1 HUBUNGAN INDUSTRIALISASI TERHADAP STRATEGI GERAKAN PETANI (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang) NASYI’ATUL LAILA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 1 HUBUNGAN INDUSTRIALISASI TERHADAP STRATEGI GERAKAN PETANI (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang) NASYI’ATUL LAILA DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 1 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA ∗ Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan Petani (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang) adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Januari 2016 Nasyi’atul Laila NIM I34120031 ∗ Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait. 1 ABSTRAK NASYI’ATUL LAILA. Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan Petani Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang). Di bawah bimbingan Ir MURDIANTO, MSi Kasus sengketa lahan sejak tahun 1970-an, antara petani, pemerintah, dan swasta di wilayah Telukjambe Barat khususnya di Desa Wanakerta, Wanasari, dan Margamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat telah meresahkan dan menguras emosi rakyat tiga desa. Berdasarkan teori seharusnya industrialisasi tersebut mampu menaikkan derajat atau aspek kehidupan suatu masyarakat justru menimbulkan suatu gerakan yang memprotes. Maka tujuan penulisan adalah menganalisis hubungan industrialisasi dengan startegi gerakan petani. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif (analisis korelasi) yang didukung data kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian masyarakat terhadap industrialisasi di tiga desa yaitu sedang dan tidak berhubungan langsung dengan perubahan kepemilikan lahan yang mengakibatkan strategi gerakan petani. Berdasarkan analisis kualitatif mereka mengakui melalui gerakan ini untuk menuntut proses hukum yang merugikan. Sengketa lahan tiga desa memang sudah berlangsung lama dan belum menemukan solusi antara dua pihak yaitu masyarakat dan perusahaan. Sejauh ini masyarakat semakin kuat karena ada dukungan beberapa pihak dalam gerakan ini. Kata kunci: industrialisasi, strategi gerakan, petani ABSTRACT NASYI’ATUL LAILA. Industrialization Relationship with Farmer Movement Strategy (Studies: Three Rurals in District Telukjambe Barat, Karawang) Supervised by Ir MURDIANTO, MSi Cases of land disputes since the 1970s, between farmers, government, and private sectors in the region, especially in the Village West Telukjambe Wanakerta, Wanasari, and Margamulya, Karawang, West Java. This has been unsettling and emotionally draining people of three villages. Based on the theory that industrialization should be able to raise degrees or aspects of the life of a society which raises a protest movement. So the purpose of writing is to analyze the relationship industrialization strategy peasant movement. This research is quantitative (correlation analysis) supported qualitative data. The results showed that the public's assessment of the industrialization in the three villages that were and are not directly related to changes in land ownership resulted in farmers' movement strategy. Based on qualitative analysis they admit through this movement to demand an adverse legal proceedings. Land dispute three villages had been longstanding and have yet to find a solution between the two parties, namely the public and companies. So far stronger community because there are several parties to support this movement. Keywords: industrialization, movement strategies, farmer 1 © Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB 1 HUBUNGAN INDUSTRIALISASI TERHADAP STRATEGI GERAKAN PETANI (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang) NASYI’ATUL LAILA Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016 1 Judul Skripsi : Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan Petani (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang) Nama : Nasyi’atul Laila NIM : I34120031 Disetujui oleh Ir Murdianto, MSi Dosen Pembimbing Diketahui oleh Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen Tanggal Lulus: _______________________ 2 PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih penelitian yang dilaksanakan sejak bulan September ini adalah Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan Petani (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe, Karawang) ini dengan baik Ucapan terima kasih penulis berikan kepada Bapak Ir Murdianto, MSi. selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, dan curahan waktunya kepada penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, yaitu Ibu, Bapak (alm), dan Kakak-Kakak atas segala doa, curahan kasih sayang, saran, motivasi dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Selain itu, penulis mengucapkan terimakasih kepada Sepetak beserta warga Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya. Tak lupa juga teman-teman satu organisasi Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (Forsia) 1436 H, kepanitiaan Open House IPB, teman-teman KKNP Desa Gupit, omda Formala, donatur serta teman beaswan Karya Salemba Empat, teman satu bimbingan, kakak-kakak kelas, serta teman-teman satu departemen SKPM angkatan 49, atas kebersamaan dan kesediaannya berbagi pengalaman dan memberikan saran-saran dalam penulisan karya ilmiah ini. Akhirnya, penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak. Bogor, Januari 2016 Nasyi’atul Laila NIM I34120031 ix DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Penelitian Kegunaan Penelitian PENDEKATAN TEORITIS Tinjauan Pustaka Kerangka Pemikiran Hipotesis Penelitian Definisi Operasional PENDEKATAN LAPANGAN Metode Penelitian Lokasi dan Waktu Teknik Pengumpulan Data Teknik Penentuan Responden dan Informan Teknik Pengolahan dan Analisis Data GAMBARAN UMUM Kondisi Geografis Tiga Desa Kondisi Sosial Gambaran Kondisi Desa dengan Lahan Sengketa Ikhtisar INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN KEPEMILIKAN LAHAN DI TIGA DESA Kronologi Lahan Tiga Desa Tingkat Industrialisasi Perubahan Kepemilikan Lahan Ikhtisar FAKTOR-FAKTOR DAN STRATEGI GERAKAN PETANI Faktor Internal Faktor Eksternal Strategi Gerakan Petani Ikhtisar HUBUNGAN STRATEGI GERAKAN PETANI DENGAN INDUSTRIALISASI PENGALIHAN LAHAN DAN FAKTOR INTERNAL Hubungan Tingkat Industrialisasi dengan Perubahan Kepemilikan Lahan Hubungan Perubahan Kepemilikan Lahan dengan Strategi Gerakan Petani Hubungan Dorongan Faktor Internal dengan Strategi Gerakan Petani Ikhtisar SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA xii xiii xiii 1 1 3 3 4 5 5 13 14 15 21 21 22 22 23 23 25 25 27 29 30 32 32 37 40 41 44 44 48 51 53 54 54 56 58 59 62 62 62 64 x LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP 69 85 xi DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 Jarak Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya menuju lokasi pemerintahan daerah, provinsi, dan pusat Jumlah dan persentase penduduk Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2013 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Wanakerta dan Margamulya tahun 2011 Jumlah dan persentase indikator dari tingkat industrialisasi menurut responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya sebelum eksekusi lahan tahun 2015 Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya sesudah eksekusi lahan tahun 2015 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase beban keluarga responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase jumlah dan pengalaman berkelompok responden lahan di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase jumlah penyebaran media informasi responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase dorongan faktor internal responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Jumlah dan persentase strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Hasil uji statistik hubungan tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Hasil uji statistik hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani Jumlah dan persentase oerubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Hasil uji statistik hubungan dorongan faktor internal dengan strategi gerakan petani Jumlah dan persentase faktor internal dan strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 24 26 28 37 39 40 41 44 46 46 47 48 51 55 56 57 57 58 59 xii DAFTAR GAMBAR 1 2 Kerangka pemikiran Metode pengambilan sampel 14 23 DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3 4 5 6 7 Jadwal kegiatan skripsi tahun 2015-2016 Peta Desa Wanasari, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat Peta Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat Peta Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat Kerangka sampling Dokumentasi Catatan tematik 71 72 73 74 75 77 78 1 PENDAHULUAN Latar belakang Abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia secara terus menerus muncul pemberontakan yang cukup menggoncangkan masyarakat dan pemerintah. Tidak dapat disangkal, bahwa dominasi ekonomi, politik, dan kultural oleh pihak tertentu membuka peluang masyarakat (rakyat) melakukan pemberontakan sosial. Kajian Fauzi (2005) tentang gerakan rakyat beberapa negara dunia ketiga berhasil memotret bentuk-bentuk karakter perlawanan 1. Perlawanan dimulai dengan konfrontasi terhadap dominasi pemerintah dan swasta. Strategi yang dikembangkan adalah mobilisasi rakyat dilakukan dengan cara mengkonstruksi kembali identitas etnis. Dominasi tersebut akan atau telah mengakibatkan beberapa perubahan sosial di masyarakat yang tidak diinginkan oleh masyarakat. Gerakan Samin merupakan salah satu fakta pergolakan sosial di pedesaan. Gerakan ini memiliki ciri-ciri gerakan pedesaan yang lain, seperti pelakunya adalah para petani. Gerakan Samin dimulai kira-kira akhir abad 19 lalu berhasil mencapai puncaknya yaitu dengan berhasil membuat kecemasan pada pemerintah Hindia Belanda (Subarkah dan Anggit 2014) 2. Fakta lain, gerakan petani dalam melawan tuan tanah yang terjadi di Ciomas pada tahun 1886 3. Peristiwa ini merupakan suatu pertentangan antara petani, tuan tanah dan pemerintah, dan dengan jelas menampilkan situasi ricuh. Peristiwa tersebut menggambarkan lemahnya kaum petani dalam menghadapi hegemoni kaum penguasa. Para petani mampu membangun perlawanan terhadap hegemoni negara atau penguasa. Upaya menjelaskan timbulnya protes petani dapat dilihat dari tiga faktor, yaitu a) meluasnya komersialisasi pertanian yang mengakibatkan kemerosotan ekonomi petani; b) pembentukan organisasi politik yang berasal dari luar masyarakat petani mengembangkan tuntutan ekonomi, perlindungan, keahlian berorganisasi, dan sistem niali baru; c) respons dari pilihan antara reformasi dan penindasan yang menimbulkan dampak penting dan intensitas mobilisasi petani. Para petani bersedia mengambil resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat ditoleransi 4. Fakih (2000) juga mencoba menggambarkan perlawanan terhadap pemerintah dengan melihat keterkaitan antara arus besar model pembangunan dengan tumbuhnya gerakan sosial. Meski kajian keduanya menyandarkan pada kasus LSM bukan organisasi petani sebagai sumbangan pemikiran tentunya patut dipertimbangkan. Hanya, perlu merujuk pada kasus organisasi petani yang berpola gerakan rakyat. Fakih menggambarkan bahwa arus besar paradigma developmentalism turut membentuk karakter gerakan. Bentuk developmentalism 1 Fauzi N. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Subarkah. Anggit W. 2014. Perlawanan Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) Atas Kebijakan Pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati (Studi Kebijakan Berbasis Lingkungan dan Kearifan Lokal). 2014. Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.Vol.26 No.2 3 Perlawanan…. [Tidak ada tahun].Perlawanan Rakyat Ciomas terhadap Pemerintahan Hindia Belanda.Dapat diunduh dari: http://www.bogorheritage.net/2013/11/perlawanan-rakyat-ciomasterhadap.html. 4 Ibid 2 2 dapat berupa upaya modernisasi. Seperti telah disebutkan termasuk komersialisasi pada para petani di pedesaan. Secara sederhana modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju, di mana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, pendapat Korten yang dikutip Purwandari (2012) menggarisbawahi masalah pembangunan seringkali dalam perspektif dialektis menunjukkan saling keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Dengan demikian, gerakan sosial para petani di pedesaan berupaya melakukan transformasi hingga mencapai alternatif pembangunan berorientasi rakyat (people centered developmet). Adapun kasus sengketa lahan sejak tahun 1970-an, antara petani, pemerintah, dan swasta di wilayah Telukjambe Barat khususnya di Desa Wanakerta, Wanasari, dan Margamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat telah meresahkan dan menguras emosi rakyat tiga desa. Selain dijebak dalam drama prosesi hukum formal yang melelahkan dan sesat, sehari-hari para petani juga dihantui oleh teror dan intimidasi. Para petani terpaksa kehilangan lahan pertanian karena dirampas oleh perusahaan besar di bidang properti di Indonesia, Agung Podomoro Land. Mereka berusaha bersatu dan berjuang untuk merebut kembali lahan mereka yang telah dirampas. Konflik lahan ini berawal sejak PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) mengklaim menguasai lahan 350 hektar. Dalam persidangan gugatan rekovensi di Pengadilan Negeri Karawang, pihak PT SAMP yang kini sahamnya diakuisisi oleh Agung Podomoro Land itu berhasil menang. Eksekusi lahan secara brutal yang dipimpin oleh Juru Sita Pengadilan Negeri Karawang itu merupakan pelaksanaan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor 160.PK/PDT/2011 (tertanggal 25 Mei 2011, selanjutnya disebut PK 160). PK 160 telah memenangkan PT SAMP untuk mengusai lahan seluas 350 hektar dari rakyat. Meskipun sempat ditunda lantaran berada pada sengketa yang rumit, PK 160 akhirnya dilaksanakan berdasarkan surat Ketua Muda Perdata MA No.04/PAN.2/XII/357SPK/PDT/2012 tanggal 15 Januari 2013, surat Pengadilan Tinggi Bandung tanggal 28 November 2012, surat Plt Ketua PT Bandung tanggal 12 Februari 2013, surat Ketua PT Bandung tanggal 11 April 2013, serta hasil pemeriksaan Badan Pengawas MA, yang semuanya berisi petunjuk dan perintah pelaksaan eksekusi. Indikasi-indikasi adanya gerakan petani tersebut yang akan menjadi kajian dalam penelitian ini. Berdasarkan teori seharusnya nilai-nilai modernitas salah satunya industrialisasi tersebut mampu menaikkan derajat atau aspek kehidupan suatu masyarakat justru menimbulkan suatu gerakan yang memprotes. Tetapi kasus-kasus upaya dalam memodernkan suatu kehidupan yang dibawa dari luar ke dalam suatu masyarakat telah banyak memunculkan suatu gerakan sosial. Bahkan menurut para ahli seperti suatu gejala bahwa gerakan sosial seingkali muncul dalam modernitas. Oleh karena itu, perlu dikaji secara mendalam mengapa pelaksanaan industrialisasi semakin menimbulkan strategi-strategi para petani untuk melawan nilai-nilai modernitas, khususnya industrialisasi. Para petani bergerak bersama dalam tujuan yang mereka inginkan agar terjadi perubahan aspek kehidupan yang lebik baik untuk petani. 3 Rumusan Masalah Secara historis gerakan sosial adalah fenomena universal. Masyarakat yang melakukan aksi ini tentu mempunyai alasan untuk bergabung dan berjuang mencapai tujuan kolektif mereka dan menentang orang yang menghalagi mereka mencapai tujuan itu. Sejarawan telah melukiskan pemberontakan dan ledakan ketidakpuasan di zaman kuno, pemberontakan petani yang hebat di tahun 1381 dan 1525, reformasi dan gerakan kultural, etnis dan nasional sejak zaman Renaisan. Strategi gerakan kini telah berkembang, para pengamat setuju bahwa gerakan sosial muncul paling banyak dalam masyarakat modern. Tentunya ada berbagai sebab yang memunculkan adanya suatu gerakan sosial. Kondisi munculnya bentuk modernisasi yaitu industrialisasi seharusnya dapat membantu aspek kehidupan masyarakat lebih baik, namun hal ini direspon berbeda oleh masyarakat khususnya para petani setempat yang mana wilayahnya digunakan untuk usaha industri. Oleh karena itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana kronologi lahan tiga desa yang akan dijadikan usaha industri oleh perusahaan? Lahan pertanian merupakan alat produksi para petani tetapi mereka harus dijauhkan dengan lahannya untuk dijadikan industri. Industrialisasi pada masyarakat pertanian (agraris) di pedesaan merupakan salah satu penyebab perubahan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakatnya. Para petani yang kehilangan lahannya berani bersama melawan dan menggugat berdirinya industri. Sehingga muncul pertanyaan kedua, faktor-faktor apa saja yang mendorong para petani di wilayah Telukjambe Barat melakukan strategi gerakan dalam melawan perusahaan? Selanjutnya para petani yang melakukan upaya melawan industrialisasi di wilayah Telukjambe Barat akan dapat dianalisis strategi yang digunakan untuk mencapai keberhasilan tujuan gerakan petani. Maka perlu dianalisis bagaimana strategi gerakan para petani Telukjambe Barat dalam melawan perusahaan? Seperti halnya yang dilakukan perlawanan Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) dan organisasi yang ada di bawahnya adalah bentuk perlawanan tersembunyi melalui strategi kemandirian produksi atau pun Petani Desa Cisarua tidak melakukan upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan dengan tindak kekerasan, demo, ataupun reclaiming (ambil paksa) karena petani tahu bahwa lahan yang mereka inginkan merupakan lahan yang legal secara hukum merupakan HGU milik perkebunan dan masih berlaku. Tujuan Penelitian Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang telah dipaparkan yaitu melihat hubungan industrialisasi dengan strategi gerakan petani, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni: 1. Mengetahui kronologi lahan tiga desa yang akan dijadikan usaha industri oleh perusahaan. 2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan para petani di wilayah Telukjambe Barat melakukan strategi gerakan dalam melawan perusahaan. 4 3. Menganalisis strategi para petani Telukjambe dalam gerakannya untuk melawan perusahaan. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak khususnya mengenai hubungan industrialisasi terhadap strategi gerakan para petani di wilayah Telukjambe Barat, Karawang. Secara umum karya ilmiah ini tentu ada keterbatasan dengan melihat kondisi lapang yang mungkin bisa berbeda dengan teori. Selain itu homogenitas jawaban pertanyaan dari petani karena yang mereka rasakan adalah sama. 1. Masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan khususnya bagi para petani dalam persoalan sengketa lahan dengan pihakpihak swasta ataupun pemerintah. Tentunya juga dapat mempelajari kasus konflik perebutan tanah sebelumnya yang terjadi sehingga dapat melakukan strategi yang tepat untuk mencapai tujuan. 2. Pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi pemerintah dalam membuat keputusan yang tegas dan adil mengenai kasus industrialisasi dan gerakan petani. Antara swasta ataupun masyarakat diharapkan dapat memperoleh keputusan yang sesuai konstitusi atau kebijakan yang ada. 3. Peneliti dan Akademisi Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait fenomena industrialisasi dan strategi gerakan petani. Sedangkan untuk akademisi hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi mengenai starategi gerakan petani dalam memperjuangkan tanahnya di tengah industrialisasi. Selain itu, diharapkan sebagai akumulasi kajian ilmu gerakan perubahan sosial yaitu gerakan petani. 5 PENDEKATAN TEORITIS Konsep Modernisasi Pada dasarnya semua bangsa dan masyarakat di dunia ini senatiasa terlibat dalam proses modernisasi, meskipun kecepatan dan arah perubahannya berbedabeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain (Suwarsono dan Y So 1994). Proses modernisasi itu sangat luas, hampir-hampir tidak bisa dibatasi ruang lingkup dan masalahnya, mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya, politik, dan seterusnya. Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju, di mana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk, perkembangan serta teknologi. Menelusuri sejarah panjang cikal bakal teori modernisasi lahir sebagai produk sejarah tiga peristiwa penting dunia setelah masa Perang Dunia II. Pertama, munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia. Sekalipun negara-negara Barat lainnya, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman semakin melemah setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an secara praktis Amerika Serikat mengambil peran sebagai pengendali percaturan dunia. Kedua, pada saat yang hampir bersamaaan, terjadi perluasan gerakan komunis sedunia. Uni Soviet mampu memperluas pengaruh politiknya tidak saja sampai Eropa Timur tetapi juga sampai di Asia, antara lain Cina dan Korea. Ini secara tidak langsung mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas pengaruh politiknya pada belahan dunia lain, selain Eropa Barat. Ketiga, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, yang sebelumnya merupakan daerah jajahan negara-negara Eropa. Negaranegara baru ini secara serempak mencari model-model pembangunan yang hendak digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan dalam usaha untuk mempercepat pencapaian kemerdekaan politiknya. Situasi dunia seperti ini wajar jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan sosialnya untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga. Jika pada masa sebelum Perang Dunia II, persoalan pembangunan negara Dunia Ketiga hanya sedikit sekali mendapat perhatian para ilmuwan Amerika Serikat, namun keadaan yang sebaliknya terjadi setelah Perang Dunia II. Dengan bantuan melimpah dari pemerintah Amerika Serikat dan organisasi swasta, satu generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi, psikologi, antropologi, serta kependudukan menghasilkan karya-karya disertasi dan monograf tentang Dunia Ketiga. Sejarah panjang tersebut tidak terlepas dari upaya pembangunan Indonesia sejak kemerdekaannya 70 tahun silam. Tentunya Indonesia akan mencontoh model pembangunan seperti apa untuk membangun dan mempercepat ekonomi 6 dan politik negara Indonesia. Hingga pada akhirnya saat ini Indonesia menganut sistem demokratisasi dengan dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di sisi lain Indonesia juga memperkuat investasi dalam negeri berupa industrialisasi dan pasar untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya. Kondisi ini menurut Boeke 5 sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara tujuan-tujuan kegiatan ekonomi Barat dan Timur. Ada dorongan di satu pihak dan pengutamaan keperluan sosial di pihak lain. Percuma berusaha memasukkan teknologi dan kelembagaan modern dari Barat ke pedesaan Indonesia. Lebih tepat mempertahankan pola lama perekonomian desa. Pemikiran ini disebut “dualism statis” yaitu apa yang baik untuk sektor modern belum tentu baik pula untuk sektor tradisional, maka waspadalah dalam membina hubungan antara keduanya. Bentuk-bentuk modernisasi inilah yang biasa terjadi dalam masyarakat berupa industrialiasasi, urbanisasi, kapitalisasi, pertumbuhan ekonomi. Unsur-unsur kegiatan memodernkan suatu masyarakat mengadopsi apa yang dilakukan oleh Barat kemudian diterapkan di Indonesia. Tetapi tidak semua industrialisasi adalah bentuk dari modernisasi. Negara yang tidak menganut perspektif modernisasi di sisi lain juga menerapkan industrialisasi negara. Industrialisasi Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984, industri adalah kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, produk setengah jadi, dan atau produk jadi menjadi produk dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Industrialisasi sebagai bentuk strategi modernisasi hadir dalam bentuk kegiatan ekonomi Barat untuk mempengaruhi ekonomi Timur yang ada di pedesaan. Melalui industrialisasi ini perubahan-perubahan yang luas dalam kehidupan masyarakat diharapkan terjadi sesuai pernyataan Purwanto (2005) yang dikutip oleh Vanadiani (2011). Berkembangnya masyarakat dan maraknya program pembangunan membawa konsekuesi semakin pesat dan perubahan pada masyarakat pedesaan. Hal yang paling sering dijumpai dalam kehidupan pedesaan di Jawa adalah adanya industrialisasi seiring dengan tujuan negara untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi. Industrialisasi pedesaan didasarkan pada model transformasi teknologi dan pengetahuan dengan sebesar-besarnya memanfaatkan sumberdaya lokal. Industri pedesaan adalah transisi dari industri yang bersifat warisan dengan industri modern. Melalui industri ini dapat berfungsi sebagai alat pertumbuhan ekonomi. Dengan industrialisasi, kualitas dan produktivitas terjaga sehingga desa mampu bersaing di dalam sistem ekonomi yang modern. Berkembangnya industri di pedesaan tidak terlepas dari alasan yang menganggap industri lebih penting untuk dikembangkan, terutama dibandingkan dengan bidang pertanian. Industrialisasi pedesaan juga berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, dan hal ini dapat diukur antara lain dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Secara sempit industrialisasi pedesaan bertujuan menganekaragamkan peningkatan pendapatan dan peningkatan 5 J. H. Boeke dalam Sajogyo.Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa. 1978. Prisma. 7(3): 3-14. 7 produktivitas ekonomi masyarakat pedesaan 6. Pada perkembangannya keberadaan industri di pedesaan seringkali untuk mendapatkan tenaga murah, menghindari protes dan sekaligus karena diletakkan di pedesaan oleh peraturan pemerintah. Selain itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 daerah diberi kewenangan dan menjalankan kekuasanan ekonominya. Sehingga mendorong upaya pemerintah daerah setempat untuk membangun industri-industri di pedesaan dan kota-kota kecil. Menurut Purwanto (2005) seperti yang dikutip oleh Vanadiani (2011) bahwa industrialisasi menyebabkan penyempitan lahan pertanian, peningkatan arus migrasi, terbukanya kegiatan ekonomi dan munculnya peluang kerja di bidang non pertanian. Di kawasan industri lahan pertanian dialihfungsikan untuk pembangunan industri. Selain itu, tenaga kerja merupakan input utama dalam proses produksi industri yang dapat ditemukan di pedesaan. Dalam kaitannya dengan input produksi lahan, pengembangan industri mengharuskan terjadinya konversi atau alihfungsi lahan dari kegiatan pertanian ke non pertanian. Konversi lahan menjadi aktivitas utama yang menandai berdirinya industri di kawasan pedesaan. Akibat lebih lanjut adalah terkonsentrasinya penguasaan lahan di tangan petani lapisan atas serta pemilik modal. Lahan tidak hanya diubah menjadi kawasan industri, namun setelahnya diikuti pula oleh berubahnya lahan menjadi unit usaha lain di pedesaan. Selain konversi lahan, timbul pula gejala komersialisasi lahan yang meluas cepat di daerah pedesaan. Lahan yang semula menjadi faktor penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu sendiri. Semakin sempit lahan garapan untuk bertani dan semakin terpusatnya penguasaan lahan di kalangan petani lapisan atas dan pemilik modal, dapat mempengaruhi aktivitas pertanian di pedesaan. Lahan yang semula menjadi faktor penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu sendiri. Menurut Schneider (1993) yang dikutip oleh Hasan et al. (2014) salah satu akibat yang terpenting dari timbulnya industrialisasi adalah terbentuknya komunitaskomunitas baru, atau perubahan serta pertumbuhan yang cepat dari komunitas yang sudah ada. Masuknya para pekerja pendatang dalam jumlah yang banyak dan menetap di desa, pada akhirnya menyebabkan peningkatan jumlah tenaga kerja dan pertumbuhan komunitas di sekitar industri. Kehadiran para pendatang ini kemudian akan mempengaruhi proses sosial, terutama pada relasi sosial yang terjadi di kalangan masyarakat desa. Konsep Hak Atas Tanah Hukum tanah nasional Indonesia diatur di dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang dikenal dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Dalam konteks reforma agraria, tanah memiliki posisi penting. Artian tanah tidak semata-mata tanah tetapi juga air, udara, dan ruang angkasa serta segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena tanah merupakan modal utama, di sanalah tempat atau pangkal dari budaya petani itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani, 6 Konsep ini merupakan pemikiran yang dikemukakan oleh Profesor Sarbini Sumawinata, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. 8 tanah memiliki nilai yang begitu besar. Tanah adalah permukiman bumi demikian dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA. Menurut Harsono (2007) hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang dihaki. Adapun pemakaiannya tidak mungkin terbatas pada permukaan bumi tanahnya saja. Untuk keperluan apapun selalu diperlukan penggunaan sebagian tubuh bumi di bawahnya dan atau sebagian ruang di atasnya. Maka hak atas tanah bukan saja memberi wewenang untuk memakai bidang tanah yang dihaki. Tetapi kewenangan pemakaian itu meliputi juga sebagian tubuh bumi di bawahnya sebagian ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan pemakaian tanah yang dihaki. Sedalam dan setinggi dalam batas kewajaran, sesuai tujuan penggunaan dan kemampuan fisik tanahnya serta ketentuan hukum yang berlaku, biarpun bumi, air, dan ruang tersebut tidak termasuk obyek haknya. Tanah mempunyai fungsi sosial yaitu mengandung unsur kebersamaan dan keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Penerapannya menghormati hak dan martabat pemegang hak yang bersangkutan. Jika tanah yang dihaki karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalur air. Pemegang hak atas tanah yang bersangkutan wajib membrikan jalan keluar atau kemudahan lain dari bidang tanah yang terkurung. Hak-hak atas tanah yang ketentuan hukumnya diatur dalam UUPA adalah hak milik, hak guna, hak usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Tetapi untuk ukuran pada taraf individu hanya akan dibahas mengenai hak milik. Ketiga hak lainnya memiliki kriteria peruntukkan untuk usaha dan kegiatan pemerintahan. Hak milik bersifat khusus yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemehang hak. Dalam hukum tanah nasional, hak milik diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang yang berkewarganegaraan tunggal, baik untuk keperluan membangun sesuatu di atasnya, tidak terbatas jangka waktu berlakunya. Dapat beralih warisan atau pindah tangan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hal tanggungan. Hanya tanah hak milik yang dapat diwakafkan, setelah diwakafkan tanah yang bersangkutan tidak lahi berstatus hak milik. Hak milik ini apabila dimiliki oleh individu akan mampu memberikan akses bagi individu untuk memanfaatannya seperti yang telah diatur dalam UUPA. Konsep Gerakan Sosial Gerakan sosial hampir selalu mendapat perhatian media massa terkait dengan tujuan yang mereka hendaki seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender, kebebasan beragama, hingga kepemilikan tanah. Gerakan sosial (social movement) merupakan peristiwa penting sebagai faktor utama penyebab perubahan sosial. Seiring dengan pernyataan Sztompka (2005) bahwa asal perubahan berasal dari bawah sebagai gerakan manifes dari bawah, gerakan sosial 9 ini dicirikan oleh bersatunya orang-orang untuk mengorganisir diri dalam tujuannya membuat perubahan dalam masyarakat. Menurut Sztompka terdapat empat komponen penting dari gerakan sosial yaitu: 1) kolektivitas orang yang bertindak bersama; 2) tujuan bersama adalah perubahan tertentu; 3) kolektivitas relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya; dan 4) tindakannya mempunyai derajat spontanitas yang tinggi tetapi tak terlembaga. Pernyataan ini didukung juga oleh Mc Adam dan Snow seperti yang dikutip Sztompka (2005) bahwa gerakan sosial adalah aksi kolektif, kesinambungan (temporal), hilang-muncul lagi, dan berada di luar jalur kelembagaan. Dalam perubahan sosial, gerakan sosial bisa menjadi penyebab, efek maupun mediator yang mempengaruhi jalannya perubahan sosial. Selama ini penelitian banyak membahas mengenai gerakan sosial adalah menuntut suatu perubahan, jarang sekali sebagai dampak dari perubahan sosial. Apabila dilihat memang seperti siklikal tetapi tergantung melihatnya dari segi mana. Sedangkan menurut Mc Adam et al. seperti yang dikutip Ariendi (2011) gerakan sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan, transisional menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya. Sehingga memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi. Ada sebuah tesis yang dikutip oleh Sztompka (2005) dari Nedihhart dan Rucht yang mengatakan semakin modern suatu kehidupan semakin tinggi adanya gerakan sosial. Masyarakat yang sangat modern cenderung menjadi masyarakat gerakan. Keduanya memiliki hubungan karena modernitas adalah bagian dari adanya perubahan sosial. Kembali kepada konsep industrialisasi pedesaan yang berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, dan hal ini dapat diukur antara lain dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Secara sempit industrialisasi pedesaan bertujuan menganekaragamkan peningkatan pendapatan dan peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat pedesaan. Sehingga muncul berbagai pendapat munculnya gerakan sosial di zaman modern, yaitu: a. Tema Emile Durkheim: kepadatan penduduk di Jawa; b. tema Ferdinand Tonnies: masyarakat guyub (gemenshaft) tidak guyub (gessellschaft); c. tema Marxian: adanya ketimpangan antara lapisan atas dan bawah; d. tema Weberian: transformasi sistem politik menjadi lebih demokratis; e. Auguste Comte dan Saint Simon: penaklukan, kontrol, dominasi; f. peningkatan pendidikan dan kultur umum akan kesadaran; g. kemunculan dan penyebaran media massa. Salah satu nilai modernitas dalam bentuk industrialisasi yaitu contoh penelitian Subarkah et al. (2014), di Kecamatan Sukolilo, rencananya akan di bangun pabrik semen oleh PT Semen Gresik dengan luas lahan mencapai ± 2000 hektar (bahkan lebih luas). Bahan baku pabrik semen tersebut adalah batu gamping/ batu kapur yang berasal dari kawasan perbukitan kars di Kecamatan Sukolilo, Kabupaten Pati. Masyarakat yang menolak rencana penambangan umumnya memiliki kekhawatiran akan keselamatan lingkungan mereka, terutama pada lahan pertanian dan suplai air. Penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh 10 sebuah pandangan hidup mengenai kearifan lokal, khususnya masyarakat Sedulur Sikep. Hubungan keduanya memunculkan suatu gerakan sosial yaitu gerakan Sedulur Sikep. Faktor-Faktor Keterlibatan Gerakan Petani Faktor Internal Pembahasan sebelumnya menyatakan bagaimana keterlibatan masyarakat khususnya para petani dalam suatu gerakan sosial. Dalam konteks penelitian ini adalah gerakan petani. Terdapat berbagai alasan selain contoh yang diungkapkan dalam kasus masyarakat Sedulur Sikep sesuai yang dikatakan Pangestu (1995) yang dikutip oleh Febriana (1995) dari Keterlibatan seseorang dalam suatu program atau kegiatan tergantung pada faktor-faktor internal. Hal-hal yang mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu tersebut mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok, dan jumlah penyebaran media informasi. Sesuai pernyataan Ajiswarman (1996) yang dikutip oleh Wicaksono (2010) bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap sesuatu hal yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Jumlah beban tanggungan juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi. Seperti yang diungkapkan Ajiswarman (1996) dikutip oleh Febriana (2008) bahwa semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal berdasarkan sejarah perlawanan petani di Indonesia yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam gerakan adalah kesempatan politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan terjadinya protes berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang ada disuatu kota. Saat awal abad 19 mereka bergantung pada organisasi kepartaian seperti SI, IP, dan ISDP. Sementara pada awal kemerdekaan bergantung pada partai politik, dan masa orde baru bergantung kepada mahasiswa dan LSM atau organisasi pendukung para petani. Seperti Petani Pasundan (SPP) memiliki keterkaitan dengan gerakan mahasiswa di Kota Ciamis, gerakan petani Desa Keprasan Kabupaten Blitar memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya. Sikap dan strategi petani terlihat masih bergantung pada kelompok-kelompok gerakan di perkotaan. Saat awal abad 19 mereka bergantung pada organisasi kepartaian sepert SI, IP, dan ISDP. Sementara pada awal kemerdekaan bergantung pada partai politik, dan masa orde baru bergantung kepada mahasiswa dan LSM. Kemudian pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto begitu banyak terjadi gerakan petani di berbagai daerah. Tetapi terlihat kemampuan mengorganisir mereka masih belum bisa dan memiliki keterkaitan dengan pihak-pihak lain, seperti mahasiswa maupun LSM. Serikat Petani Pasundan (SPP) memiliki keterkaitan 11 dengan gerakan mahasiswa di Kota Ciamis, gerakan petani Desa Keprasan Kabupaten Blitar memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya. Hal itulah yang menjadi dasar bahwa strategi gerakan petani dalam melawan kekuasaan yang ada berbeda-beda tergantung dari dukungan yang mereka dapatkan dalam melawan arus ketidakadilan. Gerakan Petani di Indonesia Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme di negara-negara agraris dan semi agraris tak akan mampu menuntaskan sebuah transformasi sosial sesuai pernyataan Bahri (1999) yang dikutip Fajrin (2011). Begitu juga aksi-aksi pemberontakan petani banyak bermunculan juga di Indonesia. Seperti gerakan Samin di Jawa Tengah (akhir abad 19), gerakan petani melawan tuan tanah di Ciomas (1886), Kartosuro (1886), dan pemberontakan petani Banten (1888) . Gerakan-gerakan petani ini merupakan salah satu bentuk dari gerakan sosial (Handayani 2004). Gerakan tersebut bersifat sangat lokal, sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Mereka memiliki tujuan dalam satuan kelompok gerakan. Pada tahun 1912 terjadi pengorganisasian petani secara masif di Sumatera, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera. Serikat Islam (SI) merupakan organisasi yang sangat berpengaruh saat itu berhasil mempertemukan gerakan petani di pedesaan dengan gagasan revolusioner kemerdekaan. Membentuk tatanan masyarakat untuk terbebas dari kolonial. Organisasi ini berhasil memperkenalkan aksi perlwanan yang berbeda, sepeti boikot dan pemogokan. Aksi perlawanan ini diadopsi untuk menentang pemilik modal dan pemerintah yang saat itu marak terjadi di Eropa. Tak heran organisasi SI, Indische Partij (IP), dan Indische SocialDemocratische Partij (ISDP) melakukan hal itu bersama para petani karena banyak di antara mereka bersekolah di Eropa. Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950–1965, hampir seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai partai politik di tingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani Islam Indonesia (STII) yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani Nahdatul Ulama (PETANU) yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani Indonesia (PETANI) yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia (BTI) yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965. PKI mengklaim dirinya sebagai perwakilan dari para petani tak bertanah. Tetapi justru mentah dengan sendirinya. BTI malah melindungi tuan tanah yang menjadi simpatisan dari PKI. Pemerintahan Presiden Soeharto melarang seluruh kegiatan organisasi petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Para petani mulai kehilangan kekuatan politik karena banyak para pemimpin gerakan yang dibunuh dan mendapatkan tekanan hidup dari rezim orde baru. Kembali pada kehidupan semula petani adalah jalan keluar saat itu, mereka berusaha memperthankan hidup dengan berbagai intervensi Rezim Orde Baru. Pada pertengahan tahun 1980-an, gerakan petani mulai aktif semenjak intervensi modal yang intensif dilakukan di wilayah pedesaan. Sedangkan saat itu di perkotaan sedang aktif tumbuhnya gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang masuk ke pedesaan dengan berbagai kegiatan, yaitu 12 sosial politik, pendidikan, kesehatan, dan advokasi. Mahasiswa yang dibungkam saat Pemerintahan Soeharto mulai turun ke jalan, begitu juga LSM yang sudah berpengalaman dalam menangani permasalahan lebih petani lebih banyak mengambil jalan pembelaan di peradilan atau mengirim surat protes ke pemerintah. Para petani mulai mengenal aksi massa dan demonstrasi setelah menjalin hubungan dengan mahasiswa, kelompok gerakan perkotaan. Pada awal 1990-an terjadi aliansi gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk demonstrasi ke DPRD dan kantor-kantor gubernur. Strategi Gerakan Petani Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguhsungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Perlawanan “insidental” ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan: (a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih, (c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi bersama. Untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat. Terdapat dua bentuk strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani, yaitu: (1) melalui jalur hukum dan (2) aksi massa secara langsung oleh petani. Aksi massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) reklaiming; (2) ekspansi anggota baru; (3) dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan (4) aksi demonstrasi. Menurut Sitorus (2006), berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, tipologi reforma agraria dibagi menjadi tiga yaitu: (1) aneksasi, (2) integrasi, dan (3) kultivasi. Pembagian tipologi reforma agraria dari bawah ini merujuk pada cara mendapatkan akses terhadap tanah. Tipe aneksasi dimana masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. Tipe kedua ialah tipe integrasi di mana gerakan yang dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan. Tipe yang ketiga ialah tipe kultivasi, menggabungkan kedua tipe aneksasi dan integrasi. Pada satu sisi, tanah direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman nasional seperti di Sintuwu di mana penduduk merambah kawasan hutan negara dan melakukan aksi unjuk rasa untuk memperjuangkan hak mereka. Konsep Petani Kajian tentang petani mensyaratkan dilakukannya penelusuran terhadap kebijakan pemerintah Indonesia. Pada umumnya, orang yang berusaha dalam 13 bidang pertanian disebut dengan petani. Tetapi terdapat perbedaan dalam definisi petani itu sendiri dari berbagai sudut pandang. Sjaf (2010) menyatakan bahwa petani tergolong menjadi dua yaitu peasant dan farmer. Sifat usaha pertanian peasant berupa pengolahan lahan dengan bantuan keluarga sendiri untuk menghasilkan bahan makanan bagi keperluan hidup sehari-hari keluarga petani tersebut atau disebut cara hidup subsisten. Sedangkan, farmer melakukan pengolahan lahan pertanian dengan bantuan tenaga buruh tani, dan menjalankan produksi dalam rangka untuk mencari keuntungan dengan cara hasil produksi pertanian mereka dijual ke pasar. Scott menyatakan tentang relasi sosial yang dibangun petani dengan aktor lain melahirkan prinsip “savety first” untuk menyelamatkan diri dari kekuatan lain. Kritik Popkin terhadap Scott yang dikutip Purwandari et al. (2012) menyatakan bahwa petani memiliki aspek-aspek rasionalitas untuk menunjang kelangsungan kehidupan mereka. Selama masih ada tingkat-tingkat ekonomi ganda, keinginan untuk maju dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, dan keinginan untuk menghindari kejatuhan, para petani akan selalu terlibat baik dalam asuransi maupun dalam perjudian yakni investasi yang aman atau penuh resiko. Meskipun secara teoritis paparan Popkin merupakan kritik atas tesis Scott, namun prakteknya, masih terdapat prinsip “mencari aman” yang muncul dalam investasi yang dijalankan di mana petani cenderung akan memilih investasi pribadi untuk kesejahteraan masa depan melalui anak dan tabungan daripada berinvestasi, dan mengandalkan resiprositas dan asuransi masa depan yang berasal dari desa. Kerangka Pemikiran Masuknya bentuk modernisasi berupa industrialisasi di pedesaan dengan dominasi kehidupan para petani akan memberikan perubahan kepada kehidupan sosial, budaya, dan ekonomi bagi para petani di desa. Biasanya upaya modern yang ditanam di daerah pedesaan dalah sebuah industri ataupun perluasan areal perkebunan baik dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pada penelitian ini akan dibahas suatu pengembangan industri yang masuk ke wilayah Telukjambe Barat ditandai dengan adanya konversi dan komersialisasi lahan, serta ketenagakerjaan. Industrialisasi tersebut memiliki hubungan dengan proses pengalihan kepemilikan lahan. Lahan pertanian yang dimiliki para petani berubah secara hak dan penguasaanya. Kemudian munculah reaksi yang berhubungan dengan berdirinya industri di pedesaan. Para petani melawan dan mempertahankan kehidupan lama mereka. Dalam penelitian yang akan diungkap adalah strategi petani ketika melawan arus modernisasi yang masuk ke desa mereka. Upaya yang mereka lakukan adalah aksi kolektif dari bawah yang tidak terlembaga dan bersifat spontanitas untuk mencapai tujuan perubahan sosial yang dikehendaki. Sehingga nilai-nilai tradisi mereka tetap bertahan atau kehidupan sejahtera mereka tidak terganggu. Secara ringkas, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan dalam Gambar 1. 14 Gambar 1 Kerangka pemikiran Terdapat juga faktor-faktor yang membuat para petani untuk ikut serta dalam gerakan petani kemudian mengatur strategi yang mereka gunakan untuk mencapai tujuan bersama. Faktor-faktor tersebut terdiri dari internal dan eksternal. Faktor internal terdiri dari tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman dan berkelompok, serta tingkat penyebaran media informasi. Sedangkan faktor eksternal terdiri dari kesempatan politik dan organisasi pendukung. Hipotesis Penelitian Hipotesis Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah dirumuskan. Terdiri dari dua jenis hipotesis yaitu: 15 Hipotesis pengarah Dari kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun hipotesis pengarah yaitu terdapat hubungan faktor eksternal dengan keterlibatan petani dalam gerakan yang kemudian memicu para petani untuk berstrategi dalam gerakan tersebut apakah secara bentuk dan sifat. Hipotesis Uji 1. Terdapat hubungan antara tingkat industrialisasi yang tinggi dengan perubahan kepemilikan lahan. 2. Terdapat hubungan perubahan kepemilikan lahan dengan strategisnya gerakan petani. 3. Terdapat hubungan dorongan faktor internal yang tinggi dengan strategisnya gerakan petani. Definisi Operasional Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Masing-masing variabel diberi batasan terlebih dahulu agar dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah yang digunakan adalah: Tingkat Industrialisasi Konversi lahan Konversi lahan adalah perubahan fungsi peruntukkan lahan. Sementara tingkat konversi lahan menunjukkan laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian dari waktu ke waktu. Konversi lahan berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan pertanian. Konversi lahan ditandai dengan: 1. Terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian sejak ada industri hingga saat ini. 2. Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian sejak berkembangnya industri hingga saat ini dalam kurun waktu 5 tahun meningkat. Komersialisasi lahan Komersialisasi lahan adalah suatu proses menjadikan lahan sebagai komoditas ekonomi atau barang dagangan. Sementara tingkat komersialisasi lahan menunjukkan laju pengalihan kepemilikan lahan dari satu orang ke orang lainnya yang dilakukan atas dasar ekonomi. Komersialisasi lahan ditandai dengan: 1. Pemilikan atau penguasaan lahan responden diperoleh dari hasil jual beli. Penyerapan tenaga kerja Penyerapan tenaga kerja (TK) adalah kesempatan kerja yang diberikan sektor industri pada masyarakat, serta sejauh mana masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan kerja tersebut. Tingkat penyerapan tenaga kerja d ditandai dengan: 1. Ketersediaan TK untuk usaha non pertanian lebih tinggi dari ketersediaan TK untuk usaha pertanian. 2. Peluang kesempatan kerja di sektor non pertanian lebih tinggi dari peluang kerja di sektor pertanian. 16 3. Permintaan TK di sektor non pertanian lebih tinggi dari permintaan dan penawaran TK di sektor pertanian. 4. Penawaran TK di sektor non pertanian lebih tinggi dari permintaan dan penawaran TK di sektor pertanian Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu: (i) Sangat sesuai (skor 5) (ii) Sesuai (skor 4) (iii) Ragu-ragu (skor 3) (iv) Tidak sesuai (skor 2) (v) Sangat tidak sesuai (skor 1) Data diukur menggunakan skala ordinal. Dihitung dengan rumus : (nilai maksimal-nilai minimal):3. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat industrialisasi dapat dibagi kedalam dua kategori, yaitu: Tinggi : x� + sd < x Sedang : x� − sd ≤ x ≤ x� + sd Rendah : x < x� − sd Perubahan Kepemilikan Lahan Hak milik Hak milik bersifat khusus yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki tetapi juga mengandung hubungan psikologis-emosional antara pemehang hak. Hak milik tanah dapat diketahui dengan indikator berikut ini: 1. Hak milik diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang berkewarganegaraan tunggal. 2. Tanah untuk keperluan membangun sesuatu di atasnya 3. Tidak terbatas jangka waktu berlakunya. 4. Dapat beralih warisan atau pindah tangan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. 5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hal tanggungan. 6. Hanya tanah hak milik yang dapat diwakafkan. Variabel ini diukur dengan menggunakan: (i) Ya (Skor 2) (ii) Tidak (Skor 1) Data diukur menggunakan skala ordinal. Dihitung dengan rumus : (nilai maksimal-nilai minimal):3. Menggunakan ukuran waktu sebelum dan sesudah proses industri masuk. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator yang digunakan, maka penilaian terhadap kepemilikan tanah dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: Tinggi : skor 10 < x ≤ 12 Sedang : skor 8 < x ≤ 10 Rendah : skor 6 ≤ x ≤ 8 Kemudian dibandingkan antara sebelum dan sesudah ekseskusi, apabila menurun atau meningkat penilaian kepemilikan terhadap tanah maka terdapat perubahan pemilikan tanah oleh masyarakat. 17 Faktor-Faktor Internal 1. Tingkat Pendidikan Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Kondisi ini akan disesuaikan dengan rata-rata tingkat pendidikan para responden. Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat pendidikan dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: Tinggi : 75 ≤ x ≤ 100 Sedang : 50 ≤ x < 75 Rendah : 25 ≤ x < 50. 2. Jumlah beban keluarga Jumlah beban tanggungan juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi partisipasi. semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi ini akan disesuaikan dengan rata-rata tingkat pendidikan para responden. Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator yang digunakan, maka jumlah beban keluarga dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: Tinggi : x� + sd < x Sedang : x� − sd ≤ x ≤ x� + sd Rendah : x < x� − sd 3. Jumlah dan pengalaman berkelompok Keikutsertaan petani dalam mengikuti kegiatan baik organisasi, lembaga, atau perkumpulan lainnya. Kondisi ini akan disesuaikan dengan rata-rata jumlah dan pengalaman berkelompok para responden. Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator yang digunakan, maka jumlah dan pengalaman berkelompok dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: Tinggi : x� + sd < x Sedang : x� − sd ≤ x ≤ x� + sd Rendah : x < x� − sd 4. Tingkat penyebaran media Informasi Muncul berbagai pendapat munculnya gerakan sosial di zaman modern karena terdapat penyebaran media informasi. Penyebaran informasi melalui media informasi telah seperti surat kabar, radio, televisi dan film telah membentuk pengetahuan dan pendapat manusiadalam kehidupan. Bahkan dari orang di sekitar kita. Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat penyebaran media informasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu: Tinggi : x� + sd < x 18 Sedang : x� − sd ≤ x ≤ x� + sd Rendah : x < x� − sd Strategi Gerakan Strategi Gerakan, menurut Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguh-sungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat. Perlawanan sungguh-sungguh Perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan: 1. lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, 2. berprinsip atau tanpa pamrih, 3. mempunyai akibat-akibat revolusioner atau perubahan yang berarti banyak, dan 4. mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi, 5. untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat. Sedangkan untuk insidental dapat diukur melalui kebalikan dari perlawanan sungguh-sungguh. Bentuk strategi Berdasarkan bentuk terdapat dua strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani, yaitu: 1. Melalui jalur hukum: Strategi melalui jalur hukum dilakukan dengan mengirim surat dan melakukan berbagai pertemuan dengan pejabat dan instansi terkait. 2. Aksi massa secara langsung oleh petani. Aksi massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: Reklaiming, moda gerakan reklaim tanah dibagi menjadi tiga yaitu: - Masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian. - Gerakan yang dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan. - Menggabungkan kedua tipe, pada satu sisi tanah direklaim dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola oleh pihak selain penduduk. Ekspansi anggota baru; Dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan Aksi demonstrasi. Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu: (i) Sangat sesuai (skor 5) (ii) Sesuai (skor 4) (iii) Ragu-ragu (skor 3) (iv) Tidak sesuai (skor 2) 19 (v) Sangat tidak sesuai (skor 1) Data diukur menggunakan maksimal-nilai minimal):3. indikator yang digunakan, kategori, yaitu: Ya, strategis Ya, cukup berstrategi Tidak berstrategi skala nomina. Dihitung dengan rumus : (nilai Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah maka strategi petani dapat dibagi kedalam tiga : skor 59 < x ≤ 80 : skor 38 < x ≤ 59 : skor 16 ≤ x ≤ 38 20 21 PENDEKATAN LAPANG Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung data kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Sehingga hasil penelitian ini dapat lebih memahami fenomena sosial yang terjadi di lapang. Penelitian kuantitatif diperoleh dengan menggunakan metode survei menggunakan instrumen kuesioner. Hal ini sesuai dengan pandangan Singarimbun et al. (1989), “penelitian survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat pengumpul data yang pokok”. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan menetapkan terlebih dahulu konsep sebagai variabel-variabel yang berhubungan berdasarkan teori yang sudah ada. Kemudian variabel-variabel tersebut dicari dan ditetapkan indikator-indikatornya. Hasil dari indikator yang telah ditetapkan tersebut kemudian dibuat dalam bentuk kuesioner yang terdiri dari pilihan jawaban dan skor-skor yang telah di tentukan peneliti. Pendekatan penelitian kuantitatif digunakan untuk menguji konsep industrialisasi, perubahan kepemilikan lahan, faktor-faktor internal yang berhubungan dengan keterlibatan petani , serta strategi gerakan para petani yaitu secara bentuk dan sifat. Sedangkan penelitian kualitatif dilakukan dengan cara wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Data kualitatif digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan mengenai kronologi lahan tiga desa di wilayah Telukjambe Barat, faktor-faktor eksternal terdiri dari organisasi pendukung dan kesempatan politik para petani berhubungan dengan keterlibatan gerakan sehingga mengatur strategi gerakan. Lokasi dan Waktu Penelitian Lokasi pengumpulan data untuk keperluan penelitian ini adalah di wilayah Telukjambe Barat. Terdapat tiga desa yang lahan pertaniannya dalam kasus ini akan dijadikan indsutri yaitu Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya. Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja atau purposive, yaitu berdasarkan data bahwa para pemilik lahan di tiga desa tersebut melakukan gerakan untuk mempertahankan kepemilikan lahan mereka dari industri. Selain itu, sengketa lahan ini telah berlansung selama 20 tahun lebih yaitu berawal sejak PT Sumber Air Mas Pratama (SAMP) mengklaim menguasai lahan 350 hektar. Kemudian diakuisisi sekitar 50 persen sahamnya oleh Agung Podomoo Land untuk dijadikan wilayah industri. Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu empat bulan terhitung mulai bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. Pada bulan Juli dan Agustus, penelitian dihentikan sementara karena peneliti harus melakukan tugas Kuliah Kerja Nyata Berbasis Profesi selama kurang lebih dua bulan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, survei penjajagan, kolokium proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian, 22 pengambilan data lapangan, draft skripsi, uji petik, sidang skripsi dan perbaikan laporan skripsi (lihat Lampiran 1). Teknik Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi, survei, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada respondern maupun informan. Alat ukur yang digunakan dalam mengumpulkan data kuantitatif adalah kuesioner yang ditujukan kepada responden. Pengisian kuesioner dipandu oleh peneliti untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam pengisian jawaban. Sedangkan data sekunder diperoleh melalui informasi tertulis di kantor desa, data-data dan literatur-literatur yang mendukung kebutuhan data mengenai fokus penelitian seperti sejarah lahan di Telukjambe Barat, profil desa, monografi, daftar pemilik lahan yang lahannya terkena sengketa. Adapun juga berupa literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian seperti buku-buku mengenai gerakan sosial, industrialisasi, serta literatur-literatur terkait. Responden adalah orang yang memberikan keterangan mengenai informasi ataupun data di sekitar lingkungannya yang berhubungan dengan penelitian ini. Populasi dalam penelitian terdiri yaitu para petani pemilik lahan sengketa dengan PT SAMP di wilayah Telukjambe Barat, yaitu di Desa Wanasari, pada blok 14, Desa Wanakerta pada blok 9, dan Margamulya pada blok 3. Teknik Penentuan Responden dan Informan Unit yang digunakan adalah individu yaitu para petani yang lahannya bersengketa dengan PT SAMP di tiga desa yaitu Desa Wanakerta, Wanasari, dan Margamulya di wilayah Telukjambe Barat. Alasan individu petani tersebut adalah karena mereka yang mengalami dampak langsung proses-proses perusahaan masuk, lahan mereka yang terpaksa dialihkan kepada perusahaan, dan melakukan strategi untuk perlawanan. Metode pengumpulan sampel akan menggunakan simple random sampling. Prosedur menentukan sampel yang terpilih dari pengundian tabel acak yang dilakukan dengan melihat pada kerangka sampling. Kerangka sampling merupakan daftar dari semua unsur sampling dalam populasi sampling. Penelitian ini menggunakan kerangka sampling yang merupakan daftar para petani pemilik lahan bersengketa dengan PT SAMP di tiga desa yaitu Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya. Khususnya pada blok 14, 9 dan 3. Kemudian menggunakan tabel angka acak. Penelitian ini akan menggunakan 32 sampel dari keseluruhan populasi tiga desa karena mengingat syarat minimal sampel adalah 30 dan melihat kemampuan serta jangkauan terhadap responden ketika di lapang (lihat Gambar 2). 23 Gambar 2 Metode pengambilan sampel Total populasi adalah 278 orang yang menyebar di tiga desa yaitu Wanasari berjumlah 131 orang, Wanakerta berjumlah 48 orang, dan Margamulya berjumlah 99 orang. Secara keseluruhan daftar pemilik lahan blokblok tertentu dari setiap desa telah direduksi dari nama pemilik yang lebih dari satu. Hal ini agar memiliki peluang yang sama. Desa Wanasari memang terpilih lebih banyak dibandingkan dua desa lainnya. Selain itu, beberapa pemilik lahan sudah ada yang pergi keluar desa sehingga membutuhkan beberapa pergantian responden. Sebelumnya telah dilakukan pengambilan lebih dari 32 sampel untuk antisipasi hal tersebut. Sementara itu, pemilihan terhadap informan akan dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Informan adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi yang dibutuhkan dan digunakan sebagai pendukung data penelitian. Orang-orang yang dijadikan sebagai informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa, tokoh masyarakat, LSM, ormas yang mengetahui jelas perkembangan sengketa lahan di wilayah Telukjambe Barat. Teknik Pengolahan dan Analisis Data Penelitian ini memiliki dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi Microsoft Excell 2007 dan SPSS. for windows 21.0. Pembuatan tabel fekruensi serta tabel tabulasi silang untuk melihat data awal responden masing-masing variabel secara tunggal menggunakan Microsoft Excell 2007. Selanjutnya dan SPSS. for windows 21.0 digunakan untuk membantu dalam uji statistik yang akan menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Rank Spearman digunakan untuk melihat hubungan antara industrialisasi dengan strategi gerakan para petani. Data kualitatif digunakan sebagai data pendukung yang akan diolah dan dianalisis dengan konten analisis. Pengolahan dan analisis data kualitatif dilakukan dengan mereduksi atau meringkas data dengan menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data 24 sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan untuk menjawab pertanyaan analisis di dalam penelitian. Selanjutnya ialah penyajian data yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian katakata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi. 25 GAMBARAN UMUM DESA Kondisi Geografis Tiga Desa Desa Wanasari merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Desa Wanasari dipimpin oleh kepala desa. Saat ini Desa Wanasari dipimpin oleh Bapak SWK, yang kini memasuki masa periode jabatan yang terakhir. Sesuai dengan database Desa Wanasari, luas wilayah Desa Wanasari sekitar 889.563 hektar. Geografis Desa Wanasari berada di ketinggian 51 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebelah utara Desa Wanasari berbatasan dengan Desa Karangmulya, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi barat berbatasan dengan Sungai Cibeet Kecamatan Cikarang Pusat, Bekasi, dan sisi timur berbatasan dengan Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Wanasari terdiri atas dua dusun, antara lain Dusun Baregbeg, dan Dusun Nyabolog. Secara administratif Wanasari terbagi ke dalam empat Rukun Warga (RW) dan sembilan belas Rukun Tetangga (RT). Suhu rata-rata harian di Desa Wanasari adalah 320C. Sedangkan iklim desa sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia yaitu kemarau dan penghujan. Umumnya kondisi geografis Desa Wanasari sebagai daerah agraris pertanian karena kesuburan tanahnya. Tabel 1 Jarak tiga desa menuju lokasi pemerintahan daerah, provinsi, dan pusat Lokasi Jarak tempuh (km) setiap desa Wanasari Wanakerta Margamulya Ibukota Kecamatan Telukjambe Barat 4 8 6 Ibukota Kabupaten Karawang 15 18 8 Ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung 98 98 92 Ibukota Negara Indonesia, Jakarta 42 46 40 Sumber: Data monografi Desa Wanasari, 2013; Data monografi Desa Wanakerta, 2013; Data https://desawanakerta.wordpress.com/, 2011 Berdasarkan kondisi di lapang bahwa pusat-pusat gerakan ada di beberapa desa yaitu Margamulya dan Wanasari. Terdapat base camp atau rumah tokoh bahkan warung yang menjadi tempat penyusunan strategi gerakan. Tempat tersebut berada di dua desa karena jangkauan yang lebih dekat dengan kawasan eksekusi dan kota, selain itu paling mudah ditempuh. Lokasi desa yang paling jauh adalah Desa Wanakerta biasanya juga berkumpul ke Wanasari. Sepanjang jalan utama ketiga desa tersebut posisi base camp di Wanasari dan Margamulya mudah ditempuh dengan kendaraan bermotor. Selain masyarakat beberapa pihak yang pro juga turut serta dalam diskusi-diskusi kecil di tempat tersebut. Desa Wanasari terletak pada jarak 4 kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan Telukjambe Barat. Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat ditempuh adalah sepuluh menit, baik dengan menggunakan sepeda motor. Bila ingin menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang waktu yang dapat ditempuh berkisar setengah jam perjalanan dengan jarak tempuh sejauh 15 kilo meter dengan menggunakan kendaraan bermotor. 26 Desa Wanakerta merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Desa Wanakerta dipimpin oleh kepala desa. Saat ini Desa Wanakerta dipimpin oleh Bapak KNT. Luas wilayah Desa Wanakerta sekitar 572 hektar. Bentuk wilayah berombak 35 persen dan berombak sampai berbukit 65 persen. Jumlah bulan hujan 3 bulan dengan suhu rata-rata harian 270C. Umumnya kondisi geografis Desa Wanakerta sebagai daerah agraris pertanian karena kesuburan tanahnya. Geografis Desa Wanasari berada di ketinggian 77 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebelah utara Desa Wanakerta berbatasan dengan Desa Wanasari, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi barat berbatasan dengan Desa Bangbeur Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi timur berbatasan dengan Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Wanakerta terletak pada jarak delapan kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan Telujambe Barat Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat ditempuh adalah sekitar lima belas menit, baik dengan menggunakan sepeda motor maupun angkutan umum. Bila ingin menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang waktu yang dapat ditempuh berkisar setengah jam perjalanan dengan jarak tempuh sejauh 18 km dengan menggunakan kendaraan bermotor. Desa Margamulya merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Desa Margamulya dipimpin oleh kepala desa. Saat ini Desa Margamulya dipimpin oleh Bapak IMN. Sesuai dengan database Desa Margamulya, luas wilayah Desa Margamulya sekitar 670 hektar. Sebelah utara dan barat Desa Margamulya berbatasan dengan Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi timur berbatasan dengan Desa Margakaya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Margamulya terdiri atas empat dusun, yaitu Dusun Jati, Kalijati, Cibogo, dan Kiarajaya. Secara administratif Margamulya terbagi ke dalam empat Rukun Warga (RW) dan tiga belas Rukun Tetangga (RT). Mengenai iklim suhu rata-rata harian Desa Margamulya adalah 320C. Geografis Desa Margamulya berada di ketinggian 18 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sedangkan iklim desa sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia yaitu kemarau dan penghujan. Topografi desa berbukit-bukit seluas 150 hektar dan dataran tinggi pegunungan seluas 520 hektar. Desa Margamulya terletak pada jarak enam kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan Telukjambe Barat. Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat ditempuh adalah sepuluh hingga sepuluh menit, baik dengan menggunakan sepeda motor. Bila ingin menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang waktu yang dapat ditempuh berkisar lima belas menit dengan jarak tempuh sejauh 8 kilo meter dengan menggunakan kendaraan bermotor. Secara umum ketiga desa tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan Telukjambe Barat. Letak ketiga desa tersebut dari arah Ibu Kota Kabupaten Karawang melalui jalan utama berurutan yaitu Margamulya, Karangmulya, Wanasari, dan Wanakerta. Tetapi bila dibandingkan dengan letak Kantor Kecamatan Telukjambe Barat berada di posisi pertengahan antara Margamulya dan Wanasari. Akses untuk menuju tiga desa dapat menggunakan kendaraan bermotor apabila ingin menjangkau ke setiap dusun. Sepanjang jalan Desa Margamulya dan Wanasari bersebelahan dengan sungai irigasi. Jadi terdapat 27 beberapa RT dan RW terpisah oleh sungai. Ketiga desa sangat dekat dengan akses jalan tol Karawang. Sehingga tidak heran saat eksekusi tahun 2014 mereka sempat menutup jalan tol. Perjalan menuju Jakarta pun dapat ditempuh sekitar satu jam, terdapat angkutan umum seperti bus yang dapat dengan mudah dijangkau masyarakat. Sedangkan cuaca ketiga desa memiliki sebaran suhu 27º - 32ºC serta iklim kemarau dan penghujan. Topografi desa terutama Margamulya cenderung berbukit-bukit dibandingkan kedua desa lainnya. Di antara ketiga desa yang memliki wilayah terluas adalah Desa Wanasari. Tetapi wilayah administratif dusun terdiri hanya dua. Berbeda dengan Margamulya yang memiliki luasan 670 hektar tetapi memiliki empat dusun. Sedangkan Desa Wanakerta tidak diperoleh data jumlah dusun, RT, dan RW. Tetapi Desa Wanakerta memiliki luasan wilayah yang paling sempit dibandingkan kedua desa lainnya. Berdasarkan pengamatan di lapang, selain sepanjang jalan adalah sungai irigasi dan perumahan warga terdapat juga bentangan padi sawah ketika menuju ke Desa Wanasari dan Wanakerta. Lokasi yang paling dekat dengan kawasan industri adalah Wanasari. Oleh karena itu akses jalan sering dipenuhi oleh aktivitas perusahaan seperti pengangkutan barang dengan truk-truk besar. Selain itu, terdapat juga lapangan golf yang bersebelahan dengan rumah warga di Desa Margamulya. Hal ini juga dapat ditemukan di sepanjang jalan menuju Desa Wanasari dan Wanakerta. Kondisi Sosial Berdasarkan Data Base Desa Wanasari, jumlah penduduk di desa ini adalah 4 577 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 489 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 2 288 jiwa atau berjumlah sekitar 49.9 persen dan penduduk perempuan berjumlah 2 289 jiwa atau sekitar 50.1 persen. Berdasarkan Data Base Desa Wanakerta, jumlah penduduk di desa ini adalah 3 506 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 244 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 1 796 jiwa atau berjumlah sekitar 51.2 persen dan penduduk perempuan berjumlah 1 710 jiwa atau sekitar 48.8 persen. Berdasarkan Data Base Desa Margamulya, jumlah penduduk di desa ini adalah 4 805 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 728 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 2 530 jiwa atau berjumlah sekitar 52.7 persen dan penduduk perempuan berjumlah 2 275 jiwa atau sekitar 47.3 persen (lihat Tabel 2). Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya Jenis Wanasari Wanakerta Margamulya kelamin n % n % n % Laki-laki 2 288 49.9 1 796 51.2 2 530 52.7 Perempuan 2 289 50.1 1 710 48.8 2 275 47.3 Total 4 577 100.0 3 506 100.0 4 805 100.0 Sumber: Data monografi Desa Wanasari, 2013; Data monografi Desa Wanakerta, 2013; Data https://desawanakerta.wordpress.com/, 2011 Menurut data jumlah penduduk ketiga desa bahwa yang paling tinggi jumlah penduduknya adalah Desa Margamulya yaitu 4 805 jiwa. Sedangkan kedua yaitu Desa Wanasari sejumlah 4 577 jiwa, setelah itu Desa Wanakerta 28 sejumlah 3 506 jiwa. Meskipun luasan wilayah Desa Wanasari lebih luas dibanding dua desa tetapi jumlah pendudukya tidak juga lebih tinggi. Sedangkan penyebaran laki-laki dan perempuan, untuk desa yang memiliki jumlah penduduk berjenis kelamin perempuan paling tinggi adalah Desa Wanasari sejumlah 2 289 jiwa. Meskipun dalam satu lingkupan Desa Wanasari jumlah penduduk laki-laki dan perempuan mendekati seimbang. Sedangkan jumlah penduduk jenis kelamin laki-laki paling tinggi di Desa Margamulya yaitu 2 530 jiwa. Secara keseluruhan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sejumlah 6 614 jiwa sedangkan perempuan sejumlah 6 274 jiwa. Memang secara keseluruhan jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki dan perempuan didominasi oleh laki-laki yaitu Desa Margamulya dan Wanakerta. Sedangkan Desa Wanasari hampir seimbang antara laki-laki dan perempuan. Secara keseluruhan saat berdiskusi dengan anggota gerakan memang terlihat peranan laki-laki lebih terlihat. Beberapa responden juga sebagian besar adalah laki-laki. Jumlah penduduk Margamulya dan Wanasari yang lebih tinggi ternyata juga pemilik lahan sengketa yang lebih tinggi. Aksi yang terlihat juga menunjukan Wanasari dan Margamulya lebih banyak penduduknya terlibat. Selanjutnya adalah mata pencaharian setiap desa. Penduduk Desa Wanakerta yaitu petani sejumlah 142 jiwa, buruh tani sejumlah 220 jiwa, buruh swasta sejumlah 735 jiwa, pegawai/PNS sejumlah 139 jiwa, dan wiraswasta 203 jiwa. Mengamati data tersebut mata pencaharian warga Desa Wanekerta paling banyak sebagai buruh swasta. Hal ini dimungkinkan karena lokasi berdekatan dengan pabrik-pabrik atau industri besar. Sedangkan Desa Margamulya memiliki jumlah rumah tangga petani sebesar 382 keluarga atau 1 210 anggota, jumlah rumah tangga perkebunan 12 keluarga atau 46 anggota, jumlah rumah tangga industri 210 keluarga atau 75 anggota, jumlah sektor rumah tangga sektor jasa dan perdagangan 8 keluarga atau 12 anggota. Masyarakat Desa Margamulya lebih mengandalkan usaha bercocok tanam dibandingkan Desa Wanakerta. Saat melihat kondisi lapang memang terlihat adanya sawah dan ladang. Apalagi didukung dengan sungai irigasi sepanjang Desa Margamulya. Lokasi Margamulya memang yang tidak berdekatan langsung dengan usaha kawasan industri. Sedangkan Desa Wanasari tidak diperoleh data mengenai mata pencaharian warga. Karena pada saat turun lapang pihak desa sedang membuat keluaran terbaru potensi desa. Jadi yang diberikan hanya sekedar kondisi geografis saja. Gambaran tingkatan pendidikan adalah salah satu indikator pembangunan manusia. Karena itu gambaran tingkatan pendidikan suatu masyarakat harus ada dalam data base desa. Berikut ini akan terdapat perbandingan tingkatan pendidikan setiap desa kecuali Desa Wanasari karena pihak desa tidak memberikannya. Berikut ini adalah data mengenai pendidikan warga Desa Margamulya dan Wanakerta. 29 Tabel 3 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan warga Wanakerta, dan Margamulya Tingkat pendidikan Wanakerta n % Belum sekolah 383 10.9 Pernah/tidak tamat SD 127 3.7 Tamat SD 522 14.8 Tidak tamat SLTP * * SLTP/sederajat 955 27.2 Tidak tamat SLTA * * SLTA 1 400 40.0 Akademi (D1, D2, D3) 93 2.6 Sarjana (S1) 23 0.7 Pasca sarjana 3 0.1 Total 3 506 100.0 di Desa Wanasari, Margamulya n % 330 6.9 649 13.5 1 192 24.8 120 2.5 1 221 25.4 0 0.0 1 230 25.6 47 1.0 16 0.3 0 0.0 4 805 100.0 Sumber: Data monografi Desa Wanakerta, 2013; Data https://desawanakerta.wordpress.com/, 2011 Keterangan: *) tidak ada data Kategori yang dimiliki oleh data base pendidikan warga Desa Margamulya lebih detil dibandingkan dengan Desa Wanakerta. Secara umum tingkat pendidikan warga Desa Wanakerta dan Desa Margamulya berada paling banyak lulus SLTA. Kemudian dibandingkan pendidikan paling rendah yaitu belum sekolah paling banyak terjadi di Desa Wanakerta. Tetapi di sisi lain tingkatan pendidikan paling tertinggi yaitu pasca sarjana Desa Wanakerta memiliki meskipun kecil dibandingkan Desa Margamulya yang tidak ada. Apabila ditarik kesimpulan tingkat pendidikan warga kedua desa sudah cukup baik. Hal itu didukung sarana dan prasarana bangunan sekolah. Desa Margamulya memiliki 12 bangunan pendidikan terdiri dari gedung SMA berjumlah 1, gedung SMP berjumlah 2, gedung SD berjumlah 6, gedung TK berjumlah 2, dan gedung bermain anak berjumlah 1. Begitu juga dengan Desa Wanakerta memiliki gedung gedung SMP berjumlah 1, SD berjumlah 5, gedung TK berjumlah 3, dan gedung bermain anak 2. Berdasarkan pengamatan lapang bangunan-bangunan sekolah sepanjang jalan utama desa ada. Di antara dua desa yaitu Wanasari dan Wanakerta juga terdapat gedung SMA kecamatan Telukjambe Barat.Sebagian besar masyarakat Wanakerta memeluk agama islam yaitu sebesar 3 404 jiwa dan etnis Sunda sebesar 63.4 persen. Rata-rata pendapatan per anggota keluarga di Desa Margamulya sebesar Rp1 985 000. Sedangkan untuk kedua desa lainnya tidak diketahui jumlahnya berapa. Gambaran Kondisi Desa dengan Lahan Sengketa Ketiga desa tersebut letaknya dekat dengan pintu keluar dan masuk tol Karawang. Selain itu juga dekat dengan kawasan industri Karawang. Apabila dari Desa Wanasari dan Wanakerta dapat ditempuh selama sepuluh menit ke kawasan industri. Sedangkan letak eksekusi lahan sengketa agak masuk ke dalam ketika melewati kawasan industri. Topografi yang berbukit-bukit dan banyak ditanami 30 tanaman keras sepanjang jalan. Para petani dan masyarakat lainnya sering berkumpul di atas bukit dekat lokasi eksekusi lahan. Tepatnya di Dusun Kiarajaya, Margamulya. Sedangkan aksi demo yang berlangsung tahun 2014 tepat di bawah jembatan Desa Wanasari yaitu jalan tol. Lahan sengketa yang telah dieksekusi salah satunya di Desa Margamulya. Saat melihat kondisi lapang memang lahan sudah gundul dan terdiri papan-papan peringatan PT SAMP. Terlihat kondisi yang berbeda antara sebelah kanan dan kiri jalan karena sebelahnya masih terdapat pemukiman penduduk setempat. Sedangkan kator pemasaran PT SAMP beradadi kawasan industri yang masih masuk wilayah tiga desa. Berdasarkan data pemilik lahan di Wanakerta yang terkena sengketa adalah yang paling sedikit yaitu 48 orang. Sedangkan yang paling banyak adalah Desa Wanasari yaitu 139 orang. Blok-blok sengketa setiap desa yaitu blok 14 untuk Desa Wanasari, blok 9 untuk Desa Wanakerta, dan blok 3 untuk Desa Margamulya. Aksi massa juga pernah terjadi di kawasan konsorsium yaitu terletak dalam lingkupan kawasan industri. Ikhtisar Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan letak geografisnya, Desa Wanasari berbatasan langsung dengan beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Desa Karangmulya di bagian utara, Desa Wanakerta di bagian selatan, Sungat Cibeet Kecamatan Cikarang Pusat di bagian barat, dan bagian timur dengan Desa Margamulya. Letak Desa Wanasari berada pada jarak 4 kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan Telukjambe Barat. Jarak Desa Wanasari menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang adalah sejauh 15 kilo meter yang dapat ditempuh selama setengah jam perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Berdasarkan data kependudukan desa pada tahun 2013, penduduk Desa Wanasari berjumlah 4 577 jiwa. Sebagian besar mata pencaharian masyarakat desa adalah buruh tani. Fasilitas-fasilitas desa, seperti tempat ibadah dan pelayanan kesehatan juga telah tersedia bagi masyarakat. Desa Wanakerta berada di sisi selatan Desa Wanasari, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi barat berbatasan dengan Desa Bangbeur Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi timur berbatasan dengan Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Wanakerta terletak pada jarak delapan kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan Telujambe Barat Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat ditempuh adalah sekitar lima belas menit, baik dengan menggunakan sepeda motor maupun angkutan umum.jumlah penduduk di desa ini adalah 3506 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 244 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 1 796 jiwa atau berjumlah sekitar 51.2 persen dan penduduk perempuan berjumlah 1 710 jiwa atau sekitar 48.8 persen. Di antara ketiga desa adalah yang paling sedikit penduduknya. Desa Margamulya memiliki luasan sekitar 670 hektar. Sebelah utara dan barat Desa Margamulya berbatasan dengan Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi timur berbatasan dengan Desa Margakaya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Margamulya terdiri atas empat dusun. Jumlah penduduk di desa ini adalah 4 805 jiwa dengan jumlah 31 kepala keluarga sebanyak 1 728 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 2 530 jiwa atau berjumlah sekitar 52.7 persen dan penduduk perempuan berjumlah 2 275 jiwa atau sekitar 47.3 persen. Pemerintahan Desa Wanasari saat ini dipimpin oleh Bapak SWK, Desa Wanakerta oleh Bapak KNT, dan Desa Margamulya dipimpin oleh Bapak IMN. Mata pencaharian umumnya di dua desa yaitu Margamulya dan Wanasari adalah petani. Sedangkan warga Desa Wanakerta sebagian besar bermatapencaharian buruh swasta. Tingkat pendidikan paling banyak ditempuh untuk Desa Wanakerta dan Margamulya adalah SMA. Sedangkan untuk Desa Wanasari tidak diperoleh berapa tingkat pendidikan warganya. Sarana prasaran pendidikan sangat menunjang di kedua desa. Secara umum berdasarkan kedekatan dengan kawasan industri adalah Desa Wanasari dan Wanakerta. Jalan utama desa seringkali digunakan untuk akses para perusahaan dalam muatan barang atau aktivitas lainnya. 32 33 INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN KEPEMILIKAN LAHAN DI TIGA DESA Industrialisasi Kronologi Lahan Tiga Desa Tahun 2014 tepatnya 24 Juni telah terjadi bentrokan yang cukup besar antara 7000 pasukan BRIMOB dengan masyarakat yang terdiri dari petani, LSM, mahasiswa, dan warga setempat yang jumlahnya tidak sampai 500 orang. Kabar berita eksekusi lahan di Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang menjadi alasan bentrokan ini. Masyarakat tidak menerima jika tanahnya harus digusur oleh aparat. Sebelum masyarakat bersih keras untuk mempertahankan tanahnya telah terjadi sengketa lahan dengan PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Perusahaan mengklaim lahan di tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya. PT SAMP yang bernaung dengan Agung Podomoro Land, perusahaan properti ini telah lama bersengketa dengan masyarakat. Para warga merasa sudah lama mendiami tanah-tanah tersebut dan dipaksa pindah oleh perusahaan. Silang sengketa lahan ini ternyata memang sudah menjadi permasalahan semenjak era orde baru. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satua anggota LSM bahwa. ”....masyarakat memang udah lama Mbak tinggal di sini, kasusnya pun mulai itu saat tahun 70’an karena sewa menyewa lahan. Bukan dijual loh ya, jadi masyarakat mah ya tetep memiliki toh istilahnya cuma kontrak. Masyarakat juga ada girik atau surat kepemilikan zaman itu....” (OD, 30 Tahun, Anggota LSM) Berdasarkan data yang diperoleh awal mulanya sengketa lahan yaitu datangnya PT Dasa Bagja ke Telukjambe Barat untuk meminjam surat tanah. Warga setempat menyebutnya girik atau surat pembayaran pajak tanah. PT Dasa Bagja menginginkan girik tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya pada tahun 1974. Diketahui dari data sejarah yang diperoleh dari LSM yang memfasilitasi kasus ini, tanah-tanah tersebut adalah bekas tanah partikelir bernama Tegalwaroe Landen. Asal mula tanah dari bekas Partikelir Eigendom Verponding Nomor 53 NV. Tegalwaroe Landen seluas 55 173 hektar. Batasan sebelah utara yaitu dengan Sungai Citarum, sebelah selatan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah barat dengan Kabupaten Bekasi dan Bogor, dan sebelah timur dengan Kabupaten Purwakarta. Tanggal 17 Mei 1949 tanah tersebut milik pemerintahan Republik Indonesia sehingga masyarakat mulai menggarap secara bebas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikelir tersebut dilegalkan oleh negara dan tanah tersebut termasuk ke dalam tanah usaha. Maksudnya adalah tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah tersebut. Tanah negara bebas ini kemudian dimohon menjadi milik melalui redistribusi maka turunlah SK Menteri Agraria Nomor 30/Ka/62 tanggal 8 34 November 1962 sebagai obyek land reform. Selain itu dengan diberlakukannya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing untuk memiliki hak milik tanah. Kemudian lahir SK Panitia land reform Dt. II Karawang Nomor 29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar Nomor 228/C/VIII/52/1965 memberikan hak milik kepada rakyat atas tanah sawah, tanah kering, tambak dari tanah bekas partikelir Tegalwaroe Landen. Namun semenjak mulai perubahan era yaitu dari orde lama ke orde baru yang dipimpin oleh Soeharto mengakibatkkan usaha land reform dari amanah UUPA dipetieskan. Sehingga proses pengurusan surat milik tanah atau girik dihentikan. Program land reform tidak dapat terlaksana sampai selesai. Akhirnya sistem kepemilikan tanah seperti mekanisme Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak dapat terinformasikan dengan baik. ”....saat itu masyarakat sudah senang mau ngurus surat itu, tapi wkatu zaman Pak Harto semuanya jadi terhambat. Mereka jadi kesulitan untuk ngurusin surat. Padahal secara UUPA ya masyarakat yang mendiami itu yang punya tanah. Bukan lagi milik kolonial atau swasta....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) Sekalipun kebijakan land reform dihentikan ketika memasuki era 1970-an pemerintah masih memiliki kebijakan seperti penyertifikatan, transmigrasi, dan perkebunan inti rakyat guna memberikan akses tanah kepada masyarakat kecil. Pada tahun 1970 sampai 1971 pemerintah memerintahkan tanah yang sudah digarap oleh masyarakat untuk dirincik dan diklasir. Pihak yang terlibat adalah Panitia Rincik dan Klasir dari Cirebon dengan dibantu pihak desa. Tujuannya adalah mengeluarkan girik untuk masyarakat dan Buku C Desa untuk pemerintahan desa. Di sisi lain pemerintahan orde baru yang mengutamakan industrialisasi memperuntukan tanah-tanah di Indonesia menjadi industri. Hal ini yang menjadi cikal bakal datangya PT Dasa Bagja ke tanah Telukjambe Barat seluas 350 hektar. Padahal sebelumnya land reform membatasi penguasaan lahan maksimal seluas 20 hektar. Rangkaian kasus konflik perebutan lahan di tiga desa seluas 582 hektar diawali dengan PT Dasa Bagja untuk menyewa lahan guna penanaman tanaman kapuk pada tahun 1974. Sebelumnya PT Dasa Bagja mengajukan hak guna usaha (HGU) namun tidak diterima. Kemudian PT Dasa Bagja berinisiatif menyewa 350 hektar untuk kepentingan usahanya kepada Kepala Desa Margamulya saat itu, Bapak HE. Lahan tersebut berupa tegalan yang tidak ditanami oleh masyarakat. Melalui kepala desa, PT Dasa Bagja berhasil melobi masyarakat dan akhirnya mendapat kesepakatan harga sewa tanah sebesar Rp 10 000 per hektar. Durasi sewa menyewa berlangsung selama tiga tahun, berarti berakhir pada tahun 1977. ”....setelah kontraknya selese tetep lanjut tuh perusahaan. Saya amati ya Mbak sama warga dulu ada kecurigaan dari perusahaan PT Dasa itu untuk tetep mau kuasai lahan warga...” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) 35 Saat kontrak berahir, PT Dasa Bagja ingin mengambil status tanah warga kembali. Girik milik masyarakat yang dibawa oleh PT Dasa Bagja disinyalir telah diproses untuk dijadikan HGU. Sehingga pada akhir kontrak keluar surat Letter C ketiga desa atas nama PT Dasa Bagja berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat tahun 1977. Secara praktis kepemilikan tanah ini bergeser menjadi milik PT Dasa Bagja sepenuhnya. Padahal saat awal perjanjian hanya sewa menyewa. Bapak HE berhasil meyakinkan warga yang telah memberikan girik kepadanya untuk dibawa perusahaan. Bahkan Bapak HE menenangkan warganya untuk tetap menggarap tanahnya saat kontrak sudah selesai. Berdasarkan informasi yang diperoleh, Bapak HE juga menjajikan girik tersebut akan diproses menjadi SHM. Tetapi saat itu juga muncul SHM atas nama Tarmidi atas tanah seluas 18 hektar yang masih dalam area 350 hektar. Kondisi ini semakin memicu sengketa lahan pada kemudian hari. Tahun 1986 PT Dasa Bagja melakukan pengalihan tanah yang bukan miliknya kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582 hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13 miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Kali ini PT SAMP melakukan permohonan izin lokasi kepada Gubernur Jawa Barat, dan keluar pada tahun 1991. Masyarakat menolak hasil tersebut karena mereka masih memiliki bukti kepemilikan tanahnya. Surat Letter C atas tanah 350 hektar yang dibuat oleh PT Dasa Bagja yang membuat pengalihan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Hingga pada akhirnya setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan. Tetapi yang dibebaskan bukan pemilik girik tetapi orang yang mengaku menggarap bahkan disuruh mengaku menggarap untuk menandatangani Surat Pelepasan Hak (SPH). Kemudian mereka dibayar sebagai upah tanda tangan SPH, bahkan bayaran tersebut ada yang diminta kembali. Luasan yang ditandatangani pun dibuat seluas mungkin. PT SAMP telah diakuisisi sahamnya sebagian besar oleh Agung Podomoro Land. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan bahwa. ”....PT SAMP itu ngga sendiri, mana bisa dia? Bangunan kantor marketingnya saja terlalu memaksa, siapa dia, apa yang dia punya? Makanya itu akuisisinya Podomoro yang punya....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) Konflik kembali muncul pada tahun 2000 ketika masyarakat mengajukan Surat MA Nomor 160/PK/Pdt/2011 yang tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Karawang. Sementara itu, PT SAMP mendapatkan izin eksekusi lahan. Pada tahun 2005 Agung Podomoro Land menurunkan pasukan untuk pengamanan lahan dengan membawa bukti izin mendirikan bangunan tanpa surat hak atas tanah warga. Secara fisik lapangan, masyarakat sudah menempati lebih dari 50 tahun dan membayar pajak setiap tahun. Beberapa warga sempat menanyakan kepada Bapak HE terkait PT SAMP yang tidak berkeinginan membebaskan tanah milik bahkan tidak mengakui tanah milik dengan adanya Buku C Desa dan girik. 36 Bapak HE menunjukkan surat dari PT Makmur Jaya Utama yang berisi bahwa Dierktur Utama PT Makmur Jaya Utama menyatakan bahwa wajib menyelesaikan para pemilik tanah. Maksudnya adalah PT Makmur Jaya Utama dengan perusahaan mana saja wajib menyelesaikan kepada pemilik tanah. Bahkan PT SAMP telah diperlihatkan surat tersebut namun tetap tidak dihiraukan. PT Dasa Bagja, PT Makmur Jaya Utama, dan PT Maligi mengakui adanya pemilik tanah oleh warga. Akhirnya beberapa analisis oleh LSM yang terdiri dari organisasi petani dan lembaga hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang terjadi selam proses tersebut. Berikut kejanggalan tersebut: 1. Girik asli tanah diambil oleh kepala desa pada tahun 1974 dengan alasan bahwa tanah masyarakat akan disewa oleh PT Dasa Bagja selama tiga tahun. Kecurigaan muncul ketika kepala desa mengambil girik tersebut. 2. Tanah masyarakat disewa tetapi diakui oleh perusahaan telah dibebaskan. Padahal masyarakat tidak mengetahui dan tidak menandatangani apapun. 3. Pihak yang mengaku membebaskan tanah garapan tidak menyebutkan batasbatas tanah. 4. Pihak yang mengakui pembebasan mengaku bahwa PT Dasa Bagja telah melakukan pembebasan. Padahal PT Dasa Bagja tidak menandatangani sebagai pihak yang melepaskan. Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan Bekasi mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil pencocokan para wajib pajak yang tanahnya berlokasi di Desa Margamulya cocok tercantum pada Buku Letter C pada tahun 1992. Setelah itu, keluar buku DHKP sebagai pengganti Buku Letter C Desa dan keluar tagihan pajak berupa SPPT/PBB sebagai ganti girik. Pihak pemerintah pun turut terlibat, terutama BPN Karawang Jawa Barat untuk menenrbitkan hak guna bangunan (HGB) atas nama PT SAMP. Masyarakat, BPK, Muspida, dan PT SAMP kemudian diundang oleh Kapolres Karawang sebanyak tiga kali. Masyarakat menolak tidak berkeinginan tanahnya diukur karena belum menerima ganti rugi, dan konsistensi surat yaitu isi dan perihal terdapat saling bertentangan dan ketidaksesuaian. Lalu surat tersebut diubah dan beberapa hari kemudian BPN Karawang mengeluarkan surat Nomor 610-533 Perihal Rencana Pegukuran Tanah Bermasalah antara PT SAMP dengan masyarakat. Tujuan diadakan pengukuran ini adalah: 1. menyelesaikan masalah antara PT SAMP deengan masyarakat; 2. memperoleh data awal ketika belum memberikan hak kepada siapapun; 3. mengukur semua bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat maupun yang diklaim PT SAMP; dan 4. mengakomodir kedua belah pihak baik untuk kepentingan PT SAMP dan masyarakat. Merujuk surat tersebut semua pihak bersepakat termasuk masyarakat untuk melakukan pengukuran yang dikawal oleh Polres Karawang sebanyak dua unit mobil Dalmas. Proses ini juga disaksikan oleh pihak kecamatan dan pihak desa setempat. Namun hasil yang keluar masyarakat tidak diberitahu lalu disarankan untuk menanyakan langsung ke BPN Karawang. Ternyata sama saja seperti sebelumnya BPN tidak memberikan hasilnya. Usaha masyarakat pun beralih 37 kepada Bupati Karawang agar BPN Karawang dapat memberikan peta hasil kepada masyarakat. Akhirnya BPN Karawang memberikan peta hasil rincik atau bidang yang diinginkan masyarakat. Tidak lama puas melihat hasil rincik, masyarakat mengetahui bahwa PT SAMP menerima peta hasil rincik juga. PT SAMP mengajukan perkara data kepada Pengadilan Negeri Karawang dengan membawa bukti peta rincik hasil ukur tahun 2005. ”....pas waktu itu, masyarakat tahu kalo peta yang dikeluarkan oleh BPN ada dua. Satu untuk masyarakat, satu untuk PT SAMP. Petugas, obyek, tanggal semuanya sama tapi hasil dari dua peta sungguh berbeda....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) Hasil peta rincik yang dikeluarkan BPN Karawang terdapat dua dengan berita acara yang sama tetapi dua gambar peta yang berbeda. BPN memberikan untuk masyarakat dan PT SAMP. Peta yang diberikan kepada PT SAMP menggambarkan tidak ada lagi pemilik tanah yang ada artinya semua tanah telah dibebaskan. Peta tersebut dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim untuk mengalahkan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat saat ini merasa hukum tidak membuat masalah ini terselesaikan. Berikut ini akan dijelaskan pemahaman tentang dasar hukum yang menyatakan bahwa girik dan Buku C Desa yang keluar setelah tahun 1960 tidak berlaku. Tetapi khusus untuk tanah-tanah partikelir, girik dan Buku C Desa yang keluar pada tahun 1971 dan setelahnya dibenarkan dan sah menurut hukum. Dasar hukum sebagai tanah milik yang kekuatan hukumnya sama dengan tanah milik adat yaitu: 1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah partikelir Pasal 1 ayat 1 sub C menyatakan tanah usaha ialah bagian-bagian dari tanah partikelir yang menurut adat setempat termasuk tanah desa di atas nama penduduk yang mempunyai hak yang sifatnya turun temurun (kekuatan hukumya sama dengan tanah milik adat). 2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tang partikelir pasal 5 menyatakan tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1 sub C oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya, diberika kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik. Pada pasal 5 ayat 2 pemberian hak milik tersebut dilakukan dengan sukarela. 3. PP Nomor 224 Tahun 1961 mengatur tentang tanag-tanah kongsi atau tanah negara bebas yang menjadi obyek land reform bisa menjadi hak milik melalui obyek redistribusi. Hingga saat ini masih berlangsung upaya-upaya untuk mengembalikan kepemilikan lahan tiga desa yang dilakukan oleh masyarakat. Apalagi kasus ini sudah berlangsung lama dan banyak menyita perhatian dari berbagai pihak. Berdasarkan kondisi lapang pemerintah desa juga masih menyimpan baik DHKP atau pembayaran pajak bagi pemilik tanah di tiga desa. 38 Tingkat Industrialisasi Tingkat industrialisasi dapat dilihat dari adanya konversi lahan, komersialisasi lahan, dan penyerapan tenaga kerja. Ketiga kriteria tersebut untuk menentukan tingkat industrialisasi. Adapun indikator pertama yaitu konversi lahan yang terjadi di suatu daerah. Proses ini diketahui dengan menetapkan waktu yang ditentukan dan seberapa besar perubahan lahan yang terjadi. Dalam konteks ini adalah dari pertanian ke non pertanian. Komersialisasi lahan adalah lahan yang semula menjadi faktor penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu sendiri. Semakin sempit lahan garapan untuk bertani dan semakin terpusatnya penguasaan lahan di kalangan petani lapisan atas dan pemilik modal. Sementara itu, penyerapan tenaga kerja dapat dianalisiss berdasarkan kesempatan kerja yang diberikan sektor industri pada masyarakat, serta sejauh mana masyarakat dapat memanfaatkan kesempatan kerja tersebut. Secara rinci yaitu peluang, kesempatan, penawaran, dan permintaan usaha non pertanian lebih banyak dibandingkan pertanian. Pembahasan mengenai tingkat industrialisasi yang mengarahkan pada hipotesis uji bahwa terdapat industrialisasi yang tinggi oleh para perusahaan di sana. Pengambilan kutipan langsung dari data dibawah ini diperoleh dengan menggunakan alat bantu perekam recording Mengukur tingkat industrialisasi di tiga desa yaitu Desa Wanasari, Wanankerta, dan Margamulya adalah dengan melihat variabel yang digunakan dibagi ke dalam tiga hal yaitu: 1) konversi lahan; 2) komersialisasi lahan; dan 3) penyerapan tenaga kerja. Sesuai dengan hasil penelitian di lapangan semua variabel dapat diukur dan dianalisis berdasarkan hasil perhitungan data kuesioner dan wawancara mendalam (lihat Tabel 4). Tabel 4 Jumlah dan persentase indikator dari tingkat industrialisasi menurut responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Tingkat industrialisasi Kategori a b c n % n % n % Tinggi 18 56.3 9 28.1 8 25.0 Sedang 14 43.8 22 68.8 21 65.6 Rendah 0 0.0 1 3.1 3 9.4 Jumlah 32 100.0 40 100.0 40 100.0 Keterangan : a. Konversi lahan b. Komersialisasi lahan c. Penyerapan tenaga kerja Berdasarkan data Tabel 4 penilaian tentang tingkat industrialisasi menunjukkan 56.3 persen responden menyatakan konversi lahan di tiga desa menyatakan dalam kategori tinggi. Melihat fenomena di lapang, kawasan tiga desa tersebut memang dekat dengan kawasan industri Karawang. Berdasarkan pengamatan lahan pertanian berupa kebun yang ditanami tanaman keras telah digusur oleh perusahaan. Selain itu, alasan Karawang sebagai pusat industri karena mobilitasnya yang dekat dengan ibu kota negara dan pelabuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu anggota LSM bahwa. 39 ”....Karawang sebagai daerah penghasil padi mbak, tapi di satu sisi juga industri tinggi. Sebenarnya mau ke mana fokus kita. Lahan yang dulu sawah banyak dijadikan bangunan sekarang....” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM) Keterangan di atas menjelaskan bahwa Karawang pada umumnya telah menjadi pusat industri, informan menjelaskan termasuk tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya bertepatan dengan jalan tol. Bagi para pengusaha akses tersebut sangat mudah jika berinvestasi di Karawang apalagi terdapat suatu kawasan industri di sana. Para warga pun yang dulu memiliki lahan di tiga desa tersebut tak dapat memanfaatkan lagi. Biasanya mereka menanam tanaman keras seperti kayu sengon dan tanaman di ladang seperti singkong. Adapun juga yang menanam padi sawah tetapi jumlahnya tidak terlalu banyak. Seperti penuturan informan dari anggota masyarakat yang memiliki tanah pertanian bahwa. ”....di sini semua dulu tanaman kayu sengon mbak, tapi lihat sekarang udah gersang karena digusur dan dijaga ketat oleh perusahaan. Semuanya ini lahan milik warga. Kalo yang nanam padi ada di sana, beda tempat lagi. Sekarang kita engga punya apapa. Dulu bisa panen kayu sengon nunggu berapa tahun buat pendapatan tambahan mbak....” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat) Eksekusi yang berlangsung pada tahun 2014 silam membuat masyarakat tidak dapat lagi bercocok tanam di atas lahan mereka. Beberapa warga sempat memberontak dengan tetap menanam di lahan tersebut. Akan tetapi, keesokan harinya tanaman tersebut dicabut oleh penjaga yang dibayar perusahaan. Saat terjadi penggusuran informan Bapak UD mengatakan bahwa saat itu tanaman sengon mereka telah digusur ketika sudah tiga tahun ditanam. Berdasarkan kategori gambaran komersialisasi lahan, sebesar 68.8 persen masyarakat menilai komersialisasi lahan di tiga desa dalam kategori sedang. Menurut beberapa warga baik responden ataupun informan menyatakan tanahtanah di sini adalah hasil turun temurun atau warisan dari orang tua mereka. Berdasarkan pengamatan, selama mewawancara responden secara keseluruhan tanah milik mereka adalah warisan dari orang tua. Selanjutnya tetap diteruskan ke anak-anak mereka pada nantinya. Di sisi lain harga tanah di tiga desa tersebut juga memiliki harga jual yang tinggi seperti penuturan aparat Desa Wanakerta bahwa. ”....khususya yang saya tahu tanah di desa ini cukup tinggi, mungkin karena banyak industri atau apa saya kurang tahu. Tapi harga tawarannya lumayan dibanding di desa lain....” (UC, 40 Tahun, Aparatur Desa) Penuturan aparatur desa juga didukung oleh beberapa responden yang mengetahui kondisi harga tanah. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik berinvestasi tanah di sana. Meski demikian masyarakat tidak menjualbelikan tanahya. Terkait warisan memang sebagian besar pemilik sudah tidak berada di tiga desa tersebut. Saat melakukan wawancara, para pemilik lahan berada di 40 sekitar Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya yaitu Karang Ligar, Karang Mulya, Margakarya, dan lain-lain. Meski masih ada beberapa yang masih menetap di desa tersebut. Berdasarkan penyerapan tenaga kerja non pertanian berada pada kategori sedang dengan persentase keseluruhan sebesar 65.6 persen. Hal ini ditunjukan dengan pernyataan dari salah satu responden yang memberikan penjelasan bahwa memang pasti ada banyak kesempatan kerja di pabrik atau industri di sini. Tetapi tidak mengetahui pasti jumlah berapa penawaran dan permintaan, tetapi pasti ada peluang untuk bekerja di industri. Dibandingkan dengan pertanian di sini sudah tidak bisa lagi bercocok tanam karena sudah dieksekusi oleh PT SAMP. Sehingga para masyarakat tidak bisa bekerja di lahan mereka kembali. Sesuai dengan pernyataan anggota masyarakat menjelaskan bahwa. ”... kalo kerjaan di pabrik pasti ada, sepertinya banyak. Bahkan banyak orang Jawa dan Sumatera yang merantau ke sini. Tetapi saya tidak mengetahui pasti kalau jumlahnya dan perusahaan mana yang menawarkan pekerjaan. Kalo kami sekarang akan berusaha merebut tanah yang dulunya kami garap untuk kehidupan kami...”(UD, 65 tahun, Anggota Masyarakat) Secara keseluruhan dari indikator-indikator tersebut yang dinilai berdasarkan standar deviasi dari hasil wawancara dengan kuesioner diperoleh tingkat industrialisasi di tiga desa berikut ini. (lihat Tabel 5). Tabel 5 Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Kategori Tingkat industrialisasi n % Tinggi 4 12.5 Sedang 23 71.9 Rendah 5 15.6 Total 32 100.0 Berdasarkan pengertian industrialisasi yaitu kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, produk setengah jadi, dan/ atau produk jadi menjadi produk dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Meski perusahaan PT SAMP sebagai subyek utama pihak yang dilawan masyarakat belum mendirikan untuk usaha industri di tanah sengketa tetapi langkah-langkah seperti konversi lahan sudah dilakukan. Saat ini PT SAMP baru mendirikan kantor pemasaran dengan bangunan semi permanen. Diduga memang PT SAMP terlihat memaksakan diri seperti yang dikatakan tokoh masyarakat bahwa. ”....PT SAMP itu tidak jelas perusahaanya, lihat saja kantor marketingnya. Tanpa izin mereka mendirikan bangunan di atas tanah sengketa, tanah masyarakat. Makanya bangunanya semi permanen. Saya kira mereka ingin diakui dengan membangun kantor pemasaran di sana, baru kok Bu itu....” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) 41 Hasil menunjukkan tingkat industrialisasi berada pada kategori sedang yaitu 71.9 persen. Nilai ini diukur dengan menggunakan standar deviasi untuk mengurangi bias kecenderungan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan tertentu. LSM yang kontra dengan nilai-nilai kapitalis yaitu penanaman modal dengan mengubah lahan pertanian mengeluhkan praktik tersebut banyak terjadi, khususnya di kawasan tiga desa tersebut. Meski penting untuk pertumbuhan ekonomi tetap saja mereka mengkhawatirkan rakyat kecil khususnya para petani ketika perusahaan masuk desa melakukan ekspansi industrinya. Seperti yang dikatakan oleh anggota LSM bahwa. ”...apa jadinya rakyat kecil jika semua lahan mereka untuk pembangunan-pembangunan. Memang mungkin beberapa ada yang diganti rugi, tapi untuk ke depannya tetap yang punya uang akan menang. Hal ini bukan sekedar lagi tanah yang diubah jadi pabrik tapi ada mafiamafia yang banyak merugikan masyarakat. Seperti halnya kasus ini mbak, bukan karena industri mereka yang masuk tetapi di balik itu semua yang mampu membuat kita bergerak sejauh ini...” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM) Pernyataan tersebut akan dijelaskan dalam hubungan industrialisasi dengan proses pengalihan lahan masyarakat pada bab pembahasan selanjutnya. Sejauh ini memang hasil wawancara dari kuesioner menunjukkan industrialisasi di tiga desa tergolong tinggi (lihat Bab 7). Perubahan Kepemilikan Lahan Menurut Harsono (2007), hak atas tanah dengan demikian mengandung kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai dalam arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah tertentu yang dihaki. Adapun pemakaiannya tidak mungkin terbatas pada permukaan bumi tanahnya saja. Pengukuran hak atas tanah dilakukan sebelum dan sesudah dilakukannya eksekusi lahan tiga desa oleh PT SAMP. Berikut persentase penilaian masyarakat terhadap kepemilikan lahannya Tabel 6 Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya sebelum eksekusi lahan tahun 2015 Kategori Penilaian kepemilikan lahan (sebelum) n % Tinggi 32 100.0 Sedang 0 0.0 Rendah 0 0.0 Total 32 100.0 Berikut ini perbandingan setelah dilakukannya eksekusi lahan pada tahun 2014 oleh PT SAMP (lihat Tabel 7). 42 Tabel 7 Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya sesudah eksekusi lahan tahun 2015 Kategori Penilaian kepemilikan lahan (sesudah) n % Tinggi 3 9.4 Sedang 5 15.6 Rendah 24 75.0 Total 32 100.0 Secara umum telah terdapat perubahan kepemilikan berdasarkan penilaian masyarakat. Sebanyak 29 responden mengalami penurunan penilaian terhadap hak atas tanahnya karena beberapa hal seperti tidak dapat menanam, membangun, dan menjadi jaminan di atas tanah mereka. Sebanyak 9.4 persen responden mengatakan tetap menilai mereka masih berkuasa dan berwenang atas tanah tersebut. Seperti yang dikatakan oleh responden bahwa. ”...kami adalah yang punya tanah itu Bu. Jadi kami masih bisa lakukan apapun di sana harusnya, sayang karena penjagaan yang ketat ketika saya mau menanami sesuatu di atas tanah saya dicabut. Tapi bukti kepemilikan yang kami punya sdah cukup kuat bahwa itu adalah tanah masyarakat....” (CM, 32 Tahun, Anggota Masyarakat) Meskipun masyarakat mengakui tidak bisa melakukan aktivitas di atas tanah mereka tetapi mereka tetap bertahan bahwa tanah tersebut adalah tanah masyarakat. Dari zaman pasca kemerdekaan mereka telah menempati tanah di sana. Bahkan terdaftar dalam buku kepemilikan tanh di desa dan tetap membayar pajak setiap tahunnya. Ikhtisar Kronologi lahan tiga desa di Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Jawa Barat merupakan proses panjang yang sudah berlangsung pasca kemerdekaan. Lahan di tiga desa tersebut merupakan lahan partikelir Tegalwaroe Landen yang kemudian sejak kepemimpinan Soekarno dinasionalisasikan. Tanah tersebut termasuk ke dalam tanah usaha, artinya tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah tersebut. Tanah negara bebas ini kemudian dimohon menjadi milik melalui redistribusi maka turunlah SK Menteri Agraria Nomor 30/Ka/62 tanggal 8 November 1962 sebagai obyek land reform. Namun seiring pemerintahan orde lama runtuh kemudian digantikan oleh kepemimpinan Soeharto, upaya-upaya redistribusi lahan mulai disampingkan. Pembangunan melalui investasi modal dan industrialisasi menjadi arus utama dalam pemerintahan orde baru. Pemerintah masih sempat untuk meminta perincikan lahan di sana . Tujuannya adalah mengeluarkan girik untuk masyarakat dan Buku C Desa untuk pemerintahan desa. Tetapi pada tahun 1974 datang PT Dasa Bagja ke Telukjambe Barat untuk meminjam surat tanah. Warga setempat menyebutnya girik atau surat pembayaran pajak tanah. PT Dasa Bagja 43 menginginkan girik tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya pada tahun 1974. Saat itu kepala desa yang menjadi pusat negosiasi antara kedua belah pihak. Akhirnya PT Dasa Bagja memperoleh lahan tersebut dengan status sewaan. Masa kontrak PT Dasa Bagja selesai tetapi mereka tidak mengembalikan girik tersebut kepada masyarakat. Melalui himbauan kepala desa setempat bahwa masyarakat sudah boleh menggarap lahannya masing-masing meski belum ada girik. Saat itu proses panjang pengalihan ke perusahan-perusahaan lain terjadi termasuk kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582 hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13 miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Inilah awal mula PT SAMP terlibat hingga saat ini yang berkedok juga dengan Agung Podomoro Land. Hingga pada akhirnya setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan. Puncak eksekusi tahun 2014 yang menggunakan alat berat terjadi. Hubungan antara masyarakat dan perusahaan semakin bergejolak dan belum menemukan titik terang hingga saat ini. Di balik terkenal Kabupaten Karawang dengan lumbung padinya, di sisi lain pertumbuhan industri sangat pesat. Letak geografis yang menguntungkan yaitu dekat dengan ibu kota negara, masih banyak lahan kosong, serta akses moda transportasi yang mudah membuat investasi perusahaan di sini menjadi suatu kawasan. Berkaitan dengan data kuantitatif yang ditanyakan kepada responden menyatakan bahwa tingkat industrialisasi di Karawang pada kategori tinggi. Konversi lahan, komersialisasi lahan, dan penyerapan tenaga kerja menjadi indikator untuk industrialisasi lahan. Hasil menunjukkan bahwa hasil konversi lahan berada di kategori tinggi sedangkan komersialisasi lahan dan penyerapan tenaga kerja pada kategori sedang. Selain bahasan mengenai industrialisasi tentunya hal ini terkait dengan kepemilikan lahan. Melihat kronologi dan indikator kuantitatif kasus industrialisasi tidak terlepas dengan kepemilikan lahan. Hal ini diukur secara kuantitatif bagaimana penilaian masyarakat mengenai kepemilikan lahannya. Momentum ukurannya sebelum dan sesudah eksekusi lahan yang terjadi pada tahun 2014. Masyarakat menyatakan bahwa saat ini penilaiannya terhadap lahan tidak setinggi dulu. Alasan penilaian berubah pemilikan lahan adalah masyarakat tidak bisa memanfaatkan secara optimal seperti membangun sesuatu, menanam tanaman, dan menjadi jaminan. Hingga saat ini masyarakat tetap berusaha untuk meyakinkan pihak-pihak terkait bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan dan masih membayar pajak setiap tahunnya. 44 45 FAKTOR-FAKTOR DAN STRATEGI GERAKAN PETANI Bab ini akan meninjau sejauhmana faktor-faktor yang mendorong strategi gerakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melawan pengalihan kepemilikan lahan yang dilakukan PT SAMP. Faktor-faktor yang akan dianalisis terdiri dari dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari karakteristik setiap individu, terdiri dari tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok, dan jumlah media informasi yang didapatkan. Sedangkan faktor eksternal yaitu hal-hal yang mendorong masyarakat bertindak karena dorongan dari luar diri mereka, yaitu adanya kesempatan politik dan terdapat dukungan organisasi lokal dalam aksi mereka. Penilaian ini dilakukan melalui pengisian kuesioner oleh responden dan wawancara mendalam terhadap informan. Kecuali faktor eksternal yang diukur berdasarkan wawancara mendalam dan diskusi dengan beberapa informan. Setiap orang cenderung memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang berbeda. Keterlibatan seseorang dalam suatu program atau kegiatan tergantung pada dorongan masing-masing. Khususnya dalam gerakan petani ini dalam mempertahankan tanahnya. Beberapa pertanyaan yang telah disusun dari variabel akan disampaikan sesuai hasil penelitian di lapangan. Faktor Internal Faktor internal ada dalam setiap individu, terkait dengan karakteristik dirinya. Semakin tinggi faktor internal yang ada dalam dirinya akan mendorong individu untuk melakukan aktivitas dalam suatu kegiatan. Responden ditanya beberapa hal terkait dengan tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok, dan jumlah media informasi yang didapatkan. Berikut persentase dari setiap indikator. Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Kategori Tingkat pendidikan n % Tinggi 11 34.4 Sedang 15 46.9 Rendah 6 18.8 Total 32 100.0 Berdasarkan tabel di atas bahwa tingkat pendidikan masyarakat pada kategori sedang sebesar 46.9 persen. Penentuan kategori disesuaikan dengan ratarata pendidikan responden atau berdasarkan data lapang (emik). Data ini berjenis ordinal dan bersifat kategori sehingga penentuannya berbeda dari data numerik biasanya. Indikator tingkat pendidikan berdasarkan pendidikan terakhir yang ditempuh oleh responden. Dalam kuesioner terdapat enam jawaban dari tingkat pendidikan yaitu tidak tamat Sekolah Dasar (SD), tamat SD, Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Perguruan Tinggi, dan lainnya. Hasil jawaban responden terkait pendidikan yang paling tinggi ditempuh adalah 46 SMA, sedangkan yang paling rendah adalah tidak tamat SD. Jawaban yang ada dari responden bervariasi sejumlah empat. Maka perhitungan jumlah variasi jawaban dikalikan jumlah sampel yaitu 32 orang. Hasilnya adalah 128, lalu hasil tersebut menjadi pembagi skor terendah dan skor tertinggi yaitu 1 (tidak tamat SD) dan 4 (SMA). Perbandingan yang diperoleh adalah 25:100 selanjutnya menjadi range sebesar 75. Untuk menentukan interval sesuai kategori yang akan dibuat, kasus ini menggunakan tiga kategori. Sehingga range dibagi tiga menghasilkan selang 25 setiap kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Nilainilai setiap tingkatan yaitu tidak tamat SD memiliki nilai 25; SD memiliki nilai 50; SMP memiliki nilai 75; dan SMA memiliki nilai 100. Rentang kategori yang didapatkan adalah tinggi jika nilainya 75 ≤ x ≤ 100; sedang jika nilainya 50 ≤ x < 75; dan rendah jika nilainya 25 ≤ x < 50. Cara ini dipilih karena untuk menghindari ketidaksesuaian teori dengan kondisi lapang yang sebenanya karena obyek penelitian memiliki karakteristik tersendiri. Selain itu juga bermanfaat untuk menggambarkan penyebaran dalam setiap kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan pernyataan responden terkait tingkat pendidikan bahwa. “…sekolah mah dulu ya sebisanya neng, saya saja tidak tamat SD tapi banyak belajar dari yang lain. Alhamdulillah masih bisa membantu masyarakat di sini sebagai RT toh meski sekolah engga lulus. Karena sekolah dulu sama sekarang beda neng, sekarang mah apapa istilahnya lebih mudah…” (KS, 63 Tahun, Ketua RT) Secara umum mereka berada pada tingkat SD dan SMP, adapun yang paling tinggi adalah SMA yaitu sebesar 34.4 persen. Melihat kembali hasil wawancara sebagian lulusan SMA memiliki pengaruh yaitu aparat desa dan tokoh. Selain itu mereka yang berpendidikan tinggi adalah golongan muda, sekitar usia 30 dan 40 tahun. Tetapi sesuai pernyataan di Bapak KS bahwa masyarakat dapat belajar dari luar pendidikan formal. Selanjutnya adalah gambaran jumlah dari beban keluarga para pemilik tanah. Para responden harus menjawab jumlah keluarga yang berada dalam satu Kartu Keluarga (KK). Indikator ini juga menggunakan data berdasarkan pengamatan di lapangan (emik). Langkah awal adalah menentukan rata-rata nilai dan simpangan bakunya. Menggunakan rumus Microsoft Excell 2007 diperoleh rata-rata nilai sebesar 4.125 dan simpangan baku sebesar 1.3137. Untuk mengetahui batasan kategori rendah dan tinggi, berarti jika kategori tinggi ratarata nilai dijumlahkan dengan simpangan baku yaitu 5.4387 dibulatkan menjadi 5. Sebaliknya jika kategori rendah berlaku pengurangan antara rata-rata nilai dengan simpangan baku yaitu 2.8113 dibulatkan menjadi 3. Pembulatan dilakukan karena dalam satuan jiwa. Berhubung akan dibuat tiga kategori maka dikatakan tinggi apabila 5 < x; sedang apabila 3 ≤ x ≤ 5; dan rendah apabila x < 3. Sehingga diperoleh hasil data berikut ini. 47 Tabel 9 Jumlah dan persentase beban keluarga responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Kategori Jumlah beban keluarga n % Tinggi 4 12.5 Sedang 24 75.0 Rendah 4 12.5 Total 32 100.0 Secara umum jumlah beban keluarga para pemilik lahan berada pada kategori sedang sebesar 75 persen. Artinya mereka mempunyai anggota keluarga antara tiga sampai lima orang. Jumlah beban keluarga menjadi faktor internal karena berdasarkan penelitian sebelumnya seseroang mengikuti kegiatan melihat seberapa banyak waktu luang setelah urusan untuk keluarga. Selanjutnya adalah gambaran dari indikator jumlah dan pengalaman berkelompok. Pengalaman berkelompok terdiri dari keanggotaan formal maupun informal. Indikator ini juga menggunakan data berdasarkan pengamatan di lapangan (emik). Langkah awal adalah menentukan rata-rata nilai dan simpangan bakunya. Menggunakan rumus Microsoft Excell 2007 diperoleh rata-rata nilai sebesar 1.093 dan simpangan baku sebesar 0.856. Untuk mengetahui batasan kategori rendah dan tinggi, berarti jika kategori tinggi rata-rata nilai dijumlahkan dengan simpangan baku yaitu 1.949 dibulatkan menjadi 2. Sebaliknya jika kategori rendah berlaku pengurangan antara rata-rata nilai dengan simpangan baku yaitu 0.237 dibulatkan menjadi 1. Pembulatan dilakukan karena dalam satuan mutlak kelompok. Berhubung akan dibuat tiga kategori maka dikatakan tinggi apabila 2 < x; sedang apabila 1 ≤ x ≤ 2; dan rendah apabila x < 1. Sehingga diperoleh hasil data berikut ini. Tabel 10 Jumlah dan persentase pengalaman berkelompok responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Kategori Jumlah dan pengalaman berkelompok n % Tinggi 2 6.3 Sedang 22 68.7 Rendah 8 25.0 Total 32 100.0 Secara umum jumlah dan pengalaman berkelompok para pemilik lahan pada kategori sedang yaitu 68.7 persen. Artinya masyarakat umumnya mengikuti satu atau dua jenis kegiatan berkelompok baik secara formal maupun informal. Kegiatan berkelompok formal yaitu aparat desa, Ketua RT/RW, BPD, LSM, PKK atau lainnya. Sedangkan kegiatan berkelompok informal adalah arisan, majelis taklim, dan berbagai kumpulan lainnya. Hasil dari responden ada yang mengikuti pemerintahan desa, Ketua RT/RW, arisan, pengajian, dan berbagai kegiatan LSM seperti organisasi petani dan Angkatan Muda Siliwangi (AMS). Selanjutnya adalah gambaran dari indikator jumlah penyebaran media informasi yang didapatkan oleh masyarakat. Zaman sekarang berbagai media dapat dengan mudah diakses. Oleh karena itu sejauh mana keterdedahan 48 masyarakat dalam mendapatkan informasi tentang berbagai kejadian yang ada di sekitar mereka. Pilihan jawaban terdiri dari radio, televisi, surat kabar, film, dan lainnya. Indikator ini juga menggunakan data berdasarkan pengamatan di lapangan (emik). Karena belum tentu standar keterdedahan dari peneliti sama dengan apa yang didapatkan masyarakat. Langkah awal adalah menentukan ratarata nilai dan simpangan bakunya. Menggunakan rumus Microsoft Excell 2007 diperoleh rata-rata nilai sebesar 1.937 dan simpangan baku sebesar 0.840. Untuk mengetahui kategori rendah dan tinggi, berarti jika kategori tinggi rata-rata nilai dijumlahkan dengan simpangan baku yaitu 2.777 dibulatkan menjadi 3. Sebaliknya jika kategori rendah berlaku pengurangan antara rata-rata nilai dengan simpangan baku yaitu 1.097 dibulatkan menjadi 1. Pembulatan dilakukan karena dalam satuan mutlak kelompok. Berhubung akan dibuat tiga kategori maka dikatakan tinggi apabila 3 < x; sedang apabila 1 ≤ x ≤ 3; dan rendah apabila x < 1. Sehingga diperoleh hasil data berikut ini. Tabel 11 Jumlah dan persentase penyebaran media informasi responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Kategori Jumlah penyebaran media informasi n % Tinggi 1 3.1 Sedang 31 96.9 Rendah 0 0.0 Total 32 100.0 Secara umum jumlah penyebaran media informasi para pemilik lahan pada kategori sedang yaitu 96.9 persen. Pada kategori rendah sebesar 0 persen dimungkinkan karena sekarang kemudahan informasi yang didapatkan oleh masyarakat. Seperti pernyataan responden bahwa. “…sekarang pun dari mulut ke mulut informasi apapun sangat mudah tersebar neng. Kadang pun banyak kumpulan yang membuat masyarakat jadi tahu informasi apa yang terjadi saat ini. Apalagi sekarang ada sms atau internet yang memudahkan kita. Meski engga banyak orang tua di sini yang ngerti sebenernya…” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat) Perkembangan media yang cukup pesat meski beberapa warga terutama kalangan orang tua seperti pernyataan Bapak UD tidak begitu bisa mengoperasikan internet tidak membatasi penyebaran media informasi. Saat pertemuan juga menjadi salah satu sarana bagi masyarakat untuk berbagi informasi. Seperti pengajian dan kumpulan bapak-bapak menjadi sarana bagi masyarakat tiga desa. Beberapa responden juga mengakui dengan begitu mereka jadi mengetahui dan dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di luar. Secara umum apabila dijadikan satu maka faktor-faktor internal yang mendorong masyarakat melakukan kegiatan terlihat pada tabel berikut ini. 49 Tabel 12 Jumlah dan persentase dorongan faktor internal responden di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015 Kategori Tingkat dorongan faktor internal n % Tinggi 6 18.8 Sedang 21 65.6 Rendah 5 15.6 Total 32 100.0 Dorongan yang dimiliki oleh masyarakat dari setiap individu secara umum termasuk dalam kategori sedang sebanyak 65.6 persen. Dari indikator-indikator yang telah diketahui persentasenya yaitu tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah penyebaran media informasi, dan jumlah dan pengalaman berkelompok kemudian digabungkan menjadi satu yaitu tingkat dorongan faktor internal. Karakteristik dalam individu dari penelitian sebelumnya mengatakan berhubungan dengan aktivitas kegiatan seseorang. Faktor Eksternal Faktor-faktor eksternal berdasarkan sejarah perlawanan petani di Indonesia yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam gerakan adalah kesempatan politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan terjadinya protes berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang ada disuatu kota. Analisis faktor eksternal diperoleh melalui wawancara mendalam beberapa informan. Kesempatan politik artinya gerakan tersebut mampu mengantarkan seseorang dalam tataran politik atau pembuat kebijakan. “…untuk itu sih kami bergerak sudah dalam bidang apapun Mbak. Bahkan banyak para pimpinan di atas yang turut serta mendukung kami seperti Kapolres dan pihak pengadilan. Tapi ya sekarang mereka diturunkan,Kapolres saja cuma 6 bulan, biasa permainan antara kongkalikong yang di atas. Masyarakat sendiri pasti kalah Mbak kalo mau ke politik tapi tidak punya modal. Makanya beberapa pihak yang punya hati lah yang membela kami atas kemauan sendiri...” (BC 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) Pihak masyarakat secara pribadi tidak ada kesempatan dalam pembuatan keputusan. Tetapi beberapa pihak dari pemerintah seperti Kapolres Karawang dan beberapa pihak pengadilan mendukung masyarakat. Dari usulan yang dilakukan oleh masyarakat ke pemerintah daerah sudah pasti diterima bahkan berkali-kali tetapi tidak ada aksi nyata untuk menyelesaikan masalah. Pemerintahan di tiga desa turut serta saat ini berpihak kepada masyarakat. Seperti yang disampaikan oleh informan bahwa. “…semua pihak desa mendukung masyarakat termasuk lurahnya. Apalagi lurah Wanakerta. Mereka mendukung dalam mengakui kepemilikan lahan oleh warga dengan bukti buku bayar pajak. Mereka mengetahui secara pasti daftar nama...” (KS, 63 Tahun, Anggota Masyarakat) 50 Peran keterlibatan pemerintah desa yaitu mengetahui bahwa lahan-lahan dalam blok-blok sengketa di tiga desa adalah milik masyarakat. Tetapi saat dikonfirmasi kepada aparatur desa setempat mereka sebagian tidak mengetahui secara jelas sengketa lahan tersebut. Aparatur desa yang dianggap paling mengerti adalah kepala desa. Hal ini dimungkinkan banyak aparatur desa yang masih baru sedangkan kasus ini sudah mulai sejak lama. Seperti yang disampaikan oleh aparatur Desa Wanakerta bahwa. “…saya sendiri di sini tidak mengetahui banyak kasus ini Bu. Saya memang ditugaskan untuk menarik pajak orang-orang yang punya lahan di sini dan ini adalah daftar namanya. Mungkin yang lebih tahu adalah lurah karena sudah lama beliau tahu dan kadang ada kumpulan terkait kasus ini...” (UC, 40 Tahun, Aparatur Desa) Peranan kepala desa memang terlihat dalam upaya penyelesaian masalah sengketa lahan ini. Bahkan ada kepala desa yang menjadi saksi di pengadilan atas kasus ini. Di sisi lain mereka juga harus bersikap profesional dalam penyelesaian masalah antara perusahaan dan masyarakat. Para kepala desa turut serta dalam kasus ini karena mengetahui bahwa masyarakat terdaftar namannya dalam bukti buku bayar pajak desa. Sejauh ini para aparatur desa secara umum berusaha bersikap melayani masyarakat tetapi juga tidak berpihak ke salah satu artinya melihat kondisi yang terjadi mereka berusaha bersikap profesional. Dukungan dari beberapa organisasi lokal sudah cukup banyak seperti dari Serikat Petani Karawang (Sepetak), Lembaga Bantuan Hukum (LBH), mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Melalui dukungan ini cukup berarti bagi masyarakat karena awal mula bertahan dalam memperjuangkan tanah mereka karena ada pihak-pihak yang membela masyarakat. Kalau masyarakat sendiri tidak akan banyak berpengaruh, bahkan sudah mendapat dukungan dari organisasi masyarakat masalah ini tak cukup terselesaikan. Pada kasus ekesukusi lahan tahun 2014 masyarakat berjumlah 500 orang terdiri dari banyak pihak. Oleh karena itu dukungan-dukungan tersebut sangat berarti bagi masyarakat. Alasan mengenai pihak-pihak tersebut mendukung masyarakat adalah merasa peduli dan sudah menjadi kewajiban kegiatan mereka dalam membela masyarakat. Salah satunya adalah Sepetak, berikut penuturan anggota Sepetak. “…Sepetak di sini berusaha mengadvokasi masyarakat yang lahannya terampas oleh perusahaan. Bahkan kami seringkali menjadi sasaran balasan dari pihak yang menentang kami. Sekret kami pernah dilempari peledak kecil di atas genteng. Tapi ya itu masalah kecil, toh nanti tinggal lapor kalo kayak gitu siapa coba yang berusaha menyerang. Kami semua tergabung di Sepetak ingin membantu fasilitasi masalah ini sesuai visi dan misi kami...” (NG, 32 Tahun, Anggota Sepetak) Bahkan Sepetak telah menganalisis kasus ini dari kronologi konflik dan penguasaan lahan 350 hektar tersebut. Mereka memaparkan aktor-aktor yang terlibat dalam konflik lahan 350 hektar. Lahan yang diakui oleh PT SAMP memiliki luasan 350 hektar ternyata setelah dicek kembali yaitu 286 hektar. PT SAMP mengakui lahan tersebut sudah dibebaskan dari para penggarap dan 51 menjadi milik PT SAMP. Akan tetapi di dalamnya terdapat Amen yaitu pemilik lahan 140 hektar, PT Canggih yaitu perusahaan yang memiliki lahan 20 hektar. Berarti sisanya sekitar 120 hektar yang 70 hektar pernah berkonflik langsung dengan PT SAMP. Awal mulanya mereka menang mempertahankan lahannya. Tetapi PT SAMP mengajukan gugatan sehingga pada akhirnya PT SAMP menang dan langsung mengeksekusi. Di dalam 70 hektar tersebut terdapat 48 orang petani. Orang-orang yang mempeloporinya atau disebut biong yaitu Amandus, mantan anggota DPRD Karawang yang mempelopori para petani di Telukjambe Barat untuk melawan PT SAMP. Selain Amandus juga ada H. Dodo, H. Minda, Poncos, dan WK. Sepetak mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah orang dibalik Amen yang dikerjakan untuk mengajak para petani melawan PT SAMP. Namun kondisi para petani di sana juga terjebak, dari pada mereka harus tergusur melawan PT SAMP akhirnya mereka mengikuti Amandus. Disinyalir jika nanti Amandus dan kawan-kawan (dkk) menang, perlahan-lahan para petani akan dibujuk untuk menjualkan tanahnya ke Amen. Sedangkan Sepetak awal mulanya hanya mengadvokasi 35 orang petani di Margamulya yang memiliki lahan seluas 43 hektar. Tetapi mereka berpikiran karena kuatnya tekanan dari pihak lawan akhirnya mereka bersekutu dengan para petani yang tergabung dengan Amandus dan kawan-kawan. Sehingga para petani yang difasilitasi meluas ke tiga desa. Bukan tetapi Sepetak mendukung upaya Amen di balik Amandus, mereka berpihak kepada para petani terutama yang terjebak dengan tekanan PT SAMP dan tidak punya pilihan untuk bertahan. Jika suatu saat nanti PT SAMP yang telah diakusisi oleh Agung Podomoro Land kalah, artinya pihak Amandus beserta Amen menang maka suatu saat Sepetak dan para petani akan berjuang benar-benar mempertahankan tanahnya dari Amen. Di sini PT Canggi tidak terlibat dalam koflik lahan. Selama ini yang sering disiarkan di media pihak yang terlibat adalah petani, PT SAMP, Agung Podomoro Land, dan Amen. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini yaitu petani, PT SAMP, Agung Podomoro Land, Amandus beserta biong, Amen, Sepetak, dan masyarakat sekitar. Kasus ini bukan hanya persoalan konflik lahan biasa, sudah berlangsung sejak lama dan banyak pihak yang terlibat. Para petani mengalami kondisi terjebak dengan perlawanan PT SAMP. Akhirnya Amandus dkk berusaha membantu petani melawan PT SAMP, namun di baliknya ada Amen yang disinyalir menginginkan lahan petani untuk dibelinya. Sepetak berusaha tetap di pihak para petani untuk mempertahankan lahan miliknya dari para pemilik modal (borjuis). Hal tersebut yang menggambarkan kuatnya dukungan beberapa pihak dalam kasus pembelaan masyarakat. Bahkan selain organisasi terdapat pihak-pihak pengacara ahli yang terlibat. “…akhir tahun kemarin Pak Johsons pengacara kondang terlibat dan ingin membantu masyarakat. Secara pribadi Pak Johnsons merasa kasihan kenapa kasus ini tidak selesai dan apa yang membuatnya. Pak Johsons itu pengacara terkenal yang dulu pernah nyelesain masalah Rawagede bahkan tarifnya miliaran. Sekarang beliau bergabung dan mulai 52 mendalami satu per satu kejadian kasus ini...” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) Selain Bapak Johnsons masih terdapat juga bebrapa pengacara yang terlibat mendukung petani yaitu Moris, Amandus, dan pengacara-pengacara dari LBH. Masyarakat merasa terbantu dengan adanya dukungan ini. Seringkali mereka melakukan pertemuan dengan pengacara-pengacara tersebut yang mengatur rencana ke depan untuk tetap mempertahankan lahan masyarakat. Kalangan dari mereka berusaha membantu atas dasar pribadi masing-masing untuk menolong para masyarakat. Jika membayar pengacara tentunya masyarakat mampu saja tetapi untuk kontrak berapa lama pasti akan tidak sanggup masyarakat apalagi saat ini materi yang diandalkan. Strategi Gerakan Petani Gerakan-gerakan petani ini merupakan salah satu bentuk dari gerakan sosial (Handayani 2004). Gerakan tersebut bersifat sangat lokal, sporadis, dan tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Mereka memiliki tujuan dalam satuan kelompok gerakan. Pada tahun 1912 terjadi pengorganisasian petani secara masif di Sumatera, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera. Mengamati kasus tiga desa termasuk ke dalam suatu gerakan sosial karena memiliki sekumpulan masyarakat khususnya para petani yang lahannya terkena sengketa dengan PT SAMP untuk mencapai tujuan mereka. Mempertahankan kepemilikan lahan adalah tujuan bersama mereka. Secara aksiaksi yang mereka lakukan telah mensyaratkan untuk dikatakan sebagai gerakan. Berbagai aksi yang terlihat menonjol adalah proses menghadang eksekusi lahan tahun 2014 dengan aparat. Tindakan mereka juga bukan dasar organisasi formal yang memiliki struktur hirarki. Mereka bertindak atas spontanitas perampasan lahan oleh PT SAMP. Tetapi bukan berarti tidak ada organisasi atau pihak formal yang mendukung masyarakat. Beberapa organisasi formal juga terlibat dalam aksi gerakan ini. Secara kuantitatif hasil dari wawancara kuesioner menggambarkan bahwa (lihat Tabel 13). Tabel 13 Jumlah dan persentase strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Kategori Strategi gerakan petani n % Strategis 26 81.3 Cukup 6 18.7 Tidak Berstrategi 0 0.0 Total 32 100.0 Secara umum masyarakat menagkui bahwa mereka menyiapkan strategi untuk melakukan gerakan. Hasil dari Tabel 13 menunjukkan gerakan petani berada pada kategori rstrategis sebesar 81.3 persen. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan bahwa. 53 “...kami semua siapin dan ikut beberapa organisasi jadi lebih teratur dalam aksi, kejadian kemarin saja yang tahun 2014 kami 500 orang aksi ya tentu ada pengorganisasian. Hal lain juga misalnya ada kumpulankumpulan kecil untuk diskusi. Semua usaha pun sudah kami lakukan baik ke pemerintah” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) Mengenai bentuk dan sifat gerakan masyarakat telah melakukan berbagai upaya baik aksi massa maupun hukum. Bahkan secara hukum mereka mendapatkan bantuan dari lembaga hukum berupa pengacara. Gerakan ini sungguh-sungguh dilakukan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Berbagai upaya seperti mengadukan ke pemerintah daerah hingga pusat telah dilakukan. Tetapi melawan PT SAMP yang berkedok dengan Agung Podomoro Land cukup sulit bagi mereka untuk membuktikan bahwa hak atas tanah tetap berada bagi masyarakat. Saat isu ini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah mereka akan tetap bertahan dan tidak ingin selanjutnya proses ini berlangsung kepada anak-anak mereka. Agenda ke depan setelah pengacara Bapak Johnsons bergabung dengan masyarakat adalah mengajukan surat kuasa khusus yang diwakili oleh bebrapa ahli hukum untuk membuktikan tanah-tanah dan kepemilikan mereka. Masyarakat mengakui tanpa bantuan hukum dan organisasi mungkin tidak akan dapat mengajukan ke tingkatan yang lebih tinggi dalam proses pengaduan. Bahkan banyak muncul sukarelawan yang ingin membanu kasus ini baik dari organisasi masyarakat, mahasiwa Universitas Negeri Karawang, LSM dan ahli hukum. Proses perlawanan masyarakat tidak bisa dikatakan sebentar. Hampir 20 tahun lebih bergelut dengan masalah ini tentu menguras emosi dan amarah yang mendalam hingga pada puncaknya tahun 2014 telah terjadi eksekusi. Proses tersebut dirasa masyarakat telah merugikannya. Berbagai tuntutan masih berjalan yaitu saat hari tani 24 September 2015 mengadakan aksi ke Kantor Pemerintah Daerah dan ke Senayan. Mereka membawa kasus ini ke dalam panggung aksi demo. Aksi masyarakat tersebut didukung beberapa pihak yaitu Sepetak, pengacara, dan mahasiswa. Usaha mempengaruhi pelaksana kebijakan pun sudah dilaksanakan kepada Bupati Karawang hingga ke Presiden Republik Indonesia. Beberapa pihak di luar petani pun turut serta mendukung minimal melalui tulisan di berbagai media. Bahkan salah satu informan mengatakan untuk tidak mudah percaya dengan tulisan media mengenai kasus ini kecuali alamat-alamat akses internet tertentu yang berbicara fakta. Perlawanan ini dirasa masyarakat terorganisir dengan baik dan memiliki sifat-sifat tanpa pamrih antar satu sama lain. Maksud terorganisir adalah adanya pertemuan, rapat, silaturahim antar berbagai masyarakat dan pihak yang pro masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengatur strategi ke depan yang akan dilakukan. Selain itu juga mengevaluasi dan mengetahui perkembangan saat itu. Tetapi mereka tidak berada dalam payung organisasi atau kelembagaan formal. Bagi para petani atau masyarakat yang ingin bersama dipersilakan untuk bergabung. Hubungan dalam gerakan juga tidak mengenal pamrih artinya masyarakat dan pihak pro masyarakat bergerak bersama untuk memperjuangkan kembali kepemilikan lahan masyarakat. 54 Ikhtisar Tentu setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda. Keterlibatan seseorang dalam suatu program atau kegiatan tergantung pada dorongan masingmasing. Oleh karena itu, dorongan seseorang perlu dikaitkan dengan keterlibatanya sehingga dapat diketahu apa saja yang bisa mendorong seseorang untuk beraktivitas. Khususnya dalam gerakan masyarakat yang berada di tiga desa yaitu Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya dalam melawan perusahaan yang melakukan pengalihan lahan. Dorongan ini bisa disebut faktor, terdapat dua yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari diri individu, sedangkan faktor eksternal berasal dari luar atau lingkungan sekitar. Hasil menunjukkan bahwa faktor internal masyarakat berada dalam kategori sedang. Beberapa indikator yaitu tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok, dan jumlah penyebaran media informasi menggunakan ukuran sesuai kondisi lapang. Hal ini untuk menghindari ketidaksesuaian antara teori dan kondisi lapang. Sedangkan untuk faktor eksternal berdasarkan hasil wawancara menyatakan banyak dukungan dari berbagai pihak kepada masyarakat. Dukungan datang dari LSM, ormas, organisasi petani, mahasiswa, dan pengacara. Mereka mengakui dukungan tersebut sangat berarti bagi mereka karena dapat membantu proses hukum. Apabila mengandalkan kemampuan masyarakat sendiri yang rata-rata berpendidikan sedang dirasa kurang. Melalui dukungan tersebut mereka sering mengadakan pertemuan dan berdiskusi strategi yang akan dirancang. Bahkan akhir tahun 2015 ada pengacara terkenal yang turut bergabung dengan masyarakat. Beberapa dukungan yang berpihak kepada masyarakat atas dasar kemauan sendiri dan merasa peduli dengan kasus ini. Sedangkan untuk kesempatan poitik yang ada, kepala desa mendukung masyarakat hal ini dibuktikan dengan mengakui kepemilikan tanah atas masyarakat. Tetapi aparatur desa lainnya berusaha profesional. Masyarakat untuk akses ke dalam perpolitikan tidak ada mungkin hanya sebatas menyampaikan aspirasi dan perbandingan kepada tingkatan tertinggi. Hingga saat ini pun masyarakat masih tetap berusaha menempuh berbagai jalur hukum. Strategi yang telah masyarakat lakukan adalah berbagai upaya baik secara hukum, aksi, aliansi, dan advokasi. Semua usaha tersebut telah dilakukan masyarakat tetapi belum membuahkan hasil. Padahal secara kuantitatif mereka sangat berstrategi baik dari pengorganisasian maupun tindakannya. Tetapi mereka menyangka karena kuatnya permainan penguasa modal dan politik yang membuat kasus ini belum berakhir dan merugikan masyarakat. 55 HUBUNGAN STRATEGI GERAKAN PETANI DENGAN INDUSTRIALISASI, PENGALIHAN LAHAN DAN FAKTOR INTERNAL Peneliti ingin mengkaji hubungan seluruh variabel melalui uji statistik menggunakan software SPSS versi 21. Uji statistik melibatkan lima variabel yaitu tingkat industrialisasi, proses pengalihan kepemilikan lahan, tingkat dorongan faktor internal, dan strategi gerakan petani. Hipotesis yang akan diuji adalah: 1. Terdapat hubungan antara tingkat industrialisasi yang tinggi dengan perubahan kepemilikan lahan. 2. Terdapat hubungan perubahan kepemilikan lahan dengan strategisnya gerakan petani. 3. Terdapat hubungan dorongan faktor internal yang tinggi dengan strategisnya gerakan petani. Hubungan ketiga hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan uji korelasi rank spearman. Penelitian ini hanya menghitung gambaran tingkat industrialisasi, perubahan kepemilkan lahan, dorongan faktor internal, dan strategi gerakan petani. Tidak menganalisis maupun mengolah data yang tidak ada hubungannya dengan gambaran yang tidak sesuai dengan hal tersebut. Hubungan Tingkat Industrialisasi dengan Perubahan Kepemilikan Lahan Tingkat industrialisasi yang tinggi di tiga desa diketahui berdasarkan hasil kuesioner yang indikator-indikator telah disusun dalam definisi operasional. Sedangkan perubahan kepemilikan lahan dilihat dari sebelum dan sesudah tepatnya saat eksekusi lahan pada tahun 2014. Hasil menyatakan terdapat perubahan kepemilikan lahan, artinya 100 persen responden menyatakan kepemilikan lahan mereka sangat tinggi. Tetapi sekarang mulai rendah karena beberapa indikator tidak terepenuhi di antaranya membangun di atas lahan, menanam di atas lahan, sebagai jaminan utang, sebagai tanah wakaf. Hasil analisis uji korelasi pada Tabel 14 akan menjelaskan hubungan tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan. 56 Tabel 14 Hasil uji statistik hubungan tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan Correlations Tingkat Perubahan industrialis kepemilika asi n lahan Correlation 1.000 .156 Coefficient Tingkat industrialisasi Sig. (2-tailed) . .395 Spearman's N 32 32 rho Correlation .156 1.000 Perubahan Coefficient kepemilikan lahan Sig. (2-tailed) .395 . N 32 32 Berdasarkan hasil uji kolerasi dari hubungan tingkat industriaisasi dengan perubahan kepemilikan lahan dengan nilai signifikansi 0.395. Nilai ini ternyata lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0.395 > 0.05). Dari output tersebut dapat disimpulkan bahwa karena signifikansi > 0.05, maka H0 diterima sehingga tidak terdapat hubungan antara tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan. Nilai korelasi pada siginifikan tersebut adalah 0.156 yang artinya tidak berhubungan. Kondisi di lapang memang Karawang memiliki pusat industri yaitu KIIC, tetapi industri-industri tersebut berjalan dengan baik tanpa ada gugatan masyarakat. Seperti halnya PT Maligi yang penah berurusan dengan lahan masyarakat tetapi karena proses pembebasan yang baik akhirnya proses usaha industri tersebut tidak terdapat kendala. Perubahan kepemilikan lahan selama ini yang terjadi lebih pada proses hukum yang tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Seperti pernyataan yang disampaikan informan bahwa. “...bahwa semata-mata kasus ini bukan hanya urusan perusahaan yang datang kemari. Tetapi urusan dia yang belum sesuai dengan masyarakat. Tiba-tiba saja negerampas lahan kita. Padahal dia jual beli, ganti rugi, bahkan bukti kepemilikan. Urusan persoalan ini sangat panjang Mbak. Jadi tidak hanya adanya pembangunan dan lain-lain tetapi urusan hukum dan persoalan merampas yang belum diselesaikan SAMP” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM) Pernyataan tersebut mengargumentasi bahwa persoalan masuknya industri ke desa bukan berarti langsung mengakibatkan perubahan status kepemilikan lahan. Bahkan beberapa masyarakat masih menyatakan bahwa tanah di sana adalah milik mereka. Tetapi saat ini mereka tidak bisa memanfaatkan secara optimal seperti dulu sebelum dieksekusi. Pengalihan lahan dari perusahaan ke perusahaan lainya sesuai pembahasan pada kronologi lahan tiga desa merupakan proses rumit yang mengesampingkan girik atau bukti kepemilikan warga. Berawal dari PT Dasa Bagja yang menyewa lahan dengan membawa girik adalah awal proses sengketa lahan terjadi hingga jatuh kepada PT SAMP. Perusahaan yang 57 diakuisisi sekitar 50 persen oleh Agung Podomoro Land tiba-tiba melakukan pengajuan kepada Gubernur Jawa Barat untuk melakukan pembebasan. Prosesproses tersebut yang membuat masyarakat geram dan tidak menerima. Hingga pada puncaknya saat eksekusi lahan dengan menggunakan alat berat dan langsung membabi kebun kayu sengon milik warga. Mulai saat itu secara pasti masyarakat tidak lagi bisa menyentuh tanah tersebut. Sempat beberapa responden mengakui pernah menanam tanaman di sana tetapi dicabut keesokan harinya. Berdasarkan pengamatan memang adanya penjagaan yang ketat oleh pihak perusahaan. Tetapi belum ada bangunan apapun yang berdiri di sana. Hanya sekedar papan peringatan bahwa tanah tersebut dikuasai PT SAMP. Berikut gambaran melalui tabulasi silang antar dua variabel (lihat Tabel 15). Tabel 15 Total tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Perubahan kepemilikan lahan Total Tidak Ya n % n % n % Tingkat Rendah 1 20.0 4 80.0 5 100.0 industrialisasi Sedang 3 13.0 20 87.0 23 100.0 Tinggi 0 0.0 4 100.0 4 100.0 Total 4 12.5 28 87.5 32 100.0 Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa sebesar 100.0 persen menyatakan bahwa industrialisasi yang tinggi memberikan perubahan kepemilikan lahan. Memang industrialisasi yang tinggi, sedang, maupun rendah lebih cenderung terdapat perubahan kepemilikan lahan. Tetapi di sisi lain juga tidak terdapat perubahan kepemilikan lahan saat industrialisasi sedang dan rendah. Tetapi tidak menunjukan sebaliknya industrialisasi yang tinggi tidak berhubungan sepenuhnya tidak ada perubahan kepemilikan lahan. Responden tidak menjawab demikian. Berdasarkan kondisi tersebut hubungan keduanya tidak ada karena industrialisasi yang tinggi pun belum bisa membuktikan perubahan kepemilikan tidak ada. Selain itu hubungan tidak ada karena perusahaan sendiri belum juga mendirikan usahanya. Hanya sekedar merampas dan menunjukkan bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. Selain itu perubahan kepemilikan adalah suatu proses panjang yang diawali sewa menyewa oleh PT Dasa Bagja kepada masyarakat. Hingga akhirnya berujung PT SAMP tidak mengakui kepemilikan lahan masyarakat dan melakukan eksekusi. Hubungan Perubahan Kepemilikan Lahan dengan Strategi Gerakan Petani Perubahan kepemilikan di tiga desa diketahui berdasarkan hasil kuesioner yang indikator-indikator telah disusun dalam definisi operasional. Sedangkan strategi gerakan petani juga telah ditentukan berdasarkan pertanyaan dalam kuesioner Hasil analisis uji korelasi pada Tabel 16 akan menjelaskan hubungan perubahan kepemilikan dengan strategi gerakan petani. 58 Tabel 16 Hasil uji statistik hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani Correlations Perubahan Strategi kepemilikan gerakan lahan petani Correlation 1.000 -.155 Perubahan Coefficient kepemilikan Sig. (2-tailed) . .398 lahan N 32 32 Spearman's rho Correlation -.155 1.000 Strategi gerakan Coefficient petani Sig. (2-tailed) .398 . N 32 32 Berdasarkan hasil uji kolerasi hubungan perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani memiliki nilai signifikansi 0.398. Nilai ini ternyata lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0.398 > 0.05). Dari output tersebut dapat disimpulkan bahwa karena signifikansi > 0.05, maka H0 diterima sehingga tidak terdapat hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani. Nilai korelasi pada siginifikan tersebut adalah -1.555 yang artinya salah satu variabel bertolak belakang dengan variabel lainnya. Kemungkinan besar teori yang sudah dirancang memang tidak sesuai dengan kondisi lapang. Perubahan kepemilkan lahan tidak memiliki hubungan dengan tidak adanya strategi gerakan para petani dalam gerakan. Begitu sebaliknya, tidak adanya perubahan kepemilikan lahan tidak memiliki hubungan dengan strategisnya gerakan petani. Tabel 17 Total perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015 Strategi gerakan petani Rendah Perubahan Sedang Total Tinggi n % n % n % n % Tidak 0 0.0 0 0.0 4 100.0 4 100.0 Ya 0 0.0 6 21.4 22 78.6 28 100.0 0 0.0 6 18.8 26 81.2 32 100.0 kepemilikan lahan Total Berdasarkan Tabel 23 menunjukkan tidak terdapat hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani. Karena justru strategi gerakan terlihat tinggi dalam kondisi berubah atau tidak penilaian kepemilikan lahan oleh masyarakat. Di samping itu adanya gerakan ini karena 59 lebih proses hukum yang tidak kunjung selesai antara kedua belah pihak. Seperti yang disampaikan oleh responden bahwa. “...ngga ada ganti rugi apapun, tiba tiba saja mereka gusur ini lahan. Sudah lama lahan-lahan ini diperalihkan oleh mereka dari zaman kemerdekaan Mbak. Kami pun kecewa dengan proses yang ada, ketika perbandingan masyarakat dikalahkan, ketika ada Kapolres yang mendukung kami juga dikeluarkan. Kai tidak terima itu. Lantas apa buktinya mereka menguasai lahan ini...” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM) Masyarakat setempat mengakui proses panjang dari awal ketika PT Dasa Bagja masuk. Mereka melakukan gerakan atas dasar kekecewaan yang telah terjadi dan permainan politik. Lahan masyarakat masih dimiliki tetapi terlihat perusahaan yang memaksakan untuk menguasai. Hanya saja masyarakat tidak bisa memanfaatkan di atas lahan mereka secara optimal. Saat ini mereka menantikan proses hukum yang adil. Berbagai tuntuntan untuk perbandingan ke tingkatan yang tinggi mereka lakukan. Hubungan Dorongan Faktor Internal dengan Strategi Gerakan Petani Dorongan faktor internal di tiga desa diketahui berdasarkan hasil kuesioner yang indikator-indikator telah disusun dalam definisi operasional yang mencakup karakteristik individu. Sedangkan strategi gerakan petani juga telah ditentukan berdasarkan pertanyaan dalam kuesioner Hasil analisis uji korelasi pada Tabel 18 akan menjelaskan hubungan dorongan faktor internal dengan strategi gerakan petani. Tabel 18 Hasil uji statistik hubungan dorongan faktor internal dengan strategi gerakan petani Correlations Faktor Strategi internal gerakan petani Correlation 1.000 .526** Coefficient Faktor internal Sig. (2-tailed) . .002 N 32 32 Spearman's ** rho Correlation .526 1.000 Coefficient Strategi gerakan petani Sig. (2-tailed) .002 . N 32 32 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Berdasarkan hasil uji kolerasi dari hubungan dorongan faktor internal yang tinggi dengan nilai signifikansi 0.002. Nilai ini di atas yang ternyata lebih kecil dari taraf nyata 5 persen (0.002 < 0.05). Dari output tersebut dapat disimpulkan 60 bahwa karena signifikansi < 0.05, maka H0 ditolak sehingga terdapat hubungan antara dorongan faktor internal dengan strategisnya suatu gerakan. Nilai dari hasil uji korelasi tersebut yaitu 0.526. .Hal ini seperti yang disampaikan oleh Sarwono (2009) bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi yang sangat kuat. Kondisi lapang di desa disesuaikan dalam pembuatan indikator faktor internal. Hasil memang menunjukan dorongan faktor internal dalam kategori sedang. Keduanya sangat berhubungan erat yaitu antara faktor internal dan strategi gerakan petani. Hal ini ditunjukan juga dalam tabulasi silang sebagai berikut. Tabel 19 Jumlah dan persentase faktor internal dan strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya Tahun 2015 Strategi gerakan Total Tidak Cukup Strategis n % n % n % n % 0 0.0 4 66.7 2 33.3 6 100.0 Rendah Faktor 0 0.0 2 9.5 19 90.5 21 100.0 internal Sedang Tinggi 0 0.0 0 0.0 5 100.0 5 100.0 0 0.0 6 18.8 26 81.2 32 100.0 Total Berdasarkan tabulasi silang di atas bahwa apabila dorongan faktor internal dari masyarakat adalah tinggi, maka masyarakat sangat berstrategi dalam gerakan. Sebagian besar memang menunjukan bahwa terlihat strategis gerakan petani. Apabila dorongan faktor internal adalah tinggi dan sedang maka terdapat strategisnya gerakan yang dilakukan petani. Tetapi dorongan yang rendah hanya terbukti bahwa strategi gerakan tergolong cukup. Penelitian sebelumnya Ariendi (2011) membuktikan beberapa faktor internal yang memiliki hubungan ataupun tidak dengan keterlibatan masyarakat dalam gerakan. Misalnya untuk tingkat pendidikan dalam kasus penelitiannya tidak memiliki hubungan dengan keterlibatan gerakan masyarakat. Tidak menjamin bahwa pendidikan yang tinggi memiliki keterlibatan masyarakat dalam gerakan. Begitu sebaliknya pendidikan yang rendah tidak menjamin tidak terlibatnya masyarakat dalam gerakan. Semua hal tersebut terutama faktor internal tergantung dalam konteks atau kasus yang dihadapi masyarakat. Setiap tempat memiliki karakterikstik masing-masing yang menghubungkan dengan suatu adanya gerakan. Ikhtisar Pada bab ini, peneliti ingin mengkaji hubungan seluruh variabel yang melalui uji statistik menggunakan software SPSS versi 21. Seluruh variabel tingkat industrialisasi, faktor internal, perubahan kepemilikan lahan ditetapkan sebagai variabel X (independent). Masing-masing variabel tersebut dilihat hubungannya dengan strategi gerakan petani yang dihitung secara keseluruhan variable Y (dependent) yang meliputi: Dari variabel itu terdapat gambaran hubungan antara dorongan faktor internal dengan strategi gerakan petani yang diperoleh sebesar 0.526 yang menunjukkan bahwa dorongan faktor internal yang 61 tinggi memiliki hubungan atau berkorelasi tinggi dengan strategi gerakan petani. Sebaliknya dengan hubungan dua variabel lainnya, yaitu tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan. Uji korelasi menunjukan nilai 0.246 yang artinya sangat rendah dan mempunyai galat > 0.05. Kemudian perubahan kepemilikan lahan yang tinggi tidak berhubungan juga dengan tingginya strategi gerakan petani. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa keduanya berlawanan. Perubahan kepemilkan lahan yang tinggi tidak memiliki hubungan dengan tidak adanya strategi gerakan para petani dalam gerakan. Begitu sebaliknya, perubahan kepemilikan lahan yang rendah tidak memiliki hubungan dengan tingginya strategi gerakan petani. Nilai-nilai tersebut jika dilihat di lapang memang tidak seluruhnya menggambarkan keadaan hubungan industrialisasi dengan strategi gerakan petani. Meskipun telah dihubungkan sebelumnya dengan proses perubahan kepemilikan lahan. Hal ini dikarenakan kondisi di lapang memandang seperti apapun bentuk industri atau investor datang ke desa tetapi menggunakan cara-cara yang sesuai hukum maka tidak akan terjadi masalah. Masyarakat tiga desa mengeluhkan sistem yang berlangsung selama membuktikan kepemilikan lahan mereka. Dari awal kasus sengketa lahan 1970-an masyarakat telah melampaui berbagai desakan dan tuntutan untuk melepaskan tanah milik mereka. Secara mereka melawan dengan membuktikan kepemilikan tanah mereka yaitu melalui surat kepemilikan tanah dan bukti pembayaran pajak setiap tahun. Amarah masyarakat berlangsung ketika eksekusi lahan pada tahun 2014 berlangsung. Sebelumnya meski dalam proses sengketa pihak perusahaan tidak berani menempati langsung tanah tersebut. Tetapi saat PK 160 diterbitkan perusahaan PT SAMP mulai membawa alat besar untuk meratakan tanah dari tanaman-tanaman milik masyarakat. Hingga saat ini masyarakat beserta beberapa pihak baik dari ormas, LSM, pengacara tetap berusaha membuktikan kepemilikan lahan tersebut. 62 63 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan pengamatan dan diskusi kronologi lahan tiga desa yaitu Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya muncul saat PT Dasa Bagja terlibat dalam menyewa lahan milik masyarakat. Sebelumnya lahan tersebut adalah partikelir yang telah diredistribusi oleh pemerintah kepada masyarakat. Tiga tahun berlangsung kontrak ternyata terdapat pengalihan surat kepemilikan lahan oleh warga yang dibawa PT Dasa Bagja kepada perusahaan lain. Hingga akhirnya jatuh kepada PT SAMP. Selama proses itu masyarakat masih tetap memanfaatkan lahannya. Akan tetapi, pada tahun 2000 PT SAMP mulai mengajukan ke pengadilan untuk melakukan pembebasan lahan. Masyarakat tidak menerima karena kepemilikan mereka terdaftar di Buku Letter C Desa dan girik. Keduanya masih sah berdasarkan hukum yang berlaku. Proses sengketa lahn pun memuncak oleh media massa tahun 2014 ketika PT SAMP beserta 7000 Brimob menahan warga untuk tidak memasuki lahan tersebut. Hingga saat ini para masyarakat masih melakukan usaha untuk mengembalikan lahannya. Hal ini pun bukan hanya terkait masuknya industri-industri untuk melakukan pembangunan tetapi lebih ke proses hukum yang membuat masyarakat merasa dirugikan. Faktor-faktor yang mendorong masyarakat bertindak sejauh ini adanya dorongan dari berbagai pihak yaitu ormas, LSM, pengacara, mahasiswa, dan lainnya. Selain itu tingkat pendidikan, tanggungan keluarga tidak terlalu tinggi, mudah informasi, dan pengalaman membuat masyarakat bernekat untuk tetap melawan perusahaan. Apalagi saat ini dukungan bantuan hukum berupa pengacara memihak kepada masyarakat atas dasar ingin menyelesaikan masalah ini yang sudah sekian lama. Strategi gerakan diakui oleh masyarakat ada dalam usaha melawan perusahaan. Melalui uji korelasi dengan uji Rank Spearman, strategi gerakan petani berhubungan kuat dengan dorongan faktor internal. Selain itu, secara kualitatif memang minimal setiap individu sadar bahwa tanah tersebut bukan milik perusahaan. Serta adanya dukungan dari pihak-pihak yang membantu masyarakat membuat strategi gerakan semakin kuat. Tetapi tidak semata-mata karena perubahan kepemilikan lahan yang mengakibatkan adanya gerakan. Karena masyarakat sangat mengecewakan proses hukum yang ada. Mereka merasa selalu ditipu oleh penguasan dan pemilik modal. Akhirnya mereka sampai saat ini berusaha menempuh segala jalur baik hukum, aksi massa, aliansi, advokasi dan lainnya. Saran Penelitian ini telah menggambarkan bahwa antara perusahaan dan masyarakat masih dalam kondisi berlawanan. Berbagai upaya masih dilakukan masyarakat untuk menegmbalikan lahannya. Begitu juga PT SAMP yang masih bertahan dalam penjagaan lahan sengketa tersebut. Meski kasus ini sudah berlangsung lama, seharusnya menjadi perhatian utama khususnya bagi 64 Pemerintah Daerah Karawang. Sebaiknya harus ada pihak ketiga yang netral tidak memihak siapapun tetapi ingin menyelesaikan masalah. Semau pihak sejak awal kronologi lahan tiga desa harus dilibatkan dalam suatu forum penyelesaian. Memang terlhat terlalu normatif tetapi hal tersebut harus benar dilakukan. Selain itu masyarakat beserta ormas, LSM, pengacara serta perusahaan yang terlibat harus menerima keputusan dengan lapang dada. Tetapi keputusan tersebut sebisa mungkin tidak merugikan siapapun. Setiap dari pihak ditanyakan keinginan dan kebutuhan mereka. Semua pihak harus menjaga profesionalitas mereka. Kemudian dari pihak akademisi sebisa mungkin menganalisis kasus ini untuk penelitian selanjutnya agar dapat terdokumentasi baik. Selain itu untuk ke depan bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak. Berkaitan kasus ini adalah desa yang saat ini menjadi pokok perhatian utama permerintah dengan adanya Undangundang Nomor 6 Tahun 2014. Sebaiknya pola arah pembangunan di desa ketika ada pihak investor masuk harus ada pengorganisasian yang kuat pada level masyarakat desa terlebih dahulu. Pengorganisasian yang dilakukan harus oleh masyarakat setempat sendiri agar mereka dapat mengetahui bahwa potensi dan kekuatan sumberdaya adalah milik masyarakat. Kepemilikan tersebut yang harusnya menguntungkan masyarakat. Kemudian melakukan penguatanpenguatan pada hal yang telah dirumuskan adalah penting bagi masyarakat. Peranan beberapa fasilitator masyarakat sangat penting dalam hal ini. 65 DAFTAR PUSTAKA Anwar SJ, Kolopaking LM, Kinseng RA, Hubeis AV. 2014. The impact of market penetration on social capital changes at the fishing community in small island: a case in Barrang Lompo Island Makassar City, South Sulawesi Province. Academic Journals [Internet]. [diunduh 2015 Mei 11]; 6(3). Tersedia pada: http://www.academicjournals.org/journal/IJSA/article-fulltext-pdf/8F1BBE543698. Ariendi GT, Kinseng RA. 2011. Strategi perjuangan petani dalam mendapatkan akses dan penguasaan atas lahan. Sodality [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 5: 13-31. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/47369. Aji, BG. 2005. Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan Menggarap Lahan-Lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka Latin. Bachriadi, Dianto, Lucas A. 2001. Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Bernstein H, Terence JB, Saturnino B, Cristobal K, et al. 2008. Kebangkitan Studi Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta (ID): STPN. Elizabeth R. 2006. Restrukturisasi ketenagakerjaan dalam proses modernisasi berdampak perubahan sosial masyarakat petani SOCA [Internet]. [diunduh 2015 Mei 7]. 6(1). Tersedia pada: http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4124/3111. Fajrin M. 2011. Dinamika gerakan petani kemunculan dan kelangsungannya (Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) [skripsi]. [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48208. Fakih M. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi LSM Indonesia. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.. Fauzi N. 1999. Petani & Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria Indonesia. Yogyakarta (ID): INSIST, KPA dengan Pustaka Belajar. . 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta (ID): Insist Press. Febriana YD. 2008. Partisipasi masyarakat dalam program corporate sosial responsibility “Kampung Siaga Indosat” (Studi Kasus: RW 04, Kelurahan Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Skripsi. IPB. Bogor. Harsono B. 2007. Hak atas tanah dalam hukum tanah nasional. Land. 4: 4-7. Hasan W, Oesman SB, Senneng N. 2014. Persepsi masyarakat terhadap perubahan sosial ekonomi masyarakat tani pada kawasan pembangunan industri migas di kabupaten banggai. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 25]. Tersedia pada: https://www.google.co.id/search?q=Menurut+Schneider+(1993)&oq=Menur ut+Schneider+(1993)&aqs=chrome..69i57.3464j0j7&sourceid=chrome&es_ sm=122&ie=UTF-8#. Indrizal E. Tidak ada tahun. Memahami konsep perdesaan dan tipologi desa di Indonesia. [internet]. [diunduh pada 3 Oktober 2014]. Tersedia pada: http://fisip.unand.ac.id/media/rpkps/EdiIndrizal/M3.pdf. 66 Purwandari H, Kolopaking LM, Tonny F. 2012. Perlawanan tersamar organisasi petani: sinergi antara kepentingan pembangunan dan gerakan. Sodality [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 6(3). Tersedia pada: http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/8019. Rahmah AD. 2014. Gerakan paguyuban petani versus negara dan dampaknya pada tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Sukamulya [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Rahmawati D. 2003.Gerakan petani dalam konteks masyarakat sipil Indonesia studi kasus Organisasi Petani Masyarakat Sipil Indonesia Merdeka (SeTAM). JISP [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 6:329-358. Tersedia pada: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/170. Rosid F. 2014. Dinamika gerakan sosial studi peran intelektual dalam melakukan gerakan sosial dengan masyarakat sipil untuk mendapatkan pelayanan listrik di Desa Mulyorejo Kecamatan Silo Kabupaten Jember. Jurnal Mahasiswa Sosiologi [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 3(1). Tersedia pada: http://jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jmsos/article/view/21/37. Sajogyo. 1978. Lapisan masyarakat yang paling lemah di Pedessaan Jawa. Prisma.7(3): 3-14. . 1972. Modernization without development in rural Java. Bogor (ID): Bogor Agricultural University. Sarwono J. 2009. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi Statistik Menggunakan SPSS. Yogyakarta (ID): Andi Offset. Scott JC. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia. Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Edisi revisi. Jakarta (ID): LP3ES. Sitorus, MT. Felix. 2006. Reklaim tanah hutan, tipe-tipe reforma agraria dari bawah di dataran tinggi Sulewasi Tengah. JPDA. 3(3): 20-28. Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT Grafindo Persada. Subarkah, Anggit W. 2014. Perlawanan masyarakat Samin (sedulur sikep) atas kebijakan pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati (studi kebijakan berbasis lingkungan dan kearifan lokal).Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 26(2). Tersedia pada: http://www.unikal.ac.id/Journal/index.php/lppm/article/view/311. Sugihardjo, Eny L, Agung W. 2012. Strategi bertahan dan strategi adaptasi petani samin terhadap dunia luar (Petani Samin Di Kaki Pegunungan Kendeng Di Sukolilo Kabupaten Pati). Jurnal SEPA [Internet]. [diunduh 2015 Mei 11]. 8 (02): 51-182. Tersedia pada: http://eprints.uns.ac.id/12606/1/Publikasi_Jurnal_(27).pdf. Suwarsono, Y. So A. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta (ID): Pustaka LP3ES. Sjaf S. 2010. Batasan definisi petani. Sofyan Sjaf Online: Ilmu untuk memuliakan orang kecil [Internet]. [diunduh 2016 Januari 26]. Tersedia pada: http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasant/. Sztompka. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta (ID): Prenada. [UU] Undang-Undang. 1984. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 25]. Tersedia pada: https://www.google.co.id/search?q=UndangUndang+No.5+Tahun+1984%2 67 C&oq=UndangUndang+No.5+Tahun+1984%2C&aqs=chrome..69i57j0l4.20 93j0j7&sourceid=chrome&es_sm=122&ie=UTF-8# [UUPA] Undang-Undang Pokok Agraria.1960. Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 25]. Tersedia pada: http://dkn.or.id/wpcontent/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-tentangPokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf. Vanadiani DV. 2011. Industrialisasi di pedesaan dan perubahan struktur masyarakat petani di Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. [Internet]. [diunduh 2015 Mei 11]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/51400?show=full. Wahono F. 2002. Hak-Hak Asasi Petani & Proses Perumusannya. Yogyakarta (ID): Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas. Wahyudi. 2011. Formasi dan struktur gerakan sosial petani studi kasus gerakan reclaiming/penjarahan atas tanag PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang Selatan. Jurnal Salam [Internet]. [diunduh 2015 Mei 7]. 12 (01): 89-106. Tersedia pada: http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/436/443. Wicaksono AM. 2010. Analisis tingkat partisipasi warga dalam tanggung jawab sosial perusahaan (Studi Kasus PT. Isuzu Astra Indonesia Assy Plant Pondok Ungu) [skripsi]. IPB. Bogor. 68 69 LAMPIRAN 70 71 Lampiran 1 Jadwal kegiatan skripsi tahun 2015-2016 Kegiatan Juni 1 2 3 September 4 1 2 3 4 Oktober 1 2 3 November 4 1 2 3 4 Desember 1 2 3 4 Januari 1 2 3 4 Februari 1 2 3 4 Penyusunan proposal skripsi Survei Penjajagan Kolokium Perbaikan Proposal Pengambilan data lapangan Penulisan draft skripsi Uji petik Sidang skripsi Perbaikan laporan skripsi 71 72 Lampiran 2 Peta Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Provinsi Jawa Barat Karawang, 73 Lampiran 3 Peta Desa Wanasari Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat 74 Lampiran 4 Peta Desa Margamulya Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat 75 Lampiran 5 Kerangka Sampling 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 KAM AS WA KM AN UMA JAI KAL MIR JAN NIM EL KAS CAL NAT IDE UM ROM HA IS OL RA TAS NAR CEP AMS DUR SNN AMU AMI MAN KAR AT DAW JUM ENJ KED KAS ANI AIM ANT EJ SAJ ARS NEM SART MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 SAN ELN EDE KAS NAS MAS RAK SAK ENC AEL KAE SOM DI DEG NAT KAL OL KAL SAA KAR TAM DAS JAL ADS ISK AMR KAR TIM RSD RAS STJ KHA UJM KRM DDA SPN JMR SRP TAT ADH NAW UD ACP RUS MED KAS MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 ABA SAR DED APN RSM DEW DOD KSM MSM NJB NSN KMN TKM ON LNI LTA RIM ENR UKS KSH SKM MAR AC YO BDN NMN MDI SK SAI KAR ND ELW TSM LD ENG KRS OBG KRS STA MND MIN TA SMN JAD SPM ANY MGY MGY MGY MGY MGY MGY MGY WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS 76 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 DJE NON MAN AM DAR DAS SAJ ELN TAI SAR RIP SKR KD ON LN KTM JSH SNN EMT DSI KSM NYE SNE JIM DJN MAA JEB MAD SAI ASM EMP HAD KAL DAW CAY SAI AM RAH ERA NAM AJ HA KAM DAI AC KA WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 DU ASI ANI KAM YAN CE AJ SUH TAY OI NCI YIM AIN JUM AC SAY EMD ERP KAS AND CATA MAS TO LAN AN ONG OIN US NDI NIG NOG LAS SIM TAK MIH NYA DIN MUN RSA SEM DJE JEN RIP DJA LDI ENN WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS WNS 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241 242 243 244 245 246 247 248 249 250 251 252 253 254 255 256 257 258 259 260 261 262 263 264 265 266 267 268 269 270 271 272 273 274 275 276 277 278 BED DJA AGU ABD AN IN YUN UM NJB TA MIS ROS SHD NRM ENR RSM STI HLM ELP INN WAR TAW SAN RO SU EM DAR ENJ IR SAI MA AW WA HN LEL AD US MUR MI SOE SUW DJ HE SUR KNT RAE NAM FIT WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK WNK 77 Lampiran 6 Dokumentasi Kondisi lahan yang digusur Kantor pemasaran PT SAMP Papan peringatan PT SAMP Kondisi jalan, sebelah kanan tanah sengketa, sebelah kiri rumah warga Wawancara responden Foto bersama informan setelah diskusi Kantor Desa Wanakerta Rumah warga sebelah tanah sengketa 78 Lampiran 7 Catatan Tematik Industrialisasi di Tiga Desa Proses konflik yang panjang ini terjadi do tiga desa yaitu Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya. Ketiga desa tersebut berada di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang. Lokasinya berdekatan dengan keluar dan masuk tol Karawang dan kawasan industri yang besar di Karawang. Sengketa lahan yang berangsur lebih dari 20 tahun ini menyita perhatian banyak pihak. Tentunya masyarakat dan perusahaan sebagai subyek utama dalam kasus ini. Beberapa responden yang saya datangi yaitu Bapak UD mengaku bosan ketika kasusnya menjadi obyek penelitian karena banyak yang datang ke sana tetapi tidak memberikan solusi. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah sangat terkuras emosi dan tenaga menghadapi kasus ini. Bahkan disarankan untuk bertanya saja kepada perusahaan. Berawal dari kasus sewa menyewa lahan yang dilakukan PT Dasa Bagja melalui kepala desa saat itu, masyarakat menyewakan lahannya. Penuturan tersebut yang dikatakan oleh salah satu anggota LSM yang telah mengamati kasus ini beberapa tahun. ”....masyarakat memang udah lama Mbak tinggal di sini, kasusnya pun mulai itu saat tahun 70’an karena sewa menyewa lahan. Bukan dijual loh ya, jadi masyarakat mah ya tetep memiliki toh istilahnya cuma kontrak. Masyarakat juga ada girik atau surat kepemilikan zaman itu....” (OD, 30 Tahun, Anggota LSM) Lama kontrak saat itu adalah tiga tahun. PT Dasa Bagja meminjam girik atau surat kepemilikan lahan warga di tiga desa yaitu Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya pada tahun 1974. mula tanah dari bekas Partikelir Eigendom Verponding Nomor 53 NV. Tegalwaroe Landen seluas 55 173 hektar. Batasan sebelah utara yaitu dengan Sungai Citarum, sebelah selatan dengan Kabupaten Cianjur, sebelah barat dengan Kabupaten Bekasi dan Bogor, dan sebelah timur dengan Kabupaten Purwakarta. Tanggal 17 Mei 1949 tanah tersebut milik pemerintahan Republik Indonesia sehingga masyarakat mulai menggarap secara bebas. Tanah tersebut selema masa kolonial adalah dikuasai Belanda. Kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikelir tersebut dilegalkan oleh negara dan tanah tersebut termasuk ke dalam tanah usaha. Maksudnya adalah tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah tersebut. Berlakunya undang-undang tersebut membuat lahan akan diredistribusi kepada masyarakat untuk memiliki hak dan akses yang sama. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur pembatasan penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah, pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing untuk memiliki hak milik tanah. Kemudian lahir SK Panitia land reform Dt. II Karawang Nomor 29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar Nomor 228/C/VIII/52/1965 memberikan hak milik kepada rakyat atas tanah sawah, tanah kering, tambak dari tanah bekas partikelir Tegalwaroe Landen. Tetapi hal ini tidak 79 berlangsung lama karena pemerintahan yang mengagendakan land reform yaitu Bapak Soekarno turun. ”....saat itu masyarakat sudah senang mau ngurus surat itu, tapi wkatu zaman Pak Harto semuanya jadi terhambat. Mereka jadi kesulitan untuk ngurusin surat. Padahal secara UUPA ya masyarakat yang mendiami itu yang punya tanah. Bukan lagi milik kolonial atau swasta....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) Semenjak mulai perubahan era yaitu dari orde lama ke orde baru yang dipimpin oleh Soeharto mengakibatkkan usaha land reform dari amanah UUPA dipetieskan. Sehingga proses pengurusan surat milik tanah atau girik dihentikan. Program land reform tidak dapat terlaksana sampai selesai. Akhirnya sistem kepemilikan tanah seperti mekanisme Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak dapat terinformasikan dengan baik. Tetapi proses-proses seperti penyertifikatan, transmigrasi, dan perkebunan ini rakyat masih memberikan akses tanah kepada masyarakat kecil. Tanah tersebut mulai dirincik dan diklasir oleh Panitia Rincit dan Klasir dari Cirebon. Tujuannya adalah mengeluarkan girik dan Buku C Desa untuk pemerintahan desa. Pemerintan Soeharto yang berfokus pada pembangunan berbasis industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya menjadi cikal bakal datangya PT Dasa Bagja ke tanah Telukjambe Barat seluas 350 hektar. Padahal sebelumnya land reform membatasi penguasaan lahan maksimal seluas 20 hektar. Rangkaian kasus konflik perebutan lahan di tiga desa seluas 582 hektar diawali dengan PT Dasa Bagja untuk menyewa lahan guna penanaman tanaman kapuk pada tahun 1974. ”....setelah kontraknya selese tetep lanjut tuh perusahaan. Saya amati ya Mbak sama warga dulu ada kecurigaan dari perusahaan PT Dasa itu untuk tetep mau kuasai lahan warga...” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) Menurut penuturan anggota LSM PT Dasa Bagja yang statusnya adalah sebagai penyewa berniat untuk melanjutkan penguasaan lahan. Sebelumnya usaha PT Dasa Bagja untuk memproses HGU telah ditolak. Saat kontrak berahir, PT Dasa Bagja ingin mengambil status tanah warga kembali. Girik milik masyarakat yang dibawa oleh PT Dasa Bagja disinyalir telah diproses untuk dijadikan HGU. Sehingga pada akhir kontrak keluar surat Letter C ketiga desa atas nama PT Dasa Bagja berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat tahun 1977. Secara praktis kepemilikan tanah ini bergeser menjadi milik PT Dasa Bagja sepenuhnya. Tahun 1986 PT Dasa Bagja melakukan pengalihan tanah yang bukan miliknya kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582 hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13 miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Kali ini PT SAMP melakukan permohonan izin lokasi kepada Gubernur Jawa Barat, dan keluar pada tahun 1991. Masyarakat menolak hasil tersebut karena mereka masih memiliki bukti kepemilikan tanahnya. Surat 80 Letter C atas tanah 350 hektar yang dibuat oleh PT Dasa Bagja yang membuat pengalihan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Hingga pada akhirnya setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan. Tetapi yang dibebaskan bukan pemilik girik tetapi orang yang mengaku menggarap bahkan disuruh mengaku menggarap untuk menandatangani Surat Pelepasan Hak (SPH). Kemudian mereka dibayar sebagai upah tanda tangan SPH, bahkan bayaran tersebut ada yang diminta kembali. Luasan yang ditandatangani pun dibuat seluas mungkin. PT SAMP telah diakuisisi sahamnya sebagian besar oleh Agung Podomoro Land. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan bahwa. Konflik kembali muncul pada tahun 2000 ketika masyarakat mengajukan Surat MA Nomor 160/PK/Pdt/2011 yang tidak diterima oleh Pengadilan Negeri Karawang. Sementara itu, PT SAMP mendapatkan izin eksekusi lahan. Pada tahun 2005 Agung Podomoro Land menurunkan pasukan untuk pengamanan lahan dengan membawa bukti izin mendirikan bangunan tanpa surat hak atas tanah warga. Secara fisik lapangan, masyarakat sudah menempati lebih dari 50 tahun dan membayar pajak setiap tahun. ”....PT SAMP itu ngga sendiri, mana bisa dia? Bangunan kantor marketingnya saja terlalu memaksa, siapa dia, apa yang dia punya? Makanya itu akuisisinya Podomoro yang punya....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) ”....PT SAMP itu tidak jelas perusahaanya, lihat saja kantor marketingnya. Tanpa izin mereka mendirikan bangunan di atas tanah sengketa, tanah masyarakat. Makanya bangunanya semi permanen. Saya kira mereka ingin diakui dengan membangun kantor pemasaran di sana, baru kok Bu itu....” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) Beberapa kejanggalan yang telah dianalisis beberapa pihak yang pro terhadap masyarakat menyatakan bahwa: 1. Girik asli tanah diambil oleh kepala desa pada tahun 1974 dengan alasan bahwa tanah masyarakat akan disewa oleh PT Dasa Bagja selama tiga tahun. Kecurigaan muncul ketika kepala desa mengambil girik tersebut. 2. Tanah masyarakat disewa tetapi diakui oleh perusahaan telah dibebaskan. Padahal masyarakat tidak mengetahui dan tidak menandatangani apapun. 3. Pihak yang mengaku membebaskan tanah garapan tidak menyebutkan batasbatas tanah. 4. Pihak yang mengakui pembebasan mengaku bahwa PT Dasa Bagja telah melakukan pembebasan. Padahal PT Dasa Bagja tidak menandatangani sebagai pihak yang melepaskan. Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan Bekasi mengeluarkan surat yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil pencocokan para wajib pajak yang tanahnya berlokasi di Desa Margamulya cocok tercantum pada Buku Letter C pada tahun 1992. Setelah itu, keluar buku DHKP sebagai pengganti Buku Letter C Desa dan keluar tagihan pajak berupa SPPT/PBB sebagai ganti girik. Pihak pemerintah pun turut terlibat, terutama BPN Karawang Jawa Barat untuk 81 menenrbitkan hak guna bangunan (HGB) atas nama PT SAMP. Masyarakat, BPK, Muspida, dan PT SAMP kemudian diundang oleh Kapolres Karawang sebanyak tiga kali. Masyarakat menolak tidak berkeinginan tanahnya diukur karena belum menerima ganti rugi, dan konsistensi surat yaitu isi dan perihal terdapat saling bertentangan dan ketidaksesuaian. Lalu surat tersebut diubah dan beberapa hari kemudian BPN Karawang mengeluarkan surat Nomor 610-533 Perihal Rencana Pegukuran Tanah Bermasalah antara PT SAMP dengan masyarakat. Masyarakat mengajukan permohonan untuk mengetahui hasil rincik. Tidak lama mengetahui hasil rincik tersebut dinyatakan bahwa PT SAMP menerima peta hasil rincik juga. PT SAMP mengajukan perkara data kepada Pengadilan Negeri Karawang dengan membawa bukti peta rincik hasil ukur tahun 2005. ”....pas waktu itu, masyarakat tahu kalo peta yang dikeluarkan oleh BPN ada dua. Satu untuk masyarakat, satu untuk PT SAMP. Petugas, obyek, tanggal semuanya sama tapi hasil dari dua peta sungguh berbeda....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM) Hasil peta rincik yang dikeluarkan BPN Karawang terdapat dua dengan berita acara yang sama tetapi dua gambar peta yang berbeda. BPN memberikan untuk masyarakat dan PT SAMP. Peta yang diberikan kepada PT SAMP menggambarkan tidak ada lagi pemilik tanah yang ada artinya semua tanah telah dibebaskan. Peta tersebut dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim untuk mengalahkan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat saat ini merasa hukum tidak membuat masalah ini terselesaikan Melihat fenomena di lapang, kawasan tiga desa tersebut memang dekat dengan kawasan industri Karawang. Berdasarkan pengamatan lahan pertanian berupa kebun yang ditanami tanaman keras telah digusur oleh perusahaan. Selain itu, alasan Karawang sebagai pusat industri karena mobilitasnya yang dekat dengan ibu kota negara dan pelabuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satu anggota LSM dan responden bahwa. ”....Karawang sebagai daerah penghasil padi mbak, tapi di satu sisi juga industri tinggi. Sebenarnya mau ke mana fokus kita. Lahan yang dulu sawah banyak dijadikan bangunan sekarang....” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM) ”....di sini semua dulu tanaman kayu sengon mbak, tapi lihat sekarang udah gersang karena digusur dan dijaga ketat oleh perusahaan. Semuanya ini lahan milik warga. Kalo yang nanam padi ada di sana, beda tempat lagi. Sekarang kita engga punya apapa. Dulu bisa panen kayu sengon nunggu berapa tahun buat pendapatan tambahan mbak....” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat) Menurut beberapa warga baik responden ataupun informan menyatakan tanah-tanah di sini adalah hasil turun temurun atau warisan dari orang tua mereka. Berdasarkan pengamatan, selama mewawancara responden secara keseluruhan tanah milik mereka adalah warisan dari orang tua. Selanjutnya tetap diteruskan ke 82 anak-anak mereka pada nantinya. Di sisi lain harga tanah di tiga desa tersebut juga memiliki harga jual yang tinggi seperti penuturan aparat Desa Wanakerta bahwa. ”....khususya yang saya tahu tanah di desa ini cukup tinggi, mungkin karena banyak industri atau apa saya kurang tahu. Tapi harga tawarannya lumayan dibanding di desa lain....” (UC, 40 Tahun, Aparatur Desa) Penuturan aparatur desa juga didukung oleh beberapa responden yang mengetahui kondisi harga tanah. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik berinvestasi tanah di sana. Meski demikian masyarakat tidak menjualbelikan tanahya. Penyerapan tenaga kerja di sana menurut salah satu responden yang memberikan penjelasan bahwa memang pasti ada banyak kesempatan kerja di pabrik atau industri di sini. Tetapi tidak mengetahui pasti jumlah berapa penawaran dan permintaan, tetapi pasti ada peluang untuk bekerja di industri. Dibandingkan dengan pertanian di sini sudah tidak bisa lagi bercocok tanam karena sudah dieksekusi oleh PT SAMP. Sehingga para masyarakat tidak bisa bekerja di lahan mereka kembali. Sesuai dengan pernyataan anggota masyarakat menjelaskan bahwa. ”... kalo kerjaan di pabrik pasti ada, sepertinya banyak. Bahkan banyak orang Jawa dan Sumatera yang merantau ke sini. Tetapi saya tidak mengetahui pasti kalau jumlahnya dan perusahaan mana yang menawarkan pekerjaan. Kalo kami sekarang akan berusaha merebut tanah yang dulunya kami garap untuk kehidupan kami...”(UD, 65 tahun, Anggota Masyarakat) Secara umum telah terjadi perubahan kepemilikan berdasarkan penilaian masyarakat. Responden mengalami penurunan penilaian terhadap hak atas tanahnya karena beberapa hal seperti tidak dapat menanam, membangun, dan menjadi jaminan di atas tanah mereka. Seperti yang dikatakan oleh responden bahwa. ”...kami adalah yang punya tanah itu Bu. Jadi kami masih bisa lakukan apapun di sana harusnya, sayang karena penjagaan yang ketat ketika saya mau menanami sesuatu di atas tanah saya dicabut. Tapi bukti kepemilikan yang kami punya sdah cukup kuat bahwa itu adalah tanah masyarakat....” (CM, 32 Tahun, Anggota Masyarakat) Meskipun masyarakat mengakui tidak bisa melakukan aktivitas di atas tanah mereka tetapi mereka tetap bertahan bahwa tanah tersebut adalah tanah masyarakat. Dari zaman pasca kemerdekaan mereka telah menempati tanah di sana. Bahkan terdaftar dalam buku kepemilikan tanah di desa dan tetap membayar pajak setiap tahunnya. LSM yang kontra dengan nilai-nilai kapitalis yaitu penanaman modal dengan mengubah lahan pertanian mengeluhkan praktik tersebut banyak terjadi, khususnya di kawasan tiga desa tersebut. Meski penting untuk pertumbuhan ekonomi tetap saja mereka mengkhawatirkan rakyat kecil khususnya para petani ketika perusahaan masuk desa melakukan ekspansi industrinya. 83 Gerakan Petani Mengamati kasus tiga desa termasuk ke dalam suatu gerakan sosial karena memiliki sekumpulan masyarakat khususnya para petani yang lahannya terkena sengketa dengan PT SAMP untuk mencapai tujuan mereka. Mempertahankan kepemilikan lahan adalah tujuan bersama mereka. Secara aksi-aksi yang mereka lakukan telah mensyaratkan untuk dikatakan sebagai gerakan. Berbagai aksi yang terlihat menonjol adalah proses menghadang eksekusi lahan tahun 2014 dengan aparat. Tindakan mereka juga bukan dasar organisasi formal yang memiliki struktur hirarki. Mereka bertindak atas spontanitas perampasan lahan oleh PT SAMP. Secara umum masyarakat menagkui bahwa mereka menyiapkan strategi untuk melakukan gerakan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan bahwa. “...kami semua siapin dan ikut beberapa organisasi jadi lebih teratur dalam aksi, kejadian kemarin saja yang tahun 2014 kami 500 orang aksi ya tentu ada pengorganisasian. Hal lain juga misalnya ada kumpulankumpulan kecil untuk diskusi. Semua usaha pun sudah kami lakukan baik ke pemerintah” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) Mengenai bentuk dan sifat gerakan masyarakat telah melakukan berbagai upaya baik aksi massa maupun hukum. Bahkan secara hukum mereka mendapatkan bantuan dari lembaga hukum berupa pengacara. Gerakan ini sungguh-sungguh dilakukan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Berbagai upaya seperti mengadukan ke pemerintah daerah hingga pusat telah dilakukan. Saat isu ini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah mereka akan tetap bertahan dan tidak ingin selanjutnya proses ini berlangsung kepada anak-anak mereka. Agenda ke depan setelah pengacara Bapak Johnsons bergabung dengan masyarakat adalah mengajukan surat kuasa khusus yang diwakili oleh bebrapa ahli hukum untuk membuktikan tanah-tanah dan kepemilikan mereka. Masyarakat mengakui tanpa bantuan hukum dan organisasi mungkin tidak akan dapat mengajukan ke tingkatan yang lebih tinggi dalam proses pengaduan. Bahkan banyak muncul sukarelawan yang ingin membanu kasus ini baik dari organisasi masyarakat, mahasiwa Universitas Negeri Karawang, LSM dan ahli hukum. Berikut pernyataan dukungan dari beberapa pihak. “…Sepetak di sini berusaha mengadvokasi masyarakat yang lahannya terampas oleh perusahaan. Bahkan kami seringkali menjadi sasaran balasan dari pihak yang menentang kami. Sekret kami pernah dilempari peledak kecil di atas genteng. Tapi ya itu masalah kecil, toh nanti tinggal lapor kalo kayak gitu siapa coba yang berusaha menyerang. Kami semua tergabung di Sepetak ingin membantu fasilitasi masalah ini sesuai visi dan misi kami...” (NG, 32 Tahun, Anggota Sepetak) “…semua pihak desa mendukung maasyarakat termasuk lurahnya. Apalagi lurah Wanakerta. Mereka mendukung dalam mengakui kepemilikan lahan oleh warga dengan bukti buku bayar pajak. Mereka mengetahui secara pasti daftar nama...” (KS, 63 Tahun, Anggota Masyarakat) 84 Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini yaitu petani, PT SAMP, Agung Podomoro Land, Amandus beserta biong, Amen, Sepetak, dan masyarakat sekitar. Kasus ini bukan hanya persoalan konflik lahan biasa, sudah berlangsung sejak lama dan banyak pihak yang terlibat. Para petani mengalami kondisi terjebak dengan perlawanan PT SAMP. Akhirnya Amandus dkk berusaha membantu petani melawan PT SAMP, namun di baliknya ada Amen yang disinyalir menginginkan lahan petani untuk dibelinya. Sepetak berusaha tetap di pihak para petani untuk mempertahankan lahan miliknya dari para pemilik modal (borjuis). Hal tersebut yang menggambarkan kuatnya dukungan beberapa pihak dalam kasus pembelaan masyarakat. Bahkan selain organisasi terdapat pihak-pihak pengacara ahli yang terlibat. “…akhir tahun kemarin Pak Johsons pengacara kondang terlibat dan ingin membantu masyarakat. Secara pribadi Pak Johnsons merasa kasihan kenapa kasus ini tidak selesai dan apa yang membuatnya. Pak Johsons itu pengacara terkenal yang dulu pernah nyelesain masalah Rawagede bahkan tarifnya miliaran. Sekarang beliau bergabung dan mulai mendalami satu per satu kejadian kasus ini...” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat) Selain Bapak Johnsons masih terdapat juga bebrapa pengacara yang terlibat mendukung petani yaitu Moris, Amandus, dan pengacara-pengacara dari LBH. Masyarakat merasa terbantu dengan adanya dukungan ini. Seringkali mereka melakukan pertemuan dengan pengacara-pengacara tersebut yang mengatur rencana ke depan untuk tetap mempertahankan lahan masyarakat. Kalangan dari mereka berusaha membantu atas dasar pribadi masing-masing untuk menolong para masyarakat. Jika membayar pengacara tentunya masyarakat mampu saja tetapi untuk kontrak berapa lama pasti akan tidak sanggup masyarakat apalagi saat ini materi yang diandalkan. Proses perlawanan masyarakat tidak bisa dikatakan sebentar. Hampir 20 tahun lebih bergelut dengan masalah ini tentu menguras emosi dan amarah yang mendalam hingga pada puncaknya tahun 2014 telah terjadi eksekusi. Proses tersebut dirasa masyarakat telah merugikannya. Berbagai tuntutan masih berjalan yaitu saat hari tani 24 September 2015 mengadakan aksi ke Kantor Pemerintah Daerah dan ke Senayan. Mereka membawa kasus ini ke dalam panggung aksi demo. Aksi masyarakat tersebut didukung beberapa pihak yaitu Sepetak, pengacara, dan mahasiswa. Perlawanan ini dirasa masyarakat terorganisir dengan baik dan memiliki sifat-sifat tanpa pamrih antar satu sama lain. Maksud terorganisir adalah adanya pertemuan, rapat, silaturahim antar berbagai masyarakat dan pihak yang pro masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengatur strategi ke depan yang akan dilakukan. Selain itu juga mengevaluasi dan mengetahui perkembangan saat itu. Tetapi mereka tidak berada dalam payung organisasi atau kelembagaan formal. Bagi para petani atau masyarakat yang ingin bersama dipersilakan untuk bergabung. Hubungan dalam gerakan juga tidak mengenal pamrih artinya masyarakat dan pihak pro masyarakat bergerak bersama untuk memperjuangkan kembali kepemilikan lahan masyarakat. 85 RIWAYAT HIDUP Nasyi’atul Laila dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 8 Mei 1994, dari pasangan Musri’an Busron (almarhum) dan Khoirul Bariyah. Pendidikan formal yang pernah dijalani adalah TK ABA 1 Sumberrejo (1999-2000), MI Muhammadiyah 18 Sumberrejo (2000-20006), MTs Negeri Model Babat (2006-2009), dan SMA Negeri 1 Babat (2009-2012). Pada tahun 2012, penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN) undangan. Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi, yaitu Wakil Ketua Dewan Musholla Asrama Putri Gedung A3 (2012), Anggota Divisi Rohis Kelas Forum Syiar Fakultas Ekologi Manusia (Forsia) (2013-2014), Anggota Divisi Pengembangan Masyarakat Paguyuban Karya Salemba Empat IPB (2013-2015), Bendahara Departemen External International Association of Students in Agriculture and Related Sciences (IAAS) Local Committee IPB (2013-2014), dan sebagai Sekretaris Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (Forsia). Selain itu penulis juga aktif di beberapa kepanitiaan di dalam kampus, yaitu Anggota Divisi Konsumsi TPB Cup (2013), Bendahara Divisi Konsumsi Open House IPB 50 (2013), Anggota Divisi Mulitimedia Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) 50 (2013), Bendahara Panitia FEMA Berqurban 1434 H (2013), Anggota Divisi Acara Masa Perkenalan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) (2014), Sekretaris Panitia Forsia Islamic Festival (2014), dan Anggota Divisi Acara Muslimah in Action Forsia (2015).