II.2 Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa

advertisement
BAB II
LANDASAN TEORI
II.1 Tinjauan Umum Tentang Akuntansi Pajak
II.1.1 Pengertian Akuntansi
Secara umum, akuntansi dapat didefinisikan sebagai suatu system informasi yang
menghasilkan laporan kepada pihak – pihak yang berkepentingan mengenai aktivitas
ekonomi dan kondisi perusahaan, selain itu tujuan utama dari akuntansi adalah untuk
melaksanakan perhitungan periodik antara biaya (usaha) dan hasil (prestasi). Konsep ini
merupakan inti dari teori akuntansi dan merupakan ukuran yang dijadikan sebagai
rujukan dalam mempelajari akuntansi.
Accounting Principle Board Statement
No. 4 (Muhammad, 2002:10)
mendefinisikan akuntansi sebagai berikut:
“Suatu aktivitas jasa yang berfungsi untuk memberikan informasi kuatitatif,
umumnya dalam ukuran keuangan, mengenai entitas (kesatuan) usaha yang dipandang
akan bermanfaat dalam pengambilan keputusan ekonomi dalam menetapkan pilihan
yang tepat di antara berbagai alternatif tindakan”.
II.1.2 Pengertian Pajak
Pajak dapat didefinisikan sebagai iuran wajib rakyat kepada Negara yang dapat
dipaksakan menurut undang – undang dan dengan tidak mendapatkan kontra prestasi
secara langsung. Pajak juga merupakan sebuah hak prerogatif pemerintah dimana akan
dipergunakan secara bijak untuk mencapai kesejahteraan umum.
1
Sedangkan definisi pajak menurut para ahli adalah, Soemitro (2009:1): “Pajak
adalah iuran kepada kas Negara berdasarkan undang – undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tiada mendapat jasa timbal (kontraprestasi) yang langsung dapat ditunjukkan dan
yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”. Dan menurut Prof. Dr. P.J.A
adriani:
“Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang
oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan umum (undang-undang)
dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya
adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubung tugas negara
untuk menyelenggarakan pemerintahan”.
II.1.2.1 Fungsi dan Unsur – Unsur Perpajakan
Pajak memiliki 2 fungsi, yaitu :
1. Fungsi anggaran (budgetair)
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran –
pengeluarannya.
2. Fungsi mengatur (regulerend)
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang sosial dan ekonomi.
Dari definisi dan fungsi pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki
unsur – unsur sebagai berikut:
1. Iuran dari rakyat kepada Negara.
2. Berdasar pada undang – undang.
3. Tanpa adanya kontraprestasi secara langsung dari Negara.
4. Dipergunakan untuk membiayai rumah tangga Negara.
2
II.1.3 Pengertian Akuntansi Pajak
Akuntansi pajak, menurut Niswonger dan Fees yang dikutip Gunadi (1997:7)
dirumuskan sebagai: “Bagian dari akuntansi yang menekankan pada penyusunan surat
pemberitahuan pajak (tax return) dan pertimbangan konsekuensi perpajakan terhadap
transaksi atau kegiatan perusahaan”.
Akuntansi pajak secara khusus menyajikan laporan keuangan dan informasi lain
kepada administrasi pajak. Tujuan utama dari laporan akuntansi pajak adalah untuk
menyajikan informasi sebagai bahan menghitung besarnya pendapatan kena pajak.
Akuntansi pajak memiliki kerangka dasar, yang diantaranya ialah sebagai berikut:
1. Laporan keuangan disusun dan disajikan kepada otoritas pajak untuk
kepentingan pajak.
2. Laporan keuangan meliputi neraca dan laba rugi, ditambah informasi lain yang
diwajibkan UU perpajakan.
3. Laporan utama ialah laporan laba rugi fiskal.
4. Tanggung jawab menyusun laporan keuangan fiskal terletak pada wajib pajak
atau pengurus atau kuasanya.
5. Posisi keuangan tergambar pada neraca, penting untuk mengetahui potensi pajak
jangka panjang.
II.1.4 Pengertian Laporan Keuangan
Laporan keuangan bertujuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut
posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan suatu perusahaan yang
bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi.
Pengertian laporan keuangan menurut standar akuntansi keuangan (2004:2):
3
“Laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan
keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laporan laba rugi, laporan perubahan
posisi keuangan (yang disajikan dalam berbagai cara, misalnya sebagai laporan arus kas,
atau laporan arus dana), catatan dan laporan lain serta materi penjelasan yang merupakan
bagian integral dari laporan keuangan”
Selanjutnya di dalam standar akuntansi keuangan tersebut disebutkan bahwa
tujuan disusunnya laporan keuangan adalah memberikan informasi tentang posisi
keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar
kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan – keputusan ekonomi
serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardships) manajemen atas penggunaan
sumber – sumber daya yang dipercayakan kepada mereka.
II.1.4.1 Laporan Keuangan Komersial
Laporan keuangan komersial adalah laporan keuangan yang dibuat berdasarkan
Standar Akuntansi Keuangan (SAK). Laporan keuangan komersial dibuat oleh
perusahaan untuk kepentingan eksternal maupun internal. Fungsi dari laporan keungan
komersial ini adalah memberikan gambaran pada perusahaan sebagai pertimbangan
dalam membuat atau mengambil keputusan ekonomi. Peran laporan keuangan komersial
sangat penting bagi perusahaan, maka dari itu laporan keuangan harus disusun
sedemikian rupa berdasarkan prinsip – prinsip akuntansi sehingga dapat memberikan
informasi yang dapat dipercaya.
Laporan keuangan komersial berbeda dengan laporan keuangan fiskal. Laporan
keuangan komersial menghasilkan laba bersih sebelum dikenakan pajak. Sedangkan
laporan keuangan fiskal digunakan untuk menghitung pajak penghasilan terutang wajib
pajak. Oleh sebab itu, terdapat perbedaan dalam pengakuan pendapatan dan beban
menurut laporan keuangan komersial dan laporan keuangan fiskal.
4
II.1.4.2 Laporan Keuangan Fiskal
Laporan keuangan fiskal adalah laporan keuangan yang dibuat berdasarkan
undang – undang pajak penghasilan no.7 tahun 1983 sebagaimana telah diubah menjadi
undang – undang pajak penghasilan no.17 tahun 2000. Laporan keuangan fiskal dibuat
hanya untuk menghitung penghasilan kena pajak (profit after tax) dan pajak penghasilan
terutang.
Dari segi pengakuan penghasilan dan beban antara laporan keuangan komersial
dengan laporan keuangan fiskal, terdapat perbedaan perlakuan pajak dan akuntansi yang
signifikan. Oleh sebab itu, maka dibutuhkan rekonsiliasi fiskal dalam rangka
penyusunan SPT Tahunan Pajak Penghasilan sehingga dapat diperoleh penghitungan
pajak penghasilan terutang wajib pajak.
Rekonsiliasi fiskal bertujuan untuk menyesuaikan laba akuntansi yang ada pada
laporan keuangan komersial dengan ketentuan undang – undang pajak penghasilan no.17
tahun 2000 sehingga dihasilkan laba fiskal dalam pembuatan laporan keuangan fiskal.
Koreksi fiskal dibedakan menjadi koreksi fiskal positif (menambah laba fiskal) dan
koreksi fiskal negative (mengurangi laba fiskal).
II.2 Transaksi Dengan Pihak Yang Mempunyai Hubungan Istimewa
II.2.1 Pengertian Hubungan Istimewa
Menurut pernyataan standar akuntansi keuangan no.7 hubungan istimewa adalah:
“Pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah pihak – pihak yang
mempunyai kemampuan untuk mengendalikan pihak lain atau mempunyai pengaruh
signifikan atas pihak lain dalam mengambil keputusan keuangan dan operasional”.
5
Pernyataan tersebut hanya berlaku untuk pihak – pihak yang mempunyai
hubungan istimewa yang digambarkan sebagai berikut:
a) Perusahaan
yang
melalui
satu
atau
lebih
perantara
(intermediaries),
mengendalikan, atau dikendalikan oleh, atau dibawah pengendalian bersama,
dengan perusahaan pelapor (termasuk holding companies, subsidiaries, dan
fellow subsidiaries).
b) Perusahaan asosiasi (associated company).
c) Perorangan yang memiliki, baik secara langsung maupun tidak langsung, suatu
kepentingan hak suara di perusahaan pelapor yang berpengaruh secara
signifikan, dan anggota keluarga dekat dari perorangan tersebut (yang
dimaksudkan dengan anggota keluarga dekat adalah mereka yang dapat
diharapkan mempengaruhi atau dipengaruhi perorangan tersebut dalam
transaksinya dengan perusahaan pelapor).
d) Karyawan kunci, yaitu orang – orang yang mempunyai wewenang dan tanggung
jawab untuk merencanakan, memimpin dan mengendalikan kegiatan perusahaan
pelapor yang meliputi anggota dewan komisaris, direksi dan manajer dari
perusahaan serta anggota keluarga dekat orang – orang tersebut.
e) Perusahaan dimana suatu kepentingan substansial dalam hak suara dimiliki baik
secara langsung maupun tidak langsung oleh setiap orang yang diuraikan dalam
(c) atau (d), atau setiap orang tersebut mempunyai pengaruh signifikan atas
perusahaan tersebut, ini mencakup perusahaan – perusahaan yang dimiliki
anggota dewan komisaris, direksi atau pemegang saham utama dari perusahaan
6
pelapor dan perusahaan – perusahaan yang mempunyai anggota manajemen
kunci yang sama dengan perusahaan pelapor.
II.2.2 Jenis – Jenis Hubungan Istimewa
1. Hubungan Kepemilikan (UU Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 18 (4) Jo SE04/PJ.7/1993 Jo SE-18/PJ.53/1995).
a) Penyertaan modal langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada
wajib pajak lainnya.
b) Hubungan antara wajib pajak dengan penyertaan 25% atau lebih pada dua
wajib pajak atau lebih.
c) Hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang modalnya sebesar 25%
atau lebih dimiliki oleh pihak yang sama.
2. Hubungan Penguasaan.
a) Yaitu hubungan antara wajib pajak yang menguasai wajib pajak lainnya, atau
dua wajib pajak atau lebih berada di bawah penguasaan yang sama baik
langsung maupun tidak langsung, baik penguasaan melalui manajemen
maupun melalui pengunaan teknologi.
b) Penguasaan melalui manajemen, misalnya : Mr. Z adalah Direktur Utama
pada PT Alfa dan juga menjabat Direktur Utama pada PT Beta. Dalam hal ini
antara PT Alfa dan PT Beta terdapat hubungan istimewa.
c) Penguasaan melalui penggunaan teknologi, misalnya : PT A perusahaan yang
memproduksi minuman menggunakan formula yang diciptakan oleh PT B.
Dalam hal ini antara PT A dan PT B terdapat hubungan istimewa, karena
terdapat penguasaan melalui penggunaan teknologi oleh PT B terhadap PT A.
7
3. Hubungan darah atau perkawinan.
a) Yaitu hubungan istimewa karena terdapat hubungan keluarga baik sedarah
maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu
derajad.
b) Sedarah lurus satu derajat adalah (ayah, ibu, dan anak).
c) Sedarah kesamping satu derajat (saudara kandung, seayah, atau seibu).
d) Semenda lurus satu derajat (mertua dengan menantu atau orang tua dengan
anak tiri).
e) Semenda ke samping satu derajat (ipar).
f) Apabila antara suami dan istri dilakukan perjanjian pemisahan harta dan
penghasilan, maka antara suami istri tersebut terdapat hubungan istimewa.
II.3 Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Dalam Transaksi Antara
Pihak Yang Memiliki Hubungan Istimewa
Transaksi antara pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa adalah
suatu pengalihan sumber daya atau kewajiban antara pihak – pihak yang mempunyai
hubungan istimewa, tanpa menghiraukan apakah suatu harga diperhitungkan. Wajib
Pajak yang melakukan transaksi dengan pihak – pihak yang memiliki hubungan
istimewa, wajib menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Langkah pertama dalam menerapkan prinsip ini adalah melakukan analisis
kesebandingan (comparability analysis) sebelum wajib pajak menentukan metode
penentuan harga transfer (transfer pricing) yang tepat. Prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha dilakukan dengan langkah – langkah berikut :
8
1. melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding.
2. menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat.
3. menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis
kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam
transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa.
4. mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau laba
wajar sesuai dengan ketentuan undang – undang perpajakan yang berlaku.
Transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak dengan pihak – pihak yang
mempunyai hubungan istimewa yang mempunyai nilai penghasilan atau pengeluaran
tidak melampaui Rp.10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) tidak diwajibkan
memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud di atas, namun wajib pajak tetap
diwajibkan memenuhi ketentuan Pasal 28 undang – undang KUP.
II.3.1 Analisis Kesebandingan
Analisis kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh wajib pajak atau
direktorat jenderal pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak
dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa untuk diperbandingkan dengan
kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak – pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi dalam kedua
jenis transaksi dimaksud.
Dalam melakukan analisis kesebandingan harus memperhatikan hal – hal sebagai
berikut :
9
1. transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara
pihak – pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam hal:
a) tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat
mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan.
b) terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk
menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan
kondisi tersebut terhadap harga atau laba.
2. dalam hal tersedia data pembanding internal dan data pembanding eksternal
dengan tingkat kesebandingan yang sama, maka wajib pajak wajib menggunakan
data pembanding internal untuk penentuan harga wajar atau laba wajar.
Wajib pajak diwajibkan mendokumentasikan langkah – langkah, kajian, dan
hasil kajian dalam melakukan analisis kesebandingan dan penentuan pembanding,
penggunaan data pembanding internal dan/atau data pembanding eksternal serta
menyimpan buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Dalam melaksanakan analisis kesebandingan harus dilakukan analisis atas faktor
– faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan, antara lain:
1. karakteristik barang/harta berwujud dan barang/harta tidak berwujud yang
diperjualbelikan, termasuk jasa.
2. fungsi masing – masing pihak yang melakukan transaksi.
3. ketentuan – ketentuan dalam kontrak/perjanjian.
4. keadaan ekonomi.
5. strategi usaha.
10
II.3.1.1 Karakteristik Barang/Harta Berwujud dan Barang/Harta Tidak Berwujud
Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang berwujud harus
mempertimbangkan hal – hal sebagai berikut:
1. ciri – ciri fisik barang.
2. kualitas barang.
3. daya tahan barang.
4. tingkat ketersediaan barang.
5. jumlah penawaran barang.
Dalam menilai dan menganalisis karakteristik barang tidak berwujud yang harus
dipertimbangkan antara lain :
1. jenis transaksi.
2. jenis barang tidak berwujud yang diserahkan.
3. jangka waktu dan tingkat perlindungan yang diberikan.
4. potensi manfaat yang dapat diperoleh dari penggunaan barang tidak berwujud
tersebut.
Dalam menilai dan menganalisis karakteristik jasa, dua hal yang harus
dipertimbangkan antara lain:
1. sifat dan jenis jasa.
2. cakupan pemberian jasa.
11
II.3.1.2 Fungsi Masing – Masing Pihak Yang Melakukan Transaksi
Dalam melakukan penilaian dan analisis fungsi (functional analysis) harus
dilakukan analisis dengan cara mengidentifikasi dan membandingkan kegiatan ekonomi
yang signifikan dan tanggung jawab utama yang diambil atau akan diambil oleh pihak –
pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan pihak – pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa, yaitu berpengaruh secara material pada harga yang
ditetapkan dan/atau laba yang diperoleh dari transaksi yang dilakukan. Hal – hal yang
perlu dipertimbangkan antara lain :
1. struktur organisasi.
2. fungsi – fungsi utama yang dijalankan oleh suatu perusahaan seperti desain,
pengolahan, perakitan, penelitian, pengembangan, pelayanan, pembelian,
distribusi, pemasaran, promosi, transportasi, keuangan, dan manajemen.
3. jenis aktiva yang digunakan atau akan digunakan seperti tanah, bangunan,
peralatan, dan harta tidak berwujud, serta sifat dari aktiva tersebut seperti umur,
harga pasar, dan lokasi.
4. risiko yang mungkin timbul dan harus ditanggung oleh masing-masing pihak
yang melakukan transaksi seperti risiko pasar, risiko kerugian investasi, dan
risiko keuangan.
II.3.1.3 Ketentuan – Ketentuan Dalam Kontrak/Perjanjian
Dalam melakukan penilaian dan analisis atas ketentuan – ketentuan dalam
kontrak/perjanjian, harus dilakukan analisis terhadap tingkat tanggung jawab, risiko, dan
keuntungan yang dibagi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk
dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan dalam kontrak/perjanjian yang dilakukan oleh
12
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa, yang meliputi ketentuan
tertulis dan tidak tertulis.
II.3.1.4 Keadaan Ekonomi
Dalam melakukan penilaian dan analisis keadaan ekonomi, harus diidentifikasi
kondisi ekonomi yang relevan, seperti keadaan geografis, luas pasar, tingkat persaingan,
tingkat permintaan dan penawaran, serta tingkat ketersediaan barang atau jasa pengganti
pada transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa
dengan transaksi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa.
II.3.1.5 Strategi Usaha
Penilaian dan analisis atas strategi usaha, harus dilakukan antara lain dengan
mengidentifikasi inovasi dan pengembangan produk baru, tingkat diversifikasi
barang/jasa, tingkat penetrasi pasar, dan kebijakan-kebijakan usaha lainnya, yang terjadi
pada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dan pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa.
II.3.2 Metode Penentuan Harga Transfer (transfer pricing)
II.3.2.1 Pengertian Harga Transfer
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran dari sebuah divisi dipakai
sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini mengakibatkan timbulnya
suatu mekanisme transfer pricing. Menurut Henry Simamora, (1999:272) transfer
pricing didefenisikan sebagai: “Suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran
antar divisional untuk mencatat pendapatan divisi penjual (selling division) dan biaya
divisi pembeli (buying divison)”.
13
Transfer
pricing sering
juga
disebut
dengan intracompany
pricing,
intercorporate pricing, interdivisional atau internal pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang dan jasa
antar anggota (grup perusahaan). Transfer pricing biasanya ditetapkan untuk produk –
produk antara (intermediate product) yang merupakan barang-barang dan jasa-jasa yang
dipasok oleh divisi penjual kepada divisi pembeli.
Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer pricing dapat menyimpang secara
signifikan dari harga yang disepakati. Oleh karena itu transfer pricing juga sering
dikaitkan dengan suatu rekayasa harga secara sistematis yang ditujukan untuk
mengurangi laba yang nantinya akan mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu
Negara.
Dari
uraian
diatas
nampak
bahwa
pada
prinsipnya
praktik transfer
pricing (dengan harga yang tidak sama dengan harga pasar) dapat didorong oleh alasan
pajak (tax motive) maupun bukan pajak (non-tax motive). Motivasi pajak atas
praktik transfer
pricing dilaksanakan
dengan
sedapat
mungkin
memindahkan
penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. Salah satu bentuk
pengalihan penghasilan, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti karena dengan
sangat langkanya standar harga (tarif) pasar atas royalti sangat sulit bagi administrasi
pajak untuk mengatasinya. Kopits (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa: “Paling
kurang 13% pembayaran royalti dari negara berkembang (ke negara maju) merupakan
transformasi royalti menjadi dividen”. Selanjutnya, sehubungan dengan harga barang
(bahan) input produksi, Lecras (dalam Caves;1996) menyatakan bahwa:,
14
“Berdasarkan studi tahun 1985 perusahaan multinasional yang beroperasi di ASEAN
memakai dasar selain harga pasar dalam menghitung harga transfernya. Semakin mudah
tingkat otonomi anggota perusahaan multinasional di mancanegara semakin tinggi
pemanfaatan strategi transfer pricing. Semakin kurang menentunya lingkungan tempat
operasi anggota perusahaan tersebut, semakin besar porsi penjualan ekspor ketimbang
penjualan domestik dan semakin tinggi potensi penghasilan, maka motivasi pajak
terhadap transfer pricing semakin ekstensif”.
Masalah transfer pricing ini juga tidak terlepas dari fenomena bisnis perusahaan
besar yang multi-unit yang akan melakukan ekspansi usaha ke luar negeri dengan
mengoprasikan usahanya secara desentralisasi dan mengimplementasikan konsep cost
revenue atau konsep corporate profit center. Idealnya, konsep desentralisasi profit
center tersebut merupakan pula alat yang dapat mengukur dan menilai kinerja yang juga
salah satu tujuan manajemen serta motivasi pengelolaan unit – unit perusahaan
multinasional yang bersangkutan dalam rangka mencapai tujuan perusahaan. Di samping
itu, masalah ketat/tidaknya pengawasan aparat pemerintah yang terkait serta kebutuhan
informasi, merupakan hal yang akan mendorong pelaksanaan transfer pricing, sehingga
secara keseluruhan beberapa faktor pendorong pemicu munculnya masalah transfer
pricing tersebut adalah:
1. Pergeseran menuju desentralisasi, divisionalisasi, dan penggunaan konsep corporate profit center.
2. Pemanfaatan transfer pricing dalam bisnis dan invesatsi internasional.
3. Pengawasan transfer pricing oleh aparat perpajakan dan bea cukai di beberapa
negara.
4. Keperluan pengungkapan segmentasi informasi dan transaksi antar-unit dalam
group perusahaan.
15
Sementara itu, Henry Simamora (1999:273) menerangkan tentang tujuan dari
penetapan transfer pricing sebagai berikut: “Secara umum, tujuan penetapan harga
transfer adalah untuk mentransmisikan data keuangan di antara departemen –
departemen atau divisi – divisi perusahaan pada waktu mereka saling menggunakan
barang dan jasa satu sama lain”.
Selain tujuan tersebut, transfer pricing terkadang digunakan untuk mengevaluasi
kinerja divisi dan memotivasi manajer divisi penjual dan divisi pembeli menuju
keputusan – keputusan yang serasi dengan tujuan perusahaan secara keseluruhan. Ini
diperkuat oleh pernyataan Joshua Ronen dan George McKinney (1970:100-101) “A
transfer pricing system should satisfy three objectives: acurate performance evaluation,
goal congruence, and preservation of divisional autonomy”. Sedangkan dalam lingkup
perusahaan multinasional Hansen dan Mowen (1996:496) menerangkan bahwa transfer
pricing digunakan untuk, meminimalkan pajak dan bea yang mereka keluarkan diseluruh
dunia: “Transfer pricing can effect overall corporate income taxes. This is particulary
true for multinational corporations”.
Jenis – jenis transaksi transfer pricing yaitu transaksi yang dilakukan wajib pajak
dengan pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Transfer pricing yang dapat
mengakibatkan pelaporan jumlah penghasilan dan pengurangan untuk menghitung
besarnya penghasilan kena pajak tidak sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha meliputi antara lain :
1. penjualan, pengalihan, pembelian atau perolehan barang berwujud maupun
barang tidak berwujud.
16
2. sewa, royalti, atau imbalan lain yang timbul akibat penyediaan atau pemanfaatan
harta berwujud maupun harta tidak berwujud.
3. penghasilan atau pengeluaran sehubungan dengan penyerahan atau pemanfaatan
jasa.
4. alokasi biaya.
5. penyerahan atau perolehan harta dalam bentuk instrumen keuangan, dan
penghasilan atau pengeluaran yang timbul akibat atau perolehan harta dalam
bentuk instrumen keuangan dimaksud.
II.3.2.2 Jenis – Jenis Metode Transfer Pricing
Dalam menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha terkait dengan
transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka setelah dilakukan
analisis kesebandingan, wajib pajak harus menentukan metode penentuan harga transfer
yang tepat. Penentuan metode transfer pricing ini wajib didukung dengan kajian
mendalam serta kajian tersebut wajib didokumentasikan.
Terdapat beberapa jenis metode penentuan harga transfer yang dapat dilakukan,
yaitu:
1. metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price/CUP).
2. metode harga penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode biayaplus (cost plus method/CPM).
3. metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih
transaksional (transactional net margin method/TNMM).
17
Penerapan metode – metode di atas tidak bebas dilakukan tetapi harus dilakukan
secara hirarki. Pertama dimulai dengan menerapkan metode perbandingan harga antar
pihak yang independen (CUP) sesuai dengan kondisi yang tepat. Jika metode
perbandingan harga antar pihak yang independen (CUP) tidak tepat untuk diterapkan,
wajib diterapkan metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode
biaya-plus (cost plus method/CPM) sesuai dengan kondisi yang tepat.
Dalam hal metode penjualan kembali (resale price method/RPM) atau metode
biaya plus (cost plus method/CPM) tidak tepat untuk diterapkan, dapat diterapkan
metode pembagian laba (profit split method/PSM) atau metode laba bersih transaksional
(transactional net margin method/TNMM).
II.3.2.2.1 Metode Perbandingan Harga Antar Pihak Yang Independen (CUP)
Metode perbandingan harga antara pihak yang independen (comparable
uncontrolled price) atau disingkat metode CUP adalah metode penentuan harga transfer
yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak – pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam
kondisi atau keadaan yang sebanding.
Contoh penggunaan metode CUP ini misalnya PT. A memiliki 25% saham PT.
B. Atas penyerahan barang PT. A ke PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 1.600,per unit, berbeda dengan harga yang diperhitungkan atas penyerahan barang yang sama
kepada PT. X (tidak ada hubungan istimewa) yaitu Rp. 2.000,- per unit.
Pada contoh tersebut harga pasar sebanding (comparable uncontrolled price) atas
barang yang sama adalah yang dijual kepada PT. X yang tidak ada hubungan istimewa.
18
Dengan demikian harga yang wajar adalah Rp. 2.000,- per unit. Harga ini dipakai
sebagai dasar perhitungan penghasilan dan/atau pengenaan pajak.
Kondisi yang tepat untuk menggunakan metode CUP ini adalah :
1. barang atau jasa yang ditransaksikan memiliki karakteristik yang identik dalam
kondisi yang sebanding, atau
2. kondisi transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan
istimewa dengan pihak – pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa identik
atau memiliki tingkat kesebandingan yang tinggi atau dapat dilakukan
penyesuaian yang akurat untuk menghilangkan pengaruh dari perbedaan kondisi
yang timbul.
Apabila tak ada kondisi di atas yang sesuai, maka metode CUP tidak dapat
digunakan dan wajib pajak harus menggunakan metode lainnya yang sesuai.
II.3.2.2.2 Metode Penjualan Kembali (RPM)
Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat metode
RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan
harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak – pihak yang
mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah
dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan
kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
Misalkan PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke PT. B,
PT. A membebankan harga jual Rp. 1.600,- per unit. PT. A tidak melakukan penjualan
19
kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa. PT. B menjual kembali barang
yang dibeli dari PT. A ke pihak yang tidak ada hubungan istimewa dengan harga Rp.
2.500,- per unit. Laba kotor sebanding untuk penjualan barang tersebut adalah 20% dari
harga jualnya.
Dalam menguji kewajaran harga penjualan dari PT. A ke PT. B, dapat
diterapkan metode RPM. Dengan menerapkan metode tersebut maka harga penjualan
barang PT. A ke PT. B yang wajar untuk perhitungan pajak penghasilan/dasar
pengenaan pajak adalah Rp. 2.000,- {Rp. 2.500,- – (20% x Rp. 2.500,-)}.
Kondisi yang tepat untuk menggunakan metode ini adalah :
1. tingkat kesebandingan yang tinggi antara transaksi antara wajib pajak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan transaksi antara wajib pajak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa, khususnya tingkat kesebandingan berdasarkan
hasil analisis fungsi, meskipun barang atau jasa yang diperjualbelikan berbeda,
dan
2. pihak penjual kembali (reseller) tidak memberikan nilai tambah yang signifikan
atas barang atau jasa yang diperjualbelikan.
II.3.2.2.3 Metode Biaya Plus (CPM)
Metode biaya plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode
penentuan harga transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar
yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak
mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan
lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa
20
pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha.
Contoh misalnya PT. A memiliki 25% saham PT. B. Atas penyerahan barang ke
PT. B, PT. A membebankan harga jual Rp. 1.600,- per unit. PT. A tidak melakukan
penjualan kepada pihak ketiga yang tidak ada hubungan istimewa.
Dalam contoh di atas, maka harga yang wajar adalah harga pasar atas barang
yang sama (dengan barang yang diserahkan PT. A) yang terjadi antar pihak-pihak yang
tidak ada hubungan istimewa. Apabila ditemui kesulitan untuk mendapatkan harga pasar
sebanding untuk barang yang sama (terutama karena PT. A tidak menjual kepada pihak
yang tidak ada hubungan istimewa), maka dapat ditanggulangi dengan menerapkan
harga pasar wajar dari barang yang sejenis atau serupa, yang terjadi antar pihak-pihak
yang tidak ada hubungan istimewa.
Dalam hal terdapat kesulitan untuk mendapatkan harga pasar sebanding untuk
barang yang sejenis atau serupa, karena barang tersebut mempunyai spesifikasi khusus,
misalnya semi finished products, maka pendekatan harga pokok plus (cost plus method)
dapat digunakan untuk menentukan kewajaran harga penjualan PT. A.
Misalnya diketahui bahwa PT. A memperoleh bahan baku dan bahan pembantu
produksinya dari para pemasok yang tidak mempunyai
hubungan istimewa. Harga
pokok barang yang diproduksi per unit adalah Rp. 1.500,- dan laba kotor yang pada
umumnya diperoleh dari penjualan barang yang sama antar pihak yang tidak mempunyai
hubungan istimewa (comparable mark up) adalah 40% dari harga pokok.
21
Dengan menerapkan metode harga pokok plus maka harga jual yang wajar atas
barang tersebut dari PT. A kepada PT. B untuk tujuan penghitungan penghasilan kena
pajak/dasar pengenaan pajak adalah Rp. 2.100 {Rp. 1.500 + (40% x Rp. 1.500)}.
Kondisi yang tepat apabila akan menggunakan metode CPM ini adalah
1. barang setengah jadi dijual kepada pihak-pihak yang mempunyai Hubungan
Istimewa;
2. terdapat kontrak/perjanjian penggunaan fasilitas bersama (joint facility
agreement) atau kontrak jual – beli jangka panjang (long term buy and supply
agreement) antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa; atau
3. bentuk transaksi adalah penyediaan jasa.
II.3.2.2.4 Metode Pembagian Laba (PSM)
Metode pembagian laba (profit split method) atau metode PSM adalah metode
penentuan harga transfer berbasis laba transaksional (transactional profit method) yang
dilakukan dengan mengidentifikasi laba gabungan atas transaksi afiliasi yang akan
dibagi oleh pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa tersebut dengan
menggunakan dasar yang dapat diterima secara ekonomi yang memberikan perkiraan
pembagian laba yang selayaknya akan terjadi dan akan tercermin dari kesepakatan antar
pihak – pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa.
Misalkan diketehaui bahwa presentase laba kotor dari jenis usaha yang sama
dengan PT. A dari data dunia bisnis adalah 30%. Selanjutnya ternyata bahwa laba kotor
yang dilaporkan PT. A adalah 15%. Karena terdapat deviasi tingkat laba PT. A dari
22
tingkat laba rata – rata tersebut maka dapat diduga bahwa ada penggeseran laba melalui
penjualan dengan harga yang kurang wajar ke PT. A ke PT. B.
Jika PT. B merupakan pembeli tunggal (monopsoni) barang yang dijual PT. A
tersebut, laba kotor PT. A atas barang tersebut untuk tujuan penghitungan pajak terutang
harus dihitung kembali menjadi sebesar 30%.
Metode PSM hanya dapat digunakan dalam kondisi sebagai berikut :
1. transaksi antara pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa sangat
terkait satu sama lain sehingga tidak dimungkinkan untuk dilakukan kajian
secara terpisah, atau
2. terdapat barang tidak berwujud yang unik antara pihak-pihak yang bertransaksi
yang menyebabkan kesulitan dalam menemukan data pembanding yang tepat.
II.3.2.2.5 Metode Laba Bersih Transaksional (TNMM)
Metode laba bersih transaksional (transactional net margin method) atau
disingkat TNMM adalah metode penentuan harga transfer yang dilakukan dengan
membandingkan persentase laba bersih operasi terhadap biaya, terhadap penjualan,
terhadap aktiva, atau terhadap dasar lainnya atas transaksi antara pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan persentase laba bersih operasi yang diperoleh
atas transaksi sebanding dengan pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa
atau persentase laba bersih operasi yang diperoleh atas transaksi sebanding yang
dilakukan oleh pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa lainnya.
Contoh misalnya PT. A di Hongkong memiliki 80% saham PT. B dengan modal
yang belum disetor sebesar Rp. 200 juta. PT. A juga memberikan pinjaman sebesar Rp.
23
500 juta dengan bunga 25% atau Rp. 125 juta setahun. Tingkat bunga setempat yang
berlaku adalah 20%.
Penentuan kembali jumlah utang PT. B atas pinjaman sebesar Rp. 200 juta
dianggap sebagai penyetoran modal terselubung, sehingga besarnya hutang PT. B yang
dapat diakui adalah sebesar Rp. 300 juta (Rp. 500 juta – Rp. 200 juta).
Untuk perhitungan pajak penghasilan bagi PT. B, pengurangan biaya bunga yang
dapat dibebankan adalah Rp. 60 juta (20% x Rp. 300 juta) yang berarti koreksi positif
penghasilan kena pajak. Selisih Rp. 65 juta (Rp. 125 juta – Rp. 60 juta) dianggap sebagai
pembayaran dividen ke luar negeri yang dikenakan pajak penghasilan pasal 26 sebesar
20% atau dengan tarif sesuai perjanjian penghindaran pajak berganda yang berlaku.
Metode TNMM ini digunakan jika tidak ada kondisi yang cocok yang dapat
diterapkan untuk menggunakan metode CUP, RPM, CPM dan PSM. Dengan kata lain,
metode ini adalah metode terakhir yang bisa digunakan jika metode yang lainnya tidak
dapat digunakan.
II.3.3 Penerapan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha Berdasarkan Hasil
Analisis Kesebandingan dan Metode Penentuan Harga Transfer
Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha (arm’s length principle/ALP) merupakan
prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa sama atau sebanding dengan kondisi
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak – pihak yang tidak mempunyai hubungan
istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak – pihak yang mempunyai hubungan istimewa harus sama dengan
24
atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara pihak –
pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa yang menjadi pembanding.
II.3.4 Mendokumentasikan Setiap Langkah Dalam Menentukan Harga Wajar atau
Laba Wajar Sesuai Dengan Ketentuan Undang – Undang Perpajakan
Analisis Kesebandingan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang melakukan
transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa wajib didokumentasikan oleh
Wajib Pajak. Dokumentasi ini meliputi langkah – langkah, kajian, dan hasil kajian dalam
melakukan analisis kesebandingan dan penentuan pembanding, penggunaan data
pembanding internal dan/atau data pembanding eksternal serta menyimpan buku, dasar
catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Wajib Pajak harus mendokumentasikan langkah – langkah, kajian, dan hasil
kajian atas faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kesebandingan dan menyimpan
buku, dasar catatan, atau dokumen sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam
menentukan metode penentuan harga transfer (transfer pricing), Wajib Pajak juga harus
mendokumentasikan setiap kajian dan langkah – langkahnya. Dokumen penentuan harga
wajar atau laba wajar yang harus disediakan oleh wajib pajak minimal mencakup :
1. gambaran perusahaan secara rinci seperti struktur kelompok usaha, struktur
kepemilikan, struktur organisasi, aspek-aspek operasional kegiatan usaha, daftar
pesaing usaha, dan gambaran lingkungan usaha
2. kebijakan penetapan harga dan/atau penetapan alokasi biaya
3. hasil Analisis Kesebandingan atas karakteristik produk yang diperjualbelikan,
hasil
analisis
fungsional,
kondisi
ekonomi, ketentuan-ketentuan
dalam
kontrak/perjanjian, dan strategi usaha
25
4. pembanding yang terpilih; dan catatan mengenai penerapan metode penentuan
Harga Wajar atau Laba Wajar yang dipilih oleh Wajib Pajak.
Adapun bentuk dan jenis dokumen tidak diatur khusus oleh ketentuan
perpajakan. Wajib Pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen di atas
yang harus diselenggarakan disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen
tersebut mendukung penggunaan metode penentuan Harga Wajar atau Laba Wajar yang
dipilih.
II.4 Peraturan Direktur Jenderal Pajak Mengenai Transfer Pricing
Untuk menyikapi isu – isu mengenai transfer pricing, pada awalnya
pemerintah menerapkan perdijrjen pajak nomor per-43/pj/2010 mengenai: “Prinsip
kewajaran dan kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang
mempunyai hubungan istimewa”
Namun sejalan dengan berkembangnya transaksi multinasional kebijakan
tersebut mengalami perubahan, dimana perubahan itu tercantum pada peraturan direktur
jenderal pajak nomor per-32/pj/2011 mengenai: “Perubahan atas peraturan direktur
jenderal pajak nomor per-43/pj/2010 tentang penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha dalam transaksi antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa”.
Pada kebijakan yang baru tersebut, penyempurnaan dilakukan dibeberapa
pasal. Yang secara garis besar membahas tentang prinsip kewajaran dan kelaziman
usaha, ruang lingkup hubungan istimewa, azas kesebandingan, dan metode transfer
26
pricing. Kebijakan inilah yang nantinya akan menjadi pedoman dalam pencatatan tiap
transaksi PT. OKM dengan perusahaan afiliasinya diluar negeri.
II. 4. 1 Pasal – Pasal Terkait Dengan Transfer Pricing Pada Peraturan direktur
jenderal Pajak Nomor per-32/pj/2011
Pasal 1 ayat 4: “Hubungan Istimewa adalah hubungan antara Wajib Pajak dengan
pihak lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh atau
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN

Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang PPh:
“Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan (3a), Pasal 8
ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila : (UU No 17
Tahun 2000):

a. Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling
rendah 25% (dua puluh limapersen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara
Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada
dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak
atau lebih yang disebut terakhir; atau.
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung;
atau.
c. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat”.
Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang PPN:
“Hubungan istimewa dianggap ada apabila : (UU No 11 Tahun 1994):
a. Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25%
(dua puluh lima persen) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara
Pengusaha dengan penyertaan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih pada dua
pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih
yang disebut terakhir; atau.
b. Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada
di bawah penguasaan. Penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau.
c. Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis
keturunan lurus satu derajat dan/atau kesamping satu derajat”.
27
Pasal 1 ayat 5:
“Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's length principle/ALP)
merupakan prinsip yang mengatur bahwa apabila kondisi dalam transaksi yang
dilakukan antara pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa sama atau sebanding
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak yang tidak mempunyai
Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding, maka harga atau laba dalam transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa harus sama
dengan atau berada dalam rentang harga atau laba dalam transaksi yang dilakukan antara
pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa yang menjadi pembanding”.
Pasal 1 ayat 6:
“Harga Wajar atau Laba Wajar adalah harga atau laba yang terjadi dalam
transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa
dalam kondisi yang sebanding, atau harga atau laba yang ditentukan sebagai harga atau
laba yang memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha”.
Pasal 1 ayat 7:
“Analisis Kesebandingan adalah analisis yang dilakukan oleh Wajib Pajak atau
Direktorat Jenderal Pajak atas kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara Wajib
Pajak dengan pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa untuk diperbandingkan
dengan kondisi dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak
mempunyai Hubungan Istimewa, dan melakukan identifikasi atas perbedaan kondisi
dalam kedua jenis transaksi dimaksud”.
Pasal 1 ayat 8: “Penentuan Harga Transfer (transfer pricing) adalah penentuan
harga dalam transaksi antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa”.
Pasal 2 ayat 1: “Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku untuk Penentuan
Harga Transfer (transfer pricing) atas transaksi yang dilakukan Wajib Pajak Dalam
Negeri atau Bentuk Usaha Tetap di Indonesia dengan Wajib Pajak Luar Negeri diluar
Indonesia”.
Pasal 3 ayat 1: “Wajib Pajak dalam melakukan transaksi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 dengan pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa wajib
menerapkan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha”.
28
Pasal 3 ayat 3:
“Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha (Arm's Length Principle/ALP)
mendasarkan pada norma bahwa harga atau laba atas transaksi yang dilakukan oleh
pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa ditentukan oleh kekuatan pasar,
sehingga transaksi tersebut mencerminkan harga pasar yang wajar (Fair Market
Value/FMV)”.
Pasal 4 ayat 1 poin a:
“Transaksi yang dilakukan antara Wajib Pajak dengan pihak yang mempunyai
Hubungan Istimewa dianggap sebanding dengan transaksi yang dilakukan antara pihakpihak yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa dalam hal:
1. tidak terdapat perbedaan kondisi yang material atau signifikan yang dapat
mempengaruhi harga atau laba dari transaksi yang diperbandingkan; atau
2. terdapat perbedaan kondisi, namun dapat dilakukan penyesuaian untuk
menghilangkan pengaruh yang material atau signifikan dari perbedaan kondisi
tersebut terhadap harga atau laba”.
Pasal 4 ayat 1 poin b:
“Dalam hal tersedia data pembanding internal dan data pembanding external dengan
tingkat kesebandingan yang sama, maka wajib pajak wajib menggunakan data
pembanding internal untuk penentuan harga wajar dan laba wajar”.
Pasal 4 ayat 1 poin c:
“Dalam hal data pembanding internal yang tersedia sebagaimana dimaksud pada
huruf b bersifat insidental, maka data pembanding internal dimaksud hanya dapat
dipergunakan dalam transaksi yang bersifat insidental antara wajib pajak dengan pihak –
pihak yang mempunyai hubungan istimewa”.
Pasal 4A ayat 1: “Data Pembanding Internal adalah data Harga Wajar atau Laba
Wajar dalam transaksi sebanding yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai Hubungan Istimewa”
29
Pasal 4A ayat 3: “Data pembanding internal dan data pembanding eksternal
harus memenuhi faktor – faktor yang dapat mempengaruhi tingkat kesebandingan”.
Pasal 11 ayat 1: “Dalam penentuan metode Harga Wajar atau Laba Wajar wajib
dilakukan kajian untuk menentukan metode Penentuan Harga Transfer yang paling
sesuai (The Most Appropiate Method)”.
Pasal 11 ayat 3:
“Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa (Comparable Uncontrolled Price/CUP) adalah metode Penentuan Harga
Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan
antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa dengan harga barang atau jasa
dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai Hubungan
Istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding”.
Pasal 20 ayat 1:
“Direktur Jenderal Pajak berwenang menentukan kembali besarnya penghasilan
dan pengurangan untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak pada transaksi
yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai Hubungan Istimewa”.
Pasal 20 ayat 2:
“Kewenangan Direktur Jenderal Pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dilakukan apabila Wajib Pajak telah memenuhi Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha
dalam transaksi yang dilakukan dengan pihak-pihak yang memiliki Hubungan
Istimewa”.
30
31
Download