KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN BAB IV KEUANGAN NEGARA, PERKEMBANGAN MONETER DAN LEMBAGA-LEMBAGA KEUANGAN A. PENDAHULUAN Seperti disebutkan dalam Bab I, situasi perekonomian dunia selama Repelita IV menunjukkan berbagai gejolak dan ketidakpastian. Harga minyak terus melemah sejak 1982, meskipun dari waktu ke waktu tercapai kemantapan. Harga berbagai komo diti primer lainnya seperti karet, kelapa sawit, kopra, lada putih, kopi dan hasil-hasil pertambangan juga menunjukkan ketidakstabilan selama periode ini. Dalam pada itu, ketidakseimbangan neraca pembayaran antara negara-negara penting di dunia tetap berlanjut dan kurs antara mata uang utama dunia terus bergejolak. Menghadapi situasi tersebut, maka di dalam negeri telah ditempuh berbagai langkah penyesuaian baik di bidang keuangan negara maupun moneter. Di bidang keuangan negara, telah dilaksanakan pembaharuan di bidang perpajakan. Pembaharuan tersebut menyangkut pe nyederhanaan prosedur dan tarif pajak, peningkatan jaminan hukum bagi wajib pajak dan peningkatan pelayanan aparatur perpajakan. Rangkaian kebijaksanaan ini antara lain dimaksud kan untuk memperluas dasar pajak, untuk lebih menjamin kapa sitas beban dan pembayaran pajak, serta untuk mengurangi IV/3 penghindaran diri dari pembayaran pajak. Sebagai hasilnya, selama Repelita IV realisasi penerimaan negara telah mening k a t d a r i R p 1 8 . 3 1 5 , 1 m i l y a r p a d a ta hu n 19 8 3/ 84 m en ja di R p 32.995,0 milyar pada tahun 1988/89, atau meningkat ratarata sebesar 12,5% per tahun. Pengeluaran negara, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan, telah pula menunjukkan peningkatan yang sejalan dengan itu. Selama Repelita IV, pengeluaran rutin meningkat rata-rata sebesar 19,8% per tahun, sedangkan jumlah pengeluaran pembangunan meningkat 4,4% per tahun. Perkembangan realisasi anggaran pendapatan dan belanja negara dari tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-1 dan Grafik IV-1. Di bidang moneter pemerintah telah melakukan langkahlangkah penyesuaian, yaitu deregulasi di bidang moneter dan perbankan sejak 1 Juni 1983. Paket kebijaksanaan tersebut me liputi penghapusan pagu kredit, pemberian kebebasan kepada bank-bank pemerintah untuk menetapkan suku bunga deposito dan suku bunga kredit, pengendalian tidak langsung jumlah uang beredar serta diperketatnya penyediaan kredit likuiditas ke cuali untuk sektor-sektor yang berprioritas tinggi. Sebagai tindak lanjut dari paket kebijaksanaan 1 Juni 1983, pada tahun 1988 telah diambil langkah yang bersifat menunjang kelangsungan pertumbuhan ekonomi dan perluasan kesem p a t an ke r ja . L a ng k ah t e rs e bu t b erupa Paket Kebijaksanaan 2 7 Oktober 1988 yang dimaksudkan untuk lebih meningkatkan pengerahan dana masyarakat, meningkatkan ekspor non migas, meningkatkan efisiensi lembaga keuangan dan perbankan, meningkatkan kemampuan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan moneter serta mendorong iklim pengembangan pasar modal. Keberhasilan pengendalian moneter tercermin dalam kestabilan tingkat harga yang diupayakan melalui pengendalian jumlah uang beredar. Selama kurun waktu Repelita IV laju inflasi rata-rata per tahun di Indonesia adalah sebesar 6,6%. Sedang kan kenaikan jumlah uang beredar rata-rata per tahun pada periode yang sama adalah sebesar 13,3%. Sementara itu, dana masyarakat yang berhasil dihimpun melalui perbankan senantiasa menunjukkan peningkatan. Apabila pada tahun 1983/84 posisi dana perbankan baru berjumlah Rp 13.337,1 milyar, maka pada tahun 1988/89 telah meningkat menjadi Rp 39.502,8 milya r, atau selama Repelita IV meningkat rata-rata sebesar 24,3 per tahun. Sumber pembiayaan pembangunan lainnya diharapkan semakin penting peranannya adalah pasar modal, lembaga keuangan bukan IV/4 TABEL IV - 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) Repelita 1983/84 Penerimaan Dalam Negeri 1984/85 1985/86 IV 1986/87 1987/88 1988/89 14.432,7 15.905,5 19.252,8 16.140,6 20.803,3 23.004,3 Pengeluaran Rutin 8.411,8 9.429,0 11.951,5 13.559,3 17.481,5 20.739,0 Tabungan Pemerintah 6.020,9 6.476,5 7.301,3 2.581,3 3.321,8 2.265,3 Dana Bantuan Luar Negeri 3.882,4 3.478,0 3.572,6 5.752,2 6.158,0 9.990,7 (Bantuan Program) (Bantuan Proyek) (14,9) (3 . 8 6 7 , 5 ) (69,3) (3 . 4 0 8 , 7 ) (69,2) (3 . 5 0 3 , 4 ) (1 . 9 5 7 , 5 ) (3 . 7 9 4 , 7 ) (727,8) (5 . 4 3 0 , 2 ) (2 . 0 4 0 , 7 ) (7 . 9 5 0 , 0 ) Dana Pembangunan 9.903,3 9.954,5 10.873,9 8.333,5 9.479,8 12.256,0 Pengeluaran Pembangunan 9.899,2 9.951,9 10.873,1 8.332,0 9.477,4 12.250,7 Surplus ( + ) / D e f i s it (-) + 4,1 + 2,6 + 0,8 + 1,5 + 2,4 + 5,3 IV/5 GRAFIK IV — 1 RINGKASAN REALISASI ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA, 1983/84 — 1988/89 IV/6 bank, lembaga asuransi dan lembaga leasing. Di bidang pasar modal telah ditempuh berbagai kebijaksanaan melalui pengenaan pajak penghasilan atas bunga deposito, penyelenggaraan bursa pararel, penyelenggaraan bursa efek oleh swasta dan keikut sertaan modal asing dalam perdagangan efek. Kebijaksanaan tersebut tertuang dalam Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Oktober 1988 dan Paket Desember 1988. Apabila pada ta hun 1983 jumlah nilai penjualan saham baru mencapai Rp 13,6 mi l ya r , m ak a p a da t ah u n 1 9 88 / 89 t e l ah meningkat menjadi R p 30,4 milyar. Pada kurun waktu yang sama indeks saham gabungan telah meningkat dari 80,4 menjadi 335,5. Di bidang asuransi, melalui paket Desember 1988, telah diupayakan pula perluasan kesempatan pendirian perusahaan asuransi baru, pe nyederhanaan izin, penyempurnaan ketentuan permodalan usaha asuransi nasional dan campuran, batas tingkat solvabilitas, serta kemudahan pembukaan cabang baru di daerah. Dengan langkah-langkah penyesuaian tersebut Indonesia telah melewati masa yang penuh tantangan tersebut dengan baik. Selama periode Repelita IV, perekonomian Indonesia te lah mengalami perubahan struktural yang berarti, yang ditan dai oleh semakin meningkatnya penerimaan negara dari sektor non migas serta meningkatnya mobilisasi dana melalui lembaga perbankan dan keuangan lainnya. Kesemuanya itu telah mening katkan ketahanan ekonomi nasional terhadap perubahan -perubahan yang terjadi dari luar. Hal tersebut tidak terlepas dari keberhasilan pelaksanaan serangkaian kebijaksanaan di bidang ekonomi dan moneter serta berbagai penyempurnaan di bidang sistem perpajakan. Kebijaksanaan di bidang keuangan negara dan moneter selain diarahkan untuk meningkatkan ekspor non migas, juga ditujukan untuk mengembangkan dunia usaha, mem perluas kesempatan kerja, menekan ekonomi biaya tinggi, me ngerahkan sumber-sumber dalam negeri, meningkatkan peran swasta dalam investasi nasional, serta berbagai tujuan ter kait lainnya. B. KEUANGAN NEGARA 1. Penerimaan Dalam Negeri Sesuai dengan arah kebijaksanaan pembangunan dalam Repelita IV, berbagai langkah kebijaksanaan telah diambil dalam rangka makin menyempurnakan pengelolaan anggaran pendapatan dan belanja. Salah satu langkah mendasar dalam penyempurnaan kebijaksanaan di bidang penerimaan negara adalah pembaharuan IV/7 sistem perpajakan yang mulai dilaksanakan secara efektif se jak tahun 1984. Langkah kebijaksanaan ini dimaksudkan untuk mencapai tiga tujuan pokok. Pertama, kebijaksanaan tersebut diarahkan untuk meningkatkan daya guna serta hasil guna dari sistem perpajakan, yang antara lain tercermin pada sistem perpajakan yang lebih sederhana, dasar pajak yang makin luas, serta kepatuhan membayar pajak yang makin tinggi. Dengan sistem perpajakan yang semakin berdaya guna dan berhasil guna tersebut penerimaan negara dari dalam negeri akan makin meningkat. Kedua, kebijaksanaan tersebut ditujukan untuk mengembangkan diversifikasi sumber-sumber penerimaan dalam negeri agar dengan demikian ketergantungan penerimaan negara pada sektor minyak bumi dan gas alam berkurang. Ketiga, kebi jaksanaan tersebut juga dimaksudkan untuk meningkatkan unsur keadilan dalam sistem perpajakan. Berkat dilaksanakannya pembaharuan sistem perpajak an tersebut, penerimaan dalam negeri selama lima tahun pelaksanaan Repelita IV menunjukkan peningkatan, kecuali pada tahun 1986/87 yang memperlihatkan penurunan sebagai akibat dari me rosotnya harga ekspor minyak yang cukup tajam di pasaran du nia. Dalam pelaksanaan tahun anggaran tersebut, harga ekspor minyak mentah yang di dalam APBN diperkirakan hanya menurun sampai tingkat Us$ 25 per barel ternyata telah jatuh sampai tingkat di bawah US$ 10 per barel, seperti yang terjadi pada bulan Agustus 1986. Dengan demikian meskipun penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam pada tahun 1986/87 tersebut me nunjukkan peningkatan, secara keseluruhan penerimaan dalam negeri pada tahun tersebut masih lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Dalam tahun-tahun selanjutnya harga minyak agak membaik, sehingga bila dibandingkan dengan penerimaan d a l am n e ge r i pa d a ta h u n 19 8 3/ 84 yang baru berjumlah R p 14.432,7 milyar, maka realisasi penerimaan dalam negeri tahun 1988/89 mengalami kenaikan sebesar Rp 8.571,6 milyar; jadi selama Repelita IV mengalami peningkatan rata -rata sebesar 9,8% per tahun. Penerimaan dalam negeri tahun 1988/89 terdiri etas pene rimaan minyak bumi dan gas alam sebesar Rp 9.527,0 milyar d a n p e ne r im a an di lu ar m in y ak bumi dan gas alam sebesar R p 13.477,3 milyar. Penerimaan minyak bumi dan gas alam sendiri selama Repelita IV menunjukkan fluktuasi yang cukup ta jam. Hal ini terutama disebabkan oleh harga ekspor minyak bumi dan gas alam cair yang tidak menentu di pasaran dunia, sehingga apabila dibandingkan dengan penerimaan minyak bumi dan gas alam tahun terakhir Repelita III, yang mencapai IV/8 Rp 9.520,2 milyar, maka penerimaan minyak bumi dan gas alam pada tahun terakhir Repelita IV ini tidak menunjukkan pening katan yang berarti. Sebaliknya, selama kurun waktu tersebut penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam, sebagai hasil dari pembaharuan di bidang perpajakan dan intensifikasi penerimaan bukan pa jak, telah menunjukkan peningkatan yang amat berarti. Apabila pada tahun 1983/84 penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam hanya mencapai Rp 4.912,5 milyar, maka pada tahun 1988/89 telah meningkat pesat menjadi Rp 13.477,3 milyar, atau selama Repelita IV mengalami peningkatan rata-rata sebesar 22,4% per tahun. Peningkatan yang cukup besar tersebut terutama disebabkan oleh keberhasilan pemerintah dalam melakukan berbagai penyempurnaan di bidang perpajakan serta meningkatnya kesa daran masyarakat dalam membayar pajak. Perkembangan realisasi penerimaan dalam negeri dari tahun 1983/84 sampai dengan ta hun 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-2 dan Grafik IV-2. a. Penerimaan Minyak Bumi dan Gas Alam Selama lima tahun pelaksanaan Repelita IV harga minyak bums dan gas alam di pasaran internasional masih tidak menen tu. Pada tahun-tahun awal Repelita IV harga ekspor minyak masih menunjukkan tingkat yang cukup tinggi, yaitu di atas US$ 25 per barel, walau masih lebih rendah dari tingkat harga tertinggi yang pernah dicapai, yaitu sebesar US$ 35 per barel pada bulan Januari 1981. Setelah itu harga terus menurun ta jam, bahkan sampai tingkat di bawah US 10 per barel, yaitu yang terjadi pada bulan Agustus 1986. Penurunan yang cukup tajam ini telah membawa akibat menurunnya penerimaan dalam negeri pada tahun anggaran 1986/87 meskipun di lain pihak pe nerimaan di luar minyak bumi dan gas alam, khususnya dari penerimaan pajak, pada tahun yang bersangkutan menunjukkan pe ningkatan yang cukup berarti. Menyadari penurunan harga minyak yang cukup tajam ini, OPEC kemudian mengadakan serangkaian langkah yang mampu me naikan tingkat harga minyak ekspor di pasaran dunia. Dengan adanya perbaikan harga tersebut, maka pada tahun 1987/88 pe nerimaan migas meningkat menjadi Rp 10.047,2 milyar. Namun kondisi yang cukup melegakan ini tidak berlangsung lama. Har ga kemudian merosot lagi sampai tingkat US 11,98 per barel pada bulan Oktober 1988. Berkat kesepakatan OPEC pada akhir tahun 1988, khususnya dalam upaya untuk memperketat pelaksa naan kuota produksi masing-masing negara anggota OPEC, maka IV/9 TABEL IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1983/84 - 1988/89 (dalam milyar rupiah) IV/10 GRAFIK IV - 2 PENERIMAAN DALAM NEGERI, 1983/84 - 1988/89 IV/11 harga minyak berangsur-angsur kembali meningkat hingga pada bulan-bulan terakhir tahun anggaran 1988/89 harga minyak ekspor Indonesia mampu mencapai tingkat yang ditetapkan OPEC yaitu sebesar US$ 18 per barel. Perkembangan realisasi penerimaan dari minyak bumi dan gas alam dalam kurun waktu pelaksanaan Repelita IV adalah se bagai berikut. Penerimaan minyak bumi dan gas alam pada tahun 1984/85 adalah Rp 10.429,9 milyar, kemudian meningkat menjadi Rp 11.144,4 milyar atau naik 6,9%. Untuk tahun 1986/87 reali s a s i p en e ri m aa n m i ny ak b um i d a n gas alam menurun menjadi R p 6.337,6 milyar atau 43,1% lebih rendah dari tahun sebelum nya. Selanjutnya untuk tahun 1987/88 penerimaan dari minyak bumi dan gas alam meningkat kembali menjadi Rp 10.047,2 mil yar atau naik 58,5%. Pada tahun 1988/89 realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam menurun kembali menjadi Rp 9.527,0 milyar atau 5,2% lebih rendah dari tahun sebelumnya. Perkembangan mengenai realisasi penerimaan minyak bumi dan gas alam dari tahun 1983/84 hingga 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-3 dan Grafik IV-3. b. Penerimaan di luar Minyak Bumi dan Gas Alam Kecenderungan harga minyak bumi dan gas alam yang kurang stabil dapat membawa konsekuensi yang cukup besar bagi kelangsungan pembangunan. Oleh karena itu berbagai langkah kebijaksanaan telah ditempuh untuk meningkatkan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam. Hal tersebut diwujudkan dalam pembaharuan sistem perpajakan yang mulai dilaksanakan sejak tahun 1984. Dalam rangka meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembiayaan pembangunan maka disusunlah Undang -undang Nomor 6, 7, dan 8 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, tentang Pajak Penghasilan yang secara efektif berlaku sejak tanggal 1 Januari 1984, dan tentang Pajak Pertambah an Nilai terhadap Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Ba rang Mewah yang secara efektif berlaku sejak tanggal 1 April 1985. Pada tahun berikutnya diterbitkan Undang -undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan kemudian Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai yang berlaku efektif sejak tanggal 1 Januari 1986. Untuk mening katkan kesadaran masyarakat akan kewajibannya untuk membayar pajak, maka Undang-undang tersebut menetapkan bahwa wajib pajak menghitung dan menyetorkan sendiri pajak beserta laporan nya secara benar. IV/12 TABEL IV - 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) Repelita Jenis Penerimaan 1986/87 1987/88 9.447,1 5.263,5 8.719,7 8.326,3 1.492,9 1.697,3 1.074,1 1.327,5 1.200,7 10.429,9 11.144,4 6.337,6 10.047,2 9.527,0 1983/84 1984/85 Penerimaan dari minyak bumi 8.522,2 8.937,0 Penerimaan dari gas alam 998,0 9.520,2 Jumlah IV 1985/86 1988/89 IV/13 GRAFIK IV - 3 PENERIMAAN MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1983/84 - 1988/89 IV/14 Dalam upaya mempercepat proses pemahaman masyarakat ten tang pentingnya arti pajak bagi kelangsungan pembangunan nasional, dan bahkan kelangsungan kehidupan negara, secara intensif telah dilakukan penyuluhan perpajakan melalui berbagai penerangan dan kampanye tentang pelaksanaan sistem perpajakan yang baru. Di samping itu, dilakukan pula peningkatan pela yanan dengan melakukan komputerisasi untuk mendukung tugas tugas yang semakin berat. Hasil dari upaya ini terlihat de ngan semakin besarnya jumlah wajib pajak berkat kesadaran membayar pajak yang semakin tinggi serta semakin meningkatnya efisiensi administrasi perpajakan. Upaya pengerahan sumber penerimaan bukan pajak, terutama penerimaan dari laba bank dan BUMN lainnya serta penerimaan dari departemen/lembaga juga terus mendapat penanganan. Upaya yang diuraikan di atas ini memperlihatkan hasil yang amat menggembirakan, seperti yang terlihat dari sumbangan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam terhadap pene rimaan dalam negeri. Apabila pada akhir Repelita III sumber penerimaan negara dari sektor di luar minyak bumi dan gas alam baru mencapai Rp 4.912,5 milyar, atau hanya 34,0% dari keseluruhan penerimaan dalam negeri, maka selama Repelita IV penerimaan sektor ini terus meningkat, sehingga pada tahun 1988/89 telah mampu memberikan sumbangan sebesar Rp 13.477,3 milyar, atau 58,6% dari seluruh penerimaan dalam negeri. Adapun untuk tahun 1984/85, 1985/86, 1986/87 dan 1987/88, reali sasi penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam masing-masing adalah sebesar Rp 5.475,6 milyar, Rp 8.108,4 milyar, Rp 9.803,0 milyar dan Rp 10.756,1 milyar. Dengan demikian selama Repelita IV penerimaan dari sektor ini meningkat ratarata sebesar 22,4% per tahun. Perkembangan penerimaan di luar minyak bumi dan gas alam dari tahun 1983/84 sampai 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-4 dan Grafik IV-4. Sejak diterapkannya sistem perpajakan yang baru, maka realisasi penerimaan dari sektor pajak terus meningkat. Apabila dalam tahun 1984/85 peranan penerimaan dari sektor pajak terhadap penerimaan dalam negeri hanya sebesar 30,1%, maka pada tahun 1985/86 dan 1986/87 masing-masing meningkat menjadi 34,4% dan 47,4%. Sebagai akibat dari meningkatnya harga ekspor minyak, maka dalam tahun 1987/88 peranan sektor ini mengalami sedikit penurunan menjadi 42,2%. Selanjutnya pada tahun terakhir Repelita IV, peranannya meningkat kembali men jadi 51,8%. Kenaikan tersebut terjadi pada hampir semua jenis penerimaan pajak. IV/15 TABEL IV - 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1) Sebelum REPELITA IV terdiri atas Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, MPO dan PDBR. 2) Sebelum tahun 1985/86 terdiri atas Pajak Penjualan dan Pajak Penjualan Impor. 3) Sebelum Januari 1986, termasuk Pajak Kekayaan. 4) Sejak pelaksanaan UU tentang PBB (1 Januari 1986), jumlah penerimaan ini menggantikan IPEDA dan Pajak Kekayaan, sebelum 1 Januari 1986 hanya merupakan penerimaan IPEDA. 5) Dalam realisasi tahun 1986/87, termasuk penerimaan dari hasil penjualan BBM sebesar Rp 1.010 milyar. IV/16 GRAFIK IV — 4 PENERIMAAN DI LUAR MINYAK BUMI DAN GAS ALAM, 1983/84 — 1988/89 IV/17 Realisasi penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) selama pelaksanaan Repelita IV selalu menunjukkan peningkatan yang berarti kecuali untuk tahun 1986/87 yang sedikit menurun di bandingkan tahun sebelumnya. Apabila realisasi penerimaan pa jak penghasilan pada tahun 1984/85 baru mencapai Rp 2.121,0 m i l ya r , m a ka pa d a t ah u n 1 9 8 5/ 8 6 telah meningkat menjadi R p 2.313,0 milyar. Dalam tahun 1986/87, penerimaan pajak penghasilan sedikit menurun menjadi Rp 2.270,5 milyar. Selan jutnya untuk tahun 1987/88 dan tahun 1988/89, realisasi penerimaan pajak penghasilan meningkat secara berarti, masing masing menjadi Rp 2.663,4 milyar dan Rp 3.949,4 milyar. Meningkatnya realisasi dalam tahun 1988/89, disamping disebabkan oleh semakin membaiknya perekonomian nasional dan pengenaan pajak penghasilan dari bunga deposito yang sebelumnya ditang guhkan, juga disebabkan oleh semakin meningkatnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Apabila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III, maka realisasi penerimaan pajak p e n gh a si l an p ad a t a hu n 19 8 8/ 8 9 telah meningkat sebesar R p 2.017,1 milyar atau meningkat rata-rata sebesar 15,4% per tahun. Selanjutnya bila dibandingkan dengan tahun pertama pe laksanaan Undang-undang pajak penghasilan yang baru, yaitu tahun 1984/85, maka realisasi penerimaan pajak ini telah meningkat sebesar Rp 1.828,4 milyar atau meningkat rata-rata sebesar 16,8% per tahun. Sementara itu realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai selama Repelita IV juga menunjukkan peningkatan yang ber arti. Apabila pada tahun 1984/85 penerimaan pajak pertambahan nilai baru mencapai Rp 878,0 milyar, maka pada tahun 1985/86 telah meningkat pesat menjadi Rp 2.326,7 milyar. Peningkatan yang cukup besar ini terutama disebabkan oleh berlaku efek tifnya pajak pertambahan nilai sebagai pengganti pajak penjualan dan pajak penjualan impor. Dalam tahun-tahun selanjutnya, realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai terus me ningkat masing-masing menjadi Rp 2.900,1 milyar pada tahun 1986/87, Rp 3.390,4 milyar pada tahun 1987/88 dan Rp 4.505,4 milyar pada tahun 1988/89. Peningkatan realisasi penerimaan dari pajak pertambahan nilai pada tahun 1988/89 yang cukup besar, yaitu sebesar 32,9%, antara lain juga disebabkan oleh mulai berlakunya pajak pertambahan nilai atas jasa telepon, dan pengangkutan udara domestik, serta kenaikan tarif pajak penjualan atas beberapa jenis barang-barang mewah. Bila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III, maka penerimaan pajak pertambahan nilai pada tahun 1988/89 telah meningkat sebesar Rp 3.674,7 milyar atau rata-rata sebesar 40,2% per tahun. Selanjutnya bila dibandingkan dengan tahun 1985/86, yaitu tahun pertama sejak berlakunya secara efektif Undang - IV/18 undang Pajak Pertambahan Nilai, maka realisasi penerimaan pajak pertambahan nilai pada tahun 1988/89 mengalami peningkatan sebesar Rp 2.178,6 milyar atau rata-rata sebesar 24,6% per tahun. Dalam pada itu, realisasi penerimaan bea masuk selama Repelita IV juga menunjukkan perkembangan yang cukup menggem birakan kecuali untuk tahun 1984/85 dan tahun 1987/88 yang sedikit menurun dibandingkan tahun sebelumnya. Apabila pada tahun 1984/85 penerimaan bea masuk baru mencapai Rp 530,1 milyar, maka pada tahun 1985/86 dan tahun 1986/87 meningkat masing-masing menjadi Rp 607,3 milyar dan Rp 960,1 milyar. Meskipun pada tahun 1987/88, penerimaan bea masuk sedikit menurun, yaitu menjadi Rp 938,4 milyar, dalam tahun 1988/89 penerimaan ini meningkat kembali menjadi Rp 1.191,9 milyar. Kenaikan penerimaan bea masuk pada tahun 1988/89 terutama disebabkan oleh berbagai upaya penyempurnaan dan efisiensi pelaksanaannya serta digantikannya sistem pengaturan bukan tarif dengan sistem pengaturan melalui tarif. Apabila dibandingkan dengan penerimaan bea masuk pada akhir Repelita III sebesar Rp 557,0 milyar, maka penerimaan bea masuk pada tahun 1988/89 mengalami peningkatan sebesar Rp 635,0 milyar, atau meningkat rata-rata sebesar 16,4% per tahun. Selama Repelita IV realisasi penerimaan cukai, yang terdiri dari cukai hasil tembakau, gula dan alkohol sulingan, selalu menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun. Apabila pada tahun 1984/85 realisasi penerimaan cukai hanya berjumlah Rp 872,6 milyar, maka dalam tahun-tahun selanjutnya penerimaan ini meningkat masing-masing menjadi Rp 943,7 milyar pada ta h un 1 9 85 / 86 , R p 1. 0 5 5, 8 m il y ar p a d a tahun 1986/87, R p 1.105,7 milyar pada tahun 1987/88 dan Rp 1.389,9 milyar pada tahun 1988/89. Apabila dibandingkan dengan penerimaan cu k ai pa d a t ah u n t er a k hi r R e pe l it a I I I yang berjumlah R p 773,2 milyar, maka penerimaan cukai pada tahun 1988/89 telah meningkat sebesar Rp 616,7 milyar sehingga selama Repe lita IV meningkat rata-rata sebesar 12,4% per tahun. Meningkatnya penerimaan cukai ini terutama disebabkan oleh meningkatnya produksi rokok kretek mesin, yang amat menentukan bagi peningkatan penerimaan cukai tembakau, serta oleh penyesuaian harga dasar penetapan cukai beberapa jenis gula pasir produk dalam negeri dan gula pasir eks impor. Sehubungan dengan pengenaan cukai tembakau, kebijaksanaan selama Repelita IV, se lain diarahkan untuk meningkatkan sumbangan yang semakin besar kepada penerimaan negara, juga diarahkan untuk mendorong perkembangan industri tembakau yang banyak menyerap tenaga kerja. IV/19 Kebijaksanaan pajak ekspor selama Repelita IV di samping diarahkan untuk menambah penerimaan negara, terutama diarahkan untuk mendorong peningkatan pengolahan produk -produk ekspor yang pada gilirannya akan dapat memberikan kenaikan nilai tambah pada setiap satuan produk yang diekspor. Realisasi penerimaan pajak ekspor selama Repelita IV berturut -turut adalah sebesar Rp 91,0 milyar pada tahun 1984/85, Rp 50,5 milyar pada tahun 1985/86, Rp 78,8 milyar pada tahun 1986/87, Rp 183,5 milyar pada tahun 1987/88 dan Rp 155,6 milyar pada tahun 1988/89. Apabila dibandingkan dengan tahun 1983/84, maka penerimaan pajak ekspor pada tahun terakhir Repelita IV meningkat sebesar Rp 51,6 milyar. Peningkatan ini antara lain disebabkan oleh pengenaan pajak ekspor terhadap bahan mentah dalam upaya mendorong ekspor barang setengah jadi dan barang jadi. Kebijaksanaan di bidang pajak bumi dan bangunan, di samping untuk memperbesar penerimaan negara, juga diarahkan untuk meningkatkan produktivitas tanah dan bangunan serta untuk menghindarkan masyarakat dari beban ganda atas kekayaan yang dimilikinya. Selama tahun-tahun pelaksanaan Repelita IV realisasi penerimaan pajak bumi dan bangunan selalu memperli hatkan peningkatan, terutama sejak dilaksanakannya Undangundang tentang pajak bumi dan bangunan mulai 1 Januari 1986. Apabila pada tahun 1984/85 realisasi penerimaan baru mencapai Rp 157,2 milyar, maka pada tahun 1985/86 telah meningkat men jadi Rp 167,5 milyar. Dalam tahun-tahun selanjutnya meningkat lagi berturut-turut menjadi Rp 190,0 milyar pada tahun 1986/87, Rp 275,1 milyar pada tahun 1987/88 dan Rp 424,2 mil yar pada tahun 1988/89. Apabila dibandingkan dengan penerimaan pajak bumi dan bangunan pada akhir Repelita III, yaitu ketika masih berupa Ipeda dan pajak kekayaan, maka penerimaan pajak bumi dan bangunan antara tahun 1983/84 dan 1988/89 me ningkat dengan rata-rata sebesar 26,2% per tahun. Peningkatan yang cukup besar khususnya dalam tahun 1988/89 dapat dicapai karena adanya penyesuaian nilai jual obyek pajak dari pajak bumi dan bangunan. Selain itu, upaya pembaharuan pendataan yang dilakukan terus menerus, diupayakannya penyempurnaan petunjuk operasional di daerah, ditingkatkannya kegiatan peman tauan dan penagihan serta perluasan pemungutan yang telah di lakukan bersama-sama aparat pemerintah daerah, semuanya telah memberikan sumbangan yang besar kepada peningkatan penerimaan dari pajak bumi dan bangunan. Jumlah penerimaan pajak lainnya terus meningkat dari ta hun ke tahun kecuali untuk tahun 1986/87 yang sedikit menurun IV/20 dibandingkan tahun sebelumnya. Apabila pada tahun 1984/85 pe nerimaan dari pajak lainnya hanya mencapai Rp 138,4 milyar, maka pada tahun 1985/86 telah meningkat menjadi Rp 208,2 mil yar. Namun pada tahun 1986/87, penerimaan ini sempat sedikit menurun menjadi Rp 190,4 milyar dan kemudian meningkat bertu r u t -t u ru t me n ja d i R p 2 2 2 ,9 m il y ar p ad a t ahun 1987/88 dan R p 292,1 milyar pada tahun 1988/89. Bila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III, penerimaan pada tahun 1988/89 telah meningkat sebesar Rp 228,1 milyar atau meningkat ratarata sebesar 35,5% per tahun. Kenaikan jenis pajak ini antara lain disebabkan oleh diberlakukannya peraturan baru mengenai bea meterai sejak 1 Januari 1986, meningkatnya penggunaan me terai dalam berbagai kegiatan ekonomi dan meningkatnya upaya penyempurnaan dari pelaksanaan lelang yang terus dilakukan. Di sektor penerimaan bukan pajak realisasi penerimaan untuk tahun 1988/89 adalah sebesar Rp 1.568,8 milyar. Dibandin gk a n d e ng a n r e al i sa s i pe n er i ma a n t a hu n terakhir Repe l i t a III, maka penerimaan bukan pajak pada tahun 1988/89 ada lah Rp 1.049,8 milyar lebih besar sehingga selama Repelita IV telah terjadi peningkatan rata-rata 24,8% per tahun. Peningkatan tersebut tidak terlepas dari upaya intensifikasi pemungutan penerimaan bukan pajak yang dikelola oleh berbagai de partemen/lembaga non departemen serta upaya peningk atan efisiensi BUMN. 2. Pengeluaran Rutin Kebijaksanaan di bidang pengeluaran rutin diarahkan untuk menunjang kelancaran kegiatan pembangunan baik di pusat maupun di daerah. Untuk itu dilakukan berbagai upaya, antara lain melalui peningkatan kesejahteraan dan motivasi kerja aparatur pemerintah, penyediaan dana operasional untuk ber bagai kegiatan pemerintahan dan pemeliharaan kekayaan negara serta pemeliharaan stabilitas harga dari beberapa jenis ba rang kebutuhan pokok masyarakat. Di samping itu, kebija ksanaan pengeluaran rutin diarahkan juga untuk menunjang terciptanya tabungan pemerintah secara memadai serta untuk lebih men dorong pembelian hasil produksi dalam negeri. Dalam tahun terakhir Repelita IV jumlah pengeluaran ru tin telah meningkat menjadi Rp 20.739,0 milyar atau 146,5% lebih tinggi dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III. Dengan demikian selama Repelita IV pengeluaran rutin telah meningkat dengan rata-rata sebesar 19,8% per tahun. Meningkatnya pengeluaran rutin ini terutama disebabkan oleh dua IV/21 hal. Pertama adalah meningkatnya pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri sehubungan dengan kenaikan nilai tukar be berapa mata uang negara industri terhadap dollar Amerika Se rikat. Kedua adalah meningkatnya belanja pegawai sebagai akibat dari tambahan formasi pegawai, terutama untuk tenaga guru dan paramedis, serta diadakannya beberapa kali kenaikan gaji pegawai. Perkembangan pengeluaran rutin dari tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV -5 dan Grafik IV-5. Dalam tahun 1988/89 realisasi belanja pegawai meningkat menjadi Rp 4.998,2 milyar atau meningkat sebesar Rp 2.241,2 milyar dari realisasi tahun terakhir Repelita III. Dengan de mikian selama Repelita IV belanja pegawai telah meningkat ra ta-rata sebesar 12,6% per tahun. Seperti disebutkan di atas, peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh adanya tambahan pengeluaran untuk menampung tambahan pegawai negeri sipil dan ABRI, kenaikan pangkat/golongan, kenaikan gaji berkala, tunjangan keluarga, tunjangan beras, uang makan (lauk-pauk) dan tambahan belanja pegawai luar negeri sebagai akibat dari ada nya penyesuaian kurs rupiah terhadap valuta asing. Selama Re pelita IV gaji pegawai negeri sipil dan ABRI telah dinaikkan sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 1984/85 sebesar 15,0%, tahun 1985/86 sebesar 20,0% termasuk kenaikan pensiun sebesar 27,0% - 59,0% dan pada tahun 1988/89 sebesar 10,0% terhitung sejak bulan Januari 1989. Realisasi belanja pegawai dari ta hun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-6. Dalam pada itu, untuk belanja barang tetap diupayakan langkah-langkah penghematan dan efisiensi serta penggunaannya tetap mengutamakan barang-barang hasil produksi dalam negeri yang dihasilkan oleh para pengusaha golongan ekonomi lemah dan pengusaha setempat. Langkah-langkah penghematan yang ditempuh antara lain berupa pembatasan kegiatan -kegiatan rapat kerja, seminar, pemakaian telepon, listrik, perjalanan dinas dan kegiatan-kegiatan lain yang tidak mendesak. Realisasi be l a n j a b a r a n g p a d a t a h u n 1 9 8 8 / 8 9 me nc ap ai j u ml ah se be sa r R p 1.491,6 milyar atau Rp 434,5 milyar lebih tinggi dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III. Dengan demikian selama Repelita IV belanja barang telah meningkat rata-rata sebesar 7,1% per tahun. Realisasi subsidi daerah otonom pada tahun 1988/89 telah meningkat menjadi Rp 3.037,7 milyar atau Rp 1.490,7 milyar IV/22 TABEL IV - 5 PENGELUARAN RUTIN, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1) 2) 3) 4) Angka diperbaiki Termasuk subsidi BBM Termasuk restitusi pajak Tanpa subsidi BBM IV/23 GRAFIK IV - 8 PENGELUARAN RUTIN, 1983/84 - 1988/89 IV/24 lebih tinggi dibandingkan realisasi tahun terakhir Repe lita III, atau telah meningkat rata-rata sebesar 14,4% per tahun. Peningkatan tersebut erat kaitannya dengan upaya untuk lebih memperlancar pelaksanaan kegiatan rutin di daerah, baik dalam bentuk belanja pegawai maupun dalam bentuk dan belanja non pegawai. Belanja pegawai dalam subsidi daerah otonom antara lain digunakan untuk membiayai gaji guru-guru Inpres, tenaga medis dan perawat di daerah serta untuk gaji lurah dan perangkatnya. Sedangkan belanja non pegawai dalam subsidi daerah otonom antara lain digunakan untuk menampung pengeluaran bagi kebutuhan pengadaan kebutuhan administrasi dan perlengkapan kantor daerah, tunjangan pamong desa daerah minus serta bantuan dekonsentrasi kecamatan. Sebagaimana telah disebutkan di atas, salah satu unsur terbesar dari pengeluaran rutin adalah pembayaran bunga dan cicilan hutang, khususnya yang berasal dari luar negeri. Da lam tahun 1988/89 pengeluaran untuk pembayaran bunga dan cicilan hutang baik dari dalam maupun luar negeri mencapai jum lah Rp 10.940,2 milyar. Selama Repelita IV pembayaran bunga dan cicilan hutang telah meningkat rata -rata sebesar 39,1% per tahun. Peningkatan tersebut terutama disebabkan oleh kenaikan nilai tukar mata uang yen Jepang dan beberapa mata uang lainnya terhadap dollar Amerika Serikat sehingga mening katkan pembayaran dalam mata uang dollar Amerika Serikat, yang pada gilirannya meningkatkan pembayaran dalam Rupiah. Adapun realisasi pengeluaran rutin lain-lainnya selama Repelita IV berturut-turut adalah sebesar Rp 539,5 milyar pa d a ta h un 1 9 84 / 85 , R p 7 5 4, 0 mi l y ar p ad a tahun 1985/86, R p 145,0 milyar pada tahun 1986/87, Rp 515,1 milyar pada ta hun 1987/88 dan sebesar Rp 271,3 milyar pada tahun 1988/89. Realisasi untuk tahun 1988/89 ini merupakan penurunan sebesar Rp 243,8 milyar apabila dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1987/88. Penurunan ini terutama disebabkan oleh menu runnya subsidi BBM, baik sebaga i akibat dari harga minyak yang relatif rendah maupun oleh meningkatnya efisiensi peng olahan minyak di dalam negeri. 3. Dana Pembangunan dan Pengeluaran Pembangunan Dalam Repelita IV kegiatan pembangunan semakin meluas dan meningkat di berbagai bidang, sehingga diperlukan penyediaan dana yang semakin besar. Sumber dana pembangunan yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ber asal dari tabungan pemerintah dan dari bantuan luar negeri. IV/25 IV/26 TABEL IV - 6 BELANJA PEGAWAI, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) Repelita Jenis Pengeluaran IV 1983/84 1984/85 1985/86 1986/87 346,1 407,0 402,0 406,1 450,6 518,3 2. Gaji pegawai/pensiun 1.996,0 2.206,6 3.072,6 3.330,0 3.561,0 3.832,7 3. Uang makan/lauk pauk 261,3 271,4 300,4 288,3 299,1 326,9 87,6 89,7 161,1 176,6 176,3 185,1 66,0 72,1 82,2 109,6 129,9 135,2 2.757,0 3.046,8 4.018,3 4.310,6 4.616,9 4.998,2 1. Tunjangan beras 1987/88 1988/89 4. Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 5. Belanja pegawai luar negeri Jumlah IV/26 Dana pembangunan ini seluruhnya dipergunakan untuk membiayai pengeluaran pembangunan. Perkembangan pengeluaran pembangunan selama Repelita IV mengalami pasang surut. Dalam tahun perta ma Repelita IV, pengeluaran pembangunan meningkat sedikit menjadi Rp 9.951,9 milyar dibanding dengan Rp 9.899,2 milyar dalam tahun sebelumnya. Pada tahun kedua Repelita IV (1985/86) pengeluaran tersebut meningkat menjadi Rp 10.873,1 milyar, dan kemudian dalam tahun 1986/87 menurun menjadi Rp 8.332,0 milyar. Penurunan ini merupakan akibat dari merosotnya harga minyak di pasaran dunia dan meningkatnya kurs beberapa mata uang utama dunia yang meningkatkan beban pembayaran hutang Indonesia. Karena perkembangan tersebut, telah dimanfaatkan bantuan khusus yang bersifat lunak dan dapat segera dicai rkan untuk mendukung neraca pembayaran dan anggaran pembangunan. Dalam tahun 1987/88 dan tahun 1988/89 realisasi pengeluaran pembangunan meningkat kembali masing-masing menjadi Rp 9.477,4 milyar dan Rp 12.250,7 milyar. Apabila dibandingkan dengan jumlah realisasi selama Repelita III, maka jumlah realisasi pengeluaran pembangunan selama Repelita IV adalah 49% lebih besar. Perkembangan realisasi jumlah pengeluaran pembangunan termasuk bantuan proyek dalam periode tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat diikuti pada Tabel IV-7 dan Grafik IV-6, serta Tabel IV-8 dan Grafik IV-7. Pengeluaran pembangunan tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek pembangunan dalam berbagai program pembangunan yang tersebar di berbagai sektor pembangunan di ber bagai daerah. Realisasi pengeluaran pembangunan dalam sektor pertamb a n ga n da n en e rg i yan g p ad a ta h un 1 98 4 /85 baru mencapai R p 1.147,7 milyar telah meningkat menjadi Rp 2.073,4 milyar pada tahun 1988/89. Namun apabila dibandingkan dengan tahun terakhir Repelita III yang mencapai Rp 2.299,7 milyar, maka realisasi dalam tahun 1988/89 mengalami penurunan sebesar 9,8%. Pengeluaran pembangunan dalam sektor ini terutama digu nakan untuk membiayai pembangunan di bidang listrik, kegiat an-kegiatan pengembangan pertambangan serta diversifikasi sumber-sumber energi. Pengeluaran pembangunan untuk sektor perhubungan dan pariwisata dalam tahun 1988/89 mencapai jumlah Rp 2.010,5 milyar atau meningkat sebesar 31,6% dibandingkan dengan reali sasi tahun terakhir Repelita III. Pengeluaran tersebut terutama digunakan untuk melanjutkan kegiatan berbagai pemba ngunan, antara lain perbaikan maupun pemeliharaan prasarana IV/27 TABEL IV - 7 IV/28 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI, 1983/84 -1988/89 (milyar rupiah) IV/28 GRAFIK IV – 8 PERKEMBANGAN DANA PEMBANGUNAN, TABUNGAN PEMERINTAH DAN DANA BANTUAN LUAR NEGERI 1983/84 - 1988/89 IV/29 TABEL IV - 8 PENGELUARAN PEMBANGUNAN MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) IV/30 (Lanjutan Tabel IV – 8) IV/31 GRAFIK IV - 7 PENGELUARAN PEMBANGUNAN, 1983/84 - 1988/89 IV/32 perhubungan, baik di darat, laut maupun udara, serta pos dan telekomunikasi, dan untuk membiayai berbagai kegiatan pem bangunan di subsektor pariwisata yang diharapkan dapat memperluas kesempatan kerja dan kesempatan berusaha serta meningkatkan penerimaan devisa. Pengeluaran pembangunan sektor pertanian dan pengairan pada tahun 1988/89 mencapai jumlah Rp 1.614,0 milyar dibandingkan dengan Rp 912,9 milyar dalam tahun 1983/84. Pengeluaran tersebut digunakan antara lain untuk peningkatan produksi tanaman pangan, produksi peternakan dan perikanan serta perkebunan, sejalan dengan upaya penganekaragaman produksi pertanian, peningkatan ekspor di luar migas, perluasan kesempatan kerja serta perbaikan pendapatan petani. Dengan demi kian sektor pertanian diharapkan makin dapat memberi dukungan pada bidang-bidang pembangunan lainnya, khususnya sektor industri. Realisasi pengeluaran pembangunan sektor pendi dikan, generasi muda, kebudayaan nasional dan kepercayaan terhadap Tu han Yang Maha Esa dalam tahun 1988/89 mencapai jumlah sebesar Rp 1.606,0 milyar, atau selama Repelita IV meningkat rata rata sebesar 9,2% per tahun. Pengeluaran pembangunan tersebut digunakan untuk membiayai berbagai program pembangunan pendidikan di berbagai jenjang pendidikan berupa pembangunan sara na dan prasarana pendidikan dalam rangka peningkatan mutu dan perluasan kesempatan memperoleh pendidikan. Sektor lain yang mendapat prioritas tinggi adalah sektor pembangunan daerah, desa dan kota. Selama Repelita IV realisasi pengeluaran pembangunan sektor ini selalu meningkat ke cuali pada tahun 1987/88 yang sedikit menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Apabila dalam tahun terak hir Repelita III pengeluaran ini berjumlah Rp 748,7 milyar, maka da lam tahun 1988/89 pengeluaran tersebut telah meningkat menja di Rp 1.137,4 milyar atau meningkat sebesar 51,9%. Pengeluar an pembangunan tersebut mencakup terutama program-program Inpres yang dilaksanakan selaras dengan pembangunan sektoral. Program-program tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan ke giatan masyarakat khususnya di daerah pedesaan, sehingga ke sempatan kerja dan penghasilan masyarakat di daerah pedesaan dapat meningkat. Pengeluaran pembangunan terdiri dari pengeluaran pem bangunan di luar bantuan proyek dan pengeluaran pembangunan IV/33 bantuan proyek. Pengeluaran pembangunan di luar bantuan pro yek dapat dikelompokkan lebih lanjut berdasarkan jenis pem biayaannya, yang terdiri dari pembiayaan departemen/lembaga, pembiayaan pembangunan bagi daerah dan pembiayaan pembangunan lainnya. Perkembangan realisasi pengeluaran pembangunan ini sejak tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat diikuti pada Tabel IV-9. Pembiayaan pembangunan melalui departemen/lembaga ditujukan untuk membiayai pembangunan sektoral yang tanggung ja wab pengelolaannya dilakukan oleh masing-masing departemen/ lembaga yang bersangkutan. Realisasi pengeluaran untuk tahun 1988/89 adalah Rp 1.861,3 milyar yang merupakan suatu penurunan sebesar Rp 251,4 milyar atau sebesar 11,9% dibanding dengan tahun sebelumnya. Jumlah ini adalah 42,2% lebih rendah dibandingkan dengan realisasi tahun 1983/84. Realisasi pembiayaan pembangunan bagi daerah, yang mencakup bantuan pembangunan daerah dalam bentuk berbagai program Inpres serta bantuan pembangunan daerah melalui hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), mencapai Rp 1.485,7 milyar dalam tahun 1988/89. Pengeluaran pembiayaan pembangun an tersebut dipergunakan untuk Bantuan Pembangunan Desa, Bantuan Pembangunan Kabupaten/Kotamadya, Bantuan Pembangunan Da ti I, Bantuan Pembangunan Sekolah Dasar, Bantuan Pembangunan Kesehatan/Puskesmas, Bantuan Pembangunan dan Pemugaran Pasar, Bantuan Penghijauan serta Bantuan Penunjangan Jalan dan Jembatan Kabupaten. Selain itu Pembiayaan Pembangunan bagi Dae rah ini mencakup hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang penggunaannya ditentukan oleh daerah. Dalam tahun 1988/89 bantuan pembangunan desa mencapai jumlah sebesar Rp 112,0 milyar, yang berarti mengalami kenaikan sebesar 9,6% dibanding dengan tahun 1987/88. Jumlah tersebut mencakup pula bantuan sebesar Rp 300,0 ribu untuk kegiatan Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) bagi tiap de sa. Realisasi bantuan pembangunan kabupaten/kotamadya pada tahun 1988/89 mencapai Rp 267,2 milyar, atau mengalami peningkatan sebesar 37,7% dibandingkan dengan pengeluaran pada ta hun 1983/84. Pemberian bantuan tersebut didasarkan atas per hitungan Rp 1.450,0 per jiwa; sedangkan untuk daerah yang jarang penduduknya ditetapkan jumlah minimum sebesar Rp 170,0 juta setiap Kabupaten. Bantuan ini digunakan untuk membiayai IV/34 TABEL IV - 9 PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1) Termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah. IV/35 berbagai proyek prasarana perhubungan dan produksi serta pro yek-proyek lain yang bertujuan untuk meningkatkan mutu ling kungan hidup. Realisasi bantuan pembangunan Dati I juga terus mening kat. Pada tahun 1983/84 bantuan tersebut mencapai Rp 253,0 milyar dan pada tahun 1988/89 telah meningkat menjadi Rp 334,3 milyar atau naik sekitar 32,1%. Bantuan ini digunakan untuk membiayai berbagai pembangunan dalam lingkungan Daerah Tingkat I, antara lain untuk perbaikan jalan dan jembatan serta perbaikan irigasi. Selain itu, kegiatan ini dimaksudkan untuk makin meningkatkan keselarasan antara pembangunan sektoral dan pembangunan regional, meratakan hasil-hasil pembangunan dan meningkatkan keserasian antara laju pertumbuhan ekonomi daerah-daerah, serta meningkatkan peran serta daerah dalam pembangunan. Besarnya bantuan tersebut didasarkan pada bantuan minimum tiap propinsi maksimum sebesar Rp 12,0 milyar. Realisasi bantuan pembangunan sekolah dasar dalam tahun 1988/89 mencapai Rp 130,5 milyar, atau mengalami penurunan sebesar 76,2% dari realisasi tahun 1983/84. Bantuan ini menu run karena kebutuhan akan prasarana sekolah dasar di beberapa daerah sudah makin terpenuhi. Bantuan ini ditujukan untuk memperluas kesempatan belajar bagi semua anak usia sekolah dasar, terutama yang berada di daerah terpencil, daerah transmigrasi dan pemukiman baru. Untuk mencapai itu dana ter sebut digunakan untuk pembangunan dan rehabilitasi gedung -gedung sekolah, penambahan ruling kelas, pembangunan rumah kepala sekolah dan guru di daerah terpencil, serta penyediaan peralatan olahraga, penyediaan buku bacaan dan buku paket A. Dalam tahun 1988/89 realisasi bantuan pembangunan kesehatan/puskesmas mencapai jumlah Rp 98,6 milyar. Jumlah ini mengalami kenaikan sebesar 12,9% dari realisasinya pada tahun 1983/84. Bantuan yang diberikan sejak tahun 1974/75 ini digu nakan untuk pembangunan puskesmas pembantu, rumah dokter dan paramedis serta rehabilitasi puskesmas dan puskesmas pembantu. Selain itu, bantuan ini digunakan pula untuk penyediaan obat-obatan dan penyediaan air bersih di pedesaan, serta untuk melatih dan untuk penempatan tenaga medis dan paramedis. Bantuan pembangunan dan pemugaran pasar digunakan untuk pembayaran bunga kredit yang diperoleh pemerintah daerah untuk mendirikan pasar-pasar. Dengan bantuan ini pemerintah daerah dapat menyediakan tempat-tempat berjualan yang sewanya terjangkau oleh pedagang kecil golongan ekonomi lemah yang IV/36 pada umumnya berpenghasilan rendah. Besarnya realisasi ban tuan ini dalam tahun 1988/89 mencapai Rp 3,0 milyar, yang berarti sesuai dengan rencananya dalam APBN, namun merupakan penurunan sebesar 71,7% jika dibandingkan dengan pengeluaran tahun anggaran 1983/84. Realisasi bantuan pembangunan untuk penghijauan dalam tahun anggaran 1988/89 mencapai Rp 16,5 milyar. Jumlah ini merupakan kenaikan sebesar 1,9% dibandingkan dengan penge luaran tahun 1987/88, namun merupakan penurunan sebesar 72,2% dibandingkan dengan tahun 1983/84. Bantuan ini diberikan untuk pengelolaan sumber-sumber daya alam khususnya di daerah kritis, serta untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan hidup. Selanjutnya, bantuan penunjangan jalan dan jembatan ka bupaten dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan menggairahkan kegiatan ekonomi daerah, memperlancar arus pengangkutan dan distribusi, serta untuk menunjang proyek proyek pembangunan di daerah. Realisasi bantuan penunjangan jalan dan jembatan untuk kabupaten pada tahun 1988/89 adalah sebesar Rp 180,0 milyar, yang merupakan peningkatan sebesar Rp 115,4 milyar atau 178,6% dibandingkan dengan realisasi tahun anggaran 1983/84. Selanjutnya realisasi pembiayaan pembangunan bagi daerah melalui hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam tahun 1988/89 mencapai Rp 343,6 milyar, yang merupakan suatu peningkatan yang cukup berarti dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Dengan berlakunya Undang-undang Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 yang berlaku efektif sejak 1 Januari 1986, maka dana pembangun an yang semula berasal dari Ipeda digantikan oleh dana yang ber asal dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Sesuai dengan keten tuan yang berlaku, 90,0% dari hasil penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan setelah dikurangi dengan biaya pemungutan sebesar 10,0% diserahkan kepada pemerintah daerah dengan perimbangan Pemerintah Daerah Tingkat I memperoleh sebesar 20% dan Peme rintah Daerah Tingkat II memperoleh sebesar 80%. Selama Repe lita IV hasil penerimaan ini telah meningkat dengan rata-rata sebesar 21,0% per tahun. Adapun pengeluaran pembiayaan lainnya yang terdiri dari subsidi pupuk, penyertaan modal pemerintah, dan lain -lain pengeluaran pembangunan, dalam tahun 1988/89 mencapai Rp 953,7 milyar. Realisasi ini lebih rendah 30,1% dari realisasi tahun terakhir Repelita III. IV/37 Kebijaksanaan dalam pembiayaan subsidi pupuk pada hake katnya berhubungan erat dengan program pemantapan swasembada pangan, terutama beras, dengan menyediakan pupuk bagi petani pada tingkat harga yang terjangkau dan stabil. Subsidi pupuk pada tahun 1988/89 mencapai Rp 200,0 milyar, berarti meng alami penurunan sebesar Rp 556,4 milyar atau 73,6% dibandingkan dengan tahun 1987/88 dan penurunan sebesar Rp 124,2 milyar atau 38,3% dibandingkan dengan tahun 1983/84. Penurunan subsidi pupuk yang cukup besar pada tahun 1988/89 ini erat pula kaitannya dengan kebijaksanaan untuk menaikkan harga da sar gabah dan palawija, harga pestisida serta harga pupuk se jak bulan Januari 1989. Kebijaksanaan tersebut ditujukan untuk meningkatkan pendapatan pars petani dan sekaligus untuk lebih memantapkan swasembada pangan. Selanjutnya pembiayaan lainnya dalam bentuk penyertaan modal pemerintah digunakan dalam rangka meningkatkan laju pembangunan melalui pengembangan dunia usaha, khususnya badan usaha milik negara, dalam rangka meningkatkan produktivitas berbagai perusahaan negara yang bergerak di berbagai sektor pembangunan. Penyertaan modal pemerintah dalam tahun 1988/89 menurun menjadi sebesar Rp 125,0 milyar bila dibandingkan de ngan Rp 591,7 milyar dalam tahun 1983/84. Penurunan penyertaan modal pemerintah dalam beberapa tahun ini berkaitan dengan terbatasnya keuangan negara. Sementara itu realisasi pengeluaran pembiayaan lainnya dalam bentuk lain-lain pengeluaran pembangunan pada tahun 1988/89 mencapai Rp 628,7 milyar. Jumlah tersebut merupakan peningkatan sebesar Rp 114,2 milyar bila dibandingkan dengan realisasi pada tahun 1987/88 dan peningkatan sebesar Rp 180,0 milyar dibandingkan dengan realisasinya dalam tahun 1983/84. Pembiayaan lain-lain pengeluaran ini digunakan untuk melaksanakan berbagai program yang bersifat khusus, seperti sertifi kat ekspor, proyek keluarga berencana dan kependudukan, dana tanaman ekspor/PIR, prasarana bis kota, proyek air minuet daerah, pengembangan statistik, biaya sensus, monitori ng proyek di daerah tingkat I serta program pengelolaan sumber alam dan lingkungan hidup. Realisasi bantuan proyek mencerminkan pelaksanaan dari proyek-proyek yang sebagian dari pembiayaannya disediakan da ri bantuan luar negeri, yang mencakup proyek-proyek pembangunan penting, antara lain untuk sektor pertambangan dan energi, sektor perhubungan dan pariwisata, sektor pendidikan, serta sektor pertanian dan pengairan. Pengeluaran pembangunan IV/38 melalui bantuan proyek pada tahun 1988/89 mencapai jumlah se besar Rp 7.950,0 milyar, sedangkan pada tahun 1983/84 adalah sebesar Rp 3.867,5 milyar. Rincian realisasi pengeluaran pembangunan di luar bantuan proyek dan realisasi bantuan pro yek, menurut alokasi sektoral, dapat diikuti pada Tabel IV -10 dan Grafik IV-8 serta Tabel IV-11 dan Grafik IV-9. C. PERKEMBANGAN MONETER 1. Kebijaksanaan Moneter Kebijaksanaan moneter dalam Repelita IV diarahkan pada terwujudnya stabilitas moneter, yang antara lain terwujud da lam kestabilan harga yang mampu mendorong produksi dan in vestasi dan meningkatkan pengerahan tabungan masyarakat. Dalam hubungan itu telah diambil langkah kebijaksanaan yang mendasar berupa deregulasi di bidang moneter dan perbankan pada tanggal 1 Juni 1983. Salah satu aspek dari kebijak sanaan tersebut adalah penghapusan penetapan pagu atas kredit dan aktiva lainnya sebagai alat pengendali moneter secara langsung. Sejak itu pengendalian moneter makin mengandalkan pada alat-alat kebijaksanaan moneter tidak langsung, seperti penetapan cadangan wajib yang harus dipelihara oleh bank, operasi pasar terbuka serta penyediaan fasilitas diskonto. Aspek penting kedua dari kebijaksanaan ini adalah pengurangan ketergantungan pendanaan bank pada bank sentral melalui pe ngurangan macam dan pertumbuhan kredit likuiditas. Aspek lain dari kebijaksanaan ini adalah pemberian kebebasan yang lebih besar kepada bank untuk menetapkan suku bunga, baik untuk de posito maupun kredit, kecuali suku bunga kredit untuk beberapa sektor yang berprioritas tinggi. Kebijaksanaan 1 Juni 1983 tersebut merupakan langkah awal dari kebijaksanaan deregulasi di bidang moneter yang ditujukan untuk meningkatkan efisiensi dan kemampuan sektor perbankan dan lembaga keuangan lainnya agar sektor ini lebih mampu mengerahkan dana masyarakat bagi pembangunan. Selanjutnya dalam rangka pengendalian moneter secara tidak langsung melalui operasi pasar terbuka, sejak Pebruari 1984 diterbitkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan disedia kan fasilitas diskonto bagi bank-bank. SBI, selain digunakan sebagai slat pengendali moneter, juga dapat digunakan oleh perbankan sebagai sarana penanaman dana jangka pendek. Semen tara itu fasilitas diskonto dapat dimanfaatkan oleh bank -bank IV/39 TABEL IV - 10 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) IV/40 (Lanjutan tabel IV – 10) 1) Termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah IV/41 GRAFIK IV - 8 REALISASI PENGELUARAN PEMBANGUNAN DI LUAR BANTUAN PROYEK, 1 9 8 3 / 8 4 - 1 9 8 8 /8 9 IV/42 TABEL IV - 11 REALISASI BANTUAN PROYEK MENURUT SEKTOR DAN SUB SEKTOR, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) IV/43 (Lanjutan Tabel IV - 11) 1) Tidak termasuk bantuan proyek dalam bentuk rupiah. IV/44 GRAFIK IV - 9 REALISASI BANTUAN PROYEK, 1983/84 - 1988/89 I V /4 5 dengan tujuan memperlancar perputaran dana dan pengaturan likuiditas bank-bank. Bagi bank sentral fasilitas ini merupakan wahana untuk menjalankan fungsinya sebagai pemberi pinjaman terakhir (lender of the last resort). Selanjutnya, dalam bulan Pebruari 1985 dikeluarkan ketentuan tentang penerbitan dan perdagangan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU). Ketentuan tersebut dikeluarkan dalam rangka mengembangkan alat kebijaksanaan moneter tambahan yang dapat meningkatkan pengaturan likuiditas perekonomian melalui ope rasi pasar terbuka. Penerbitan SBPU tersebut dima ksudkan untuk mendorong perkembangan pasar uang yang sehat, termasuk penciptaan pasar sekunder untuk surat berharga jangka pendek. Dengan adanya fasilitas diskonto dan SBPU, maka bank akan me rasa lebih aman dan makin mampu mengatur dananya sehari -hari secara lebih efisien. Usaha penyempurnaan operasi pasar terbuka dilakukan an tara lain melalui peningkatan jangka waktu masa berlakunya SBI dan SBPU, penurunan denominasi SBPU dan penyempurnaan ta ts cars perdagangan SBI dan SBPU. Sejak Juli 1987 transaksi penjualan SBI dan SBPU dilakukan secara lelang sehingga suku bunga yang terjadi lebih mencerminkan situasi pasar yang se benarnya. Sementara itu, dalam tahun 1986 harga minyak merosot de ngan tajam dari sekitar US$ 25 setiap barel dalam bulan Januari menjadi di bawah US$ 10 setiap barel dalam bulan Agus tus. Untuk mengamankan cadangan devisa, kelangsungan pemba ngunan serta kelancaran perekonomian, pemerintah telah mende valuasikan Rupiah sebesar 31% pada tanggal 12 September 1986. Sebagai tindak lanjut dari devaluasi tersebut, antara lain telah diambil kebijaksanaan mengenai ketentuan fasilitas swap yang baru. Dalam kebijaksanaan tersebut pagu atas swap di tiadakan dan bank devisa dapat menentukan besar premi yang dikehendaki. Di samping itu, bank sentral menyediakan fasilitas swap ulang yang juga tidak dibatasi dengan pagu. Dalam rangka mengusahakan kesinambungan dan peningkatan pertumbuhan ekonomi serta memperluas kesempatan kerja, pada tanggal 27 Oktober 1988 telah ditetapkan serangkaian langkah-langkah kebijaksanaan yang berjangkauan luas di bidang keuangan, moneter dan perbankan. Paket kebijaksanaan tersebut ditujukan untuk menggalakkan pengerahan dana masyarakat, men dorong ekspor non migas, meningkatkan efisiensi perbankan dan IV/46 lembaga-lembaga keuangan lainnya, meningkatkan kemampuan pengendalian pelaksanaan kebijaksanaan moneter dan mendorong iklim pengembangan pasar modal. Langkah-langkah yang diambil dalam rangka meningkatkan pengerahan dana adalah perluasan jaringan keuangan dan perbankan ke seluruh wilayah Indonesia dan diversifikasi sarana pengerahan dana. Upaya tersebut antara lain meliputi kemudah an pembukaan kantor bank, pemberian izin pembukaan kantor ca bang lembaga keuangan bukan bank di luar Jakarta, kemudahan dalam pendirian bank swasta baru dan bank perkreditan rakyat, pemberian izin penerbitan sertifikat deposito bagi lembaga keuangan bukan bank, dan perluasan penyelenggaraan tabungan bagi semua bank melalui diversifikasi sarana pengerahan dana. Dalam upaya meningkatkan ekspor non migas, bank-bank yang memenuhi persyaratan kesehatan tertentu, baik bank pembangun an daerah, bank umum swasta nasional maupun bank umum kopera si, diberikan kemudahan untuk menjadi bank devisa. Di samping itu, diberikan pula kesempatan untuk mendirikan bank campuran baru antara satu atau lebih bank nasional dengan satu atau lebih bank asing di luar negeri. Lebih lanjut dalam upaya me ningkatkan peranan bank asing dalam menunjang kegiatan ekono mi, khususnya dalam rangka mendorong ekspor non migas, diberikan pula kemudahan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di beberapa kota besar tertentu yang merupakan daerah potensial bagi ekspor non migas. Selanjutnya dalam rangka meningkatkan rasa aman dan merangsang pemasukan modal dan dana luar negeri, mekanisme swap disempurnakan dengan memperpanjang jangka waktu swap dari maksimal enam bulan men jadi maksimal tiga tahun. Premi swap didasarkan pada keadaan pasar, yaitu perbedaan antara rata-rata suku bunga deposito dalam negeri dengan LIBOR. Lebih lanjut, dalam rangka meningkatkan efisiensi perbankan dan lembaga keuangan, telah diciptakan pula iklim usaha yang lebih mendorong timbulnya persaingan yang sehat. Penciptaan iklim tersebut dilakukan dengan memberikan kelong garan yang lebih besar kepada BUMN dan BUMD bukan bank untuk menempatkan dananya pada bank swasta dan lembaga keuangan bu kan bank dengan syarat-syarat yang telah ditentukan, memberi kemudahan dalam membuka cabang dan mendirikan bank baru, ser ta diberlakukannya batas maksimum pemberian kredit kepada para debitur dan debitur grup, pemegang saham, direksi serta para pegawai. IV/47 Dalam rangka meningkatkan kemampuan pengendalian mone ter, Paket Kebijaksanaan 27 Oktober 1988 tersebut telah memberlakukan beberapa kebijaksanaan yang meliputi penurunan likuiditas wajib minimum serta penyempurnaan sistem operasi pa sar terbuka. Sedangkan dalam upaya mendorong pengembangan pa sar modal, pajak penghasilan sebesar 15% telah dikenakan atas bunga dari deposito sehingga terdapat perlakuan perpajakan yang lebih seimbang terhadap penghasilan yang berasal dari bunga deposito dengan penghasilan yang berasal dari saham dan surat berharga lainnya. Selanjutnya pada tanggal 25 Maret 1989, dikeluarkan paket kebijaksanaan yang berisi ketentuan lanjutan dari Paket 27 Oktober 1988. Paket 25 Maret 1989 tersebut berisi ketentu an tentang peleburan usaha dan penggabungan usaha bank, penyempurnaan ketentuan pendirian dan usaha BPR, pemilikan modal bank campuran, penjelasan mengenai kredit ekspor dan mo dal sendiri serta penjelasan tentang batas maksimum pemberian kredit. Di samping itu diatur pula pemeliharaan cadangan wa jib minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing, posisi de visa neto bank devisa dan LKBB, pemberian kredit investasi dan penyertaan oleh bank dan LKBB serta penggunaan tenaga kerja asing. Lebih lanjut juga diperjelas tentang lembaga pe nunjang pasar modal dan bentuk pengawasan dan pembinaan LKBB. Di samping lembaga perbankan di lingkungan lembaga-lembaga keuangan terdapat lembaga keuangan bukan bank (LKBB), pasar modal, perusahaan asuransi, dan perusahaan sewa guna usaha (leasing). Kebijaksanaan di bidang LKBB diarahkan agar lembaga-lembaga keuangan tersebut beroperasi dengan sehat dan dapat lebih meningkatkan peranannya sebagai sumber pembiayaan alternatif di luar perbankan. Dalam Repelita IV peranan LKBB sebagai sarana penunjang pengembangan pasar uang dan pasar modal serta peranannya dalam membantu perusahaan-perusahaan dalam bentuk kredit investasi senantiasa meningkat. Peranan pasar modal dalam pembiayaan pembangunan akan menjadi makin penting mengingat besarnya kebutuhan akan dana dan modal yang bersifat jangka menengah dan panjang dapat di sediakan oleh pasar modal. Sehubungan dengan itu dalam bulan Desember 1987 telah dikeluarkan Paket Kebijaksanaan 24 Desember 1987 yang antara lain meliputi ketentuan -ketentuan sebagai berikut. Batasan maksimum fluktuasi harga saham sebesar 4% dalam jangka waktu sehari dihapuskan, kemudahan diberikan terhadap emisi dan perdagangan efek serta peranan yang lebih besar diberikan kepada lembaga penunjang pasar modal. Untuk IV/48 mendorong penanaman modal asing, jangka waktu peningkatan pe nyertaan saham nasional diperpanjang. Bahkan untuk PMA yang berlokasi di kawasan berikat dan mengekspor 100% hasil pro duksinya dengan penyertaan saham nasional sebesar 5%, tidak dikenakan ketentuan mengenai batas waktu peningkatan saham nasional. Paket Desember 1987 tersebut antara lain juga meng atur pembentukan bursa paralel yang dimaksudkan untuk me nampung kebutuhan dana bagi perusahaan baru dan perusahaan sedang dan menengah dengan persyaratan emisi yang lebih dise derhanakan dan lebih diperingan. Selain itu, untuk menambah jenis efek yang diperdagangkan serta mendorong pemasukan mo dal dari luar negeri, pemodal asing diberi kesempatan untuk ikut dalam perdagangan efek di bursa paralel. Paket Kebijaksanaan Desember 1987 tersebut di atas kemu dian diikuti oleh Paket Kebijaksanaan 20 Desember 1988 yang ditujukan untuk meningkatkan lebih lanjut pengerahan dana ma syarakat melalui penyempurnaan iklim pengembangan pasar modal, lembaga pembiayaan dan asuransi. Langkah-langkah yang diambil meliputi pemberian kesempatan yang lebih luas kepada swasta untuk menyelenggarakan bursa efek atau pasar modal baik di Jakarta maupun di kota kota lain; serta pemberian peluang yang lebih luas bagi swas ta untuk mendirikan dan mengembangkan usaha asuransi dan lem baga-lembaga pembiayaan lain, seperti usaha anjak piutang, modal ventura, pembiayaan konsumen dan sews guna usaha. Upaya peningkatan peranan swasta dalam penyelenggaraan pasar modal ditempuh melalui pemberian kesempatan untuk pene rapan sistem saham terdaftar dan sistem perusahaan terdaftar sehingga emiten yang sahamnya tercatat di Bursa Efek Jakarta dapat mencatatkan saham-saham lain dari modal yang telah ditempatkan dan disetor penuh untuk diperdagangkan di Bursa Efek Jakarta. Selain itu, emiten yang efeknya tercatat di bursa efek lainnya dapat mencatatkan efek-efeknya di Bursa Efek Jakarta. Untuk lebih memperluas kegiatan pasar modal, diberikan pula peluang untuk pendirian bursa efek di kota-kota di luar Jakarta yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi setempat. Di samping mengembangkan pasar modal, dikembangkan pula lembaga-lembaga pembiayaan yang memungkinkan berbagai cara pembiayaan investasi. Untuk itu diberikan kemudahan yang le bih luas untuk mendirikan usaha di bidang sewa guna usaha, IV/49 modal ventura, perdagangan lam hubungan ini, bank dan kesempatan untuk melakukan ga, usaha kartu kredit dan surat berharga dan sebagainya. Da lembaga keuangan bukan bank diberi kegiatan perdagangan surat berharusaha pembiayaan konsumen. Selanjutnya, guna lebih memantapkan pengerahan dana serta mendukung kelanjutan pembangunan, maka industri asuransi yang merupakan sarana penghimpunan dana masya rakat perlu makin ditingkatkan. Adapun upaya untuk meningkatkan peranan asuransi ditempuh melalui pembukaan kembali perizinan bagi pendirian usaha asuransi, baik untuk asuransi kerugian, asu ransi jiwa, reasuransi, pialang asuransi, aktuaria maupun asuransi campuran dengan tata cara perizinan yang disederhanakan. Di samping itu diberikan pula kemudahan bagi perusaha an asuransi untuk membuka kantor cabang di daerah serta kele luasaan bagi perusahaan asuransi untuk memasarkan polis asu ransi jiwa baik dengan menggunakan mata uang rupiah maupun mata uang lain yang disesuaikan dengan keinginan masyarakat pemakai jasa. 2. Perkembangan Jumlah Uang Beredar dan Faktor-faktor Penyebab Perubahannya Jumlah uang beredar (Ml) pada akhir Maret 1989 mencapai Rp 15.009 milyar, sedangkan pada akhir Maret 1984 jumlah tersebut adalah sebesar Rp 8.055 milyar. Dengan demikian jumlah uang beredar dalam Repelita IV telah meningkat dengan ratarata 13,3% per tahun. Sebagai perbandingan, selama Repe lita III jumlah uang beredar meningkat dengan rata-rata 24,2% per tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kebijaksanaan pengendalian moneter yang hati-hati tetap dilaksanakan selama Repe lita IV, yang pada gilirannya dapat menciptakan keadaan yang cukup mantap sebagaimana tercermin pada stabilitas harga dan terpeliharanya keseimbangan neraca pembayaran. Kestabilan harga tersebut tercermin pada penurunan laju inflasi menjadi sebesar rata-rata 6,6% per tahun dalam Repelita IV dari rata rata 13,0% per tahun dalam Repelita III. Perbandingan antara tingkat kenaikan harga dan tingkat pertambahan uang beredar sejak tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-12 dan Grafik IV-10. Sementara itu, likuiditas perekonomian (M3) yang terdiri dari uang beredar (Ml), deposito berjangka, tabungan, dan rekening valuta asing milik swasta domestik, dalam Repelita IV rata-rata naik dengan 22,0% per tahun dibandingkan dengan IV/50 TABEL IV - 12 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1983/84 - 1988/89 Tahun Kalender Tingkat Kenaikan Harga (%) Tingkat Pertambahan Jumlah Uang Beredar (%) Tahun Anggaran Tingkat Kenaikan Harga (%) Tingkat Pertambahan Jumlah Uang Beredar (%) 1983 11,5 6,3 1983/84 12,6 9,2 1984 8,8 13,4 1984/85 3,6 11,6 1985 4,3 17,7 1985/86 5,7 16,5 1986 8,8 15,6 1986/87 8,8 9,8 1987 8,9 8,6 1987/88 8,3 9,8 1988 5,5 13,5 1988/89 6,6 18,9 IV/51 GRAFIK IV - 10 PERBANDINGAN ANTARA TINGKAT KENAIKAN HARGA DENGAN TINGKAT PERTAMBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1983/84 - 1988/89 IV/52 30,7% rata-rata per tahun dalam Repelita III. Hal ini juga mencerminkan kebijaksanaan moneter yang berhati-hati selama Repelita IV. Dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah uang beredar, sektor aktiva luar negeri dalam periode empat t ahun pertama Repelita IV memberikan pengaruh menambah terhadap jumlah uang beredar. Pengaruh menambah dari sektor luar negeri tersebut adalah sebesar Rp 2.935 milyar pada tahun 1984/85; Rp 1.071 milyar pada tahun 1985/86; Rp 2.344 milyar pada ta hun 1986/87 dan Rp 2.359 milyar pada tahun 1987/88. Untuk tahun 1988/89 sektor luar negeri menunjukkan penurunan sebesar Rp 179 milyar. Perkembangan ini merupakan pencerminan dari perkembangan dalam neraca pembayaran. Sektor pemerintah dalam tahun 1984/85 memberi kan pengaruh mengurangi sebesar Rp 3.004 milyar terhadap jumlah uang be r ed a r, k e mu d ia n m em b e ri k an p e ng a ru h menambah sebesar R p 1.142 milyar untuk tahun berikutnya. Dalam tahun 1986/87 sektor pemerintah kembali memberikan pengaruh mengurangi sebesar Rp 1.474 milyar. Pada tahun tersebut diadakan penilaian kembali atas rekening pemerintah sebesar Rp 1.866 milyar ka rena devaluasi pada tanggal 12 September 1986. Dalam tahun 1987/88 sektor pemerintah memberikan pengaruh menambah sebesar Rp 1.820 milyar yang terutama disebabkan oleh adanya pemisahan penatausahaan pinjaman komersial luar negeri sebesar Rp 1.725 milyar. Pada bulan September 1987 yang pinjaman ko mersial tersebut semula dicatat dalam rekening pemerintah di pindahkan menjadi pos aktiva bersih lainnya. Dalam tahun 1988/89 sektor pemerintah mengalami penurunan sebesar Rp 120 milyar. Dalam pada itu, sektor pembiayaan kegiatan perusahaan yang merupakan tagihan kepada lembaga atau perusahaan dan perorangan merupakan faktor terpenting yang menyebabkan meningkatnya jumlah uang beredar. Pengaruh menambah dalam lima tahun Repelita IV, masing-masing besarnya Rp 3.465 milyar pa d a t ahu n 19 8 4/ 8 5, Rp 3 . 83 4 mi l ya r pa d a tahun 1985/86, R p 5.568 milyar pada tahun 1986/87, Rp 8.200 milyar pada tahun 1987/88 dan Rp 11.931 milyar pada tahun 1988/89. Pengaruh menambah dari sektor tersebut terutama disebabkan ter dapatnya peningkatan jumlah pemberian kredit yang cukup be sar, termasuk pertambahan kredit untuk pengusaha golongan ekonomi lemah dan kredit ekspor. Perkembangan uang kuasi terus meningkat dan pengaruh mengurangi yang cukup besar terhadap memberikan uang yang IV/53 b e r ed a r ( M l) . K e na i kan u an g ku a si tersebut adalah sebesar R p 2.755 milyar pada tahun 1984/85, Rp 3.234 milyar pada ta hun 1985/86, Rp 3.298 milyar pada tahun 1986/87, Rp 6.043 milyar pada tahun 1987/88 dan Rp 6.124 milyar pada tahun 1988/89. Kenaikan yang cukup besar dalam tahun 1987/88 ter utama disebabkan oleh kenaikan suku bunga deposito berjangka pada bulan Mei dan Juni 1987 untuk mengatasi tindakan spekulasi perdagangan valuta asing. Sementara itu kenaikan yang cukup besar dalam tahun 1988/89 merupakan dampak positip Pa ket 27 Oktober 1988 yang berupa kemudahan untuk mengeluarkan sarana pengerahan dana. Meningkatnya uang kuasi tersebut men cerminkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap nilai rupiah juga meningkat. Di lain pihak, aktiva bersih lainnya yang pada tahun 1984/85 memberikan pengaruh menambah sebesar Rp 292 milyar, pada tahun-tahun sesudahnya menunjukkan pengaruh mengurangi, yaitu sebesar Rp 1.326 milyar pada tahun 1985/86, serta sebesar Rp 2.115 milyar pada tahun 1986/87. Dalam tahun 1987/88 diadakan pemisahan penatausahaan pembukuan pinjaman komersial luar negeri dari rekening pemerintah ke dalam pos aktiva lainnya seperti yang telah disebutkan di muka sehingga aktiva b e r si h l ai n ny a m en u nj u k ka n p en garuh mengurangi sebesar R p 5.210 milyar. Dalam tahun 1988/89 aktiva bersih lainnya menunjukkan pengaruh mengurangi sebesar Rp 3.125 milyar. Perkembangan jumlah uang beredar selama Repelita IV serta sebab-sebab perubahan jumlah uang beredar dapat dilihat pada Tabel IV-13, Grafik IV-11 dan Tabel IV-14. 3. Dana Perbankan a. Perkembangan Dana Perbankan Sejak deregulasi perbankan pada tahun 1983, dana perbank an yang terdiri atas giro, deposito berjangka dan tabungan, baik dalam rupiah maupun valuta asing, senantiasa menunjukkan peningkatan. Posisi dana perbankan yang pada tahun 1983/84 b e r ju m la h R p 1 3 .3 3 7, 1 mi l ya r telah meningkat menjadi R p 39.502,8 milyar pada tahun 1988/89. Hal ini berarti bahwa dana yang dapat dihimpun telah meningkat sebesar 196,2% selama Repelita IV atau rata-rata naik dengan 24,3% per tahun. Dalam periode tersebut giro mengalami peningkatan terendah dengan rata-rata 10,7% setahun, sedangkan deposito dan tabungan masing-masing meningkat dengan rata-rata 33,1% dan 31,3% per tahun. Dengan demikian peranan giro menunjukkan penurunan IV/54 TABEL I V - 1 3 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1983/84 -1988/89 (milyar rupiah) IV/55 GRAFIK IV - 11 PERKEMBANGAN JUMLAH UANG BEREDAR. 1983/84 - 1988/89 IV/56 TABEL IV – 14 SEBAB-SEBAB PERUBAHAN JUMLAH UANG BEREDAR, 1983/84 - 1908/89 (milyar rupiah) 1) Termasuk penilaian kembali rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah dari Rp 702,50 menjadi Rp 970,- per US dollar pada 30 Maret 1983, masing- masing sebesar Rp 1.962,50 pada sektor luar negeri, Bp 237,3 milyar pada sektor pemerintah, Rp 294,3 milyar pada sektor kegiatan perusahaan, Rp 1.399,4 milyar pada sektor lain-lain dan Rp 620,1 milyar pada deposito berjangka dan tabungan (uang kuasi). 2) Termasuk kenaikan saldo rekening-rekening valuta asing karena penyesuaian nilai tukar rupiah tanggal 12 September 1986, masing-masing sebesar Rp 6.079 milyar pada aktiva luar negeri, Rp 1.866 milyar pada sektor pemerintah, Rp 1 milyar pada tagihan kepada lembaga/perusahaan pemerintah, Rp 354 milyar pada tagihan kepada perusahaan swasta dan perorangan, Rp 3.121 milyar pada sektor lainnya dan Rp 1.447 milyar pada uang kuasi. 3) Perubahan yang cukup besar pada pos ini terutama disebabkan oleh penyesuaian pembukuan pinjaman luar negeri yang belum dipergunakan yang semula dicatat pada sektor pemerintah sejak bulan September 1987 dipindahkan pada sektor aktiva lainnya IV/57 dari 47,6% pada tahun 1983/84 menjadi 26,7% pada tah un 1988/89. Sementara itu, peranan deposito dan tabungan mening kat, masing-masing dari 47,6% dan 4,8% pada tahun 1983/84 menjadi 67,0% dan 6,3% pada akhir tahun 1988/89. Perkembangan dana perbankan dari tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-15. b. Perkembangan Giro Jumlah giro pada tahun 1987/88 adalah sebesar Rp 8.480,6 milyar. Angka tersebut kemudian meningkat menjadi Rp 10.543,1 milyar pada tahun 1988/89, atau mengalami kenaikan 24,3% dibandingkan tahun sebelumnya. Dari jumlah giro tersebut peranan giro rupiah dalam tahun 1988/89 mencapai Rp 8.444,7 milyar atau meningkat rata-rata 12,7% per tahun selama Repelita IV. Sebaliknya, giro valuta asing mengalami penurunan sehingga hanya berperan sekitar 20% dari keseluruhan giro pada tahun 1988/89. Hal ini menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap mata uang rupiah makin mantap. c. Perkembangan Deposito Berjangka, serta Tabungan Lainnya Tabanas dan Taska Sebagai hasil kebijaksanaan 1 Juni 1983, maka perkembang an deposito berjangka baik rupiah maupun valuta asing menunjukkan peningkatan yang cukup pesat. Deposito berjangka yang pada tahun 1983/84 berjumlah Rp 6.348,8 milyar telah meningkat menjadi Rp 26.474,4 milyar pada tahun 1988/89. Hal ini berarti bahwa selama lima tahun Repelita IV deposito berjangka telah meningkat dengan rata-rata 33,1% per tahun. Dilihat dari jangka waktunya, perkembangan deposito rupiah sejak tahun 1983/84 sampai dengan tahun 1988/89 telah mengalami pergeseran-pergeseran. Peranan deposito berjangka waktu 24 bulan sesudah periode deregulasi perbankan menunjuk kan penurunan dari 12,0% dari seluruh deposito pada akhir tahun 1983/84 menjadi 9,9% pada tahun 1988/89. Sebaliknya, peranan deposito berjangka waktu 12 bulan dan 3 bulan semakin membesar, yaitu dari 33,0% dan 12,9% pada akhir tahun 1983/84 menjadi 34,4% dan 22,5% pada tahun 1988/89. Perkembangan deposito rupiah perbankan dapat dilihat pada Tabel IV -16 dan Grafik IV-12. Tabungan yang dewasa ini terdiri atas Tabungan Pembangunan Nasional (Tabanas), Tabungan Asuransi Berjangka (Taska), Tabungan Ongkos Naik Haji (ONH), Simpanan Pedesaan (Sim pedes) dan tabungan lainnya selama lima tahun Repelita IV IV/58 TABEL IV - 15 PERKEMBANGAN DANA PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING, 1) 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1)Terdiri atas dana bank-bank umum, bank pembangunan dan bank-bank tabungan, termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk 2)Termasuk sertifikat deposito 3) Terdiri atas Tabanas/Taska dan tabungan lainnya, seperti setoran Ongkos Naik Haji (ONH) IV/59 TABEL IV - 16 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN, MENURUT JANGKA WAKTU, 1) 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1) Termasuk dana milik Pemerintah Pusat dan bukan penduduk, serta sertifikat deposito 2) Termasuk sertifikat deposito IV/60 GRAFIK IV – 12 PERKEMBANGAN DEPOSITO BERJANGKA RUPIAH PERBANKAN MENURUT JANGKA WAKTU 1983/84 – 1988/89 IV/61 tetap menunjukkan peningkatan. Hal tersebut tercermin pada meningkatnya baik nilai tabungan maupun jumlah penabung. Nil a i ta b un g an t er s eb u t, y a ng p ad a tahun 1983/84 besarnya R p 637,9 milyar, meningkat menjadi Rp 2.485,3 milyar pada akhir tahun 1988/89. Sedangkan jumlah penabung yang pada tahun 1983/84 mencapai sebanyak 14.044,9 ribu penabung telah meningkat menjadi 22.712,2 ribu penabung pada tahun 1988/89. Pada akhir Maret 1989 nilai Tabanas dan Taska berjumlah Rp 1.646,0 milyar dengan 20.112,8 ribu penabung. Hal ini ber arti bahwa selama lima tahun terakhir nilai Tabanas dan Taska telah naik rata-rata 23,4% per tahun dan jumlah penabung mengalami kenaikan rata-rata 11,0% per tahun. Perkembangan Tabanas dan Taska sejak tahun 1983/84 dapat diikuti pada Tabel IV-17. Tabungan Ongkos Naik Haji (ONH) merupakan simpanan calon jemaah haji yang akan digunakan untuk membayar ongkos menu naikan ibadah haji. Tabungan ONH yang dapat dihimpun selama tahun 1983/84 adalah Rp 144,5 milyar yang diterima dari 47.292 penabung ONH. Dalam tahun 1988/89 jumlah tersebut menjadi Rp 239,5 milyar dengan 50.094 penabung ONH. ONH untuk setiap calon jemaah yang dalam tahun 1983/84 ditetapkan sebes a r Rp 3 .0 7 5. 5 70 , pad a t ah u n 1 9 88/89 ditetapkan sebesar R p 4.780.000, dan pada tahun 1989/90 sebesar Rp 5.150.000,-. Jenis tabungan lainnya adalah Simpanan Pedesaan (Simpedes) dengan sistem memperoleh hadiah melalui penarikan undi a n . P er s ya r at a n Si m pe d e s ad a la h jumlah minimum tabungan R p 1 . 00 0 d en g an s u ku b u n ga 0 % u ntuk jumlah sampai dengan R p 25.000; 9% setahun untuk jumlah di atas Rp 25.000 sampai d e n ga n R p 20 0 .0 0 0 da n 1 3 , 5 % se t ahun untuk jumlah di atas R p 200.000. Jumlah Simpanan Pedesaan sampai akhir Maret 1989 adalah sebesar Rp 393,7 milyar dengan 1.941.584 penabung. d. Perkembangan Sertifikat Deposito Jumlah peredaran sertifikat deposito mengalami pasang surut dalam periode lima tahun Repelita IV. Dalam tahun 1984/85 jumlah peredaran meningkat sebesar Rp 68,5 milyar sehingga menjadi Rp 444,8 milyar pada akhir Maret 1985, kemudi an berturut-turut turun menjadi Rp 242,7 milyar pada akhir Maret 1986, dan menjadi Rp 119,7 milyar pada akhir Maret 1987. Pada akhir Maret 1988 posisi sertifikat deposito naik kembali menjadi Rp 221,7 milyar pada akhir Maret 1988 dan kemudian turun kembali menjadi Rp 151,9 milyar pada akhir IV/62 TABEL IV - 17 PERKEMBANGAN TABANAS DAN TASKA, 1983/84 - 1988/89 1) 1) Meliputi Tabanas dan Taska pada Bank-bank Umum Pemerintah, Bank Tabungan dan Bank Swasta Nasional penyelenggara TABANAS/TASKA. IV/63 Maret 1989. Perkembangan pada Tabel IV-18. sertifikat deposito dapat dilihat 4. Perkreditan a. Kebijaksanaan Perkreditan Kebijaksanaan perkreditan dalam Repelita IV dilandaskan pada kebijaksanaan 1 Juni 1983 di bidang moneter dan perbank an. Dalam kebijaksanaan tersebut diberikan kebebasan kepada perbankan untuk menetapkan tingkat suku bunga dan persyaratan pinjaman. Selain itu penetapan pagu aktiva neto ditiadakan dan pemberian pinjaman didasarkan pada kemampuan bank masingmasing dalam mengerahkan dana masyarakat. Dalam rangka mendo rong pengerahan dana masyarakat tersebut maka fasilitas kre dit likuiditas hanya disediakan untuk kredit yang berprioritas tinggi. Dalam upaya mendorong pertumbuhan ekonomi serta pemerataan pendapatan, selama Repelita IV kebijaksanaan perkreditan telah diarahkan untuk mendorong kegiatan usaha yang berorien tasi pada ekspor, membantu kegiatan pengusaha golongan ekonomi lemah dan mendorong perkembangan koperasi, serta mendorong kegiatan-kegiatan ekonomi yang banyak menyerap tenaga kerja. Penerimaan devisa yang cenderung meningkat dari hasil ekspor non migas, khususnya produk hasil-hasil perkebunan, telah mendorong pemberian kredit investasi untuk pengembangan perkebunan dengan pola Perusahaan Inti Rakyat yang dikaitkan dengan program transmigrasi (PIR-Trans). Kredit investasi tersebut dibedakan menjadi kredit investasi bagi perusahaan inti dan kredit investasi untuk kebun plasma yang dimiliki petani. Suku bunga kredit investasi untuk pembangunan kebun plasma yang pada tahap-tahap pertama peminjam ditetapkan 16% setahun selanjutnya, terhitung sejak kebun plasma beserta kreditnya dialihkan kepada petani, diturunkan sesuai dengan ketentuan suku bunga KIK. Dalam rangka memberi kesempatan berusaha yang lebih luas kepada golongan ekonomi lemah, sejak Juni 1988 persyaratan pemanfaatan fasilitas Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP) diperlonggar. KIK dan KMKP dapat d i p er o le h b i la pe n gu sa h a m e mp u nyai harts tidak melebihi R p 300 juta. Semula batasan tersebut adalah kekayaan bersih tidak melebihi Rp 20 juta. Sementara itu, Kredit Investasi (KI) dan Kredit Modal Kerja (KMK) sampai dengan Rp 75 juta IV/64 TAB EL IV-18 PERKEMBANGAN SERTIFIKAT DEPOSITO BANK, 1) 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) Tahun/Triwulan Penjualan Pelunasan Dalam Peredaran 1983/84 1.776,0 1.491,8 376,3 1984/85 1.532.5 1.464,0 444,8 607,2 280,8 247,9 328,1 301,8 Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan I II III IV 1985/86 I II III IV 1986/87 Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan I II III IV 1987/88 Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV 2) Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan Iv 2) 224,0 130,4 444,8 2.364,1 242,7 931,3 790,8 289,2 150,7 853,9 723,1 558,2 228,9 522,2 534,2 657,2 119,7 184,0 147,4 99,7 103,1 263,7 176,6 102,4 114,5 163,0 133,8 131,1 119,7 716,2 614,2 221,7 79,8 222,1 214,3 200,0 78,4 131,4 225,3 179,1 121,1 799,7 869,5 151,9 236,4 218,1 196,3 148,9 205,0 250,5 210,4 203,6 253,1 2.162,0 Triwulan Triwulan Triwulan Triwulan 1988/89 532,7 203,0 154,3 642,5 589,9 320,9 242,7 211,8 200,8 221,7 220,7 206,6 151,9 1) Termasuk sertifikat deposito antar-bank 2) Angka perkiraan IV/65 dapat diperoleh bila pengusaha mempunyai harts tidak melebihi Rp 600 juta. Semula batasan tersebut adalah Rp 40 juta keka y a a n b er s ih u nt u k b ida n g u s ah a p erdagangan dan jasa serta R p 100 juta kekayaan bersih untuk bidang industri dan kons truksi. Selanjutnya, untuk lebih memudahkan pengusaha dalam mengatur pembiayaan usahanya, nasabah dapat menggunakan KIK dan KMKP secara bersama-sama sampai penarikan setinggi-tingginya Rp 30 juta. Demikian pula bagi KI dan KMK sampai dengan Rp 75 juta nasabah dapat menggunakannya secara bersama-sama sampai penarikan setinggi-tingginya Rp 150 juta. Dalam rangka pengembangan koperasi, telah diupayakan untuk membina lembaga koperasi agar badan usaha koperasi le bih berperan dalam mengembangkan usaha golongan ekonomi lemah melalui penyempurnaan berbagai ketentuan kredit koperasi. b. Perkembangan Perkreditan Pemberian kredit perbankan selama Repelita IV (sampai dengan Maret 1989) mencapai Rp 46.526 milyar atau meningkat dengan 23,3% per tahun. Jumlah kredit perbankan dalam tahun 1984/85 meningkat 19,8% dan dalam tahun 1985/86 meningkat se besar 16,0%. Dalam tahun 1986/87 kredit tersebut meningkat dengan 24,2% dan dalam tahun 1987/88 meningkat lagi dengan 26,0% sehingga mencapai Rp 35.081 milyar. Peningkatan kredit dalam tahun-tahun 1986/87 dan 1987/88 yang cukup pesat tersebut erat kaitannya dengan meningkatnya kegiatan ekspor. Dilihat dari kelompok bank, pemberian kredit langsung meningkat dari sebesar Rp 938 milyar pada tahun 1984/85 men jadi Rp 1.463 milyar pada tahun 1987/88 dan meningkat lagi menjadi Rp 1.583 milyar pada akhir Maret 1989. Peningkatan pinjaman langsung tersebut terutama digunakan untuk pemberian pinjaman kepada LKBB dan untuk mendorong pemberian Kredit Pe milikan Rumah (KPR) dalam rangka menunjang pembangunan rumah murah. Kredit bank umum pemerintah mempunyai peranan terbesar dibandingkan dengan kelompok bank lainnya. Dalam tahun 1983/84 peranan pinjaman bank umum pemerintah mencapai 63,7% dari seluruh kredit perbankan sebesar Rp 10.238 milyar. Pada akhir Maret 1989 peranannya meningkat menjadi 65,1% dan men capai Rp 30.270 milyar. Pada akhir tahun 1983/84 pemberian pinjaman oleh bank-bank umum swasta nasional mencapai 16,0% dari seluruh kredit perbankan. Jumlah tersebut kemudian me ningkat menjadi 27,3% pada akhir Maret 1989. Dalam pada itu IV/66 peranan kredit bank asing selama lima tahun terakhir mengalami penurunan dari 6,1% pada tahun 1983/84 menjadi 4,3% pada akhir Maret 1989. Perkembangan kredit perbankan menurut kelompok bank maupun menurut sektor ekonomi dalam tahun 1983/84 - 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-19, Tabel IV-20 dan Grafik IV-13. Selanjutnya, ditinjau dari sektor ekonomi, jumlah pinjaman kepada masing-masing sektor dari tahun ke tahun senantiasa mengalami peningkatan. Bila pada akhir tahun 1983/84 jumlah kredit kepada sektor produksi adalah sebesar Rp 7.115 milyar, maka pada akhir Maret 1989 jumlah tersebut telah me ningkat menjadi Rp 20.382 milyar. Peningkatan pemberian pin jaman yang paling cepat kepada sektor produksi terjadi dalam tahun 1988/89 dengan kenaikan sebesar Rp 5.269 milyar atau naik 34.9%. Di dalam sektor produksi tersebut, peningkatan terutama terjadi dalam industri kimia dan plastik, industri kecil, industri kertas serta industri kayu dan hasil-hasilnya. Sementara itu, jumlah pinjaman kepada sektor perdagangan yang pada akhir 1983/84 mencapai Rp 5.297 milyar meningkat menjadi Rp 10.997 milyar pada tahun 1987/88, dan meningkat cukup pesat sampai dengan akhir Maret 1989 sehingga menjadi Rp 14.687 milyar, atau meningkat 33,6%. Pi njaman tersebut terutama digunakan untuk kegiatan pengolahan dan perdagangan barang-barang ekspor, pengumpulan dan distribusi bahan-bahan kebutuhan pokok, perdagangan eceran serta pembelian dan pe ngumpulan barang-barang dagangan dalam negeri. Kredit perbankan kepada sektor lainnya, yang meliputi kredit di bidang jasa-jasa seperti kepada jasa dunia usaha dan jasa sosial masyarakat, angkutan, perhubungan dan perho telan, juga mengalami kenaikan yang cepat. Jumlah kredit sek tor lainnya, yang pada akhir tahun 1983/84 mencapai sebesar Rp 3.723 milyar, meningkat menjadi Rp 11.457 milyar pada akhir Maret 1989. D a l am pa d a it u r e al is a s i k re d it i n vestasi mencapai Rp 3 . 609 m i ly a r ta h un 1 9 8 3 /8 4 , k em u di a n meningkat menjadi R p 7.747 milyar pada tahun 1987/88 dan selanjutnya meningkat lagi menjadi Rp 10.227 milyar pada akhir Maret 1989. Kredit investasi tersebut diberikan kepada sektor perindustrian, pertanian dan jasa-jasa. Sektor-sektor tersebut pada akhir Maret 1989 masing-masing mempunyai bagian sebesar 46,8%, 25,6% dan 18,5% dari seluruh kredit investasi. Perkembangan kredit investasi dapat diikuti pada Tabel IV-21 dan Grafik IV-14. IV/67 TABEL IV – 19 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR PERBANKAN, 1983/84 - 1988/1989 (milyar rupiah) 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk Kredit antar Bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan dalam rangka bantuan proyek. 2) Kredit kepada Bulog serta Pertamina yang semula disalurkan langsung oleh Bank Indonesia, sejak tahun 1984 dialihkan masing-masing secara keseluruhan dan sebagian menjadi pinjaman Bank Umum Pemerintah. 3) Tidak termasuk BTN (Bank Tabungan Negara) 4) Termasuk Bank Pembangunan Daerah 5) Termasuk evaluasi valuta asing IV/68 TABEL IV - 20 PERKEMBANGAN KREDIT 1) MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1) Kredit dalam rupiah maupun valuta asing, termasuk Kredit Investasi, KIK dan KMKP, tidak termasuk kredit antar Bank serta kredit kepada Pemerintah Pusat, bukan penduduk dan dalam ra ngka bantuan proyek. 2) Termasuk sektor pertanian, pertambangan dan perindustrian 3) Termasuk sektor jasa-jasa dan la i n - la i n 4) Termasuk revaluasi valuta asing 5) Angka diperbaiki IV/69 GRAFIK IV - 13 PERKEMBANGAN KREDIT PERBANKAN DALAM RUPIAH DAN VALUTA ASING MENURUT SEKTOR EKONOMI, 1983/84 - 1988/89 IV/70 TABEL IV – 21 P E R K E M B A NG A N K RE D I T I NV E ST A S I 1 ) ME N U R U T S E K T O R E KO N O M I , 1 9 8 3 / 8 4 – 1 9 8 8 /8 9 ( m i l y a r ru p i a h ) 1 ) T i d a k t e r m a su k K I K , K I k e p a d a Pe m e r i nt a h P u sa t d a n n i l a i l a w a n v a l u t a a si n g p i n j am a n i nv e s t a s i d al a m r a n g k a b an t u a n p r o y e k . IV/71 GRAFIK IV - 14 PERKEMBANGAN JUMLAH PERSETUJUAN DAN R E A L I S A S I K R E D IT I N V E ST A SI , 1 9 8 3 / 8 4 - 1 9 8 8 /8 9 IV/72 Kredit Investasi Kecil (KIK) dilihat dari nilainya kurang berkembang. Pada akhir Maret 1984 kredit ini berjumlah Rp 387 m i l ya r d a n p a da akh ir J u ni t ah u n y an g s a ma menurun menjadi R p 356 milyar. Setelah itu nilai kredit ini tidak banyak mengalami perubahan dan pada akhir Maret 1989 berjumlah Rp 379 milyar. Meskipun demikian, dalam periode Repelita IV jumla h nasabah untuk kredit ini bertambah dari 241 ribu menjadi 316 ribu. Sementara itu, pemberian KMKP mengalami peningkatan yang cukup berarti, yaitu dari Rp 867 milyar pada bulan Maret 1984 menjadi Rp 1.100 milyar pada akhir Maret 1989; sedangkan jumlah nasabahnya naik dari 1.685 ribu menjadi 2.391 ribu pada akhir Maret 1989. Perkembangan jumlah KIK dan KMKP selama pe riode 1983/84 - 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-22 dan Grafik IV-16. Program Kredit Mini dan Kredit Midi dimaksudkan untuk membantu usaha rakyat pedesaan dengan kredit senilai antara Rp 200.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00 per nasabah. Kredit Mini dan Midi sumber dananya masing-masing berasal dari APBN dan kredit likuiditas. Karena kurang berkembang maka kredit tersebut kemudian dialihkan menjadi jenis pinjaman kredit umum pedesaan (Kupedes) dengan tingkat suku bunga 18% per ta hun. Kupedes ini kemudian berkembang dengan pesat. Perkembangan Kredit Mini dan Midi serta Kredit Umum Pedesaan (Kupedes) dapat diikuti pada Tabel IV-23, IV-24 dan IV-25. Di samping kredit-kredit tersebut di atas terdapat pula jenis pinjaman lainnya, yakni KPR yang disalurkan melalui PT Papan Sejahtera dan Bank Tabungan Negara serta Kredit Candak Kulak (KCK) yang disalurkan melalui Koperasi Unit Desa (KUD). Realisasi KPR yang disalurkan kepada masyarakat pada bulan September 1987 bernilai Rp 1.647,7 milyar dengan jumlah rumah yang dibangun sebanyak 391.603 unit. Kredit ini kemu dian meningkat menjadi Rp 2.021,2 milyar dengan jumlah rumah sebanyak 476.000 unit pada bulan Oktober 1988. Kredit Candak Kulak (KCK) yang disediakan dalam rangka membantu pedagang kecil dan masyarakat yang berpenghasilan rendah pada akhir Desember 1988 mencapai Rp 15 milyar. 5. Suku Bunga Selama periode 1983/84 sampai dengan 1988/89 berbagai usaha telah dilakukan untuk mendorong terciptanya stabilitas moneter seperti tercermin pada tercapainya laju inflasi yang cukup rendah. Hal tersebut diperlukan antara lain untuk me nunjang penurunan tingkat suku bunga. Meskipun demikian, IV/73 TABEL I V - 2 2 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL DAN KREDIT MODAL KERJA PERMANEN, 1983/84 - 1988/89 1) Angka diperbaiki IV/74 GRAFIK IV - 15 PERKEMBANGAN KREDIT INVESTASI KECIL, KREDIT MODAL KERJA PERMANEN SERTA KREDIT MINI DAN MIDI, 1983/84 - 1988/89 IV/75 TABEL IV - 25 PERKEMBANGAN KREDIT MINI, 1983/84 - 1988/89 Akhir Tahun/Triwulan 1) Posisi Kredit (dalam milyar rupiah) Investasi Eksploitasi 1983/84 4,1 32,4 1984/85 1,9 Nasabah (dalam ribuan) Jumlah Investasi Eksploitasi 435,6. Jumlah 36,5 55,5 491,1 7,6 9,5 29,3 109,9 139,2 23,0 47,0 39,6 306,9 353,9 235,0 Triwulan I Triwulan II 3,2 2,6 19,8 11,8 Triwulan III 2,1 8,3 14,4 10,4 32,0 195,4 122,8 Triwulan IV 1,9 7,6 9,5 29,3 109,9 139,2 1,6 5,8 7,4 20,9 81,0 101,9 Triwulan I 1,9 7,0 8,9 27,3 102,2 129,5 Triwulan II 1,7 6,6 8,3 23,3 94,5 Triwulan III 1,6 6,1 7,7 21,5 85,0 117,8 106,5 Triwulan IV 1,6 5,8 7,4 20,9 81,0 101,9 0,9 3,9 4,8 12,2 54,1 66,3 I. 1,5 5,6 7,1 19,8 78,9 98,7 Triwulan II 5,4 6,9 19,2 76,2 95,4 Triwulan III 1,5 1,4 5,1 6,5 15,3 65,7 81,0 Triwulan IV 0,9 3,9 4,8 12,2 54,1 66,3 Triwulan I 0,6 3,1 3,7 7,6 40,9 48,5 Triwulan II 0,5 2,7 3,2 6,8 36,6 1985/86 1986/87 Triwulan 154,8 1987/88 Triwulan III 2) Triwulan IV 1988/89 2) 2) - - - - - 43,4 - - - - - - - 1) Kredit Mini diadakan sejak tahun 1974/75; perkembangan jumlahnya yang mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan kebutuhan akan jenis pinjaman ini kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). 2) Sejak bulan Nopember 1987 seluruh kredit mini telah dialihkan ke pinjaman Kupedes. IV/76 TABEL IV - 24 PERKEMBANGAN KREDIT MIDI, 1983/84 - 1987/88 Posisi Kredit (dalam milyar rupiah) Akhir Tahun/Triwulan Investasi 1) Nasabah (dalam ribuan) Eksploitasi Jumlah Investasi Eksploitasi Jumlah 1983/84 4,3 29,7 34,0 21,3 125,3 146,6 1984/85 2,3 10,2 12,5 9,7 53,5 63,2 Triwulan I 3,6 23,5 27,1 13,4 104,1 117,5 Triwulan I I 3,1 17,9 21,0 12,2 86,8 99,0 Triwulan I I I 2,7 13,2 15,9 11,2 67,4 78,6 Triwulan IV 2,3 10,2 12,5 9,7 53,5 63,2 1,4 5,0 6,4 5,7 23,6 29,3 Triwulan I 2,0 8,1 10,1 8,6 42,6 51,2 Triwulan I I Triwulan I I I 1,8 1,6 6,6 8,4 34,2 41,9 5,5 7,1 7,7 6,6 26,3 32,9 Triwulan IV 1,4 5,0 6,4 5,7 23,6 29,3 1,0 3,2 4,2 3,9 13,9 17,8 Triwulan I 1,3 4,7 6,0 5,3 21,7 27,0 Triwulan I I 1,5 5,1 6,6 5,4 20,1 25,5 Triwulan I I I 1,4 5,0 6,4 4,2 16,1 20,3 Triwulan IV 1,0 3,2 4,2 3,9 13,9 17,8 Triwulan I 0,8 2,5 3,3 3,1 10,5 13,6 Triwulan I I 0,8 - 2,2 - 3,0 - 2,9 - 9,2 - 12,1 - - - - - - 1985/86 1986/87 1987/88 Triwulan I I I Triwulan IV 1988/89 2) 2) 2) - 1) Kredit Midi diadakan sejak Juli 1980; perkembangan jumlahnya yang mengecil, mencerminkan pelaksanaan kebijaksanaan untuk mengalihkan kebutuhan akan jenis kredit i n i kepada Kredit Umum Pedesaan (Kupedes). 2) Sejak bulan Desember 1987 seluruh kredit midi telah dialihkan ke pinjaman Kupedes. IV/77 TABEL IV - 25 K R E D I T U MU M P E DE S A A N (K U PE D E S ) , 1) 1983/84 - 1988/89 (milyar rupiah) 1) Kredit Umum Pedesaan diadakan sejak Januari 1984; perkembangannya yang semakin meningkat juga sejalan dengan pengalihan peranan Kredit Mini dan Midi ke KUPEDES. IV/78 usaha-usaha mempengaruhi suku bunga ditentukan pula oleh perkembangan-perkembangan lain seperti tingkat harapan masyarakat terhadap nilai tukar rupiah, suku bunga luar negeri, ser ta biaya intermediasi perbankan. Tingkat harapan masyarakat mengenai kemungkinan kemerosotan nilai tukar rupiah dapat mendorong timbulnya spekulasi di pasar valuta asing. Spekulasi yang demikian dapat menyebabkan ketatnya likuiditas perekonomian sehingga mendorong naiknya suku bunga. Hal ter sebut terjadi pada bulan September 1984 yang mengakibatkan suku bunga pasar uang antar bank mencapai rata-rata 46,8%. Perkembangan suku bunga di luar negeri juga mempengaruhi perkembangan suku bunga di dalam negeri sebagai konsekuensi dari devisa bebas yang dianut Indonesia. Sementara itu, tingginya biaya intermediasi perbankan mengakibatkan pula tingginya suku bunga pinjaman, yang pada gilirannya kurang mendo rong peningkatan kegiatan ekonomi. Di samping kebijaksanaan moneter yang berhati-hati usahausaha untuk mendorong penurunan suku bunga pinjaman juga tercakup dalam paket kebijaksanaan 27 Oktober 1988 yang mengupa yakan peningkatan efisiensi dan profesionalisme di bidang perbankan melalui pemberian kesempatan usaha yang lebih luas dan penciptaan iklim usaha yang sehat di sektor keuangan. Di samping itu, penurunan likuiditas wajib minimum yang tercakup dalam paket tersebut dimaksudkan pula untuk menurunkan biaya dana perbankan. 6. Perkembangan Harga Stabilitas harga barang-barang merupakan unsur penting dalam memelihara stabilitas ekonomi dan stabilitas nasional. Upaya ini dilakukan melalui kebijaksanaan mendasar yang ditu jukan untuk memelihara keseimbangan moneter. Di samping itu pengadaan dan penyaluran barang-barang kebutuhan pokok ke seluruh penjuru tanah air juga lebih ditingkatkan secara lebih merata dan memadai sesuai dengan kebutuhan, sehingga harganya tetap mantap dan senantiasa berada dalam jangkauan daya beli masyarakat. Kebijaksanaan tersebut telah memberikan hasil yang cukup menggembirakan sebagaimana terlihat dari perkemb a n g a n l a j u i n f l a s i s e l a m a l i m a t a h u n p el a ks an aa n Re pe l i t a IV. Dalam kurun waktu tersebut, laju inflasi rata-rata yang diukur berdasarkan indeks harga konsumen untuk 17 ibu kota propinsi mencapai angka sebesar 6,6% per tahun. Laju ini adalah lebih rendah jika dibandingkan dengan laju inflasi se lama Repelita III yang mencapai rata-rata 13,2% per tahun. Pada awal pelaksanaan Repelita IV laju inflasi bahkan IV/79 berhasil ditekan pada tingkat 3,6%. Sedangkan dalam tahun 1988/89 laju inflasi mencapai tingkat 6,6%. Perkembangan kenaikan harga dan indeks harga konsumen selama periode 1983/84 - 1988/89 dapat dilihat pada Tabel IV-26, Grafik IV-16, dan Tabel IV-27, Grafik IV-17. Laju inflasi di ibu kota propinsi dalam tahun terakh ir Repelita IV bervariasi antara 4,2% sampai 21,3%. Kota yang mengalami laju inflasi tertinggi adalah Ambon yaitu sebesar 21,3%. Kota yang mengalami laju inflasi paling rendah adalah Palembang dan Banjarmasin (4,2%), Kupang (4,4%) dan Ujung Pandang (4,6%). Indeks harga 9 macam bahan pokok yang mengalami kenaikan terendah adalah di kota Jakarta (3,7%), dan Kupang (3,9%). Sedangkan kota yang mengalami kenaikan harga tertinggi untuk bahan pokok adalah Ambon (16,9%). Perkembangan indeks harga konsumen dan indeks harga 9 bahan pokok di 17 kota selama periods 1983/84 - 1988/89 dapat diikuti pada Tabel IV-28 dan Tabel IV-29. D. PERKEMBANGAN PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA Kebijaksanaan untuk mengembangkan dan membina perbankan dan lembaga keuangan lainnya dalam Repelita IV diarahkan untuk menumbuhkan suatu sistem keuangan yang berdaya guna dan berhasil guna dalam rangka meningkatkan peranannya untuk menunjang pembangunan. Untuk itu, dan sebagai kelanjutan dari langkah-langkah kebijaksanaan deregulasi di bidang keuangan sejak reformasi perbankan tanggal 1 Juni 1983, telah diambil kebijaksanaan mendasar pada tanggal 27 Oktober 1988 untuk mendorong meningkatnya peranan perbankan dalam pengerahan dana masyarakat, mendorong ekspor non migas, meningkatkan efisiensi dan profesionalisme dunia usaha. Seperti telah disinggung di bagian yang terdahulu, dalam Paket 27 Oktober 1988 dibuka kesempatan untuk mendirikan bank umum dan bank pembangunan baik yang berbadan hukum perseroan terbatas maupun koperasi dengan syarat yang lebih sederhana. Untuk pendirian bank-bank tersebut dipersyaratkan modal disetor minimal sebesar Rp 10 milyar untuk bank umum dan Rp 50 juta berupa simpanan pokok dan wajib untuk bank koperasi. Paket kebijaksanaan ini juga menentukan bahwa bank swas ta nasional, bank perkreditan rakyat (BPR), termasuk lembaga dana dan kredit pedesaan (LDKP), dapat didirikan di luar ibu kota negara, ibu kota propinsi dan ibu kota Dati II, dan dapat IV/80 TABEL IV - 26 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1983/84 - 1988/89 Tahun Kalender Kenaikan ( % ) Tahun Anggaran Kenaikan (% ) 1983 11,5 1983/84 12,6 1984 8,8 1984/85 3,6 1985 4,3 1985/86 5,7 1986 8,8 1986/87 8,8 1987 8,9 1987/88 8,3 1988 5,5 1988/89 6,6 IV/81 GRAFIK IV – 16 PERSENTASE KENAIKAN HARGA DI INDONESIA, 1983/84 - 1988/89 IV/82 TABEL IV - 27 PERKEMBANGAN INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA, MENURUT KELOMPOK BARANG DAN JASA 1983/84 - 1988/89 1) 2) 1) Merupakan Gabungan dari 17 Ibu kota Dati I dan digunakan sejak Maret 1979 dengan April 1977 - Maret 1978 = 100. Persentase perubahan per tahun dihitung atas dasar penjumlahan dari persentase perubahan bulanan pada tahun yang bersangkutan IV/83 GRAFIK IV - 17 INDEKS HARGA KONSUMEN INDONESIA (DI 17 IBUKOTA PROPINSI), 1 9 8 3 / 8 4 — 1 9 8 8 /8 9 IV/84 TABEL IV – 28 PERKEMBANGAN INDEKS (UMUM) HARGA KONSUMEN DI SETIAP 17 KOTA DAN DI INDONESIA, 1983/84 – 1987/88 1) Persentase perubahan pertahun dihitung atas dasar penjumlahan dari persentase perubahan bulanan pada tahun bersangkutan. IV/85 TABEL IV – 29 PERKEMBANGAN INDEKS 9 MACAM BAHAN POKOK DI 17 IBU KOTA DATI I, 1) 1983/84 - 1988/89 1) April 1977 – Maret 1978 = 100 IV/86 berbentuk perseroan terbatas (PT), perusahaan daerah (PD) atau koperasi dengan persyaratan modal minimal sebesar Rp 50 juta. Bagi BPR dimungkinkan untuk membuka kantor cabang atau kantor lainnya di kecamatan-kecamatan dan diperkenankan menghimpun dana dalam bentuk deposito dan tabungan. Pemberian kredit BPR tetap diperuntukkan bagi pengusaha kecil dan atau masyarakat pedesaan. Sementara itu, kebijaksanaan baru tersebut juga memperingan persyaratan bagi bank-bank yang ingin meningkatkan statusnya menjadi bank devisa, membuka kemungkinan pendirian bank campuran dan memberi kesempatan bagi bank asing untuk membuka kantor cabang pembantu di kota-kota tertentu. Persyaratan untuk menjadi bank devisa telah diperingan dan hanya dikaitkan dengan tingkat kesehatan bank yang bersangkutan. Termasuk dalam persyaratan adalah bahwa volume usaha bank tersebut harus mencapai sekurang-kurangnya sebesar Rp 100 milyar. Dalam hal pendirian bank campuran dan pembukaan kantor cabang pembantu bank asing dipersyaratkan bahwa 12 bulan se jak didirikannya kantor bank termaksud posisi pemberian kre dit ekspornya harus mencapai sekurang-kurangnya 50% dari seluruh kredit yang diberikan. Di samping kemudahan-kemudahan tersebut telah disempurnakan pula ketentuan mengenai kewajiban bank untuk memelihara likuiditas minimum baik dalam rupiah maupun valuta asing, yaitu dengan menurunkan likuiditas wajib minimum dari 15% menjadi 2% dari kewajiban kepada pihak ketiga. Ketentuan likuiditas wajib minimum sebesar 2% tersebut juga berlaku bagi LKBB. Untuk meningkatkan kemampuan bank dan LKBB dalam memelihara kesehatannya, kepada bank dan LKBB diberlakukan ketentuan batas maksimum pemberian kredit kepada debitur dan debitur grup serta pemegang saham dan pengurus bank. Batas maksimum tersebut antara lain adalah sebesar 20% dari modal sendiri bank atau LKBB, untuk fasilitas yang disediakan bagi satu debitur, 50% dari modal sendiri bank atau LKBB bagi satu debi tur grup dan 5% dari modal sendiri bank atau LKBB bagi anggo ta dewan komisaris yang bukan pemegang saham atau perusahaan yang dimilikinya. Sebagai penyempurnaan dan tindak lanjut dari Paket 27 Oktober 1988, dikeluarkan Paket 25 Maret 1989 yang memuat ke tentuan-ketentuan sebagai berikut. Penilaian kesehatan bank IV/87 hasil merger dapat dilakukan berdasarkan gabungan keadaan bank-bank tersebut selama 24 bulan ke belakang. Bagi BPR untuk ditingkatkan menjadi bank umum disesuaikan dengan kemampuannya masing-masing dan tidak diberikan batas waktu. Selanjutnya komponen modal untuk perhitungan lending limit dan capital adequacy lebih diperjelas baik untuk bank dan LKBB yang berbadan hukum Indonesia maupun untuk kantor cabang bank asing. Modal bank campuran yang berasal dari partner asing tidak dapat diswapkan ke Bank Indonesia. Sementara itu, untuk lebih memperlancar pelaksanaan ketentuan mengenai lending li mit telah diperjelas pengertian debitur grup dan beberapa jenis kredit dibebaskan dari ketentuan lending limit terse but. Jenis-jenis kredit ini antara lain adalah kredit-kredit yang dijamin oleh pemerintah, kredit yang dijamin oleh lemba ga jaminan kredit atau bank/LKBB lain di luar negeri serta kredit program. Sedangkan dalam rangka penyediaan dana inves tasi guna menunjang pelaksanaan Repelita V diberikan kesem patan yang lebih luas bagi bank untuk melakukan penyertaan pada lembaga-lembaga lain dan memberikan kredit investasi jangka menengah dan panjang. Lebih lanjut, dalam rangka lebih memberi kesempatan kepada bank untuk meningkatkan kesehatannya telah diperlonggar sanksi mengenai penutupan bank yang k u r an g se h at m au p un ba n k ya n g t idak sehat sampai tanggal 1 April 1990. Sementara itu pangsa pemilik modal partner Indo nesia dalam modal bank campuran dapat ditingkatkan di atas 15% dan pelaksanaannya diserahkan kepada para pemegang saham yang bersangkutan. Sekalipun Paket 27 Oktober 1988 merupakan kebijaksanaan deregulasi tetapi adanya paket ini tidak berarti adanya pelonggaran dalam kegiatan pengawasan. Dengan adanya kemudah ankemudahan tersebut serta bertambah luasnya jaringan kantor bank dan jumlah bank, kegiatan pembinaan dan pengawasan bank justru terus ditingkatkan. Agar pengawasan tersebut dapat lebih efektif maka sistem, organisasi dan personalia yang berkaitan dengan pengawasan bank terus disempurnakan. Penyempur naan itu mencakup aspek-aspek pelaksanaan pengawasan tidak langsung, penyempurnaan pemeriksaan, kelengkapan sarana dan kualitas personalia serta peningkatan peranan kantor cabang bank sentral dalam pengawasan dan pembinaan bank. Dalam pada itu, usaha-usaha untuk memperluas dan memperlancar lalu lintas pembayaran giral serta meningkatkan pe layanan jasa perbankan bagi masyarakat terus dilakukan. Sehu bungan dengan itu selama Repelita IV telah ditunjuk 11 kantor cabang bank pemerintah sebagai penyelenggara kliring lokal. IV/88 Dengan penunjukan tersebut, pada akhir Maret 1989 jumlah kli ring lokal yang diselenggarakan oleh bank pemerintah diseluruh Indonesia telah mencapai 35. Dalam Repelita IV jumlah bank secara keseluruhan yang terdiri dari bank umum, bank pembangunan dan bank tabungan telah berkurang dengan 6 bank sehingga menjadi 111 bank pada akhir Desember 1988. Pengurangan itu disebabkan oleh terjadi nya penggabungan usaha di kalangan bank swasta nasional. Di lain pihak jumlah kantor bank-bank tersebut, yang terdiri dari kantor pusat, kantor cabang dan kantor cabang pembantu, telah bertambah dengan 374 sehingga menjadi 1.716 kantor pada akhir Desember 1988. Bank perkreditan rakyat, yang terdiri dari bank desa, lumbung desa, bank pasar dan bank pegawai, pada akhir Desember 1988 berjumlah 5.769, lebih kecil dibandingkan dengan pada akhir Maret 1984 sebanyak 5.823. Peningkatan peranan lembaga keuangan bukan bank diusaha kan melalui perluasan pelayanan jasa-jasa lembaga keuangan tersebut bagi masyarakat. Pada dasarnya pengembangan usaha lembaga keuangan bukan bank (LKBB) berkaitan erat dengan per kembangan pasar uang dan pasar modal. Tugas dan fungsi LKBB adalah sebagai penunjang pengembangan pasar uang dan pasar modal melalui penerbitan dan perdagangan surat-surat berharga jangka pendek dan jangka panjang. Hingga akhir Desember 1988 jumlah LKBB adalah sebanyak 13, terdiri dari 9 LKBB jenis investasi, 3 LKBB jenis pem bangunan, dan 1 LKBB jenis pembiayaan perumahan. Selain itu terdapat 11 kantor perwakilan asing, yang sesuai dengan ke tentuan yang berlaku hanya bertindak sebagai penghubung dari kantor pusatnya di guar negeri. Perkembangan usaha LKBB dapat dilihat dari peningkatan nilai aktivanya dan pengerahan serta penanaman dananya. Sampai akhir Desember 1988 jumlah aktiva L K B B m en c a pa i R p 3 .0 6 2 ,9 mi l y ar , j u mlah dana sebesar R p 2.901,4 milyar dan jumlah penanaman dana sebesar Rp 2.905,3 milyar. Untuk memperluas pasar efek telah dibentuk lembaga yang berfungsi memelihara likuiditas efek dengan cara membeli dan menjual efek tertentu di bursa paralel. Di bursa paralel pemodal asing diizinkan untuk ikut serta dalam perdagangan efek. Untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diingini "insider trading", yaitu melakukan perdagangan efek dengan menggunakan informasi tentang keadaan dan kebijaksanaan emiten yang masih bersifat rahasia, dilarang. IV/89 Dari hasil kebijaksanaan pasar modal selama ini jumlah perusahaan yang "go public" mencapai 25 perusahaan dengan pe narikan dana masyarakat sebesar Rp 193,8 milyar atas saham yang diterbitkan sebanyak 70.546,7 ribu lembar. Sedangkan perusahaan yang menerbitkan obligasi adalah sebanyak 14 perusahaan dengan penarikan dana masyarakat sebesar Rp 1.098,7 milyar. Selain itu PT Danareksa telah menerbitkan sertifikat sebanyak 16.920,3 ribu lembar, dengan nilai seluruhnya sebesar Rp 167,8 milyar. Apabila pada tahun 1983 jumlah nilai penjualan saham baru mencapai Rp 13,6 milyar, maka pada tahun 1988/89 telah meningkat menjadi Rp 30,4 milyar. Pada kurun waktu yang sama indeks saham gabungan telah meningkat dari 80,4 menjadi 335,5. Di bidang perasuransian, sebagai hasil kebijaksanaan selama ini jumlah perusahaan asuransi seat ini mencapai 116 buah, terdiri dari 30 perusahaan asuransi jiwa, 5 perusahaan asuransi sosial dan 81 asuransi kerugian/reasuransi dengan nilai investasi sebesar Rp 2.655,6 milyar. Sedangkan jumlah perusahaan leasing mencapai 83 perusahaan dengan nilai kon trak leasing Rp 1.451,6 milyar. IV/90