PARADIGMA KRITIK TEKS (NAQD AL-NASH) ALI HARB: Dari Qirā

advertisement
PARADIGMA KRITIK TEKS (NAQD AL-NASH) ALI
HARB: Dari Qirā’ah Mayyitah menuju Qirā’ah MuntijahNaqdiyah
Toni Pransiska
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Abstract: This article discussed the paradigm of text criticism (naqd alnash) on Ali Harb‟s perspective. This paradigm was a contemporary
readings in the Islamic Studies. Criticism of the text meant here was the
transformation from the text of righteousness towards the truth text. In
hence, the readers didn‟t get caught up in reading dead (qirā‟ah mayyitah)
and repetition (qirā‟ah mutakarrirah) could cause the pattern of Islamic
religious paradigm became rigid and atomistic interpretation. Authority of
the text was more favored than the other scientific authorities such as
natural sciences, social sciences, humanities science, rationality (aqliyah),
and intuition (wujdāniyah). Through this paradigm, Ali Harb wanted to
release the hegemony of objective truth to relative the truth. Finally, There
were no more claims of truth in the middle of moslems religious life.
Keyword: text criticism, text authority, truth claim
A. PENDAHULUAN
Sejarah “runtuhnya” peta intelektualitas keislaman yang membuat Islam harus
mengakui ketertinggalannya dari kereta peradaban, telah membuat para pemikir
muslim kontemporer bangkit dari tidur panjangnya.1 Kembangkitan pemikiran
keislaman yang oleh Hasan Hanafi disinyalir sebagai kebangkitan Islam gelombang
ketiga telah dirintis sejak masa Rif‟ah Thanthāwi (1801-1873), Jamāl Al-Dīn AlAfghāni (1838-1897), Muhammad Abduh (1848-1905), dan Rasyīd Ridhā (18651935), yang selanjutnya dikembangkan oleh para pemikir muslim kontemporer
1
Lihat M. Aenul Abied Shah, et al, Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur Tengah,
(Jakarta: Mizan, 2001), hlm. 256.
1
berikutnya.2 “Kambing hitam” pun dilontarkan kepada mereka yang telah ikut andil
dalam menciptakan “dosa besar” sejarah Islam itu. Secara simultan mereka berasumsi
bahwa stagnasi pemikiran keislaman disebabkan oleh “matinya” gairah berfilsafat
(berlogika) di Timur.
Sementara di Barat, para filsafat yang sering diistilahkan dengan tanwīr atau
filsafat pencerahan yang diperlopori oleh tokoh-tokoh semisal Francois Bacon (15611626), Galileo Galilei (1564-1642), Voca Giambattista (1668-1744), Voltaire (17341778), dan lain-lain terus menyala yang menjadikannya melaju pesat meninggalkan
Timur. Dengan stressing developing yang meletakkan supremasi akal sebagai “dewa”
kebangkitan. Sementara itu, filsafat dan ilmu pengetahuan telah didudukkan sebagai
“dewa” baru mereka. Pemahaman ini menggantikan kedudukan Tuhan yang
sebenarnya dalam agama (dalam konteks ini Kristen) yang sarat dengan muatan
doktrinal dan dogmatis. Maka “kebebasan” berfikir yang dapat merekomendasikan
legalitas pencarian terhadap sebuah “kebenaran” adalah jargon yang mereka
lontarkan. Kebenaran miliki setiap “pencari” kebenaran itu sendiri.3
Melihat fenomena itu, demi mengejar ketertinggalannya, para pemikir muslim
kontemporer merasa tegugah untuk membangkitkan gairah berfilsafat di Timur
(Islam), dengan melihat Barat sebagai contoh untuk maju. Metodologi yang
diterapkan adalah metodologi ala Barat. Karakteristiknya mudah ditebak, yaitu
rasionalistis, kebebasan berfikir, dan kebebasan mengungkapkan pendapat.
„Ali Harb, penulis dan pemikir Islam asal Libanon, adalah salah satu figur
yang ikut terlibat dalam pergulatan wacana pemikiran Arab-Islam kontemporer saat
ini. Dalam pandangan „Ali Harb, pembacaan ulang terhadap landasan-landasan
tradisi, pada saat yang sama, merupakan pengkajian ulang terhadap diri (subjek),
rekonstruksi pemikiran, nalar, dan penilaian, serta bangkitnya kesadaran untuk
2
Lebih lanjut lihat Hasan Hanafi dan Muhammad Abid al-Jabiri, Hiwār al-Masyriq wa alMagrib, (Kairo: Maktabah Madbuli, 1990), Cet. I, hlm. 24.
3
M. Aenul Abied Shah, et al, Islam Garda.....hlm. 257.
2
perubahan. Untuk merealisasikan hal ini, bangsa Arab dan umat Islam harus kembali
kepada teks dan mrncoba untuk memahaminya.
Sebagai seorang pengkaji pemikiran Arab-Islam, „Ali Harb merupakan salah
satu dari mereka yang merasakan perlunya untuk mengkaji ulang konsep teks
sebelum proses pembacaan atas teks tersebut dilakukan. Teks, menurut „Ali Harb,
seharusnya menjadi wilayah pemikiran atau kajian. Artinya, teks membutuhkan
sebuah pembacaan yang mengubah dirinya dari sekedar kemungkinan menjadi proses
pengetahuan yang produktif.4 Oleh karena itu, penulis dalam kesempatan ini ingin
menguraikan poin-poin penting menjadi gagasan sang kontroversial tersebut. Yakni
dengan melihat lebih jauh dan mendalam mengenai proyek al-Nash wa al-Haqīqah
(Teks dan Kebenaran) terutama dalam buku pertamanya Naqd al-Nash (Kritik Teks)
dan bahasan-bahasan yang mengitarinya.
B. ALI HARB: SEBUAH PROFIL SINGKAT
„Ali Harb lahir di Libanon pada tahun 1941. Ia menyelesaikan pendidikan
akademisnya di Universitas Libanon dan meraih gelar master dalam bidang filsafat
pada tahun 1978. Di universitas yang sama ia mengajar filsafat Arab dan Yunani
sejak tahun akademik 1976-1993. Pada tahun akademik 1995-1996, ia memperoleh
kesempatan menempuh gelar agrégation dari Universitas Paris, Perancis. Ia telah
aktif menulis artikel di pelbagai surat kabar serta jurnal-jurnal kebudayaan Arab sejak
tahun 1979. Ia juga aktif menyampaikan kuliah dalam pelbagai simposium dan
seminar seputar isu pemikiran dan kebudayaan di negara-negara Arab, seperti
Tunisia, Maghrib, Bahrain, Suriah, Arab Saudi, Mesir, dan Kuwait. Saat ini ia
mengajar di Universitas Beirut, Libanon.5
Jika dilihat dari karya-karya yang telah dihasilkannya, „Ali Harb dapat
dikategorikan sebagai seorang penulis yang cukup produktif. Dalam karir
4
Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran, (terj.) Sunarwoto Dema, (Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. I,
hlm. 7.
5
Sunarwoto Dema, “Pengantar Penerjermah”, dalam „Ali Harb, Hermeneutika Kebenaran,
(Yogyakarta: LKiS, 2003), cet. I, hlm. ix-x.
3
kepenulisannya, ia telah menghasilkan ratusan artikel dan esai yang dipublikasikan di
pelbagai jurnal dan majalah di dunia Arab. Ia juga telah menghasilkan lebih dari dua
puluh buku untuk khazanah kepustakaan Arab. Pada umumnya, buku-buku tersebut
berasal dari kumpulan esai dan artikel yang pernah ditulis di pelbagai jurnal dan
majalah di dunia Arab, termasuk makalah-makalah yang pernah dipresentasikan
dalam pelbagai kesempatan. Di antara buku-buku „Ali Harb yang pernah
dipublikasikan antara lain6: Al-Ta‟wīl wa al-Haqīqah, Beirut: Dar al-Tanwir, 1985;
Mudakhilāt, Beirut: Dar al-Hadatsah, 1985; Al-Hubb wa al-Fanā‟, Beirut: Dar alManahil, 1990; Lu„bah al-Ma„nā‟ Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi, 1991;
Naqd al-Nashsh, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi, 1993; Naqd al-Haqīqah,
Beirut: Al-Markaz al-Tsaqāfi al-„Arabi, 1993; As‟ilah al-Haqīqah wa Rihanāt alFikr, Beirut: Dar Thali„ah, 1994; Al-Mamnū„ wa al-Mumtani„: Naqd al-Dzāt alMufakkirah, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi, 1995; Khitāb al-Huwiyyah:
Sirah Fikriyyah, Beirut: Dar al-Kunuz al-Adabiyyah, 1996; Awham al-Nukhbah wa
Naqd al-Mutsaqqaf, Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi, 1996; Al-Fikr wa alHadāts, Beirut: Dar al-Kunuz al-Adabiyyah, 1997, dan lainnya.
Karya-karya „Ali Harb - dengan menggunakan sudut pandang metodologis
tertentu – mencerminkan kemahirannya dalam menganalisis pelbagai problematika
pemikiran, seperti kebudayaan, identitas, Islam, Barat, intelektual, modernitas, postmodernitas dan lain sebagainya. Wawasan yang luas itu memberikan peluang bagi
dirinya untuk memaparkan problem paling signifikan yang tengah dihadapi oleh
kebudayaan Arab-Islam kontemporer, yaitu pembaruan pemikiran Arab-Islam. Di
samping itu, kebanyakan karya-karya „Ali Harb muncul dalam bentuk komentar kritis
atas gagasan para pemikir dan intelektual lain, baik Arab maupun Barat, seperti Zaki
Najib Mahmud, Muhammad „Imarah, „Abid al- Jabiri, Muhammad Arkun, Hassan
6
Lihat Khalid Bayumi, “Ali Harb: al-‘Arab Istaqalu min al-Tafsir al-Khallaq”, Wawancara dengan
‘Ali Harb, http://www.jehat.com/Jehaat/ar/Ghareeb/ali_harb1.htm; dan Mohammed Chaouki Zine,
“Modernizing the Thought in the Geographic and Cultural Contemporary Middle-East: The
Contribution from the Lebanese Philosopher ‘Ali Harb”, http://philozine.over-blog.com/article6821051.html. Diakses pada November 2015.
4
Hanafi, Nashr Hamid Abu Zaid, Immanuel Kant, Gilles Delluz, Martin Heidegger,
Noam Chomsky, dan lain sebagainya. Karena itu, pengaruh tokoh-tokoh ini tidak
dapat diabaikan dalam bangunan pemikirannya. Sementara aliran pemikiran yang
sangat mempengaruhinya adalah post-strukturalisme dan post-modernisme pada
umumnya. Namun, terutama ia sangat dipengaruhi oleh dekonstruksi Derrida dan
arkeologi Foucault.7
Sebagai seorang intelektual Arab, tentu saja „Ali Harb tidak dapat dipisahkan
dari konteks sosial-intelektual pada masanya. Kebanyakan intelektual Arab
berpendapat bahwa dunia Arab kontemporer sedang mengalami krisis kebudayaan,
yakni krisis identitas dan hilangnya memori Arab. Krisis tersebut pada dasarnya
bermula dari krisis kritik yang berujung pada krisis kreativitas. 8 Karena itu,
pemikiran „Ali Harb dapat dianggap sebagai bagian dari fenomena ”kritik diri” (naqd
al-dzāt)
sebagaimana
kontemporer.
diartikulasikan
oleh
banyak
intelektual
Arab-Islam
9
C. AL-NASH DALAM PERSEPSI ALI HARB
Istilah “kritik teks” diintroduksi oleh „Ali Harb di dalam triloginya, Al-Nashsh wa alHaqīqah. Istilah ini bahkan dijadikan sebagai judul untuk seri pertama dari triloginya
itu, yaitu Naqd al-Nashsh. „Ali Harb juga kerap menggunakan istilah lain dalam
pelbagai kesempatan, baik dalam tulisan maupun wawancara, untuk menunjuk pada
pengertian yang sama. Ia kadang menggunakan istilah “kritik atas kritik” (naqd al-
7
‘Ali Harb kadang menyebut kritik teks dengan istilah “kritik arkeologis-dekonstruktif” (naqd
hafri-tafkiki). Ini memperlihatkan bahwa pemikirannya dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida. Lihat
‘Ali Harb, Al-Mamnu‘ wa al-Mumtani‘: Naqd al-Dzāt al-Mufakkirah, (Beirut: Al-Markaz al- Tsaqafi al‘Arabi, 1995), hlm. 25.
8
Lihat Ilyas Khouri, Al-Dzākirah al-Mafqūdah, (Libanon: Mu’assasah al-Abhats al- ‘Arabiyyah,
1982); Nashr Hamid Abu Zaid, Isykaliyyāt al-Qirā’ah wa Aliyyat al-Ta’wīl, (Beirut: Al- Markaz al-Tsaqafi
al-‘Arabi, 2001); dan Adonis, Al-Tsābit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittibā‘ wa al-Ibdā’ ‘inda al-‘Arab,
(Beirut: Dar al-Awda‘, 1974-1978).
9
Keterangan yang cukup memadai mengenai fenomena “kritik diri” di dunia Arab
kontemporer dapat dilihat dalam Issa J. Boullata, Trends and Issues in Contemporary Arab Thought,
(New York: State University of New York Press, 1990). hlm. 54
5
naqd), “ontologi teks” (unthulūjiya al-nashsh), atau “kebenaran teks” (haqīqah alnashsh).
Sebagai sebuah strategi pembacaan, kritik teks yang digulirkan oleh „Ali Harb
kerap diasosiasikan dengan dekonstruksi yang berkembang dalam disiplin filsafat dan
ilmu Sosial-Humaniora Barat kontemporer. „Ali Harb sendiri memang mengakui
secara eksplisit bahwa dirinya adalah seorang dekonstruksionis dalam berinteraksi
dengan teks dan wacana pemikiran. Namun demikian, ia tidak pernah menegaskan
tradisi dekonstruksi mana yang paling berpengaruh dan dijadikan acuan utama dalam
memformulasikan kritik teksnya.10
1. Dunia Teks (Kainūnah al-Nash)
Dalam Naqd al-Nashsh, „Ali Harb menjelaskan bahwa teks bukan sekedar medium
bagi ilmu pengetahuan, tetapi ia juga merupakan objek ilmu pengetahuan yang berdiri
sendiri. Teks merupakan wilayah untuk menghadirkan pengetahuan yang senantiasa
dapat dikaji ulang.11 Transformasi teks dari ruang lingkup pengetahuan tertentu
menjadi disiplin tersendiri mengandung konsekuensi bahwa ia mempunyai desain dan
dunia yang otonom. Ia adalah wacana yang menetapkan kemampuannya, memperoleh
ketunggalannya, dan menjadi jejak yang dikembalikan pada dirinya. Artinya, ia
senantiasa memaksa kita untuk membacanya secara terus-menerus. Kita tidak
membaca teks lantaran ia mencerminkan atau mentransformasikan realitas. Teks yang
10
Dalam Naqd al-Nashsh, ‘Ali Harb menyatakan bahwa kritik teks merupakan suatu bidang
yang telah dirintis oleh orang lain, baik Arab ataupun non-Arab, orang-orang terdahulu ataupun
orangorang modern, dan ia hanya berusaha memanfaatkan dan mengembangkan capaian-capaian
tersebut secara kreatif. Dari kalangan para qudamā’, ‘Ali Harb menempatkan para mufassir dan ahli
takwil sebagai orang-orang yang terlebih dahulu mempraktikkan kritik teks. Bahkan, ia tak segansegan memposisikan Ibn ‘Arabi sebagai “bapak kritik teks” di kalangan para qudamā’. Ia juga
menyebut para pemikir Arab kontemporer seperti Adonis, Muhammad Arkun, dan Nashr Hamid Abu
Zaid, sebagai orang-orang yang mempraktikkan kritik teks dan dekonstruksi wacana terhadap tradisi
pemikiran Arab-Islam. Demikian pula beberapa intelektual Arab yang bergelut secara khusus dalam
bidang filsafat kritik dan dekonstruksi, seperti ‘Abd al-Salam bin ‘Abd ‘Ali, ‘Abd al-Aziz bin ‘Arafah,
Abdullah Ibrahim, Hasyim Shaleh, Kazhim Jihad, Muhammad Sabilan, dan Salam Yafut. Ia juga
menyebut nama-nama para filsuf Barat, seperti Nietzsche, Martin Heidegger, Michel Foucault, Gilles
Deleuze, Jacques Derrida, dan Paul Ricoeur. Lihat ‘Ali Harb, Naqd al-Nashsh, (al-Maghrib: al-Markaz
al-Tsaqāfi al-‘Araby, 2005 ), hlm. 25-26.
11
Ibid., hlm. 7
6
merefleksikan realitas tidak lagi memilki signifikansi karena ia berhenti seiring
dengan berhentinya realitas yang terjadi. Teks bukanlah cermin realitas, melainkan ia
berkutat di antara apa yang sedang terjadi dan apa yang mungkin akan terjadi.
Oleh karena itu, keterkaitan antara teks dengan realitas merupakan
penghapusan realitas itu sendiri. Ia adalah tabir penghalang yang mengabaikan
kebenaran teks di satu sisi, dan melepaskan realitas pada sisi yang lain. Karena watak
teks adalah menghalangi realitas, maka ikhtiar untuk mentransformasikan dan
mengaitkan teks dengan realitas tertentu hanya sekedar interpretasi atas sebuah teks
dengan teks lainnya, yakni “menghalangi penghalang” (hijb li al-hijb). Teks, dengan
demikian, menciptakan realitas sekaligus memiliki realitasnya sendiri. Ia membuat
pelbagai kemungkinan bagi pemikiran dan wahana bagi pemahaman.12
Dalam pandangan tradisional, bahasa (teks atau wacana) diandaikan sebagai
cermin dari makna, manifestasi subjek yang berkehendak dan berbicara, dan pantulan
referensi yang mendahului ekspresi linguistik. Namun dalam perspektif kritik teks,
wacana telah mengalami transformasi dari sekedar alat atau media menjadi wilayah
wujud itu sendiri, ia bergeser menjadi dunia tanda-tanda yang otonom. Teks
merupakan dunia yang memiliki bentuk dan struktur tersendiri, medan otonom yang
memiliki peta dan tingkatan, bahkan ia merupakan peristiwa yang tidak pernah usai
melahirkan jejak dan pengaruhnya kepada pembaca. Inilah yang dimaksud oleh „Ali
Harb dengan istilah “ontology teks”, yakni teks sebagai sebuah peristiwa ontologis
yang menentukan kebenarannya sendiri. Teks merupakan dunia otonom yang mampu
memproduksi makna-makna baru, sehingga memungkinkan bagi kita untuk menata
kembali kategori-ketegori kita terhadap pengetahuan dan kebenaran, pemikiran dan
pembacaan, bahkan terhadap esensi teks itu sendiri.13
Konsep teks „Ali Harb, dengan demikian, berbeda dengan konsep tradisional;
teks bukanlah media untuk menyampaikan kebenaran, namun sebaliknya, ia justru
12
Ibid., hlm. 12-13
Ali Harb, Al-Mamnū‘ wa al-Mumtani‘: Naqd al-Dzāt al-Mufakkirah, (Beirut: Al-Markaz alTsaqafi al-‘Arabi, 1995), hlm. 19
13
7
memproduksi kebenaran. Teks bukanlah intensi yang hendak memberitahukan
realitas, tetapi ia merupakan realitas itu sendiri yang memaksakan dirinya kepada
pembaca. Hubungan antara teks dengan pembaca dalam bingkai seperti ini disebut
oleh „Ali Harb dengan istilah al-wāqai‟„iyyah,14 yakni teks menentukan dirinya
sendiri dan melahirkan kebenarannya sendiri, dan pada saat yang sama ia menutupi
kebenarannya serta mendiamkan otoritas dan pengaruhnya kepada pembaca. Teks
menutupi kebenaran sebagaimana ia mengungkapkannya.
Berdasarkan kenyataan itulah „Ali Harb tidak percaya dengan kebenaran teks.
Baginya, teks tidak mengungkapkan kebenaran eksternal, melainkan ia adalah
wacana yang menentukan kemampuannya dan menciptakan kebenarannya sendiri.
Kebenaran bukanlah esensi yang melampaui kondisinya, atau terpisah dari dunia teks,
tetapi ia diciptakan oleh teks itu sendiri. Dalam konteks inilah „Ali Harb menyebut
kritik teks dengan istilah “kebenaran teks”; “kritik adalah transformasi dari “teks
kebenaran” (nashsh al-haqiqah) menuju “kebenaran teks” (haqīqah al-nashsh)”.15
2. Metaforisitas Teks
Dalam paradigma kritik teks, semua teks dianggap memiliki status yang sama.
Perbedaan antara teks yang satu dengan lainnya, baik dari aspek tema, isi, maupun
objeknya dianggap tidak signifikan. Hal yang paling penting adalah bagaimana cara
sebuah teks membangun wacana dan seperti apa mekanisme kerjanya. Oleh karena
itu, antara teks filsafat, teks sastra, dan teks keagamaan sangat mungkin dihimpun
menjadi satu, karena masing-masing merupakan “teks kebahasaan” yang tersusun
dari dunia wacana. Kendati masing-masing teks tersebut menggunakan mekanisme
tersendiri dalam memproduksi makna dan memberlakukan signifikansi, namun
14
Ali Harb membedakan antara istilah “al-waqā’i‘iyyah” dengan “al-wāqi‘iyyah”. Menurutnya,
istilah “al-wāqi‘iyyah” biasa digunakan oleh para penganut aliran realisme, yang berasumsi bahwa
teks merupakan produk realitas dan tercipta dari realitas. Dalam perspektif ini, teks ditafsirkan
dengan cara mentransformasikannya kepada realitas yang telah terjadi dan berlalu. Artinya, ia
diperlakukan sebagai saksi/bukti dari kebenaran yang harus dicapai dan diteliti.
15
Ali Harb, Naqd al-Nashsh, hlm. 13.
8
terdapat mekanisme umum yang menyatukan pelbagai ragam teks tersebut, yakni
kenyataan bahwa semua teks menggunakan teknik metaforis.16
Ada dua alasan mendasar yang membuat „Ali Harb mengandaikan bahwa
setiap teks memiliki status yang sama, yakni; Pertama, setiap teks memiliki
efektivitas dan pengaruh terhadap pembaca. Dengan kata lain, setiap teks memiliki
realitas dan gema tersendiri. Ia mempraktikkan kekuasaan dan otoritasnya kepada
pembaca, sebagaimana halnya ia menjadi sumber kekaguman, keindahan, dan
kesenangan bagi para pembacanya.
Kedua, teks merupakan dunia wacana. Teks sebagai dunia wacana memiliki
tiga karekteristik, yaitu: (1) teks merupakan suatu sistem yang terdiri dari tata bahasa,
retorika, dan logika; (2) setiap teks menggunakan prosedur, mekanisme, dan
permainan yang saling bersekutu dan mempraktikkan penipuan dengan cara
menyembunyikan dirinya, yaitu dunia wacana itu sendiri; (3) setiap teks
menggunakan teknik retoris dan perangkat metaforis.17
3. Strategi Teks
„Ali Harb menyatakan bahwa setiap teks mempunyai strategi untuk mempertahankan
eksistensinya, yakni dengan cara menutupi, menghalangi, dan menyembunyikan
dirinya di balik pandangan dan kategori-kategori yang dilontarkan kepada pembaca.
Ia menyebut hal ini dengan istilah “strategi hijab” (istirātijiyyah al-hijb).18 Dan cara
untuk menghadapi strategi teks seperti ini adalah dengan melakukan kritik, baik dari
dimensi subjek maupun teks. Pemecahan yang ia tawarkan adalah dengan
menggunakan konsep “tamatstsul” dan tamtsīl”.
Kedua konsep ini, menurutnya, mengindikasikan dua hal, yaitu: (1) subjek
tidak pernah bebas dalam mempresentasikan dunia dan benda-benda, karena di antara
dirinya dan objek-objek, bahkan antara subjek dan dirinya, terdapat dunia lain berupa
16
Ibid., hlm. 11
‘Ali Harb, Al-Mamnū‘ wa al-Mumtani‘, hlm. 75.
18
‘Ali Harb, Naqd al-Nashsh, hlm. 16
17
9
kecenderungan, permainan, karakter, gambaran, dan ilusi; (2) wacana atau teks tidak
pernah transparan dalam merepresentasikan dunia makna, karena bahasa bukan hanya
sekedar alat untuk berpikir.19
Teks, dengan demikian, merupakan kreatifitas semu yang senantiasa berdiri di
ambang batas antara benda-benda dan bentuk-bentuk, makna dan kegelapan,
pandangan dan ekspresi, kejelasan dan kesamaran, ilusi dan kebenaran, keseriusan
dan
permainan.
Teks
memerankan
pengaruhnya
dari
balik
subjek
dan
memperlakukan pembaca sebagaimana pembaca memperlakukannya. Istilah “strategi
hijab” ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang yang dibuat secara sengaja oleh
pengarang teks, atau karena pengarang menyembunyikan otoritas dan kebenaran dari
orang lain, juga bukan karena alasan pendidikan sebagaimana dilakukan oleh para
mufassir. Melainkan karena teks itu secara alami memang tidak memuat apa yang
dimaksudkan oleh pengarang dan karena tanda tidak menunjukkan petandanya secara
transparan.
D. PEMBAHASAN
Dalam bagian ini penulis menganalisis kecenderungan paradigma kritik teks „Ali
Harb di tengah pelbagai paradigma ilmiah yang berkembang dalam wilayah ilmu
pengetahuan saat ini.20 Sarantakos mengemukakan tiga paradigma yang dianggap
dominan saat ini, yaitu; positivistik, interpretatif, dan kritis. Masing-masing dari
ketiga paradigma itu memayungi beberapa model pendekatan yang berbeda antara
satu sama lain. Paradigma positivistik mencakup positivisme, neo-positivisme,
positivisme metodologis, dan positivisme logis. Paradigma interpretatif mencakup
19
Ibid., hlm. 15
Thomas Kuhn, seorang sejarahwan pengetahuan, dianggap sebagai tokoh yang pertama kali
memberikan makna kontemporer terhadap istilah ini. Secara umum, Kuhn mengartikan paradigma
sebagai beberapa contoh praktek ilmiah aktual yang diterima, seperti hukum, teori, aplikasi, dan
instrumen yang diterima bersama, sehingga merupakan model yang dijadikan sebagai sumber dan
tradisi-tradisi yang mantap dalam riset-riset ilmiah khusus. Lebih lanjut lihat Thomas Kuhn, The
Stucture of Scientific Revolution, (Chicago: Chicago University Press, 1970), hlm. 10. Lihat juga Akhyar
Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, (Bogor: Akademia, 2004), hlm. 7
20
10
interaksionisme simbolik, fenomenologi, etnometodologi, hermeneutik, psikoanalisis,
etnografi, dan sosiolinguistik. Sedangkan paradigma kritis mencakup sosiologi kritis,
kritik ideologi, marxsisme, dan feminimisme.21
Menurut Lubis, Sarantakos tidak memaparkan paradigma posmodernis karena
alasan bahwa paradigma tersebut belum dapat diterima sepenuhnya dalam ilmu
sosial-humaniora. Sebaliknya, Lubis menyatakan bahwa paradigma postmodern dapat
dikatakan sudah mantap sebagai paradigma ilmiah. Hal ini terbukti sejak teori
posmodern(is) menjadi tema dan pendekatan yang banyak dibicarakan/diterapkan
dalam seni rupa, arsitektur, sosiologi, psikologi, antropologi, arkeologi, sejarah,
feminimisme, sastra dan lain-lain sejak tahun 1970/1980-an. Bahkan, paradigma
pospositivisme, seperti teori kritis, konstruktivis, posstrukturalis, dekonstruksi,
fenomenologi, semiotik, hermeneutik, kerap diidentikkan dengan metode-metode
postmodern.22
Lalu di mana posisi paradigma kritik teks „Ali Harb di tengah pelbagai
paradigma ilmiah sebagaimana dikemukakan di atas? Bangunan epistemology
semacam apa yang membentuk paradigma kritik teks „Ali Harb? Perangkat
metodologi seperti apa yang digunakan oleh „Ali Harb dalam memformulasikan kritik
teks?
Berdasarkan
pembahasan
dalam
bagian
terdahulu,
penulis
dapat
menyimpulkan bahwa pemikiran „Ali Harb, secara epistemik, dipengaruhi oleh tradisi
pemikiran post-trukturalisme dan post-modernisme. Hal ini dapat dilihat dari
kenyataan bahwa „Ali Harb kerap menggunakan sudut pandang para pemikir
posstrukturalis dan posmodernis dalam pelbagai tulisannya. Demikian pula, konsep
21
S. Sarantakos, Sosial Research, (Melbourne: Macmillan Education, 1993), hlm. 31
Sebenarnya ada perbedaan antara istilah pospositivisme dengan posmodernisme.
Pospositivisme adalah istilah yang lazim digunakan dalam paradigma keilmuan/epistemologi,
sedangkan posmodernisme merupakan ekspresi atau paradigma kultural. Namun, antara keduanya
memiliki kesesuaian yang signifikan, seperti decentering subject, penolakan terhadap teori
objektifuniversal, pengakuan terhadap kebersatuan manusia dan dunia, pluralisme perspektif, pluralism
budaya, pengakuan terhadap pengaruh konteks sosial-historis pada subjek, dan lain sebagainya. Lihat
Akhyar Yusuf Lubis, Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis,...hlm. 73.
22
11
pengetahuan dan kebenaran yang dikemukakan oleh „Ali Harb pararel dengan
epistemologi posmodern. Para tokoh epistemologi postpositivis dan posmodernis
pada umumnya tidak mempercayai sepenuhnya fondasionalisme (baik rasionalis
maupun empiris) dengan mengemukakan pelbagai keterbatasan manusia. Analisa
keterbatasan itu termasuk anlisis terhadap rasio, empiris, bahasa, latar belakang
sosial-budaya yang bertujuan untuk mengetahui keterbatasan manusia (subjek) dalam
memahami dunia (objek). Epistemologi postmodern menolak dualisme subjek-objek,
dualisme rasional-irasional, dan kebenaran objektif-universal. Dalam pandangan
posmodernis, ilmu pengetahuan tidak dapat dikembangkan jika subjek terpisah dari
objek, karena sifat ilmu pengetahuan adalah dialogis, partisipatif, kontektual, lokal,
dan
historis.
Karena
itu,
epistemologi
posmodern
menampik
kesatuan
paradigma/metode ilmiah dan lebih cenderung merayakan pluralitas paradigma dan
heterogenitas permainan bahasa.
Pada level metodologi, kritik teks „Ali Harb, sebagaimana diintroduksi dalam
triloginya, Al-Nashsh wa al-Haqīqah, mengacu pada metode dekonstruksi.
Kesimpulan ini didasarkan pada dua alasan; pertama, „Ali Harb mengakui secara
eksplisit bahwa dirinya adalah seorang dekonstruksionis; kedua, kritik teks „Ali Harb
memiliki prinsip-prinsip yang sama dengan dekonstruksi, yaitu:
1. teks adalah semesta tak terbatas sehingga penafsiran dapat menghasilkan
makna di dalam jaringan yang tak berhingga;
2. tak ada pembaca teks yang memahami maksud pengarang secara total, karena
teks selalu melampaui intensi-intensi pengarang;
3. teks yang tunduk pada interpretasi selalu bertujuan mengubah atau mengganti,
karena penafsiran pada dasarnya merupakan aktivitas mengubah ucapan,
yakni pengeluaran signifikansi dan pembongkaran teks;
4. teks tidak dapat dipahami secara jelas dan transparan sehingga tidak ada
kesesuaian dalam suatu pembacaan, karena pemahaman, apapun bentuknya,
pada dasarnya berada dalam wilayah imajinasi dan irasionalitas. Inilah yang
12
menjadikan teks sebagai ruang perbedaan yang membuat pembacaan tidak
pernah final dan berakhir;
5. setiap teks yang berusaha menegaskan univokalitas akan selalu mengalami
kegagalan;
6. tak ada pembacaan yang sanggup merengkuh kebenaran teks, karena teks
bukan arena penjelasan kebenaran, tetapi merupakan medan perbedaan dan
kontradiksi;
7. pembaca hendaknya mencurigai setiap baris teks, karena teks selalu
menyembunyikan apa “yang tak terkatakan”;
8. bahasa mencerminkan pemikiran yang tidak ada kuat; “mengada-di-dalam
dunia” tidak mungkin dapat merengkuh makna transedental.
Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa kritik teks „Ali Harb
pada dasarnya merupakan ramuan dari pelbagai khazanah keilmuan kontemporer
yang berkembang di era postpositivisme dan postmodernisme. Paradigma kritik teks
„Ali Harb sendiri dapat dikatakan berada dalam epistemologi postmodern dengan
metodologi dekonstruksi, yang keduanya bernaung di bawah payung paradigma baru,
paradigma interpretative atau paradigma konstruktivis.
Berangkat dari uraian dan analisa diatas, sesungguhnya kritik teks (naqd alnash) merupakan salah satu cara yang banyak dilakukan oleh para ilmuwan dalam
rangka membaca sebuah teks. Membaca dalam arti yang luas dapat dikatakan sebagai
aktivitas memahami atau menafsirkan. Ali Harb melihat bahwa pembacaan terhadap
sebuah teks harus dimaksudkan untuk mengungkap apa yang belum dibaca
sebelumnya (Qirā‟atu mā lam yuqrā‟). Jika sebuah pembacaan masih sama dengan
bentuk zahir teks atau sama dengan yang telah ada dan tidak memunculkan sebuah
makna/metode yang baru maka sama halnya dengan melakukan pembacaan yang
mati (al-Qirā‟ah al-mayyitah) atau bahkan belum dapat dikatakan sebagai sebuah
pembacaan (al-Lāqirā‟ah). Sebagai solusinya Ali Harb menawarkan tiga strategi
pembacaan (al-Istirātijiyyah al-Mutsalah) yang berjalan secara sirkular yaitu; tafsīr
13
(interpretasi), ta‟wīl (hermeneutika) dan tafkīk (dekonstruktif). Sehingga tercapai
proses pembacaan yang dinamis, kreatif dan produktif (qirā‟ah muntijah) tanpa
mengurangi otoritas teks asal.
Oleh karena itu, untuk mewujudkan pemikirannya ini, ia menempatkan teks
terlepas dari pengarangnya (author) sehingga yang berperan adalah dialog antara teks
dan pembaca (reader). Kemudian ia menggunakan pendekatan fenomenologi
sebagaimana yang dilakukan oleh Paul Ricoeur yaitu dengan menggbungkan teori
hermeneutikanya Gadamer serta strukturalisme Ricoeur sendiri. Dari sini diharapkan
muncul sebuah pembacaan yang lebih banyak membicarakan bagaimana membaca
teks secara tepat, sesuai dengan rūh teks dan tidak memperbincangkan pembacaan
yang objektif/subjektif maupun benar/salah.
Jika metode di atas ditarik ke dalam teori pembacaan al-Qur‟an, maka bagi
Ali Harb langkah awal yang mesti diambil adalah dengan menempatkan al-Qur‟an
sebagai teks bahasa. Karena sebenarnya al-Qur‟an dibangun atas susunan kata,
kalimat yang mengandung makna dan signifikansi tertentu. Keberadaan al-Qur‟an
pada awal turunnya merupakan realitas metaforis-simbolik, dengan demikian alQur‟an dipandang sebagai teks “suci” yang tidak bisa disentuh oleh pemikiranpemikiran dari luar dirinya. al-Qur‟an menjadi sebuah teks terbuka untuk dikaji dan
terbuka bagi masuknya berbagai jenis metode dan pendekatan.
E. SIMPULAN
Ali Harb dengan latar filsafat, menggerus “pembaruan” melalui paradigma kritik
teksnya dan meramunya dengan khazanah Prancis untuk menemukan Islam yang
menzaman, membumi, dan menyejarah. Semangat untuk melakukan “pembaruan”
ini, telah membuahkan proyek besar “Teks dan Kebenaran” (An-Nashsh wa AlHaqîqah). Proyek ini mengantarkan Ali Harb untuk memahami teks sebagai simbol
dan setiap simbol tidak bisa mengabstraksikan realitas secara sempurna. Dari sinilah,
Ali Harb menyimpulkan bahwa “kebenaran” adalah “kebenaran minimal”.
14
Makna teks jika dipahami secara tersurat merupakan “tipuan”. Sebab, makna
hakiki dari sebuah teks bukanlah sebagaimana yang terbaca dari sebuah tulisan
(eksplisit). Oleh karenanya, Pembacaan yang terpaku dalam ranah “terpikirkan”
(mufakkar fîh) adalah pembacaan mati (al-qirā‟ah al-mayyitah) yang tidak produktif.
Pembacaan haruslah melampaui makna tersurat; sampai pada batas yang tak
terpikirkan (al-lâ mufakkar fîh) dari sebuah teks. Hal ini disebut juga dengan
“dekonstruksi teks”. Dekonstruksi mengandalkan “kematian penulis”, sehingga
interpretasi teks tak lagi tersekat oleh norma-norma subyektif.
Kritikan Ali terhadap “teks” karena penafsir tak bisa merepresentasikan
realitas teks. Dalam arti, teks, setelah muncul ke alam wujud berubah menjadi satu
kesatuan (kainûnah al-nash). Teks memiliki ruang epistemologis tersendiri (almaidān al-ma‟rifî). Jika demikian, ia tak bisa disangkutkan dengan realitas luar dan
akan terpisah dari penulisnya (author/al-muallif). Konsekuensinya, kritik teks bukan
saja membawa pembacaan lain yang terus diperbaharui, melainkan akan merubah
cara pandang pembacanya terhadap teks itu sendiri. Hakekat itu merupakan potensipotensi yang memunculkan makna lain dari sebuah teks melalui kacamata
dekonstruksi. Potensi yang demikian itu yang kemudian diistilahkan dengan “strategi
teks” (istarâtîjiyyah al-nash).
Bibliografi
Adonis. .Al-Tsabit wa al-Mutahawwil: Bahts fi al-Ittiba„ wa al-Ibda‟ „inda al-„Arab.
Beirut: Dar al-Awda„.1978.
Bayumi, Khalid. “Ali Harb: al-„Arab Istaqalu min al-Tafsir al-Khallaq”, Wawancara
dengan „Ali Harb. http://www.jehat.com/Jehaat/ar/Ghareeb/ali_harb1.htm;
Boullata, Issa J. Trends and Issues in Contemporary Arab Thought. New York: State
University of New York Press. 1990.
Harb, Ali, 1995. Al-Mamnu„ wa al-Mumtani„: Naqd al-Dzat al-Mufakkirah, Beirut:
Al-Markaz al- Tsaqafi al-„Arabi.
. .Al-Mamnū„ wa al-Mumtani„: Naqd al-Dzat al-Mufakkirah.
Beirut: Al-Markaz al-Tsaqafi al-„Arabi. 1995.
. Hermeneutika Kebenaran, (terj.) Sunarwoto Dema.
Yogyakarta: LkiS. 2003.
15
. Naqd al-Nashsh, al-Maghrib: al-Markaz al-Tsaqāfi al-„Araby.
2005.
Hasan Hanafi dan Muhammad Abid al-Jabiri. Hiwār al-Masyriq wa al-Magrib.
Kairo: Maktabah Madbuli. 1990.
Khouri, Ilyas. Al-Dzakirah al-Mafqudah, Libanon: Mu‟assasah al-Abhats al„Arabiyyah. 1982.
Kuhn, Thomas. The Stucture of Scientific Revolution, Chicago: Chicago University
Press. 1970.
Lubis, Akhyar Yusuf. Filsafat Ilmu dan Metodologi Posmodernis, Bogor: Akademia.
2004.
S. Sarantakos. Sosial Research, Melbourne: Macmillan Education. 1993.
Shah, M. Aenul Abied, et al. Islam Garda Depan: Mosaik Pemikiran Islam Timur
Tengah.Jakarta: Mizan. 2001.
Zaid, Nashr Hamid Abu. Isykaliyyat al-Qira‟ah wa Aliyyat al-Ta‟wil. Beirut: AlMarkaz al-Tsaqafi al-„Arabi. 2001.
Zin, Mohammed Chaouki. “Modernizing the Thought in the Geographic and Cultural
Contemporary Middle-East: The Contribution from the Lebanese Philosopher
„Ali Harb”. http://philozine.over-blog.com/article- 6821051.html.
16
Download