BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Fungsi Kognitif 2.1.1. Definisi Kognitif Konsep kognitif (dari bahasa Latin cognosere, “ untuk mengetahui” atau “untuk mengenali”) merujuk kepada kemampuan untuk memproses informasi, menerapkan ilmu, dan mengubah kecenderungan (Nehlig, 2010). Kognisi juga mengacu pada suatu lingkup fungsi otak tingkat tinggi, termasuk kemampuan belajar dan mengingat; mengatur merencana dan memecahkan masalah; fokus, memelihara dan mengalihkan perhatian seperlunya; memahami dan menggunakan bahasa; akurat dalam memahami lingkungan, dan melakukan perhitungan (National Multiple Sclerosis Society, n.d.). Menurut Kamus Kedokteran Stedman (2002), kognitif adalah fakultas mental yang berhubungan dengan pengetahuan, mencakup persepsi, menalar, mengenali, memahami, menilai, dan membayangkan. Kognisi adalah suatu konsep yang kompleks yang melibatkan sekurang-kurangnya aspek memori, perhatian, fungsi eksekutif, persepsi, bahasa dan fungsi psikomotor. Malah, setiap aspek ini sendiri adalah kompleks. Bahkan, memori sendiri meliputi proses encoding, penyimpanan dan pengambilan informasi serta dapat dibagikan menjadi ingatan jangka pendek, ingatan jangka panjang dan working memory. Perhatian dapat secara selektif, terfokus, terbagi atau terus-menerus, dan persepsi meliputi beberapa tingkatan proses untuk mengenal objek yang didapatkan dari rangsangan indera yang berlainan (visual, auditori, perabaan, penciuman). Fungsi eksekutif melibatkan penalaran, perencanaan, evaluasi, strategi berpikir, dan lain-lain. Pada sisi lain, aspek kognitif bahasa adalah mengenai ekspresi verbal, perbendaharaan kata, kefasihan dan pemahaman bahasa. Fungsi psikomotor adalah berhubungan dengan pemrograman dan eksekusi motorik. Tambahan pula, semua fungsi kognitif di atas ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti suasana hati (sedih atau gembira), tingkat kewaspadaan dan tenaga, kesejahteraan fisik dan juga motivasi (Nehlig, 2010). Universitas Sumatera Utara Kognisi sangat sulit untuk diartikan secara definitif karena konsep ini digunakan secara meluas dalam berbagai konteks (neurokognitif, sains kognitif, psikologi kognitif, dan sebagainya) yang memberikan beberapa definisi yang khusus tetapi tidak ada satu pun yang umum. Oleh sebab itu, secara sederhananya fungsi kognitif ini dapat disimpulkan sebagai semua proses mental yang digunakan oleh organisme untuk mengatur informasi seperti memperoleh input dari lingkungan (persepsi), memilih (perhatian), mewakili (pemahaman) dan menyimpan (memori) informasi dan akhirnya menggunakan pengetahuan ini untuk menuntun perilaku (penalaran dan koordinasi output motorik) (Bostrom & Sandberg, 2009). 2.1.2. Enhancer kognitif Konsep peningkatan kognitif atau cognitive enhancement dapat didefinisikan sebagai amplifikasi atau ekstensi dari kapasitas berpikir melalui augmentasi sistem memproses maklumat interna atau eksterna. Enhancement atau perbaikan merupakan suatu intervensi yang dilakukan untuk memperbaiki suatu subsistem dan hal ini bukan bertujuan untuk membetuli atau mengoreksi suatu kelainan fungsi. Individu yang meningkatkan fungsi kognitifnya adalah seorang yang memperoleh manfaat dari intervensi untuk meningkatkan prestasi dari sebagian aspek kognitifnya tanpa mengobati kelainan patologi yang spesifik (Bostrom & Sandberg, 2009). Terdapat berbagai metode untuk meningkatkan fungsi kognitif apakah secara farmakologi atau nonfarmakologi. Pendekatan nonfarmakologi merupakan intervensi konvensional yang telah diamalkan sejak ribuan tahun. Hal ini termasuklah proses edukasi dan latihan di mana tujuan utama bukanlah hanya untuk menguasai suatu informasi atau ketrampilan yang khusus, bahkan untuk meningkatkan kapasitas umum fakultas mental seperti konsentrasi, memori, dan pemikiran kritis. Latihan mental yang lain adalah seperti yoga, seni bela diri, meditasi dan kursus kreativitas. Universitas Sumatera Utara Belajar membaca dapat mengubah cara pemrosesan bahasa di otak (Petersson, 2000). Selain itu, lingkungan masa kanak-kanak yang kaya dengan rangsangan mungkin dapat meningkatkan kognisi melalui neurogenesis dan penambahan jumlah percabangan dendritik karena hal ini telah terbukti pada hewan (Nillson et al, 1999). Selain itu, lingkungan yang kaya dengan stimulasi dapat memproteksi otak dari stress dan neurotoxin (Schneider et al, 2001) sehingga fungsi kognitif dapat meningkat. Sebenarnya, kognisi individu akan berkurang apabila dipengaruhi oleh masalah kesehatan. Oleh sebab itu, fungsi kognitif dapat ditingkatkan dengan memperbaiki tidur, fungsi imun dan kesejahteraan fisik secara umumnya. Sudah tidak dapat dinafikan bahwa olahraga dapat secara sementara meningkatkan berbagai aspek kognitif, efeknya tergantung pada jenis dan intensitas olahraga (Tomporowski, 2003). Olahraga yang dilakukan dalam jangka masa yang panjang dapat mempengaruhi kognisi, mungkin melalui kombinasi efek peningkatan suplai darah dan pelepasan nerve growth factors (Vaynman & Gomez-Pinilla, 2005). Pada masa yang sama, intervensi yang lain adalah latihan mental dan teknik visualisai yang sering digunakan oleh atlet untuk meningkatkan kemahiran. Formulir klasik yang digunakan untuk meningkatkan fungsi kognitif adalah strategi khusus untuk menghafalkan informasi seperti “metode loci” di mana pemakainya akan membayangkan bagian interior suatu bangunan untuk diasosiasikan dengan subjek yang hendak dihafalnya. Selain itu, ada berbagai lagi teknik mental yang digunakan seperti metode speed reading dan peta berpikir (Bostrom & Sandberg, 2009). 2.1.3. Nootropik Nootropik yang juga dikenal sebagai obat pintar merupakan obat, suplemen, dan makanan yang dikatakan mampu meningkatkan fungsi kognitif seperti memori, kecerdasan, motivasi, perhatian dan konsentrasi. Konsumsi obat pintar ini mempunyai efek fisiologis langsung terhadap otak seperti mengubah bioavailabilitas suplai neurokimiawi otak (neurotransmitter, enzim, dan hormon), selain meningkatkan aktivitas neuronal, dan menstimulasi pelepasan neuromodulator (Bostrom & Sandberg, 2009). Universitas Sumatera Utara Intervensi farmakologi untuk meningkatkan fungsi kognitif sudah lama digunakan oleh masyarakat. Obat stimulans seperti nikotin dan kafein dikonsumsi untuk meningkatkan perhatian dan memori di samping mengurangkan kelelahan. Selain itu, ekstrak herba seperti Ginko Biloba adalah sangat populer, dengan penjualan herba ini sahaja menghasilkan keuntungan ratusan juta dollar setiap tahun di Amerika Serikat (Bostrom & Sandberg, 2009). Dewasa ini, penggunaan obat pintar ini semakin meluas digunakan di dalam lingkup akademik seperti Adderall, Ritalin dan Modafinil (Provigil) serta obat penambah kecerdasan lainnya, untuk meningkatkan produktivitas. Kira-kira 7% mahasiswa di AS mengonsumsi stimulans ”nonmedik” sekurang-kurangnya sekali, berdasarkan satu studi pada tahun 2005 yang melibatkan 11 000 siswa (Szalavitz, 2009). Pada tahun 2008, satu survei yang melibatkan 2,087 pelajar perguruan tinggi telah melaporkan penggunaan methylphenidate (di bawah nama dagang Ritalin dan Concerta) secara nonmedik sebanyak 5,3%. Satu penelitian yang lain turut menemukan 6,9% pelajar perguruan tinggi mengonsumsi stimulan termasuk Ritalin dan Adderal bukan untuk tujuan medis (Goodman, 2010). Jelasnya, penggunaan nootropik adalah sangat sering untuk tujuan akademik. Kafein merupakan stimulans yang paling meluas digunakan oleh golongan akademik karena murah dan mudah didapatkan. Menurut McIlvain (2008), penelitian yang dilakukan oleh Pele (1989) menemukan bahwa obat yang sering digunakan oleh mahasiswa di Benin City, Nigeria adalah kafein di mana 95% pelajar dilaporkan menggunakan kafein di tempat sosial. Penelitian ini didukung oleh Egdochuku dan Akrele (2007). Mereka melaporkan bahwa mahasiswa Nigeria paling sering menyalahgunakan kafein berbanding stimulans yang lain. Kafein juga merupakan obat pilihan mahasiswa kedokteran dalam upaya meningkatkan kualitas pembelajaran. Universitas Sumatera Utara Berdasarkan penelitian oleh Lee K-H et al (2009), konsumsi kafein untuk tujuan akademik meningkat apabila mahasiswa kedokteran melanjutkan kuliah dari tahun pertama hingga tahun ketiga. Ternyata, kafein adalah obat stimulans yang paling sering dikonsumsi untuk tujuan akademik karena lebih praktis dan dipercaya mempunyai efek nootropik yang signifikan. 2.2. Kafein Kafein adalah zat psikoaktif yang paling meluas dikonsumsi sehingga kadang- kadang dianggap sebagai obat yang disalahgunakan. Konsumsi kafein diperkirakan sebanyak 76 mg/hari per orang, sehingga ada yang melebihi 230 mg/hari di Amerika Serikat, Kanada, dan Australia. Penggunaan kafein yang tersebar luas ini telah menjadikannya sebagai fokus kepada banyak penelitian dalam dekade ini (Peeling & Dawson,2007). 2.2.1. Sejarah Istilah Kafein Sejarah zat ini kembali ke sekitar tahun 4700 SM ketika teh sangat populer di China. Kafein pertama kali di isolasi di Jerman pada tahun 1820 oleh Runge. Selain itu, zat ini juga dilaporkan telah disolasi oleh Robiquete pada tahun 1823 dan Pelletier pada tahun 1826. Terdapat banyak istilah lain yang merujuk kepada kafein seperti “cofeina”(1823). “guaranin” dan “coffein”(1826), dan pada tahun 1827, istilah “thein” digunakan oleh Oudry. Pada tahun 1838 dan akhirnya tahun 1840, zat yang berbeda namanya ini baru disadari sebenarnya adalah sama dan istilah “caffeine” meluas digunakan. Istilah ini mula diperkenalkan oleh Pelletier yang telah mengisolasi zat ini dari kopi dan memberi nama “cafeine”. Oleh sebab itu, kafein secara historisnya mempunyai asosiasi yang sangat eksklusif dengan kopi (Mcilvain, 2008). Universitas Sumatera Utara 2.2.2. Sifat Kafein Gambar 2.1. Struktur kimia kafein Kafein merupakan sejenis alkaloid heterosiklik dalam golongan methylxanthine, yang menurut definisi berarti senyawa organik yang mengandung nirogen dengan struktur dua-cincin atau dual-siklik. Molekul ini secara alami terjadi dalam banyak jenis tanaman sebagi metabolik sekunder. Fungsinya dalam tumbuhan adalah sebagai antibiotik dan antijamur selain dapat menyebabkan paralisis dan kematian kepada serangga (Allsbrook, 2008). Zat ini dihasilkan secara eksklusif dalam daun, kacang-kacangan dan buah-buahan lebih dari 60 tanaman, termasuk daun teh biasa (Camellia sinensis), kopi (Coffea arabica), kacang koko (Theobroma cacao),kacang kola (Cola acuminata) dan berbagai macam berry (Reinhardt, 2009). Zat ini dalam bentuk murni muncul sebagai bedak kristal putih yang pahit dan tidak berbau. Rumus kimianya adalah C8H10N4O2 dan memiliki nama kimia 1,3,7- trimethylxanthine. Nama IUPAC untuk kafein adalah 1,3,7-trimethyl-1H-purine2,6(3H,7H)-dione, 3,7-dihydro-1,3,7-trimethyl-1H-purine-2,6-dione. Beberapa sifat fisik kafein adalah: Titik didih: 178 C Titik lebur: 238 C Kepadatan: 1,2 g / cm ^ 3 pH: 6.9 Berat molekul: 194,19 g / mol Universitas Sumatera Utara 2.2.3. Sumber dan Konsumsi Kafein Kafein terkandung dalam sejumlah sumber makanan yang dikonsumsi di seluruh dunia yaitu, teh, kopi, minuman coklat, bar coklat, dan minuman ringan. Rentang kandungan kafein untuk berbagai jenis makanan ini adalah 40-180 mg/150 ml untuk kopi, 24-50 mg/150 ml untuk teh, 15-29 mg/180 ml untuk kola, 2 sampai 7 mg/150 ml untuk koko, dan 1 sampai 36 mg/28 g untuk coklat. Konsumsi kopi dari semua sumber diestimasikan sebanyak 70 sampai 76 mg/orang/hari di seluruh dunia tetapi mencapai 210 sampai 238 mg/hari di AS dan Kanada serta melebihi 400 mg/orang/hari di Swedia dan Finlandia, di mana 80 hingga 100% sumber kafein adalah dari kopi sahaja. Di Ingris, konsumsinya adalah setinggi Swedia dan Finlandia tetapi 55% didapatkan dari teh, 43% dari kopi, dan 2% dari kola (Fredholm et al, 1999). Konsumsi kafein terintegrasi dengan sangat baik dalam kebudayaan sosial seperti waktu rehat kopi di Amerika Serikat, budaya minum teh di Inggris dan mengunyah kacang kola di Nigeria (Strain & Griffith, 1995). Selain itu, pada anak-anak berusia 7 hingga 10 tahun, konsumsi harian kafein adalah dalam rentang 0,5 sampai 1,8 mg/kg dengan minuman ringan mewakili 26 hingga 55%, makanan dan minuman bercoklat sebanyak 17 hingga 40%, teh 6 hingga 34% dan kopi sebanyak 0 hingga 22% dari keseluruhan asupan kafein (Fredholm et al, 1999). Hal ini membuktikan betapa meluasnya penggunaan kafein di seluruh dunia. 2.2.4. Farmakologi Kafein Absorbsi kafein di salur pencernaan adalah sangat cepat dan mencapai 99% pada manusia sekitar 45 menit setelah diingesi. Penyerapannya tidak sempurna apabila diambil sebagai kopi dengan 90% kafein dalam secangkir kopi akan diabsorbsi dalam waktu 20 menit setelah diminum, dengan efeknya bermula dalam satu jam dan bertahan selama 3 hingga 4 jam. Konsentrasi plasma memuncak setelah 40 hingga 60 menit dengan waktu paruh kira-kira 6 jam ( 3 sampai 7 jam) pada dewasa sehat. Universitas Sumatera Utara Bagaimanapun, waktu paruhnya berkurang pada individu yang merokok dan meningkat sehingga 2 kali lipat pada wanita hamil atau yang menggunakan kontrasepsi oral dalam jangka waktu panjang (Lee K-H et al, 2009). Kafein bersifat hidrofobik sehingga dapat melewati semua membran biologis seperti sawar darah otak dan plasenta (Fredholm et al, 1999). Zat ini dimetabolisir secara demethylation dan oxidation. Jalur metabolisme mayor akan menghasilkan paraxanthine (1,7-dimethylxanthine), dan metabolit urin yang utama adalah l-methylxanthine, 1-methyluric acid, dan aceylated uracyl derivative. Jalur degradasi yang minor melibatkan pembentukan dan metabolime theophylline dan theobromine. Kadar eliminasi methylxanthine bervariasi di antara individu karena pengaruh genetik dan lingkungan, sehingga perbedaan yang mencapai empat kali lipat adalah tidak mengherankan. Metabolisme zat ini juga dipengaruhi oleh agen lain atau penyakit khusus. Misalnya, merokok dan kontrasepsi oral menyebabkan peningkatan yang kecil tapi nyata terhadap eliminasi methylxanthine. Waktu paruh theophylline dapat meningkat dengan signifikan pada penderita sirosis hati, payah jantung, atau edema paru akut, dengan nilai melebihi 60 jam pernah dilaporkan (Chawla & Suleman, 2008). 2.2.4. Mekanisme Kerja Efek fisiologis kafein yang beraneka ragam mungkin disebabkan oleh tiga mekanisme kerjanya, (1) mobilisasi kalsium intrasellular, (2) peningkatan akumulasi nukleotida siklik karena hambatan phosphodiesterase., dan (3) antagonisme reseptor adenosine (Nehlig, 1999). Mobilisasi kalsium intasellular dan inhibisi phosphodiesterase khusus hanya berlaku pada konsentrasi kafein yang sangat tinggi dan tidak fisiologis. Oleh sebab itu, mekanisme kerja yang paling relevan adalah antagonisme reseptor adenosine. Adenosine berfungsi untuk mengurangkan kadar ledakan neuron selain menghambat transimisi sinaptik dan pelepasan meurotransmitter. Universitas Sumatera Utara Terdapat empat reseptor adenosine yang dikenal: A1, A2(A dan B) dan A3. Reseptor A1 dan A2 merupakan subtipe utama yang terlibat dengan efek kafein karena dapat berikatan dengan kafein pada dosis kecil, A2B pula berikatan pada dosis yang tinggi dan A3 tidak sensitif terhadap kafein. Reseptor A1 banyak terdistribusi di seluruh otak dengan densitas yang tinggi di hipokampus, korteks dan serebelum manakala A2 banyak terdapat di striatum, nukleus akumbens, tuberkulum olfaktorius dan amygdala serta mempunyai ekspresi yang lemah di globus pallidus dan nukleus traktus solitarius. Tidak seperti A1, reseptor A2 berpasangan dengan G protein stimulatorik dan berhubungan dengan receptor D2 dopamin. Administrasi A2 agonis akan mengurangkan afinitas ikatan dopamin di reseptor D2 yang terletak di membran striatal (Chawla & Suleman, 2008). Selain memberi efek terhadap tidur dan kewaspadaan melalui aktivasi neuron kolinergik mesopontin oleh antagonisme receptor A1 (Dixit, Vaney & Tandon, 2006), kafein juga berinteraksi dengan sistem dopamin untuk memberikan efeknya terhadap perilaku. Hal ini dicapai melalui penghambatan reseptor adenosine A2 sehingga kafein dapat mempotensiasi neurotansmisi dopamin, dengan demikian dapat memodulasi reward system. Selain itu, konsumsi kafein, toleransi dan ketergantungan mempunyai komponen genetika berdasarkan beberapa penelitian yang melaporkan adanya hubungan antara polimorfisme gen A2A dengan sensisitivitas terhadap efek kafein (Temple, 2010). Antagonisme reseptor adenosin mungkin dapat mempengaruhi proses kognisi antara lainnya dengan mengaktivasi reseptor D1 dan D2. Penelitian yang dilakukan pada monyet telah membuktikan bahwa aktivasi reseptor D1 dan D2 dapat meningkatkan prestasi tugas yang menggunakan memori kerja (Dixit, Vaney & Tandon, 2006). Universitas Sumatera Utara 2.2.5. Efek Fisiologis Kafein Seperti yang telah dijelaskan, mekanisme kerja utama kafein adalah menghambat reseptor adenosine yang secara normalnya berikatan dengan adenosine, juga merupakan sejenis alkaloid heterosiklik. Adenosin merupakan neurotransmitter yang efeknya mengurangkan aktivitas sel terutama sel saraf. Oleh sebab itu, apabila reseptor adenosine berikatan dengan kafein, efek yang berlawanan dihasilkan, lantas menjelaskan efek stimulans kafein (Allsbrook, 2008). Walaupun mekanisme utama kafein adalah antagonisme reseptor adenosine, hal ini akan menjurus ke efek sekunder dari berbagai jenis neurotransmitter seperti norepinefrin, dopamine, asetilkolin, glutamate dan GABA sehingga akan mempengaruhi fungsi fisiologis tubuh yang berbeda. Efek fisiologis kafein termasuklah peningkatan denyut jantung, dilatasi pembuluh darah, peningkatan sistem renin, tremor, kejang dan urticaria. Selain itu, dapat menyebabkan dilatasi arteri koroner, nyeri kepala, gangguan tidur dan peningkatan suhu tubuh (McIlvain, 2008). Kafein juga dapat meningkatkan proses lipolisis, mengurangkan glikogenolisis dan meningkatkan glukosa darah serta konsumsi oksigen. Hal yang menjadi fokus utama di sini adalah dampak kafein terhadap sistem saraf pusat sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan fungsi kognitif. 2.2.6. Kafein dan Dampak terhadap Sistem Saraf Pusat Banyak penelitian telah dilakukan untuk menilai efek neurologik kafein terhadap sistem saraf pusat. Bukti dari Magnetic Imaging Resonance (MRI) menunjukkan aliran darah serebral berbanding lurus dengan asupan kafein. Konsumsi akut 400 mg kafein dapat secara signifikan meningkatkan aliran darah di arteri serebralis anterior dan media. Hal ini dibuktikan melalui pulsed transcranial Doppler sonography. Universitas Sumatera Utara Selain itu, kafein secara akut dapat meningkatkan efisiensi kerja jaringan neuron di kortek serebral manusia. Sebagai contoh, 20 menit setelah konsumsi 100 mg kafein sambil mengerjakan tugas yang menggunakan memori kerja, subyek memperlihatkan pada MRI bahwa adanya peningkatan aktivitas neuronal di jaringan daerah otak yang berhubungan dengan aspek perhatian dari fungsi kognitif. Dengan demikian, kafein dapat meningkatkan ’energi mental’ sehingga peningkatan kewaspadaan dan tingkat konsentrasi ini berupaya untuk meningkatkan fungsi kognitif secara keseluruhannya (Glade, 2010). 2.2.7. Kafein dan Fungsi Kognitif Penelitian menunjukkan bahwa pelepasan katekolamin norepinefrin (NE) di sistem saraf pusat yang optimum dapat secara signifikan meningkatkan perhatian, pembelajaran dan kewaspadaan. Menurut Berkowitz et al, zat kafein berperan dalam peningkatan pelepasan NE di sistem saraf pusat (Peeling & Dawson, 2007) dan hal ini mungkin merupakan salah satu mekanisme kafein dalam mempengaruhi fungsi kognitif selain aktivasi reseptor dopamine di otak. Banyak penelitian telah dijalankan untuk membuktikan efek neurologik kafein. Konsumsi bolus tunggal kafein sekecil 30 sampai 50 mg dapat merangsang kewaspadaan dengan bermakna dan dapat meningkatkan konsentrasi untuk sekurang-kurangnya 20 menit (Lieberman et al, 1987). Rentang dosis sekecil ini terkandung dalam satu kaleng minuman ringan dan obat analgesik dan ternyata dapat memberikan efek stimulans. Di samping itu, dibandingkan dengan plasebo, konsumsi 100 mg kafein 1 jam sebelum mengikuti kuliah universitas selama 75 menit secara signifikan meningkatkan konsentrasi, kewaspadaan, perhatian, dan keterjagaan mental (Peeling & Dawson, 2007). Selain itu, menurut Frewer dan Lader (1991), dosis kafein sedang (250mg) adalah efektif untuk meningkatkan prestasi kerja yang memerlukan perhatian. Namun demikian, pada dosis yang terlalu tinggi (500mg), terjadi overstimulasi tingkat keterjagaan mental subyek sehingga prestasi mulai menurun (Peeling & Dawson, 2007). Universitas Sumatera Utara Dengan demikian, diduga konsumsi kafein pada dosis sedang dapat meningkatkan proses kognisi yang penting untuk proses pembelajaran. Malah menurut laporan definitif tahun 2001 (Caffeine for the Sustainment of Mental Test Performance. Formulations for Military Operations), Institute of Medicine Food and Nutrition Board Committee on Military Nutrition Research telah menyimpulkan bahwa konsumsi kafein pada dosis 150 mg dapat meningkatkan prestasi kognitif dan efek ini berlangsung untuk selama 10 jam setelah konsumsi. Selain efek kafein yang jelas terhadap kewaspadaan, perhatian dan keterjagaan mental, kafein mungkin mempunyai dampak terhadap aspek memori dari aspek kognitif. Riedel et al (1995) menunjukkan bahwa supplemen kafein 250 mg dapat meningkatkan prestasi pada tugas belajar kata. Riedal dan kawan-kawan mengusulkan bahwa kafein merangsang stimulasi kolinergik pada sistem saraf pusat, akhirnya mengurangkan efek pelemahan skopolamin terhadap daya ingat jangka pendek dan jangka panjang. Oleh sebab itu, adalah masuk akal untuk diusulkan bahwa perbaikan memori yang diinduksi kafein dapat meningkatkan kemampuan pelajar untuk mengingat dam mengasosiasi materi kuliah sewaktu pembelajaran di dalam kelas. Namun demikian, terdapat juga penelitian yang menyatakan bahwa kafein hanya dapat bekerja sebagai enhancer kognitif yang signifikan jika terdapat disfungsi kolinergik seperti pada pasien Alzheimer (Johnson-Kozlow et al, 2002). Oleh sebab itu, disimpulkan bahwa efek kafein lebih bermakna hanya terhadap terhadap pasien yang berusia lanjut yang telah mengalami penurun fungsi kognitif secara alami karena usia (Nehlig, 2010). Dengan demikian, terdapat banyak penelitian dan laporan yang telah dihasilkan berhubungan dengan efek dan dosis kafein terhadap fungsi fisiologis dan kognitif, yang semuanya dapat memberi impak terhadap edukasi dan pembelajaran. Meskipun demikian, tidak banyak penelitian sebelumnya yang menyelidiki efek konsumsi kafein terhadap fungsi kognitif mahasiswa sedangkan kafein adalah sangat popular dalam kalangan mahasiswa untuk tujuan akademik. Universitas Sumatera Utara