ASAS MONOGAMI DALAM HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA Oleh: Vincensia Esti Purnama Sari, SH., M.lluni ABSTRACT The understanding of marriage according to Law Number I Year 1974 is a union in every respect between a man and a woman as husband and wife to create a happy and everlasting family based on Cod. A marriage in Indonesia is legal if it is done based on the Religion or individual belief. Marriage is based on monogamy principle that under a marriage, a man may have only one wife and a woman may have only one husband. The implementation of monogamy principle in Indonesia has a deviation known as polygamy. Law Number 1 Year 1974 allows polygamy for a man who wants to have more than one wife with the condition that his religion allows him to do it as long as his wife/wives agree with, and which is written in an agreement. Pendahuluan Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah : ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan yang ideal adalah perkawinan yang dilakukan berdasarkan asas monogami. Pengertian asas monogami diatur dalam Pasal 3 ayat 94 (1) UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan : pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Yang dikehendaki oleh undangundang adalah perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dengan seorang wanita. Permasalahan akan timbul apabila perkawinan dilakukan oleh seorang pria dengan lebih dari satu wanita maupun seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Undang-undangpun Law Review. Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol. VI. No. I, Juli 2006 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monog,ami Dalam Hukum Perkawinan di tidak mengijinkan perkawinan antara seorang pna dengan seorang pria atau lebih maupun seorang wanita dengan seorang wanita atau lebih. Oleh karena itu, peraturan di Indonesia sampai saat ini tidak mengijinkan perkawinan sejenis. Pengertian Perkawinan Pengaturan Perkawinan di Indonesia terdapat di dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah No.45 Tahun 1990 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1'983 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak memberikan definisi tentang pengertian perkawinan. Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya menyatakan bahwa "Undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubunganhubungan perdata". Dengan demikian perkawinan menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata hanya menyangkut hubungan-hubungan perdata yang diatur dalam Hukum Perdata, sehingga perkawinan dapat dianggap sah apabila telah memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, sedangkan syarat-syarat dalam peraturan agama dapat dikatakan dikesampingkan. Pengertian Perkawinan menurut Pasal 1 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Terdapat perbedaan pengertian perkawinan menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata dengan UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, yaitu bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata hanya melihat perkawinan sebagai hubungan keperdataan saja, sedangkan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan melihat perkawinan sebagai ikatan lahir batin berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan menurut UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut selain Law Review. Fakullas Hukum Universitas Pelila Harapan. Vol. VI. No I. Juli 2006 95 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Daknn Hukum Perkawinan di mengandung syarat-syarat formal yang ditentukan oleh undang-undang juga harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, artinya perkawinan juga harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh Hukum Agama. Pengertian perkawinan yang lain dapat diperoleh dari pendapat para ahli sebagaimana diungkapkan berikut ini. Pengertian perkawinan menurut Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian adalah bahwa perkawinan merupakan satu ikatan yang sah untuk membina rumah tangga dan keluarga sejahtera dan bahagia dimana kedua suami istri memikul amanah dan tanggung jawab, si istri oleh karenanya akan mengalami suatu proses psikologis yang berat yaitu kehamilan dan melahirkan yang meminta pengorbanan" Perkawinan tidak hanya dapat mengandalkan rasa cinta semata melainkan harus pula didukung dengan persiapan yang matang untuk melanjutkan proses kehidupan. Jadi, untuk memasuki perkawinan bukan hanya cinta saja yang dibutuhkan melainkan pemikiran yang rasional dan dapat meletakkan dasar-dasar yang lebih kokoh dari suatu perkawinan, sedangkan perkawinan itu sendiri merupakan suatu proses awal dari perwujudan bentuk-bentuk kehidupan manusia. Menurut Scholten perkawinan adalah hubungan hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.2 Scholten melihat perkawinan sebagai hubungan yang kekal yang berarti harus berlangsung abadi, seumur hidup pasangan suami istri dan disahkan oleh negara. Perkawinan ini harus dilakukan dengan mentaati peraturan perkawinan yang ditetapkan oleh negara. Hakikat dan Tujuaii Perkawinan Hakikat perkawinan menurut Pasal 1 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri. Jadi, dalam suatu perkawinan keterikatan secara lahiriah (jasmani) saja belum cukup, 2 1 Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian, Majalah Nasehat Perkawinan No.l09keX, 1981, hal4 96 Scholten, dikutip dari Prawirohamidjojo dan Safioedin dalam buku F.X. Suhardana, Hukum Perdata I, PT.Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal 88 Law Review, Fakullas Hukum (Ini versitas Pelita Harapan, Vol VI, No.l, Juli 2006 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di melainkan harus mengandung keterikatan secara batiniah dari masing-masing pasangan suami istri. Keserasian antara ikatan lahir dengan ikatan batin merupakan pondasi atau dasar yang kuat dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia dan kekal. Hakikat perkawinan bukanlah sekedar ikatan formal saja, melainkan juga ikatan secara batin. Ikatan lahir batin ini hendaknya dipertahankan terus sepanjang perkawinan supaya perkawinan mempunyai nilai penting, karena tanpa ikatan lahir batin tersebut nilai perkawinan sudah tidak berarti lagi. Hal tersebut yang membedakan hakikat perkawinan menurut UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan hakikat perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Hakikat perkawinan menurut UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan didasarkan pada ikatan lahir dan ikatan batin, sedangkan hakikat perkawinan menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata didasarkan pada kesepakatan pasangan suami istri, dengan adanya kesepakatan tersebut, maka suami istri tersebut menjadi terikat dalam perkawinan. Sesuai dengan hal tersebut, K.Wantjik Saleh mengungkapkan bahwa arti perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita. Ikatan lahir mengungkapkan adanya hubungan formal, sedangkan ikatan batin merupakan hubungan yang tidak formal, tak dapat dilihat. Namun, tetap harus ada, sebab tanpa ikatan batin itu ikatan lahir akan rapuh. Ikatan lahir batin menjadi dasar utama pembentukan dan pembinaan keluarga bahagia dan kekal. 3 Kitab Undang-Undang hukum Perdata tidak secara tegas mencantumkan mengenai tujuan perkawinan. Tujuan perkawinan dapat dilihat dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. Tujuan perkawinan menurut UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung makna bahwa perkawinan sebaiknya dapat mendatangkan kebahagiaan bagi seluruh anggota keluarga. Hal ini erat kaitannya dengan terpeliharanya hubungan baik antar seluruh anggota ] Ibid, hal 89 Law Review. Fakultas Hukum Ihiiversilas Pelita Harapan. Vol VI. No I. Juli 2006 97" Viuceiisia Esti Purnama Sari: Asas Monogi keluarga, yakni ayah, ibu, dan anakanak. Dengan adanya keserasian antara ikatan lahir dengan ikatan batin dari pasangan suami istri, maka hal ini akan membawa dampak positif bagi perkembangan anak yang dibuahkan dari sebuah perkawinan. Tujuan perkawinan di Indonesia harus didasarkan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, karena Negara Indonesia berdasarkan pada Pancasila dengan sila pertama berbunyi : "Ketuhanan Yang Maha Esa". Maka perkawinan menurut hukum di Indonesia sangat erat kaitannya dengan agama atau kepercayaan masingmasing dari pasangan suami istri. Syarat-syarat Perkawinan Syarat-syarat perkawinan diatur dalam pasal 6 sampai dengan 12 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut: 1. Perkawinan harus didasarkan atas perjanjian kedua calon mempelai. 2. Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua. Apabila salah satu dari orang tua telah meninggal atau tidak 98 Law Review, Fakulias Hukum Uni\ \i Dalam Hukum Perkawinan di cakap menyatakan kehendak, maka izin tersebut dapat diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau orang tua yang cakap menyatakan kehendaknya. Apabila kedua orang tua sudah meninggal atau tidak cakap dalam menyatakan kehendak, maka izin tersebut dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah garis lurus ke atas dan ke bawah selama mereka masih hidup dan cakap dalam menyatakan kehendaknya. 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 16tahun. 4. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak terikat dalam hubungan yang dilarang oleh undang-undang untuk melangsungkan perkawinan. 5. Seseorang yang akan melangsungkan perkawinan tidak sedang berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain, kecuali dalam hal Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pelita Uarapan, Vol VI, No. I, Juh 2006 Vincensia Esll Purnama Sari: Ascis Morn li Dalam Hukum Perkawinan di 6. Bagi suami istri yang telah bercerai kemudian kawin lagi satu sama lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka mereka tidak boleh melangsungkan perkawinan, sepanjang hukum amsing-masing agama atau kepercayaannya tidak menentukan lain. Selain syarat-syarat tersebut di atas Pasal 2 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan menghendaki agar perkawinan menjadi sah, maka harus dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaanya. Setelah perkawinan sah menurut hukum agamanya atau kepercayaan-nya masing-masing, maka perkawinan ini harus dicatatkan di Catatan Sipil bagi pasangan sumi istn yang bukan beragama Islam, sedangkan bagi yang beragama Islam perkawinannya dilangsungkan oleh Kantor Urusan Agama. 7. Bagi seorang wanita (janda) yang akan melangsungkan perkawinan lagi, tidak sedang berada dalam waktu tunggu. MenurutPasal 39PPNo.9Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawuinan, waktu tunggu bagi seorang wanita (janda) diatur sebagai berikut: a. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari. b. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih berdatang bulan ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari dan bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari. c. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan. Berkaitan dengan ini Winarsih Imam Subekti mengungkapkan bahwa : "Perkawinan harus dilakukan menurut aturan agama yang dipeluk calon suami-istri, apakah harus sama agamanya, itu semua ditentukan oleh agama yang diakui Pemerintah dan pernikahan harus berdasarkan hukum agama lebih dulu, baru diadakan pencatatan di kantor pencatat perkawinan." 3 1 Winarsih Imam Subekti, Perkembangan Materi Buku I KUHPedata Tentang Orang Dalam Era Kemerdekaan.disajikan dalam Lokakarya Mengenai penyegaran Mata Kuliah Hukum Perdata dalam rangka Penyempurnaan Silabus Hukum Perdata, yangdiselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Trisakti , Jakarta, 18 April 2006 Law Review, Fakultas Hukum l>niversitas Pelita Harapan, Vol VI, No.l, Juli 2006 99 Vincensia Esti Purnama Sari Asas Monogi Sahnya perkawinan menurut hukum agama atau kepercayaan masing-masing mengandung makna bahwa masing-masing agama atau kepercayaan dari calon suami istri adalah secara satu kesatuan bukan berarti dapat beda agama, yaitu agama dari calon suami berbeda dengan agama calon istri, kecuali dari calon pasangan suami istri tersebut yang agamanya berbeda mendapat ij in oleh agama masing-masing bahwa keduanya diijinkan melangsungkan perkawinan beda agama. Kitab Undang-undang Hukum Perdata mengatur syarat-syarat perkawinan sebagai berikut: Syarat perkawinan dibagi menjadi dua yaitu syarat materiil yang menyangkut tentang pnbadi calon pasangan suami istri dan syarat formil yang menyangkut keabsahan dari perkawinan yaitu harus memenuhi persyaratan yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Syarat materiil perkawinan diatur dalam Pasal 27 sampai dengan Pasal 49 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdiri dari: 1. Dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan 100 i Dalam Hukum Perkawinan di sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang lakilaki sebagai suaminya (asas monogami). 2. Kesepakatan calon suami - istri. 3. Usia calon mempelai pria sudah mencapai 18 tahun dan calon mempelai wanita sudah mencapai 15 tahun. 4. Calon mempelai pria dan calon mempelai wanita tidak terikat dalam hubungan yang dilarang oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata untuk melangsungkan perkawinan. 5. Bagi seorang wanita (janda) yang akan melangsungkan perkawinan lagi, telah harus melewati tiga ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan. 6. Untuk mengikatkan diri dalam perkawinan, bagi calon suami istri yang belum dewasa harus mendapatkan ijin dari orang tuanya. 7. Untuk mengikatkan din dalam perkawinan, walaupun bagi calon suami istri yang telah dewasa namun bagi mereka yang masih berusia di bawah tiga puluh tahun, harus mendapatkan ijin dari orang tuanya. Law Review, Fakullas Hukum Univ '•si/as Pelila Harapan, Vol. VI. No. I. Juli 2006 \'iiHi-iiMti Esti i'ltnuuthi San A.\a.\ Monoyjuni Ihiluni Hukum I'crknw mull di Syarat formil perkawinan diatur dalam Pasal 50 sampai dengan Pasal 58 Kitab Undang-undang Hukum Perdata terdiri dari: 1. Semua orang yang akan melakukan perkawinan harus memberitahukan kehendak mereka kepada pegawai Cacatan Sipil di tempat tinggal salah satu calon mempelai. 2. Sebelum perkawinan dilangsungkan, pegawai catatan sipil harus membuat pengumuman yang memberitahukan bahwa pada hari, tanggal, bulan, dan tahun tertentu akan dilangsungkan perkawinan antara calon suami istri yang namanya disebutkan di papan pengumuman. Pengumunan tersebut berisi: a. Nama, nama depan, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-istri termasuk bagi mereka yang pernah melangsungkan perkawinan sebelumnya diumumkan pula nama suami atau nama istri mereka dahulu. b. Hari, tempat, dan jam pengumuman berlangsung. Pengumuman ini ditanda tangani oleh pegawai catatan sipil dan harus ditempel selama sepuluh hari. Apabila dalam jangka waktu satu bulan terhitung sejak diumumkannya suatu perkawinan dan perkawinan tersebut belum terlaksana, maka bagi namanya yang disebutkan dalam pengumuman tersebut tidak boleh melangsungkan perkawinan, melainkan setelah terlebih dahulu dilakukan pengumuman sekali lagi. Larangan Perkawinan Pihak-pihak yang dilarang melakukan perkawinan menurut Pasal 8 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas; misalnya orang tua dengan anak. 2. Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya; Law Review, Fakultas Hukum lhiiversitas Peiila Harapan, Vol. VI, No I. Juli 2006 101 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monoga, i/ Dalam Hukum Perkawinan di 3. Berhubungan semenda, yaitu: mertua, anak tiri, menantu dan ibu/ bapaktiri; 4. Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan; 5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang; 6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Pihak-pihak yang dilarang melakukan perkawinan menurut Pasal 30 sampai dengan 32 Kitab Undang-undang Hukum Perdata adalah sebagai berikut: Perkawinan dilarang antara dua orang yang: 1. Bertalian keluarga dalam garis lurus ke atas dan ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah; 2. Berhubungan sebagai akibat adanya suatu perkawinan; 3. Bertalian keturunan dalam garis menyimpang, antara saudara lakilaki dengan saudara perempuan, baik secara sah maupun tidak sah 4. Berhubungan periparan, yaitu antara ipar laki-laki dan ipar 102 perempuan, karena perkawinan sah ataupun tidak sah, kecuali suami atau istri yang mengakibatkan periparan tersebut sudah meninggal dunia, atau karena keadaan tak hadir suami atau istri, kepada istri atau karena telah diij mkan oleh hakim suami atau istri tersebut kawin dengan orang lain. 5. Mempunyai hubungan antara paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara, antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki-laki saudara atau cucu lakilaki saudara, yang sah atau tidak sah, kecuali telah mendapatkan dispensasi dari Presiden. 6. Barangsiapa yang telah dinyatakan bersalah berdasarkan Putusan Hakim karena berzinah, maka tidak diperbolehkan kawin. Asas Monogami Menurut Pasal 27 Kitab Undangundang Hukum Perdata : dalam waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya. Law Review, Fakultas Hukun; Universitas Pelila Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006 Vincensia Esti Purnama Sari: Asm Monogami Dalam Hukum Perkawinan di Menurut Pasal 3 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 ten tang Perkawinan: pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Berlandaskan dari pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perkawinan di Indonesia menganut asas monogami, yakni seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang perempuan sebagai istrinya dan sebaliknya seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang laki-laki sebagai suaminya. Asas monogami yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan asas monogami yang diatur dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan memiliki perbedaan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak mengatur secara tegas bahwa seorang suami dapat mempunyai istri lebih dari satu atau seorang istri dapat mempunyai suami lebih dari satu, sedangkan hal ini diatur dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kitab undang-Undang Hukum Perdata hanya mengatur tentang terbukanya kemungkinan pernikahan kedua atau lebih, karena pembubaran perkawinan yang antara lain dapat disebabkan karena perpisahan meja dan ranjang atau perceraian, seperti yang diatur dalam Pasal 199 butir (3e) dan (4e) Kitab Undang -Undang Hukum Perdata. Perpisahan meja dan ranjang diatur dalam Pasal 200 sampai dengan 206b dan Pasal 233 sampai dengan Pasal 249 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Perpisahan meja dan ranjang dapat diajukan kepada hakim atas perbuatan yang melampaui batas, yakni penganiayaan, penghinaan kasar, yang dilakukan antara satu pihak terhadap pihak yang lainnya. Perpisahan meja dan ranjang dapat diijinkan setelah suami istri tersebut menikah selama dua tahun. Adanya perpisahan meja dan ranjang tidak secara otomatis mengakibatkan pembubaran perkawinan, tetapi merupakan langkah instropeksi diri bagi masing-masing pasangan suami istri untuk memperbaiki diri dan masih dimungkinkan rujuk kembali. Namun, setelah perpisahan meja dan ranjang tersebut berlangsung selama genap lima tahun dan tidak ada perdamaian antara suami istri tersebut, maka suami maupun istri berhak untuk menuntut di pengadilan untuk diadakan pembubaran perkawinan. Law Review. Fakullas Hukum Universiias Pelila Harapan, Vol VI. No.l. Juli 2006 103 Vincensia Esti Punmma Sari: Asas Mom Perceraian menurut Kitab UndangUndang Hukum Perdata diatur dalam Pasal 207 sampai dengan Pasal 232a. Perceraian tidak boleh dilakukan berdasarkan persetujuan kedua belah pihak suami dan istri. Alasan-alasan yang dapat mengakibatkan perceraian diatur dalam pasal 209 Kitab UndangUndang Hukum Perdata sebagai berikut: 1. zinah; 2. meninggalkan tempat tinggal (tempat tinggal bersama suami dan istri) dengan itikad jahat; 3. salah satu pihak dihukum penj ara lima tahun atau lebih 4. salah satu pihak melukai berat atau menganiaya pihak lain yang membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau mengakibatkan lukaluka yang membahayakan. Penerapan asas monogami dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan dapat disimpangi. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan : Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. 104 a Dalam Hukum Perkawinan di Penyimpangan dari asas monogami sering dikenal dengan istilah poligami, yang terdiri dari dua macam yakni poligini dan poliandri. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan. Poligini adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang pria memiliki beberapa wanita sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan. Poliandri adalah sistem perkawinan yang membolehkan seorang wanita mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan.4 Syarat - syarat yang harus dipenuhi oleh seorang suami yang hendak beristri lebihdari seorang dapat dibedakan menjadi dua yaitu syarat alternatif dan syarat kumulatif. Syarat alternatif diatur dalam Pasal 4 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1): Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) 4 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001, hal 885-886 Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelila Harapan, Vol. VI'„ No. I, Juli 2006 Vuicensia Esti Purnawa Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawwan cli Undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pasal 4 ayat (2): Pengadilan yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebihdari seorang apabila : c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adi terhadap istri-istri dan anak-anak mereka. a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istn; Pasal 5 ayat (2): b. Istri mendapat cacat badan/atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Syarat-syarat tersebut di atas berlaku secara alternatif, artinya jika si istri mengalami salah satu dari syaratsyarat tersebut si suami dapat mengajukan permohonan untuk menikahlagi. Syarat kumulatif diatur dalam pasal 5 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut: Pasal 5 ayat (1): Untuk dapat mengajukan permohonan kepada pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Adanya perjanjian dari istri/istnistri; b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluankeperluan hidup istn-istn dan anakanak mereka; Perj anj ian yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai perj anj iannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya, selama sekurangkurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan. Syarat-syarat tersebut di atas berlaku secara kumulatif artinya berlaku secara keseluruhan, sehingga semua syarat-syarat tersebut harus dipenuhi bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang. Tata cara beristri lebih dari seorang diatur dalam pasal 40 sampai dengan Pasal 44 PP No.9 Tahun 1975 tentang Law Review, Fakultas Hukum Hniversilas Pelit, Harapan, Vol. VI, No. I, Juli 2006 105 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di Pelaksanaan UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan, sebagai berikut: 1. Suami mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan di wilayah hukum tempat tinggalnya. 2. Setelah permohonan masuk ke Pengadilan, maka Pengadilan kemudian melakukan pemeriksaan mengenai: a. ada atau tidaknya yang memungkinkan suami kawin lagi, ialah: - bahwa istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri; - bahwa istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; - bahwa istri tidak dapat melahirkan keturunan. b. Ada atau tidaknya perjanjian dari istri, baik perjanjian lisan maupun tertulis apabila perjanjian itu merupakan perjanjian lisan, perjanjian itu harus diucapkan di depan sidang Pengadilan. Dalam hal ini, pengadilan harus memanggil dan mendengar dari istri yang bersangkutan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 (tiga 106 puluh) han setelah ditenmanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya. c. Ada atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak, dengan memperhatikan: - Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau - Surat keterangan pajak penghasilan; atau - Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan. d. Ada atau tidaknya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anakanak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu. Apabila pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi suami (pemohon) untuk beristri lebih dari seorang, maka Pengadilan melalui Keputusan Pengadilan mengijinkan bahwa suami tersebut dapat beristri lebih dari seorang. Apabila Pengadilan tidak atau belum mengijinkan suami Law Review, Fakullas Hukum Universilas Pelila Harapan, Vol. VI, No I, Juli 2006 Vincensia Esti Purnama Sari; Asas Monogami Dalam Hukum Perkawincin di (pemohon) untuk beristri lebih dari seorang, maka pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melakukan pencatatan perkawinan atas perkawinan kedua atau lebih atas suami tersebut. Penyimpangan dari asas monogami yang diatur dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan hanyalah poligini, yang mengijinkan suami untuk beristri lebih dari seorang, sedangkan mengenai poliandri tidak diatur dalam undang-undang. Sejalan dengan hal tersebut Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia Untuk Keadilan, mengusulkan adanya amandemen terhadap pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan dengan beberapa alasan sebagai berikut: 1. Poligami merupakan bentuk subordinasi dan diskriminasi terhadap perempuan, yang didasarkan pada keunggulan/ superioritas jenis kelamin tertentu atas jenis kelamin lainnya. 2. Pengakuan yang absah terhadap hirarki jenis kelamin dan pengutamaan privilis seksual mereka atas yang lainnya. 3. Ketentuan pasal 3, pasal 4, pasal 5 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip persamaan, anti diskriminasi serta anti kekerasan yang dianut dalam instrumen hukum yang ada, misalnya UUD 1945 dan UU No.39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. 4. Poligami merupakan bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang dilegitimasi oleh hukum dan sistem kepercayaan yang ada di masyarakat. 5. Syarat-syarat untuk dapat melakukan poligami yang diatur dalam UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan menunjukkan bahwa perkawinan semata-mata ditujukan untuk memenuhi kepentingan biologis dan kepentingan mendapatkan ahli waris/keturunan dari salah atau jenis kelamin, dan diiringi dengan asumsi bahwa salah satu pihak tersebut selalu siap sedia atau tidak akan pernah bermasalah dengan kemampuan fisik/ 5 biologisnya. - http://www.lbh-apik.or.id/amandemen UUPusulan.htm Law Review, Fakultas Hukum Ifniversilas Pelila Harapan, Vol VI, No I, Juli 2006 107 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di Lebih lanjut, UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak menyatakan secara tegas siapa yang dimaksud dengan pihak-pihak yang bersangkutan seperti yang diatur dalam Pasal 3 ayat (2) UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. Namun untuk mengetahui maksud dari pihak-pihak yang bersangkutan dalam pasal 3 ayat (2) UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut dapat dilihat dan pasal-pasal lain yang telah diatur dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya, selanjutnya di dalam pasal 5 UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan menyatakan bahwa seorang suami yang beristri lebih dari satu, harus mengajukan permohonan kepada pengadilan dengan disertai perjanjian dari istri atau istri-istrinya bahwa si istri mengetahui suaminya akan menikah lagi dengan perempuan lain. Hal ini berarti bahwa bagi seorang suami yang akan beristri lebih dari satu harus tetap mengindahkan syarat sahnya perkawinan dan terikat pada syarat 108 alternatif dan syarat kumulatif yang telah ditetapkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pengecualian dari asas monogami dalam UU No.l Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya dapat berlaku bagi mereka yang hukum agamanya mengijinkan bahwa suami dapat berpoligami dan suami juga telah mendapat persetujuan dari istri yang dinyatakan dalam perjanjian. Oleh karena itu, penyimpangan asas monogami (poligami) tidak berlaku bagi suami yang Hukum Agamanya tidak mengijinkan diberlakukannya poligami. Kesimpulan Penerapan asas monogami dalam Hukum Perkawinan di Indonesia tidak selamanya dapat diberlakukan sama bagi seluruh Warga Negara Indonesia, dengan mengingat syarat sahnya perkawinan di Indonesia berdasarkan pada Hukum Agama dan kepercayaan masing-masing dari pasangan suami istri, sehingga penyimpangan asas monogami yang dikenal dengan istilah poligami hanya dapat dilakukan bagi mereka yang Hukum agama atau kepercayaannya mengijinkan adanya poligami dalam sebuah perkawinan. Poligami yang dijinkan oleh undang- Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan, Vol VI, No. I, Juli 2006 Vincensia Esti Purnama Sari: Asas Monogami Dalam Hukum Perkawinan di undang hanyalah poligami yang dilakukan oleh suami terhadap istnnya, yakni suami diberi ijin oleh undangundang untuk beristri lebih dari satu berdasarkan syarat-syarat yang telah ditetapkan dalam undang-undang, sedangkan poligami yang dilakukan seorang istri terhadap suaminya yakni istri mempunyai lebih dari satu suami tidak dijinkan oleh undang-undang. Daftar Pustaka Badan Penasehat Perkawinan Perselisihan dan Perceraian, Majalah Nasehat Perkawinan No.l09keX, 1981 F.X. Suhardana, Hukum Perdata I, PT.Prenhallindo, Jakarta, 2001 Hukum Universitas Trisakti , Jakarta http://www.lbh-apik.or.id/ amandemen_UUP-usulan.htm Peraturan Perundang-undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), diterjemahkan oleh R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, cet.36, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2005 Indonesia, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 2001,hal 885-886 Winarsih Imam Subekti, Perkembangan Materi Buku I KUHPedata Ten tang Orang Dalam Era Kemerdekaan,d\sa}\V.?in dalam Lokakarya Mengenai penyegaran Mata Kuliah Hukum Perdata dalam rangka Penyempurnaan Silabus Hukum Perdata, yang diselenggarakan oleh Fakultas Law Review, Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan. Vol VI. No. I. Juli 2006 109