalam hal ini Pancasila, UUD 1945, dan peraturan perundang-undangan lainnya, agar tidak terjadi perbenturan dan tumpang tindih materi muatan dengan peraturan perundang-undangan lainnya. 301. Peraturan perundang-undangan lainnya yang dimaksud di sini adalah yang berjenis undang-undang. Hal demikian dilakukan karena UUK merupakan peraturan perundang-undangan yang berjenis undang-undang. Terdapat dua alasan penyelarasan (harmonisasi) UUK dengan undangundang, yaitu: (i) sesuai dengan Teori Jenjang Hukum (Stufenbau Theory) yang dikemukakan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa norma hukum yang lebih rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, sedangkan norma yang lebih tinggi berlaku, bersumber pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu norma dasar (grund norm). Hal ini berarti bahwa menurut teori tersebut 117 ibid. Hlm. 10. Halaman | 153 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan suatu norma yang dibentuk harus didasarkan pada norma yang tingkatannya atau hirarkinya berada di atas norma yang dibentuk, yaitu Pancasila dan UUD 1945 sebagai norma dasar, selain itu harmonisasi RUUK harus didasarkan pada undang-undang yang mempunyai tingkatan yang sama dengan RUUK sebab undang-undang bersifat aplikatif yang mengatur secara spesifik suatu bidang. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi perbenturan kepentingan diantara bidang-bidang yang diatur; (ii) dalam ilmu hukum dikenal 3 (tiga) prinsip hukum, yaitu: lex posteriori derogat legi priori (peraturan atau undang-undang yang terbaru mengenyampingkan peraturan atau undang-undang yang lama), lex specialis derogat legi generali (peraturan atau undang-undang yang khusus mengenyampingkan peraturan atau undang-undang yang bersifat umum), lex superior derogat legi inferiori (peraturan atau undang-undang yang lebih tinggi mengenyampingkan peraturan atau undang-undang yang lebih rendah). 302. Dengan menganut pada ketiga prinsip hukum tersebut, UUK memenuhi kriteria sebagai peraturan atau undang-undang yang bersifat khusus sebab bidang yang diatur khusus mengenai penyelenggaraan keantariksaan, selain itu UUK merupakan peraturan yang hirarkinya lebih tinggi dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah, dengan demikian bukan merupakan keharusan bilamana UUK tidak menyelaraskan dengan peraturan perundangundangan lain yang hirarkinya di bawah undang-undang. Di samping itu, RUUK merupakan undang-undang yang dibentuk terbaru dibandingkan peraturan perundang-undangan lain yang mengatur hal yang sama. 303. Dengan demikian, berdasarkan pada ketiga prinsip hukum tersebut UUK dapat diharmonisasi dengan undang-undang yang materi muatannya terkait dengan materi muatan UUK. Namun demikian, perlu diingat kembali bahwa hukum merupakan suatu sistem hukum, sehingga antara peraturan perundang-undangan yang satu dengan lainnya baik sederajad maupun lebih rendah bahkan yang lebih tinggi merupakan satu jalinan yang saling melengkapi dan mengisi (komplementer) dalam memberikan pengaturan di berbagai bidang. Oleh karena itu, bukan merupakan suatu larangan bilamana UUK disamping menyelaraskan dengan undang-undang, perlu juga untuk menyeleraskan dengan peraturan di bawah undang-undang. Sebab hal ini untuk menghindari tumpang tindih misalnya pengaturan tentang kelembagaan dan bidang-bidang lainnya. 304. Berdasarkan uraian tersebut di atas, dan sesuai dengan materi muatan UUK, maka beberapa peraturan-perundang yang terkait dengan materi yang diatur oleh UUK antara lain sebagai berikut : Halaman | 154 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 1. Undang-Undang Dasar 1945 305. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, Alenia IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, mengamanatkan bahwa: “............ untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.........” 306. Tujuan nasional sebagaimana dikemukakan dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 tersebut di atas merupakan salah satu sumber hukum utama yang harus diperhatikan dalam setiap bentuk perumusan kebijakan dan pengaturan, termasuk dalam perumusan kebijakan dan pengaturan nasional bagi kegiatan keantariksaan. Oleh karenanya, dalam konteks upaya perumusan UUK, maka dengan berdasarkan pada tujuan nasional tersebut kegiatan keantariksaan dapat diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan seperti: a. mewujudkan kemandirian dan meningkatkan daya saing bangsa dan negara dalam penyelenggaraan keantariksaan; b. mengoptimalkan penyelenggaraan keantariksaan untuk kesejahteraan; c. menjamin keberlanjutan penyelenggaraan keantariksaan untuk kepentingan generasi masa kini dan generasi masa depan; d. memberikan landasan dan kepastian hukum dalam penyelenggaraan keantariksaan; e. mewujudkan pertahanan, keamanan dan keselamatan; f. melindungi negara dan warga negaranya dari dampak negatif yang ditimbulkan dalam penyelenggaraan keantariksaan; dan, g. mengoptimalkan penerapan perjanjian Internasional keantariksaan yang telah diratifikasi oleh Indonesia. 2. Undang-Undang Republik tentang Wilayah Negara. Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 307. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2009, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 1 Angka 1 Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya disebut dengan Wilayah Negara, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. 308. Pengakuan terhadap wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri dari unsur wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan Halaman | 155 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya. Untuk wilayah daratan dan perairan sudah ditetapkan batas kedaulatannya, namun untuk wilayah udara belum menetapkan batas sejauhmana kedaulatan ruang udara Indonesia. 309. Sementara antariksa telah disepakati dan disahkan dalam Traktat Antariksa 1967 khusus pasal 2 dinyatakan; larangan tuntutan kedaulatan dalam bentuk apapun terhadap antariksa dan antariksa dinyatakan sebagai wilayah seluruh umat manusia. Hal ini dinyatakan dalam UUK dalam bagian Status Antariksa. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. 310. Berdasarkan UU Nomor Nomor 1 Tahun 2009, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu: Pasal 5 Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Pasal 6 Dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia, Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Pasal 7 1) Dalam rangka melaksanakan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang dan terbatas. 2) Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang. 3) Larangan terbang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat permanen dan menyeluruh. 4) Kawasan udara terbatas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat digunakan untuk penerbangan pesawat udara negara. 311. Batas kedaulatan Negara atas wilayah udara NKRI perlu dipertegas dalam Undang-Undang, meskipun Negara Indonesia sudah menyatakan kedaulatan atas wilayah Udara Republik Indonesia, namun belum menetapkan sampai sejauh mana batas wilayah udaranya tersebut, untuk itu RUU Tentang Keantariksaan dapat menjawab pertanyaan tersebut dengan menetapkan batas antara wilayah ruang udara dan antariksa adalah pada ketinggian 110 km dari permukaan laut. Penetapan ketinggian Halaman | 156 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 110 km ini ditujukan semata-mata untuk pengakuan terhadap kedaulatan Negara di ruang udara. 4. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Kementerian Negara. Nomor 39 Tahun 2008 312. Berdasarkan UU Nomor 39 Tahun 2008, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 25 (1). Hubungan fungsional antara Kementerian dan lembaga pemerintah nonkementerian dilaksanakan secara sinergis sebagai satu sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan. (2). Lembaga pemerintah nonkementerian berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang mengoordinasikan. (3). Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan fungsional antara Menteri dan lembaga pemerintah nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden. 313. Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK) sebagaimana Instansi LAPAN bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menteri yang Mengoordinasikannya, meskipun Peraturan Presiden mengenai hubungan fungsional antara Menteri dengan LPNK belum ada, namun atas dasar Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2005 terutama pada Pasal 106 huruf i menyebutkan bahwa Menteri Negara Riset dan Teknologi mengoordinasikan bagi LIPI, LAPAN, BPPT, BATAN, BAPETEN, BAKOSURTANAL, dan BSN. 1. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Hubungan Luar Negeri Nomor 37 Tahun 1999 314. Berdasarkan UU Nomor 37 Tahun 1999, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 13 Lembaga Negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun non departemen, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri. Pasal 14 Pejabat lembaga pemerintah, baik depatemen maupun nondepartemen, yang akan menandatangani perjanjian internasional yang dibuat antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah negara lain, Halaman | 157 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lainnya, harus mendapat surat kuasa dari Menteri. Pasal l5 Ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional diatur dengan undang-undang tersendiri. 315. Penyelenggaraan keantariksaan banyak berhubungan dengan Negara lain (Hubungan Luar Negeri) hubungan yang dibangun tentunya didasarkan atas Perjanjian Internasional sehingga ada hubungan hukum diantara pihak. Hubungan luar negeri yang dimaksud dalam Penyelenggaraan Keantariksaan dapat berupa Kerjasama Internasional dan keanggotaan dalam forum dan/atau Organisasi Internasional. Upaya menjalin hubungan luar negeri ini tentunya sangat berhubungan dengan tujuan percepatan penguasaan teknologi antariksa di dalam negeri. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Perjanjian Internasional. Nomor 24 Tahun 2000 316. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2000, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 5 (1). Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri. (2). Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia. (3). Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri, memuat hal-hal sebagai berikut : a. latar belakang permasalahan; b. analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia; c. posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai kesepakatan. (4). Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing. 317. Dari ketentuan Pasal 5 UU Nomor 24 Tahun 2000 memberikan kewajiban kepada lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen, di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian internasional, terlebih Halaman | 158 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana tersebut dengan Menteri. Yang dimaksud Menteri adalah Menteri yang mengkoordinasikan lembaga negara dan lembaga pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 Tentang Kementerian Negara. 3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. 318. Berdasarkan UU Nomor 18 Tahun 2002, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 21 (1). Pemerintah dan pemerintah daerah berperan mengembangkan instrumen kebijakan untuk melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1). (2). Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan sebagai bentuk kemudahan dan dukungan yang dapat mendorong pertumbuhan dan sinergi semua unsur Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan, dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. (3). Instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dapat berbentuk dukungan sumber daya, dukungan dana, pemberian insentif, penyelenggaraan program ilmu pengetahuan dan teknologi, dan pembentukan lembaga. (4). Lembaga yang dimaksud dalam ayat (3) dapat meliputi lembaga litbang dan lembaga penunjang, baik yang berdiri sendiri sebagai Lembaga Pemerintah Non Kementerian maupun sebagai unit kerja Kementerian atau pemerintah daerah tertentu. (5). Pelaksanaan instrumen kebijakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diselenggarakan secara adil, demokratis, transparan, dan akuntabel. Penjelasan Ayat 4 Pada tingkat pusat, pembentukan lembaga yang dimaksud dalam ayat ini dapat berupa: a. Lembaga litbang Kementerian dan lembaga lain yang sejenis yang berada di bawah naungan Kementerian tertentu yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan sektor tertentu; b. Lembaga litbang non Kementerian yang merupakan organisasi yang berdiri sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan lintas sektor. Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk dalam jenis lembaga ini, antara lain, adalah Badan Tenaga Nuklir Nasional, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional; Halaman | 159 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan c. d. Lembaga penunjang Kementerian dan lembaga lain yang sejenis berada di bawah naungan Kementerian tertentu yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan sektor tertentu; Lembaga penunjang non Kementerian merupakan organisasi yang berdiri sendiri yang kegiatannya berkaitan dengan permasalahan lintas sektor. Pada saat undang-undang ini dibuat, yang termasuk dalam jenis lembaga ini, antara lain, adalah Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional, Badan Pengawas Tenaga Nuklir, Badan Standardisasi Nasional. 319. Pengembangan dan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam undang-undang ini diatur aspek-aspek penting seperti fungsi kelembagaan, sumberdaya, dan jaringan ilmu pengetahuan dan teknologi, fungsi dan peran pemerintah, peran serta masyarakat, pembiayaan dan bahkan dilengkapi dengan ketentuan mengenai sanksi. Sebagai Peraturan Pelaksananya antara lain Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Perizinan Pelaksanaan Kegiatan Penelitian, Pengembangan, Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Yang Berisiko Tinggi dan Berbahaya dan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2005 tentang Alih Teknologi Kekayaan Intelektual serta hasil kegiatan penelitian dan pengembangan oleh Perguruan Tinggi dan Lembaga Litbang. 4. Undang-Undang Republik Tentang Telekomunikasi. Indonesia Nomor 36 Tahun 1999 320. Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 1999, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 32 (1) Perangkat telekomunikasi yang diperdagangkan ,dibuat ,dirakit, dimasukkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia wajib memperhatikan persyaratan teknis dan berdasarkan izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. (2) Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur denga Peraturan Pemerintah. Pasal 33 (1) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapat izin Pemerintah (2) Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit harus sesuai dengan peruntukannya dan tidak saling mengganggu (3) Pemerintah melakukan pengawasan da pengendalian penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit. (4) Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Halaman | 160 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 10. Undang-Undang Republik Tentang Penyiaran Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 321. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2002, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 1 Angka 2 Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran. 322. Pemanfaatan teknologi satelit terus berkembang pesat, antara lain di bidang telekomunikasi, khususnya dalam kegiatan penyiaran. Keputusan pemerintah atas penggunaan DVB-T sebagai standar TV digital terestrial akan menjadi lokomotif terjadinya migrasi dari era penyiaran analog menuju era penyiaran digital di Indonesia. Pilihan ini membuka peluang ketersediaan saluran siaran yang lebih banyak, yang berimplikasi dalam banyak aspek. Untuk itu, peran pemerintah menjadi sangat strategis dalam mempersiapkan pengembangan sumber daya manusia dan sarana prasarana yang mampu menanggapi tantangan di era penyiaran digital. Momentum penyiaran digital ini diharapkan dapat menjadi pemicu tumbuh dan berkembangnya kemandirian bangsa. 5. Undang-Undang Republik Tentang Kepariwisataan Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 323. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 1 Angka 1 Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara. Pasal 1 Angka 3 Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Pasal 1 Angka 7 Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Halaman | 161 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 6. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Penanggulangan Bencana. Nomor 24 Tahun 2007 324. Berdasarkan UU Nomor 24 Tahun 2007, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 64 Dana untuk kepentingan penanggulangan bencana yang disebabkan oleh kegiatan keantariksaan yang menimbulkan bencana menjadi tanggung jawab negara peluncur dan/atau pemilik sesuai dengan hukum dan perjanjian internasional. Penjelasan Pasal 64 Yang dimaksud dengan “kegiatan keantariksaan” adalah kegiatan yang berkaitan dengan ruang angkasa yang menimbulkan bencana, antara lain, peluncuran satelit dan eksplorasi ruang angkasa. 7. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Penanaman Modal. Nomor 25 Tahun 2007 325. Berdasarkan UU Nomor 25 Tahun 2007, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 3 Ayat 2 Tujuan penyelenggaraan penanaman modal, antara lain untuk: a. meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional; b. menciptakan lapangan kerja; c. meningkatkan pembangunan ekonomi berkelanjutan; d. meningkatkan kemampuan daya saing dunia usaha nasional; e. meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional; f. mendorong pengembangan ekonomi kerakyatan; g. mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri; dan h. meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 326. Penanaman Modal kemungkinan dapat dilakukan dalam kegiatan keantariksaan guna meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, namun untuk penanaman modal asing memang perlu untuk dikaji karena kegiatan keantariksaan ada yang bersifat strategis yang tertutup untuk penanam modal asing. Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Ayat 1 dan 2 sebagai berikut: 1) Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. 2) Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan b. bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan undang-undang. Halaman | 162 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 13. Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Ketenaganukliran. Nomor 10 Tahun 1997 327. Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1997, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 16 (1). Setiap kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. (2). Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 17 (1). Setiap pemanfaatan tenaga nuklir wajib memiliki izin, kecuali dalam hal-hal tertentu yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. (2). Pembangunan dan pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reactor nuklir wajib memiliki izin. (3). Syarat-syarat dan tata cara perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah. 328. Penggunaan tenaga nuklir bagi kegiatan penyelenggaraan keantariksaan harus memperhatikan ketentuan penggunaan dan keamanan tenaga nuklir yang diatur dan dikeluarkan oleh badan yang berwenang. 14. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian 329. Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 1992, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 1 Angka 1 Asuransi atau Pertanggungan adalah perjaniian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Pasal 2 huruf a Usaha asuransi, yaitu usaha jasa keuangan yang dengan menghimpun dana masyarakat melalui pengumpulan premi asuransi Halaman | 163 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan memberikan perlindungan kepada anggota masyarakat pemakai jasa asuransi terhadap kemungkinan timbulnya kerugian karena suatu peristiwa yang tidak pasti atau terhadap hidup atau meninggalnya seseorang. 330. Asuransi Kegiatan keantariksaan memiliki karakteristik spesifik (Pre launch Insurance, Launch Insurance In Orbit Policies Insurance, Third Party & Government Property Insurance, re launch guarantees). Dari spesifikasi tersebut belum diatur dalam usaha perasuransian, maka perlu diatur lebih lanjut, dan pada intinya adalah penyelengaraan keantariksaan biayanya sangat tinggi maka asuransi mutlak diperlukan. 15. Undang-Undang Republik Tentang Penataan Ruang. Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 331. Berdasarkan UU Nomor 26 Tahun 2007, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 1 Angka 28 Kawasan Strategis Nasional adalah wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan Negara, pertahanan dan keamanan Negara, ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang telah ditetapkan sebagai warisan dunia. 332. Sebagai peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, beberapa lokasi (kawasan) penelitian dan pengembangan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Nasional yang dipandang dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi. Dan disadari bahwa penyelengaraan keantariksaan nantinya membutuhkan lokasi yang diperuntukkan sebagai Bandar Antariksa maupun Ground Station Satelit yang dapat dikategorikan sebagai kawasan strategis yang dipandang dari sudut kepentingan pendayagunaan sumber daya alam dan/atau teknologi tinggi. 16. Undang-Undang Republik tentang Kearsipan. Indonesia Nomor 43 Tahun 2009 333. Berdasarkan UU Nomor 43 Tahun 2009, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 33 Arsip yang tercipta dari kegiatan lembaga negara dan kegiatan yang menggunakan sumber dana Negara dinyatakan sebagai arsip milik negara. Pasal 34 Ayat 2 Negara secara khusus memberikan pelindungan dan penyelamatan arsip sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang berkaitan dengan Halaman | 164 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah-masalah pemerintahan yang strategis. Pasal 43 Ayat 3 Arsip yang tercipta pada lembaga negara, pemerintahan daerah, dan perguruan tinggi negeri yang berkaitan dengan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (2) wajib diserahkan kepada ANRI dalam bentuk salinan autentik dari naskah asli paling lama 1 (satu) tahun setelah dilakukan pelaporan kepada ANRI. 334. Dari rumusan pasal-pasal tersebut di atas, sangat jelas bahwa lembaga-lembaga Pemerintah diharuskan menyerahkan naskah arsip yang berkaitan kependudukan, kewilayahan, kepulauan, perbatasan, perjanjian internasional, kontrak karya, dan masalah-masalah pemerintahan yang strategis kepada ANRI, termasuk arsip yang dimiliki LAPAN yang berkaitan dengan perjanjian internasional dan masalah strategis seperti penyelengaraan keantariksaan. 17. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) 14 Tahun 2008 335. Dalam UU Tentang KIP terdapat ketentuan yang mengharuskan semua badan publik untuk mengumumkan informasi publik secara berkala, paling sedikit enam bulan sekali, mengumumkan secara sertamerta suatu informasi salah satunya yang dapat mengancam hajat hidup orang banyak dan ketertiban umum, paling lambat 10 (sepuluh) hari kerja sejak diterimanya permintaan, badan publik bersangkutan wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis apakah informasi yang diminta itu berada di bawah penguasaannya atau tidak. Apabila informasi yang diminta itu tak berada di bawah penguasaannya, badan publik wajib memberitahukan badan publik mana yang menguasai informasi itu. Informasi yang dihasilkan dari kegiatan keantariksaan dapat dikategorikan sebagai informasi publik (selain sebagaimana pengecualian Pasal 17 UU Tentang KIP) terutama informasi penginderaan jauh dalam kegiatan mitigasi bencana, informasi benda jatuh antariksa harus diumumkan secara serta merta. Dalam UU KIP ini dinyatakan bahwa : Pasal 1 (1). Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tandatanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik. (2). Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan public Halaman | 165 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. (3). Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri. Pasal 2 (1). Setiap Informasi Publik bersifat terbuka dan dapat diakses oleh setiap Pengguna Informasi Publik. (2). Informasi Publik yang dikecualikan bersifat ketat dan terbatas. (3). Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. (4). Informasi Publik yang dikecualikan bersifat rahasia sesuai dengan Undang-Undang, kepatutan, dan kepentingan umum didasarkan pada pengujian tentang konsekuensi yang timbul apabila suatu informasi diberikan kepada masyarakat serta setelah dipertimbangkan dengan saksama bahwa menutup Informasi Publik dapat melindungi kepentingan yang lebih besar daripada membukanya atau sebaliknya. 18. Undang-Undang Hak Kekayaan Intelektual (HKI). 336. Sangat disadari bahwa kegiatan keantariksaan terkait erat dengan aktivitas intelektual dimana hasil kreasi intelektual yang terjadi dilindungi dengan keberlakukuan hukum tentang hak kekayaan intelektual (contoh; Paten, Hak Cipta, Merek, Rahasia Dagang, dan lain-lain). Oleh karena itu, dalam perumusan RUU Keantariksaan perlu diberikan pengakuan dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual yang terkait dengan jasa nilai tambah dan juga produk-produk intelektual yang digunakan secara memadai. Termasuk di dalamnya adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak kekayaan intelektual asing. Untuk itu, keserasian dengan undang-undang yang terkait di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual harus menjadi pedoman dalam penyusunan RUU Keantariksaan. Di samping itu perjanjian-perjanjian internasional di bidang perlindungan hak kekayaan intelektual yang telah diratifikasi seyogyanya juga dijadikan pedoman. 337. Berbagai Undang-undang dan peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual mencakup antara lain: Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, UndangUndang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, Undang-Undang Nomor 31 Halaman | 166 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Tahun 2001 Tentang Rahasia Dagang, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Disain Tata Letak Sirkuit Terpadu, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan WTO Agreement, khususnya tentang TRIPs (Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights). Di samping itu terdapat beberapa Keputusan Presiden yang perlu diperhatikan yaitu: Keppres Nomor 16 Tahun 1997 Tentang Pengesahan Paten Cooperation Treaty (PCT) and Regulation under The PCT. Keppres Nomor 19 Tahun 1997 tentang Pengesahan WIPO Copy Rights Treaty, serta Keppres Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pengesahan Berne Convention for the Protection of Liteary and Artistic Works. 19. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2009 338. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2009, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 22 (1). Setiap usaha dan/atau kegiatan yang berdampak penting terhadap lingkungan hidup wajib memiliki amdal. (2). Dampak penting ditentukan berdasarkan kriteria: a. besarnya jumlah penduduk yang akan terkena dampak rencana usaha dan/atau kegiatan; b. luas wilayah penyebaran dampak; c. intensitas dan lamanya dampak berlangsung; d. banyaknya komponen lingkungan hidup lain yang akan terkena dampak; e. sifat kumulatif dampak; f. berbalik atau tidak berbaliknya dampak; dan/atau g. kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 339. Penyelenggaraan keantariksaan yang dilakukan penyelenggara wajib menjamin terpeliharanya pelestarian fungsi lingkungan bumi dan antariksa sesuai daya dukung dan daya tampungnya. Dalam hal ini yang dimaksud dengan pelestarian fungsi lingkungan bumi dan antariksa hidup adalah rangkaian upaya untuk memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan bumi dan antariksa. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk mendukung perikehidupan manusia, makhluk hidup lain, dan sumber daya lainnya serta keseimbangan antarketiganya. Daya tampung lingkungan adalah kemampuan lingkungan untuk menyerap zat, energi, dan/atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Dan khusus Penyelenggaraan keantariksaan untuk tujuan pembangunan bandar antariksa wajib memiliki AMDAL sebagaimana diatur dalam UU Nomor 32 Tahun 2009 tersebut. Halaman | 167 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 20. Undang-Undang Republik Indonesia tentang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 340. Berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, maka terdapat materi yang terkait dengan materi UUK yaitu : Pasal 10 (1) Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan fiskal nasional; dan f. agama. 21. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 1999 341. Dalam hal terjadi sengketa penyelenggaraan keantariksaan, penyelesaiannya dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan secara sukarela penyelenggara yang bersengketa. Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution) adalah Lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat, melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara Mediasi, Negosiasi, Konsiliasi dan Arbitrase. 342. Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Arbitrase pada dasarnya merupakan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Untuk keperluan tersebut Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 memberikan kompetisi absolut atas pencantuman klausula arbitrase dalam perjanjian di antara para pihak, maupun perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang timbul atas penyelesaian sengketa melalui pengadilan. Halaman | 168 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan 22. Peraturan Perundang-Undangan Lainnya. 343. Dalam rangka menganalisis keterkaitan RUU tentang Keantariksaan dengan hukum positif khususnya peraturan perundang-undangan terkait perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia dan ratifikasi perjanjian internasional keantariksaan secara khusus keterkaitannya telah dimasukkan dalam uraian Bab III. Sedangkan terhadap perjanjian internasional di luar perjanjian internasional keantariksaan namun terkait baik langsung maupun tidak langsung dengan penyelenggaraan keantariksaan dianggap implementasinya di tingkat nasional sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan nasional sebagaimana disebut dalam butir 2-21 di atas. ---000--- Halaman | 169 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan 344. Dari beberapa uraian pada awal bab dan selanjutnya, maka dapat diambil suatu kesimpulan : a. Dengan berlakunya Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH-01.PP.01.01 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Naskah Akademik Rancangan Peraturan Perundang-undangan maka seluruh proses penyusunsn naskah akademik peraturan perundang-undangan mengacu pada Peraturan Menteri tersebut. b. Dilihat dari Konsep Dasar Pembangunan Keantariksaan, Kebijakan dan Program Pembangunan Keantariksaan serta Kelembagaannya terdapat kebutuhan akan lahirnya suatu Undang-undang Tentang Keantariksaan untuk mencapai tujuan dan kepentingan nasional di bidang keantariksaan; c. Dilihat dari sisi urgensinya, terutama dikaitkan dengan dinamika kepentingan nasional di bidang keantariksaan, manfaat dan konsekuensinya serta upaya pengembangan hukum antariksa nasional sebagai bagian dari sistem hukum nasional terdapat urgensi lahirnya Undang-Undang Tentang Keantariksaan; d. Dalam rangka perumusan RUU Tentang Keantariksaan perlu diperhatikan upaya harmonisasi, baik terhadap undang-undang dan peraturan perundang-undangan nasional terkait yang berlaku maupun terhadap aturan-aturan hukum internasional terkait yang berlaku; e. Materi muatan RUU Tentang Keantariksaan secara umum terdiri dari landasan dan asas serta pokok-pokok materi pengaturan yang mengatur aspek-aspek seperti: status antariksa, keselamatan misi yang dikaitkan dengan sistem lisensi nasional, kepentingan keamanan nasional, registrasi, tanggung jawab Negara, sistem pertanggung-jawaban, perlindungan hak kekayaan intelektual, perlindungan dan pelestarian lingkungan, kelembagaan, kerjasama internasional, peran serta, subjek hukum non-negara, penyelesaian sengketa, ketentuan sanksi, ketentuan peralihan dan ketentuan penutup. 345. Berdasarkan uraian dalam tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa pengaturan pelaksanaan dari RUU Tentang Keantariksaan, bahkan salah satunya masih dalam bentuk Undang-undang tersendiri. Bentuk peraturan pelaksanaan tersebut adalah sebagai berikut: a. Undang-Undang Tentang Pengendalian Lintas Batas Teknologi Keantariksaan. Bagian Ketiga, Pengembangan Teknologi Keantariksaan. Pasal 16 Ayat 3. Halaman | 170 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Peraturan Pemerintah Tentang Pengawasan dan Pengendalian Keantariksaan, (Pasal 8 Ayat 6). c. Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 11 ayat 4). d. Peraturan Pemerintah Tentang Penyelenggaraan Bandar Antariksa (Pasal 15 ayat 5). e. Peraturan Pemerintah Tentang Kerja sama Internasional Keantariksaan (Pasal 16 ayat 3). f. Peraturan Pemerintah Tentang Pengaturan pemanfaatan Teknologi Keantariksaan untuk kepentingan penginderaan jauh (Pasal 25). g. Peraturan Pemerintah Tentang Presedur dan Mekanisme Penanganan bencana Keantariksaan (Pasal 27 Ayat 2). h. Peraturan Pemerintah Tentang Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan untuk kepentingan Komersialisasi Keantariksaan (Pasal 29 ayat 2). i. Peraturan Pemerintah Tentang Peluncuran Wahana Antariksa Dalam Negeri (Pasal 29 ayat 2). j. Peraturan Pemerintah Tentang Penjalaran Teknologi Keantariksaan (Pasal 35 ayat 3). k. Peraturan Pemerintah Tentang Standar dan Prosedur Keamanan dan Keselamatan Keantariksaan (Pasal 38) l. Peraturan Pemerintah Tentang Prosedur dan Persyaratan Pemberian Lisensi Terhadap Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 41 ayat 7). m. Peraturan Pemerintah Tentang Pengaturan Tanggung Jawab dan Kerugian Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 47). n. Peraturan Pemerintah Tentang Kriteria AMDAL Terhadap Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 53 ayat 5). o. Peraturan Pemerintah Tentang Sistem Informasi Keantariksaan (Pasal 56 ayat 7). p. Peraturan Presiden Tentang Kedudukan, tugas pokok, fungsi, susunan dan tata kerja Dewan dan Lembaga (Pasal 9 ayat 6). q. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Prosedur dan Tata Cara Penetapan dan Penggunaan Infrastruktur Penyelenggaraan Keantariksaan (Pasal 13 Ayat 6). r. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Penyelenggaraan Keantariksaan Dalam Negeri dan Luar Negeri (Pasal 17 Ayat 4). s. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Penguasaan Teknologi Penerbangan (Pasal 18 Ayat 3). t. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Prosedur dan Mekanisme Pemberian Informasi Hasil Pemanfaatan Teknologi Keantariksaan Dalam Rangka Mitigasi Bencana (Pasal 26 Ayat 3). u. Peraturan Kepala Lembaga Tentang Penyelenggaraan Penelitian Teknologi Keantariksaan (Pasal 33 Ayat 4). b. Halaman | 171 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan B. Saran 1. Skala Prioritas Penyusunan Peraturan Undang Tentang Keantariksaan Pelaksanaan Undang- 346. Berdasarkan uraian tersebut disarankan agar prioritas pengaturan tindak lanjut dari RUU tentang Keantariksaan adalah : a. Undang-Undang mengenai Teknologi Wahana Peluncur Satelit. Bagian Ketiga, Pengembangan Teknologi Keantariksaan. Pasal 16 Ayat 3. b. Peraturan Pemerintah mengenai Pengawasan dan Pengendalian keantariksaan yang dilakukan oleh penyelenggara di wilayah dan yurisdiksi Republik Indonesia. Pasal 8 Ayat 6. c. Peraturan Pemerintah mengenai Pengaturan Tanggung Jawab dan Kerugian Keantariksaan (Pasal 47). d. Peraturan Pemerintah mengenai Pengaturan pemanfaatan teknologi Keantariksaan untuk kepentingan penginderaan jauh (Pasal 25). 2. Kegiatan lain yang mendukung RUU tentang Keantariksaan 347. Beberapa kegiatan lain yang dapat mendukung pemberlakuan RUU tentang Keantariksaan adalah : a. Melanjutkan perundingan antara Indonesia dan Federasi Rusia tentang Rusia draft ”Agreement on Technology Safeguards Associated With Cooperation in the Field of the Exploration and Use of Outer Space for Peaceful Purposes” (TSA) b. Melanjutkan Ratifikasi Konvensi Pembentukan Asia-Pasific Space Cooperation Organization (APSCO) yang telah ditandatangani oleh Indonesia pada tanggal 28 Oktober 2005 bersama dengan 7 negara lainnya yaitu Bangladesh, China, Iran, Mongolia, Pakistan, Peru dan Thailand. Pada tanggal 1 Juni 2006, Turkey menjadi Negara ke-9 yang ikut menandatangani Konvensi APSCO. Saat ini tinggal Indonesia dan Turkey yang belum meratifikasi Konvensi tersebut. ---000--- Halaman | 172 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Benko, Marietta and Kai-Uwe Schrogl (eds). International Space Law in the Making. Frontier Edition. Cheng, Bin. 1997. Studies in International Space Law. Clarendon Press. Oxford. Christol, Carl Q. 1991. Space Law: Past, Present and Future. Crawford, James. 2002. The International Law Commissions’ Articles on State Responsibility. Cambridge University Press. Csabafi, Imre Anthony. 1971. The Concept of State Jurisdiction in International Space Law. Martinus Nijhoff Publishers. Goldman, Nathan. 1985. Space Commerce: Free Enterprise on the High Frontier. Massachussets. Goldman, Nathan. 1988. American Space Law: International and Domestic. Iowa. Hacket, George T. 1994. Space Debris and The Corpus Iuris Spatialis. Frontier Publication. Horbach, Nathalie LJT. 1996. Liability Vs Responsibility Under International Law. PhD Dissertation. Leiden University. Jasani, Bhupendra (ed). 1991. Peaceful and Non-Peaceful Uses of Outer Space. Taylor and Francis. Jasani, Bhupendra (ed). 1991. Outer Space, A Source of Conflicts or Cooperation. The United Nations University Press. Jorgensen, Nina H.B. 2000. The Responsibility International Crimes. Oxford University Press. of States for Kayser, Valerie. 2001. Launching Space Objects: Issues of Liability and Future Prospects. Kluwer Academic Publishers. Meredith, Pamela L & George S Robinson. 1992. Space Law: A Case Study for the Practitioner. Martinus Nijhoff Publishers. Piradov, AS. International Space Law. 1976. Moskow. Rijnen, GCM and W de Graaf. 1988. The Pollution of Outer Space, in Particular of the Geostationary Orbit. Martinus Nijhoff Publisher. I.B.R Supancana. 1998. The International Regulatory Regime Governing the Utilization of Earth-Orbits. Ph.D Dissertation. Leiden University. The Netherlands. Halaman | 173 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan _______. 2003. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan. Penerbit Mitra Karya. Jakarta. _______. 2006. Pelembagaan Undang-Undang Keantariksaan Nasional. Seri Publikasi Center for Regulatory Research (Pusat Kajian Regulasi. CV Mitra Karya. Jakarta. United Nations. 1986. Space Activities of the United Nations and International Organizations. Van Traa & Hanneke Louis. 1989. Commercial Utilization of Outer Space, Legal Aspects. Ph.D Dissertation. University of Utrecht. The Netherlands. Verschoor, I.H.Ph Diederiks. 1993. An Introduction to Space Law. Kluwer Law and Taxation Publishers. The Netherlands. Von Der Dunk, Frans G. 1998. Private Enterprise and Public Interest in the European Spacescape. PhD Dissertation. Leiden University. The Netherlands. Wassenbergh, Henri A. 1991. Principles of Outer Space Law in Hindsight. Martinus Nijhoff Publishers. The Netherlands. Young, Andrew J. 1989. Law and Policy in the Space Station’s Era. Martinus Nijhoff Publishers. The Netherlands. Zwaan, Tanja L (ed). 1989. Space Law: Views of the Future. Kluwer. The Netherlands. B. ARTIKEL/MAKALAH Aoki, Setsuko. 2003. Emerging System of Property Rights System in Outer Space. Discussion Paper Presented at UN/Korea Workshop on Space Law.; Beckman, Robert C. 2003. 1968 Rescue Agreement- An Overview. Discussion Paper Presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Davis, Michael. 2003. Australia’s Space Policies and Institutions. Discussion Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Dunk, Frans Von Der. 2003. The Outer Space Treaty. Discussion Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Gabrynowics, Joanne Irene. 2003. Origin and Characteristics of the Space Law Treaty Regime. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Hashim, Fatimah Yusro. 2003. The Convention on International Liability for Damages Caused by Space Objects and The Domestic Regulatory Responses to Its Implication. Discussion Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Halaman | 174 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Kerrest, Armel. 2003. Liability Convention and National Licensing Regimes. Paper Presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Kim, Doo Hwan. 2003. The Article VI of the Outer Space Treaty. Paper presented at UN/Korea Space Law Workshop. Lee, Ricky J. 2003. The Convention on International Liability for Damages Caused by Space Objects and The Domestic Regulatory Responses to Its Implementation. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Othman, Mazlan. 2003 The National Space Programme of Malaysia. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Shin, Hongkyun. 2003. Emerging System of Property Right in the Outer Space. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Steptoe, E Jason. 2003. U.S. National Aeronautics and Space Act, Origins, Scope, Application. Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. Tennen, Leslie L. 2003. Emerging System of Copyrights in Outer Space. Discussion Paper presented at UN/Korea Workshop on Space Law. C. PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL BIDANG KEANTARIKSAAN BEBERAPA NEGARA DI Argentina, National Decree no 995/91 Creation of the National Commission on Space Activities. Argentina, National Decree No 125/95 Establishment of the National Registry of Objects Launched into Outer Space. Australia, Space Activities Act 1998. Brazil, Law no 8.854 of 1984, Establishing the Brazilian Space Agency. Brazil, Resolution no 51 Resolution on Commercial Launching Activities from Brazilian Territory. Brazil, Law no 9.994 of 2000, Creating the Program to the Scientific and Technological Development of Space Sector (Industry). Brazil, Regulation on Procedures and on Definition of necessary requirements for the request, evaluation, issuance, follow-up and supervision of licenses for carrying out launching space activities on Brazilian Territory. Canada, Aeronautic Act of 1985. Canada, Canadian Space Agency Act as Amended in 2001. Canada, Civil International Space Station Agreement Implementation Act of 1999. Halaman | 175 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Chile, Supreme Decree no 338 on the Establishment of a Presidential Advisory Committee Known as the Chilean Space Agency of 2001. France, Law no 61-1382 of 1961 regarding Statute of the Centre National d’Etudes Spatiales. France, Decree no 62-153, Regulations relating to the CNES. France, Decree no 89-508 of 1988 & Decree no 90-112 of 1989 Concerning The Space Committee. Germany, Law Governing the Transfer of Responsibilities for Space Activities of 1998. Italy, Law no 186 of 1988 on the Establishment of Italian Space Agency. Italy, Legislative Decree no 204 of 1998 Concerning Disposition for the Coordination, the Development and the Evaluation of the National Policy Regarding Scientific and Technologic Research. Italy, Legislative Decree no 27 of 1998 on the Restructuring of the Italian Space Agency. Italy, Legislative Decree no 128 of 2003 on the Restructuring of ASI. Japan, Law no 161 of 2002 concerning Japan Aerospace Exploration Agency. Norway, Act no 38 of 1969 on Launching Objects from Norwegian Territory in Outer Space. Russian Federation, Presidential EDICT no 185 of 1992 about the Structure of Management of Space Activity in Russian Federation. Russian Federation, Presidential EDICT no 2005, of 1994 on the Organization of the Further Utilization of the Baikonur Cosmodrome in the Interests of the Russia’s Federation’s Space Activity. Russian Federation, Decree no 5663-1 about Space Activity. Russian Federation, Decree no 104 of 1996 on Statute on Licensing Space Operation. Russian Federation, Decree no 422 on Measures to Fulfill the Russian Federal Space Program and International Space Agreements. South Africa, Space Affairs Act of 1993. South Africa, Space Affairs Amendment Act no 1530 of 1995. Spain, Royal Decree No. 278-1995 on the Establishment in Spain of Registry of Objects Launched into Outer Space as Provided for in the Convention adopted by the Union Nations General Assembly on 12 November 1974. Sweden, Act on Space Activities. Halaman | 176 Oktober 2010 Naskah Akademik RUU Tentang Keantariksaan Sweden, Decree on Space Activities. Ukraine, Ordinance of the Supreme Soviet of Ukraine on Space. Ukraine, Decree No. 17 of the Ukraine on the Establishment of the National Space Agency of Ukraine (29/02/1992). United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, Outer Space Act, 1986. United States of America, The National Aeronautics and Space Act. United States of America, National Space Program. United States of America, Commercial Space Act, 1998. United States of America, Commercial Space Competitiveness United States of America, Land Remote Sensing Policy. United States Matching Grants. of America, Space Transportation infrastructure United States of America, Inventions in Outer Space. ---000--- Halaman | 177