1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Arsitektur didefinisikan sebagai sebuah pikiran atau perencanaan yang direalisasikan sebagai tanggapan terhadap keinginan tertentu dan dikatakan sebagai sebuah pemenuhan sebuah fungsi atau wadah dari aktivitas manusia (Ching, 1985:10). Vitruvius dalam bukunya yang berjudul “Ten Books of Architecture” menyatakan bahwa arsitektur adalah bangunan yang terdiri dari tiga komponen yaitu utilitas (fungsi, kegunaan), firmitas (struktur, kekuatan) dan venustas (keindahan). Arsitektur juga termasuk kedalam bidang seni khususnya seni tentang bangunan. Dalam beberapa teori tentang seni mengungkapkan bahwa seni merupakan suatu kegiatan manusia yang menjelajahi dan menciptakan kenyataan baru dan disajikan sebagai sebuah kiasan atau lambang dari mikrokosmos yang mencerminkan makrokosmos (Gie, 2004:14), begitu pula yang terjadi pada arsitektur yang juga merupakan sebuah replika dari alam semesta yang dibuat dalam bentuk karya-karya arsitektur. Replika dari alam semesta ditransformasikan dalam berbagai bentuk dan wujud, salah satunya adalah dalam bentuk candi. Istilah candi di Indonesia umumnya terkait dengan bangunan-bangunan suci peninggalan jaman Hindu-Budha dan jaman-jaman kerajaan. Candi dibangun sebagai simbol dari alam semesta sebagai stana para dewa. Candi juga merupakan 2 bentuk tiruan dari gunung, yakni stana para dewa yaitu Gunung Mahameru (Soekmono, 1988:84). Dalam kamus besar Bahasa Indonesia candi diartikan sebagai bangunan kuno yang dibuat dari batu, berupa tempat pemujaan, penyimpanan abu jenasah raja-raja atau para pendeta Hindu-Budha. Di sisi lain, bilamana bertolak dari asal-usul katanya, candi berasal dari Bahasa Kawi, yaitu cinandi, yang artinya dikubur (Mardiwarsito, 1985: 134). Maksud dari dikubur (cinandi) dalam konteks ini adalah bukan mayat atau abu jenazah, melainkan bermacam-macam benda, seperti potongan bebagai jenis logam dan batu akik, disertai dengan saji-sajian dan dianggap sebagai lambang zat-zat jasmaniah dari sang raja yang telah bersatu dengan dewa penitisnya (Soekmono, 1988: 81). Candi dikatakan sebagai sebuah replika dari Gunung Mahameru yang juga memiliki pedoman tentang pendiriannya mulai dari pemilihan lokasi hingga perhitungan proporsi. Pada bangunan candi pertimbangan pemilihan lokasi yang tepat adalah hal yang paling utama. Sebuah site atau tanah yang tidak terdapat aliran sungai, tanah berawa, tanah yang dipenuhi kerikil dan tanah sisa tempat kremasi perlu dihindari (Kaulacara, 1966:10). Tanah yang sebagian besar berpasir adalah tanah yang dikatakan baik untuk mendirikan sebuah candi. Pemilihan lokasi candi juga diklasifikasikan berdasarkan bau dari tanah dalam site. Tanah yang berbau manis dikatakan sebagai tanah Brahmana, tanah berwarna kemerahmerahan seperti darah segar dan berbau asam disebut tanah Ksatriya, tanah yang berbau asin adalah tanah Vaisya dan tanah yang becek berwarna gelap serta berbau busuk adalah tanah Sudra (Kaulacara, 1966:10). 3 Selain pada pemilihan lokasi, perhitungan-perhitungan seperti proporsi sebuah candi juga merupakan salah satu prinsip arsitektur yang menjadi dasar dalam perancangannya. Proporsi pada candi bisa ditentukan dari sebuah dasar ukuran bagian tertentu bangunan candi. Banyak teori tentang proporsi yang bisa digunakan sebagai pedoman perancangan, salah satu teori yang sudah tidak asing lagi terdengar di telinga para arsitek adalah teori golden ratio atau yang sering disebut dengan golden section. Golden section atau golden ratio merupakan sebuah pembagian proporsi yang menghasilkan kestimbangan antara dua bagian yang asimetri dan tidak sebangun (Malik, 2010:23). Beberapa sumber menyebutkan bahwa golden ratio memang digunakan di setiap karya arsitektur klasik, oleh sebab itu banyak pula peneliti yang ingin membuktikan kebenaran tersebut. Indonesia memiliki persebaran situs peninggalan berupa candi yang banyak ditemukan di Jawa dan Bali. Penemuan candi-candi di Jawa ada yang berupa candi Budha dan candi Hindu, candi-candi tersebut seperti Candi Borobudur, Prambanan, Mendut, Pawon, Dieng, Sewu, dan masih ada banyak candi-candi lain yang tersebar di berbagai wilayah di Jawa. Begitu pula yang ditemukan di Bali, candi-candi juga banyak tersebar di beberapa wilayah di Bali, candi-candi tersebut adalah Candi Pegulingan, Prasada Kapal, Candi Canggi, Candi Mengening dan Candi Tebing Gunung Kawi yang juga menjadi sebuah obyek wisata paling dikenal oleh dunia internasional dan dilindungi oleh UU No 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya. 4 Candi Tebing Gunung Kawi menjadi salah satu obyek yang terkenal karena keunikan yang dimilikinya yaitu dibangun di dinding tebing. Candi dengan tipe seperti ini tidak banyak ditemukan di daerah lain, bahkan candi ini hanya ditemukan di Bali saja. Candi tebing di pahat pada dinding tebing dan hanya memiliki satu muka saja. Candi Tebing Gunung Kawi terdiri dari sepuluh candi yang terbagi dalam tiga lokasi berbeda. Pembagian kelompok candi tebing didasari oleh jumlah candi tebing di tiap lokasi. Pembagian kelompok candi-candi tebing tersebut adalah komplek candi kelompok lima, komplek candi kelompok empat dan komplek candi kelompok satu. Selain candi terdapat pula pertapaanpertapaan yang tersebar di komplek candi tebing. Karena besarnya kawasan dan banyaknya obyek situs peninggalan tersebut, tidak heran jika kawasan ini menjadi sebuah obyek tujuan wisata. Wisatawan asing dan domestik berdatangan untuk melihat secara langsung karya monumental tersebut. Candi Tebing Gunung Kawi tidak hanya dikunjungi oleh wisatawan saja, para peneliti pun berdatangan untuk meneliti peninggalan bersejarah tersebut baik dari sejarah, arkeologi dan karya seni arsitektur. Para peneliti datang dari segala penjuru dunia, peneliti-peneliti asing yang juga menjadikan candi tebing sebagai obyek penelitian diantaranya adalah Bernet Kempers, R. Goris dan Setutterheim. Berbagai jenis kajian juga dilakukan untuk meneliti obyek candi-candi tebing, yang berada di Kabupaten Gianyar, baik diteliti dari aspek sejarah, arkeologi dan arsitekturnya. Penelitian yang banyak dilakukan terhadap obyek adalah dari kajian arkeologinya dengan hasil temuan berupa periodisasi, tahun berdiri dan sejarah berdirinya. 5 Candi tebing juga merupakan salah satu karya di bidang arsitektur, dan tidak hanya dilihat dari kajian arkeologi saja. Prinsip perancangan arsitektur seperti perhitungan proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi adalah salah satu topik yang bisa dijadikan sebuah penelitian di bidang arsitektur. Proporsi tentunya terbentuk dari hasil perbandingan dari satu elemen dengan elemen lain pada sebuah bangunan. Perbandingan tersebut bisa berupa pebandingan antara lebar, tebal dan tinggi tiap elemen. Atmadi dalam penelitianya terkait dengan perhitungan proporsi candi di Jawa mengungkapkan pernyataan tentang angkaangka perbandingan pembentuk proporsi candi seperti perbandingan lebar dan tinggi candi dari detail bagian kaki sampai bagian kepala. Begitu pula pada Candi Tebing Gunung Kawi yang secara global juga memiliki penyusun proporsi seperti bagian kaki, badan dan kepala. Candi-candi tebing di Gunung Kawi terlihat memiliki proporsi yang sama, namun untuk mengetahui bagaimana perhitungan dan dasar ukuran yang digunakan dalam menyusun proporsi tersebut tidak bisa dilihat dengan mata telanjang. Jika diperhatikan secara seksama candi-candi ini memiliki ukuran dan detail susunan yang berbeda-beda. Perbedaan dari ukuran candi nampak pada candi kelompok lima yang mempunyai satu candi dengan ukuran lebih tinggi dari candi yang lain. Hal ini juga ditegaskan dalam arsip berupa gambar dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang juga memperlihatkan perbedaanperbedaan tersebut. Perbedaan ini tentu menimbulkan pertanyaan apakah semua candi memiliki perhitungan proporsi yang sama. Perhitungan proporsi Candi Tebing Gunung Kawi menjadi menarik untuk diteliti dari penerapan sistem 6 proporsi, karena candi tebing ini memiliki lokasi pendirian yang berbeda dari candi-candi pada umumnya yang didirikan diatas lahan datar dan bukan menempel pada dinding tebing. Analisis penerapan prinsip arsitektur pada candi-candi di Gunung Kawi tidak relevan jika hanya dilakukan secara global tanpa pengukuran dan analisis yang mendetail pada setiap bagiannya. Oleh sebab itu, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji bagaimana perhitungan dan dasar ukuran yang digunakan dalam perancangan Candi Tebing Gunung Kawi. 1.2 Rumusan Masalah Sistem proporsi adalah fokus dari penelitian ini dengan obyek penelitian adalah sepuluh candi tebing yang berada di komplek Candi Tebing Gunung Kawi. Candi-candi tebing di Gunung Kawi termasuk kedalam peninggalan arsitektur yang tentunya mempunyai proses dalam perancangannya yang menarik untuk dikaji. Untuk mengungkap bagaimana proses perancangan candi-candi tersebut, maka rumusan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : a. Apa saja elemen-elemen pembentuk proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi? b. Bagaimanakah perhitungan proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi? c. Apakah yang menjadi dasar ukuran perhitungan proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi? 7 1.3 Tujuan Penelitian Setiap penelitian memiliki tujuan yang memiliki alasan mengapa penelitian ini perlu dilakukan, begitu pula dalam penelitian ini. Tujuan dari penelitian ini tidak lain adalah sebagai berikut : a. Menganalisis elemen-elemen pembentuk proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi b. Mengetahui perhitungan proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi. c. Mengidentifikasi dasar ukuran yang digunakan untuk membentuk proporsi pada perancangan Candi Tebing Gunung Kawi. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dibagi menjadi dua yaitu manfaat akademik dan manfaat praktis. 1.4.1 Manfaat Akademik Manfaat akademik penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah sumber acuan dan pembanding untuk penelitian berikutnya bagi kalangan akademisi, serta bisa menjadi sebuah penemuan baru khususnya di bidang ilmu arsitektur yang terkait dengan penerapan prinsip proporsi pada bangunan. Penelitian ini juga diharapkan bisa menjadi literatur baru di Balai Peninggalan Cagar Budaya dan Balai Arkeologi untuk bisa saling mendukung antara bidang arkeologi dan arsitektur. Bagi peneliti sendiri diharapkan dapat bermanfaat untuk menerapkan konsep dan teori yang diperoleh saat penelitian di lapangan dan pengalaman 8 dalam telaah pustaka, sehingga dapat menambah wawasan pengetahuan terkait dengan obyek yang dikaji. 1.4.2 Manfaat Praktis Manfaat praktis yang diharapkan dalam penelitian ini bagi masyarakat adalah diharapkan bisa menambah pedoman terkait dengan patokan ukuran proporsi yang digunakan dalam bangunan candi, khususnya pada Candi Tebing Gunung Kawi dan hasil temuan dari penelitian ini diharapkan bisa menjadi sebuah acuan maupun pembanding dalam perhitungan ukuran untuk membuat proporsi bangunan yang lain terkait dengan sikut, gegulak maupun asta kosala kosali khususnya pada arsitektur tradisional Bali. Penelitian ini juga diharapkan bisa bermanfaat untuk Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) sebagai data baru dan kepada pengurus Objek Wisata Gunung Kawi terkait dengan informasi khususnya dalam bidang arsitektur dan bisa diterbitkan dalam bentuk jurnal sederhana yang diperuntukan untuk masyarakat maupun para wisatawan. Hasil dari pengukuran berupa gambar juga diharapkan bisa menjadi pedoman untuk melihat wujud asli candi yang saat ini kondisinya sudah semakin terkikis air khususnya di candi kelompok empat. 9 BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka dibuat sebagai sebuah pembanding dengan penelitianpenelitian sebelumnya yang relevan terhadap penelitian yang akan dilakukan. Pengkajian terhadap penelitian-penelitian sebelumnya diharapkan memberikan wawasan untuk bisa lebih memahami dan memanfaatkan metode maupun landasan teori yang relevan. Kajian pustaka juga bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya duplikasi penelitian yang berujung pada plagiarism atau penjiplakan serta memungkinkan penelitian ini sebagai sebuah penemuan baru atau bantahan terhadap penelitian sejenis yang sebelumnya. Penelitian yang pertama dilaksanakan oleh Atmadi (1979) dengan judul penelitian “Beberapa Patokan Perancangan Bangunan Candi, Suatu Penelitian Melalui Ungkapan Bangunan Pada Relief Candi Borobudur. Penelitian ini meneliti tentang patokan perancangan bangunan melalui relief-relief pada candi khususnya pada relief Candi Borobudur. Metode yang dilakukan adalah dengan mengklasifikasikan bagian-bagian candi yang diteliti seperti bangunan candi dengan konstruksi susunan batu dan bangunan konstruksi kayu. Pemberian kodekode pada setiap bagian candi juga dilakukan untuk mempermudah pengelompokan. Hipotesa digunakan dalam penelitian ini, salah satu hipotesanya adalah patokan perbandingan komponen bangunan yang diterapkan pada relief 10 Candi Borobudur merupakan patokan yang berkembang di Indonesia khususnya di Jawa. Pada bagian kesimpulan juga dipaparkan tentang ukuran dasar berupa tala yang digunakan untuk membangun candi-candi di Jawa Tengah. Tala adalah ukuran dari tubuh manusia yaitu dari ujung dahi hingga ujung dagu atau jarak antara ujung ibu jari dan ujung jari tengah saat terlentang maksimal. Atmadi juga menyatakan beberapa penelitian terkait tentang patokan perancangan candi yang dianggap masih kurang meyakinkan sehingga perlu dikaji lebih dalam lagi. Salah satu penelitian yang dianggap kurang meyakinkan oleh Atmadi adalah penelitian yang dilakukan oleh Bosch (1921) dengan obyek Candi Arjuna dan memakai acuan patokan perancangan candi yang terdapat dalam silpasastra. Hasil temuan dari penelitian Atmadi berupa perbandingan setiap elemen pembentuk proporsi bisa menjadi dasar acuan dalam penelitian pada candi-candi tebing di Gunung Kawi. Hasil temuannya juga menjadi sebuah temuan tentang rasio atau perbandingan proporsi kepala, badan dan kaki candi-candi di Jawa Tengah maupun Jawa Timur dengan klasifikasi bangunan satu bilik, bangunan satu bilik tanpa bilik pintu, dan bangunan satu bilik dengan bilk pintu (Atmadi, 1979:200). Beberapa hasil temuan Atmadi yang akan dijadikan acuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : Perbandingan tinggi kaki (Tk) terhadap tinggi bangunan (T) adalah 1 : 5. Perbandingan tinggi kaki (Tk), tinggi badan (Tb) dan tinggi atap (Ta) adalah 4 : 6 : 9. Perbandingan lebar pintu (Lp) terhadap tinggi bangunan (T) adalah 1 : 10. Perbandingan tinggi pintu (Tp) terhadap panjang dasar bagian kaki (P) adalah 3 : 8. Perbandingan lebar pintu (Lp) terhadap panjang bangunan (P) 11 adalah 1 : 8. Perbandingan lebar pintu (Lp) terhadap tinggi pintu (Tp) adalah 2 : 5. Hasil penemuan ini akan digunakan sebagai pedoman untuk mendapatkan sistem perhitungan proporsi dan ukuran dasar dari Candi Tebing Gunung Kawi. Angka-angka pada perbandingan bagian-bagian candi diatas juga digunakan untuk menguji apakah candi tebing di Gunung Kawi juga menerapkan perbandingan yang sama setelah dilakukan analisis. Persamaan penelitian terletak pada rumusan permasalahan tentang ukuran dasar untuk membangun candi, dan perbedaannya adalah pada obyek yang diteliti dan metode penelitian. Hal-hal yang dapat menjadi acuan dalam penelitian ini adalah penggunaan ukuran dasar dari tubuh manusia yang membentuk proporsi dalam bangunan. Penelitian yang kedua dilaksanakan oleh Paul Lordereau dalam buku Candi Sewu dan Arsitektur Bangunan Agama Buddha di Jawa Tengah. Dalam buku ini Paul meneliti tentang Hasta Jawa-Hindu (Dumarҫay, 2007:62) dengan obyek penelitian pada Candi Sewu. Titik tolak dalam penelitian ini adalah sebuah perhitungan numerik dari Candi Sewu dan di Candi Borobudur. Sebuah pendekatan berupa penelitian dimensi dalam sistem hasta. Hasta adalah ukuran dari ujung siku hingga pergelangan tangan yang diperkirakan digunakan dalam pendekatan ukuran dasar pada Candi Sewu. Lordereau juga menguji besaran nilai satu hasta adalah sebesar 34,8 cm melalui analisis dan pengujian yang bertahap. Persamaan pada penelitian ini tentu adalah identifiksasi terhadap ukuran dasar pembentuk dari bangunan candi. Hal-hal yang dapat menjadi acuan dalam penelitian ini juga pada penggunaan ukuran dasar dari tubuh manusia sebagai 12 ukuran dasar sebuah bangunan dalam sistem hasta dan mempunyai nilai 34,8 cm. Selain penerapan ukuran dasar, metode analisis data dengan perhitungan numerik juga menjadi acuan untuk penelitian ini. Penelitian yang ketiga dilaksanakan oleh Srijaya (1996:45) dalam penelitiannya tentang situs Candi Tebing Gunung Kawi dengan analisis kualitatif deskriptif yang menceritakan tentang gambaran umum kawasan Candi Tebing Gunung Kawi. Penelitian ini menggunakan metode observasi dengan pengukuran langsung pada obyek candi, ini terlihat pada angka dalam tabel yang memberikan keterangan ukuran masing-masing candi tanpa gambar arsitektural. Persamaan pada penelitian ini adalah pada obyek yang diteliti yaitu Candi Tebing Gunung Kawi serta metode yang digunakan. Namun, yang membedakannya adalah dari kajian dan hasil temuan penelitian. Pada penelitian Srijaya hanya mendeskripsikan posisi candi dan kawasannya dan dengan kajian dari arkeologi dan bukan dari arsitektur. Srijaya memang melakukan pengukuran obyek penelitian dan deskripsi secara umum tentang arsitekturnya yaitu pada pembagian kepala, badan kaki saja, namun tidak menganalisis maupun mengidentifikasi prinsip-prinsip arsitektural secara mendetail seperti acuan skala, proporsi dan golden section. Penelitian yang terakhir dilaksanakan oleh Abdul Malik dan Bharoto (2010) dengan judul penelitian “Studi Eksplorasi Potensi Proporsi Golden Section Pada Perwujudan Arsitektur Masjid Vernakular”. Penelitian ini membahas tentang arsitektur vernakular pada masjid dengan topik estetika wujud masjid dengan fokus pada proporsi komponen-komponen pembentuknya. Pendekatan penelitian mengacu pada ciri vernakular arsitektur Jawa dengan metode observasi lapangan 13 yang dilakukan potret visual serta numerik (pengukuran dimensi) pada obyek. Potret visual dan numerik merupakan sebuah database mengukur rasio proporsi yang berbasis pada prinsip golden section. Temuan studinya berupa besaran (dalam persentase) yang potensial terhadap rasio Ø (phi) golden section (1.618) pada wujud masjid. Persamaan pada penelitian ini adalah pada metode pengukuran dan perhitungan analisisnya. Perbedaannya tentunya terletak pada obyek yang diteliti dan identifikasi bagian-bagian dari Candi Tebing Gunung Kawi yang diperkirakan menjadi patokan skala ukuran untuk membentuk proporsi candi. Keempat penelitian yang digunakan sebagai kajian literatur, maka dapat disimpulkan bahwa penggunaan ukuran dasar khususnya pada candi menggunakan ukuran dasar dari proporsi bagian-bagian tubuh manusia. Ukuran dasar seperti penggunaan tala atau dalam istilah Bali dikenal dengan alengkat (Disbud Prov. Bali, 2007:41). Hasil temuan dan proses penelitian untuk menganalisis obyek pada kajian literatur akan digunakan sebagai dasar untuk kajian proporsi pada candi-candi tebing di Gunung Kawi, dan kemungkinan untuk pengembangan dari penelitian sebelumnya tetap ada mengingat obyek candi tebing memiliki keunikan tersendiri. 2.2 Konsep Konsep merupakan bagian untuk menjelaskan arti dari cuplikan kata yang terdapat dalam judul dan rumusan masalah penelitian agar tidak menimbulkan persepsi yang berbeda antara peneliti dengan pembaca. Sehingga maksud peneliti 14 atau penulis dapat tersampai dengan benar terhadap pembaca. Penjelasan konsep akan dijabarkan secara mendetail dari bagian ke bagian yang dirasa perlu penjelasan mendalam untuk menyamakan persepsi. 2.2.1 Proporsi Arsitektur identik dengan estetika dari sebuah karya. Estetika terbentuk dari komposisi dari berbagai pola dan elemen yang bisa dinilai dari visualnya. Untuk membuat sebuah rancangan yang mempunyai estetika tentunya perlu memperhatikan prinsip-prinsip perancangan. Ching menyebutkan terdapat tujuh prinsip-prinsip desain yang digunakan sebagai pedoman untuk menyusun elemenelemen desain menjadi pola-pola yang jelas. Prinsip-prinsip tersebut adalah proporsi, skala, keseimbangan, keserasian, kesatuan, ritme, dan penekanan (Ching, 1996:130). Salah satu prinsip desain yang paling mendasar adalah proporsi. Proporsi digunakan untuk membagi bidang atau lahan tertentu dengan perbandingan rasio yang ideal sehingga desain memiliki pembagian yang ideal baik untuk bagianbagian detailnya maupun keseluruhannya. Proporsi menyangkut tentang hubungan dari bagian satu dengan yang lainnya atau dengan keseluruhannya, atau bisa pula hubungan antara satu obyek dengan obyek lainnya (Ching, 1996:132). Proporsi ditentukan oleh sebuah rasio dasar yang permanen dan digunakan sebagai penentu rasio berikutnya dalam sebuah obyek. Menurut Euclid (Ching, 1996:132) seorang ahli matematika Yunani Kuno menyatakan bahwa rasio merujuk pada sebuah perbandingan kuantitatif dari dua benda yang serupa, 15 sedangkan proporsi merujuk kepada kesetaraan masing-masing rasio tersebut. Proporsi dapat terbentuk dari hubungan antara bagian-bagian suatu elemen, hubungan antara elemen-elemen, serta hubungan antara elemen dan ruang/spasialnya (Ching, 1996:134). Berkaitan dengan proporsi pada candi, berdasarkan pada hasil penemuan Atmadi, bahwa proporsi sebuah candi bisa ditentukan dengan membandingkan ukuran dari setiap bagian candi seperti perbandingan tinggi kaki (Tk) terhadap tinggi bangunan (T), perbandingan tinggi kaki (Tk), tinggi badan (Tb) dan tinggi atap (Ta), perbandingan lebar pintu (Lp) terhadap tinggi bangunan (T), perbandingan tinggi pintu (Tp) terhadap panjang dasar bagian kaki (P), perbandingan lebar pintu (Lp) terhadap panjang bangunan (P), serta perbandingan lebar pintu (Lp) terhadap tinggi pintu (Tp) (Atmadi, 1979:200). Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem proporsi didasari oleh sebuah rasio/perbandingan karakteristik pada sebuah obyek yang digunakan sebagai acuan dari rasio satu ke rasio yang lainnya dan membentuk sebuah hubungan visual yang konsisten baik antara bagian-bagian bangunan maupun komponenkomponen bangunan secara keseluruhan. Proporsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah rasio dasar yang digunakan sebagai acuan perbandingan bagian-bagian detail bangunan dalam satu candi tebing dan hubungan rasio antara satu candi tebing dengan candi tebing lain dalam tiap komplek Candi Tebing Gunung Kawi. 16 2.2.2 Candi Tebing Candi tebing adalah candi yang dipahat di dinding tebing berbeda dengan candi pada umumnya yang dibangun di atas tanah. Candi-candi umumnya memiliki empat sisi atau empat muka, sedangkan candi tebing hanya memiliki satu muka yang utuh dan bisa dikatakan hanya memiliki satu tampak saja, namun jika diperhatikan candi tebing juga memiliki dua sisi dari samping yang tidak seutuhnya diperlihatkan. Berkaitan dengan lokasi keberadaan candi tebing, tidak semua daerah di Bali memiliki objek peninggalan arsitektur berupa candi tebing. Candi tebing di Bali hanya berada di daerah Gianyar. Terdapat lima candi tebing yang tersebar di tiga daerah aliran sungai (DAS). Ketiga DAS tersebut adalah DAS Pakerisan, Wos, dan Beji Bubung Batur. DAS Pakerisan memiliki tiga obyek candi tebing yaitu Candi Tebing Gunung Kawi, Kerobokan, dan Tegallinggah, DAS Beji Bubung Batur memiliki satu candi tebing yaitu Candi Tebing Kelebutan, dan pada DAS Wos juga memiliki satu candi tebing yaitu Candi Tebing Jukut Paku. Candi tebing yang digunakan sebagai obyek penelitian ini adalah candi-candi tebing yang berada di Gunung Kawi Tampaksiring. Candi tebing di Gunung Kawi Tampaksiring tidak hanya satu, namun terdapat sepuluh candi tebing yang terbagi dalam tiga kelompok. Pembagian kelompok candi berdasarkan pada jumlah candi di tiap kelompok seperti candi kelompok 5, candi kelompok 4 dan candi kelompok 1. 17 2.3 Landasan Teori Perhitungan Proporsi dalam Manasara-Silpasastra Tata cara pembangunan candi banyak dibahas dalam buku-buku tentang Hindu Architecture dan Indian Architecture. Salah satunya terdapat dalam Manasara-Silpasastra. Dalam Manasara-Silpasastra tidak hanya membahas candi saja, namun terdapat pula bahasan tentang tata cara membangun rumah serta langkah-langkah dalam menentukan site yang baik untuk setiap fungsi yang akan dibangun. Khususnya pada sistem proporsi, secara umum juga dijelaskan dalam Manasara-Silpasastra tentang dimensi bangunan berdasarkan variasi tingkatannya yang disebut dengan istilah bhumilamba-vidhana (Acharya, 1927:41). Bhumilamba dalam Manasara diartikan sebagai ukuran panjang, lebar/tebal dan tinggi dari sebuah bangunan satu tingkat hingga dua belas tingkat. Variasi bentuk dasar bangunan ada berupa persegi, oval, dan octagonal dan digunakan dalam setiap fungsi bangunan seperti pada vimana atau tempat suci, harmya atau istana, gopura atau gapura/pintu masuk, sala atau hall, mandapa atau pavilion, dan vesman atau rumah. Bangunan juga dibagi dalam empat kelas yaitu jati, chhanda, vikalpa/samkalpa, dan abhasa dimana keempat kelas ini saling berhubungan dan mempunyai perbedaan karakter dalam setiap bangunannya (Acharya, 1927:41). Proporsi antara lebar dan tinggi diekspresikan dalam lima teknik yang disebut dengan santika, paushtika, parshnika/jayada, adbhuta, dan sarvakamika. Setiap teknik mempunyai perbandingan dalam membentuk proporsi. Santika 18 mempunyai arti saat tinggi dari bangunan adalah 21/4 dari lebar bangunan, paushtika adalah saat dimana tinggi bangunan merupakan 2 kali dari lebar bangunan, parshnika/jayada adalah saat tinggi bangunan adalah 13/4 dari lebar bangunan, adbhuta adalah saat tinggi bangunan adalah 11/2 dari lebar bangunan dan sarvakamika adalah saat tinggi bangunan adalah 11/4 dari lebar bangunan (Acharya, 1927:41). Perhitungan proporsi antara lebar dan tinggi tidak selalu mengikuti kelima teknik tersebut, tentunya akan bervariasi di setiap kasus atau bangunan yang berbeda. Ukuran dari panjang, lebar/tebal dan tinggi dari kelima teknik tadi juga diklasifikasikan kedalam tiga tipe yaitu tipe besar sedang dan kecil. Santika dan paushtika termasuk kedalam tipe besar, parshnika/jayada termasuk kedalam tipe sedang sedangkan adbhuta dan sarvakamika termasuk kedalam tipe kecil (Acharya, 1927:41). Adam Hardy dalam tulisannya tentang Dravida Temples in the Samaranganasutradhara memberikan beberapa perhitungan proporsi candi dengan pembagian kaki, badan dan kelima bagian kepala serta mahkota dari candi yang menggunakan sistem hasta. Berikut adalah hasil analisis dari Adam Hardy. 19 Gambar 2.1 Mārgasahāyeśvara Temple, Visalur (Tamil Nadu) a one-storey (ekatala) minor shrine (alpa-vimāna) (Sumber : Adam Hardy, Dravida Temples in the SamaranganasutradharaI, 2009) 20 Detail A Gambar 2.2 Perhitungan Proporsi Mārgasahāyeśvara Temple, Visalur (Tamil Nadu) (Sumber : Adam Hardy, Dravida Temples in the SamaranganasutradharaI, 2009) Gambar 2.3 Detai A Elemen Pembentuk Proporsi Mārgasahāyeśvara Temple, Visalur (Tamil Nadu) (Sumber : Adam Hardy, Dravida Temples in the SamaranganasutradharaI, 2009) 21 Gambar 2.4 The five-storey temple (pañcabhūmika-prāsāsda) from the general description, three alternative interpretations (Sumber : Adam Hardy, Dravida Temples in the SamaranganasutradharaI, 2009) Mengacu pada Gambar 2.2 diperlihatkan bagaimana pembagian proporsi dari kepala, badan, dan kaki dalam sistem hasta pada sebuah bangunan candi satu tingkat. Gambar 2.4 menjelaskan secara detail tentang pembagian proporsi pada bagunan lima tingkat. Penjelasan secara mendetail pada elemen-elemen pembentuk proporsi diperlihatkan pada Gambar 2.3 dan Gambar 2.5 dengan nama atau istilah pada setiap detail pembentuk proporsi pada bangunan candi. 22 Gambar 2.5 Elemen pembentuk proporsi The five-storey temple (pañcabhūmika-prāsāsda) (Sumber : Adam Hardy, Dravida Temples in the SamaranganasutradharaI, 2009) Gambar 2.6 menginterpretasikan bagaimana perhitungan proporsi pada bangunan candi tiga tingkat yang ditampilkan dalam bentuk global masingmasing bagian dari kaki hingga kepala. Pada gambar juga dicantumkan angkaangka perhitungan setiap bagian candi serta perhitungan tinggi yang dikatakan 11/2 dari lebar dan ini termasuk ke dalam teknik adbhuta. 23 Gambar 2.6 Interpretation of the three-storey Svastika-vimāna described in the Mayamata (Sumber : Adam Hardy, Dravida Temples in the SamaranganasutradharaI, 2009) 2.4 Kerangka Berpikir Kerangka berpikir dimulai dari kajian pustaka terkait dengan topik penelitian yaitu tentang proporsi dan candi. Pada kajian pustaka juga ditentukan persamaan, perbedaan dan hal yang diacu dalam penelitian yang dalam hal ini lebih banyak mengambil pada konsep dan metode penelitian. Konsep yang sudah ditentukan akan menjadi sebuah penjelasan tentang apa saja yang dicari dalam penelitian ini yaitu berkaitan dengan sistem proporsi candi tebing. Rumusan masalah merupakan indikator untuk menentukan teori yang akan digunakan untuk menganalisisnya. Berikut adalah penjelasannya pada Gambar 2.7 24 Candi Tebing Gunung Kawi sebagai sebuah cagar budaya P1:elemen pembentuk proporsi CTGK Candi Tebing Gunung Kawi (CTGK) sebagai sebuah karya arsitektur, bagaimana sistem perancangannya P2 : Perhitungan proporsi CTGK P3 : dasar ukuran perhitungan proporsi CTGK Kajian Pustaka tentang proporsi Konsep Proporsi : - Elemen pembentuk proporsi - Perhitungan - Dasar ukuran Proses analisis Temuan : Gambar 2.7 Kerangka berpikir Teori Proporsi dalam ManasaraSilpasastra 25 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian mixed methods atau metode penelitian gabungan, yaitu perpaduan antara pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Strategi penelitian menggunakan pengumpulan data secara simultan dan sequensial untuk memahami permasalahan dengan sebaik-baiknya. Pengumpulan data bisa diperoleh dari informasi numerik (melalui instrument) maupun informasi teks (melalui wawancara) sehingga data-data akhir yang diperoleh bisa memperlihatkan informasi yang bersifat kualitatif maupun kuantitatif (Emzir, 2012:28). Penelitian ini juga menggunakan metode field research atau penelitian lapangan. Pendekatan field research dipilih karena pendekatan ini lebih cenderung kepada pengamatan mendalam di lapangan terhadap sebuah objek mengingat penelitian ini berkaitan dengan proporsi, sehingga perlu adanya pengukuran langsung dimensi obyek di lapangan. Data primer akan lebih mudah dikumpulkan dengan pengukuran pada obyek candi-candi tebing di Gunung Kawi. Permasalahan dan pertanyaan terhadap sebuah objek akan mudah ditemukan dengan observasi langsung dilapangan. Untuk mempermudah penelitian, pada rancangan penelitian juga disusun beberapa langkah-langkah penting yang perlu dibuat untuk mendukung pelaksanaan teknis penelitian di lapangan. Langkah yang pertama adalah 26 membuat schedule penelitian. Schedule penelitian dibuat untuk mengatur pelaksanaan pekerjaan peneliti itu sendiri, menentukan alokasi waktu berdasarkan urutan item pekerjaan selama penelitian dan agar dapat memperkirakan tenaga lapangan yang akan terlibat. Schedule penelitian juga dibuat untuk mengendalikan proses penelitian terutama dari segi waktu dan koordinasi dengan pihak-pihak lain yang akan diajak bekerja sama. Schedule penelitian biasanya memuat hal-hal yang harus dikerjakan, waktu pelaksanaan dan target atau deadline dari penyelesaian penelitian itu sendiri (Bungin, 2011:161). Dalam proses penelitian pada candi tebing di Gunung Kawi maka schedule penelitian sangatlah penting untuk direncanakan mengingat obyek yang berada di lokasi yang sulit untuk diukur dan tentunya akan melibatkan pihak lain dalam mengumpulkan data. secara otomatis schedule penelitian bisa memberikan gambaran terkait dengan anggaran biaya yang diperlukan selama proses penelitian baik itu penyewaan alat, transportasi, komunikasi dan logistik. Langkah berikutnya adalah persiapan administrasi. Persiapan administrasi yang dimaksud adalah berupa persiapan surat-menyurat terkait dengan ijin untuk penelitian, persiapan pengujian tenaga, pembekalan, dan briefing sebelum penelitian dilaksanakan (Bungin, 2011:163). Penelitian pada Candi Tebing Gunung Kawi ini lebih bersifat kolektif bukan individual, sehingga melibatkan pihak-pihak lain dalam proses pelaksanaannya sehingga perlu adanya kordinasi yang matang sebelum penelitian dilakukan. Karena penelitian ini bersifat kolektif maka perlu adanya pengorganisasian tim peneliti, siapa saja yang terlibat di dalamnya agar penelitian ini dapat berjalan 27 dengan lancar. Tentunya perlu memilih orang-orang yang berkompeten sesuai dengan bidangnya dan sesuai dengan kebutuhan dalam penelitian. Dari organisasi tim ini juga bisa menentukan anggaran biaya yang perlu disiapkan. Penyusunan organisasi tim penelitian memang tidak ada aturan baku, namun yang terpenting adalah memposisikan orang yang tepat ditempat yang tepat. Penelitian yang melibatkan banyak orang memang memerlukan biaya yang lebih banyak, untuk itu perlu direncanakan anggaran biayanya. Penyusunan rencana anggaran biaya penelitian umumnya memang terdapat dalam penelitian yang bersifat kolektif, tidak seperti penelitian individual yang bisa mengkoordinir pengeluaran biayanya sendiri. Dalam anggaran penelitian hal-hal yang tercantum adalah siapa saja pihak yang terlibat dalam penelitian, anggaran tiap orang sesuai pekerjaannya, sewa alat, logistik, dan berapa lama waktu yang direncanakan dalam schedule penelitian. Proses penelitian pada candi tebing ini tentunya bukan pekerjaan yang tidak membutuhkan tenaga ahli atau pekerja professional untuk mendukung proses penelitian. Mempekerjakan tenaga-tenaga lapangan atau asisten sebagai supervisor untuk mengumpulkan data adalah salah satu caranya. Persoalan yang perlu diperhatikan dalam mempekerjakan orang lapangan adalah kredibilitas, motivasi dan kejujuran dari pekerja tersebut mengingat tidak semua pekerja lapangan sudah kita kenal dengan baik (Bungin, 2011:170). Peranan mereka teramat penting khususnya dalam pengumpulan data dalam penelitian candi tebing ini. Para supervisor inilah yang bersentuhan langsung dengan obyek penelitian yaitu candi-candi tebing di Gunung Kawi. Sudah pasti penelitian ini akan 28 melibatkan pekerja lapangan seperti pada penjelasan terkait dengan instrument penelitian. hal yang tidak boleh dilupakan untuk kelancaran proses penelitian adalah seleksi orang-orang yang tepat dan kordinasikan pekerjaan sesuai dengan bidangnya masing-masing dan mengikuti schedule penelitian yang telah dirancang sebelumnya. 3.2 Lokasi Penelitian Penelitian ini berfokus pada Candi Tebing Gunung Kawi yang memiliki tiga kelompok candi di lokasi yang berbeda. Pembagian kelompok tersebut berdasarkan jumlah candi dalam setiap kelompok yaitu candi kelompok 5, candi kelompok 4 dan candi kelompok 1. Candi kelompok 5 dan 4 terletak berhadapan dan berseberangan, sedangkan candi kelompok 1 terletak jauh ke barat dari komplek candi kelompok 5 dan 4 (Gambar 3.2). Candi Tebing Gunung Kawi berada di Dusun Penaka, Desa Tampaksiring, Kecamatan Tampaksiring, Kabupaten Gianyar. Berikut adalah peta lokasi dari obyek Candi Tebing Gunung Kawi di Tampaksiring. 29 LOKASI PENELITIAN UBUD UTARA Gambar 3.1 Peta Kab. Gianyar dan lokasi Candi Tebing Gunung Kawi Sumber : Bapeda Kabupaten Gianyar, 2009 30 Candi Tebing Kelompok 4 Candi Tebing Kelompok 5 UTARA Candi Tebing Kelompok 1 Gambar 3.2 Peta Situasi Candi Tebing Gunung Kawi Sumber : Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), 1996 31 3.3 Jenis dan Sumber Data Rancangan penelitian ini menggunakan mixed method yang berarti pula menggunakan data kuantitatif maupun kualitatif. Mengingat akan lebih banyak diadakan pengukuran langsung pada obyek candi tebing baik pengukuran rasio, interval maupun ordinal yang juga akan menjadi sumber data primer atau utama. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data kualitatif dan kuantitatif yang diperoleh dari sumber data yaitu primer dan sekunder. Data kualitatif merupakan data-data yang disajikan dalam bentuk kata-kata dan merupakan hasil wawancara dengan narasumber. Data kualitatif yang digunakan dalam penelitian berkaitan dengan elemen-elemen pembentuk proporsi pada Candi Tebing gunung Kawi mulai dari bagian kaki hingga kepala. Penamaan setiap bagian detail candi yang membentuk proporsi candi keseluruhan. Sedangkan data kuantitatif dalam penelitian ini tentu berupa hasil pengukuran stiap candi yang sudah diterjemahkan dalam gambar lengkap dengan dimensinya. Dalam data ini akan muncul angka-angka dimensi setiap detail bagian candi yang membentuk proporsi candi keseluruhan. Data kualitatif maupun data kuantitatif diperoleh dari sumber data yang dapat dibedakan menjadi dua yaitu data yang diperoleh dari sumber langsung atau disebut data primer dan data yang diperoleh secara tidak langsung atau yang disebut data sekunder. a. Data primer diperoleh dari hasil observasi yaitu pengukuran langsung pada Candi tebing Gunung Kawi, dokumentasi langsung di lapangan dan data hasil wawancara kepada informan untuk mendapatkan informasi yang mendukung 32 hasil penelitian. Informan yang diwawancarai juga perlu ditetapkan secara pasti karena terkait dengan pengetahuannya tentang arsitektur candi. Informan yang diwawancarai bisa berasal dari instansi pemerintah yang dianggap berkompeten dalam bidang ini seperti BPCB, undagi-undagi Bali, dan tukangtukang stil Bali di sekitar kawasan Candi Tebing Gunung Kawi b. Data sekunder diperoleh dari studi pustaka pada buku, dokumen, artikel, jurnal. Lebih jelasnya mengenai jenis dan sumber data dapat dilihat pada Tabel 3.1 berikut: Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data No 1 2. 3. Tujuan Menganalisis elemenelemen pembentuk proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi Mengetahui perhitungan proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi. Mengidentifikasi dasar ukuran yang digunakan untuk membentuk proporsi pada perancangan Candi Tebing Gunung Kawi. Sumber: analisis, 2013 Data Jenis Data Sumber Perolehan Data Studi Sekunder literatur &Primer Wawancara Primer Observasi, pengukuran, dokumentasi Nama-nama bagian candi di sekitar Tampaksiring Kualitatif Gambar elemen-elemen pembentuk proporsi candi Kuantitatif Gambar elemen-elemen pembentuk proporsi candi lengkap dengan dimensinya Kuantitatif Observasi, pengukuran, dokumentasi Primer Gambar elemen-elemen pembentuk proporsi candi lengkap dengan dimensinya Kuantitatif Observasi, pengukuran, dokumentasi Primer 33 3.4 Instrumen Penelitian Pengumpulan data dalam penelitian ini lebih banyak kepada pengukuran, sehingga perlu dirinci alat ukur apa saja yang akan digunakan dan untuk mengukur apa saja. Berikut adalah penjelasan dari instrumen-intrumen penelitian yang akan digunakan dalam penelitian sesuai dengan kebutuhan data. a. Meteran Meteran adalah alat yang paling sederhana yang bisa digunakan sebagai alat untuk mengukur panjang, lebar dan tinggi. Dengan sistem manual yang dilakukan oleh seseorang. Pada peneliti candi tebing ini juga akan menggunakan meteran sebagai alat ukur utama dengan sistem pengukuran manual yang dilakukan oleh seorang tukang ukur yang mempunyai wewenang di dalam kawasan Gunung Kawi. Berdasarkan penelitian yang sebelumnya, memang sudah ada ukuranukuran dari candi tebing tersebut, namun ukurannya masih dalam skala yang sangat global dan belum mendetail ke bagian-bagian terkecilnya. Oleh sebab itu, pengukuran ulang perlu dilakukan untuk mendapatkan data yang akurat dan sesuai dengan kebutuhan penelitian. b. Manusia Sebagai Instrumen Alat ukur meteran tentunya tidak bisa bekerja sendiri. Oleh sebab itu dalam proses pengumpulan data ini diperlukan tenaga ahli yang diajak bekerja sama untuk mengumpulkan data-data ukuran akurat dari bagian-bagian candi tebing. Tenaga ahli tersebut antara lain tenaga ahli bagian pemugaran atau perawatan dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) yang bertugas di kawasan Candi Tebing Gunung Kawi. Tenaga ahli tersebut bertugas untuk membantu pengukuran manual 34 dengan meteran yang tentunya harus memanjat bagian demi bagian candi untuk mendapatkan ukuran setiap elemen pembentuk candi. c. Perlengkapan Sketsa Perlengkapan alat sketsa berupa kertas gambar, pensil, penggaris dan tabeltabel merupakan sebuah kesatuan instrumen yang penting dan berfungsi untuk mencatat setiap pengukuran bagian per bagian candi yang dicatat langsung dan tidak boleh terlewati. Jika sampai terlewati salah satu bagian yang sedang diukur maka akan berdampak pada pengulangan pengukuran dan mengurangi efisiensi waktu. Oleh sebab itu perlengkapan ini mempunyai peranan yang penting dalam pencatatan data dan perlu fokus maupun kordinasi yang efektif di lapangan. d. Kamera digital Kamera digital digunakan untuk mendokumentasikan keadaan nyata dari obyek candi tebing yang didokumentasikan dari bagian-bagian candi yang nantinya akan dilengkapi dengan sketsa/gambar lengkap dengan ukurannya. Kamera digital juga digunakan sebagai perekam bagian-bagian candi yang diukur untuk mempermudah dan mengefektifkan saat proses menyalin gambar. e. Notebook/komputer Notebook/perangkat komputer digunakan saat memasukkan data ke file-file softcopy yang akan mempermudah untuk pemilahan dan pengelompokan datadata asli dilapangan agar tidak tercecer. Instrumen penelitian ini berfungsi sebagai instrumen terakhir yang membantu dalam pendataan maupun mendokumentasikan proses penelitian dari pengumpulan data hingga penyajian laporan penelitian. Notebook dibawa pula ke lokasi saat pengukuran karena setelah pengukuran data 35 lapangan sebaiknya langsung disalin, karena menyalin gambar langsung dilokasi penelitian akan lebih efektif. Hal penting yang perlu diingat dan dilakukan berkaitan dengan instrumen penelitian agar penelitian bisa berjalan dengan efektif dan efisien adalah memperhatikan reliabilitas dan validitas dari intrumen-instrumen yang digunakan. Reliabilitas alat ukur adalah kesesuaian alat ukur dengan yang diukur, sehingga alat ukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan. Validitas adalah akurasi alat ukur terhadap obyek yang diukur walaupun dilakukan secara berulang dan di tempat yang berbeda. Untuk mendapatkan tingkat kepekaan dari alat ukur tersebut tentunya perlu mengetahui apa yang akan diukur dan metode pengumpulan data yang akan digunakan (Bungin, 2011:106). 3.5 Teknik Pengumpulan Data Penentuan sumber data penelitian merupakan acuan untuk menentukan intrumen dan teknik pengumpulan data yang sesuai. Penelitian ini menggunakan data-data kuantitatif dan kualitatif yang dikumpulkan dengan cara melakukan pengukuran obyek candi tebing dan wawancara dengan narasumber terkait. Untuk teknik pengumpulan data kuantitatif tentunya dilakukan dengan pengukuran langsung pada candi tebing dengan membagi bagian candi tebing menjadi tiga yaitu kepala, badan dan kaki. Alat ukur yang digunakan dalam pengukuran adalah meteran manual,mengingat medan yang cukup sulit dan kondisi candi yang sudah dalam keadaan tidak baik. 36 Sebelumnya dilakukan pemberian kode untuk setiap candi di setiap kelompok. Pengkodean ini juga akan mempermudah proses pengolahan dan analisis data. Selain memberi kode pada setiap candi, kode juga diberi pada setiap bagian candi seperti kode untuk kepala, badan, kaki dan detail-detailnya. Untuk mempermudah pengumpulan data-data primer ini, maka sketsa-sketsa dan foto yang digunakan sebagai intrumen penelitian juga digunakan sebagai alat bantu dalam memberikan dimensi atau ukuran dari setiap detailnya. Sketsa candi juga dibuat secara global untuk mempermudah pemberian ukuran. Gambar dari BPCB merupakan acuan dari pengukuran. Setiap gambar candi tebing di Gunung Kawi dari arsip BPCB diuji kebenarannya di lapangan. Hal ini dilakukan untuk memberikan evaluasi dan tambahan baru ke BPCB khusus tentang gambaran candi saat ini yang pengukurannya tetap berpedoman pada gambar sebelumnya. Pengukuran dimulai dari bagian kaki candi, kemudian ke badan candi dan yang terakhir adalah kepala candi. Bagian kepala candi adalah bagian yang paling sulit untuk diukur karena tempat yang tinggi dan harus memanjat candi. Gambar dari BPCB hanya berupa tampak depan saja, namun dalam pengukuran pada penelitian ini akan dilengkapi dengan gambar dari sisi samping candi. Pengukuran dilakukan dengan membagi tim kerja. Pengukuran dilakukan dari satu candi ke candi yang lain. Satu tim minimal terdiri dari dua orang untuk mengukur dan untuk menyalin gambar. Hasil dari pengukuran akan langsung disalin di lapangan ke dalam notebook, karena jika ada data pengukuran yang kurang bisa dilakukan pengecekan langsung di lapangan. 37 Pengumpulan data-data sekunder dilakukan dengan studi pustaka dengan menggunakan kata kunci proporsi, ukuran dasar dan candi. Berdasarkan ketiga kata kunci ini akan dicari buku maupun penelitian yang didalamnya membahas tentang proporsi, ukuran dasar dan candi yang secara umum dibahas dalam Manasara-Silpasastra. Temuan-temuan dari penelitian terkait dengan proporsi atau ukuran dasar candi akan dijadikan acuan untuk penelitian ini. Hasil temuan tersebut bisa diuji kembali atau dijadikan dasar untuk mengumpulkan data-data lapangan yang dibutuhkan. 3.6 Pengolahan Data Pengolahan data dilakukan sebelum data dianalisis dan bertujuan untuk mempermudah proses analisis data. Pengolahan data dilakukan dengan tiga cara yaitu dengan cara editing (penyuntingan), coding (pengkodean), dan tabulation (tabulasi). a. Editing Cara editing dilakukan dengan memastikan kelengkapan data-data yang diperlukan untuk penelitian sudah dikumpulkan saat observasi lapangan baik saat pengukuran pada obyek candi tebing maupun saat melakukan kajian pustaka. Kemudian memastikan kesesuaian data lapangan dengan data yang dibutuhkan dalam penelitian, apakah semua data dari hasil observasi lapangan sudah sesuai dengan keperluan penelitian. Proses editing dilakukan langsung saat pengukuran, setelah pengukuran selesai hasil ukur disalin langsung oleh tim drafter dilapangan untuk mengefektifkan waktu dan efisiensi dalam bekerja. Dalam pengukuran 38 tentunya menggunakan satuan ukuran, pada penelitian ini semua ukuran disamakan dalam satuan centimeter. Setelah semua disamakan kemudian semua data diperiksa terkait dengan kecocokan atau kesesuaian data satu dengan data lain yang didapatkan pada saat observasi lapangan atau studi pustaka. b. Coding Tahap berikutnya adalah tahap pemberian kode pada data-data hasil observasi lapangan. Pemberian kode adalah bagian dari reduksi data baik berupa angka, kalimat atau pernyataan singkat. Pengkodean dalam penelitian ini tentunya juga sudah dilakukan sebelum observasi kelapangan. Karena pemberian kode akan lebih mempermudah pengumpulan maupun analisis data. Pengkodean bisa dilakukan dengan mengelompokan sepuluh candi tebing yang ada di Gunung Kawi seperti memberi kode untuk komplek candi kelompok lima (5) caranya dengan memberikan kode 5A, 5B, 5C, 5D dan 5E pada setiap candi di komplek tersebut. Kemudian ada komplek candi kelompok empat (4) yang diberikan kode 4A, 4B, 4C dan 4D pada setiap candi. Untuk komplek candi yang terakhir adalah komplek candi kelompok satu (1) yang hanya terdiri dari satu candi saja jadi cukup diberi kode 1. c. Tabulation Setelah melakukan pengkodean maka data-data dapat dimasukkan kedalam tabel untuk mempermudah membaca data dan dapat dengan mudah untuk dianalisis. Dalam memasukkan data kedalam tabel juga perlu diperjelas dengan gambar-gambar terkait dengan penjelasan angka-angka pada tabel. Misalnya penjelasan tentang dimensi dari detail kaki candi. Pada tabel kaki candi juga diberi 39 gambar dari kaki candi tersebut sehingga lebih mudah untuk memahami bagian mana yang sedang dibahas dan begitu pula yang dilakukan pada bagian-bagian yang lainnya. Berikut adalah format tabel yang dimaksud dalam Tabel 3.2. Tabel 3.2 Tabel Dimensi Detail Candi Kode Candi T Tk Tb Tkp Dimensi (cm) Tp Lp Lk Lb Lkp 5A 5B 5C 5D 5E 4A 4B 4C 4D 1 Ratarata Keterangan : T : tinggi keseluruhan candi, Tk : tinggi kaki candi, Tb : tinggi badan candi, Tkp: tinggi kepala candi, Tp : tinggi pintu semu, Lp : lebar pintu semu, Lk : lebar dasar kaki candi, Lb : lebar dasar badan candi, Lkp : lebar dasar kepala candi. 3.7 Analisis Data Setelah pengolahan data dilakukan, maka langkah berikutnya adalah analisis data. Data-data hasil pengukuran adalah data utama dalam proses analisis. Hasil pengukuran berupa gambar masing-masing candi tebing dianalisis satu persatu. Mulai dari candi 5A hingga candi 1. Analisis data tetap mengacu pada pertanyaan penelitian yaitu tentang elemen pembentuk proporsi, dasar ukuran dan perhitungan proporsi candi. Oleh sebab itu gambar yang diperlukan adalah gambar-gambar yang sedetail mungkin. Untuk mencari elemen pembentuk proporsi candi, maka gambar-gambar dari hasil pengukuran akan dilengkapi dengan penamaan setiap bagian candi sesuai dengan hasil wawancara dengan 40 narasumber yang berkompeten di daerah Tampaksiring. Hasil wawancara yang digunakan tidak hanya berasal dari satu narasumber saja, namun dari beberapa narasumber yang hasilnya akan disimpulkan dalam satu jawaban yang dianggap paling tepat. Menganalisis perhitungan proporsi pada candi tentunya yang diperlukan adalah dimensi-dimensi setiap bagian candi yang akan dijadikan perbandingan. Hasil penelitian dari Atmadi juga dijadikan sebagai dasar acuan tentang elemenelemen yang memungkinkan untuk dibandingkan. Kemungkinan-kemungkinan lain yang dianggap bisa menjadi bahan pertimbangan dalam perhitungan ini juga dianalisis untuk menemukan hasil temuan berupa perhitungan proporsi pada Candi Tebing Gunung Kawi. Selain dari hasil penelitian Atmadi, sumber tertulis lain yang bisa dijadikan sebuah acuan dalam menganalisis perhitungan proporsi ini adalah dari penelitian Adam Hardy serta teori dalam Manasara-Silpasastra yang terkait dengan perhitungan proporsi seperti pada Gambar 2.2 dan Gambar 2.4 . Mencari dasar ukuran yang digunakan dalam membentuk proporsi candi juga bisa dianalisis melalui gambar dengan menguji satu per satu elemen pembentuk candi dari bagian kaki hingga kepala yang diperkirakan sebagai dasar ukuran proporsi candi tebing. Analisis dilakukan ke sepuluh candi tebing yang ada di kawasan Gunung Kawi Tampaksiring, jadi setiap candi kemungkinan mempunyai perbedaan baik dari elemen pembentuk proporsi, perhitungan proporsi dan dasar ukuran yang digunakan. Oleh sebab iu dalam memutuskan hasil akhir ketiga pertanyaan penelitian, perlu dicari kemungkinan-kemungkinan terbesar baik dengan cara 41 mengacu pada teori maupun membandingkan dengan penelitian sejenis. Setelah data-data dari lapangan terkumpul maka langkah berikutnya adalah menganalisis data. untuk mempermudah analisis data maka data yang diperoleh harus diolah untuk mendapatkan data yang siap di analisis dan data yang tidak perlu dianalisis. Dari hasil pengolahan data akan mempermudah untuk melakukan analisis data, oleh sebab itu sebelum data di analisis maka yang perlu dilakukan adalah pengolahan data. Pengolahan data dapat disebut sebagai sebuah pendahuluan dari analisis data (Silalahi, 1999:248). 3.8 Penyajian Hasil Analisis Data Dalam membuat hasil analisis data penelitian perlu diperhatikan rancangan penelitian dan prosedur penelitian. hasil analisis adalah laporan selengkaplengkapnya tentang segala sesuatu yang ditemukan pada penelitian tanpa ada yang ditutupi. Sebuah laporan penelitian adalah satu dokumen ilmiah bukan sebuah novel maupun cerita saja, dengan kata lain laporan tidak berisi tentang pernyataan-pernyataan yang bersifat subyektif, berlebihan atau emosional peneliti. Laporan penelitian adalah laporan yang berisi tentang pernyataan yang obyektif sesuai dengan apa yang ditemukan dan hasil dari analisis data (Silalahi, 1999:330). Setidaknya laporan penelitian disusun dengan kaidah-kaidah ilmiah dan menentukan siapa yang menjadi sasaran dari penelitian tersebut. Sasaran pembaca dalam sebuah penelitian bisa pada kelompok akademisi, praktisi, sponsor maupun masyarakat umum. Penelitian tentang kajian proporsi Candi Tebing Gunung Kawi ini ditujukan pada kalangan akademisi khususnya 42 dalam bidang studi arsitektur dan arkeologi yang diharapkan bisa menjadi sebuah acuan atau pembanding saat akan melakukan penelitian sejenis. Penelitian ini juga tidak menutup kemungkinan untuk ditujukan pada kalangan masyarakat umum. Secara umum penyajian analisis data berbentuk laporan ilmiah yang berpedoman pada buku pedoman dari Program Pascasarjana Universitas Udayana. Tata cara penulisan dan kerangka penelitian mengacu pada buku pedoman tersebut. Secara naratif penelitian ini dapat mempresentasikan hasil dari analisis data yang telah didapatkan. Penyajian hasil analisis data penelitian juga mengacu pada tujuan penelitian yang berkaitan dengan rumusan permasalahan.