pancasila sebagai sistem etika

advertisement
MODUL PERKULIAHAN PANCASILA
SEMESTER GASAL TAHUN AKADEMIK 2016/2017
POKOK BAHASAN :
PANCASILA
SEBAGAI SISTEM ETIKA
Fakultas
Program Studi
Teknik
Sipil
Tatap Muka
Kode MK
Disusun Oleh
08
90037
Rani Purwanti
Kemalasari,SH,MH
Abstract
Dalam Modul ini akan dijelaskan
Pancasila sebagai etika, dan Hakikat
Sila Sila Pancasila.
2016
1
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Kompetensi
Mampu melakukan kajian dengan proses
kajian pemanfaatan literatur yang dapat
menghasilkan kajian tentang Pancasila
sebagai etika kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Dengan
metode
kajian
literatur
diharapkan dapat mengkaji Pancasila
sebagai sistem etika dari berbagai
perspektif.
Menunjukkan hasil kajian literatur dengan
kemampuan
membandingkan,
mempersamakan
dan
membedakan
pendapat mengenai Pancasila sebagai
sistem etika.
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
DAFTAR ISI
A. Apa Itu Etika?
4
B. Aliran-Aliran Besar Etika
4
1. Etika Deontologi
4
2. Etika Teleologi
5
3.Etika Keutamaan
7
C. Etika Pancasila
8
D. Pengertian Nilai, Norma dan Moral
10
E. Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Bagi Bangsa Dan Negara
Republik Indonesia
12
1. Dasar Filosofis
13
2. Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Negara
14
3. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
15
F. Analisa Kasus
18
Daftar Pustaka
2016
2
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
PANCASILA SEBAGAI SISTEM ETIKA
Kompetensi
 Mampu melakukan kajian dengan proses kajian pemanfaatan literatur yang dapat
menghasilkan kajian tentang Pancasila sebagai etika kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
 Dengan metode kajian literatur diharapkan dapat mengkaji Pancasila sebagai
sistem etika dari berbagai perspektif.
 Menunjukkan hasil kajian literatur dengan kemampuan membandingkan,
mempersamakan dan membedakan pendapat mengenai Pancasila sebagai sistem
etika.
 Mampu melakukan kajian dengan proses kajian pemanfataan literature yang dapat
menghasilkan kajian tentang pancasila sebagai etika kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara.
Materi Pembelajaran :
 Pengertian Etika dan Etika Pancasila.
Pancasila memiliki bermacam-macam fungsi dan kedudukan, antara lain sebagai dasar
negara, pandangan hidup bangsa, ideologi negara, jiwa dan kepribadian bangsa. Pancasila
juga sangat sarat akan nilai, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan
keadilan. Oleh karena itu, Pancasila secara normatif dapat dijadikan sebagai suatu acuan atas
tindakan baik, dan secara filosofis dapat dijadikan perspektif kajian atas nilai dan norma yang
berkembang dalam masyarakat. Sebagai suatu nilai yang terpisah satu sama lain, nilai-nilai
tersebut bersifat universal, dapat ditemukan di manapun dan kapanpun. Namun, sebagai suatu
kesatuan nilai yang utuh, nilai nilai tersebut memberikan ciri khusus pada ke-Indonesia-an
karena merupakan komponen utuh yang terkristalisasi dalam Pancasila. Meskipun para
founding fathers mendapat pendidikan dari Barat, namun causa materialis Pancasila digali dan
bersumber dari agama, adat dan kebudayaan yang hidup di Indonesia. Oleh karena itu,
Pancasila yang pada awalnya merupakan konsensus politik yang memberi dasar bagi
berdirinya negara Indonesia, berkembang menjadi consensus moral yang digunakan sebagai
sistem etika yang digunakan untuk mengkaji moralitas bangsa dalam konteks hubungan
berbangsa dan bernegara.
A. Apa Itu Etika?
2016
3
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Dalam percakapan sehari-hari dan dalam berbagai tulisan sangat sering seseorang
menyebut istilah etika, meskipun sangat sering pula seseorang menggunakannya secara tidak
tepat. Sebagai contoh penggunaan istilah ‘etika pergaulan, etika jurnalistik, etika kedokteran’
dan lain-lain, padahal yang dimaksud adalah etiket, bukan etika. Etika harus dibedakan dengan
etiket. Etika adalah kajian ilmiah terkait dengan etiket atau moralitas. Dengan demikian,maka
istilah yang tepat adalah etiket pergaulan, etiket jurnalistik, etiket kedokteran, dan lain-lain.
Etiket secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan kesusilaan/sopan santun. Secara
etimologis (asal kata), etika berasal dari bahasa Yunani, ethos, yang artinya watak kesusilaan
atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya
mores, yang juga berarti adat atau cara hidup. Meskipun kata etika dan moral memiliki
kesamaan arti, dalam pemakaian sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda. Moral atau
moralitas digunakan untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika digunakan untuk
mengkaji sistem nilai yang ada (Zubair, 1987: 13). Dalam bahasa Arab, padanan kata etika
adalah akhlak yang merupakan kata jamak khuluk yang berarti perangai, tingkah laku atau
tabiat (Zakky, 2008: 20.)
B. Aliran-Aliran Besar Etika.
Dalam kajian etika dikenal tiga teori/aliran besar, yaitu Deontologi, Teleologi dan
Keutamaan. Setiap aliran memiliki sudut pandang sendiri-sendiri dalam menilai apakah suatu
perbuatan dikatakan baik atau buruk.
1.
Etika Deontologi.
Etika Deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan apakah
tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika Deontologi tidak mempersoalkan
akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang
melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini
adalah Immanuel Kant (1734-1804).
Etika Deontologi memandang bahwa tindakan dinilai baik atau buruk berdasarkan
apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban. Etika Deontologi tidak mempersoalkan
akibat dari tindakan tersebut, baik atau buruk. Kebaikan adalah ketika seseorang melaksanakan
apa yang sudah menjadi kewajibannya. Tokoh yang mengemukakan teori ini adalah Immanuel
Kant (1734-1804). Kant menolak akibat suatu tindakan sebagai dasar untuk menilai tindakan
tersebut karena akibat tadi tidak menjamin universalitas dan konsistensi dalam bertindak dan
menilai suatu tindakan (Keraf, 2002: 9).Kewajiban moral sebagai manifestasi dari hukum moral
adalah sesuatu yang sudah tertanam dalam setiap diri pribadi manusia yang bersifat universal.
2016
4
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Manusia dalam dirinya secara kategoris sudah dibekali pemahaman tentang suatu tindakan itu
baik atau buruk, dan keharusan untuk melakukan kebaikan dan tidak melakukan keburukan
harus dilakukan sebagai perintah tanpa syarat (imperatif kategoris).
Kewajiban moral untuk tidak melakukan korupsi, misalnya, merupakan tindakan tanpa
syarat yang harus dilakukan oleh setiap orang. Bukan karena hasil atau adanya tujuan-tujuan
tertentu yang akan diraih, namun karena secara moral setiap orang sudah memahami bahwa
korupsi adalah tindakan yang dinilai buruk oleh siapapun. Etika Deontology menekankan bahwa
kebijakan/tindakan harus didasari oleh motivasi dan kemauan baik dari dalam diri, tanpa
mengharapkan pamrih apapun dari tindakan yang dilakukan (Kuswanjono,2008: 7). Kebaikan
dalam etika Deontologi adalah kewajiban, kemauan baik, kerja keras dan otonomi bebas.
Setiap tindakan dikatakan baik apabila dilaksanakan karena didasari oleh kewajiban moral dan
demi kewajiban moral itu. Tindakan itu baik bila didasari oleh kemauan baik, kerja keras dan
sungguh-sungguh untuk melakukan perbuatan itu. Tindakan yang baik adalah didasarkan atas
otonomi bebasnya tanpa ada paksaan dari luar.
2. Etika Teleologi.
Pandangan etika Teleologi berkebalikan dengan etika Deontologi, yaitu bahwa baik buruk
suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu.
Etika Teleologi membantu kesulitan etika Deontologi ketika menjawab apabila
dihadapkan pada situasi konkrit ketika dihadapkan pada dua atau lebih kewajiban yang
bertentangan satu dengan yang lain. Jawaban yang diberikan oleh etika Teleologi bersifat
situasional yaitu memilih mana yang membawa akibat baik meskipun harus melanggar
kewajiban, nilai norma yang lain. Contoh sederhana, kewajiban mengenakan helm bagi
pengendara motor tidak dapat dipenuhi karena lebih focus pada satu tujuan yaitu mencari
keselamatan. Kewajiban membayar pajak dan hutang juga sulit dipenuhi karena kehilangan
seluruh harta benda. Dalam keadaan demikian etika Teleologi perlu dipertimbangkan yaitu demi
akibat baik,beberapa kewajiban mendapat toleransi tidak dipenuhi.Persoalan yang kemudian
muncul adalah akibat yang baik itu, baik menurut siapa? Apakah baik menurut pelaku atau
menurut orang lain? Atas pertanyaan ini, etika Teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
egoisme etis dan utilitarianisme.
a) Egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik
untuk pelakunya.Secara moral setiap orang dibenarkan mengejar kebahagiaan untuk dirinya
dan dianggap salah atau buruk apabila membiarkan dirinya sengsara dan dirugikan.
2016
5
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
b) Utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana
akibatnya
terhadap
banyak
orang.
Tindakan
dikatakan
baik
apabila
mendatangkan
kemanfaatan yang besar dan memberikan kemanfaatan bagi sebanyak mungkin orang. Di
dalam menentukan suatu tindakan yang dilematis maka yang pertama adalah dilihat mana yang
memiliki tingkat kerugian paling kecil dan kedua dari kemanfaatan itu mana yang paling
menguntungkan bagi banyak orang, karena bisa jadi kemanfaatannya besar namun hanya
dapat dinikmati oleh sebagian kecil orang saja. Etika Utilitarianisme ini tidak terpaku pada nilai
atau norma yang ada karena pandangan nilai dan norma sangat mungkin memiliki keragaman.
Namun setiap tindakan selalu dilihat apakah akibat yang ditimbulkan akan memberikan manfaat
bagi banyak orang atau tidak. Kalau tindakan itu hanya akan menguntungkan sebagian kecil
orang atau bahkan merugikan maka harus dicari alternatif-alternatif tindakan yang lain.
Etika Utilitarianisme lebih bersifat realistis, terbuka terhadap beragam alternatif tindakan
dan berorientasi pada kemanfaatan yang besar dan yang menguntungkan banyak orang.
Utilitarians try to produce maximum pleasure and minimum pain, counting their own pleasure
and pain as no more or less important than anyone else’s (Wenz, 2001: 86). Etika
Utilitarianisme ini menjawab pertanyaan etika egoisme, bahwa kemanfaatan banyak orang-lah
yang lebih diutamakan. Kemanfaatan diri diperbolehkan sewajarnya,karena kemanfaatan itu
harus dibagi kepada yang lain.Utilitarianisme, meskipun demikian, juga memiliki kekurangan.
Sonny Keraf (2002: 19-21) mencatat ada enam kelemahan etika ini, yaitu :
1. Karena alasan kemanfaatan untuk orang banyak berarti akan ada sebagian masyarakat yang
dirugikan, dan itu dibenarkan. Dengan demikian Utilitarianisme membenarkan adanya
ketidakadilan terutama terhadap minoritas.
2. Dalam kenyataan praktis, masyarakat lebih melihat kemanfaatan itu dari sisi yang kuantitas
materialistis, kurang memperhitungkan manfaat yang non-material seperti kasih sayang,
nama baik, hak dan lain-lain.
3. Karena kemanfaatan yang banyak diharapkan dari segi material yang tentu terkait dengan
masalah ekonomi, maka untuk atas nama ekonomi tersebut hal-hal yang ideal seperti
nasionalisme, martabat bangsa akan terabaikan, misal atas nama memasukkan investor
asing aset-aset negara dijual kepada pihak asing, atau atas nama meningkatkan devisa
negara pengiriman TKW ditingkatkan. Hal yang menimbulkan problem besar adalah ketika
lingkungan dirusak atas nama untuk menyejahterakan masyarakat.
4. Kemanfaatan yang dipandang oleh etika Utilitarianisme sering dilihat dalam jangka pendek,
tidak melihat akibat jangka panjang. Padahal, misal dalam persoalan lingkungan, kebijakan
yang dilakukan sekarang akan memberikan dampak negatif pada masa yang akan datang.
2016
6
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
5. Karena etika Utilitarianisme tidak menganggap penting nilai dan norma, tapi lebih pada
orientasi hasil, maka tindakan yang melanggar nilai dan norma atas nama kemanfaatan yang
besar, misalnya perjudian/prostitusi, dapat dibenarkan.
6. Etika Utilitarianisme mengalami kesulitan menentukan mana yang lebih diutamakan
kemanfaatan yang besar namun dirasakan oleh sedikit masyarakat atau kemanfaatan yang
lebih banyak dirasakan banyak orang meskipun kemanfaatannya kecil. Menyadari
kelemahan
itu
etika
Utilitarianisme
membedakannya
dalam
dua
tingkatan,
yaitu
Utilitarianisme aturan dan tindakan. Atas dasar ini, maka pertama, setiap kebijakan dan
tindakan harus dicek apakah bertentangan dengan nilai dan norma atau tidak. Kalau
bertentangan maka kebijakan dan tindakan tersebut harus ditolak meskipun memiliki
kemanfaatan yang besar. Kedua, kemanfaatan harus dilihat tidak hanya yang bersifat fisik
saja tetapi juga yang non-fisik seperti kerusakan mental, moralitas, kerusakan lingkungan
dsb. Ketiga, terhadap masyarakat yang dirugikan perlu pendekatan personal dan
kompensasi yang memadai untuk memperkecil kerugian material dan non-material.
3.Etika Keutamaan.
Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada
penilaian moral pada kewajiban terhadap hukum moral universal, tetapi pada
pengembangan karakter moral pada diri setiap orang. Orang tidak hanya melakukan
tindakan yang baik, melainkan menjadi orang yang baik. Karakter moral ini dibangun
dengan cara meneladani perbuatan-perbuatan baik yang dilakukan oleh para tokoh besar.
Internalisasi ini dapat dibangun melalui cerita, sejarah yang didalamnya mengandung nilainilai keutamaan agar dihayati dan ditiru oleh masyarakatnya.
Kelemahan etika ini adalah ketika terjadi dalam masyarakat yang majemuk, maka tokoh
tokoh yang dijadikan panutan juga beragam sehingga konsep keutamaan menjadi sangat
beragam pula, dan keadaan ini dikhawatirkan akan menimbulkan benturan sosial. Kelemahan
etika keutamaan dapat diatasi dengan cara mengarahkan keteladanan tidak pada figur tokoh,
tetapi pada perbuatan baik yang dilakukan oleh tokoh itu sendiri, sehingga akan ditemukan
prinsip-prinsip umum tentang karakter yang bermoral itu seperti apa.Selanjutnya akan dibahas
tentang etika Pancasila sebagai suatu aliran etika alternatif, baik dalam konteks keindonesiaan
maupun keilmuan secara lebih luas.
C. Etika Pancasila.
2016
7
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Etika Pancasila tidak memposisikan secara berbeda atau bertentangan dengan aliranaliran besar etika yang mendasarkan pada kewajiban, tujuan tindakan dan pengembangan
karakter moral, namun justru merangkum dari aliran-aliran besar tersebut.
Etika Pancasila adalah etika yang mendasarkan penilaian baik dan buruk pada nilai-nilai
Pancasila, yaitu nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan dan keadilan. Suatu
perbuatan dikatakan baik bukan hanya apabila tidak bertentangan dengan nilai-nilai
tersebut, namun juga sesuai dan mempertinggi nilai-nilai Pancasila tersebut. Nilai-nilai
Pancasila meskipun merupakan kristalisasi nilai yang hidup dalam realitas sosial,
keagamaan, maupun adat kebudayaan bangsa Indonesia, namun sebenarnya nilai-nilai
Pancasila juga bersifat universal dapat diterima oleh siapapun dan kapanpun.
Etika Pancasila berbicara tentang nilai-nilai yang sangat mendasar dalam kehidupan
manusia. Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hirarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai
nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak. Seluruh nilai kebaikan
diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan
nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Pandangan demikian secara empiris bisa dibuktikan bahwa
setiap perbuatan yang melanggar nilai, kaidah dan hukum Tuhan, baik itu kaitannya dengan
hubungan antara manusia maupun alam pasti akan berdampak buruk. Misalnya pelanggaran
kaidah Tuhan untuk melestarikan alam akan menghasilkan bencana alam.
Nilai yang kedua adalah kemanusiaan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan nilai-nilai kemanusiaan. Prinsip pokok dalam nilai kemanusiaan Pancasila adalah
keadilan dan keadaban. Keadilan mensyaratkan keseimbangan, antara lahir dan batin, jasmani
dan rohani, individu dan sosial, makhluk bebas mandiri dan makhluk Tuhan yang terikat hukumhukum Tuhan. Keadaban mengindikasikan keunggulan manusia dibanding dengan makhluk
lain, yaitu hewan, tumbuhan, dan benda tak hidup. Karena itu perbuatan itu dikatakan baik
apabila sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan yang didasarkan pada konsep keadilan dan
keadaban.
Nilai yang ketiga adalah persatuan. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila dapat
memperkuat persatuan dan kesatuan. Sikap egois dan menang sendiri merupakan perbuatan
buruk, demikian pula sikap yang memecah belah persatuan.
Nilai yang keempat adalah kerakyatan. Dalam kaitan dengan kerakyatan ini terkandung
nilai lain yang sangat penting yaitu nilai hikmat/kebijaksanaan dan permusyawaratan. Kata
hikmat/kebijaksanaan berorientasi pada tindakan yang mengandung nilai kebaikan tertinggi.
Atas nama mencari kebaikan, pandangan minoritas belum tentu kalah dibanding mayoritas.
2016
8
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pelajaran yang sangat baik misalnya peristiwa penghapusan tujuh kata dalam sila pertama
Piagam Jakarta. Sebagian besar anggota PPKI menyetujui tujuh kata tersebut, namun
memperhatikan kelompok yang sedikit (dari wilayah Timur) yang secara argumentatif dan
realistis bisa diterima, maka pandangan minoritas ‘dimenangkan’ atas pandangan mayoritas.
Dengan demikian, perbuatan belum tentu baik apabila disetujui/bermanfaat untuk orang
banyak, namun perbuatan itu baik jika atas dasar musyawarah yang didasarkan pada konsep
hikmah/kebijaksanaan.
Nilai yang kelima adalah keadilan. Apabila dalam sila kedua disebutkan kata adil, maka
kata tersebut lebih dilihat dalam konteks manusia selaku individu. Adapun nilai keadilan pada
sila kelima lebih diarahkan pada konteks sosial. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila sesuai
dengan prinsip keadilan masyarakat banyak. Menurut Kohlberg (1995: 37), keadilan merupakan
kebajikan utama bagi setiap pribadi dan masyarakat. Keadilan mengandaikan sesama sebagai
partner yang bebas dan sama derajatnya dengan orang lain.
Menilik nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, maka Pancasila dapat menjadi
sistem etika yang sangat kuat, nilai-nilai yang ada tidak hanya bersifat mendasar, namun juga
realistis dan aplikatif. Apabila dalam kajian aksiologi dikatakan bahwa keberadaan nilai
mendahului fakta, maka nilai-nilai Pancasila merupakan nilai-nilai ideal yang sudah ada dalam
cita-cita bangsa Indonesia yang harus diwujudkan dalam realitas kehidupan. Nilai-nilai tersebut
dalam istilah Notonagoro merupakan nilai yang bersifat abstrak umum dan universal, yaitu nilai
yang melingkupi realitas kemanusiaan di manapun, kapanpun dan merupakan dasar bagi setiap
tindakan dan munculnya nilai-nilai yang lain.
Sebagai contoh, nilai ketuhanan akan menghasilkan nilai spiritualitas, ketaatan, dan
toleransi.Nilai kemanusiaan, menghasilkan nilai kesusilaan, tolong menolong, penghargaan,
penghormatan, kerjasama, dan lain-lain. Nilai persatuan menghasilkan nilai cinta tanah air,
pengorbanan dll. Nilai kerakyatan menghasilkan nilai menghargai perbedaan, kesetaraan, dll.
Nilai keadilan menghasilkan nilai kepedulian, kesejajaran ekonomi, kemajuan bersama dll. Nilai,
norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan
Pancasila maka ketiganya akan memberikan pemahaman yang saling melengkapi sebagai
sistem etika. Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai
yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun
norma kenegaraan lainnya. Di samping itu, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat
kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat
adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam
hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
2016
9
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Nilai-nilai
tersebut
dijabarkan
dalam
kehidupan
yang
bersifat
praksis
atau
kehidupan nyata dalam masyarakat, bangsa dan negara maka diwujudkan dalam norma-norma
yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi :
1. Norma Moral
Yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk,
sopan atau tidak sopan, susila atau tidak susila.
2. Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu
tertentu dalam pengertian ini peraturan hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demikian, Pancasila pada hakikatnya bukan merupakan suatu pedoman yang langsung
bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang
merupakan sumber norma.
D. Pengertian Nilai, Norma dan Moral
1.
Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang
atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu
obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya.
Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu
dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah
suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik
atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi
manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan
menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya.
Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator)
sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport mengidentifikasikan
nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori,
nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
2.
2016
Hierarkhi Nilai
10
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat
terhadap sesuatu obyek. Notonagoro membedakan nilai menjadi tiga, yaitu :
1. nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2. nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas
atau kegiatan,
3. nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam
empat tingkatan sebagai berikut :
a. nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b. nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia
c. nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia
d. nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh
karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai
manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan
kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
2.
Pengertian Moral.
Moral berasal dari kata
mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku
dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan
norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral.
Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsip-prinsip yang benar, baik terpuji dan
mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat
kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
3. Pengertian Norma.
Kesadaran manusia yang
membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan
kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan
selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam
sekitarnya). Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial,
moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh
tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma
2016
11
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki
kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
4.
Hubungan Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap
terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak
digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi
yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah
laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan
manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral
maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia.
Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu,
hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan
maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan
pihak yang memberikan ajaran moral.
E. Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Bagi Bangsa Dan Negara Republik Indonesia.
1. Dasar Filosofis.
Pancasila sebagai dasar filsafat negara serta sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia pada
hakikatnya merupakan suatu nilai yang bersifat sistematis. Oleh karena itu sila-sila Pancasila
merupakan suatu kesatuan yang bulat, hirarkhis dan sistematis. Dalam pengertian itu maka
Pancasila merupakan suatu sistem filsafat sehingga kelima silanya memiliki esensi makna
yang utuh.
Dasar pemikiran filosofisnya adalah sebagai berikut : Pancasila sebagai filsafat bangsa
dan negara Republik Indonesia mempunyai makna bahwa dalam setiap aspek kehidupan
kebangsaan, kemasyarakatan serta kenegaraan harus berdasarkan nilai-nilai Ketuhanan,
Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Titik tolaknya pandangan itu adalah
negara adalah suatu persekutuan hidup manusia atau organisasi kemasyarakatan manusia.
Nilai-nilai obyektif Pancasila dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Rumusan dari sila-sila Pancasila itu sendiri sebenarnya, hakikatnya, maknanya yang
terdalam menunjukkan adanya sifat-sifat yang umum, universal dan abstrak, karena
merupakan suatu nilai.
2016
12
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
b. Inti dari nilai-nilai Pancasila akan tetap ada sepanjang masa dalam kehidupan bangsa
Indonesia dan mungkin juga pada bangsa lain dalam adat kebiasaan, kebudayaan,
kenegaraan maupun dalam kehidupan keagamaan.
c. Pancasila yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, menurut ilmu hukum memenuhi
syarat sebagai pokok kaidah negara yang fundamental sehingga merupakan suatu sumber
hukum positif di Indonesia. Oleh karena itu, dalam hierarkhi tata tertib hukum Indonesia
berkedudukan sebagai tertib hukum tertinggi dan tidak dapat diubah
secara hukum
sehingga terlekat pada kelangsungan hidup negara.
Sebaliknya nilai-nilai subyektif Pancasila dapat diartikan bahwa keberadaannya bergantung
dan atau terlekat pada bangsa Indonesia sendiri. Hal itu dijelaskan sebagai berikut :
a. Nilai-nilai Pancasila timbul dari bangsa Indonesia sehingga bangsa Indonesia sebagai
kausa materialis. Nilai-nilai itu sebagai hasil pemikiran, penilaian kritik serta hasil refleksi
filosofis bangsa Indonesia.
b. Nilai-nilai Pancasila merupakan filsafat (pandangan hidup) bangsa Indonesia sehingga
merupakan jati diri bangsa, yang diyakini sebagai sumber nilai atas kebenaran, kebaikan,
keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
c. Nilai-nilai Pancasila didalamnya terkandung ketujuh nilai-nilai kerokhanian yaitu nilai-nilai
kebenaran, keadilan, kebaikan, kebijaksanaan, estetis dan religius yang manifestasinya
sesuai dengan budi nurani bangsa Indonesia karena bersumber pada kepribadian bangsa.
Nilai-nilai Pancasila tersebut bagi bangsa menjadi landasan, dasar serta motivasi atas
segala perbuatan baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam kehidupan kenegaraan.
Dengan kata lain, bahwa nilai-nilai Pancasila merupakan das sollen atau cita-cita tentang
kebaikan yang harus diwujudkan menjadi suatu kenyataan atau das sein.
2. Nilai-Nilai Pancasila Sebagai Nilai Fundamental Negara
Nilai-nilai Pancasila terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara yuridis memiliki
kedudukan sebagai pokok kaidah negara yang fundamental. Adapun Pembukaan UUD 1945
yang didalamnya memuat nilai-nilai Pancasila mengandung empat pokok pikiran yang
merupakan derivasi atau penjabaran dari nilai-nilai Pancasila itu sendiri.
Pokok pikiran pertama menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara persatuan,
yaitu negara yang melindungi segenap bangsa
dan seluruh tumpah darah Indonesia,
mengatasi segala paham golongan maupun perseorangan. Hal ini merupakan penjabaran sila
ketiga. Pokok pikiran kedua menyatakan bahwa negara hendak mewujudkan suatu keadilan
sosial bagi
2016
13
seluruh rakyat Indonesia. Dalam hal ini negara berkewajiban mewujudkan
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
kesejahteraan umum bagi seluruh rakyat Indonesia, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial. Pokok
pikiran ini adalah penjabaran dari sila kelima.
Pokok pikiran ketiga menyatakan bahwa negara berkedaulatan rakyat, berdasarkan atas
kerakyatan dan permusyawaratan/perwakilan. Pokok pikiran ini menunjukkan bahwa negara
Indonesia demokrasi, yaitu kedaulatan ditangan rakyat. Hal ini sesuai dengan sila keempat.
Pokok pikiran keempat menyatakan bahwa negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha
Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Pokok pikiran ini sebagai penjabaran
dari sila pertama dan kedua.
Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa Pancasila dan Pembukaan UUD 1945
dapat dinyatakan sebagai pokok-pokok kaidah negara yang fundamental, karena di dalamnya
terkandung pula konsep-konsep sebagai berikut.
a. Dasar-dasar pembentukan negara, yaitu tujuan negara, asas politik negara (negara
Indonesia republik dan berkedaulatan rakyat) dan asas kerohanian negara (Pancasila).
b. Ketentuan diadakannya Undang – Undang Dasar 1945, yaitu, ”…..maka disusunlah
kemerdekaan kebangsaan Indonesia dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara
Indonesia.” Hal ini menunjukkan adanya sumber hukum.
Nilai dasar yang fundamental dalam hukum mempunyai hakikat dan kedudukan yang tetap
kuat dan tidak berubah, dalam arti dengan jalan hukum apa pun tidak mungkin lagi untuk
diubah. Berhubung Pembukaan UUD 1945 memuat nilai-nilai dasar yang fundamental, maka
Pembukaan UUD 1945 yang didalamnya terdapat Pancasila tidak dapat diubah secara hukum.
Apabila terjadi perubahan berarti pembubaran Negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Dalam pengertian seperti itulah maka dapat disimpulkan bahwa Pancasila merupakan
dasar
yang fundamental bagi negara Indonesia terutama
dalam pelaksanaan dan
penyelenggaraan negara. Di samping itu, nilai-nilai Pancasila juga merupakan suatu landasan
moral etik dalam kehidupan kenegaraan. Hal itu ditegaskan dalam pokok pikiran keempat
yang menyatakan bahwa negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa berdasar atas
kemanusiaan yang adil dan beradab. Konsekuensinya dalam penyelenggaraan kenegaraan
antara lain operasional pemerintahan negara, pembangunan negara, pertahanan-keamanan
negara, politik negara serta pelaksanaan demokrasi negara harus senantiasa berdasarkan
pada moral ketuhanan dan kemanusiaan.
3. Makna Nilai-Nilai Setiap Sila Pancasila
2016
14
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pancasila sebagai dasar filsafat bangsa dan negara Republik Indonesia merupakan
nilai yang tidak dapat dipisah-pisahkan dengan masing-masing silanya. Hal ini dikarenakan
apabila dilihat satu per satu dari masing-masing sila, dapat saja ditemukan dalam kehidupan
bangsa lain. Makna Pancasila terletak pada nilai-nilai dari masing-masing sila sebagai satu
kesatuan yang tidak dapat diputarbalikkan letak dan susunannya. Namun demikian, untuk lebih
memahami nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing sila Pancasila, maka berikut ini
kita uraikan :
a.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini nilai-nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila
lainnya. Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara yang didirikan adalah pengejawantahan
tujuan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha esa. Konsekuensi yang muncul kemudian
adalah realisasi kemanusiaan terutama dalam kaitannya dengan hak-hak dasar kemanusiaan
(hak asasi manusia) bahwa setiap warga negara memiliki kebebasan untuk memeluk agama
dan menjalankan ibadah sesuai dengan keimanan dan kepercayaannya masing-masing. Hal itu
telah dijamin dalam Pasal 29 UUD. Di samping itu, di dalam negara Indonesia tidak boleh ada
paham yang meniadakan atau mengingkari adanya Tuhan (atheisme).
b.
Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
Kemanusian berasal dari kata manusia yaitu mahluk yang berbudaya dengan memiliki
potensi pikir, rasa, karsa dan cipta. Potensi itu yang mendudukkan manusia pada tingkatan
martabat yang tinggi yang menyadari nilai-nilai dan norma-norma. Kemanusiaan terutama
berarti hakikat dan sifat-sifat khas manusia sesuai dengan martabat. Adil berarti wajar yaitu
sepadan dan sesuai dengan hak dan kewajiban seseorang. Beradab sinonim dengan sopan
santun, berbudi luhur, dan susila, artinya, sikap hidup, keputusan dan tindakan harus
senantiasa berdasarkan pada nilai-nilai keluhuran budi, kesopanan, dan kesusilaan. Dengan
demikian, sila ini mempunyai makna kesadaran sikap dan perbuatan yang didasarkan kepada
potensi budi nurani manusia dalam hubungan dengan norma-norma dan kesusilaan umumnya,
baik terhadap diri sendiri, sesama manusia, maupun terhadap alam dan hewan.
Hakikat pengertian diatas sesuai dengan Pembukaan UUD 1945 Alinea Pertama
:”bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu adalah hak segala bangsa dan oleh sebab itu,
penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan …”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannnya dalam Batang Tubuh UUD.
c.
Persatuan Indonesia
Persatuan berasal dari kata satu artinya tidak terpecah-pecah. Persatuan mengandung
pengertian bersatunya bermacam-macam corak yang beraneka ragam menjadi satu kebulatan.
2016
15
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Persatuan Indonesia dalam sila ketiga ini mencakup persatuan dalam arti ideologi, politik,
ekonomi, sosial budaya dan keamanan. Persatuan Indonesia ialah persatuan bangsa yang
mendiami seluruh wilayah Indonesia. Yang bersatu karena didorong untuk mencapai kehidupan
kebangsaan yang bebas dalam wadah negara yang merdeka dan berdaulat. Persatuan
Indonesia merupakan faktor yang dinamis dalam kehidupan bangsa Indonesia dan bertujuan
melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan
umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, serta mewujudkan perdamaian dunia yang
abadi.Persatuan Indonesia adalah perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai
oleh Ketuhanan Yang Maha Esa, serta kemanusiaan yang adil dan beradab. Oleh karena itu,
paham kebangsaan Indonesia tidak sempit (chauvinistis), tetapi menghargai bangsa lain.
Nasionalisme Indonesia mengatasi paham golongan, suku bangsa serta keturunan. Hal ini
sesuai dengan alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, ” Kemudian daripada itu
untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia…”. Selanjutnya dapat dilihat penjabarannya
dalam Batang Tubuh UUD 1945.
d. Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksaaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.
Kerakyatan berasal dari kata rakyat yaitu sekelompok manusia yang berdiam dalam
satu wilayah negara tertentu. Dengan sila ini berarti bahwa bangsa Indonesia menganut sistem
demokrasi yang menempatkan rakyat di posisi tertinggi dalam hirarki kekuasaan. Hikmat
kebijasanaan
berarti
penggunaan
ratio
atau
pikiran
yang
sehat
dengan
selalu
mempertimbangkan persatuan dan kesatuan bangsa, kepentingan rakyat dan dilaksanakan
dengan sadar, jujur dan bertanggung jawab serta didorong dengan itikad baik sesuai dengan
hati nurani. Permusyawaratan adalah suatu tata cara khas kepribadian Indonesia untuk
merumuskan atau memutuskan sesuatu hal berdasarkan kehendak rakyat sehingga tercapai
keputusan yang bulat dan mufakat. Perwakilan adalah suatu sistem, dalam arti, tata cara
mengusahakan turut sertanya rakyat mengambil bagian dalam kehidupan bernegara melalui
lembaga perwakilan.
Dengan demikian sila ini mempunyai makna bahwa rakyat dalam melaksanakan tugas
kekuasaanya ikut dalam pengambilan keputusan-keputusan. Sila ini merupakan sendi asas
kekeluargaan masyarakat sekaligus sebagai asas atau prinsip tata pemerintahan Indonesia
sebagaimana dinyatakan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi :”…
maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia, yang berkedaulatan rakyat …”
e. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
2016
16
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Keadilan sosial berarti keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan,
baik materiil maupun spiritual. Seluruh rakyat Indonesia berarti untuk setiap orang yang menjadi
rakyat Indonesia.
Pengertian itu tidak sama dengan pengertian sosialistis atau komunalistis karena keadilan
sosial pada sila kelima mengandung makna pentingnya hubungan antara manusia sebagai
pribadi dan manusia sebagai bagian dari masyarakat. Konsekuensinya meliputi :
1.
Keadilan distributif yaitu suatu hubungan keadilan antara negara dan warganya dalam arti
pihak negaralah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk keadilan membagi, dalam
bentuk kesejahteraan, bantuan, subsidi serta kesempatan dalam hidup bersama yang
didasarkan atas hak dan kewajiaban.
2. Keadilan legal yaitu suatu hubungan keadilan antara warga negara terhadap negara, dalam
masalah ini pihak wargalah yang wajib memenuhi keadilan dalam bentuk mentaati peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam negara
3. Keadilan komutatif yaitu suatu hubungan keadilan antara warga atau dengan lainnya secara
timbal balik. Dengan demikian, dibutuhkan keseimbangan dan keselarasan diantara keduanya
sehingga tujuan harmonisasi akan dicapai. Hakikat sila ini dinyatakan dalam Pembukaan UUD
1945 yaitu :”dan perjuangan kemerdekaan kebangsaan Indonesia … Negara Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
F. ANALISA KASUS.
Kasus Pencatutan Nama Presiden dan Wakil Presiden.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus dugaan pencatutan nama Presiden Jokowi dengan
meminta saham kepada PT Freeport menuai kecaman. Menteri Energi dan Sumber Daya
Mineral melaporkan sebuah rekaman ke Mahkamah Kehormatan Dewan ( MKD ) DPR RI
dimana didalam rekaman tersebut terdapat percakapan, yang diduga, antara seorang
Anggota DPR RI dengan seorang pengusaha yang meminta saham kepada PT Freeport
sebesar 11% untuk Presiden dan 9% untuk Wakil Presiden. Motivasi permintaan saham
tersebut adalah demi memuluskan renegosiasi perpanjangan kontrak perusahaan tersebut.
kasus ini telah mempermalukan dan merusak nama baik Presiden Jokowi. Nama Presiden
telah disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu.
Presiden ialah bagian dari simbol-simbol dan lambang negara. Mencatut simbol-simbol dan
lambang negara bukanlah pelanggaran biasa. Yang lebih memberatkan adalah pelaku dalam
pelanggaran berat ini diduga seorang Anggota DPR, dan tidak tanggung-tanggung menjabat
2016
17
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
sebagai Ketua DPR. Ketua dari lembaga yang mewakili seluruh rakyat Indonesia. Hingga kini
kasus ini masi dikategorikan pelanggaran Etika, namun kita menghendaki kasus pencatutan
nama Presiden dan Wakil Presiden ini tidak berhenti di proses pengadilan etika tetapi juga
masuk ke ranah hukum.
a. Penerapan Etika dari Sila-Sila Pancasila mana sajakah yang telah dilanggar oleh pelaku
pencatut nama Presiden dan wakil Presiden ?
b. Bagaimana pendapat anda sebagai rakyat Indonesia dalam menyikapi kasus di atas ! ( kaitkan
pendapat anda sesuai dengan nilai nilai Etika Pancasila ) !
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku Pancasila Universitas Mercubuana.
Ngadino Surip, Syahrial Syarbaini, A Rahman HI, Pancasila Dalam Makna
Dan Aktualisasi, Univeritas Mercu Buana, CV Andi Offset, Jakarta,
2016.
B. Literatur
Abdullah, Rozali, 1984, Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa, CV.
Rajawali, Jakarta.
Abdulgani, Roeslan, 1979, Pengembangan Pancasila di Indonesia, yayasan Idayu, Jakarta.
Ali As’ad Said, 2009, Negara Pancasila Jalan Kemaslahatan Berbangsa, Pustaka LP3ES,
Jakarta.
Darmodihardjo, D, 1978, Orientasi Singkat Pancasila, PT. Gita Karya, Jakarta.
Hartono, 1992, Pancasila Ditinjau dari Segi Historis, PT Rineka Cipta, Jakarta.
2016
18
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Kaelan, 2012, Problem Epistemologis Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara, Paradigma,
Yogyakarta.
Latif, Yudi, 2011, Negara Paripurna ; Historisitas, Rasionalitas, dan Akualitas Pancasila, PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Notonagoro, 1975, Pancasila secara Ilmiah Populer, Pantjuran Tujuh , Jakarta.
Oesman, Oetojo dan Alfian (Ed.), 1990, Pancasila sebagai Ideologi dalam Berbagai Bidang
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa dan Bernegara, BP-7 Pusat, Jakarta.
Pranarka, A.W.M., 1985, Sejarah Pemikiran tentang Pancasila, CSIS, Jakarta.
Setiardja, A. Gunawan, 1994, Filsafat Pancasila Bagian II: Moral Pancasila.
Syahrial Syarbaini, Ph.D. 2012. Pendidikan Pancasila. Jakarta. Ghlaila Indonesia.
Yamin, Muhammad, 1954, Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia, Djambatan,
Jakarta/Amsterdam.
Direktorat Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, 2013,
Materi Ajar Mata Kuliah Pendidikan Pancasila, Departemen Pendidikan Nasional
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
Hamid Darmadi, 2014, Urgensi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan di perguruan
Tinggi.
Kaelan, 2000, Pendidikan Pancasila, Paradigma, Yogyakarta.
Panji Sejito, 2013, Pendidikan Pancasila, Perspektif Sejarah Perjuangan Bangsa, Grasindo,
Jakarta.
Taniredja,Tukiran,dkk, Paradigma Baru Pendidikan Pancasila Untuk Mahasiswa, Bandung,
Alfabeta,2012.
C. Peraturan.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2016
19
Pancasila
Rani Purwanti Kemalasari,SH.,MH
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download