INFORMATION ASYMETRI AND AGENCY THEORY

advertisement
INFORMATION ASYMETRI
AND
AGENCY THEORY
CH-12
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
1
Informasi asimetri muncul ketika suatu kelompok memiliki informasi
yang lebih berkualitas (diantaranya karena ada pada saat yang tepat,
akurat) dibandingkan dengan kelompok lainnya. Informasi yang kredibel
yang disampaikan oleh kelompok yang informasinya lebih berkualitas
kepada yang informasinya kurang, berupa sinyal dan merupakan suatu
tindakan. Sumber informasi asimetri adalah hal-hal yang strategis
mengenai kondisi perusahaan dan prospek yang hanya diketahui oleh
para eksekutif perusahaan sementara itu pesaham lainnya yang bukan
eksekutif tidak mengetahuinya. Teori keagenan (agensi) berasal dari
kenyataan bahwa keputusan dilakukan para manajer sebagai agen yang
adakalanya diliuar keinginan shareholders (principals) untuk
meningkatkan kesejahteraan pesaham(ada konflik interest). Menurut
Lambert (2001) terdapatnya konflik interest disebabkan 4 hal yaitu (1)
kelalaian (shirking) para eksekutif/manajer, (2) penggunaan sumber
daya perusahaan untuk kepentingan pribadi para eksekutif/manajer, (3)
terdapatnya perbedaan jangka waktu wawasan eksekutif/manajer
(pendek, short term) dengan para pesaham (panjang, jauh), dan (4)
perbedaan tingkat risk aversion antara para pesaham dengan para
eksekutif/manajer perusahaan.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
2
A.INFORMASI ASIMETRI
Untuk membahas hal tsb, digunakan situasi dimana ada dua macam perusahaan,
yang satu kualitasnya tinggi dan yang lainnya tidak. Eksekutif perusahaan yang
bagus, akan memberi tahu pasar dengan cara bertindak sesuatu yang dibaca pasar
sebagai sinyal tentang sesuatu. Sinyal yang disampaikan bisa sinyal yang mahal –
exogeneous costs dan sinyal yang dapat dikatakan sebagai tidak berbiaya
(endogenous). Sinyal-sinyal dapat berupa besarnya investasi yang dilakukan
perusahaan, besarnya obligasi(debt) yang dijual perusahaan, besarnya dividend,
jenis pembiayaan untuk investasi, dan corporate action untuk stock split.
Perusahaan yang bagus berusaha untuk dibedakan dari yang jelek dengan
menggunakan sinyal (melalui corporate action) yang sulit sekali ditiru oleh
perusahaan jelek. Karena itu selalu diusahakan agar net gain yang diperoleh
perusahaan jelek dengan meniru apa yang dilakukan perusahaan bagus, lebih
rendah dari biaya yang dikeluarkan.
1.Costly Signaling (Sinyal yang mahal sekali)
Akerlof (1970) penulis yang pertamakali menghubungkan antara ketidak pastian
dengan harga dan kualitas. Dia menguji pasar mobil yang mempunyai 4 ciri, yaitu
mobil baru dan mobil bekas dan diantara yang baru dan yang bekas, ada yang
masih bagus tetapi juga ada yang sudah jelek tapi kejelekannya tidak kasat mata.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
3
Para pembeli tidak mengetahui apakah mobil baru yang dibelinya itu bagus atau
jelek. Sebaliknya, setelah memilki mobil tsb, mereka jadi mengetahui kualitas
mobilnya. Karena itu informasi asimetri berkurang ketika pemilik mobil lebih
memiliki informasi tentang mobilnya, dibandingkan dengan calon-calon pembeli
jenis mobil tsb. Calon pembeli tidak tahu mana yang mobil bagus dan yang jelek
sehingga mereka ditawari harga yang sama, sehingga mobil bagus dan jelek terjual
dengan harga yang sama. Dengan demikian, penjual mobil bekas, tidak menerima
true value ketika true quality tidak diketahui oleh calon pembelinya. Selain itu,
mengingat si penjual selalu mencari true value, maka lebih menguntungkan dengan
menjual mobil jelek dan membeli mobil yang baru jika harga mobil bekasnya lebih
tinggi dari nilai yang diharapkan (expected value) dari mobil baru. Hal tsb
mengandung arti bahwa mobil yang bekas tidak akan dihargai lebih tinggi dari
expected value mobil baru tsb. Karena itu, dapat diprediksi bahwa mobil-mobil
bagus dapat saja tidak diperjual belikan seluruhnya sementara itu mobil-mobil jelek
yang tidak diketahui tru value nya akan membuat mobil-mobil bagus tidak laku
dijual.
Spence (1973) mengembangkan pikiran Akerlof dengan secara formal menguji suatu
pasar dimana terdapat unsur signaling (pemberian sinyal) yang relatif banyak dan
para pemberi sinyal tidak memiliki reputasi sebagai pemberi sinyal. Ia
mendemonstrasikan kondisi ekulibrium sinyal-sinyal dengan contoh spesifik dalam
pasar tenaga kerja. Ada dua kelompok pencari kerja dan mereka itu menghadapi
satu orang pemberi kerja.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
4
Produktifitas kelompok pencari kerja tsb berbeda, kelompok yang satu A, besarnya 1,
dan yang lain B, besarnya produktifitas 2. Kelompok A mempresentasikan bagian q
dari populasi asal pencari kerja dan sinyal yang potensial (latar belakang pendidikan)
dapat diperoleh dengan biaya besar. Biaya kelompok A, untuk y unit pendidikan
adalah y ($1 per unit) sedangkan biaya kelompok B hanya 0.5y.
Anggaplah pemberi kerja percaya bahwa di pasar kerja ada suatu tingkat pendidikan,
y*, sedemikian sehingga jika y<y*, ia mengharapkan produktifitas pekerjanya
menjadi sama dengan 1 dengan probability sebesar 1, sebaliknya jika y≥y*,
produktifitas akan sama dengan 2 dengan probability 1. Karena itu, upah pekerja tsb
W(y) menjadi 1 jika y<y* dan 2 jika y≥y*.
Berdasar skenario tsb, setiap kelompok akan menyeleksi pendidikan mereka pada 0
atau y*, ketika pendidikan yang dimiliki antara 0 dan y*, atau diluar y* tidak
memberikan tambahan manfaat upah sedikitpun namun justru menyebabkan
menanggung tambahan biaya. Agar terdapat ekuilibrium yang terpisah dimana
kelompok A memilih tingkat pendidikannya 0 dan kelompok B memilih tingkat
pendidikan y*, maka haruslah (2-y*) > 1 dan (2-y*/2) > 1 atau 1<y*<2. Hal tsb
didasarkan pada adanya kenyataan bahwa jika kelompok A (B) memilih tingkat
pendidikan 0, maka manfaat yang didapat 1 (1), sedangkan manfaat menjadi 2-y*(2y*/2) jika tingkat pendidikan yang dipilih adalah y*. Harus diketahui bahwa terdapat
nilai yang tak terhingga nilai ekuilibrium dari y* dalam range 1 ke 2 tsb, dimana
pemberi kerja dapat membedakan masuk kelompok mana para pencari kerja tsb.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
5
Spence melanjutkan dengan menunjukkan bahwa kelompok A menderita (worse off)
dengan adanya sinyal saat mereka akan diberi upah yang lebih besar dari 1 [q+2(1-q) =
2-q] dalam keadaan jika tidak ada sinyal apa-apa. Sebaliknya, kelompok B tidak selalu
menjadi lebih baik dengan adanya sinyal. Contohnya, jika 50% dari populasi adalah
kelompok 1 (q=0.5) selanjutnya upah jika tidak ada sinyal untuk kedua kelompok
adalah 1.5 (tanpa ada biaya-biaya yang terkait) sedangkan upah bagi kelompok B jika
ada sinyal dengan biaya y*/2. Karena itu manfaat bersih dari kelompok B dengan
adanya sinyal adalah 0.5-y*/2. Jika y*>1, yang berarti manfaat bersih dari adanya
sinyal bagi kelompok B menjadi negatif sehingga kelompok B lebih menyukai jika tidak
ada sinyal (supaya manfaat bersihnya tidak negatif). Akhirnya Spence memperlihatkan
bahwa dengan adanya kepastian (misalnya ada upah yang berbeda-beda berdasar
fungsi-fungsi), akan ada ekulibrium bersama terdiri dari kedua kelompok baik mereka
memilih tingkat pendidikan 0 maupun y*. Dengan ekuilibrium bersama tsb, adanya
tingkat pendidikan yang dimiliki oleh para pencari kerja tidak memberikan informasi
apa-apa kepada pemberi kerja.
Dengan kerangka pikir yang sama Rothschild dan Stigliz (1976) dan Wilson (1978)
menganilisis dengan menggunakan suatu model dari transformasi informasi dalam
konteks pasar asuransi. Mereka menunjukkan bahwa dalam suatu pasar dimana
terdapat dua kelompok konsumen yaitu yang berisiko tinggi dan yang berisiko rendah,
terdapat ekuilibrium yang terpisah yaitu kontrak asuransi yang dibuat oleh yang
kedua konsumen tsb yang berbeda.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
6
Secara khusus mereka menunjukkan bahwa daripada menawarkan hanya satu harga
untuk satu unit cakupan proteksi, perusahaan asuransi sebenarnya mempunyai insentif
untuk memberikan harga yang lebih tinggi untuk kontrak asuransi yang lebih banyak
cakupan proteksinya. Hal tsb akan menyebabkan individu-individu yang mempunyai
risiko tinggi terpisah dari mereka yang berisiko rendah karena tambahan cakupan
asuransi menghasilkan manfaat tambahan yang lebih besar bagi individu yang
mempunyai risiko tinggi, namun tidak bagi yang berisiko rendah. Ekuilibriumnya Nash
(ada di mata kuliah Industrial Organization –game theory) tidak dapat terjadi (baca
footnote-nya). Riley (1975, 1979) memberikan konfirmasinya bahwa Nash equilibrium
tidak terjadi untuk model dengan terdapatnya kelompok/kelas-kelas dalam populasinya
dimana ada suatu kelompok yang terus menerus mempunyai informasi. Dalam kaitan
ini Riley juga juga memberikan kondisi formal dimana pada kondisi seperti itu ada
ekuilibrium dengan adanya sinyal. Secara khusus dia menunjukkan bahwa sinyal yang
banyak bermacam-macam yang mencapai ekuilibriumnya pada modelnya Spence
berkurang menjadi sebuah ekuilibrium saja dan dalam kondisi Pareto optimal.
Signaling yang mahal tersebut sebagaimana model yang dibuat Spence mengenai
masalah dalam corporate finance dikerjakan juga oleh Leland dan Pyle (1977), Ross
(1977), dan Bhattacharya (1979, 1980) tetapi dalam setting pengusaha yang ingin
mendapatkan pendanaan bagi proyeknya dimana mereka mengetahui besarnya nilai
dana yang dibutuhkan, manajer memberikan sinyal tentang prospek usahanya dengan
mengeluarkan obligasi, dan sinyal cash flow yang bagus dengan membagi dividen yang
tinggi.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
7
SIGNALING PROJECT QUALITY WITH INVESTMENT
Dalam analisisnya Leland dan Pyle (1977) mengasumsikan ada seorang pengusaha
merencanakan investasi pada suatu proyek dengan menyisakan sebagian dari
ekuitasnya sebesar α dan kekurangan dananya untuk investasi diperoleh dari investor
lain. Capital outlay $X dan future value sebesar μ + ε* dimana μ adalah nilai ekspektasi
pada akhir periode dan ε* adalah random variable dengan mean 0 dan std deviasi σε .
Si pengusaha tahu berapa nilai μ di akhir periode namun tidak mempunyai cara yang
kredibel untuk memberitahu investor lainnya yang mempunyai distribusi probabilita
untuk besarnya μ . Namun dapat dianggap para investor dapat mengetahui melalui
sinyal dari besarnya α yang masih disisakan oleh pengusaha karena investor
mengetahui bahwa μ merupakan fungsi dari besarnya α. Nilai proyek dengan
informasi dari α adalah
V(α) = [μ (α) – λ]/(1+r) - - - - - - - - (12.1)
Dimana
r=risk free rate of return
μ (α)=valuation schedule used by the market to infer the expected end-of-period value
from the signal α
λ =the market’s adjustment for the risk of the project
SELANJUTNYA BACA MATEMATIKANYA DI HAL,418
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
8
Diperoleh hasil analisis sebagai berikut. Pertama, pengusaha yang
merencanakan investasi pada proyek yang besar, akan lebih menyisakan
penyertaan investasi yang lebih besar dibandingkan dengan perusahaan lain
yang nilai proyeknya kecil. Yang kedua, suggests that the enterpreuneurs suffer
a wellfare loss by beeing forced to hold a fraction of equity that is larger than
what they would have optimally held if the value of the project could be
communicated costlessly. The cost of signal represents this wellfare loss.
Untuk proyek yang tidak membutuhkan dana besar, signal yang disampaikan
akan salah, jika menyisakan (retain) lebih banyak dana.
Grimblat dan Hwang (1989) men-jenarilasikan apa yang dikerjakan Lyland dan
Pyle dengan mengasumsikan bahwa mean dan variance dari cash flow proyek
tidak diketahui. Karena itu besarnya α yang di sisakan oleh pengusaha tidak
punya peran apa-apa untuk memberikan sinyal kepada investor mengenai
besar expected value dari proyek. Karena itu diperlukan sinyal yang kedua
untuk dapat digunakan menduga besarnya variance dari cash flow yang
dihasilkan proyek investasi, mengingat equlibrium
signaling schedule
merupakan fungsi dari variance dan α (bagian dari ekuitas yang masih
ditahan).
Sinyal yang kedua tsb, dapat dilihat ketika harga yang ditawarkan saat IPO
diumumkan dan jelas besarnya underpricing per sahamnya. Model Gimblat
dan Hwang berimplikasi empirik dimana beberapa event konform dengan
model tsb.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
9
Secara spesifik, model Gimblat dan Hwang memprediksi (1) dengan menahan besarnya
underpricing konstan, varians proyek cash flow berkorelasi negatif dengan bagian cash
flow yang dipertahankan tetap ada oleh pengusahanya, (2) dengan menahan bagian yang
cash flow yang dipertahankan konstan, nilai proyek berkorelasi positif dengan varians
proyek, (3) dengan menahan varians proyek konstan, nilai proyek berkorelasi positif
dengan bagian cash flow yang dipertahankan tetap ada oleh pengusahanya, (4) dengan
mempertahankan nilai proyek konstan, varians dari cash flow berkorelasi negatif dengan
bagian cash flow yang tetap dipertahankan, (5) dengan mempertahankan bagian yang
dipertahankan tetap ada, konstan, besarnya underpricing berkorelasi positif dengan
varians cash flow, (6) dengan menahan variance cash flow proyek konstan, besarnya
underpricing berkorelasi positif dengan bagian cash flow yang dipertahankan, (7) dengan
mempertahankan bagian yang dipertahankan konstan, nilai proyek berkorelasi positif
dengan besarnya underpricing, dan ke (8) dengan mempertahankan varians cash flow
proyek konstan, nilai proyek berkorelasi positif dengan besarnya underpricing.
SIGNALING KUALITAS PERUSAHAAN DENGAN DEBT.
Ross (1977) membuat ilustrasi, bahwa suatu pasar terdiri dari hanya dua jenis
perusahaan, yaitu perusahaan PT A dan perusahaan PT B, dan dalam jangka waktu 2 saat
(two date world). Pada saat t=1, nilai PT A, Va = 100, lebih besar daripada PT B , Vb=50.
Vb<Va.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
10
Jika kondisi pasarnya pasti, dan pemberian harga (pricing) tidak harus
menuntut risk averse atau risk lover, , maka saat t=0, nilai perusahaan dari
kedua PT tsb dapat dirumuskan sebagai berikut.
V0a = V1a/(1+r) = 100/1 = 100 - - - - - - - (12.8)
Sedangkan
V0b = V1b/(1+r) = 50/1 = 50 - - - - - - - - - (12.9)
Dimana r= risk free interest rate = 0%
Sekarang kondisi pasar tidak lagi ada kepastian (uncertainty), dan investor
tidak dapat membedakan mana perusahaan yang nilainya lebih tinggi. Jika q
(=0.4) merupakan bagian dari perusahaan A dan investor menganggap bahwa
perusahaan A dengan kemungkinan q dan perusahaan B dengan (1-q),
selanjutnya semua perusahaan akan mempunyai nilai yang sama, yaitu
sebesar
V0 = [qV1a + (1-q) V1b]/(1+r) = [(0.4)(100) + (0.6)(50)]/1= 70
Dengan menggunakan pola pikir tsb, maka saat PT A ingin menyatakan bahwa
dia adalah PT A, PT B memberikan sinyal yang sama juga , sehingga tidak
mudah dibedakan (inilah yang dinamakan pooling equilibrium)
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
11
Ross mengusulkan salah satu cara mengatasi hal tsb adalah dengan cara membuat
ekuilibrium lain yang terpisah (separating equilibrium) yaitu dengan mengasumsikan
bahwa manajer perusahaan akuntabel dalam financing decision yang dibuat saat t=0,
mereka mendapat kompensasi dengan insentif yang dapat disampaikan kepada investor,
dan mereka akan bertindak sedemikian sehingga mereka mendapat insentif kompensasi
yang maksimal.
Kompensasinya diatur dengan rumus berikut.
M = (1+r) γ₀ V₀ +γ₁ {V₁
{V₁ - C
jika V₁ > D
jika V₁ ≤ D - - - - - - - - - - - (12.11)
dimana γ₀ dan γ₁ bobot yang positif, V₁ adalah nilai perusahaan 1 pada t=1, D adalah face
value dari debt yang dikeluarkan perusahaan pada t=0, dan C adalah penalti yang akan
diderita manajer jika sampai nilai V₁ < D.
Jika γ₀ dan γ₁ masing-masing 0.1 dan 0.2=>0.15 maka kompensasi manajer menjadi sbb
M = 0.1 γ₀ + 0.15 { V₁
jika V₁ > D
{V₁ -C
jika V₁ ≤ D - - - - - - - - -(12.12)
Ross menunjukkan bahwa dengan kompensasi seperti pers (12.11) dapat digunakan untuk
memastikan cara yang dibuat oleh Spence dalam memberikan sinyal untuk mencapai
ekulibrium. Misalnya D* adalah maksimum besarnya Debt dari perusahaan tipe B dan
masih mampu bayar kupon tdk membuatnya bangkrut.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
12
Selanjutnya jika D>D*, pasar akan mempersepsi perusahaan tsb adalah perusahaan tipe A
dan jika D ≤ D*, pasar akan mempersepsi perusahaan tsb adalah perusahaan dari tipe B.
Dalam kondisi seperti itu, agar dapat dibuat mapan dengan ekuilibrium dengan sinyal,
maka sinyal yang diberikan kepada investor haruslah yang tidak membuat mereka rancu
(unambigious) dan manajer harus mempunyai insentif untuk selalu memberikan sinyal
yang betul, yaitu menjelaskan yang terjadi sesungguhnya didalam perusahaan daripada
harus membuat kebohongan.
Berdasar atas sinyal berupa besarnya debt yang dipilih oleh manajer perusahaan tipe A,
kompensasi yang diterimanya seharusnya
MA (D) = {γ₀ V1a + γ₁ V1a
{γ₀ V1b + γ₁ V1a
jika D* < D ≤ V1a = 25 jika D* < D ≤ V1a
jika D ≤ D*
= 20 jika D ≤ D*
- - (12.13)
Dengan adanya kompensasi, maka manajer perusahaan tipe A akan memberikan sinyal
yang benar (dengan memilih besarnya debt yang lebih tinggi dari D*) sejauh
kompensasinya selaras dengan pemberian sinyal yang benar bisa mendapat kompensasi
yang lebih besar daripada jika dengan sinyal yang bohong. Dalam kasus ini jika marjinal
payoff dari memberi sinyal benar lebih tinggi dari jika bohong, yaitu dimana γ₀ V1a + γ₁ V1a
= 25 > 20 = γ₀ V1b + γ₁ V1a , maka pemberian sinyal yang benar akan dilakukan manajer.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
13
Kompensasi bagi manajer untuk perusahaan tipe B dirumuskan sebagai berikut.
MB (D) = {γ₀ V1a + γ₁ (V1b – C)
= γ₀ V1b + γ₁ (V1b )
jika D* < D ≤ V1a = 17.5 – 0.15C jika D*<D≤ D
jika D ≤ D*
= 12.5
jika D ≤ D* - - (12.14)
Manajer dari perusahaan tipe B akan memberikan sinyal yang benar jika
γ₀ V1a + γ₁ (V1b – C) = 17.5 – 0.1 C < 12.5 = (γ₀ V1b + γ₁ (V1b) atau jika γ₀ (V1a-V1b) = 5 <
0.15C = γ₁ C atau jika C > 33.33. Karena itu, manajer perusahaan tipe B seharusnya
memberikan sinyal yang benar jika marginal gain yang diperoleh lebih rendah
dibandingkan dengan biaya yang menjadi beban mereka dengan memberikan sinyal
bohong. Dari contoh tsb diatas manajer perusahaan tipe B memilih memberikan sinyal
secara benar karena biaya yang nenjadi bebannya akan lebih besar dari sekedar 33.33.
Sebagaimana dalam paper Spence, dinyatakan terdapat banyak ekuilibrium dengan nilai
D* untuk kasus kita. Implikasi empirik dari modelnya Ross adalah perusahaanperusahaan dengan ekspektasi cash flow yang akan datang yang lebih besar, harus
melakukan pinjaman yang lebih besar.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
14
Guedes dan Thompson (1995) mengembangkan model berdasar modelnya Ross
dimana pemilihan fixed rate dan floating rate debt berfungsi sebagai sinyal dari
kualiatas perusahaan. Pada modelnya, biaya-biaya financial distress (kesulitan
keuangan memberikan insentif kepada manajer untuk memilih meminjam dana yang
akan menstabilkan net income. Mereka menunjukkan bahwa ekuilibrium yang terpisah
muncul dimana perusahaan yang statusnya diatas kualiats minimum mengeluarkan
pinjaman dengan risiko gagal bayar yang tinggi dan yang lain dibawah kualitas
minimum tetapi mengeluarkan pinjaman debt yang rendah risiko gagal bayarnya.
Ekulibirum yang terbentuk yang berkaitan dengan hasil bahwa terdapat batas yang
unik dari adanya volatilitas dari inflasi yang diharapkan dimana fixed dan variabel rate
dari debt mempunya risiko gagal bayar, menyatakan secara tak langsung bahwa fixed
rate financing sebagai sinyal yang lebih disukai diatas batas volatilitas, sedangkan
variable rate debt merupakan sinyal dibawah batas volatilitas.
Bukti empirik atas penggunaan debt sebagai sinyal atas kualitas perusahaan, adalah
bercampur baur. Studi-studi yang fokus pada keputusan-keputusan perusahaan untuk
merobah leverage dan menganalisa dampaknya pada pengumuman atas keputusan tsb
pada harga saham, telah diketemukan konsisten dengan jika digunakan debt.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
15
Secara spesifik, diketemukan bahwa transaksi peningkatan leverage diasosiasikan dengan
peningkatan harga saham sedangkan kebalikannya juga benar untuk transaksi penurunan
leverage. Sebaliknya, banyak studi-studi cross sectional menemukan bahwa profitabilitas
perusahaan berhubungan negatif dengan debt, mengindikasikan bahwa semakin
profitabel, perusahaan bersangkutan memiliki debt yang lebih sedikit. Hasil ini tidak
konsisten dengan perusahaan dengan kualitas yang lebih tinggi diasosiasikan dengan debt
yang lebih besar.
SIGNALING EXPECTED CASH FLOWS WITH DIVIDENDS
Dividen dapat menjadi alat untuk memberi tahu investor (Bhattacharya (1979)) dengan
menunjukkan juga nilai likuidasi perusahaan berhubungan dengan besarnya dividen yang
diberikan. Dalam modelnya, suatu perusahaan dianggap sebagai suatu proyek baru yang
bersifat perpetual (tidak akan berhenti sebagaimana proyek biasa) dengan akhir periode
cash flow dinyatakan dengan X. Perusahaan memberikan sinyal berisi informasi mengenai
cash flow yang berkaitan proyek dengan menyatakan ada incremental dividend sebesar D.
Respons dari sinyal adalah munculnya incremental liquidation value (nilai saat dilikuidasi)
sebesar V(D). Jika cash flow proyek lebih besar dibandingkan dengan dividen yang
disanggupkan (yaitu X>D), selanjutnya perusahaan dapat mengurangi besarnya financing
eksternalnya yang dibutuhkan dengan (X-D). Sebaliknya, jika cash flow nya lebih kecil dari
dividen yang akan dibagikan, (X<D), maka dividen tetap dibayarkan hanya saja perusahaan
mengalami kekurangan likuiditas kepada pesaham sebesar (1+β)[X-D]. Akhirnya, ia juga
akan membayar pajak perorangan sebesar τp atas dividen dan tidak ada tax capital gain.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
16
Dalam kerangka pikir ini, pesaham menerima incremental nilai terlikuidasi berupa
hasil dari respon dari sinyal yang disampaikan kepada investor, sebesar V(D), dan
nilai after tax atas dividen yang dijanjikan, sebesar (1- τp ) D. Selain itu, jika cash
flow, X, lebih besar dari dividen yang akan diberikan, maka pesaham masih
mempunyai hak atas sisa nilai sebesar X-D. Jika lebih kecil, pesaham mempunyai
kekurangan likuiditas sebesar (1+β)(X-D). Dengan demikian incremental objective
function dari para pesaham adalah
E(D) = 1/(1+r) [ V(D) + (1- τp ) D + X*∫D (X-D) ƒ(X) d(X) + X*∫D (1+ β)(X-D) ƒ(X) dX]
= (1/(1+r) [ V(D) + μ - τp D – β _X∫D (X-D) ƒ (X) d(X) ] - - - - - - (12.15)
Dimana r=after tax rate of interest, cash flow X didistribusi dalam range (_X , X-- ),
dan μ adalah besarnya ekspektasi cash flow. Penjelasan berdasar intuisi dari pers
(12.15) adalah bahwa nilai bagi para pesaham adalah jumlah dari incremental
liquidation value dan expected cash flow dikurangi besarnya pajak-pajak yang
berkaitan dengan pemberian dividen tsb dan biaya yang menjadi beban karena
kekurangan dana untuk membayar dividen.
Manager memilih besarnya D untuk memaksimumkan E(D) dimana sinyal kepada
pasar berupa value function V(D).
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
17
Sekarang bagaimana jika proyek dengan cash flow yang didistribusikan secara
uniform (merata) selama jangka waktu [0,t]. Density function disubstitusi dengan
distribusi uniform dari cash flow tsb dalam pers (12.15) secara implisit menyatakan
bahwa manajer memilih D untuk memaksimumkan
E(D) = 1/(1+r) [ V(D) + t/2 - τp D – β D² /2t ] - - - - - - - - (12.16)
Kondisi first order berkaitan dengan maksimisasi tsb diatas adalah
V(D*) = τp + β D* / t - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - (12.17)
Pers (12.17) menyatakan bahwa pada pembagian dividen yang optimal, marginal
benefit yang diperoleh dari pemberian sinyal harus sama dengan marginal cost
akibat memberikan sinyal.
Marginal benefitnya adalah V’(D*), merupakan
perobahan saat terjadi likuidasi nilai dari satu unit perobahan, sedangkan marginal
cost-nya adalah sebesar τp + β D* / t , berupa jumlah dari marginal tax rate (tax
yang dibayarkan bagi perobahan 1 unit dividen) dan perobahan biaya yang menjadi
beban untuk tujuan menutup kekurangan dana akibat dividen yang dibayarkan lebih
besar dari cash flow yang dimiliki perusahaan.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
18
Sinyal kepasar mengenai value function V(D) merupakan suatu ekuilibrium hanya jika
V(D*(t) nilainya benar berkaitan dengan cash flow yang akan diperoleh dimasa
mendatang dimana cash flow tsb sedang di sampaikan ke pasar oleh komitmen atas
dividen sebesar D*(t). Berdasar asumsi bahwa proyek berjalan tanpa ada akhirnya
(perpetual), dividen adalah stationair, dan bahwa tidak ada apapun yang dijadikan
pelajaran sepanjang waktu, sehingga ekuilibrium dari memberi sinyal ke pasar berupa
value function tersebut dapat dinyatakan sebagai berikut.
V(D*(t) = 1/r [ t/2 – τp D*(t) – β [D*(t)]² / 2t ] - - - - - (12.18)
Pers (12.17) dan (12.18) dapat di selesaikan untuk ekuilibrium D*(t) dan V(D).
Secara khusus kedua pers tsb mempunyai pengertian D*(t) = Aτ - - - - - (12.19)
Dan
V[D*(t)] = (τp + β A ) D* (t) - - - - - - - - - (12.20)
Dimana
A merupakan nilai dari respon, (V(D) atas dividen yang sudah disetujui untuk dibagikan
sebesar D. Rumus untuk A sbb.
A= - [τp / β][(1+r)/(1+2r)] + [τp / β] [(1+r)/(1+2r)] √ 1+[(β(1+2r)/(τp²(1+r)²) - - - (12.21)
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
19
Temuan Bhattacharya menyiratkan bahwa nilai respon ekuilibrium, V(D) atas
komitmen pemberian dividen sebesar D, yaitu, nilai A, merupakan fungsi yang
menurun dari rate tax atas dividen yang diterima pesaham-pesaham, τp , biaya yang
terkait dengan kekurangan cash flow untuk dibagikan sebagai dividen, β, dan interest
rate, r. Dua temuan yang pertama dilandasi alasan (argumen) bahwa jika untuk rate
tax yang lebih tinggi atau biaya akibat kekurangan dana tunai untuk dibagikan sebagai
dividen, V(D) merespon pada τp atau hanya β, yang mengoptimalkan dividen akan
menjadi sama. Dapat dilihat hasilnya, V(D) akan menjadi over-estimate atas nilai yang
betul dari cash flow dimasa yang akan datang. Artinya, dalam kondisi ekuilibrium
dibutuhkan respon yang lebih rendah dari V(D) ke D, yang tidak lain merupakan A
yang lebih rendah.
Contoh. Tax rate, τp , penalti akibat kekurangan cash flow untuk dividen, β= 60%, batas
tertinggi cash flow $ 100.-(=t), dan after tax rate dari interest, 25%, . Jika A dihitung,
didapat A=0.64, dividen optimal yang bisa dibagikan $64.- dan nilai respon atas
dividen tsb $50.-. Jika tax rate dinaikkan menjadi 50% (dari semula 40%), maka angkaangka yang berkaitan secara berturut-turut adalah 0.57, $57 dan $48. Sebaliknya,
menurunnya penalti akibat kekurangan cash flow menjadi 40% dari 60% akan
meningkatkan harga A menjadi 0.7, meningkatkan dividen menjadi $70, tetapi
menurunkan nilai respon menjadi $48. Akhirnya, menurunnya interest rate menjadi
10%, meningkatkan semua ketiga variabel , A menjadi 0.72, dividen menjadi $72 dan
nilai respon menjadi $59.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
20
John dan Williams (1985) memberikan model alternatif untuk digunakan pada
penentuan dividen sebagai suatu sinyal dari informasi perusahaan (private information)
yang diketahui oleh orang dalam (insiders). Mereka membuat sebuah model dimana
ada dua tanggal dalam sebuah periode dimana semua orang dalam (insiders) dari
seluruh perusahaan yang seluruhnya didanai dengan ekuitas, sepakat untuk melakukan
investasi sebesar I saat waktu 0. Kondisional atas investasi ini, dipilih dividen sebesar D.
Dana untuk investasi dan pemberian dividen diperoleh melalui menahan cash (C) atau
menjual saham baru (N) pada saat harga ex-dividend per lembarnya pe . Dengan
demikian sumber dan penggunaan dana memenuhi persamaan berikut.
I + D = C + Npe = C + Pe - - - - - - - - - - - (12.22)
Dimana
Pe = Npe . Bagi pesaham, dividen itu mahal karena harus membayar personal tax secara
marjinal sebesar τp .Pada waktu 1, setiap perusahaan mendapatkan dana, dan pesaham
memperoleh dividen. Pesaham tidak membayar tax atas dividen yang dicairkan
manajemen dari cash flow yang dipunyai perusahaan. Present value dari cash flow
dinyatakan sebagai X, harga X adalah 1≤X<∞. Orang dalam mempunyai informasi
tentang besarnya X yang mereka usahakan disampaikan dengan seleksi atas besarnya
agregat dividen D. Jika terdapat saham outstanding sebanyak Q menjelang dijualnya
saham baru, maka harga saat cum dividen dan harga saat ex dividen, harus dapat
dihubungkan dengan persamaan berikut.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
21
p = pe + [(1-τp )D/Q] yang dapat meniadakan arbitrage. Akhirnya, dapat
diasumsikan bahwa pesaham mempunyai demand atas likuiditas (L), dan
kebutuhan tsb dipenuhi dari dividen dan penjualan saham sebanyak M lembar
saat harga ex-dividen pe , yaitu L=D + pe M. Berdasar pola pikir tsb, insiders
memilih dividen yang optimal untuk memaksimumkan nilaisesungguhnya dari
perusahaan bagi pemegang saham saat ini, sbb
Maksimumkan [(1- τp ) D + pe M + (Q-M) X /(Q+N)] - - - - - - - - (12.23)
D
Pada pernyataan di atas, bagian pertama adalah after tax dividen yang
diterima, bagian kedua mewakili proses penjualan M lembar saham saat harga
ex-dividen, pe , dan bagian yang terakhir adalah nilai dari Q-M lembar saham
yang masih disisakan setelah dijual sebagian. Substitusi dari sumber dan
penggunaan dana dan tidak terdapat arbitrage dan kendala likuiditas, kedalam
pers (12.23) menghasilkan objective function yang lain yaitu
Maksimumkan L- τp D + [(P+ τp D –L)/(P+ τp D + I-C) X - - - - - - -(12.24)
dimana P+Qp. First order condition pada pers (12.25) menyatakan bahwa pada
dividen yang optimal marginal cost dari dividen bagi pesaham (τp ) adalah sama
dengan marginal benefit bagi pesaham yang ada melalui sinyal dari perusaan.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
22
Menyelesaikan first order condition tsb berdasar menormalkan asumsi bahwa dividen
bagi perusahaan yang informasinya kurang menguntungkan (X=1)adalah nol
menghasilkan dividen yang optimal berikut ini
D(X) = 1/ τp max (I-C + L, 0) Ln X - - - - - - - - - (12.26)
Sebagaimana yang dapat dilihat pada pers (12.26), dividen yang optimal meningkat
presnt value-nya yang dihitung dari cash flow dan permintaan likuiditas pesaham dan
menurunnya personal tax rate dan suplai cash. John dan Williams juga menunjukkan
bahwa harga saham di pasar aalah nilai bersih perusahaan dikurangi biaya pemberian
sinyal, yaitu sebesar
P[D(X)]= C + X – I - τp D(X) - - - - - - - (12.27)
dan dampak penambahan dividen yang diumumkan adalah
δP/δD = τp [P[D(X)] + τp D(X) – L]/(I-C+L) - - - - - - - -(12.28)
Pertambahan dividen tsb menyebabkan naiknya harga saham.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
23
Bukti empirik dari hubungan antara perobahan dividen dengan nilai saham dan
perobahan laba mendukung peran dari pemberian sinyal dari pembagian dividen.
Secara khusus, sudah dilaporkan bahwa dengan adanya pengumuman peningkatan
dividen diasosiasikan dengan kenaikan harga dan sebaliknya meamang benar jika
terjadi penurunan dividen. Selain itu sudah diperlihatkan bahwa pengumuman
adanya upaya untuk membagikan dividen diasosiasikan dengan kenaikan harga
saham. Akhirnya, dengan mengikuti pengumuman tentang besarnya laba dua
tahun setelah kenaikan dividen dibagikan, kajian-kajian menunjukkan terdapat
kenyataan tidak teduga adanya perobahan-perobahan atas laba yang positif. Lihat
juga Ch.16.
**SIGNALING AND THE ISSUE-INVEST DECISION. Myers dan Majluf (1984) mencoba
dengan model dari tiga tanggal yaitu t=-1,t=0, dan t=1) dari sebuah perusahaan
yang memiliki aset-aset dan sebuah investasi yang menguntungkan. Pada saat t=-1,
pasar mempunyai informasi yang sama mengenai aset-aset yang digunakan dalam
proyek dan mengenai proyek itu sendiri, sama dengan yang diketahui oleh
manajemen perusahaan. Secara khusus, bahkan baik pasar maupun manajemen,
mengetahui besarnya distribusi nilai aset-aset dimasa yang akan datang (Ã) dan
besarnya net present value (NPV) dari proyek (B̃ ). Saat t=0, manajemen mendapat
tambahan informasi mengenai nilai dari aset-aset yang digunakan dan NPV proyek.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
24
Secara khusus, mereka mengobservasi besarnya realisasi dari à yaitu =a dan B̃ (=b).
Pasar, baru memperoleh informasi tsb saat t=+1. Proyek tsb membutuhkan investasi
sebesar I dan dapat didanai dengan menjual saham baru., menjual marketable
securities (short term assets of the company), dan atau melikuidasi apa yang bisa
untuk mendapatkan dana tunai. Total dana yang dapat dikumpulkan dari dua
alternatif terakhir tadi adalah S dan dunyatakan demikian sebagai singkatan dari
financial slack. Besarnya slack yang tersedia diketahui pasar saat t=0. Lebih jauh
diasumsikan bahwa investasi yang dibutuhkan lebih besar dari financial slack yang
tersedia sehingga S < I. Karena itu untuk merealisasi proyek dibutuhkan tambahan
dana berupa ekuitas yang harus dijual sebanyak E, (=I-S). Saat t=0. Diasumsikan bahwa
manajemen bekerja jujur (tidak ada agency cost) dimana pesaham mempunyai saat
t=0 dengan memaksimumkan nilai saham milik pesaham lama tetapi tidak terlepas
(conditional) dari kondisi dimana ada masalah penjualan saham untuk melakukan
investasi, dan pengetahuan mereka mengeani besarnya a dan b, jadi yang dilakukan
manajemen adalah memaksimumkan oldV0 = V(a,b,E). Mengingat pasar tidak tahu
beswrnya a dan b, saat t=0, nilai saham mereka dipasar tidak akan sama dengan oldV0 .
Jika manajemen tidak mau menjual saham baru, maka proyek dilewatkan saja dan
nilai dari saham dari pemilik lama adalah
oldV
0
= S + a - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - -(12.29)
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
25
Sebaliknya jika proyek akan dilaksanakan dan saham baru dijual, maka nilai pasar dari
saham pemilik yang lama seharusnya adalah
oldV
0
= [P’/(P’ + E) ] (E + S + a + b) - - - - - - - - - - - - -- - -- (12.30)
Dimana
P’ adalah harga pasar dari saham yang dimiliki pemilik lama jika saham baru dijual.
Pesaham lama tidak akan menjadi lebih jelek kekayaannya karena dalam hal ini
[P’/(P’+E)] (E+S+a+b) ≥ S + a - - - - - - - - - - - - - (12.31)
Atau ketika [P’/(P’+E)] (E+b) ≥ [E/(P’+E)] (S+a), atau
(E+b) ≥ (E/P’) (S+a) - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - - (12.32)
Berdasar rumus tsb diatas, tampak bahwa manajemen harus menjual saham baru
dan menginvestasikan dengan nilai a dan b dikombinasikan sedemikian sehingga gain
yang diperoleh oleh pesaham lama dari investasi yang dilakukan manajemen tidak
kurang dari bagian dana yang tidak diinvestasikan yang justru menjadi milik pesaham
baru.(dengan catatan harga P’ diperoleh dai P’=S+E(Ã|jual saham dan diinvestasikan)
+ E(B̃ |jual saham dan diinvestasikan) .
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
26
Secara khusus semakin rendah nilai a namun semakin tinggi nilai b, maka
semakin ada kecenderungan perusahaan harus melakukan investasi. Kondisi
tsb juga menyiratkan bahwa dengan adanya kepastian, suatu perusahaan
boleh menyerah tidak menginvestasikan dananya pada proyek yang bagus
dengan tidak menjual lagi saham-sahamnya untuk mendaptkan dana yang
dibutuhkan. Hal tsb mnenyebabkan kerugian atas nilai saham, sebesar
L=P(tidak menjual saham dan melakukan investasi) E (B̃ |tidak menjual saham
dan melakukan investasi). Kerugian tsb akan menurun dengan slack S dan
meningkat dengan dengan kebutuhan dana untuk investasi yang dibutuhkan
(I) dan besarnya ekuitas yang harus dijual untuk mendapatkan dana investasi
(E).
Jika seluruh investor dan manajer mengetahui besarnya a maka saham akan
selalu dijual bilamana dipenuhi syarat bahwa b≥ 0. Jika a diketahui, maka
harga saham adalah P’=S = A + E(B̃ |menjual saham dan melakukan investasi)
> 0, yang berarti P’> S + A atau [(S+a)/P’] < 1 atau [E/P] (S+a) < E. Jika b≥ 0,
maka (E+b) > E. Menggabungkan kedua ketidak samaan diperoleh (E/P) (S+a)
<E<(E+b). Persamaan 12.32. selalu berlaku jika a diketahui oleh seluruh
investor dan b≥ 0. Karena itu, perusahaan akan selalu menjual saham
barunya dn menginvestasikannya jika proyeknya mempunyai NPV yang tidak
negatif.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
27
Saat perusahaan tidak mempunyai peluang untuk investasi, model tsb menyarakan
agar perusahaan menjual sahamnya dan menginvestasikannya hanya jika situasi
usahanya jelek saja. Kita dapat buktikan, bahwa jika a mempunyai batas bawah
sebesar amin dan pasar tahu bahwa a tidak mungkin turun dibawah amin . Artinya,
harga saham pemilik yang lama tidak akan kurang dari S + amin . Misalkan P’= S + amin
+ є. Substitusikan P’ tsb ke persamaan 12.32, maka tampak bahwa perusahaan
menjual sahamnya hanya jika ratio berikut kurang dari 1,
[(S+a)/(S+ amin +є ) ] < 1
Atau jika a< amin +є . Artinya, E(Ã|menjual saham dan melakukan investasi), yang
berarti kontradiksi dengan definisi dari harga saham. Karena itu jika perusahaan
tidak mempunyai kesempatan berinvestasi, P’=S + amin . Substitusikan pernyataan
dari P’ tsb dlam kondisi sebaimana ditetapkan dalam pers 12.32, tersirat bahwa
perusahaan akan menjual sahamnya hanya jika (S+a)/(S+ amin ) ≤ 1 - - - - - (12.34)
Persamaan 12.34 tsb berlaku hanya jika a= amin . Dengan demikian, saat tidak ada
peluang untuk investasi, perusahaan menjual sahamnya hanya jika nilai aset yang
digunakan berada dalam batas bawah.
Dalam modelnya Myaers- Majluf, keputusan untuk menjual saham baru selalu
menurunkan harga saham kecuali secara pasti (jelas) perusahaan akan menjual
saham baru. Untuk memahami hal tsb kita lihat pers. 12.32.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
28
Perusahaan akan memilih untuk tidak menjual saham baru saat muncul kombinasi nilainilai a dan b sehingga memenuhi syarat berikut.
(E+b) < (E/P’) (S + a) atau a> P’(1+ b/E) – S - - - - - - - - - - - - - - - -(12.35)
Mengingat (b/E ) ≥ 0, perusahaan sebaiknya memilih unytuk tidak menjual saham baru
sepanjang a> (P’-S) atau P’< (S+a). Jika perusahaan tidak mau menjual saham baru,
harga saham yang ditentukan oleh P=(S+E(Ã|tidak menjual saham dan melakukan
investasi) ≥ (S+a) > P’. Karena itu, harga saham harus jatuh saat perusahaan memilih
untuk menjual saham baru dan melakukan investasi. Secara intuisi, hasil tsb mengikuti
kenyataan bahwa keputusan menjual saham memberikan sinyal kepada pasar bahwa
realisasi dari harga à adalah sedemikian sehingga nilai aset-aset yang digunakan berada
dalam suatu batas dimana nilai a relatif rendah.
Mempertimbangkan kemungkinan penggunaan debt pada kondisi ekuilibrium,
umpamakan perusahaan dapat memenuhi kebutuhan dananya dengan debt atau
ekuitas, dan bahwa kebijakan pendanaan diumumkan saat t=-1 dan dilanjutkan ke t=0.
Misalkan perusahaan memilih menjual saham. Nilai perusahan dengan menjual saham
adalah sahamlama Vmenjual saham, = a+b+I-E1 , dimana E1 merupakan nilai dari saham-saham
baru saat t=1. Mengingat I=S+E, berarti
sahamlama V
saham lamaV
menjual saham, = S + a+ b _ (E1 - E ) = S + a + b - ΔE =
tidak menjual saham + b ΔE .
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
29
Mengingat perusahaan akan memilih menjual saham jika
sahamlama V
saham lamaV
menjual saham, ≥
tidak menjual saham , berarti keputusan yang harus
dilakukan adalah menjual saham dan melakukan investasi, maka NPV proyek tidak harus
lebih rendah dari gain yang diperoleh kepada pesaham baru, yaitu dimana b≥ Δ E.
Sebaliknya, jika perusahaan melakukan pinjaman untuk mendanai proyeknya, dengan
logika yang sama hasilnya adalah konklusi bahwa perusahaan seharusnya menggunakan
pinjaman dan melakukan investasi sejauh NPV proyek tidak negatif, yaitu saat b≥ Δ D. Jika
pinjamannya risk free, kemudian ΔD=0 dan perusahaan meminjam dengan risk free rate
kemudian menginvestasikannya jika NPV proyek tidak negatif, yaitu dimana b≥ 0. Jika
pinjamannya berrisiko, kemudian ΔD ≠ 0 melainkan | ΔD| < | ΔE |. Hal tsb berarti bahwa
jika perusahaan memilih menjual saham baru maka juga bermaksud akan (kenyataannya
lebih disenangi) melakukan pinjaman. Dapat ditambahkan ketika ΔD <b<ΔE, perusahaan
sebaiknya melakukan pinjaman bukannya menjual saham baru. Hal tsb menyiratkan
adanya saran seharusnya mengikuti pecking order dalam hal pendanaan proyek- yaitu
menggunakan dana internal dahulu kemudian diikuti dengan pinjaman yang risk free,
kemudian pinjaman yang berrisiko, dan selanjutnya ekuitas. Pecking order tsb dapat
dibaca di Ch 15.
Krasker (1986) memperluas apa yang sudah dilakukan oleh Myers dan Majluf dengan
modelnya supaya perusahaan memilih besarnya investasi barunya dan banyaknya ekuitas
yang akan dijual. Dapat ditambahkan bahwa mereka mendapatkan hasil yang sama
dengan Myers dan Majluf, mereka juga memperlihatkan bahwa semakin besar ekuitas
baru yang dijual, semakin jelek sinyal ditangkap pasar.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
30
Cooney dan Kalay (1993) juga memperluas pekerjaan Myers dan Majluf agar proyek
dengan NPV negatif dapat dianalisa. Dengan menggunakan struktur yang sama dengan
Myers dan Majluf, mereka menyatakan bahwa nilai dari saham yang dimiliki pesaham
lama jika perusahaan menjual saham baru dan menginvestasikannya dapat lebih besar
atau lebih kecil dari nilai yang pernah diumumkan ke pasar. Sebagai hasil dari
keputusan untuk menjual saham baru tidak selalu mendapatkan hasil berupa turunnya
harga saham. Khususnya jika nilai yang diumumkan diawal pengumuman mengenai
nilai saham lama adalah bobot tertimbang dari nilai perusahaan jika perusahaan
menjual saham dan investasi dan nilai jika perusahaan tidak menjual sahamnya,
dimana bobotnya adalah probabilita dari menjual saham dan tidak menjual saham,
berturut-turut, selanjutnya pengumuman untuk menjual saham akan diasosiasikan
dengan kenaikan harga jika dan hanya jika nilai perusahaan menjual sahamnya lebih
besar dari nilsai jika perusahaan tidak menjual sahamnya. Jika perusahaan dibatasi
pada NPV proyek yang positif saja, hal tsb tidak akan selalu benar. Sebaliknya, jika
perusahaan mempunyai pilihan antara proyek yang NPV-nya positif dengan yang NPV
nya negatif, maka oleh Cooney dan Kalay ditunjukkan bahwa ada kombinasi dari nilai a
dan b untuk nilai dari perusahaan yang menjual sahamnya adalah lebih besar
dibandingkan dengan nilai dari peusahaan yang tidak menjual sahamnya dan
pengumumanmengani penjualan saham baru akan diasosiasikan dengan kenaikan
harga saham.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
31
Stein (1992) menggunakan adaptasi dari Myers dan Majluf untuk menguji peranan
convertible bond dalam tatanan pecking order theory suatu capital structure.
Modelnya menggunakan tiga tanggal yaitu t=0, t=1, dan t=2) dengan tiga jenis
perusahaan (bagus, medium, dan jelek). Setiap perusahaan mempunyai kesempatan
mengambil proyek dengn nilai investasi saat t=0 sebesar I dan mengharapkan NPVnya sebesar B. Discount rate diasumsikan nol dan seluruh agent mempunyai
kecenderungan terhadap risiko netral, dana untuk investasi yang dibutuhkan harus
diperoleh dari sumber di luar perusahaan, dan perusahaan lengkap dimiliki oleh para
manajernya sebelum masuknya dana segar dari luar.
Setiap perusahaan menerima cash flow dari hasil investasinya jika tidak bL atau bH
saat t=2 (bL < I < bH ). Perusahaan tsb berbeda dalam hal ex ante probability dalam
hal menerima bH , dengan perusahaan yang bagus menerima bH dengan pasti,
perusahaan yang medium menerima
bH dengan probabilita p, sedangkan
perusahaan yang jelek menerima bH dengan probabilita q (q<p<1). Pada t=0 semua
jenis perusahaan memberikan informasi sendiri-sendiri (Firm types are private
information at time 0,) dan nilai sebenarnya dari perusahaan yang jelek pada saat t=0
dan t=1, bersifat volatail (bergejolak). Pada saat t=1, bagaimana sesungguhnya jenis
perusahaan yang ada, diketahui, dan perusahaan yang jelek, besarnya probabiliti q
diperbaiki dengan 0 atau p. Besarnya kemungkinan terjadi kekisruhan informasi
dianggap sebesar z dan untuk tujuan adanya konsistensi nilai probabiliti q=(1-z)p.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
32
Pada saat t=0, perusahaan mempunyai 3 alternatif pendanaan- debt semua yang
maturitinya di t=2, convertible debt yang maturiti pada t=2 tetapi dapat dibeli kembali
(can be called) untuk memaksa dilakukan konversi (perobahan status debt) saat t=1
dengan ratio konversi yang sudah ditetapkan terlebih dahulu, dan alternatif ketiganya
adalah ekuitas. Pendanaan dengan debt diasosiasikan dengan biaya karena kesulitan
keuangan yang sangat mahal dimana biaya yang sulit dihindari sebesar c diderita oleh
pemilik yang sekaligus manajer perusahaan.
Stein menunjukkan bahwa jika biaya-biaya yang timbul akibat kesulitan keuangan
sedemikian sehingga c > (I-bL ), selanjutnya terjadi ekuilibrium sendiri-sendiri diantara
jenis perusahaan tsb, dengan perusahaan yang bagus menjual debt dengan face value I,
sedangkan perusahaan jelek menjual debt dengan perbanding berikut ini
I/(qbH + (1-q) bL) terhadap ekuitasnya, sementara perusahaan yang kinerjanya medium,
menjual convertible bonds dengan face value F> bL, call dengan harga per lembarnya K
dimana nilai K adalah bL < K < I, dan yang dapat dikonversikan dengan ekuitas sebanyak
I/{(pbH + (1-p)bL}. Agar tercapai ekulibrium sendiri-sendiri, maka perusahaan dengan jenis
yang berbeda-beda itu seharusnya tidak saling meniru (mengikuti) apa yang dilakukan
oleh perusahaan dari jenis yang berbeda. Misalnya, perusahaan yang jelek menjual
convertible bond. Melakukan tindakan tsb karena ada kemungkinan sebesar z bahwa
perusahaan akan mendistorsi dan akan, tidak dapat memaksa untuk melakukan konversi
di saat t=1. Hal tsb dilandasi kenyataan bahwa jika perusahaan mendistorsi, nilai konversi
atas bond tsb adalah IbL/{pbH + (1-p)bL} yang bernilai dibawah nilai call K.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
33
Mengingat cash flow yang dimiliki perusahaan jelek yang mendistorsi sinyal adalah bL
dengan probability 1 dan cash flow tsb lebih rendah nilainya dari nilai face value dari
debt (F), maka perusahaan yang jelek tsb terpaksa mengalami kesulitan keuangan di
saat t=2 dengan probabilita sebesar z, dan ekspektasi biaya akibat kesulitan keuangan
sebesar zc. Sebaliknya, jika perusahaan jelek menjual saham dengan harga yang lebih
mahal dari harga seharusnya sesuai dengan kinerja yang jelek, saat t=0 dan
mendapatkan gain dari menjual saham dengan harga yang lebih mahal itu. Secara
khusus perusahaan jelek memperoleh I dengan menjual sekuritas tsb yang dapat
menjadi debt seluruhnya dengan probabiliti sebesar z dan dapat menjadi ekuitas
dengan probabiliti sebesar (1-z). Payoff dari sekuritas akan sebesar bL dan I berturutturut. Berarti ekspektasi payoff-nya adalah zbL + (1-z) I dan dari penjualan saham yang
lebih mahal dari seharusnya adalah z(I-bL)[=I-(zbL+(1-z)I)]. Penjualan saham yang lebih
mahal tsb lebih rendah dari ekspektasi biaya akibat kesulitan keuangan yaitu sebesar
z(I-bL) < zc, mengingat telah diasumsikan bahwa
c > (I-bL). Dengan demikian
perusahaan yang jelek tidak akan meniru aksi korporasi perusahaan dengan kinerja
medium. Dengan argumen yang sama dapat ditunjukkan bahwa perusahaan jelek tidak
akan meniru aksi korporasi yang dilakukan oleh perusahaan berkinerja bagus dengan
menjual obligasi, perusahaan medium tidak akan meniru aksi korporasi oleh
perusahaan bagus dan jelek, dan tidak ada alasan bagi perusahaan bagus untuk
menyimpang dari kebijakan untuk menjual obligasi/ Jadi, penjualan convertible debt
dapat membuat perusahaan medium mendapatkan ekuitas ke capital structure-nya saat
menyampaikan sinyal tsb ke pasar berupa berita bagus.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
34
Hipotesa adanya pecking order menduga bahwa dengan membuat besarnya investasi
tidak berobah, melakukan pinjaman (leverage) seharusnya menurun dengan probabilita
mengingat semakin menguntungkan suatu perusahan semakin perusahaan tsb
mempunyai akses ke dana internalnya. Sama juga, leverage seharusnya meningkat dengan
besarnya investasi, untuk mendapatkan profitabiltas yang konstan. Konsisten dengan
hipotesa pecking order, sejumlah kajian empirik menemukan adanya hubungan negatif
antara leverage dengan profiytabilitas. Dapat ditambahkan, Fama dan French (2002)
menemukan bahwa adanya variasi –variasi jangka pendek dalam investasi diserap oleh
perobahan-perobahan dari debt, temuan tsb konsisten dengan hipotesa pecking order.
Sebaliknya, mereka berdua juga melaporkan bahwa perusahaan dengan investasi yang
lebih besar menggunakan sedikit leverage. Minton dan Wruck (2002) menemukan
sekelompok perusahaan yang didanai dengan cara yang konservatif bahwa mereka tidak
menghabiskan seluruh dana internalnya sebelum mereka mendapatkan dana eksternal.
Lemmon dan Zender (2002) menemukan sampel dari perusahaan-perusahaan yang
mendapatkan gain dari penggunaan debt, bahwa mereka tidak kurang mempunyai
kecenderungan untuk menjual ekuitasnya ketika mereka membutuhkan dana dari luar.
Hasil yang didapat tidak konsisten dengan hipotesa pecking order.
Baca sendiri COSTLY SIGNALING AND STOCK SPLITS, Costless Signaling (Cheap
Talk),COSTLESS SIGNALING WITH STOCK SPLITS, COSTLESS SIGNALING WITH DEBT AND
EQUITY. .
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
35
3. Kesimpulan dari teori pemberian sinyal
Tidak mungkin meniadakan asimetri informasi antara “orang dalam” dengan
investor yang berada diluar perusahaan. Sinyal yang disampaikan, dapat mahal
(misalnya besarnya ekuitas yang ditahan oleh manajemen perusahaan,
penjualan debt yang digunakan untuk pendanaan, besarnya dividen yang
diumumkan untuk dibagikan, jenis-jenis pendanaan untuk investasi, dan
keputusan untuk aksi korporasi men-split saham) dan dapat murah sekali
(misalnya stock split, banyaknya saham yang dijual atau yang akan dibeli kembali
(repurchased) dan jenis debt yang dijual dan yang akan dibeli kembali. Apapun
pilihan dari mekanisme sinyal yang dipilih, ekuilibrium yang dicapai dari
pemberian sinyal dapat saja secara sendiri-sendiri dimana perusahaan yang
kinerjanya bagus tidak dapat ditiru oleh perusahaan lain yang kinerjanya lebih
jelek, atau ekuilibriumnya bersama-sama dimana investor yang berada di luar
perusahaan tidak dapat membedakan kinerja yang terlibat pemberian sinyal
yang sama.
KRESNOHADI ARIYOTO KARNEN
36
Download