II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lebah Trigona Lebah trigona adalah

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Lebah Trigona
Lebah trigona adalah lebah yang tidak memiliki sengat atau dikenal
dengan nama Stingless bee (Inggris), termasuk famili Apidae. Berikut adalah
klasifikasi dari lebah trigona menurut Michener (2007):
Kingdom
: Animalia
Phylum
: Arthropoda
Class
: Insecta
Ordo
: Hymenoptera
Familia
: Apidae
Genus
: Trigona
Trigona merupakan salah satu genus serangga yang tersebar luas dari
daerah tropis sampai sub–tropis (Sakagami, 1978). Rassmusen dan Cameron
(2010) menyatakan bahwa telah teridentifikasi 202 jenis trigona yang ditemukan
di Amerika Selatan, Australia, dan Asia Tenggara. Menurut Rassmusen (2008), di
Asia Tenggara, khususnya Indonesia, terdapat sekitar 30 jenis lebah trigona telah
teridentifikasi, diantaranya adalah: Trigona cincta, T. incise, T. borneensis, T.
thoracica, T. itama, T. aliceae, T. fimbriata, T. javanica, T. nitidiventris, T.
terminata, T. trochanterica, T. ventralis, T. canifrons, T. scintillans, T. genalis, T.
atriconis, T. flaviventris, T. keyensis, T. planiforns, T. lieftincky, T. moorei, T.
atripes, T. collina, T. carbonaria, T. laeviceps, T. sarawakensis, T. fuscobalteata,
T. pygmaea, T. minangkabau, dan T. apicalis. Penelitian Syafrizal dkk. (2012) di
kawasan hutan Lempake, Kalimantan Timur menemukan 9 jenis lebah trigona
yaitu Trigona laeviceps, T. apicalis, T. drescheri, T. fucibasis, T. fuscobalteata¸ T.
insica, T. itama, T. melina dan T. terminata.
Lebah trigona merupakan lebah yang unik, karena lebah ini tidak memiliki
organ untuk menyengat (Gambar 1), seperti pada lebah madu dan tawon,
berukuran kecil (± 4mm), dan hidup berkoloni. Di dalam satu koloni terdapat satu
lebah ratu dengan 1-2 calon ratu, beberapa lebah pekerja (betina), dan pejantan
(Chinh et al., 2004). Lebah trigona ini lebih banyak ditemukan di wilayah tropis
dengan iklim panas dibandingkan subtropis dengan 4 musimnya (Devanesan et
al., 2002).
b
a
Gambar 1. Individu lebah trigona (a. tampak dorsal; b. tampak lateral).
Sumber: http://1.bp.blogspot.com/
Lebah trigona yang tidak memiliki organ penyengat ini mempertahankan
diri dan koloninya dengan cara mengerumuni pengganggunya (swarming), dan
berusaha memasuki lubang-lubang tubuh seperti lubang hidung, telinga dan
kemudian menggigit (Ciar et al., 2013). Sakagami et al. (1983) menyatakan
bahwa cara pertahanan diri seperti ini ampuh untuk melumpuhkan pengganggu
karena dapat memutuskan saraf tempat dia menggigit.
Sarang lebah trigona ditemukan pada batang pohon berongga, di tanah
maupun celah bebatuan, serta pada tembok-tembok bangunan yang terbuat dari
bebatuan. Sarang trigona memiliki bentuk pintu masuk yang beragam, seperti
berbentuk corong, oval, bulat tidak beraturan, atau tanpa tonjolan pada pintu
masuknya (Sakagami et al., 1983; Franck et al., 2004; Roubik, 2006; Lima et. al.,
2013). Pintu masuk lebah trigona umumnya terbuat dari zat resin dan propolis
yang terdapat pada liur trigona dan dicampur dengan lumpur dengan bentuk oval
(Gambar 2) (Sakagami et al., 1983; Rassmusen dan Camargo, 2008).
a
b
Gambar 2. Sarang lebah (a) dan pintu masuk dengan bentuk tidak beraturan yang
terdapat pada pada celah bebatuan (b)
Lebah trigona aktif mencari makan mulai dari pagi hari sampai sore hari.
Menurut Devanesan et al. (2002), trigona mulai aktif mencari makan mulai pukul
07.00 atau saat matahari terbit, dan berhenti saat suhu udara tinggi di siang hari.
Aktivitas mencari makan dimulai lagi pada sore hari saat suhu udara menurun.
Sumber makanan berupa polen dan nektar tumbuhan. Menurut Danaraddi (2007),
sumber polen dapat berasal dari tanaman persawahan, sayur-sayuran, tanaman
hasil perkebunan, tanaman hias, gulma, pohon dan rumput, sedangkan sumber
nektar berasal dari beberapa pohon, sayur-sayuran, buah-buahan dan tanaman
hias.
2.2
Perbedaan Genus Trigona dan Genus Apis
Lebah genus Trigona berbeda dengan lebah genus Apis dalam beberapa
hal, salah satunya adalah lebah Trigona tidak punya sengat. Selain itu, lebah
pekerja pada beberapa genus Trigona dapat mencapai 100.000 ekor dalam satu
koloni (Ciar et al., 2013), melebihi jumlah pekerja dari lebah madu yang hanya
mencapai 60.000 ekor (Sagili and Burgett, 2011). Jarak jangkauan lebah Trigona
dalam mencari makan dari sarang menuju sumber makanan sekitar 500m, dengan
ketinggian mencapai 3m (Ciar et al., 2013). Secara umum, jangkauan lebah madu
dalam mencari makan berkisar antara 45m – 5.983m (Hagler et al., 2011).
Penelitian lain menemukan bahwa lebah jenis Apis carnica memiliki jarak jelajah
untuk mencari makan sekitar 1.500 m (Steffan-Dewenter and Kuhn, 2003). Pada
Apis mellifera jarak jelajah dalam mencari makan sekitar 670 m jika koloninya
kecil, namun hanya mencapai jarak sekitar 620 m jika koloninya besar (Beekman
et al., 2004). Menurut Abou-Shaara (2014), jangkauan pencarian makan pada
lebah madu dipengaruhi oleh kekuatan koloni, sumber makanan, dan waktu
pencarian makanan.
Lebah trigona cenderung tertarik terhadap sumber makanan yang letaknya
lebih rendah dan dekat dari lubang pintu masuk sarang dibandingkan dengan
sumber makanan yang lebih jauh dan tinggi. Ciar et al. (2013), menyatakan bahwa
sumber makanan yang memiliki jarak 1m lebih disukai oleh lebah trigona. Lebih
lanjut dijelaskkan bahwa lebah ini cenderung mencari makan di lingkungan
sekitar sarangnya. Menurut Abou-Shaara (2014), lebah genus Apis lebih suka
mencari sumber makanan berupa nektar yang posisi bunganya lebih mudah untuk
dijangkau, dan tidak dipengaruhi oleh jarak sumber makanan dari sarang.
2.3
Habitat Serangga
Serangga merupakan hewan yang dapat berkembang pada habitat yang
bervariasi. Pada habitat serangga terdapat sumber makanan baik berasal dari
tumbuhan maupun hewan. Jumlah sumber makanan yang semakin banyak dan
beragam dapat mempengaruhi jumlah individu dan keragaman jenis dari serangga
tersebut. (Rizali dkk, 2002).
Ketinggian tempat merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
keragaman serangga, karena ketinggian tempat dapat mempengaruhi siklus hidup
dan perkembangan dari serangga. Ketinggian tempat satu wilayah dapat
dikategorikan sebagai dataran tinggi, jika berada pada ketinggian diatas 700m dpl,
sedang dengan kisaran ketinggian 200-700m dpl, dan ketinggian tempat kurang
dari 200m dpl termasuk dataran rendah (Ratnasari dan Krisantini, 2007). Serangga
berkembang lebih lambat pada daerah yang bersuhu lebih rendah (dingin) di
dataran lebih tinggi, dibandingkan dengan daerah yang bersuhu panas di dataran
rendah (Mulyani, 2010).
Ketinggian tempat dapat mempengaruhi kelimpahan jenis serangga.
Berdasarkan penelitian dari Koneri dkk. (2010), pada tempat yang lebih tinggi
kelimpahan jenis dan kemerataan dari kumbang lucanid (Lucanidae) lebih rendah
dibandingkan jika berada di tempat dengan ketinggiannya rendah. Lien dan Yuan
(2003) juga mendapatkan jenis kupu-kupu dengan kelimpahan jenis lebih tinggi
pada ketinggian tempat yang lebih rendah dibandingkan dengan tempat yang
tinggi. Menurut Alcaraz dan Avila (2000), ketinggian tempat merupakan faktor
penting yang dapat berpengaruh terhadap struktur komunitas, dimana secara
umum
semakin
tinggi
tempatnya
semakin
rendah
kelimpahan
dan
keanekaragaman jenis serangganya.
Ketinggian tempat juga dapat berpengaruh terhadap morfologi serangga.
Menurut Begon et al., (1986), hewan endotermik berukuran lebih besar di daerah
yang bersuhu dingin dibandingkan dengan yang terdapat di tempat bersuhu panas.
Teori ini dikenal dengan Bergmann’s rule. McNab (1983) menyatakan bahwa
jenis-jenis serangga seperti lebah, capung, kumbang, lalat dan kupu-kupu
tergolong hewan endotermik. Hal ini juga didukung oleh penelitian dari Raffiudin
dkk. (1999) yang menyatakan bahwa lebah Apis cerana yang berada di dataran
tinggi (> 1000m dpl) memiliki ukuran tubuh yang lebih besar dibandingkan
dengan lebah yang berada di dataran rendah (5-200m dpl).
Download