Tujuan Umum

advertisement
PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
I.
SITUASI PENYAKIT TIDAK MENULAR
Situasi PTM di Tingkat Global
Secara global, regional dan nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari
penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Berdasarkan proyeksi di peroleh jumlah kesakitan
dan kematian akibat penyakit tidak menular dan kecelakaan akan meningkat dan penyakit menular
akan menurun. Peningkatan yang signifikan terutama akan terjadi di negara-negara berkembang dan
miskin. Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan
gaya hidup, seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern.
Data WHO 2008 menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di seluruh dunia, sebanyak
36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh PTM. PTM juga membunuh penduduk dengan
usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh
kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM,
sedangkan di negara-negara maju, PTM berkontribusi 13% kematian yang terjadi pada penduduk
dengan usia kurang dari 60 tahun. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal
akibat penyakit tidak menular seperti PTM, penyakit jantung, dan diabetes pada tahun 2030. Pada
tahun 2030 PTM, penyakit jantung, dan stroke akan terus menjadi penyebab kematian paling
signifikan di seluruh dunia. Saat ini, kematian karena penyakit tidak menular di dunia 59%. Dalam
jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 47 juta kematian per tahun karena penyakit tidak
menular, naik 9 juta dari 38 juta pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti
malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya menurun, dari 18 juta saat ini menjadi 16,5 juta pada
tahun 2030.
Beban penyakit tidak menular berdasarkan proyeksi DALY akan meningkat dari dari 210,2 juta saat
ini menjadi 242,3 pada tahun 2030. Selain itu beban cedera secara global akan sedikit meningkat
dari 183,9 juta saat ini menjadi 191,1 juta.
Situasi PTM di Indonesia
Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases. Di satu
sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering terjadi KLB beberapa
penyakit menular tertentu, munculnya kembali beberapa penyakit menular lama (re-emerging
diseases), serta munculnya penyakit-penyakit menular baru (new-emergyng diseases) seperti
HIV/AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah. Di sisi lain, PTM menunjukkan adanya
kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu.
Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi
epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan
kematian karena penyakit menular semakin menurun (lihat gambar 1). Fenomena ini diprediksi akan
terus berlanjut.
Gambar 1 :Distribusi penyebab kematian menurut kelompok penyakit di Indonesia, SKRT 1995, SKRT
2001, Riskesdas 2007
Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa selama tahun 1995 hingga 2007 di Indonesia proporsi
penyakit menular telah menurun sepertiganya dari 44,2% menjadi 28,1%, akan tetapi proporsi
penyakit tidak menular mengalami peningkatan cukup tinggi dari 41,7% menjadi 59,5%, sedangkan
gangguan maternal/perinatal dan kasus cedera relatif stabil.
Kematian akibat PTM tahun 2010 adalah 59,5%, dan diproyeksikan meningkat menjadi 83% tahun
2030, terjadi peningkatan sebesar 23,5% (WHO 2010). Sebaliknya, kematian akibat penyakit menular
seperti TB, malaria, diare dan penyakit infeksi lainnya akan mengalami penurunan dari 28,1%
menjadi 8,6%. Namun, PTM dan HIV / AIDS akan meningkat secara dramatis pada tahun 2030.
Kematian akibat penyakit PTM akan meningkat sebesar 15,9%, dari 5,7% menjadi sebesar 21,6 juta.
Kematian akibat HIV/AIDS naik sebesar 129%, dari 0,01% saat ini menjadi 4.5% pada tahun 2030.
Penyebab kematian lainnya yang perlu diperhatikan adalah diabetes, penyakit paru obstrutif kronik,
dan penyakit pernapasan kronik.
Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD)
Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan,
Kementerian Kesehatan menemukan bahwa sekitar 30,6% dari semua kematian di Indonesia
disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah (total 512.000 kematian setiap tahunnya).
Pada tahun2008 diperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena Cerebro Vasculer Dissease (CVD), 30
% dari seluruh kematian di dunia, 7,3 juta karena Penyakit Jantung Koroner dan 6,2 juta karena
stroke. Pada tahun 2030nhampir 23,6 juta orang meninggal karena CVD dan sebagian besar karena
penyakit jantung dan stroke. (sumber:fact sheed NCD, September 2011)
Dari Tabel 2.3, dapat dilihat bahwa proporsi hipertensi adalah sama tinggi antara laki-laki dan
wanita, lebih tinggi di daerah perdesaan, dan juga tinggi antara kuintil lima (status ekonomi yang
lebih tinggi). Stroke lebih banyak ditemui di daerah perkotaan (9,1%). Sementara itu, proporsi
penyakit jantung lebih tinggi pada wanita (31,9%) dan di perdesaan. Secara umum, PJPD banyak
diderita pada kelompok rentan (perempuan) di daerah perdesaan, sehingga kebutuhan akan akses
pelayanan kesehatan yang lebih baik menjadi sangat penting pada kelompok ini.
2
Table 2.3. Proporsi Hipertensi, Stroke dan Penyakit Jantung
Hipertensi
Laki-laki
31.3%
Wanita
31.9%
Desa
32.2%
Kota
30.8%
Kuintil 5
33.0%
Sumber:: Riskesdas, 2007
Stroke
8.3%
8.3%
7.8%
9.1%
9.3%
Penyakit Jantung
6.2%
8.1%
7.8%
6.1%
7.3% (Q 4 &5)
Diabetes Melitus
Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit menahun yang timbul karena adanya peningkatan kadar gula
atau glukosa darah akibat akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Menurut WHO
2008, estimasi angka kematian di wilayah asia tenggara sebesar 14,5 juta jiwa dan 7,9 juta jiwa (55%)
penyebab dari kematian tersebut disebabkan oleh PTM yang salah satunya adalah DM (2,1%).
Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi
dan prevalensi DM. WHO memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari
8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO,
International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang
DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan
angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM
sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030.
Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional DM
berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun di perkotaan adalah 5,7
%. Berdasarkan prevalensi tesebut diketahui bahwa sebanyak 1,5 % mengetahui dirinya menderita
DM sedangkan 4,2% lainnya belum mengetahui dirinya menderita DM. Toleransi Glukosa Terganggu
(TGT) secara nasional berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk berumur > 15 tahun
yang bertempat tinggal di perkotaan sebesar 10,2 %.
Kanker
Kanker atau tumor ganas merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia dan di Indonesia.
Menurut data WHO tahun 2010 penyakit non infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak di
dunia, dimana kanker sebagai penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit
kardiovaskular. Setiap tahun, 12 juta orang di dunia menderita kanker dan 7,6 juta diantaranya
meninggal dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007,
tumor/kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 sebesar 5,7% dari seluruh penyebab
kematian. Prevalensi tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk, lebih tinggi pada perempuan
(5,7 per 1000 penduduk) daripada pada laki-laki (2,9 per 1000 penduduk).
Kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara dan kanker leher rahim. Menurut data Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2008, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien
rawat inap di seluruh RS di Indonesia (18,4%), disusul kanker leher rahim (10,3%). Beberapa
penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kasus baru/insidens (semua jenis) per 100.000
penduduk adalah 170-190. Menurut International Agency for Research on Cancer (IACR) tahun 2008,
kanker payudara merupakan kanker tertinggi pada perempuan di Indonesia dengan insidens 36 per
100.000. Sedangkan pada laki-laki kanker paru menjadi kanker tertinggi pada laki-laki dengan
insidens 30 per 100.000.
Penyakit Kronis dan Degeneratif
Data WHO dan World Bank 2005 menyatakan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan
keenam sebagai penyebab utama kematian di dunia. Namun pada tahun 2002 dan 2005 telah
3
menempati urutan ketiga sebanyak 4.057.000 setelah penyakit kardiovaskular (17.528.000) dan
kanker (7.586.000).
Berdasarkan data yang didapatkan dari rumah sakit pendidikan diseluruh Indonesia saat ini angka
kesakitan dan kematian penyakit kronis dan degeneratif (PPOK, Asma, Osteoporosis, Osteoartritis,
Gagal Ginjal Kronis, Parkinson, Thalasaemia, SLE (sistemik lupus eritematosus) cenderung meningkat
dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Data Riskesdas 2007 berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan dan gejala secara nasional prevalensi penyakit sendi adalah 30,3%,
prevalensi Asma 3,5%, prevalensi thalasaemia 0,1% (berdasarkan keluhan responden). Risiko
osteoporosis di 16 wilayah Indonesia tahun 2005, diketahui bahwa prevalensi Osteoporosis Dini
(Osteopenia) sebesar 41,8% berarti 2 dari 5 penduduk memiliki risiko terkena osteoporosis,
sedangkan prevalensi osteoporosis pada kelompok umur ≥ 55 tahun sebesar 10,3%. Osteoporosis
pada perempuan 2 kali lebih besar dibandingkan pada laki-laki. (Litbangkes, 2005)
Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan
Cedera merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat karena dampak dan konsekuensinya
baik pada individu atau masyarakat yang terpapar. Setidaknya 5,8 juta orang meninggal karena
cedera. Kasus paling sering disebabkan oleh cedera lalu lintas jalan (23%), bunuh diri (15%),
pembunuhan (11%), tenggelam (7%), dibakar (6%), racun (6%), lainnya (21%) (WHO , 2004).
Di Indonesia, cedera merupakan 4 penyebab utama kematian setelah stroke, TB, dan hipertensi.
Kebanyakan kasus cedera dikarenakan akibat kecelakaan lalu lintas jalan (25,9%). Jumlah ini
meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun. Karena situasi ini, Direktorat Penyakit Tidak
Menular berupaya untuk mengatasi masalah ini dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan dalam
mencegah dan mengendalikan faktor risiko cedera lalu lintas jalan.
Faktor Risiko PTM
Beberapa faktor risiko utama dari penyakit tidak menular adalah konsumsi tembakau, kurang
konsumsi buah-buahan dan sayur, obesitas, kurang aktivitas fisik dan konsumsi alkohol. Khusus
untuk Indonesia, faktor risiko yang paling umum adalah konsumsi tembakau, yang paling tinggi pada
kelompok laki-laki.
Meskipun Indonesia adalah negara pertanian, konsumsi buah dan sayuran sebanyak 5 porsi per hari
masih sangat sulit dilakukan karena pengaruh sosial dan budaya. Obesitas dan kurang aktivitas fisik
menjadi faktor risiko utama untuk kelompok masyarakat tertentu seperti masyarakat diperkotaan,
anak, wanita usia subur serta kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi.
Khusus untuk konsumsi alkohol, meskipun angka nasional (4,6%) masih sangat rendah, proporsi di
bagian timur Indonesia (17,7%) relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain. Konsumsi alkohol
secara kultural tidak dapat diterima di sebagian besar penduduk Indonesia, kecuali di bagian timur
Indonesia.
Konsumsi Tembakau
Konsumsi tembakau telah menjadi kebiasaan di kalangan laki-laki di Indonesia. Jenis tembakau yang
digunakan adalah rokok. Di negara ASEAN perokok laki-laki sekitar 53,5% (tertinggi kedua) dan 3,9 %
wanita (rentang dari 0,3 % menjadi 55,9 %) - perkiraan perbandingan prevalensi merokok (WHO
2008). Indonesia memiliki perokok aktif terbesar ketiga, setelah China & India (WHO, 2008).
Trend perokok pemula remaja usia 10-14 tahun meningkat tajam, dari 9.5% (Susenas, 2001) menjadi
17.5% (Riskesdas, 2010). The Global Youth Tobacco Survey menyebutkan, lebih dari sepertiga pelajar
dilaporkan biasa merokok dan 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur
dibawah 10 tahun.
4
Prevalensi merokok pada perempuan meningkat hampir 4 kali lipat dari 1,3% pada tahun 2001
menjadi 4,2% pada tahun 2010. Perokok mempunyai risiko 2-4 kali lipat untuk terkena penyakit
jantung koroner dan risiko lebih tinggi untuk penyakit kanker paru, di samping penyakit tidak
menular lain yang sebenarnya dapat dicegah. WHO menyatakan bahwa konsumsi rokok dapat
membunuh satu orang setiap detik. Di Indonesia sendiri, jumlah kematian akibat penyakit yang
disebabkan oleh rokok berkisar 200 ribu orang setiap tahunnya.
Indonesia merupakan negara terbesar ke empat dalam konsumsi tembakau, setelah China, Russia,
and Amerika Serikat (Tobacco Atlas, 2007). Konsumsi tembakau di Indonesia pada tahun 2011: 270
milyard batang. 190,260 orang meninggal di Indonesia karena penyakit terkait tembakau (12.7 %
dari total kematian). Total kerugian Makroekonomi pada tahun 2010: 245.41 Trilyun Rupiah
Table 2.4. Prevalensi rokok sebagai faktor risiko PPOK dan Asma
Perokok di Indonesia
Prevalensi Merokok (> usia 15 tahun)
Perokok Laki-laki (> usia 15 tahun)
Wanita (>usia 15 tahun)
Masyarakat yang terpapar asap rokok
2007
2010
33.4%
65.29%
5.06%
84.5 %
34.7%
65.9%
4.2%
76.1%
Sumber: Riskesdas 2007, 2010
Seperti dapat dilihat dari grafik di bawah ini (Gambar 2.5) proporsi perokok laki-laki meningkat pada
tahun 1995 sampai dengan tahun 2007. Proporsi perokok wanita meningkat antara tahun 1995
sampai dengan tahun 2007 tetapi menurun antara tahun 2007 dan tahun 2010.
Grafik 2.5. Perbandingan Perokok Wanita dan Pria di Indonesia, 1995-2010
Sumber: SKRT dan Riskesdas, 1995-2010
Diet Tidak Sehat
Seperempat dari jumlah penduduk di Indonesia mempunyai kebiasaan makan makanan asin setiap
hari. Lebih dari 90 % orang makan buah dan sayuran di bawah standar yang disarankan dari 5 porsi
sehari. 13 % masyarakat mengkonsumsi makanan berlemak yang disajikan setiap harinya. 77,8% dari
jumlah penduduk mengkonsumsi bahan tambahan makanan (penyedap), 65,2% mengkonsumsi
makanan dengan kadar gula tinggi (permen). Masyarakat di Indonesia biasa mengkonsumsi makanan
5
dalam kemasan yang sebagian besar mengandung penyedap dan menambahkan bumbu penyedap
dalam masakannya. Konsumsi manis banyak ditemukan pada makanan penutup, minuman dan
snack.
Kurang Aktivitas Fisik
Sepertiga dari penduduk usia dewasa kurang aktivitas fisik (kedua jenis kelamin). Hal ini
menunjukkan bahwa hampir di semua wilayah ditemukan 40% atau lebih penduduk yang kurang
aktivitas fisiknya.
Obesitas dan kegemukan
Seperlima dari jumlah penduduk di Indonesia kelebihan berat badan atau obesitas (10,3 persen
obesitas dan kelebihan berat badan 8,8 persen). Pada wanita - 23 persen dan pada pria 13,9 persen
di atas maksimum yang direkomendasikan BMI. Obesitas dan kelebihan berat badan lebih tinggi di
antara wanita dibandingkan laki-laki, dan di perkotaan daripada di perdesaan.
Konsumsi Alkohol
Proporsi konsumsi alkohol di kalangan penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia pada tahun 2007
lebih tinggi pada laki-laki (5,8%) dibandingkan perempuan (0,4%) dan proporsinya sedikit meningkat
pada laki-laki dibandingkan pada tahun 2001 (5,7%). Konsumsi alkohol bukanlah perilaku umum di
Indonesia, namun di bagian timur Indonesia seperti di Nusa Tenggara Timur (17,7%), Sulawesi Utara
(17,4%) dan Gorontalo (12,3%) memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari prevalensi nasional.
II.
Program pengendalian PTM
Pengendalian PTM di Indonesia telah dimulai oleh berbagai pihak, pemerintah maupun non
pemerintah. Sejak tahun 2006, program pengendalian PTM dikoordinasi oleh Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak Menular, dengan terbentuknya direktorat ini. Kegiatan pengendalian
PTM yang berjalan hingga tahun 2012 adalah:
1.
Promosi kesehatan dan perlindungan populasi berisiko PTM yang efektif dan didukung regulasi
memadai melalui kebijakan yang berpihak pada kesehatan untuk menjamin pelaksanaannya
secara terintegratif melalui “Triple Acs” (active cities, active community and active citizens)
dengan kerja sama lintas program, kemitraan lintas sektor, pemberdayaan swasta/industri dan
kelompok masyarakat madani. Upaya promosi dan kampanye pencegahan PTM dilakukan oleh
Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan lintas program, lintas sektor yaitu organisasi
pemerintah, swasta, dan masyarakat. Setiap tahun, Kementerian Kesehatan dan pihak lainnya
memperingati Hari PTM Sedunia dengan melaksanakan berbagai kegiatan, berupa: kampanye
secara massal dan kegiatan skrening dan deteksi dini PTM.
2. Deteksi dan tindak lanjut dini PTM secara terintegrasi dan fokus pada faktor risikonya, melalui
pemberdayaan masyarakat, yang didukung oleh sistim rujukan dan regulasi memadai, dengan
kerja sama lintas profesi dan keilmuan, lintas program, kemitraan lintas sektor, pemberdayaan
swasta/industri dan kelompok masyarakat madani. Sampai saat ini Direktorat PPTM, terus
mengembangkan kegiatan deteksi dini FR PTM melalui kegiatan posbindu PTM, melalui
kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat. Sejak tahun 2007, Kementerian Kesehatan
bekerja sama dengan profesi Onkologi dan pemerintah daerah telah mengembangkan program
deteksi dini PTM payudara dan PTM leher rahim melalui pemeriksaan Inspeksi Visual dengan
Asam Asetat (IVA) dan pemeriksaan payudara oleh petugas kesehatan Clinical Breast
Examination (CBE) dan Periksaan Payudara Sendiri (SADARI). Program ini telah dicanangkan
6
oleh Ibu Negara Indonesia sebagai program nasional pada 21 April 2008. Pada tahun 2012
sudah terdapat 23 propinsi, 115 kab/kota, dan 310 puskesmas yang melakukan program ini
3. Tatalaksana penderita PTM (kuratif-rehabilitatif) yang efektif dan efisien, yang didukung
kecukupan obat, ketenagaan, sarana/prasarana, sistim rujukan, jaminan pembiayaan dan
regulasi memadai, untuk menjamin akses penderita PTM dan faktor risiko terhadap tatalaksana
pengobatan baik di tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder maupun tertier. Dalam hal ini
Direktorat PPTM sejak tahun 2012, mulai meningkatkan kapasitas Puskesmas dalam pelayanan
PTM, dengan menyediakan regulasi, dan peningkatkan SDM di Puskesmas.
Saat ini di Indonesia terdapat fasilitas diagnosis dan pengobatan PTM di pada 21 pusat radiasi,
yaitu : 5 di Jakarta; 1 di Bandung, Jawa Barat; 4 di Semarang, Yogyakarta, Solo, Purwokerto,
Jawa Tengah; 3 di Surabaya, Malang, Jawa Timur; 5 di Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang,
Sumatra; 1 di Bali; 1 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan; 1 di Makasar, Sulawesi Selatan;
dengan 33 pesawat radiasi yang terdiri dari: 16 LINAC, 17 telecobalt, serta jumlah tenaga
radiologis yang masih terbatas, yaitu : 45 radiologis PTM, 794 ahli radiologi. Jumlah ini masih di
bawah rekomendasi IAEA, yang seharusnya 1 LINAC/cobalt per 1 juta orang, 1 radiologis PTM
untuk 200 ,dan pengobatan PTM.
4. Pelayanan Paliatif
Pelayanan paliatif adalah perawatan yang merupakan suatu pendekatan untuk memperbaiki
kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa,
melalui pencegahan, penilaian, pengobatan nyeri dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah
psikologis dan spiritual lainnya. Indonesia telah mengembangkan pelayanan paliatif di rumah
sakit, pada tahun 2012 baru terdapat 7 pusat perawatan paliatif yang tersebar di propinsi DKI
Jakarta, Jawa Barat, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan.
5. Rehabilitasi
Beberapa LSM di Indonesia telah mengembangkan kegiatan dukungan untuk pasien PTM dan
survivor. Dukungan tersebut bentuknya seperti rumah singgah gratis dan pendidikan untuk
anak-anak penderita PTM. Terdapat kelompok survivor yang berkontribusi dalam kegiatan
tersebut.
6. Surveilans dan regristri PTM,
Surveilans dan regristri PTM yang mampu laksana dan didukung regulasi memadai dan
menjamin ketersediaan dasar dasar untuk advokasi kepada penentu kebijakan, perencanaan,
dan pelaksanaan program PTM prioritas.
Registrasi PTM telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pertama kali, dilakukan survai frekuensi PTM
di Semarang pada tahun 1970. Kemudian, dikembangkan registrasi PTM berbasis populasi di
kota Semarang sampai tahun 1989. Terdapat juga beberapa registrasi PTM PTM berbasis rumah
sakit dan berbasis patologi. Pada tahun 2007 Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan
WHO Indonesia mengembangkan suatu model registrasi PTM, berbasis rumah sakit dan
populasi, di DKI Jakarta, yang masih berlangsung hingga kini.
Untuk kepentingan validnya dan komprehensifnya data PTM, kegiatan registrasi PTM berbasis
rumah sakit dan populasi akan dilaksanakan secara berkesinambungan. Data tersebut akan
menjadi sumber informasi untuk mengembangkan dan mengevaluasi program pengendalian
PTM. Sehingga, kegiatan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak terkait.
7. Penelitian dan pengembangan kesehatan yang menjamin ketersediaan informasi insidensi dan
prevalensi PTM dan faktor risikonya, yang menghasilkan teknologi intervensi kesehatan
masyarakat/pengobatan/ rehabilitasi dalam bentuk “Best Practice”, dan intervensi kebijakan
yang diperlukan.
7
8. Advokasi PPTM kepada Pemerintah (Pusat dan Daerah) secara intensif dan efektif dengan focus
pesan ‘Dampak PTM (ancaman) terhadap pertumbuhan ekonomi Negara/Daerah
9. Jejaring kerja dan kemitraan PPTM yang terdiri sub jejaring surveilans, promosi kesehatan, dan
manajemen upaya kesehatan, baik di Tingkat Pusat maupun Daerah
III.
STRATEGI PENGENDALIAN PTM
Visi : Masyarakat yang mandiri dalam pengendalian PTM.
Misi:
a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam
pengendalian PTM
b. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit PTM dengan menjamin tersedianya upaya
pengendalian PTM yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan.
c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan dalam pengendalian penyakit
PTM.
d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik dalam pengendalian PTM.
Tujuan
Tujuan Umum
Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular, memperpanjang umur
harapan hidup serta meningkatkan kualitas hidup penderita.
Tujuan Khusus






Meningkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit PTM.
Menurunkan angka kematian PTM 25% pada tahun 2025
Menurunkan angka insiden PTM 10% pada tahun 2025.
Meningkatkan pengedalian faktor risiko PTM untuk menekan angka kejadian PTM.
Meningkatkan penemuan kasus PTM pada stadium yang lebih awal.
Meningkatkan kualitas hidup (survival) dan “kesembuhan” pasien PTM
Sasaran Strategis
Menurunkan angka kematian akibat PTM 25 % dan menurunkan persentase prevalens PTM 10%
Strategi dan Kebijakan
1. Memperkuat kebijakan/undang-undang dan mendorong kepemilikan program oleh
pemerintah daerah dalam pengendalian PTM.
Peratuan
Dalam rangka memastikan terselenggaranya pengendalian PTM yang optimal, diperlukan
dukungan aspek legal/peraturan yang memadai. Ruang lingkup aspek legal ini harus mencakup
peraturan tentang pengendalian PTM, termasuk pencegahan, deteksi dini, diagnosis dan
pengobatan, pelayanan paliatif dan rehabilitasi, surveilans, dan penelitian. Peraturan tentang
8
pengendalian PTM dapat berbentuk pedoman umum, pedoman teknis, dan prosedur
operasional standar (SOP). Seluruh stakeholder terkait yang melaksanakan kegiatan
pengendalian PTM harus mengikuti peraturan yang ada.
Peraturan tentang pengendalian PTM dapat berkurang (apa maksudnya?) disetiap tingkatan
seperti yang tertulis dalam pedoman, pedoman teknis, dan prosedur operasional standard
(SOP). Seluruh stakeholder yang terkait yang melaksanakan kegiatan pengendalian PTM harus
mengikuti peraturan yang ada.
Kebijakan
Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan operasional implementasi pengendalian PTM yang
mencakup norma, standar, kriteria dan prosedur (NSPK) yang dituangkan dalam buku-buku
pedoman manajemen dan teknis (PJPD, Kanker, PPOK, DM dan Gaktce dan Tisan). Selanjutnya
pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dimungkinkan menetapkan kebijakan
spesifik daerah yang selaras dengan kebijakan nasional. Dalam rangka meyakinkan kualitas
program pengendalian PTM, memerlukan kolaborasi dengan profesi dan ahli yang terkait.
Setiap tingkatan dapat membangun panitia ahli, kelompok kerja, dan bantuan teknis dari ahli
baik nasional maupun internasional.
Kepemilikan daerah
Sesuai otonomi daerah dan desentralisasi manajemen program PTM berada pada pemerintah
daerah dan menjadi tanggungjawabnya. Untuk memastikan hal ini, diperlukan advokasi yang
memadai kepada pemerintah daerah: kepala daerah, DPRD, dan BAPPEDA. Selain advokasi,
sosialisasi program harus dilaksanakan kepada seluruh Dinas Kesehatan dan stakeholder terkait
termasuk LSM dan pemuka masyarakat. Perencanaan dan implementasi program pengendalian
PTM harus diperkuat khususnya pada tingkat kabupaten sebagai manajer. Pemerintah
kabupaten dan provinsi harus mengembangkan rencana strategis masing-masing yang sejalan
dengan rencana strategi nasional.
Pembiayaan
Implementasi program pengendalian PTM didanai tidak hanya dari anggaran pemerintah
(nasional, provinsi, dan kabuapten/kota) tapi juga oleh angagaran partner seperti ikatan profesi,
LSM, fasilitas Kesehatan swasta, perusahaan, asuransi, donor, dan lainnya. Pendanaan
pemerintah daerah akan memberikan kontribusi yang besar untuk membiayai program bagi
kesinambungan pengendalian PTM. Strategi untuk meningkatkan kesinambungan keuangandan
alokasi sumber daya harus mempertimbangkan kapasitas fiscal di tingkat provinsi dan
kabupaten.
2. Mengintegrasikan program pencegahan PTM
Program pengendalian PTM dilaksanakan terintegrasi dan komprehensif. Program meliputi
pencegahan primer (promosi, dan vaksinasi), pencegahan sekunder (skrining/deteksi dini,
pengobatan), dan tersier (paliatif dan rehabilitasi). Oleh karena terbatasnya sumber daya,
program dapat difokuskan pada pencegahan dan deteksi dini, dengan tidak mengabaikan upaya
kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut akan berdampak lebih besar pada kesehatan masyarakat
dibandingkan pengobatan. Akan tetapi, program PTM nasional perlu mengerahkan seluruh
sumber daya untuk mencapai program pengendalian PTM yang terintegrasi dan komprehensif.
Program pengendalian PTM dilaksanakan terintegrasi dan komprehensif. Program meliputi
pencegahan primer (promosi, dan vaksinasi), pencegahan sekunder (skrining/deteksi dini,
pengobatan), dan tersier (paliatif dan rehabilitasi). Oleh karena terbatasnya sumber daya,
program dapat difokuskan pada pencegahan dan deteksi dini, dengan tidak mengabaikan upaya
kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut akan berdampak lebih besar pada kesehatan masyarakat
9
dibandingkan pengobatan. Akan tetapi, program PTM nasional perlu mengerahkan seluruh
sumber daya untuk mencapai program pengendalian PTM yang terintegrasi dan komprehensif.
3. Meningkatkan upaya pencegahan PTM
Program pengendalian PTM harus dilaksanakan di seluruh aspek, mulai dari pencegahan sampai
dengan rehabilitasi. Prioritas program pengendalian PTM adalah pencegahan melalui
pengendalian faktor risiko dan deteksi dini (skrining). Faktor risiko PTM yang dapat
dikendaliakan meliputi merokok, mengkonsumsi alkohol, diet tidak sehat, kurang aktivitas fisik,
perilaku seks yang tidak sehat. Kegiatan pengendalian FR PTM meliputi: promosi, kampanye,
kawasan bebas asap rokok, penguatan dan penegakkan regulasi dalam pengendalian faktor
risiko PTM seperti garam, gula, lemak, lingkungan, dan lain-lain. Program deteksi dini
dilaksanakan untuk beberapa PTM yang dapat dideteksi secara dini, seperti kanker leher rahim,
kanker payuadara, kanker kolorektal, orofaring, dan retinoblastoma, obesitas, hipertensi, dsb.
Program deteksi dini PTM dapat dikembangkan berdasarkan beban PTM dan ketersediaan
sumber daya. Program pengendalian PTM dapat dikembangkan berdasarkan angka/kasus PTM
tertinggi di masing-masing wilayah dan ketersediaan metode dan sumber daya.
4. Melibatkan seluruh sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta
Seluruh stakeholder terkait dalam pengendalian PTM dari setiap tingkatan, profesi/ahli, LSM,
swasta, TNI, POLRI, dan masyarakat umum harus dilibatkan.Forum kemitraan dari berbagai
pihak harus dibangun di setiap tingkatan.
5. Memberdayakan stakeholder terkait dan masyarakat
Program pengendalian PTM harus melibatkan seluruh provider pelayanan Kesehatan, seperti
onkolog, dokter spesialis, dokter, bidan, perawat, pelaku pengobatan tradisional, dan kader.
Seluruh stakeholder terkait dalam pengendalian PTM dari setiap tingkatan, profesi/ahli, LSM,
swasta, tentara, dan masyarakat umum harus dilibatkan. Forum kemitraan dari berbagai pihak
harus dibangun di setiap tingkatan. Masyarakat juga harus diberdayakan untuk memberikan
dukungan dalam promosi, penggerakan masyarakat, dukungan sosial, dan kegiatan sosial
lainnya. Kader, tokoh agama dan tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam program
pengendalian PTM. Masyarakat perlu dibuat merasa bahwa program pengendalian PTM
merupakan kegiatan mereka juga. Sehingga, kegiatan akan berkesinambungan.
6. Meningkatkan sistem kesehatan dan manajemen pengendalian PTM
a)
b)
c)
d)
Sumber daya manusia
Logistik dan penyediaan obat
Surveilans
Advokasi dan Komunikasi
7. Mengembangkan dan mempromosikan penelitian tentang PTM.
Penelitian tentang PTM merupakan bagian penting dalam merencanakan dan mengembangkan
program pengendalian PTM. Penelitian dapat dilaksanakan berbasiskan universitas, rumah
sakit, atau program.Hasil dari penelitian harus dipublikasikan dan di-diseminasikan secara
nasional dan internasional.Topik penelitian dapat berupa faktor risiko PTM dan kasus PTM,
penelitian epidemiologis, penelitian klinis, dan clinical trial.Penelitian dapat berupa survey atau
studi.Setiap tingkatan harus mempromosikan dan mendorong penelitian tentang PTM dan
mempertimbangkan hasil penelitian sebagai sumber yang ilmiah dalam perencanaan dan
evaluasi program
10
IV.
KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR
A. Kegiatan Pengendalian Faktor Risiko Bersama PTM
a) Perilaku Cerdik
CERDIK merupakan jargon yang berisikan implementasi perilaku sehat untuk pengendalian fakto
risiko PTM. Kata CERDIK itu sendiri terdiri dari beberapa huruf awal yang dirangkaikan menjadi
kalimat perilaku sehat untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular, yaitu Cek Kondisi
Kesehatan secara Bekala, Enyahkan asap rokok, Rajin berolahraga, Diet yang sehat dengan kalori
berimbang, Istirahat yang cukup, Kendalikan stres.
Perilaku CERDIK ini menjadi aktifitas rutin yang dilakukan masyarakat melalui Posbindu PTM.
Implementasi Perilaku CERDIK tidak hanya terbatas pada saat pelaksanaan Posbindu PTM
sedang berlangsung, namun dapat disosialisasikan membumi lebih jauh ke berbagai tatanan
dengan menggunakan media/metode yang ada. Melalui perilaku CERDIK, diharapkan
masyarakat lebih termotivasi minatnya untuk dapat mengendalikan faktor risiko PTM secara
mandiri sehingga kejadian PTM dapat dicegah peningkatannya.
b) Kawasan Tanpa Rokok
Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan
merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan
Produk Tembakau. KTR meliputi : fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar,
tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum dan
tempat lain yang ditetapkan.
c) Posbindu PTM
Program Posbindu PTM merupakan program pengendalian faktor risiko PTM melalui
pemberdayaan masyarakat. Sasaran program ini ditujukan kepada seluruh masyarakat sehat dan
berisiko yang berusia mulai dari 15 tahun. Aktifitas Posbindu PTM meliputi Identifikasi faktor
risiko PTM, Edukasi-Konseling FR-PTM, Pencatatan dan pemantauan termasuk rujukan ke
fasilitas pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem 5 meja. Pelayanan sistem 5 meja
terdiri dari Meja 1 untuk pelayanan registrasi dan administrasi, meja 2 untuk wawancara, meja
ke-3 untuk pengukuran antropometri (BB, TB, LP, Analisa Lemak Tubuh), meja ke-4 untuk
pengukuran faktor risiko PTM biologis (pengukuran tekanan darah, gula darah, kolesterol, Arus
Puncak Ekspirasi, dan lainnya). Pelaksanaan Posbindu PTM dapat dilakukan terintegrasi dengan
upaya kesehatan bersumber masyarakat yang sudah ada, di tempat kerja atau di klinik
perusahaan, di lembaga pendidikan, tempat lain di mana masyarakat dalam jumlah tertentu
secara rutin berada, misalnya di mesjid, gereja, klub olah raga, pertemuan organisasi politik
maupun kemasyarakatan.
B. Kegiatan Pengendalian PTM
a) Pelayanan PTM di Puskesmas
Penyelenggaraan pelayanan PTM di puskesmas untuk mewujudkan puskesmas yang mampu
melaksanakan pengendalian PTM dan mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang
efisien, efektif, merata, bermutu, terjangkau, dan memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah
kerjanya. Pelayanan PTM dimulai dari tingkat komunitas berupa Posbindu PTM sampai kepada
upaya-upaya pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara komprehensif mulai dari upaya
promotif, preventif, deteksi dini, pengobatan, pelayanan paliatif dan rehabilitatif yang
dilaksanakan secara terintegrasi di puskesmas.
b) Pengaturan Konsumsi Gula, Garam dan Lemak :
Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Permenkes No.30 / 2013 tentang Informasi dan Saran
Asupan Harian Gula, Garam dan Lemak pada kemasan makanan olahan dan siap saji.
c) Kegiatan Pengendalian DM dan PM
Pengendalian DM dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan
sasaran pada pada masyarakat yang masih sehat (well being), masyarakat berisiko (at risk),
masyarakat yang berpenyakit (deseased population) dan masyarakat yang menderita kecacatan
11
dan memerlukan rehabilitasi (Rehabilitated population). Pengendalian DM didasari oleh 3 pilar,
yaitu: 1) Peran pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok pengendalian
DM, 2) Peran civil society organization melalui pengembangan dan penguatan jejaring kerja
pengendalian DM, dan 3) Peran masyarakat (keluarga) melalui pengembangan dan penguatan
kegiatan pencegahan pengendalian faktor risiko DM berbasis masyarakat.
Program pokok pengendalian DMPM :
 program edukasi DM
 program cerdik tangkal dm pada anak sekolah
 program pemantauan gula darah mandiri
 program pencegahan kaki diabetik/kusta
 program deteksi dini komplikasi diabetik; retinopati, dan nefropati diabetik
 program interkolaboratif dm dengan tb paru
 program penjaringan hipotiroid pada wanita usia subur
d) Konseling Berhenti Merokok
Rokok terbukti sebagai faktor risiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke,
serangan jantung), penyakit paru-paru, kanker, gangguan sistem reproduksi (infertilitas, lahir
prematur) dan kematian bayi. Penyakit-penyakit tersebut merupakan 60% penyebab kematian di
dunia maupun di Indonesia (RISKESDAS 2007, WHO 2008). Konsumsi rokok di Indonesia yang
tinggi dan terus meningkat di berbagai kalangan mengancam kesehatan dan kualitas
sumberdaya manusia Indonesia. Di kalangan orang dewasa (67,4% laki-laki, 4,5% perempuan)
(GATS, 2011) dan di kalangan remaja sebesar 38,4% laki-laki dan 0,9% perempuan (Riskesdas,
2010). Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009, menunjukkan 20,3% remaja 13-15 tahun
merokok. Perokok pemula remaja usia 10-14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir
dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 17,5% pada tahun 2010 (SKRT, 2001; RISKESDAS, 2010).
e) PAL (Practical Approach to Lung Health)
Practical Approach to Lung Health (PAL) merupakan suatu pendekatan yang berpusat pada
pasien untuk meningkatkan mutu diagnosis dan pengobatan gangguan saluran pernapasan di
tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) seperti Puskesmas dan RS. PAL berfokus pada empat
penyakit yaitu TB, ISPA (Pneumonia), Asma dan PPOK. PAL merupakan inovasi dari salah satu
strategi utama dunia dalam pengendalian TB tahun 2006‐2015, strategi ini sudah diperkenalkan
oleh WHO sejak tahun 2001.
f) Skrining dan Konseling Genetik Pranikah untuk Pencegahan Thalassemia Mayor
g) Deteksi Dini Penyakit SLE dengan SALURI dan Edukasi –Konseling
h) Pengendalian Penyakit Gagal Ginjal Kronik (PGK)
i) Pencegahan Osteoporosis melalui Gaya Hidup Sehat
j) Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dengan metoda IVA
Deteksi dini Kanker Leher Rahim dengan metoda IVA merupakan kegiatan pemeriksaan untuk
menemukan kanker di leher rahim, dari sejak perubahan awal sel (displasia) sampai dengan pra
kanker. Pemeriksaan IVA merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah dan cepat dan cukup
akurat untuk menemukan kelainan pada tahap kelainan sel atau sebelum pra kanker.
a) Deteksi Dini Kanker Payudara dengan metode CBE
b) SADARI
c) Deteksi Dini Kanker pada Anak
12
V.
Indikator Target
Goal
TARGET
KEMENTERIAN
/ LEMBAGA
Menurunkan
angka
kematian
akibat PTM
25 % dan
menurunkan
persentase
prevalens
PTM 10%
1. Penurunan relatif sebesar 25% dari seluruh
kematian yang disebabkan oleh penyakit
kardiovaskular, kanker, Diabetes, penyakit paru
kronik
2. Penurunan relatif 10% dari penggunaan alkohol
yang berbahaya sesuai satuan standar dalam
konteks nasional
3. Penurunan relatif 10% dari prevalensi kurang
aktivitas fisik
4. Penurunan secara relatif 30% rerata asupan
garam/sodium pada populasi umur 18 tahun ke
atas
5. Penurunan relatif sebanyak 30% dari prevalensi
merokok pada umur 15 tahun ke atas
6. Penurunan relatif dari angka prevalensi
tekanan darah tinggi sebesar 25%
7. Menekanlajupeningkatan prevalensi diabetes,
obesitasdan kegemukan
8. Setidaknya 50% pasien mendapatkan akses
pengobatan dan konseling faktor risiko
kardiovaskukartermasukpengendalian
hiperglikemikuntuk mencegah serangan jantung
dan stroke
9. Setidaknya 80% pasien mendapatkan akses
pengobatan esensial yang berkualitas dan
konseling faktor risiko PTM termasuk
pengendalian hiperglikemik, dan dukungan
teknologi medis dasar yang diperlukan dalam
pengelolaan PTM untuk mencegah serangan
jantung dan stroke
10. Setidaknya 50 % wanita usis 30 – 49 tahun
1. Kementerian
Kesehatan,
2. Kementerian
Dalam
Negeri,
3. Kementerian
Perindustria
n,
4. Kementerian
Pertanian,
5. Kementerian
Perdaganga
n
6. BKKBN
KEBIJAKAN
(REGULASI &
NON
REGULASI
1. Kawasan
Tanpa
Rokok
2. Regulasi
gula, garam,
lemak
3. Standar
Pelayanan
Minimum
(SPM) PTM
4. Ketersediaan
Obat PTM
5. Pelayanan
PTM
esensial di
Puskesmas
6. Posbindu
PTM
7. Registrasi
kanker dan
PTM lain
8. Kajian
UPAYA PENTING (Program & Kegiatan
Pokok)
Upaya untuk menurunkan angka
kesakitan dan kematian akibat PTM
dilakukan dengan upaya promosi gaya
hidup sehat, yaitu tidak merokok, diet
sehat, aktivitas fisik cukup, membatasi
konsumsi alkohol. Upaya lain dengan
deteksi dini faktor risiko dan PTM melalui
kegiatan Pos Pembinaan Terpadu PTM
(Posbindu PTM). Deteksi dini tersebut
meliputi obesitas umum dan obesitas
sentral, hipertensi, gula darah, kolesterol
darah, kapasitas paru, amfetemin urin,
Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA)
untuk kanker leher rahim dan Clinical
Breast Examination untuk kanker payudara.
Program lain adalah dengan meningkatkan
akses pengobatan dan penyiapan peralatan
diagnosis dan pengobatan di fasilitas
pelayanan kesehatan rujukan. Sedangkan
untuk pasien PTM stadium akhir dilakukan
pelayanan paliatif dan rehabilitatif di
fasilitas-fasilitas
pelayanan
kesehatan.
Secara rinci sebagai berikut:
I. Promkes
1. Advokasi peningkatan dukungan dan
komitmen politik PPTM
2. Advokasi untuk Health in all policies,
Ket.
melakukan skrining kanker serviks paling tidak
sekali atau lebih ( IVA atau Pap Smear)
11. Aksesibilitas pelayanan paliatif dengan
konsumsi morfin ekuivalen analgesic opioid
kuat (selain methadone) per kematian karena
kanker.
12. Penurunan 50%
angkakematianakibatkecelakaanlalulintaspadat
ahun 2020 (Inpres no. 4 tahun 2013)
14
Vaksin HPV
seperti fasilitasi penyediaan ruang
publik yang mendukung peningkatan
aktivitas fisik, pengembang perumahan
menyediakan fasilitas berjalan dan
bersepeda dll
3. Peningkatan efektivitas Kemkes
sebagai Leading sektor PPTM
4. Promosidanedukasiperilaku CERDIK,
pengaturan asupan GGL, bahaya
Rokok, kurang aktivitas fisik dan
konsumsi alkohol
5. Mendorong implementasi dan
monitoring evaluasi KTR di 7 tatanan
yang diwajibkan
6. KIE Kepatuhan Minum Obat PTM
7. Promosi Perilaku Sehat di Jalan untuk
pelajar dan anak sekolah Contoh:
Pekan Keselamatan di Jalan, Taman
Lalu Lintas dan PMR
8. Membentuk mekanisme Kerjasama
multisektor / Kemitraan
II. Pelayanan Kesehatan
1. Penguatan sistem kesehatan untuk
Diagnosis Dini
2. Penguatan sistem kesehatan untuk
tatalaksana PTM dan Faktor
Resikonya nya
3. PenguatanKegiatanPosbindu PTM
4. Peningkatan pelayanan PTM di
Puskesmas
5. Peningkatan Kapasitas SDM/K
dalamPengendalian PTM
6. Pencegahan komplikasi melalui
Perkesmas dan homecare
7. Rehabilitasi di masyarakat
8. Paliatif care
9. Mengembangkan kebijakan,
pedoman dan protocol standar yang
terintegrasi, berbasis bukti untuk
deteksi dini, manajemen dan
pengobatanmelaluipendekatanpelay
anan kesehatan dasar
10. Kebijakanpemberianobat PTM untuk
1 bulan di Fasyankes dasar
11. Penguatan rujukankasus PTM
(Posbindu-Puskesmas-RS-Rujuk
balik)
12. Pelayanan konseling Pengendalian
PTM dan factor risikonya di
fasyankesdasar
13. Menjamin ketersediaan obat
essensial penyakit tidak menular di
Fasyankes dasar dan rujukan
14. Pembentukan SPGDT dan safe
community disetiap Kab/Kota
III. Surveilans
1. Pengembangan Registri PTM
2. Pengembangan surveilans FR PTM
berbasis Posbindu dan Puskesmas
3. Pengembangan Penelitian dan
prioritas penelitian terkait PTM
4. Survei PTM
5. Pengembangan Monev kegiatan
PTM
15
Download