PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR I. SITUASI PENYAKIT TIDAK MENULAR Situasi PTM di Tingkat Global Secara global, regional dan nasional pada tahun 2030 diproyeksikan terjadi transisi epidemiologi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Berdasarkan proyeksi di peroleh jumlah kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular dan kecelakaan akan meningkat dan penyakit menular akan menurun. Peningkatan yang signifikan terutama akan terjadi di negara-negara berkembang dan miskin. Peningkatan kejadian PTM berhubungan dengan peningkatan faktor risiko akibat perubahan gaya hidup, seiring dengan perkembangan dunia yang makin modern. Data WHO 2008 menunjukkan bahwa dari 57 juta kematian yang terjadi di seluruh dunia, sebanyak 36 juta atau hampir dua pertiganya disebabkan oleh PTM. PTM juga membunuh penduduk dengan usia yang lebih muda. Di negara-negara dengan tingkat ekonomi rendah dan menengah, dari seluruh kematian yang terjadi pada orang-orang berusia kurang dari 60 tahun, 29% disebabkan oleh PTM, sedangkan di negara-negara maju, PTM berkontribusi 13% kematian yang terjadi pada penduduk dengan usia kurang dari 60 tahun. Lebih dari dua pertiga (70%) dari populasi global akan meninggal akibat penyakit tidak menular seperti PTM, penyakit jantung, dan diabetes pada tahun 2030. Pada tahun 2030 PTM, penyakit jantung, dan stroke akan terus menjadi penyebab kematian paling signifikan di seluruh dunia. Saat ini, kematian karena penyakit tidak menular di dunia 59%. Dalam jumlah total, pada tahun 2030 diprediksi akan ada 47 juta kematian per tahun karena penyakit tidak menular, naik 9 juta dari 38 juta pada saat ini. Di sisi lain, kematian akibat penyakit menular seperti malaria, TBC atau penyakit infeksi lainnya menurun, dari 18 juta saat ini menjadi 16,5 juta pada tahun 2030. Beban penyakit tidak menular berdasarkan proyeksi DALY akan meningkat dari dari 210,2 juta saat ini menjadi 242,3 pada tahun 2030. Selain itu beban cedera secara global akan sedikit meningkat dari 183,9 juta saat ini menjadi 191,1 juta. Situasi PTM di Indonesia Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir menghadapi masalah triple burden diseases. Di satu sisi, penyakit menular masih menjadi masalah ditandai dengan masih sering terjadi KLB beberapa penyakit menular tertentu, munculnya kembali beberapa penyakit menular lama (re-emerging diseases), serta munculnya penyakit-penyakit menular baru (new-emergyng diseases) seperti HIV/AIDS, Avian Influenza, Flu Babi dan Penyakit Nipah. Di sisi lain, PTM menunjukkan adanya kecenderungan yang semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 dan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 1995 dan 2001, tampak bahwa selama 12 tahun (1995-2007) telah terjadi transisi epidemiologi dimana kematian karena penyakit tidak menular semakin meningkat, sedangkan kematian karena penyakit menular semakin menurun (lihat gambar 1). Fenomena ini diprediksi akan terus berlanjut. Gambar 1 :Distribusi penyebab kematian menurut kelompok penyakit di Indonesia, SKRT 1995, SKRT 2001, Riskesdas 2007 Gambar 1 di atas memperlihatkan bahwa selama tahun 1995 hingga 2007 di Indonesia proporsi penyakit menular telah menurun sepertiganya dari 44,2% menjadi 28,1%, akan tetapi proporsi penyakit tidak menular mengalami peningkatan cukup tinggi dari 41,7% menjadi 59,5%, sedangkan gangguan maternal/perinatal dan kasus cedera relatif stabil. Kematian akibat PTM tahun 2010 adalah 59,5%, dan diproyeksikan meningkat menjadi 83% tahun 2030, terjadi peningkatan sebesar 23,5% (WHO 2010). Sebaliknya, kematian akibat penyakit menular seperti TB, malaria, diare dan penyakit infeksi lainnya akan mengalami penurunan dari 28,1% menjadi 8,6%. Namun, PTM dan HIV / AIDS akan meningkat secara dramatis pada tahun 2030. Kematian akibat penyakit PTM akan meningkat sebesar 15,9%, dari 5,7% menjadi sebesar 21,6 juta. Kematian akibat HIV/AIDS naik sebesar 129%, dari 0,01% saat ini menjadi 4.5% pada tahun 2030. Penyebab kematian lainnya yang perlu diperhatikan adalah diabetes, penyakit paru obstrutif kronik, dan penyakit pernapasan kronik. Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah (PJPD) Hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan menemukan bahwa sekitar 30,6% dari semua kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit jantung dan pembuluh darah (total 512.000 kematian setiap tahunnya). Pada tahun2008 diperkirakan 17,3 juta orang meninggal karena Cerebro Vasculer Dissease (CVD), 30 % dari seluruh kematian di dunia, 7,3 juta karena Penyakit Jantung Koroner dan 6,2 juta karena stroke. Pada tahun 2030nhampir 23,6 juta orang meninggal karena CVD dan sebagian besar karena penyakit jantung dan stroke. (sumber:fact sheed NCD, September 2011) Dari Tabel 2.3, dapat dilihat bahwa proporsi hipertensi adalah sama tinggi antara laki-laki dan wanita, lebih tinggi di daerah perdesaan, dan juga tinggi antara kuintil lima (status ekonomi yang lebih tinggi). Stroke lebih banyak ditemui di daerah perkotaan (9,1%). Sementara itu, proporsi penyakit jantung lebih tinggi pada wanita (31,9%) dan di perdesaan. Secara umum, PJPD banyak diderita pada kelompok rentan (perempuan) di daerah perdesaan, sehingga kebutuhan akan akses pelayanan kesehatan yang lebih baik menjadi sangat penting pada kelompok ini. 2 Table 2.3. Proporsi Hipertensi, Stroke dan Penyakit Jantung Hipertensi Laki-laki 31.3% Wanita 31.9% Desa 32.2% Kota 30.8% Kuintil 5 33.0% Sumber:: Riskesdas, 2007 Stroke 8.3% 8.3% 7.8% 9.1% 9.3% Penyakit Jantung 6.2% 8.1% 7.8% 6.1% 7.3% (Q 4 &5) Diabetes Melitus Diabetes Melitus (DM) adalah penyakit menahun yang timbul karena adanya peningkatan kadar gula atau glukosa darah akibat akibat kekurangan insulin baik absolut maupun relatif. Menurut WHO 2008, estimasi angka kematian di wilayah asia tenggara sebesar 14,5 juta jiwa dan 7,9 juta jiwa (55%) penyebab dari kematian tersebut disebabkan oleh PTM yang salah satunya adalah DM (2,1%). Berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidensi dan prevalensi DM. WHO memprediksi adanya kenaikan jumlah penyandang DM di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun 2030. Senada dengan WHO, International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2009, memprediksi kenaikan jumlah penyandang DM dari 7,0 juta pada tahun 2009 menjadi 12,0 juta pada tahun 2030. Meskipun terdapat perbedaan angka prevalensi, laporan keduanya menunjukkan adanya peningkatan jumlah penyandang DM sebanyak 2-3 kali lipat pada tahun 2030. Hasil riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi nasional DM berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur > 15 tahun di perkotaan adalah 5,7 %. Berdasarkan prevalensi tesebut diketahui bahwa sebanyak 1,5 % mengetahui dirinya menderita DM sedangkan 4,2% lainnya belum mengetahui dirinya menderita DM. Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional berdasarkan hasil pengukuran gula darah pada penduduk berumur > 15 tahun yang bertempat tinggal di perkotaan sebesar 10,2 %. Kanker Kanker atau tumor ganas merupakan salah satu masalah kesehatan utama di dunia dan di Indonesia. Menurut data WHO tahun 2010 penyakit non infeksi merupakan penyebab kematian terbanyak di dunia, dimana kanker sebagai penyebab kematian nomor 2 di dunia sebesar 13% setelah penyakit kardiovaskular. Setiap tahun, 12 juta orang di dunia menderita kanker dan 7,6 juta diantaranya meninggal dunia. Di Indonesia, berdasarkan data Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007, tumor/kanker merupakan penyebab kematian nomor 7 sebesar 5,7% dari seluruh penyebab kematian. Prevalensi tumor/kanker sebesar 4,3 per 1000 penduduk, lebih tinggi pada perempuan (5,7 per 1000 penduduk) daripada pada laki-laki (2,9 per 1000 penduduk). Kanker tertinggi di Indonesia adalah kanker payudara dan kanker leher rahim. Menurut data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2008, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh RS di Indonesia (18,4%), disusul kanker leher rahim (10,3%). Beberapa penelitian di Indonesia menunjukkan bahwa kasus baru/insidens (semua jenis) per 100.000 penduduk adalah 170-190. Menurut International Agency for Research on Cancer (IACR) tahun 2008, kanker payudara merupakan kanker tertinggi pada perempuan di Indonesia dengan insidens 36 per 100.000. Sedangkan pada laki-laki kanker paru menjadi kanker tertinggi pada laki-laki dengan insidens 30 per 100.000. Penyakit Kronis dan Degeneratif Data WHO dan World Bank 2005 menyatakan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan keenam sebagai penyebab utama kematian di dunia. Namun pada tahun 2002 dan 2005 telah 3 menempati urutan ketiga sebanyak 4.057.000 setelah penyakit kardiovaskular (17.528.000) dan kanker (7.586.000). Berdasarkan data yang didapatkan dari rumah sakit pendidikan diseluruh Indonesia saat ini angka kesakitan dan kematian penyakit kronis dan degeneratif (PPOK, Asma, Osteoporosis, Osteoartritis, Gagal Ginjal Kronis, Parkinson, Thalasaemia, SLE (sistemik lupus eritematosus) cenderung meningkat dan merupakan masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Data Riskesdas 2007 berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan dan gejala secara nasional prevalensi penyakit sendi adalah 30,3%, prevalensi Asma 3,5%, prevalensi thalasaemia 0,1% (berdasarkan keluhan responden). Risiko osteoporosis di 16 wilayah Indonesia tahun 2005, diketahui bahwa prevalensi Osteoporosis Dini (Osteopenia) sebesar 41,8% berarti 2 dari 5 penduduk memiliki risiko terkena osteoporosis, sedangkan prevalensi osteoporosis pada kelompok umur ≥ 55 tahun sebesar 10,3%. Osteoporosis pada perempuan 2 kali lebih besar dibandingkan pada laki-laki. (Litbangkes, 2005) Gangguan Akibat Kecelakaan dan Tindak Kekerasan Cedera merupakan bagian dari masalah kesehatan masyarakat karena dampak dan konsekuensinya baik pada individu atau masyarakat yang terpapar. Setidaknya 5,8 juta orang meninggal karena cedera. Kasus paling sering disebabkan oleh cedera lalu lintas jalan (23%), bunuh diri (15%), pembunuhan (11%), tenggelam (7%), dibakar (6%), racun (6%), lainnya (21%) (WHO , 2004). Di Indonesia, cedera merupakan 4 penyebab utama kematian setelah stroke, TB, dan hipertensi. Kebanyakan kasus cedera dikarenakan akibat kecelakaan lalu lintas jalan (25,9%). Jumlah ini meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun. Karena situasi ini, Direktorat Penyakit Tidak Menular berupaya untuk mengatasi masalah ini dengan mengembangkan kegiatan-kegiatan dalam mencegah dan mengendalikan faktor risiko cedera lalu lintas jalan. Faktor Risiko PTM Beberapa faktor risiko utama dari penyakit tidak menular adalah konsumsi tembakau, kurang konsumsi buah-buahan dan sayur, obesitas, kurang aktivitas fisik dan konsumsi alkohol. Khusus untuk Indonesia, faktor risiko yang paling umum adalah konsumsi tembakau, yang paling tinggi pada kelompok laki-laki. Meskipun Indonesia adalah negara pertanian, konsumsi buah dan sayuran sebanyak 5 porsi per hari masih sangat sulit dilakukan karena pengaruh sosial dan budaya. Obesitas dan kurang aktivitas fisik menjadi faktor risiko utama untuk kelompok masyarakat tertentu seperti masyarakat diperkotaan, anak, wanita usia subur serta kelompok berpenghasilan menengah dan tinggi. Khusus untuk konsumsi alkohol, meskipun angka nasional (4,6%) masih sangat rendah, proporsi di bagian timur Indonesia (17,7%) relatif tinggi dibandingkan dengan provinsi lain. Konsumsi alkohol secara kultural tidak dapat diterima di sebagian besar penduduk Indonesia, kecuali di bagian timur Indonesia. Konsumsi Tembakau Konsumsi tembakau telah menjadi kebiasaan di kalangan laki-laki di Indonesia. Jenis tembakau yang digunakan adalah rokok. Di negara ASEAN perokok laki-laki sekitar 53,5% (tertinggi kedua) dan 3,9 % wanita (rentang dari 0,3 % menjadi 55,9 %) - perkiraan perbandingan prevalensi merokok (WHO 2008). Indonesia memiliki perokok aktif terbesar ketiga, setelah China & India (WHO, 2008). Trend perokok pemula remaja usia 10-14 tahun meningkat tajam, dari 9.5% (Susenas, 2001) menjadi 17.5% (Riskesdas, 2010). The Global Youth Tobacco Survey menyebutkan, lebih dari sepertiga pelajar dilaporkan biasa merokok dan 3 diantara 10 pelajar menyatakan pertama kali merokok pada umur dibawah 10 tahun. 4 Prevalensi merokok pada perempuan meningkat hampir 4 kali lipat dari 1,3% pada tahun 2001 menjadi 4,2% pada tahun 2010. Perokok mempunyai risiko 2-4 kali lipat untuk terkena penyakit jantung koroner dan risiko lebih tinggi untuk penyakit kanker paru, di samping penyakit tidak menular lain yang sebenarnya dapat dicegah. WHO menyatakan bahwa konsumsi rokok dapat membunuh satu orang setiap detik. Di Indonesia sendiri, jumlah kematian akibat penyakit yang disebabkan oleh rokok berkisar 200 ribu orang setiap tahunnya. Indonesia merupakan negara terbesar ke empat dalam konsumsi tembakau, setelah China, Russia, and Amerika Serikat (Tobacco Atlas, 2007). Konsumsi tembakau di Indonesia pada tahun 2011: 270 milyard batang. 190,260 orang meninggal di Indonesia karena penyakit terkait tembakau (12.7 % dari total kematian). Total kerugian Makroekonomi pada tahun 2010: 245.41 Trilyun Rupiah Table 2.4. Prevalensi rokok sebagai faktor risiko PPOK dan Asma Perokok di Indonesia Prevalensi Merokok (> usia 15 tahun) Perokok Laki-laki (> usia 15 tahun) Wanita (>usia 15 tahun) Masyarakat yang terpapar asap rokok 2007 2010 33.4% 65.29% 5.06% 84.5 % 34.7% 65.9% 4.2% 76.1% Sumber: Riskesdas 2007, 2010 Seperti dapat dilihat dari grafik di bawah ini (Gambar 2.5) proporsi perokok laki-laki meningkat pada tahun 1995 sampai dengan tahun 2007. Proporsi perokok wanita meningkat antara tahun 1995 sampai dengan tahun 2007 tetapi menurun antara tahun 2007 dan tahun 2010. Grafik 2.5. Perbandingan Perokok Wanita dan Pria di Indonesia, 1995-2010 Sumber: SKRT dan Riskesdas, 1995-2010 Diet Tidak Sehat Seperempat dari jumlah penduduk di Indonesia mempunyai kebiasaan makan makanan asin setiap hari. Lebih dari 90 % orang makan buah dan sayuran di bawah standar yang disarankan dari 5 porsi sehari. 13 % masyarakat mengkonsumsi makanan berlemak yang disajikan setiap harinya. 77,8% dari jumlah penduduk mengkonsumsi bahan tambahan makanan (penyedap), 65,2% mengkonsumsi makanan dengan kadar gula tinggi (permen). Masyarakat di Indonesia biasa mengkonsumsi makanan 5 dalam kemasan yang sebagian besar mengandung penyedap dan menambahkan bumbu penyedap dalam masakannya. Konsumsi manis banyak ditemukan pada makanan penutup, minuman dan snack. Kurang Aktivitas Fisik Sepertiga dari penduduk usia dewasa kurang aktivitas fisik (kedua jenis kelamin). Hal ini menunjukkan bahwa hampir di semua wilayah ditemukan 40% atau lebih penduduk yang kurang aktivitas fisiknya. Obesitas dan kegemukan Seperlima dari jumlah penduduk di Indonesia kelebihan berat badan atau obesitas (10,3 persen obesitas dan kelebihan berat badan 8,8 persen). Pada wanita - 23 persen dan pada pria 13,9 persen di atas maksimum yang direkomendasikan BMI. Obesitas dan kelebihan berat badan lebih tinggi di antara wanita dibandingkan laki-laki, dan di perkotaan daripada di perdesaan. Konsumsi Alkohol Proporsi konsumsi alkohol di kalangan penduduk usia 15 tahun ke atas di Indonesia pada tahun 2007 lebih tinggi pada laki-laki (5,8%) dibandingkan perempuan (0,4%) dan proporsinya sedikit meningkat pada laki-laki dibandingkan pada tahun 2001 (5,7%). Konsumsi alkohol bukanlah perilaku umum di Indonesia, namun di bagian timur Indonesia seperti di Nusa Tenggara Timur (17,7%), Sulawesi Utara (17,4%) dan Gorontalo (12,3%) memiliki prevalensi yang lebih tinggi dari prevalensi nasional. II. Program pengendalian PTM Pengendalian PTM di Indonesia telah dimulai oleh berbagai pihak, pemerintah maupun non pemerintah. Sejak tahun 2006, program pengendalian PTM dikoordinasi oleh Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular, dengan terbentuknya direktorat ini. Kegiatan pengendalian PTM yang berjalan hingga tahun 2012 adalah: 1. Promosi kesehatan dan perlindungan populasi berisiko PTM yang efektif dan didukung regulasi memadai melalui kebijakan yang berpihak pada kesehatan untuk menjamin pelaksanaannya secara terintegratif melalui “Triple Acs” (active cities, active community and active citizens) dengan kerja sama lintas program, kemitraan lintas sektor, pemberdayaan swasta/industri dan kelompok masyarakat madani. Upaya promosi dan kampanye pencegahan PTM dilakukan oleh Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan lintas program, lintas sektor yaitu organisasi pemerintah, swasta, dan masyarakat. Setiap tahun, Kementerian Kesehatan dan pihak lainnya memperingati Hari PTM Sedunia dengan melaksanakan berbagai kegiatan, berupa: kampanye secara massal dan kegiatan skrening dan deteksi dini PTM. 2. Deteksi dan tindak lanjut dini PTM secara terintegrasi dan fokus pada faktor risikonya, melalui pemberdayaan masyarakat, yang didukung oleh sistim rujukan dan regulasi memadai, dengan kerja sama lintas profesi dan keilmuan, lintas program, kemitraan lintas sektor, pemberdayaan swasta/industri dan kelompok masyarakat madani. Sampai saat ini Direktorat PPTM, terus mengembangkan kegiatan deteksi dini FR PTM melalui kegiatan posbindu PTM, melalui kelompok-kelompok pemberdayaan masyarakat. Sejak tahun 2007, Kementerian Kesehatan bekerja sama dengan profesi Onkologi dan pemerintah daerah telah mengembangkan program deteksi dini PTM payudara dan PTM leher rahim melalui pemeriksaan Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA) dan pemeriksaan payudara oleh petugas kesehatan Clinical Breast Examination (CBE) dan Periksaan Payudara Sendiri (SADARI). Program ini telah dicanangkan 6 oleh Ibu Negara Indonesia sebagai program nasional pada 21 April 2008. Pada tahun 2012 sudah terdapat 23 propinsi, 115 kab/kota, dan 310 puskesmas yang melakukan program ini 3. Tatalaksana penderita PTM (kuratif-rehabilitatif) yang efektif dan efisien, yang didukung kecukupan obat, ketenagaan, sarana/prasarana, sistim rujukan, jaminan pembiayaan dan regulasi memadai, untuk menjamin akses penderita PTM dan faktor risiko terhadap tatalaksana pengobatan baik di tingkat pelayanan kesehatan primer, sekunder maupun tertier. Dalam hal ini Direktorat PPTM sejak tahun 2012, mulai meningkatkan kapasitas Puskesmas dalam pelayanan PTM, dengan menyediakan regulasi, dan peningkatkan SDM di Puskesmas. Saat ini di Indonesia terdapat fasilitas diagnosis dan pengobatan PTM di pada 21 pusat radiasi, yaitu : 5 di Jakarta; 1 di Bandung, Jawa Barat; 4 di Semarang, Yogyakarta, Solo, Purwokerto, Jawa Tengah; 3 di Surabaya, Malang, Jawa Timur; 5 di Medan, Pekan Baru, Padang, Palembang, Sumatra; 1 di Bali; 1 di Banjarmasin, Kalimantan Selatan; 1 di Makasar, Sulawesi Selatan; dengan 33 pesawat radiasi yang terdiri dari: 16 LINAC, 17 telecobalt, serta jumlah tenaga radiologis yang masih terbatas, yaitu : 45 radiologis PTM, 794 ahli radiologi. Jumlah ini masih di bawah rekomendasi IAEA, yang seharusnya 1 LINAC/cobalt per 1 juta orang, 1 radiologis PTM untuk 200 ,dan pengobatan PTM. 4. Pelayanan Paliatif Pelayanan paliatif adalah perawatan yang merupakan suatu pendekatan untuk memperbaiki kualitas hidup pasien dan keluarganya dalam menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, melalui pencegahan, penilaian, pengobatan nyeri dan masalah-masalah fisik lain, juga masalah psikologis dan spiritual lainnya. Indonesia telah mengembangkan pelayanan paliatif di rumah sakit, pada tahun 2012 baru terdapat 7 pusat perawatan paliatif yang tersebar di propinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, DI Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, dan Sulawesi Selatan. 5. Rehabilitasi Beberapa LSM di Indonesia telah mengembangkan kegiatan dukungan untuk pasien PTM dan survivor. Dukungan tersebut bentuknya seperti rumah singgah gratis dan pendidikan untuk anak-anak penderita PTM. Terdapat kelompok survivor yang berkontribusi dalam kegiatan tersebut. 6. Surveilans dan regristri PTM, Surveilans dan regristri PTM yang mampu laksana dan didukung regulasi memadai dan menjamin ketersediaan dasar dasar untuk advokasi kepada penentu kebijakan, perencanaan, dan pelaksanaan program PTM prioritas. Registrasi PTM telah dimulai sejak tahun 1970-an. Pertama kali, dilakukan survai frekuensi PTM di Semarang pada tahun 1970. Kemudian, dikembangkan registrasi PTM berbasis populasi di kota Semarang sampai tahun 1989. Terdapat juga beberapa registrasi PTM PTM berbasis rumah sakit dan berbasis patologi. Pada tahun 2007 Kementerian Kesehatan berkolaborasi dengan WHO Indonesia mengembangkan suatu model registrasi PTM, berbasis rumah sakit dan populasi, di DKI Jakarta, yang masih berlangsung hingga kini. Untuk kepentingan validnya dan komprehensifnya data PTM, kegiatan registrasi PTM berbasis rumah sakit dan populasi akan dilaksanakan secara berkesinambungan. Data tersebut akan menjadi sumber informasi untuk mengembangkan dan mengevaluasi program pengendalian PTM. Sehingga, kegiatan tersebut perlu mendapatkan dukungan dari pihak-pihak terkait. 7. Penelitian dan pengembangan kesehatan yang menjamin ketersediaan informasi insidensi dan prevalensi PTM dan faktor risikonya, yang menghasilkan teknologi intervensi kesehatan masyarakat/pengobatan/ rehabilitasi dalam bentuk “Best Practice”, dan intervensi kebijakan yang diperlukan. 7 8. Advokasi PPTM kepada Pemerintah (Pusat dan Daerah) secara intensif dan efektif dengan focus pesan ‘Dampak PTM (ancaman) terhadap pertumbuhan ekonomi Negara/Daerah 9. Jejaring kerja dan kemitraan PPTM yang terdiri sub jejaring surveilans, promosi kesehatan, dan manajemen upaya kesehatan, baik di Tingkat Pusat maupun Daerah III. STRATEGI PENGENDALIAN PTM Visi : Masyarakat yang mandiri dalam pengendalian PTM. Misi: a. Meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat dalam pengendalian PTM b. Melindungi kesehatan masyarakat dari penyakit PTM dengan menjamin tersedianya upaya pengendalian PTM yang paripurna, merata, bermutu, dan berkeadilan. c. Menjamin ketersediaan dan pemerataan sumberdaya kesehatan dalam pengendalian penyakit PTM. d. Menciptakan tata kelola kepemerintahan yang baik dalam pengendalian PTM. Tujuan Tujuan Umum Menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat penyakit tidak menular, memperpanjang umur harapan hidup serta meningkatkan kualitas hidup penderita. Tujuan Khusus Meningkat pengetahuan dan kesadaran masyarakat terhadap penyakit PTM. Menurunkan angka kematian PTM 25% pada tahun 2025 Menurunkan angka insiden PTM 10% pada tahun 2025. Meningkatkan pengedalian faktor risiko PTM untuk menekan angka kejadian PTM. Meningkatkan penemuan kasus PTM pada stadium yang lebih awal. Meningkatkan kualitas hidup (survival) dan “kesembuhan” pasien PTM Sasaran Strategis Menurunkan angka kematian akibat PTM 25 % dan menurunkan persentase prevalens PTM 10% Strategi dan Kebijakan 1. Memperkuat kebijakan/undang-undang dan mendorong kepemilikan program oleh pemerintah daerah dalam pengendalian PTM. Peratuan Dalam rangka memastikan terselenggaranya pengendalian PTM yang optimal, diperlukan dukungan aspek legal/peraturan yang memadai. Ruang lingkup aspek legal ini harus mencakup peraturan tentang pengendalian PTM, termasuk pencegahan, deteksi dini, diagnosis dan pengobatan, pelayanan paliatif dan rehabilitasi, surveilans, dan penelitian. Peraturan tentang 8 pengendalian PTM dapat berbentuk pedoman umum, pedoman teknis, dan prosedur operasional standar (SOP). Seluruh stakeholder terkait yang melaksanakan kegiatan pengendalian PTM harus mengikuti peraturan yang ada. Peraturan tentang pengendalian PTM dapat berkurang (apa maksudnya?) disetiap tingkatan seperti yang tertulis dalam pedoman, pedoman teknis, dan prosedur operasional standard (SOP). Seluruh stakeholder yang terkait yang melaksanakan kegiatan pengendalian PTM harus mengikuti peraturan yang ada. Kebijakan Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan operasional implementasi pengendalian PTM yang mencakup norma, standar, kriteria dan prosedur (NSPK) yang dituangkan dalam buku-buku pedoman manajemen dan teknis (PJPD, Kanker, PPOK, DM dan Gaktce dan Tisan). Selanjutnya pemerintah daerah baik propinsi maupun kabupaten/kota dimungkinkan menetapkan kebijakan spesifik daerah yang selaras dengan kebijakan nasional. Dalam rangka meyakinkan kualitas program pengendalian PTM, memerlukan kolaborasi dengan profesi dan ahli yang terkait. Setiap tingkatan dapat membangun panitia ahli, kelompok kerja, dan bantuan teknis dari ahli baik nasional maupun internasional. Kepemilikan daerah Sesuai otonomi daerah dan desentralisasi manajemen program PTM berada pada pemerintah daerah dan menjadi tanggungjawabnya. Untuk memastikan hal ini, diperlukan advokasi yang memadai kepada pemerintah daerah: kepala daerah, DPRD, dan BAPPEDA. Selain advokasi, sosialisasi program harus dilaksanakan kepada seluruh Dinas Kesehatan dan stakeholder terkait termasuk LSM dan pemuka masyarakat. Perencanaan dan implementasi program pengendalian PTM harus diperkuat khususnya pada tingkat kabupaten sebagai manajer. Pemerintah kabupaten dan provinsi harus mengembangkan rencana strategis masing-masing yang sejalan dengan rencana strategi nasional. Pembiayaan Implementasi program pengendalian PTM didanai tidak hanya dari anggaran pemerintah (nasional, provinsi, dan kabuapten/kota) tapi juga oleh angagaran partner seperti ikatan profesi, LSM, fasilitas Kesehatan swasta, perusahaan, asuransi, donor, dan lainnya. Pendanaan pemerintah daerah akan memberikan kontribusi yang besar untuk membiayai program bagi kesinambungan pengendalian PTM. Strategi untuk meningkatkan kesinambungan keuangandan alokasi sumber daya harus mempertimbangkan kapasitas fiscal di tingkat provinsi dan kabupaten. 2. Mengintegrasikan program pencegahan PTM Program pengendalian PTM dilaksanakan terintegrasi dan komprehensif. Program meliputi pencegahan primer (promosi, dan vaksinasi), pencegahan sekunder (skrining/deteksi dini, pengobatan), dan tersier (paliatif dan rehabilitasi). Oleh karena terbatasnya sumber daya, program dapat difokuskan pada pencegahan dan deteksi dini, dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut akan berdampak lebih besar pada kesehatan masyarakat dibandingkan pengobatan. Akan tetapi, program PTM nasional perlu mengerahkan seluruh sumber daya untuk mencapai program pengendalian PTM yang terintegrasi dan komprehensif. Program pengendalian PTM dilaksanakan terintegrasi dan komprehensif. Program meliputi pencegahan primer (promosi, dan vaksinasi), pencegahan sekunder (skrining/deteksi dini, pengobatan), dan tersier (paliatif dan rehabilitasi). Oleh karena terbatasnya sumber daya, program dapat difokuskan pada pencegahan dan deteksi dini, dengan tidak mengabaikan upaya kuratif dan rehabilitatif. Hal tersebut akan berdampak lebih besar pada kesehatan masyarakat 9 dibandingkan pengobatan. Akan tetapi, program PTM nasional perlu mengerahkan seluruh sumber daya untuk mencapai program pengendalian PTM yang terintegrasi dan komprehensif. 3. Meningkatkan upaya pencegahan PTM Program pengendalian PTM harus dilaksanakan di seluruh aspek, mulai dari pencegahan sampai dengan rehabilitasi. Prioritas program pengendalian PTM adalah pencegahan melalui pengendalian faktor risiko dan deteksi dini (skrining). Faktor risiko PTM yang dapat dikendaliakan meliputi merokok, mengkonsumsi alkohol, diet tidak sehat, kurang aktivitas fisik, perilaku seks yang tidak sehat. Kegiatan pengendalian FR PTM meliputi: promosi, kampanye, kawasan bebas asap rokok, penguatan dan penegakkan regulasi dalam pengendalian faktor risiko PTM seperti garam, gula, lemak, lingkungan, dan lain-lain. Program deteksi dini dilaksanakan untuk beberapa PTM yang dapat dideteksi secara dini, seperti kanker leher rahim, kanker payuadara, kanker kolorektal, orofaring, dan retinoblastoma, obesitas, hipertensi, dsb. Program deteksi dini PTM dapat dikembangkan berdasarkan beban PTM dan ketersediaan sumber daya. Program pengendalian PTM dapat dikembangkan berdasarkan angka/kasus PTM tertinggi di masing-masing wilayah dan ketersediaan metode dan sumber daya. 4. Melibatkan seluruh sarana pelayanan kesehatan pemerintah dan swasta Seluruh stakeholder terkait dalam pengendalian PTM dari setiap tingkatan, profesi/ahli, LSM, swasta, TNI, POLRI, dan masyarakat umum harus dilibatkan.Forum kemitraan dari berbagai pihak harus dibangun di setiap tingkatan. 5. Memberdayakan stakeholder terkait dan masyarakat Program pengendalian PTM harus melibatkan seluruh provider pelayanan Kesehatan, seperti onkolog, dokter spesialis, dokter, bidan, perawat, pelaku pengobatan tradisional, dan kader. Seluruh stakeholder terkait dalam pengendalian PTM dari setiap tingkatan, profesi/ahli, LSM, swasta, tentara, dan masyarakat umum harus dilibatkan. Forum kemitraan dari berbagai pihak harus dibangun di setiap tingkatan. Masyarakat juga harus diberdayakan untuk memberikan dukungan dalam promosi, penggerakan masyarakat, dukungan sosial, dan kegiatan sosial lainnya. Kader, tokoh agama dan tokoh masyarakat harus dilibatkan dalam program pengendalian PTM. Masyarakat perlu dibuat merasa bahwa program pengendalian PTM merupakan kegiatan mereka juga. Sehingga, kegiatan akan berkesinambungan. 6. Meningkatkan sistem kesehatan dan manajemen pengendalian PTM a) b) c) d) Sumber daya manusia Logistik dan penyediaan obat Surveilans Advokasi dan Komunikasi 7. Mengembangkan dan mempromosikan penelitian tentang PTM. Penelitian tentang PTM merupakan bagian penting dalam merencanakan dan mengembangkan program pengendalian PTM. Penelitian dapat dilaksanakan berbasiskan universitas, rumah sakit, atau program.Hasil dari penelitian harus dipublikasikan dan di-diseminasikan secara nasional dan internasional.Topik penelitian dapat berupa faktor risiko PTM dan kasus PTM, penelitian epidemiologis, penelitian klinis, dan clinical trial.Penelitian dapat berupa survey atau studi.Setiap tingkatan harus mempromosikan dan mendorong penelitian tentang PTM dan mempertimbangkan hasil penelitian sebagai sumber yang ilmiah dalam perencanaan dan evaluasi program 10 IV. KEGIATAN PENGENDALIAN PENYAKIT TIDAK MENULAR A. Kegiatan Pengendalian Faktor Risiko Bersama PTM a) Perilaku Cerdik CERDIK merupakan jargon yang berisikan implementasi perilaku sehat untuk pengendalian fakto risiko PTM. Kata CERDIK itu sendiri terdiri dari beberapa huruf awal yang dirangkaikan menjadi kalimat perilaku sehat untuk mencegah terjadinya penyakit tidak menular, yaitu Cek Kondisi Kesehatan secara Bekala, Enyahkan asap rokok, Rajin berolahraga, Diet yang sehat dengan kalori berimbang, Istirahat yang cukup, Kendalikan stres. Perilaku CERDIK ini menjadi aktifitas rutin yang dilakukan masyarakat melalui Posbindu PTM. Implementasi Perilaku CERDIK tidak hanya terbatas pada saat pelaksanaan Posbindu PTM sedang berlangsung, namun dapat disosialisasikan membumi lebih jauh ke berbagai tatanan dengan menggunakan media/metode yang ada. Melalui perilaku CERDIK, diharapkan masyarakat lebih termotivasi minatnya untuk dapat mengendalikan faktor risiko PTM secara mandiri sehingga kejadian PTM dapat dicegah peningkatannya. b) Kawasan Tanpa Rokok Kawasan Tanpa Rokok (KTR) adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan merokok atau kegiatan memproduksi, menjual, mengiklankan, dan/atau mempromosikan Produk Tembakau. KTR meliputi : fasilitas pelayanan kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, dan tempat umum dan tempat lain yang ditetapkan. c) Posbindu PTM Program Posbindu PTM merupakan program pengendalian faktor risiko PTM melalui pemberdayaan masyarakat. Sasaran program ini ditujukan kepada seluruh masyarakat sehat dan berisiko yang berusia mulai dari 15 tahun. Aktifitas Posbindu PTM meliputi Identifikasi faktor risiko PTM, Edukasi-Konseling FR-PTM, Pencatatan dan pemantauan termasuk rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan dengan menggunakan sistem 5 meja. Pelayanan sistem 5 meja terdiri dari Meja 1 untuk pelayanan registrasi dan administrasi, meja 2 untuk wawancara, meja ke-3 untuk pengukuran antropometri (BB, TB, LP, Analisa Lemak Tubuh), meja ke-4 untuk pengukuran faktor risiko PTM biologis (pengukuran tekanan darah, gula darah, kolesterol, Arus Puncak Ekspirasi, dan lainnya). Pelaksanaan Posbindu PTM dapat dilakukan terintegrasi dengan upaya kesehatan bersumber masyarakat yang sudah ada, di tempat kerja atau di klinik perusahaan, di lembaga pendidikan, tempat lain di mana masyarakat dalam jumlah tertentu secara rutin berada, misalnya di mesjid, gereja, klub olah raga, pertemuan organisasi politik maupun kemasyarakatan. B. Kegiatan Pengendalian PTM a) Pelayanan PTM di Puskesmas Penyelenggaraan pelayanan PTM di puskesmas untuk mewujudkan puskesmas yang mampu melaksanakan pengendalian PTM dan mampu menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang efisien, efektif, merata, bermutu, terjangkau, dan memenuhi kebutuhan masyarakat di wilayah kerjanya. Pelayanan PTM dimulai dari tingkat komunitas berupa Posbindu PTM sampai kepada upaya-upaya pelayanan kesehatan yang dilaksanakan secara komprehensif mulai dari upaya promotif, preventif, deteksi dini, pengobatan, pelayanan paliatif dan rehabilitatif yang dilaksanakan secara terintegrasi di puskesmas. b) Pengaturan Konsumsi Gula, Garam dan Lemak : Saat ini pemerintah telah mengeluarkan Permenkes No.30 / 2013 tentang Informasi dan Saran Asupan Harian Gula, Garam dan Lemak pada kemasan makanan olahan dan siap saji. c) Kegiatan Pengendalian DM dan PM Pengendalian DM dilakukan melalui upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan sasaran pada pada masyarakat yang masih sehat (well being), masyarakat berisiko (at risk), masyarakat yang berpenyakit (deseased population) dan masyarakat yang menderita kecacatan 11 dan memerlukan rehabilitasi (Rehabilitated population). Pengendalian DM didasari oleh 3 pilar, yaitu: 1) Peran pemerintah melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pokok pengendalian DM, 2) Peran civil society organization melalui pengembangan dan penguatan jejaring kerja pengendalian DM, dan 3) Peran masyarakat (keluarga) melalui pengembangan dan penguatan kegiatan pencegahan pengendalian faktor risiko DM berbasis masyarakat. Program pokok pengendalian DMPM : program edukasi DM program cerdik tangkal dm pada anak sekolah program pemantauan gula darah mandiri program pencegahan kaki diabetik/kusta program deteksi dini komplikasi diabetik; retinopati, dan nefropati diabetik program interkolaboratif dm dengan tb paru program penjaringan hipotiroid pada wanita usia subur d) Konseling Berhenti Merokok Rokok terbukti sebagai faktor risiko utama penyakit jantung dan pembuluh darah (hipertensi, stroke, serangan jantung), penyakit paru-paru, kanker, gangguan sistem reproduksi (infertilitas, lahir prematur) dan kematian bayi. Penyakit-penyakit tersebut merupakan 60% penyebab kematian di dunia maupun di Indonesia (RISKESDAS 2007, WHO 2008). Konsumsi rokok di Indonesia yang tinggi dan terus meningkat di berbagai kalangan mengancam kesehatan dan kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Di kalangan orang dewasa (67,4% laki-laki, 4,5% perempuan) (GATS, 2011) dan di kalangan remaja sebesar 38,4% laki-laki dan 0,9% perempuan (Riskesdas, 2010). Data Global Youth Tobacco Survey (GYTS) 2009, menunjukkan 20,3% remaja 13-15 tahun merokok. Perokok pemula remaja usia 10-14 tahun naik 2 kali lipat dalam 10 tahun terakhir dari 9,5% pada tahun 2001 menjadi 17,5% pada tahun 2010 (SKRT, 2001; RISKESDAS, 2010). e) PAL (Practical Approach to Lung Health) Practical Approach to Lung Health (PAL) merupakan suatu pendekatan yang berpusat pada pasien untuk meningkatkan mutu diagnosis dan pengobatan gangguan saluran pernapasan di tingkat Fasilitas Pelayanan Kesehatan (FPK) seperti Puskesmas dan RS. PAL berfokus pada empat penyakit yaitu TB, ISPA (Pneumonia), Asma dan PPOK. PAL merupakan inovasi dari salah satu strategi utama dunia dalam pengendalian TB tahun 2006‐2015, strategi ini sudah diperkenalkan oleh WHO sejak tahun 2001. f) Skrining dan Konseling Genetik Pranikah untuk Pencegahan Thalassemia Mayor g) Deteksi Dini Penyakit SLE dengan SALURI dan Edukasi –Konseling h) Pengendalian Penyakit Gagal Ginjal Kronik (PGK) i) Pencegahan Osteoporosis melalui Gaya Hidup Sehat j) Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dengan metoda IVA Deteksi dini Kanker Leher Rahim dengan metoda IVA merupakan kegiatan pemeriksaan untuk menemukan kanker di leher rahim, dari sejak perubahan awal sel (displasia) sampai dengan pra kanker. Pemeriksaan IVA merupakan pemeriksaan yang sederhana, murah dan cepat dan cukup akurat untuk menemukan kelainan pada tahap kelainan sel atau sebelum pra kanker. a) Deteksi Dini Kanker Payudara dengan metode CBE b) SADARI c) Deteksi Dini Kanker pada Anak 12 V. Indikator Target Goal TARGET KEMENTERIAN / LEMBAGA Menurunkan angka kematian akibat PTM 25 % dan menurunkan persentase prevalens PTM 10% 1. Penurunan relatif sebesar 25% dari seluruh kematian yang disebabkan oleh penyakit kardiovaskular, kanker, Diabetes, penyakit paru kronik 2. Penurunan relatif 10% dari penggunaan alkohol yang berbahaya sesuai satuan standar dalam konteks nasional 3. Penurunan relatif 10% dari prevalensi kurang aktivitas fisik 4. Penurunan secara relatif 30% rerata asupan garam/sodium pada populasi umur 18 tahun ke atas 5. Penurunan relatif sebanyak 30% dari prevalensi merokok pada umur 15 tahun ke atas 6. Penurunan relatif dari angka prevalensi tekanan darah tinggi sebesar 25% 7. Menekanlajupeningkatan prevalensi diabetes, obesitasdan kegemukan 8. Setidaknya 50% pasien mendapatkan akses pengobatan dan konseling faktor risiko kardiovaskukartermasukpengendalian hiperglikemikuntuk mencegah serangan jantung dan stroke 9. Setidaknya 80% pasien mendapatkan akses pengobatan esensial yang berkualitas dan konseling faktor risiko PTM termasuk pengendalian hiperglikemik, dan dukungan teknologi medis dasar yang diperlukan dalam pengelolaan PTM untuk mencegah serangan jantung dan stroke 10. Setidaknya 50 % wanita usis 30 – 49 tahun 1. Kementerian Kesehatan, 2. Kementerian Dalam Negeri, 3. Kementerian Perindustria n, 4. Kementerian Pertanian, 5. Kementerian Perdaganga n 6. BKKBN KEBIJAKAN (REGULASI & NON REGULASI 1. Kawasan Tanpa Rokok 2. Regulasi gula, garam, lemak 3. Standar Pelayanan Minimum (SPM) PTM 4. Ketersediaan Obat PTM 5. Pelayanan PTM esensial di Puskesmas 6. Posbindu PTM 7. Registrasi kanker dan PTM lain 8. Kajian UPAYA PENTING (Program & Kegiatan Pokok) Upaya untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian akibat PTM dilakukan dengan upaya promosi gaya hidup sehat, yaitu tidak merokok, diet sehat, aktivitas fisik cukup, membatasi konsumsi alkohol. Upaya lain dengan deteksi dini faktor risiko dan PTM melalui kegiatan Pos Pembinaan Terpadu PTM (Posbindu PTM). Deteksi dini tersebut meliputi obesitas umum dan obesitas sentral, hipertensi, gula darah, kolesterol darah, kapasitas paru, amfetemin urin, Inspeksi Visual dengan Asam asetat (IVA) untuk kanker leher rahim dan Clinical Breast Examination untuk kanker payudara. Program lain adalah dengan meningkatkan akses pengobatan dan penyiapan peralatan diagnosis dan pengobatan di fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Sedangkan untuk pasien PTM stadium akhir dilakukan pelayanan paliatif dan rehabilitatif di fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan. Secara rinci sebagai berikut: I. Promkes 1. Advokasi peningkatan dukungan dan komitmen politik PPTM 2. Advokasi untuk Health in all policies, Ket. melakukan skrining kanker serviks paling tidak sekali atau lebih ( IVA atau Pap Smear) 11. Aksesibilitas pelayanan paliatif dengan konsumsi morfin ekuivalen analgesic opioid kuat (selain methadone) per kematian karena kanker. 12. Penurunan 50% angkakematianakibatkecelakaanlalulintaspadat ahun 2020 (Inpres no. 4 tahun 2013) 14 Vaksin HPV seperti fasilitasi penyediaan ruang publik yang mendukung peningkatan aktivitas fisik, pengembang perumahan menyediakan fasilitas berjalan dan bersepeda dll 3. Peningkatan efektivitas Kemkes sebagai Leading sektor PPTM 4. Promosidanedukasiperilaku CERDIK, pengaturan asupan GGL, bahaya Rokok, kurang aktivitas fisik dan konsumsi alkohol 5. Mendorong implementasi dan monitoring evaluasi KTR di 7 tatanan yang diwajibkan 6. KIE Kepatuhan Minum Obat PTM 7. Promosi Perilaku Sehat di Jalan untuk pelajar dan anak sekolah Contoh: Pekan Keselamatan di Jalan, Taman Lalu Lintas dan PMR 8. Membentuk mekanisme Kerjasama multisektor / Kemitraan II. Pelayanan Kesehatan 1. Penguatan sistem kesehatan untuk Diagnosis Dini 2. Penguatan sistem kesehatan untuk tatalaksana PTM dan Faktor Resikonya nya 3. PenguatanKegiatanPosbindu PTM 4. Peningkatan pelayanan PTM di Puskesmas 5. Peningkatan Kapasitas SDM/K dalamPengendalian PTM 6. Pencegahan komplikasi melalui Perkesmas dan homecare 7. Rehabilitasi di masyarakat 8. Paliatif care 9. Mengembangkan kebijakan, pedoman dan protocol standar yang terintegrasi, berbasis bukti untuk deteksi dini, manajemen dan pengobatanmelaluipendekatanpelay anan kesehatan dasar 10. Kebijakanpemberianobat PTM untuk 1 bulan di Fasyankes dasar 11. Penguatan rujukankasus PTM (Posbindu-Puskesmas-RS-Rujuk balik) 12. Pelayanan konseling Pengendalian PTM dan factor risikonya di fasyankesdasar 13. Menjamin ketersediaan obat essensial penyakit tidak menular di Fasyankes dasar dan rujukan 14. Pembentukan SPGDT dan safe community disetiap Kab/Kota III. Surveilans 1. Pengembangan Registri PTM 2. Pengembangan surveilans FR PTM berbasis Posbindu dan Puskesmas 3. Pengembangan Penelitian dan prioritas penelitian terkait PTM 4. Survei PTM 5. Pengembangan Monev kegiatan PTM 15