Chapter II - USU Repository

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1
Paradigma Penelitian
Paradigm atau paradigm (Inggris) atau paradigme (Perancis), istilah
tersebut berasal dari bahasa Latin, yakni para dan deigma. Secara etimologis,
para berarti di samping, di sebelah dan deigma berarti memperlihatkan, yang
berarti, model, contoh, arketipe, ideal. Deigma dalam bentuk kata kerja deiknynai
berarti menunjukkan atau mempertunjukkan sesuatu. (Pujileksono: 2015: 26)
Paradigma merupakan pola atau model tentang bagaimana sesuatu
distruktur (bagian dan hubungannya) atau bagaimana bagian-bagian berfungsi
(perilaku yang di dalamnya ada konteks khusus atau dimensi waktu). Kuhn (1962
dalam „The Structure of Scientific Revolutions‟ mendefinisikan „paradigma
ilmiah‟ sebagai „contoh yang diterima tentang praktik ilmiah sebenarnya, contohcontoh termasuk hukum, teori, aplikasi, dan instrumentasi secara bersama-sama –
yang menyediakan model yang darinya muncul tradisi yang koheren dari
penelitian ilmiah. (Moleong, 2011: 49)
Berdasarkan definisi Kuhn tersebut, Harmon (1970) mendefinisikan
„paradigma‟ sebagai cara mendasar untuk mempersepsi, berpikir, menilai dan
melakukan yang berkaitan dengan sesuatu secara khusus tentang visi realitas.
Baker (1992) dalam „Paradigms: The Bussiness of Discovering the Future‟,
mendefinisikan paradigma sebagai „seperangkat aturan (tertulis atau tidak tertulis)
yang melakukan dua hal: (1) hal itu membangun dan mendefinisikan batas-batas;
dan (2) hal itu menceriterakan kepada Anda bagaimana seharusnya melakukan
sesuatu di dalam batas-batas itu agar bisa berhasil. Capra (1996) mendefinisikan
paradigma sebagai „konstelasi konsep, nilai-nilai persepsi dan praktik yang
dialami bersama oleh masyarakat, yang membentuk visi khusus tentang realitas
sebagai dasar tentang cara mengorganisasikan dirinya‟.
Paradigma penelitian merupakan perspektif penelitian yang digunakan
oleh peneliti tentang bagaimana peneliti: (a) melihat realitas (world views), (b)
bagaimana mempelajari fenomena, (c) cara-cara yang digunakan dalam penelitian
dan (d) cara-cara yang digunakan dalam menginterpretasikan temuan.
7
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
8
Paradigma yang digunakan dalam penelitian ini adalah paradigma
konstruktivistik dengan model pendekatan kualitatif. Paradigma konstruktivistik
memiliki karakteristik, yaitu: (1) Melihat suatu realita yang dibentuk oleh
berbagai macam latar belakang sebagai bentuk konstruksi realita tersebut. Realita
yang dijadikan sebagai objek penelitian merupakan suatu tindakan sosial oleh
aktor sosial. (2) Latar belakang yang mengkontruksi realita tersebut dilihat dalam
bentuk konstruksi mental berdasarkan pengalaman sosial yang dialami oleh aktor
sosial sehingga sifatnya lokal dan spesifik. (3) Penelitiannya mempertanyakan
„mengapa‟ (why?). (4) Realita berada di luar peneliti namun dapat memahami
melalui interaksi dengan realita sebagai objek penelitian. (5) Jarak antara peneliti
dengan objek penelitian tidak terlalu dekat, peneliti tidak terlibat namun
berinteraksi dengan objek penelitian. (6) Paradigma penelitian konstruktivistik
sifatnya kualitatif, peneliti memasukkan nilai-nilai pendapat ke dalam
penelitiannya. Penelitian dengan paradigma ini sifatnya subjektif. (7) Tujuan
untuk memahami apa yang menjadi konstruksi suatu realita. Oleh karena itu
peneliti harus dapat mengetahui faktor apa saja yang mendorong suatu realita
dapat terjadi dan menjelaskan bagaimana faktor-faktor itu merekonstruksi realita
tersebut. (Pujileksono, 2015: 28)
2.2
Kerangka Teori
2.2.1 Komunikasi
Secara etimologi, dapat disebutkan bahwa istilah komunikasi dalam
bahasa Inggris yaitu communication berasal dari kata Latin communis yang berarti
sama. Maksudnya, bila seseorang mengadakan kegiatan komunikasi dengan
sesuatu pihak maka orang tersebut cenderung berusaha untuk mengadakan
persamaan arti dengan pihak lain yang menjadi lawan komunikasinya.
Aristoteles yang hidup empat abad sebelum masehi (385-322 SM)
dalam bukunya Rethoric membuat definisi komunikasi dengan menekankan
“siapa mengatakan apa kepada siapa”. Definisi yang dibuat Aristoteles ini sangat
sederhana, tetapi ia telah mengilhami seorang ahli ilmu politik bernama Harold D.
Lasswell pada 1948 yang membuat definisi komunikasi yang lebih sempurna
dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan “Who Says What in Which Channel to
Whom with What Effect?”. Berdasarkan definisi Lasswell dapat diturunkan lima
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
9
unsur komunikasi yang saling bergantung satu sama lain, yaitu sumber (source)
atau disebut juga komunikator (communicator), pesan (message), saluran atau
media (channel), penerima (receiver), dan efek (effect).
Unsur penyampaian barangkali merupakan unsur komunikasi yang
paling sering dijumpai dalam definisi komunikasi. Seperti halnya definisi yang
dikemukakan oleh Ithiel de Sola Pool, bahwa komunikasi adalah pengalihan
informasi untuk memperoleh tanggapan. Adapun Shacter (1961) menulis bahwa:
“komunikasi merupakan mekanisme untuk melaksanakan kekuasaan”. Definisi
Shacter ini menempatkan komunikasi sebagai unsur kontrol sosial atau untuk
memengaruhi perilaku, keyakinan, sikap terhadap orang lain.
2.2.2 Komunikasi Politik
Komunikasi politik bukan hanya sekedar proses penyampaian suatu
pesan mengenai politik oleh seseorang kepada orang lain. Bukan pula merupakan
pengertian komunikasi ditambah pengertian politik. Sanders dan Kaid dalam
karyanya, berjudul “Political Communication, Theory and Research: An
Overview 1976-1977”, mengatakan bahwa komunikasi politik harus intentionally
persuasive. Faktor tujuan dalam komunikasi politik itu, jelas pula tampak pada
definisi yang diketengahkan oleh Lord Windlesham dalam karyanya, What is
Political Communication. Bunyinya sebagai berikut:
“Political communication is the deliberate passing of a political
message by a sender to a receiver with the intention of making the
receiver behave in a way that might not otherwise have done.”
(Komunikasi politik ialah suatu penyampaian pesan politik secara
sengaja dilakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan tujuan
membuat komunikan berperilaku tertentu).
Jika Sanders dan Kaid serta Windlesham menekankan pengertian
komunikasi politik pada tujuan, para ahli komunikasi lainnya –antara lain Dan
Nimmo dalam bukunya, Political Communication and Public Opinion in America
menekankannya pada efek yang muncul pada komunikan sebagai akibat dari
penyampaian pesan.
Makna tujuan pada definisi Sanders dan Kaid serta Windlesham, dan
efek pada pendapat Dan Nimmo, pada hakikatnya sama; jika ditelaah
perbedaannya, hanyalah pada keterlekatan pada komponennya; tujuan melekat
pada komponen komunikator, efek pada komponen komunikan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
10
Sedangkan, menurut Dahlan (1999), komunikasi politik ialah suatu
bidang atau disiplin yang menelaah kegiatan komunikasi yang bersifat politik,
mempunyai akibat politik, atau berpengaruh terhadap perilaku politik. Dengan
demikian, pengertian komunikasi politik dapat dirumuskan sebagai suatu proses
pengoperan lambang-lambang atau simbol-simbol komunikasi yang berisi pesanpesan politik dari seseorang atau kelompok kepada orang lain dengan tujuan
untuk membuka wawasan atau cara berpikir, serta memengaruhi sikap dan
tingkah laku khalayak yang menjadi target politik.
Ardial menyebutkan tujuan komunikasi politik adakalanya sekedar
penyampaian informasi politik, pembentukan citra politik, pembentukan opini
publik, dan bisa menghandel pendapat atau tuduhan lawan politik.
Selanjutnya komunikasi politik bertujuan menarik simpatik khalayak
dalam rangka meningkatkan partisipasi politik masyarakat pada pemilu atau
pemilihan kepala daerah. Lasswell memandang orientasi komunikasi politik telah
menjadikan dua hal sangat jelas: pertama, bahwa komunikasi politik selalu
berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu
sendiri dibentuk di dalam dan oleh proses perilaku yang sesungguhnya merupakan
suatu bagian; dan kedua, bahwa komunikai politik bertujuan menjangkau masa
depan dan bersifat mengantisipasi serta berhubungan dengan masa lampau dan
senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu.
Plano (dalam Mulyana & Solatun, 2008: 29) melihat bahwa
“komunikasi politik merupakan proses penyebaran, makna atau pesan yang
bersangkutan dengan fungsi suatu sistem politik”. Objek material komunikasi
politik menurut Sartori adalah: “dimensi-dimensi komunikasi dari fenomena
politik dan dimensi politis dari komunikasi” sesuai dengan apa yang dikemukakan
oleh Gurevith dan Blumler yang mengemukakan empat komponen dalam
komunikasi politik, yaitu:
1.
Lembaga-lembaga politik dalam aspek komunikasinya,
2.
Institusi media dalam aspek politiknya,
3.
Orientasi khalayak terhadap komunikasi, dan
4.
Aspek budaya politik yang relevan dengan komunikasi.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
11
Pentingnya komunikasi dalam pencapaian sasaran-sasaran politik juga
diakui oleh Greber: “Sebagian besar aktivitas politik adalah permainan kata-kata.
Politisi berhasil meraih karena keberhasilannya berbicara secara persuasif kepada
para pemilih dan kepada elit politik”. Ia menambahkan bahwa “ketika kita
menjelaskan bahasa politik (bahasa yang digunakan dalam konteks politik) dan
apa yang membuat bahasa verbal maupun nonverbal menjadi politis bukanlah
karena bentuk atau kosakata, melainkan karena substansi informasi yang
dihadirkan, setting di mana informasi disebarkan maupun karena fungsi
dijalankan”.
Komunikasi politik sebagai body of knowledge terdiri atas berbagai
unsur, yakni: sumber (komunikator), pesan, media atau saluran, penerima dan
efek. (Nimmo: 1978, Mansfield dan Weaver dalam Cangara: 2009).
1. Komunikator Politik
Komunikator politik adalah mereka-mereka yang dapat memberi
informasi tentang hal-hal yang mengandung makna atau bobot politik,
misalnya presiden, menteri, anggota DPR, MPR, KPU, gubernur,
bupati/walikota,
DPRD,
politisi,
fungsionaris
partai
politik,
fungsionaris Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan kelompokkelompok penekan dalam masyarakat yang bisa memengaruhi jalannya
pemerintahan.
Komunikator politik Menurut Nimmo (2005: 28), salah satu ciri
komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat menghindari dan
keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain
pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua
adalah komunikator, begitu pula siapa pun yang dalam setting politik
adalah komunikator politik. Meskipun mengakui bahwa setiap orang
boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif
sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya
serta tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya
bertukar pesan politik; mereka adalah pemimpin dalam proses opini.
Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
12
umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh-sungguh bila mereka
berbicara dan berbuat.
Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran
komunikator politik dalam
proses opini, Leonard W. Dood dalam
Nimmo (2005: 30) menyarankan jenis-jenis hal yang patut diketahui
mengenai mereka. Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya sendiri.
Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya
kepada mereka sebagai manusia, dapat memengaruhi komunikasi yang
dihasilkannya; jadi jika ia mengira mereka itu bodoh, ia akan
menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama rendahnya. Ia
sendiri
memiliki
kemampuan-kemampuan
tertentu
yang
dapat
dikonseptualkan sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya
sebagai komunikator dengan khalayak yang serupa atau yang tak
serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh motif
untuk berkomunikasi.
Berdasar pada anjuran Dood, jelas bahwa komunikator harus
diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus
ditetapkan. Untuk keperluan ini Nimmo (2005: 30) mengidentifikasi
tiga kategori politikus, yaitu yang bertindak sebagai komunikator
politik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau
komunikator paruh waktu (part time).
2. Pesan Politik
Pesan politik ialah pernyataan yang disampaikan, baik secara tertulis
maupun tidak tertulis, baik secara verbal maupun nonverbal,
tersembunyi maupun terang-terangan, baik yang disadari maupun tidak
disadari yang isinya mengandung bobot politik. Misalnya pidato politik,
pernyataan politik, propaganda, makna logo, warna baju atau bendera,
body language, dan semacamnya.
3. Saluran atau Media Politik
Saluran atau media politik adalah alat atau sarana yang digunakan
para komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan politiknya.
Misalnya media cetak seperti surat kabar. Media elektronik seperti
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
13
radio, video, atau internet. Media format kecil seperti brosur, selebaran,
stiker. Media luar ruang seperti baliho, spanduk, pin, dan segala sesuatu
yang bisa digunakan untuk membangun citra (image building). Saluran
komunikasi kelompok, misalnya partai politik, organisasi sosial
keagamaan, kerukunan keluarga, organisasi profesi dan semacamnya.
Saluran komunikasi publik, misalnya aula, balai desa, pameran. Saluran
komunikasi sosial, misalnya arisan, pertunjukan, pesta pernikahan, dan
semacamnya.
4. Sasaran atau Target Politik
Sasaran adalah anggota masyarakat yang diharapkan dapat memberi
dukungan dalam bentuk pemberian suara (vote) kepada partai atau
kandidat dalam Pemilihan Umum.
5. Pengaruh atau Efek Komunikasi Politik
Efek komunikasi politik yang diharapkan adalah terciptanya
pemahaman terhadap sistem pemerintahandan partai-partai politik, di
mana nuansanya akan bermuara pada pemberian suara (vote) dalam
pemilihan umum. Pemberian suara ini sangat menentukan terpilih
tidaknya seorang kandidat untuk posisi mulai setingkat presiden dan
wakil presiden, anggota DPR, MPR, gubernur dan wakil gubernur,
bupati/walikota dan wakil bupati/walikota.
Kombinasi fungsi komunikasi politik menurut McNair dan Goran
Hedebro (dalam Cangara, 2009: 40), yaitu berfungsi untuk:
1.
Memberikan informasi kepada masyarakat terhadap usaha-usaha
yang dilakukan lembaga politik maupun hubungannya dengan
pemerintah dan masyarakat;
2.
Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, dan tujuan
lembaga politik;
3.
Memberi motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para
pendukung partai;
4.
Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat
sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik;
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
14
5.
Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi, sosialisasi
tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak mereka
sebagai pemberi suara;
6.
Menjadi hiburan masyarakat sebagai “pesta demokrasi” dengan
menampilkan para juru kampanye, artis, dan para komentator atau
pengamat politik;
7.
Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan guna
menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang
mengancam persatuan nasional;
8.
Menciptakan
iklim
perubahan
dengan
mengubah
struktur
kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat
luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi;
9.
Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita,
agenda setting, maupun komentar-komentar politik;
10. Menjadi
watchdog
atau anjing penjaga
dalam membantu
terciptanya good gorvenance yang transparansi dan akuntabilitas.
Pesan
dalam
kegiatan
komunikasi
membawa
informasi
yang
disampaikan oleh komunikator. Pesan selain membawa informasi juga
memberikan makna kepada siapa saja yang menginterpretasikannya. Pesan
merupakan konten atau isi dari kegiatan komunikasi secara umum, termasuk
komunikasi politik.
Dalam komunikasi politik terdapat adagium bahwa “politik adalah
pembicaraan” (Suwardi dalam Mulyana & Solatun, 2008: 30). Pembicaraan
tersebut menggunakan lambang-lambang tertentu demi tujuan dan kepentingan
politik, baik lambang verbal ataupun lambang nonverbal.
Pesan merupakan inti dari komunikasi politik. Pesan bisa negatif dan
postif tergantung dari persepsi dan pemaknaan yang muncul dari khalayak yang
menerima dan memaknai pesan komunikasi yang disampaikan. Kekuatan pesan
juga dipengaruhi oleh cara membungkus pesan tersebut.
2.2.3 Kampanye Politik
Kampanye adalah aktivitas komunikasi
yang ditujukan untuk
memengaruhi orang lain agar ia memiliki wawasan, sikap dan perilaku sesuai
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
15
dengan kehendak atau keinginan penyebar atau pemberi informasi. Dalam konteks
komunikasi politik, kampanye dimaksudkan untuk memobilisasi dukungan
terhadap suatu hal atau seorang kandidat. “Political campaigns are aimed at the
mobilization of support for one‟s cause or candidate”, sedangkan menurut
Imawan (1999) kampanye adalah upaya persuasif untuk mengajak orang lain yang
belum sepaham atau belum yakin pada ide-ide yang kita tawarkan, agar mereka
bersedia bergabung dan mendukungnya. Oleh sebab itu, ide-ide yang dilontarkan
haruslah yang terbaik yang bisa dirumuskan, serta dapat disampaikan sesuai
dengan alam pikiran orang lain yang diharapkan dukungannya.
Sebuah kampanye, menurut Kotler dan Roberto (1989), adalah upaya
yang dikelola oleh satu kelompok (agen perubahan) yang ditujukan untuk
mempersuasi target sasaran agar bisa menerima, memodifikasi atau membuang
ide, sikap dan perilaku tertentu. Kampanye politik adalah sebuah peristiwa yang
bisa didramatisasi. Oleh karena itu, Richard A Joslyn melukiskan kampanye
politik tidak ada bedanya dengan sebuah adegan drama yang dipentaskan para
aktor-aktor politik. (Cangara, 2009: 284)
Dalam berbagai kajian komunikasi, komunikator menjadi sumber dan
kendali semua aktivitas komunikasi. Oleh karena itu, jika suatu proses kampanye
tidak berhasil dengan baik, kesalahan utama bersumber dari komunikator (juru
kampanye) karena komunikatorlah yang tidak memahami penyusunan pesan,
memilih media yang tepat, dan mendekati khalayak yang menjadi target sasaran.
Sebagai pelaku utama dalam aktivitas komunikasi, komunikator memegang
peranan yang sangat penting. Untuk itu seorang komunikator yang akan bertindak
sebagai juru kampanye harus terampil berkomunikasi, kaya ide, serta penuh daya
kreatifitas.
Ada tiga syarat yang harus dipenuhi seorang juru kampanye, yakni: (1)
tingkat kepercayaan orang lain kepada dirinya (kredibilitas); (2) daya tarik
(attractive); (3) kekuatan (power). Kredibilitas menurut Aristoteles bisa diperoleh
jika seorang juru kampanye memiliki ethos, pathos, dan logos. Ethos ialah
kekuatan yang dimiliki juru kampanye dari karakter pribadinya sehingga ucapanucapannya bisa dipercaya. Pathos ialah kekuatan yang dimiliki seorang pembicara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
16
dalam mengendalikan emosi pendengarnya, sedangkan Logos ialah kekuatan yang
dimiliki juru kampanye melalui argumentasinya.
James McCroskey (1966) lebih jauh menjelaskan bahwa kredibilitas
komunikator dapat diperoleh dari kompetensi (competence), sikap (attitude),
tujuan
(intention), kepribadian
(personality), dan dinamika
(dinamism).
Kompetensi ialah penguasaan yang dimiliki seorang pembicara pada masalah
yang dibahasnya. Sikap menunjukkan pribadi pembicara apakah ia tegas atau
toleran dalam prinsip. Tujuan menunjukkan apa yang disampaikan itu punya
maksud yang baik atau tidak. Kepribadian menunjukkan apakah pembicara
memiliki pribadi yang hangat dan bersahabat, sedangkan dinamika menunjukkan
apakah hal yang disampaikan itu menarik atau justru membosankan.
Berlo (1962) seorang pakar komunikasi dari Michigan State University
menambahkan bahwa kredibilitas seorang juru kampanye bisa timbul jika ia
memiliki keterampilan berkomunikasi (communication skills), pengetahuan yang
luas tentang materi yang dibawakannya (knowledge), sikap jujur dan bersahabat
(attitude), serta mampu beradaptasi dengan sistem sosial budaya (social and
cultural system) masyarakat yang dihadapinya.
Faktor lain yang penting dimiliki seorang juru kampanye adalah daya
tarik (attractiveness) yang menentukan berhasil atau tidaknya kegiatan kampanye.
Faktor daya tarik seorang politisi sangat berpengaruh bagi para pemilih karena
dari berbagai hasil kajian, ternyata simpati muncul karena daya tarik yang
disampaikan seseorang. Daya tarik pada umumnya disebabkan karena bicara yang
sopan, murah senyum, cara berpakaian yang apik dan necis, dan postur tubuh
yang gagah.
Dalam konteks komunikasi politik, seorang calon sekaligus sebagai juru
kampanye ditentukan oleh lima hal, yakni usia, penampilan, kecerdasan,
keterampilan komunikasi, dan popularitas. Gerbner (1976) mengemukakan bahwa
ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam kampanye, yaitu karakteristik personel
calon dan kampanye itu sendiri. Di Amerika Serikat, dalam setiap pemilihan
presiden, the ideal candidate sering dikaitkan dengan formula “HEAT”, yaitu H –
Honest (jujur), E – Experience (pengalaman), A – Age (usia), T – Tall (tinggi
badan).
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
17
Untuk melihat wajah, penampilan, kecerdasan dan keterampilan
komunikasi sorang calon pemimpin, media massa seperti televisi dapat dijadikan
sebagai saluran untuk mempertemukan calon yang akan dipilih dengan
masyarakat
pemilih.
Acara
“debat
kandidat
calon
presiden”
misalnya
menampakkan calon pemilih sebagai fenomena baru dalam sejarah kepresidenan
Amerika yang dimulai pada tahun 1960 dengan menampilkan Richard Nixon dan
John F. Kennedy. (Cangara, 2009: 298)
2.2.4 Debat
Pengertian debat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah
pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu hal dengan saling memberi
alasan untuk mempertahankan pendapat masing-masing.
Dalam debat kandidat kepresidenan atau calon pemimpin daerah, secara
umum kita sudah mengetahui rekam jejak masing-masing kandidat. Yang belum
kita ketahui secara terperinci adalah pandangan-pandangan mereka mengenai
persoalan bangsa. Karena itu, debat antar capres dan cawapres menjadi penting
bagi khalayak untuk menentukan pasangan mana yang terbaik, meskipun debat
tersebut akan lebih banyak pengaruhnya terhadap kaum terdidik dan kelas
menengah.
Meskipun kepribadian (daya tarik), proyeksi suatu citra, dan
pengembangan isu sangat berperan dalam debat presidensial di televisi (Krauss
dalam Mulyana, 2014: 123), sayang debat-debat kepresidenan tersebut di negara
kita kurang menarik. Beberapa putaran debat itu (terutama putaran 1 antarcapres
dan putaran 2 antarcawapres) lebih tepat disebut diskusi atau dengar pendapat.
Meskipun pertanyaan-pertanyaan moderator berkualitas, jawaban pada capres dan
cawapres terkesan standar dan normatif. Tak ada drama atau perang yang
menguras emosi penonton dan mendorong mereka untuk mengubah pilihan.
Padahal debat demikian penting untuk swing voters, yakni orang-orang yang
belum punya keputusan mengenai siapa calon yang akan dipilih.
Sebagai bandingan, debat calon presiden antara Richard Nixon dan
John Kennedy tahun 1960 yang klasik itu, dapat melukiskan dua kiasan di atas.
Para analis media berpendapat, salah satu kunci kemenangan Kennedy dalam
debat antarcapres AS itu adalah penampilannya yang muda, ceria dan suaranya
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
18
yang lebih merdu, meskipun Kennedy kurang berpengalaman dalam bidang
politik.
Dalam debat pertama mengenai isu-isu domestik, Kennedy tampak
sehat, sementara lawan politiknya tampak kurus dan pucat karena tidak
menggunakan make-up dan baru sembuh dari flu dan dirawat dua minggu di
rumah sakit karena luka lutut. Kennedy bermake-up dan berdandan lebih necis,
dengan jas hitam, dilatih terlebih dahulu bagaimana duduk (bersilang kaki) saat ia
tidak berbicara (memandang Nixon), sementara Nixon berbicara kurang agresif
dengan dandangan kurang serasi: jas abu-abu yang kurang kontras dengan latar
belakang arena debat, dan kemeja yang kurang pas. Pendeknya, masa itu televisi
dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk memanipulasi emosi pemirsa dan
membantu Kennedy untuk tampak lebih kredibel di mata mereka, sehingga
Kennedy memenangkan pemilu AS.
Oleh karena debat-debat antarcapres dan cawapres di Indonesia berjalan
datar, maka hasil jajak pendapat setelah debat lebih mencerminkan predisposisi
pemilih yang sudah ada, bukan karena kinerja capres saat debat. Andai debat
berlangsung seru dan menegangkan, debat dapat mengubah komposisi perolehan
suara masyarakat pemilih dan menentukan siapa yang bakal jadi presiden, apalagi
jika persaingan berlangsung ketat. Ingat debat antara Gerald Ford dan Jimmy
Carter di AS tahun 1976. Semalam sebelum debat tersebut, Ford lebih unggul
11% daripada Carter. Setelah debat, Carter mengungguli Ford dengan selisih yang
nyaris sama (Rakhmat dalam Mulyana, 2014: 124). Perubahan jumlah pendukung
dapat terjadi mendadak, antara sebelum dan sesudah debat, dan bahkan menjelang
hari-H. Kandidat politik yang diduga akan kalah, bisa menang dengan selisih
angka yang tipis. Dalam pemilu 1997 di Inggris, terjadi kejutan serupa ketika
Partai Buruh keluar sebagai pemenang sehingga Tony Blair pun menjadi Perdana
Menteri Inggris mengalahkan John Major, perdana menteri incumbent dari Partai
Konservatif.
Setidaknya, ada dua kendala yang menjadikan debat antarcapres (dalam
arti sebenarnya) di Indonesia dalam pemilu 2009 lalu sulit dilakukan. Pertama,
debat adalah cara komunikasi khas masyarakat berkomunikasi konteks-rendah
yang individualis, liberal, lugas, berbicara apa adanya, seperti di negara-negara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
19
Barat, khususnya AS. Masyarakat kita berbudaya kolektivis, menekankan
harmoni, enggan mengkritik orang lain secara tatap muka. Mereka cenderung
menjaga martabat orang lain (face saving) dan menghindari konflik terbuka. Jika
perbedaan atau konflik muncul, mereka cenderung menggunakan mediator,
seperti yang dilakukan SBY dan JK saat menjajaki koalisi sebelum penetapan
capres dan cawapres untuk menghindari kehilangan muka. Maka tidak
mengherankan bahwa kritikan atau sindiran seorang capres terhadap capres
lainnya sebelum debat yang juga disiarkan media massa, tidak muncul ke
permukaan.
Gaya komunikasi para capres dan cawapres kita, sebagaimana
umumnya gaya komunikasi masyarakat Indonesia dan masyarakat Timur
(termasuk Cina dan Jepang) adalah konteks tinggi (samar, tidak langsung, dan
lebih banyak berbasa-basi) yang dilandasi mentalitas kolektivis. Tujuan
komunikasinya adalah untuk memelihara keselarasan kelompok. Maka seorang
anggota budaya konteks tinggi tidak suka mempermalukan dan dipermalukan
anggota lain, berdasarkan nilai harmoni ini.
Kedua, jumlah capres dan cawapres yang tiga orang sulit dipertemukan
dalam debat, karena debat lazimnya mempertandingkan dua pandangan yang
bertentangan, yakni pandangan pihak yang mendukung (the pros) dan pandangan
pihak yang menentang (the cons) suatu proposisi. Proposisi adalah pendapat
bahwa sesuatu itu benar, baik, buruk atau perlu dilakukan atau boleh dilakukan.
Proposisi yang diperdebatkan harus kontroversial, dapat dikaji dengan fakta, data
yang objektif dan logika yang benar, meskipun tidak selalu ilmiah (karena itu
pandangan hidup dan seni kurang cocok diperdebatkan).
Lewat debat para kandidat dapat dinilai, apakah mereka berpikir kritis
dan logis, baik secara induktif atau deduktif. Apakah mereka mampu menganalisis
dan memecahkan suatu masalah atau tidak. Dalam debat, the pros harus mampu
menyampaikan usulan yang baik, sedangkan the cons harus tahu bagaimana
menyampaikan tangkisan yang efektif. Pihak-pihak yang berdebat harus mampu
menyusun dan mempertanyakan statistik, generalisasi, analogi, korelasi,
kausalitas, dan sebagainya. Dalam debat antarcapres dan antarcawapres kita tahun
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
20
2009 tak ada pertandingan antar-argumen berdasarkan fakta, data dan logika,
sehingga debat kehilangan esensinya.
Sebenarnya, di negara besar seperti Indonesia yang menyulitkan capres
dan cawapres untuk muncul secara tatap muka dan mengemukakan kebijakan dan
pandangan mereka mengenai berbagai isu di hadapan rakyat pemilih, debat
menjadi wahana penting bagi rakyat untuk menilai kredibilitas mereka, meskipun
kesuksesan kandidat dalam debat bukan satu-satunya faktor penentu.
Sebagian besar penelitian debat empiris berasal dari perspektif efek
media yang berusaha untuk memahami berbagai pengaruh paparan debat terhadap
pemirsa. Jawaban singkat untuk pertanyaan apakah debat penting atau tidak,
sebenarnya bagaimana debat itu penting, adalah kesimpulan ilmiah yang khas,
“itu tergantung.” Singkatnya, kami telah memperlajari bahwa efek debat sebagian
besar tergantung pada dinamika kontekstual kampanye tertentu, termasuk calon
tertentu yang terlibat dalam debat dan juga sangat tergantung pada jenis pemirsa
debat yang berbeda-beda.
Pertama, konteks kampanye keseluruhan di mana debat terjadi
memengaruhi kegunaan atau dampak debat. Chaffee menggambarkan empat
kondisi di mana pemilih paling mungkin untuk merasa debat berguna: (1) jika
setidaknya salah satu calon relatif tidak dikenal, (2) ketika banyak pemilih raguragu, (3) ketika persaingan ketat, dan (4) ketika kesetiaan partai lemah. Temuan
dari seri debat 1992 dan 1996 menggambarkan dengan baik penerapan kondisi ini.
Analisis reaksi warga negara terhadap debat tahun 1992, yang termasuk petahana
Presiden George H. W. Bush, penantang Demokrat Bill Clinton, dan calon
independen Ross Perot, mengungkapkan bahwa banyak pemirsa debat masih
ragu-ragu pada saat debat; dan debat dinilai oleh banyak warga sebagai ajang
promosi yang paling penting dalam keputusan mereka untuk memilih siapa.
Selain konteks kampanye, kecenderungan pemirsa juga memengaruhi
efek debat. Chaffee mengemukakan bahwa beberapa temuan awal, yang kadangkadang bertentangan, mengenai efek debat televisi paling baik ditafsirkan dengan
menjelaskan jenis pemilih yang berbeda-beda. Debat akan memiliki pengaruh
terbesar mereka terhadap pemilih yang sangat tertarik, namun ragu-ragu, yang
mungkin diklasifikasikan sebagai pemirsa debat rutin (orang-orang yang melihat
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
21
seluruh debat atau serangkaian debat). Debat akan memiliki lebih sedikit
pengaruh pada orang-orang yang kurang tertarik, atau orang hanya “kadangkadang” menonton debat, serta partisan berkomitmen yang melihat debat untuk
mendapatkan jaminan bahwa pilihan mereka memang calon yang unggul.
Akhirnya, debat memiliki efek yang sangat sedikit atau tidak berefek pada pemilih
yang tidak tertarik yang mungkin tidak biasa sama sekali dengan program debat
aktual atau yang mungkin hanya terpapar pada liputan media tentang acara itu.
Hellweg, Pfau, dan Brydon (1992) juga mengkualifikasi efek debat sesuai dengan
jenis pemirsa. Mereka mencatat bahwa debat memengaruhi keinginan untuk
memilih di kalangan pemirsa dengan preferensi calon yang lemah atau tidak
punya preferensi, sedangkan di kalangan partisan komitmen pilihan suara dan
sikap yang sudah mereka miliki terhadap calon kemungkinan besar akan menguat.
Banyak penelitian menemukan efek menonton debat yang substansial
dan spesifik. Pertama, kita tahu bahwa debat bekerja lebih untuk memperkuat
bukan mengubah pikiran pemilih, debat memfasilitasi pemerolehan informasi isu,
dan menonton debat memengaruhi persepsi tentang karakter atau ciri khas calon.
Lanoue dan Schrott (dalam Kaid, 2015: 266-267) menunjukkan bahwa
debat adalah kampanye yang terpenting dalam upaya untuk membujuk dengan
menarik warga untuk mendapatkan hadiah utama, yakni suara mereka. Dalam
Handbook of Political Communication Research disebutkan beberapa kegunaan
debat, yakni:
a. Efek perilaku. Bagi sebagian orang, ukuran kegunaan debat
bergantung pada pertanyaan apakah menonton debat memengaruhi
pilihan seseorang atau tidak. Sebagaimana Holbrook (1996)
menyimpulkan, “Persepsi sebagian besar pemirsa diwarnai oleh
kecenderungan politik mereka untuk masuk ke debat. . . [dan] satu
prediktor terbaik tentang calon mana yang oleh pemirsa dianggap
memenangkan debat tertentu adalah pilihan suara pemirsa sebelum
debat”.
Namun, meskipun debat tidak dapat mengubah preferensi suara
mayoritas pemirsa yang sebelumnya sudah punya komitmen,
beberapa studi menemukan bahwa di antara pemirsa yang ragu-ragu,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
22
bertentangan, atau berkomitmen lemah, debat membantu pemirsa ini
membentuk preferensi suara atau bahkan mengubah pilihan calon.
Meskipun warga yang ragu-ragu dan tidak berkomitmen mungkin
merupakan segmen kecil dari jumlah penonton debat, mereka adalah
segmen pemilih yang paling menjadi target sebagian besar pesan
kampanye pemilu, dan dalam konteks sangat ketat, mereka adalah
pemilih yang pada akhirnya menentukan hasil pemilu.
b. Efek kognitif. Bahwa debat adalah sumber komunikasi kampanye
yang
“kaya
informasi”
yang
memfasilitasi
pemirsa
untuk
memperoleh pengetahuan tentang isu. Selain banyak penelitian yang
mengidentifikasi pemerolehan pengetahuan umum dari melihat
debat, beberapa penyelidikan memberikan pemahaman yang lebih
bernuansa tentang potensi pembelajaran dari isu debat. Pertama,
analisis atas sejumlah studi debat awal menemukan bukti yang jelas
yang menyangkal tesis “paparan selektif” yang menyatakan partisan
mungkin hanya menyesuaikan diri pada pesan dari calon yang
mereka
dukung.
Sebaliknya,
sifat
komparatif
dialog debat
mendorong warga untuk mengatasi kecenderungan pada pemaparan
selektif karena pemirsa melaporkan tingkat pembelajaran yang kirakira sama baik dari calon yang mereka dukung maupun dari calon
oposisi.
c. Evaluasi citra calon. Sejumlah penelitian menemukan bahwa
paparan dalam debat dapat memengaruhi persepsi pemirsa tentang
karakter atau ciri citra calon. Bahkan, dalam ringkasan mereka
tentang
studi
debat
pertama,
Katz
dan
Feldman
(1962)
menyimpulkan, “Hanya ada sedikit keraguan… bahwa penonton
sibuk menganalisis karakter kontestan –presentasi diri mereka.”
Dalam penelitian debat berikutnya, sifat relatif atau proporsional dari
pengetahuan isu dan persepsi efek citra tetap menjadi pertanyaan
yang sulit dan belum terjawab. Singkatnya, masalahnya tetap, yaitu
pengaruh mana yang terbesar –apakah paparan debat memiliki
dampak yang lebih besar pada persepsi pemirsa tentang citra calon
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
23
atau pada pemerolehan pengetahuan tentang isu? Tentu saja, salah
satu jawaban untuk pertanyaan ini mungkin adalah bahwa
pembelajaran isu dan citra adalah dua variabel yang bekerja sama
secara erat. Carlin (2000) juga menyimpulkan dari analisisnya bahwa
isu dan evaluasi cita bekerja sama, dengan mencatat bahwa “pemirsa
debat membuat penilaian tentang ciri-ciri [citra] berdasarkan strategi
yang digunakan peserta debat, pilihan isu mereka, sikap mereka…
kesediaan mereka untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara
langsung, dan cara mereka menyerang lawan mereka”.
Namun, para sarjana lain menyatakan bahwa debat di televisi
sebenarnya mengistimewakan salah satu komponen pesan –isu atau
citra– atas komponen yang lain. Lanoue dan Schrott (1991),
misalnya, berpendapat, “Pemirsa jauh lebih mungkin untuk
menggunakan
debat
untuk
mendapatkan
informasi
tentang
kepribadian dan karakter masing-masing calon… Presentasi
„pribadi‟ yang unggul tampaknya lebih penting bagi pemilih
daripada akumulasi „poin-poin‟ debat berorientasi isu”.
d. Efek laten. Debat kampanye memungkinkan adanya di mana paparan
para calon dalam debat dapat mengaktifkan berbagai kecenderungan
warga dan demokrasi warga. Secara khusus, debat terbukti
meningkatkan minat pemirsa pada kampanye
yang sedang
berlangsung, mendorong warga untuk mencari tambahan informasi
kampanye setelah menonton debat, mendorong partisipasi lebih
besar dalam kampanye melalui kegiatan seperti berbicara dengan
orang lain tentang calon seseorang yang disukai dan peningkatan
kemungkinan pemilih. Juga, beberapa studi menemukan melihat
debat meningkatkan kesadaran warga tentang keberhasilan politik
dan dukungan untuk lembaga-lembaga politik, meskipun satu studi
menemukan
bahwa
pemirsa
menjadi
kurang percaya
pada
pemerintah setelah melihat debat. Namun, Kaid et al menemukan
bahwa paparan debat menurunkan tingkat sinisme politik, dan
analisis mereka juga menungkapkan hubungan yang jelas antara
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
24
sinisme
dan
pemberian
suara
–khususnya,
sinisme
politik
nonpemilih secara signifikan lebih tinggi dari pemilih.
Sedangkan mengenai analisis isi debat yaitu pada:
a. Analisis Isi Verbal. Analisis isi verbal debat memeriksa isu-isu
kampanye
tertentu
yang
ditampilkan
dalam
diskusi
debat,
pengembangan argumen calon, pola interaksi calon, termasuk
strategi benturan dan serangan, bentuk dan fungsi respon calon, dan
juga gaya bahasa calon. Menanggapi tuntutan bahwa debat preiden
di televisi tidak lebih dari konferensi persi bersama-sama, tanpa ada
debat calon yang sebenarnya Carlin dan rekan menggunakan analisis
sistematis
atas
strategi
benturan
calon,
dengan
benturan
dioperasionalkan sebagai keadaan di mana calon menawarkan
analisis tentang posisi isu mereka sendiri dibandingkan posisi isu
lawan; benturan juga terjadi melalui serangan langsung terhadap
posisi lawan.
Teori fungsional Benoit tentang wacana kampanye politik telah
diterapkan pada berbagai bentuk komunikasi kampanye, termasuk
semua debat primary dan pemilu 1960-2000. Singkatnya, teori
Benoit tentang wacana kampanye mengajukan tiga fungsi utama
bagi ucapan calon –calon memuji dirinya sendiri, menyerang lawan
mereka, atau membela diri saat diserang. Selanjutnya, setiap ucapan
akan fokus pada masalah kebijakan atau karakter. Topik spesifik
untuk diskusi kebijakan berupa perbuatan masa lalu, rencana masa
depan, atau tujuan umum. Diskusi tentang karakter berfokus pada
kualitas
pribadi,
kemampuan
kepemimpinan,
atau
cita-cita
seseorang.
Dari analisis lengkap Benoit tentang dialog debat, kita tahu bahwa
debat terlalu fokus pada isu-isu kampanye daripada karakter calon,
calon dalam debat jauh lebih sering memuji diri daripada mereka
menyerang lawan mereka, dan serangan melebihi pertahanan. Juga,
calon lebih jarang menyerang dalam debat primary daripada dalam
pemilu, pembahasan kebijakan lebih sedikit dalam primary
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
25
dibandingkan debat pemilu, dan menariknya, dalam debat primary
calon lebih sering menyerang partai mereka sendiri daripada yang
mereka lakukan terhadap partai oposisi.
Penyelidikan komprehensif lain tentang isi debat adalah penelitian
Hart dan Jarvis (1997) atas semua debat presiden dari tahun 1960
sampai 1996. Unit analisis dalam penelitian ini adalah penggunaan
bahasa calon, dengan komputerisasi analisis isi. Hart, DICTION,
benar-benar menilai respon verbal calon sesuai dengan berbagai
dimensi linguistik. Singkatnya, dari analisis Hart dan Jarvis kita tahu
bahwa debat menyuntikkan nada “ketenangan” ke dalam dialog
kampanye, debat relatif bebas dari nada “bombastis” yang biasa
dalam kampanye, debat memaksa calon untuk memfokuskan pesan
mereka dan menanggapi tuduhan lawan, dan, akhirnya, debat
mendorong calon untuk mawas diri.
Tentu saja, kita telah belajar banyak dari analisis isi yang ada tentang
unsur verbal debat, khususnya dari segi longitudinal yang
memungkinkan generalisasi yang lebih besar tentang strategi verbal
calon. Kita juga menemukan investigasi analitik isi yang
menggunakan pendekatan komparatif sangat bermanfaat untuk
dialog kampanye, dengan menganalisis ciri isi debat dalam kaitannya
dengan bentuk-bentuk pesan kampanye lainnya. Misalnya, yang
dikutip sebelumnya adalah perbandingan Ellsworth (1965) antara
argumentasi debat dengan argumentasi yang ditemukan dalam
penerimaan nominasi dan pidato penutupan. Juga, Hart dan Jarvis
(1997) menunjukkan bahwa calon kurang suka berlebih-lebihan dan
bumbu-bumbu dalam debat daripada mereka dalam iklan atau pidato
penutupan. Akhirnya, teori fungsional Benoit telah diterapkan dalam
berbagai bentuk pesan kampanye, yang menemukan, misalnya,
bahwa debat menampilkan lebih banyak pembahasan tentang
kebijakan dan lebih sedikit tentang karakter dibanding iklan TV; dan
debat pemilu menampilkan lebih sedikit serangan calon daripada
yang ditemukan dalam iklan pemilu (meskipun, menariknya,
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
26
serangan lebih sering dalam debat primary daripada dalam iklan
primary). Secara umum, tema yang berlaku dalam banyak analisis
pesan komparatif menunjuk pada dialog debat sebagai bentuk unggul
komunikasi kampanye.
b. Analisis Isi Visual/Nonverbal. Tak diragukan lagi, dari debat
kampanye lokal ke presiden, warga menemukan acara komunikasi
politik ini sebagai pengalaman televisi. Namun, para sarjana yang
menganalisis isi debat kampanye, sebagian besar mengabaikan
premis mendasar bahwa debat terdiri dari unsur pesan verbal dan
visual. Bahkan, Hellweg et al. (1992) menyatakan bahwa
“komponen visual komunikasi televisi mengecilkan dimensi verbal”.
Namun, dominasi isi visual debat tidak tercermin dalam analisis
yang ada tentang debat kampanye. Dari awalnya, dampak visual
debat presiden di telebisi telah dipertanyakan, di mana sekarang
muncul pernyataan legendaris –beberapa orang mempercayainya
sebagai mitos–bahwa pemirsa televisi menganggap John Kennedy
sebagai “pemenang” dari debat tahun 1960, sedangkan pendengar
radio menilai Richard Nixon sebagai pendebat unggul atau
menganggap kedua calon
sama dalam kinerja mereka. Analisis
empiris yang ada tentang isi visual debat mencakup beberapa
program konten penelitian analitik isi yang memeriksa presentasi
kamera, perilaku nonverbal calon dalam debat, serta perbandingan
isi verbal dan visual.
Dalam analisisnya tentang sorotan kamera dari debat 1976, Tiemens
(1978) menemukan presentasi visual yang tidak merata dari dua
calon, dengan Jimmy Carter lebih disukai daripada Ford karena
Carter mendapatkan komposisi layar yang lebih besar, sudut kamera
yang lebih menguntungkan, sorotan pada senyuman yang lebih
besar, dan kontak mata yang lebih besar dengan kamera atau
penonton.
Dalam konteks penelitian mengenai penggunaan dan kepuasan,
sejumlah penelitian tentang efek debat meneliti bagaimana dan mengapa warga
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
27
menggunakan debat kampanye dan bagaimana pesan kampanye tersebut
dievaluasi dalam hal kegunaannya bagi para pemilih. Pertama, Chaffee
melaporkan bahwa tiga motivasi teratas mengapa pemirsa menonton debat –dalam
urutan ke bawah– termasuk keinginan untuk belajar tentang posisi isu para calon,
untuk membandingkan kepribadian calon, dan untuk mendapatkan informasi yang
akan memungkinkan mereka untuk membuat keputusan untuk memilih mereka.
Selanjutnya, dalam teori argumentasi dan debat, wajar bahwa teori
argumentasi dan debat akan memandu pertanyaan penelitian dikarenakan debat itu
sendiri terdiri dari serangkaian argumen. Berbagai pendekatan untuk teori
argumentasi dan debat, termasuk benturan calon dan juga strategi serangan dan
pertahanan calon, diterapkan untuk dialog debat melalui investigasi analisis isi.
Beberapa studi tentang format debat juga memasukkan aspek-aspek fundamental
dari teori debat.
Debat Kennedy-Nixon tahun 1960 menjadi fokus dua penelitian yang
meneliti argumentasi dan penggunaan bukti calon. Pertama, studi analisis isi
Ellsworth (1965) membandingkan bukti yang digunakan dalam debat dengan
bentuk-bentuk lain komunikasi kampanye –pidato penerimaan nominasi dan
pidato penutupan terpilih– yang menyimpulkan sifat komparatif dialog debat
mendorong calon “untuk mencurahkan lebih banyak waktu untuk memberikan
pernyataan posisi, menawarkan bukti yang mendukung posisi mereka, dan
memberikan argumen yang beralasan untuk mendukungnya”. Analisis Samovar
(1965) tentang debat tahun 1960 juga menemukan bahwa penggunaan bukti yang
lebih besar melahirkan kejelasan tanggapan calon dan memfasilitasi pemahaman
makna.
Debat Ford-Carter 1976 menjadi fokus setidaknya dua studi khusus
yang menguraikan standar argumentasi dan pembuktian. Analisis retoris Bitzer
dan Rueter (1980), yang menilai jumlah dan kualitas argumen, menilai Carter
seorang pendebat yang baik. Menariknya, mereka menunjuk pada format debat
yang “cacat” sebagai faktor utama yang membatasi argumen debat. Sebuah studi
oleh Bryski (1978) juga memeriksa bukti-bukti yang digunakan oleh Ford dan
Carter pada debat mereka tahun 1976 dan berusaha untuk menghubungkan
penggunaan bukti dengan reaksi penonton kepada calon. Bryski menyimpulkan
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
28
bahwa meskipun “Ford menggunakan bukti yang lebih sedikit dan membuat lebih
banyak kesalahan (pernyataan tidak akurat), [dia] dianggap sebagai „pemenang‟
debat pertama berdasarkan jajak pendapat dan survei”.
Analisis isi Riley dan Hollihan (1981) atas debat tunggal Carter-Reagan
1980 menyimpulkan bahwa Ronald Reagan memberikan klaim yang didukung
dengan bukti spesifik tiga kali lebih banyak daripada Carter. Analisis retoris
Rowland (1986) atas debat yang sama ini juga menemukan bahwa klaim Reagan
lebih didukung sepenuhnya dengan bukti dan pernyataan Reagan dinilai lebih
akurat daripada Carter. Tidak seperti studi Bryski (1978), dimana calon dengan
argumentasi lemah (Ford) dinilai oleh masyarakat sebagai “pemenang” debat,
Rowland (1986) menunjukkan bahwa argumen Reagan yang dibangun lebih utuh
mungkin telah berkontribusi pada terpilihnya dia sebagai “pemenang” debat oleh
hampir semua jajak pendapat pasca-debat.
Akhirnya, mungkin studi paling komprehensif tentang argumentasi
debat adalah analisis Levasseur dan (1996) Dean tentang jenis dan jumlah bukti
yang digunakan oleh semua peserta debat presiden dari tahun 1960 sampai 1988.
Penelitian ini juga membahas pertanyaan apakah penggunaan bukti yang lebih
besar untuk mendukung klaim seseorang berhubungan atau tidak dengan persepsi
kinerja debat yang unggul. Dengan menghitung jumlah bukti yang digunakan oleh
para calon di setiap debat, dan kemudian membandingkan data ini dengan hasil
polling “siapa yang menang” pasca-debat kita tahu bahwa para calon yang
menggunakan jumlah bukti tertinggi umumnya dipandang oleh masyarakat
sebagai kalah dalam debat.
Efek dari debat di televisi: Debat televisi dapat memiliki berbagai
jenis efek. Efek-efek tersebut termasuk langsung, reaksi jangka pendek pada
kandidat dalam debat, putusan-putusan mengenai kinerja para kandidat,
mempelajari tentang posisi kandidat, perubahan dari ciri khusus yang dirasakan
suatu masalah (agenda setting), perubahan citra kandidat/calon, dan efek pada
perilaku memilih (Ikhtisar Jamieson & Adasiewicz 2000; Kraus 2000; Trent &
Friedenberg 2000).
Efek dari elemen visual dan verbal dalam debat di televisi: Efek
jangka pendek selama debat di televisi dapat disebabkan dari kesan visual
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
29
dan/atau verbal dari para kandidat. Kesan verbal penonton dipengaruhi oleh apa
yang disampaikan oleh politikus, bagaimana mereka menyampaikannya dan apa
yang dikatakan tentang mereka. Sebagai contoh, kesan dari seorang politikus akan
menjadi lebih baik semakin penonton setuju dengan mereka. Kesan visual
dipengaruhi oleh penampilan para kandidat, postur tubuh, sikap dan mimik wajah.
(Burgoon, dkk. 2002; Frey 1999). Sebagai tambahan, pencahayaan, sudut pandang
kamera dan sorotan juga ikut andil ketika politikus ditampilkan di televisi (Tiemes
1978; Kepplinger 1987; Morello 1988).
Bukti dan emosi sebagai alat retorika dalam debat di televisi: Para
pemuka retorika pada zaman Yunani kuno dan Romawi yakin bahwa pembicara
sukses harus mencoba untuk masuk ke dalam pikiran dan jiwa para pendengarnya.
Sebagai contoh, Cicero ingin pembicara untuk mengajar (to teach), menghibur (to
entertain), dan menggerakkan (to stir) audiensnya. Ia dianggap mengajarkan
rasional (logos), menghibur dan menggerakkan emosi (ethos dan pathos) dari
kemampuan berbicara. Mengajar harus dilakukan misalnya dengan menyediakan
bukti, fakta-fakta, contoh atau menyertakan para ahli. Emosi seharusnya berakar
di dalam konten dari pidato dan pemilihan kata si pembicara. Mereka harus
ditimbulkan dengan membuat kaitan antara konten dari pidatonya dan kehidupan
para pendengar.
2.2.5 Retorika
Retorika adalah komunikasi dua arah, satu-kepada-satu, dalam arti
bahwa satu atau lebih orang (seorang berbicara kepada beberapa orang maupun
berbicara kepada seorang lain) masing-masing berusaha dengan sadar untuk
memengaruhi pandangan satu sama lain melalui tindakan timbal balik satu sama
lain.
Sejarah Retorika dimulai pada tahun 467 sebelum Masehi, Korax
seorang Yunani dan muridnya Teisios (keduanya berasal dari Syrakuse –Sisilia)
menerbitkan sebuah buku yang pertama tentang Retorika. Tetapi retorika sebagai
seni dan kepandaian berbicara, sudah ada dalam sejarah jauh lebih dahulu.
Misalnya dalam kesastraan Yunani kuno, Homerus dalam Ilias dan Odyssee
menulis pidato yang panjang. Juga bangsa‐bangsa seperti Mesir, India dan Cina
sudah mengembangkan seni berbicara jauh hari sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
30
Plato, menjadikan Gorgias dan Socrates sebagai contoh retorika yang
benar, atau retorika yang berdasarkan pada Sophisme dan retorika yang berdasar
pada filsafat. Sophisme mengajarkan kebenaran yang relatif. Filsafat membawa
orang kepada pengetahuan yang sejati. Ketika merumuskan retorika yang
benar‐benar membawa orang pada hakikat –Plato membahas organisasi gaya, dan
penyampaian pesan. Dalam karyanya, Dialog, Plato menganjurkan para pembicara
untuk mengenal ”jiwa” pendengarnya. Dengan demikian, Plato meletakkan
dasar‐dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak. Ia telah mengubah retorika
sebagai sekumpulan teknik (sophisme) menjadi sebuah wacana ilmiah.
Retorika menurut Plato adalah suatu kemampuan untuk memengaruhi,
mengurangi jiwa manusia secara positif kearah kebenaran, dan menekan jiwa-jiwa
manusia. Plato menekankan bahwa orator atau komunikator di dalam
mengucapkan kata atau suatu kalimat, baik secara implisit senantiasa harus
berpedoman pada dasar-dasar yang didalamnya terdapat kebenaran dan kebijakan.
Dalam hal ini, Nimmo membagi retorika menjadi tiga tipe yaitu: (a) Retorika
Deliberatif, (b) Retorika Forensik, (c) Retorika Demostratif.
Retorika Deliberatif dirancang untuk memengaruhi orang dalam
masalah kebijakan pemerintah dengan menggambarkan keuntungan dan kerugian
dari cara-cara alternatif dalam melakukan sesuatu. Retorika Forensik berfokus
kepada apa yang terjadi pada masa lalu untuk menunjukkan kejadian-kejadian
yang terdahulu. Retorika Demostratif terfokus kepada apa yang terjadi pada masa
sekarang. Retorika demostratif adalah wacana yang memuji dan atau
menjatuhkan, tujuannya untuk memperkuat sifat baik dan buruk seseorang, suatu
lembaga, gagasan atau ide.
Menurut Plato, retorika sangat penting sebagai metode pendidikan,
sebagai sarana untuk mencapai kedudukan dalam pemerintahan, dan sebagai
sarana untuk memengaruhi rakyat. Plato mengatakan bahwa retorika bertujuan
memberikan kemampuan menggunakan bahasa yang sempurna, dan merupakan
jalan bagi seseorang untuk memperoleh pengetahuan yang luas dan dalam,
terutama dalam bidang politik.
Tradisi retorika memberi perhatian pada aspek proses pembuatan pesan
atau simbol. Prinsip utama disini adalah bagaimana menggunakan simbol yang
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
31
tepat dalam menyampaikan maksud. Prinsip bahwa pesan yang tepat akan dapat
mencapai maksud komunikator. Kemampuan dalam merancang pesan yang
memadai menjadi perhatian yang penting dalam kajian komunikasi. Tradisi
retorika dapat menjelaskan baik dalam konteks komunikasi antarpersonal maupun
komunikasi massa. Sepanjang memberi perhatian terhadap bagaimana prosesproses merancang isi pesan yang memadai sehingga proses komunikasi dapat
berlangsung secara efektif.
Faktor-faktor nilai, ideologi, budaya, dan sebagainya yang hidup dalam
suatu organisasi media atau dalam diri individu merupakan faktor yang
menentukan dalam proses pembuatan pesan. Bahwa pesan dihasilkan melalui
proses yang melibatkan nilai-nilai, kepentingan, pandangan hidup tertentu dari
manusia yang menghasilkan pesan. Pemahaman yang memadai dari tradisi
retorika ini akan membantu dalam memahami bagaimana merancang suatu pesan
yang efektif. Hitler sendiri memberi definisi bahwa retorika adalah pers yang
tidak tertulis, tetapi dipidatokan sebagai media propaganda untuk membentuk
pendapat umum.
Pada perkembangannya di era modern sekarang ini fokus dari retorika
telah diperluas bahkan lebih mencakup segala cara manusia dalam menggunakan
simbol untuk memengaruhi lingkungan di sekitarnya dan untuk membangun dunia
tempat mereka tinggal.
Lebih lanjut Littlejohn menjelaskan bahwa pusat dari tradisi retorika
adalah penemuan, penyusunan, gaya, penyampaian, dan daya ingat. Dalam
perkembangannya, penemuan sekarang mengacu pada konseptualisasi, proses di
mana kita menentukan makna dari simbol melalui interpretasi, respon terhadap
fakta yang berupa penafsiran. Penyusunan, adalah pengaturan simbol-simbol
(informasi) dalam hubungannya dengan orang-orang, dan konteks yang terkait.
Sedangkan, Gaya berhubungan dengan semua anggapan yang terkait dalam
penyajian simbol-simbol tersebut, mulai dari memilih sistem simbol, sampai
makna yang kita berikan pada semua
simbol tersebut, mulai dari kata dan
tindakan sampai busana dan perabotan. Penyampaian menjadi perwujudan dari
simbol dalam bentuk fisik, mencakup pilihan non verbal untuk berbicara, menulis,
dan memediasikan pesan.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
32
Terakhir, daya ingat tidak lagi mengacu pada penghapalan pidato, tetapi
dengan cakupan yang lebih besar dalam mengingat budaya sebagaimana dengan
proses persepsi yang berpengaruh pada bagaimana kita menyimpan dan mengolah
informasi.
Di era kontemporer, retorika adalah sebuah cara untuk mengetahui
dunia, bukan cara untuk menyampaikan sesuatu tentang dunia. Dalam Tradisi
Retorika, Richard West dan Lynn H. Turner membagi empat teori retorika yaitu:
(1) Teori Retorika Klasik (Aristoteles), (2) Dramatisme (Burke), (3) Paradigma
Naratif (Fisher), dan (4) Kajian budaya (Hall).
Teori retorika Aristoteles berpusat pada pemikiran mengenai retorika,
yang disebut Aristoteles sebagai alat persuasi yang tersedia. Khalayak merupakan
kunci dari persuasi yang efektif, dan silogisme retoris, yang memandang khalayak
untuk menemukan sendiri potongan-potongan yang hilang dari suatu pidato,
digunakan dalam persuasi. Sehingga, dapat diambil kesimpulan bahwa teori
retorika adalah teori yang memberikan petunjuk untuk menyusun sebuah
presentasi atau pidato persuasif yang efektif dengan menggunakan alat-alat
persuasi yang tersedia.
Kedua adalah teori Dramatisme dari Burke. Teori dramatisme adalah
teori yang mencoba memahami tindakan kehidupan manusia sebagai drama.
Dramatisme, sesuai dengan namanya, mengonseptualisasikan kehidupan sebagai
sebuah drama, menempatkan suatu fokus kritik pada adegan yang diperlihatkan
oleh berbagai pemain. Seperti dalam drama, adegan dalam kehidupan adalah
penting dalam menyingkap motivasi manusia. Dramatisme memberikan kepada
kita sebuah metode yang sesuai untuk membahas tindakan komunikasi antara teks
dan khalayak untuk teks, serta tindakan di dalam teks itu sendiri. Drama adalah
metafora yang berguna bagi ide-ide Burke untuk tiga alasan:
(1) drama menghasilkan cakupan yang luas, dan Burke tidak membuat
klaim yang terbatas; tujuannya adalah untuk berteori mengenai
keseluruhan
pengalaman manusia. Metafora dramatis khususnya
berguna dalam menggambarkan hubungan manusia karena didasarkan
pada interaksi atau dialog.
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
33
(2) drama cenderung untuk mengikuti tipe-tipe atau genre yang mudah
dikenali: komedi, musical, melodrama dan lainnya. Burke merasa
bahwa cara kita membentuk dan menggunakan bahasa dapat
berhubungan dengan cara drama manusia ini dimainkan.
(3) drama selalu ditujukan pada khalayak. Drama dalam hal ini bersifat
retoris. Burke memandang sastra
sebagai peralatan
untuk hidup,
artinya bahwa literatur atau teks berbicara pada pengalaman hidup
orang dan masalah serta memberikan reaksi untuk menghadapi
pengalaman ini. Dengan demikian, kajian dramatisme mempelajari
cara-cara di mana bahasa dan penggunaannya berhubungan dengan
khalayak.
Ketiga, adalah Teori Paradigma Naratif dari Fisher. Paradigma naratif
melihat khalayak sebagai partisipan dalam suatu pengalaman penceritaan kisah.
Para teoritikus naratif menyatakan bahwa kisah seseorang akan efektif jika
berkaitan dengan nilai-nilai yang berkaitan dengan pendengar.
Terakhir, Teori Kajian Budaya. Kajian budaya adalah perspektif teoritis
yang berfokus bagaimana budaya dipengaruhi oleh budaya yang kuat dan
dominan. Hall (1989) menyatakan bahwa media merupakan alat yang kuat bagi
kaum elite. Media berfungsi untuk mengkomunikasikan cara-cara berfikir yang
dominan,
tanpa
mempedulikan
efektifitas
pemikiran
tersebut.
Media
merepresentasikan ideologi dari kelas yang dominan di dalam masyarakat. Karena
media dikontrol oleh korporasi (kaum elite), informasi yang ditampilkan kepada
publik juga pada akhirnya dipengaruhi dan ditargetkan dengan tujuan untuk
mencapai
keuntungan.
Pengaruh
media
dan
peranan
kekuasaan
harus
dipetimbangkan ketika menginterpretasikan suatu budaya.
Dari empat teori tentang retorika di atas, maka teori yang akan
digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Retorika Klasik (Aristoteles).
Aristoteles dikenal sebagai bapak retorika dengan memopulerkannya dalam
bukunya yang berjudul Rethoric. Aristoteles menulis tiga jilid buku yang berjudul
De Arte Rhetorica. Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima
tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai Lima Hukum Retorika (The Five
Canons of Rhetoric), yakni:
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
34
1. Inventio (penemuan). Pada tahap ini, pembicara menggali topik dan
meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling
tepat. Bagi Aristoteles, retorika tidak lain dari kemampuan untuk
menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode
persuasi yang ada. Dalam tahap ini juga, pembicara merumuskan
tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan
kebutuhan khalayak.
2. Dispositio (penyusunan). Pada tahap ini, pembicara menyusun pidato
atau mengorganisasikan pesan. Aristoteles menyebutnya Taxis yang
berarti pembagian. Pesan harus dibagi ke dalam beberapa bagian
yang berkaitan secara logis. Susunan berikut ini mengikuti kebiasaan
berpikir manusia: pengantar, pernyataan, argumen, dan epilog.
Menurut Aristoteles, pengantar berfungsi menarik perhatian,
menumbuhkan kredibilitas (ethos), dan menjelaskan tujuan.
3. Elocutio (gaya). Pada tahap ini pembicara memilih kata‐kata dan
menggunakan bahasa yang tepat untuk “mengemas” pesannya.
Aristoteles mengatakan agar menggunakan bahasa yang tepat, benar
dan dapat diterima, pilih kata‐kata yang jelas dan langsung,
sampaikan kalimat yang indah, mulia, dan hidup, dan sesuaikan
bahasa dengan pesan, khalayak dan pembicara
4. Memoria (memori) Pada tahap ini pembicara harus mengingat apa
yang
ingin
disampaikannya,
dengan
mengatur
bahan‐bahan
pembicaraannya. Aristoteles menyarankan “jembatan keledai” untuk
memudahkan ingatan.
5. Pronuntiatio
(penyampaian)
Pada
tahap
ini,
pembicara
menyampaikan pesannya secara lisan. Di sini akting sangat berperan.
Pembicara harus memperhatikan suara (vocis) dan gerakan‐gerakan
anggota badan. (gestus moderatio cum venustate)
Dikemukakan oleh Aristoteles pula, ada prinsip yang penting untuk
diingat jika kita ingin mempersuasi orang lain yaitu:
(a) Ethos yang merujuk pada karakteristik personal atau kredibilitas
komunikator (source credibility);
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
35
(b) Pathos atau meletakkan atau mengajak audience pada kerangka
“state of mind” tertentu, ditunjukkan oleh seorang komunikator
dengan menampilkan gaya dan bahasanya yang membangkitkan
kegairahan dengan semangat yang berkobar pada khalayak
(emotional appeals);
(c) Logos atau bukti-bukti yang bisa disampaikan ke audience,
ditunjukkan dengan uraian yang disampaikan adalah masuk akal
sehingga patut diikuti dan dilaksanakan oleh khalayak (logic
appeals).
Penjelasannya dalam bagan berikut ini:
Term
Definition
Ethos
Character of speaker helps convince
Pathos
Appeal to emotions in listener
(audience)
Logos
Proof based on reason, logical
argument
Gambar 2.1 Prinsip Retorika Aristoteles
Hakikat retorika adalah persuasi yang merupakan pendapat Aristoteles,
yang menyatakan bahwa retorika adalah the art of persuassion. Persuasi
didefinisikan
oleh
Herbert
W.
Simons
dalam
bukunya,
Persuassion,
Understanding, Practice and Analysis, sebagai “komunikasi manusia yang
direncanakan
untuk
memengaruhi
orang-orang
lain
dengan
mengubah
kepercayaan, nilai, atau sikap mereka” (human communication designed to
influence others by modifying their beliefs, values, or attitudes).
Hopper dan Pratt (1995) menggambarkan retorika sebagai bentuk
bahasa atau tulisan persuasif atau efektif yang bertujuan untuk mengendalikan
realita guna memengaruhi audiens tertentu. Retorika sebagai suatu proses
mempunyai suatu karakteristik tertentu. Perelman (1982) mengatakan bahwa ada
dua karakteristik kunci dari retorika yaitu gaya (style) dan konteks (context).
Gaya merujuk pada pilihan seseorang dalam membuat argumentasi
yang akan disampaikan kepada audiens. Ketika gaya tersebut berhubungan
dengan penyajian, retorika akan sangat memengaruhi kemampuan penyaji di
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
36
dalam menyajikan argumentasinya (Carter dan Jackson 2004). Ada empat faktor
yang memengaruhi gaya dalam retorika, yaitu (Arnold 1982 dan Perelman 1982):
a) argumentasi yang logis, b) kemampuan memengaruhi orang lain, c) retorika
merupakan suatu interpretasi yang terbuka dan dapat mempunyai makna ganda,
dan d) retorika disusun dari teknik-teknik linguistik yang dapat diidentifikasi.
Carl I. Hovland dan Irving L. Janis dkk, dalam bukunya Personality
and Persuasibility, menyatakan bahwa efek persuasif bersumber pada perubahan
sikap (attitude changes) yang kemudian mengarah kepada perubahan-perubahan
pendapat (opinion changes), perubahan-perubahan persepsi (perception changes),
perubahan-perubahan efek (effect changes), dan perubahan-perubahan tindakan
(action changes).
2.3 Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran merupakan kajian tentang bagaimana teori dengan
berbagai konsep yang ada dalam perumusan masalah. Manfaat kerangka
pemikiran adalah memberikan arah bagi proses riset dan terbentuknya persepsi
yang sama antara perneliti dan orang lain (yang membaca) terhadap alur-alur
berpikir peneliti, dalam rangka membentuk hipotesis penelitian secara logis
(Kriyantono, 2008: 80). Dalam penelitian ini, kerangka pemikiran yang saya
gunakan adalah:
Gambar 2.2 Kerangka Pemikiran
Debat Kandidat Pilkada Kota Medan 2015
Analisis Isi Debat:
Analisis Isi Verbal dan
Analisis Isi Visual/Nonverbal
Retorika Pasangan Calon Nomor
Retorika Pasangan Calon Nomor
Urut 1 Pilkada Kota Medan, Drs.
Urut 2 Pilkada Kota Medan, Drs.
H. T. Dzulmi Eldin S, M. Si dan
Ramadhan Pohan, MIS dan Dr.
Ir. Akhyar Nasution, M.Si
Eddie Kusuma, SH, MH.
Prinsip Retorika Aristoteles:
Ethos, Pathos, Logos
Universitas Sumatera Utara
Universitas Sumatera Utara
Download