Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat

advertisement
1
HUBUNGAN INDUSTRIALISASI TERHADAP STRATEGI
GERAKAN PETANI
(Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang)
NASYI’ATUL LAILA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
1
HUBUNGAN INDUSTRIALISASI TERHADAP STRATEGI
GERAKAN PETANI
(Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang)
NASYI’ATUL LAILA
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
1
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA ∗
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Industrialisasi terhadap
Strategi Gerakan Petani (Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang)
adalah benar karya saya dengan arahan dari pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk
apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari
karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks
dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian
Bogor.
Bogor, Januari 2016
Nasyi’atul Laila
NIM I34120031
∗
Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerja sama dengan pihak luar IPB harus
didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.
1
ABSTRAK
NASYI’ATUL LAILA. Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan
Petani Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang). Di bawah
bimbingan Ir MURDIANTO, MSi
Kasus sengketa lahan sejak tahun 1970-an, antara petani, pemerintah, dan swasta
di wilayah Telukjambe Barat khususnya di Desa Wanakerta, Wanasari, dan
Margamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat telah meresahkan dan menguras
emosi rakyat tiga desa. Berdasarkan teori seharusnya industrialisasi tersebut
mampu menaikkan derajat atau aspek kehidupan suatu masyarakat justru
menimbulkan suatu gerakan yang memprotes. Maka tujuan penulisan adalah
menganalisis hubungan industrialisasi dengan startegi gerakan petani. Penelitian
ini merupakan penelitian kuantitatif (analisis korelasi) yang didukung data
kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penilaian masyarakat terhadap
industrialisasi di tiga desa yaitu sedang dan tidak berhubungan langsung dengan
perubahan kepemilikan lahan yang mengakibatkan strategi gerakan petani.
Berdasarkan analisis kualitatif mereka mengakui melalui gerakan ini untuk
menuntut proses hukum yang merugikan. Sengketa lahan tiga desa memang sudah
berlangsung lama dan belum menemukan solusi antara dua pihak yaitu
masyarakat dan perusahaan. Sejauh ini masyarakat semakin kuat karena ada
dukungan beberapa pihak dalam gerakan ini.
Kata kunci: industrialisasi, strategi gerakan, petani
ABSTRACT
NASYI’ATUL LAILA. Industrialization Relationship with Farmer Movement
Strategy (Studies: Three Rurals in District Telukjambe Barat, Karawang)
Supervised by Ir MURDIANTO, MSi
Cases of land disputes since the 1970s, between farmers, government, and private
sectors in the region, especially in the Village West Telukjambe Wanakerta,
Wanasari, and Margamulya, Karawang, West Java. This has been unsettling and
emotionally draining people of three villages. Based on the theory that
industrialization should be able to raise degrees or aspects of the life of a society
which raises a protest movement. So the purpose of writing is to analyze the
relationship industrialization strategy peasant movement. This research is
quantitative (correlation analysis) supported qualitative data. The results showed
that the public's assessment of the industrialization in the three villages that were
and are not directly related to changes in land ownership resulted in farmers'
movement strategy. Based on qualitative analysis they admit through this
movement to demand an adverse legal proceedings. Land dispute three villages
had been longstanding and have yet to find a solution between the two parties,
namely the public and companies. So far stronger community because there are
several parties to support this movement.
Keywords: industrialization, movement strategies, farmer
1
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau
menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,
penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu
masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
1
HUBUNGAN INDUSTRIALISASI TERHADAP STRATEGI
GERAKAN PETANI
(Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang)
NASYI’ATUL LAILA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
pada
Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat
DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
1
Judul Skripsi : Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan Petani
(Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe Barat, Karawang)
Nama
: Nasyi’atul Laila
NIM
: I34120031
Disetujui oleh
Ir Murdianto, MSi
Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Ir Siti Amanah, MSc
Ketua Departemen
Tanggal Lulus: _______________________
2
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat Rahmat
dan Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini berhasil
diselesaikan. Tema yang dipilih penelitian yang dilaksanakan sejak bulan
September ini adalah Hubungan Industrialisasi terhadap Strategi Gerakan Petani
(Kasus: Tiga Desa di Kecamatan Telukjambe, Karawang) ini dengan baik
Ucapan terima kasih penulis berikan kepada Bapak Ir Murdianto, MSi.
selaku dosen pembimbing atas bimbingan, saran, dan curahan waktunya kepada
penulis selama proses penulisan hingga penyelesaian skripsi ini. Penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada keluarga tercinta, yaitu
Ibu, Bapak (alm), dan Kakak-Kakak atas segala doa, curahan kasih sayang, saran,
motivasi dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis. Selain itu, penulis
mengucapkan terimakasih kepada Sepetak beserta warga Desa Wanasari,
Wanakerta, dan Margamulya. Tak lupa juga teman-teman satu organisasi Forum
Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (Forsia) 1436 H, kepanitiaan Open House
IPB, teman-teman KKNP Desa Gupit, omda Formala, donatur serta teman
beaswan Karya Salemba Empat, teman satu bimbingan, kakak-kakak kelas, serta
teman-teman satu departemen SKPM angkatan 49, atas kebersamaan dan
kesediaannya berbagi pengalaman dan memberikan saran-saran dalam penulisan
karya ilmiah ini.
Akhirnya, penulis berharap karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat
bagi semua pihak.
Bogor, Januari 2016
Nasyi’atul Laila
NIM I34120031
ix
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penelitian
Kegunaan Penelitian
PENDEKATAN TEORITIS
Tinjauan Pustaka
Kerangka Pemikiran
Hipotesis Penelitian
Definisi Operasional
PENDEKATAN LAPANGAN
Metode Penelitian
Lokasi dan Waktu
Teknik Pengumpulan Data
Teknik Penentuan Responden dan Informan
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
GAMBARAN UMUM
Kondisi Geografis Tiga Desa
Kondisi Sosial
Gambaran Kondisi Desa dengan Lahan Sengketa
Ikhtisar
INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN KEPEMILIKAN LAHAN DI TIGA
DESA
Kronologi Lahan Tiga Desa
Tingkat Industrialisasi
Perubahan Kepemilikan Lahan
Ikhtisar
FAKTOR-FAKTOR DAN STRATEGI GERAKAN PETANI
Faktor Internal
Faktor Eksternal
Strategi Gerakan Petani
Ikhtisar
HUBUNGAN STRATEGI GERAKAN PETANI DENGAN INDUSTRIALISASI
PENGALIHAN LAHAN DAN FAKTOR INTERNAL
Hubungan Tingkat Industrialisasi dengan Perubahan Kepemilikan Lahan
Hubungan Perubahan Kepemilikan Lahan dengan Strategi Gerakan Petani
Hubungan Dorongan Faktor Internal dengan Strategi Gerakan Petani
Ikhtisar
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
xii
xiii
xiii
1
1
3
3
4
5
5
13
14
15
21
21
22
22
23
23
25
25
27
29
30
32
32
37
40
41
44
44
48
51
53
54
54
56
58
59
62
62
62
64
x
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
69
85
xi
DAFTAR TABEL
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
Jarak Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya
menuju lokasi
pemerintahan daerah, provinsi, dan pusat
Jumlah dan persentase penduduk Desa Wanasari, Wanakerta, dan
Margamulya berdasarkan jenis kelamin pada tahun 2013
Jumlah dan persentase tingkat pendidikan penduduk Desa Wanakerta dan
Margamulya tahun 2011
Jumlah dan persentase indikator dari tingkat industrialisasi menurut
responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi Desa Wanasari, Wanakerta,
dan Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden di Desa
Wanasari, Wanakerta, Margamulya sebelum eksekusi lahan tahun 2015
Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden Desa
Wanasari, Wanakerta, Margamulya sesudah eksekusi lahan tahun 2015
Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden di Desa Wanasari,
Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase beban keluarga responden di Desa Wanasari,
Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase jumlah dan pengalaman berkelompok responden
lahan di Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase jumlah penyebaran media informasi responden di
Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase dorongan faktor internal responden di Desa
Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Jumlah dan persentase strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Desa
Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Hasil uji statistik hubungan tingkat industrialisasi dengan perubahan
kepemilikan lahan
Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan
lahan di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Hasil uji statistik hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan
strategi gerakan petani
Jumlah dan persentase oerubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan
petani di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Hasil uji statistik hubungan dorongan faktor internal dengan strategi gerakan
petani
Jumlah dan persentase faktor internal dan strategi gerakan petani di Desa
Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
24
26
28
37
39
40
41
44
46
46
47
48
51
55
56
57
57
58
59
xii
DAFTAR GAMBAR
1
2
Kerangka pemikiran
Metode pengambilan sampel
14
23
DAFTAR LAMPIRAN
1
2
3
4
5
6
7
Jadwal kegiatan skripsi tahun 2015-2016
Peta Desa Wanasari, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang,
Provinsi Jawa Barat
Peta Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten
Karawang, Provinsi Jawa Barat
Peta Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa
Barat
Kerangka sampling
Dokumentasi
Catatan tematik
71
72
73
74
75
77
78
1
PENDAHULUAN
Latar belakang
Abad ke-19 dan awal abad ke-20 di Indonesia secara terus menerus
muncul pemberontakan yang cukup menggoncangkan masyarakat dan
pemerintah. Tidak dapat disangkal, bahwa dominasi ekonomi, politik, dan kultural
oleh pihak tertentu membuka peluang masyarakat (rakyat) melakukan
pemberontakan sosial. Kajian Fauzi (2005) tentang gerakan rakyat beberapa
negara dunia ketiga berhasil memotret bentuk-bentuk karakter perlawanan 1.
Perlawanan dimulai dengan konfrontasi terhadap dominasi pemerintah dan
swasta. Strategi yang dikembangkan adalah mobilisasi rakyat dilakukan dengan
cara mengkonstruksi kembali identitas etnis. Dominasi tersebut akan atau telah
mengakibatkan beberapa perubahan sosial di masyarakat yang tidak diinginkan
oleh masyarakat.
Gerakan Samin merupakan salah satu fakta pergolakan sosial di pedesaan.
Gerakan ini memiliki ciri-ciri gerakan pedesaan yang lain, seperti pelakunya
adalah para petani. Gerakan Samin dimulai kira-kira akhir abad 19 lalu berhasil
mencapai puncaknya yaitu dengan berhasil membuat kecemasan pada pemerintah
Hindia Belanda (Subarkah dan Anggit 2014) 2. Fakta lain, gerakan petani dalam
melawan tuan tanah yang terjadi di Ciomas pada tahun 1886 3. Peristiwa ini
merupakan suatu pertentangan antara petani, tuan tanah dan pemerintah, dan
dengan jelas menampilkan situasi ricuh. Peristiwa tersebut menggambarkan
lemahnya kaum petani dalam menghadapi hegemoni kaum penguasa. Para petani
mampu membangun perlawanan terhadap hegemoni negara atau penguasa.
Upaya menjelaskan timbulnya protes petani dapat dilihat dari tiga faktor,
yaitu a) meluasnya komersialisasi pertanian yang mengakibatkan kemerosotan
ekonomi petani; b) pembentukan organisasi politik yang berasal dari luar
masyarakat petani mengembangkan tuntutan ekonomi, perlindungan, keahlian
berorganisasi, dan sistem niali baru; c) respons dari pilihan antara reformasi dan
penindasan yang menimbulkan dampak penting dan intensitas mobilisasi petani.
Para petani bersedia mengambil resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung
bila mereka menganggap ketidakadilan tidak lagi dapat ditoleransi 4.
Fakih (2000) juga mencoba menggambarkan perlawanan terhadap
pemerintah dengan melihat keterkaitan antara arus besar model pembangunan
dengan tumbuhnya gerakan sosial. Meski kajian keduanya menyandarkan pada
kasus LSM bukan organisasi petani sebagai sumbangan pemikiran tentunya patut
dipertimbangkan. Hanya, perlu merujuk pada kasus organisasi petani yang
berpola gerakan rakyat. Fakih menggambarkan bahwa arus besar paradigma
developmentalism turut membentuk karakter gerakan. Bentuk developmentalism
1
Fauzi N. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga.
Subarkah. Anggit W. 2014. Perlawanan Masyarakat Samin (Sedulur Sikep) Atas Kebijakan
Pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati (Studi Kebijakan Berbasis Lingkungan dan Kearifan
Lokal). 2014. Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.Vol.26 No.2
3
Perlawanan…. [Tidak ada tahun].Perlawanan Rakyat Ciomas terhadap Pemerintahan Hindia
Belanda.Dapat diunduh dari: http://www.bogorheritage.net/2013/11/perlawanan-rakyat-ciomasterhadap.html.
4
Ibid
2
2
dapat berupa upaya modernisasi. Seperti telah disebutkan termasuk komersialisasi
pada para petani di pedesaan. Secara sederhana modernisasi adalah proses
perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih maju, di mana
dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi,
pendapat Korten yang dikutip Purwandari (2012) menggarisbawahi masalah
pembangunan seringkali dalam perspektif dialektis menunjukkan saling
keterkaitan antara persoalan eksploitasi, dominasi dan penindasan politik. Dengan
demikian, gerakan sosial para petani di pedesaan berupaya melakukan
transformasi hingga mencapai alternatif pembangunan berorientasi rakyat (people
centered developmet).
Adapun kasus sengketa lahan sejak tahun 1970-an, antara petani,
pemerintah, dan swasta di wilayah Telukjambe Barat khususnya di Desa
Wanakerta, Wanasari, dan Margamulya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat telah
meresahkan dan menguras emosi rakyat tiga desa. Selain dijebak dalam drama
prosesi hukum formal yang melelahkan dan sesat, sehari-hari para petani juga
dihantui oleh teror dan intimidasi. Para petani terpaksa kehilangan lahan pertanian
karena dirampas oleh perusahaan besar di bidang properti di Indonesia, Agung
Podomoro Land. Mereka berusaha bersatu dan berjuang untuk merebut kembali
lahan mereka yang telah dirampas. Konflik lahan ini berawal sejak PT Sumber
Air Mas Pratama (SAMP) mengklaim menguasai lahan 350 hektar. Dalam
persidangan gugatan rekovensi di Pengadilan Negeri Karawang, pihak PT SAMP
yang kini sahamnya diakuisisi oleh Agung Podomoro Land itu berhasil menang.
Eksekusi lahan secara brutal yang dipimpin oleh Juru Sita Pengadilan Negeri
Karawang itu merupakan pelaksanaan putusan Peninjauan Kembali Mahkamah
Agung Nomor 160.PK/PDT/2011 (tertanggal 25 Mei 2011, selanjutnya disebut
PK 160). PK 160 telah memenangkan PT SAMP untuk mengusai lahan seluas 350
hektar dari rakyat. Meskipun sempat ditunda lantaran berada pada sengketa yang
rumit, PK 160 akhirnya dilaksanakan berdasarkan surat Ketua Muda Perdata MA
No.04/PAN.2/XII/357SPK/PDT/2012 tanggal 15 Januari 2013, surat Pengadilan
Tinggi Bandung tanggal 28 November 2012, surat Plt Ketua PT Bandung tanggal
12 Februari 2013, surat Ketua PT Bandung tanggal 11 April 2013, serta hasil
pemeriksaan Badan Pengawas MA, yang semuanya berisi petunjuk dan perintah
pelaksaan eksekusi.
Indikasi-indikasi adanya gerakan petani tersebut yang akan menjadi kajian
dalam penelitian ini. Berdasarkan teori seharusnya nilai-nilai modernitas salah
satunya industrialisasi tersebut mampu menaikkan derajat atau aspek kehidupan
suatu masyarakat justru menimbulkan suatu gerakan yang memprotes. Tetapi
kasus-kasus upaya dalam memodernkan suatu kehidupan yang dibawa dari luar ke
dalam suatu masyarakat telah banyak memunculkan suatu gerakan sosial. Bahkan
menurut para ahli seperti suatu gejala bahwa gerakan sosial seingkali muncul
dalam modernitas. Oleh karena itu, perlu dikaji secara mendalam mengapa
pelaksanaan industrialisasi semakin menimbulkan strategi-strategi para petani
untuk melawan nilai-nilai modernitas, khususnya industrialisasi. Para petani
bergerak bersama dalam tujuan yang mereka inginkan agar terjadi perubahan
aspek kehidupan yang lebik baik untuk petani.
3
Rumusan Masalah
Secara historis gerakan sosial adalah fenomena universal. Masyarakat
yang melakukan aksi ini tentu mempunyai alasan untuk bergabung dan berjuang
mencapai tujuan kolektif mereka dan menentang orang yang menghalagi mereka
mencapai tujuan itu. Sejarawan telah melukiskan pemberontakan dan ledakan
ketidakpuasan di zaman kuno, pemberontakan petani yang hebat di tahun 1381
dan 1525, reformasi dan gerakan kultural, etnis dan nasional sejak zaman
Renaisan. Strategi gerakan kini telah berkembang, para pengamat setuju bahwa
gerakan sosial muncul paling banyak dalam masyarakat modern. Tentunya ada
berbagai sebab yang memunculkan adanya suatu gerakan sosial. Kondisi
munculnya bentuk modernisasi yaitu industrialisasi seharusnya dapat membantu
aspek kehidupan masyarakat lebih baik, namun hal ini direspon berbeda oleh
masyarakat khususnya para petani setempat yang mana wilayahnya digunakan
untuk usaha industri. Oleh karena itu penelitian ini ingin mengetahui bagaimana
kronologi lahan tiga desa yang akan dijadikan usaha industri oleh
perusahaan?
Lahan pertanian merupakan alat produksi para petani tetapi mereka harus
dijauhkan dengan lahannya untuk dijadikan industri. Industrialisasi pada
masyarakat pertanian (agraris) di pedesaan merupakan salah satu penyebab
perubahan sosial yang mempengaruhi sistem dan struktur sosial masyarakatnya.
Para petani yang kehilangan lahannya berani bersama melawan dan menggugat
berdirinya industri. Sehingga muncul pertanyaan kedua, faktor-faktor apa saja
yang mendorong para petani di wilayah Telukjambe Barat melakukan
strategi gerakan dalam melawan perusahaan?
Selanjutnya para petani yang melakukan upaya melawan industrialisasi di
wilayah Telukjambe Barat akan dapat dianalisis strategi yang digunakan untuk
mencapai keberhasilan tujuan gerakan petani. Maka perlu dianalisis bagaimana
strategi gerakan para petani Telukjambe Barat dalam melawan perusahaan?
Seperti halnya yang dilakukan perlawanan Serikat Paguyuban Petani Qaryah
Thayyibah (SPPQT) dan organisasi yang ada di bawahnya adalah bentuk
perlawanan tersembunyi melalui strategi kemandirian produksi atau pun Petani
Desa Cisarua tidak melakukan upaya untuk mendapatkan akses dan penguasaan
atas lahan dengan tindak kekerasan, demo, ataupun reclaiming (ambil paksa)
karena petani tahu bahwa lahan yang mereka inginkan merupakan lahan yang
legal secara hukum merupakan HGU milik perkebunan dan masih berlaku.
Tujuan Penelitian
Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengkaji permasalahan yang
telah dipaparkan yaitu melihat hubungan industrialisasi dengan strategi gerakan
petani, tujuan khususnya ialah menjawab pertanyaan permasalahan, yakni:
1. Mengetahui kronologi lahan tiga desa yang akan dijadikan usaha industri oleh
perusahaan.
2. Menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan para petani di wilayah
Telukjambe Barat melakukan strategi gerakan dalam melawan perusahaan.
4
3. Menganalisis strategi para petani Telukjambe dalam gerakannya untuk
melawan perusahaan.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan berguna untuk berbagai pihak khususnya mengenai
hubungan industrialisasi terhadap strategi gerakan para petani di wilayah
Telukjambe Barat, Karawang. Secara umum karya ilmiah ini tentu ada
keterbatasan dengan melihat kondisi lapang yang mungkin bisa berbeda dengan
teori. Selain itu homogenitas jawaban pertanyaan dari petani karena yang mereka
rasakan adalah sama.
1. Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan serta pengetahuan
khususnya bagi para petani dalam persoalan sengketa lahan dengan pihakpihak swasta ataupun pemerintah. Tentunya juga dapat mempelajari kasus
konflik perebutan tanah sebelumnya yang terjadi sehingga dapat melakukan
strategi yang tepat untuk mencapai tujuan.
2. Pemerintah
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan bahan pertimbangan bagi
pemerintah dalam membuat keputusan yang tegas dan adil mengenai kasus
industrialisasi dan gerakan petani. Antara swasta ataupun masyarakat
diharapkan dapat memperoleh keputusan yang sesuai konstitusi atau kebijakan
yang ada.
3. Peneliti dan Akademisi
Bagi peneliti untuk menambah pengetahuan dan pengalaman langsung terkait
fenomena industrialisasi dan strategi gerakan petani. Sedangkan untuk
akademisi hasil penelitian ini dapat menjadi salah satu sumber informasi
mengenai starategi gerakan petani dalam memperjuangkan tanahnya di tengah
industrialisasi. Selain itu, diharapkan sebagai akumulasi kajian ilmu gerakan
perubahan sosial yaitu gerakan petani.
5
PENDEKATAN TEORITIS
Konsep Modernisasi
Pada dasarnya semua bangsa dan masyarakat di dunia ini senatiasa terlibat
dalam proses modernisasi, meskipun kecepatan dan arah perubahannya berbedabeda antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain (Suwarsono dan Y
So 1994). Proses modernisasi itu sangat luas, hampir-hampir tidak bisa dibatasi
ruang lingkup dan masalahnya, mulai dari aspek sosial, ekonomi, budaya, politik,
dan seterusnya. Modernisasi adalah suatu proses transformasi dari suatu arah
perubahan ke arah yang lebih maju atau meningkat dalam berbagai aspek dalam
kehidupan masyarakat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa modernisasi
adalah proses perubahan dari cara-cara tradisional ke cara-cara baru yang lebih
maju, di mana dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Modernisasi merupakan salah satu teori pembangunan. Terdapat beberapa
konsep kunci sosiologi yang berhubungan dengan proses-proses modernisasi
seperti industrialisasi, pertumbuhan ekonomi, kapitalisasi, perubahan struktur
masyarakat baik melalui kemajuan politik maupun mobilitas penduduk,
perkembangan serta teknologi.
Menelusuri sejarah panjang cikal bakal teori modernisasi lahir sebagai
produk sejarah tiga peristiwa penting dunia setelah masa Perang Dunia II.
Pertama, munculnya Amerika Serikat sebagai kekuatan dominan dunia. Sekalipun
negara-negara Barat lainnya, seperti Inggris, Perancis, dan Jerman semakin
melemah setelah Perang Dunia II. Pada tahun 1950-an secara praktis Amerika
Serikat mengambil peran sebagai pengendali percaturan dunia.
Kedua, pada saat yang hampir bersamaaan, terjadi perluasan gerakan
komunis sedunia. Uni Soviet mampu memperluas pengaruh politiknya tidak saja
sampai Eropa Timur tetapi juga sampai di Asia, antara lain Cina dan Korea. Ini
secara tidak langsung mendorong Amerika Serikat untuk berusaha memperluas
pengaruh politiknya pada belahan dunia lain, selain Eropa Barat.
Ketiga, lahirnya negara-negara merdeka baru di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin, yang sebelumnya merupakan daerah jajahan negara-negara Eropa. Negaranegara baru ini secara serempak mencari model-model pembangunan yang hendak
digunakan sebagai contoh untuk membangun ekonominya dan dalam usaha untuk
mempercepat pencapaian kemerdekaan politiknya. Situasi dunia seperti ini wajar
jika elit politik Amerika Serikat memberikan dorongan dan fasilitas bagi ilmuwan
sosialnya untuk mempelajari permasalahan Dunia Ketiga.
Jika pada masa sebelum Perang Dunia II, persoalan pembangunan negara
Dunia Ketiga hanya sedikit sekali mendapat perhatian para ilmuwan Amerika
Serikat, namun keadaan yang sebaliknya terjadi setelah Perang Dunia II. Dengan
bantuan melimpah dari pemerintah Amerika Serikat dan organisasi swasta, satu
generasi baru ilmuwan politik, ekonomi, dan para ahli sosiologi, psikologi,
antropologi, serta kependudukan menghasilkan karya-karya disertasi dan
monograf tentang Dunia Ketiga.
Sejarah panjang tersebut tidak terlepas dari upaya pembangunan Indonesia
sejak kemerdekaannya 70 tahun silam. Tentunya Indonesia akan mencontoh
model pembangunan seperti apa untuk membangun dan mempercepat ekonomi
6
dan politik negara Indonesia. Hingga pada akhirnya saat ini Indonesia menganut
sistem demokratisasi dengan dasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Di
sisi lain Indonesia juga memperkuat investasi dalam negeri berupa industrialisasi
dan pasar untuk mempercepat pertumbuhan ekonominya. Kondisi ini menurut
Boeke 5 sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara tujuan-tujuan kegiatan
ekonomi Barat dan Timur. Ada dorongan di satu pihak dan pengutamaan
keperluan sosial di pihak lain. Percuma berusaha memasukkan teknologi dan
kelembagaan modern dari Barat ke pedesaan Indonesia. Lebih tepat
mempertahankan pola lama perekonomian desa. Pemikiran ini disebut “dualism
statis” yaitu apa yang baik untuk sektor modern belum tentu baik pula untuk
sektor tradisional, maka waspadalah dalam membina hubungan antara keduanya.
Bentuk-bentuk modernisasi inilah yang biasa terjadi dalam masyarakat berupa
industrialiasasi, urbanisasi, kapitalisasi, pertumbuhan ekonomi. Unsur-unsur
kegiatan memodernkan suatu masyarakat mengadopsi apa yang dilakukan oleh
Barat kemudian diterapkan di Indonesia. Tetapi tidak semua industrialisasi adalah
bentuk dari modernisasi. Negara yang tidak menganut perspektif modernisasi di
sisi lain juga menerapkan industrialisasi negara.
Industrialisasi
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984, industri adalah
kegiatan ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, produk setengah
jadi, dan atau produk jadi menjadi produk dengan nilai yang lebih tinggi untuk
penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri.
Industrialisasi sebagai bentuk strategi modernisasi hadir dalam bentuk kegiatan
ekonomi Barat untuk mempengaruhi ekonomi Timur yang ada di pedesaan.
Melalui industrialisasi ini perubahan-perubahan yang luas dalam kehidupan
masyarakat diharapkan terjadi sesuai pernyataan Purwanto (2005) yang dikutip
oleh Vanadiani (2011).
Berkembangnya masyarakat dan maraknya program pembangunan
membawa konsekuesi semakin pesat dan perubahan pada masyarakat pedesaan.
Hal yang paling sering dijumpai dalam kehidupan pedesaan di Jawa adalah
adanya industrialisasi seiring dengan tujuan negara untuk memperkuat
pertumbuhan ekonomi. Industrialisasi pedesaan didasarkan pada model
transformasi teknologi dan pengetahuan dengan sebesar-besarnya memanfaatkan
sumberdaya lokal. Industri pedesaan adalah transisi dari industri yang bersifat
warisan dengan industri modern. Melalui industri ini dapat berfungsi sebagai alat
pertumbuhan ekonomi. Dengan industrialisasi, kualitas dan produktivitas terjaga
sehingga desa mampu bersaing di dalam sistem ekonomi yang modern.
Berkembangnya industri di pedesaan tidak terlepas dari alasan yang
menganggap industri lebih penting untuk dikembangkan, terutama dibandingkan
dengan bidang pertanian. Industrialisasi pedesaan juga berfungsi meningkatkan
kesejahteraan sosial ekonomi, dan hal ini dapat diukur antara lain dari segi
pendapatan dan lapangan kerja baru. Secara sempit industrialisasi pedesaan
bertujuan menganekaragamkan peningkatan pendapatan dan peningkatan
5
J. H. Boeke dalam Sajogyo.Lapisan Masyarakat yang Paling Lemah di Pedesaan Jawa. 1978.
Prisma. 7(3): 3-14.
7
produktivitas ekonomi masyarakat pedesaan 6. Pada perkembangannya keberadaan
industri di pedesaan seringkali untuk mendapatkan tenaga murah, menghindari
protes dan sekaligus karena diletakkan di pedesaan oleh peraturan pemerintah.
Selain itu juga diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 daerah diberi
kewenangan dan menjalankan kekuasanan ekonominya. Sehingga mendorong
upaya pemerintah daerah setempat untuk membangun industri-industri di
pedesaan dan kota-kota kecil.
Menurut Purwanto (2005) seperti yang dikutip oleh Vanadiani (2011)
bahwa industrialisasi menyebabkan penyempitan lahan pertanian, peningkatan
arus migrasi, terbukanya kegiatan ekonomi dan munculnya peluang kerja di
bidang non pertanian. Di kawasan industri lahan pertanian dialihfungsikan untuk
pembangunan industri. Selain itu, tenaga kerja merupakan input utama dalam
proses produksi industri yang dapat ditemukan di pedesaan. Dalam kaitannya
dengan input produksi lahan, pengembangan industri mengharuskan terjadinya
konversi atau alihfungsi lahan dari kegiatan pertanian ke non pertanian. Konversi
lahan menjadi aktivitas utama yang menandai berdirinya industri di kawasan
pedesaan. Akibat lebih lanjut adalah terkonsentrasinya penguasaan lahan di
tangan petani lapisan atas serta pemilik modal. Lahan tidak hanya diubah menjadi
kawasan industri, namun setelahnya diikuti pula oleh berubahnya lahan menjadi
unit usaha lain di pedesaan. Selain konversi lahan, timbul pula gejala
komersialisasi lahan yang meluas cepat di daerah pedesaan. Lahan yang semula
menjadi faktor penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu
sendiri. Semakin sempit lahan garapan untuk bertani dan semakin terpusatnya
penguasaan lahan di kalangan petani lapisan atas dan pemilik modal, dapat
mempengaruhi aktivitas pertanian di pedesaan. Lahan yang semula menjadi faktor
penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas itu sendiri. Menurut
Schneider (1993) yang dikutip oleh Hasan et al. (2014) salah satu akibat yang
terpenting dari timbulnya industrialisasi adalah terbentuknya komunitaskomunitas baru, atau perubahan serta pertumbuhan yang cepat dari komunitas
yang sudah ada. Masuknya para pekerja pendatang dalam jumlah yang banyak
dan menetap di desa, pada akhirnya menyebabkan peningkatan jumlah tenaga
kerja dan pertumbuhan komunitas di sekitar industri. Kehadiran para pendatang
ini kemudian akan mempengaruhi proses sosial, terutama pada relasi sosial yang
terjadi di kalangan masyarakat desa.
Konsep Hak Atas Tanah
Hukum tanah nasional Indonesia diatur di dalam Undang-undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang dikenal
dengan sebutan Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA. Dalam konteks
reforma agraria, tanah memiliki posisi penting. Artian tanah tidak semata-mata
tanah tetapi juga air, udara, dan ruang angkasa serta segala sesuatu yang
terkandung di dalamnya.
Tanah menempati kedudukan strategis dalam kehidupan petani, karena
tanah merupakan modal utama, di sanalah tempat atau pangkal dari budaya petani
itu sendiri. Ketika kemudian tanah dapat dimiliki dan diwariskan oleh para petani,
6
Konsep ini merupakan pemikiran yang dikemukakan oleh Profesor Sarbini Sumawinata, Guru
Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
8
tanah memiliki nilai yang begitu besar. Tanah adalah permukiman bumi demikian
dinyatakan dalam Pasal 4 UUPA.
Menurut Harsono (2007) hak atas tanah dengan demikian mengandung
kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai dalam
arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah
tertentu yang dihaki. Adapun pemakaiannya tidak mungkin terbatas pada
permukaan bumi tanahnya saja. Untuk keperluan apapun selalu diperlukan
penggunaan sebagian tubuh bumi di bawahnya dan atau sebagian ruang di
atasnya. Maka hak atas tanah bukan saja memberi wewenang untuk memakai
bidang tanah yang dihaki. Tetapi kewenangan pemakaian itu meliputi juga
sebagian tubuh bumi di bawahnya sebagian ruang yang ada di atasnya sekedar
diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan pemakaian
tanah yang dihaki. Sedalam dan setinggi dalam batas kewajaran, sesuai tujuan
penggunaan dan kemampuan fisik tanahnya serta ketentuan hukum yang berlaku,
biarpun bumi, air, dan ruang tersebut tidak termasuk obyek haknya. Tanah
mempunyai fungsi sosial yaitu mengandung unsur kebersamaan dan
keseimbangan antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum. Penerapannya
menghormati hak dan martabat pemegang hak yang bersangkutan. Jika tanah yang
dihaki karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya
sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup bidang tanah lain dari lalu
lintas umum atau jalur air. Pemegang hak atas tanah yang bersangkutan wajib
membrikan jalan keluar atau kemudahan lain dari bidang tanah yang terkurung.
Hak-hak atas tanah yang ketentuan hukumnya diatur dalam UUPA adalah
hak milik, hak guna, hak usaha, hak guna bangunan, dan hak pakai. Tetapi untuk
ukuran pada taraf individu hanya akan dibahas mengenai hak milik. Ketiga hak
lainnya memiliki kriteria peruntukkan untuk usaha dan kegiatan pemerintahan.
Hak milik bersifat khusus yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk
memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki tetapi juga mengandung
hubungan psikologis-emosional antara pemehang hak. Dalam hukum tanah
nasional, hak milik diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang
yang berkewarganegaraan tunggal, baik untuk keperluan membangun sesuatu di
atasnya, tidak terbatas jangka waktu berlakunya. Dapat beralih warisan atau
pindah tangan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Dapat dijadikan jaminan
utang dengan dibebani hal tanggungan. Hanya tanah hak milik yang dapat
diwakafkan, setelah diwakafkan tanah yang bersangkutan tidak lahi berstatus hak
milik. Hak milik ini apabila dimiliki oleh individu akan mampu memberikan
akses bagi individu untuk memanfaatannya seperti yang telah diatur dalam
UUPA.
Konsep Gerakan Sosial
Gerakan sosial hampir selalu mendapat perhatian media massa terkait
dengan tujuan yang mereka hendaki seperti hak asasi manusia, kesetaraan gender,
kebebasan beragama, hingga kepemilikan tanah. Gerakan sosial (social
movement) merupakan peristiwa penting sebagai faktor utama penyebab
perubahan sosial. Seiring dengan pernyataan Sztompka (2005) bahwa asal
perubahan berasal dari bawah sebagai gerakan manifes dari bawah, gerakan sosial
9
ini dicirikan oleh bersatunya orang-orang untuk mengorganisir diri dalam
tujuannya membuat perubahan dalam masyarakat.
Menurut Sztompka terdapat empat komponen penting dari gerakan sosial
yaitu: 1) kolektivitas orang yang bertindak bersama; 2) tujuan bersama adalah
perubahan tertentu; 3) kolektivitas relatif tersebar namun lebih rendah derajatnya;
dan 4) tindakannya mempunyai derajat spontanitas yang tinggi tetapi tak
terlembaga. Pernyataan ini didukung juga oleh Mc Adam dan Snow seperti yang
dikutip Sztompka (2005) bahwa gerakan sosial adalah aksi kolektif,
kesinambungan (temporal), hilang-muncul lagi, dan berada di luar jalur
kelembagaan.
Dalam perubahan sosial, gerakan sosial bisa menjadi penyebab, efek
maupun mediator yang mempengaruhi jalannya perubahan sosial. Selama ini
penelitian banyak membahas mengenai gerakan sosial adalah menuntut suatu
perubahan, jarang sekali sebagai dampak dari perubahan sosial. Apabila dilihat
memang seperti siklikal tetapi tergantung melihatnya dari segi mana.
Sedangkan menurut Mc Adam et al. seperti yang dikutip Ariendi (2011)
gerakan sosial terjadi pada masyarakat yang sedang mengalami perubahan,
transisional menuju perubahan sosial karena terbukanya kesempatan aktor untuk
merespon, memobilisasi struktur-struktur sosial dan budaya. Sehingga
memungkinkan dilakukannya komunikasi, koordinasi, dan komitmen di antara
para aktor sehingga menghasilkan kesamaan pengertian dan memunculkan
kesadaran bersama tentang apa yang sedang terjadi. Ada sebuah tesis yang dikutip
oleh Sztompka (2005) dari Nedihhart dan Rucht yang mengatakan semakin
modern suatu kehidupan semakin tinggi adanya gerakan sosial. Masyarakat yang
sangat modern cenderung menjadi masyarakat gerakan.
Keduanya memiliki hubungan karena modernitas adalah bagian dari
adanya perubahan sosial. Kembali kepada konsep industrialisasi pedesaan yang
berfungsi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi, dan hal ini dapat diukur
antara lain dari segi pendapatan dan lapangan kerja baru. Secara sempit
industrialisasi pedesaan bertujuan menganekaragamkan peningkatan pendapatan
dan peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat pedesaan. Sehingga muncul
berbagai pendapat munculnya gerakan sosial di zaman modern, yaitu:
a. Tema Emile Durkheim: kepadatan penduduk di Jawa;
b. tema Ferdinand Tonnies: masyarakat guyub (gemenshaft)  tidak guyub
(gessellschaft);
c. tema Marxian: adanya ketimpangan antara lapisan atas dan bawah;
d. tema Weberian: transformasi sistem politik menjadi lebih demokratis;
e. Auguste Comte dan Saint Simon: penaklukan, kontrol, dominasi;
f. peningkatan pendidikan dan kultur umum akan kesadaran;
g. kemunculan dan penyebaran media massa.
Salah satu nilai modernitas dalam bentuk industrialisasi yaitu contoh
penelitian Subarkah et al. (2014), di Kecamatan Sukolilo, rencananya akan di
bangun pabrik semen oleh PT Semen Gresik dengan luas lahan mencapai ± 2000
hektar (bahkan lebih luas). Bahan baku pabrik semen tersebut adalah batu
gamping/ batu kapur yang berasal dari kawasan perbukitan kars di Kecamatan
Sukolilo, Kabupaten Pati. Masyarakat yang menolak rencana penambangan
umumnya memiliki kekhawatiran akan keselamatan lingkungan mereka, terutama
pada lahan pertanian dan suplai air. Penolakan warga ini dilatarbelakangi oleh
10
sebuah pandangan hidup mengenai kearifan lokal, khususnya masyarakat Sedulur
Sikep. Hubungan keduanya memunculkan suatu gerakan sosial yaitu gerakan
Sedulur Sikep.
Faktor-Faktor Keterlibatan Gerakan Petani
Faktor Internal
Pembahasan sebelumnya menyatakan bagaimana keterlibatan masyarakat
khususnya para petani dalam suatu gerakan sosial. Dalam konteks penelitian ini
adalah gerakan petani. Terdapat berbagai alasan selain contoh yang diungkapkan
dalam kasus masyarakat Sedulur Sikep sesuai yang dikatakan Pangestu (1995)
yang dikutip oleh Febriana (1995) dari Keterlibatan seseorang dalam suatu
program atau kegiatan tergantung pada faktor-faktor internal. Hal-hal yang
mencakup karakteristik individu yang dapat mempengaruhi individu tersebut
untuk berpartisipasi dalam suatu kegiatan. Karakteristik individu tersebut
mencakup umur, tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan
pengalaman berkelompok, dan jumlah penyebaran media informasi.
Sesuai pernyataan Ajiswarman (1996) yang dikutip oleh Wicaksono
(2010) bahwa tingkat pendidikan mempengaruhi penerimaan seseorang terhadap
sesuatu hal yang baru. Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin
mudah baginya untuk menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya.
Jumlah beban tanggungan juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi partisipasi. Seperti yang diungkapkan Ajiswarman (1996) dikutip
oleh Febriana (2008) bahwa semakin besar jumlah beban keluarga menyebabkan
waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan berkurang karena sebagian besar
waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarga.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal berdasarkan sejarah perlawanan petani di Indonesia
yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam gerakan adalah kesempatan
politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan terjadinya protes
berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang ada disuatu kota.
Saat awal abad 19 mereka bergantung pada organisasi kepartaian seperti SI, IP,
dan ISDP. Sementara pada awal kemerdekaan bergantung pada partai politik, dan
masa orde baru bergantung kepada mahasiswa dan LSM atau organisasi
pendukung para petani. Seperti Petani Pasundan (SPP) memiliki keterkaitan
dengan gerakan mahasiswa di Kota Ciamis, gerakan petani Desa Keprasan
Kabupaten Blitar memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya.
Sikap dan strategi petani terlihat masih bergantung pada kelompok-kelompok
gerakan di perkotaan. Saat awal abad 19 mereka bergantung pada organisasi
kepartaian sepert SI, IP, dan ISDP. Sementara pada awal kemerdekaan bergantung
pada partai politik, dan masa orde baru bergantung kepada mahasiswa dan LSM.
Kemudian pasca jatuhnya pemerintahan Soeharto begitu banyak terjadi gerakan
petani di berbagai daerah. Tetapi terlihat kemampuan mengorganisir mereka
masih belum bisa dan memiliki keterkaitan dengan pihak-pihak lain, seperti
mahasiswa maupun LSM. Serikat Petani Pasundan (SPP) memiliki keterkaitan
11
dengan gerakan mahasiswa di Kota Ciamis, gerakan petani Desa Keprasan
Kabupaten Blitar memiliki keterkaitan dengan LBH Surabaya. Hal itulah yang
menjadi dasar bahwa strategi gerakan petani dalam melawan kekuasaan yang ada
berbeda-beda tergantung dari dukungan yang mereka dapatkan dalam melawan
arus ketidakadilan.
Gerakan Petani di Indonesia
Tanpa adanya pemberontakan petani, radikalisme di negara-negara agraris
dan semi agraris tak akan mampu menuntaskan sebuah transformasi sosial sesuai
pernyataan Bahri (1999) yang dikutip Fajrin (2011). Begitu juga aksi-aksi
pemberontakan petani banyak bermunculan juga di Indonesia. Seperti gerakan
Samin di Jawa Tengah (akhir abad 19), gerakan petani melawan tuan tanah di
Ciomas (1886), Kartosuro (1886), dan pemberontakan petani Banten (1888) .
Gerakan-gerakan petani ini merupakan salah satu bentuk dari gerakan sosial
(Handayani 2004). Gerakan tersebut bersifat sangat lokal, sporadis, dan tidak
memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Mereka memiliki
tujuan dalam satuan kelompok gerakan.
Pada tahun 1912 terjadi pengorganisasian petani secara masif di Sumatera,
Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sumatera. Serikat Islam (SI) merupakan organisasi
yang sangat berpengaruh saat itu berhasil mempertemukan gerakan petani di
pedesaan dengan gagasan revolusioner kemerdekaan. Membentuk tatanan
masyarakat untuk terbebas dari kolonial. Organisasi ini berhasil memperkenalkan
aksi perlwanan yang berbeda, sepeti boikot dan pemogokan. Aksi perlawanan ini
diadopsi untuk menentang pemilik modal dan pemerintah yang saat itu marak
terjadi di Eropa. Tak heran organisasi SI, Indische Partij (IP), dan Indische SocialDemocratische Partij (ISDP) melakukan hal itu bersama para petani karena
banyak di antara mereka bersekolah di Eropa.
Pasca kemerdekaan, khususnya pada periode waktu 1950–1965, hampir
seluruh organisasi petani yang ada merupakan perpanjangan tangan dari berbagai
partai politik di tingkat nasional. Kehadiran organisasi tani seperti Serikat Tani
Islam Indonesia (STII) yang bernaung di bawah Masyumi, Persatuan Tani
Nahdatul Ulama (PETANU) yang bernaung di bawah NU, Persatuan Tani
Indonesia (PETANI) yang bernaung di bawah PNI, serta Barisan Tani Indonesia
(BTI) yang memiliki hubungan yang erat dengan PKI, menjadi peta gerakan
petani pasca kemerdekaan hingga tahun 1965. PKI mengklaim dirinya sebagai
perwakilan dari para petani tak bertanah. Tetapi justru mentah dengan sendirinya.
BTI malah melindungi tuan tanah yang menjadi simpatisan dari PKI.
Pemerintahan Presiden Soeharto melarang seluruh kegiatan organisasi
petani yang ada di masa pemerintahan Presiden Soekarno. Para petani mulai
kehilangan kekuatan politik karena banyak para pemimpin gerakan yang dibunuh
dan mendapatkan tekanan hidup dari rezim orde baru. Kembali pada kehidupan
semula petani adalah jalan keluar saat itu, mereka berusaha memperthankan hidup
dengan berbagai intervensi Rezim Orde Baru.
Pada pertengahan tahun 1980-an, gerakan petani mulai aktif semenjak
intervensi modal yang intensif dilakukan di wilayah pedesaan. Sedangkan saat itu
di perkotaan sedang aktif tumbuhnya gerakan mahasiswa dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) yang masuk ke pedesaan dengan berbagai kegiatan, yaitu
12
sosial politik, pendidikan, kesehatan, dan advokasi. Mahasiswa yang dibungkam
saat Pemerintahan Soeharto mulai turun ke jalan, begitu juga LSM yang sudah
berpengalaman dalam menangani permasalahan lebih petani lebih banyak
mengambil jalan pembelaan di peradilan atau mengirim surat protes ke
pemerintah. Para petani mulai mengenal aksi massa dan demonstrasi setelah
menjalin hubungan dengan mahasiswa, kelompok gerakan perkotaan. Pada awal
1990-an terjadi aliansi gerakan petani dengan mahasiswa dalam bentuk
demonstrasi ke DPRD dan kantor-kantor gubernur.
Strategi Gerakan Petani
Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan “sungguhsungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Perlawanan “insidental”
ditandai oleh: (a) tidak terorganisasi, tidak sistematis, dan individual, (b) bersifat
untung-untungan dan pamrih, (c) tidak mempunyai akibat-akibat revolusioner,
dan (d) dalam maksud dan logika mengandung arti penyesuaian dengan sistem
dominan yang ada. Sebaliknya perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan:
(a) lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif, (b) berprinsip atau tanpa pamrih,
(c) mempunyai akibat-akibat revolusioner, dan (d) mengandung gagasan atau
tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi. Scott juga mengatakan bahwa
apapun kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh petani dapat dilihat sebagai
perlawanan seperti aksi mencuri hasil panen jika hal tersebut sesuai dengan tujuan
definisi perlawanan. Perlawanan petani juga tidak harus dalam bentuk aksi
bersama.
Untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang
tepat. Terdapat dua bentuk strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani, yaitu:
(1) melalui jalur hukum dan (2) aksi massa secara langsung oleh petani. Aksi
massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu: (1) reklaiming;
(2) ekspansi anggota baru; (3) dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan (4)
aksi demonstrasi.
Menurut Sitorus (2006), berdasarkan moda gerakan reklaim tanah, tipologi
reforma agraria dibagi menjadi tiga yaitu: (1) aneksasi, (2) integrasi, dan (3)
kultivasi. Pembagian tipologi reforma agraria dari bawah ini merujuk pada cara
mendapatkan akses terhadap tanah. Tipe aneksasi dimana masyarakat secara
langsung menempati kawasan hutan negara secara paksa dan illegal untuk
kegiatan pertanian. Tipe kedua ialah tipe integrasi di mana gerakan yang
dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan komunitas lokal dalam
manajemen sumberdaya hutan. Tipe yang ketiga ialah tipe kultivasi,
menggabungkan kedua tipe aneksasi dan integrasi. Pada satu sisi, tanah direklaim
dan secara faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah
juga masih diklaim dan juga secara faktual dikelola sebagai bagian dari taman
nasional seperti di Sintuwu di mana penduduk merambah kawasan hutan negara
dan melakukan aksi unjuk rasa untuk memperjuangkan hak mereka.
Konsep Petani
Kajian tentang petani mensyaratkan dilakukannya penelusuran terhadap
kebijakan pemerintah Indonesia. Pada umumnya, orang yang berusaha dalam
13
bidang pertanian disebut dengan petani. Tetapi terdapat perbedaan dalam definisi
petani itu sendiri dari berbagai sudut pandang. Sjaf (2010) menyatakan bahwa
petani tergolong menjadi dua yaitu peasant dan farmer. Sifat usaha pertanian
peasant berupa pengolahan lahan dengan bantuan keluarga sendiri untuk
menghasilkan bahan makanan bagi keperluan hidup sehari-hari keluarga petani
tersebut atau disebut cara hidup subsisten. Sedangkan, farmer melakukan
pengolahan lahan pertanian dengan bantuan tenaga buruh tani, dan menjalankan
produksi dalam rangka untuk mencari keuntungan dengan cara hasil produksi
pertanian mereka dijual ke pasar.
Scott menyatakan tentang relasi sosial yang dibangun petani dengan aktor
lain melahirkan prinsip “savety first” untuk menyelamatkan diri dari kekuatan
lain. Kritik Popkin terhadap Scott yang dikutip Purwandari et al. (2012)
menyatakan bahwa petani memiliki aspek-aspek rasionalitas untuk menunjang
kelangsungan kehidupan mereka. Selama masih ada tingkat-tingkat ekonomi
ganda, keinginan untuk maju dari satu tingkat ke tingkat selanjutnya, dan
keinginan untuk menghindari kejatuhan, para petani akan selalu terlibat baik
dalam asuransi maupun dalam perjudian yakni investasi yang aman atau penuh
resiko. Meskipun secara teoritis paparan Popkin merupakan kritik atas tesis Scott,
namun prakteknya, masih terdapat prinsip “mencari aman” yang muncul dalam
investasi yang dijalankan di mana petani cenderung akan memilih investasi
pribadi untuk kesejahteraan masa depan melalui anak dan tabungan daripada
berinvestasi, dan mengandalkan resiprositas dan asuransi masa depan yang berasal
dari desa.
Kerangka Pemikiran
Masuknya bentuk modernisasi berupa industrialisasi di pedesaan dengan
dominasi kehidupan para petani akan memberikan perubahan kepada kehidupan
sosial, budaya, dan ekonomi bagi para petani di desa. Biasanya upaya modern
yang ditanam di daerah pedesaan dalah sebuah industri ataupun perluasan areal
perkebunan baik dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Pada penelitian ini
akan dibahas suatu pengembangan industri yang masuk ke wilayah Telukjambe
Barat ditandai dengan adanya konversi dan komersialisasi lahan, serta
ketenagakerjaan. Industrialisasi tersebut memiliki hubungan dengan proses
pengalihan kepemilikan lahan. Lahan pertanian yang dimiliki para petani berubah
secara hak dan penguasaanya. Kemudian munculah reaksi yang berhubungan
dengan berdirinya industri di pedesaan. Para petani melawan dan
mempertahankan kehidupan lama mereka. Dalam penelitian yang akan diungkap
adalah strategi petani ketika melawan arus modernisasi yang masuk ke desa
mereka. Upaya yang mereka lakukan adalah aksi kolektif dari bawah yang tidak
terlembaga dan bersifat spontanitas untuk mencapai tujuan perubahan sosial yang
dikehendaki. Sehingga nilai-nilai tradisi mereka tetap bertahan atau kehidupan
sejahtera mereka tidak terganggu.
Secara ringkas, alur kerangka pemikiran dalam penelitian ini disajikan
dalam Gambar 1.
14
Gambar 1 Kerangka pemikiran
Terdapat juga faktor-faktor yang membuat para petani untuk ikut serta
dalam gerakan petani kemudian mengatur strategi yang mereka gunakan untuk
mencapai tujuan bersama. Faktor-faktor tersebut terdiri dari internal dan eksternal.
Faktor internal terdiri dari tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan
pengalaman dan berkelompok, serta tingkat penyebaran media informasi.
Sedangkan faktor eksternal terdiri dari kesempatan politik dan organisasi
pendukung.
Hipotesis Penelitian
Hipotesis
Penyusunan hipotesis bertujuan untuk memudahkan peneliti menjawab
permasalahan dan dalam rangka untuk mencapai tujuan dari penelitian yang telah
dirumuskan. Terdiri dari dua jenis hipotesis yaitu:
15
Hipotesis pengarah
Dari kerangka pemikiran di atas maka dapat disusun hipotesis pengarah
yaitu terdapat hubungan faktor eksternal dengan keterlibatan petani dalam gerakan
yang kemudian memicu para petani untuk berstrategi dalam gerakan tersebut
apakah secara bentuk dan sifat.
Hipotesis Uji
1. Terdapat hubungan antara tingkat industrialisasi yang tinggi dengan
perubahan kepemilikan lahan.
2. Terdapat hubungan perubahan kepemilikan lahan dengan strategisnya gerakan
petani.
3. Terdapat hubungan dorongan faktor internal yang tinggi dengan strategisnya
gerakan petani.
Definisi Operasional
Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan
untuk mengukur variabel. Masing-masing variabel diberi batasan terlebih dahulu
agar dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah yang digunakan
adalah:
Tingkat Industrialisasi
Konversi lahan
Konversi lahan adalah perubahan fungsi peruntukkan lahan. Sementara
tingkat konversi lahan menunjukkan laju alih fungsi lahan pertanian ke non
pertanian dari waktu ke waktu. Konversi lahan berkaitan dengan perubahan
penggunaan lahan pertanian. Konversi lahan ditandai dengan:
1. Terjadi perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian sejak ada
industri hingga saat ini.
2. Perubahan penggunaan lahan dari pertanian ke non pertanian sejak
berkembangnya industri hingga saat ini dalam kurun waktu 5 tahun
meningkat.
Komersialisasi lahan
Komersialisasi lahan adalah suatu proses menjadikan lahan sebagai
komoditas ekonomi atau barang dagangan. Sementara tingkat komersialisasi lahan
menunjukkan laju pengalihan kepemilikan lahan dari satu orang ke orang lainnya
yang dilakukan atas dasar ekonomi. Komersialisasi lahan ditandai dengan:
1. Pemilikan atau penguasaan lahan responden diperoleh dari hasil jual beli.
Penyerapan tenaga kerja
Penyerapan tenaga kerja (TK) adalah kesempatan kerja yang diberikan sektor
industri pada masyarakat, serta sejauh mana masyarakat dapat memanfaatkan
kesempatan kerja tersebut. Tingkat penyerapan tenaga kerja d ditandai dengan:
1. Ketersediaan TK untuk usaha non pertanian lebih tinggi dari ketersediaan TK
untuk usaha pertanian.
2. Peluang kesempatan kerja di sektor non pertanian lebih tinggi dari peluang
kerja di sektor pertanian.
16
3. Permintaan TK di sektor non pertanian lebih tinggi dari permintaan dan
penawaran TK di sektor pertanian.
4. Penawaran TK di sektor non pertanian lebih tinggi dari permintaan dan
penawaran TK di sektor pertanian
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu:
(i) Sangat sesuai
(skor 5)
(ii) Sesuai
(skor 4)
(iii) Ragu-ragu
(skor 3)
(iv) Tidak sesuai
(skor 2)
(v) Sangat tidak sesuai
(skor 1)
Data diukur menggunakan skala ordinal. Dihitung dengan rumus : (nilai
maksimal-nilai minimal):3. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah
indikator yang digunakan, maka tingkat industrialisasi dapat dibagi kedalam dua
kategori, yaitu:
Tinggi
: x� + sd < x
Sedang
: x� − sd ≤ x ≤ x� + sd
Rendah
: x < x� − sd
Perubahan Kepemilikan Lahan
Hak milik
Hak milik bersifat khusus yang bukan sekedar berisikan kewenangan untuk
memakai suatu bidang tanah tertentu yang dihaki tetapi juga mengandung
hubungan psikologis-emosional antara pemehang hak. Hak milik tanah dapat
diketahui dengan indikator berikut ini:
1. Hak milik diperuntukkan khusus bagi warga negara Indonesia saja yang
berkewarganegaraan tunggal.
2. Tanah untuk keperluan membangun sesuatu di atasnya
3. Tidak terbatas jangka waktu berlakunya.
4. Dapat beralih warisan atau pindah tangan kepada pihak lain yang memenuhi
syarat.
5. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hal tanggungan.
6. Hanya tanah hak milik yang dapat diwakafkan.
Variabel ini diukur dengan menggunakan:
(i) Ya
(Skor 2)
(ii) Tidak
(Skor 1)
Data diukur menggunakan skala ordinal. Dihitung dengan rumus : (nilai
maksimal-nilai minimal):3. Menggunakan ukuran waktu sebelum dan sesudah
proses industri masuk. Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah indikator
yang digunakan, maka penilaian terhadap kepemilikan tanah dapat dibagi ke
dalam tiga kategori, yaitu:
Tinggi
: skor 10 < x ≤ 12
Sedang
: skor 8 < x ≤ 10
Rendah
: skor 6 ≤ x ≤ 8
Kemudian dibandingkan antara sebelum dan sesudah ekseskusi, apabila menurun
atau meningkat penilaian kepemilikan terhadap tanah maka terdapat perubahan
pemilikan tanah oleh masyarakat.
17
Faktor-Faktor Internal
1. Tingkat Pendidikan
Semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin mudah baginya untuk
menerima hal-hal baru yang ada di sekitarnya. Kondisi ini akan disesuaikan
dengan rata-rata tingkat pendidikan para responden.
Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan
total jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat pendidikan dapat dibagi
ke dalam tiga kategori, yaitu:
Tinggi
: 75 ≤ x ≤ 100
Sedang
: 50 ≤ x < 75
Rendah : 25 ≤ x < 50.
2. Jumlah beban keluarga
Jumlah beban tanggungan juga dinyatakan sebagai salah satu faktor yang
mempengaruhi partisipasi. semakin besar jumlah beban keluarga
menyebabkan waktu untuk berpatisipasi dalam kegiatan akan berkurang
karena sebagian besar waktunya digunakan untuk mencari nafkah demi
memenuhi kebutuhan keluarga. Kondisi ini akan disesuaikan dengan rata-rata
tingkat pendidikan para responden.
Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan
total jumlah indikator yang digunakan, maka jumlah beban keluarga dapat
dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
Tinggi
: x� + sd < x
Sedang
: x� − sd ≤ x ≤ x� + sd
Rendah : x < x� − sd
3. Jumlah dan pengalaman berkelompok
Keikutsertaan petani dalam mengikuti kegiatan baik organisasi, lembaga, atau
perkumpulan lainnya. Kondisi ini akan disesuaikan dengan rata-rata jumlah
dan pengalaman berkelompok para responden.
Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan
total jumlah indikator yang digunakan, maka jumlah dan pengalaman
berkelompok dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
Tinggi
: x� + sd < x
Sedang
: x� − sd ≤ x ≤ x� + sd
Rendah : x < x� − sd
4. Tingkat penyebaran media Informasi
Muncul berbagai pendapat munculnya gerakan sosial di zaman modern karena
terdapat penyebaran media informasi. Penyebaran informasi melalui media
informasi telah seperti surat kabar, radio, televisi dan film telah membentuk
pengetahuan dan pendapat manusiadalam kehidupan. Bahkan dari orang di
sekitar kita.
Data diukur menggunakan skala ordinal. Jika diklasifikasikan berdasarkan
total jumlah indikator yang digunakan, maka tingkat penyebaran media
informasi dapat dibagi ke dalam tiga kategori, yaitu:
Tinggi
: x� + sd < x
18
Sedang
: x� − sd ≤ x ≤ x� + sd
Rendah : x < x� − sd
Strategi Gerakan
Strategi Gerakan, menurut Scott (1993) menjelaskan perbedaan antara perlawanan
“sungguh-sungguh” dengan perlawanan yang bersifat “insidental”. Untuk
mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat.
Perlawanan sungguh-sungguh
Perlawanan “sungguh-sunguh” ditandai dengan:
1. lebih teroganisasi, sistematis, dan kooperatif,
2. berprinsip atau tanpa pamrih,
3. mempunyai akibat-akibat revolusioner atau perubahan yang berarti banyak,
dan
4. mengandung gagasan atau tujuan yang meniadakan dasar dari dominasi,
5. untuk mencapai tujuan, petani perlu menyusun strategi gerakan yang tepat.
Sedangkan untuk insidental dapat diukur melalui kebalikan dari perlawanan
sungguh-sungguh.
Bentuk strategi
Berdasarkan bentuk terdapat dua strategi umum yang dapat dilakukan oleh petani,
yaitu:
1. Melalui jalur hukum:
Strategi melalui jalur hukum dilakukan dengan mengirim surat dan melakukan
berbagai pertemuan dengan pejabat dan instansi terkait.
2. Aksi massa secara langsung oleh petani.
Aksi massa menurut Aji (2005), dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
Reklaiming, moda gerakan reklaim tanah dibagi menjadi tiga yaitu:
- Masyarakat secara langsung menempati kawasan hutan negara secara
paksa dan illegal untuk kegiatan pertanian.
- Gerakan yang dilakukan masyarakat mengkolaborasikan negara dan
komunitas lokal dalam manajemen sumberdaya hutan.
- Menggabungkan kedua tipe, pada satu sisi tanah direklaim dan secara
faktual ditanami atau diusahakan oleh penduduk tapi di sisi lain tanah juga
masih diklaim dan juga secara faktual dikelola oleh pihak selain
penduduk.
Ekspansi anggota baru;
Dukungan terhadap organisasi tani lokal; dan
Aksi demonstrasi.
Variabel ini diukur dengan menggunakan skala Likert, yaitu:
(i) Sangat sesuai
(skor 5)
(ii) Sesuai
(skor 4)
(iii) Ragu-ragu
(skor 3)
(iv) Tidak sesuai
(skor 2)
19
(v) Sangat tidak sesuai
(skor 1)
Data diukur menggunakan
maksimal-nilai minimal):3.
indikator yang digunakan,
kategori, yaitu:
Ya, strategis
Ya, cukup berstrategi
Tidak berstrategi
skala nomina. Dihitung dengan rumus : (nilai
Jika diklasifikasikan berdasarkan total jumlah
maka strategi petani dapat dibagi kedalam tiga
: skor 59 < x ≤ 80
: skor 38 < x ≤ 59
: skor 16 ≤ x ≤ 38
20
21
PENDEKATAN LAPANG
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif yang didukung data
kualitatif untuk memperkaya data dan informasi yang diperoleh. Sehingga hasil
penelitian ini dapat lebih memahami fenomena sosial yang terjadi di lapang.
Penelitian kuantitatif diperoleh dengan menggunakan metode survei
menggunakan instrumen kuesioner. Hal ini sesuai dengan pandangan
Singarimbun et al. (1989), “penelitian survei merupakan penelitian yang
mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuisioner sebagai alat
pengumpul data yang pokok”. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan
menetapkan terlebih dahulu konsep sebagai variabel-variabel yang berhubungan
berdasarkan teori yang sudah ada. Kemudian variabel-variabel tersebut dicari dan
ditetapkan indikator-indikatornya. Hasil dari indikator yang telah ditetapkan
tersebut kemudian dibuat dalam bentuk kuesioner yang terdiri dari pilihan
jawaban dan skor-skor yang telah di tentukan peneliti.
Pendekatan penelitian kuantitatif digunakan untuk menguji konsep
industrialisasi, perubahan kepemilikan lahan, faktor-faktor internal yang
berhubungan dengan keterlibatan petani , serta strategi gerakan para petani yaitu
secara bentuk dan sifat. Sedangkan penelitian kualitatif dilakukan dengan cara
wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumentasi terkait. Data kualitatif
digunakan untuk menjelaskan atau menggambarkan mengenai kronologi lahan
tiga desa di wilayah Telukjambe Barat, faktor-faktor eksternal terdiri dari
organisasi pendukung dan kesempatan politik para petani berhubungan dengan
keterlibatan gerakan sehingga mengatur strategi gerakan.
Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi pengumpulan data untuk keperluan penelitian ini adalah di wilayah
Telukjambe Barat. Terdapat tiga desa yang lahan pertaniannya dalam kasus ini
akan dijadikan indsutri yaitu Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya.
Pemilihan lokasi dilakukan secara sengaja atau purposive, yaitu berdasarkan data
bahwa para pemilik lahan di tiga desa tersebut melakukan gerakan untuk
mempertahankan kepemilikan lahan mereka dari industri. Selain itu, sengketa
lahan ini telah berlansung selama 20 tahun lebih yaitu berawal sejak PT Sumber
Air Mas Pratama (SAMP) mengklaim menguasai lahan 350 hektar. Kemudian
diakuisisi sekitar 50 persen sahamnya oleh Agung Podomoo Land untuk dijadikan
wilayah industri.
Penelitian ini dilakukan dalam jangka waktu empat bulan terhitung mulai
bulan Juni 2015 sampai Desember 2015. Pada bulan Juli dan Agustus, penelitian
dihentikan sementara karena peneliti harus melakukan tugas Kuliah Kerja Nyata
Berbasis Profesi selama kurang lebih dua bulan di Kabupaten Sukoharjo, Jawa
Tengah. Penelitian ini dimulai dengan penyusunan proposal penelitian, survei
penjajagan, kolokium proposal penelitian, perbaikan proposal penelitian,
22
pengambilan data lapangan, draft skripsi, uji petik, sidang skripsi dan perbaikan
laporan skripsi (lihat Lampiran 1).
Teknik Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer didapatkan langsung di lapangan dengan cara observasi,
survei, serta wawancara mendalam yang dilakukan langsung kepada respondern
maupun informan. Alat ukur yang digunakan dalam mengumpulkan data
kuantitatif adalah kuesioner yang ditujukan kepada responden. Pengisian
kuesioner dipandu oleh peneliti untuk mencegah terjadinya kesalahan dalam
pengisian jawaban.
Sedangkan data sekunder diperoleh melalui informasi tertulis di kantor
desa, data-data dan literatur-literatur yang mendukung kebutuhan data mengenai
fokus penelitian seperti sejarah lahan di Telukjambe Barat, profil desa, monografi,
daftar pemilik lahan yang lahannya terkena sengketa. Adapun juga berupa
literatur-literatur yang berkaitan dengan penelitian seperti buku-buku mengenai
gerakan sosial, industrialisasi, serta literatur-literatur terkait.
Responden adalah orang yang memberikan keterangan mengenai
informasi ataupun data di sekitar lingkungannya yang berhubungan dengan
penelitian ini. Populasi dalam penelitian terdiri yaitu para petani pemilik lahan
sengketa dengan PT SAMP di wilayah Telukjambe Barat, yaitu di Desa Wanasari,
pada blok 14, Desa Wanakerta pada blok 9, dan Margamulya pada blok 3.
Teknik Penentuan Responden dan Informan
Unit yang digunakan adalah individu yaitu para petani yang lahannya
bersengketa dengan PT SAMP di tiga desa yaitu Desa Wanakerta, Wanasari, dan
Margamulya di wilayah Telukjambe Barat. Alasan individu petani tersebut adalah
karena mereka yang mengalami dampak langsung proses-proses perusahaan
masuk, lahan mereka yang terpaksa dialihkan kepada perusahaan, dan melakukan
strategi untuk perlawanan. Metode pengumpulan sampel akan menggunakan
simple random sampling. Prosedur menentukan sampel yang terpilih dari
pengundian tabel acak yang dilakukan dengan melihat pada kerangka sampling.
Kerangka sampling merupakan daftar dari semua unsur sampling dalam populasi
sampling. Penelitian ini menggunakan kerangka sampling yang merupakan daftar
para petani pemilik lahan bersengketa dengan PT SAMP di tiga desa yaitu
Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya. Khususnya pada blok 14, 9 dan 3.
Kemudian menggunakan tabel angka acak. Penelitian ini akan menggunakan 32
sampel dari keseluruhan populasi tiga desa karena mengingat syarat minimal
sampel adalah 30 dan melihat kemampuan serta jangkauan terhadap responden
ketika di lapang (lihat Gambar 2).
23
Gambar 2 Metode pengambilan sampel
Total populasi adalah 278 orang yang menyebar di tiga desa yaitu
Wanasari berjumlah 131 orang, Wanakerta berjumlah
48 orang, dan
Margamulya berjumlah 99 orang. Secara keseluruhan daftar pemilik lahan blokblok tertentu dari setiap desa telah direduksi dari nama pemilik yang lebih dari
satu. Hal ini agar memiliki peluang yang sama. Desa Wanasari memang terpilih
lebih banyak dibandingkan dua desa lainnya. Selain itu, beberapa pemilik lahan
sudah ada yang pergi keluar desa sehingga membutuhkan beberapa pergantian
responden. Sebelumnya telah dilakukan pengambilan lebih dari 32 sampel untuk
antisipasi hal tersebut. Sementara itu, pemilihan terhadap informan akan
dilakukan secara sengaja (purposive) dan jumlahnya tidak ditentukan. Informan
adalah pihak yang memberikan keterangan dan informasi yang dibutuhkan dan
digunakan sebagai pendukung data penelitian. Orang-orang yang dijadikan
sebagai informan dalam penelitian ini adalah aparatur desa, tokoh masyarakat,
LSM, ormas yang mengetahui jelas perkembangan sengketa lahan di wilayah
Telukjambe Barat.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data
Penelitian ini memiliki dua jenis data yang akan diolah dan dianalisis,
yaitu data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif menggunakan aplikasi
Microsoft Excell 2007 dan SPSS. for windows 21.0. Pembuatan tabel fekruensi
serta tabel tabulasi silang untuk melihat data awal responden masing-masing
variabel secara tunggal menggunakan Microsoft Excell 2007. Selanjutnya dan
SPSS. for windows 21.0 digunakan untuk membantu dalam uji statistik yang akan
menggunakan uji korelasi Rank Spearman. Rank Spearman digunakan untuk
melihat hubungan antara industrialisasi dengan strategi gerakan para petani.
Data kualitatif digunakan sebagai data pendukung yang akan diolah dan
dianalisis dengan konten analisis. Pengolahan dan analisis data kualitatif
dilakukan dengan mereduksi atau meringkas data dengan menggolongkan,
mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasikan data
24
sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keperluan untuk menjawab pertanyaan
analisis di dalam penelitian. Selanjutnya ialah penyajian data yang berupa
menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian katakata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Verifikasi adalah langkah
terakhir yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada
tahap reduksi.
25
GAMBARAN UMUM DESA
Kondisi Geografis Tiga Desa
Desa Wanasari merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah
Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Desa Wanasari dipimpin
oleh kepala desa. Saat ini Desa Wanasari dipimpin oleh Bapak SWK, yang kini
memasuki masa periode jabatan yang terakhir. Sesuai dengan database Desa
Wanasari, luas wilayah Desa Wanasari sekitar 889.563 hektar. Geografis Desa
Wanasari berada di ketinggian 51 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebelah
utara Desa Wanasari berbatasan dengan Desa Karangmulya, Kecamatan
Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanakerta, Kecamatan
Telukjambe Barat, sisi barat berbatasan dengan Sungai Cibeet Kecamatan
Cikarang Pusat, Bekasi, dan sisi timur berbatasan dengan Desa Margamulya,
Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Wanasari terdiri atas dua dusun, antara lain
Dusun Baregbeg, dan Dusun Nyabolog. Secara administratif Wanasari terbagi ke
dalam empat Rukun Warga (RW) dan sembilan belas Rukun Tetangga (RT).
Suhu rata-rata harian di Desa Wanasari adalah 320C. Sedangkan iklim
desa sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia yaitu kemarau dan
penghujan. Umumnya kondisi geografis Desa Wanasari sebagai daerah agraris
pertanian karena kesuburan tanahnya.
Tabel 1 Jarak tiga desa menuju lokasi pemerintahan daerah, provinsi, dan pusat
Lokasi
Jarak tempuh (km) setiap desa
Wanasari
Wanakerta Margamulya
Ibukota Kecamatan Telukjambe Barat
4
8
6
Ibukota Kabupaten Karawang
15
18
8
Ibukota Provinsi Jawa Barat, Bandung
98
98
92
Ibukota Negara Indonesia, Jakarta
42
46
40
Sumber: Data monografi Desa Wanasari, 2013; Data monografi Desa Wanakerta, 2013; Data
https://desawanakerta.wordpress.com/, 2011
Berdasarkan kondisi di lapang bahwa pusat-pusat gerakan ada di beberapa
desa yaitu Margamulya dan Wanasari. Terdapat base camp atau rumah tokoh
bahkan warung yang menjadi tempat penyusunan strategi gerakan. Tempat
tersebut berada di dua desa karena jangkauan yang lebih dekat dengan kawasan
eksekusi dan kota, selain itu paling mudah ditempuh. Lokasi desa yang paling
jauh adalah Desa Wanakerta biasanya juga berkumpul ke Wanasari. Sepanjang
jalan utama ketiga desa tersebut posisi base camp di Wanasari dan Margamulya
mudah ditempuh dengan kendaraan bermotor. Selain masyarakat beberapa pihak
yang pro juga turut serta dalam diskusi-diskusi kecil di tempat tersebut.
Desa Wanasari terletak pada jarak 4 kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan
Telukjambe Barat. Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat ditempuh
adalah sepuluh menit, baik dengan menggunakan sepeda motor. Bila ingin menuju
Ibu Kota Kabupaten Karawang waktu yang dapat ditempuh berkisar setengah jam
perjalanan dengan jarak tempuh sejauh 15 kilo meter dengan menggunakan
kendaraan bermotor.
26
Desa Wanakerta merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah
Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Desa Wanakerta dipimpin
oleh kepala desa. Saat ini Desa Wanakerta dipimpin oleh Bapak KNT. Luas
wilayah Desa Wanakerta sekitar 572 hektar. Bentuk wilayah berombak 35 persen
dan berombak sampai berbukit 65 persen. Jumlah bulan hujan 3 bulan dengan
suhu rata-rata harian 270C. Umumnya kondisi geografis Desa Wanakerta sebagai
daerah agraris pertanian karena kesuburan tanahnya. Geografis Desa Wanasari
berada di ketinggian 77 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sebelah utara Desa
Wanakerta berbatasan dengan Desa Wanasari, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi
selatan berbatasan dengan Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi
barat berbatasan dengan Desa Bangbeur Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi
timur berbatasan dengan Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat.
Desa Wanakerta terletak pada jarak delapan kilo meter dari Ibu Kota
Kecamatan Telujambe Barat Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat
ditempuh adalah sekitar lima belas menit, baik dengan menggunakan sepeda
motor maupun angkutan umum. Bila ingin menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang
waktu yang dapat ditempuh berkisar setengah jam perjalanan dengan jarak
tempuh sejauh 18 km dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Desa Margamulya merupakan sebuah desa yang terletak di wilayah
Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang. Desa Margamulya dipimpin
oleh kepala desa. Saat ini Desa Margamulya dipimpin oleh Bapak IMN. Sesuai
dengan database Desa Margamulya, luas wilayah Desa Margamulya sekitar 670
hektar. Sebelah utara dan barat Desa Margamulya berbatasan dengan Desa
Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan Desa
Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi timur berbatasan dengan Desa
Margakaya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Margamulya terdiri atas empat
dusun, yaitu Dusun Jati, Kalijati, Cibogo, dan Kiarajaya. Secara administratif
Margamulya terbagi ke dalam empat Rukun Warga (RW) dan tiga belas Rukun
Tetangga (RT).
Mengenai iklim suhu rata-rata harian Desa Margamulya adalah 320C.
Geografis Desa Margamulya berada di ketinggian 18 meter di atas permukaan laut
(mdpl). Sedangkan iklim desa sebagaimana desa-desa lain di wilayah Indonesia
yaitu kemarau dan penghujan. Topografi desa berbukit-bukit seluas 150 hektar
dan dataran tinggi pegunungan seluas 520 hektar.
Desa Margamulya terletak pada jarak enam kilo meter dari Ibu Kota
Kecamatan Telukjambe Barat. Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat
ditempuh adalah sepuluh hingga sepuluh menit, baik dengan menggunakan
sepeda motor. Bila ingin menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang waktu yang
dapat ditempuh berkisar lima belas menit dengan jarak tempuh sejauh 8 kilo meter
dengan menggunakan kendaraan bermotor.
Secara umum ketiga desa tersebut termasuk dalam wilayah Kecamatan
Telukjambe Barat. Letak ketiga desa tersebut dari arah Ibu Kota Kabupaten
Karawang melalui jalan utama berurutan yaitu Margamulya, Karangmulya,
Wanasari, dan Wanakerta. Tetapi bila dibandingkan dengan letak Kantor
Kecamatan Telukjambe Barat berada di posisi pertengahan antara Margamulya
dan Wanasari. Akses untuk menuju tiga desa dapat menggunakan kendaraan
bermotor apabila ingin menjangkau ke setiap dusun. Sepanjang jalan Desa
Margamulya dan Wanasari bersebelahan dengan sungai irigasi. Jadi terdapat
27
beberapa RT dan RW terpisah oleh sungai. Ketiga desa sangat dekat dengan akses
jalan tol Karawang. Sehingga tidak heran saat eksekusi tahun 2014 mereka sempat
menutup jalan tol. Perjalan menuju Jakarta pun dapat ditempuh sekitar satu jam,
terdapat angkutan umum seperti bus yang dapat dengan mudah dijangkau
masyarakat.
Sedangkan cuaca ketiga desa memiliki sebaran suhu 27º - 32ºC serta iklim
kemarau dan penghujan. Topografi desa terutama Margamulya cenderung
berbukit-bukit dibandingkan kedua desa lainnya. Di antara ketiga desa yang
memliki wilayah terluas adalah Desa Wanasari. Tetapi wilayah administratif
dusun terdiri hanya dua. Berbeda dengan Margamulya yang memiliki luasan 670
hektar tetapi memiliki empat dusun. Sedangkan Desa Wanakerta tidak diperoleh
data jumlah dusun, RT, dan RW. Tetapi Desa Wanakerta memiliki luasan wilayah
yang paling sempit dibandingkan kedua desa lainnya. Berdasarkan pengamatan di
lapang, selain sepanjang jalan adalah sungai irigasi dan perumahan warga terdapat
juga bentangan padi sawah ketika menuju ke Desa Wanasari dan Wanakerta.
Lokasi yang paling dekat dengan kawasan industri adalah Wanasari. Oleh karena
itu akses jalan sering dipenuhi oleh aktivitas perusahaan seperti pengangkutan
barang dengan truk-truk besar. Selain itu, terdapat juga lapangan golf yang
bersebelahan dengan rumah warga di Desa Margamulya. Hal ini juga dapat
ditemukan di sepanjang jalan menuju Desa Wanasari dan Wanakerta.
Kondisi Sosial
Berdasarkan Data Base Desa Wanasari, jumlah penduduk di desa ini
adalah 4 577 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 489 KK. Penduduk
laki-laki berjumlah 2 288 jiwa atau berjumlah sekitar 49.9 persen dan penduduk
perempuan berjumlah 2 289 jiwa atau sekitar 50.1 persen. Berdasarkan Data Base
Desa Wanakerta, jumlah penduduk di desa ini adalah 3 506 jiwa dengan jumlah
kepala keluarga sebanyak 1 244 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 1 796 jiwa
atau berjumlah sekitar 51.2 persen dan penduduk perempuan berjumlah 1 710
jiwa atau sekitar 48.8 persen. Berdasarkan Data Base Desa Margamulya, jumlah
penduduk di desa ini adalah 4 805 jiwa dengan jumlah kepala keluarga sebanyak
1 728 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 2 530 jiwa atau berjumlah sekitar 52.7
persen dan penduduk perempuan berjumlah 2 275 jiwa atau sekitar 47.3 persen
(lihat Tabel 2).
Tabel 2 Jumlah dan persentase penduduk berdasarkan jenis kelamin di Desa
Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya
Jenis
Wanasari
Wanakerta
Margamulya
kelamin
n
%
n
%
n
%
Laki-laki
2 288
49.9
1 796
51.2
2 530
52.7
Perempuan
2 289
50.1
1 710
48.8
2 275
47.3
Total
4 577
100.0
3 506
100.0
4 805
100.0
Sumber: Data monografi Desa Wanasari, 2013; Data monografi Desa Wanakerta, 2013; Data
https://desawanakerta.wordpress.com/, 2011
Menurut data jumlah penduduk ketiga desa bahwa yang paling tinggi
jumlah penduduknya adalah Desa Margamulya yaitu 4 805 jiwa. Sedangkan
kedua yaitu Desa Wanasari sejumlah 4 577 jiwa, setelah itu Desa Wanakerta
28
sejumlah 3 506 jiwa. Meskipun luasan wilayah Desa Wanasari lebih luas
dibanding dua desa tetapi jumlah pendudukya tidak juga lebih tinggi. Sedangkan
penyebaran laki-laki dan perempuan, untuk desa yang memiliki jumlah penduduk
berjenis kelamin perempuan paling tinggi adalah Desa Wanasari sejumlah 2 289
jiwa. Meskipun dalam satu lingkupan Desa Wanasari jumlah penduduk laki-laki
dan perempuan mendekati seimbang. Sedangkan jumlah penduduk jenis kelamin
laki-laki paling tinggi di Desa Margamulya yaitu 2 530 jiwa. Secara keseluruhan
jumlah penduduk berjenis kelamin laki-laki sejumlah 6 614 jiwa sedangkan
perempuan sejumlah 6 274 jiwa. Memang secara keseluruhan jumlah penduduk
berjenis kelamin laki-laki dan perempuan didominasi oleh laki-laki yaitu Desa
Margamulya dan Wanakerta. Sedangkan Desa Wanasari hampir seimbang antara
laki-laki dan perempuan. Secara keseluruhan saat berdiskusi dengan anggota
gerakan memang terlihat peranan laki-laki lebih terlihat. Beberapa responden juga
sebagian besar adalah laki-laki. Jumlah penduduk Margamulya dan Wanasari
yang lebih tinggi ternyata juga pemilik lahan sengketa yang lebih tinggi. Aksi
yang terlihat juga menunjukan Wanasari dan Margamulya lebih banyak
penduduknya terlibat.
Selanjutnya adalah mata pencaharian setiap desa. Penduduk Desa
Wanakerta yaitu petani sejumlah 142 jiwa, buruh tani sejumlah 220 jiwa, buruh
swasta sejumlah 735 jiwa, pegawai/PNS sejumlah 139 jiwa, dan wiraswasta 203
jiwa. Mengamati data tersebut mata pencaharian warga Desa Wanekerta paling
banyak sebagai buruh swasta. Hal ini dimungkinkan karena lokasi berdekatan
dengan pabrik-pabrik atau industri besar. Sedangkan Desa Margamulya memiliki
jumlah rumah tangga petani sebesar 382 keluarga atau 1 210 anggota, jumlah
rumah tangga perkebunan 12 keluarga atau 46 anggota, jumlah rumah tangga
industri 210 keluarga atau 75 anggota, jumlah sektor rumah tangga sektor jasa dan
perdagangan 8 keluarga atau 12 anggota. Masyarakat Desa Margamulya lebih
mengandalkan usaha bercocok tanam dibandingkan Desa Wanakerta. Saat melihat
kondisi lapang memang terlihat adanya sawah dan ladang. Apalagi didukung
dengan sungai irigasi sepanjang Desa Margamulya. Lokasi Margamulya memang
yang tidak berdekatan langsung dengan usaha kawasan industri. Sedangkan Desa
Wanasari tidak diperoleh data mengenai mata pencaharian warga. Karena pada
saat turun lapang pihak desa sedang membuat keluaran terbaru potensi desa. Jadi
yang diberikan hanya sekedar kondisi geografis saja.
Gambaran tingkatan pendidikan adalah salah satu indikator pembangunan
manusia. Karena itu gambaran tingkatan pendidikan suatu masyarakat harus ada
dalam data base desa. Berikut ini akan terdapat perbandingan tingkatan
pendidikan setiap desa kecuali Desa Wanasari karena pihak desa tidak
memberikannya. Berikut ini adalah data mengenai pendidikan warga Desa
Margamulya dan Wanakerta.
29
Tabel 3 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan warga
Wanakerta, dan Margamulya
Tingkat pendidikan
Wanakerta
n
%
Belum sekolah
383
10.9
Pernah/tidak tamat SD
127
3.7
Tamat SD
522
14.8
Tidak tamat SLTP
*
*
SLTP/sederajat
955
27.2
Tidak tamat SLTA
*
*
SLTA
1 400
40.0
Akademi (D1, D2, D3)
93
2.6
Sarjana (S1)
23
0.7
Pasca sarjana
3
0.1
Total
3 506
100.0
di Desa Wanasari,
Margamulya
n
%
330
6.9
649
13.5
1 192
24.8
120
2.5
1 221
25.4
0
0.0
1 230
25.6
47
1.0
16
0.3
0
0.0
4 805
100.0
Sumber: Data monografi Desa Wanakerta, 2013; Data https://desawanakerta.wordpress.com/,
2011
Keterangan: *) tidak ada data
Kategori yang dimiliki oleh data base pendidikan warga Desa Margamulya
lebih detil dibandingkan dengan Desa Wanakerta. Secara umum tingkat
pendidikan warga Desa Wanakerta dan Desa Margamulya berada paling banyak
lulus SLTA. Kemudian dibandingkan pendidikan paling rendah yaitu belum
sekolah paling banyak terjadi di Desa Wanakerta. Tetapi di sisi lain tingkatan
pendidikan paling tertinggi yaitu pasca sarjana Desa Wanakerta memiliki
meskipun kecil dibandingkan Desa Margamulya yang tidak ada. Apabila ditarik
kesimpulan tingkat pendidikan warga kedua desa sudah cukup baik. Hal itu
didukung sarana dan prasarana bangunan sekolah. Desa Margamulya memiliki 12
bangunan pendidikan terdiri dari gedung SMA berjumlah 1, gedung SMP
berjumlah 2, gedung SD berjumlah 6, gedung TK berjumlah 2, dan gedung
bermain anak berjumlah 1. Begitu juga dengan Desa Wanakerta memiliki gedung
gedung SMP berjumlah 1, SD berjumlah 5, gedung TK berjumlah 3, dan gedung
bermain anak 2. Berdasarkan pengamatan lapang bangunan-bangunan sekolah
sepanjang jalan utama desa ada. Di antara dua desa yaitu Wanasari dan Wanakerta
juga terdapat gedung SMA kecamatan Telukjambe Barat.Sebagian besar
masyarakat Wanakerta memeluk agama islam yaitu sebesar 3 404 jiwa dan etnis
Sunda sebesar 63.4 persen. Rata-rata pendapatan per anggota keluarga di Desa
Margamulya sebesar Rp1 985 000. Sedangkan untuk kedua desa lainnya tidak
diketahui jumlahnya berapa.
Gambaran Kondisi Desa dengan Lahan Sengketa
Ketiga desa tersebut letaknya dekat dengan pintu keluar dan masuk tol
Karawang. Selain itu juga dekat dengan kawasan industri Karawang. Apabila dari
Desa Wanasari dan Wanakerta dapat ditempuh selama sepuluh menit ke kawasan
industri. Sedangkan letak eksekusi lahan sengketa agak masuk ke dalam ketika
melewati kawasan industri. Topografi yang berbukit-bukit dan banyak ditanami
30
tanaman keras sepanjang jalan. Para petani dan masyarakat lainnya sering
berkumpul di atas bukit dekat lokasi eksekusi lahan. Tepatnya di Dusun
Kiarajaya, Margamulya. Sedangkan aksi demo yang berlangsung tahun 2014 tepat
di bawah jembatan Desa Wanasari yaitu jalan tol.
Lahan sengketa yang telah dieksekusi salah satunya di Desa Margamulya.
Saat melihat kondisi lapang memang lahan sudah gundul dan terdiri papan-papan
peringatan PT SAMP. Terlihat kondisi yang berbeda antara sebelah kanan dan kiri
jalan karena sebelahnya masih terdapat pemukiman penduduk setempat.
Sedangkan kator pemasaran PT SAMP beradadi kawasan industri yang masih
masuk wilayah tiga desa. Berdasarkan data pemilik lahan di Wanakerta yang
terkena sengketa adalah yang paling sedikit yaitu 48 orang. Sedangkan yang
paling banyak adalah Desa Wanasari yaitu 139 orang. Blok-blok sengketa setiap
desa yaitu blok 14 untuk Desa Wanasari, blok 9 untuk Desa Wanakerta, dan blok
3 untuk Desa Margamulya. Aksi massa juga pernah terjadi di kawasan
konsorsium yaitu terletak dalam lingkupan kawasan industri.
Ikhtisar
Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya merupakan sebuah desa
yang terletak di Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang, Provinsi
Jawa Barat. Berdasarkan letak geografisnya, Desa Wanasari berbatasan langsung
dengan beberapa wilayah di sekitarnya, seperti Desa Karangmulya di bagian
utara, Desa Wanakerta di bagian selatan, Sungat Cibeet Kecamatan Cikarang
Pusat di bagian barat, dan bagian timur dengan Desa Margamulya. Letak Desa
Wanasari berada pada jarak 4 kilo meter dari Ibu Kota Kecamatan Telukjambe
Barat. Jarak Desa Wanasari menuju Ibu Kota Kabupaten Karawang adalah sejauh
15 kilo meter yang dapat ditempuh selama setengah jam perjalanan dengan
menggunakan kendaraan bermotor. Berdasarkan data kependudukan desa pada
tahun 2013, penduduk Desa Wanasari berjumlah 4 577 jiwa. Sebagian besar mata
pencaharian masyarakat desa adalah buruh tani. Fasilitas-fasilitas desa, seperti
tempat ibadah dan pelayanan kesehatan juga telah tersedia bagi masyarakat. Desa
Wanakerta berada di sisi selatan Desa Wanasari, Kecamatan Telukjambe Barat,
sisi selatan berbatasan dengan Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi
barat berbatasan dengan Desa Bangbeur Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi
timur berbatasan dengan Desa Margamulya, Kecamatan Telukjambe Barat.
Desa Wanakerta terletak pada jarak delapan kilo meter dari Ibu Kota
Kecamatan Telujambe Barat Lokasi desa dari kecamatan, waktu yang dapat
ditempuh adalah sekitar lima belas menit, baik dengan menggunakan sepeda
motor maupun angkutan umum.jumlah penduduk di desa ini adalah 3506 jiwa
dengan jumlah kepala keluarga sebanyak 1 244 KK. Penduduk laki-laki
berjumlah 1 796 jiwa atau berjumlah sekitar 51.2 persen dan penduduk
perempuan berjumlah 1 710 jiwa atau sekitar 48.8 persen. Di antara ketiga desa
adalah yang paling sedikit penduduknya. Desa Margamulya memiliki luasan
sekitar 670 hektar. Sebelah utara dan barat Desa Margamulya berbatasan dengan
Desa Karangligar, Kecamatan Telukjambe Barat, sisi selatan berbatasan dengan
Desa Wanajaya, Kecamatan Telukjambe Barat, dan sisi timur berbatasan dengan
Desa Margakaya, Kecamatan Telukjambe Barat. Desa Margamulya terdiri atas
empat dusun. Jumlah penduduk di desa ini adalah 4 805 jiwa dengan jumlah
31
kepala keluarga sebanyak 1 728 KK. Penduduk laki-laki berjumlah 2 530 jiwa
atau berjumlah sekitar 52.7 persen dan penduduk perempuan berjumlah 2 275
jiwa atau sekitar 47.3 persen.
Pemerintahan Desa Wanasari saat ini dipimpin oleh Bapak SWK, Desa
Wanakerta oleh Bapak KNT, dan Desa Margamulya dipimpin oleh Bapak IMN.
Mata pencaharian umumnya di dua desa yaitu Margamulya dan Wanasari adalah
petani. Sedangkan warga Desa Wanakerta sebagian besar bermatapencaharian
buruh swasta. Tingkat pendidikan paling banyak ditempuh untuk Desa Wanakerta
dan Margamulya adalah SMA. Sedangkan untuk Desa Wanasari tidak diperoleh
berapa tingkat pendidikan warganya. Sarana prasaran pendidikan sangat
menunjang di kedua desa. Secara umum berdasarkan kedekatan dengan kawasan
industri adalah Desa Wanasari dan Wanakerta. Jalan utama desa seringkali
digunakan untuk akses para perusahaan dalam muatan barang atau aktivitas
lainnya.
32
33
INDUSTRIALISASI DAN PERUBAHAN KEPEMILIKAN
LAHAN DI TIGA DESA
Industrialisasi
Kronologi Lahan Tiga Desa
Tahun 2014 tepatnya 24 Juni telah terjadi bentrokan yang cukup besar
antara 7000 pasukan BRIMOB dengan masyarakat yang terdiri dari petani, LSM,
mahasiswa, dan warga setempat yang jumlahnya tidak sampai 500 orang. Kabar
berita eksekusi lahan di Desa Wanakerta, Kecamatan Telukjambe Barat,
Kabupaten Karawang menjadi alasan bentrokan ini. Masyarakat tidak menerima
jika tanahnya harus digusur oleh aparat. Sebelum masyarakat bersih keras untuk
mempertahankan tanahnya telah terjadi sengketa lahan dengan PT Sumber Air
Mas Pratama (PT SAMP). Perusahaan mengklaim lahan di tiga desa yaitu Desa
Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya. PT SAMP yang bernaung
dengan Agung Podomoro Land, perusahaan properti ini telah lama bersengketa
dengan masyarakat. Para warga merasa sudah lama mendiami tanah-tanah
tersebut dan dipaksa pindah oleh perusahaan.
Silang sengketa lahan ini ternyata memang sudah menjadi permasalahan
semenjak era orde baru. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah satua anggota
LSM bahwa.
”....masyarakat memang udah lama Mbak tinggal di sini, kasusnya pun
mulai itu saat tahun 70’an karena sewa menyewa lahan. Bukan dijual
loh ya, jadi masyarakat mah ya tetep memiliki toh istilahnya cuma
kontrak. Masyarakat juga ada girik atau surat kepemilikan zaman
itu....” (OD, 30 Tahun, Anggota LSM)
Berdasarkan data yang diperoleh awal mulanya sengketa lahan yaitu
datangnya PT Dasa Bagja ke Telukjambe Barat untuk meminjam surat tanah.
Warga setempat menyebutnya girik atau surat pembayaran pajak tanah. PT Dasa
Bagja menginginkan girik tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan
Desa Margamulya pada tahun 1974. Diketahui dari data sejarah yang diperoleh
dari LSM yang memfasilitasi kasus ini, tanah-tanah tersebut adalah bekas tanah
partikelir bernama Tegalwaroe Landen. Asal mula tanah dari bekas Partikelir
Eigendom Verponding Nomor 53 NV. Tegalwaroe Landen seluas 55 173 hektar.
Batasan sebelah utara yaitu dengan Sungai Citarum, sebelah selatan dengan
Kabupaten Cianjur, sebelah barat dengan Kabupaten Bekasi dan Bogor, dan
sebelah timur dengan Kabupaten Purwakarta. Tanggal 17 Mei 1949 tanah tersebut
milik pemerintahan Republik Indonesia sehingga masyarakat mulai menggarap
secara bebas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah
partikelir tersebut dilegalkan oleh negara dan tanah tersebut termasuk ke dalam
tanah usaha. Maksudnya adalah tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh
penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah
tersebut. Tanah negara bebas ini kemudian dimohon menjadi milik melalui
redistribusi maka turunlah SK Menteri Agraria Nomor 30/Ka/62 tanggal 8
34
November 1962 sebagai obyek land reform. Selain itu dengan diberlakukannya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur pembatasan
penguasaan tanah, kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh
hak atas tanah, pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing untuk
memiliki hak milik tanah. Kemudian lahir SK Panitia land reform Dt. II
Karawang Nomor 29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar Nomor
228/C/VIII/52/1965 memberikan hak milik kepada rakyat atas tanah sawah, tanah
kering, tambak dari tanah bekas partikelir Tegalwaroe Landen.
Namun semenjak mulai perubahan era yaitu dari orde lama ke orde baru
yang dipimpin oleh Soeharto mengakibatkkan usaha land reform dari amanah
UUPA dipetieskan. Sehingga proses pengurusan surat milik tanah atau girik
dihentikan. Program land reform tidak dapat terlaksana sampai selesai. Akhirnya
sistem kepemilikan tanah seperti mekanisme Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak
dapat terinformasikan dengan baik.
”....saat itu masyarakat sudah senang mau ngurus surat itu, tapi wkatu
zaman Pak Harto semuanya jadi terhambat. Mereka jadi kesulitan
untuk ngurusin surat. Padahal secara UUPA ya masyarakat yang
mendiami itu yang punya tanah. Bukan lagi milik kolonial atau
swasta....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)
Sekalipun kebijakan land reform dihentikan ketika memasuki era 1970-an
pemerintah masih memiliki kebijakan seperti penyertifikatan, transmigrasi, dan
perkebunan inti rakyat guna memberikan akses tanah kepada masyarakat kecil.
Pada tahun 1970 sampai 1971 pemerintah memerintahkan tanah yang sudah
digarap oleh masyarakat untuk dirincik dan diklasir. Pihak yang terlibat adalah
Panitia Rincik dan Klasir dari Cirebon dengan dibantu pihak desa. Tujuannya
adalah mengeluarkan girik untuk masyarakat dan Buku C Desa untuk
pemerintahan desa.
Di sisi lain pemerintahan orde baru yang mengutamakan industrialisasi
memperuntukan tanah-tanah di Indonesia menjadi industri. Hal ini yang menjadi
cikal bakal datangya PT Dasa Bagja ke tanah Telukjambe Barat seluas 350 hektar.
Padahal sebelumnya land reform membatasi penguasaan lahan maksimal seluas
20 hektar. Rangkaian kasus konflik perebutan lahan di tiga desa seluas 582 hektar
diawali dengan PT Dasa Bagja untuk menyewa lahan guna penanaman tanaman
kapuk pada tahun 1974. Sebelumnya PT Dasa Bagja mengajukan hak guna usaha
(HGU) namun tidak diterima. Kemudian PT Dasa Bagja berinisiatif menyewa 350
hektar untuk kepentingan usahanya kepada Kepala Desa Margamulya saat itu,
Bapak HE. Lahan tersebut berupa tegalan yang tidak ditanami oleh masyarakat.
Melalui kepala desa, PT Dasa Bagja berhasil melobi masyarakat dan akhirnya
mendapat kesepakatan harga sewa tanah sebesar Rp 10 000 per hektar. Durasi
sewa menyewa berlangsung selama tiga tahun, berarti berakhir pada tahun 1977.
”....setelah kontraknya selese tetep lanjut tuh perusahaan. Saya amati
ya Mbak sama warga dulu ada kecurigaan dari perusahaan PT Dasa
itu untuk tetep mau kuasai lahan warga...” (NG, 35 Tahun, Anggota
LSM)
35
Saat kontrak berahir, PT Dasa Bagja ingin mengambil status tanah warga
kembali. Girik milik masyarakat yang dibawa oleh PT Dasa Bagja disinyalir telah
diproses untuk dijadikan HGU. Sehingga pada akhir kontrak keluar surat Letter C
ketiga desa atas nama PT Dasa Bagja berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi
Negeri Jawa Barat tahun 1977. Secara praktis kepemilikan tanah ini bergeser
menjadi milik PT Dasa Bagja sepenuhnya. Padahal saat awal perjanjian hanya
sewa menyewa. Bapak HE berhasil meyakinkan warga yang telah memberikan
girik kepadanya untuk dibawa perusahaan. Bahkan Bapak HE menenangkan
warganya untuk tetap menggarap tanahnya saat kontrak sudah selesai.
Berdasarkan informasi yang diperoleh, Bapak HE juga menjajikan girik tersebut
akan diproses menjadi SHM. Tetapi saat itu juga muncul SHM atas nama Tarmidi
atas tanah seluas 18 hektar yang masih dalam area 350 hektar. Kondisi ini
semakin memicu sengketa lahan pada kemudian hari.
Tahun 1986 PT Dasa Bagja melakukan pengalihan tanah yang bukan
miliknya kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU
bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582
hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13
miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU
yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air
Mas Pratama (PT SAMP). Kali ini PT SAMP melakukan permohonan izin lokasi
kepada Gubernur Jawa Barat, dan keluar pada tahun 1991. Masyarakat menolak
hasil tersebut karena mereka masih memiliki bukti kepemilikan tanahnya. Surat
Letter C atas tanah 350 hektar yang dibuat oleh PT Dasa Bagja yang membuat
pengalihan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Hingga pada akhirnya
setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana
masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika
PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan.
Tetapi yang dibebaskan bukan pemilik girik tetapi orang yang mengaku
menggarap bahkan disuruh mengaku menggarap untuk menandatangani Surat
Pelepasan Hak (SPH). Kemudian mereka dibayar sebagai upah tanda tangan
SPH, bahkan bayaran tersebut ada yang diminta kembali. Luasan yang
ditandatangani pun dibuat seluas mungkin. PT SAMP telah diakuisisi sahamnya
sebagian besar oleh Agung Podomoro Land. Sebagaimana yang disampaikan oleh
informan bahwa.
”....PT SAMP itu ngga sendiri, mana bisa dia? Bangunan kantor
marketingnya saja terlalu memaksa, siapa dia, apa yang dia punya?
Makanya itu akuisisinya Podomoro yang punya....” (NG, 35 Tahun,
Anggota LSM)
Konflik kembali muncul pada tahun 2000 ketika masyarakat mengajukan
Surat MA Nomor 160/PK/Pdt/2011 yang tidak diterima oleh Pengadilan Negeri
Karawang. Sementara itu, PT SAMP mendapatkan izin eksekusi lahan. Pada
tahun 2005 Agung Podomoro Land menurunkan pasukan untuk pengamanan
lahan dengan membawa bukti izin mendirikan bangunan tanpa surat hak atas
tanah warga. Secara fisik lapangan, masyarakat sudah menempati lebih dari 50
tahun dan membayar pajak setiap tahun. Beberapa warga sempat menanyakan
kepada Bapak HE terkait PT SAMP yang tidak berkeinginan membebaskan tanah
milik bahkan tidak mengakui tanah milik dengan adanya Buku C Desa dan girik.
36
Bapak HE menunjukkan surat dari PT Makmur Jaya Utama yang berisi bahwa
Dierktur Utama PT Makmur Jaya Utama menyatakan bahwa wajib menyelesaikan
para pemilik tanah. Maksudnya adalah PT Makmur Jaya Utama dengan
perusahaan mana saja wajib menyelesaikan kepada pemilik tanah. Bahkan PT
SAMP telah diperlihatkan surat tersebut namun tetap tidak dihiraukan. PT Dasa
Bagja, PT Makmur Jaya Utama, dan PT Maligi mengakui adanya pemilik tanah
oleh warga.
Akhirnya beberapa analisis oleh LSM yang terdiri dari organisasi petani
dan lembaga hukum, terdapat beberapa kejanggalan yang terjadi selam proses
tersebut. Berikut kejanggalan tersebut:
1. Girik asli tanah diambil oleh kepala desa pada tahun 1974 dengan alasan
bahwa tanah masyarakat akan disewa oleh PT Dasa Bagja selama tiga tahun.
Kecurigaan muncul ketika kepala desa mengambil girik tersebut.
2. Tanah masyarakat disewa tetapi diakui oleh perusahaan telah dibebaskan.
Padahal masyarakat tidak mengetahui dan tidak menandatangani apapun.
3. Pihak yang mengaku membebaskan tanah garapan tidak menyebutkan batasbatas tanah.
4. Pihak yang mengakui pembebasan mengaku bahwa PT Dasa Bagja telah
melakukan pembebasan. Padahal PT Dasa Bagja tidak menandatangani
sebagai pihak yang melepaskan.
Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan Bekasi mengeluarkan surat
yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil pencocokan para wajib pajak yang
tanahnya berlokasi di Desa Margamulya cocok tercantum pada Buku Letter C
pada tahun 1992. Setelah itu, keluar buku DHKP sebagai pengganti Buku Letter C
Desa dan keluar tagihan pajak berupa SPPT/PBB sebagai ganti girik.
Pihak pemerintah pun turut terlibat, terutama BPN Karawang Jawa Barat
untuk menenrbitkan hak guna bangunan (HGB) atas nama PT SAMP.
Masyarakat, BPK, Muspida, dan PT SAMP kemudian diundang oleh Kapolres
Karawang sebanyak tiga kali. Masyarakat menolak tidak berkeinginan tanahnya
diukur karena belum menerima ganti rugi, dan konsistensi surat yaitu isi dan
perihal terdapat saling bertentangan dan ketidaksesuaian. Lalu surat tersebut
diubah dan beberapa hari kemudian BPN Karawang mengeluarkan surat Nomor
610-533 Perihal Rencana Pegukuran Tanah Bermasalah antara PT SAMP dengan
masyarakat. Tujuan diadakan pengukuran ini adalah:
1. menyelesaikan masalah antara PT SAMP deengan masyarakat;
2. memperoleh data awal ketika belum memberikan hak kepada siapapun;
3. mengukur semua bidang tanah yang dikuasai oleh masyarakat maupun yang
diklaim PT SAMP; dan
4. mengakomodir kedua belah pihak baik untuk kepentingan PT SAMP dan
masyarakat.
Merujuk surat tersebut semua pihak bersepakat termasuk masyarakat untuk
melakukan pengukuran yang dikawal oleh Polres Karawang sebanyak dua unit
mobil Dalmas. Proses ini juga disaksikan oleh pihak kecamatan dan pihak desa
setempat. Namun hasil yang keluar masyarakat tidak diberitahu lalu disarankan
untuk menanyakan langsung ke BPN Karawang. Ternyata sama saja seperti
sebelumnya BPN tidak memberikan hasilnya. Usaha masyarakat pun beralih
37
kepada Bupati Karawang agar BPN Karawang dapat memberikan peta hasil
kepada masyarakat. Akhirnya BPN Karawang memberikan peta hasil rincik atau
bidang yang diinginkan masyarakat.
Tidak lama puas melihat hasil rincik, masyarakat mengetahui bahwa PT
SAMP menerima peta hasil rincik juga. PT SAMP mengajukan perkara data
kepada Pengadilan Negeri Karawang dengan membawa bukti peta rincik hasil
ukur tahun 2005.
”....pas waktu itu, masyarakat tahu kalo peta yang dikeluarkan oleh
BPN ada dua. Satu untuk masyarakat, satu untuk PT SAMP. Petugas,
obyek, tanggal semuanya sama tapi hasil dari dua peta sungguh
berbeda....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)
Hasil peta rincik yang dikeluarkan BPN Karawang terdapat dua dengan
berita acara yang sama tetapi dua gambar peta yang berbeda. BPN memberikan
untuk masyarakat dan PT SAMP. Peta yang diberikan kepada PT SAMP
menggambarkan tidak ada lagi pemilik tanah yang ada artinya semua tanah telah
dibebaskan. Peta tersebut dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim untuk
mengalahkan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat saat ini merasa hukum
tidak membuat masalah ini terselesaikan.
Berikut ini akan dijelaskan pemahaman tentang dasar hukum yang
menyatakan bahwa girik dan Buku C Desa yang keluar setelah tahun 1960 tidak
berlaku. Tetapi khusus untuk tanah-tanah partikelir, girik dan Buku C Desa yang
keluar pada tahun 1971 dan setelahnya dibenarkan dan sah menurut hukum. Dasar
hukum sebagai tanah milik yang kekuatan hukumnya sama dengan tanah milik
adat yaitu:
1. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tanah
partikelir Pasal 1 ayat 1 sub C menyatakan tanah usaha ialah bagian-bagian
dari tanah partikelir yang menurut adat setempat termasuk tanah desa di atas
nama penduduk yang mempunyai hak yang sifatnya turun temurun (kekuatan
hukumya sama dengan tanah milik adat).
2. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1958 tentang penghapusan tanah-tang
partikelir pasal 5 menyatakan tanah-tanah usaha tersebut pada pasal 1 ayat 1
sub C oleh Menteri Agraria atau pejabat lain yang ditunjuknya, diberika
kepada penduduk yang mempunyai hak usaha atas tanah itu dengan hak milik.
Pada pasal 5 ayat 2 pemberian hak milik tersebut dilakukan dengan sukarela.
3. PP Nomor 224 Tahun 1961 mengatur tentang tanag-tanah kongsi atau tanah
negara bebas yang menjadi obyek land reform bisa menjadi hak milik melalui
obyek redistribusi.
Hingga saat ini masih berlangsung upaya-upaya untuk mengembalikan
kepemilikan lahan tiga desa yang dilakukan oleh masyarakat. Apalagi kasus ini
sudah berlangsung lama dan banyak menyita perhatian dari berbagai pihak.
Berdasarkan kondisi lapang pemerintah desa juga masih menyimpan baik DHKP
atau pembayaran pajak bagi pemilik tanah di tiga desa.
38
Tingkat Industrialisasi
Tingkat industrialisasi dapat dilihat dari adanya konversi lahan,
komersialisasi lahan, dan penyerapan tenaga kerja. Ketiga kriteria tersebut untuk
menentukan tingkat industrialisasi. Adapun indikator pertama yaitu konversi
lahan yang terjadi di suatu daerah. Proses ini diketahui dengan menetapkan waktu
yang ditentukan dan seberapa besar perubahan lahan yang terjadi. Dalam konteks
ini adalah dari pertanian ke non pertanian. Komersialisasi lahan adalah lahan yang
semula menjadi faktor penghasil komoditas pertanian berubah menjadi komoditas
itu sendiri. Semakin sempit lahan garapan untuk bertani dan semakin terpusatnya
penguasaan lahan di kalangan petani lapisan atas dan pemilik modal. Sementara
itu, penyerapan tenaga kerja dapat dianalisiss berdasarkan kesempatan kerja yang
diberikan sektor industri pada masyarakat, serta sejauh mana masyarakat dapat
memanfaatkan kesempatan kerja tersebut. Secara rinci yaitu peluang, kesempatan,
penawaran, dan permintaan usaha non pertanian lebih banyak dibandingkan
pertanian. Pembahasan mengenai tingkat industrialisasi yang mengarahkan pada
hipotesis uji bahwa terdapat industrialisasi yang tinggi oleh para perusahaan di
sana. Pengambilan kutipan langsung dari data dibawah ini diperoleh dengan
menggunakan alat bantu perekam recording
Mengukur tingkat industrialisasi di tiga desa yaitu Desa Wanasari,
Wanankerta, dan Margamulya adalah dengan melihat variabel yang digunakan
dibagi ke dalam tiga hal yaitu: 1) konversi lahan; 2) komersialisasi lahan; dan 3)
penyerapan tenaga kerja. Sesuai dengan hasil penelitian di lapangan semua
variabel dapat diukur dan dianalisis berdasarkan hasil perhitungan data kuesioner
dan wawancara mendalam (lihat Tabel 4).
Tabel 4 Jumlah dan persentase indikator dari tingkat industrialisasi menurut
responden di Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Tingkat industrialisasi
Kategori
a
b
c
n
%
n
%
n
%
Tinggi
18
56.3
9
28.1
8
25.0
Sedang
14
43.8
22
68.8
21
65.6
Rendah
0
0.0
1
3.1
3
9.4
Jumlah
32
100.0
40
100.0
40
100.0
Keterangan :
a. Konversi lahan
b. Komersialisasi lahan
c. Penyerapan tenaga kerja
Berdasarkan data Tabel 4 penilaian tentang tingkat industrialisasi
menunjukkan 56.3 persen responden menyatakan konversi lahan di tiga desa
menyatakan dalam kategori tinggi. Melihat fenomena di lapang, kawasan tiga
desa tersebut memang dekat dengan kawasan industri Karawang. Berdasarkan
pengamatan lahan pertanian berupa kebun yang ditanami tanaman keras telah
digusur oleh perusahaan. Selain itu, alasan Karawang sebagai pusat industri
karena mobilitasnya yang dekat dengan ibu kota negara dan pelabuhan. Hal ini
sesuai dengan pernyataan salah satu anggota LSM bahwa.
39
”....Karawang sebagai daerah penghasil padi mbak, tapi di satu sisi
juga industri tinggi. Sebenarnya mau ke mana fokus kita. Lahan yang
dulu sawah banyak dijadikan bangunan sekarang....” (HM, 24 Tahun,
Anggota LSM)
Keterangan di atas menjelaskan bahwa Karawang pada umumnya telah
menjadi pusat industri, informan menjelaskan termasuk tiga desa yaitu Desa
Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa Margamulya bertepatan dengan jalan tol.
Bagi para pengusaha akses tersebut sangat mudah jika berinvestasi di Karawang
apalagi terdapat suatu kawasan industri di sana. Para warga pun yang dulu
memiliki lahan di tiga desa tersebut tak dapat memanfaatkan lagi. Biasanya
mereka menanam tanaman keras seperti kayu sengon dan tanaman di ladang
seperti singkong. Adapun juga yang menanam padi sawah tetapi jumlahnya tidak
terlalu banyak. Seperti penuturan informan dari anggota masyarakat yang
memiliki tanah pertanian bahwa.
”....di sini semua dulu tanaman kayu sengon mbak, tapi lihat sekarang
udah gersang karena digusur dan dijaga ketat oleh perusahaan.
Semuanya ini lahan milik warga. Kalo yang nanam padi ada di sana,
beda tempat lagi. Sekarang kita engga punya apapa. Dulu bisa panen
kayu sengon nunggu berapa tahun buat pendapatan tambahan
mbak....” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat)
Eksekusi yang berlangsung pada tahun 2014 silam membuat masyarakat
tidak dapat lagi bercocok tanam di atas lahan mereka. Beberapa warga sempat
memberontak dengan tetap menanam di lahan tersebut. Akan tetapi, keesokan
harinya tanaman tersebut dicabut oleh penjaga yang dibayar perusahaan. Saat
terjadi penggusuran informan Bapak UD mengatakan bahwa saat itu tanaman
sengon mereka telah digusur ketika sudah tiga tahun ditanam.
Berdasarkan kategori gambaran komersialisasi lahan, sebesar 68.8 persen
masyarakat menilai komersialisasi lahan di tiga desa dalam kategori sedang.
Menurut beberapa warga baik responden ataupun informan menyatakan tanahtanah di sini adalah hasil turun temurun atau warisan dari orang tua mereka.
Berdasarkan pengamatan, selama mewawancara responden secara keseluruhan
tanah milik mereka adalah warisan dari orang tua. Selanjutnya tetap diteruskan ke
anak-anak mereka pada nantinya. Di sisi lain harga tanah di tiga desa tersebut juga
memiliki harga jual yang tinggi seperti penuturan aparat Desa Wanakerta bahwa.
”....khususya yang saya tahu tanah di desa ini cukup tinggi, mungkin
karena banyak industri atau apa saya kurang tahu. Tapi harga
tawarannya lumayan dibanding di desa lain....” (UC, 40 Tahun,
Aparatur Desa)
Penuturan aparatur desa juga didukung oleh beberapa responden yang
mengetahui kondisi harga tanah. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik
berinvestasi tanah di sana. Meski demikian masyarakat tidak menjualbelikan
tanahya. Terkait warisan memang sebagian besar pemilik sudah tidak berada di
tiga desa tersebut. Saat melakukan wawancara, para pemilik lahan berada di
40
sekitar Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya yaitu Karang Ligar, Karang
Mulya, Margakarya, dan lain-lain. Meski masih ada beberapa yang masih
menetap di desa tersebut.
Berdasarkan penyerapan tenaga kerja non pertanian berada pada kategori
sedang dengan persentase keseluruhan sebesar 65.6 persen. Hal ini ditunjukan
dengan pernyataan dari salah satu responden yang memberikan penjelasan bahwa
memang pasti ada banyak kesempatan kerja di pabrik atau industri di sini. Tetapi
tidak mengetahui pasti jumlah berapa penawaran dan permintaan, tetapi pasti ada
peluang untuk bekerja di industri. Dibandingkan dengan pertanian di sini sudah
tidak bisa lagi bercocok tanam karena sudah dieksekusi oleh PT SAMP. Sehingga
para masyarakat tidak bisa bekerja di lahan mereka kembali. Sesuai dengan
pernyataan anggota masyarakat menjelaskan bahwa.
”... kalo kerjaan di pabrik pasti ada, sepertinya banyak. Bahkan banyak
orang Jawa dan Sumatera yang merantau ke sini. Tetapi saya tidak
mengetahui pasti kalau jumlahnya dan perusahaan mana yang
menawarkan pekerjaan. Kalo kami sekarang akan berusaha merebut
tanah yang dulunya kami garap untuk kehidupan kami...”(UD, 65 tahun,
Anggota Masyarakat)
Secara keseluruhan dari indikator-indikator tersebut yang dinilai
berdasarkan standar deviasi dari hasil wawancara dengan kuesioner diperoleh
tingkat industrialisasi di tiga desa berikut ini. (lihat Tabel 5).
Tabel 5 Jumlah dan persentase tingkat industrialisasi di Desa Wanasari,
Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Kategori
Tingkat industrialisasi
n
%
Tinggi
4
12.5
Sedang
23
71.9
Rendah
5
15.6
Total
32
100.0
Berdasarkan pengertian industrialisasi yaitu kegiatan ekonomi yang
mengolah bahan mentah, bahan baku, produk setengah jadi, dan/ atau produk jadi
menjadi produk dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk
kegiatan rancang bangun dan perekayasaan industri. Meski perusahaan PT SAMP
sebagai subyek utama pihak yang dilawan masyarakat belum mendirikan untuk
usaha industri di tanah sengketa tetapi langkah-langkah seperti konversi lahan
sudah dilakukan. Saat ini PT SAMP baru mendirikan kantor pemasaran dengan
bangunan semi permanen. Diduga memang PT SAMP terlihat memaksakan diri
seperti yang dikatakan tokoh masyarakat bahwa.
”....PT SAMP itu tidak jelas perusahaanya, lihat saja kantor
marketingnya. Tanpa izin mereka mendirikan bangunan di atas tanah
sengketa, tanah masyarakat. Makanya bangunanya semi permanen. Saya
kira mereka ingin diakui dengan membangun kantor pemasaran di sana,
baru kok Bu itu....” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)
41
Hasil menunjukkan tingkat industrialisasi berada pada kategori sedang
yaitu 71.9 persen. Nilai ini diukur dengan menggunakan standar deviasi untuk
mengurangi bias kecenderungan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan tertentu.
LSM yang kontra dengan nilai-nilai kapitalis yaitu penanaman modal dengan
mengubah lahan pertanian mengeluhkan praktik tersebut banyak terjadi,
khususnya di kawasan tiga desa tersebut. Meski penting untuk pertumbuhan
ekonomi tetap saja mereka mengkhawatirkan rakyat kecil khususnya para petani
ketika perusahaan masuk desa melakukan ekspansi industrinya. Seperti yang
dikatakan oleh anggota LSM bahwa.
”...apa jadinya rakyat kecil jika semua lahan mereka untuk
pembangunan-pembangunan. Memang mungkin beberapa ada yang
diganti rugi, tapi untuk ke depannya tetap yang punya uang akan menang.
Hal ini bukan sekedar lagi tanah yang diubah jadi pabrik tapi ada mafiamafia yang banyak merugikan masyarakat. Seperti halnya kasus ini
mbak, bukan karena industri mereka yang masuk tetapi di balik itu semua
yang mampu membuat kita bergerak sejauh ini...” (HM, 24 Tahun,
Anggota LSM)
Pernyataan tersebut akan dijelaskan dalam hubungan industrialisasi
dengan proses pengalihan lahan masyarakat pada bab pembahasan selanjutnya.
Sejauh ini memang hasil wawancara dari kuesioner menunjukkan industrialisasi
di tiga desa tergolong tinggi (lihat Bab 7).
Perubahan Kepemilikan Lahan
Menurut Harsono (2007), hak atas tanah dengan demikian mengandung
kewenangan, sekaligus kewajiban bagi pemegang haknya untuk memakai dalam
arti menguasai, menggunakan dan mengambil manfaat dari satu bidang tanah
tertentu yang dihaki. Adapun pemakaiannya tidak mungkin terbatas pada
permukaan bumi tanahnya saja. Pengukuran hak atas tanah dilakukan sebelum
dan sesudah dilakukannya eksekusi lahan tiga desa oleh PT SAMP. Berikut
persentase penilaian masyarakat terhadap kepemilikan lahannya
Tabel 6 Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden di
Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya sebelum eksekusi lahan tahun
2015
Kategori
Penilaian kepemilikan lahan (sebelum)
n
%
Tinggi
32
100.0
Sedang
0
0.0
Rendah
0
0.0
Total
32
100.0
Berikut ini perbandingan setelah dilakukannya eksekusi lahan pada tahun
2014 oleh PT SAMP (lihat Tabel 7).
42
Tabel 7 Jumlah dan persentase penilaian kepemilikan lahan oleh responden di
Desa Wanasari, Wanakerta, Margamulya sesudah eksekusi lahan tahun
2015
Kategori
Penilaian kepemilikan lahan (sesudah)
n
%
Tinggi
3
9.4
Sedang
5
15.6
Rendah
24
75.0
Total
32
100.0
Secara umum telah terdapat perubahan kepemilikan berdasarkan penilaian
masyarakat. Sebanyak 29 responden mengalami penurunan penilaian terhadap hak
atas tanahnya karena beberapa hal seperti tidak dapat menanam, membangun, dan
menjadi jaminan di atas tanah mereka. Sebanyak 9.4 persen responden
mengatakan tetap menilai mereka masih berkuasa dan berwenang atas tanah
tersebut. Seperti yang dikatakan oleh responden bahwa.
”...kami adalah yang punya tanah itu Bu. Jadi kami masih bisa lakukan
apapun di sana harusnya, sayang karena penjagaan yang ketat ketika
saya mau menanami sesuatu di atas tanah saya dicabut. Tapi bukti
kepemilikan yang kami punya sdah cukup kuat bahwa itu adalah tanah
masyarakat....” (CM, 32 Tahun, Anggota Masyarakat)
Meskipun masyarakat mengakui tidak bisa melakukan aktivitas di atas tanah
mereka tetapi mereka tetap bertahan bahwa tanah tersebut adalah tanah
masyarakat. Dari zaman pasca kemerdekaan mereka telah menempati tanah di
sana. Bahkan terdaftar dalam buku kepemilikan tanh di desa dan tetap membayar
pajak setiap tahunnya.
Ikhtisar
Kronologi lahan tiga desa di Telukjambe Barat, Kabupaten Karawang,
Jawa Barat merupakan proses panjang yang sudah berlangsung pasca
kemerdekaan. Lahan di tiga desa tersebut merupakan lahan partikelir Tegalwaroe
Landen yang kemudian sejak kepemimpinan Soekarno dinasionalisasikan. Tanah
tersebut termasuk ke dalam tanah usaha, artinya tanah yang di atasnya sudah
ditempati oleh penduduk dan berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami
tanah tersebut. Tanah negara bebas ini kemudian dimohon menjadi milik melalui
redistribusi maka turunlah SK Menteri Agraria Nomor 30/Ka/62 tanggal 8
November 1962 sebagai obyek land reform.
Namun seiring pemerintahan orde lama runtuh kemudian digantikan oleh
kepemimpinan Soeharto, upaya-upaya redistribusi lahan mulai disampingkan.
Pembangunan melalui investasi modal dan industrialisasi menjadi arus utama
dalam pemerintahan orde baru. Pemerintah masih sempat untuk meminta
perincikan lahan di sana . Tujuannya adalah mengeluarkan girik untuk masyarakat
dan Buku C Desa untuk pemerintahan desa. Tetapi pada tahun 1974 datang PT
Dasa Bagja ke Telukjambe Barat untuk meminjam surat tanah. Warga setempat
menyebutnya girik atau surat pembayaran pajak tanah. PT Dasa Bagja
43
menginginkan girik tiga desa yaitu Desa Wanasari, Desa Wanakerta, dan Desa
Margamulya pada tahun 1974. Saat itu kepala desa yang menjadi pusat negosiasi
antara kedua belah pihak. Akhirnya PT Dasa Bagja memperoleh lahan tersebut
dengan status sewaan.
Masa kontrak PT Dasa Bagja selesai tetapi mereka tidak mengembalikan
girik tersebut kepada masyarakat. Melalui himbauan kepala desa setempat bahwa
masyarakat sudah boleh menggarap lahannya masing-masing meski belum ada
girik. Saat itu proses panjang pengalihan ke perusahan-perusahaan lain terjadi
termasuk kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT
MJU bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas
lahan 582 hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak
sebesar 13 miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut.
Kemudian PT MJU yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga
mengalihkannya ke PT Sumber Air Mas Pratama (PT SAMP). Inilah awal mula
PT SAMP terlibat hingga saat ini yang berkedok juga dengan Agung Podomoro
Land. Hingga pada akhirnya setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk
pembebasan lahan yang mana masyarakat tidak pernah melakukan transaksi
apapun. Muncul persoalan ketika PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk
membebaskan tanah di lapangan. Puncak eksekusi tahun 2014 yang menggunakan
alat berat terjadi. Hubungan antara masyarakat dan perusahaan semakin
bergejolak dan belum menemukan titik terang hingga saat ini.
Di balik terkenal Kabupaten Karawang dengan lumbung padinya, di sisi
lain pertumbuhan industri sangat pesat. Letak geografis yang menguntungkan
yaitu dekat dengan ibu kota negara, masih banyak lahan kosong, serta akses moda
transportasi yang mudah membuat investasi perusahaan di sini menjadi suatu
kawasan. Berkaitan dengan data kuantitatif yang ditanyakan kepada responden
menyatakan bahwa tingkat industrialisasi di Karawang pada kategori tinggi.
Konversi lahan, komersialisasi lahan, dan penyerapan tenaga kerja menjadi
indikator untuk industrialisasi lahan. Hasil menunjukkan bahwa hasil konversi
lahan berada di kategori tinggi sedangkan komersialisasi lahan dan penyerapan
tenaga kerja pada kategori sedang.
Selain bahasan mengenai industrialisasi tentunya hal ini terkait dengan
kepemilikan lahan. Melihat kronologi dan indikator kuantitatif kasus
industrialisasi tidak terlepas dengan kepemilikan lahan. Hal ini diukur secara
kuantitatif bagaimana penilaian masyarakat mengenai kepemilikan lahannya.
Momentum ukurannya sebelum dan sesudah eksekusi lahan yang terjadi pada
tahun 2014. Masyarakat menyatakan bahwa saat ini penilaiannya terhadap lahan
tidak setinggi dulu. Alasan penilaian berubah pemilikan lahan adalah masyarakat
tidak bisa memanfaatkan secara optimal seperti membangun sesuatu, menanam
tanaman, dan menjadi jaminan. Hingga saat ini masyarakat tetap berusaha untuk
meyakinkan pihak-pihak terkait bahwa mereka memiliki bukti kepemilikan dan
masih membayar pajak setiap tahunnya.
44
45
FAKTOR-FAKTOR DAN STRATEGI GERAKAN PETANI
Bab ini akan meninjau sejauhmana faktor-faktor yang mendorong strategi
gerakan yang dilakukan oleh masyarakat dalam melawan pengalihan kepemilikan
lahan yang dilakukan PT SAMP. Faktor-faktor yang akan dianalisis terdiri dari
dua faktor yaitu internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari karakteristik
setiap individu, terdiri dari tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah dan
pengalaman berkelompok, dan jumlah media informasi yang didapatkan.
Sedangkan faktor eksternal yaitu hal-hal yang mendorong masyarakat bertindak
karena dorongan dari luar diri mereka, yaitu adanya kesempatan politik dan
terdapat dukungan organisasi lokal dalam aksi mereka. Penilaian ini dilakukan
melalui pengisian kuesioner oleh responden dan wawancara mendalam terhadap
informan. Kecuali faktor eksternal yang diukur berdasarkan wawancara mendalam
dan diskusi dengan beberapa informan.
Setiap orang cenderung memiliki karakteristik-karakteristik tertentu yang
berbeda. Keterlibatan seseorang dalam suatu program atau kegiatan tergantung
pada dorongan masing-masing. Khususnya dalam gerakan petani ini dalam
mempertahankan tanahnya. Beberapa pertanyaan yang telah disusun dari variabel
akan disampaikan sesuai hasil penelitian di lapangan.
Faktor Internal
Faktor internal ada dalam setiap individu, terkait dengan karakteristik
dirinya. Semakin tinggi faktor internal yang ada dalam dirinya akan mendorong
individu untuk melakukan aktivitas dalam suatu kegiatan. Responden ditanya
beberapa hal terkait dengan tingkat pendidikan, jumlah beban keluarga, jumlah
dan pengalaman berkelompok, dan jumlah media informasi yang didapatkan.
Berikut persentase dari setiap indikator.
Tabel 8 Jumlah dan persentase tingkat pendidikan responden di Desa Wanasari,
Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Kategori
Tingkat pendidikan
n
%
Tinggi
11
34.4
Sedang
15
46.9
Rendah
6
18.8
Total
32
100.0
Berdasarkan tabel di atas bahwa tingkat pendidikan masyarakat pada
kategori sedang sebesar 46.9 persen. Penentuan kategori disesuaikan dengan ratarata pendidikan responden atau berdasarkan data lapang (emik). Data ini berjenis
ordinal dan bersifat kategori sehingga penentuannya berbeda dari data numerik
biasanya. Indikator tingkat pendidikan berdasarkan pendidikan terakhir yang
ditempuh oleh responden. Dalam kuesioner terdapat enam jawaban dari tingkat
pendidikan yaitu tidak tamat Sekolah Dasar (SD), tamat SD, Sekolah Menengah
Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), Perguruan Tinggi, dan lainnya.
Hasil jawaban responden terkait pendidikan yang paling tinggi ditempuh adalah
46
SMA, sedangkan yang paling rendah adalah tidak tamat SD. Jawaban yang ada
dari responden bervariasi sejumlah empat. Maka perhitungan jumlah variasi
jawaban dikalikan jumlah sampel yaitu 32 orang. Hasilnya adalah 128, lalu hasil
tersebut menjadi pembagi skor terendah dan skor tertinggi yaitu 1 (tidak tamat
SD) dan 4 (SMA). Perbandingan yang diperoleh adalah 25:100 selanjutnya
menjadi range sebesar 75. Untuk menentukan interval sesuai kategori yang akan
dibuat, kasus ini menggunakan tiga kategori. Sehingga range dibagi tiga
menghasilkan selang 25 setiap kategori yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Nilainilai setiap tingkatan yaitu tidak tamat SD memiliki nilai 25; SD memiliki nilai
50; SMP memiliki nilai 75; dan SMA memiliki nilai 100. Rentang kategori yang
didapatkan adalah tinggi jika nilainya 75 ≤ x ≤ 100; sedang jika nilainya 50 ≤ x <
75; dan rendah jika nilainya 25 ≤ x < 50.
Cara ini dipilih karena untuk menghindari ketidaksesuaian teori dengan
kondisi lapang yang sebenanya karena obyek penelitian memiliki karakteristik
tersendiri. Selain itu juga bermanfaat untuk menggambarkan penyebaran dalam
setiap kategori yaitu tinggi, sedang, dan rendah. Berdasarkan pernyataan
responden terkait tingkat pendidikan bahwa.
“…sekolah mah dulu ya sebisanya neng, saya saja tidak tamat SD tapi
banyak belajar dari yang lain. Alhamdulillah masih bisa membantu
masyarakat di sini sebagai RT toh meski sekolah engga lulus. Karena
sekolah dulu sama sekarang beda neng, sekarang mah apapa istilahnya
lebih mudah…” (KS, 63 Tahun, Ketua RT)
Secara umum mereka berada pada tingkat SD dan SMP, adapun yang
paling tinggi adalah SMA yaitu sebesar 34.4 persen. Melihat kembali hasil
wawancara sebagian lulusan SMA memiliki pengaruh yaitu aparat desa dan
tokoh. Selain itu mereka yang berpendidikan tinggi adalah golongan muda, sekitar
usia 30 dan 40 tahun. Tetapi sesuai pernyataan di Bapak KS bahwa masyarakat
dapat belajar dari luar pendidikan formal.
Selanjutnya adalah gambaran jumlah dari beban keluarga para pemilik
tanah. Para responden harus menjawab jumlah keluarga yang berada dalam satu
Kartu Keluarga (KK). Indikator ini juga menggunakan data berdasarkan
pengamatan di lapangan (emik). Langkah awal adalah menentukan rata-rata nilai
dan simpangan bakunya. Menggunakan rumus Microsoft Excell 2007 diperoleh
rata-rata nilai sebesar 4.125 dan simpangan baku sebesar 1.3137. Untuk
mengetahui batasan kategori rendah dan tinggi, berarti jika kategori tinggi ratarata nilai dijumlahkan dengan simpangan baku yaitu 5.4387 dibulatkan menjadi 5.
Sebaliknya jika kategori rendah berlaku pengurangan antara rata-rata nilai
dengan simpangan baku yaitu 2.8113 dibulatkan menjadi 3. Pembulatan
dilakukan karena dalam satuan jiwa. Berhubung akan dibuat tiga kategori maka
dikatakan tinggi apabila 5 < x; sedang apabila 3 ≤ x ≤ 5; dan rendah apabila x <
3. Sehingga diperoleh hasil data berikut ini.
47
Tabel 9 Jumlah dan persentase beban keluarga responden di Desa Wanasari,
Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Kategori
Jumlah beban keluarga
n
%
Tinggi
4
12.5
Sedang
24
75.0
Rendah
4
12.5
Total
32
100.0
Secara umum jumlah beban keluarga para pemilik lahan berada pada
kategori sedang sebesar 75 persen. Artinya mereka mempunyai anggota keluarga
antara tiga sampai lima orang. Jumlah beban keluarga menjadi faktor internal
karena berdasarkan penelitian sebelumnya seseroang mengikuti kegiatan melihat
seberapa banyak waktu luang setelah urusan untuk keluarga.
Selanjutnya adalah gambaran dari indikator jumlah dan pengalaman
berkelompok. Pengalaman berkelompok terdiri dari keanggotaan formal maupun
informal. Indikator ini juga menggunakan data berdasarkan pengamatan di
lapangan (emik). Langkah awal adalah menentukan rata-rata nilai dan simpangan
bakunya. Menggunakan rumus Microsoft Excell 2007 diperoleh rata-rata nilai
sebesar 1.093 dan simpangan baku sebesar 0.856. Untuk mengetahui batasan
kategori rendah dan tinggi, berarti jika kategori tinggi rata-rata nilai dijumlahkan
dengan simpangan baku yaitu 1.949 dibulatkan menjadi 2. Sebaliknya jika
kategori rendah berlaku pengurangan antara rata-rata nilai dengan simpangan
baku yaitu 0.237 dibulatkan menjadi 1. Pembulatan dilakukan karena dalam
satuan mutlak kelompok. Berhubung akan dibuat tiga kategori maka dikatakan
tinggi apabila 2 < x; sedang apabila 1 ≤ x ≤ 2; dan rendah apabila x < 1. Sehingga
diperoleh hasil data berikut ini.
Tabel 10 Jumlah dan persentase pengalaman berkelompok responden di Desa
Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Kategori
Jumlah dan pengalaman berkelompok
n
%
Tinggi
2
6.3
Sedang
22
68.7
Rendah
8
25.0
Total
32
100.0
Secara umum jumlah dan pengalaman berkelompok para pemilik lahan
pada kategori sedang yaitu 68.7 persen. Artinya masyarakat umumnya mengikuti
satu atau dua jenis kegiatan berkelompok baik secara formal maupun informal.
Kegiatan berkelompok formal yaitu aparat desa, Ketua RT/RW, BPD, LSM, PKK
atau lainnya. Sedangkan kegiatan berkelompok informal adalah arisan, majelis
taklim, dan berbagai kumpulan lainnya. Hasil dari responden ada yang mengikuti
pemerintahan desa, Ketua RT/RW, arisan, pengajian, dan berbagai kegiatan LSM
seperti organisasi petani dan Angkatan Muda Siliwangi (AMS).
Selanjutnya adalah gambaran dari indikator jumlah penyebaran media
informasi yang didapatkan oleh masyarakat. Zaman sekarang berbagai media
dapat dengan mudah diakses. Oleh karena itu sejauh mana keterdedahan
48
masyarakat dalam mendapatkan informasi tentang berbagai kejadian yang ada di
sekitar mereka. Pilihan jawaban terdiri dari radio, televisi, surat kabar, film, dan
lainnya. Indikator ini juga menggunakan data berdasarkan pengamatan di
lapangan (emik). Karena belum tentu standar keterdedahan dari peneliti sama
dengan apa yang didapatkan masyarakat. Langkah awal adalah menentukan ratarata nilai dan simpangan bakunya. Menggunakan rumus Microsoft Excell 2007
diperoleh rata-rata nilai sebesar 1.937 dan simpangan baku sebesar 0.840. Untuk
mengetahui kategori rendah dan tinggi, berarti jika kategori tinggi rata-rata nilai
dijumlahkan dengan simpangan baku yaitu 2.777 dibulatkan menjadi 3.
Sebaliknya jika kategori rendah berlaku pengurangan antara rata-rata nilai
dengan simpangan baku yaitu 1.097 dibulatkan menjadi 1. Pembulatan dilakukan
karena dalam satuan mutlak kelompok. Berhubung akan dibuat tiga kategori
maka dikatakan tinggi apabila 3 < x; sedang apabila 1 ≤ x ≤ 3; dan rendah apabila
x < 1. Sehingga diperoleh hasil data berikut ini.
Tabel 11 Jumlah dan persentase penyebaran media informasi responden di Desa
Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Kategori
Jumlah penyebaran media informasi
n
%
Tinggi
1
3.1
Sedang
31
96.9
Rendah
0
0.0
Total
32
100.0
Secara umum jumlah penyebaran media informasi para pemilik lahan pada
kategori sedang yaitu 96.9 persen. Pada kategori rendah sebesar 0 persen
dimungkinkan karena sekarang kemudahan informasi yang didapatkan oleh
masyarakat. Seperti pernyataan responden bahwa.
“…sekarang pun dari mulut ke mulut informasi apapun sangat mudah
tersebar neng. Kadang pun banyak kumpulan yang membuat masyarakat
jadi tahu informasi apa yang terjadi saat ini. Apalagi sekarang ada sms atau
internet yang memudahkan kita. Meski engga banyak orang tua di sini yang
ngerti sebenernya…” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat)
Perkembangan media yang cukup pesat meski beberapa warga terutama
kalangan orang tua seperti pernyataan Bapak UD tidak begitu bisa
mengoperasikan internet tidak membatasi penyebaran media informasi. Saat
pertemuan juga menjadi salah satu sarana bagi masyarakat untuk berbagi
informasi. Seperti pengajian dan kumpulan bapak-bapak menjadi sarana bagi
masyarakat tiga desa. Beberapa responden juga mengakui dengan begitu mereka
jadi mengetahui dan dapat mengikuti perkembangan yang terjadi di luar.
Secara umum apabila dijadikan satu maka faktor-faktor internal yang
mendorong masyarakat melakukan kegiatan terlihat pada tabel berikut ini.
49
Tabel 12 Jumlah dan persentase dorongan faktor internal responden di Desa
Wanasari, Wanakerta, Margamulya tahun 2015
Kategori
Tingkat dorongan faktor internal
n
%
Tinggi
6
18.8
Sedang
21
65.6
Rendah
5
15.6
Total
32
100.0
Dorongan yang dimiliki oleh masyarakat dari setiap individu secara umum
termasuk dalam kategori sedang sebanyak 65.6 persen. Dari indikator-indikator
yang telah diketahui persentasenya yaitu tingkat pendidikan, jumlah beban
keluarga, jumlah penyebaran media informasi, dan jumlah dan pengalaman
berkelompok kemudian digabungkan menjadi satu yaitu tingkat dorongan faktor
internal. Karakteristik dalam individu dari penelitian sebelumnya mengatakan
berhubungan dengan aktivitas kegiatan seseorang.
Faktor Eksternal
Faktor-faktor eksternal berdasarkan sejarah perlawanan petani di Indonesia
yang dapat mempengaruhi keterlibatan petani dalam gerakan adalah kesempatan
politik menjadi salah satu pokok terjadinya gerakan sosial dan terjadinya protes
berhubungan dengan lingkungan dari kesempatan politik yang ada disuatu kota.
Analisis faktor eksternal diperoleh melalui wawancara mendalam beberapa
informan. Kesempatan politik artinya gerakan tersebut mampu mengantarkan
seseorang dalam tataran politik atau pembuat kebijakan.
“…untuk itu sih kami bergerak sudah dalam bidang apapun Mbak. Bahkan
banyak para pimpinan di atas yang turut serta mendukung kami seperti
Kapolres dan pihak pengadilan. Tapi ya sekarang mereka
diturunkan,Kapolres saja cuma 6 bulan, biasa permainan antara
kongkalikong yang di atas. Masyarakat sendiri pasti kalah Mbak kalo mau
ke politik tapi tidak punya modal. Makanya beberapa pihak yang punya
hati lah yang membela kami atas kemauan sendiri...” (BC 50 Tahun,
Tokoh Masyarakat)
Pihak masyarakat secara pribadi tidak ada kesempatan dalam pembuatan
keputusan. Tetapi beberapa pihak dari pemerintah seperti Kapolres Karawang dan
beberapa pihak pengadilan mendukung masyarakat. Dari usulan yang dilakukan
oleh masyarakat ke pemerintah daerah sudah pasti diterima bahkan berkali-kali
tetapi tidak ada aksi nyata untuk menyelesaikan masalah. Pemerintahan di tiga
desa turut serta saat ini berpihak kepada masyarakat. Seperti yang disampaikan
oleh informan bahwa.
“…semua pihak desa mendukung masyarakat termasuk lurahnya. Apalagi
lurah Wanakerta. Mereka mendukung dalam mengakui kepemilikan lahan
oleh warga dengan bukti buku bayar pajak. Mereka mengetahui secara
pasti daftar nama...” (KS, 63 Tahun, Anggota Masyarakat)
50
Peran keterlibatan pemerintah desa yaitu mengetahui bahwa lahan-lahan
dalam blok-blok sengketa di tiga desa adalah milik masyarakat. Tetapi saat
dikonfirmasi kepada aparatur desa setempat mereka sebagian tidak mengetahui
secara jelas sengketa lahan tersebut. Aparatur desa yang dianggap paling mengerti
adalah kepala desa. Hal ini dimungkinkan banyak aparatur desa yang masih baru
sedangkan kasus ini sudah mulai sejak lama. Seperti yang disampaikan oleh
aparatur Desa Wanakerta bahwa.
“…saya sendiri di sini tidak mengetahui banyak kasus ini Bu. Saya
memang ditugaskan untuk menarik pajak orang-orang yang punya lahan
di sini dan ini adalah daftar namanya. Mungkin yang lebih tahu adalah
lurah karena sudah lama beliau tahu dan kadang ada kumpulan terkait
kasus ini...” (UC, 40 Tahun, Aparatur Desa)
Peranan kepala desa memang terlihat dalam upaya penyelesaian masalah
sengketa lahan ini. Bahkan ada kepala desa yang menjadi saksi di pengadilan atas
kasus ini. Di sisi lain mereka juga harus bersikap profesional dalam penyelesaian
masalah antara perusahaan dan masyarakat. Para kepala desa turut serta dalam
kasus ini karena mengetahui bahwa masyarakat terdaftar namannya dalam bukti
buku bayar pajak desa. Sejauh ini para aparatur desa secara umum berusaha
bersikap melayani masyarakat tetapi juga tidak berpihak ke salah satu artinya
melihat kondisi yang terjadi mereka berusaha bersikap profesional.
Dukungan dari beberapa organisasi lokal sudah cukup banyak seperti dari
Serikat Petani Karawang (Sepetak), Lembaga Bantuan Hukum (LBH),
mahasiswa, dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Melalui dukungan ini
cukup berarti bagi masyarakat karena awal mula bertahan dalam memperjuangkan
tanah mereka karena ada pihak-pihak yang membela masyarakat. Kalau
masyarakat sendiri tidak akan banyak berpengaruh, bahkan sudah mendapat
dukungan dari organisasi masyarakat masalah ini tak cukup terselesaikan. Pada
kasus ekesukusi lahan tahun 2014 masyarakat berjumlah 500 orang terdiri dari
banyak pihak. Oleh karena itu dukungan-dukungan tersebut sangat berarti bagi
masyarakat. Alasan mengenai pihak-pihak tersebut mendukung masyarakat
adalah merasa peduli dan sudah menjadi kewajiban kegiatan mereka dalam
membela masyarakat. Salah satunya adalah Sepetak, berikut penuturan anggota
Sepetak.
“…Sepetak di sini berusaha mengadvokasi masyarakat yang lahannya
terampas oleh perusahaan. Bahkan kami seringkali menjadi sasaran
balasan dari pihak yang menentang kami. Sekret kami pernah dilempari
peledak kecil di atas genteng. Tapi ya itu masalah kecil, toh nanti tinggal
lapor kalo kayak gitu siapa coba yang berusaha menyerang. Kami semua
tergabung di Sepetak ingin membantu fasilitasi masalah ini sesuai visi dan
misi kami...” (NG, 32 Tahun, Anggota Sepetak)
Bahkan Sepetak telah menganalisis kasus ini dari kronologi konflik dan
penguasaan lahan 350 hektar tersebut. Mereka memaparkan aktor-aktor yang
terlibat dalam konflik lahan 350 hektar. Lahan yang diakui oleh PT SAMP
memiliki luasan 350 hektar ternyata setelah dicek kembali yaitu 286 hektar. PT
SAMP mengakui lahan tersebut sudah dibebaskan dari para penggarap dan
51
menjadi milik PT SAMP. Akan tetapi di dalamnya terdapat Amen yaitu pemilik
lahan 140 hektar, PT Canggih yaitu perusahaan yang memiliki lahan 20 hektar.
Berarti sisanya sekitar 120 hektar yang 70 hektar pernah berkonflik langsung
dengan PT SAMP. Awal mulanya mereka menang mempertahankan lahannya.
Tetapi PT SAMP mengajukan gugatan sehingga pada akhirnya PT SAMP menang
dan langsung mengeksekusi. Di dalam 70 hektar tersebut terdapat 48 orang petani.
Orang-orang yang mempeloporinya atau disebut biong yaitu Amandus, mantan
anggota DPRD Karawang yang mempelopori para petani di Telukjambe Barat
untuk melawan PT SAMP. Selain Amandus juga ada H. Dodo, H. Minda, Poncos,
dan WK.
Sepetak mengatakan bahwa orang-orang tersebut adalah orang dibalik
Amen yang dikerjakan untuk mengajak para petani melawan PT SAMP. Namun
kondisi para petani di sana juga terjebak, dari pada mereka harus tergusur
melawan PT SAMP akhirnya mereka mengikuti Amandus. Disinyalir jika nanti
Amandus dan kawan-kawan (dkk) menang, perlahan-lahan para petani akan
dibujuk untuk menjualkan tanahnya ke Amen.
Sedangkan Sepetak awal mulanya hanya mengadvokasi 35 orang petani di
Margamulya yang memiliki lahan seluas 43 hektar. Tetapi mereka berpikiran
karena kuatnya tekanan dari pihak lawan akhirnya mereka bersekutu dengan para
petani yang tergabung dengan Amandus dan kawan-kawan. Sehingga para petani
yang difasilitasi meluas ke tiga desa. Bukan tetapi Sepetak mendukung upaya
Amen di balik Amandus, mereka berpihak kepada para petani terutama yang
terjebak dengan tekanan PT SAMP dan tidak punya pilihan untuk bertahan. Jika
suatu saat nanti PT SAMP yang telah diakusisi oleh Agung Podomoro Land
kalah, artinya pihak Amandus beserta Amen menang maka suatu saat Sepetak dan
para petani akan berjuang benar-benar mempertahankan tanahnya dari Amen. Di
sini PT Canggi tidak terlibat dalam koflik lahan. Selama ini yang sering disiarkan
di media pihak yang terlibat adalah petani, PT SAMP, Agung Podomoro Land,
dan Amen.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini yaitu petani, PT SAMP,
Agung Podomoro Land, Amandus beserta biong, Amen, Sepetak, dan masyarakat
sekitar. Kasus ini bukan hanya persoalan konflik lahan biasa, sudah berlangsung
sejak lama dan banyak pihak yang terlibat. Para petani mengalami kondisi
terjebak dengan perlawanan PT SAMP. Akhirnya Amandus dkk berusaha
membantu petani melawan PT SAMP, namun di baliknya ada Amen yang
disinyalir menginginkan lahan petani untuk dibelinya. Sepetak berusaha tetap di
pihak para petani untuk mempertahankan lahan miliknya dari para pemilik modal
(borjuis).
Hal tersebut yang menggambarkan kuatnya dukungan beberapa pihak dalam
kasus pembelaan masyarakat. Bahkan selain organisasi terdapat pihak-pihak
pengacara ahli yang terlibat.
“…akhir tahun kemarin Pak Johsons pengacara kondang terlibat dan
ingin membantu masyarakat. Secara pribadi Pak Johnsons merasa kasihan
kenapa kasus ini tidak selesai dan apa yang membuatnya. Pak Johsons itu
pengacara terkenal yang dulu pernah nyelesain masalah Rawagede
bahkan tarifnya miliaran. Sekarang beliau bergabung dan mulai
52
mendalami satu per satu kejadian kasus ini...” (BC, 50 Tahun, Tokoh
Masyarakat)
Selain Bapak Johnsons masih terdapat juga bebrapa pengacara yang
terlibat mendukung petani yaitu Moris, Amandus, dan pengacara-pengacara dari
LBH. Masyarakat merasa terbantu dengan adanya dukungan ini. Seringkali
mereka melakukan pertemuan dengan pengacara-pengacara tersebut yang
mengatur rencana ke depan untuk tetap mempertahankan lahan masyarakat.
Kalangan dari mereka berusaha membantu atas dasar pribadi masing-masing
untuk menolong para masyarakat. Jika membayar pengacara tentunya masyarakat
mampu saja tetapi untuk kontrak berapa lama pasti akan tidak sanggup
masyarakat apalagi saat ini materi yang diandalkan.
Strategi Gerakan Petani
Gerakan-gerakan petani ini merupakan salah satu bentuk dari gerakan
sosial (Handayani 2004). Gerakan tersebut bersifat sangat lokal, sporadis, dan
tidak memiliki hubungan antara gerakan yang satu dengan yang lain. Mereka
memiliki tujuan dalam satuan kelompok gerakan. Pada tahun 1912 terjadi
pengorganisasian petani secara masif di Sumatera, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan
Sumatera. Mengamati kasus tiga desa termasuk ke dalam suatu gerakan sosial
karena memiliki sekumpulan masyarakat khususnya para petani yang lahannya
terkena sengketa dengan PT SAMP untuk mencapai tujuan mereka.
Mempertahankan kepemilikan lahan adalah tujuan bersama mereka. Secara aksiaksi yang mereka lakukan telah mensyaratkan untuk dikatakan sebagai gerakan.
Berbagai aksi yang terlihat menonjol adalah proses menghadang eksekusi lahan
tahun 2014 dengan aparat. Tindakan mereka juga bukan dasar organisasi formal
yang memiliki struktur hirarki. Mereka bertindak atas spontanitas perampasan
lahan oleh PT SAMP. Tetapi bukan berarti tidak ada organisasi atau pihak formal
yang mendukung masyarakat. Beberapa organisasi formal juga terlibat dalam aksi
gerakan ini. Secara kuantitatif hasil dari wawancara kuesioner menggambarkan
bahwa (lihat Tabel 13).
Tabel 13 Jumlah dan persentase strategi gerakan petani di Desa Wanasari, Desa
Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Kategori
Strategi gerakan petani
n
%
Strategis
26
81.3
Cukup
6
18.7
Tidak Berstrategi
0
0.0
Total
32
100.0
Secara umum masyarakat menagkui bahwa mereka menyiapkan strategi
untuk melakukan gerakan. Hasil dari Tabel 13 menunjukkan gerakan petani
berada pada kategori rstrategis sebesar 81.3 persen. Hal ini sesuai dengan yang
disampaikan informan bahwa.
53
“...kami semua siapin dan ikut beberapa organisasi jadi lebih teratur
dalam aksi, kejadian kemarin saja yang tahun 2014 kami 500 orang aksi
ya tentu ada pengorganisasian. Hal lain juga misalnya ada kumpulankumpulan kecil untuk diskusi. Semua usaha pun sudah kami lakukan baik
ke pemerintah” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)
Mengenai bentuk dan sifat gerakan masyarakat telah melakukan berbagai
upaya baik aksi massa maupun hukum. Bahkan secara hukum mereka
mendapatkan bantuan dari lembaga hukum berupa pengacara. Gerakan ini
sungguh-sungguh dilakukan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.
Berbagai upaya seperti mengadukan ke pemerintah daerah hingga pusat telah
dilakukan. Tetapi melawan PT SAMP yang berkedok dengan Agung Podomoro
Land cukup sulit bagi mereka untuk membuktikan bahwa hak atas tanah tetap
berada bagi masyarakat. Saat isu ini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah
mereka akan tetap bertahan dan tidak ingin selanjutnya proses ini berlangsung
kepada anak-anak mereka. Agenda ke depan setelah pengacara Bapak Johnsons
bergabung dengan masyarakat adalah mengajukan surat kuasa khusus yang
diwakili oleh bebrapa ahli hukum untuk membuktikan tanah-tanah dan
kepemilikan mereka. Masyarakat mengakui tanpa bantuan hukum dan organisasi
mungkin tidak akan dapat mengajukan ke tingkatan yang lebih tinggi dalam
proses pengaduan. Bahkan banyak muncul sukarelawan yang ingin membanu
kasus ini baik dari organisasi masyarakat, mahasiwa Universitas Negeri
Karawang, LSM dan ahli hukum.
Proses perlawanan masyarakat tidak bisa dikatakan sebentar. Hampir 20
tahun lebih bergelut dengan masalah ini tentu menguras emosi dan amarah yang
mendalam hingga pada puncaknya tahun 2014 telah terjadi eksekusi. Proses
tersebut dirasa masyarakat telah merugikannya. Berbagai tuntutan masih berjalan
yaitu saat hari tani 24 September 2015 mengadakan aksi ke Kantor Pemerintah
Daerah dan ke Senayan. Mereka membawa kasus ini ke dalam panggung aksi
demo. Aksi masyarakat tersebut didukung beberapa pihak yaitu Sepetak,
pengacara, dan mahasiswa. Usaha mempengaruhi pelaksana kebijakan pun sudah
dilaksanakan kepada Bupati Karawang hingga ke Presiden Republik Indonesia.
Beberapa pihak di luar petani pun turut serta mendukung minimal melalui tulisan
di berbagai media. Bahkan salah satu informan mengatakan untuk tidak mudah
percaya dengan tulisan media mengenai kasus ini kecuali alamat-alamat akses
internet tertentu yang berbicara fakta.
Perlawanan ini dirasa masyarakat terorganisir dengan baik dan memiliki
sifat-sifat tanpa pamrih antar satu sama lain. Maksud terorganisir adalah adanya
pertemuan, rapat, silaturahim antar berbagai masyarakat dan pihak yang pro
masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengatur strategi ke depan yang akan
dilakukan. Selain itu juga mengevaluasi dan mengetahui perkembangan saat itu.
Tetapi mereka tidak berada dalam payung organisasi atau kelembagaan formal.
Bagi para petani atau masyarakat yang ingin bersama dipersilakan untuk
bergabung. Hubungan dalam gerakan juga tidak mengenal pamrih artinya
masyarakat dan pihak pro masyarakat bergerak bersama untuk memperjuangkan
kembali kepemilikan lahan masyarakat.
54
Ikhtisar
Tentu setiap orang memiliki karakteristik yang berbeda. Keterlibatan
seseorang dalam suatu program atau kegiatan tergantung pada dorongan masingmasing. Oleh karena itu, dorongan seseorang perlu dikaitkan dengan
keterlibatanya sehingga dapat diketahu apa saja yang bisa mendorong seseorang
untuk beraktivitas. Khususnya dalam gerakan masyarakat yang berada di tiga desa
yaitu Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya dalam melawan perusahaan
yang melakukan pengalihan lahan. Dorongan ini bisa disebut faktor, terdapat dua
yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari diri individu,
sedangkan faktor eksternal berasal dari luar atau lingkungan sekitar.
Hasil menunjukkan bahwa faktor internal masyarakat berada dalam
kategori sedang. Beberapa indikator yaitu tingkat pendidikan, jumlah beban
keluarga, jumlah dan pengalaman berkelompok, dan jumlah penyebaran media
informasi menggunakan ukuran sesuai kondisi lapang. Hal ini untuk menghindari
ketidaksesuaian antara teori dan kondisi lapang. Sedangkan untuk faktor eksternal
berdasarkan hasil wawancara menyatakan banyak dukungan dari berbagai pihak
kepada masyarakat. Dukungan datang dari LSM, ormas, organisasi petani,
mahasiswa, dan pengacara. Mereka mengakui dukungan tersebut sangat berarti
bagi mereka karena dapat membantu proses hukum. Apabila mengandalkan
kemampuan masyarakat sendiri yang rata-rata berpendidikan sedang dirasa
kurang. Melalui dukungan tersebut mereka sering mengadakan pertemuan dan
berdiskusi strategi yang akan dirancang. Bahkan akhir tahun 2015 ada pengacara
terkenal yang turut bergabung dengan masyarakat. Beberapa dukungan yang
berpihak kepada masyarakat atas dasar kemauan sendiri dan merasa peduli dengan
kasus ini. Sedangkan untuk kesempatan poitik yang ada, kepala desa mendukung
masyarakat hal ini dibuktikan dengan mengakui kepemilikan tanah atas
masyarakat. Tetapi aparatur desa lainnya berusaha profesional. Masyarakat untuk
akses ke dalam perpolitikan tidak ada mungkin hanya sebatas menyampaikan
aspirasi dan perbandingan kepada tingkatan tertinggi. Hingga saat ini pun
masyarakat masih tetap berusaha menempuh berbagai jalur hukum.
Strategi yang telah masyarakat lakukan adalah berbagai upaya baik secara
hukum, aksi, aliansi, dan advokasi. Semua usaha tersebut telah dilakukan
masyarakat tetapi belum membuahkan hasil. Padahal secara kuantitatif mereka
sangat berstrategi baik dari pengorganisasian maupun tindakannya. Tetapi mereka
menyangka karena kuatnya permainan penguasa modal dan politik yang membuat
kasus ini belum berakhir dan merugikan masyarakat.
55
HUBUNGAN STRATEGI GERAKAN PETANI DENGAN
INDUSTRIALISASI, PENGALIHAN LAHAN DAN FAKTOR
INTERNAL
Peneliti ingin mengkaji hubungan seluruh variabel melalui uji statistik
menggunakan software SPSS versi 21. Uji statistik melibatkan lima variabel yaitu
tingkat industrialisasi, proses pengalihan kepemilikan lahan, tingkat dorongan
faktor internal, dan strategi gerakan petani. Hipotesis yang akan diuji adalah:
1. Terdapat hubungan antara tingkat industrialisasi yang tinggi dengan
perubahan kepemilikan lahan.
2. Terdapat hubungan perubahan kepemilikan lahan dengan strategisnya gerakan
petani.
3. Terdapat hubungan dorongan faktor internal yang tinggi dengan strategisnya
gerakan petani.
Hubungan ketiga hipotesis tersebut akan diuji dengan menggunakan uji korelasi
rank spearman. Penelitian ini hanya menghitung gambaran tingkat industrialisasi,
perubahan kepemilkan lahan, dorongan faktor internal, dan strategi gerakan
petani. Tidak menganalisis maupun mengolah data yang tidak ada hubungannya
dengan gambaran yang tidak sesuai dengan hal tersebut.
Hubungan Tingkat Industrialisasi dengan Perubahan Kepemilikan Lahan
Tingkat industrialisasi yang tinggi di tiga desa diketahui berdasarkan hasil
kuesioner yang indikator-indikator telah disusun dalam definisi operasional.
Sedangkan perubahan kepemilikan lahan dilihat dari sebelum dan sesudah
tepatnya saat eksekusi lahan pada tahun 2014. Hasil menyatakan terdapat
perubahan kepemilikan lahan, artinya 100 persen responden menyatakan
kepemilikan lahan mereka sangat tinggi. Tetapi sekarang mulai rendah karena
beberapa indikator tidak terepenuhi di antaranya membangun di atas lahan,
menanam di atas lahan, sebagai jaminan utang, sebagai tanah wakaf. Hasil analisis
uji korelasi pada Tabel 14 akan menjelaskan hubungan tingkat industrialisasi
dengan perubahan kepemilikan lahan.
56
Tabel 14 Hasil uji statistik hubungan tingkat industrialisasi dengan perubahan
kepemilikan lahan
Correlations
Tingkat
Perubahan
industrialis kepemilika
asi
n lahan
Correlation
1.000
.156
Coefficient
Tingkat
industrialisasi
Sig. (2-tailed)
.
.395
Spearman's
N
32
32
rho
Correlation
.156
1.000
Perubahan
Coefficient
kepemilikan lahan Sig. (2-tailed)
.395
.
N
32
32
Berdasarkan hasil uji kolerasi dari hubungan tingkat industriaisasi dengan
perubahan kepemilikan lahan dengan nilai signifikansi 0.395. Nilai ini ternyata
lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0.395 > 0.05). Dari output tersebut dapat
disimpulkan bahwa karena signifikansi > 0.05, maka H0 diterima sehingga tidak
terdapat hubungan antara tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan
lahan. Nilai korelasi pada siginifikan tersebut adalah 0.156 yang artinya tidak
berhubungan. Kondisi di lapang memang Karawang memiliki pusat industri yaitu
KIIC, tetapi industri-industri tersebut berjalan dengan baik tanpa ada gugatan
masyarakat. Seperti halnya PT Maligi yang penah berurusan dengan lahan
masyarakat tetapi karena proses pembebasan yang baik akhirnya proses usaha
industri tersebut tidak terdapat kendala. Perubahan kepemilikan lahan selama ini
yang terjadi lebih pada proses hukum yang tidak sesuai dengan harapan
masyarakat. Seperti pernyataan yang disampaikan informan bahwa.
“...bahwa semata-mata kasus ini bukan hanya urusan perusahaan yang
datang kemari. Tetapi urusan dia yang belum sesuai dengan masyarakat.
Tiba-tiba saja negerampas lahan kita. Padahal dia jual beli, ganti rugi,
bahkan bukti kepemilikan. Urusan persoalan ini sangat panjang Mbak.
Jadi tidak hanya adanya pembangunan dan lain-lain tetapi urusan hukum
dan persoalan merampas yang belum diselesaikan SAMP” (HM, 24
Tahun, Anggota LSM)
Pernyataan tersebut mengargumentasi bahwa persoalan masuknya industri
ke desa bukan berarti langsung mengakibatkan perubahan status kepemilikan
lahan. Bahkan beberapa masyarakat masih menyatakan bahwa tanah di sana
adalah milik mereka. Tetapi saat ini mereka tidak bisa memanfaatkan secara
optimal seperti dulu sebelum dieksekusi. Pengalihan lahan dari perusahaan ke
perusahaan lainya sesuai pembahasan pada kronologi lahan tiga desa merupakan
proses rumit yang mengesampingkan girik atau bukti kepemilikan warga. Berawal
dari PT Dasa Bagja yang menyewa lahan dengan membawa girik adalah awal
proses sengketa lahan terjadi hingga jatuh kepada PT SAMP. Perusahaan yang
57
diakuisisi sekitar 50 persen oleh Agung Podomoro Land tiba-tiba melakukan
pengajuan kepada Gubernur Jawa Barat untuk melakukan pembebasan. Prosesproses tersebut yang membuat masyarakat geram dan tidak menerima. Hingga
pada puncaknya saat eksekusi lahan dengan menggunakan alat berat dan langsung
membabi kebun kayu sengon milik warga. Mulai saat itu secara pasti masyarakat
tidak lagi bisa menyentuh tanah tersebut. Sempat beberapa responden mengakui
pernah menanam tanaman di sana tetapi dicabut keesokan harinya. Berdasarkan
pengamatan memang adanya penjagaan yang ketat oleh pihak perusahaan. Tetapi
belum ada bangunan apapun yang berdiri di sana. Hanya sekedar papan
peringatan bahwa tanah tersebut dikuasai PT SAMP. Berikut gambaran melalui
tabulasi silang antar dua variabel (lihat Tabel 15).
Tabel 15 Total tingkat industrialisasi dengan perubahan kepemilikan lahan di
Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Perubahan kepemilikan lahan
Total
Tidak
Ya
n
%
n
%
n
%
Tingkat
Rendah
1
20.0
4
80.0
5
100.0
industrialisasi
Sedang
3
13.0
20
87.0
23 100.0
Tinggi
0
0.0
4
100.0
4
100.0
Total
4
12.5
28
87.5
32 100.0
Berdasarkan Tabel 15 menunjukkan bahwa sebesar 100.0 persen
menyatakan bahwa industrialisasi yang tinggi memberikan perubahan
kepemilikan lahan. Memang industrialisasi yang tinggi, sedang, maupun rendah
lebih cenderung terdapat perubahan kepemilikan lahan. Tetapi di sisi lain juga
tidak terdapat perubahan kepemilikan lahan saat industrialisasi sedang dan
rendah. Tetapi tidak menunjukan sebaliknya industrialisasi yang tinggi tidak
berhubungan sepenuhnya tidak ada perubahan kepemilikan lahan. Responden
tidak menjawab demikian. Berdasarkan kondisi tersebut hubungan keduanya tidak
ada karena industrialisasi yang tinggi pun belum bisa membuktikan perubahan
kepemilikan tidak ada. Selain itu hubungan tidak ada karena perusahaan sendiri
belum juga mendirikan usahanya. Hanya sekedar merampas dan menunjukkan
bahwa tanah tersebut adalah milik mereka. Selain itu perubahan kepemilikan
adalah suatu proses panjang yang diawali sewa menyewa oleh PT Dasa Bagja
kepada masyarakat. Hingga akhirnya berujung PT SAMP tidak mengakui
kepemilikan lahan masyarakat dan melakukan eksekusi.
Hubungan Perubahan Kepemilikan Lahan dengan Strategi Gerakan Petani
Perubahan kepemilikan di tiga desa diketahui berdasarkan hasil kuesioner
yang indikator-indikator telah disusun dalam definisi operasional. Sedangkan
strategi gerakan petani juga telah ditentukan berdasarkan pertanyaan dalam
kuesioner Hasil analisis uji korelasi pada Tabel 16 akan menjelaskan hubungan
perubahan kepemilikan dengan strategi gerakan petani.
58
Tabel 16 Hasil uji statistik hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan
strategi gerakan petani
Correlations
Perubahan
Strategi
kepemilikan
gerakan
lahan
petani
Correlation
1.000
-.155
Perubahan
Coefficient
kepemilikan
Sig. (2-tailed)
.
.398
lahan
N
32
32
Spearman's
rho
Correlation
-.155
1.000
Strategi gerakan Coefficient
petani
Sig. (2-tailed)
.398
.
N
32
32
Berdasarkan hasil uji kolerasi hubungan perubahan kepemilikan lahan
dengan strategi gerakan petani memiliki nilai signifikansi 0.398. Nilai ini ternyata
lebih besar dari taraf nyata 5 persen (0.398 > 0.05). Dari output tersebut dapat
disimpulkan bahwa karena signifikansi > 0.05, maka H0 diterima sehingga tidak
terdapat hubungan antara perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan
petani. Nilai korelasi pada siginifikan tersebut adalah -1.555 yang artinya salah
satu variabel bertolak belakang dengan variabel lainnya. Kemungkinan besar teori
yang sudah dirancang memang tidak sesuai dengan kondisi lapang. Perubahan
kepemilkan lahan tidak memiliki hubungan dengan tidak adanya strategi gerakan
para petani dalam gerakan. Begitu sebaliknya, tidak adanya perubahan
kepemilikan lahan tidak memiliki hubungan dengan strategisnya gerakan petani.
Tabel 17 Total perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani di
Desa Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya tahun 2015
Strategi gerakan petani
Rendah
Perubahan
Sedang
Total
Tinggi
n
%
n
%
n
%
n
%
Tidak
0
0.0
0
0.0
4
100.0
4
100.0
Ya
0
0.0
6
21.4
22
78.6
28
100.0
0
0.0
6
18.8
26
81.2
32
100.0
kepemilikan
lahan
Total
Berdasarkan Tabel 23 menunjukkan tidak terdapat hubungan antara
perubahan kepemilikan lahan dengan strategi gerakan petani. Karena justru
strategi gerakan terlihat tinggi dalam kondisi berubah atau tidak penilaian
kepemilikan lahan oleh masyarakat. Di samping itu adanya gerakan ini karena
59
lebih proses hukum yang tidak kunjung selesai antara kedua belah pihak. Seperti
yang disampaikan oleh responden bahwa.
“...ngga ada ganti rugi apapun, tiba tiba saja mereka gusur ini lahan.
Sudah lama lahan-lahan ini diperalihkan oleh mereka dari zaman
kemerdekaan Mbak. Kami pun kecewa dengan proses yang ada, ketika
perbandingan masyarakat dikalahkan, ketika ada Kapolres yang
mendukung kami juga dikeluarkan. Kai tidak terima itu. Lantas apa
buktinya mereka menguasai lahan ini...” (HM, 24 Tahun, Anggota LSM)
Masyarakat setempat mengakui proses panjang dari awal ketika PT Dasa
Bagja masuk. Mereka melakukan gerakan atas dasar kekecewaan yang telah
terjadi dan permainan politik. Lahan masyarakat masih dimiliki tetapi terlihat
perusahaan yang memaksakan untuk menguasai. Hanya saja masyarakat tidak bisa
memanfaatkan di atas lahan mereka secara optimal. Saat ini mereka menantikan
proses hukum yang adil. Berbagai tuntuntan untuk perbandingan ke tingkatan
yang tinggi mereka lakukan.
Hubungan Dorongan Faktor Internal dengan Strategi Gerakan Petani
Dorongan faktor internal di tiga desa diketahui berdasarkan hasil
kuesioner yang indikator-indikator telah disusun dalam definisi operasional yang
mencakup karakteristik individu. Sedangkan strategi gerakan petani juga telah
ditentukan berdasarkan pertanyaan dalam kuesioner Hasil analisis uji korelasi
pada Tabel 18 akan menjelaskan hubungan dorongan faktor internal dengan
strategi gerakan petani.
Tabel 18 Hasil uji statistik hubungan dorongan faktor internal dengan strategi
gerakan petani
Correlations
Faktor
Strategi
internal
gerakan
petani
Correlation
1.000
.526**
Coefficient
Faktor internal
Sig. (2-tailed)
.
.002
N
32
32
Spearman's
**
rho
Correlation
.526
1.000
Coefficient
Strategi gerakan
petani
Sig. (2-tailed)
.002
.
N
32
32
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Berdasarkan hasil uji kolerasi dari hubungan dorongan faktor internal yang
tinggi dengan nilai signifikansi 0.002. Nilai ini di atas yang ternyata lebih kecil
dari taraf nyata 5 persen (0.002 < 0.05). Dari output tersebut dapat disimpulkan
60
bahwa karena signifikansi < 0.05, maka H0 ditolak sehingga terdapat hubungan
antara dorongan faktor internal dengan strategisnya suatu gerakan. Nilai dari hasil
uji korelasi tersebut yaitu 0.526. .Hal ini seperti yang disampaikan oleh Sarwono
(2009) bahwa jika hasil uji berada di antara nilai tersebut maka terdapat korelasi
yang sangat kuat.
Kondisi lapang di desa disesuaikan dalam pembuatan indikator faktor
internal. Hasil memang menunjukan dorongan faktor internal dalam kategori
sedang. Keduanya sangat berhubungan erat yaitu antara faktor internal dan
strategi gerakan petani. Hal ini ditunjukan juga dalam tabulasi silang sebagai
berikut.
Tabel 19 Jumlah dan persentase faktor internal dan strategi gerakan petani di Desa
Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya Tahun 2015
Strategi gerakan
Total
Tidak
Cukup
Strategis
n
%
n
%
n
%
n
%
0
0.0
4
66.7
2
33.3
6
100.0
Rendah
Faktor
0
0.0
2
9.5
19
90.5
21
100.0
internal Sedang
Tinggi
0
0.0
0
0.0
5
100.0
5
100.0
0 0.0
6
18.8
26
81.2
32
100.0
Total
Berdasarkan tabulasi silang di atas bahwa apabila dorongan faktor internal
dari masyarakat adalah tinggi, maka masyarakat sangat berstrategi dalam gerakan.
Sebagian besar memang menunjukan bahwa terlihat strategis gerakan petani.
Apabila dorongan faktor internal adalah tinggi dan sedang maka terdapat
strategisnya gerakan yang dilakukan petani. Tetapi dorongan yang rendah hanya
terbukti bahwa strategi gerakan tergolong cukup. Penelitian sebelumnya Ariendi
(2011) membuktikan beberapa faktor internal yang memiliki hubungan ataupun
tidak dengan keterlibatan masyarakat dalam gerakan. Misalnya untuk tingkat
pendidikan dalam kasus penelitiannya tidak memiliki hubungan dengan
keterlibatan gerakan masyarakat. Tidak menjamin bahwa pendidikan yang tinggi
memiliki keterlibatan masyarakat dalam gerakan. Begitu sebaliknya pendidikan
yang rendah tidak menjamin tidak terlibatnya masyarakat dalam gerakan. Semua
hal tersebut terutama faktor internal tergantung dalam konteks atau kasus yang
dihadapi masyarakat. Setiap tempat memiliki karakterikstik masing-masing yang
menghubungkan dengan suatu adanya gerakan.
Ikhtisar
Pada bab ini, peneliti ingin mengkaji hubungan seluruh variabel yang
melalui uji statistik menggunakan software SPSS versi 21. Seluruh variabel
tingkat industrialisasi, faktor internal, perubahan kepemilikan lahan ditetapkan
sebagai variabel X (independent). Masing-masing variabel tersebut dilihat
hubungannya dengan strategi gerakan petani yang dihitung secara keseluruhan
variable Y (dependent) yang meliputi: Dari variabel itu terdapat gambaran
hubungan antara dorongan faktor internal dengan strategi gerakan petani yang
diperoleh sebesar 0.526 yang menunjukkan bahwa dorongan faktor internal yang
61
tinggi memiliki hubungan atau berkorelasi tinggi dengan strategi gerakan petani.
Sebaliknya dengan hubungan dua variabel lainnya, yaitu tingkat industrialisasi
dengan perubahan kepemilikan lahan. Uji korelasi menunjukan nilai 0.246 yang
artinya sangat rendah dan mempunyai galat > 0.05. Kemudian perubahan
kepemilikan lahan yang tinggi tidak berhubungan juga dengan tingginya strategi
gerakan petani. Hasil uji korelasi menunjukan bahwa keduanya berlawanan.
Perubahan kepemilkan lahan yang tinggi tidak memiliki hubungan dengan tidak
adanya strategi gerakan para petani dalam gerakan. Begitu sebaliknya, perubahan
kepemilikan lahan yang rendah tidak memiliki hubungan dengan tingginya
strategi gerakan petani.
Nilai-nilai tersebut jika dilihat di lapang memang tidak seluruhnya
menggambarkan keadaan hubungan industrialisasi dengan strategi gerakan petani.
Meskipun telah dihubungkan sebelumnya dengan proses perubahan kepemilikan
lahan. Hal ini dikarenakan kondisi di lapang memandang seperti apapun bentuk
industri atau investor datang ke desa tetapi menggunakan cara-cara yang sesuai
hukum maka tidak akan terjadi masalah. Masyarakat tiga desa mengeluhkan
sistem yang berlangsung selama membuktikan kepemilikan lahan mereka. Dari
awal kasus sengketa lahan 1970-an masyarakat telah melampaui berbagai desakan
dan tuntutan untuk melepaskan tanah milik mereka. Secara mereka melawan
dengan membuktikan kepemilikan tanah mereka yaitu melalui surat kepemilikan
tanah dan bukti pembayaran pajak setiap tahun. Amarah masyarakat berlangsung
ketika eksekusi lahan pada tahun 2014 berlangsung. Sebelumnya meski dalam
proses sengketa pihak perusahaan tidak berani menempati langsung tanah
tersebut. Tetapi saat PK 160 diterbitkan perusahaan PT SAMP mulai membawa
alat besar untuk meratakan tanah dari tanaman-tanaman milik masyarakat. Hingga
saat ini masyarakat beserta beberapa pihak baik dari ormas, LSM, pengacara tetap
berusaha membuktikan kepemilikan lahan tersebut.
62
63
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan pengamatan dan diskusi kronologi lahan tiga desa yaitu Desa
Wanasari, Wanakerta, dan Margamulya muncul saat PT Dasa Bagja terlibat dalam
menyewa lahan milik masyarakat. Sebelumnya lahan tersebut adalah partikelir
yang telah diredistribusi oleh pemerintah kepada masyarakat. Tiga tahun
berlangsung kontrak ternyata terdapat pengalihan surat kepemilikan lahan oleh
warga yang dibawa PT Dasa Bagja kepada perusahaan lain. Hingga akhirnya jatuh
kepada PT SAMP. Selama proses itu masyarakat masih tetap memanfaatkan
lahannya. Akan tetapi, pada tahun 2000 PT SAMP mulai mengajukan ke
pengadilan untuk melakukan pembebasan lahan. Masyarakat tidak menerima
karena kepemilikan mereka terdaftar di Buku Letter C Desa dan girik. Keduanya
masih sah berdasarkan hukum yang berlaku. Proses sengketa lahn pun memuncak
oleh media massa tahun 2014 ketika PT SAMP beserta 7000 Brimob menahan
warga untuk tidak memasuki lahan tersebut. Hingga saat ini para masyarakat
masih melakukan usaha untuk mengembalikan lahannya. Hal ini pun bukan hanya
terkait masuknya industri-industri untuk melakukan pembangunan tetapi lebih ke
proses hukum yang membuat masyarakat merasa dirugikan.
Faktor-faktor yang mendorong masyarakat bertindak sejauh ini adanya
dorongan dari berbagai pihak yaitu ormas, LSM, pengacara, mahasiswa, dan
lainnya. Selain itu tingkat pendidikan, tanggungan keluarga tidak terlalu tinggi,
mudah informasi, dan pengalaman membuat masyarakat bernekat untuk tetap
melawan perusahaan. Apalagi saat ini dukungan bantuan hukum berupa pengacara
memihak kepada masyarakat atas dasar ingin menyelesaikan masalah ini yang
sudah sekian lama.
Strategi gerakan diakui oleh masyarakat ada dalam usaha melawan
perusahaan. Melalui uji korelasi dengan uji Rank Spearman, strategi gerakan
petani berhubungan kuat dengan dorongan faktor internal. Selain itu, secara
kualitatif memang minimal setiap individu sadar bahwa tanah tersebut bukan
milik perusahaan. Serta adanya dukungan dari pihak-pihak yang membantu
masyarakat membuat strategi gerakan semakin kuat. Tetapi tidak semata-mata
karena perubahan kepemilikan lahan yang mengakibatkan adanya gerakan.
Karena masyarakat sangat mengecewakan proses hukum yang ada. Mereka
merasa selalu ditipu oleh penguasan dan pemilik modal. Akhirnya mereka sampai
saat ini berusaha menempuh segala jalur baik hukum, aksi massa, aliansi,
advokasi dan lainnya.
Saran
Penelitian ini telah menggambarkan bahwa antara perusahaan dan
masyarakat masih dalam kondisi berlawanan. Berbagai upaya masih dilakukan
masyarakat untuk menegmbalikan lahannya. Begitu juga PT SAMP yang masih
bertahan dalam penjagaan lahan sengketa tersebut. Meski kasus ini sudah
berlangsung lama, seharusnya menjadi perhatian utama khususnya bagi
64
Pemerintah Daerah Karawang. Sebaiknya harus ada pihak ketiga yang netral tidak
memihak siapapun tetapi ingin menyelesaikan masalah. Semau pihak sejak awal
kronologi lahan tiga desa harus dilibatkan dalam suatu forum penyelesaian.
Memang terlhat terlalu normatif tetapi hal tersebut harus benar dilakukan.
Selain itu masyarakat beserta ormas, LSM, pengacara serta perusahaan
yang terlibat harus menerima keputusan dengan lapang dada. Tetapi keputusan
tersebut sebisa mungkin tidak merugikan siapapun. Setiap dari pihak ditanyakan
keinginan dan kebutuhan mereka. Semua pihak harus menjaga profesionalitas
mereka. Kemudian dari pihak akademisi sebisa mungkin menganalisis kasus ini
untuk penelitian selanjutnya agar dapat terdokumentasi baik. Selain itu untuk ke
depan bisa menjadi pelajaran bagi semua pihak. Berkaitan kasus ini adalah desa
yang saat ini menjadi pokok perhatian utama permerintah dengan adanya Undangundang Nomor 6 Tahun 2014. Sebaiknya pola arah pembangunan di desa ketika
ada pihak investor masuk harus ada pengorganisasian yang kuat pada level
masyarakat desa terlebih dahulu. Pengorganisasian yang dilakukan harus oleh
masyarakat setempat sendiri agar mereka dapat mengetahui bahwa potensi dan
kekuatan sumberdaya adalah milik masyarakat. Kepemilikan tersebut yang
harusnya menguntungkan masyarakat. Kemudian melakukan penguatanpenguatan pada hal yang telah dirumuskan adalah penting bagi masyarakat.
Peranan beberapa fasilitator masyarakat sangat penting dalam hal ini.
65
DAFTAR PUSTAKA
Anwar SJ, Kolopaking LM, Kinseng RA, Hubeis AV. 2014. The impact of market
penetration on social capital changes at the fishing community in small
island: a case in Barrang Lompo Island Makassar City, South Sulawesi
Province. Academic Journals [Internet]. [diunduh 2015 Mei 11]; 6(3).
Tersedia pada: http://www.academicjournals.org/journal/IJSA/article-fulltext-pdf/8F1BBE543698.
Ariendi GT, Kinseng RA. 2011. Strategi perjuangan petani dalam mendapatkan
akses dan penguasaan atas lahan. Sodality [Internet]. [diunduh 2015 Maret
30];
5:
13-31.
Tersedia
pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/47369.
Aji, BG. 2005. Tanah Untuk Penggarap: Pengalaman Serikat Petani Pasundan
Menggarap Lahan-Lahan Perkebunan dan Kehutanan. Bogor: Pustaka
Latin.
Bachriadi, Dianto, Lucas A. 2001. Merampas Tanah Rakyat, Kasus Tapos dan
Cimacan. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Bernstein H, Terence JB, Saturnino B, Cristobal K, et al. 2008. Kebangkitan Studi
Reforma Agraria di Abad 21. Yogyakarta (ID): STPN.
Elizabeth R. 2006. Restrukturisasi ketenagakerjaan dalam proses modernisasi
berdampak perubahan sosial masyarakat petani SOCA [Internet]. [diunduh
2015
Mei
7].
6(1).
Tersedia
pada:
http://ojs.unud.ac.id/index.php/soca/article/viewFile/4124/3111.
Fajrin M. 2011. Dinamika gerakan petani kemunculan dan kelangsungannya
(Desa Banjaranyar Kecamatan Banjarsari Kabupaten Ciamis) [skripsi].
[Internet].
[diunduh
2015
Maret
30].
Tersedia
pada:
http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/48208.
Fakih M. 2000. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial: Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar..
Fauzi N. 1999. Petani & Penguasa Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia. Yogyakarta (ID): INSIST, KPA dengan Pustaka Belajar.
. 2005. Memahami Gerakan-Gerakan Rakyat Dunia Ketiga. Yogyakarta
(ID): Insist Press.
Febriana YD. 2008. Partisipasi masyarakat dalam program corporate sosial
responsibility “Kampung Siaga Indosat” (Studi Kasus: RW 04, Kelurahan
Manggarai, Kecamatan Tebet, Jakarta Selatan. Skripsi. IPB. Bogor.
Harsono B. 2007. Hak atas tanah dalam hukum tanah nasional. Land. 4: 4-7.
Hasan W, Oesman SB, Senneng N. 2014. Persepsi masyarakat terhadap
perubahan sosial ekonomi masyarakat tani pada kawasan pembangunan
industri migas di kabupaten banggai. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 25].
Tersedia
pada:
https://www.google.co.id/search?q=Menurut+Schneider+(1993)&oq=Menur
ut+Schneider+(1993)&aqs=chrome..69i57.3464j0j7&sourceid=chrome&es_
sm=122&ie=UTF-8#.
Indrizal E. Tidak ada tahun. Memahami konsep perdesaan dan tipologi desa di
Indonesia. [internet]. [diunduh pada 3 Oktober 2014]. Tersedia pada:
http://fisip.unand.ac.id/media/rpkps/EdiIndrizal/M3.pdf.
66
Purwandari H, Kolopaking LM, Tonny F. 2012. Perlawanan tersamar organisasi
petani: sinergi antara kepentingan pembangunan dan gerakan. Sodality
[Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 6(3). Tersedia pada:
http://journal.ipb.ac.id/index.php/sodality/article/view/8019.
Rahmah AD. 2014. Gerakan paguyuban petani versus negara dan dampaknya
pada tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Sukamulya [skripsi]. Bogor
(ID): Institut Pertanian Bogor.
Rahmawati D. 2003.Gerakan petani dalam konteks masyarakat sipil Indonesia
studi kasus Organisasi Petani Masyarakat Sipil Indonesia Merdeka
(SeTAM). JISP [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 6:329-358. Tersedia
pada: http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/article/view/170.
Rosid F. 2014. Dinamika gerakan sosial studi peran intelektual dalam melakukan
gerakan sosial dengan masyarakat sipil untuk mendapatkan pelayanan listrik
di Desa Mulyorejo Kecamatan Silo Kabupaten Jember. Jurnal Mahasiswa
Sosiologi [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 3(1). Tersedia pada:
http://jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jmsos/article/view/21/37.
Sajogyo. 1978. Lapisan masyarakat yang paling lemah di Pedessaan Jawa.
Prisma.7(3): 3-14.
. 1972. Modernization without development in rural Java. Bogor (ID):
Bogor Agricultural University.
Sarwono J. 2009. Statistik itu Mudah: Panduan Lengkap untuk Belajar Komputasi
Statistik Menggunakan SPSS. Yogyakarta (ID): Andi Offset.
Scott JC. 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta (ID): Yayasan Obor Indonesia.
Singarimbun M, Effendi S. 1989. Metode penelitian survai. Edisi revisi. Jakarta
(ID): LP3ES.
Sitorus, MT. Felix. 2006. Reklaim tanah hutan, tipe-tipe reforma agraria dari
bawah di dataran tinggi Sulewasi Tengah. JPDA. 3(3): 20-28.
Soekanto S. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta (ID): PT Grafindo Persada.
Subarkah, Anggit W. 2014. Perlawanan masyarakat Samin (sedulur sikep) atas
kebijakan pembangunan Semen Gresik di Sukolilo Pati (studi kebijakan
berbasis lingkungan dan kearifan lokal).Pena Jurnal Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi [Internet]. [diunduh 2015 Maret 30]; 26(2). Tersedia pada:
http://www.unikal.ac.id/Journal/index.php/lppm/article/view/311.
Sugihardjo, Eny L, Agung W. 2012. Strategi bertahan dan strategi adaptasi petani
samin terhadap dunia luar (Petani Samin Di Kaki Pegunungan Kendeng Di
Sukolilo Kabupaten Pati). Jurnal SEPA [Internet]. [diunduh 2015 Mei 11]. 8
(02):
51-182.
Tersedia
pada:
http://eprints.uns.ac.id/12606/1/Publikasi_Jurnal_(27).pdf.
Suwarsono, Y. So A. 1994. Perubahan Sosial dan Pembangunan. Jakarta (ID):
Pustaka LP3ES.
Sjaf S. 2010. Batasan definisi petani. Sofyan Sjaf Online: Ilmu untuk memuliakan
orang kecil [Internet]. [diunduh 2016 Januari 26]. Tersedia pada:
http://sofyansjaf.staff.ipb.ac.id/2010/06/13/batasan-definisi-petani-peasant/.
Sztompka. 2005. Sosiologi Perubahan Sosial. Jakarta (ID): Prenada.
[UU] Undang-Undang. 1984. Undang-undang No. 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian. [Internet]. [diunduh 2016 Januari 25]. Tersedia pada:
https://www.google.co.id/search?q=UndangUndang+No.5+Tahun+1984%2
67
C&oq=UndangUndang+No.5+Tahun+1984%2C&aqs=chrome..69i57j0l4.20
93j0j7&sourceid=chrome&es_sm=122&ie=UTF-8#
[UUPA] Undang-Undang Pokok Agraria.1960. Undang-undang No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. [Internet]. [diunduh 2016
Januari
25].
Tersedia
pada:
http://dkn.or.id/wpcontent/uploads/2013/03/Undang-Undang-RI-nomor-5-Tahun-1960-tentangPokok-Pokok-Dasar-Agraria.pdf.
Vanadiani DV. 2011. Industrialisasi di pedesaan dan perubahan struktur
masyarakat petani di Pasawahan, Kecamatan Cicurug, Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat [skripsi]. [Internet]. [diunduh 2015 Mei 11]. Tersedia
pada: http://repository.ipb.ac.id/handle/123456789/51400?show=full.
Wahono F. 2002. Hak-Hak Asasi Petani & Proses Perumusannya. Yogyakarta
(ID): Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas.
Wahyudi. 2011. Formasi dan struktur gerakan sosial petani studi kasus gerakan
reclaiming/penjarahan atas tanag PTPN XII (Persero) Kalibakar Malang
Selatan. Jurnal Salam [Internet]. [diunduh 2015 Mei 7]. 12 (01): 89-106.
Tersedia
pada:
http://ejournal.umm.ac.id/index.php/salam/article/view/436/443.
Wicaksono AM. 2010. Analisis tingkat partisipasi warga dalam tanggung jawab
sosial perusahaan (Studi Kasus PT. Isuzu Astra Indonesia Assy Plant
Pondok Ungu) [skripsi]. IPB. Bogor.
68
69
LAMPIRAN
70
71
Lampiran 1 Jadwal kegiatan skripsi tahun 2015-2016
Kegiatan
Juni
1 2 3
September
4 1 2 3 4
Oktober
1 2 3
November
4 1 2 3 4
Desember
1 2 3 4
Januari
1 2 3
4
Februari
1 2 3
4
Penyusunan
proposal skripsi
Survei
Penjajagan
Kolokium
Perbaikan
Proposal
Pengambilan
data lapangan
Penulisan draft
skripsi
Uji petik
Sidang skripsi
Perbaikan
laporan skripsi
71
72
Lampiran 2 Peta Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten
Provinsi Jawa Barat
Karawang,
73
Lampiran 3 Peta Desa Wanasari Kecamatan Telukjambe Barat, Kabupaten
Karawang, Provinsi Jawa Barat
74
Lampiran 4 Peta Desa Margamulya Kecamatan Telukjambe Barat,
Kabupaten Karawang, Provinsi Jawa Barat
75
Lampiran 5 Kerangka Sampling
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
KAM
AS
WA
KM
AN
UMA
JAI
KAL
MIR
JAN
NIM
EL
KAS
CAL
NAT
IDE
UM
ROM
HA
IS
OL
RA
TAS
NAR
CEP
AMS
DUR
SNN
AMU
AMI
MAN
KAR
AT
DAW
JUM
ENJ
KED
KAS
ANI
AIM
ANT
EJ
SAJ
ARS
NEM
SART
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
83
84
85
86
87
88
89
90
91
92
SAN
ELN
EDE
KAS
NAS
MAS
RAK
SAK
ENC
AEL
KAE
SOM
DI
DEG
NAT
KAL
OL
KAL
SAA
KAR
TAM
DAS
JAL
ADS
ISK
AMR
KAR
TIM
RSD
RAS
STJ
KHA
UJM
KRM
DDA
SPN
JMR
SRP
TAT
ADH
NAW
UD
ACP
RUS
MED
KAS
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102
103
104
105
106
107
108
109
110
111
112
113
114
115
116
117
118
119
120
121
122
123
124
125
126
127
128
129
130
131
132
133
134
135
136
137
138
ABA
SAR
DED
APN
RSM
DEW
DOD
KSM
MSM
NJB
NSN
KMN
TKM
ON
LNI
LTA
RIM
ENR
UKS
KSH
SKM
MAR
AC
YO
BDN
NMN
MDI
SK
SAI
KAR
ND
ELW
TSM
LD
ENG
KRS
OBG
KRS
STA
MND
MIN
TA
SMN
JAD
SPM
ANY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
MGY
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
76
139
140
141
142
143
144
145
146
147
148
149
150
151
152
153
154
155
156
157
158
159
160
161
162
163
164
165
166
167
168
169
170
171
172
173
174
175
176
177
178
179
180
181
182
183
184
DJE
NON
MAN
AM
DAR
DAS
SAJ
ELN
TAI
SAR
RIP
SKR
KD
ON
LN
KTM
JSH
SNN
EMT
DSI
KSM
NYE
SNE
JIM
DJN
MAA
JEB
MAD
SAI
ASM
EMP
HAD
KAL
DAW
CAY
SAI
AM
RAH
ERA
NAM
AJ
HA
KAM
DAI
AC
KA
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
185
186
187
188
189
190
191
192
193
194
195
196
197
198
199
200
201
202
203
204
205
206
207
208
209
210
211
212
213
214
215
216
217
218
219
220
221
222
223
224
225
226
227
228
229
230
DU
ASI
ANI
KAM
YAN
CE
AJ
SUH
TAY
OI
NCI
YIM
AIN
JUM
AC
SAY
EMD
ERP
KAS
AND
CATA
MAS
TO
LAN
AN
ONG
OIN
US
NDI
NIG
NOG
LAS
SIM
TAK
MIH
NYA
DIN
MUN
RSA
SEM
DJE
JEN
RIP
DJA
LDI
ENN
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
WNS
231
232
233
234
235
236
237
238
239
240
241
242
243
244
245
246
247
248
249
250
251
252
253
254
255
256
257
258
259
260
261
262
263
264
265
266
267
268
269
270
271
272
273
274
275
276
277
278
BED
DJA
AGU
ABD
AN
IN
YUN
UM
NJB
TA
MIS
ROS
SHD
NRM
ENR
RSM
STI
HLM
ELP
INN
WAR
TAW
SAN
RO
SU
EM
DAR
ENJ
IR
SAI
MA
AW
WA
HN
LEL
AD
US
MUR
MI
SOE
SUW
DJ
HE
SUR
KNT
RAE
NAM
FIT
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
WNK
77
Lampiran 6 Dokumentasi
Kondisi lahan yang digusur
Kantor pemasaran PT SAMP
Papan peringatan PT SAMP
Kondisi jalan, sebelah kanan tanah sengketa,
sebelah kiri rumah warga
Wawancara responden
Foto bersama informan setelah diskusi
Kantor Desa Wanakerta
Rumah warga sebelah tanah sengketa
78
Lampiran 7 Catatan Tematik
Industrialisasi di Tiga Desa
Proses konflik yang panjang ini terjadi do tiga desa yaitu Wanasari,
Wanakerta, dan Margamulya. Ketiga desa tersebut berada di Kecamatan
Telukjambe Barat, Karawang. Lokasinya berdekatan dengan keluar dan masuk tol
Karawang dan kawasan industri yang besar di Karawang. Sengketa lahan yang
berangsur lebih dari 20 tahun ini menyita perhatian banyak pihak. Tentunya
masyarakat dan perusahaan sebagai subyek utama dalam kasus ini. Beberapa
responden yang saya datangi yaitu Bapak UD mengaku bosan ketika kasusnya
menjadi obyek penelitian karena banyak yang datang ke sana tetapi tidak
memberikan solusi. Hal ini membuktikan bahwa masyarakat sudah sangat
terkuras emosi dan tenaga menghadapi kasus ini. Bahkan disarankan untuk
bertanya saja kepada perusahaan.
Berawal dari kasus sewa menyewa lahan yang dilakukan PT Dasa Bagja
melalui kepala desa saat itu, masyarakat menyewakan lahannya. Penuturan
tersebut yang dikatakan oleh salah satu anggota LSM yang telah mengamati kasus
ini beberapa tahun.
”....masyarakat memang udah lama Mbak tinggal di sini, kasusnya pun
mulai itu saat tahun 70’an karena sewa menyewa lahan. Bukan dijual
loh ya, jadi masyarakat mah ya tetep memiliki toh istilahnya cuma
kontrak. Masyarakat juga ada girik atau surat kepemilikan zaman
itu....” (OD, 30 Tahun, Anggota LSM)
Lama kontrak saat itu adalah tiga tahun. PT Dasa Bagja meminjam girik
atau surat kepemilikan lahan warga di tiga desa yaitu Wanasari, Wanakerta, dan
Margamulya pada tahun 1974. mula tanah dari bekas Partikelir Eigendom
Verponding Nomor 53 NV. Tegalwaroe Landen seluas 55 173 hektar. Batasan
sebelah utara yaitu dengan Sungai Citarum, sebelah selatan dengan Kabupaten
Cianjur, sebelah barat dengan Kabupaten Bekasi dan Bogor, dan sebelah timur
dengan Kabupaten Purwakarta. Tanggal 17 Mei 1949 tanah tersebut milik
pemerintahan Republik Indonesia sehingga masyarakat mulai menggarap secara
bebas. Tanah tersebut selema masa kolonial adalah dikuasai Belanda. Kemudian
berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, tanah-tanah partikelir
tersebut dilegalkan oleh negara dan tanah tersebut termasuk ke dalam tanah usaha.
Maksudnya adalah tanah yang di atasnya sudah ditempati oleh penduduk dan
berhak diberikan kepada masyarakat yang mendiami tanah tersebut.
Berlakunya undang-undang tersebut membuat lahan akan diredistribusi
kepada masyarakat untuk memiliki hak dan akses yang sama. Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) 1960 yang mengatur pembatasan penguasaan tanah,
kesempatan sama bagi setiap warga negara untuk memperoleh hak atas tanah,
pengakuan hukum adat, sampai pelarangan warga asing untuk memiliki hak milik
tanah. Kemudian lahir SK Panitia land reform Dt. II Karawang Nomor
29/PLD/VIII/52 pada 17 Juni 1965 dan SK Kinag Jabar Nomor
228/C/VIII/52/1965 memberikan hak milik kepada rakyat atas tanah sawah, tanah
kering, tambak dari tanah bekas partikelir Tegalwaroe Landen. Tetapi hal ini tidak
79
berlangsung lama karena pemerintahan yang mengagendakan land reform yaitu
Bapak Soekarno turun.
”....saat itu masyarakat sudah senang mau ngurus surat itu, tapi wkatu
zaman Pak Harto semuanya jadi terhambat. Mereka jadi kesulitan
untuk ngurusin surat. Padahal secara UUPA ya masyarakat yang
mendiami itu yang punya tanah. Bukan lagi milik kolonial atau
swasta....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)
Semenjak mulai perubahan era yaitu dari orde lama ke orde baru yang
dipimpin oleh Soeharto mengakibatkkan usaha land reform dari amanah UUPA
dipetieskan. Sehingga proses pengurusan surat milik tanah atau girik dihentikan.
Program land reform tidak dapat terlaksana sampai selesai. Akhirnya sistem
kepemilikan tanah seperti mekanisme Sertifikat Hak Milik (SHM) tidak dapat
terinformasikan dengan baik. Tetapi proses-proses seperti penyertifikatan,
transmigrasi, dan perkebunan ini rakyat masih memberikan akses tanah kepada
masyarakat kecil. Tanah tersebut mulai dirincik dan diklasir oleh Panitia Rincit
dan Klasir dari Cirebon. Tujuannya adalah mengeluarkan girik dan Buku C Desa
untuk pemerintahan desa.
Pemerintan Soeharto yang berfokus pada pembangunan berbasis
industrialisasi dan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya menjadi cikal bakal
datangya PT Dasa Bagja ke tanah Telukjambe Barat seluas 350 hektar. Padahal
sebelumnya land reform membatasi penguasaan lahan maksimal seluas 20 hektar.
Rangkaian kasus konflik perebutan lahan di tiga desa seluas 582 hektar diawali
dengan PT Dasa Bagja untuk menyewa lahan guna penanaman tanaman kapuk
pada tahun 1974.
”....setelah kontraknya selese tetep lanjut tuh perusahaan. Saya amati
ya Mbak sama warga dulu ada kecurigaan dari perusahaan PT Dasa
itu untuk tetep mau kuasai lahan warga...” (NG, 35 Tahun, Anggota
LSM)
Menurut penuturan anggota LSM PT Dasa Bagja yang statusnya adalah
sebagai penyewa berniat untuk melanjutkan penguasaan lahan. Sebelumnya usaha
PT Dasa Bagja untuk memproses HGU telah ditolak. Saat kontrak berahir, PT
Dasa Bagja ingin mengambil status tanah warga kembali. Girik milik masyarakat
yang dibawa oleh PT Dasa Bagja disinyalir telah diproses untuk dijadikan HGU.
Sehingga pada akhir kontrak keluar surat Letter C ketiga desa atas nama PT Dasa
Bagja berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Negeri Jawa Barat tahun 1977.
Secara praktis kepemilikan tanah ini bergeser menjadi milik PT Dasa Bagja
sepenuhnya. Tahun 1986 PT Dasa Bagja melakukan pengalihan tanah yang bukan
miliknya kepada PT Makmur Jaya Utama (PT MJU) dengan akta notaris. PT MJU
bergerak cepat melakukan penguasaan dan pengukuran fisik atas seluas lahan 582
hektar yang berada di tiga desa. Mereka menawarkan pelepasan hak sebesar 13
miliar rupiah namun warga tidak menerima tawaran tersebut. Kemudian PT MJU
yang tidak punya hak atas tanah tersebut juga mengalihkannya ke PT Sumber Air
Mas Pratama (PT SAMP). Kali ini PT SAMP melakukan permohonan izin lokasi
kepada Gubernur Jawa Barat, dan keluar pada tahun 1991. Masyarakat menolak
hasil tersebut karena mereka masih memiliki bukti kepemilikan tanahnya. Surat
80
Letter C atas tanah 350 hektar yang dibuat oleh PT Dasa Bagja yang membuat
pengalihan tanah-tanah tersebut kepada perusahaan lain. Hingga pada akhirnya
setelah PT SAMP mendapatkan izin untuk pembebasan lahan yang mana
masyarakat tidak pernah melakukan transaksi apapun. Muncul persoalan ketika
PT SAMP sempat memerintahkan oknum untuk membebaskan tanah di lapangan.
Tetapi yang dibebaskan bukan pemilik girik tetapi orang yang mengaku
menggarap bahkan disuruh mengaku menggarap untuk menandatangani Surat
Pelepasan Hak (SPH). Kemudian mereka dibayar sebagai upah tanda tangan
SPH, bahkan bayaran tersebut ada yang diminta kembali. Luasan yang
ditandatangani pun dibuat seluas mungkin. PT SAMP telah diakuisisi sahamnya
sebagian besar oleh Agung Podomoro Land. Sebagaimana yang disampaikan oleh
informan bahwa.
Konflik kembali muncul pada tahun 2000 ketika masyarakat mengajukan
Surat MA Nomor 160/PK/Pdt/2011 yang tidak diterima oleh Pengadilan Negeri
Karawang. Sementara itu, PT SAMP mendapatkan izin eksekusi lahan. Pada
tahun 2005 Agung Podomoro Land menurunkan pasukan untuk pengamanan
lahan dengan membawa bukti izin mendirikan bangunan tanpa surat hak atas
tanah warga. Secara fisik lapangan, masyarakat sudah menempati lebih dari 50
tahun dan membayar pajak setiap tahun.
”....PT SAMP itu ngga sendiri, mana bisa dia? Bangunan kantor
marketingnya saja terlalu memaksa, siapa dia, apa yang dia punya?
Makanya itu akuisisinya Podomoro yang punya....” (NG, 35 Tahun,
Anggota LSM)
”....PT SAMP itu tidak jelas perusahaanya, lihat saja kantor
marketingnya. Tanpa izin mereka mendirikan bangunan di atas tanah
sengketa, tanah masyarakat. Makanya bangunanya semi permanen. Saya
kira mereka ingin diakui dengan membangun kantor pemasaran di sana,
baru kok Bu itu....” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)
Beberapa kejanggalan yang telah dianalisis beberapa pihak yang pro
terhadap masyarakat menyatakan bahwa:
1. Girik asli tanah diambil oleh kepala desa pada tahun 1974 dengan alasan
bahwa tanah masyarakat akan disewa oleh PT Dasa Bagja selama tiga tahun.
Kecurigaan muncul ketika kepala desa mengambil girik tersebut.
2. Tanah masyarakat disewa tetapi diakui oleh perusahaan telah dibebaskan.
Padahal masyarakat tidak mengetahui dan tidak menandatangani apapun.
3. Pihak yang mengaku membebaskan tanah garapan tidak menyebutkan batasbatas tanah.
4. Pihak yang mengakui pembebasan mengaku bahwa PT Dasa Bagja telah
melakukan pembebasan. Padahal PT Dasa Bagja tidak menandatangani
sebagai pihak yang melepaskan.
Direktorat Jenderal Pajak Bumi dan Bangunan Bekasi mengeluarkan surat
yang menyatakan bahwa berdasarkan hasil pencocokan para wajib pajak yang
tanahnya berlokasi di Desa Margamulya cocok tercantum pada Buku Letter C
pada tahun 1992. Setelah itu, keluar buku DHKP sebagai pengganti Buku Letter C
Desa dan keluar tagihan pajak berupa SPPT/PBB sebagai ganti girik. Pihak
pemerintah pun turut terlibat, terutama BPN Karawang Jawa Barat untuk
81
menenrbitkan hak guna bangunan (HGB) atas nama PT SAMP. Masyarakat,
BPK, Muspida, dan PT SAMP kemudian diundang oleh Kapolres Karawang
sebanyak tiga kali. Masyarakat menolak tidak berkeinginan tanahnya diukur
karena belum menerima ganti rugi, dan konsistensi surat yaitu isi dan perihal
terdapat saling bertentangan dan ketidaksesuaian. Lalu surat tersebut diubah dan
beberapa hari kemudian BPN Karawang mengeluarkan surat Nomor 610-533
Perihal Rencana Pegukuran Tanah Bermasalah antara PT SAMP dengan
masyarakat.
Masyarakat mengajukan permohonan untuk mengetahui hasil rincik.
Tidak lama mengetahui hasil rincik tersebut dinyatakan bahwa PT SAMP
menerima peta hasil rincik juga. PT SAMP mengajukan perkara data kepada
Pengadilan Negeri Karawang dengan membawa bukti peta rincik hasil ukur tahun
2005.
”....pas waktu itu, masyarakat tahu kalo peta yang dikeluarkan oleh
BPN ada dua. Satu untuk masyarakat, satu untuk PT SAMP. Petugas,
obyek, tanggal semuanya sama tapi hasil dari dua peta sungguh
berbeda....” (NG, 35 Tahun, Anggota LSM)
Hasil peta rincik yang dikeluarkan BPN Karawang terdapat dua dengan
berita acara yang sama tetapi dua gambar peta yang berbeda. BPN memberikan
untuk masyarakat dan PT SAMP. Peta yang diberikan kepada PT SAMP
menggambarkan tidak ada lagi pemilik tanah yang ada artinya semua tanah telah
dibebaskan. Peta tersebut dijadikan bahan pertimbangan majelis hakim untuk
mengalahkan masyarakat. Oleh karena itu masyarakat saat ini merasa hukum
tidak membuat masalah ini terselesaikan
Melihat fenomena di lapang, kawasan tiga desa tersebut memang dekat
dengan kawasan industri Karawang. Berdasarkan pengamatan lahan pertanian
berupa kebun yang ditanami tanaman keras telah digusur oleh perusahaan. Selain
itu, alasan Karawang sebagai pusat industri karena mobilitasnya yang dekat
dengan ibu kota negara dan pelabuhan. Hal ini sesuai dengan pernyataan salah
satu anggota LSM dan responden bahwa.
”....Karawang sebagai daerah penghasil padi mbak, tapi di satu sisi
juga industri tinggi. Sebenarnya mau ke mana fokus kita. Lahan yang
dulu sawah banyak dijadikan bangunan sekarang....” (HM, 24 Tahun,
Anggota LSM)
”....di sini semua dulu tanaman kayu sengon mbak, tapi lihat sekarang
udah gersang karena digusur dan dijaga ketat oleh perusahaan.
Semuanya ini lahan milik warga. Kalo yang nanam padi ada di sana,
beda tempat lagi. Sekarang kita engga punya apapa. Dulu bisa panen
kayu sengon nunggu berapa tahun buat pendapatan tambahan
mbak....” (UD, 65 Tahun, Anggota Masyarakat)
Menurut beberapa warga baik responden ataupun informan menyatakan
tanah-tanah di sini adalah hasil turun temurun atau warisan dari orang tua mereka.
Berdasarkan pengamatan, selama mewawancara responden secara keseluruhan
tanah milik mereka adalah warisan dari orang tua. Selanjutnya tetap diteruskan ke
82
anak-anak mereka pada nantinya. Di sisi lain harga tanah di tiga desa tersebut juga
memiliki harga jual yang tinggi seperti penuturan aparat Desa Wanakerta bahwa.
”....khususya yang saya tahu tanah di desa ini cukup tinggi, mungkin
karena banyak industri atau apa saya kurang tahu. Tapi harga
tawarannya lumayan dibanding di desa lain....” (UC, 40 Tahun,
Aparatur Desa)
Penuturan aparatur desa juga didukung oleh beberapa responden yang
mengetahui kondisi harga tanah. Bahkan ada yang mengatakan lebih baik
berinvestasi tanah di sana. Meski demikian masyarakat tidak menjualbelikan
tanahya. Penyerapan tenaga kerja di sana menurut salah satu responden yang
memberikan penjelasan bahwa memang pasti ada banyak kesempatan kerja di
pabrik atau industri di sini. Tetapi tidak mengetahui pasti jumlah berapa
penawaran dan permintaan, tetapi pasti ada peluang untuk bekerja di industri.
Dibandingkan dengan pertanian di sini sudah tidak bisa lagi bercocok tanam
karena sudah dieksekusi oleh PT SAMP. Sehingga para masyarakat tidak bisa
bekerja di lahan mereka kembali. Sesuai dengan pernyataan anggota masyarakat
menjelaskan bahwa.
”... kalo kerjaan di pabrik pasti ada, sepertinya banyak. Bahkan banyak
orang Jawa dan Sumatera yang merantau ke sini. Tetapi saya tidak
mengetahui pasti kalau jumlahnya dan perusahaan mana yang
menawarkan pekerjaan. Kalo kami sekarang akan berusaha merebut
tanah yang dulunya kami garap untuk kehidupan kami...”(UD, 65 tahun,
Anggota Masyarakat)
Secara umum telah terjadi perubahan kepemilikan berdasarkan penilaian
masyarakat. Responden mengalami penurunan penilaian terhadap hak atas
tanahnya karena beberapa hal seperti tidak dapat menanam, membangun, dan
menjadi jaminan di atas tanah mereka. Seperti yang dikatakan oleh responden
bahwa.
”...kami adalah yang punya tanah itu Bu. Jadi kami masih bisa lakukan
apapun di sana harusnya, sayang karena penjagaan yang ketat ketika
saya mau menanami sesuatu di atas tanah saya dicabut. Tapi bukti
kepemilikan yang kami punya sdah cukup kuat bahwa itu adalah tanah
masyarakat....” (CM, 32 Tahun, Anggota Masyarakat)
Meskipun masyarakat mengakui tidak bisa melakukan aktivitas di atas
tanah mereka tetapi mereka tetap bertahan bahwa tanah tersebut adalah tanah
masyarakat. Dari zaman pasca kemerdekaan mereka telah menempati tanah di
sana. Bahkan terdaftar dalam buku kepemilikan tanah di desa dan tetap membayar
pajak setiap tahunnya. LSM yang kontra dengan nilai-nilai kapitalis yaitu
penanaman modal dengan mengubah lahan pertanian mengeluhkan praktik
tersebut banyak terjadi, khususnya di kawasan tiga desa tersebut. Meski penting
untuk pertumbuhan ekonomi tetap saja mereka mengkhawatirkan rakyat kecil
khususnya para petani ketika perusahaan masuk desa melakukan ekspansi
industrinya.
83
Gerakan Petani
Mengamati kasus tiga desa termasuk ke dalam suatu gerakan sosial karena
memiliki sekumpulan masyarakat khususnya para petani yang lahannya terkena
sengketa dengan PT SAMP untuk mencapai tujuan mereka. Mempertahankan
kepemilikan lahan adalah tujuan bersama mereka. Secara aksi-aksi yang mereka
lakukan telah mensyaratkan untuk dikatakan sebagai gerakan. Berbagai aksi yang
terlihat menonjol adalah proses menghadang eksekusi lahan tahun 2014 dengan
aparat. Tindakan mereka juga bukan dasar organisasi formal yang memiliki
struktur hirarki. Mereka bertindak atas spontanitas perampasan lahan oleh PT
SAMP. Secara umum masyarakat menagkui bahwa mereka menyiapkan strategi
untuk melakukan gerakan. Hal ini sesuai dengan yang disampaikan informan
bahwa.
“...kami semua siapin dan ikut beberapa organisasi jadi lebih teratur
dalam aksi, kejadian kemarin saja yang tahun 2014 kami 500 orang aksi
ya tentu ada pengorganisasian. Hal lain juga misalnya ada kumpulankumpulan kecil untuk diskusi. Semua usaha pun sudah kami lakukan baik
ke pemerintah” (BC, 50 Tahun, Tokoh Masyarakat)
Mengenai bentuk dan sifat gerakan masyarakat telah melakukan berbagai
upaya baik aksi massa maupun hukum. Bahkan secara hukum mereka
mendapatkan bantuan dari lembaga hukum berupa pengacara. Gerakan ini
sungguh-sungguh dilakukan masyarakat untuk mencapai tujuan bersama.
Berbagai upaya seperti mengadukan ke pemerintah daerah hingga pusat telah
dilakukan. Saat isu ini tidak lagi menjadi perhatian pemerintah mereka akan tetap
bertahan dan tidak ingin selanjutnya proses ini berlangsung kepada anak-anak
mereka. Agenda ke depan setelah pengacara Bapak Johnsons bergabung dengan
masyarakat adalah mengajukan surat kuasa khusus yang diwakili oleh bebrapa
ahli hukum untuk membuktikan tanah-tanah dan kepemilikan mereka. Masyarakat
mengakui tanpa bantuan hukum dan organisasi mungkin tidak akan dapat
mengajukan ke tingkatan yang lebih tinggi dalam proses pengaduan. Bahkan
banyak muncul sukarelawan yang ingin membanu kasus ini baik dari organisasi
masyarakat, mahasiwa Universitas Negeri Karawang, LSM dan ahli hukum.
Berikut pernyataan dukungan dari beberapa pihak.
“…Sepetak di sini berusaha mengadvokasi masyarakat yang lahannya
terampas oleh perusahaan. Bahkan kami seringkali menjadi sasaran
balasan dari pihak yang menentang kami. Sekret kami pernah dilempari
peledak kecil di atas genteng. Tapi ya itu masalah kecil, toh nanti tinggal
lapor kalo kayak gitu siapa coba yang berusaha menyerang. Kami semua
tergabung di Sepetak ingin membantu fasilitasi masalah ini sesuai visi dan
misi kami...” (NG, 32 Tahun, Anggota Sepetak)
“…semua pihak desa mendukung maasyarakat termasuk lurahnya.
Apalagi lurah Wanakerta. Mereka mendukung dalam mengakui
kepemilikan lahan oleh warga dengan bukti buku bayar pajak. Mereka
mengetahui secara pasti daftar nama...” (KS, 63 Tahun, Anggota
Masyarakat)
84
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik ini yaitu petani, PT SAMP,
Agung Podomoro Land, Amandus beserta biong, Amen, Sepetak, dan masyarakat
sekitar. Kasus ini bukan hanya persoalan konflik lahan biasa, sudah berlangsung
sejak lama dan banyak pihak yang terlibat. Para petani mengalami kondisi
terjebak dengan perlawanan PT SAMP. Akhirnya Amandus dkk berusaha
membantu petani melawan PT SAMP, namun di baliknya ada Amen yang
disinyalir menginginkan lahan petani untuk dibelinya. Sepetak berusaha tetap di
pihak para petani untuk mempertahankan lahan miliknya dari para pemilik modal
(borjuis).
Hal tersebut yang menggambarkan kuatnya dukungan beberapa pihak dalam
kasus pembelaan masyarakat. Bahkan selain organisasi terdapat pihak-pihak
pengacara ahli yang terlibat.
“…akhir tahun kemarin Pak Johsons pengacara kondang terlibat dan
ingin membantu masyarakat. Secara pribadi Pak Johnsons merasa kasihan
kenapa kasus ini tidak selesai dan apa yang membuatnya. Pak Johsons itu
pengacara terkenal yang dulu pernah nyelesain masalah Rawagede
bahkan tarifnya miliaran. Sekarang beliau bergabung dan mulai
mendalami satu per satu kejadian kasus ini...” (BC, 50 Tahun, Tokoh
Masyarakat)
Selain Bapak Johnsons masih terdapat juga bebrapa pengacara yang
terlibat mendukung petani yaitu Moris, Amandus, dan pengacara-pengacara dari
LBH. Masyarakat merasa terbantu dengan adanya dukungan ini. Seringkali
mereka melakukan pertemuan dengan pengacara-pengacara tersebut yang
mengatur rencana ke depan untuk tetap mempertahankan lahan masyarakat.
Kalangan dari mereka berusaha membantu atas dasar pribadi masing-masing
untuk menolong para masyarakat. Jika membayar pengacara tentunya masyarakat
mampu saja tetapi untuk kontrak berapa lama pasti akan tidak sanggup
masyarakat apalagi saat ini materi yang diandalkan.
Proses perlawanan masyarakat tidak bisa dikatakan sebentar. Hampir 20
tahun lebih bergelut dengan masalah ini tentu menguras emosi dan amarah yang
mendalam hingga pada puncaknya tahun 2014 telah terjadi eksekusi. Proses
tersebut dirasa masyarakat telah merugikannya. Berbagai tuntutan masih berjalan
yaitu saat hari tani 24 September 2015 mengadakan aksi ke Kantor Pemerintah
Daerah dan ke Senayan. Mereka membawa kasus ini ke dalam panggung aksi
demo. Aksi masyarakat tersebut didukung beberapa pihak yaitu Sepetak,
pengacara, dan mahasiswa. Perlawanan ini dirasa masyarakat terorganisir dengan
baik dan memiliki sifat-sifat tanpa pamrih antar satu sama lain. Maksud
terorganisir adalah adanya pertemuan, rapat, silaturahim antar berbagai
masyarakat dan pihak yang pro masyarakat. Tujuannya adalah untuk mengatur
strategi ke depan yang akan dilakukan. Selain itu juga mengevaluasi dan
mengetahui perkembangan saat itu. Tetapi mereka tidak berada dalam payung
organisasi atau kelembagaan formal. Bagi para petani atau masyarakat yang ingin
bersama dipersilakan untuk bergabung. Hubungan dalam gerakan juga tidak
mengenal pamrih artinya masyarakat dan pihak pro masyarakat bergerak bersama
untuk memperjuangkan kembali kepemilikan lahan masyarakat.
85
RIWAYAT HIDUP
Nasyi’atul Laila dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 8 Mei 1994, dari
pasangan Musri’an Busron (almarhum) dan Khoirul Bariyah. Pendidikan formal yang
pernah dijalani adalah TK ABA 1 Sumberrejo (1999-2000), MI Muhammadiyah 18
Sumberrejo (2000-20006), MTs Negeri Model Babat (2006-2009), dan SMA Negeri 1
Babat (2009-2012). Pada tahun 2012, penulis melanjutkan kuliah di Institut Pertanian
Bogor, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi
Manusia, melalui jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN)
undangan.
Selain aktif dalam perkuliahan, penulis juga aktif dalam beberapa organisasi,
yaitu Wakil Ketua Dewan Musholla Asrama Putri Gedung A3 (2012), Anggota Divisi
Rohis Kelas Forum Syiar Fakultas Ekologi Manusia (Forsia) (2013-2014), Anggota
Divisi Pengembangan Masyarakat Paguyuban Karya Salemba Empat IPB (2013-2015),
Bendahara Departemen External International Association of Students in Agriculture and
Related Sciences (IAAS) Local Committee IPB (2013-2014), dan sebagai Sekretaris
Forum Syiar Islam Fakultas Ekologi Manusia (Forsia). Selain itu penulis juga aktif di
beberapa kepanitiaan di dalam kampus, yaitu Anggota Divisi Konsumsi TPB Cup (2013),
Bendahara Divisi Konsumsi Open House IPB 50 (2013), Anggota Divisi Mulitimedia
Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (MPKMB) 50 (2013), Bendahara Panitia
FEMA Berqurban 1434 H (2013), Anggota Divisi Acara Masa Perkenalan Fakultas
Ekologi Manusia (FEMA) (2014), Sekretaris Panitia Forsia Islamic Festival (2014), dan
Anggota Divisi Acara Muslimah in Action Forsia (2015).
Download