BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian Paradigm atau paradigm (Inggris) atau paradigme (Perancis), istilah tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis, para berarti di samping, di sebelah dan deigma berarti memperlihatkan, yang berarti, model, contoh, arketipe, ideal. Deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. (Pujileksono: 2015: 26) Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi (perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn (1962 dalam „The Structure of Scientific Revolutions‟ mendefinisikan „paradigma ilmiah‟ sebagai „contoh yang diterima tentang praktik ilmiah sebenarnya, contohcontoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama – yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari penelitian ilmiah. (Moleong, 2011: 49) Berdasarkan definisi Kuhn tersebut, Harmon (1970) mendefinisikan „paradigma‟ sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas. Baker (1992) dalam „Paradigms: The Bussiness of Discovering the Future‟, mendefinisikan paradigma sebagai „seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis) yang melakukan dua hal: (1) hal itu membangun dan mendefinisikan batas-batas; dan (2) hal itu menceriterakan kepada Anda bagaimana seharusnya melakukan sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa berhasil. Capra (1996) mendefinisikan paradigma sebagai „konstelasi konsep, nilai-nilai persepsi dan praktik yang dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus tentang realitas sebagai dasar tentang cara mengorganisasikan dirinya‟. Paradigma penelitian merupakan perspektif penelitian yang digunakan oleh peneliti tentang bagaimana peneliti: (a) melihat realitas (world views), (b) bagaimana mempelajari fenomena, (c) cara-cara yang digunakan dalam penelitian dan (d) cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan. 7 Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 8 Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma konstruktivistik dengan model pendekatan kualitatif. Paradigma konstruktivistik memiliki karakteristik, yaitu: (1) Melihat suatu realita yang dibentuk oleh berbagai macam latar belakang sebagai bentuk konstruksi realita tersebut. Realita yang dijadikan sebagai objek penelitian merupakan suatu tindakan sosial oleh aktor sosial. (2) Latar belakang yang mengkontruksi realita tersebut dilihat dalam bentuk konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial yang dialami oleh aktor sosial sehingga sifatnya lokal dan spesifik. (3) Penelitiannya mempertanyakan „mengapa‟ (why?). (4) Realita berada di luar peneliti namun dapat memahami melalui interaksi dengan realita sebagai objek penelitian. (5) Jarak antara peneliti dengan objek penelitian tidak terlalu dekat, peneliti tidak terlibat namun berinteraksi dengan objek penelitian. (6) Paradigma penelitian konstruktivistik sifatnya kualitatif, peneliti memasukkan nilai-nilai pendapat ke dalam penelitiannya. Penelitian dengan paradigma ini sifatnya subjektif. (7) Tujuan untuk memahami apa yang menjadi konstruksi suatu realita. Oleh karena itu peneliti harus dapat mengetahui faktor apa saja yang mendorong suatu realita dapat terjadi dan menjelaskan bagaimana faktor-faktor itu merekonstruksi realita tersebut. (Pujileksono, 2015: 28) 2.2 Kerangka Teori 2.2.1 Komunikasi Secara etimologi, dapat disebutkan bahwa istilah komunikasi dalam bahasa Inggris yaitu communication berasal dari kata Latin communis yang berarti sama. Maksudnya, bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan sesuatu pihak maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya. Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi (385-322 SM) dalam bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan “siapa mengatakan apa kepada siapa”. Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D. Lasswell pada 1948 yang membuat definisi komunikasi yang lebih sempurna dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan “Who Says What in Which Channel to Whom with What Effect?”. Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 9 unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu sumber (source) atau disebut juga komunikator (communicator), pesan (message), saluran atau media (channel), penerima (receiver), dan efek (effect). Unsur penyampaian barangkali merupakan unsur komunikasi yang paling sering dijumpai dalam definisi komunikasi. Seperti halnya definisi yang dikemukakan oleh Ithiel de Sola Pool, bahwa komunikasi adalah pengalihan informasi untuk memperoleh tanggapan. Adapun Shacter (1961) menulis bahwa: “komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan”. Definisi Shacter ini menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial atau untuk memengaruhi perilaku, keyakinan, sikap terhadap orang lain. 2.2.2 Komunikasi Politik Komunikasi politik bukan hanya sekedar proses penyampaian suatu pesan mengenai politik oleh seseorang kepada orang lain. Bukan pula merupakan pengertian komunikasi ditambah pengertian politik. Sanders dan Kaid dalam karyanya, berjudul “Political Communication, Theory and Research: An Overview 1976-1977”, mengatakan bahwa komunikasi politik harus intentionally persuasive. Faktor tujuan dalam komunikasi politik itu, jelas pula tampak pada definisi yang diketengahkan oleh Lord Windlesham dalam karyanya, What is Political Communication. Bunyinya sebagai berikut: “Political communication is the deliberate passing of a political message by a sender to a receiver with the intention of making the receiver behave in a way that might not otherwise have done.” (Komunikasi politik ialah suatu penyampaian pesan politik secara sengaja dilakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan tujuan membuat komunikan berperilaku tertentu). Jika Sanders dan Kaid serta Windlesham menekankan pengertian komunikasi politik pada tujuan, para ahli komunikasi lainnya –antara lain Dan Nimmo dalam bukunya, Political Communication and Public Opinion in America menekankannya pada efek yang muncul pada komunikan sebagai akibat dari penyampaian pesan. Makna tujuan pada definisi Sanders dan Kaid serta Windlesham, dan efek pada pendapat Dan Nimmo, pada hakikatnya sama; jika ditelaah perbedaannya, hanyalah pada keterlekatan pada komponennya; tujuan melekat pada komponen komunikator, efek pada komponen komunikan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 10 Sedangkan, menurut Dahlan (1999), komunikasi politik ialah suatu bidang atau disiplin yang menelaah kegiatan komunikasi yang bersifat politik, mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Dengan demikian, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesanpesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan tingkah laku khalayak yang menjadi target politik. Ardial menyebutkan tujuan komunikasi politik adakalanya sekedar penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini publik, dan bisa menghandel pendapat atau tuduhan lawan politik. Selanjutnya komunikasi politik bertujuan menarik simpatik khalayak dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada pemilu atau pemilihan kepala daerah. Lasswell memandang orientasi komunikasi politik telah menjadikan dua hal sangat jelas: pertama, bahwa komunikasi politik selalu berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu sendiri dibentuk di dalam dan oleh proses perilaku yang sesungguhnya merupakan suatu bagian; dan kedua, bahwa komunikai politik bertujuan menjangkau masa depan dan bersifat mengantisipasi serta berhubungan dengan masa lampau dan senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu. Plano (dalam Mulyana & Solatun, 2008: 29) melihat bahwa “komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Objek material komunikasi politik menurut Sartori adalah: “dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena politik dan dimensi politis dari komunikasi” sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Gurevith dan Blumler yang mengemukakan empat komponen dalam komunikasi politik, yaitu: 1. Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya, 2. Institusi media dalam aspek politiknya, 3. Orientasi khalayak terhadap komunikasi, dan 4. Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 11 Pentingnya komunikasi dalam pencapaian sasaran-sasaran politik juga diakui oleh Greber: “Sebagian besar aktivitas politik adalah permainan kata-kata. Politisi berhasil meraih karena keberhasilannya berbicara secara persuasif kepada para pemilih dan kepada elit politik”. Ia menambahkan bahwa “ketika kita menjelaskan bahasa politik (bahasa yang digunakan dalam konteks politik) dan apa yang membuat bahasa verbal maupun nonverbal menjadi politis bukanlah karena bentuk atau kosakata, melainkan karena substansi informasi yang dihadirkan, setting di mana informasi disebarkan maupun karena fungsi dijalankan”. Komunikasi politik sebagai body of knowledge terdiri atas berbagai unsur, yakni: sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima dan efek. (Nimmo: 1978, Mansfield dan Weaver dalam Cangara: 2009). 1. Komunikator Politik Komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik, misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur, bupati/walikota, DPRD, politisi, fungsionaris partai politik, fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompokkelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya pemerintahan. Komunikator politik Menurut Nimmo (2005: 28), salah satu ciri komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat menghindari dan keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator, begitu pula siapa pun yang dalam setting politik adalah komunikator politik. Meskipun mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya serta tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik; mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 12 umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka berbicara dan berbuat. Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran komunikator politik dalam proses opini, Leonard W. Dood dalam Nimmo (2005: 30) menyarankan jenis-jenis hal yang patut diketahui mengenai mereka. Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya sendiri. Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia, dapat memengaruhi komunikasi yang dihasilkannya; jadi jika ia mengira mereka itu bodoh, ia akan menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama rendahnya. Ia sendiri memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dikonseptualkan sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya sebagai komunikator dengan khalayak yang serupa atau yang tak serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh motif untuk berkomunikasi. Berdasar pada anjuran Dood, jelas bahwa komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus ditetapkan. Untuk keperluan ini Nimmo (2005: 30) mengidentifikasi tiga kategori politikus, yaitu yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (part time). 2. Pesan Politik Pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun nonverbal, tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak disadari yang isinya mengandung bobot politik. Misalnya pidato politik, pernyataan politik, propaganda, makna logo, warna baju atau bendera, body language, dan semacamnya. 3. Saluran atau Media Politik Saluran atau media politik adalah alat atau sarana yang digunakan para komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya. Misalnya media cetak seperti surat kabar. Media elektronik seperti Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 13 radio, video, atau internet. Media format kecil seperti brosur, selebaran, stiker. Media luar ruang seperti baliho, spanduk, pin, dan segala sesuatu yang bisa digunakan untuk membangun citra (image building). Saluran komunikasi kelompok, misalnya partai politik, organisasi sosial keagamaan, kerukunan keluarga, organisasi profesi dan semacamnya. Saluran komunikasi publik, misalnya aula, balai desa, pameran. Saluran komunikasi sosial, misalnya arisan, pertunjukan, pesta pernikahan, dan semacamnya. 4. Sasaran atau Target Politik Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberi dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) kepada partai atau kandidat dalam Pemilihan Umum. 5. Pengaruh atau Efek Komunikasi Politik Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya pemahaman terhadap sistem pemerintahandan partai-partai politik, di mana nuansanya akan bermuara pada pemberian suara (vote) dalam pemilihan umum. Pemberian suara ini sangat menentukan terpilih tidaknya seorang kandidat untuk posisi mulai setingkat presiden dan wakil presiden, anggota DPR, MPR, gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota dan wakil bupati/walikota. Kombinasi fungsi komunikasi politik menurut McNair dan Goran Hedebro (dalam Cangara, 2009: 40), yaitu berfungsi untuk: 1. Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha-usaha yang dilakukan lembaga politik maupun hubungannya dengan pemerintah dan masyarakat; 2. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan lembaga politik; 3. Memberi motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai; 4. Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik; Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 14 5. Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka sebagai pemberi suara; 6. Menjadi hiburan masyarakat sebagai “pesta demokrasi” dengan menampilkan para juru kampanye, artis, dan para komentator atau pengamat politik; 7. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional; 8. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi; 9. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda setting, maupun komentar-komentar politik; 10. Menjadi watchdog atau anjing penjaga dalam membantu terciptanya good gorvenance yang transparansi dan akuntabilitas. Pesan dalam kegiatan komunikasi membawa informasi yang disampaikan oleh komunikator. Pesan selain membawa informasi juga memberikan makna kepada siapa saja yang menginterpretasikannya. Pesan merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi secara umum, termasuk komunikasi politik. Dalam komunikasi politik terdapat adagium bahwa “politik adalah pembicaraan” (Suwardi dalam Mulyana & Solatun, 2008: 30). Pembicaraan tersebut menggunakan lambang-lambang tertentu demi tujuan dan kepentingan politik, baik lambang verbal ataupun lambang nonverbal. Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa negatif dan postif tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak yang menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan. Kekuatan pesan juga dipengaruhi oleh cara membungkus pesan tersebut. 2.2.3 Kampanye Politik Kampanye adalah aktivitas komunikasi yang ditujukan untuk memengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 15 dengan kehendak atau keinginan penyebar atau pemberi informasi. Dalam konteks komunikasi politik, kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan terhadap suatu hal atau seorang kandidat. “Political campaigns are aimed at the mobilization of support for one‟s cause or candidate”, sedangkan menurut Imawan (1999) kampanye adalah upaya persuasif untuk mengajak orang lain yang belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang kita tawarkan, agar mereka bersedia bergabung dan mendukungnya. Oleh sebab itu, ide-ide yang dilontarkan haruslah yang terbaik yang bisa dirumuskan, serta dapat disampaikan sesuai dengan alam pikiran orang lain yang diharapkan dukungannya. Sebuah kampanye, menurut Kotler dan Roberto (1989), adalah upaya yang dikelola oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk mempersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang ide, sikap dan perilaku tertentu. Kampanye politik adalah sebuah peristiwa yang bisa didramatisasi. Oleh karena itu, Richard A Joslyn melukiskan kampanye politik tidak ada bedanya dengan sebuah adegan drama yang dipentaskan para aktor-aktor politik. (Cangara, 2009: 284) Dalam berbagai kajian komunikasi, komunikator menjadi sumber dan kendali semua aktivitas komunikasi. Oleh karena itu, jika suatu proses kampanye tidak berhasil dengan baik, kesalahan utama bersumber dari komunikator (juru kampanye) karena komunikatorlah yang tidak memahami penyusunan pesan, memilih media yang tepat, dan mendekati khalayak yang menjadi target sasaran. Sebagai pelaku utama dalam aktivitas komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting. Untuk itu seorang komunikator yang akan bertindak sebagai juru kampanye harus terampil berkomunikasi, kaya ide, serta penuh daya kreatifitas. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi seorang juru kampanye, yakni: (1) tingkat kepercayaan orang lain kepada dirinya (kredibilitas); (2) daya tarik (attractive); (3) kekuatan (power). Kredibilitas menurut Aristoteles bisa diperoleh jika seorang juru kampanye memiliki ethos, pathos, dan logos. Ethos ialah kekuatan yang dimiliki juru kampanye dari karakter pribadinya sehingga ucapanucapannya bisa dipercaya. Pathos ialah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 16 dalam mengendalikan emosi pendengarnya, sedangkan Logos ialah kekuatan yang dimiliki juru kampanye melalui argumentasinya. James McCroskey (1966) lebih jauh menjelaskan bahwa kredibilitas komunikator dapat diperoleh dari kompetensi (competence), sikap (attitude), tujuan (intention), kepribadian (personality), dan dinamika (dinamism). Kompetensi ialah penguasaan yang dimiliki seorang pembicara pada masalah yang dibahasnya. Sikap menunjukkan pribadi pembicara apakah ia tegas atau toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukkan apa yang disampaikan itu punya maksud yang baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah pembicara memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat, sedangkan dinamika menunjukkan apakah hal yang disampaikan itu menarik atau justru membosankan. Berlo (1962) seorang pakar komunikasi dari Michigan State University menambahkan bahwa kredibilitas seorang juru kampanye bisa timbul jika ia memiliki keterampilan berkomunikasi (communication skills), pengetahuan yang luas tentang materi yang dibawakannya (knowledge), sikap jujur dan bersahabat (attitude), serta mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and cultural system) masyarakat yang dihadapinya. Faktor lain yang penting dimiliki seorang juru kampanye adalah daya tarik (attractiveness) yang menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan kampanye. Faktor daya tarik seorang politisi sangat berpengaruh bagi para pemilih karena dari berbagai hasil kajian, ternyata simpati muncul karena daya tarik yang disampaikan seseorang. Daya tarik pada umumnya disebabkan karena bicara yang sopan, murah senyum, cara berpakaian yang apik dan necis, dan postur tubuh yang gagah. Dalam konteks komunikasi politik, seorang calon sekaligus sebagai juru kampanye ditentukan oleh lima hal, yakni usia, penampilan, kecerdasan, keterampilan komunikasi, dan popularitas. Gerbner (1976) mengemukakan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam kampanye, yaitu karakteristik personel calon dan kampanye itu sendiri. Di Amerika Serikat, dalam setiap pemilihan presiden, the ideal candidate sering dikaitkan dengan formula “HEAT”, yaitu H – Honest (jujur), E – Experience (pengalaman), A – Age (usia), T – Tall (tinggi badan). Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 17 Untuk melihat wajah, penampilan, kecerdasan dan keterampilan komunikasi sorang calon pemimpin, media massa seperti televisi dapat dijadikan sebagai saluran untuk mempertemukan calon yang akan dipilih dengan masyarakat pemilih. Acara “debat kandidat calon presiden” misalnya menampakkan calon pemilih sebagai fenomena baru dalam sejarah kepresidenan Amerika yang dimulai pada tahun 1960 dengan menampilkan Richard Nixon dan John F. Kennedy. (Cangara, 2009: 298) 2.2.4 Debat Pengertian debat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing. Dalam debat kandidat kepresidenan atau calon pemimpin daerah, secara umum kita sudah mengetahui rekam jejak masing-masing kandidat. Yang belum kita ketahui secara terperinci adalah pandangan-pandangan mereka mengenai persoalan bangsa. Karena itu, debat antar capres dan cawapres menjadi penting bagi khalayak untuk menentukan pasangan mana yang terbaik, meskipun debat tersebut akan lebih banyak pengaruhnya terhadap kaum terdidik dan kelas menengah. Meskipun kepribadian (daya tarik), proyeksi suatu citra, dan pengembangan isu sangat berperan dalam debat presidensial di televisi (Krauss dalam Mulyana, 2014: 123), sayang debat-debat kepresidenan tersebut di negara kita kurang menarik. Beberapa putaran debat itu (terutama putaran 1 antarcapres dan putaran 2 antarcawapres) lebih tepat disebut diskusi atau dengar pendapat. Meskipun pertanyaan-pertanyaan moderator berkualitas, jawaban pada capres dan cawapres terkesan standar dan normatif. Tak ada drama atau perang yang menguras emosi penonton dan mendorong mereka untuk mengubah pilihan. Padahal debat demikian penting untuk swing voters, yakni orang-orang yang belum punya keputusan mengenai siapa calon yang akan dipilih. Sebagai bandingan, debat calon presiden antara Richard Nixon dan John Kennedy tahun 1960 yang klasik itu, dapat melukiskan dua kiasan di atas. Para analis media berpendapat, salah satu kunci kemenangan Kennedy dalam debat antarcapres AS itu adalah penampilannya yang muda, ceria dan suaranya Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 18 yang lebih merdu, meskipun Kennedy kurang berpengalaman dalam bidang politik. Dalam debat pertama mengenai isu-isu domestik, Kennedy tampak sehat, sementara lawan politiknya tampak kurus dan pucat karena tidak menggunakan make-up dan baru sembuh dari flu dan dirawat dua minggu di rumah sakit karena luka lutut. Kennedy bermake-up dan berdandan lebih necis, dengan jas hitam, dilatih terlebih dahulu bagaimana duduk (bersilang kaki) saat ia tidak berbicara (memandang Nixon), sementara Nixon berbicara kurang agresif dengan dandangan kurang serasi: jas abu-abu yang kurang kontras dengan latar belakang arena debat, dan kemeja yang kurang pas. Pendeknya, masa itu televisi dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memanipulasi emosi pemirsa dan membantu Kennedy untuk tampak lebih kredibel di mata mereka, sehingga Kennedy memenangkan pemilu AS. Oleh karena debat-debat antarcapres dan cawapres di Indonesia berjalan datar, maka hasil jajak pendapat setelah debat lebih mencerminkan predisposisi pemilih yang sudah ada, bukan karena kinerja capres saat debat. Andai debat berlangsung seru dan menegangkan, debat dapat mengubah komposisi perolehan suara masyarakat pemilih dan menentukan siapa yang bakal jadi presiden, apalagi jika persaingan berlangsung ketat. Ingat debat antara Gerald Ford dan Jimmy Carter di AS tahun 1976. Semalam sebelum debat tersebut, Ford lebih unggul 11% daripada Carter. Setelah debat, Carter mengungguli Ford dengan selisih yang nyaris sama (Rakhmat dalam Mulyana, 2014: 124). Perubahan jumlah pendukung dapat terjadi mendadak, antara sebelum dan sesudah debat, dan bahkan menjelang hari-H. Kandidat politik yang diduga akan kalah, bisa menang dengan selisih angka yang tipis. Dalam pemilu 1997 di Inggris, terjadi kejutan serupa ketika Partai Buruh keluar sebagai pemenang sehingga Tony Blair pun menjadi Perdana Menteri Inggris mengalahkan John Major, perdana menteri incumbent dari Partai Konservatif. Setidaknya, ada dua kendala yang menjadikan debat antarcapres (dalam arti sebenarnya) di Indonesia dalam pemilu 2009 lalu sulit dilakukan. Pertama, debat adalah cara komunikasi khas masyarakat berkomunikasi konteks-rendah yang individualis, liberal, lugas, berbicara apa adanya, seperti di negara-negara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 19 Barat, khususnya AS. Masyarakat kita berbudaya kolektivis, menekankan harmoni, enggan mengkritik orang lain secara tatap muka. Mereka cenderung menjaga martabat orang lain (face saving) dan menghindari konflik terbuka. Jika perbedaan atau konflik muncul, mereka cenderung menggunakan mediator, seperti yang dilakukan SBY dan JK saat menjajaki koalisi sebelum penetapan capres dan cawapres untuk menghindari kehilangan muka. Maka tidak mengherankan bahwa kritikan atau sindiran seorang capres terhadap capres lainnya sebelum debat yang juga disiarkan media massa, tidak muncul ke permukaan. Gaya komunikasi para capres dan cawapres kita, sebagaimana umumnya gaya komunikasi masyarakat Indonesia dan masyarakat Timur (termasuk Cina dan Jepang) adalah konteks tinggi (samar, tidak langsung, dan lebih banyak berbasa-basi) yang dilandasi mentalitas kolektivis. Tujuan komunikasinya adalah untuk memelihara keselarasan kelompok. Maka seorang anggota budaya konteks tinggi tidak suka mempermalukan dan dipermalukan anggota lain, berdasarkan nilai harmoni ini. Kedua, jumlah capres dan cawapres yang tiga orang sulit dipertemukan dalam debat, karena debat lazimnya mempertandingkan dua pandangan yang bertentangan, yakni pandangan pihak yang mendukung (the pros) dan pandangan pihak yang menentang (the cons) suatu proposisi. Proposisi adalah pendapat bahwa sesuatu itu benar, baik, buruk atau perlu dilakukan atau boleh dilakukan. Proposisi yang diperdebatkan harus kontroversial, dapat dikaji dengan fakta, data yang objektif dan logika yang benar, meskipun tidak selalu ilmiah (karena itu pandangan hidup dan seni kurang cocok diperdebatkan). Lewat debat para kandidat dapat dinilai, apakah mereka berpikir kritis dan logis, baik secara induktif atau deduktif. Apakah mereka mampu menganalisis dan memecahkan suatu masalah atau tidak. Dalam debat, the pros harus mampu menyampaikan usulan yang baik, sedangkan the cons harus tahu bagaimana menyampaikan tangkisan yang efektif. Pihak-pihak yang berdebat harus mampu menyusun dan mempertanyakan statistik, generalisasi, analogi, korelasi, kausalitas, dan sebagainya. Dalam debat antarcapres dan antarcawapres kita tahun Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 20 2009 tak ada pertandingan antar-argumen berdasarkan fakta, data dan logika, sehingga debat kehilangan esensinya. Sebenarnya, di negara besar seperti Indonesia yang menyulitkan capres dan cawapres untuk muncul secara tatap muka dan mengemukakan kebijakan dan pandangan mereka mengenai berbagai isu di hadapan rakyat pemilih, debat menjadi wahana penting bagi rakyat untuk menilai kredibilitas mereka, meskipun kesuksesan kandidat dalam debat bukan satu-satunya faktor penentu. Sebagian besar penelitian debat empiris berasal dari perspektif efek media yang berusaha untuk memahami berbagai pengaruh paparan debat terhadap pemirsa. Jawaban singkat untuk pertanyaan apakah debat penting atau tidak, sebenarnya bagaimana debat itu penting, adalah kesimpulan ilmiah yang khas, “itu tergantung.” Singkatnya, kami telah memperlajari bahwa efek debat sebagian besar tergantung pada dinamika kontekstual kampanye tertentu, termasuk calon tertentu yang terlibat dalam debat dan juga sangat tergantung pada jenis pemirsa debat yang berbeda-beda. Pertama, konteks kampanye keseluruhan di mana debat terjadi memengaruhi kegunaan atau dampak debat. Chaffee menggambarkan empat kondisi di mana pemilih paling mungkin untuk merasa debat berguna: (1) jika setidaknya salah satu calon relatif tidak dikenal, (2) ketika banyak pemilih raguragu, (3) ketika persaingan ketat, dan (4) ketika kesetiaan partai lemah. Temuan dari seri debat 1992 dan 1996 menggambarkan dengan baik penerapan kondisi ini. Analisis reaksi warga negara terhadap debat tahun 1992, yang termasuk petahana Presiden George H. W. Bush, penantang Demokrat Bill Clinton, dan calon independen Ross Perot, mengungkapkan bahwa banyak pemirsa debat masih ragu-ragu pada saat debat; dan debat dinilai oleh banyak warga sebagai ajang promosi yang paling penting dalam keputusan mereka untuk memilih siapa. Selain konteks kampanye, kecenderungan pemirsa juga memengaruhi efek debat. Chaffee mengemukakan bahwa beberapa temuan awal, yang kadangkadang bertentangan, mengenai efek debat televisi paling baik ditafsirkan dengan menjelaskan jenis pemilih yang berbeda-beda. Debat akan memiliki pengaruh terbesar mereka terhadap pemilih yang sangat tertarik, namun ragu-ragu, yang mungkin diklasifikasikan sebagai pemirsa debat rutin (orang-orang yang melihat Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 21 seluruh debat atau serangkaian debat). Debat akan memiliki lebih sedikit pengaruh pada orang-orang yang kurang tertarik, atau orang hanya “kadangkadang” menonton debat, serta partisan berkomitmen yang melihat debat untuk mendapatkan jaminan bahwa pilihan mereka memang calon yang unggul. Akhirnya, debat memiliki efek yang sangat sedikit atau tidak berefek pada pemilih yang tidak tertarik yang mungkin tidak biasa sama sekali dengan program debat aktual atau yang mungkin hanya terpapar pada liputan media tentang acara itu. Hellweg, Pfau, dan Brydon (1992) juga mengkualifikasi efek debat sesuai dengan jenis pemirsa. Mereka mencatat bahwa debat memengaruhi keinginan untuk memilih di kalangan pemirsa dengan preferensi calon yang lemah atau tidak punya preferensi, sedangkan di kalangan partisan komitmen pilihan suara dan sikap yang sudah mereka miliki terhadap calon kemungkinan besar akan menguat. Banyak penelitian menemukan efek menonton debat yang substansial dan spesifik. Pertama, kita tahu bahwa debat bekerja lebih untuk memperkuat bukan mengubah pikiran pemilih, debat memfasilitasi pemerolehan informasi isu, dan menonton debat memengaruhi persepsi tentang karakter atau ciri khas calon. Lanoue dan Schrott (dalam Kaid, 2015: 266-267) menunjukkan bahwa debat adalah kampanye yang terpenting dalam upaya untuk membujuk dengan menarik warga untuk mendapatkan hadiah utama, yakni suara mereka. Dalam Handbook of Political Communication Research disebutkan beberapa kegunaan debat, yakni: a. Efek perilaku. Bagi sebagian orang, ukuran kegunaan debat bergantung pada pertanyaan apakah menonton debat memengaruhi pilihan seseorang atau tidak. Sebagaimana Holbrook (1996) menyimpulkan, “Persepsi sebagian besar pemirsa diwarnai oleh kecenderungan politik mereka untuk masuk ke debat. . . [dan] satu prediktor terbaik tentang calon mana yang oleh pemirsa dianggap memenangkan debat tertentu adalah pilihan suara pemirsa sebelum debat”. Namun, meskipun debat tidak dapat mengubah preferensi suara mayoritas pemirsa yang sebelumnya sudah punya komitmen, beberapa studi menemukan bahwa di antara pemirsa yang ragu-ragu, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 22 bertentangan, atau berkomitmen lemah, debat membantu pemirsa ini membentuk preferensi suara atau bahkan mengubah pilihan calon. Meskipun warga yang ragu-ragu dan tidak berkomitmen mungkin merupakan segmen kecil dari jumlah penonton debat, mereka adalah segmen pemilih yang paling menjadi target sebagian besar pesan kampanye pemilu, dan dalam konteks sangat ketat, mereka adalah pemilih yang pada akhirnya menentukan hasil pemilu. b. Efek kognitif. Bahwa debat adalah sumber komunikasi kampanye yang “kaya informasi” yang memfasilitasi pemirsa untuk memperoleh pengetahuan tentang isu. Selain banyak penelitian yang mengidentifikasi pemerolehan pengetahuan umum dari melihat debat, beberapa penyelidikan memberikan pemahaman yang lebih bernuansa tentang potensi pembelajaran dari isu debat. Pertama, analisis atas sejumlah studi debat awal menemukan bukti yang jelas yang menyangkal tesis “paparan selektif” yang menyatakan partisan mungkin hanya menyesuaikan diri pada pesan dari calon yang mereka dukung. Sebaliknya, sifat komparatif dialog debat mendorong warga untuk mengatasi kecenderungan pada pemaparan selektif karena pemirsa melaporkan tingkat pembelajaran yang kirakira sama baik dari calon yang mereka dukung maupun dari calon oposisi. c. Evaluasi citra calon. Sejumlah penelitian menemukan bahwa paparan dalam debat dapat memengaruhi persepsi pemirsa tentang karakter atau ciri citra calon. Bahkan, dalam ringkasan mereka tentang studi debat pertama, Katz dan Feldman (1962) menyimpulkan, “Hanya ada sedikit keraguan… bahwa penonton sibuk menganalisis karakter kontestan –presentasi diri mereka.” Dalam penelitian debat berikutnya, sifat relatif atau proporsional dari pengetahuan isu dan persepsi efek citra tetap menjadi pertanyaan yang sulit dan belum terjawab. Singkatnya, masalahnya tetap, yaitu pengaruh mana yang terbesar –apakah paparan debat memiliki dampak yang lebih besar pada persepsi pemirsa tentang citra calon Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 23 atau pada pemerolehan pengetahuan tentang isu? Tentu saja, salah satu jawaban untuk pertanyaan ini mungkin adalah bahwa pembelajaran isu dan citra adalah dua variabel yang bekerja sama secara erat. Carlin (2000) juga menyimpulkan dari analisisnya bahwa isu dan evaluasi cita bekerja sama, dengan mencatat bahwa “pemirsa debat membuat penilaian tentang ciri-ciri [citra] berdasarkan strategi yang digunakan peserta debat, pilihan isu mereka, sikap mereka… kesediaan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara langsung, dan cara mereka menyerang lawan mereka”. Namun, para sarjana lain menyatakan bahwa debat di televisi sebenarnya mengistimewakan salah satu komponen pesan –isu atau citra– atas komponen yang lain. Lanoue dan Schrott (1991), misalnya, berpendapat, “Pemirsa jauh lebih mungkin untuk menggunakan debat untuk mendapatkan informasi tentang kepribadian dan karakter masing-masing calon… Presentasi „pribadi‟ yang unggul tampaknya lebih penting bagi pemilih daripada akumulasi „poin-poin‟ debat berorientasi isu”. d. Efek laten. Debat kampanye memungkinkan adanya di mana paparan para calon dalam debat dapat mengaktifkan berbagai kecenderungan warga dan demokrasi warga. Secara khusus, debat terbukti meningkatkan minat pemirsa pada kampanye yang sedang berlangsung, mendorong warga untuk mencari tambahan informasi kampanye setelah menonton debat, mendorong partisipasi lebih besar dalam kampanye melalui kegiatan seperti berbicara dengan orang lain tentang calon seseorang yang disukai dan peningkatan kemungkinan pemilih. Juga, beberapa studi menemukan melihat debat meningkatkan kesadaran warga tentang keberhasilan politik dan dukungan untuk lembaga-lembaga politik, meskipun satu studi menemukan bahwa pemirsa menjadi kurang percaya pada pemerintah setelah melihat debat. Namun, Kaid et al menemukan bahwa paparan debat menurunkan tingkat sinisme politik, dan analisis mereka juga menungkapkan hubungan yang jelas antara Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 24 sinisme dan pemberian suara –khususnya, sinisme politik nonpemilih secara signifikan lebih tinggi dari pemilih. Sedangkan mengenai analisis isi debat yaitu pada: a. Analisis Isi Verbal. Analisis isi verbal debat memeriksa isu-isu kampanye tertentu yang ditampilkan dalam diskusi debat, pengembangan argumen calon, pola interaksi calon, termasuk strategi benturan dan serangan, bentuk dan fungsi respon calon, dan juga gaya bahasa calon. Menanggapi tuntutan bahwa debat preiden di televisi tidak lebih dari konferensi persi bersama-sama, tanpa ada debat calon yang sebenarnya Carlin dan rekan menggunakan analisis sistematis atas strategi benturan calon, dengan benturan dioperasionalkan sebagai keadaan di mana calon menawarkan analisis tentang posisi isu mereka sendiri dibandingkan posisi isu lawan; benturan juga terjadi melalui serangan langsung terhadap posisi lawan. Teori fungsional Benoit tentang wacana kampanye politik telah diterapkan pada berbagai bentuk komunikasi kampanye, termasuk semua debat primary dan pemilu 1960-2000. Singkatnya, teori Benoit tentang wacana kampanye mengajukan tiga fungsi utama bagi ucapan calon –calon memuji dirinya sendiri, menyerang lawan mereka, atau membela diri saat diserang. Selanjutnya, setiap ucapan akan fokus pada masalah kebijakan atau karakter. Topik spesifik untuk diskusi kebijakan berupa perbuatan masa lalu, rencana masa depan, atau tujuan umum. Diskusi tentang karakter berfokus pada kualitas pribadi, kemampuan kepemimpinan, atau cita-cita seseorang. Dari analisis lengkap Benoit tentang dialog debat, kita tahu bahwa debat terlalu fokus pada isu-isu kampanye daripada karakter calon, calon dalam debat jauh lebih sering memuji diri daripada mereka menyerang lawan mereka, dan serangan melebihi pertahanan. Juga, calon lebih jarang menyerang dalam debat primary daripada dalam pemilu, pembahasan kebijakan lebih sedikit dalam primary Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 25 dibandingkan debat pemilu, dan menariknya, dalam debat primary calon lebih sering menyerang partai mereka sendiri daripada yang mereka lakukan terhadap partai oposisi. Penyelidikan komprehensif lain tentang isi debat adalah penelitian Hart dan Jarvis (1997) atas semua debat presiden dari tahun 1960 sampai 1996. Unit analisis dalam penelitian ini adalah penggunaan bahasa calon, dengan komputerisasi analisis isi. Hart, DICTION, benar-benar menilai respon verbal calon sesuai dengan berbagai dimensi linguistik. Singkatnya, dari analisis Hart dan Jarvis kita tahu bahwa debat menyuntikkan nada “ketenangan” ke dalam dialog kampanye, debat relatif bebas dari nada “bombastis” yang biasa dalam kampanye, debat memaksa calon untuk memfokuskan pesan mereka dan menanggapi tuduhan lawan, dan, akhirnya, debat mendorong calon untuk mawas diri. Tentu saja, kita telah belajar banyak dari analisis isi yang ada tentang unsur verbal debat, khususnya dari segi longitudinal yang memungkinkan generalisasi yang lebih besar tentang strategi verbal calon. Kita juga menemukan investigasi analitik isi yang menggunakan pendekatan komparatif sangat bermanfaat untuk dialog kampanye, dengan menganalisis ciri isi debat dalam kaitannya dengan bentuk-bentuk pesan kampanye lainnya. Misalnya, yang dikutip sebelumnya adalah perbandingan Ellsworth (1965) antara argumentasi debat dengan argumentasi yang ditemukan dalam penerimaan nominasi dan pidato penutupan. Juga, Hart dan Jarvis (1997) menunjukkan bahwa calon kurang suka berlebih-lebihan dan bumbu-bumbu dalam debat daripada mereka dalam iklan atau pidato penutupan. Akhirnya, teori fungsional Benoit telah diterapkan dalam berbagai bentuk pesan kampanye, yang menemukan, misalnya, bahwa debat menampilkan lebih banyak pembahasan tentang kebijakan dan lebih sedikit tentang karakter dibanding iklan TV; dan debat pemilu menampilkan lebih sedikit serangan calon daripada yang ditemukan dalam iklan pemilu (meskipun, menariknya, Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 26 serangan lebih sering dalam debat primary daripada dalam iklan primary). Secara umum, tema yang berlaku dalam banyak analisis pesan komparatif menunjuk pada dialog debat sebagai bentuk unggul komunikasi kampanye. b. Analisis Isi Visual/Nonverbal. Tak diragukan lagi, dari debat kampanye lokal ke presiden, warga menemukan acara komunikasi politik ini sebagai pengalaman televisi. Namun, para sarjana yang menganalisis isi debat kampanye, sebagian besar mengabaikan premis mendasar bahwa debat terdiri dari unsur pesan verbal dan visual. Bahkan, Hellweg et al. (1992) menyatakan bahwa “komponen visual komunikasi televisi mengecilkan dimensi verbal”. Namun, dominasi isi visual debat tidak tercermin dalam analisis yang ada tentang debat kampanye. Dari awalnya, dampak visual debat presiden di telebisi telah dipertanyakan, di mana sekarang muncul pernyataan legendaris –beberapa orang mempercayainya sebagai mitos–bahwa pemirsa televisi menganggap John Kennedy sebagai “pemenang” dari debat tahun 1960, sedangkan pendengar radio menilai Richard Nixon sebagai pendebat unggul atau menganggap kedua calon sama dalam kinerja mereka. Analisis empiris yang ada tentang isi visual debat mencakup beberapa program konten penelitian analitik isi yang memeriksa presentasi kamera, perilaku nonverbal calon dalam debat, serta perbandingan isi verbal dan visual. Dalam analisisnya tentang sorotan kamera dari debat 1976, Tiemens (1978) menemukan presentasi visual yang tidak merata dari dua calon, dengan Jimmy Carter lebih disukai daripada Ford karena Carter mendapatkan komposisi layar yang lebih besar, sudut kamera yang lebih menguntungkan, sorotan pada senyuman yang lebih besar, dan kontak mata yang lebih besar dengan kamera atau penonton. Dalam konteks penelitian mengenai penggunaan dan kepuasan, sejumlah penelitian tentang efek debat meneliti bagaimana dan mengapa warga Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 27 menggunakan debat kampanye dan bagaimana pesan kampanye tersebut dievaluasi dalam hal kegunaannya bagi para pemilih. Pertama, Chaffee melaporkan bahwa tiga motivasi teratas mengapa pemirsa menonton debat –dalam urutan ke bawah– termasuk keinginan untuk belajar tentang posisi isu para calon, untuk membandingkan kepribadian calon, dan untuk mendapatkan informasi yang akan memungkinkan mereka untuk membuat keputusan untuk memilih mereka. Selanjutnya, dalam teori argumentasi dan debat, wajar bahwa teori argumentasi dan debat akan memandu pertanyaan penelitian dikarenakan debat itu sendiri terdiri dari serangkaian argumen. Berbagai pendekatan untuk teori argumentasi dan debat, termasuk benturan calon dan juga strategi serangan dan pertahanan calon, diterapkan untuk dialog debat melalui investigasi analisis isi. Beberapa studi tentang format debat juga memasukkan aspek-aspek fundamental dari teori debat. Debat Kennedy-Nixon tahun 1960 menjadi fokus dua penelitian yang meneliti argumentasi dan penggunaan bukti calon. Pertama, studi analisis isi Ellsworth (1965) membandingkan bukti yang digunakan dalam debat dengan bentuk-bentuk lain komunikasi kampanye –pidato penerimaan nominasi dan pidato penutupan terpilih– yang menyimpulkan sifat komparatif dialog debat mendorong calon “untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk memberikan pernyataan posisi, menawarkan bukti yang mendukung posisi mereka, dan memberikan argumen yang beralasan untuk mendukungnya”. Analisis Samovar (1965) tentang debat tahun 1960 juga menemukan bahwa penggunaan bukti yang lebih besar melahirkan kejelasan tanggapan calon dan memfasilitasi pemahaman makna. Debat Ford-Carter 1976 menjadi fokus setidaknya dua studi khusus yang menguraikan standar argumentasi dan pembuktian. Analisis retoris Bitzer dan Rueter (1980), yang menilai jumlah dan kualitas argumen, menilai Carter seorang pendebat yang baik. Menariknya, mereka menunjuk pada format debat yang “cacat” sebagai faktor utama yang membatasi argumen debat. Sebuah studi oleh Bryski (1978) juga memeriksa bukti-bukti yang digunakan oleh Ford dan Carter pada debat mereka tahun 1976 dan berusaha untuk menghubungkan penggunaan bukti dengan reaksi penonton kepada calon. Bryski menyimpulkan Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 28 bahwa meskipun “Ford menggunakan bukti yang lebih sedikit dan membuat lebih banyak kesalahan (pernyataan tidak akurat), [dia] dianggap sebagai „pemenang‟ debat pertama berdasarkan jajak pendapat dan survei”. Analisis isi Riley dan Hollihan (1981) atas debat tunggal Carter-Reagan 1980 menyimpulkan bahwa Ronald Reagan memberikan klaim yang didukung dengan bukti spesifik tiga kali lebih banyak daripada Carter. Analisis retoris Rowland (1986) atas debat yang sama ini juga menemukan bahwa klaim Reagan lebih didukung sepenuhnya dengan bukti dan pernyataan Reagan dinilai lebih akurat daripada Carter. Tidak seperti studi Bryski (1978), dimana calon dengan argumentasi lemah (Ford) dinilai oleh masyarakat sebagai “pemenang” debat, Rowland (1986) menunjukkan bahwa argumen Reagan yang dibangun lebih utuh mungkin telah berkontribusi pada terpilihnya dia sebagai “pemenang” debat oleh hampir semua jajak pendapat pasca-debat. Akhirnya, mungkin studi paling komprehensif tentang argumentasi debat adalah analisis Levasseur dan (1996) Dean tentang jenis dan jumlah bukti yang digunakan oleh semua peserta debat presiden dari tahun 1960 sampai 1988. Penelitian ini juga membahas pertanyaan apakah penggunaan bukti yang lebih besar untuk mendukung klaim seseorang berhubungan atau tidak dengan persepsi kinerja debat yang unggul. Dengan menghitung jumlah bukti yang digunakan oleh para calon di setiap debat, dan kemudian membandingkan data ini dengan hasil polling “siapa yang menang” pasca-debat kita tahu bahwa para calon yang menggunakan jumlah bukti tertinggi umumnya dipandang oleh masyarakat sebagai kalah dalam debat. Efek dari debat di televisi: Debat televisi dapat memiliki berbagai jenis efek. Efek-efek tersebut termasuk langsung, reaksi jangka pendek pada kandidat dalam debat, putusan-putusan mengenai kinerja para kandidat, mempelajari tentang posisi kandidat, perubahan dari ciri khusus yang dirasakan suatu masalah (agenda setting), perubahan citra kandidat/calon, dan efek pada perilaku memilih (Ikhtisar Jamieson & Adasiewicz 2000; Kraus 2000; Trent & Friedenberg 2000). Efek dari elemen visual dan verbal dalam debat di televisi: Efek jangka pendek selama debat di televisi dapat disebabkan dari kesan visual Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 29 dan/atau verbal dari para kandidat. Kesan verbal penonton dipengaruhi oleh apa yang disampaikan oleh politikus, bagaimana mereka menyampaikannya dan apa yang dikatakan tentang mereka. Sebagai contoh, kesan dari seorang politikus akan menjadi lebih baik semakin penonton setuju dengan mereka. Kesan visual dipengaruhi oleh penampilan para kandidat, postur tubuh, sikap dan mimik wajah. (Burgoon, dkk. 2002; Frey 1999). Sebagai tambahan, pencahayaan, sudut pandang kamera dan sorotan juga ikut andil ketika politikus ditampilkan di televisi (Tiemes 1978; Kepplinger 1987; Morello 1988). Bukti dan emosi sebagai alat retorika dalam debat di televisi: Para pemuka retorika pada zaman Yunani kuno dan Romawi yakin bahwa pembicara sukses harus mencoba untuk masuk ke dalam pikiran dan jiwa para pendengarnya. Sebagai contoh, Cicero ingin pembicara untuk mengajar (to teach), menghibur (to entertain), dan menggerakkan (to stir) audiensnya. Ia dianggap mengajarkan rasional (logos), menghibur dan menggerakkan emosi (ethos dan pathos) dari kemampuan berbicara. Mengajar harus dilakukan misalnya dengan menyediakan bukti, fakta-fakta, contoh atau menyertakan para ahli. Emosi seharusnya berakar di dalam konten dari pidato dan pemilihan kata si pembicara. Mereka harus ditimbulkan dengan membuat kaitan antara konten dari pidatonya dan kehidupan para pendengar. 2.2.5 Retorika Retorika adalah komunikasi dua arah, satu-kepada-satu, dalam arti bahwa satu atau lebih orang (seorang berbicara kepada beberapa orang maupun berbicara kepada seorang lain) masing-masing berusaha dengan sadar untuk memengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama lain. Sejarah Retorika dimulai pada tahun 467 sebelum Masehi, Korax seorang Yunani dan muridnya Teisios (keduanya berasal dari Syrakuse –Sisilia) menerbitkan sebuah buku yang pertama tentang Retorika. Tetapi retorika sebagai seni dan kepandaian berbicara, sudah ada dalam sejarah jauh lebih dahulu. Misalnya dalam kesastraan Yunani kuno, Homerus dalam Ilias dan Odyssee menulis pidato yang panjang. Juga bangsa‐bangsa seperti Mesir, India dan Cina sudah mengembangkan seni berbicara jauh hari sebelumnya. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 30 Plato, menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasar pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang benar‐benar membawa orang pada hakikat –Plato membahas organisasi gaya, dan penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara untuk mengenal ”jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan dasar‐dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah. Retorika menurut Plato adalah suatu kemampuan untuk memengaruhi, mengurangi jiwa manusia secara positif kearah kebenaran, dan menekan jiwa-jiwa manusia. Plato menekankan bahwa orator atau komunikator di dalam mengucapkan kata atau suatu kalimat, baik secara implisit senantiasa harus berpedoman pada dasar-dasar yang didalamnya terdapat kebenaran dan kebijakan. Dalam hal ini, Nimmo membagi retorika menjadi tiga tipe yaitu: (a) Retorika Deliberatif, (b) Retorika Forensik, (c) Retorika Demostratif. Retorika Deliberatif dirancang untuk memengaruhi orang dalam masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian dari cara-cara alternatif dalam melakukan sesuatu. Retorika Forensik berfokus kepada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan kejadian-kejadian yang terdahulu. Retorika Demostratif terfokus kepada apa yang terjadi pada masa sekarang. Retorika demostratif adalah wacana yang memuji dan atau menjatuhkan, tujuannya untuk memperkuat sifat baik dan buruk seseorang, suatu lembaga, gagasan atau ide. Menurut Plato, retorika sangat penting sebagai metode pendidikan, sebagai sarana untuk mencapai kedudukan dalam pemerintahan, dan sebagai sarana untuk memengaruhi rakyat. Plato mengatakan bahwa retorika bertujuan memberikan kemampuan menggunakan bahasa yang sempurna, dan merupakan jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam, terutama dalam bidang politik. Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan atau simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 31 tepat dalam menyampaikan maksud. Prinsip bahwa pesan yang tepat akan dapat mencapai maksud komunikator. Kemampuan dalam merancang pesan yang memadai menjadi perhatian yang penting dalam kajian komunikasi. Tradisi retorika dapat menjelaskan baik dalam konteks komunikasi antarpersonal maupun komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana prosesproses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi dapat berlangsung secara efektif. Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan sebagainya yang hidup dalam suatu organisasi media atau dalam diri individu merupakan faktor yang menentukan dalam proses pembuatan pesan. Bahwa pesan dihasilkan melalui proses yang melibatkan nilai-nilai, kepentingan, pandangan hidup tertentu dari manusia yang menghasilkan pesan. Pemahaman yang memadai dari tradisi retorika ini akan membantu dalam memahami bagaimana merancang suatu pesan yang efektif. Hitler sendiri memberi definisi bahwa retorika adalah pers yang tidak tertulis, tetapi dipidatokan sebagai media propaganda untuk membentuk pendapat umum. Pada perkembangannya di era modern sekarang ini fokus dari retorika telah diperluas bahkan lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan simbol untuk memengaruhi lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun dunia tempat mereka tinggal. Lebih lanjut Littlejohn menjelaskan bahwa pusat dari tradisi retorika adalah penemuan, penyusunan, gaya, penyampaian, dan daya ingat. Dalam perkembangannya, penemuan sekarang mengacu pada konseptualisasi, proses di mana kita menentukan makna dari simbol melalui interpretasi, respon terhadap fakta yang berupa penafsiran. Penyusunan, adalah pengaturan simbol-simbol (informasi) dalam hubungannya dengan orang-orang, dan konteks yang terkait. Sedangkan, Gaya berhubungan dengan semua anggapan yang terkait dalam penyajian simbol-simbol tersebut, mulai dari memilih sistem simbol, sampai makna yang kita berikan pada semua simbol tersebut, mulai dari kata dan tindakan sampai busana dan perabotan. Penyampaian menjadi perwujudan dari simbol dalam bentuk fisik, mencakup pilihan non verbal untuk berbicara, menulis, dan memediasikan pesan. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 32 Terakhir, daya ingat tidak lagi mengacu pada penghapalan pidato, tetapi dengan cakupan yang lebih besar dalam mengingat budaya sebagaimana dengan proses persepsi yang berpengaruh pada bagaimana kita menyimpan dan mengolah informasi. Di era kontemporer, retorika adalah sebuah cara untuk mengetahui dunia, bukan cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia. Dalam Tradisi Retorika, Richard West dan Lynn H. Turner membagi empat teori retorika yaitu: (1) Teori Retorika Klasik (Aristoteles), (2) Dramatisme (Burke), (3) Paradigma Naratif (Fisher), dan (4) Kajian budaya (Hall). Teori retorika Aristoteles berpusat pada pemikiran mengenai retorika, yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Khalayak merupakan kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang memandang khalayak untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato, digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa teori retorika adalah teori yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah presentasi atau pidato persuasif yang efektif dengan menggunakan alat-alat persuasi yang tersedia. Kedua adalah teori Dramatisme dari Burke. Teori dramatisme adalah teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama. Dramatisme, sesuai dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai sebuah drama, menempatkan suatu fokus kritik pada adegan yang diperlihatkan oleh berbagai pemain. Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah penting dalam menyingkap motivasi manusia. Dramatisme memberikan kepada kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikasi antara teks dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri. Drama adalah metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan: (1) drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai keseluruhan pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan pada interaksi atau dialog. Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 33 (2) drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah dikenali: komedi, musical, melodrama dan lainnya. Burke merasa bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan. (3) drama selalu ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat retoris. Burke memandang sastra sebagai peralatan untuk hidup, artinya bahwa literatur atau teks berbicara pada pengalaman hidup orang dan masalah serta memberikan reaksi untuk menghadapi pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari cara-cara di mana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan khalayak. Ketiga, adalah Teori Paradigma Naratif dari Fisher. Paradigma naratif melihat khalayak sebagai partisipan dalam suatu pengalaman penceritaan kisah. Para teoritikus naratif menyatakan bahwa kisah seseorang akan efektif jika berkaitan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan pendengar. Terakhir, Teori Kajian Budaya. Kajian budaya adalah perspektif teoritis yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan dominan. Hall (1989) menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang dominan, tanpa mempedulikan efektifitas pemikiran tersebut. Media merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan di dalam masyarakat. Karena media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk mencapai keuntungan. Pengaruh media dan peranan kekuasaan harus dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya. Dari empat teori tentang retorika di atas, maka teori yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Retorika Klasik (Aristoteles). Aristoteles dikenal sebagai bapak retorika dengan memopulerkannya dalam bukunya yang berjudul Rethoric. Aristoteles menulis tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five Canons of Rhetoric), yakni: Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 34 1. Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain dari kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak. 2. Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya Taxis yang berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog. Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian, menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan. 3. Elocutio (gaya). Pada tahap ini pembicara memilih kata‐kata dan menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya. Aristoteles mengatakan agar menggunakan bahasa yang tepat, benar dan dapat diterima, pilih kata‐kata yang jelas dan langsung, sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup, dan sesuaikan bahasa dengan pesan, khalayak dan pembicara 4. Memoria (memori) Pada tahap ini pembicara harus mengingat apa yang ingin disampaikannya, dengan mengatur bahan‐bahan pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk memudahkan ingatan. 5. Pronuntiatio (penyampaian) Pada tahap ini, pembicara menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini akting sangat berperan. Pembicara harus memperhatikan suara (vocis) dan gerakan‐gerakan anggota badan. (gestus moderatio cum venustate) Dikemukakan oleh Aristoteles pula, ada prinsip yang penting untuk diingat jika kita ingin mempersuasi orang lain yaitu: (a) Ethos yang merujuk pada karakteristik personal atau kredibilitas komunikator (source credibility); Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 35 (b) Pathos atau meletakkan atau mengajak audience pada kerangka “state of mind” tertentu, ditunjukkan oleh seorang komunikator dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan kegairahan dengan semangat yang berkobar pada khalayak (emotional appeals); (c) Logos atau bukti-bukti yang bisa disampaikan ke audience, ditunjukkan dengan uraian yang disampaikan adalah masuk akal sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh khalayak (logic appeals). Penjelasannya dalam bagan berikut ini: Term Definition Ethos Character of speaker helps convince Pathos Appeal to emotions in listener (audience) Logos Proof based on reason, logical argument Gambar 2.1 Prinsip Retorika Aristoteles Hakikat retorika adalah persuasi yang merupakan pendapat Aristoteles, yang menyatakan bahwa retorika adalah the art of persuassion. Persuasi didefinisikan oleh Herbert W. Simons dalam bukunya, Persuassion, Understanding, Practice and Analysis, sebagai “komunikasi manusia yang direncanakan untuk memengaruhi orang-orang lain dengan mengubah kepercayaan, nilai, atau sikap mereka” (human communication designed to influence others by modifying their beliefs, values, or attitudes). Hopper dan Pratt (1995) menggambarkan retorika sebagai bentuk bahasa atau tulisan persuasif atau efektif yang bertujuan untuk mengendalikan realita guna memengaruhi audiens tertentu. Retorika sebagai suatu proses mempunyai suatu karakteristik tertentu. Perelman (1982) mengatakan bahwa ada dua karakteristik kunci dari retorika yaitu gaya (style) dan konteks (context). Gaya merujuk pada pilihan seseorang dalam membuat argumentasi yang akan disampaikan kepada audiens. Ketika gaya tersebut berhubungan dengan penyajian, retorika akan sangat memengaruhi kemampuan penyaji di Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara 36 dalam menyajikan argumentasinya (Carter dan Jackson 2004). Ada empat faktor yang memengaruhi gaya dalam retorika, yaitu (Arnold 1982 dan Perelman 1982): a) argumentasi yang logis, b) kemampuan memengaruhi orang lain, c) retorika merupakan suatu interpretasi yang terbuka dan dapat mempunyai makna ganda, dan d) retorika disusun dari teknik-teknik linguistik yang dapat diidentifikasi. Carl I. Hovland dan Irving L. Janis dkk, dalam bukunya Personality and Persuasibility, menyatakan bahwa efek persuasif bersumber pada perubahan sikap (attitude changes) yang kemudian mengarah kepada perubahan-perubahan pendapat (opinion changes), perubahan-perubahan persepsi (perception changes), perubahan-perubahan efek (effect changes), dan perubahan-perubahan tindakan (action changes). 2.3 Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran merupakan kajian tentang bagaimana teori dengan berbagai konsep yang ada dalam perumusan masalah. Manfaat kerangka pemikiran adalah memberikan arah bagi proses riset dan terbentuknya persepsi yang sama antara perneliti dan orang lain (yang membaca) terhadap alur-alur berpikir peneliti, dalam rangka membentuk hipotesis penelitian secara logis (Kriyantono, 2008: 80). Dalam penelitian ini, kerangka pemikiran yang saya gunakan adalah: Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran Debat Kandidat Pilkada Kota Medan 2015 Analisis Isi Debat: Analisis Isi Verbal dan Analisis Isi Visual/Nonverbal Retorika Pasangan Calon Nomor Retorika Pasangan Calon Nomor Urut 1 Pilkada Kota Medan, Drs. Urut 2 Pilkada Kota Medan, Drs. H. T. Dzulmi Eldin S, M. Si dan Ramadhan Pohan, MIS dan Dr. Ir. Akhyar Nasution, M.Si Eddie Kusuma, SH, MH. Prinsip Retorika Aristoteles: Ethos, Pathos, Logos Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara