asas monogami dalam hukum perkawinan di

advertisement
ASAS MONOGAMI DALAM HUKUM PERKAWINAN
DI INDONESIA
Oleh: Vincensia Esti Purnama Sari, SH., M.lluni
ABSTRACT
The understanding of marriage according to Law Number I Year 1974 is a
union in every respect between a man and a woman as husband and wife to
create a happy and everlasting family based on Cod.
A marriage in Indonesia is legal if it is done based on the Religion or individual belief. Marriage is based on monogamy principle that under a marriage, a man may have only one wife and a woman may have only one husband.
The implementation of monogamy principle in Indonesia has a deviation
known as polygamy. Law Number 1 Year 1974 allows polygamy for a man
who wants to have more than one wife with the condition that his religion
allows him to do it as long as his wife/wives agree with, and which is written
in an agreement.
Pendahuluan
Pengertian Perkawinan menurut
Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah : ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa.
Perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan
asas monogami. Pengertian asas
monogami diatur dalam Pasal 3 ayat
94
(1) UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan : pada asasnya dalam
suatu perkawinan seorang pria hanya
boleh mempunyai seorang istri.
Seorang wanita hanya boleh
mempunyai seorang suami.
Yang dikehendaki oleh undangundang adalah perkawinan yang
dilakukan oleh seorang pria dengan
seorang wanita. Permasalahan akan
timbul apabila perkawinan dilakukan
oleh seorang pria dengan lebih dari satu
wanita maupun seorang wanita dengan
lebih dari satu pria. Undang-undangpun
Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI. No. I, Juli 2006
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monog,ami Dalam Hukum Perkawinan di
tidak mengijinkan perkawinan antara
seorang pna dengan seorang pria atau
lebih maupun seorang wanita dengan
seorang wanita atau lebih. Oleh karena
itu, peraturan di Indonesia sampai saat
ini tidak mengijinkan perkawinan
sejenis.
Pengertian Perkawinan
Pengaturan Perkawinan di Indonesia terdapat di dalam Buku Kesatu
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-undang No.l Tahun 1974
tentang Perkawinan, dan Peraturan
Pemerintah No.45 Tahun 1990 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah
No. 10 Tahun 1'983 tentang Izin
Perkawinan dan Perceraian bagi
Pegawai Negeri Sipil.
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata tidak memberikan definisi
tentang pengertian perkawinan. Pasal
26 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata hanya menyatakan bahwa
"Undang-undang memandang soal
perkawinan hanya dalam hubunganhubungan perdata". Dengan demikian
perkawinan menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata hanya
menyangkut hubungan-hubungan
perdata yang diatur dalam Hukum
Perdata, sehingga perkawinan dapat
dianggap sah apabila telah memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan dalam
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, sedangkan syarat-syarat
dalam peraturan agama dapat
dikatakan dikesampingkan.
Pengertian Perkawinan menurut
Pasal 1 UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Terdapat perbedaan pengertian
perkawinan menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata dengan UU
No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan,
yaitu bahwa Kitab Undang-undang
Hukum Perdata hanya melihat
perkawinan sebagai hubungan
keperdataan saja, sedangkan UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
melihat perkawinan sebagai ikatan lahir
batin berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Pengertian perkawinan menurut
UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan
tersebut
selain
Law Review. Fakullas Hukum Universitas Pelila Harapan. Vol. VI. No I. Juli 2006
95
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Daknn Hukum Perkawinan di
mengandung syarat-syarat formal yang
ditentukan oleh undang-undang juga
harus berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, artinya perkawinan juga
harus memenuhi syarat-syarat yang
ditentukan oleh Hukum Agama.
Pengertian perkawinan yang lain
dapat diperoleh dari pendapat para ahli
sebagaimana diungkapkan berikut ini.
Pengertian perkawinan menurut Badan
Penasehat Perkawinan Perselisihan
dan Perceraian adalah bahwa
perkawinan merupakan satu ikatan
yang sah untuk membina rumah tangga
dan keluarga sejahtera dan bahagia
dimana kedua suami istri memikul
amanah dan tanggung jawab, si istri
oleh karenanya akan mengalami suatu
proses psikologis yang berat yaitu
kehamilan dan melahirkan yang
meminta pengorbanan"
Perkawinan tidak hanya dapat
mengandalkan rasa cinta semata
melainkan harus pula didukung dengan
persiapan yang matang untuk
melanjutkan proses kehidupan. Jadi,
untuk memasuki perkawinan bukan
hanya cinta saja yang dibutuhkan
melainkan pemikiran yang rasional dan
dapat meletakkan dasar-dasar yang
lebih kokoh dari suatu perkawinan,
sedangkan perkawinan itu sendiri
merupakan suatu proses awal dari
perwujudan bentuk-bentuk kehidupan
manusia.
Menurut Scholten perkawinan
adalah hubungan hukum antara
seorang pria dengan seorang wanita
untuk hidup bersama dengan kekal,
yang diakui oleh negara.2
Scholten melihat perkawinan
sebagai hubungan yang kekal yang
berarti harus berlangsung abadi,
seumur hidup pasangan suami istri dan
disahkan oleh negara. Perkawinan ini
harus dilakukan dengan mentaati
peraturan perkawinan yang ditetapkan
oleh negara.
Hakikat dan Tujuaii Perkawinan
Hakikat perkawinan menurut
Pasal 1 UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami istri. Jadi, dalam
suatu perkawinan keterikatan secara
lahiriah (jasmani) saja belum cukup,
2
1
Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan
Perceraian, Majalah Nasehat Perkawinan
No.l09keX, 1981, hal4
96
Scholten, dikutip dari Prawirohamidjojo dan
Safioedin dalam buku F.X. Suhardana, Hukum
Perdata I, PT.Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal
88
Law Review, Fakullas Hukum (Ini versitas Pelita Harapan, Vol VI, No.l, Juli 2006
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di
melainkan harus mengandung
keterikatan secara batiniah dari
masing-masing pasangan suami istri.
Keserasian antara ikatan lahir dengan
ikatan batin merupakan pondasi atau
dasar yang kuat dalam membentuk dan
membina keluarga yang bahagia dan
kekal.
Hakikat perkawinan bukanlah
sekedar ikatan formal saja, melainkan
juga ikatan secara batin. Ikatan lahir
batin ini hendaknya dipertahankan
terus sepanjang perkawinan supaya
perkawinan mempunyai nilai penting,
karena tanpa ikatan lahir batin tersebut
nilai perkawinan sudah tidak berarti lagi.
Hal tersebut yang membedakan
hakikat perkawinan menurut UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
dengan hakikat perkawinan menurut
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata. Hakikat perkawinan menurut
UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan didasarkan pada ikatan
lahir dan ikatan batin, sedangkan
hakikat perkawinan menurut Kitab
Undang-undang Hukum Perdata
didasarkan pada kesepakatan
pasangan suami istri, dengan adanya
kesepakatan tersebut, maka suami istri
tersebut menjadi terikat dalam
perkawinan.
Sesuai dengan hal tersebut, K.Wantjik
Saleh mengungkapkan bahwa arti
perkawinan adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dengan seorang
wanita. Ikatan lahir mengungkapkan
adanya hubungan formal, sedangkan
ikatan batin merupakan hubungan yang
tidak formal, tak dapat dilihat. Namun,
tetap harus ada, sebab tanpa ikatan
batin itu ikatan lahir akan rapuh. Ikatan
lahir batin menjadi dasar utama
pembentukan dan pembinaan keluarga
bahagia dan kekal. 3
Kitab Undang-Undang hukum
Perdata
tidak
secara
tegas
mencantumkan mengenai tujuan
perkawinan. Tujuan perkawinan dapat
dilihat dalam UU No.l Tahun 1974
tentang
Perkawinan.
Tujuan
perkawinan menurut UU No.l Tahun
1974 tentang Perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa,
mengandung
makna
bahwa
perkawinan
sebaiknya
dapat
mendatangkan kebahagiaan bagi
seluruh anggota keluarga. Hal ini erat
kaitannya dengan terpeliharanya
hubungan baik antar seluruh anggota
]
Ibid, hal 89
Law Review. Fakultas Hukum Ihiiversilas Pelita Harapan.
Vol VI. No I. Juli 2006
97"
Viuceiisia Esti Purnama Sari: Asas Monogi
keluarga, yakni ayah, ibu, dan anakanak. Dengan adanya keserasian
antara ikatan lahir dengan ikatan batin
dari pasangan suami istri, maka hal ini
akan membawa dampak positif bagi
perkembangan anak yang dibuahkan
dari sebuah perkawinan.
Tujuan perkawinan di Indonesia
harus didasarkan pada Ketuhanan
Yang Maha Esa, karena Negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila
dengan sila pertama berbunyi :
"Ketuhanan Yang Maha Esa". Maka
perkawinan menurut hukum di Indonesia sangat erat kaitannya dengan
agama atau kepercayaan masingmasing dari pasangan suami istri.
Syarat-syarat Perkawinan
Syarat-syarat perkawinan diatur
dalam pasal 6 sampai dengan 12 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan,
sebagai berikut:
1. Perkawinan harus didasarkan atas
perjanjian kedua calon mempelai.
2. Untuk melangsungkan perkawinan
seorang yang belum mencapai
umur 21 (dua puluh satu) tahun
harus mendapat izin kedua orang
tua. Apabila salah satu dari orang
tua telah meninggal atau tidak
98
Law Review, Fakulias Hukum Uni\
\i Dalam Hukum Perkawinan di
cakap menyatakan kehendak,
maka izin tersebut dapat diperoleh
dari orang tua yang masih hidup
atau orang tua yang cakap
menyatakan kehendaknya. Apabila
kedua orang tua sudah meninggal
atau tidak cakap
dalam
menyatakan kehendak, maka izin
tersebut dapat diperoleh dari wali,
orang yang memelihara atau
keluarga yang mempunyai
hubungan darah garis lurus ke atas
dan ke bawah selama mereka
masih hidup dan cakap dalam
menyatakan kehendaknya.
3. Usia calon mempelai pria sudah
mencapai 19 tahun dan calon
mempelai wanita sudah mencapai
16tahun.
4. Calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita tidak terikat
dalam hubungan yang dilarang oleh
undang-undang
untuk
melangsungkan perkawinan.
5. Seseorang
yang
akan
melangsungkan perkawinan tidak
sedang berada dalam ikatan
perkawinan dengan orang lain,
kecuali dalam hal Pasal 3 ayat (2)
dan Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Pelita Uarapan, Vol VI, No. I, Juh 2006
Vincensia Esll Purnama Sari: Ascis Morn
li Dalam Hukum Perkawinan di
6. Bagi suami istri yang telah bercerai
kemudian kawin lagi satu sama lain
dan bercerai lagi untuk kedua
kalinya, maka mereka tidak boleh
melangsungkan perkawinan,
sepanjang hukum amsing-masing
agama atau kepercayaannya tidak
menentukan lain.
Selain syarat-syarat tersebut di atas
Pasal 2 UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan menghendaki agar
perkawinan menjadi sah, maka harus
dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya.
Setelah perkawinan sah menurut hukum
agamanya atau kepercayaan-nya
masing-masing, maka perkawinan ini
harus dicatatkan di Catatan Sipil bagi
pasangan sumi istn yang bukan beragama
Islam, sedangkan bagi yang beragama
Islam perkawinannya dilangsungkan oleh
Kantor Urusan Agama.
7. Bagi seorang wanita (janda) yang
akan melangsungkan perkawinan
lagi, tidak sedang berada dalam
waktu tunggu.
MenurutPasal 39PPNo.9Tahun 1975
tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawuinan, waktu
tunggu bagi seorang wanita (janda)
diatur sebagai berikut:
a. Apabila perkawinan putus karena
kematian, waktu tunggu ditetapkan
130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena
perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih berdatang bulan
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan
sekurang-kurangnya 90 (sembilan
puluh) hari dan bagi yang tidak
berdatang bulan ditetapkan 90
(sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus sedang
janda tersebut dalam keadaan
hamil, waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan.
Berkaitan dengan ini Winarsih
Imam Subekti mengungkapkan bahwa
: "Perkawinan harus dilakukan menurut
aturan agama yang dipeluk calon
suami-istri, apakah harus sama
agamanya, itu semua ditentukan oleh
agama yang diakui Pemerintah
dan pernikahan harus berdasarkan
hukum agama lebih dulu, baru diadakan
pencatatan di kantor pencatat
perkawinan." 3
1
Winarsih Imam Subekti, Perkembangan
Materi Buku I KUHPedata Tentang Orang
Dalam Era Kemerdekaan.disajikan dalam
Lokakarya Mengenai penyegaran Mata Kuliah
Hukum Perdata dalam rangka Penyempurnaan
Silabus Hukum Perdata, yangdiselenggarakan
oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti ,
Jakarta, 18 April 2006
Law Review, Fakultas Hukum l>niversitas Pelita Harapan, Vol VI, No.l, Juli 2006
99
Vincensia Esti Purnama Sari
Asas Monogi
Sahnya perkawinan menurut
hukum agama atau kepercayaan
masing-masing mengandung makna
bahwa masing-masing agama atau
kepercayaan dari calon suami istri
adalah secara satu kesatuan bukan
berarti dapat beda agama, yaitu agama
dari calon suami berbeda dengan
agama calon istri, kecuali dari calon
pasangan suami istri tersebut yang
agamanya berbeda mendapat ij in oleh
agama masing-masing bahwa
keduanya diijinkan melangsungkan
perkawinan beda agama.
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata mengatur syarat-syarat
perkawinan sebagai berikut:
Syarat perkawinan dibagi menjadi
dua yaitu syarat materiil yang
menyangkut tentang pnbadi calon
pasangan suami istri dan syarat formil
yang menyangkut keabsahan dari
perkawinan yaitu harus memenuhi
persyaratan yang telah ditentukan
dalam peraturan perundang-undangan.
Syarat materiil perkawinan diatur
dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal
49 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata terdiri dari:
1. Dalam waktu yang sama seorang
laki-laki hanya diperbolehkan
mempunyai satu orang perempuan
100
i Dalam Hukum Perkawinan di
sebagai
istrinya,
seorang
perempuan hanya satu orang lakilaki sebagai suaminya (asas
monogami).
2. Kesepakatan calon suami - istri.
3. Usia calon mempelai pria sudah
mencapai 18 tahun dan calon
mempelai wanita sudah mencapai
15 tahun.
4.
Calon mempelai pria dan calon
mempelai wanita tidak terikat
dalam hubungan yang dilarang oleh
Kitab Undang-undang Hukum
Perdata untuk melangsungkan
perkawinan.
5. Bagi seorang wanita (janda) yang
akan melangsungkan perkawinan
lagi, telah harus melewati tiga ratus
hari semenjak perkawinan terakhir
dibubarkan.
6. Untuk mengikatkan diri dalam
perkawinan, bagi calon suami istri
yang belum dewasa harus
mendapatkan ijin dari orang
tuanya.
7. Untuk mengikatkan din dalam
perkawinan, walaupun bagi calon
suami istri yang telah dewasa
namun bagi mereka yang masih
berusia di bawah tiga puluh tahun,
harus mendapatkan ijin dari orang
tuanya.
Law Review, Fakullas Hukum Univ '•si/as Pelila Harapan, Vol. VI. No. I. Juli 2006
\'iiHi-iiMti Esti i'ltnuuthi San
A.\a.\ Monoyjuni Ihiluni Hukum I'crknw mull di
Syarat formil perkawinan diatur
dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal
58 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata terdiri dari:
1. Semua orang yang akan
melakukan perkawinan harus
memberitahukan kehendak mereka
kepada pegawai Cacatan Sipil di
tempat tinggal salah satu calon
mempelai.
2. Sebelum perkawinan dilangsungkan, pegawai catatan sipil harus
membuat pengumuman yang
memberitahukan bahwa pada hari,
tanggal, bulan, dan tahun tertentu
akan dilangsungkan perkawinan
antara calon suami istri yang
namanya disebutkan di papan
pengumuman.
Pengumunan tersebut berisi:
a. Nama, nama depan, umur,
pekerjaan dan tempat tinggal
calon suami-istri termasuk bagi
mereka
yang
pernah
melangsungkan perkawinan
sebelumnya diumumkan pula
nama suami atau nama istri
mereka dahulu.
b. Hari, tempat, dan jam
pengumuman berlangsung.
Pengumuman ini ditanda tangani
oleh pegawai catatan sipil dan harus
ditempel selama sepuluh hari. Apabila
dalam jangka waktu satu bulan
terhitung sejak diumumkannya suatu
perkawinan dan perkawinan tersebut
belum terlaksana, maka bagi namanya
yang disebutkan dalam pengumuman
tersebut tidak boleh melangsungkan
perkawinan, melainkan setelah terlebih
dahulu dilakukan pengumuman sekali
lagi.
Larangan Perkawinan
Pihak-pihak yang dilarang melakukan perkawinan menurut Pasal 8 UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
adalah sebagai berikut:
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
1. Berhubungan darah dalam garis
keturunan lurus ke bawah ataupun
ke atas; misalnya orang tua dengan
anak.
2. Berhubungan darah dalam garis
keturunan menyamping yaitu
antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan
antara seorang dengan saudara
neneknya;
Law Review, Fakultas Hukum lhiiversitas Peiila Harapan, Vol. VI, No I. Juli 2006
101
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monoga, i/ Dalam Hukum Perkawinan di
3. Berhubungan semenda, yaitu:
mertua, anak tiri, menantu dan ibu/
bapaktiri;
4. Berhubungan susuan, yaitu orang
tua susuan, anak susuan, saudara
susuan dan bibi/paman susuan;
5. Berhubungan saudara dengan istri
atau sebagai bibi atau kemenakan
dari istri, dalam hal seorang suami
beristri lebih dari seorang;
6. Mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang
berlaku, dilarang kawin.
Pihak-pihak yang dilarang melakukan
perkawinan menurut Pasal 30 sampai
dengan 32 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata adalah sebagai berikut:
Perkawinan dilarang antara dua orang
yang:
1. Bertalian keluarga dalam garis
lurus ke atas dan ke bawah, baik
karena kelahiran yang sah maupun
tidak sah;
2. Berhubungan sebagai akibat
adanya suatu perkawinan;
3. Bertalian keturunan dalam garis
menyimpang, antara saudara lakilaki dengan saudara perempuan,
baik secara sah maupun tidak sah
4. Berhubungan periparan, yaitu
antara ipar laki-laki dan ipar
102
perempuan, karena perkawinan
sah ataupun tidak sah, kecuali
suami atau istri yang mengakibatkan periparan tersebut sudah
meninggal dunia, atau karena
keadaan tak hadir suami atau istri,
kepada istri atau karena telah
diij mkan oleh hakim suami atau istri
tersebut kawin dengan orang lain.
5. Mempunyai hubungan antara
paman atau paman orang tua dan
anak perempuan saudara atau
cucu perempuan saudara, antara
bibi atau bibi orang tua dan anak
laki-laki saudara atau cucu lakilaki saudara, yang sah atau tidak
sah, kecuali telah mendapatkan
dispensasi dari Presiden.
6. Barangsiapa yang telah dinyatakan
bersalah berdasarkan Putusan
Hakim karena berzinah, maka
tidak diperbolehkan kawin.
Asas Monogami
Menurut Pasal 27 Kitab Undangundang Hukum Perdata : dalam waktu
yang sama seorang laki-laki hanya
diperbolehkan mempunyai satu orang
perempuan sebagai istrinya, seorang
perempuan hanya satu orang laki-laki
sebagai suaminya.
Law Review, Fakultas Hukun; Universitas Pelila Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006
Vincensia Esti Purnama Sari: Asm Monogami Dalam Hukum Perkawinan di
Menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 1
Tahun 1974 ten tang Perkawinan: pada
asasnya dalam suatu perkawinan
seorang pria hanya boleh mempunyai
seorang istri. Seorang wanita hanya
boleh mempunyai seorang suami.
Berlandaskan dari pernyataan
tersebut dapat diketahui bahwa
perkawinan di Indonesia menganut
asas monogami, yakni seorang laki-laki
hanya boleh mempunyai seorang
perempuan sebagai istrinya dan
sebaliknya seorang perempuan hanya
boleh mempunyai seorang laki-laki
sebagai suaminya.
Asas monogami yang diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
dengan asas monogami yang diatur
dalam UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan memiliki perbedaan. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata tidak
mengatur secara tegas bahwa seorang
suami dapat mempunyai istri lebih dari
satu atau seorang istri dapat mempunyai
suami lebih dari satu, sedangkan hal ini
diatur dalam UU No.l Tahun 1974
tentang Perkawinan.
Kitab undang-Undang Hukum
Perdata hanya mengatur tentang
terbukanya kemungkinan pernikahan
kedua atau lebih, karena pembubaran
perkawinan yang antara lain dapat
disebabkan karena perpisahan meja
dan ranjang atau perceraian, seperti
yang diatur dalam Pasal 199 butir (3e)
dan (4e) Kitab Undang -Undang
Hukum Perdata.
Perpisahan meja dan ranjang diatur
dalam Pasal 200 sampai dengan 206b
dan Pasal 233 sampai dengan Pasal 249
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Perpisahan meja dan ranjang
dapat diajukan kepada hakim atas
perbuatan yang melampaui batas, yakni
penganiayaan, penghinaan kasar, yang
dilakukan antara satu pihak terhadap
pihak yang lainnya. Perpisahan meja
dan ranjang dapat diijinkan setelah
suami istri tersebut menikah selama dua
tahun. Adanya perpisahan meja dan
ranjang tidak secara otomatis
mengakibatkan pembubaran perkawinan, tetapi merupakan langkah
instropeksi diri bagi masing-masing
pasangan suami istri untuk
memperbaiki diri dan masih
dimungkinkan rujuk kembali. Namun,
setelah perpisahan meja dan ranjang
tersebut berlangsung selama genap
lima tahun dan tidak ada perdamaian
antara suami istri tersebut, maka suami
maupun istri berhak untuk menuntut di
pengadilan
untuk
diadakan
pembubaran perkawinan.
Law Review. Fakullas Hukum Universiias Pelila Harapan, Vol VI. No.l. Juli 2006
103
Vincensia Esti Punmma Sari: Asas Mom
Perceraian menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata diatur dalam
Pasal 207 sampai dengan Pasal 232a.
Perceraian tidak boleh dilakukan
berdasarkan persetujuan kedua belah
pihak suami dan istri. Alasan-alasan
yang dapat mengakibatkan perceraian
diatur dalam pasal 209 Kitab UndangUndang Hukum Perdata sebagai
berikut:
1. zinah;
2. meninggalkan tempat tinggal
(tempat tinggal bersama suami dan
istri) dengan itikad jahat;
3. salah satu pihak dihukum penj ara
lima tahun atau lebih
4. salah satu pihak melukai berat atau
menganiaya pihak lain yang
membahayakan jiwa pihak yang
dilukai atau mengakibatkan lukaluka yang membahayakan.
Penerapan asas monogami dalam
UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan dapat disimpangi. Hal ini
terlihat dalam Pasal 3 ayat (2) UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
: Pengadilan, dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristri
lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
104
a Dalam Hukum Perkawinan di
Penyimpangan dari asas monogami sering dikenal dengan istilah
poligami, yang terdiri dari dua macam
yakni poligini dan poliandri. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia
poligami adalah sistem perkawinan
yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya
dalam waktu yang bersamaan. Poligini
adalah sistem perkawinan yang
membolehkan seorang pria memiliki
beberapa wanita sebagai istrinya dalam
waktu yang bersamaan. Poliandri
adalah sistem perkawinan yang
membolehkan seorang wanita
mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.4
Syarat - syarat yang harus
dipenuhi oleh seorang suami yang
hendak beristri lebihdari seorang dapat
dibedakan menjadi dua yaitu syarat
alternatif dan syarat kumulatif.
Syarat alternatif diatur dalam Pasal
4 UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan, sebagai berikut:
Pasal 4 ayat (1):
Dalam hal seorang suami akan
beristri lebih dari seorang, sebagaimana
tersebut dalam Pasal 3 ayat (2)
4
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hal 885-886
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. VI'„ No. I, Juli 2006
Vuicensia Esti Purnawa Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawwan cli
Undang-undang ini, maka ia wajib
mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat
tinggalnya.
Pasal 4 ayat (2):
Pengadilan yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan
beristri lebihdari seorang apabila :
c. Adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adi terhadap istri-istri
dan anak-anak mereka.
a. Istri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai istn;
Pasal 5 ayat (2):
b. Istri mendapat cacat badan/atau
penyakit yang tidak dapat
disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Syarat-syarat tersebut di atas berlaku
secara alternatif, artinya jika si istri
mengalami salah satu dari syaratsyarat tersebut si suami dapat
mengajukan permohonan untuk
menikahlagi.
Syarat kumulatif diatur dalam pasal
5 UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan, sebagai berikut:
Pasal 5 ayat (1):
Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada pengadilan, sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)
Undang-undang ini, harus dipenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
a. Adanya perjanjian dari istri/istnistri;
b. Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluankeperluan hidup istn-istn dan anakanak mereka;
Perj anj ian yang dimaksud pada ayat (1)
huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya
tidak mungkin dimintai perj anj iannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam
perjanjian, atau apabila tidak ada kabar
dari istrinya, selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau karena
sebab-sebab lainnya yang perlu
mendapat penilaian dari Hakim
Pengadilan.
Syarat-syarat tersebut di atas
berlaku secara kumulatif artinya
berlaku secara keseluruhan, sehingga
semua syarat-syarat tersebut harus
dipenuhi bagi seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang.
Tata cara beristri lebih dari seorang
diatur dalam pasal 40 sampai dengan
Pasal 44 PP No.9 Tahun 1975 tentang
Law Review, Fakultas Hukum Hniversilas Pelit, Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006
105
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di
Pelaksanaan UU No.l Tahun 1974
tentang Perkawinan, sebagai berikut:
1. Suami mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Pengadilan di
wilayah hukum tempat tinggalnya.
2. Setelah permohonan masuk ke
Pengadilan, maka Pengadilan
kemudian melakukan pemeriksaan
mengenai:
a. ada atau tidaknya yang memungkinkan suami kawin lagi,
ialah:
- bahwa istri tidak dapat
menjalankan kewajibannya
sebagai istri;
- bahwa istri mendapat cacat
badan atau penyakit yang
tidak dapat disembuhkan;
- bahwa istri tidak dapat
melahirkan keturunan.
b. Ada atau tidaknya perjanjian
dari istri, baik perjanjian lisan
maupun tertulis apabila
perjanjian itu merupakan
perjanjian lisan, perjanjian itu
harus diucapkan di depan
sidang Pengadilan. Dalam hal
ini, pengadilan harus memanggil
dan mendengar dari istri yang
bersangkutan. Pemeriksaan ini
dilakukan
oleh
Hakim
selambat-lambatnya 30 (tiga
106
puluh) han setelah ditenmanya
surat permohonan beserta
lampiran-lampirannya.
c. Ada atau tidaknya kemampuan
suami untuk
menjamin
keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak, dengan memperhatikan:
- Surat keterangan mengenai
penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
- Surat keterangan pajak
penghasilan; atau
- Surat keterangan lain yang
dapat diterima oleh Pengadilan.
d. Ada atau tidaknya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil
terhadap istri-istri dan anakanak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang
dibuat dalam bentuk yang
ditetapkan untuk itu.
Apabila pengadilan berpendapat
bahwa cukup alasan bagi suami
(pemohon) untuk beristri lebih dari
seorang, maka Pengadilan melalui
Keputusan Pengadilan mengijinkan
bahwa suami tersebut dapat beristri
lebih dari seorang. Apabila Pengadilan
tidak atau belum mengijinkan suami
Law Review, Fakullas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol. VI, No I, Juli 2006
Vincensia Esti Purnama Sari; Asas Monogami Dalam Hukum Perkawincin di
(pemohon) untuk beristri lebih dari
seorang, maka pegawai pencatat
perkawinan tidak diperbolehkan
melakukan pencatatan perkawinan
atas perkawinan kedua atau lebih atas
suami tersebut.
Penyimpangan dari asas monogami yang diatur dalam UU No.l
Tahun 1974 tentang Perkawinan
hanyalah poligini, yang mengijinkan
suami untuk beristri lebih dari seorang,
sedangkan mengenai poliandri tidak
diatur dalam undang-undang.
Sejalan dengan hal tersebut
Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi
Perempuan Indonesia Untuk Keadilan,
mengusulkan adanya amandemen
terhadap pasal 3, pasal 4, dan pasal 5
dalam UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan dengan beberapa alasan
sebagai berikut:
1. Poligami merupakan bentuk
subordinasi dan diskriminasi
terhadap perempuan, yang
didasarkan pada keunggulan/
superioritas jenis kelamin tertentu
atas jenis kelamin lainnya.
2. Pengakuan yang absah terhadap
hirarki jenis kelamin dan
pengutamaan privilis seksual
mereka atas yang lainnya.
3. Ketentuan pasal 3, pasal 4, pasal 5
UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip persamaan,
anti diskriminasi serta anti
kekerasan yang dianut dalam
instrumen hukum yang ada,
misalnya UUD 1945 dan UU
No.39 tahun 1999 tentang Hak
Azasi Manusia.
4. Poligami merupakan bentuk
kekerasan dalam rumah tangga
yang dilegitimasi oleh hukum dan
sistem kepercayaan yang ada di
masyarakat.
5. Syarat-syarat untuk dapat
melakukan poligami yang diatur
dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan menunjukkan bahwa
perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan
biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari
salah atau jenis kelamin, dan diiringi
dengan asumsi bahwa salah satu
pihak tersebut selalu siap sedia
atau tidak akan pernah bermasalah
dengan kemampuan
fisik/
5
biologisnya.
- http://www.lbh-apik.or.id/amandemen UUPusulan.htm
Law Review, Fakultas Hukum Ifniversilas Pelila Harapan, Vol VI, No I, Juli 2006
107
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di
Lebih lanjut, UU No.l Tahun 1974
tentang Perkawinan tidak menyatakan
secara tegas siapa yang dimaksud
dengan pihak-pihak yang bersangkutan
seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat
(2) UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan. Namun untuk mengetahui
maksud dari pihak-pihak yang
bersangkutan dalam pasal 3 ayat (2)
UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan tersebut dapat dilihat dan
pasal-pasal lain yang telah diatur dalam
UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1
tahun 1974 tentang Perkawinan,
perkawinan adalah sah apabila
dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya, selanjutnya di dalam pasal 5 UU
No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan
menyatakan bahwa seorang suami
yang beristri lebih dari satu, harus
mengajukan permohonan kepada
pengadilan dengan disertai perjanjian
dari istri atau istri-istrinya bahwa si istri
mengetahui suaminya akan menikah
lagi dengan perempuan lain. Hal ini
berarti bahwa bagi seorang suami yang
akan beristri lebih dari satu harus tetap
mengindahkan syarat sahnya
perkawinan dan terikat pada syarat
108
alternatif dan syarat kumulatif yang
telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun
1974
tentang
Perkawinan.
Pengecualian dari asas monogami
dalam UU No.l Tahun 1974 tentang
Perkawinan hanya dapat berlaku bagi
mereka yang hukum agamanya
mengijinkan bahwa suami dapat
berpoligami dan suami juga telah
mendapat persetujuan dari istri yang
dinyatakan dalam perjanjian. Oleh
karena itu, penyimpangan asas
monogami (poligami) tidak berlaku bagi
suami yang Hukum Agamanya tidak
mengijinkan diberlakukannya poligami.
Kesimpulan
Penerapan asas monogami dalam
Hukum Perkawinan di Indonesia tidak
selamanya dapat diberlakukan sama
bagi seluruh Warga Negara Indonesia,
dengan mengingat syarat sahnya
perkawinan di Indonesia berdasarkan
pada Hukum Agama dan kepercayaan
masing-masing dari pasangan suami
istri, sehingga penyimpangan asas
monogami yang dikenal dengan istilah
poligami hanya dapat dilakukan bagi
mereka yang Hukum agama atau
kepercayaannya mengijinkan adanya
poligami dalam sebuah perkawinan.
Poligami yang dijinkan oleh undang-
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006
Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di
undang hanyalah poligami yang
dilakukan oleh suami terhadap istnnya,
yakni suami diberi ijin oleh undangundang untuk beristri lebih dari satu
berdasarkan syarat-syarat yang telah
ditetapkan dalam undang-undang,
sedangkan poligami yang dilakukan
seorang istri terhadap suaminya yakni
istri mempunyai lebih dari satu suami
tidak dijinkan oleh undang-undang.
Daftar Pustaka
Badan Penasehat Perkawinan
Perselisihan dan Perceraian,
Majalah Nasehat Perkawinan
No.l09keX, 1981
F.X. Suhardana, Hukum Perdata I,
PT.Prenhallindo, Jakarta, 2001
Hukum Universitas Trisakti ,
Jakarta
http://www.lbh-apik.or.id/
amandemen_UUP-usulan.htm
Peraturan Perundang-undangan
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata (Burgerlijk Wetboek),
diterjemahkan oleh R.Subekti dan
R.Tjitrosudibio, cet.36, PT.
Pradnya Paramita, Jakarta, 2005
Indonesia, Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan
Indonesia, Peraturan Pemerintah No.
9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa
Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta,
2001,hal 885-886
Winarsih Imam Subekti, Perkembangan Materi Buku I KUHPedata
Ten tang Orang Dalam Era
Kemerdekaan,d\sa}\V.?in dalam
Lokakarya Mengenai penyegaran
Mata Kuliah Hukum Perdata
dalam rangka Penyempurnaan
Silabus Hukum Perdata, yang
diselenggarakan oleh Fakultas
Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan.
Vol VI. No. I. Juli 2006
109
Download