BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Penyakit kardiovaskular 1.1. Penyakit jantung koroner Insidensi penyakit jantung koroner (PJK) semakin meningkat pada masyarakat modern karena adanya perubahan pola makan, gaya hidup, dan aktivitas. Muttaqin (2009) menjelaskan penyakit jantung koroner disebabkan oleh kelainan metabolisme lipid, koagulasi darah, serta keadaan biofisika dan biokimia dinding arteri. Kondisi patologis yang terjadi ditandai dengan penimbunan abnormal lipid atau bahan lemak dan jaringan fibrosa pada dinding pembuluh darah sehingga mengakibatkan perubahan struktur dan fungsi arteri (aterosklerosis) serta penurunan aliran darah ke jantung. Aterosklerosis pembuluh koroner merupakan penyebab penyakit arteri koronaria yang paling sering ditemukan. Price dan Wilson (2005) menjelaskan bahwa aterosklerosis menyebabkan penimbunan lipid dan jaringan fibrosa dalam arteri koronaria sehingga mempersempit lumen pada arteri-arteri otot dan jaringan elastis secara progresif. Penyempitan lumen ini terjadi pada aorta (menyebabkan aneurisma), arteri poplitea, dan femoralis (menyebabkan penyakit pembuluh darah perifer), arteri karotis (menyebabkan stroke), arteri renalis (menyebabkan penyakit jantung iskemik atau infark miokardium). Manifestasi klinis PJK yaitu asimptomatik, angina pektoris, infark miokardium akut, dekompensasi kordis, aritmia jantung, kematian mendadak, dan sinkop (Joewono, et al., 2003). Manifestasi klinis yang klasik 10 Universitas Sumatera Utara 11 dari PJK yaitu angina pektoris yang timbul akibat iskemik miokardium (Majid, 2007). Angina pektoris ditandai gejala yang khas yaitu nyeri dada dan dapat menyebabkan disritmia atau berkembang menjadi infark miokardium (Udjianti, 2011). Angina Pektoris merupakan keadaan iskemik miokardium karena kurangnya suplai oksigen ke sel-sel miokardium akibat penyumbatan arteri koroner, peningkatan beban kerja jantung, dan menurunnya kemampuan darah mengikat oksigen. Price dan Wilson (2005) menjelaskan bahwa iskemia yang berlangsung lebih dari 30-45 menit akan menyebabkan kerusakan sel ireversibel serta nekrosis atau kematian miokardium (infark miokardium). Keadaan infark atau nekrosis otot jantung permanen disebabkan karena kurangnya suplai darah dan oksigen pada miokard akibat sumbatan akut arteri koroner (Udjianti, 2011). Sumbatan ini sebagian besar disebabkan oleh ruptur plak ateroma pada arteri koroner yang kemudian diikuti oleh terjadinya thrombosis, vasokonstriksi, reaksi inflamasi, dan mikroembolisasi distal. Terkadang sumbatan juga disebabkan oleh spasme arteri koroner, emboli, atau vaskulitis (Perki, 2004 dalam Muttaqin, 2009). Majid (2007) menyatakan bahwa penatalaksanaan medis PJK secara umum dilakukan dengan terapi farmakologik dan revaskularisasi miokardium. Tindakan revaskularisasi yang telah terbukti baik pada PJK stabil yang disebabkan oleh aterosklerotik primer yaitu tindakan pembedahan CABG (Coronary Artery Bypass Graft) dan tindakan PCI (Percutaneous Coronary Intervention). Universitas Sumatera Utara 12 1.2. Gagal jantung kongestif Gagal jantung kongestif merupakan kondisi jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi yang cukup bagi kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian vena normal (Muttaqin, 2009). Hal ini mengakibatkan peregangan ruang jantung (dilatasi) guna menampung darah lebih banyak untuk dipompakan ke seluruh tubuh atau mengakibatkan otot jantung kaku dan menebal. Jantung hanya mampu memompa darah untuk waktu yang singkat dan dinding otot jantung yang melemah tidak mampu memompa dengan baik. Sebagai akibatnya, ginjal merespon dengan menahan air dan garam. Hal ini akan mengakibatkan bendungan cairan (congestive) dalam beberapa organ seperti paru-paru, ekstremitas (Udjianti, 2011). Gagal jantung disebabkan oleh suatu kelainan jantung dan dapat dikenali dari respon hemodinamik, renal, neural, dan hormonal (Muttaqin, 2009). Manifestasi klinis gagal jantung harus diperhatikan relatif terhadap derajat latihan fisik yang menyebabkan timbulnya gejala. Gejala hanya muncul saat beraktivitas fisik tetapi dengan bertambah beratnya gagal jantung, toleransi terhadap latihan semakin menurun, dan gejala muncul lebih awal dengan aktivitas yang lebih ringan. Manifestasi klinis gagal jantung kongestif yaitu dispnea, batuk nonproduktif, peningkatan tekanan vena jugularis dan tekanan vena sentral, edema perifer atau edema anasarka, denyut arteri cepat dan lemah, penurunan perfusi ke organ, terdengar bunyi ronki saat auskultasi, dan perubahan kimia darah (Price & Wilson, 2005). Universitas Sumatera Utara 13 Joewono, et al. (2003) menjelaskan bahwa penatalaksanaan medis pada gagl jantung terdiri atas pengobatan nonspesifik dan spesifik. Pengobatan nonspesifik terhadap sindroma klinik gagal jantung dan pengobatan spesifik terhadap kausa yang mendasari gagal jantung (revaskularisasi pada PJK dan penggantian katup untuk penyakit katup jantung yang berat). 2. Rehabilitasi jantung 2.1. Definisi rehabilitasi jantung Rehabilitasi jantung merupakan serangkaian kegiatan diperlukan untuk mempengaruhi penyebab penyakit jantung dan mencapai kondisi fisik, mental, dan sosial terbaik sehingga mereka dapat mempertahankan atau mencapai kehidupan seoptimal mungkin di masyarakat dengan usahanya sendiri (WHO, 1993). Rehabilitasi jantung ini bertujuan mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah komplikasi dan membantu pasien agar dapat beraktivitas fisik kembali seperti sebelum mengalami gangguan (Arovah, 2012). Pasien penyakit kardiovaskular memerlukan program rehabilitasi yang komprehensif untuk mengembalikan kemampuan fisik paska serangan serta mencegah terjadinya serangan ulang. Pada pasien dengan penyakit jantung koroner program-program latihan fisik dan psiko-edukasi dapat membantu menurunkan mortalitas penyakit jantung dalam jangka waktu yang lama, mengurangi kambuhnya miokard infark, dan memperbaiki faktor-faktor risiko utama penyakit jantung (Benson, 2000 dalam Tedjasukmana, 2010). Rehabilitasi jantung juga dapat meningkatkan kapasitas latihan, menurunkan Universitas Sumatera Utara 14 serum lipid, meningkatkan kesejahteraan psikososial, dan mengurangi stres (Balady, 1994 dalam Derstine, et al., 2001). Menurut Tedjasukmana (2010) tujuan rehabilitasi jantung yaitu: a. Medical goals yaitu meningkatkan fungsi jantung, mengurangi risiko kematian mendadak, infark berulang, meningkatkan kapasitas kerja, mencegah progresivitas yang mendasari proses ateroskeloris, dan menurunkan mortalitas dan morbiditas. b. Psychological goals yaitu mengembalikan percaya diri, mengurangi kecemasan dan depresi, meningkatkan manajemen stres dan mengembalikan fungsi seksual yang baik. c. Social goals yaitu dapat bekerja kembali dan melakukan aktivitas kehidupan sehari-hari secara mandiri. d. Health service goals yaitu mengurangi biaya medis, mobilisasi dini dan pasien dapat pulang dengan segera, mengurangi pemakaian obat-obatan, dan mengurangi kemungkinan dirawat kembali. Balady (2007 dalam Rady, et al., 2009) menjelaskan program rehabilitasi jantung yang komprehensif harus mencakup beberapa komponen berikut yaitu: a. Pengkajian kondisi dan riwayat medis pasien b. Edukasi dan konseling dalam rangka meningkatkan pengetahuan dan kesadaran pasien agar mampu menghindari faktor risiko dengan usaha sendiri, mampu mengatasi kecemasan, dan mengatasi faktor risiko agar proses penyakit atau proses atherosklerosis dapat dihentikan atau dihambat Universitas Sumatera Utara 15 c. Upaya pengontrolan faktor risiko; menyangkut edukasi, modifikasi gaya hidup kearah hidup sehat dan pengobatan yang diperlukan d. Program latihan dan konseling aktivitas fisik, terutama dalam upaya meningkatkan pola hidup sehat, tingkat kebugaran, kualitas hidup, dan pengendalian faktor risiko. 2.2. Fase rehabilitasi jantung Rehabilitasi jantung dimulai saat kondisi hemodinamik pasien stabil yaitu tidak ada sakit dada berulang dalam 8 jam, tidak ada tanda-tanda gagal jantung yang tidak terkompensasi (sesak pada saat istirahat dengan ronki di dasar paru bilateral), dan tidak ada perubahan signifikan yang baru pada EKG dalam 8 jam terakhir (Tedjasukmana, 2010). Kriteria-kriteria untuk pasien rehabilitasi jantung yaitu: a. Kriteria inklusi: paska miokard infark, penyakit jantung koroner, paska PTCA, paska CABG, CHF stabil, pacu jantung, penyakit katup jantung, transplantasi jantung, penyakit jantung bawaan, dan penyakit gangguan vaskular lainnya. b. Kriteria ekslusi: angina tidak stabil, gagal jantung kelas 4, takiaritmiabradiaritmia tidak terkontrol, severe aortic-mitral stenosis, hypertropicobstructive cardiomyopathy, severe pulmonary hypertension, dan kondisi lainnya. Universitas Sumatera Utara 16 Rehabilitasi jantung memiliki 4 fase yaitu: a. Fase I (Inpatient) Program rehabilitasi fase I merupakan program yang diberikan selama pasien dirawat di rumah sakit. Rehabilitasi fase akut di rumah sakit meliputi rehabilitasi di ruang ICCU/CVCU selama 3-5 hari dan dilanjutkan di ruang perawatan lanjutan selama 2-3 minggu atau hingga pasien pulang (Udjianti, 2011). Kegiatan program rehabilitasi fase I terdiri dari pendidikan kesehatan dan latihan aktivitas fisik. Aktivitas atau tingkat fungsional disusun berdasarkan diagnosis dan kondisi medis pasien. Pasien dipantau secara ketat terhadap kemungkinan tanda dan gejala yang timbul selama latihan (Irish Association of Cardiac Rehabilitation, 2013). b. Fase II (Outpatient/ Immediate outpatient) Program outpatient dilakukan segera setelah kepulangan pasien dari rumah sakit yaitu dimulai pada minggu kedua atau ketiga berupa program latihan terstruktur, pasien individual/group, konseling, dan edukasi (Tedjakusuma, 2010). Tujuan utama dari program ini adalah untuk mengembalikan kemampuan fisik pasien pada keadaan sebelum sakit. Pasien yang pernah menjalani operasi CABG sering merasa pusing dan disritmia supraventrikular sedangkan pada pasien infark miokard sering mengalami perubahan segmen ST pada EKG. Sehingga diperlukan pengawasan program rehabilitasi pada pasien dengan riwayat gangguan jantung tersebut (Jolliffe, et al., 2001). Program ini dikepalai oleh dokter yang dapat melakukan kontak secara teratur dengan pasien, dapat melayani Universitas Sumatera Utara 17 panggilan rumah atau dapat melakukan pengawasan pada program latihan (Marchionni, et al., 2003 dalam Arovah, 2012). c. Fase III (Maintenance/ intermediate outpatient) Fase ini dimulai segera setelah fase II, saat kondisi pasien sudah stabil dan tetap dengan tindakan supervisi. Program fase III difokuskan pada modifikasi gaya hidup dan latihan fisik. Fase ini berlangsung selama 3-6 bulan (Derstine, et al., 2001). d. Fase IV (Maintenance phase of indefinite lenght) Fase yang tidak memerlukan supervisi dan berlangsung dalam waktu tak terbatas. Tujuan pada fase IV yaitu melihara pencapaian kondisi pasien yang optimal. Fase ini difokuskan pada perawatan jangka panjang seumur hidup untuk menjaga gaya hidup sehat, menghindari kemunduran dari target-target yang sebelumnya telah tercapai seperti tingkat kesegaran fisik, mempertahankan berat badan, dan berhenti merokok (Lubis, 2009). 2.3. Program latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I 2.3.1. Latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I Program latihan aktivitas fisik dapat dilakukan setelah 48 jam setelah gangguan jantung sepanjang tidak terdapat kontraindikasi. Program latihan aktivitas fisik rehabilitatif bagi penderita gangguan jantung bertujuan untuk mengoptimalkan kapasitas fisik tubuh, memberi penyuluhan pada pasien dan keluarga dalam mencegah perburukan, dan membantu pasien untuk kembali dapat beraktivitas fisik seperti sebelum mengalami gangguan jantung (Arovah, 2012). Universitas Sumatera Utara 18 Program latihan dapat meningkatkan toleransi aktivitas pada wanita dan pria pada semua usia termasuk usia diatas 75 tahun (Balady, et al., 1996 dalam Hoeman, 2002). Latihan aktivitas fisik juga menurunkan gejala angina, gejala gagal jantung, dan meningkatkan clinical measurement pada iskemia (Wenger, et al., 1995 dalam Hoeman, 2002). Selain memiliki manfaat vital, latihan fisik pada pasien gangguan jantung dapat pula mencetuskan serangan ulang. Untuk meminimalisasi risiko tersebut, latihan fisik dikontraindikasikan pada keadaaan tertentu. Sebab itu, sebelum pasien memulai program latihan aktivitas fisik, pasien harus mendapatkan rekomendasi dari dokter. Indikasi relatif untuk memulai latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I (Working Group on Cardiac Rehabilitation and Exercise Physiology and Working Group on Heart Failure of the European Society of Cardiology, 2001 dalam Papathanasioui, et al., 2008) yaitu: a. Gagal jantung terkompensasi minimal selama 3 minggu b. Dapat berbicara tanpa dispnea (RR <30 kali permenit) c. HR rest <110 kali permenit d. Tidak merasa kelelahan e. Indeks jantung ≥2.1 L/min/m2 atau CVP <12 mmHg Kontraindikasi latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I (Oldridge, 1988 dalam Arovah, 2012) yaitu: a. Angina tidak stabil Universitas Sumatera Utara 19 b. Tekanan darah sistolik istirahat > 200 mm Hg atau diastolik istirahat >100 mmHg c. Hipotensi ortostatik sebesar ≥ 20 mmHg d. Stenosis aorta sedang sampai berat e. Gangguan sistemik akut atau demam f. Disritmia ventrikel atau atrium tidak terkontrol g. Sinus takikardia (>120 denyut/menit) h. Gangguan jantung kongestif tidak terkontrol i. Blok atrio ventrikular j. Miokarditis dan perikarditis aktif k. Embolisme l. Tromboflebitis m. Perubahan gelombang ST (>3mm) n. Diabetes tidak terkontrol o. Masalah ortopedis yang menganggu istirahat. 2.3.2. Peresepan latihan aktivitas fisik (exercise prescription) rehabilitasi jantung fase I Lavie, et al. (1993 dalam Arovah, 2012) menyatakan bahwa program latihan aktivitas fisik disusun berdasarkan tingkat kesadaran dan kebutuhan individual pasien (status medis, profil faktor risiko, stabilitas muskuloskeletal, motivasi terhadap latihan, dan hasil EKG). Program latihan sebaiknya dimonitor berdasarkan target frekuensi denyut nadi, perceived exertion maupun prediksi METs (Metabolic Equivalents). Universitas Sumatera Utara 20 Metode METs dapat menilai kebutuhan latihan dan aktivitas pasien. Satu METs menunjukkan kebutuhan oksigen individu saat istirahat atau setara dengan 3,5 ml O2/kg/ menit (Woods, et al., 2000 dalam Hoeman, 2002). Peningkatan acupan oksigen baru dapat diperoleh secara maksimal bila latihan dinamis dilakukan selama 15‐60 menit, tiga hingga lima kali dalam seminggu dengan intensitas 50 – 80% dari kemampuan maksimalnya, dan disertai waktu singkat untuk pemanasan dan pendinginan (Lubis, 2009). Protokol pelaksanaan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung bersifat submaksimal atau dibatasi terhadap keluhan. Protokol submaksimal memiliki hasil akhir yang telah ditentukan, yaitu denyut jantung maksimal 120 denyut per menit atau 70 % dari perkiraan denyut jantung maksimal, atau setinggi 5 METs (Lubis, 2009). Latihan aktivitas fisik dilakukan terbatas pada intensitas ringan dan tidak menyebabkan kelelahan. Bentuk latihan dapat berupa aktivitas perawatan diri, latihan sederhana seperti ROM (range of motion), dan terapi fisik ambulasi yang diawasi misalnya berjalan, bersepeda, latihan ergometri lengan dan aquatic exercises (Brewer, et al., 2002 dalam Hoeman 2002). Latihan aktivitas fisik diresepkan berdasarkan bentuk, intensitas, durasi, dan frekuensi latihan. Intensitas latihan berkisar antara 1-3 METs, HR (heart rate) selama latihan tidak melebihi 20x/ menit HR selama istirahat. Skala perceived exertion tidak lebih dari 11 (light exertion) berdasarkan 6-20 skala Borg. Durasi latihan selama 3-5 menit dan ditingkatkan hingga 15 menit. Frekuensi latihan di ICU adalah 3-4 sesi Universitas Sumatera Utara 21 perhari dan diikuti dengan 1-2 sesi perhari di departemen terapi fisik (Cahalin, 2001; American College of Sports Medicine, 2006 dalam Papathanasioui, et al., 2008). Tes yang dibatasi gejala dibentuk untuk terus melaksanakan latihan hingga munculnya tanda dan gejala yang memaksa dihentikannya tes, protokol yang paling sering dipergunakan adalah modified Bruce, modified Naughton dan Bruce standard (Gibbons, et al., dalam Lubis, 2009). Pada ruangan rawat inap penyakit kardiovaskular RSUP H. Adam Malik biasanya dilaksanakan 6 minute walk test untuk mengkaji kapasitas fungsional pasien yang diberikan program latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I (inpatient). Walk test dilakukan pada awal dan akhir program latihan untuk mengkaji kemampuan pasien berjalan dalam waktu enam menit, perkiraan METs, keluhan selama latihan, waktu istirahat serta pengukuran tekanan darah dan frekuensi denyut nadi (Babu, et al., 2010). Pasien perlu monitoring ketat untuk melihat timbulnya tanda dan gejala iskemik miokardium, ventrikular disritmia atau kriteria-kriteria yang menyebabkan latihan aktivitas fisik perlu dihentikan. American College of Sports Medicine (2000) dalam Hoeman (2002) menyebutkan latihan aktivitas fisik harus dihentikan jika terdapat tanda dan gejala berikut yaitu: a. Kelelahan, pusing, dispnea dan mual b. Perubahan ritme jantung Universitas Sumatera Utara 22 c. Gejala angina d. Penurunan denyut nadi lebih dari 10 kali/ menit e. Penurunan tekanan darah sistolik lebih dari 10 mmHg f. Peningkatan denyut nadi lebih dari 20 kali/ menit untuk pasien infark miokardium g. Peningkatan tekanan darah lebih dari batas yang dianjurkan saat exercise testing sebelumnya Latihan pada fase ini menuntut kesiapan tim yang dapat mengatasi keadaan gawat darurat apabila pada saat latihan terjadi serangan jantung (Arovah, 2012). Apabila terjadi gejala gangguan jantung, ortopedik maupun neuromuskular perlu dilakukan peninjauan ulang terhadap program latihan (Lavie, et al., 1993 dalam Arovah, 2012). Rehabilitasi pada pasien yang disertai komplikasi dilakukan apabila komplikasi sudah dapat diatasi dan setiap tahap memerlukan waktu yang lebih lama. Program aktivitas fisik yang terarah dan teratur akan meningkatkan kapasitas kerja fisik yang baik sehingga lebih banyak pekerjaan yang dapat dilakukan pasien (Udjianti, 2011). 2.3.3. Pelaksanaan latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I American College of Sports Medicine (2007 dalam Selig, et al., 2010) merekomendasikan latihan dalam bentuk latihan aerobik (aktivitas seperti berjalan, berlari, bersepeda, dan berenang) untuk pasien gagal jantung kelas NYHA I-IV yaitu: Universitas Sumatera Utara 23 Tabel 2.1 Rekomendasi latihan dalam bentuk latihan aerobik (aktivitas berjalan, berlari, bersepeda, dan berenang) untuk pasien gagal jantung kelas NYHA I-IV (American College of Sports Medicine, 2007 dalam Selig, et al., 2010) Kelas NYHA I-II NYHA IV Frekuensi Intensitas/ volume Durasi 4-7 hari/ Latihan berdasarkan Dimulai 10-15 menit pada minggu ambang batas iskemik target intensitas latihan yang dapat diterapkan. kemudian ditingkatkan secara berangsur-angsur berdasarkan kemajuan dan toleransi pasien hingga 45-60 menit. RPE 11-14 (6-20 skala Jarak waktu latihan yang Borg), atau ditoleransi dengan baik oleh pasien yaitu 1:1 latihan/ rasio istirahat, ditingkatkan hingga 2:1 latihan/ rasio istirahat. HRpeak 40-75% dimana HRpeak telah ditentukan pada saat tes latihan, atau VO2 peak 40-70%. Progresi intensitas latihan dibuat berdasarkan penurunan RPE dan HR pada intensitas latihan yang sama III- 4-7 minggu hari/ RPE ≤ 13, atau Sama dengan diatas HRpeak 40%- 65% dimana HRpeak telah ditentukan pada saat tes latihan, atau VO2 peak 40-60% Dalam program rehabilitasi jantung fase I kegiatan latihan aktivitas fisik diberikan dengan beban latihan 2-3 METs (Hoeman, 2002). Pedoman pelaksanaan latihan aktivitas fisik pasien infark miokardium di ruang ICCU dan ruang perawatan yaitu: Universitas Sumatera Utara 24 Tabel 2.2 Pedoman pelaksanaan latihan aktivitas fisik pasien infark miokardium (Udjianti, 2011). Tahap Tempat/ Hari ke Latihan fisik Aktivitas -Pergerakan fisik semua ekstremitas masing-masing 5 kali di atas tempat tidur. -Pergerakan aktif pergelangan kaki ke arah plantar dan dorsal 10 kali dengan frekuensi 3 kali per hari. -Fleksi, ekstensi, rotasi sendi bahu, siku, pinggang dengan bantuan. -Duduk di kursi 2x15 menit per hari. -Makan sendiri. I ICCU/ 1-2 II ICCU/ 3-4 III Intermediate room/ 5-7 IV Ruang perawatan/ -Pergerakan aktif sendi bahu, 8-10 siku, pinggang, pergelangan kaki dengan bantuan minimal. V Ruang perawatan/ -Pergerakan aktif sendi bahu, 11-12 siku, pinggang, pergelangan kaki dengan bantuan minimal. VI Ruang perawatan/ -Berdiri dengan menggerakkan 13-14 ekstremitas 3 kali per hari -Tidur terlentang dengan menggerakkan kedua kaki 2 kali perhari. -Tidur miring dengan mengangkat kaki 2 kali per hari. Ruang perawatan/ -Sama dengan tahap VI -Duduk di ruang tamu 15-16 2 kali per hari. -Lebih banyak duduk setiap hari. VII -Pergerakan aktif sendi bahu, siku, pinggang, pergelangan kaki dengan bantuan minimal. -Mencuci tangan, menggosok gigi. -Duduk di kursi 3x15 menit per hari. -Sama dengan tahap II. -Berganti pakaian sendiri. -Ganti pakaian, menyisir sendiri dengan duduk -Berjalan di kamar saja -Sama dengan tahap IV. -Berjalan ke kamar mandi dan mandi sendiri. -Duduk di ruang tamu. Universitas Sumatera Utara 25 Tabel 2.2 (lanjutan). Tahap Tempat/ Hari ke Latihan fisik VIII Ruang perawatan/ -Tahap VI lebih ditingkatkan 17-18 IX Ruang perawatan/ -Sama dengan tahap VIII 19-20 Aktivitas -Berjalan di ruangan sekali perhari. -Turun tangga dengan berjalan dan naik tangga dengan elevator. -Berjalan di ruangan 3 kali per hari. -Turun dan naik tangga dengan berjalan. National Heart Foundation of Australia (2004) menjelaskan program rehabilitasi jantung fase I terdiri dari edukasi pasien dan mobilisasi pasien rawat inap (latihan aktivitas fisik). Topik edukasi pasien rawat inap yaitu: a. Penjelasan mengenai penyakit jantung, pengobatan, prosedur yang akan dilakukan b. Perubahan fisik dan sosial akibat penyakit, seperti pekerjaan, mengemudi, dan aktivitas sosial c. Penjelasan mengenai program rehabilitasi d. Penjelasan mengenai obat-obatan kardiovaskular (indikasi, efek samping dan sebagainya) e. Penjelasan mengenai modifikasi faktor risiko, nutrisi/ diet, target berat badan dan tekanan darah, target aktivitas fisik f. Penjelasan manajemen nyeri dada saat di rumah g. Penjelasan mengenai program rehabilitasi di rumah Universitas Sumatera Utara 26 Sedangkan program mobilisasi (latihan aktivitas fisik) pada pasien rawat inap yaitu: Tabel 2.3. Pedoman program latihan aktivitas fisik rehabilitasi jantung fase I (National Heart Foundation of Australia, 2004). Stage 1 2 3 4 5 6 - Latihan aktivitas fisik Mandi dengan bantuan Ke toilet dengan kursi roda/ bantuan Mobilisasi tangan dan kaki seperti dicontohkan Mandi dengan bantuan Ke toilet dengan kursi roda/ bantuan Mobilisasi tangan dan kaki seperti dicontohkan Berjalan perlahan 1-2 menit 2x sehari Dapat mandi sendiri sambil duduk Berjalan ke toilet sendiri Duduk di kursi Berjalan perlahan 1-2 menit 2x sehari Mandi sendiri (berdiri) Berjalan biasa 3-4 menit 2x sehari Sebagai tambahan pasien dapat berjalan sendiri atas keinginan pasien Mandi sendiri Berjalan biasa 10 menit 2x sehari Mendaki 1 set tangga dengan bantuan Mandi sendiri Mendaki 2 set tangga dengan bantuan 3. Pengetahuan 3.1. Definisi pengetahuan Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh orang atau responden terkait dengan sehat dan sakit yang diperoleh dari pengalaman sendiri atau orang lain (Notoatmodjo, 2010). Pengetahuan merupakan hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu (Sunaryo, 2004). Pengetahuan didefinisikan sebagai fakta atau informasi yang dianggap benar berdasarkan pemikiran yang melibatkan Universitas Sumatera Utara 27 pengujian empiris (pemikiran tentang fenomena yang diobservasi secara langsung) atau berdasarkan proses berpikir lainnya seperti pemberian alasan logis atau penyelesaian masalah. (Lynn, 2006). Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka atau overt behavior (Sunaryo, 2004). 3.2. Proses adopsi perilaku Rogers (1974 dalam Notoadmodjo, 2010) mengungkapkan bahwa terjadi suatu proses sebelum seseorang mengadopsi perilaku baru yaitu: a. Awareness (kesadaran), individu menyadari adanya stimulus b. Interest (tertarik), individu mulai tertarik pada stimulus c. Evaluation (menimbang-nimbang), individu menimbang-nimbang tentang umpan balik stimulus tersebut bagi dirinya d. Trial (mencoba), individu mulai mencoba perilaku baru e. Adoption (adopsi perilaku), individu telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, sikap, dan kesadarannya terhadap stimulus. Perubahan perilaku tidak selalu melewati tahap-tahap diatas. Apabila penerimaan perilaku baru melalui proses yang didasari pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka perilaku akan bersifat langgeng (long lasting). 3.3. Tahapan pengetahuan Notoadmodjo (2010) mengidentifikasi tahapan pengetahuan di dalam domain kognitif yang mencakup enam tingkatan yaitu: Universitas Sumatera Utara 28 a. Tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang tahu adalah dapat menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan. b. Memahami merupakan kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Individu yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberi contoh, dan menyimpulkan. c. Penerapan merupakan kemampuan menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukumhukum, rumus, metode dalam situasi nyata. d. Analisis merupakan kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-bagian kecil tetapi masih dalam satu struktur objek tersebut dan masih berkaitan satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah individu mampu menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses adopsi perilaku, dan mampu membedakan pengertian psikologi dan fisiologi. e. Sintesis merupakan kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Ukuran kemampuan adalah individu dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan suatu teori atau rumusan yang telah ada. Universitas Sumatera Utara 29 f. Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatau objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri. 3.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan Budiman dan Riyanto (2013) menjelaskan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi pengetahuan seseorang yaitu: a. Pendidikan Pendidikan memengaruhi proses belajar, makin tinggi pendidikan maka seseorang akan cenderung untuk mendapatkan informasi baik dari orang lain maupun dari media massa. Pengetahuan sangat erat kaitannya dengan pendidikan, namun tidak mutlak tingkat pendidikan memengaruhi luasnya pengetahuan yang dimiliki seseorang. Pengetahuan seseorang tentang sesuatu objek mengandung aspek positif dan negatif. Kedua aspek ini akan menentukan sikap seseorang terhadap objek tertentu. Semakin banyak aspek positif dari objek yang diketahui, maka akan menumbuhkan sikap positif terhadap objek tersebut. b. Informasi atau media massa. Informasi yang diperoleh baik dari pendidikan formal maupun nonformal dapat memberikan pengaruh jangka pendek (immediate impact) sehingga menghasilkan perubahan atau peningkatan pengetahuan. Berkembangnya teknologi menyediakan berbagai jenis media massa yang dapat memengaruhi pengetahuan seseorang tentang inovasi baru dan berpengaruh besar terhadap pembentukan opini dan kepercayaan. Universitas Sumatera Utara 30 c. Sosial, budaya, dan ekonomi Kebiasaan dan tradisi yang dilakukan tanpa melalui penalaran akan menambah pengetahuan seseorang walaupun tidak dilakukan. Status ekonomi akan menentukan tersedianya fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu. d. Lingkungan Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut karena adanya interaksi timbal balik yang akan direspons sebagai pengetahuan oleh setiap individu. e. Pengalaman Pengalaman sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman akan memberikan pengetahuan dan keterampilan serta mengembangkan kemampuan dalam mengambil keputusan yang merupakan manifestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah dan etik yang bertolak dari masalah nyata. f. Usia Usia memengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambahnya usia, daya tangkap dan pola pikir akan makin berkembang karena banyaknya informasi yang ditemui sehingga akan meningkatkan pengetahuan seseorang. Pada usia madya, individu akan lebih banyak Universitas Sumatera Utara 31 membaca, berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta mempersiapkankan diri untuk masa tua. Kemampuan intelektual, pemecahan masalah, dan kemampuan verbal hampir tidak ada penurunan pada usia ini. 4. Kepatuhan 4.1. Definisi kepatuhan Kepatuhan atau ketaatan merupakan perluasan perilaku individu yang berhubungan dengan minum obat, mengikuti diet dan merubah gaya hidup yang sesuai dengan petunjuk medis (WHO, 2003). Sacket (1976) dalam Niven (2000) mendefinisikan kepatuhan pasien sebagai sejauhmana perilaku pasien sesuai dengan ketentuan yang diberikan oleh profesional kesehatan. Terdapat beberapa terminologi yang menyakut kepatuhan pasien yaitu compliance, adherence, concordance, dan persistance. Perbedaan terminologi ini berkaitan dengan perbedaan cara pandang tenaga kesehatan dan pasien termasuk penggunaan bahasa untuk menggambarkan perilaku pasien untuk mengikuti regimen terapi atau pengobatan (National Council on Patient Education and Educations, 2007). Adherence merupakan perilaku pasien untuk berperan aktif mengkonsumsi obat sesuai dengan dosis yang telah diresepkan dalam jangka waktu tertentu (Horne, 2006). Adherence juga didefinisikan sebagai perilaku pasien setelah keputusan tentang pengobatan telah dibentuk meliputi waktu, dosis, dan frekuensi program pengobatan (NIVEL, 2006). Sedangkan compliance menunjukkan posisi pasien yang cenderung lemah (pasif) karena kurangnya Universitas Sumatera Utara 32 keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai program pengobatan (Centers for Disease Control and Prevention, 2013). Istilah concordance menunjukkan proses pembuatan keputusan antara pasien dan penyedia pelayanan kesehatan (NIVEL, 2006) dan persistence menunjukkan durasi waktu pasien mengikuti program pengobatan (Centers for Disease Control and Prevention, 2013) Horne (2006) merekomendasikan pengertian kepatuhan dengan istilah adherence karena adanya keterlibatan pasien dalam pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang pasien inginkan atau pasien harapkan terhadap program pengobatan. Pasien juga berperan aktif dengan kesadaran sendiri dalam perencanaan dan implementasi pengobatan (Meichenbaum dan Turk, 1987 dalam Bassett, 2003). Kalogianni (2011) membagi tingkat kepatuhan menjadi dua yaitu patuh (adherence) berarti berperan aktif untuk bekerja sama dengan pemberi resep/terapi. Sedangkan tidak patuh (non-adherence) meliputi alasan-alasan pasien tidak mengikuti anjuran terapi yang direkomendasikan. 4.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan Kepatuhan merupakan fenomena multidimensional yang terbentuk dari lima faktor yang berinteraksi (WHO, 2003 dalam Kalogianni, 2011). Dimensi tersebut yaitu: a. Sosial-ekonomi Pasien yang memiliki dukungan sosial dari keluarga, teman, atau pemberi perawatan (caregiver) untuk mendampingi menjalani regimen Universitas Sumatera Utara 33 pengobatan mempunyai kepatuhan yang lebih baik. Lingkungan hidup yang tidak stabil, terbatasnya akses pelayanan kesehatan, rendahnya sumber finansial, biaya pengobatan, dan waktu kerja yang padat dapat menurunkan angka kepatuhan. b. Penyedia pelayanan kesehatan-pasien/ sistem pelayanan kesehatan Hubungan antara pasien dan tenaga kesehatan merupakan hal terpenting yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Hubungan yang baik antara pasien dan penyedia pelayanan kesehatan, pengenalan mengenai regimen pengobatan dan reinforcement memiliki dampak positif bagi kepatuhan pasien. Sedangkan komunikasi yang kurang mengenai manfaat, instruksi pengobatan dan efek samping medikasi merupakan faktor yang mempengaruhi ketidakpatuhan pasien. Terutama pada pasien lanjut usia yang memiliki masalah memori. c. Faktor yang berhubungan dengan situasi Pengobatan dalam jangka panjang pada penyakit kronik sering menyebabkan pasien tidak patuh dalam menjalankan regimen pengobatan. Penting bagi pasien untuk memahami penyakitnya dan hal yang dapat terjadi jika tidak melakukan pengobatan. d. Faktor yang berhubungan dengan terapi Kompleksitas regimen pengobatan (dosis obat, durasi terapi, efek samping dan terapi yang mengganggu kenyamanan dan gaya hidup pasien) dapat menyebabkan rendahnya kepatuhan pasien. Universitas Sumatera Utara 34 e. Faktor yang berhubungan dengan pasien Gangguan fisik dan kognitif dapat meningkatkan risiko ketidakpatuhan pada pasien lanjut usia. Rendahnya pengetahuan mengenai penyakit dan alasan dilakukannya pengobatan, motivasi yang rendah, rendahnya efikasi diri, dan penyalahgunaan obat merupakan faktor yang mempengaruhi rendahnya kepatuhan pasien. Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan menurut Capgemini Consulting (2011) yaitu: a. Faktor pasien a) Pengetahuan yang tidak adekuat terhadap penyakit dan pengobatan. b) Persepsi pada diagnosis dan risiko yang berhubungan dengan penyakit dan pengobatan. c) Salah memahami instruksi pengobatan dan follow-up rutin. d) Lupa dan perilaku pasien b. Sistem penyedia pelayanan kesehatan dan petugas kesehatan a) Biaya kesehatan yang tidak adekuat seperti asuransi kesehatan b) Sistem distribusi obat yang buruk c) Hambatan perawatan penyedia layanan kesehatan, seperti kurang pengetahuan/ pelatihan petugas kesehatan, kapasitas yang lemah d) Buruknya hubungan antara pasien dan penyedia pelayanan kesehatan, seperti waktu yang digunakan untuk pasien, gaya berkomunikasi, follow-up dan pemantauan Universitas Sumatera Utara 35 c. Faktor terapi a) Efektivitas dan toleransi obat b) Rute pemberian obat c) Lama pengobatan d) Kompleksitas regimen terapi e) Gagalnya pengobatan terdahulu f) Regimen pengobatan yang sering berubah d. Faktor kondisi a) Beratnya gejala penyakit b) Tingkat disabilitas (fisik, psikologis, sosial, dan vokasional) c) Tingkat progresi dan keparahan penyakit d) Ketersediaan pengobatan yang efektif e. Faktor biaya finansial a) Co-payment (biaya pengobatan yang dibayar oleh asuransi kesehatan pasien) b) Kurangnya biaya f. Faktor sosioekonomi a) Demografi (usia, jenis kelamin, suku bangsa) b) Pendapatan c) Dukungan sosial yang kurang efektif d) Budaya dan kepercayaan tentang penyakit dan pengobatan. Universitas Sumatera Utara 36 4.3. Meningkatkan kepatuhan pasien Feuerstein, et al. (1986) dalam Niven (2000) mengidentifikasi lima program tindakan yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien yaitu: a. Pendidikan Pendidikan secara aktif dengan penggunaan alat bantu pendidikan seperti buku dan kaset dapat meningkatkan kepatuhan pasien secara mandiri. b. Akomodasi Tenaga kesehatan harus memahami ciri kepribadian pasien yang dapat mempengaruhi kepatuhan. Pasien yang mengalami kecemasan yang terlalu rendah atau terlalu tinggi akan menurunkan kepatuhan pasien melaksanakan program pengobatan. c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial Dengan cara membangun dukungan sosial dari keluarga atau teman pasien. Membentuk kelompok-kelompok pendukung dapat membantu meningkatkan kepatuhan pasien terhadap program pengobatan. d. Perubahan model terapi Program pengobatan dirancang sesederhana mungkin dan melibatkan pasien dalam pembuatan program. Pasien dilatih untuk mematuhi program pengobatan yang sederhana, selanjutnya pasien diharapkan dapat mematuhi program pengobatan yang lebih kompleks. e. Meningkatkan interaksi profesional kesehatan dengan pasien Pasien membutuhkan penjelasan tentang kondisi penyakit, dengan melakukan konsultasi dengan profesional kesehatan pasien dapat Universitas Sumatera Utara 37 mengetahui penyebab, regimen pengobatan, alasan dilakukannya pengobatan dan pentingnya pengobatan. Sehingga dapat meningkatkan kesadaran pasien untuk patuh mengikuti program pengobatan. 4.4. Pengukuran tingkat kepatuhan pasien Tidak terdapat golden standard atau cara yang akurat dalam menilai kepatuhan pasien karena setiap metode memiliki keterbatasan. Sehingga pemilihan metode tergantung kepada tujuan penilaian kepatuhan (NIVEL, 2006). Berbagai metode pengukuran kepatuhan pasien yaitu: 4.4.1. Direct observable behavior Pengamatan perilaku pasien secara langsung merupakan cara yang akurat dalam mengukur kepatuhan pasien namun pelaksanaannya masih terbatas dan biasanya dilakukan pada pasien rawat inap. Pengamatan dilaksanakan saat terapi berlangsung dapat menyebabkan hawthorne effect yaitu kecenderungan pasien meningkatkan kepatuhan karena pasien tahu bahwa mereka sedang diamati (Fairman, et al., 2000). 4.4.2. Subjective self-reports Metode ini merupakan cara yang paling mudah, cepat dan murah serta telah digunakan secara luas dalam mengukur kepatuhan pasien. Biasanya digunakan untuk mengidentifikasi alasan pasien tidak patuh menjalankan terapi dan mengumpulkan informasi yang berasal dari perspektif pasien. Validitas dari self-report sangat bervariasi karena dipengaruhi oleh keterbatasan ingatan pasien sehingga dapat mempengaruhi hasil pengukuran kepatuhan. Bentuk self-report yaitu Universitas Sumatera Utara 38 kuesioner, wawancara (mengevaluasi kepatuhan dengan menilai secara langsung respon pasien) dan self-monitoring. Metode self-monitoring banyak digunakan pada manajemen diri pasien penyakit kronik. Pasien diajarkan cara perawatan diri dan manajemen diri dalam menghadapi penyakitnya. Self-monitoring dapat berupa patient’s diaries, daily checklists dan hand-hold computers (NIVEL, 2006). Patient’s diaries lebih bersifat intervensi dari pada alat ukur karena pasien mengisi diari dan menjalankan terapi dalam waktu yang bersamaan (Fairman, et al., 2000). Patient’s diaries dapat menyediakan informasi yang detail mengenai kepatuhan pasien, tetapi dalam pelaksanaannya banyak pasien yang berhenti dan menolak untuk mengisi diari mereka. 4.4.3. Objective monitoring medication usage Dalam menilai kepatuhan pasien dengan objective monitoring medication usage terdapat tiga metode yaitu: a. Electronic Monitoring (EM)-devices Metode yang sering digunakan yaitu MEMS (Medication Event Monitoring System) Cap. Metode ini menggunakan chip komputer yang diletakkan di tutup botol obat yang telah disesain khusus untuk merekap waktu dan durasi setiap botol dibuka. Metode ini merupakan salah satu metode yang paling sensitif dalam mendeteksi ketidakpatuhan terapi, walaupun demikian terdapat beberapa keterbatsan pada akurasi dan kepraktisan metode ini. Sebagai contoh pasien tidak dapat menggunakan Universitas Sumatera Utara 39 pill organizer atau kemasan blister yang biasa digunakan karena pasien harus mendapatkan semua dosis dari botol MEMS. Jumlah obat yang diambil setiap botol dibuka tidak dihitung, jika pasien mengambil obat dalam jumlah yang berlebih untuk diminum pada waktu minum obat selanjutnya, maka hal ini akan terdeteksi sebagai ketidakpatuhan (Machtinge dan Bangsberg, 2005). b. Pill counts Pill counts biasanya digunakan untuk mengukur kepatuhan meminum obat dengan cara menghitung jumlah obat yang tersisa dan mengasumsikan apabila terdapat kelebihan jumlah obat maka ada dosis yang dilewatkan oleh pasien. (Grymonpre, et al., 1998). c. Prescription/ Pharmacy refills Metode ini dapat mengukur kepatuhan dengan melihat tanggal ketika obat diambil. Tanggal dapat diperoleh dari apotek atau penyedia layanan obat lain. Pada metode ini pasien dinyatakan telah melewatkan pengobatan ketika pengambilan obat tidak sesuai dengan tanggal yang sudah ditentukan (Machtinge dan Bangsberg, 2005). 4.4.4. Objective physiological/biomedical measures Pengukuran kepatuhan yang dilakukan dengan menganalisis biokimia darah, urin dan sekresi tubuh untuk menilai kepatuhan pasien dalam meminum obat. Analisis dilakukan untuk menunjukkan pasien telah meminum obat atau tidak. Tetapi terkadang analisis ini dapat dipengaruhi Universitas Sumatera Utara 40 oleh obat itu sendiri misalnya obat dengan waktu paruh yang pendek dan metabolisme pasien yang bervariasi (Fairman, et al., 2000). Pengukuran kepatuhan pasien dalam melaksanakan latihan fisik dapat digunakan accelerometers untuk mengukur pergerakan tubuh dan energy expenditure untuk mengukur secara langsung frekuensi dan intensitas aktivitas fisik (NIVEL, 2006). 4.4.5. Health outcomes Metode ini merupakan cara yang tidak akurat dalam mengukur kepatuhan pasien. Penilaian kepatuhan dapat dinilai dari status fungsional, keadaan sejahtera (well being), kualitas hidup, morbiditas dan hospitalisasi. Health outcomes dapat menjadi indikasi kepatuhan pasien dalam menjalankan terapi, namun hubungan antara kepatuhan dan health outcomes tidak jelas dan lemah (Dimatteo, et al., 2002 dalam NIVEL, 2006). Perubahan health outcome dinilai tidak responsif terhadap kepatuhan pasien (Myers & Midence, 1998 dalam NIVEL 2006). Universitas Sumatera Utara