BAB II TINJAUAN TEORI 2.1 Infeksi Nosokomial Rumah sakit adalah tempat berkumpulnya orang sakit dan orang sehat, baik itu pasien, pengunjung, maupun tenaga medis. Hal tersebut menyebabkan rumah sakit berpeluang menjadi sumber infeksi, salah satunya adalah infeksi nosokomial. Infeksi adalah proses masuknya mikroorganisme ke dalam jaringan tubuh, kemudian terjadi kolonisasi dan menimbulkan penyakit (Entjang, 2003). Infeksi nosokomial adalah infeksi pada penderita yang sedang dalam proses asuhan keperawatan di rumah sakit. Proses infeksi nosokomial bermula dari adanya mikroba patogen yang menginvasi dan terjadi di rumah sakit (Darmadi 2008). Bakteri yang sering menyebabkan infeksi nosokomial adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Klebsiella sp. Mikroba ini menular melalui makanan, obat, alat kesehatan atau kontak langsung melalui, paramedis atau personil rumah sakit lainnya (Entjang, 2003). Mata rantai infeksi merupakan konsep dasar pengendalian infeksi yang terdiri atas enam unsur. Untuk dapat terjadinya suatu infeksi harus terdapat unsur-unsur tersebut. Mematahkan mata rantai infeksi merupakan upaya penting dalam mencegah terjadinya infeksi dari seseorang kepada orang lain. Enam unsur mata rantai infeksi meliputi: 5 6 1. Agen penginfeksi. Agen infeksi adalah sesuatu yang dapat menyebabkan penyakit infeksi (bakteri, virus, riketsia, fungi, protozoa, dan prion) 2. Tempat penyimpanan (reservoir) Tempat penyimpanan merupakan tempat agen penginfeksi dapat hidup, tumbuh dan berkembang baik. Beberapa tempat penyimpanan umum yang berkait dengan terjadinya infeksi nosokomial (Rohani dan Hingawati, 2010): a. Pasien itu sendiri. Sumber infeksi berasal dari flora endogen (dari dalam), yaitu sebagai berikut: Kulit Kulit merupakan salah satu sember infeksi karena kapan pun dan dimana pun juga kulit dapat berhubungan dengan agen penginfeksi. Bakteri yang sering di temukan di kulit adalah S. epidermidis dan S. aureus. S. epidermidis merupakan flora komensal, sedangkan S. aerius merupakan flora sementara yang dipindahkan melalui sumber pencernaan. Bakteri ini tidak patogen pada kulit yang utuh, tapi dapat berubah menjadi patogen dan menimbulkan kematian bila masuk melalui luka pembedahan. Usus besar Bakteri terdapat di usus dan dalam keadaan fisiologis adalah bakteri komensal (bakteri yang memang hidup di daerah itu tanpa 7 menimbulkan penyakit), tetapi dapat menjadi patogen bila keluar dari usus. Hal ini dapat terjadi melalui hubungan langsung dari lubang anus (pada infeksi saluran kemih) atau melalui luka pembedahan. Aliran darah Darah merupakan salah satu tempat penyimpanan bakteri dan virus (Hepatitis B, Hepatitis C, HIV, dan lain-lain) untuk penularan infeksi. Oleh karena itu, alat harus bebas dari sisa-sisa darah sebelum dilakukan sterilisasi alat. b. Petugas kesehatan, yang mungkin menyebarkan agen penginfeksi melalui tangan, percikan, atau udara c. Peralatan medis yang tidak dibersihkan dan disterilisasi secara sempurna d. Binatang, misalnya nyamuk Aedes aegypti merupakan penyimpan dengue (demam berdarah), filariasis, malaria dan lain-lain. 3. Pintu keluar (portal of exit) Tempat dalamnya agen penginfeksi adalah meninggalkan saluran pernafasan, reservoir, saluran termasuk di pencernaan, genitourinarius, kulit, membran mukosa, darah, dan cairan tubuh lainnya. 4. Cara penularan/modus transmisi. Cara penularan adalah mekanisme perpindahan penginfeksi dari tempat penyimpanan ke orang yang rentan. Penularan melalui kontak di bagi dua, yaitu kontak langsung dan tidak langsung. 8 Kontak langsung terjadi ketika mikroorganisme berpindah dari seseorang ke orang lain secara langsung tanpa melalui objek peralatan yang tercemar. Kontak tidak langsung terjadi ketika mikroorganisme berpindah dari seseorang ke orang lain lewat objek yang dicemari seperti pasien sakit lewat tangan petugas yang tidak mencuci tangan, alat medis, mainan yang dipakai bersama-sama, peralatan yang tidak dibersihkan dan disterilkan secara memadai, alat pelindung diri dapat juga tercemar. 5. Pejamu (host) yang rentan. Pejamu adalah orang yang memiliki daya tahan yang cukup untuk melawan agen penginfeksi dan pencegah infeksi atau penyakit. Beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: umur, riwayat penyakit kronis, status gizi, status imunisasi, trauma, atau pembedahan. 6. Pintu masuk (portal of entry) Tempat agen penginfeksi melalui pejamu yang rentan, cotohnya saluran pernapasan, saluran pencernaan, genitourinarius, membran mukosa dan plasenta (Rohani dan Hingawati, 2010). Infeksi nosokomial, tidak hanya meningkatkan angka kematian, angka sakit dan penderitaan, tetapi juga meningkatkan biaya perawatan dan pengobatan yang harus ditanggung penderita. Sekitar 5-15% penderita yang dirawat di rumah sakit mengalami infeksi nosokomial (Entjang, 2003). 9 Resiko untuk mendapatkan infeksi nosokomial bergantung pada: 1. Kemudahan untuk terkena infeksi (susceptibility) yang dimiliki oleh penderita, misalnya usia (bayi, usia lanjut), status gizi (kurang gizi) status yang sedang diderita (diabetes, AIDS) 2. Jenis tindakan dan pengobatan yang diterima penderita di rumah sakit, misalnya pembedahan, penggunaan alat bantu pernafasan, pengobatan dengan corticosteroid. 3. Tingkat papar (exposure)penderita oleh mikroba potensial patogen yang dimilikinya (flora normal) yang berasal dari penderita lain di rumah sakit (Rohani dan Hingawati, 2010). Pada prinsipnya upaya pencegahan dan strategi pengendalian infeksi berpusat pada empat hal yaitu, 1. Meningkatkan daya tahan tubuh pejamu. Daya tahan tubuh pejamu dapat ditingkatkan dengan berbagai macam cara, antara lain menerapkan pola hidup sehat. Hal ini antara lain pola makan, pola tidur, olahraga, pekerjaan, spiritual, ekonomi, dan manajemen stres yang dapat mempengaruhi tingkat kesehatan seseorang. 2. Membuat agen infeksi tidak aktif. Kegiatan membuat agen penginfeksi tidak aktif dapat di lakukan di sarana pelayanan kesehatan dengan metode fisik maupun kimia, yaitu mulai dari kegiatan dekontaminasi, pembersihan, dan upaya sterilisasi. 10 3. Memotong mata rantai penularan infeksi. Aktifitas pengendalian infeksi berfokus pada upaya memotong mata rantai infeksi dengan cara mengendalikan jumlah dan jenis agen dan tempat penyimpanan mikroorganisme di rumah sakit, dan pencegahan perpindahan mikroorganisme tersebut. 4. Pemakaian antibiotik yang benar dan rasional. Obat antibiotik dipakai untuk membunuh agen penginfeksi. Penggunaannya harus memperhatikan indikasi, dosis, cara pemakaian dan efek samping yang ditimbulkannya. Beberapa mikroorganisme, umumnya bakteri, sudah kebal terhadap satu atau lebih obat antibiotik (Rohani dan Hingawati, 2010). 2.2 Stafilokokus Stafilokokus adalah bakteri dengan bentuk sel sferis yang dinding selnya bersifat Gram-positif, biasanya tersusun dalam kelompok seperti buah anggur yang tidak teratur. Beberapa tipe stafilokokus merupakan flora normal kulit dan membran mukosa manusia; tipe lainnya dapat menimbulkan supurasi, membentuk abses, berbagai infeksi piogenik, dan bahkan septikemia yang fatal. Stafilokokus patogen dapat menyebabkan hemolisis darah, mengkoagulasi plasma, serta menghasilkan berbagai enzim dan toksin ekstrasesular. Stafilokokus cepat menjadi resisten terhadap banyak obat antimikroba dan menyebabkan masalah terapi yang sulit. Genus stafilokokus sedikitnya memiliki 30 spesies. Tiga spesies utama 11 yang memiliki kepentingan klinis adalah Staphylococcus aureus, S. epidermidis, dan S. saprophyticus (Brooks et al., 2007). S. aureus mati pada suhu 60C setelah 60 menit. S. aureus mampu membelah diri setiap 27-30 menit (Entjang, 2003). S. aureus merupakan salah satu bakteri yang menyebabkan infeksi nosokomial dan juga mungkin resisten-metisilin (MRSA). S. aureus adalah penyebab tersering infeksi piogenik (pembentuk nanah), dan menyebabkan beragam infeksi yang meliputi bisul, abses, impetigo dan mata lengket pada neonatus. Di rumah sakit, S. aureus menyebabkan infeksi luka yang serius, bronkopneumonia, osteomielitis, dan endokarditis. Sebagian strain menghasilkan toksin yang menyebabkan kerusakan sel luar (Gould & Brooker, 2003). Jenis S. aureus yang bersifat koagulase-positif membedakannya dari spesies lainnya dan merupakan patogen utama pada manusia. Hampir semua orang pernah mengalami infeksi S. aureus selama hidupnya, dengan derajat keparahan yang beragam, dari keracunan makanan atau infeksi kulit ringan hingga infeksi berat yang mengancam jiwa (Brooks et al., 2007). Stafilokokus koagulase-negatif adalah flora normal manusia dan kadangkadang menyebabkan infeksi, seringkali berkaitan dengan implantasi alatalat, terutama pada pasien yang sangat muda, tua, dan dengan fungsi imun terganggu. Sekitar 75% infeksi yang disebabkan oleh stafilokokus koagulase-negatif ini akibat S. epidermidis, S. saprophyticus relatif sering 12 menjadi penyebab infeksi saluran kemih pada wanita muda (Brooks et al., 2007). Stafilokokus paling cepat berkembang pada suhu 37C, tetapi suhu terbaik untuk menghasilkan pigmen adalah suhu ruangan (20-25C). Stafilokokus relatif resisten terhadap pengeringan, panas (tahan pada suhu 50C selama 30 menit), dan natrium klorida 9% tetapi mudah dihambat oleh bahan kimia tertentu, seperti heksaklorofen 3% (Brooks et al., 2007). 2.3 Stetoskop Stetoskop merupakan salah satu alat yang digunakan oleh perawat dan dokter untuk pemeriksaan tanda-tanda vital maupun pemeriksaan yang lainnya. Penelitian Cohen et al.(1997), Marie et al. (2000) dan Sengupta et al. (2000) menyebutkan bahwa stetoskop dapat berperan sebagai sumber infeksi nosokomial karena kontaknya yang terus-menerus dari satu pasien ke pasien yang lainnya. Hasil penelitian Maluf et al. (2002) menyebutkan bahwa bakteri yang paling sering ditemukan pada membran stetoskop adalah S.aureu. 2.4 Disinfeksi Disinfeksi merupakan proses pembunuhan atau penghilangan mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Agen disinfeksi (dinamakan disinfektan) biasanya zat kimiawi dan digunakan untuk objekobjek tak hidup. Disinfeksi tidak menjamin objek menjadi steril karena beberapa mikroorganisme tetap dapat tersisa (Pratiwi, 2008). 13 Alkohol efektif membunuh bakteri dan fungi namun tidak dapat membunuh endospora dan virus non-enveloped. Mekanisme aksi alkohol adalah dengan mendenaturasi protein mikroorganisme, melarutkan lipid pada virus bersampul (enveloped virus) (Pratiwi, 2008). Pemilihan disinfektan sebaiknya dipilih berdasarkan tujuan pemakaian dan derajat disinfeksi yang diharapkan, kecocokan atau kompatibilitas disinfektan dengan alat medis, harga atau biaya, keamanan dan kemudahan dalam penggunaannya, dan kerugiannya harus dilihat bahwa spora yang dapat diproduksi oleh beberapa spesies bakteri benarbenar sangat resisten terhadap hampir semua larutan disinfektan (Rohani dan Hingawati, 2010). 14