KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT UNTUK MEMENUHI KEPENTINGAN EKONOMINYA MELALUI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP PERIODE 2011-2013 Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos) oleh: ANDRI 109083000032 PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013 ABSTRAKSI Skripsi ini menjelaskan mengenai kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership (TPP) pada tahun 2011-2013. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kebijakan-kebijakan apa saja yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk bisa memenuhi kepentingan ekonominya pada negosiasi perdangangan bebas TPP di kawasan Asia Pasifik. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yang dilakukan melalui studi pustaka dan wawancara. Kerangka teori yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah teori neoliberal institusionalisme yang dijelaskan oleh Keohane untuk melihat peran institusi dalam menciptakan kerjasama, teori comparative advantage untuk mengetahui pentingnya perdagangan bebas untuk kesejahteraan ekonomi, konsep kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri untuk mengetahui faktor dan tujuan Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan. Dari hasil analisa penulis menggunakan kerangka teori diatas, dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat telah menggunakan TPP sebagai instrumen untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang efisien dan rasional. Penulis menemukan bahwa Amerika Serikat telah melakukan beberapa upaya agar bisa memaksimalkan keuntungannya di TPP, sehingga kepentingan ekonominya terpenuhi. Kebijakan yang digunakan oleh Amerika Serikat adalah mengusulkan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan nasionalnya dalam proses negosiasi TPP dan menambah keanggotaan institusi tersebut agar membuka pasar yang lebih luas dengan mengarahkan pembahasan forum Asia Pacific Economic Cooperation (APEC) ke TPP disaat negara tersebut menjadi host economy pada tahun 2011 dan mengundang negara-negara di Asia Pasifik untuk bergabung dengan negosiasi kerjasama abad ke 21 tersebut. v KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan nikmatnya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Salawat dan salam kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. Penulis tidak akan bisa menyelesaikan skripsi ini, tanpa ada dukungan, saran, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan beribu-ribu terimakasih kepada kedua orang tua beserta uda-uda dan uni-uni yang selalu memberikan berbagai bentuk dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada bapak A. Alfajri, MA selaku dosen pembimbing yang sangat membantu penulis dalam penulisan skripsi ini. Terimakasih telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan, motivasi, saran, dan masukan sehingga penulisan skripsi ini bisa diselesaikan dengan baik. Terimakasih juga kepada Bu Rahmi Fitriyanti dan Bu Mutiara Pertiwi selaku dosen penasehat akademik, Pak Febri Dirgantara selaku dosen penguji, serta seluruh dosen dan staf Hubungan Internasional FISIP UIN Jakarta yang telah berbagi ilmu dan pengetahuan selama penulis menimba ilmu di kampus ini. Penulis juga berterimakasih kepada Amrullah Rafioeddin, sebagai sahabat terbaik yang membantu penulis dalam banyak hal positif, serta sahabat-sahabat yang selalu ada dalam suka duka perkuliahan dan penulisan skripsi: Edwin Saputra, Fajar Shidiq, Dafi Hifzillah, Arif Rahman, Corryatul Filacano, Muhammad Nabil dan Team MAPOKUS 20. Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih juga kepada rekan-rekan Hubungan Internasional 2009 A yang telah sama-sama berjuang dalam proses pembelajaran hingga melalui proses sidang DPS dan sidang skripsi, special mention kepada: Waliyuddin, Robi, Deden, Imam Ojal, Vina, Andi, April, Wati, Hafiz, Agus, Kikay, Fuzi, Enny, Eky, Helmi, Ardhy, Wilda, Eca, Azay, Atina, Aqid, Friska, Nyimas, Abe, Myu, Kasyfi, Ibin, Daus dan Aqmal. Serta tidak lupa kepada rekan-rekan yang selalu memberikan dukungan, inspirasi, dan aura positif disaat melalui proses pembelajaran dan pembuatan vi skripsi: Kak Faisal, Rusydan, Haifa, Sartika, Adrian, Ali, Cici, Natasha, Bisti, Nabila, Dhani, Desica, Pipit, Tika, Dewi, Dani, Shofi, Merry, Zahra, Afina, Nadia, Clara, Zara, Faruq, Shidiq, Shabrina, dan semua yang tidak bisa ditulis satu persatu. Terimakasih juga kepada seluruh kolega dari berbagai organisasi yang pernah penulis geluti selama berada di uni-life. Global Citizen Corps dengan proyek-proyek sosial dan Qatar experience-nya, Indonesian Student Association For International Studies dengan Model United Nations, International Weeks, ISAFISian quality time-nya, Himpunan Mahasiswa Islam dengan ilmu dan pembelajarannya, dan last but not least, International Studies Club dengan seluruh semangat dan kegiatan-kegiatannya. Harapan penulis, semoga Allah membalas semua dukungan dan kebersamaan tersebut dengan kebaikan. Mengutip sabda Rasulullah Muhammad SAW, ﺧﻴﺮ ﺍﻠﻨﺎﺱ ﺃﻧﻔﻌﻬﻢ ﻠﻟﻨﺎﺱ. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dengan berbagai kekurangannya. Wallahu’alam. Jakarta, Desember 2013 Andri vii DAFTAR ISI ABSTRAKSI .......................................................................................................... v KATA PENGANTAR ........................................................................................... vi DAFTAR ISI ........................................................................................................ viii DAFTAR TABEL ................................................................................................... x DAFTAR GAMBAR ............................................................................................. xi DAFTAR SINGKATAN ...................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xiii BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1 A. Pernyataan Masalah ................................................................................ 1 B. Pertanyaan Penelitian ............................................................................. 9 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 9 D. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 10 E. Kerangka Pemikiran ............................................................................. 11 1. Perspektif Neoliberal Institutionalisme ......................................... 11 2. Teori Comparative Advantage ...................................................... 13 3. Kepentingan Nasional ................................................................... 14 4. Kebijakan Luar Negeri .................................................................. 15 F. Metode Penelitian ................................................................................. 16 G. Sistematika Penulisan ........................................................................... 17 BAB II PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT DAN KEIKUTSERTAANNYA DI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP ......... 19 A. Gambaran Perekonomian Amerika Serikat .......................................... 19 B. Krisis Finansial 2007 ............................................................................ 22 C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership ........................................................................................... 26 1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial ............... 26 viii 2. Potensi Asia Pasifik dan Trans Pacific Economic Strategic Partnership .................................................................................... 28 3. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral. .................. 30 4. Pivot to Asia dan the Rise of China ............................................... 31 BAB II TRANS PACIFIC PARTNERSHIP ........................................................... 34 A. Sejarah Trans Pacific Partnership: Trans Pacific Strategic Economic Partnership ........................................................................................... 34 B. Potensi Trans Pacific Partnership........................................................ 40 1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomiannya................................. 41 2. Perjanjian Abad 21 dan Sindrom Noodle Bowl ............................. 43 C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation ... 46 BAB IV KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT UNTUK MEMENUHI KEPENTINGAN EKONOMINYA MELALUI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP PERIODE 2011-2013................................................... 49 A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 20112012 ................................................................................................. 50 B. Menambah Keanggotaan TPP ......................................................... 53 1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011 ............................................................... 56 2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP ....... 62 a. Korea Selatan ..................................................................... 63 b. Indonesia ............................................................................ 64 BAB V PENUTUP................................................................................................ 65 A. Kesimpulan ...................................................................................... 65 B. Saran ................................................................................................ 67 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ xi LAMPIRAN-LAMPIRAN ix DAFTAR TABEL Tabel III.B.1. Data Statistik Perekonomian 21 Negara Anggota APEC 2012 ...... 42 x DAFTAR GAMBAR Gambar I.A Gross Domestic Product Amerika Serikat 2007-2010 (Milyar) ......... 5 Gambar II.A Ekspor Impor (Barang dan Jasa) Amerika Serikat .......................... 21 Gambar II.C.4 Gross Domestic Product Cina ...................................................... 32 Gambar III.C.2 Noodle Bowl di Asia Pasifik ........................................................ 44 Gambar IV.B Trans Pacific Partnership Tahun 2010 .......................................... 54 Gambar IV.B.1 Market Share Amerika Serikat Tahun 2011................................ 62 xi DAFTAR SINGKATAN APEC : Asia Pacific Economic Cooperation ASEAN : Asoociation of South East Asian Nations DDA : Doha Developement Agenda FED : the Federal Reserve FTAAP : Free Trade of the Asia-Pacific GATT : General Agreement on Tariffs and Trade GDP : Gross Domestic Product NAFTA : North Amerika Free Trade Agreement OPEC : Organization of the Petroleum Countries P4 : Pacific 4 SOM : Senior Official Meeting TPP : Trans Pacific Partnership TPSEP : Trans Pacific Strategic Economic Partnership UNSD : United Nations Statistic Division USTR : United States Trade Representative WTO : World Trade Organization xii DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Outlines of the Trans Pacific Partnership Agreement................... xviii Lampiran 2. Hasil Wawancara dengan analis senior APEC Carlos Kuriyama.. xxiii Lampiran 3. Hasil Wawancara dengan Prof. Peter A. Petri ................................ xxv Lampiran 4. Hasil Wawancara dengan pimpinan Temasek Foundation Centre for Trade & Negotiations Deborah K. Elms ...................................... xxvi xiii BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Amerika Serikat merupakan salah satu negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Bukti kekuatan ekonomi itu terlihat dari data statistik yang dikeluarkan oleh World Bank (2013) bahwa sejak tahun 1961 hingga 2012, Gross Domestic Product (GDP) Amerika Serikat selalu mengalami pertumbuhan dan juga mempunyai jumlah terbanyak dari seluruh negara di dunia dengan $539 milyar pada tahun 1961 dan $16.244 milyar pada tahun 2012 (n.h). Untuk mencapai kemakmuran itu, Amerika Serikat sudah melakukan perdagangan internasional sejak dahulu. Seperti yang dijelaskan oleh the United States Trade Representative (USTR) bahwa proses pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan telah dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1934 dan berperan penting dalam perkembangan dan kemakmuran Amerika Serikat (Representative 2013: n.h). Jika dilihat dari masa ke masa, fokus kebijakan ekonomi internasional Amerika Serikat terus berubah. Bergsten (2005) menjelaskan bagaimana perubahan-perubahan itu terjadi. Pada tahun 1960an, kebijakan ekonomi internasional Amerika Serikat terpusat ke Eropa dikarenakan saat itu kawasan tersebut merupakan kawasan industri dunia. Pada tahun 1970an fokus Amerika Serikat berpindah ke negara-negara anggota Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dikarenakan terjadinya krisis minyak dunia. Tahun 1980an, dengan munculnya dua negara industri yaitu Korea Selatan dan Taiwan, 1 2 fokus Amerika Serikat pun beralih ke dua negara tersebut. Tahun 1990an berpindah ke Meksiko melalui North America Free Trade Agreement (NAFTA) dan negara kawasan Asia Pasifik melalui forum Asia Pacific Economic Cooperasion (APEC) (h.51). Pada tahun 2000an hingga tahun 2010an, fokus Amerika Serikat masih berada di kawasan Asia Pasifik. Williams (2012) menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik mempunyai 40% populasi dunia dan lebih dari setengah GDP dunia. Pada tahun 2010, lebih dari tiga perempat negara kawasan Asia-Pasifik mengalami pertumbuhan GDP di atas 3%, mencapai pertumbuhan GDP Amerika Serikat (h.2). Cossa, Glosserman, McDevitt, Patel, Przystup dan Roberts (2009) juga menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik saat itu telah menjadi kawasan penting bagi Amerika Serikat daripada sebelumnya. Geopolitik berpindah semakin cepat sebagai akibat dari krisis ekonomi global yang terjadi (h.9). Namun APEC bukanlah satu-satunya wadah Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik. Institusi internasional lainnya adalah Trans Pacific Partnerhsip (TPP). Seperti yang dijelaskan oleh USTR (2011) bahwa TPP adalah elemen kunci dari strategi administrasi Obama untuk membuat keterlibatan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik menjadi prioritas utama (n.h). TPP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang masih berada dalam proses negosiasi yang dibuat oleh beberapa negara anggota APEC. Namun, walaupun TPP masih berada dalam proses negosiasi, sebenarnya perjanjian perdaganan bebas ini merupakan pengembangan dan lanjutan dari perjanjian yang sudah berlaku diantara empat negara, yaitu Brunei Darussalam, Singapura, Chili, 3 dan Selandia Baru yang dikenal dengan nama Trans Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP). Selain itu pada tahun 2011, TPP mengeluarkan garis besar institusi ini, sehingga memberikan gambaran mengenai latar belakang, instrumen, konsep, dan tujuan dari negosiasi perdagangan ini. Beberapa tujuan dari kerjasama ekonomi ini adalah membentuk area perdagangan bebas antara negara anggota, seperti yang terdapat dalam pembukaan perjanjian TPSEP bahwa tujuan dari kerjasama ini adalah: mempererat hubungan persahabatan dan kerjasama di antara anggota melalui liberalisasi dan investasi untuk menciptakan kemitraan strategis di kawasan Asia Pasifik, membangun aturan jelas terkait perdagangan, dan sebagainya (TPSEP 2005:1-2). Mengenai sejarah TPSEP dan peralihannya menjadi TPP, Kuriyama (2011) menjelaskan bahwa saat Leader’s Summit APEC di Meksiko pada tahun 2002, pemimpin negara dari Singapura, Chili, dan Selandia Baru mengumumkan bahwa mereka akan melakukan negosiasi untuk pembuatan perjanjian perdagangan bebas. Negosiasi negara-negara tersebut berlangsung sejak September 2003 hingga Juli 2005 dengan menghasilkan TPSEP. Sedangkan Brunei Darussalam baru mengikuti proses negosiasi TPSEP sejak pertemuan kedua pada Juli 2004 sebagai observer dan akhirnya menyatakan diri bergabung dengan kerjasama tersebut pada April 2005. Setelah TPSEP berjalan, beberapa negara APEC lainnya tertarik untuk bergabung dengan perjanjian tersebut. Gabungan antara negara TPSEP dan beberapa negara APEC lainnya ini lah yang kemudian disebut dengan TPP (h.5-8). 4 Amerika Serikat merupakan negara APEC pertama yang mengumumkan diri untuk melakukan engagement dengan TPSEP pada tahun 2008 (Office of the USTR 2008: n.h). Namun, kebijakan Amerika Serikat tersebut menimbulkan pertanyaan, mengingat perundingan pembentukan kerjasama tersebut sudah dimulai sejak tahun 2002 dan Amerika Serikat baru bergabung pada 2008. Salah satu hal yang bisa menjelaskan hal tersebut adalah fenomena yang terjadi di Amerika Serikat pada tahun 2008 yaitu krisis finansial yang sudah bermula sejak tahun 2007. Bagi Amerika Serikat, krisis finansial dapat mengganggu kestabilitasan negaranya. Seperti yang dijelaskan oleh Nanto (2009) bahwa gejolak keuangan menyinggung kepentingan nasional mendasar untuk melindungi keamanan ekonomi Amerika Serikat. Gema krisis finansial tidak hanya dirasakan di Wall Street dan Main Street saja tetapi juga berdampak pada ekspor dan impor, tingkat pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (h.3). Media Masa Amerika Serikat, New York Post melaporkan bahwa krisis finansial telah membuat Amerika Serikat kehilangan $12,8 triliun perekonomiannya dengan 23,1 juta pengangguran, $19 triliun jumlah kekayaan yang lenyap, 46,2 Juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan (Kennan 2012: n.h). Selain itu, krisis finansial juga mengakibatkan terjadinya resesi di Amerika Serikat. Seperti yang digambarkan oleh Gambar I.A bahwa GDP Amerika Serikat yang awalnya berjumlah $14.720 milyar pada tahun 2008 menurun menjadi $14.418 pada tahun 2009. Sehingga berdasarkan kepada peristiwa yang terjadi di 5 Amerika Serikat tersebut, ia harus segara membangkitkan lagi perekoniannya untuk mengembalikan kesejahteraannya. Gambar I.A Gross Domestic Product Amerika Serikat 2007-2010 (Milyar) $14.958 $14.720 $14.480 2007 $14.418 2008 2009 2010 Sumber : World Bank 2013 Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa sejak dahulu Amerika Serikat mengandalkan pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan untuk meningkatkan perekonomiannya. Dikarenakan Amerika Serikat tengah berada dalam keadaan krisis ekonomi pada tahun 2008, dan di saat itu terdapat TPP yang merupakan kerjasama ekonomi yang mempunyai konsentrasi utama dalam hal liberalisasi perdagangan di kawasan Asia Pasifik, maka keputusan Amerika Serikat untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut adalah untuk memulihkan kembali perekonomian negaranya yang rusak akibat krisis finansial yang bermula pada tahun 2007. Dengan kata lain, TPP akan menjadi wadah bagi Amerika Serikat untuk melebarkan perdagangan internasionalnya, agar stagnansi perekonomian yang dialaminya bisa teratasi. Hal ini terlihat dari pidato Susan C. 6 Schwab, pejabat USTR pada tahun 2008 saat mengumumkan keikutsertaan Amerika Serikat di TPSEP: “… to announce the launch of negotiations for the United States to join the comprehensive Trans Pacific Strategic Economic Partnership Agreement. …at a time when attention is focused on the challenges confronting the financial markets and our economy…… We need to ensure that our trade will continue to expand so that it can contribute to U.S. economic growth in the future. Strengthening our economic ties to the Trans Pacific region is vital to achieving this goal because of the economic significance of this region now and in the future. (USTR 2008)” “…untuk mengumumkan peluncuran negosiasi Amerika Serikat dalam Trans Pacific Strategi Economic Partnership Agreement.…pada saat ini perhatian fokus pada tantangan yang dihadapi pasar finansial dan perekonomian kami.. Kami perlu memastikan bahwa perdangannya kami akan terus melakukan ekspansi sehingga bisa berkontribusi dalam pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat kedepannya. Memperkuat hubungan ekonomi kami ke kawasan trans pacific adalah hal penting untuk mencapai tujuan ini dikarenakan signifikansi ekonomi kawasan ini pada saat ini dan masa mendatang”. Hal ini menjadi menarik mengingat Amerika Serikat sudah mempunyai 20 perjanjian perdagangan bebas bilateral dan anggota perjanjian perdagangan multilateral World Trade Organization (WTO), Amerika Serikat justru tertarik untuk bergabung dengan TPP. Profesor Bernard K. Gordon (2012), menjelaskan bahwa Amerika Serikat memerlukan TPP dikarenakan negara tersebut memerlukan kerjasama ekonomi yang lingkupannya tidak terlalu multilateral seperti WTO dan tidak sekecil bilateral. Mengingat negosiasi Doha Developement Agenda di WTO yang sudah berlangsung selama 12 tahun namun belum 7 memberikan hasil dan keuntungan perjanjian bilateral yang tidak maksimal (h. 12). Menurut Petri, Plummer, dan Zhai (2011) kepentingan Amerika serikat di TPP adalah pertama, TPP akan menciptakan kesepakatan ekonomi yang komprehensif (mencakup isu-isu yang tidak ada dari Doha Round seperti jasa, investasi, kompetisi, dan regulasi yang koheren) dan bentuk perjanjian yang modern sebagai alternatif kesepakatan di Kawasan Asia Pasifik yang melibatkan Amerika Serikat. Kedua, TPP akan mendorong integrasi lebih dalam di Kawasan Asia Pasifik. Ketiga, TPP akan menyediakan model yang bisa mengkonsolidasikan perjanjian perdagangan yang ada sehingga bisa memetakan jalan keluar dari the Noodle Bowl, yaitu perjanjian perdagangan internasional yang terlalu banyak sehingga tidak terorganisir (Baldwin 2008:47), yang ada di Asia Pasifik dan sekitarnya. Keempat, TPP akan membantu memperluas pasar ekspor Amerika Serikat ke Asia (h. 6-7). Namun, ternyata TPP mempunyai kekurangan yang membuat Amerika Serikat tidak bisa sepenuhnya mencapai tujuannya, terutama pembukaan pasar dan perluasan perdagangan ke kawasan Asia Pasifik. Kekurangan tersebut yakni sedikitnya negara kawasan yang bergabung dengan TPP. Walaupun TPP merupakan kerjasama ekonomi yang dibuat oleh negara anggota APEC dan merujuk kepada Artikel 20.6 perjanjian TPSEP bahwa semua negara anggota APEC dan negara lainnya boleh bergabung, namun hingga tahun 2010 hanya terdapat sembilan dari 21 negara APEC yang mengikuti negosiasi kerjasama 8 ekonomi tersebut, yaitu: Australia, Selandia Baru, Brunei Darussalam, Singapura, Malaysia, Chili, Peru, Vietnam, dan Amerika Serikat itu sendiri. Amerika Serikat tentunya tidak bisa memenuhi kepentingan ekonominya secara maksimal di kawasan Asia Pasifik melalui TPP dengan sumber daya yang terbatas. Di samping negara anggota TPP yang hanya berjumlah sembilan negara, Amerika Serikat juga sudah mempunyai perjanjian perdagangan bebas bilateral dengan empat negara anggota, yaitu: Singapura, Australia, Chili, dan Peru. Dengan kata lain, kesempatan Amerika Serikat untuk melakukan perdagangan bebas melalui TPP di kawasan Asia Pasifik hanya terbuka ke Selandia Baru, Brunei Darussalam, Malaysia, dan Vietnam. Keempat negara tersebut cukup potensial bagi Amerika Serikat untuk melakukan perdagangan bebas. Melihat dari data perdagangan Amerika Serikat ke negara-negara tersebut, secara kuantitas perdagangan masih sedikit dan bahkan defisit. Seperti ekspor yang dilakukan Amerika Serikat ke Brunei Darussalam hanya sebanyak 0,2 milyar dan Selandia Baru hanya senilai 3,6 milyar. Sedangkan terjadi defisit perdaganan dengan Malaysia senilai 11,6 milyar dan dengan Vietnam senilai 13,1 milyar (Fergusson 2012:1). Sehingga dengan perdagangan bebas bisa membuat penambahan kuantitas dan pengurangan defisit perdagangan. Namun, jika dilihat dari jumlah perdagangan Amerika Serikat ke TPP hanya sebesar 5% pada tahun 2010. Potensinya tidak terlalu besar jika dibandingkan dengan perdaganan Amerika Serikat ke negara Asia Pasifik yang berjumlah 56% (Williams 2012:8). Sehingga Amerika Serikat perlu memikirkan dan mengeluarkan beberapa upaya yang membuat TPP menjadi instrumen penting 9 bagi negara tersebut dalam memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik. B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan kepada kepentingan ekonomi Amerika Serikat dan kekurangan yang dimiliki oleh kerjasama ekonomi Trans Pacific Partnerhsip tersebut, maka penulisan penelitian ini akan dibatasi dari tahun 2011 hingga 2013 dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Apa kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership (TPP) pada periode 2011-2013? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisa upaya dan kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik dengan menggunakan Trans Pacific Partnership sebagai instrumennya, mengetahui peran Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dan Trans Pacific Partnership, dan mengetahui kontribusi perspektif neoliberal institutionalisme, teori comparative advantage, kepentingan nasional dan konsep kebijakan luar negeri dalam melihat permasalahan ini. Semoga penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan Hubungan Internasional terutama dalam hal kebijkan luar negeri, studi kawasan Asia Pasifik, dan politik global Amerika Serikat. 10 D. Tinjauan Pustaka Pembahasan mengenai kepentingan Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik adalah hal yang sudah lazim dibahas, baik dari segi politik, ekonomi, stratejik, dan sebagainya. Namum belum terlalu banyak penelitian yang lebih fokus mengenai kepentingan ekonomi Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik dan Trans Pacific Partnership. Pembahasan beberapa tinjauan pustaka tentang Amerika Serikat dan TPP di bawah ini diharapkan dapat memperlihatkan bahwa penelitian ini tidak hanya menarik untuk dibahas, tapi juga penting untuk dilakukan. Studi yang dilakukan oleh Ian F. Ferguson dan Bruce Vaughn pada Desember 2011 dalam tulisan “Trans Pacific Partnership Agreement”, menjelaskan TPP secara umum serta tujuan dan kepentingan Amerika Serikat bergabung dengan TPP. Studi tersebut juga menjelaskan mengenai bidang-bidang yang menjadi fokus Amerika Serikat di perjanjian tersebut serperti produk pertanian, kekayaan intelektual, lingkungan, buruh, dan sebagainya. Studi ini sering di-cited oleh beberapa buku dan tulisan yang membahas mengenai Amerika Serikat dan TPP. Pada September 2012, Ian F. Ferguson juga melakukan penelitian dengan William Cooper, Remy Jurenas, dan Brock R. William dalam tulisan “The Trans Pacific Partnership Negotiations and Issues for Congress”. Studi ini membahas TPP dalam beberapa hal serperti TPP dan kebijakan perdagangan Amerika Serikat, TPP dan perjanjian perdagangan Asia Pasifik lainnya, TPP dan WTO, dan sebagainya. Studi ini juga menjelaskan bagaimana hubungan perekonomian antara 11 Amerika Serikat dan negara TPP lainnya, bagaimana substansi dari negosiasinya, area-area yang menjadi bahan negosiasi, dan bagaimana domestik merespon TPP tersebut. Studi lainnya dilakukan oleh Brock R. Williams pada Februari 2012 dengan tulisannya ‘Trans Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and Economic Analysis’. Studi ini menjelaskan kepentingan ekonomi Amerika Serikat di Trans Pacific Partnership dengan memberikan analisis ekonomi komparatif dari negara-negara yang sedang melakukan negosiasi dengan institusi tersebut. Penelitian ini menganalisa kebijakan Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik dengan menggunakan TPP sebagai instrumen utamanya. Penelitian ini tentunya akan berbeda dengan penelitian sebelumnya, di samping karena belum ada studi dan penelitian yang membahas hal ini, studi ini bersifat deskriptif analitis dan menggunakan perspektif neoliberal institusionalisme, teori comparative advantage, kepentingan nasional, dan konsep kebijakan luar negeri. E. Kerangka Pemikiran Untuk membantu membentuk kerangka berfikir yang akademis dalam mendudukan dan menjawab masalah penelitian yang telah dirumuskan, penelitian ini menggunakan perspektif neoliberal institusionalisme, teori komparative advantage, konsep kepentingan nasional, dan kebijakan luar negeri. 1. Perspektif Neoliberal Institutionalisme Perspektif neoliberal institusionalisme berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institusi sebagai instrumen utamanya dengan 12 negara sebagai aktor utama. Institusi secara umum didefinisikan sebagai seperangkat aturan dan praktek-praktek yang menetukan peran, memaksakan tindakan, dan membentuk pengharapan (Keohane 1989:3). Menurut neoliberal institusionalisme sifat dasar interaksi antara negara yakni kompetitif dan kadangkadang terjadi konflik tetapi lebih sering bersifat kerjasama pada bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya (Keohane 1989:3). Perspektif neoliberal institusionalisme mebantu menjelaskan bagaimana peranan dari sebuah institusi sebagai wadah untuk menjalin kerjasama (Keohane 1989:2). Mengenai institusi ini, kaum neoliberal institusionalisme percaya akan asumsi rasionalitas. Sehingga negara sebagai aktor utama yang rasional akan lebih memilih bekerjasama daripada berkonflik, karena dengan bekerjasama mereka saling mendapatkan keuntungan. Dengan adanya kerjasama tersebut, maka akan tercipta interdependensi yang merupakan refleksi dari perdamaian. Aktor rasional (individu maupun negara) diasumsikan bersifat atomistik, mementingkan diri sendiri, dan rasional. Aktor akan mementingkan diri mereka sendiri untuk memenuhi kepentingannya dan ia juga rasional yang mampu membangun cara yang paling efektif dan efisien untuk mewujudkan kepentingan mereka dalam kendala yang mereka hadapi (Burchill 1996:192). Dikarenakan aktor rasional itu bersifat profit-seeking, maka ia akan melakukan kalkulasi untung dan rugi dalam mengambil suatu kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang mendapatkan keuntungan yang maksimal (Snidal 2002:75). Sebagai pendekatan yang penuh dengan teori untuk menganalisa Hubungan Internasional seperti yang telah penulis jabarkan di atas, teori ini menggunakan beberapa asumsi, pertama, neoliberal institusionalisme menganggap negara sudah dan masih menjadi aktor yang penting dalam Hubungan Internasional (Keohane 1989:1). Kedua, teori ini sangat menilai penting peranan dari institusi. Ketiga, 13 negara sebagai aktor yang utama merupakan aktor rasional. Keempat, perilaku negara sebagai aktor utama dipengaruhi beberapa faktor seperti sistem internasional, insentif, dan interdependensi (Keohane 1989:3). 2. Teori Comparative Advantage Teori comparative advantage berasal dari pemikiran dari David Ricardo yang berargumen bahwa suatu negara akan mendapatkan keuntungan jika dapat menghasilkan atau memproduksi sesuatu yang dibutuhkan secara efisien daripada negara lain, dan akan mendapatkan keuntungan juga jika melakukan spesialisasi dalam produksi dan menggunakan keuntungan dari spesialisasi tersebut untuk membeli hal-hal yang diinginkan di tempat atau negara lain (Patrick Love dan Lattimore Ralph 2009: 26). Kemampuan negara dalam memproduksi barang dan jasa secara efisien (dengan harga yang murah) dapat menjadi faktor pendukung untuk melakukan perdagangan (Burchill 1996: 73) Menurut teori comparative advantage, perdagangan bebas bagaimanapun adalah cara yang lebih damai untuk mencapai kekayaan nasional. Masing-masing negara akan lebih baik secara ekonomi dengan melakukan perdagangan bebas daripada negara tersebut berusaha untuk mandiri (tidak melakukan perdagangan) dengan alasan nasionalisme (Burchill 1996: 63). Perdagangan bebas juga akan menyatukan domestik dan menyatukan berbagai individu-individu dalam satu komunitas. Hal ini dikarenakan hambatan perdagangan telah mendistorsi persepsi dan hubungan antar individu sehingga menyebabkan ketegangan internasional. Sedangkan perdagangan bebas akan memperluas jangkauan dan mendorong pertemanan di tingkat internasional. Menurut Kant, seperti yang dikutip Burchil (1996), perdagangan tanpa hambatan 14 antara bangsa di dunia akan menyatukan mereka dalam suatu kerjasama yang damai. Demikian pula Ricardo percaya bahwa perdagangan bebas mengikat negara dalam kebersamaan (h.63). 3. Kepentingan Nasional Konsep kepentingan nasional oleh kaum neoliberal berakar dari konsepsi Adam Smith bahwa kebiasaan individu meraih kemakmuran sendiri merupakan kondisi yang normal dalam kehidupan manusia. Lalu kepentingan masing-masing individu tersebut terakumulasi menjadi satu yang kemudian dikenal dengan kepentingan nasional. Kepentingan nasional itu juga menjadi dasar untuk pembangunan kedamaian global, salah satunya dengan melakukan perdagangan bebas (Burchill 2005:104). Kaum Neoliberal Institusional juga mengadopsi pemahaman kaum realis dalam mendefinisikan kepentingan nasional. Kaum realis seperti Rosenau (2006) menjelaskan bahwa kepentingan nasional juga dikenal dengan istilah national honor, the public interest, dan the general will (h.247). Selain itu Holsti (1992) menyatakan bahwa kepentingan nasional merupakan alat untuk menganalisis tujuan dari kebijakan luar negeri suatu negara (h.168). Rosenau (2006) juga menyatakan bahwa konsep ini digunakan sebagai alat analisa kebijakan luar negeri dan sebagai instrumen tindakan politik internasional. Sebagai alat analisis, Ia digunakan untuk menggambarkan, menjelaskan, atau mengevaluasi sumber atau kecukupan kebijakan luar negeri suatu negara. Sebagai instrumen dari tindakan politik internasional, ia berfungsi sebagai sarana membenarkan, mencela, atau mengusulkan kebijakan (h.246). 15 Perbedaan mendasar antara kaum realis dan neoliberal dalam hal penerapan kepentingan nasional. Kaum realis berasumsi bahwa aktor concern dalam hal memaksimalkan relative gains mereka, yaitu keuntungan yang didapatkan negara bersifat relatif, tergantung dari berapa besar kontribusi yang diberikan suatu negara. Neoliberal Institusionalisme berasumsi bahwa dalam hal memenuhi kepentingan nasional, aktor negara concern dalam hal memaksimalkan absolut gains, yaitu keuntungan yang sama didapatkan oleh masing-masing negara dalam suatu kerjasama (Burchill 2005: 122). Keohane juga mengkritik pandangan kaum realis mengenai pemahaman implementasi kepentingan nasional, terutama pandangan Morghentau yang mengatakan bahwa kepentingan nasional lebih didahului daripada tujuan atau kepentingan internasional. Menurutnya, Morghentau melihat kepentingan nasional secara dangkal, tanpa memperhatikan efek dari tindakan aktor pada isu-isu atau nilai-nilai lain, atau dengan cara yang lebih berpandangan jauh, dengan mempertimbangkan dampak melanggar aturan dan norma-norma internasional oleh tujuan negara lain. Hal yang terpenting adalah bagaimana kepentingan didefinisikan, dan bagaimana institusi mempengaruhi negara untuk mendefinisikan kepentingan mereka sendiri (Keohane 2005: 99-100). 4. Kebijakan Luar Negeri Secara umum, kebijakan luar negeri merupakan suatu upaya, perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional (Yani, 2007:1). Kaum liberalis memberikan kontribusi dalam kebijakan luar 16 negeri untuk menjelaskan bagaimana individu, kekuatan sosial (kapitalisme dan pasar), dan institusi politik bisa memberikan efek langsung kepada hubungan luar negeri (Smith, Hadfield, dan Dunne 2008: 54). Keohane seperti yang di kutip oleh Carlsnaes (2008) menjelaskan bahwa pembuatan kebijakan luar negeri sebagai proses pembatasan pilihan pada negara untuk bertindak secara rasional dan strategis, dimana pembatasan ini bukan dalam hal kapabilitas power yang dihadapi negara di internasional, tetapi dalam hal sistem anarkis yang menumbuhkan ketidakpastian. Oleh karena itu masalah keamanan, harus tetap dipengaruhi oleh penciptaan rezim untuk memberikan informasi dan aturan umum, sehingga mendorong kerjasama internasional (h.121). F. Metode Penelitian Adapun metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik studi pustaka. Menurut Prof. Dr. Sugiyono (2009), metode kualitatif merupakan metode penelitian yang digunakan untuk meneliti kondisi objek alamiah, yang mana seorang peneliti diagggap sebagai instrumen kunci (h.9). Pendapat lain, Dr Husaini Usman (2009) menyatakan bahwa alat pengumpul data atau instrumen penelitian dalam metode kualitatif adalah peneliti. Jadi, seorang peneliti merupakan key instrument dalam pengumpulan data dengan menggunakan teknik pengumpulan data seperti obeservasi partisipasi, wawancara dan dokumentasi. Penelitian Kualitatif pada dasarnya dilakukan dalam situasi yang wajar (natural setting) dan data yang dikumpulkan juga berupa data yang umumnya bersifat kualitatif (h.78). Menurut Hendrarsono (2010), pada dasarnya proses 17 pengumpulan data dalam penelitian kualitatif tidak bersifat kaku, melainkan selalu disesuaikan dengan keadaan di lapangan. Selain itu juga, hubungan antara peneliti dengan yang diteliti bersifat interaktif dan tidak dapat dipisahkan (h.169). Skripsi ini menggunakan data premier dari website resmi pemerintahan Amerika Serikat, APEC, dan institusi-institusi lain yang penulis bahas dalam penelitian ini. Selain itu, data dikumpulkan melalui wawancara dengan staf dan senior analis APEC, Carlos Kuriyama, yang telah menerbitkan beberapa penelitian, salah satunya the Mutual Usefulness between APEC and TPP, kontributor analis di Peterston Institute for International Economic Prof. Peter A. Petri yang telah mengeluarkan beberapa penelitian terkait TPP, salah satunya The Trans Pacific Partnership and Asia-Pacific Integration: A Quantitative Assessment, dan Kepala Temasek Foundation Centre for Trade & Negotiations of Rajaratnam School of International Studies, Deborah K. Elms, yang telah mengeluarkan puluhan tulisan terkait TPP. Skripsi ini juga menggunakan data dari media-media internasional dan lokal, jurnal-jurnal terkait yang telah penulis kumpulkan dari Information Research Center kedutaan Amerika Serikat dan American Corner yang terdapat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. G. Sistematika Penulisan Adapun sistematika penulisan skripsi ini adalah: BAB I Pendahuluan A. Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka 18 E. Kerangka Pemikiran 1. Perspektif neoliberal Institutionalisme 2. Teori Comparatif Advantage 3. Kepentingan Nasional 4. Kebijakan Luar Negeri F. Metode Penelitian G. Sistematika Penulisan BAB II. Perekonomian Amerika Serikat dan Keikutsertaannya di Trans Pacific Partnership A. Gambaran Amerika Serikat B. Krisis Finansial 2007 C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership 1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial 2. Potensi Asia Pasifik 3. Potensi Trans Pacific Strategic Economic Partnerhsip 4. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral 5. Pivot to Asia dan the Rise of China BAB III. Trans Pacific Partnership A. Sejarah Trans Pacific Partnership: Trans Pacific Strategic Economic Partnership B. Potensi Trans Pacific Partnership 1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomiannya 2. Perjanjian Abad ke-21 dan Sindrom Noodle Bowl C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation BAB IV. Kebijakan Amerika Serikat dalam Memenuhi Kepentingan Ekonominya di Trans Pacific Partnerhsip Periode 2011-2013 A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 2011-2012 B. Menambah Keanggotaan TPP 1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011 2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP a. Korea Selatan b. Indonesia BAB V. Penutup A. Kesimpulan B. Saran BAB II PEREKONOMIAN AMERIKA SERIKAT SERTA KEIKUTSERTAANNYA DI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP Untuk mengetahui kebijakan Amerika Serikat dalam memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership, maka perlu mengetahui keadaan perekonomian Amerika Serikat beserta faktor yang menyebabkan negara ini bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut. Bab ini akan menjelaskan gambaran ekonomi Amerika Serikat, krisis finansial 2007, dan keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Partnership. A. Gambaran Perekonomian Amerika Serikat Amerika Serikat merupakan developed country yang mempunyai perekonomian terkuat di dunia. Data statistik yang dikeluarkan oleh Bank Dunia menunjukkan bahwa sejak tahun 1980 hingga 2012, pendapatan nasional Amerika Serikat secara konsisten berada di peringkat pertama sebagai negara dengan pendapatan terbanyak di dunia dan mengalami kenaikan setiap tahunnya. Tidak hanya itu, pendapatan negara yang berjumlah $15.684 M pada tahun 2012 tersebut besarnya hampir seperempat dari pendapatan semua negara. Jika dibagi dengan jumlah penduduknya, maka pendapatan per kapita negara tersebut sebesar $48.100, jauh di atas pendapatan perkapita rata-rata dunia yaitu $11.800 (Bank 2013: n.h). 19 20 Kekayaan Amerika Serikat tersebut juga di dukung dengan sumber daya yang melimpah. Sumber daya manusia dan alam yang dimilikinya bisa menjadikan negara ini sebagai negara produsen energi terbanyak di dunia, negara yang mempunyai infrastruktur baik dan teknologi maju, dan negara yang mempunyai produktivitas tinggi yang mampu menghasilkan barang dan jasa yang bernilai $40 milyar perharinya (Friedman 2012:4). Selain sumber daya berlimpah, kemakmuran yang dimiliki Amerika Serikat juga didapati dari aktifitas perdagangan bebas yang sudah dilakukan sejak dahulu. Seperti yang dijelaskan oleh the United States Trade Representative (USTR) bahwa proses pembukaan pasar dunia dan perluasan perdagangan telah dimulai di Amerika Serikat pada tahun 1934 dan berperan penting dalam perkembangan dan kemakmuran Amerika Serikat (Office of the USTR 2013:n.h). Perdana Menteri Amerika Serikat ke 47, Cordel Hull pada tahun 1948 pernah mengatakan bahwa perdagangan bebas: “dovetailed with peace; high tariffs, trade barriers, and unfair economic competition, with war. … If we could get a freer flow of trade … freer in the sense of fewer discriminations and obstructions … so that one country would not be deadly jealous of another and the living standards of all countries might rise, thereby eliminating the economic dissatisfaction that breeds war, we might have a reasonable chance of lasting peace (Friedman 2012:117)” "serupa dengan kedamaian; (sedangkan) tarif tinggi, hambatan perdagangan, dan persaingan ekonomi yang tidak adil, (sama) dengan perang. Jika kita bisa mendapatkan aliran bebas perdagangan... dalam arti lebih sedikit diskriminasi dan penghalang... maka satu negara tidak akan iri dengan (negara) lain dan standar hidup semua negara bisa naik, sehingga menghilangkan ketidakpuasan ekonomi yang 21 menghasilkan perang, kita bisa memiliki kesempatan yang wajar perdamaian abadi." Pada tahun 1948 tersebut, Amerika Serikat beserta 22 negara lainnya menandatangani General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang berisi seperangkat aturan internasional yang secara signifikan mengurangi tarif dan hambatan lain untuk arus perdagangan internasional. Pertemuan anggota GATT terus dilakukan, dan anggota semakin bertambah dari masa ke masa, hingga tahun 1995 terciptalah World Trade Organization (WTO) di Jenewa, Swiss yang salah satu wewenangnya adalah mengawasi kepatuhan negara anggota dengan perjanjian perdagagan (Friedman 2012:117). Sehingga dengan demikian proses GATT telah berkontribusi secara umum kepada perekonomian dunia dalam hal aktivitas perdagangan dan penurunan tarifnya, secara khusus kepada kemakmuran Amerika Serikat. Gambar II.A. Ekspor Impor (Barang dan Jasa) Amerika Serikat Ekspor Impor $3.000.000 $2.500.000 $2.000.000 $1.500.000 $1.000.000 $500.000 $1982 1985 1988 1991 1994 1997 2000 2003 2006 2009 2012 Sumber: World Trade Organization 2013 22 Gambar III.A menjelaskan bahwa, meskipun perdagangan Amerika Serikat selalu defisit dari segi balance of tradenya, namun terus mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Awalnya total ekspornya dari tahun 1982 - 1988 masih di bawah $500 milyar, di tahun 2012 sudah berada di atas $2 Triliun. Sedangkan untuk impor, tahun 1982 – 1985 masih berada di bawah $500, di tahun 2012 sudah melebihi $2,5 Triliun. Sehingga dengan perdagangan yang terbuka, dinamis, kompetitif, dan nilai perdagangan yang sebesar itu tidak hanya menjadikan Amerika Serikat sebagai negara perekonomian terbesar di dunia, tetapi juga negara ekportir dan importir terbesar di dunia yang selalu menjadi pilihan terbaik untuk melakukan bisnis dan investasi (Office of the USTR 2013:n.h). Total perdagangan dengan jumlah sebesar itu tentunya membawa benefit yang banyak bagi Amerika Serikat. USTR (2013) menjelaskan bahwa kegiatan ekspor dan impor telah membuka 9,8 juta lapangan pekerjaan, mermberikan pekerjaan yang lebih produktif dengan standar gaji tinggi, memperbanyak jenis produk untuk konsumen dan bisnis, dan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat (Office of the USTR 2013: n.h).. B. Krisis Finansial 2007 Perekonomian Amerika Serikat yang kuat, tidak menjamin negaranya bisa bebas dari krisis. Bermula dari tahun 2007, Amerika Serikat dan dunia menghadapi krisis finansial global. Banyak pendapat mengenai penyebab terjadinya krisis finansial tersebut seperti housing bubble di Amerika Serikat, lembaga penyalur kredit rumah Amerika Serikat yang tidak bijaksana dan tidak transparan, ketidakseimbangan global, black swan theory, dan berbagai pendapat 23 lainnya (Jickling 2009:5-10). Namun dari sekian literatur yang ada, krisis finansial tersebut memang berakar dari Amerika Serikat. Krisis bermula di saat banyaknya muncul bisnis subprime mortgage dalam bentuk properti pada tahun 2000-an. Subprime mortgage merupakan kebalikan dari prime mortgage, yaitu pemberian kredit kepada nasabah atau konsumen yang memiliki sejarah kredit yang buruk atau belum memiliki sejarah kredit sama sekali, sehingga digolongkan sebagai kredit yang berisiko tinggi. Penyaluran subprime mortgage di AS mengalami peningkatan pesat yakni sebesar US$ 200 miliar pada 2002 menjadi US$ 500 miliar pada 2005 (Qomariah 2009:n.h). Dilihat dari peningkatan tersebut, tentunya terdapat banyak properti dan lembaga penyalur properti di Amerika Serikat saat itu, sehingga berbagai cara dilakukan para penyalur untuk memasarkan produk tersebut, salah satu yang terkenal adalah ‘produk 2/28’. Produk 2/28 ini memiliki fitur fix rate pada dua tahun pertama dan akan berubah pada akhir tahun kedua menjadi adjustable rate untuk 26 tahun sisa kreditnya. Pada saat suku bunga kredit berubah, pembayaran bulanan konsumen dapat meningkat secara drastis. Hal ini menyebabkan konsumen yang memang kurang layak kredit mengalami kesusahan membayar cicilan, dan kemudian gagal bayar atau default (Kusuma 2007:n.h). Gagal bayar konsumen tersebut memicu terjadinya krisis finansial global, hal ini dikarenakan subprime mortgage melibatkan banyak lembaga investasi dan investor dengan melakukan skema sekuritisasi yang rumit. Seperti yang dijelaskan John Marshall (2009) setelah penyalur subprime mortgage menjual properti ke 24 konsumen, penyalur melakukan sekuritisasi dengan menjual surat kredit ke mortgage bank. Lalu mortgage bank membuat obligasi yang bisa dijual ke bank investasi. Kemudian bank investasi menggabungkan beberapa obligasi dan menjadikanya Mortgage-Backed Security (MBS) agar bisa di jual ke pasar dan dibeli oleh berbagai lembaga investasi dan investor di seluruh dunia (termasuk bank komersial, perusahaan asuransi, dan individu). Tidak hanya itu, MBS tersebut juga didaftarkan kedalam lembaga pemeringkat kredit dan memberi 80% MBS yang ada dengan grade AAA (tingkat kredit peringkat tertinggi) sehingga wajar jika banyak investor yang tertarik bermain dipasar subprime mortgage. Investor MBS akan mendapatkan keuntungan berupa bunga yang dibayarkan oleh konsumen dan dijamin oleh bank investasi, jika mengalami default, investor akan tetap mendapatkan agunan yang nantinya bisa kembali di jual dengan harga yang tinggi (h.15-7). Namun gagal bayar yang berujung kepada penyitaan rumah yang terjadi pada subprime mortgage Amerika Serikat pada tahun 2007 itu terjadi terjadi secara massive. RealtyTrac melaporkan bahwa pada tahun 2007 terdapat 2.203.295 pengajuan penyitaan rumah, meningkat sebanyak 75% dari tahun 2006 (White 2008:n.h). Gagal bayar dan penyitaan tersebut tentunya membuat nilai properti di Amerika Serikat turun drastis, karena tingginya penawaran dan sedikitnya permintaan. Selain itu, gagal bayar masal ini juga membuat perusahaan yang terlibat dalam subprime mortgage, baik perusahaan asuransi, bank komersial maupun bank investasi mengalami kerugian. Beberapa bank Amerika Serikat yang mengalami kerugian diantaranya Citigroup, Merrill Lynch, Morgan Stanley, 25 Bank of Amerika, Lehman Brothers, JPMorgan Chase, dan sebagainya. Sedangkan bank diluar Amerika Serikat yang mengalami kerugian adalah BNP Paribas Perancis, USB Swiss, HSBC Inggris, Deutsche Bank Jerman, Mizuho Financial Group Jepang, Fortis Belgia, ICIC India, ICBC Cina dan sebagainya (BBC News 2008:n.h). Muhammad Rumi Arrafat (2009) menjelaskan kerugian yang dialami oleh perusahaan-perusahaan tersebut, pada kenyataannya tidak hanya mempengaruhi pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan subprime mortgage, namun juga pihak-pihak yang tidak mempunyai kaitan secara langusng. Investor mengalami kepanikan karena dipicu oleh penurunan harga saham bank atau lembaga besar lainnya yang terkena imbas subprime mortgage. Penurunan tersebut dilihat investor bahwa perusahaan-perusahaan raksasa dan pasar modal Amerika Serikat sedang mengalami permasalahan serius. Sebagai tindakan rasional, para investor berlomba-lomba untuk menarik dananya dari pasar modal untuk menghindari kerugian. Prilaku investor-investor yang menarik dananya tentu saja menyebabkan kekeringan likuiditas di pasar modal dan krisis finansial terjadi (Arrafat 2009: 48). Bank sentral Amerika Serikat, the Federal Reserve (FED) telah beberapa kali mengeluarkan kebijakan moneter dengan menurunkan suku bunga. Seperti yang dilaporkan media Amerika Serikat bahwa pemerintahnya menurukan suku bunga menjadi 4,75% pada Agustus 2007 (Edmund et al 2007: n.h). Pemotongan suku bunga tersebut terus dilakukan oleh Amerika Serikat untuk mendorong aktifitas ekonomi, hingga 1,5% pada Oktober 2008 (Isidore 2008: n.h). Selain 26 memotong suku bunga, pemerintah Amerika Serikat juga menyuntikkan banyak dana ke pasar modal dan menyelamatkan beberapa perusahaan raksasa Amerika Serikat dari kebangkrutan (Qomariah 2009: n.h). Hal tersebut menggambarkan betapa parahnya keadaan finansial negara perekonomian terkuat di dunia tersebut. C. Keikutsertaan Amerika Serikat di Trans Pacific Strategic Economic Partnership Di saat Amerika Serikat masih menghadapi gejolak finansial di negaranya, pada 4 February 2008 pejabat USTR mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan berusaha untuk bergabung dengan sebuah kerjasama perdagangan bebas yang dikenal dengan Trans Pacific Strategic Economic Partnership (TPSEP) (Office of the USTR 2008:n.h). Amerika Serikat adalah negara kawasan Asia Pasifik pertama yang ingin bergabung dengan kerjasama ekonomi yang memang dibuat untuk negara-negara kawasan tersebut. Beberapa bulan kemudian, negara-negara lain di kawasan pun ingin bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut, dan TPSEP pun bertransformasi menjadi TPP. Awalnya TPSEP hanya beranggotakan Singapura, Selandia Baru, Chili, dan Brunei Darussalam, dan bertransformasi menjadi TPP dengan tambahan anggota Amerika Serikat, Malaysia, Vietnam, Australia, dan Peru hingga tahun 2010. TPP saat ini masih berada dalam proses negosiasi. Terdapat beberapa faktor yang melatar belakangi Amerika Serikat untuk bergabung dengan TPP, yaitu: 1. Krisis Ekonomi yang Disebabkan oleh Krisis Finansial Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa Amerika Serikat menghadapi permasalahan finansial serius yang bermula pada tahun 2007. 27 Gejolak keuangan ini telah menyinggung kepentingan nasional mendasar bagi negara tersebut terutama dalam hal keamanan ekonomi yang dampaknya tidak hanya disektor finansial saja, tertapi juga pada ekspor dan impor, tingkat pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (Nanto 2009:3). Selain itu juga terjadi resesi di Amerika Serikat seperti yang digambarkan oleh Gambar I.A (BAB I) bahwa GDP Amerika Serikat yang awalnya berjumlah $14.720 milyar pada tahun 2008 menurun menjadi $14.418 pada tahun 2009. Krisis finansial juga menyebabkan bangkrutnya perusahaan-perusahaan raksasa Amerika Serikat, tentunya membuat banyak pegawainya kehilangan pekerjaan, melemahnya nilai mata uang Amerika Serikat yang juga mata uang perdagangan internasional membuat berkurangnya kegiatan perdagangan internasional, sehingga mengurangi pemasukan negara. Seperti yang diwartakan oleh New York Post (2012) bahwa krisis finansial telah membuat Amerika Serikat kehilangan setidaknya $12,8 Triliun perekonomiannya dengan 23,1 juta pengangguran, $19 Triliun jumlah kekayaan negara, dan 46,2 Juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan (Kennan 2012: n.h). Untuk menghadapi krisis tersebut, pemerintah Amerika Serikat telah mengeluarkan beberapa kebijakan moneter, seperti menurunkan suku bunga, menyuntikkan dana ke pasar modal, menyelamatkan bank-bank besar dari kebangkrutan, dan sebagainya (BBC News 2009: n.h). Namun Amerika Serikat juga perlu menyelesaikan permasalahan yang diakibatkan oleh krisis finansial tersebut seperti pengangguran dan perdagangan internasional. Salah satu cara 28 yang bisa dilakukan oleh negara tersebut adalah dengan melakukan kerjasama perdangangan dengan negara lainnya untuk mendorong perekonomian, meningkatkan perdagangan, dan menambah lapangan pekerjaan. Seperti yang dijelaskan oleh pejabat USTR saat itu Susan Schwab: “We make this announcement... at a time when attention is focused on the challenges confronting the financial markets and our economy. The Administration is taking extraordinary measures to address these challenges and will continue to act to strengthen and stabilize the financial markets. Meanwhile, we have an opportunity to build on one of the strengths of our economy... Robust international trade is crucial to the health of the U.S. economy, particularly during the uncertain times we are experiencing.” "Kami membuat pengumuman ini (bergabungnya Amerika Serikat ke TPSEP)... pada saat perhatian difokuskan pada tantangan yang dihadapi pasar keuangan dan perekonomian kami. Administrasi (negara) mengambil langkah-langkah yang luar biasa untuk mengatasi tantangan ini dan akan terus bertindak untuk memperkuat dan menstabilkan pasar keuangan. Sementara itu, kami (USTR) memiliki kesempatan untuk membangun salah satu kekuatan ekonomi kami... Perdagangan internasional yang kuat sangat penting untuk kesehatan ekonomi Amerika Serikat, terutama selama masa yang tidak menentu yang kami alami. ]" 2. Potensi Asia Pasifik dan Trans Pacific Economic Strategic Partnership TPSEP merupakan kerjasama ekonomi yang akan beroperasi dikawasan Asia Pasifik. Sementara kawasan ini merupakan kawasan dengan perekonomian yang dinamis di dunia. Seperti yang dijelaskan oleh USTR pada tahun 2008 dalam sebuah press realese untuk memberitakan kepada media dan masyarakatnya mengenai bergabungnya Amerika Serikat dengan TPSEP, potensi perekonomian yang ada di Asia Pasifik menjadi alasan negara tersebut untuk bergabung. 29 USTR menjelaskan bahwa kawasan Asia Pasifik merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi global, yang mewakili hampir 60 persen dari GDP global dan sekitar 50 persen dari perdagangan internasional. Tingkat rata-rata pertumbuhan GDP di negara-negara berkembang pesat dan dinamis di kawasan ini dengan 5,1 persen pada 2006, dibandingkan dengan rata-rata dunia 3,9 persen. Sejak tahun 1990, total perdagangan barang Asia Pasifik telah meningkat sebesar 300 persen, sedangkan investasi global di wilayah ini telah meningkat lebih dari 400 persen. Perdagangan barang dan jasa Amerika Serikat dengan kawasan ini melebihi $2 triliun pada 2006, lebih dari dua kali lipat dalam 12 tahun terakhir. Arus investasi antara Amerika Serikat dan negara-negara Asia Pasifik juga substansial, foreign direct investment Amerika Serikat di kawasan ini mencapai $774 milyar pada tahun 2006, naik 10 persen dibanding tahun sebelumnya, sementara foreign direct investment Asia Pasifik di Amerika Serikat mencapai $ 424 miliar, meningkat 8 persen dari tahun 2005 (Sean Spicer dan Gretchen Hamel 2008:n.h) Konsep yang ditawarkan oleh TPSEP seperti the 21 century atau high standard agreement yang disertai dengan keanggotaan yang bersifat ekspansif terutama bagi negara kawasan Asia Pasifik bahkan di luar kawasan, tentunya membuat Amerika Serikat tertarik untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi ini. Terlebih lagi ini berkaitan dengan perekonomian bebas yang sejalan dengan kepentingan nasional Amerika Serikat. Seperti yang dijelaskan oleh Susan Schwab: “We are particularly interested in this high-standard agreement potentially serving as a vehicle for advancing trade and investment 30 liberalization and integration across the Trans pacific region and perhaps beyond. Ultimately, the objective is to expand the membership of the Agreement to other nations that share our vision of free and fair trade (Office of the USTR 2008: n.h).” “Kami sangat tertarik dalam perjanjian high standard (ini) yang berpotensi berfungsi sebagai kendaraan untuk memajukan liberalisasi perdagangan dan investasi, dan integrasi di seluruh wilayah trans pasifik dan mungkin di luar (kawasan). Pada akhirnya, tujuannya adalah untuk memperluas keanggotaan perjanjian ke negara-negara lain yang berbagi visi kami perdagangan bebas dan adil.” 3. Ketidakpuasan akan Kerjasama Global dan Bilateral Amerika Serikat telah bergabung dengan kerjasama ekonomi global, World Trade Organization (WTO) sejak organisasi ini berdiri pada 1 Januari 1995. WTO adalah organisasi yang mendorong liberalisasi perdagangan dan memonitor 159 negara anggotanya agar menaati peraturan perdagangan internasional. WTO juga merupakan wadah untuk menegosiasikan perjanjian perdagangan, pembukaan perdagangan, dan penyelesaikan sengketa perdagangan internasional (WTO 2013:n.h). Pada tahun 2001, WTO melansir sebuah negosiasi perdagangan bebas yang bernama Doha Developement Agenda (DDA) yang bertujuan untuk mereformasi sistem perdagangan internasional melalui pengenalan hambatan perdagangan yang lebih rendah dan pengkajian ulang aturan perdagangan. Program kerja ini mencakup 20 bidang perdagangan. Perjanjian yang buat saat konferensi WTO keempat di Doha Qatar ini awalnya direncanakan akan terealisasi pada tanggal 1 Januari 2005, namun tidak berjalan sesuai rencana (WTO 2013:n.h). Kemudian 31 menargetkan lagi pada tahun 2006. Namun, hingga 2012 DDA tidak memberikan hasil dan proses negosiasinya telah mengalami kegagalan (Gordon 2012:n.h). Karena kegagalan tersebut, Amerika Serikat mencoba menjalin kerjasama perdagangan bilateral dengan Panama, Kolombia, dan Korea Selatan (Gordon 2012:n.h) yang akhirnya terealisasi pada tahun 2011 (Office of the USTR 2013:n.h). Selain dengan tiga negara tersebut, Amerika Serikat sudah memiliki kerjasama bilateral dengan 17 negara lainnya yaitu Australia, Bahrain, Kanada, Chile, Costa Rica, Republik Dominican, El Salvador, Guatemala, Honduras, Israel, Jordania, Meksiko, Maroko, Nicaragua, Oman, Peru, dan Singapore. Ditambah Korea Selatan, Kolombia, dan Panama pada tahun 2011. Namun ternyata pendekatan bilateral juga tidak bisa menawarkan banyak keuntungan (Gordon 2012:n.h). Hal ini disebabkan negara masih memberikan beberapa hambatan perdagangan kepada Amerika Serikat. Dikarenakan kegagalan negosiasi organisasi yang berskala global (WTO) dengan Doha Development Agenda dan tidak maksimalnya keuntungan yang bisa didapatkan Amerika Serikat dengan melakukan kerjasama perdagangan bilateral, maka Amerika Serikat pun perlu bergabung dengan institusi yang tidak seluas WTO dan sesempit bilateral. 4. Pivot to Asia dan the Rise of China Tidak bisa dipungkiri bahwasanya kebangkitan Cina adalah sebuah fenomena internasional. Cina dengan beberapa kebijakannya lambat laun membangun perekonomiannya. Dimulai dengan kebijakan Open Door Policy yang dikeluarkan pada masa Deng Xiaoping, yaitu keterbukaan Cina dalam hal 32 perekonomian dengan dua kebijakan utamanya keterbukaan terhadap investasi asing serta pembukaan institusi-institusi tertentu secara nation wide (Galbraith dan Lu 2000:9). Alhasil, Cina bisa menjadi negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia. Seperti yang digambarkan oleh gambar III.C.4, pendapatan Cina dari tahun ke tahun meningkat tinggi. Sebelum tahun 1998, pendapatan Cina masih berada di bawah $1.000 milyar, sedangkan pada tahun 2012 sudah melebihi $8.000 milyar. Gambar III.C.4. Gross Domestic Product Cina $9.000 $8.000 $7.000 $6.000 $5.000 $4.000 $3.000 $2.000 $1.000 1960 1962 1964 1966 1968 1970 1972 1974 1976 1978 1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 $- Sumber: World Bank 2013 Untuk memacu pertumbuhan ekonominya, Cina juga melakukan kerjasama perdagangan, tidak terkecuali dengan negara-negara Asia. Cina sudah terhubung dengan beberapa perdagangan di regional Asia seperti Northeast Asia Free Trade 33 Area antara Cina, Korea Selatan, dan Jepang, dan Association of South East Asian Nations (ASEAN) + 3 yang terdiri dari 10 negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Singapura, Vietnam, Thailand, Myanmar, Filipina, Kamboja, Laos, dan Brunei Darussalam), dan ASEAN + 6 yang beranggotakan negara ASEAN+3 beserta India, Selandia Baru, dan Australia (5-6). Sehingga Cina memiliki peran penting di kawasan Asia. Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan Pivot to Asia, dengan perspektif bahwa pusat gravitasi kebijakan luar negeri, ekonomi, dan militer bergeser ke kawasan Asia Pasifik. Salah satu alasannya adalah untuk penyeimbang kebangkitan dan pengaruh Cina tersebut (Fergusson dan Vaughn 2011:8), dan dalam bidang ekonomi, Amerika Serikat menjadikan TPSEP/TPP sebagai instrumennya. BAB III TRANS PACIFIC PARTNERSHIP Untuk mengetahui kebijakan Amerika Serikat dalam memenuhi kepentingan ekonominya di kawasan Asia Pasifik melalui Trans Pacific Partnership (TPP), maka penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan TPP. Mulai dari latar belakang, struktur, instrumen, dan sebagainya. Bab ini akan membahas mengenai alat yang dijadikan oleh Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya tersebut (TPP). A. Sejarah Trans Pacific Partnership: Trans Pacific Strategic Economic Partnership TPP merupakan negosiasi perdagangan yang bermula dari perjanjian perdaganan khusus yang bernama Trans Pacific Strategic Economic Partnerhsip (TPSEP). Dalam sela-sela pertemuan sebuah forum ekonomi antara dua puluh satu negara di kawasan Asia Pasifik yang bernama Asia Pasific Economic Cooperation (APEC) pada tahun 1990-an, lima negara yaitu Amerika Serikat, Australia, Singapura, Chili, dan Selandia Baru mengadakan diskusi informal yang disebut ‘Pacific 5 – P5’, untuk mendiskusikan kemungkinan mekanisme penciptaan perjanjian perdagangan baru antara negara-negara tersebut (Elms dan Lim 2012:1). Namun, Amerika Serikat dan Australia saat itu tidak antusias dalam pembicaraan tersebut, sehingga akhirnya pembicaraan hanya dilanjutkan oleh 34 35 Singapura, Chili, dan Selandia Baru (Elms 2009:4), yang dijuluki sebagai negara P3. Negara P3 terus berdiskusi mengenai kemungkinan melakukan kerjasama ekonomi tersebut. Pada pertemuan APEC tahun 2002 di Meksiko, mereka (P3) mengumumkan kepada semua negara anggota APEC mengenai intensinya untuk membuat suatu perjanjian perdagangan khusus. Setelah itu, mereka pun mulai melakukan negosiasi perdagangan. Negosiasi antara negara P3 pun mulai dilakukan, baik pertemuan khusus maupun disela-sela pertemuan APEC. Dari tahun 2003 hingga tahun 2005, P3 sudah melakukan empat kali pertemuan (Elms dan Lim 2012:1). Di tengah perjalanan negosiasi, tepatnya pada negosiasi ke 5 pada tahun 2004, Brunei Darussalam meminta untuk bergabung dalam proses negosiasi dengan maksud ingin menjadi anggota pertama dalam perjanjian tersebut (Foreign Affairs and Trade of New Zealand 2012:n.h) Proses negosiasi tersebut akhirnya mencapai resolusi dan diumumkan pada pertemuan menteri perdagangan APEC tahun 2005 di Korea Selatan oleh negara P4 yaitu Singapura, Chili, Selandia Baru dan Brunei Darussalam (Foreign Affairs and Trade of New Zealand 2012:n.h). Perjanjian TPSEP dibuat dalam 20 bab perjanjian yang didampingi dengan dua nota kesepahaman (MoU) mengenai kerjasama lingkungan dan tenaga kerja. Namun, meskipun MoU lingkungan dan tenaga kerja diumumkan sebagai dokumen terpisah dari TPSEP, negara manapun yang keluar dari salah satu dari tiga perjanjian tersebut, secara otomatis keluar dari dua lainnya (Elms dan Lim 2012:1-2). 36 Saat negara P4 mengumumkan mengenai TPSEP dan 2 MoU tersebut, mereka tidak langsung meratifikasinya saat itu juga. Penandatangan kerjasama tersebut dilakukan pada 18 Juli 2005 oleh Chili, Selandia Baru dan Singapura, disusul oleh Brunei Darussalam pada 2 Agustus 2005. Sementara pemberlakukannya pada tanggal 1 Mei 2006 bagi Selandia Baru dan Singapura, tanggal 8 November 2006 bagi Chili, sedangkan Brunei menerapkan perjanjian tersebut secara parsial pada 12 Juni 2006 dan secara penuh pada 12 Juli 2009 (Kuriyama 2011:5). Mengenai tujuan dibentuknya kerjasama ini, menurut pasal 1.1 perjanjian TPSEP (2005), perjanjian ini berdasarkan kepada kepentingan bersama untuk memperdalam hubungan dalam berbagai bidang, diantaranya keuangan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan kerjasama lapangan. Namun, tidak terbatas kepada bidang-bidang itu saja karena juga dapat diperluas ke bidang lainnya. Sehingga dengan demikian, setiap negara anggota juga berupaya mendukung proses liberalisasi APEC secara konsisten dengan melakukan perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka. Secara spesifik pasal 1.1 menjelaskan bahwa TPSEP ini bertujuan untuk: 1. Mendorong ekspansi dan diversifikasi perdagangan di antara wilayah masing-masing; 2. Menghilangkan hambatan perdagangan dan memfasilitasi pergerakan lintas batas barang dan jasa antara wilayah; 3. Mendorong persaingan sehat di area perdagangan bebas; 4. Meningkatkan secara substansial peluang investasi antar wilayah; 37 5. Memberikan perlindungan yang memadai dan efektif, serta menegakkan hak kekayaan intelektual di wilayah masing-masing pihak; 6. Menciptakan mekanisme yang efektif untuk mencegah dan menyelesaikan sengketa perdagangan (h.1-1). TPSEP adalah perjanjian perdagangan bebas pertama yang menghubungkan Asia, Pasifik, dan Amerika Latin. Brunei Darussalam dan Singapura yang berada di Asia, Selandia Baru yang berada di Pasifik, dan Chili yang berada di Amerika Latin dihubungkan secara perdagangan oleh TPSEP tersebut. Selain keragaman geografis, perjanjian ini juga mempunyai cakupan yang luas. Hal ini dikarenakan perjanjian ini meliberalisasikan hampir semua produk barang, termasuk produk kebutuhan pokok. Hingga akhirnya pada tahun 2017, P4 harus benar-benar menjadikan tarif mereka menjadi nol pada semua barang, kecuali Brunei Darussalam dalam beberapa produk (Lewis 2010:31-32). Selain itu perjanjian ini juga merespon permasalahan-permasalahan baru yang terkait dengan perdaganan internasional, sehingga perjanjian ini sering disebut dengan perjanjian High Level dan atau 21 Century. Akan terus ada pembahasan lanjutan terkait isu-isu perdangan. Misalnya, pada perjanjian TPSEP bab 20 pasal 20.1 dan 20.2 mengatakan bahwa tidak lebih dari 2 tahun setelah TPSEP diberlakukan, negara anggota harus melakukan negosiasi lanjutan terkait investasi dan layanan finansial. Dengan demikian, sudah dapat dipastikan bahwa negara P4 akan terus melakukan pembahasan dan perundingan lanjutan sebelum 38 tahun 2009 dan tentunya hal ini membuat TPSEP menjadi perjanjian perdagangan yang akan terus mengalami perkembangan. Secara institusi, TPSEP membuat suatu badan yang bernama Trans pacific Strategic Economic Partnership Commission sebagai badan utama yang bertanggung jawab atas administrasi perjanjian. Komisi ini dapat membuat pertemuan di tingkat menteri atau pejabat senior yang didelegasikan oleh negara anggota. Menurut Pasal 17.2, Komisi ini mengawasi kerja komite dan kelompok kerja yang dibentuk di bawah TPSEP. Pasal tersebut juga menyebutkan bahwa komisi bertanggung jawab atas setiap hal yang berkaitan dengan implementasi perjanjian, penelaahan kesepakatan, pertimbangan jika terdapat proposal untuk melakukan amandemen, menentukan langkah-langkah untuk melakukan ekspansi perdagangan dan investasi antara negara anggota dan mengidentifikasi area kerjasama komersial, industri dan teknis, serta mempertimbangkan segala hal yang dapat mempengaruhi operasi perjanjian. Sehingga berdasarkan kepada penjelasan tersebut, dapat kita simpulkan bahwasanya TPSEP merupakan perjanjian perdagangan bebas yang diprakarsai dan berlaku bagi negara P4. Perjanjian ini menggunakan kerjasama dan perdagangan bebas dalam berbagai bidang, serta beberapa regulasi sebagai instrumennya. Selain itu, penandatanganan TPSEP ini juga dibarengi dengan ratifikasi dua nota kesepahaman terkait kerjasama lingkungan dan tenaga kerja. Walaupun TPSEP ini terkesan fleksibel, namun ia mempunyai badan dan komite yang memastikan implementasi perjanjian. 39 Terbentuknya TPSEP dan berjalannya perjanjian perdagangan bebas antara negara trans pasifik ini ternyata berhasil menarik intensi negara lain untuk bergabung. Apalagi TPSEP bersifat ekspansif secara keanggotan, berdasarkan kepada bab 20 pasal 20.6 yang mengatur mengenai aksesi, menyatakan bahwa aksesi perjanjian ini terbuka atas persetujuan anggota, untuk negara anggota APEC ataupun negara lainnya (h.20.1-20.3). Sehingga selain negara P4, terlebih lagi negara APEC, berkesempatan besar untuk bisa bergabung dengan perjanjian ini. Amerika Serikat adalah negara anggota APEC pertama yang menyatakan intensinya untuk bergabung dengan TPSEP. Keinginan Amerika Serikat tersebut disampaikan pada 4 February 2008 oleh pejabat United States Trade Representative (USTR) Susan Schwab yang berada di bawah kepemimpunan George W Bush. USTR mengumumkan bahwa Amerika Serikat akan berusaha untuk bergabung kembali dengan negara P4, dan ingin mengikuti negosiasi lanjutan TPSEP tentang investasi dan layanan finansial (Office of the USTR 2008:n.h). Analis, pengamat, dan para pengambil keputusan umumnya percaya bahwa Amerika Serikat bisa menjadi katalisator bagi negara Asia Pasifik untuk bergabung dengan TPSEP (Verguson dan Vaughn 2009:1). Hal itu terbukti dengan adanya beberapa negara APEC lainnya yang menyatakan intensinya untuk bergabung dengan perjanjian ini beberapa bulan setelah bergabungnya Amerika Serikat. Australia dan Peru mengumumkan keinginannya untuk bergabung pada November 2008, dan Vietnam juga mendaftarkan dirinya sebagai observer dalam 40 perjanjian tersebut (Kuriyama:5). Akhirnya negara P4 pun berkembang menjadi negara P7, dengan tambahan Amerika Serikat, Australia, Peru, dan Vietnam. Negara P7 merancanakan untuk memulai proses negosiasi pada Maret 2009. Namun, dikarenakan terjadi peralihan pemerintahan di Amerika Serikat dari presiden George W. Bush ke Barack H. Obama, maka negara tersebut meminta proses negosiasi di undur (Evenett, Mikic, dan Ratnayake 2009:144). Hingga akhirnya proses negosiasi TPSEP dengan jumlah anggota yang baru dimulai pada 15-19 Maret 2010 di Australia (Foreign Affair and Trade of New Zealand 2012:n.h). Proses negosiasi lanjutan TPSEP dengan jumlah negara anggota baru inilah yang dikenal dengan sebutan Trans pacific Partnership (TPP) (Kuriyama:6). Selama proses negoasiasi berjalan, TPP pun masih bisa menampung keanggotaan baru. Seperti Malaysia yang bergabung dalam proses negosiasi ke tiga yang diadakan di Brunei Darussalam pada 5-8 Oktober 2010 (Frangos dan Willamsom 2010:n.h). B. Potensi Trans Pacific Partnership Secara umum, perjanjian perdagangan bebas mempunyai tujuan yang sama diantaranya penghapusan tarif dan hambatan perdagangan lainya (Glodstein dan Pevehouse 2009:297). Manfaat perjanjian perdagangan bebas ini diantaranya meningkatkan perdagangan, konsumen mendapatkan barang atau jasa dengan biaya yang murah, dan meningkatkan investasi asing (Glodstein dan Pevehouse 2009:314). Namun TPP mempinyai distingsi tersendiri, jika dilihat dari potensi yang dimilikinya. Adapun potensi TPP adalah: 41 1. Potensi Keanggotaan dan Perekonomian Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa berdasarkan kepada bab 20 pasal 20.6 TPSEP mengenai aksesi, keanggotaan TPSEP terbuka bagi negara lain terutama negara anggota APEC. TPSEP pun bertranformasi menjadi TPP dengan bergabungnya satu persatu negara anggota APEC dari tahun 2008 hingga 2011, dimulai dari Amerika Serikat, Australia, Peru, Vietnam, dan Malaysia. Sehingga dengan sifat TPP yang ekspansif dari segi keanggotaan, tidak menutup kemungkinan bahwa keanggotaan TPP akan semakin bertambah dan semua negara anggota APEC bergabung dengan perjanjian perdangan tersebut. APEC adalah forum ekonomi yang beranggotakan dua puluh satu negara yang berada di kawasan Asia Pasifik. Kedua puluh satu negara anggota APEC itu adalah Australia, Brunei Darussalam, Kanada, Chili, Cina, Hong Kong, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Meksiko, Selandia Baru, Papua Nugini, Peru, Filipina, Rusia, Singapura, Taipei, Thailand, Amerika Serikat, dan Vietnam (Asia Pacific Economic Cooperation 2013:n.h). Hingga tahun 2011, 9 dari 21 negara di kawasan Asia Pasifik sudah bergabung dengan TPP. Jika jumlah negara anggota yang berpartisipasi dalam negosiasi TPP bertambah, maka potensi perekonomiannya juga bertambah. Apalagi kawasan Asia Pasifik yang merupakan kawasan dari anggota APEC tersebut merupakan wilayah yang perekonomiannya paling dinamis di seluruh dunia (Asia Pacific Economic Cooperation 2013:n.h), seperti yang digambarkan oleh tabel II.B.1. 42 Tabel III.B.1. Data Statistik Perekonomian 21 Negara Anggota APEC 2012 Nama Negara Amerika Serikat Pendapatan Nasional ($ Juta) Persentase kenaikan GDP Populasi (juta jiwa) 15.684.800 2,20% 313,9 Cina 8.227.103 7,80% 1350,7 Jepang 5.959.718 1,90% 127,6 Rusia 2.014.775 3,40% 143,5 Kanada 1.821.424 1,70% 34,9 Australia 1.520.608 3,40% 22,7 Meksiko 1.177.271 3,90% 120,8 Korea Selatan 1.129.598 2,00% 50 Indonesia 878.043 6,20% 246,9 Taipei 473.971 1,30% 0 Thailand 365.564 6,40% 66,8 Malaysia 303.526 5,60% 29,2 Singapura 274.701 1,30% 5,3 Chili 268.314 5,60% 17,5 Hong Kong 263.259 1,50% 7,2 Filipina 250.265 6,60% 96,7 Peru 197.111 6,30% 30 Vietnam 141.669 5,00% 88,8 Selandia Baru 139.768 3,00% 4,4 16.954 2,20% 0,4 15.654 18.547.451 (25,9%) 41.124.096 (57,4%) 8,00% 7,2 512,2 (7,3 %) 2764,4 (39,2%) Brunei Darussalam Papua Nugini TPP (P9) Asia Pasifik Dunia 71.666.350 3,8% 4,1% 7046,4 Sumber: Data Kolektif dari World Bank 2013 dan World Trade Organization 2013 Berdasarkan kepada Tabel III.B.1, dapat kita lihat bahwa 21 negara anggota APEC dan kawasan Asia Pasifik ini merupakan wilayah dengan perekonomian yang besar. Pendapatan nasional kawasan ini melebihi setengah dari pendapatan dunia yaitu 41.124.096 juta dolar Amerika Serikat atau 57,4% dari pendapatan 43 nasional seluruh negara di dunia. Selain itu, perekonomian kawasan ini dinamis dan terus berkembang dengan rata-rata kenaikan pendapatan nasional pertahunnya sebesar 4,1% dan lebih dari 10 negara mempunyai kenaikan pendapatan nasional lebih dari 3%. Selain itu, kawasan ini merupakan rumah dari hampir 40% penduduk dunia. Sehingga dengan demikian, TPP berpotensi untuk mempunyai anggota tambahan di masa yang akan datang, yang secara otomatis juga menambah potensi perdagangan perjanjian tersebut. 2. Perjanjian Abad ke-21 dan Sindrom Noodle Bowl Saat suatu kawasan mempunyai puluhan atau bahkan ratusan perjanjian perdagangan yang masih dalam proses diskusi dan negosiasi, atau sudah ditandatangani, maka kawasan tersebut cenderung terkena sindrom noodle atau spagethi bowl (Baldwin 2007:5). Hal ini dikarenakan terlalu banyaknya komitmen perdagangan sehingga tidak terorganisir (Baldwin 2008:3). Hal ini mengakibatkan negara di kawasan tersebut terikat dengan komitmen yang berbeda-beda, mekanisme yang berbeda, dan batas pelaksanaan yang berbeda-beda pula (Kawai dan Wignaraja 2009:6). Selain itu, menurut Petri et. al (2011) sindrom ini juga bisa memberikan masalah karena perjanjain perdagangan membebankan biaya dan mengurangi insentif dan tidak meningkatkan produktivitas (h.4). Kawasan Asia Pasifik merupakan wilayah yang terjangkit sindrom noodle bowl. Jika kita gambarkan bagaimana perjanjian perdagangan yang ada di kawasan Asia Pasifik, maka ia akan berbentuk seperti gambar II.B.2. Gambar tersebut memperlihatkan bagaimana perjanjian perdagangan bebas di kawasan 44 Asia Pasifik, baik bilateral maupun multilateral, benar-benar terlihat chaos dan tumpah tindih dalam hal komitmen perdagangan internasional. Gambar III.B.2 Noodle Bowl di Asia Pacifik Sumber: Yulisman, TPP: A Question of Competitiveness for Indonesia, the Jakarta Post, 2011 Menurut Petri et. al (2011) TPP berpotensi untuk mengkonsolidasikan perjanjian perdagangan bebas yang ada di kawasan Asia Pasifik dan menyembuhkan sindrom noodle bowl yang ada di wilayah ini (h.4). Hal ini dikarenakan sifat TPP yang merupakan perjanjian perdagangan bebas yang high standard dan sesuai dengan abad ke-21. TPP menjadi perjanjian abad ke-21 karena karena kesepakatan ini membahas isu-isu baru, yang mempunyai elemen-elemen baru dan merespon tantangan perdagangan yang terdapat di abad ke-21 (Office of the USTR 45 2013:n.h). Adapun beberapa fitur TPP menurut garis besar perjanjian perdangan tersebut adalah: 1. Akses pasar yang komprehensif, untuk menghilangkan tarif dan hambatan lainnya terkait perdagangan dan investasi, sehingga dapat menciptakan peluang dan manfaat baru bagi pekerja, bisnis, dan konsumen. 2. Perjanjian bersifat regional, untuk memfasilitasi pengembangan produksi dan suplai, menciptakan lapangan pekerjaan, meningkatkan standar hidup, meningkatkan kesejahteraan dan meningkatkan pertumbuhan berkelanjutan di regional TPP. 3. Membahas isu-isu perdagangan lintas sektoral, mewujudkan halhal yang sudah dibangun oleh APEC dan forum ekonomi lainnya, seperti keterpaduan regulasi, daya saing dan fasilitasi bisnis, usaha kecil dan menengah, dan pengembangan. 4. Tantangan perdagangan baru, untuk mempromosikan perdagangan dan investasi produk dan layanan yang inovatif, termasuk yang berkaitan dengan ekonomi digital dan teknologi lingkungan, dan juga untuk memastikan lingkungan bisnis yang kompetitif di seluruh wilayah TPP. 5. Menjalankan kesepakatan, untuk mengaktifkan dan memperbarui perjanjian yang sesuai untuk mengatasi masalah perdagangan yang muncul di masa depan, serta isu-isu baru yang muncul dengan 46 perluasan perjanjian untuk memasukkan negara-negara baru (Office of the USTR 2011:n.h). C. Trans Pacific Partnership dan Asia Pacific Economic Cooperation Jika dilihat dari penjelasan mengenai TPP, institusi ini sangat berkaitan erat dengan salah satu institusi kawasan Asia Pasifik lainnya yaitu Asia Pacific Economic Cooperation (APEC). Keterkaitan itu terlihat dari sejarah pendirian TPP, keanggotaan, cakupan, dan beberapa hal lainnya. Namun, bukan berarti TPP adalah bagian dari APEC ataupun TPP menciptakan pertumpang tindihan dengan APEC. Keduanya merupakan institusi berbeda dengan pondasi yang berbeda pula. Hal tersebut berdasakan kepada studi yang dilakukan oleh seorang pejabat APEC, Carlos Kuriyama (2011) yang berjudul ‘Mutual Usefulness between APEC and TPP’ menjelaskan secara detail mengenai kedua institusi tersebut. Walaupun dalam penelitiannya, Kuriyama (2011) tidak menafikan bahwa terdapat kesamaan antara APEC dan TPP, yaitu cakupan yang sama di kawasan Asia Pasifik dan tujuan mengurangi biaya transaksi dalam rangka mendorong perdagangan dan investasi. Namun walaupun demikian, terdapat perbedaan mendasar antara kedua institusi ini sehingga tidak menjadikan kedua institusi ini saling timpang tindih, malah keduanya menguntungkan satu sama lainnya (h.11). APEC yang berdiri pada tahun 1989 merupakan forum konsultasi ekonomi regional dengan tujuan untuk memperkuat pertumbuhan ekonomi kawasan, juga mengembangkan dan memproyeksikan kepentingan-kepentingan kawasan dalam konteks multilateral. Pada tahun 1993, negara anggota memperdalam semangat forum tersebut dengan berdasarkan kepada visi bersama untuk mencapai 47 stabilitas, keamanan, dan kemakmuran bagi masyarakatnya. (Kuriyama 2011:1) Visi tersebut diperkuat dengan dikeluarkannya Bogor Declaration pada tahun 1994, dengan memberikan target selambat-lambatnya pada tahun 2020 bagi negara kawasan Asia Pasifik tersebut untuk berhasil melakukan perdagangan bebas dan investasi terbuka (Asia Pacific Economic Partnership 1994:n.h). Menurut Kuriyama (2011), Deklarasi Bogor akhirnya menjadi hal yang sangat penting bagi APEC karena ia membentuk tujuan akhir APEC dalam hal pencapaian pertumbuhan yang berkelanjutan, pemerataan pembangunan, dan penguatan rasa komunitas di kawasan Asia Pasifik. Untuk mencapai tujuan ini, APEC mempunyai tiga pilar utama yaitu meningkatkan liberalisasi perdagangan dan investasi, mengintensifkan pembangunan atau fasilitas bisnis, dan melakukan kerjasama ekonomi dan teknis (h.2) Perbedaan yang mendasar antara APEC dan TPP adalah, APEC merupakan forum atau dialog terbuka antara pemerintahan di kawasan Asia Pasifik yang beroperasi atas dasar komitmen yang bersifat tidak mengikat (non-binding). Selain itu keputusan yang dibuat dalam APEC dicapai dengan cara konsensus dan komitmen untuk merealisasikan keputusan tersebut hanya bersifat sukarela (voluntary), atau dengan kata lain tidak diwajibkan bagi setiap negara anggota untuk melakukannya (Asia Pacific Economic Cooperation 2013:n.h). Berbeda dengan TPP, institusi ini nantinya akan berbentuk perjanjian perdagangan bebas, di mana setiap perjanjian perdagangan bebas bersifat terikat (binding) seperti TPSEP ataupun perjanjian-perjanjian perdagangan bebas lainnya (Kuriyama 2011:10). Perjanjian perdagangan bebas bukanlah wadah untuk 48 berkonsultasi dan diskusi mengenai perdagangan dan ekonomi internasional, melainkan wadah untuk menegosiasikan perdagangan internasional yang nantinya akan benar-benar direalisasikan. Kuriyama melihat kedua institusi ini memberikan keuntungan satu sama lainnya, APEC memberikan keuntungan kepada TPP dan TPP memberikan keuntungan kepada APEC. Manfaat APEC bagi TPP diantaranya, APEC menjadi inkubator terciptanya TPP, APEC memberikan banyak ide dan inisiatif yang bisa membantu proses negosiasi TPP, dan APEC menjadi rujukan dalam proses negosiasi TPP. Sementara manfaat TPP bagi APEC dalam agenda integrasi ekonomi kawasan APEC, TPP menjadi alat tambahan untuk membuka investasi dan mecapai perdagangan bebas di Asia Pasifik, dan TPP bisa menjadi konvergensi di kawasan Asia Pasifik (Kuriyama 2011:12 -19). Sehingga berdasarkan kepada penjelasan tersebut, secara langsung maupun tidak langsung, terdapat keterikatan antara dua institusi internasional ini. BAB IV KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT UNTUK MEMENUHI KEPENTINGAN EKONOMINYA MELALUI TRANS PACIFIC PARTNERSHIP PERIODE 2010-2013 Dalam bab-bab sebelumnya, telah dijelaskan mengenai kondisi perekonomian Amerika Serikat, kerjasama perdagangan bebas yang bernama Trans Pacific Partnership (TPP), serta faktor-faktor yang menyebabkan negara tersebut bergabung dengan TPP. Meskipun TPP masih berada dalam proses negosiasi, namun pada periode 2011-2013, Amerika Serikat telah mengeluarkan beberapa kebijakan agar bisa maksimal mendapatkan keuntungan dari kerjasama ekonomi ini nantinya. Secara umum, kebijakan luar negeri merupakan suatu upaya, perangkat formula nilai, sikap, arah serta sasaran untuk mempertahankan, mengamankan, dan memajukan kepentingan nasional di dalam percaturan dunia internasional (Yani, 2007:1). Kaum liberalis memberikan kontribusi dalam kebijakan luar negeri untuk menjelaskan bagaimana individu, kekuatan sosial (kapitalisme dan pasar), dan institusi politik bisa memberikan efek langsung kepada hubungan luar negeri (Smith, Hadfield, dan Dunne 2008: 54). Bab ini akan menjelaskan kebijakan atau upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership. 49 50 A. Mengajukan Pembahasan terkait Kepentingan Nasional Amerika Serikat dalam Agenda Negosiasi Trans Pacific Partnership 2011-2012 Neoliberal institusionalisme adalah perspektif yang berusaha untuk menghilangkan potensi-potensi konflik melalui institusi sebagai instrumen utamanya. Sehingga perspektif ini menekankan pada pentingnya kehadiran sebuah institusi dalam kerjasama. Institusi tersebut akan mementukan peran, memaksakan tindakan, serta membetukan insentif kepada aktor (Keohane 1989:3). Pada saat menyampaikan intensinya untuk bergabung dengan TPSEP (2008), Amerika Serikat menyakini bahwa perjanjian ini nantinya akan meningkatkan jumlah ekspor dan menciptakan lapangan pekerjaan bagi rakyatnya (Office of the USTR 2009: n.h). Keyakinan tersebut didasarkan kepada insentif yang ditawarkan oleh institusi yang bertransformasi dari TPSEP ke TPP tersebut. Seperti yang telah penulis jelaskan sebelumnya bahwa TPSEP/TPP mempunyai potensi perekonomian dan keanggotaan yang sangat luas karena beroperasi dikawasan ekonomi paling dinamis di seluruh dunia (Asia Pasifik). Selain insentif berupa potensi perekonomian dan keanggotaan, TPSEP/TPP juga memberikan kesempatan kepada Amerika Serikat untuk mengajukan hal-hal yang terkait dengan kepentingan nasionalnya dalam institusi tersebut. Hal ini dikarenakan TPSEP/TPP masih berada dalam proses negosiasi, sehingga sangat memungkinkan bagi Amerika Serikat dan semua negara anggota untuk melakukan hal tersebut. Konsep kepentingan nasional oleh kaum neoliberal berakar dari konsepsi Adam Smith bahwa kebiasaan individu meraih kemakmuran sendiri merupakan kondisi yang normal dalam kehidupan manusia. Lalu kepentingan masing-masing 51 individu tersebut terakumulasi menjadi satu yang kemudian dikenal dengan kepentingan nasional. Kepentingan nasional itu juga menjadi dasar untuk pembangunan kedamaian global, salah satunya dengan melakukan perdagangan bebas (Burchill 2005:104). Berkaitan dengan kebijakan Amerika Serikat untuk mengusulkan concern negaranya di proses negosiasi TPP, maka kita bisa melihat kepentingan nasional apa yang dimiliki dan diajukan oleh Amerika Serikat dalam proses negosiasi TPP. Pada tahun 2008 (saat Amerika Serikat ingin bergabung dengan TPP), negara ini masih berada dalam proses pemulihan perekonomian akibat krisis finansial yang bermula pada tahun 2007. Seperti yang dijelaskan oleh Nanto (2009) bahwa gejolak keuangan menyinggung kepentingan nasional mendasar untuk melindungi keamanan ekonomi Amerika Serikat (h.3). Gema krisis finansial berdampak pada ekspor dan impor, tingkat pertumbuhan pengangguran, dan pendapatan serta pengeluaran pemerintah (Nanto 2009:3). Akibatnya Amerika Serikat kehilangan setidaknya $12,8 Triliun perekonomiannya dengan 23,1 juta pengangguran, $19 Triliun jumlah kekayaan negara, dan 46,2 Juta masyarakat berada di bawah garis kemiskinan (New York Post 2012: n.h). Sehingga kebutuhan serta kondisi utama Amerika Serikat saat itu adalah mengembalikan perekonomian dan kesejahteraan rakyatnya. Amerika Serikat sudah mendorong beberapa kepentingan nasional dan ekonominya dalam proses negosiasi. Seperti yang disampaikan oleh deputi USTR Demetrios Marantis bahwa hingga Oktober 2011, Amerika Serikat telah mengajukan proposal ke 20 kelompok negosiasi, termasuk akses pasar, jasa 52 keuangan, IP rights, investasi, dan lingkungan. Perekonomian Amerika Serikat membutuhkan TPP untuk meumbuhkan perekonomian dan lapangan pekerjaan (Office of the USTR 2011: n.h). Tentunya setiap proposal yang diajukan oleh Amerika Serikat dalam proses negosiasi tersebut berdasarkan kepada kepentingan nasionalnya. Misalnya, pengajuan proposal Amerika Serikat dalam undang-undang intelectual property (IP) rights. IP merupakan suatu kreasi dari pikiran manusia berupa penemuan, karya seni, sastra, simbol, nama dan gambar yang digunakan dalam perniagaan. IP bisa dikategorikan menjadi industri properti (meliputi paten untuk penemuan, merek dagang, desain industri, dan indikasi geografis) dan hak cipta (mencakup karya sastra, film, musik, karya seni, dan desain arsitektur, termasuk artis, produser rekaman, penyiar radio, dan program televisi). Sedangkan IP rights memungkinkan pencipta, atau pemilik, paten, merek dagang atau hak cipta bekerja untuk mendapatkan keuntungan dari inovasi dan pemikiran yang mereka buat (What is Intellectual Property n.d:h.2-3) Menurut United States Patent and Trademark Office (2012), inovasi yang dilindungi oleh IP right adalah kunci untuk menciptakan lapangan pekerjaan baru dan pertumbuhan ekspor. Hal tersebut dikarenakan IP berada di setiap sektor produk dan jasa Amerika Serikat, dan tersebar di seluruh dunia. Maka perlindungan terhadap IP dalam perdagangan Amerika Serikat merupakan hal penting agar IP terus tumbuh, sehingga bisa membuka lapangan pekerjaan dan menumbuhkan ekspor (Intellectual Property and the U.S. Economy: Industries in Focus 2012: h.i). 53 Ian Ferguson dan Bruce Vaughn (2011) melaporkan penelitiannya kepada kongres Amerika Serikat bahwa proposal Amerika Serikat terkait IP rights telah diajukan pada putaran ke-8 negosiasi TPP di Chicago pada September 2011. Proposal tersebut akan membuat signifikansi yang lebih mendalam mengenai paten, data, dan ketentuan paten jika perusahaan ingin mengajukan permohonan pemasaran produk mereka melakui akses TPP (h.12). Namun media lokal Australia melaporkan bahwa proposal Amerika Serikat tersebut ditolak oleh semua negara anggota TPP pada negosiasi ke 11 pada bulan Maret 2012 di Australia (Gordon 2012: n.h). Walaupun demikian, dikarenakan TPP masih berada dalam proses negosiasi maka Amerika Serikat masih berkesempatan untuk memenuhi kepentingan nasionalnya terkait IP. Hal itu terlihat dari agenda pembahasan negosiasi pada pertemuan ke 12 hingga 18, di mana IP masih menjadi salah satu pembahasan dalam negosiasi. B. Menambah Keanggotaan TPP Transformasi TPSEP menjadi TPP terjadi dikarenakan beberapa negara anggota APEC ingin ikut bergabung dengan TPSEP. Negara pertama yang menyatakan diri ingin bergabung dengan kerjasama perjanjian perdangangan tersebut adalah Amerika Serikat. Negara tersebut pun menyakini bahwa ia bisa menjadi katalisator yang membuat negara lain ikut bergabung dengan TPP. Hal ini terbukti dengan bergabungnya Australia, Vietnam, Chili, dan Malaysia hingga tahun 2010. 54 Gambar IV.B. Trans Pacific Partnership Tahun 2010 Sumber: Williams, Trans-Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and Economic Analysis, Congressional Research Service, 2012 Sembilan negara tersebut mempunyai ekonomi dan demografis yang beragam (trans pasifik). Seperti yang gambarkan oleh gambar IV.B, Amerika Serikat mempunyai populasi dan ekonomi yang jauh lebih besar daripada anggota lainnya. Populasi Amerika Serikat empat kali lebih banyak dibandingkan Vietnam 55 dan mempunyai GDP yang hampir dua belas kali GDP Australia (Williams 2012: 5). Selain itu, Amerika Serikat sudah mempunyai perjanjian perdagangan bebas dengan empat negara, Australia, Singapura, Chili, dan Peru, sehingga kesempatan Amerika Serikat untuk membuka perdagangan mereka hanya ke Brunei Darussalam, Selandia Baru, Malaysia, dan Vietnam. Salah satu asumsi perspektif neoliberal institusionalisme adalah rasionalitas. Asumsi rasionalitas fokus pada strategi, aktor akan memperhitungkan tindakan mereka agar direaksi oleh aktor lain (Dunne et. al 2007:112). Selain itu, aktor rasional bersifat profit-seeking, maka ia akan melakukan kalkulasi untung dan rugi dalam mengambil suatu kebijakan agar mengeluarkan kebijakan yang mendapatkan keuntungan yang maksimal (Snidal 2002:75). Selain itu aktor rasional juga mampu membangun cara yang paling efektif dan efisien untuk mewujudkan kepentingan mereka dalam kendala yang mereka hadapi (Burchill 1996:192). Sebagai aktor rasional, Amerika Serikat tentu sudah mengkalkulasikan keuntungan dan kerugian dalam setiap kebijakan luar negeri yang dimilikinya, termasuk di TPP. Salah satu hal yang membuat Amerika Serikat mendapatkan keuntungan yang lebih dari TPP adalah jumlah sumberdaya atau anggota yang berpartisipasi dalan negosasi perdagangan ini. Jumlah anggota yang bergabung dengan TPP sangat penting bagi Amerika Serikat untuk memaksimalkan kepentingan ekonominya dalam institusi tersebut. Sejak awal bergabungnya Amerika Serikat di negosiasi perdagangan ini, penambahan anggota sudah menjadi concern negara yang memiliki ekonomi 56 terkuat ini. Seperti yang dikatakan oleh pejabat USTR saat itu Ron Kirk kepada kongres bahwa partisipasi Amerika Serikat didasarkan pada tujuan bersama kelompok ini untuk berkembang dengan memasukkan tambahan ekonomi AsiaPasifik dan akan menjadi (perdagangan) yang terbesar, kolaborasi perdagangan yang paling dinamis (Office of the USTR 2009: n.h). Semakin banyak negara yang bergabung dengan TPP, maka semakin besar juga peluang Amerika Serikat untuk meningkatkan ekspor dan menciptakan lapangan pekerjaan. Permasalahannya adalah penambahan anggota TPP berhenti pada tahun 2010, atau dengan kata lain tidak ada lagi negara Asia Pasifik yang mengungkapkan intensinya untuk begabung dengan TPP setelah Malaysia. Sebagai aktor rasional yang ingin maksimal mendapatkan keuntungan dari perjanjian perdagangan ini, maka Amerika Serikat perlu mengeluarkan beberapa kebijakan atau upaya agar anggota TPP bertambah. Kebijakan atau upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat diantaranya: 1. Menawarkan Insentif yang dimiliki TPP Saat Menjadi Host Economy APEC 2011 Perspektif neoliberal institusionalisme menjelaskan bahwa salah satu faktor yang membuat suatu negara mau melakukan kerjasama adalah insentif yang ditawarkan oleh institusi tersebut. Institusi menyediakan insentif kerjasama dalam dunia yang anarki (Keohane 1989:1). Institusi juga dapat membentuk perilaku aktor agar merespon insentif kerjasama, mengatasi masalah kecurangan dalam bekerjasama, serta masalah miskomunikasi antar aktor. Selain itu institusi juga dapat berperan sebagai wadah kerjasama, di mana biaya kerjasama akan lebih 57 murah dari yang seharusnya (Keohane 1989:2). Dengan demikian, jika Amerika Serikat ingin menambah sumberdaya TPP, salah satu cara yang bisa digunakan adalah menawarkan institusi tersebut kepada negara lainnya, agar negara lain merespon insentif yang dimilikinya, kemudian bersedia melakukan kerjasama. Pada tahun 2011, Amerika Serikat telah mendapatkan kesempatan untuk menjadi host economy APEC ke-28. Sebelumnya negara ini juga pernah menjadi host economy pada pertemuan APEC ke 5 pada tahun 1993 (Office of the USTR 2011: n.h). Host economy bertanggung jawab untuk memimpin rapat ekonomi tahunan kepala negara, rapat tingkat menteri, rapat pejabat senior, APEC Business Advisory Council dan Pusat Studi APEC Konsorsium (APEC 2013: n.h). Selain itu, menjadi host economy memberikan keuntungan tersendiri bagi tuan rumah karena ia juga bertugas untuk mengatur tema dan prioritas tahunan APEC dan mengendarai elemen-elemen penting dari program kerja APEC. Hal tersebut memberikan peluang bagi host economy untuk mengatur arah masa depan organisasi APEC yang sesuai dengan kebijakan luar negeri host economy (Information about APEC 2007: n.h). Pada saat menjadi economy host APEC 2011, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan luar negeri untuk memprioritaskan tiga isu dalam forum tersebut: meningkatkan perdagangan dan memperkuat integrasi ekonomi regional, mendukung green growth dan green job, dan mempromosikan praktik regulasi yang memfasilitasi perdagangan dan investasi (the White House 2011: n.h). Mengenai tujuan tersebut, pimpinan rapat Senior Official Meeting (SOM) APEC, Michael Froman menyampaikan bahwa tujuan utama dari APEC 2011 adalah 58 untuk memfokuskan isu perdagangan dan investasi generasi mendatang seperti pasokan, kinerja, inovasi, teknologi, dan bagaimana bentuk perdagangan abad ke21 (integrasi perdagangan). Tujuan ini melengkapi tujuan TPP (IIP Digital 2011: n.h). Amerika Serikat merupakan aktor rasional dan berusaha untuk memajukan kepentingan nasionalnya agar semua anggota APEC mengetahui tentang TPP dengan mengambil integrasi ekonomi sebagai isu utama, karena pada isu tersebut lah TPP bisa masuk ke dalam agenda APEC. Seperti deklarasi para pemimpin APEC pada pertemuan tahun 2010 yang berbunyi: “We will take concrete steps toward realization of a Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP), which is a major instrument to further APEC's regional economic integration agenda. An FTAAP should be pursued as a comprehensive free trade agreement by developing and building on ongoing regional undertakings, such as ASEAN+3, ASEAN+6, and the Trans pacific Partnership, among others. To this end, APEC will make an important and meaningful contribution as an incubator of an FTAAP by providing leadership and intellectual input into the process of its development, and by playing a critical role in defining, shaping, and addressing the "next generation" trade and investment issues that FTAAP should contain (Asia-Pacific Economic Cooperation 2010: n.h).” "Kami akan mengambil langkah konkrit untuk merealisasikan Free Trade Area of the Asia-Pacific (FTAAP) yang merupakan instrumen utama untuk agenda integrasi ekonomi regional APEC. FTAAP harus diupayakan dengan suatu perjanjian perdagangan yang komprehensif dengan mengembangkan dan membangun undertaking yang sedang berlangsung di regional, seperti diantaranya ASEAN+3, ASEAN+6, dan TPP. Untuk mencapai tujuan ini, APEC akan memberikan kontribusi penting sebagai inkubator dari FTAAP dengan memberikan input kepemimpinan dan intelektual ke dalam proses 59 pengembangannya, dan dengan memainkan peran penting dalam mendefinisikan, mempertajam, dan menyikapi isu perdagangan dan investasi 'generasi mendatang' yang harus dibendung oleh FTAAP." Berdasarkan pernyataan pemimpin negara anggota APEC tersebut, dapat kita simpulkan bahwa APEC juga memberikan wadah untuk mengembangkan TPP, karena TPP nantinya bisa menjadi inkubator untuk terciptanya integrasi ekonomi di kawasan Asia Pasifik melalui FTAAP. Apalagi jika mayoritas atau semua anggota APEC bergabung dengan TPP, maka FTAAP akan semakin cepat terwujud. Terwujudnya FTAAP berarti akan ada kawasan perdagangan bebas terbesar di dunia yang melibatkan 21 negara Asia Pasifik, pasar yang sangat menjanjikan bagi perekonomian Amerika Serikat. Selain memprioritaskan isu yang mengarah kepada integrasi di saat Amerika Serikat menjadi economy host APEC 2011, negara ini beserta partner TPP-nya sudah merencanakan untuk menyelesaikan garis besar (bukan final) perjanjian perdagangan tersebut saat APEC 2011. Rencana tersebut merupakan hasil dari rapat para menteri perdagangan anggota TPP, di sela-sela rapat menteri perdagangan APEC 2010 di Sapporo, Jepang (Office of the USTR 2011:n.h). Target itu pun tercapai dan para pemimpin TPP pun menyepakati garis besar yang telah diselesaikan dalam sembilan putaran negosiasi tersebut (CNN 2011:n.h). Dengan pengambilan isu integrasi ekonomi dan telah disepakatinya garis besar tersebut mengakibatkan semua perhatian tertuju kepada TPP saat APEC 2011 tersebut. Seperti yang dijelaskan oleh Mireya Solis (2012) APEC 2011 telah membuat semua perhatian orang tertuju kepada inisiatif TPP. Presiden Obama telah berhasil membuat TPP menjadi poin vokal dalam proses integrasi ekonomi 60 berstandar tinggi (n.h). Selain itu, ketua kajian APEC Indonesia Evi Fitriani, Ph.d (2012) juga pernah menjelaskan dalam focus group disscussion terkait APEC di FISIP UIN Jakarta bahwa pada APEC 2011, Obama lebih sibuk mengurusi TPP dibandingkan APEC (n.h). Dengan upaya yang dilakukan oleh Amerika Serikat tersebut, negara ini mencoba untuk menawarkan insentif yang dimiliki oleh TPP kepada negara APEC secara tidak langsung. Amerika Serikat menawarkan kepada negara kawasan bahwa TPP merupakan negosiasi perdagangan yang akan membantu mewujudkan FTAAP yang merupakan perdagangan bebas di Asia Pasifik. Menurut teori comparative advantage, perdagangan bebas bagaimanapun adalah cara yang lebih damai untuk mendapatkan kekayaan nasional. Masingmasing negara akan lebih baik secara ekonomi dengan melakukan perdagangan bebas daripada negara tersebut berusaha untuk mandiri (tidak melakukan perdagangan) dengan alasan nasionalisme (Burchill 1996: 63). Sehingga jika FTAAP terwujud, maka setiap negara di Asia Pasifik akan bisa mendapatkan kekayaan nasionalnya secara damai. Selain itu, berdasarkan kepada garis besar TPP yang dirilis saat APEC 2011, perjanjian perdagangan ini mempunyai insentif lainnya, seperti peningkatkan perdagangan dan investasi antara negara-negara mitra TPP, mempromosikan inovasi, pertumbuhan dan pembangunan ekonomi, dan mendukung penciptaan dan retensi pekerjaan, dan memfasilitasi pengembangan rantai produksi dan pasokan di antara anggota TPP. 61 Upaya Amerika Serikat dan TPP tersebut ternyata tidak sia-sia. Tiga negara Asia Pasifik lainnya pun menyatakan intensinya untuk begabung dengan perjanjian perdagagan ini, yaitu Meksiko, Kanada, dan Jepang. Perdana Menteri Kanada, Stephen Harper, mengatakan bahwa mereka telah melihat garis besar yang telah dibuat oleh TPP dan sesuai dengan Kanada, sehingga membuat mereka tertarik untuk bergabung dengan kerjasama ekonomi tersebut. Menteri Ekonomi Meksiko juga menyampaikan bahwa mereka akan mulai melakukan konsultasi agar bisa segera bergabung dengan kerjasama tersebut. Jepang yang merupakan negara ekonomi terbesar ketiga juga menyampaikan hal yang serupa (Garibian, Pablo dan Younglai 2011:n.h). Tentunya hal tersebut merupakan suatu kesuksesan tersendiri bagi Amerika Serikat karena kepentingan nasionalnya telah terpenuhi. Seperti yang disampaikan oleh presiden Amerika Serikat dalam suatu pidato setelah pelaksanaan APEC 2011: “I’d note that we also made a lot of progress increasing trade on the sidelines of APEC. As I announced yesterday (13 Nov 2011), the United States and our eight partners reached the broad outlines of an agreement on the Trans pacific Partnership. And today I’m pleased that Japan, Canada and Meksiko have now expressed an interest in this effort (Halperin 2011:n.h).” “Saya akan mencatat bahwa kami juga membuat banyak kemajuan peningkatan perdagangan di sela-sela APEC. Seperti yang saya mengumumkan kemarin (13 Nov 2011), Amerika Serikat dan delapan mitra kami mencapai garis besar kesepakatan TPP. Dan sekarang saya senang bahwa Jepang, Kanada dan Meksiko telah menyatakan minat dalam upaya ini.” 62 Terpenuhinya kepentingan nasional Amerika Serikat tersebut, akan memberikan keuntungan bagi negara itu dalam hal perekonomian. Pakar ekonomi kongres Amerika Serikat Brock R. Williams (2012) melaporkan kepada anggota kongres bahwa bergabungnya Jepang, Kanada, dan Meksiko di TPP akan meningkatkan signifikansi ekonomi institusi tersebut secara umum dan Amerika Serikat secara khusus. Hal ini dikarenakan ketiga negara tersebut merupakan partner utama perdagangan Amerika Serikat (7). TPP yang awalnya hanya beranggotakan 9 negara, mewakili 5% dari total market share Amerika Serikat, namun jika tiga negara lainnya bergabung, meningkatkan market share barang negara tersebut menjadi 36%, seperti yang terlihat pada gambar IV.B.1 (Williams 2013:7). Gambar IV.B.1 Market Share Amerika Serikat Tahun 2011 Sumber: Williams, Trans-Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and Economic Analysis, Congressional Research Service, 2013 2. Mengundang Negara Lain untuk Bergabung dengan TPP Upaya efektif dan efisien lain yang telah dilakukan oleh Amerika Serikat untuk menambah keanggotaan TPP adalah dengan mengajak negara yang belum 63 bergabung dengan proses negosiasi tersebut secara langsung. Amerika telah mengajak beberapa negara anggota APEC untuk bergabung dengan TPP, diantaranya Korea Selatan pada tahun 2011 dan Indonesia pada tahun 2011 dan 2013. a. Korea Selatan Korea Selatan merupakan salah satu negara anggota APEC yang termasuk dalam kategori developed country dan mempunyai perekonomian kuat. Pada tahun 2012, negara ini mempunyai pendapatan negara (GDP) terbesar ke 15 di dunia dengan pendapatan $ 1,12 triliyun (The World Bank 2013:n.h). Negara ini juga merupakan pemain utama dalam perdagangan internasional, terbukti dari data WTO bahwa pada tahun 2011 korea utara merupakan negara pengeskpor dan pengimpor terbesar ke 5 di dunia (World Trade Organization 2013:n.h). Sehingga dengan potensi yang dimiliki oleh Korea Selatan, membuat Amerika Serikat tertarik untuk mengajaknya mengikuti proses negosiasi TPP. Amerika Serikat secara official telah meminta Korea Selatan untuk bergabung dengan TPP sejak tahun 2011. Namun saat itu Korea Selatan masih belum menyatakan diri tertarik bergabung, karena ingin menuntaskan terlebih dahulu negosiasi perdagangan bebas bilateral antara Amerika Serikat dan Korea (yang saat itu masih berada dalam proses negosiasi antara kedua negara tersebut) dan ingin mempelajari dahulu mengenai TPP (The Dong-A Ilbo 2011:n.h). Akhirnya pada 15 Maret 2012 perjanjian perdagangan bebas bilateral antara Amerika Serikat dan Korea Selatan berhasil dibuat, dan sudah mulai mengkaji kemungkinan untuk bergabung dengan TPP atas ajakan Amerika Serikat. 64 Walaupun tertarik untuk bergabung, Korea Selatan saat ini belum mengeluarkan keputusan mengenai keikutsertaannya di TPP (Mundy 2013:n.h) b. Indonesia Indonesia merupakan developing country yang memiliki perekonomian yang besar. Hal ini terbukti dengan pendapatan negara ini terbesar ke 18 di dunia dengan pendapatan $878,2 milyar pada tahun 2012. Negara ini juga termasuk kedalam 20 besar negara pengekspor dan pengimpor di dunia (World Trade Organization 2013: n.h) Indonesia juga negara di kawasan Asia Pasifik dan anggota forum APEC. Pada pertemuan APEC 2011, Amerika Serikat mengajak Indonesia secara langsung untuk bergabung dengan negoasisi TPP. Namun Indonesia tidak langsung menerima tawaran tersebut karena negara ini ingin lebih berhati-hati sebelum bergabung dengan suatu perjanjian perdagangan. Seperti yang dikatakan oleh presiden Indonesia Susilo Bambang Yodhoyono: "Saya penganut free and fair trade. Maka saat banyak yang mengajak free trade, saya sangat hati-hati. Free trade yang dikelola baik, bisa mendatangkan manfaat luar biasa. Belajar pengalaman lalu, saya tidak suka bila setelah UU free trade disahkan timbul masalah, seperti ada elemen yang tidak siap (Hertanto 2011)" Pada Juni 2013, Amerika Serikat yang saat itu diwakili dewan bisnis USASEAN dan eksekutif kamar dagang Amerika Serikat mendatangi istana negara Indonesia untuk melobi negara tersebut agar bersedia ikut dalam proses negosiasi TPP (the Jakarta Post 2013: n.h). Namun hingga saat ini, Indonesia belum menyatakan diri secara resmi untuk ingin bergabung dengan TPP. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan kepada bab-bab sebelumnya dari skripsi ini, dapat disimpulkan bahwa Amerika Serikat telah mengeluarkan beberapa upaya dan kebijakan untuk memenuhi kepentingan ekonominya melalui Trans Pacific Partnership (TPP). Upaya dan kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat adalah pertama, mengusulkan kepentingan nasionalnya dalam proses negosiasi dan kedua, mengupayakan penambahan sumberdaya atau anggota TPP. Amerika Serikat mengusulkan kepentingan nasionalnya agar dimasukkan dalam kesepakatan TPP. Poin-poin kepentingan nasional yang diusulkan tersebut berdasarkan kepada sektor-sektor yang memberikan sumbangan besar dalam perekonomian dan kemakmuran Amerika Serikat seperti akses pasar, jasa keuangan, investasi, intellectual property, dan lingkungan. TPP memberikan kesempatan yang besar bagi Amerika Serikat untuk melakukan upaya tersebut, dikarenakan saat ini TPP masih berada dalam proses negosiasi. Selain itu, Amerika Serikat juga berupaya agar sumberdaya atau jumlah keanggotaan di TPP bertambah. Penambahan anggota TPP merupakan hal penting bagi Amerika Serikat, mengingat TPP hanya beranggotakan sembilan negara hingga tahun 2010. Ditambah negara ini sudah memiliki perjanjian perdagangan 65 66 bebas bilateral dengan empat dari sembilan negara tersebut. Sehingga Amerika Serikat tidak bisa maksimal memperoleh keuntungan dari TPP tersebut. Agar sumberdaya TPP bertambah, Amerika Serikat telah melakukan beberapa upaya dan mengeluarkan beberapa kebijakan, yaitu menawarkan insentif yang dimiliki oleh TPP kepada negara anggota APEC dan mengundang negara lain untuk bergabung dengan TPP. Insentif yang ditawarkan oleh Amerika Serikat tersebut disampaikan secara tersirat saat negara tersebut menjadi host economy APEC pada tahun 2011. Amerika Serikat yang saat itu mempunyai wewenang untuk menentukan topik prioritas forum APEC 2011, mengarahkan pembahasan forum yang beranggotakan negara-negara kawasan Asia Pasifik tersebut ke TPP. Sehingga TPP menjadi highlight pada saat itu. Hasilnya, Jepang, Kanada, dan Meksiko menyatakan ketertarikannya untuk bergabung dengan TPP, dan pakar ekonomi Amerika Serikat mengatakan bahwa dengan bergabungnya tiga negara tersebut memberikan signifikansi ekonomi TPP bagi Amerika Serikat. Selain itu, Amerika Serikat juga telah mencoba menambah keanggotaan TPP dengan mengajak secara langsung negara lain untuk bergabung, diantaranya Korea Selatan dan Indonesia. Namun hingga saat ini kedua negara tersebut belum memberikan keputusan mengenai keikutsertaan mereka di TPP. Amerika Serikat perlu memenuhi kepentingan ekonominya dikarenakan negara tersebut mengalami kemunduran ekonomi akibat krisis finansial yang terjadi sejak tahun 2007. Kemunduran tersebut ditandai dengan terjadinya resesi 67 setelah tahun 2008, banyaknya pengangguran, menurunnya nilai ekspor dan impor, dan sebagainya. B. Saran Pembahasan mengenai Amerika Serikat, kawasan Asia Pasifik, dan Trans Pacific Partnership merupakan pembahasan yang penting dan menarik untuk dibahas. Beberapa saran yang perlu disampaikan untuk penelitian berikutnya terkait pembahasan ini pertama, gunakanlah data primer jika ingin meneliti pembahasan ini, karena untuk mendapatkannya cukup mudah. Kedua, agar penelitian terkait Amerika Serikat dan Trans Pacific Partnership semakin sempurna, telitilah pembahasan ini ketika proses negosiasi perdagangan ini selesai, misalnya peran TPP dalam mereduksi sindrom noodle bowl di kawasan Asia Pasifik, efek perjanjain TPP kepada negara anggota, dan sebagainya. Ketiga, pantau reaksi aktor non-TPP atas kemunculan TPP ini. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku Akademik, Tim P. P. 2012. Panduan Penyusunan Proposal dan Penulisan Skripsi. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Baldwin, Richard E. 2008. “The East Asian Noodle Bowl Syndrome.” Pp. 45-79 in East Asia's Economic Integration: Progress and Benefit, edited by Daisuke Hiratsuka and Fukunari Kimura. New York: PALGRAVE MACMILLAN. Bergsten, C. F. 2005. “A New Foreign Policy for the United States.” Pp. 3-61 in The United States and The World Economy. Washington DC: Institute for International Economics. Burchill, Scott. 2005. The National Interest in International Relations Theory. Palgrave Macmillan. Carlsnaes, Walter. 2008. “Actors, structures, and foreign policy analysis.” h.120121 di Foreign policy: theories, actors, cases. Oxford University Press. -----------, Scott, Andrew Linklater, Richard Devetak, Jack Donnelly, Matthew Paterson, Christian Reus-Smit dan Jacqui True. 2005. Theories of international relations. 3rd ed. New York: Palgrave Macmillan. Cossa, Ralph A., Brad Glosserman, Michael A. McDevitt, Nirav Patel, James Przystup, Brad Roberts. 2009. The United States and the Asia-Pacific Region: Security Strategy for the Obama Administration. Washington DC: CNAS. Dunne, Tim, Milja Kurki, and Steve Smith, eds. 2007. International Relations Theories. New York, New York: Oxford University Press. Evenett, Simon J., Mia Mikic, dan Ravi Ratnayake. 2009. Trade-led Growth: A Sound Strategy for Asia. New York: United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. Friedman, Michael J., ed. 2012. Outline of the U.S. Economy. 2012th ed. Washington DC: United States Department of States. ix x Goldstein, Joshua S. Dan Jon C. Pevehouse. 2010. International Relations. New Jersey: Pearson. Hendrarsono, Emy Susanti. 2010. Metode Penelitian Sosial. Jakarta: PT Kencana. Holsti, K.J. 1992. International Politics: A framework for Analysis. 6th ed. New Jersey: Prentice-Hall International. Intellectual Property and the U.S. Economy: Industries in Focus. 2012. Washigton D.C.: U.S. Department of Commerce. Keohane, Robert O. 1989. “Neoliberal Institutionalism: A Perspective on World Politics.” Pp. 1-20 in International Institutions and State Power, edited by Robert O. Keohane. Boulder, Nevada: Westview Press. ----------, Robert O. 2005. After hegemony: Cooperation and discord in the world political economy. Princeton University Press. Kuriyama, Carlos. 2011. The Mutual Usefulness between APEC and TPP. Singapore: APEC. Love, Patrick dan Lattimore Ralph. 2009. OECD Insights International Trade Free, Fair and Open?: Free, Fair and Open?. OECD Publishing. Robinson, James A. 2008. “the Latin America Equilibrium.” Pp. 161-193 in Falling Behind: Explaining the Development Gap Between Latin America and the United States, edited by Francis Fukuyama. New York: Oxford University Press. Rosenau, James N. 1969. International Politics and Foreign Policy, a Reader in Research and Theory. New York: Macmillan Publishing. Rosenau, James N. 2006. The Study of World Politics. New York: Routledge. Snidal, Duncan 2002. “Rational Choice and International Relations.” Pp. 99-127 in Handbook of International Relations. London: SAGE Publications Ltd. Smith, Steve, Amelia Hadfield, and Timothy Dunne, eds. 2008. Foreign policy: theories, actors, cases. Oxford University Press. Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta. Usman, Husaini dan Akbar Purnomo Setiady. 2009. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara. xi What is Intellectual Property. Switzerland: World Intellectual Property Organization. 2. Jurnal Arrafat, Muhammad R. 2009. Tesis: Faktor Penyebab Krisis Finansial Global 2008 Serta Ekses Krisis Terhadap Tatanan Ekonomi Global. Jakarta: Departemen Ilmu Hubungan Internasional Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia. Baldwin, Richard E. 2007. “Managing the Noodle Bowl:The fragility of East Asian Regionalism.” Asian Developement Bank: Working Paper Series on Regional Economic Integration 7. Clinton, Hillary. 2011. “America's Pacific Century.” Foreign Policy, November. Elms, Deborah. 2009. “From the P4 to the TPP: Explaining Expansion Interests in the Asia‐Pacific.” United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific. Elms, Deborah d. C. L. L. 2012. “The Trans-Pacific Partnership Agreement (TPP) Negotiations: Overview and Prospects.” Rajaratnam School of International Studies 232. Fergusson, Ian F. dan Bruce Vaughn. 2011. “The Trans-Pacific Partnership Agreement.” Congressional Research Service R40502:1-18. Fergusson, Ian F., William H. Cooper, Remy Jurenas dan Brock R. Williams. 2012. “The Trans-Pacific Partnership Negotiations and Issues for Congress.” Congressional Research Service R42694:1-50. Galbraith, James K. dan Jiaqing Lu. 2000. “Sustainable Development and the Open-Door Policy in China.” UTIP Working Paper 6:1-19. Lewis, Meredith K. 2011. “the Trans-Pacific Partnership: New Paradigm of Elf in Sheep Clothing?” Boston College International & Comparative Law Review 34:27:27-52. Jickling, Mark. 2009. “Causes of the Financial Crisis.” Congressional Research Service R40173:CRS2-7. Kawai, Masahiro dan Ganeshan Wignaraja. 2009. “The Asian “Noodle Bowl”: Is It Serious for Business?” Asian Developement Bank Institute 136. Marshall, John. 2009. “The Financial Crisis in the US: Key Events, Causes and Responses.” House of Commons Research Paper 09/34:1-49. xii Nanto, Dick K. 2009. “The Global Financial Crisis: Analysis and Policy Implications.” Congressional Research Service RL34742:1-151. Petri, Peter A., Michael G. Plummer dan Fan Zhai. 2011. “The Trans-Pacific Partnership and Asia-Pacific Integration: A Quantitative Assessment.” East-West Center Working Paper Economic Series 119:1-70. Williams, Brock R. 2012. “Trans-Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and Economic Analysis.” Congressional Research Service R42344:1-34. ----------. 2013. “Trans-Pacific Partnership (TPP) Countries: Comparative Trade and Economic Analysis.” Congressional Research Service R42344:1-34. 3. Website Asia Pacific Economic Cooperation. 1994. “1994 Leaders' Declaration, Bogor Declaration - APEC Economic Leaders' Declaration of Common Resolve.” Diunduh 25 Juni 2013 (http://www.apec.org/MeetingPapers/Leaders-Declarations/1994/1994_aelm.aspx). ----------. 2013. “About APEC.” Diunduh 25 (http://www.apec.org/About-Us/About-APEC.aspx). Juni 2013 ----------. 2013. “Achievement and Benefit.” Diunduh 29 Juni 2013 (http://www.apec.org/About-Us/About-APEC/Achievements-andBenefits.aspx). ----------. 2013. “What is Asia-Pacific Economic Cooperation?” Diunduh 29 Juni 2013 (http://apec.org/About-Us/About-APEC.aspx). ----------. 2010. “2010 Leaders' Declaration Yokohama Declaration - The Yokohama Vision - Bogor and Beyond.” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://www.apec.org/Meeting-Papers/LeadersDeclarations/2010/2010_aelm.aspx). ----------. 2013. “How APEC Operates.” Diunduh 10 Oktober (http://www.apec.org/about-us/how-apec-operates.aspx). 2013 BBC News. 2008. “Timeline: Sub-prime losses.” Diunduh 20 Agustus 2013 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/business/7096845.stm). ----------. 2009. “Timeline: Credit crunch to downturn.” Diunduh 26 September 2013 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/7521250.stm). CNN. 2011. “Obama pushes trans-Pacific trade deal at APEC.” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://edition.cnn.com/2011/11/12/politics/obama-apec/). xiii Edmund L. Andrews dan Jeremy W. Peters. 2007. “Markets Soar After Fed Cuts Key Rate by a Half Point.” The New York Times. Diunduh 26 September 2013 (http://www.nytimes.com/2007/09/18/business/18cndfed.html). Foreign Affair and Trade of New Zealand. 2012. “History Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement, Understanding the P4 - The original P4 agreement.” Diunduh 2013 Juli 13 (http://www.mfat.govt.nz/Tradeand-Economic-Relations/2-Trade-Relationships-and-Agreements/TransPacific/0-history.php). Frangos, Alex dan Elizabeth Willamson. 2010. “Interest Builds in Pacific Trade Zone.” The Wall Street Journal. Diunduh 07 Oktober 2013 (http://online.wsj.com/article/SB10001424052748704011904575538003 964028436.html). Garibian, Pablo dan Rachelle Younglai. 2011. “Canada, Mexico ask to join panPacific trade talks.” Reuters. Diunduh 10 Oktober 2013 (http://www.reuters.com/article/2011/11/14/us-apec-canada-tppidUSTRE7AC12B20111114). Global Post. 2013. “S. Korea considering joining TPP: report.” Diunduh 16 Okotber 2013 (http://www.globalpost.com/dispatch/news/kyodo-newsinternational/130909/s-korea-considering-joining-tpp-report). Gordon, Bernard K. 2012. “Trading Up in Asia: Why the United States Needs the Trans-Pacific Partnership.” Foreign Affairs. Diunduh 09 Agustus 2013 (http://www.foreignaffairs.com/articles/137727/bernard-kgordon/trading-up-in-asia). Halperin, Mark. 2011. “TRANSCRIPT: President Obama’s APEC Press Conference.” Time The Page. Diunduh 10 Oktober 2013 (thepage.time.com/2011/11/14/transcript-president-obamas-apec-pressconference/). Hertanto, Luhur. 2011. “SBY Tak Langsung Percaya Ajakan Obama Masuk 'TPP'.” Detik Finance. Diunduh 16 Oktober 2013 (http://finance.detik.com/read/2011/11/14/213252/1767330/4/sby-taklangsung-percaya-ajakan-obama-masuk--tpp-). Hiebert, Murray, Meredith Broadbent, dan Lindsay Ross. 2012. “The Significance of the Trans-Pacific Partnership Negotiations.” Center for Strategic and International Studies. Diunduh 2013 Juni 24 (http://csis.org/publication/significance-trans-pacific-partnershipnegotiations). xiv IIP Digital. 2011. “APEC 2011 Concludes.” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://iipdigital.usembassy.gov/st/english/mobile/2011/03/20110315155 7218.356571e-05.html). Information about APEC 2007. 2007. “The Importance of APEC.” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://www.apec2007.org/importance.htm). Isidore, Chris. 2008. “Fed: Emergency cut.” CNN Money. Diunduh 26 September 2013 (http://money.cnn.com/2008/10/08/news/economy/fed_move/). Kennan, Terry. 2012. “$12,8 Trilliun Wiped out in four years.” New York Post. Diunduh 08 April 2012 (http://www.nypost.com/p/news/business/item_gOMb4C8vOot8JNpadWPktN). Kusuma, Sid H. 2007. “Memahami Subprime Mortgage AS.” Detik Finance. Diunduh 20 Agustus 2013 (http://finance.detik.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/09/tgl/0 3/time/102208/idnews/824757/idkanal/6). Mundy, Simon. 2013. “South Korea warms to idea of joining TPP trade group.” Financial Times. Diunduh 18 November 2013 (http://www.ft.com/cms/s/0/e675c4d8-3c85-11e3-a8c400144feab7de.html). New Zealand, Brunei Darussalam, Singapore, dan Chili. 2005. “Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement.” Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement. Diunduh 25 Juli 2013 (http://www.sice.oas.org/Trade/CHL_Asia_e/TransPacific_ text_e.asp). Office of the United State Trade Representative. 2011. “Joint Statement From Trans-Pacific Partnership Ministers Meeting on Margins of APEC in Big Sky, Montana.” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://www.ustr.gov/aboutus/press-office/press-releases/2011/may/joint-statement-trans-pacificpartnership-ministers-me). ----------. 2008. “Schwab Statement on launch of the U.S. Negotiations to join the Trans- Pacific Strategic Economic Partnership Agreement.” Diunduh 06 September 2013 (http://www.ustr.gov/Document_Library/Press_Releases/2008/Septembe r/Schwab_Stateme). ----------. 2008. “United States to Join Sectoral Negotiations with Four AsiaPacific Countries Will Explore Participation in Broader Strategic Partnership Agreement.” Diunduh 20 Februari 2013 (http://www.ustr.com). xv ----------. 2009. “Increasing U.S. Exports, Creating American Jobs: Engagement with the Trans-Pacific Partnership.” Diunduh 20 Agustus 2013 (http://www.ustr.gov/about-us/pressoffice/blog/2009/november/increasing-us-exports-creating-americanjobs-engagement-tra). ----------. 2009. “USTR Ron Kirk Remarks On Trans-Pacific Partnership Negotiations.” Diunduh 03 Oktober 2013 (http://www.ustr.gov/aboutus/press-office/press-releases/2009/december/ustr-ron-kirk-remarkstrans-pacific-partnership-n). ----------. 2011. “APEC USA 2011” (http://www.ustr.gov/apec2011). Diunduh 10 Oktober 2013 ----------. 2011. “Outlines of the Trans Pacific Partnership Agreement” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://www.ustr.gov/apec2011). ----------. 2013. “Benefits of Trade.” Diunduh (http://www.ustr.gov/about-us/benefits-trade). 18 Agustus 2013 ----------. 2013. “Trans Pacific Partnership Frequently Asked Question.” Diunduh 24 Juni 2013 (http://www.ustr.gov/sites/default/files/TPPFAQ.pdf). ----------. 2013. “U.S. - Korea Free Trade Agreement.” Diunduh 26 September 2013 (http://www.ustr.gov/trade-agreements/free-tradeagreements/korus-fta). ----------. 2011. “Deputy USTR Updates on TPP.” Diunduh 20 Agustus 2013 (http://www.ustr.gov/about-us/press-office/pressreleases/2011/october/deputy-ustr-updates-tpp). Qomariah, Nurul. 2009. “Kronologi dan Latar Belakang Krisis Finansial Global.” Detik Finance. Diunduh 20 Agustus 2013 (http://finance.detik.com/read/2009/04/15/120601/1115753/5/kronologidan-latar-belakang-krisis-finansial-global). Representative, Office o. t. U. S. T. 2008. “Schwab Statement on launch of the U.S. Negotiations to join the Trans-Pacific Strategic Economic Partnership Agreement.” Office of the United States Trade Representative. Diunduh 15 Maret 2013 (http://www.ustr.gov/schwabstatement-launch-us-negotiations-join-trans-pacific-strategic-economicpartnership-agreement). ----------. 2011. “Office of the United States Trade Representative.” The United States in the Trans-Pacific Partnership. Diunduh 15 Maret 2013 (http://www.ustr.gov/about-us/press-office/factsheets/2011/november/united-states-trans-pacific-partnership). xvi ----------. 2013. “Economy and Trade.” Office of the United States Trade Representative. Diunduh 07 Maret 2013 (http://www.ustr.gov/tradetopics/economy-trade). Sean Spicer dan Gretchen Hamel. 2008. “United States to Join Sectoral Negotiations with Four Asia-Pacific Countries, Will Explore Participation in Broader Strategic Partnership Agreement.” Office of the United States Trade Representatives. Diunduh 02 September 2013 (http://www.ustr.gov). Solís, Mireya. 2012. “Don't Let the Trans-Pacific Partnership Fade.” Brookings. Diunduh 10 Oktober 2013 (http://www.brookings.edu/research/opinions/2012/09/12-trans-pacificpartnership-solis). The Dong-A Ilbo. 2011. “US requests Korea’s joining of regional FTA.” Diunduh 16 Oktober 2013 (http://english.donga.com/srv/service.php3?bicode=020000&biid=20111 21816208). the Jakarta Post. 2013. “US-ASEAN Businessmen Lobby Indonesia on TPP.” Diunduh 16 Oktober 2013 (http://www.thejakartapost.com/news/2013/06/25/us-asean-businessmenlobby-indonesia-tpp.html). the White House. 2011. “APEC: Fact Sheet on 19th Annual Leaders Meeting Outcomes Creating Jobs, Growth, and Economic Opportunity with AELM Declaration & Annexes.” Diunduh 20 Oktober 2013 (http://www.whitehouse.gov/the-press-office/2011/11/13/apec-fact-sheet19th-annual-leaders-meeting-outcomes-creating-jobs-growt). The World Bank. 2013. “GDP Data.” Diunduh 25 Juni 2013 (http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD/countries). ----------. 2013. “GDP Growth Data.” Diunduh 25 Juni 2013 (http://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.KD.ZG/countries). ----------. 2013. “GDP Ranking.” Diunduh 10 Oktober (http://data.worldbank.org/data-catalog/GDP-ranking-table). 2013 ----------. 2013. “Total Population Data.” Diunduh 25 Juni 2013 (http://data.worldbank.org/indicator/SP.POP.TOTL/countries/1W?displa y=default). White, Tyler. 2008. “U.S. Foreclosure Activity Increases 75 Percent in 2007.” RealtyTrac. Diunduh 20 Agustus 2013 xvii (http://www.realtytrac.com/content/press-releases/us-foreclosureactivity-increases-75-percent-in-2007-3604). World Trade Organization. 2013. “International Trade and Market Access Data.” Diunduh 19 Agustus 2013 (http://www.wto.org/english/res_e/statis_e/statis_bis_e.htm?solution=W TO&path=/Dashboards/MAPS&file=Map.wcdf&bookmarkState= ----------. 2013. “Republic of Korea.” Diunduh 10 Oktober 2013 (http://stat.wto.org/CountryProfile/WSDBCountryPFView.aspx?Languag e=E&Country=BD%2cIN%2cID%2cKR%2cUS%2cTH). ----------. 2013. “Taiwan Trade Profil.” (http://stat.wto.org/CountryProfiles/). Diunduh 25 Juni 2013 ----------. 2013. “Understanding the WTO: the Doha Agenda.” Diunduh 26 September 2013 (http://wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/doha1_e.htm). ----------. 2013. “Understanding the WTO: What We Do.” Diunduh 26 September 2013 (http://wto.org/english/thewto_e/whatis_e/what_we_do_e.htm). Yani, Yanyan M. D. . M. . P. D. 2007. “Politik Luar Negeri.” Universitas Padjajaran. Diunduh 02 April 2013 (http://pustaka.unpad.ac.id/wpcontent/uploads/2010/06/politik_luar_negeri.pdf). Yulisman, Linda. 2011. “TPP: A Question of Competitiveness for Indonesia.” the Jakarta Post. Diunduh 20 Oktober 2013 (http://www.thejakartapost.com/news/2011/12/26/tpp-a-questioncompetitiveness-indonesia.html). 06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative Office of the United States Trade Representative Executive Office of the President Home › About Us › Press Office › Fact Sheets › 2011 › November Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement On November 12, 2011, the Leaders of the nine Trans-Pacific Partnership countries – Australia, Brunei Darussalam, Chile, Malaysia, New Zealand, Peru, Singapore, Vietnam, and the United States – announced the achievement of the broad outlines of an ambitious, 21st-century Trans-Pacific Partnership (TPP) agreement that will enhance trade and investment among the TPP partner countries, promote innovation, economic growth and development, and support the creation and retention of jobs. Trans-Pacific Partnership Leaders Statement FACT SHEET: The United States in the Trans-Pacific Partnership Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement 2013 Trans-Pacific Partnership (TPP) Trade Ministers' Report to Leaders 2011 Trans-Pacific Partnership (TPP) Trade Ministers’ Report to Leaders Remarks by President Barack Obama in Meeting with Trans-Pacific Partnership ENHANCING TRADE AND INVESTMENT, SUPPORTING JOBS, ECONOMIC GROWTH AND DEVELOPMENT: OUTLINES OF THE TRANS-PACIFIC PARTNERSHIP AGREEMENT On November 12, 2011, the Leaders of the nine Trans-Pacific Partnership countries – Australia, Brunei Darussalam, Chile, Malaysia, New Zealand, Peru, Singapore, Vietnam, and the United States – announced the achievement of the broad outlines of an ambitious, 21st-century Trans-Pacific Partnership (TPP) agreement that will enhance trade and investment among the TPP partner countries, promote innovation, economic growth and development, and support the creation and retention of jobs. The agreement’s broad framework is as follows: Key Features In reporting to Leaders on the achievement of the broad outlines of an agreement, the Trade Ministers identified five defining features that will make TPP a landmark, 21st-century trade agreement, setting a new standard for global trade and incorporating next-generation issues that will boost the competitiveness of TPP countries in the global economy. o Comprehensive market access: to eliminate tariffs and other barriers to goods and services trade and investment, so as to create new opportunities for our workers and businesses and immediate benefits for our consumers. o Fully regional agreement: to facilitate the development of production and supply chains among TPP members, supporting our goal of creating jobs, raising living standards, improving welfare and promoting sustainable growth in our countries. o Cross-cutting trade issues: to build on work being done in APEC and other fora by incorporating in TPP four new, cross-cutting issues. These are: - Regulatory coherence. Commitments will promote trade between the countries by making trade among them more seamless and efficient. www.ustr.gov/about-us/press-office/fact-sheets/2011/november/outlines-trans-pacific-partnership-agreement 1/5 06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative - Competitiveness and Business Facilitation. Commitments will enhance the domestic and regional competitiveness of each TPP country’s economy and promote economic integration and jobs in the region, including through the development of regional production and supply chains. - Small- and Medium-Sized Enterprises. Commitments will address concerns small- and medium-sized enterprises have raised about the difficulty in understanding and using trade agreements, encouraging small- and medium-sized enterprises to trade internationally. - Development. Comprehensive and robust market liberalization, improvements in trade and investment enhancing disciplines, and other commitments, including a mechanism to help all TPP countries to effectively implement the Agreement and fully realize its benefits, will serve to strengthen institutions important for economic development and governance and thereby contribute significantly to advancing TPP countries’ respective economic development priorities. o New trade challenges: to promote trade and investment in innovative products and services, including related to the digital economy and green technologies, and to ensure a competitive business environment across the TPP region. o Living agreement: to enable the updating of the agreement as appropriate to address trade issues that emerge in the future as well as new issues that arise with the expansion of the agreement to include new countries. Scope • The agreement is being negotiated as a single undertaking that covers all key trade and trade-related areas. In addition to updating traditional approaches to issues covered by previous free trade agreements (FTAs), the TPP includes new and emerging trade issues and cross-cutting issues. • More than twenty negotiating groups have met over nine rounds to develop the legal texts of the agreement and the specific market access commitments the TPP countries will make to open their markets to each others’ goods, services, and government procurement. • All of the nine countries also have agreed to adopt high standards in order to ensure that the benefits and obligations of the agreement are fully shared. They also have agreed on the need to appropriately address sensitivities and the unique challenges faced by developing country members, including through trade capacity building, technical assistance, and staging of commitments as appropriate. • A set of new, cross-cutting commitments are intended to reduce costs, enable the development of a more seamless trade flows and trade networks between TPP members, encourage the participation of small- and medium-sized enterprises in international trade, and promote economic growth and higher living standards. • The negotiating teams have proposed new commitments on cross-cutting issues in traditional chapters and also have made substantial progress toward agreement on separate, stand-alone commitments to address these issues. Legal Texts • The negotiating groups have developed consolidated legal text in virtually all negotiating groups. In some areas, text is almost complete; in others, further work is needed to finalize text on specific issues. The texts contain brackets to indicate where differences remain. • The legal texts will cover all aspects of commercial relations among the TPP countries. The following are the issues under negotiation and a summary of progress. o Competition. The competition text will promote a competitive business environment, protect consumers, and ensure a level playing field for TPP companies. Negotiators have made significant progress on the text, which includes commitments on the establishment and maintenance of competition laws and authorities, procedural fairness in competition law enforcement, transparency, consumer protection, private rights of action and technical cooperation. www.ustr.gov/about-us/press-office/fact-sheets/2011/november/outlines-trans-pacific-partnership-agreement 2/5 06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative o Cooperation and Capacity Building. The TPP countries agree that capacity building and other forms of cooperation are critical both during the negotiations and post-conclusion to support TPP countries’ ability to implement and take advantage of the agreement. They recognize that capacity building activities can be an effective tool in helping to address specific needs of developing countries in meeting the high standards the TPP countries have agreed to seek. In this spirit, several cooperation and capacity building activities have already been implemented in response to specific requests and additional activities are being planned to assist developing countries in achieving the objectives of the agreement. The TPP countries also are discussing specific text that will establish a demand-driven and flexible institutional mechanism to effectively facilitate and cooperation and capacity building assistance after the TPP is implemented. o Cross-Border Services. TPP countries have agreed on most of the core elements of the cross-border services text. This consensus provides the basis for securing fair, open, and transparent markets for services trade, including services supplied electronically and by small- and medium-sized enterprises, while preserving the right of governments to regulate in the public interest. o Customs. TPP negotiators have reached agreement on key elements of the customs text as well as on the fundamental importance of establishing customs procedures that are predictable, transparent and that expedite and facilitate trade, which will help link TPP firms into regional production and supply chains. The text will ensure that goods are released from customs control as quickly as possible, while preserving the ability of customs authorities to strictly enforce customs laws and regulations. TPP countries also have agreed on the importance of close cooperation between authorities to ensure the effective implementation and operation of the agreement as well as other customs matters. o E-Commerce. The e-commerce text will enhance the viability of the digital economy by ensuring that impediments to both consumer and businesses embracing this medium of trade are addressed. Negotiators have made encouraging progress, including on provisions addressing customs duties in the digital environment, authentication of electronic transactions, and consumer protection. Additional proposals on information flows and treatment of digital products are under discussion. o Environment. A meaningful outcome on environment will ensure that the agreement appropriately addresses important trade and environment challenges and enhances the mutual supportiveness of trade and environment. The TPP countries share the view that the environment text should include effective provisions on trade-related issues that would help to reinforce environmental protection and are discussing an effective institutional arrangement to oversee implementation and a specific cooperation framework for addressing capacity building needs. They also are discussing proposals on new issues, such as marine fisheries and other conservation issues, biodiversity, invasive alien species, climate change, and environmental goods and services. o Financial Services. The text related to investment in financial institutions and cross-border trade in financial services will improve transparency, non-discrimination, fair treatment of new financial services, and investment protections and an effective dispute settlement remedy for those protections. These commitments will create market-opening opportunities, benefit businesses and consumers of financial products, and at the same time protect the right of financial regulators to take action to ensure the integrity and stability of financial markets, including in the event of a financial crisis. o Government Procurement. The text of the Government Procurement Chapter will ensure that procurement covered under the chapter is conducted in a fair, transparent, and non-discriminatory manner. The TPP negotiators have agreed on the basic principles and procedures for conducting procurement under the chapter, and are developing the specific obligations. The TPP partners are seeking comparable coverage of procurement by all the countries, while recognizing the need to facilitate the opening of the procurement markets of developing countries through the use of transitional measures. o Intellectual Property. TPP countries have agreed to reinforce and develop existing World Trade Organization Agreement on Trade-Related Aspects of Intellectual Property (TRIPS) rights and obligations to ensure an effective and balanced approach to intellectual property rights among the TPP countries. Proposals are under discussion on many forms of intellectual property, including trademarks, geographical indications, copyright www.ustr.gov/about-us/press-office/fact-sheets/2011/november/outlines-trans-pacific-partnership-agreement 3/5 06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative and related rights, patents, trade secrets, data required for the approval of certain regulated products, as well as intellectual property enforcement and genetic resources and traditional knowledge. TPP countries have agreed to reflect in the text a shared commitment to the Doha Declaration on TRIPS and Public Health. o Investment. The investment text will provide substantive legal protections for investors and investments of each TPP country in the other TPP countries, including ongoing negotiations on provisions to ensure nondiscrimination, a minimum standard of treatment, rules on expropriation, and prohibitions on specified performance requirements that distort trade and investment. The investment text will include provisions for expeditious, fair, and transparent investor-State dispute settlement subject to appropriate safeguards, with discussions continuing on scope and coverage. The investment text will protect the rights of the TPP countries to regulate in the public interest. o Labor. TPP countries are discussing elements for a labor chapter that include commitments on labor rights protection and mechanisms to ensure cooperation, coordination, and dialogue on labor issues of mutual concern. They agree on the importance of coordination to address the challenges of the 21st-century workforce through bilateral and regional cooperation on workplace practices to enhance workers’ well-being and employability, and to promote human capital development and high-performance workplaces. o Legal Issues. TPP countries have made substantial progress on provisions concerning the administration of the agreement, including clear and effective rules for resolving disputes and are discussing some of the specific issues relating to the process. TPP countries also have made progress on exceptions from agreement obligations and on disciplines addressing transparency in the development of laws, regulations, and other rules. In addition, they are discussing proposals related to good governance and to procedural fairness issues in specific areas. o Market Access for Goods. The TPP countries have agreed to establish principles and obligations related to trade in goods for all TPP countries that ensure that the market access that they provide to each other is ambitious, balanced, and transparent. The text on trade in goods addresses tariff elimination among the partners, including significant commitments beyond the partners’ current WTO obligations, as well as elimination of non-tariff measures that can serve as trade barriers. The TPP partners are considering proposals related to import and export licensing and remanufactured goods. Additional provisions related to agricultural export competition and food security also are under discussion. o Rules of Origin. TPP countries have agreed to seek a common set of rules of origin to determine whether a product originates in the TPP region. They also have agreed that TPP rules of origin will be objective, transparent and predictable and are discussing approaches regarding the ability to cumulate or use materials from within the free trade area in order to make a claim that a product is originating. In addition, the TPP countries are discussing the proposals for a system for verification of preference claims that is simple, efficient and effective. o Sanitary and Phytosanitary Standards (SPS). To enhance animal and plant health and food safety and facilitate trade among the TPP countries, the nine countries have agreed to reinforce and build upon existing rights and obligations under the World Trade Organization Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures. The SPS text will contain a series of new commitments on science, transparency, regionalization, cooperation, and equivalence. In addition, negotiators have agreed to consider a series of new bilateral and multilateral cooperative proposals, including import checks and verification. o Technical Barriers to Trade (TBT). The TBT text will reinforce and build upon existing rights and obligations under the World Trade Organization Agreement on Technical Barriers, which will facilitate trade among the TPP countries and help our regulators protect health, safety, and the environment and achieve other legitimate policy objectives. The text will include commitments on compliance periods, conformity assessment procedures, international standards, institutional mechanisms, and transparency. The TPP countries also are discussing disciplines on conformity assessment procedures, regulatory cooperation, trade facilitation, transparency, and other issues, as well as proposals that have been tabled covering specific sectors. o Telecommunications. The telecommunications text will promote competitive access for www.ustr.gov/about-us/press-office/fact-sheets/2011/november/outlines-trans-pacific-partnership-agreement 4/5 06/01/2014 Outlines of the Trans-Pacific Partnership Agreement | Office of the United States Trade Representative telecommunications providers in TPP markets, which will benefit consumers and help businesses in TPP markets become more competitive. In addition to broad agreement on the need for reasonable network access for suppliers through interconnection and access to physical facilities, TPP countries are close to consensus on a broad range of provisions enhancing the transparency of the regulatory process, and ensuring rights of appeal of decisions. Additional proposals have been put forward on choice of technology and addressing the high cost of international mobile roaming. o Temporary Entry. TPP countries have substantially concluded the general provisions of the chapter, which are designed to promote transparency and efficiency in the processing of applications for temporary entry, and ongoing technical cooperation between TPP authorities. Specific obligations related to individual categories of business person are under discussion. o Textiles and Apparel. In addition to market access on textiles and apparel, the TPP countries also are discussing a series of related disciplines, such as customs cooperation and enforcement procedures, rules of origin and a special safeguard. o Trade Remedies. TPP countries have agreed to affirm their WTO rights and obligations and are considering new proposals, including obligations that would build upon these existing rights and obligations in the areas of transparency and procedural due process. Proposals also have been put forward relating to a transitional regional safeguard mechanism. Tariff Schedules and Other Market-Opening Packages • The TPP tariff schedule will cover all goods, representing some 11,000 tariff lines. The nine countries also are developing common TPP rules of origin, and are weighing proposals now for how to do this most effectively and simply. • Services and investment packages will cover all service sectors. To ensure the high-standard outcome the nine countries are seeking, the TPP countries are negotiating on a “negative list” basis, which presumes comprehensive coverage but allows countries to negotiate specific exceptions to commitments in specific service sectors. • Government procurement packages are being negotiated with each country seeking to broaden coverage to ensure the maximum access to each others’ government procurement markets, while recognizing each others’ sensitivities. Next Steps • Leaders of the nine TPP countries have instructed negotiators to meet in early December, and at that time to schedule additional negotiating rounds. Of f ice of the United States Trade Representativ e • http://www.ustr.gov / • accessed on: Sun, 05 Jan 2014 22:21:04 -0500 www.ustr.gov/about-us/press-office/fact-sheets/2011/november/outlines-trans-pacific-partnership-agreement 5/5 From: Andri Andri [mailto:[email protected]] Sent: Tuesday, 25 June, 2013 10:48 AM To: Carlos A. Kuriyama Subject: Interview for Research Dear Sir Carlos Kuriyama, Allow me to introduce myself. My name is Andri, I am an International Relations Student in UIN Jakarta, Indonesia. I am right now doing my last research for my undergraduate program. I know you sir and get your email address from your great work (paper) and your research about Trans Pacific Partnership and APEC. Talking about my research, my research is also discuss about Trans-Pacific Partnership. I am trying to find out what are the efforts of USA in order to fulfil its economic interest through Trans-Pacific Partnership. Honourable Sir Carlos Kuriyama, Hereby I would like to ask for your willingness to be interviewed through email. Is it possible for me to ask you some questions related to the USA and Trans Pacific Partnership? Thank you very much for reading this email. I look forward to hear the great news from you about your willingness, :) Warmest Regards, Dear Andri, Thanks for your message. If you have any questions about USA and the TPP, please go ahead, I will do my best to help you to the extent possible. Cheers, Carlos Carlos KURIYAMA (Mr) Senior Analyst, Policy Support Unit | APEC Secretariat Tel +65 6891 9407 | Mob +65 9827 3556 | Fax +65 6891 9419 35 Heng Mui Keng Terrace Singapore 119616 Visit us at www.apec.org | Twitter | Facebook Thanks Andri for your sending your questions. My views for each of your questions are embedded below right after each of your questions. Hope it helps! Best, Carlos From: Andri Andri [mailto:[email protected]] Sent: Tuesday, 25 June, 2013 3:13 PM To: Carlos A. Kuriyama Subject: Re: Interview for Research Dear Sir Carlos A. Kuriyama, Thank you for your quick respond, I really appreciate it.. Hereby several questions that I want to know from your opinion: 1. What is Trans-Pacific Partership in your opinion? The Trans-Pacific Partnership (TPP) is a process that seeks to strengthen regional economic integration in the Pacific Rim through the establishment of a free trade agreement (FTA). 2. What are the differences between TPSEP and TPP? One key difference. TPSEP is already a FTA. TPP is not yet, since the parties are still negotiating an FTA. Another difference is the membership. TPSEP only has 4 parties (Brunei, Chile, New Zealand and Singapore). TPP has much more parties participating in the process (Australia, Brunei, Canada, Chile, Malaysia, Mexico, New Zealand, Peru, Singapore, United States and Viet Nam). The process to incorporate Japan in the TPP negotiations is ongoing, not finished yet. 3. Why did USA join TPP? What are the factors that make USA join? Many reasons: multilateral negotiations in WTO slowing down, USA’s interest to strengthen its political and economic links with the Asia Pacific, etc. My advice is to read some documents written by American experts. Suggest reading Jeffrey Schott’s pieces: Undestanding the TPP Agreement( http://bookstore.piie.com/book-store/6727.html); The Trans-Pacific Partnership, Chapter 4(http://www.cambridge.org/asia/catalogue/catalogue.asp?isbn=9781107028661&ss=toc). Als o, check this paper written for the US Congress on the matter: http://www.fas.org/sgp/crs/row/R42694.pdf 4. What are the economic interests of USA in Asia Pasific? Why Asia Pasific? To get the answer for this question, my advice is to read the documents I mentioned in my answer for question 5. 5. How is USA fulfilling its economic interests in Asia Pacific through TPP? Same response as above. 6. How do you see the future of Trans Pacific Partnership? It is promising as long as the negotiating parties reach a comprehensive agreement, especially if this is done within the next two years. Thank you very much.. Carlos KURIYAMA (Mr) Senior Analyst, Policy Support Unit | APEC Secretariat Tel +65 6891 9407 | Mob +65 9827 3556 | Fax +65 6891 9419 35 Heng Mui Keng Terrace Singapore 119616 Visit us at www.apec.org | Twitter | Facebook Dear Sir Peter A. Petri, Allow me to introduce myself. My name is Andri, I am an International Relations Student in UIN Jakarta, Indonesia. I am right now doing my last research for my undergraduate program. I know you sir and get your email address from your great work (paper) and your research about Trans Pacific Partnership. Talking about my research, my research is also discuss about Trans-Pacific Partnership. I am trying to find out what are the efforts of USA in order to fulfil its economic interest through Trans-Pacific Partnership. Honourable Sir Peter A. Petri, Hereby I would like to ask for your willingness to be interviewed through email. Is it possible for me to ask you some questions related to the USA and Trans Pacific Partnership? Thank you very much for reading this email. I look forward to hear the great news from you about your willingness, :) Warmest Regards, DEAR ANDRI, THE ANSWERS ARE IN CAPS BELOW. On Tue, Jun 25, 2013 at 10:59 PM, Andri Andri <[email protected]> wrote: Dear Sir Peter Petri, Thank you for your respond, I really appreciate it.. Hereby several questions that I want to know from your opinion: 1. What is Trans-Pacific Partership in your opinion? THE TPP IS AN EFFORT BY MEMBER COUNTRIES TO DEFINE HIGH QUALITY TRADE RULES APPLICABLE TO TRADE IN THIS CENTURY. THERE IS MUCH DISCUSSION IN THE LITERATURE AND MEDIA WHAT EXACTLY THAT MEANS, AND IT DIFFERS FROM COUNTRY TO COUNTRY. 2. What are the differences between TPSEP and TPP? THE TPSEP WAS THE 4-COUNTRY AGREEMENT THAT PRECEDED THE TPP AND HAD SIMILAR AIMS IN TERMS OF HIGH QUALITY RULES. SINCE MANY OTHER COUNTRIES, INCLUDING MUCH LARGER ONES THAN WERE INVOLVED ORIGINALLY, HAVE SINCE JOINED, THE TPP IS BEGINNING TO LOOK QUITE DIFFERENT FROM TPSEP. 3. What are the differences between TPP with other FTAs? THE TPP WOULD BE MUCH LARGER (CURRENLY NEARLY 40 PERCENT OF GDP) AND IS OVERLAYED ON SEVERAL EXISTING FTAS. THUS IT IS A FIRST EFFORT TO CONSOLIDATE SEVERAL PRIOR FTAS-WHAT SOME PEOPLE HAVE CALLED THE NOODLE BOWL OF TRADE AGREEMENTS. 4. Why did USA join TPP? What are the factors that make USA join? IT APPEARS INCRERASINGLY UNLIKELY THAT THE WTO NEGOTIATION PROCESS WILL YIELD AGREEMENTS ON ISSUES THAT THE US THINKS ARE IMPORTANT, SUCH AS THE LIBERALIZATION OF SERVICE TRADE, INVESTMENT, AND GOOD RULES FOR INTELLECTUAL PROPERTY. SO THE US IS TRYING TO DEVELOP AGREEMENTS WITH GROUPS OF LIKE-MINDED COUNTRIES TO ADDRESS THESE AND OTHER NEW TRADE ISSUES. 5. What are the economic interests of USA in Asia Pasific? Why Asia Pasific? THE ASIA-PACIFIC IS VERY VIBRANT AREA OF INTERNATIONAL TRADE. EVERY SENSIBLE BUSINESS AND COUNTRY WILL WANT TO BE INVOLVED IN TRADE AND INVESTMENT IN THE REGION. THE US HAS LONG HAD ECONOMIC CONNECTIONS WITH THE REGION AND IT WANTS TO MAINTAIN THEM, ESPECIALLY NOW WHEN THE REGION'S ECONOMY IS DYNAMIC. 6. How is USA fulfilling its economic interests in Asia Pacific through TPP? THE AGREEMENT WILL DEVELOP STRONGER RULES AND LIBERALIZE TRADE AND INVESTMENT FLOWS BETWEEN THE US AND THE REGION. 7. How do you see the future of Trans Pacific Partnership? I AM OPTIMISTIC--THERE IS STILL HARD WORK TO BE DONE, BUT THE VALUE OF REACHING AN AGREEMENT IS HIGH AND I EXPECT THAT NEGOTIATORS WILL ULTIMATELY DO SO. YOU CAN SEE MORE WRITING BY ME AND COLLEAGUES ON THE WEBSITE: www.asiapacifictrade.org Dear Madam Deborah Elms, Allow me to introduce myself. My name is Andri, I am an International Relations Student in UIN Jakarta, Indonesia. I am right now doing my last research for my undergraduate program. I know you madam and get your email address from your great work (paper) and your research about Trans Pacific Partnership. Talking about my research, my research is also discuss about Trans-Pacific Partnership. I am trying to find out what are the efforts of USA in order to fulfill its economic interest through Trans-Pacific Partnership. Honorable Madam, Hereby I would like to ask for your willingness to be interviewed through email. Is it possible for me to ask you some questions related to the USA and Trans Pacific Partnership? Thank you very much for reading this email. I look forward to hear the great news from you about your willingness, :) Warmest Regards, Andri, I think you should start by reading the attached materials and the paper at http://www.rsis.edu.sg/publications/WorkingPapers/WP232.pdf Deborah K. Elms Head, Temasek Foundation Centre for Trade & Negotiations (TFCTN) S. Rajaratnam School of International Studies Nanyang Technological University Singapore 639798 Tel: (65) 6790-6978 Fax: (65) 6793-2991 [email protected]