1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kata propolis berasal dari bahasa Yunani, yaitu pro berarti pertahanan dan polis berarti kota, sehingga propolis bermakna pertahanan kota (atau sarang lebah). Propolis atau lem lebah adalah nama umum yang diberikan untuk bahan resin yang dikumpulkan oleh lebah madu dari berbagai macam jenis tumbuhan, terutama dari bagian kuncup dan daun tumbuhan tersebut. Lebah kemudian mencampur bahan resin ini dengan enzim yang disekresikan dari kelenjar mandibula lebah, meskipun demikian komponen yang terdapat di dalam propolis tidak mengalami perubahan (Greenway,Scaysbrook dan Whatley, 1990). Propolis dapat berfungsi sebagai desinsfektan, antibakteri, antivirus, antiinflamasi. Menurut penelitian propolis mengandung bioflavanoid yaitu zat antioksidan sebagai suplemen sel, kandungan bioflavanoid pada satu tetes propolis setara dengan bioflavanoid yang dihasilkan 500 buah jeruk. Oleh Lembaga Riset Kanker Columbia,1991 : dalam propolis terdapat zat CAPE (caffeic acid phenyethyl ester) yang berfungsi untuk membantu mematikan sel kanker, dengan pemakaian secara teratur selama 6 bulan dapat mereduksi sel kanker sebanyak 50% . Riset Laboratorium Pengujian dan Penelitian Terpadu (LPPT) UGM, 2011 :Propolis dapat menghambat 2 sel kanker Hela (sel kanker serviks), Siha (sel kanker uterus) serta T47D dan MCF7 (sel kanker payudara) dengan nilai IC50 berkisar 20 - 41µg/ml. Artinya, propolis dosis 20 - 41µg/ml dapat menghambat aktivitas 50% sel kanker dalam kultur. Propolis memiliki nilai EC50 0,30 mM dan LD50 lebih dari 10.000 mg yang berarti kurang toksik. Berdasarkan penelititan yang dilakukan S. Scheller (1980) yang menguji efektifitas antikanker dari ekstrak etanol propolis (EEP) pada mencit yang diinduksi dengan ehrlich carcinoma cells menunjukkan, mencit yang bisa bertahan hidup lebih banyak setelah diberi EEP. Efek antikanker EEP terhadap Ehrlich Carcinoma cells ini berkaitan dengan kandungan flavonoid pada propolis. Kanker merupakan penyakit yang mendapat perhatian serius di dunia kedokteran. Hal ini disebabkan oleh jumlah penderitanya yang semakin meningkat dan belum ada cara efektif untuk mengobatinya. Berbagai metode terapi penyakit kanker telah banyak dilakukan, salah satu diantaranya yaitu kemoterapi. Senyawa kemoterapi dapat menghambat pertumbuhan kanker melalui penghambatan proliferasi atau membunuh sel kanker tersebut (Bennet & Montgomery, 1967). Ketidakefektifan metode ini adalah kesulitan dalam mendesain senyawa kemoterapi yang mempunyai aktivitas antikanker tinggi dan mempunyai efek samping yang rendah terhadap sel normal (Gibbs, 2000). Rute vagina telah digunakan secara tradisional untuk penghantaran beberapa obat lokal secara konvensional seperti agen antimikroba 3 (Peppas,1993). Namun, sistem penghantaran obat lewat vagina secara konvensional seperti larutan, krim, busa, dan jeli tertahan pada sisi target untuk waktu yang relatif singkat dikarenakan aksi pembersihan dari jalur vagina itu sendiri yang membatasi kadar efektif dari obat untuk suatu periode waktu yang singkat sehingga fluktuasi dalam kadar dosis obat menyebabkan peningkatan frekuensi dosis obat. Hal ini akhirnya menyebabkan ketidaknyamanan pasien dan kondisi toksik (Hussain, 2005). Penggunaan gel bioadhesive vagina dengan pelepasan yang diperpanjang (mikroenkapsulasi) diharapkan dapat menawarkan beberapa manfaat termasuk waktu tinggal yang diperpanjang dari bentuk sediaan pada tempat absorbsi selama bioadhesi ke mukosa vagina, pelepasan obat yang diperpanjang meningkatkan bioavaibilitas dan mengurangi efek samping dari obat dan akhirnya meningkatkan kenyamanan pasien. Penelitian ini dimaksudkan untuk membuat sediaan mikrokapsul ekstrak etanol propolis (EEP) dan mengetahui karakter mikrokapsul yang diperoleh untuk selanjutnya dibuat sediaan gel mukoadhesive vagina dan dilakukan evaluasi sediaan gel mukoadhesive yang diperoleh dengan berbagai konsentrasi dari tipe polimer adhesive yang digunakan. B. Rumusan Masalah Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimana membuat sediaan mikrokapsul dari ekstrak etanol propolis (EEP) dengan karakter fisik yang baik berdasarkan variasi perbandingan konsentrasi inti 4 dan konsentrasi emulsifikasi penyalut penguapan yang pelarut digunakan dan menggunakan bagaimanakah metode formula gel mukoadhesive vagina dari mikrokapsul EEP yang memenuhi persyaratan farmasetika sesuai pustaka ? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Membuat formula mikrokapsul EEP yang memiliki karakter fisik yang terbaik. 2. Menentukan formula gel mukoadhesive vagina dari mikrokapsul EEP yang memenuhi persyaratan farmasetika sesuai pustaka. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pengembangan produk farmasi dari bahan alam, serta menghasilkan formula gel mukoadhesive vagina dari mikrokapsul EEP yang memenuhi persyaratan farmasetika. E. Hipotesis Dapat dibuat sediaan mikrokapsul dari EEP dengan perbandingan variasi konsentrasi zat inti dan penyalut menggunakan metode emulsifikasi penguapan pelarut. Mikrokapsul EEP dapat diformulasi menjadi sediaan gel mukoadhesive vagina yang memenuhi persyaratan farmasetika. 5 F. Kerangka Pikir Beberapa tanin dan flavonoid seperti aglikon flavonoid dan glikosidanya telah diteliti mempunyai aktivitas antikanker (Ramanthan, 1992). Sistem penghantaran obat lewat vagina secara konvensional menyebabkan ketidaknyamanan pasien dan kondisi toksik (Hussain, 2005). Sediaan gel mukoadhesive vagina dari mikrokapsul memiliki keuntungan durasi yang lama sehingga dapat meningkatkan bioavaibilitas dan mengurangi efek samping dari obat dan akhirnya meningkatkan kenyamanan pasien. Ekstrak Etanol Propolis (EEP) EEP mengandung senyawa flavonoid EEP mengandung Zat CAPE (Caffeic acid phenylethylester) yang berkhasiat antikanker Mikroenkapsulasi Evaluasi Mikrokapsul Formulasi Gel mukoadhesive vagina dari mikrokapsul EEP yang memenuhi persyaratan farmasetika Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Evaluasi gel mukoadhesive 6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Uraian Propolis Propolis adalah bahan resin yang melekat pada bunga, pucuk dan kulit kayu. Sifatnya pekat, bergetah, berwarna coklat kehitaman, mempunyai bau yang khas, dan rasa pahit. Lebah menggunakan bahan propolis untuk pertahanan sarang, mengkilatkan bagian dalam sarang dan menjaga suhu lingkungan sarang (Toprakci, 2005). Propolis dapat dimanfaatkan sebagai bahan kosmetik dan obat-obatan. Menurut Wade(2005), propolis mengandung senyawa kompleks, vitamin, mineral, enzim, senyawa fenolik dan flavonoid. Tabel 1. di bawah ini menjelaskan mengenai komposisi kimia propolis. Tabel 1. Komposisi Kimia Propolis (Krell, 1996) Komponen Konsentrasi Grup komponen Resin 45-55% Flavonoid, esternya Lilin dan asam lemak 25-53% Sebagian besar dari lilin lebah Minyak esensial 10% Senyawa volatile Protein 5% Protein kemungkinan berasal dari pollen dan amino bebas Senyawa organik lain 5% dan mineral 14 macam mineral yang paling terkenal adalah Fe dan Zn, sisanya seperti Au, Ag, Hg. Senyawa organic lain seperti keton, kuinon, asam benzoat, dan esternya, gula, vitamin. asam fenolat dan 7 Komposisi propolis dapat berfungsi untuk memperbaiki kondisi patologi dari bagian tubuh yang sakit, bekerja sebagai antioksidan dan antibiotik serta meningkatkan sistem kekebalan tubuh baik humoral maupun seluler karena mengandung flavonoid sekitar 15% (Krell, 1996). Flavonoid merupakan antioksidan dan antibiotik yang berfungsi menguatkan dan mengantisipasi kerusakan pada pembuluh darah serta bahan aktif yang berfungsi sebagai antiperadangan dan antivirus (Wade,2005). Kemampuan propolis sebagai antioksidan dapat menangkap radikal hidroksi dan superoksida kemudian menetralkan radikal bebas sehingga melindungi sel dan mempertahankan keutuhan struktur sel dan jaringan serta dapat melindungi membrane lipid terhadap reaksi yang merusak (Robinson, 1995). Remirez et al.(1997) dalam Bankova (2000) menambahkan bahwa ekstrak propolis berperan sebagai antioksidan karena mengandung asam kafeat dan asam fenolat beserta esternya. Menurut Masaharu dan Yong Kun (1998), aktivitas antioksidan tertinggi dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan pelarut etanol. Flavonoid yang terekstrak adalah kemferida (flavonol), aksetin (flavon) dan isoramnetin. Propolis merupakan antibiotik karena mempunyai kandungan flavonoid, yaitu bahan aktif yang berfungsi sebagai antiperadangan dan antivirus. Hal ini didukung penelitian yang dilakukan oleh Moriyasu dari Jepang bahwa ekstrak propolis dapat memacu aktivitas makrofag 8 sehingga meningkatkan system kekebalan tubuh. Hasil penelitian dapat diketahui bahwa propolis dapat berperan sebagai antitumor. Wade (2005) menjelaskan bahwa propolis dapat merangsang sistem kekebalan secara langsung dan melepaskan unsur yang merespon imunitas seluler melalui mekanisme fagositosis. B. Mikroenkapsulasi 1. Definisi Mikroenkapsulasi adalah suatu proses penyalutan tipis suatu bahan inti baik berupa padatan, cairan atau gas dengan suatu polimer sebagai dinding pembentuk mikrokapsul. Mikrokapsul yang terbentuk dapat berupa partikel atau bentuk agregat, dan biasanya memiliki rentang ukuran partikel antara 5 – 5000 μm. Ukuran tersebut bervariasi tergantung metode dan ukuran partikel bahan inti yang digunakan (Lachman, 1994). Mikrokapsul adalah partikel kecil yang mengandung suatu zat aktif atau bahan inti yang dikelilingi suatu pelapis atau sel (Thies, 1996). Mikroenkapsulasi memberikan sarana untuk mengubah komponen dalam bentuk cairan menjadi partikel padat dan melindungi materi dari pengaruh lingkungan. Perlindungan yang diberikan oleh mikroenkapsulasi dapat mencegah degradasi karena radiasi cahaya atau oksigen, dan juga memperlambat terjadinya evaporasi (Risch,1995) 9 Teknologi mikroenkapsulasi telah digunakan pada berbagai bahan aktif termasuk obat-obatan, pestisida, pupuk, insektisida biologis, dan bahan tambahan makanan (Anonymous, 1996). Terdapat beberapa teknik enkapsulasi yang dapat digunakan yaitu pengeringan semprot (spray-drying), pendinginan semprot (spraychilling), sferonisasi, dan koaservasi (Risch ,1995). Mikroenkapsulasi adalah proses entrapment dari suatu senyawa di dalam senyawa lainnya dalam skala mikro. Senyawa yang dienkapsulasi disebut bahan inti yang berupa zat aktif. Senyawa yang meliputi bahan inti bisa berfungsi sebagai pelapis maupun membran. Produk dari proses mikroenkapsulasi dinamakan mikrokapsul. 2. Keuntungan dan Kerugian Mikroenkapsulasi (Lachman,1994) Keuntungan : 1. dengan adanya lapisan dinding polimer, bahan inti akan terlindung dari pengaruh lingkungan luar. 2. Dapat mencegah perubahan warna dan bau serta dapat menjaga stabilitas bahan inti yang dipertahankan dalam jangka waktu yang lama. 3. Dapat dicampur dengan komponen lain yang berinteraksi dengan bahan inti. 10 Kerugian : 1. Biasanya penyalutan bahan inti oleh polimer kurang sempurna atau tidak merata sehingga akan mempengaruhi pelepasan bahan inti dari mikrokapsul. 2. Dibutuhkan teknologi mikroenkapsulasi. 3. Harus dilakukan pemilihan polimer penyalut dan pelarut yang sesuai dengan bahan inti agar diperoleh hasil mikrokapsul yang baik. 3. Tujuan Mikroenkapsulasi Tujuan umum: 1. Imobilisasi atau entrapment ; untuk membatasi kontak antara senyawa yang dienkapsulasi dengan lingkungan. Contoh; entrapment dari flavor (efek wangi yang muncul dari flavor menjadi lebih lama akibat pelepasan senyawa yang dikontrol oleh porositas membran. 2. Proteksi ; beberapa senyawa aktif mudah terurai bila mengalami kontak lansung dengan lingkungan. Contoh; vitamin dan asam lemak tak jenuh sangat mudah bereaksi dengan oksigen. Beberapa senyawa aktif dalam obat dan probiotik dapat terurai ketika berada dalam lambung. 3. Controlled release ; dalam dunia farmasi, ada beberapa jenis obat yang harus terurai dengan jumlah terkontrol, terutama yang berkaitan dengan enzim dan katalis. Dengan mengatur porositas dari 11 mikrokapsul, difusi dari senyawa aktif yang dienkapsulasi dapat dikontrol. 4. Fungsionalisasi ; mikroenkapsulasi dapat digunakan untuk mengembangkan fungsi baru dari mikrokapsul. Contoh; kontrol aktivitas biokatalis melalui pengaturan permeabilitas membrane dengan melalui perubahan pH. Tujuan khusus : 1. Mengubah bentuk cairan menjadi padatan 2. Melindungi inti dari pengaruh lingkungan 3. Memperbaiki aliran serbuk 4. Menutupi rasa dan bau yang tidak enak 5. Menyatukan zat-zat yang tidak tersatukan secara fisika-kimia 6. Menurunkan sifat iritasi bahan inti terhadap saluran cerna 7. Mengatur pelepasan bahan inti 8. Memperbaiki stabilitas bahan inti. Dalam bidang farmasi mikroenkapsulasi bertujuan untuk mengubah bentuk zat aktif, perlindungan, penutupan rasa dan pelepasan zat aktif secara terkendali. 4.Bentuk morfologi mikrokapsul Morfologi dari mikrokapsul dapat dibagi menjadi 3 tipe : 1. Tipe mononuclear: bahan inti terletak ditengah diselimuti oleh kulit 2. Tipe polinuklear; terdapat banyak bahan inti yang diselimuti oleh kulit 12 3. Tipe matrix; bahan inti terdistribusi secara homogen dalam material pembungkusnya Mikrokapsul Mononuclear Polinuklear Matrix Gambar 2. Bentuk Morfologi Mikrokapsul 5.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Mikroenkapsulasi Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan proses mikroenkapsulasi ; sifat fisika-kimia bahan inti atau zat aktif, bahan penyalut yang digunakan, tahap proses mikroenkapsulasi (tunggal/bertingkat), sifat dan struktur dinding mikrokapsul, kondisi pembuatan (basah/kering) 6.Sifat Zat Aktif Untuk Mikrokapsul Zat aktif yang dapat dibuat dalam sistem mikrokapsul dapat berupa zat padat, gas, ataupun cair dalam ukuran partikel kecil. Sifat-sifat zat aktif dari mikroenkapsulasi tergantung dari tujuan mikroenkapsulasi tersebut. 13 7. Komponen Mikrokapsul 1. Bahan Inti ; merupakan bahan spesifik yang akan disalut, dapat berupa zat padat, cair, ataupun gas. Komposisi bahan inti dapat bervariasi, misalnya pada bahan inti cair dapat terdiri dari bahan terdispersi dan bahan terlarut, sedangkan bahan inti padat dapat berupa zat tunggal atau campuran zat aktif dengan bahan pembawa lain seperti stabilisator, pengencer, pengisi, penghambat atau pemacu pelepasan bahan aktif. Selain itu, bahan inti yang digunakan sebaiknya tidak larut atau tidak bereaksi dengan bahan penyalut yang digunakan. 2. Bahan penyalut ; merupakan bahan yang digunakan untuk melapisi inti dengan tujuan tertentu seperti menutupi rasa dan bau yang tidak enak, perlindungan terhadap lingkungan, meningkatkan stabilitas, mencegah penguapan, kesesuaian dengan bahan inti maupun bahan lain yang berhubungan dengan proses penyalutan serta sesuai dengan metode mikroenkapsulasi yang digunakan. Bahan penyalut harus mampu memberikan suatu lapisan tipis yang kohesif dengan bahan inti, dapat bercampur secara kimia, tidak bereaksi dengan inti (bersifat inert), dan mempunyai sifat yang sesuai dengan tujuan penyalutan. Bahan penyalut yang digunakan dapat berupa polimer alam, semisintetik, maupun sintetik. Jumlah penyalut yang digunakan antara 1-70%, dan pada umumnya digunakan 3-30% dengan ketebalan dinding penyalut 0,1-60 mikrometer. 14 3. Pelarut ; bahan yang digunakan untuk melarutkan bahan penyalut dan mendispersikan bahan inti. Pemilihan pelarut berdasarkan sifat kelarutan dari bahan inti atau zat aktif dan bahan penyalut, dimana pelarut yang digunakan tersebut tidak atau hanya sedikit melarutkan bahan inti tetapi dapat melarutkan bahan penyalut. Pelarut polar akan melarutkan senyawa yang bersifat polar, dan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa yang bersifat nonpolar. Untuk melarutkan penyalut juga dapat digunakan pelarut tunggal atau pelarut campuran. Penggunaan pelarut campuran seringkali memberikan kesulitan dalam proses penguapan pelarut, misalnya perbedaan kecepatan penguapan antara dua atau lebih pelarut akan mengakibatkan pemisahan komponen pelarut yang terlalu cepat sehingga penyalut menggumpal. Untuk menghindari hal tersebut biasanya digunakan campuran azeptrop, yaitu campuran pelarut dengan komposisi dan titik didih yang tetap dimana selama proses penguapan komposisi campuran tidak berubah. 8.Teknik/Metode Mikroenkapsulasi Parameter dalam merancang suatu mikrokapsul yaitu: Sifat fisika dan kimia zat aktif, polimer penyalut, medium mikroenkapsulasi, tahap proses mikroenkapsulasi, dan sifat dinding kapsul. Proses mikroenkapsulasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu metode fisika kimia, metode kimia, dan metode fisika. Evaluasi 15 Mikrokapsul in vitro yang harus dilakukan meliputi morfologi mikrokapsul, sifat mikromeritik, kandungan mikrokapsul, faktor perolehan kembali, tebal dinding mikrokapsul dan profil disolusi dari mikrokapsul. Tabel 2. Metode Pembuatan Mikrokapsul Tabel 3. Ukuran Partikel Mikrokapsul yang Dihasilkan dari Proses Mikroenkapsulasi 16 Proses Mikroenkapsulasi Kimiawi Fisika-kimia Emulsi Fisika-mekanika Spray Drying Co-acervation Co-ekstrusion Spinning Disk Gambar 3. Proses Mikroenkapsulasi 1. Metode Kimia Emulsifikasi merupakan penerapan energi fisika ke dalam sebuah sistem cairan dimana terdapat sedikitnya dua fase yang immiscible, menyebabkan salah satu terdispersi dalam fase lainnya. Pembentukkan mikrokapsul dapat dilakukan dengan cara ini. Cairan mengandung senyawa aktif yang dienkapsulasi didispersikan ke dalam cairan yang immiscible dengan fase cair awal. 2. Metode Fisika-Kimia Co-acervation Merupakan proses pembuatan mikrokapsul yang melibatkan pencampuran 2 fase polimer yang bermuatan didalam pelarut. 17 Proses ini dibagi menjadi 3 tahap utama : (i); preparasi dari fase terdispersi, yaitu bahan inti didispersikan ke dalam larutan polimer yang bersifat kationik. (ii); enkapsulasi dari material inti, yaitu larutan polimer kedua yang bersifat anionik dimasukkan kedalam larutan pertama. dienkapsulasi, yaitu (iii); stabilisasi dari partikel yang telah endapan polimer kedua terbentuk pada bahan inti akibat adanya perbedaan muatan. Mikrokapsul yang terbentuk mengalami stabilisasi dengan perlakuan panas dan membentuk pautan silang (crosslink). (a) bahan inti terdispersi dalam larutan polimer. (b) partikel coating terdispersi dalam larutan. (c) coating dari bahan inti oleh partikel halus. (d) coalescence dari partikel coating membentuk lapisan kulit yang kontinyu disekelliling bahan inti. 18 3. Metode Fisika-Mekanika 1. Spray drying ; merupakan proses mikroenkapsulasi yang murah dan biasa digunakan untuk mengenkapsulasi fragrance atau flavor. Bahan inti yang terdispersi dalam larutan polimer dilewatkan melalui nozzle. Cairan yang keluar dari nozzle membentuk droplet dan mengalami proses soldifikasi akibat udara panas yang dilewatkan. Gambar 4. Skema Menggambarkan proses mikroenkapsulasi dengan spray-drying. 2. Spinning Disk; pada proses ini, suspensi dari bahan inti yang berbentuk padatan dan material sel yang bebentuk cairan dialirkan menuju rotating disk. Akibat pengaruh putaran yang terjadi, bahan inti terlapis oleh material sel. Partikel yang telah dilapis, terlempar dari rotating disk akibat pengaruh gaya sentrifugal. 19 Liquid coating phase microcapsule core particles sinning disk Gambar 5. Proses Spinning Disk 3. Co-ekstrusion; pada proses ini, cairan yang akan menjadi bahan inti dan enkapsulan dilewatkan melalui concentric tube. Setelah melewati concentric tube, cairan akan membentuk droplet. Droplet ini akan mengalami proses solidifikasi dengan membentuk ikatan crosslink, pendinginan dan penguapan larutan. 20 Shell Co re hell Vibration Curing Gambar 6. Co-Ekstrusion 9. Mekanisme pelepasan obat dari mikrokapsul Pelepasan obat dari bentuk mikrokapsul dapat melalui berbagai cara yaitu melalui proses difusi melewati lapisan polimer, erosi dari lapisan polimer atau melalui kombinasi melalui erosi dan difusi. Umumnya, obat yang dibuat dengan cara ini lebih banyak dilepaskan melalui difusi membran. Cairan dari saluran pencernaan berdifusi melalui membran ke dalam sel, kemudian obat akan melalui difusi pasif dari larutan konsentrasi tinggi di dalam sel kapsul melalui membran ke tempat berkonsentrasi rendah pada cairan saluran pencernaan. Jadi kecepatan pelepasan obat ditentukan oleh sifat difusi obat pada membran. 21 C. Gel 1. Definisi Gel Gel didefinisikan sebagai suatu sistem setengah padat yang terdiri dari suatu dispersi yang tersusun baik dari partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar dan saling diresapi cairan (Ansel, 1989). Gel merupakan sistem semisolida terdiri dari suspensi yang dibuat dari partikel kecil anorganik atau molekul-molekul besar organik yang diinterpenetrasikan dalam sebuah cairan. Sistem gel paling sederhana terdiri dari air yang dikentalkan dengan getah alam misal tragakan, xanthan, bahan semi sintetik misal metilselulosa, karboksimetilselulosa atau hidroksietilselulosa ataupun bahan sintetik misalnya karbomer, polimer dan karboksivinil. Sistem gel ada yang tampak transparan dan ada juga yang translucent, karena bahannya mungkin tidak terdispersi secara sempurna atau membentuk agregat yang sedikit terdispersi. Karakteristik umum gel yaitu memiliki struktur kontinyu seperti sifat dari bahan padat. Viscositas dari gel umumnya tergantung dari jumlah atau berat molekul dari bahan pengental yang ditambahkan (Lieberman, dkk., 1996). Idealnya pemilihan gelling agent dalam sediaan farmasi dan kosmetik harus inert, aman, tidak bereaksi dengan komponen lain. Penambahan gelling agent dalam formula perlu dipertimbangkan yaitu tahan selama penyimpanan dan tekanan tube selama pemakaian topikal. Beberapa gel, terutama polisakarida alami peka terhadap penurunan 22 derajat mikrobial. Penambahan bahan pengawet perlu untuk mencegah kontaminasi dan hilangnya karakter gel dalam kaitannya dengan mikrobial (Lieberman, dkk., 1996). 2. Dasar Gel Berdasarkan komposisinya, dasar gel dapat dibedakan menjadi dasar gel hidrofobik dan dasar gel hidrofilik (Ansel, 1989). a) Dasar gel hidrofobik Dasar gel hidrofobik terdiri dari partikel-partikel anorganik. Apabila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, bilamana hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Berbeda dengan bahan hidrofilik, bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989). Dasar gel hidrofobik antara lain petrolatum, mineral oil/gel polyethilen, plastibase, alumunium stearat, carbowax (Allen, 2002). b) Dasar gel hidrofilik Dasar gel hidrofilik umumnya adalah molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul dari fase pendispersi. Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Pada umumnya karena daya tarik menarik pada pelarut dari bahan-bahan hidrofilik kebalikan dari tidak adanya daya tarik menarik dari bahan hidrofobik, sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih besar (Ansel, 1989). Gel hidrofilik umunya 23 mengandung komponen bahan pengembang, air, penahan lembab dan bahan pengawet (Voigt, 1995). Gel dapat mengembang akibat absorbsi cairan dalam suatu peningkatan dalam volume. Ini dapat dilihat sebagai tahap awal dissolusi. Solvent berpenetrasi ke dalam matrik gel dengan demikian interaksi gel digantikan oleh interaksi gel dengan bahan pelarut (Lieberman, dkk., 1996). Penahan lembab yang ditambahkan, yang juga berfungsi sebagai pembuat lunak harus memenuhi berbagai hal. Pertama, harus mampu meningkatkan kelembutan dan daya sebar sediaan, kedua melindungi dari kemungkinan menjadi kering. Sebagai penahan lembab dapat digunakan gliserol, sorbitol, etilen glikol dan propilen glikol dalam konsentrasi 10-20% (Voigt, 1995). Disebabkan oleh tingginya kandungan air, sediaan ini dapat mengalami kontaminasi mikrobial, yang secara efektif dapat dihindari dengan penambahan bahan pengawet. Untuk upaya stabilisasi dari segi mikrobial disamping penggunaan bahan-bahan pengawet seperti dalam balsam, sangat cocok pemakaian metil dan propil paraben yang umumnya disatukan dalam bentuk larutan pengawet. Upaya lain yang diperlukan adalah perlindungan mengeringnya. Oleh terhadap karena itu penguapan, untuk untuk menyimpannya menghindari lebih baik menggunakan tube. Pengisian ke dalam botol, meskipun telah tertutup baik tetap tidak menjamin perlindungan yang memuaskan (Voigt, 1995). 24 Keuntungan gel hidrofilik antara lain: daya sebarnya pada kulit baik, efek dingin yang ditimbulkan akibat lambatnya penguapan air pada kulit, tidak menghambat fungsi fisiologis kulit khususnya respiratio sensibilis oleh karena tidak melapisi permukaan kulit secara kedap dan tidak menyumbat pori-pori kulit, mudah dicuci dengan air dan memungkinkan pemakaian pada bagian tubuh yang berambut dan pelepasan obatnya baik (Voigt, 1995). Dasar gel hidrofilik antara lain bentonit, veegum, silika, pektin, tragakan, metil selulosa, karbomer (Allen, 2002). Absorbsi Obat Melalui Kulit Prinsip absorbsi obat melalui kulit adalah difusi pasif yaitu proses di mana suatu substansi bergerak dari daerah suatu sistem ke daerah lain dan terjadi penurunan kadar gradien diikuti bergeraknya molekul (Anief, 1997). Persamaan kecepatan difusi menurut hukum Fick 1 (Gennaro, 1990): dc ---dt D x A x K (C1-C2) -----------------------Vxh = Dc ----dt = kecepatan difusi obat persatuan waktu D A K V H C1 C2 = koefisien difusi (cm2/ dt) = luas permukaan membran (cm2) = koefisien partisi = viskositas zat = ketebalan membran (cm) = konsentrasi obat dalam sediaan (g/ cm3) = konsentrasi obat yang dilepaskan (g/ cm3) ....................................................(1) 25 Menurut Martin (1993), difusi obat dipengaruhi oleh beberapa faktor: 1) Konsentrasi obat: semakin besar konsentrasi zat aktif, difusi obat akan semakin baik. 2) Koefisien partisi: perbandingan konsentrasi dalam 2 fase. Semakin besar koefisien partisi maka semakin cepat difusi obat. 3) Koefisien difusi: semakin luas membran, koefisien difusi semakin besar, difusi obat semakin meningkat. 4) Viskositas: semakin besar viskositas suatu zat, koefisien difusi semakin besar, dan difusi akan semakin lambat. 5) Ketebalan membran: semakin tebal membran, difusi akan semakin lambat. Absorbsi per kutan suatu obat pada umumnya disebabkan oleh penetrasi obat melalui stratum korneum. Stratum korneum terdiri dari kurang lebih 40 % protein (pada umumnya keratin) dan 40 % air dengan lemak berupa pertimbangan terutama sebagai trigliserida, asam lemak bebas, kolesterol. Stratum korneum sebagai jaringan keratin akan bertindak sebagai membran buatan yang semi permeabel, dan molekul obat mempenetrasi dengan cara difusi pasif, jadi jumlah obat yang pindah menyebrangi lapisan kulit tergantung pada konsentrasi obat atau airnya. Bahan-bahan yang mempunyai sifat larut dalam keduanya, minyak dan air, merupakan bahan yang baik untuk difusi melalui stratum korneum seperti juga melalui epidermis dan lapisan-lapisan kulit (Ansel,1989). 26 D. Sistem Bioadhesi Bioadhesi dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan dimana dua bahan, salah satunya adalah agen biologi, bersama-sama untuk periode waktu diperpanjang dengan gaya antar muka (chickering, 1999). untuk tujuan penghantaran obat, tema bioadhesi mengimpilkasikan pelekatan suatu sistem pembawa obat ke suatu lokasi biologi spesifik. Permukaan biologi dapat berupa jaringan epitel atau lapisan mukosa pada permukaan dari suatu jaringan jika pelekatan adhesi pada lapisan mukosa, fenomena tersebut merujuk pada kata mukoadhesi (Ahuja, 1997). Lapisan mukosa meliputi lapisan mucosal dari hidung, rectal, esophagus, vagina, mata dan rongga mulut. Pemikiran mengenai sistem penghantaran obat bioadhesive diperkenalkan sebagai suatu konsep baru dari ilmu farmasi sebagai hasil dari kerja beberapa kelompok peneliti perintis di Amerika, Jepang, dan Eropa pada pertengahan 1980-an (Park, 1984). Sejak saat itu, ide bentuk sediaan yang melekat ke tempat pemberian dan atau absorbsi obat masing-masing mendorong peneliti di seluruh dunia. Secara original keuntungan dari system penghantaran obat bioadhesi terlihat pada potensinya (1) untuk memperpanjang waktu tinggal pada tempat aksi absorbsi obat ( sehingga mengurangi frekuensi pemberian obat untuk formulasi bioadhesive pelepasan terkontrol) dan (2) untuk meningkatkan kontak pada barier epitel mukosa utama (sehingga dapat meningkatkan transport epitel dari obat yang biasanya absorbsinya rendah, seperti 27 peptida dan protein). Kontak yang kuat dan dekat dari system penghantaran obat dengan absorbsi melalui mukosa dapat menghasilkan gradient konsentrasi yang tinggi sehingga meningkatkan absorbsivitas ( Lehr, 1992) . Keutamaan ini khususnya mendorong harapan untuk meningkatkan bioavaibilitas dari obat-obat peptide. Klasifikasi polimer dengan sifat bioadhesive : 1. Polimer hidrofilik contoh : poliacrylic acid 2. Hidrogel contoh : polikarbopol, karbopol dan polyox 3. Ko-Polimer/Kompleks antarpolimer contoh : polistiren, polibutadiena 4. polimer thiolasi (Tiomer) contoh : tiomer kationik (kitosan-sistein, kitosan-tiobutilamidin, kitosan-asam tioglikat), tiomer anionik (poliacrylic acid-sistein,CMCsistein, alginate-sistein) E. Uraian Bahan 1. Etil Selulosa Etil selulosa mempunyai beberapa keuntungan yaitu: etil selulosa sudah digunakan secara luas sebagai bahan tambahan dalam sediaan oral dan topikal pada produk farmasi, sifatnya stabil, cost effectiveness, mengurangi resiko terjadinya dose dumping. Nama lain dari etil selulosa 28 adalah aquacoat ECD; aqualon; E462; ethocel; surelease dan nama kimia cellulosa ethyl ether. Rumus molekul C12H23O6(C12H22O5)n. Banyak fungsi dari etil selulosa yakni sebagai coating agent; tablet binder; tablet filler; viscosity-increasing agent. Sebagai sustained-release tablet coating digunakan konsentrasi 3,0 – 20,0% (Dahl, 2005). Etil-selulosa berbentuk serbuk putih kecoklatan, tidak berbau, tidak berasa dan bersifat mudah mengalir (free flowing). Tidak larut dalam air, gliserin, dan propilenglikol. Etil-selulosa yang mengandung kurang dari 46,5% gugus metoksi larut dalam tetrahidrofuran, metil asetat kloroform dan campuran hidrokarbon aromatik dengan alkohol. Sedangkan etil selulosa yang mengandung 46,5% atau lebih gugus etoksi larut dalam alkohol, toluene, kloroform, dan metil asetat (Dahl, 2005). 2. Karbopol 934 (Rowe, 2006) Nama resmi Sinonim : carboxy polymethylene : carbomer, acitamer, acrylic acid polymer, carboxyvinyl polimer. Rumus molekul : C10-C30 Alkyl Acrylates Cross polymer Rumus struktur : 29 Berat molekul : 934 gmol-1 Pemerian : Serbuk hablur putih, sedikit berbau khas, higroskopis. Kelarutan : Larut dalam air hangat, Etanol, dan gliserin. Kegunaan : Sebagai polimer bioadhesive, gelling Agent Penyimpanan : Dalam wadah tertutup baik Konsentrasi : 0,5 – 2 % 3. Propilen Glikol (Rowe, 2006) - Nama Resmi : Propilen Glikol - Nama IUPAC : 1,2-Propanediol - Sinonim : Dihidroksipropana, metil etilen glikol - RM/BM : C3H8O2/ 76.09 Rumus Struktur Propilen Glikol (Rowe, 2005) - Pemerian: Berbentuk cair, jernih, tidak berwarna, kental, praktis tidak berbau, rasa manis, sedikit tajam menyerupai gliserin. - Kelarutan: Larut dalam aseton, kloroform, etanol (95%),gliserin, dan air 30 - Inkompatibilitas: Inkompatibel dengan reagen oksidasi seperti kalium permanganat. - Stabilitas dan Penyimpanan: Higroskopis. Stabil pada suhu dingin dan wadah tertutup rapat. Pada suhu tinggi dan di tempat terbuka cenderung mengoksidasi, menimbulkan produk seperti propionaldehida, asam laktat, asam piruvat, dan asam asetat. Stabil ketika dicampur dengan etanol (95%), gliserin, atau air; larutan berair dapat disterilisasi dengan autoklaf. - kegunaan : humektan 4. Trietanolamin (FI III,1979 ; Kibbe ;1980) Nama resmi : Trietanolamin Nama lain : Trihidroksietilamin, TEA RM/BM : (CHO-CH2CH3)3 = N/ 149,19 Pemerian : Cairan kental jernih, tidak berwarna atau kuning lemah, dan bau seperti amonia Kelarutan : Bercampur dengan air, methanol, aseton TL : 21,2oC Kestabilan : Akan berwarna jika ada absorbsi dari O2 tidak ada masalah jika ditangani secara normal 31 Incomp : Akan bereaksi dengan asam untuk membentuk garam dan ester TEA bereaksi dengan tembaga untuk membentuk garam yang kompleks. Perubahan warna terjadi jika ada logam berat Kegunaan : Sebagai penstabil karbopol, emulgator 2 - 4% Penyimpanan : dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya dan suhu tidak lebih dari 50oC 5. Etanol ( FI III, 1979 ) Nama Resmi : Aetanolum Nama lain : etanol, alcohol, etil alcohol Rumus kimia : C₂H₆O BM Pemerian : 46,07 : Cairan tidak berwarna, jernih, mudah menguap, bau khas rasa panas, mudah terbakar dengan memberikan nyalabiru yang tidak berasap. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P. Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya, ditempat sejuk, jauh dari nyala api. 32 6. Tween 80 ( FI III, 1979) Nama resmi : Polysorbatum 80 Nama lain : Polisorbat 80, tween Pemerian : Cairan kental, transparan, tidak berwarna, hampir tidak mempunyai rasa. Kelarutan : Mudah larut dalam air, dalam etanol (95%)P dalam etil asetat P dan dalam methanol P. Kegunaan : Sebagai emulgator fase air 7. Air Suling (Rowe, 2009) - Nama Resmi : Purifed Water (air murni) - Nama IUPAC : Hidrogen oksida. - Sinonim : Aqua; aqua purificata - RM/BM : H2O/18,02 - Titik Didih : 100°C - Pemerian: Dalam industri farmasi air berarti dapat diminum langsung, air murni, air murni yang steril, air untuk injeksi, air steril untuk injeksi, air bakteriostatik untuk injeksi, air steril untuk irigasi, atau air steri untuk inhalasi. Untuk penggunaan farmasi air harus dimurnikan dengan cara destilasi, ion exchange, reverse osmosis (RO), atau proses lain 33 yang dapat memurnikannya. Air merupakan cairan bening, tidak berwarna, tidak berbau, dan tidak berasa. - Kegunaan: Sebagai pelarut - Alasasan Penambahan: Air digunakan sebagai bahan baku, bahan tambahan, dan pelarut dalam proses, formulasi, dan manufaktur produk-produk farmasi, serta reagen untuk analisis. Sejumlah tertentu air digunakan untuk mencukupkan volume hingga 100%. - Inkompatibilitas: Dalam formulasi air dapat bereaksi dengan obat-obatan dan eksipien lain yang rentan terhadap hidrolisis (dekomposisi dalam keberadaan air atau uap air) pada suhu tinggi. Air dapat bereaksi keras dengan logam alkali dan alkali logam dan oksidanya, seperti kalsium oksida dan magnesium oksida. Air juga bereaksi dengan garam anhidrat untuk membentuk hidrat dari berbagai komposisi, dan dengan bahan organik tertentu dan kalsium karbida. 34 8. Paraffin cair (FI III, 1979) Pemerian : cairan kental, transparan, tidak berfluoroscensi, tidak berwarna, hampir tidak berbau, hamper tidak mempunyai rasa. Kelarutan : praktis tidak larut dalam air dan dalam etanol (95%)P, larut dalam kloroform P, dan dalam eter P Bobot per ml : 0,870 g sampai 0,890 g 9. Heksan ( FI III, 1979) Fraksi heksana dari minyak bumi. Berupa cairan tidak berwarna, stabil, sangat mudah terbakar. Jarak didih tidak kurang dari 95% tersuling antara 67 0 dan 70, bobot per ml 0,670 g sampai 0,677 g. Sisa penguapan tidak lebih dari 0,01 % 10. Aseton (FI III,1979) RM : (CH3)2CO Pemerian : cairan jernih tidak berwarna, mudah menguap, bau khas, mudah terbakar, dapat bercampur dengan air, dengan etanol (95%) P, dengan eter P dan dengan kloroform P, membentuk larutan jernih. Jarak didih : tidak kurang dari 95% tersuling pada suhu antara 55,5 0 dan 57 0 Bobot per ml : 0,790 g sampai 0,792 g 35 BAB III METODE PENELITIAN A. Rancangan dan Lokasi Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental. Penelitian dilakukan di Laboratorium Farmasetika, Laboratorium Fitokimia, Laboratorium Biofarmasi Fakultas Farmasi, Universitas Hasanuddin, Makassar. B. Alat dan Bahan 1. Alat Alat-alat yang digunakan alat-alat gelas (Pyrex®), neraca analitik (Sartorius®), Oven (Memmert®), pH meter, alat pengukur waktu alir (flow hopper®), Stopwatch, Mikroskop Elektron (Jeol JSM-5310 LV), Mikroskop Optik, satu seri ayakan standar, alat disolusi, rotavapor, viscometer (Brookfield®), piknometer, homogenizer (ultra Turax®T50 Ika®werve) 2. Bahan Bahan-bahan yang digunakan propolis Trigona sp, etil selulosa, n-heksan, aseton, parafin cair, tween 80, trietanolamin, carbopol 934,940,980, etanol 96 %, etanol 70 %, propilenglikol, aqua destillata. 36 C. Metode Kerja 1. Penyiapan Sampel Sampel dipotong-potong menjadi potongan-potongan kecil atau ditumbuk sampai menjadi bubuk halus. Karena propolis terlalu liat untuk dipatahkan, maka propolis disimpan terlebih dahulu dalam lemari es atau freezer selama beberapa jam. Alternatif lainnya adalah dengan memotong menjadi lembaran tipis atau strip untuk meningkatkan permukaan kontak antara propolis dan alkohol dalam maserasi. 2. Pembuatan Ekstrak Etanol Propolis Ditimbang propolis sebanyak 1 kg, kemudian dimasukkan ke dalam wadah maserasi. Dua liter etanol 96% ditambahkan sebagai pelarut. Maserasi dilakukan dengan pengadukan sebanyak 12 kali selama 15 menit dengan tenggang waktu 5 menit antar pengadukan, dilanjutkan dengan perendaman selama 24 jam, selanjutnya dilakukan penyaringan dengan corong dan kertas saring untuk memisahkan filtrate dari ampas ke dalam labu Erlenmeyer selanjutnya dilakukan remaserasi selama 48 jam. Kemudian semua filtrat dikumpulkan untuk kemudian diuapkan melalui rotavapor sehingga kandungan etanolnya menguap dan diperoleh ekstrak yang konsistensinya kental. 3. Rancangan Formula Mikrokapsul Dibuat 5 formula mikrokapsul yang mengandung ekstrak etanol propolis (EEP) sebagai zat aktif/bahan inti, etil selulosa yang divariasikan konsentrasinya sebagai penyalut, paraffin cair sebagai fase minyak 37 dengan tween 80 sebagai emulgator, aseton sebagai pelarut etil selulosa dan heksan sebagai pencuci mikrokapsul yang diperoleh untuk menghilangkan paraffin yang melekat. Bahan Formula I Ekstrak Etanol Propolis 1 g II III IV V 1g 1g 1g 1g (EEP) Etil Selulosa 2g 3g 4g 5g 6g Aseton 100 ml 100 ml 100 ml 100 ml 100 ml Paraffin cair 133 ml 133 ml 133 ml 133 ml 133 ml 4 ml 4 ml 4 ml 4 ml qs qs qs qs Tween 80(2% dari 133 4 ml ml) n-heksan Qs 4. Penetapan Kecepatan Pengadukan dalam Pembuatan Mikrokapsul Dilakukan pembuatan mikrokpasul dengan menggunakan beberapa kecepatan pengadukan yaitu pada kecepatan 3000 rpm, 4000 rpm dan 5000 rpm. Hasil pengadukan yang menghasilkan morfologi mikrokapsul yang terbaik setelah dilihat di bawah mikroskop akan digunakan untuk pembuatan mikrokapsul selanjutnya. 38 5. Pembuatan Mikrokapsul EEP Etil selulosa dilarutkan aseton dalam wadah pencampuran. Ekstrak Etanol Propolis didispersikan ke dalam larutan etil selulosa dan diemulsikan dalam paraffin liquidum yang mengandung 2% Tween 80. Emulsi diaduk dalam homogeneser dengan kecepatan terbaik untuk menghasilkan morfologi mikrokapsul pada temperatur ruang sampai seluruh aseton menguap. Mikrokapsul dikumpulkan melalui dekantasi dan dicuci dua kali dengan n-heksan untuk menghilangkan paraffin liquidum yang melekat. Setelah itu disaring dan dikeringkan dalam oven pada suhu 400C selama 3 jam 6. Evaluasi Mikrokapsul 1) Scanning electron microscopy Bentuk dan morfologi permukaan mikrokapsul diamati dengan scanning electron microscopy. Mikrokapsul di coating dengan logam emas menggunakan fine coater (Jeol JFC- 1200), di bawah vakum dan sampel diuji dengan scanning electron microscopy (Jeol JSM-5310 LV). 2) Sieve analysis Distribusi ukuran partikel dievaluasi menggunakan sieve shaker (Sieving Machine, Retsch, Germany). Suatu seri dari lima ayakan standar analyzer dengan no ayakan 17,25,35 dan 40 yang disusun secara menurun dari ukuran lubang ayakan yang paling besar. Lima gram mikrokapsul ditempatkan dalam ayakan dan mesin pengayak dijalankan 39 selama 10 menit. Masing-masing fraksi dalam ayakan ditimbang, dan dilakukan tiga kali. 3) Ketebalan dinding Ketebalan dinding dari mikrokapsul ditentukan dengan metode yang disarankan oleh Luu et al. , Menggunakan persamaan, h = r (1-P) d1 / 3 [PD2 + (1-P) d1], Dimana, h adalah ketebalan dinding; r adalah ratarata jari-jari dari mikrokapsul melalui pengamatan mikroskopis optik; d1 adalah densitas materi inti; d2 adalah densitas bahan mantel/ penyalut; P yaitu proporsi obat dalam mikrokapsul. Semua sampel uji diperiksa tiga kali (n = 3). 4) Uji Penetapan Kandungan Quersetin pada Mikrokapsul Mikrokapsul sebanyak 0.05 gram digerus, kemudian dilarutkan dalam 25,0 ml etanol 96 % dan disaring, kemudian larutan diambil 0,1 ml dan diencerkan dengan etanol 96 % hingga 10,0 ml. kadar Quersetin terlarut ditentukan dengan metode Spektrofotometri sinar tampak pada panjang gelombang 515 nm. 5) Faktor perolehan kembali proses Dilakukan untuk mengetahui efisiensi metode yang digunakan. Faktor perolehan kembali proses dapat ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut : Wp = Wm x 100% Wt 40 Keterangan : Wp : Faktor perolehan kembali proses Wm : Bobot mikrokapsul yang diperoleh Wt : Bobot bahan pembentuk mikrokapsul 6) Uji disolusi secara in vitro Sebanyak 0,5 gram mikrokapsul yang diperoleh pada kondisi optimum didisolusi dalam 900 ml larutan buffer fosfat pH 7,4, menggunakan alat disolusi tipe 2 pada suhu (37±0,5) 0C dengan kecepatan pengadukan 100 rpm selama 480 menit. Sebanyak 10 ml alikuot dari mikrokapsul diambil pada 15,30,45,60,90,120,150,180,240,300,360,420,480. menit Setiap kekali pengambilan alikuot, volume medium yang terambil (buffer fosfat pH 7,4) digantikan dengan larutan medium yang baru dengan volume dan suhu yang sama. Masing-masing alikuot disaring dan ditentukan serapan Quersetinnya dengan Spektrofotometri sinar tampak. Dilakukan juga disolusi mikrokapsul blanko. 7) Profil Pelepasan Quersetin Terdisolusi Data pengukuran disolusi yang diperoleh, digunakan untuk mempelajari kinetika Quersetin melalui grafik hubungan antara persen pelepasan Quersetin terdisolusi terhadap waktu, dan kemudian ditentukan orde reaksi serta waktu paruh pelepasan Quersetin. Profil pelepasan Quersetin dipelajari dengan membuat kurva hubungan antara jumlah Quersetin terdisolusi (%) dengan waktu (menit) seperti yang diprediksi 41 model Fick dan jumlah Quersetin terdisolusi (%) dengan akar waktu (menit ½) seperti yang diprediksi model Higuchi. Kemudian dilakukan analisis regresi linear terhadap masing-masing kurva. 7. Rancangan Formula Gel Mukoadhesive Vagina Dibuat sediaan gel 100 g, Formula MIkrokap sul Ekstrak Propolis F1 F2 F3 F4 F5 F6 Ket. : Komposisi gel bioadesi vagina mikroenkapsulasi (w/w) Carbop Trietanola Etan Propilenglik Distille ol min ol 70 ol d % water 0,6 O,5 20 10 ad 100 Setara 160 mg EEP Setara 0,8 160 mg EEP Setara 0,6 160 mg EEP Setara 0,8 160 mg EEP Setara 0,6 160 mg EEP Setara 0,8 160 mg EEP F1, F2 = Carbopol 934, F3, 0,6 20 10 ad 100 O,5 20 10 ad 100 0,6 20 10 ad 100 0,5 20 10 ad 100 0,6 20 10 ad 100 F4 = Carbopol 940, F5, F6 = carbopol 980 8. Pembuatan Gel Mukoadhesive Vagina Mikrokapsul EEP dicampur ke dalam basis gel melalui pengadukan mekanik menggunakan berbagai polimer bioadhesive seperti carbopol 934, 940, dan 980 dengan bahan tambahan lain. Untuk semua batch, mikrokapsul dicampur dengan gel bioadhesive yang telah disiapkan. Gel 42 yang telah dibuat dimasukkan dalam tube lalu disegel dan disimpan di tempat sejuk untuk penelitian selanjutnya. 9. Evaluasi Gel Mukoadhesive Vagina 1) Penentuan pH pH dari dari mikroenkapsulasi gel carbopol dihitung dengan menggunakan pH meter digital, satu gram gel dilarutkan dalam 25 ml aquadest dan elektroda kemudian dimasukkan ke dalamnya selama 30 menit hingga pembacaan konstan didapatkan. Dicatat hasilnya dan dilakukan triplo. 2) Pengukuran viskositas Menggunakan sebuah viskometer Brookfield digital dengan adaptor sampel yang sesuai digunakan untuk mengukur viskositas dalam cps dari gel mikrokapsul yang dibuat. 3) Tes iritasi vagina Protokol penelitian disetujui oleh Lembaga Komite Etik Hewan. Gel Mikrokapsul gel (0,5 g) dioleskan pada vagina kelinci. Setelah 72 jam, gel mikrokapsul dibersihkan, kemudian dilakukan pengamatan karakteristik seperti sensitisasi (reaksi alergi), fotosensitisasi, edema dan kemerahan yang berlebih diamati pada hewan uji dan juga di kontrol oleh inspeksi visual 4) Studi difusi obat dari gel mukoadhesive vagina mikrokapsul secara invitro 43 Dalam studi pelepasan obat secara in vitro dilakukan di KC-Difusi sel menggunakan SVF sebagai difusi medium. Membran cellophone yang dimodifikasi digunakan sebagai simulasi vagina dalam kondisi in vivo seperti epitel barrier vagina. Kadar obat yang tertarik dihitung pada spektrofotometer UV-Vis. Metode yang sama dilakukan untuk setiap batch gel mikrokapsul. 5) Pengukuran bioadhesi vagina (Swarbick,2001) Pengukuran bioadhesi dilakukan dengan mengaplikasikan metode timbangan yang dimodifikasi. Membrane mukosa vagina kelinci dipotong dan ditempatkan dalam larutan garam salin normal setelah dibersihkan. Membrane mukosa dipotong dengan panjang 5 cm dan dijepitkan pada penyangga bawah; gel ditahan pada penyangga atas. Pada pan kanan ditempatkan anak timbangan untuk mengukur besar beban yang dibutuhkan supaya gel lepas dari mukosa. Sejumlah volume (0,1ml ) cairan vagina buatan (SVF) secara perlahan ditambahkan dengan menggunakan syringe plastic di atas membrane mukosa. Penyangga gel secara perlahan diturunkan sampai gel menyentuh mukosa dan dibiarkan kontak selama 15 menit, diikuti dengan penaraan pada timbangan sehingga kedua sisi berada pada posisi setimbang. Anak timbangan ditambahkan dimulai dari berat 500 mg, 1 g, 2 g, 5 g, 10 g dan 20 g secara perlahan pada pan kanan. Waktu yang diperlukan untuk rentang penambahan anak timbangan berkisar 1-2 menit. Penambahan dihentikan bila kedua penyangga terpisah. Gaya yang diperlukan untuk 44 memutuskan ikatan adhesive dihitung dan di anggap sebagai kekuatan mukoadhesive. Ekivalensi gaya adhesi dihitung dalam gram. 4.Definisi Operasional 1. Ekstrak Etanol Propolis (EEP) Ekstrak yang diperoleh dengan merendam propolis dalam pelarut etanol dan filtrat hasil rendaman dipekatkan dengan rotavapor hingga mendapatkan ekstrak kental. 2.Mikroenkapsulasi Proses entrapment dari suatu senyawa di dalam senyawa lainnya dalam skala mikro. Senyawa yang dienkapsulasi disebut material inti yang berupa zat aktif dan senyawa yang meliputi material bisa berfungsi sebagai pelapis maupun membran. 3. Mikrokapsul EEP Produk dari proses mikroenkapsulasi Ekstrak Etanol Propolis dengan menggunakan etil selulosa sebagai fase luar. 4. Mukoadhesive Pelekatan suatu sistem pembawa obat ke suatu lokasi biologi spesifik dalam hal ini lapisan mukosa. 5. Gel Mukoadhesive Vagina Gel yang dibuat untuk tujuan pelekatan pada membran mukosa vagina dengan menggunakan polimer mukoadhesive sebagai basis gel. 45 DAFTAR PUSTAKA Greenaway W, Scaysbrook T, Whatley FR. The composition and plant origins of propolis: A report of work at Oxford, Bee World 1990; 71: 107–18. Hill R. Propolis: the natural antibiotic. 6th ed. Wellingborough: Thorsons Publishers Ltd; 1981. p. 7–8. Peppas LB. Novel vaginal drug release applications. Adv. Drug Deliv. Rev. 1993;11:169-76. Hussain A, Ahsan F. The vagina as a route for systemic drug delivery. J. Control. Release 2005;103:301-13. Bankova, V. Determining Quality in Propolis Sample.Jornal Summer.2000.7 Bendich, A.,Physiological role of antioxidants in The Immune System,. Human Nutrition Research, Hoffmann-LaRoche Inc 1992, Nutley, NJ 07110 Krell, R. 1996. Value-added Product From Beekeping; FAO Agricultural Services Bulletin No.124. Food and agriculture Organization of the United Nations Rome, 1996. www.fao.org/docrep.htm.diakses tanggal 12 januari 2012 46 Chien YW. Novel drug delivery systems. 2nd ed. New York: Marcel Dekker; 1992. p. 11-28. Kim CJ. Advanced Pharmaceutics - Physicochemical Properties. New York: CRC Press; 2002. p. 481-3. Robinson JR, Bologna WJ. Vaginal and reproductive system treatments using a bioadhesive polymer. J. Control Release 1994;28:87-94. Chickering DE, Mathiowitz E. Definitions mechanisms and theories of bioadhesion. In: Mathiowitz E, Chickering DE, Lehr CM (eds). Bioadhesive drug delivery systems: Fundamentals, novel approaches, and developments, New York: Marcel Dekker, 1999, pp 1–10. Ahuja A, Khar RK, Ali J. Mucoadhesive drug delivery systems. Drug Dev Ind Pharm, 1997; 23 (5): 489–515. Park K, Robinson JR. Bioadhesive polymers as platforms for oral controlled drug delivery: method to study bioadhesion. Int J Pharm, 1984; 19: 107–127. Lehr CM, Bouwstra JA, Kok W, De Boer AG, Tukker JJ, Verhoef JC, Breimer DD, Junginger HE. Effects of the mucoadhesive polymer polycarbophil on the intestinal absorption of a peptide drug n the rat. J. Pharm. Pharmacolog, 1992; 44(5): 402-407. Rowe, R., dkk, 2009, Handbook of Pharmaceutical Excipients, Edisi Ke-6, The Pharmaceutical Press, London. 47 Martindale, “The Extra Pharmacopeia” 29TH Edition, Council Of The Royal Pharmaceutical Society Of Great Britain, London, The Pharmaceutical Press, 1989, hal. 1208-1209 The Pharmaceutical CODEX, “Principle and Practice of Pharmaceutics”. 12nd ed. 1994. London: The Pharmaceutical Press Swarbick J and Boylan JC. Encyclopedia of Pharmaceutical technology, Vol 20. New York ; Marcell Dekker Inc. 2001; 169-87 Vermani K and Garg S. The Scope and Potential of vaginal drug delivery, Pharm Sci Tech today 200; 3(10); 359-64