BAB III DASAR TEORI BATUBARA III.1 Genesa Batubara Batubara adalah batuan sedimen ( padatan ) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan yang terhumifikasi, berwarna coklat sampai hitam yang selanjutnya terkena proses fisika dan kimia yang berlangsung selama jutaan tahun sehingga mengakibatkan pengkayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984 dalam Anggayana 2002). Untuk menjadi batubara, ada beberapa tahapan penting yang harus dilewati oleh bahan dasar pembentuknya (tumbuhan). Tahapan penting tersebut yaitu : tahap pertama adalah terbentuknya gambut (peatification) yang merupakan proses mikrobial dan perubahan kimia (biochemical coalification). Serta tahap berikutnya adalah proses-proses yang terdiri dari perubahan struktur kimia dan fisika pada endapan pembentuk batubara (geochemical coalification) karena pengaruh suhu, tekanan dan waktu. III.1.1 Penggambutan (Peatification) Gambut merupakan batuan sedimen organik ( tidak padat ) yang dapat terbakar dan berasal dari sisa – sisa hancuran atau bagian tumbuhan yang tumbang dan mati di permukaan tanah, pada umumnya akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga setelah beberapa waktu kemudian tidak terlihat lagi bentuk asalnya. Pembusukan dan penghancuran tersebut pada dasarnya merupakan proses oksidasi yang disebabkan oleh adanya oksigen dan aktivitas bakteri atau jasad renik lainnya. Jika tumbuhan tumbang di suatu rawa, yang dicirikan dengan kandungan oksigen yang sangat rendah sehingga tidak memungkinkan bakteri aerob (bakteri yang memerlukan oksigen) hidup, maka sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami proses pembusukan dan penghancuran yang sempurna sehingga tidak akan terjadi proses oksidasi yang sempurna. Pada kondisi Bab III 23 tersebut hanya bakteri-bakteri anaerob saja yang berfungsi melakukan proses dekomposisi yang kemudian membentuk gambut (peat). Daerah yang ideal untuk pembentukan gambut misalnya rawa, delta sungai, danau dangkal atau daerah dalam kondisi tertutup udara. Gambut bersifat porous, tidak padat dan umumnya masih memperlihatkan struktur tumbuhan asli, kandungan airnya lebih besar dari 75 % (berat) dan komposisi mineralnya kurang dari 50% (dalam keadaan kering). Menurut Bend,1992 dalam C.F.K Diessel (1992), untuk dapat terbentuknya gambut, beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu : 1. Evolusi tumbuhan 2. Iklim 3. Geografi dan tektonik daerah Syarat untuk terbentuknya formasi batubara antara lain adalah kenaikan muka air tanah lambat, perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan energi relief rendah. Jika muka air tanah terlalu cepat naik (atau penurunan dasar rawa cepat) maka kondisi akan menjadi limnic atau bahkan akan terjadi endapan marin. Sebaliknya kalau terlalu lambat, maka sisa tumbuhan yang terendapkan akan teroksidasi dan tererosi. Terjadinya kesetimbangan antara penurunan cekungan / land-subsidence dan kecepatan penumpukan sisa tumbuhan (kesetimbangan bioteknik) yang stabil akan menghasilkan gambut yang tebal (C.F.K Diessel, 1992). Lingkungan tempat terbentuknya rawa gambut umumnya merupakan tempat yang mengalami depresi lambat dengan sedikit sekali atau bahkan tidak ada penambahan material dari luar. Pada kondisi tersebut muka air tanah terus mengikuti perkembangan akumulasi gambut dan mempertahankan tingkat kejenuhannya. Kejenuhan tersebut dapat mencapai 90 % dan kandungan air menurun drastis hingga 60 % pada saat terbentuknya brown-coal. Sebagian besar lingkungan yang memenuhi kondisi tersebut merupakan topogenic low moor. Hanya pada beberapa Bab III 24 tempat yang mempunyai curah hujan sangat tinggi dapat terbentuk rawa gambut ombrogenik (high moor) (C.F.K Diessel, 1992). III.1.2 Pembatubaraan (Coalification) Proses pembatubaraan adalah perkembangan gambut menjadi lignit, subbituminous, bituminous, antrasit sampai meta-antrasit. Proses pembentukan gambut dapat berhenti karena beberapa proses alam seperti misalnya karena penurunan dasar cekungan dalam waktu yang singkat. Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, maka tidak ada lagi bahan anaerob, atau oksigen yang dapat mengoksidasi, maka lapisan gambut akan mengalami tekanan dari lapisan sedimen. Tekanan terhadap lapisan gambut akan meningkat dengan bertambah tebalnya lapisan sedimen. Tekanan yang bertambah besar pada proses pembatubaraan akan mengakibatkan menurunnya porositas dan meningkatnya anisotropi. Porositas dapat dilihat dari kandungan airnya yang menurun secara cepat selama proses perubahan gambut menjadi brown coal. Hal ini memberi indikasi bahwa masih terjadi proses kompaksi. Proses pembatubaraan terutama dikontrol oleh kenaikan temperatur, tekanan dan waktu. Pengaruh temperatur dan tekanan dipercayai sebagai faktor yang sangat dominan, karena sering ditemukan lapisan batubara high-rank (antrasit) yang berdekatan dengan intrusi batuan beku sehingga terjadi kontak metamorfisme. Kenaikan peringkat batubara juga dapat disebabkan karena bertambahnya kedalaman. Sementara bila tekanan makin tinggi, maka proses pembatubaraan makin cepat, terutama di daerah lipatan dan patahan. Bab III 25 Tabel III. 1 Klasifikasi tingkat pembatubaraan (Modifikasi dari M.Teichmüller and R. Teichmüller dalam E.Stach et al., 1982) III.2 Fasies batubara Fasies batubara dapat diekspresikan melalui komposisi maseral dan kandungan mineral, komposisi kimia (kandungan S,N dan rasio H/C vitrinite) serta sifat tekstur (Taylor G.H and Teichmüller, 1993) Bab III 26 Faktor-faktor yang mempengaruhi karakteristik fasies batubara antara lain: 1. Tipe pengendapan Tipe pengendapan dibedakan atas autochtonous dan allochtonous. Batubara autochtonous berkembang dari tumbuhan yang ketika tumbang akan membentuk gambut di tempat dimana tumbuhan itu pernah hidup tanpa adanya proses transportasi yang berarti. Batubara allochtonous terendapkan secara detrital dimana sisa-sisa tumbuhan hancur dan tertransportasi kemudian terendapkan di tempat lain. Batubara allochtonous akan lebih banyak mengandung mineral oleh karena penambahan material-material lain selama transportasi. 2. Rumpun tumbuhan pembentuk Berdasar rumpun tumbuhan pembentuk dikenal empat macam tipe rawa yaitu: Daerah air terbuka dengan tumbuhan air Rawa ilalang terbuka Rawa hutan Rawa lumut Gambar III.1 Urutan tipe rawa gambut yang berkembang pada lingkungan lacustrine (Taylor G.H et.al.,1998) Urutan tipe rawa di atas terutama terdapat pada gambut di lingkungan lacustrine (danau) terutama pada daerah iklim sedang – lembab. Bab III 27 Menurut Martini dan Glooschenko (1984) dalam C.F.K Diessel (1992), rawa gambut dapat dibedakan menjadi 4 (empat) jenis berdasarkan jenis tumbuhan pembentuk, yaitu : a) Bog, yaitu lokasi rawa yang banyak ditumbuhi oleh tanaman lumut atau tanaman merambat yang miskin kandungan makanan (Damman & French, 1987). b) Fen, yaitu lokasi rawa yang kaya akan tumbuhan perdu dan beberapa jenis pohon lainnya. Umumnya terletak pada lingkungan ombrogenik yaitu transisi antara daerah yang melimpah akan kandungan air dengan daerah yang terkadang kering. c) Marsh, yaitu lokasi rawa yang didominasi oleh tumbuhan perdu atau tanaman merambat yang sering terdapat di sekitar pinggir danau atau laut. d) Swamp, yaitu daerah basah pada iklim tropis hingga dingin yang didominasi oleh tumbuhan berkayu. 3. Lingkungan pengendapan Pembentukan batubara tidak dapat dipisahkan dengan kondisi lingkungan dan geologi di sekitarnya. Distribusi lateral, ketebalan, komposisi dan kualitas batubara banyak dipengaruhi oleh lingkungan pengendapannya. Lingkungan pengendapan telmatis (terestrial) akan menghasilkan gambut yang tidak terganggu dan tumbuh secara insitu. Batubara yang terendapkan pada lingkungan telmatis dan limnik (subaquatik) sulit untuk dibedakan karena pada rawa hutan (forest swamp) biasanya ada bagian yang berada di bawah air. Batubara yang terendapkan pada lingkungan payau atau marine dicirikan oleh tingginya kandungan abu, sulfur, N, dan mengandung fosil laut. Bakteri sulfur mempunyai peran yang khusus dalam gambut dan lumpur organik yaitu mengurangi sulfat menjadi sulfur sehingga memungkinkan terbentuknya pirit/markasit. Bab III 28 4. Persediaan bahan makanan Rawa eutrophic, mesotrophic, dan oligotrophic dibedakan dari banyak sedikitnya bahan makanan yang bisa digunakan. Low moor biasanya eutrophic (kaya nutrisi) karena menerima air dari air tanah yang banyak mengandung makanan terlarut. High moor bersifat oligotrophic (miskin nutrisi) karena sirkulasi hanya mengandalkan air hujan. Gambut pada pada high moor secara umum mengandung sisa-sisa tumbuhan yang terawetkan dengan baik. Di bawah kondisi hidrologi yang seragam maka tumbuhan rawa eutrophic banyak spesiesnya. Oligotrophic di daerah iklim sedang pada umumnya berupa sphagnum sedangkan untuk daerah tropis bisa ditumbuhi oleh hutan kayu tetapi tidak banyak spesiesnya karena rawa jenis ini akan asam (pH 3,5 – 4) dan kandungan mineralnya sangat rendah. 5. PH, aktivitas bakteri, dan sulfur Keasaman gambut sangat mempengaruhi keberadaan bakteri sehingga dengan demikian akan sangat mempengaruhi proses dekomposisi struktur dan kimia dari sisa tumbuhan. Disamping tipe batuan dasar dan air yang mengalir masuk ke rawa maka keasaman rawa tergantung pada rumpun tumbuhan yang ada, suplai O2, dan konsentrasi asam humik yang sudah terbentuk. Bakteri hidup dengan baik pada kondisi netral (pH 7 – 7,5), jika makin asam maka bakteri akan makin sedikit dan struktur kayu akan terawetkan dengan lebih baik. Bakteri sulfur mempunyai peran khusus pada gambut (lumpur organik) untuk membentuk pirit atau markasit syngenetik dengan adanya sulfat dalam gambut tersebut. 6. Temperatur gambut Temperatur permukaan gambut memegang peran yang sangat penting untuk proses dekomposisi primer. Pada iklim yang hangat dan basah, bakteri hidup dengan baik sehingga proses kimia bisa berjalan baik. Bab III 29 Selanjutnya berdasarkan lingkungan sedimenternya, C.F.K Diessel (1992) membagi tempat terakumulasinya rawa gambut menjadi 4 (empat) bagian, yaitu : 1. Braid Plain Merupakan dataran aluvial yang terdapat diantara pegunungan, dimana terendapkan sedimen berukuran kasar (>2 mm). Batubara yang terbentuk pada daerah ini merupakan hasil diagenesa gambut ombrogenik yang mempunyai penyebaran lateral terbatas dengan ketebalan rata-rata 1,5 meter. Kandungan abu, sulfur total dan vitrinitenya umumnya rendah, sementara pada daerah tropis kandungan vitrinite umumnya tinggi. Pada bagian tengah lahan gambut umumnya kaya akan maseral inertinite (28%) karena suplai nutrisi yang terbatas. Kandungan inertinite (khususnya semifusinite) yang besar menyebabkan nilai TPI (Tissue Preservation Index) nya relatif tinggi yang sekaligus dapat menunjukkan bahwa tumbuhan asalnya didominasi bahan kayu. Sementara oleh itu nilai GI (Gelification Index) yang rendah dan warna batubara yang buram dapat menunjukkan bahwa secara periodik permukaan gambut mengalami kekeringan dan proses oksidasi. Kandungan abu yang kadang ditemukan cukup tinggi (±20%), kemungkinan dapat berasal dari banjir musiman dan keluarnya air tanah ke permukaan. 2. Alluvial Valley and Upper Delta Plain Kedua lingkungan ini sulit dibedakan karena adanya kesamaan litofasies dan sifat batubara yang terbentuk sehingga pembahasannya dapat disatukan. Lingkungan ini merupakan transisi dari lembah dan dataran aluvial dengan dataran delta, umumnya melalui sungai berstadium dewasa yang memiliki banyak meander. Lapisan batubara umumnya memiliki ketebalan bervariasi dan endapan sedimennya terutama terdiri atas perselingan batupasir dan lanau / lempung. Bab III 30 Gambut dapat terakumulasi pada berbagai morfologi seperti pada rawa, dataran dan cekungan banjir, bagian luar saluran sungai dan lain-lain. Permukaan gambut cenderung selalu basah dan jarang mengalami periode kemarau sehingga menghasilkan endapan batubara yang mengkilap dengan nilai TPI dan GI relatif tinggi serta didominasi oleh maseral telovitrinite/ humotellinite dan secara kualitas memiliki kandungan abu dan sulfur yang rendah dibanding batubara pada lingkungan lainnya. 3. Lower Delta Plain Lingkungan ini dibedakan dengan upper delta plain dari tingkat pengaruh pasang air laut terhadap sedimentasi, dimana batas antara keduanya adalah pada daerah batas tertinggi dari air pasang. Endapan sedimen pada lower delta plain terutama terdiri dari batulanau, batulempung dan serpih yang diselingi oleh batupasir halus. Pada saat pasang naik, air laut akan membawa nutrisi ke dalam rawa gambut sehingga memungkinkan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, namun di sisi lain dengan naiknya batas pasang maka akan terendapkan sedimen klastik halus yang akan menjadi pengotor dalam batubara. Di samping itu pengaruh laut akan meningkatkan kandungan pirit dalam batubara yang terbentuk dari reduksi sulfat yang terdapat dalam air laut. Menurut Horne and Ferm (1987), batubara yang terendapkan dalam lingkungan ini memiliki penyebaran luas tetapi ketebalan relatif tipis. Batubaranya memiliki kandungan inertinite yang rendah dengan nilai GI yang tinggi. Kandungan vitrinite / huminite nya terutama didominasi oleh detrovitrinite / humotellinite sehingga nilai TPI nya relatif rendah. Hal ini menunjukkan tingginya proporsi tumbuhan dengan jaringan lunak (soft-tissued plant) dan biodegradasi pada kondisi pH yang relatif tinggi. 4. Barrier Beach Pada lingkungan ini, morfologi garis pantai dikontrol oleh rasio suplai sedimen dengan energi pantai, yaitu gelombang pasang dan arus. Jika nilai Bab III 31 rasio tinggi maka akan terbentuk delta, namun jika nilai rasio rendah maka sedimentasi akan terdistribusi di sepanjang pantai. Rawa gambut pada barrier beach memiliki permukaan yang relatif lebih rendah terhadap muka air laut sehingga sering kebanjiran dan ditumbuhi alang-alang. Gambut akan terakumulasi di suatu tempat jika fluktuasi air pasang tidak tinggi sehingga timbunan material gambut tidak berpindah tempat. Dengan demikian rawa gambut pada lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh regresi dan transgresi air laut. 5. Estuari Sedimen yang terbentuk pada lingkungan ini terutama berupa perselingan laminasi batulanau dan batupasir halus. Batubara yang terbentuk umumnya sangat tipis dan tidak menerus. C.F.K Diessel (1992) mengelompokkan berbagai kondisi akumulasi gambut menjadi 5 (lima) kategori bedasarkan penelitian terhadap batubara humik bituminous (Gambar 3.1). Kelima kategori tersebut dibedakan berdasarkan faktor kelembaban, konsentrasi ion hidrogen (pH), suplai makanan dan aktifitas bakteri. Tiga kategori diantaranya adalah tipe topogenic mires (rawa gambut topogenik) yang dibagi atas : high watertable dengan kondisi asam, high watertable dengan kondisi netral serta variable watertable dan dua lainnya adalah rawa gambut ombrogenik yang dibagi atas : continuously wet dan intermittenly dry. Pada kategori high watertable dibedakan menjadi asam dan netral. Perbedaan utama antara kedua kondisi tersebut adalah terletak pada konsentrasi ion hidrogennya, dimana pada kolom 1 yang konsentrasinya rendah merupakan lingkungan air tawar (flood basin) dan kolom 2 yang konsentrasinya lebih tinggi merupakan lingkungan payau atau laut. Kategori variable watertable (kolom 3) adalah lingkungan air tawar namun dengan tinggi muka air tanah berubah – ubah, seperti pada dataran banjir yang terkadang kering pada masa Bab III 32 tertentu. Adanya kecenderungan dalam kondisi tergenang pada ketiga kategori ini menyebabkan suplai makanan tersedia cukup banyak (eurotrophy). Kategori continuously wet dan intermittenly dry merupakan tipe rawa gambut yang tumbuh berkembang karena suplai air yang berasal dari curah hujan yang sangat tinggi (iklim tropis), hanya pada intermittenly dry sering mengalami perubahan musim, termasuk di dalamnya musim kering. Gambut yang terendapkan pada lingkungan bog-ombrotrophic (kolom 4 dan 5) terbentuk dalam kondisi asam dengan suplai makanan yang rendah (oligotrophy). 5 4 3 2-1 1-2 3 4 5 Gambar III.2 Sketsa lingkungan pengendapan dan kondisi akumulasi gambut (C.F.K Diessel, 1992) Bab III 33 III.3 Maseral pada Batubara III.3.1 Klasifikasi Maseral Secara umum batubara terdiri dari 3 (tiga) bagian utama, yaitu : material organik (pure coal), material inorganik dan lengas (moisture). Porsi organik terdiri dari fixed carbon dan volatile organic matter, sedangkan bagian anorganik didominasi oleh mineral matter. Ketiga bagian batubara tersebut sebagian berasal dari unsur – unsur penyusun tumbuhan asalnya yang telah mengalami proses fisika dan kimia sejak pengendapannya serta selebihnya berasal dari sumber luar yang tercampur dalam proses pembatubaraan. Material organik pembentuk batubara disebut maseral dan dapat dianalogikan dengan mineral pada batuan atau bagian terkecil dari batubara yang bisa teramati dengan mikroskop. Maseral – maseral ini dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok utama, yaitu : vitrinite / huminite, liptinite dan inertinite. Pengelompokan maseral ini ditentukan pada kenampakan optis di bawah mikroskop berdasarkan perbedaan morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia, warna pantulan, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraan. Vitrinite / Huminite Kelompok ini berasal dari jenis tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissues) seperti batang, dahan, akar dan serat daun. Vitrinite adalah bahan utama penyusun batubara di Indonesia ( >80%). Dibawah mikroskop, kelompok maseral ini memperlihatkan warna pantul yang lebih terang daripada kelompok liptinite, namun lebih gelap dari kelompok inertinite, berwarna mulai dari abu – abu tua hingga abu – abu terang. Kenampakan di bawah mikroskop tergantung dari tingkat pembatubaraannya, semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka warnanya akan semakin terang. Kelompok vitrinite mengandung unsur hidrogen dan zat terbang yang persentasenya berada diantara inertinite dan liptinite. Bab III 34 Tabel III.2 Klasifikasi maseral pada batubara : Australian Standart (1986) Grup Maseral Sub Grup Maseral Telovitrinite Vitrinite Detrovitrinite Gelovitrinite Tipe Maseral Textinite Texto - Ulminite Eu- Ulminite Telocolinite Atrinite Densinite Desmocolinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Sporinite Cutinite Resinite Suberinite Fluorinite Liptodetrinite Exudatinite Alginite Bituminite Liptinite Teloinertinite Fusinite Semifusinite Sclerotinite Detroinertinite Inertodetrinite Micrinite Geloinertinite Macrinite Inertinite Bab III 35 Liptinite Kelompok ini berasal dari jenis tanaman tingkat rendah seperti spora, ganggang (algae), kutikula, getah tanaman (resin) dan serbuk sari (pollen). Berdasarkan morfologi dan bahan asalnya, kelompok liptinite dibedakan menjadi sporinite (spora dan butiran pollen), cutinite (kutikula), resinite (resin/damar), exudatinite (maseral sekunder yang berasal dari getah maseral liptinite lainnya yang keluar pada proses pembatubaraan), suberinite (kulit kayu / serat gabus), fluorinite (degradasi dari resinite), liptodetrinite (detritus dari maseral liptinite lainnya), alginite (ganggang) dan bituminite (degradasi material algae). Di bawah mikroskop, kelompok liptinite menunjukkan warna kuning muda hingga kuning tua di bawah sinar fluoresence, sedangkan di bawah sinar biasa kelompok ini terlihat berwarna abu-abu sampai gelap. Kelompok ini mempunyai kandungan hidrogen paling banyak di antara maseral lainnya. Inertinite Kelompok inertinite diduga berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar dan sebagian lagi berasal dari hasil proses oksidasi maseral lainnya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur dan bakteri. Kelompok ini mengandung unsur hidrogen paling rendah dan karakteristik utamanya adalah reflektansi yang tinggi diantara dua kelompok lainnya. III.3.2 Maseral dan Lingkungan Pengendapan Batubara Peranan maseral dalam analisis penentuan lingkungan pengendapan batubara dapat didasarkan pada sifat-sifat yang dimilikinya, antara lain : sifat attribute dan sifat skalar. Suatu lapisan batubara mulai dari lapisan dasar (floor) hingga atas (roof) memiliki sifat – sifat tertentu, yang mencerminkan kondisi lingkungan pengendapannya. Sifat attribute adalah suatu sifat yang dicirikan oleh ada tidaknya suatu maseral tertentu, dalam hal ini kelimpahan maseral sangat penting untuk dijadikan penciri suatu lingkungan tertentu (C.F.K Diessel, 1992). Navale Bab III 36 (1981) menyatakan bahwa batubara yang diendapkan pada lingkungan lagoon relatif kaya akan desmocolinite, batubara dari lingkungan upper delta plain dan fluviatil (wet forest swamp) kaya akan vitrinite dan material klastik seperti mineral lempung, sedangkan batubara dari lingkungan air tawar biasanya lebih kaya akan telinite, resinite dan inertinite. Sifat skalar dari suatu maseral bukan didasarkan atas faktor kehadiran atau morfologi maseral tertentu, tetapi didasarkan pada hubungan kuantitatif antara tiap maseral dalam batubara. C.F.K Diessel (1986) memperkenalkan dua parameter utama dalam penentuan fasies batubara berdasarkan komposisi maseral pada batubara yaitu : TPI (Tissue Preservation Index) dan GI (Gelification Index). TPI (Tissue Preservation Index) menyatakan perbandingan antara struktur jaringan pada maseral yang terawetkan dan struktur jaringan yang tidak terawetkan (terdekomposisi). TPI juga dapat menunjukkan derajat humifikasi yang terjadi pada lahan gambut dalam proses penggambutan. Tingginya derajat humifikasi dapat menyebabkan terjadinya penghancuran jaringan sel yang dinyatakan oleh harga TPI yang kecil. TPI = Telovitrinite + Teloinertinite Detrovitrinite + Gelovitrinite + Inerto det rinite + Geloinertinite Pengrusakan struktur sel oleh organisme akan sangat mudah terjadi pada tanaman yang mengandung banyak selulose (tumbuhan perdu), sedangkan tanaman yang banyak mengandung lignin (tumbuhan kayu) akan sulit dihancurkan. Semakin meningkatnya harga TPI dapat menunjukkan semakin tingginya persentase kehadiran tumbuh – tumbuhan kayu (dalam hal ini ditunjukkan dengan banyaknya persentase telovitrinite). Sementara itu bila harga TPI < 1 maka maseral vitrinite akan disertai oleh kehadiran cutinite yang biasanya akan cepat terhancurkan oleh air laut. Kombinasi antara kandungan densinite dan cutinite yang banyak dengan kandungan Bab III 37 vitrinite yang sedikit dapat menggambarkan bahwa batubara berasal dari serat tumbuhan perdu pada suatu lingkungan marsh. GI (Gelification Index) berhubungan dengan kontinuitas kelembaban pada lahan gambut serta menyatakan perbandingan antara maseral yang terbentuk karena proses gelifikasi dan maseral yang terbentuk akibat proses oksidasi. GI = Vitrinite + Geloinertinite Teloinertinite + Detroinertinite Harga GI akan berbanding terbalik dengan tingkat oksidasi, dalam hal ini semakin kecil harga GI menunjukkan tingkat oksidasi yang semakin besar. Tingkat Gelifikasi akan memberikan beberapa gambaran antara lain : 1. Menunjukkan basah/keringnya kondisi pembentukan batubara. Hal ini terjadi karena gelifikasi membutuhkan keadaan lembab yang kontinyu. 2. Sebagai indikator pH relatif karena efektifitas bakteri dapat berlangsung pada derajat keasaman rendah. 3. Sebagai ukuran proses diagenesa selama gelifikasi biokimia. Kombinasi TPI dan GI dapat dipergunakan untuk memperkirakan derajat dekomposisi dan penentuan lingkungan pengendapan batubara. Nilai TPI dan GI yang tinggi dapat mengindikasikan tingkat dekomposisi aerobik yang rendah, sebaliknya kondisi kering dicirikan oleh nilai TPI rendah dan GI yang tinggi mengindikasikan dekomposisi aerobik yang terbatas. III.3.3 Pengaruh Air Tanah dan Vegetasi Salah satu parameter dalam pembentukan suatu mire/ lahan gambut (rheotrophic, mesotrophic dan ombrotrophic) adalah kondisi pengaruh air tanah yang dicerminkan melalui nilai indeks GWI (Groundwater Index) yang secara langsung berhubungan dengan kontinuitas air hujan dan suplai nutrisi / ion – ion yang ada pada air. Rheotrophic mire menerima suplai air dari aliran air tanah, air dari lingkungan dan dari air hujan sehingga kaya akan suplai Bab III 38 nutrisi dan ion serta kandungan mineral, sementara ombrotrophic mire hanya menerima dari air hujan sehingga miskin nutrisi (oligotrophic). Rheotrophic mire dapat dibagi menjadi fen, swamp dan marsh yang tergantung pada tingkat genangan air pada lahan gambut. Sementara ombrotrophic mire dapat istilahkan sebagai bogs (Moore, 1987 dalam Calder et.al., 1991). GWI merupakan rasio perbandingan antara jaringan tumbuhan yang tergelifikasi kuat terhadap jaringan tumbuhan yang tergelifikasi lemah. Perbandingan ini dapat menggambarkan proses gelifikasi yang meyimpulkan tentang keadaan suplai air dan pH dari suatu lahan gambut / mire. Pada lingkungan rawa yang berkembang menjadi kondisi rawa di bawah pengaruh air tanah yang semakin berkurang akan menghasilkan gambut yang lebih baik (Grosse- Brauckmann, 1979 ; Tallis, 1983 and Moore, 1987 dalam Calder, 1991). Bukti kondisi ini dapat terlihat pada lapisan batubara yang menunjukkan perubahan tendensi umum secara vertikal. Perubahan tendensi umum tersebut diantaranya adalah penurunan kadar sulfur dan abu, kenaikan pengawetan jaringan tumbuhan, penurunan gelifikasi biokimia dan penurunan maseral liptinite yang berasal dari lingkungan air (Calder, 1991). GWI = corpogelinite + Mineral Matter textinite + telocollinite + Detrovitrinite Dalam perhitungan GWI juga dimasukkan parameter mineral matter selain maseral. Kegunaan parameter mineral matter disini dapat mengindikasikan asal mula dari dominasi detrital yang masuk pada mire dan juga dapat mengasumsikan ukuran kondisi rawa gambut (rheotrophic, mesotrophic dan ombrotrophic). (Cecil., C.B dalam Taylor G.H, 1998) Selain dari pengaruh air tanah yang dalam hal ini dinyatakan dalam GWI, aspek vegetasi (Vegetation Index) juga dapat dijadikan petunjuk dalam menginterpretasi asal mula suatu lahan gambut (paleomire). Secara teori Bab III 39 lahan gambut dapat dibedakan berdasarkan tipe tumbuhan pembentuk dengan menggunakan parameter kesamaan antar maseral. Tumbuhan yang kaya akan lignin ditunjukkan dengan kandungan telovitrinite, fusinite dan semifusinite yang tinggi. Dalam hal ini, suberinite dan resinite adalah sebagai maseral penyerta. Tumbuhan asal perdu yang kaya selulosa melalui proses pembatubaraan akan membentuk batubara yang kaya akan detrovitrinite, inertodetrinite dan liptodetrinite (Teichmüller, 1989). Kondisi subaquatik seharusnya akan diindikasikan oleh kehadiran maseral alginite. Sementara sporinite dan cutinite mempunyai distribusi yang sama pada batubara yang terbentuk dari tumbuhan bawah air. VI = III.4 Telovitrinite + fu sin ite + semifu sin ite + suberinite + re sin ite Detrovitrinite + Inerto det rinite + lipto det rtinite + sporinite + cutinite + a lg inite Sulfur dalam Batubara Sulfur adalah salah satu komponen dalam batubara, yang terdapat sebagai sulfur organik maupun anorganik. Umumnya komponen sulfur dalam batubara terdapat sebagai sulfur syngenetik yang erat hubungannya dengan proses fisika dan kimia selama proses penggambutan (Meyers, 1982) dan dapat juga sebagai sulfur epigenetik yang dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara akibat proses presipitasi kimia pada akhir proses pembatubaraan (Mackowsky, 1968). III.4.1 Genesa Sulfur Sulfur walaupun secara relatif kandungannya rendah, merupakan salah satu elemen penting pada batubara yang mempengaruhi kualitas. Terdapat berbagai cara terbentuknya sulfur dalam batubara, diantaranya adalah berasal dari pengaruh lapisan pengapit yang terendapkan dalam lingkungan laut (Horne et.al,1978), pengaruh air laut selama proses pengendapan tumbuhan, proses mikrobial dan perubahan pH (Casagrande et.al, 1987). Bab III 40 Pada lingkungan pengendapan batubara yang dipengaruhi oleh endapan laut akan menghasilkan batubara dengan kadar sulfur yang tinggi serta pirit berbentuk framboidal dan kristal euhedral (Williams and Keith, 1963; Neavel, 1996; Cohen, et.al, 1983; Davies and Raymond, 1983; Casagrande, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Sedangkan batubara yang terendapkan di lingkungan darat / air tawar umumnya didominasi oleh sulfur organik dengan persentase pirit yang rendah. Di lingkungan laut, pH umumnya berkisar antara 4 – 8 (netral – basa) dan Eh cukup rendah, kecuali pada beberapa centimeter dari permukaan. Sulfat berlimpah & umumnya cukup banyak ion Fe yang hadir baik sebagai unsur terlarut dalam air laut atau penguraian dari bahan tumbuhan & mineral. Keadaan ini menyebabkan aktifitas bakteri sangat berperan untuk terbentuknya sulfur. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara pada air tawar (lacustrine dan rawa) pH umumnya rendah. Sulfat terlarut juga rendah ( ± < 40 ppm), sehingga sulfur yang terbentuk sedikit karena aktifitas bakteri rendah. Dengan demikian jumlah sulfur yang dihasilkan tergantung pada kondisi pH, Eh, konsentrasi sulfat dan untuk pirit khususnya perlu kehadiran ion Fe dan aktivitas bakteri. Dari hasil penelitian mengenai pembentukan dan keberadaan sulfur pada batubara dan gambut, Casagrande (1987) membuat beberapa kesimpulan, yaitu : a. Secara umum batubara bersulfur rendah (<1%) mengandung lebih banyak sulfur organik daripada piritik. Sebaliknya batubara dengan kandungan sulfur tinggi mengandung lebih banyak sulfur piritik daripada organik. b. Batubara bersulfur tinggi biasanya berasosiasi dengan batuan penutup yang berasal dari lingkungan laut. c. Kandungan sulfur pada batubara umumnya paling tinggi pada bagian roof dan pada bagian floor lapisan batubara. Batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang rendah biasanya terendapkan pada lingkungan darat pada saat penggambutan, dengan lapisan penutup dan lapisan dibawahnya berupa sedimen klastik yang terendapkan pada lingkungan darat juga. Sedangkan untuk batubara dengan kandungan abu dan sulfur yang Bab III 41 tinggi, berasosiasi dengan sedimen yang terendapkan pada lingkungan payau atau laut (Cecil et.al, 1979). Proses paling penting dalam pembentukan unsur dan senyawa sulfur adalah reaksi reduksi sulfat oleh aktivitas bakteri. Berikut adalah skema yang menunjukkan urutan proses pembentukan sulfur dalam batubara : Gambar III.3 Skema pembentukan sulfur dalam batubara (modifikasi dari Suits & Arthur, 2000) III.4.2 Sulfur Piritik Pirit (dan Markasit) merupakan mineral sulfida yang paling umum dijumpai pada batubara. Kedua jenis mineral ini memiliki komposisi kimia yang sama (FeS2) tetapi berbeda pada sistem kristalnya. Pirit berbentuk isometrik sedangkan Markasit berbentuk orthorombik (Taylor G.H, et.al., 1998). Bab III 42 Pirit (FeS2) merupakan mineral yang memberikan kontribusi besar terhadap kandungan sulfur dalam batubara, atau lebih dikenal dengan sulfur piritik (Mackowsky, 1943 dalam Organic petrology, 1998). Berdasarkan genesanya, pirit pada batubara dapat dibedakan menjadi 2, yaitu : 1. Pirit Syngenetik, yaitu pirit yang terbentuk selama proses penggambutan (peatification). Pirit jenis ini biasanya berbentuk framboidal dengan butiran sangat halus dan tersebar dalam material pembentuk batubara (Demchuk, 1992 dalam international journal of coal geology, 1992). 2. Pirit Epigenetik, yaitu pirit yang terbentuk setelah proses pembatubaraan. Pirit jenis ini biasanya terendapkan dalam kekar, rekahan dan cleat pada batubara serta biasanya bersifat masif. (Mackowsky, 1968; Gluskoter, 1977; Frankie and Howe, 1987 dalam international journal of coal geology, 1992). Umumnya pirit jenis ini dapat diamati sebagai pirit pengisi cleat pada batubara. Menurut Gluskoter and Simon (1968); Love et.al (1983) and Littke (1985) dalam C.F.K Diessel (1992), beberapa bentuk mineral pirit yang dijumpai dalam batubara adalah sebagai berikut : ♦ Kristal pirit berukuran kecil yang terdapat sebagai inklusi dalam vitrinite dan semifusinite serta seringkali berasosiasi dengan pirit framboidal. ♦ Nodul pirit atau markasit dengan ukuran hingga beberapa centimeter yang umumnya terdiri dari kristal – kristal membulat atau memanjang. ♦ Bentuk Fe-sulfida syngenetik yang paling umum adalah kristal pirit dengan ukuran lebih dari 2 mikron, terdapat dalam bentuk spheroidal atau framboidal dan berasosiasi dengan vitrinite. ♦ Tipe konkresi dari kristal kecil bergabung membentuk lensa – lensa pipih atau pita–pita yang menunjukkan presipitasi pirit yang terjadi selama diagenesa akhir. Hal ini dapat dianggap sebagai peralihan ke pirit epigenetik. ♦ Pirit epigenetik dan markasit yang terbentuk sebagai material pengisi rekahan atau kekar (cleat). Bab III 43 Gambar III.4 A C B D Bentuk-bentuk mineral pirit pada batubara : A) Pirit berbentuk framboidal; B) Pirit berbentuk konkresi; C) pirit dalam bentuk nodul; D) Pirit epigenetik sebagai pengisi rekahan/cleat (Stach, 1982 dalam Coal Petrology) Pirit dapat terbentuk sebagai hasil reduksi sulfur primer oleh organisme dan air tanah yang mengandung ion besi. Bentuk pirit hasil reduksi ini biasanya framboidal dengan sumber sulfur yang tereduksi kemungkinan terdapat dalam material yang terendapkan bersama batubara. Terbentuknya pirit epigenetik sangat berhubungan dengan frekuensi cleat karena kation-kation yang terlarut (dalam hal ini ion Fe) akan terbawa ke dalam batubara oleh aliran air tanah melalui cleat tersebut dan selanjutnya bereaksi dengan sulfur yang telah tereduksi untuk kemudian membentuk pirit (Demchuk T.D, dalam International Journal of Coal Geology, 1992). Pirit epigenetik umumnya hadir dalam bentuk masif, butiran kecil (granular) dan kristal anhedral. Pembentukan pirit epigenetik sangat dipengaruhi oleh keterdapatan sulfur primer yang telah tereduksi, ion besi dan tempat yang cocok bagi pembentukannya (Casagrande et.al,1987). Bab III 44 Persamaan umum pembentukan pada pirit (Leventhal, 1983 and Berner, 1984 dalam Organic Petrology, 1998) adalah : SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2CHO3 - + H2S 3H2S + 2FeO.OH - - - - - 2FeS + S + 4H2O FeS + S0 - - - - - FeS2 Sulfat di atas umumnya berasal dari sedimen laut dangkal yang selanjutnya akan direduksi oleh senyawa karbon organik menjadi hidrogen sulfida dengan reaksi sebagai berikut : SO4 2- + 2CH2O - - - - - 2HCO3 + H2S Hidrogen sulfida yang terbentuk selanjutnya dioksidasi oleh goethite (FeO.OH), atau hidrogen sulfida yang terbentuk dapat mereduksi ferric iron (FeIII) menjadi ferrous iron (FeII). Oksigen seringkali mampu menembus sedimen anaerob dan mengoksidasi hidrogen sulfida menjadi unsur sulfur (S0). Proses oksidasi sulfur ini dapat juga berlangsung dengan media ferric iron (FeIII). Berikut persamaan reaksinya : 3H2S +2 FeO.OH - - - - - 2 FeS + S + 4H2O FeS + S0 - - - - - FeS2 Selain membentuk pirit, unsur sulfur tersebut dapat juga bereaksi dengan sulfida membentuk polisulfida.(SSn), yang selanjutnya mungkin akan diperlukan untuk proses pembentukan pirit. Larutan polisulfida ini dapat bereaksi dengan FeS atau Fe3S4 untuk membentuk pirit. Proses terbentuknya sulfur piritik ini sangat dipengaruhi oleh kondisi pH, yaitu semakin tinggi harga pH maka akan mempercepat reaksi karena dalam suasana basa akan banyak ion besi yang terlepaskan. Disamping itu unsur sulfur atau polisulfida juga bisa bereaksi dengan komponen organik batubara membentuk senyawa sulfur organik. Pirit framboidal berasosiasi dengan batuan penutup yang terendapkan pada lingkungan laut sampai payau. Gambut yang mengandung sulfur tinggi (dalam bentuk pirit framboidal) terbentuk pada lingkungan pengendapan yang Bab III 45 dipengaruhi oleh transgresi air laut atau payau, kecuali apabila terdapat dalam batuan sedimen yang cukup tebal dan terendapkan sebelum fase transgresi (Cohen A.D dalam Organic Petrology, Taylor G.H, 1998) III.4.3 Sulfur Organik Sulfur organik merupakan suatu elemen pada struktur makromolekul dalam batubara yang kehadirannya secara parsial dikondisikan oleh kandungan dari elemen yang berasal dari material tumbuhan asal. Dalam kondisi geokimia dan mikrobiologis spesifik, sulfur inorganik dapat terubah menjadi sulfur organik. (Wiser W.H, 2000). Secara umum sebagian besar sulfur dalam batubara berupa sulfur syngenetik yang keterdapatan dan distribusinya dikontrol oleh kondisi fisika dan kimia selama proses pembentukan gambut. Sulfur organik dalam batubara dapat berasal dari material kayu dan pepohonan. Disamping itu sebagian sulfur juga mungkin terjadi dari sisa-sisa organisme yang hidup selama perkembangan gambut. Sulfur organik dapat terakumulasi dari sejumlah material organik oleh proses penghancuran biokimia dan oksidasi. Namun secara umum, penghancuran biokimia merupakan proses yang paling penting dalam pembentukan sulfur organik, yang pembentukannya berjalan lebih lambat pada lingkungan yang basah atau jenuh air (A.C. Cook, 1982). Menurut Neavel (1981) dalam Organic Petrology, 1998 : sulfur organik, atau bisa dikatakan sebagai pirit, mengindikasikan aktivitas dari bakteri pereduksi sulfur dalam gambut. Desulfovibrio desulfurican dan Clostridium nigrificans mereduksi sulfat menjadi H2S yang diperlukan untuk terbentuknya pirit, dimana unsur besi kemungkinan masuk ke dalam rawa yang terbawa dalam material lempung. Oleh karena itu, pada umumnya pirit ditemukan pada lapisan lempung sebagai roof atau floor maupun sisipan. Bab III 46 Sulfur yang bukan berasal dari material pembentuk batubara diduga mendominasi dalam menentukan kandungan sulfur total. Sulfur inorganik yang biasanya melimpah dalam lingkungan marin atau payau kemungkinan besar akan terubah membentuk hidrogen sulfida dan senyawa sulfat dalam kondisi dan proses geokimia. Reaksi yang terjadi adalah reduksi sulfat oleh material organik menjadi hidrogen sulfida (H2S). Reaksi reduksi ini dipicu oleh adanya bakteri desulfovibrio dan desulfotomaculum (Trudinger et.al, dalam Meyers, 1982). Unsur sulfur, hidrogen sulfida dan ion sulfida dapat bereaksi dengan unsur atau molekul organik dari gambut menjadi sulfur organik. Unsur sulfur (S0) kemungkinan muncul dari proses oksidasi hidrogen sulfida yang terkena kontak dengan oksigen terlarut dalam kisi – kisi air, di samping itu S0 juga bisa muncul karena adanya aktivitas bakteri. Unsur sulfur (S0) dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan (Meyers,1982). Berdasarkan eksperimen dapat diketahui bahwa H2S juga dapat bereaksi dengan asam humik yang terbentuk selama proses penggambutan. Jenis interaksi antara H2S dengan asam humik inilah yang mempunyai peranan paling penting dalam menentukan kandungan sulfur organik dalam batubara (Meyers, 1982). Disamping itu kandungan sulfur organik yang tinggi hanya akan berasosiasi dengan lingkungan rawa gambut yang minim suplai Fe (Gransh & Postuma, 1974 ; Bein et.al, 1990 ; Zaback & Pratt dalam Suits and Arthur, 2000). Bukti – bukti kimia dan molekul menyatakan bahwa sulfur organik pada sedimen muda dan purba terbentuk pada awal proses diagenesis (Nissenbaum & kaplan, 1972; Casagrande, 1979, Kohnen et.al, 1990; dalam Suits & Arthur, 2000). Bukti dari isotop sulfur memperkuat hipotesis tersebut, pada sulfur organik isotop sulfur 34 S terkayakan relatif sama pada sulfur pirit untuk batuan sedimen muda dan purba. Bukti isotop ini juga sering membuktikan bahwa sulfur organik terbentuk setelah proses presipitasi pirit (Kaplan et.al, 1963; Price & Shieh, 1979; Francois, 1987; Raiswell et.al, 1993; dalam Suits & Arthur, 2000). Bab III 47 III.4.4 Sulfur Sulfat Sulfat dalam batubara umumnya ditemui dalam bentuk sulfat besi, kalsium dan barium. Kandungan sulfat tersebut biasanya rendah sekali atau tidak ada kecuali jika batubara telah terlapukkan dan beberapa mineral pirit teroksidasi akan menjadi sulfat. (Meyers, 1982 and Kasrai et.al, 1996). Sulfur sulfat juga dapat berasal dari reaksi garam laut atau air payau yang mengisi lapisan dasar yang jaraknya tidak jauh dan berada di atas atau di bawah lapisan batubara. Pada umumnya kandungan sulfur organik lebih tinggi pada bagian bawah lapisan, sedangkan kandungan sulfur piritik dan sulfat akan tinggi pada bagian atas dan bagian bawah lapisan batubara. Bab III 48