konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat

advertisement
KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP
PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN
YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI
FATMA SILVIANI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ABSTRACT
FATMA SILVIANI. Nutrients Consumption and Food Acceptance of Chronic
Kidney Disease Patients to the Food Served in Fatmawati General Hospital.
Under Direction of Rimbawan and Yekti Hartati Effendi.
The alteration of food habit, lifestyle, and environmental condition has led
to epidemiological transition, as indicated by the increasing of degenerative
diseases occurrence such as chronic kidney disease. Therapy for chronic kidney
disease can be done by admission to the hospital, receiving medical treatment
and supported by proper diet treatment. The efficacy of the diet provided by the
hospital can be evaluated by nutrients consumption and food acceptance of the
food served.
The purpose of this research is to study nutrients consumption and food
acceptance among chronic kidney disease patients to the food served in
Fatmawati General Hospital. A cross sectional study and purposive sampling was
conducted on 50 chronic kidney disease patients based on physicians’ diagnosis.
The criteria for the subjects are compos mentis condition, men and women aged
17-55 years old, have been hospitalized and received diet treatment for at least 2
days, not having enteral feeding, and willing to be interviewed.
The result of the research showed that food consumption classified as
deficit compared to the food availability and nutrition requirement. Food
acceptance measurement showed that food provided by the hospital was well
accepted. Spearman test showed that there was no significant correlation
between nutrients consumption and food acceptance (p>0,05 ; r<0,5).
Keywords:nutrients consumption, food acceptance, chronic kidney diseases,
Fatmawati General Hospital
RINGKASAN
FATMA SILVIANI. Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap
Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan RSUP Fatmawati.
Dibimbing oleh RIMBAWAN dan YEKTI HARTATI EFFENDI
Penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui konsumsi energi
dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) serta daya terima pasien
rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan yang disajikan di Rumah Sakit
Umum Pusat (RSUP) Fatmawati. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk :
(1) mengetahui gambaran umum rumah sakit, instalasi gizi, dan
penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati; (2) mempelajari karakteristik
dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan,
aktivitas fisik dan status gizi), riwayat penyakit subyek meliputi jenis penyakit,
lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama
perawatan di rumah sakit; (3) mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain
subyek; (4) menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi
lain; (5) menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain subyek serta tingkat
konsumsi subyek terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat gizi lain;
(6) mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan rumah
sakit meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu,
kebersihan alat, dan variasi menu; (7) mempelajari kontribusi energi dan zat gizi
lain dari makanan luar rumah sakit dan atau makanan parenteral rumah sakit; (8)
menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang
disajikan di rumah sakit dengan tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain.
Desain penelitian adalah cross sectional study. Penelitian ini dilaksanakan
di RSUP Fatmawati Jakarta Selatan. Pengumpulan data dilakukan pada bulan
Agustus hingga Oktober 2011. Subyek pada penelitian ini adalah pasien
penderita penyakit ginjal rawat inap di IRNA B RSUP Fatmawati. Subyek dipilih
secara purposif berdasarkan kriteria sebagai berikut: (1) laki-laki dan wanita yang
berusia 17-55 tahun (2) dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan
kejiwaan, (3) telah dirawat dan mendapat pelayanan makanan dari RS minimal 2
hari, (4) tidak diberikan makanan enteral dan (5) bersedia diwawancara.
Populasi penelitian adalah seluruh pasien penyakit ginjal kronik yang
dirawat inap di IRNA B RSUP Fatmawati yaitu 86 orang. Dari jumlah populasi
tersebut, dipilih calon subyek yaitu pasien yang memenuhi kriteria yaitu 52 orang.
Calon subyek kemudian dikumpulkan datanya selama penelitian. Subyek pada
penelitian ini yaitu pasien yang memiliki data lengkap yaitu sebanyak 50 orang.
Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dengan pengamatan langsung dan wawancara
menggunakan kuisioner. Data primer meliputi (1) gambaran umum instalasi gizi,
(2) jenis diet yang diberika RS, (3) karakteristik dan identitas subyek (nama, usia,
jenis kelamin, berat badan, tinggi badan dan status gizi), riwayat penyakit subyek
(lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama
perawatan di RS), (4) kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek, (5) ketersediaan
energi dan zat gizi lain makanan RS, (6) konsumsi energi dan zat gizi lain serta
tingkat konsumsi subyek (terhadap kebutuhan dan ketersediaan), (7) daya terima
subyek terhadap makanan RS meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran),
tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat dan variasi menu, (8) kontribusi energi dan
zat gizi lain dari makanan luar dan atau makanan parenteral RS.
Data diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner yaitu
karakteristik dan identitas subyek, riwayat penyakit dan data daya terima subyek
terhadap makanan RS. Data berat badan dan tinggi badan diperoleh dari rekam
medik. Data status gizi diperoleh berdasarkan perhitungan indeks massa tubuh
(IMT).
Kebutuhan energi sehari subyek dihitung menggunakan rumus total daily
energy (TDE) mengacu pada Almatsier (2004). Angka Metabolisme Basal (AMB)
dalam perhitungan kebutuhan diperoleh dari dua rumus yaitu Oxford Equation
dan rumus cepat yang ditetapkan RSUP Fatmawati mengacu pada Almatsier
(2004). Penetapan faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) berdasarkan Hartono
(2000).
Angka kebutuhan protein subyek mengikuti ketetapan RS yaitu 40 g.
Jumlah protein ini mengacu pada diet Rendah Protein III (Almatsier 2004).
Kebutuhan zat besi subyek mengacu pada AKG zat besi, yaitu untuk pria
usia 17-55 tahun 13mg/hari, wanita berusia 16-49 tahun 26 mg/hari dan wanita
usia 50-55 tahun 12 mg/hari (WKNPG 2004).
Kebutuhan natrium dan kalium subyek mengacu pada rekomendasi
natrium dan kalium harian bagi pasien penyakit ginjal kronik yaitu 3000 mg/hari
untuk kebutuhan natrium dan 2500 mg/hari untuk kebutuhan kalium (Greene JM
dan Thomas L 2008).
Data ketersediaan dan konsumsi makanan subyek (gram) untuk makan
pagi, siang, sore serta selingan dari makanan RS dikumpulkan dengan
menimbang (food weighing method) makanan yang telah disediakan sebelum
dikonsumsi dan makanan sisa. Perhitungan ketersediaan dan konsumsi energi
(Kal), protein (g), zat besi (mg), natrium (mg), dan kalium (mg) subyek terhadap
makanan RS dan makanan luar RS diperoleh melalui konversi menggunakan
DKBM. Data jenis makanan luar RS diperoleh dengan Recall Method.
Tingkat ketersediaan dikategorikan menjadi 3 yaitu kurang (<90% angka
kebutuhan), normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein 90-120% angka
kebutuhan), dan lebih (energi >110% angka kebutuhan, protein>120% angka
kebutuhan) (Hardinsyah dan Briawan 1994).
Tingkat konsumsi terhadap ketersedian dikategorikan menjadi 4, yaitu
defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan), defisit tingkat sedang (70-79%
angka ketersediaan), defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan) dan
normal (90-100% angka ketersediaan (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996).
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi 5, yaitu
defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan), defisit tingkat sedang (70-79%
angka kebutuhan), defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan) dan normal
(90-119% angka kebutuhan dan lebih (≥ 120% angka kebutuhan) (Direktorat
Bina Gizi Masyarakat 1996).
Pengamatan ketersediaan dan konsumsi makanan yang disajikan RS
dilakukan selama 3 hari berturut-turut setiap waktu makan pagi, siang, sore dan
selingan. Pengamatan daya terima subyek terhadap makanan RS dilakukan
selama 3 hari berturut-turut setiap waktu makan pagi, sing dan sore. Data
kandungan energi dan zat gizi lain infus diketahui berdasarkan jenis infus, yang
diperoleh dari pengamatan langsung dan rekam medik.
Subyek dalam penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal kronik
yang berusia 17-55 tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki dan
berada dalam kisaran usia 46 – 55 tahun atau dewasa menengah. Lebih dari
separuh subyek memiliki status gizi normal dan telah menderita penyakit ginjal
selama kurun waktu 1-5 tahun. Seluruh subyek pada penelitian ini telah
mengalami komplikasi. Separuh subyek pernah dirawat dirumah sakit
sebelumnya karena penyakit ginjal yang diderita. Lebih dari separuh subyek
telah dirawat di RS antara kurun waktu 4 – 7 hari dan diberikan diet rendah
protein (RP). Berdasarkan jenis diet, sebagian besar subyek diberikan diet
dengan konsistensi lunak.
Rata-rata kebutuhan energi berdasarkan rumus cepat RS adalah 2003
Kal dan berdasarkan rumus Oxford Equation adalah 1624 Kal. Kebutuhan ratarata protein sebesar 40 g.Rata-rata kebutuhan zat besi, natrium dan kalium
subyek yaitu 15,9 mg, 3000 mg dan 2500 mg.
Rata-rata ketersediaan energi dan protein dari makanan RS adalah 1357
Kal dan 40,8 g. Rata-rata ketersediaan zat besi, natrium dan kalium yaitu 17,9
mg, 256,7 mg dan 3492,5 mg. Rata-rata tingkat ketersediaan energi baik pada
perhitungan menggunakan rumus cepat RS maupun perhitungan dengan rumus
Oxford Equation menunjukkan bahwa lebih dari separuh subyek termasuk
kategori defisit.
Rata-rata tingkat ketersediaan protein subyek tergolong kategori normal.
Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan protein RS sudah sesuai dengan
kebutuhan protein subyek yaitu sebesar 40 g per hari. Rata-rata tingkat
ketersediaan zat besi dan kalium termasuk dalam kategori diatas AKG,
sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium termasuk dalam kategori
dibawah AKG. Rendahnya rata-rata tingkat ketersediaan natrium subyek
diperkirakan karena diet yang diberikan RS juga rendah garam.
Selama 3 hari pengamatan konsumsi, seluruh pasien tidak menghabiskan
makanan yang disajikan RS. Oleh karena itu, rata-rata konsumsi energi dan zat
gizi lain masih tergolong rendah. Rata-rata konsumsi energi dan protein subyek
adalah 992 Kal dan 29,3 g. Rata-rata konsumsi zat besi, natrium dan kalium yaitu
10,2 mg, 189,7 mg dan 3492,5 mg. Alasannya antara lain lemas, pusing, lidah
terasa pahit, mual, bosan dan sulit buang air besar.
Rata-rata tingkat konsumsi energi, baik terhadap ketersediaan maupun
terhadap kebutuhan masih tergolong kategori defisit (ringan hingga berat). Begitu
pula dengan protein, zat besi, natrium, dan kalium subyek, secara umum tingkat
konsumsi terhadap ketersediaan dan terhadap kebutuhan zat gizi tersebut
termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat).
Daya terima berdasarkan waktu makan, menunjukkan mayoritas subyek
memiliki penerimaan tinggi untuk makan pagi (80%) dan siang (78%) serta
penerimaan sedang untuk makan sore (58%). Penilaian subyek terhadap atribut
makanan cenderung biasa terhadap warna, aroma, tekstur, bentuk, rasa lauk,
kebersihan alat dan variasi menu. Subyek cenderung tidak menyukai rasa sayur,
baik pada waktu makan pagi, siang atau sore.
Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap total konsumsi
terbesar berasal dari makanan RS. Persentase kontribusi natrium jauh lebih
rendah dibandingkan dengan energi, protein, zat besi dan kalium. Hal ini
disebabkan hampir separuh (49,4%) kontribusi natrium berasal dari infus.
Kontribusi konsumsi energi, protein, zat besi dan kalium yang berasal dari
makanan luar RS maupun infus tergolong rendah.
Uji korelasi Spearman antara tingkat konsumsi dan daya terima
menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan (p>0,05 dan r<0,5)
mengindikasikan bahwa daya terima makanan tidak berhubungan dengan tingkat
konsumsi energi dan zat gizi lain. Artinya, meskipun daya terima terhadap energi
dan zat gizi lain cenderung tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal
ini mungkin disebabkan oleh adanya konsumsi makanan dari luar RS, penyajian
makanan RS yang kurang menarik maupun faktor internal diantaranya rasa mual,
pusing, lemas, menurunnya nafsu makan yang dialami subyek karena penyakit
ginjal yang diderita.
KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP
PENYAKIT GINJAL KRONIK TERHADAP MAKANAN YANG
DISAJIKAN RSUP FATMAWATI
FATMA SILVIANI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi pada Fakultas Ekologi Manusia
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
Judul
: Konsumsi Zat Gizi dan Daya Terima Pasien Rawat Inap
Penyakit Ginjal Kronik Terhadap Makanan yang Disajikan
RSUP Fatmawati
Nama
: Fatma Silviani
NRP
: I14070070
Menyetujui,
Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Dr. Rimbawan
NIP. 19620406 198603 1 002
dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked
NIP. 19471029 197901 2 001
Mengetahui,
Ketua Departemen Gizi Masyakat
Dr. Ir. Budi Setiawan, MS
NIP. 19621218 198703 1 001
Tanggal Lulus :
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas karunia dan hidayah-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Konsumsi Zat Gizi
dan Daya Terima Pasien Rawat Inap Penyakit Ginjal Kronik terhadap Makanan
yang disajikan RSUP Fatmawati” yang merupakan syarat kelulusan sebagai
Sarjana Gizi. Selama penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak
bantuan dari berbagai pihak baik bantuan moril dan materil. Oleh karena itu,
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Dr. Rimbawan dan dr. Yekti Hartati Effendi, S.Ked selaku dosen pembimbing
skripsi yang dengan penuh kesabaran telah meluangkan waktu dan pikiran,
memberikan masukan, arahan, kritik, motivasi, nasihat serta semangat dan
dorongan untuk penyelesaian skripsi ini.
2. Prof. Hidayat Syarief selaku dosen pembimbing akademik yang telah
memberikan saran, masukan dan motivasi kepada penulis
3. Katrin Roosita, SP, M.Si selaku dosen pemandu seminar dan penguji yang
telah memberikan saran perbaikan dalam penyelesaian skripsi ini.
4. Direktur RSUP Fatmawati, Kepala Instalasi Gizi beserta staf, Kepala
Ruangan, dan para perawat.
5. Para pembahas seminar Dian Rizki Eka Rizal, Tika Nurmalasari, Miftachul
Jannah dan Diny Anggris Febriana atas saran dan masukan untuk
menyempurnakan skripsi ini.
6. Mama, bapak, adik, kekasih hati dan para sahabat yang senantiasa
memberikan dukungan semangat, kasih sayang, finansial dan doa sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
7. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas bantuan dan
dukungan yang telah diberikan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyusunan skripsi ini masih jauh dari
kesempurnaan. Demi perbaikan ke arah yang lebih baik, penulis mengharapkan
kritik dan saran yang membangun dari pembaca. Akhir kata, besar harapan
penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi semua pihak, menambah keragaman
ilmu pengetahuan terutama mengenai konsumsi dan daya terima pasien rawat
inap di rumah sakit.
Bogor, Februari 2012
Fatma Silviani
RIWAYAT HIDUP
Penulis adalah anak pertama dari pasangan Abdul Bari dan Maryanih,
dilahirkan di Jakarta pada 9 November 1989. Menempuh pendidikan formal di TK
Assalam, SDN 09 Tanjung Barat, SMPN 98 Jakarta, dan SMUN 55 Jakarta. Aktif
dalam berbagai kegiatan ekstrakulikuler selama sekolah seperti Pengibar
Bendera (Paskibra), Tari Saman, dan Majalah Dinding. Penulis diterima di
Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor
melalui jalur Ujian Saringan Masuk Institut Pertanian Bogor (USMI) pada tahun
2007.
Penulis merupakan penerima Beasiswa Belajar Mahasiswa (BBM) tahun
2009-2011 dan salah satu penerima dana hibah Program Kreativitas Mahasiswa
Gagas Tertulis (PKM-GT) tahun 2009 dengan judul “Reeksekusi Program
Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMTAS) di Indonesia” dan Program
Kreativitas Mahasiswa Penelitian (PKMP) tahun 2010 dengan judul “Chocolat
Pettilant Junten Hitam (Nigella sativa l) sebagai Pangan Alternatif Tinggi Kalium”.
Aktif dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) antara lain UKM Agria Swara
(2009), Perkumpulan Tari Saman Departemen Gizi Masyarakat (2009-2011),
Jakarta Community (Jco) (2010) serta aktif dalam kepanitiaan seperti Olimpiade
Mahasiswa IPB 2008-2009, Gebyar Nusantara 2010, Nutrition Fair 2009-2010,
Sosialisasi Periksa Urin Sendiri (PURI) dan SENZASIONAL 2011.
Penulis melakukan Kuliah Kerja Profesi (KKP) di Desa Karang Papak,
Kecamatan Cisolok, Sukabumi, Jawa Barat pada tahun 2010. Pada tahun 2011,
penulis melaksanakan Internship Dietetic di Rumah Sakit Anak dan Bunda
Harapan Kita Jakarta. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum
Metodologi Penelitian Gizi pada tahun 2010.
DAFTAR ISI
Halaman
PRAKATA ..................................................................................................
i
RIWAYAT HIDUP ......................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ........................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................
viii
PENDAHULUAN ........................................................................................
1
Latar Belakang ..................................................................................
1
Tujuan ...............................................................................................
2
Kegunaan Penelitian .........................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................
4
Pelayanan Gizi Rumah Sakit ............................................................
4
Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit ....................................
5
Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi ...............................
8
Energi ...............................................................................................
9
Protein ..............................................................................................
10
Zat Besi .............................................................................................
11
Natrium dan Kalium ..........................................................................
12
Fisiologi dan Fungsi Ginjal ................................................................
13
Diet Penyakit Ginjal ..........................................................................
15
Pemberian Dukungan Gizi ................................................................
21
Daya Terima Makanan .....................................................................
23
Uji Kesukaan (Uji Hedonik) ...............................................................
25
KERANGKA PEMIKIRAN ..........................................................................
27
METODE PENELITIAN ..............................................................................
29
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian .............................................
29
Jumlah dan Cara Pengambilan Subyek ...........................................
29
Jenis dan Cara Pengumpulan Data ..................................................
30
Pengolahan dan Analisis Data ..........................................................
32
Definisi Operasional ..........................................................................
41
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
45
Gambaran Umum RSUP Fatmawati ................................................
45
Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUP Fatmawati ...........................
48
Gambaran Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi
RSUP Fatmawati ..............................................................................
49
Karakteristik Subyek .........................................................................
53
Riwayat Penyakit ..............................................................................
53
Diet yang Diberikan RS ....................................................................
53
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lain .................................................
56
Ketersediaan dan Tingkat Ketersediaan Makanan RS .....................
57
Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Makanan RS ................................
60
Daya Terima Terhadap Makanan RS ...............................................
63
Konsumsi Makanan Luar RS dan Infus ............................................
65
Kontribusi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Lain .................................
67
Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Daya Terima .........................
67
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................
69
Kesimpulan .......................................................................................
69
Saran ................................................................................................
71
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................
72
LAMPIRAN .................................................................................................
75
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut ..................... 18
2. Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik ..................
19
3. Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal ....................
19
4. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis ..............................
20
5. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal .......................
21
6. Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek ..................................
32
7. Rumus AMB berdasarkan Oxford Equation .............................................
33
8. Faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) untuk menetapkan kebutuhan
energi orang sakit ....................................................................................
34
9. Jenis data dan klastifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi
37
10. Skor pengolahan data daya terima subyek terhadap makanan RS........
38
11. Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan ...............
46
12. Sebaran subyek berdasarkan karakteristik subyek ................................
52
13. Sebaran subyek berdasarkan lama sakit ...............................................
53
14. Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi .........................
53
15. Sebaran subyek berdasarkan status pernah dirawat di RS ...................
54
16. Sebaran subyek berdasarkan lama rawat di RS ....................................
54
17. Sebaran subyek berdasarkan jenis diet uang diberikan RS ..................
54
18. Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok ...................
55
19. Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain ..........................................
56
20. Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan RS .......................
56
21. Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan
protein ...................................................................................................
57
22. Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium
dan kalium .............................................................................................
58
23. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS ..............
59
24. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap
ketersediaan energi dan protein makanan RS ......................................
60
25. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan
zat besi, natrium dan kalium makanan RS ............................................
60
26. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi makanan RS terhadap
kebutuhan energi dan protein ................................................................ 61
27. Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi makanan RS terhadap
kebutuhan zat besi, natrium dan kalium ................................................
62
28. Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS
tiap waktu makan ..................................................................................
63
29. Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan
pada waktu makan pagi ........................................................................
63
30. Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan
pada waktu makan siang ....................................................................... 64
31. Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan
pada waktu makan sore ........................................................................
64
32. Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS ...................
65
33. Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi ..............................................
65
34. Sebaran subyek berdasarkan jenis infus yang diberikan .......................
65
35. Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain .........................................
66
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat
inap penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP
Fatmawati.................................................................................................
28
2. Penarikan subyek penelitian ....................................................................
30
3. Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan ..........................
44
4. Instalasi gizi RSUP Fatmawati .................................................................
47
5. Diet RP dan DMRP lunak .........................................................................
50
6. Lauk dan tumisan sebelum diporsikan .....................................................
51
7. Bagian luar dan bagian dalam kereta makan pasien ...............................
55
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Kuisioner Penelitian .................................................................................. 74
2. Siklus Menu Diet RP Kelas III ..................................................................
78
3. Siklus Menu Selingan Jam 10.00 Kelas III ...............................................
79
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Semakin meningkatnya arus globalisasi di segala bidang, perkembangan
teknologi dan industri telah banyak membawa perubahan pada perilaku dan gaya
hidup masyarakat serta situasi lingkungan. Perubahan tersebut tanpa disadari
telah memberi pengaruh terhadap terjadinya transisi epidemiologi dengan
semakin meningkatnya kasus penyakit tidak menular (Depkes 2007). Menurut
WHO tahun 2000, di dunia telah terjadi 55.694.000 kematian, dan 59%
diakibatkan oleh penyakit tidak menular dan di Asia Tenggara tahun 2001,
penyakit tidak menular merupakan 49,7% penyebab kematian, sehingga
menimbulkan DALYs (Disability Adjusted Life Years) sebesar 42,2%.
Penyakit degeneratif merupakan jenis penyakit tidak menular yang
disebabkan oleh menurunnya fungsi sel-sel dalam tubuh. Penyakit degeneratif
yang umum diderita oleh penduduk Indonesia antara lain stroke, penyakit
jantung, tumor, diabetes mellitus, hipertensi, obesitas dan penyakit ginjal kronik
(PGK). Di Amerika Serikat diperkirakan 20 juta orang dewasa mengalami
penyakit ginjal kronik. Data tahun 1995-1999 menunjukkan insidens PGK
mencapai 100 kasus per juta penduduk per tahun di Amerika Serikat. Prevalensi
PGK atau yang disebut juga Chronic Kidney Disease (CKD) meningkat setiap
tahunnya. Centers for Disease Control (CDC) melaporkan bahwa dalam kurun
waktu tahun 1999 hingga 2004, terdapat 16.8% dari populasi penduduk usia di
atas 20 tahun, mengalami PGK. Persentase ini meningkat bila dibandingkan data
pada 6 tahun sebelumnya, yakni 14.5%. Sementara itu, di negara-negara
berkembang, insiden ini diperkirakan sekitar 40 – 60 kasus per juta penduduk
pertahun (Suwitra 2007). Di Indonesia, dari data di beberapa bagian nefrologi,
diperkirakan insiden PGK berkisar 100-150 per 1 juta penduduk dan prevalensi
mencapai 200-250 kasus per juta penduduk (Bakri 2005).
Dalam upaya memperoleh kesembuhan dari suatu penyakit, termasuk
penyakit
ginjal,
pengobatan,
diperlukan
makanan
pengobatan
merupakan
salah
yang
satu
tepat.
faktor
Disamping
penunjang
upaya
untuk
mempercepat proses penyembuhan penyakit. Dengan mengkonsumsi makanan,
berarti pasien juga mengkonsumsi zat gizi yang terkandung di dalam makanan
tersebut. Tercukupinya zat gizi dapat membantu proses penyembuhan. Dengan
pengadaan makanan di rumah sakit diharapkan agar pasien penderita penyakit
dalam mendapatkan konsumsi energi dan protein yang terkontrol.
Salah satu bentuk pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit adalah
pengadaan makanan. Rumah sakit memiliki pedoman diit tersendiri yang akan
memberikan rekomendasi yang lebih spesifik mengenai cara makan yang
bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan status gizi pasien, daya
tahan tubuh dalam menghadapai penyakit, khususnya infeksi dan membantu
kesembuhan pasien dari penyakit dengan memperbaiki jaringan yang rusak serta
memulihkan keadaan homeostatis (Hartono 2000).
Terapi diet merupakan penatalaksanaan gizi yang sangat penting pada
penderita penyakit ginjal. Umumnya, diet pada penyakit ginjal dapat diperoleh
secara efektif dan efisien terutama di rumah sakit. Akan tetapi, perawatan di
rumah sakit berarti memisahkan pasien dengan lingkungannya sehari-hari,
termasuk kebiasaan makannya. Tidak hanya perbedaan pada macam makanan
yang disajikan, tetapi juga cara makanan tersebut dihidangkan, waktu makan,
tempat makan, sehingga mempengaruhi selera makan pasien (Subandriyo
1995). Hal tersebut dapat berakibat pada menurunnya konsumsi terhadap
makanan yang disajikan dan memperbesar kecenderungan pasien untuk
mengonsumsi makanan dari luar rumah sakit, sehingga berdampak pada
kebutuhan gizi pasien yang tidak terpenuhi dan terhambatnya proses
penyembuhan.
Konsumsi zat gizi dan daya terima pasien penyakit ginjal terhadap
makanan yang disajikan rumah sakit perlu diperhatikan dengan seksama. Hal
inilah yang mendasari penelitian mengenai konsumsi zat gizi dan daya terima
pasien penyakit ginjal rawat inap terhadap makanan yang disajikan di rumah
sakit.
Tujuan
Tujuan Umum
Mengetahui konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium,
kalium) serta daya terima pasien rawat inap penyakit ginjal terhadap makanan
yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati.
Tujuan Khusus
1. Mengetahui
gambaran
umum
rumah
sakit,
instalasi
gizi,
dan
penyelenggaraan makanan di RSUP Fatmawati
2. Mempelajari karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin,
berat badan, tinggi badan, aktivitas fisik dan status gizi), riwayat penyakit
meliputi jenis penyakit, lama sakit, ada tidaknya komplikasi, status pernah
dirawat dan lama dirawat di rumah sakit
3. Mempelajari kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek
4. Menghitung ketersediaan dan tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain
dari makanan RS
5. Menghitung konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS serta tingkat
konsumsi makanan RS terhadap ketersediaan dan kebutuhan energi dan zat
gizi lain
6. Mempelajari daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan RS
meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu,
kebersihan alat, dan variasi menu
7. Mempelajari kontribusi energi dan zat gizi lain yang berasal dari makanan
luar RS dan atau infus
8. Menganalisis hubungan antara daya terima subyek terhadap makanan yang
disajikan RS dengan tingkat konsumsi makanan RS
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran dan informasi tentang
tingkat konsumsi energi, protein, zat besi dan natrium pasien rawat inap penyakit
ginjal terhadap makanan yang disajikan Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP)
Fatmawati. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan masukan bagi pihak rumah
sakit dalam penyempurnaan kegiatan penyelenggaraan makanan untuk pasien
rawat inap umumnya dan pasien penyakit ginjal khususnya.
TINJAUAN PUSTAKA
Pelayanan Gizi Rumah Sakit
Pelayanan Gizi Rumah Sakit (PGRS) merupakan bagian integral dari
pelayanan kesehatan peripurna rumah sakit dengan beberapa kegiatan, antara
lain pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan. Pelayanan gizi rawat inap dan
rawat jalan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk memenuhi
kebutuhan gizi pasien melalui makanan sesuai penyakit yang diderita (Almatsier
2004).
Pelayanan Gizi Rumah Sakit adalah pelayanan gizi yang menyesuaikan
dengan keadaan pasien dan berdasarkan keadaan klinis, status gizi dan status
metabolisme tubuh. Keadaan gizi pasien sangat berpengaruh pada proses
penyembuhan
penyakit,
sebaliknya
proses
perjalanan
penyakit
dapat
berpengaruh terhadap keadaan gizi pasien. Hal tersebut diakibatkan karena tidak
tercukupinya kebutuhan zat gizi tubuh untuk perbaikan organ tubuh. Fungsi
organ yang terganggu akan lebih terganggu lagi dengan adanya penyakit dan
kekurangan gizi. Selain itu, masalah gizi lebih dan obesitas erat hubungannya
dengan penyakit degeneratif (Depkes 2006).
Proses pelayanan gizi rawat inap dan rawat jalan terdiri atas empat tahap
yaitu pengkajian gizi, perencanaan pelayanan gizi dengan menetapkan tujuan
dan strategi, implementasi pelayanan gizi sesuai rencana, monitoring dan
evaluasi pelayanan gizi (Almatsier 2004).
Pelayanan gizi di rumah sakit bertujuan untuk mencapai pelayanan gizi
pasien yang optimal dalam memenuhi kebutuhan gizi orang sakit untuk
mengoreksi kelainan metabolisme dalam upaya penyembuhan pasien yang
dirawat dan berobat jalan (Waspadji et al. 2002).
Menurut Hartono (2000), untuk mencapai kondisi kesehatan pasien yang
optimal, maka rumah sakit umumnya akan menyediakan, (1) makanan dengan
kandungan gizi yang baik dan seimbang menurut keadaan penyakit dan status
gizi masing-masing pasien, (2) makanan dengan tekstur dan konsistensi yang
sesuai menurut kondisi gastrointestinal dan penyakit masing-masing pasien, (3)
makanan yang mudah dicerna dan tidak merangsang, (4) makanan yang bebas
unsur aditif yang berbahaya, dan (5) makanan dengan penampilan dan citarasa
yang menarik untuk menggugah selera makan pasien yang umumnya terganggu
oleh penyakit dan kondisi indera pengecap atau pembaunya.
Penyelenggaraan Makanan di Rumah Sakit
Penyelenggaraan makanan di rumah sakit adalah suatu rangkaian
kegiatan mulai dari perencanaan menu sampai dengan pendistribusian makanan
kepada konsumen, dalam rangka pencapaian status kesehatan yang optimal
melalui pemberian diet yang tepat. Dalam hal ini termasuk kegiatan pencatatan,
pelaporan dan evaluasi. Dietetik klinik adalah pengaturan makanan bagi pasien
yang mengalami gangguan kesehatan. Pengaturan makan demikian, selain,
ditunjukkan untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan zat gizi, juga ditunjukkan
untuk membantu pasien dalam penyembuhan penyakitnya, mengurangi atau
menghilangkan penderitaan dan gejala-gejala klinis yang terjadi akibat
penyakitnya (Effendi 2011).
Tujuan dari penyelenggaraan makanan makanan di rumah sakit
dilaksanakan dengan tujuan untuk menyediakan makanan yang kualitasnya baik
dan jumlah yang sesuai kebutuhan serta pelayanan yang layak dan memadai
bagi klien atau konsumen yang membutuhkannya (Depkes 2006).
Perencanaan Menu
Menurut Uripi (1993), menu berasal dari bahasa Prancis “menute” yang
berarti daftar makanan yang disajikan kepada konsumen. Secara umum, menu
adalah sususan hidangan yang disajikan pada waktu akan makan. Dengan kata
lain, menu adalah rangkaian dari beberapa macam hidangan atau masakan yang
disajikan untuk seseorang atau kelompok orang untuk sekali makan, misalnya
susunan hidangan makan pagi, siang atau malam. Pola menu sehari yang
dianjurkan di Indonesia adalah makanan seimbang yang terdiri dari makanan
sumber zat tenaga yakni karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
Siklus menu pada umumnya direncanakan untuk waktu tertentu, misalnya
10 sampai dengan 15 hari. Menu yang dipergunakan untuk waktu tertentu
tersebut kemudian diulang kembali. Siklus menu tergantung tersedianya bahan
makanan. Perencanaan menu merupakan rangkaian untuk menyusun suatu
hidangan dalam variasi yang serasi. Kegiatan ini sangat penting dalam sistem
pengelolaan makanan di rumah sakit karena menu sangat berhubungan dengan
kebutuhan dan penggunaan sumberdaya lainnya dalam sistem tersebut, seperti
anggaran belanja, peralatan, penyediaan bahan makan dan sebagainya (Uripi
1993). Adapun fungsi dari perencanaan menu adalah:
1. Untuk memudahkan pelaksana dalam menjalankan tugasnya sehari-hari
2. Secara garis besar dapat disusun hidangan yang mengandung zat-zat
gizi yang essensial yang dibutuhkan tubuh
3. Variasi
dan
kombinasi
hidangan
dapat
diatur,
sehingga
dapat
menghindari kebosanan yang disebabkan pemakaian jenis bahan
makanan dan jenis makanan yang sering terulang
4. Menu dapat disusun sesuai dengan biaya yang tersedia sehingga
kekurangan uang belanja dapat dihindari atau harga makanan dapat
dikenadalikan
5. Waktu dan tenaga yang tersedia dapat digunakan sehemat mungkin.
Dengan perencanaan menu yang matang bahan makanan kering dapat
dibeli sekaligus untuk beberapa minggu sehingga tenaga dan waktu
dapat dihemat
Mengingat berbagai hal diatas, perencanaan menu harus disesuaikan
dengan anggaran yang ada dengan mempertimbangkan kebutuhan gizi dan
aspek kepadatan makanan, kebiasaan makan penderita, kombinasi yang dapat
diterima oleh penderita, persiapan dan penampilan makanan dan cara-cara
pelayanan.
Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan makanan merupakan kegiatan mengubah makanan mentah
menjadi makanan yang berkualitas tinggi melalui berbagai proses yang
berkaitan. Pengolahan makanan pada garis besarnya terdiri atas dua tahap,
yaitu persiapan bahan makanan dan pemasakan makanan. Proses pengolahan
sangat berkaitan dengan waktu penyajian, oleh karena itu penjadwalan mutlak
dilakukan. Produksi makanan harus diperhatikan untuk setiap item masakan,
sehingga persiapan dapat pula ditata. Jadwal disusun mulai persiapan bahan
makanan dan waktu penerimaan pada unit produksi. Jadwal produksi perlu
direncanakan dan diorganisisr dengan cara yang tepat. Penjadwalan tersebut
adalah mengenai persiapan bahan makanan, pengolahan, pemorsian dan
penyaluran bahan makanan.
Kegiatan persiapan meliputi persiapan bahan makanan dan persiapan
alat-alat yang akan digunakan untuk memasak makanan. Selain itu juga
dilakukan pengawasan terhadap porsi makanan yang akan disajikan. Persiapan
makanan disiapkan oleh bagian persiapan makanan, bahan-bahan yang
diperlukan disesuaikan dengan perencanaan menu yang telah ada. Waktu
persiapakan harus direncanakan secara tepat karena jika persiapan terlalu awal
atau terlalu lambat akan menimbulkan kerugian pada kualitas rasa dan
penampilan makanan. Persiapan alat mutlak dilakukan sebelum pengolahan
makanan dilakukan, karena peralatan yang dipakai pada proses pengolahan
sangat menunjang keberhasilan pengolahan makanan. Pada proses pengolahan
alat-alat tersebut harus dapat langsung dipergunakan pada proses pengolahan
makanan antara lain panci, penggorengan, baskom dan lainnya. Ada juga alatalat yang secara tidak langsung menunjang proses kegiatan pengolahan
makanan yaitu energi seperti bahan bakar, listrik atau gas.
Porsi yang digunakan rumah sakit adalah porsi standar. Porsi standar
yaitu porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi setiap orang sehari
dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi. Contoh dari standar porsi
makanan adalah:
- lauk hewani: daging 50 g, ayam 75 g, ikan 60 g
- lauk nabati: tempe dan tahu 50 g
- sayur berkisar 100-125 g pada sayuran mentah, sehingga setelah masak
menjadi sekitar 53-60 g
- buah misalnya pepaya 100 g
Pemasakan makanan adalah proses kegiatan terhadap bahan makanan
yang telah dipersiapkan menurut prosedur yang telah ditentukan, dengan
penambahan bumbu menurut resep standar dalam rangka mewujudkan masakan
dengan citarasa tinggi. Beberapa prinsip dasar harus diterapkan dalam
pemasakan makanan yaitu bumbu harus mempunyai kualitas yang cukup tinggi
dan cara pemasakan yang harus tepat (Uripi 1993).
Pemorsian dan Pendistribusian Makanan
Setelah
pengolahan
bahan
makanan
selesai,
makanan
tersebut
kemudian dibagikan kedalam porsi sesuai diet yang dianjurkan, atau biasa
disebut proses pemorsian, kemudian mendistribusikannya kepada pasien.
Menurut Uripi (1993), pemorsian dilakukan oleh bagian pemorsian yang
dibedakan menjadi dua bagian yaitu pemorsian untuk makanan biasa dan
pemorsian makanan diet. Porsi makanan yang akan disajikan harus sesuai
dengan standar porsi yang berlaku.
Menurut Anderson et al (1982) terdapat dua tipe pembagian atau
pendistribusian makanan kepada pasien, yaitu sentralisasi dan desentralisasi.
Pada pembagian dengan cara sentralisasi, pembagian makanan pada tiap
nampan atau porsi bagi masing-masing pasien dilakukan terpusat di area
produksi makanan dan diantarkan ke ruang pasien dengan menggunakan kereta
makanan. Sedangkan, pembagian dengan cara desentralisasi dilakukan dengan
mengangkut makanan dari area produksi ke ruang pasien dalam jumlah besar.
Pembagian dalam nampan atau porsi untuk tiap pasien dilakukan di ruang
pasien oleh petugas makanan.
Kecukupan, Kebutuhan dan Konsumsi Zat Gizi
Angka kecukupan gizi adalah nilai yang menujukkan jumlah zat gizi yang
diperlukan tubuh untuk hidup sehat setiap hari bagi hampir semua populasi
menurut kelompok umur, jenis kelamin dan kondisi fisiologis tertentu seperti
kehamilan dan menyusui. Angka kecukupan gizi berguna sebagai nilai rujukan
yang digunakan untuk perencanaan dan penilaian konsumsi makanan dan
asupan gizi bagi orang sehat, agar tercegah dari defisiensi/kekurangan ataupun
kelebihan asupan zat gizi. Kekurangan asupan suatu zat gizi dapat
menyebabkan terjadinya defisiensi atau penyakit kurang gizi dan kelebihan akan
menyebabkan terjadinya efek samping. Pada keadaan ektrim, kekurangan atau
kelebihan zat gizi dapat menyebabkan penyakit bahkan kematian. Penentuan
kebutuhan gizi berbeda antar zat gizi. Meskipun demikian, berangkat dari prinsip
yang sama, yaitu penentuan angka atau nilai asupan gizi untuk mempertahankan
orang sehat tetap sehat sesuai kelompok umur atau tahap pertumbuhan dan
perkembangan, jenis kelamin, kegiatan dan kondisi fisiologisnya (WKNPG 2004).
Kebutuhan zat gizi adalah sejumlah zat gizi minimal yang harus dipenuhi
dari konsumsi makanan (Hardinsyah & Martianto 1992). Menurut Supariasa et al
(2001), kebutuhan tubuh akan zat gizi ditentukan oleh banyak faktor. Faktor
tersebut antara lain tingkat metabolisme basal, tingkat pertumbuhan, aktivitas
fisik, dan faktor yang bersifat relatif seperti gangguan pencernaan, perbedaan
daya
serap,
tingkat
penggunaan,
serta
perbedaan
pengeluaran
dan
penghancuran zat gizi dalam tubuh.
Konsumsi makanan dalam aspek gizi bertujuan untuk memperoleh
sejumlah zat gizi yang diperlukan tubuh. Tingkat konsumsi seseorang merupakan
persen angka konsumsi energi dan zat gizi yang diperoleh dari survei terhadap
angka kecukupan yang dianjurkan (Suhardjo et al 1988). Menurut Supariasa et al
(2001), survei konsumsi makanan dapat dilakukan dengan berbagai metode
diantaranya metode recall 24 jam dan metode penimbangan makanan (food
weighing method). Prinsip metode recall 24 jam yaitu mencatat jenis dan jumlah
bahan makanan yang dikonsumsi pada periode 24 jam yang lalu. Data yang
diperoleh cenderung bersifat kualitatif. Oleh karena itu, jumlah makanan yang
dikonsumsi individu harus ditanyakan secara teliti dengan menggunakan alat
ukur rumah tangga (URT) untuk mendapatkan data kualitatif. Menurut Suhardjo
(1989), prinsip food weighing method yaitu mengukur secara langsung berat
setiap jenis pangan yang dikonsumsi. Berat makanan yang dikonsumsi
didapatkan dari mengurangi berat makanan sebelum dimakan dengan berat
makanan yang tersisa setelah dimakan. Tingkat ketelitian metode ini paling tinggi
dibandingkan dengan metode lainnya dalam hal mengukur konsumsi pangan
secara kuantitatif.
Energi
Penentuan kebutuhan energi didasarkan pada energi basal (Resting
Metabolic Rate - RMR) ditambah sejumlah energi yang diperlukan untuk efek
tambahan metabolisme (Thermic Effect of Food - TEF), kegiatan (Thermic Effect
of Exercise - TEE) dan pertumbuhan (pada kelompok usia/fisiologis tertentu)
(WKNPG 2004).
Resting Metabolic Rate (RMR). Banyak juga peneliti yang menggunakan
Basal Metabolic Rate (BMR). Perbedaannya BMR dianjurkan diukur pagi hari,
bangun tidur, belum melakukan kegiatan dan telah berpuasa 10-12 jam. RMR
diukur dalam keadaan istirahat biasa dan dilakukan 4-5 jam setelah makan.
Thermic Effect of Food (TEF). Dahulu istilah yang digunakan adalah
specific dynamic action yaitu tambahan energi yang dibutuhkan untuk
metabolisme protein. Belakangan diketahui bahwa bukan hanya protein yang
mempunyai efek tambahan energi untuk metabolismenya, tetapi juga karbohidrat
dan lemak. TEF diperkirakan sekitar 10% dari energy expenditure. Glukosa bila
disimpan terlebih dahulu sebagai glikogen kehilangan energi sekitar 7%.
Pengubahan karbohidrat menjadi lemak memerlukan tambahan energi sebanyak
26%.
Thermic Effect of Exercise (TEE). Adalah energi yang dibutuhkan untuk
melakukan kegiatan. Pada umumnya kebutuhan energi untuk TEE sekitar 1530% dari RMR. Namun suatu kegiatan yang berat akan memerlukan energi yang
lebih banyak. Facultative thermogenesis merupakan kebutuhan energi sebagai
efek dari berbagai perubahan antara lain perubahan suhu, konsumsi makanan,
emosi, stress, dan lain-lain. Faktor lain yaitu umur, jenis kelamin, aktivitas fisik
dan lain sebagainya.
Manusia membutuhkan energi untuk mempertahankan hidup, menunjang
pertumbuhan dan melakukan aktivitas fisik. Energi dapat diperoleh dari
karbohidrat, protein dan lemak yang ada didalam bahan makanan. Kandungan
karbohidrat, protein dan lemak pada suatu bahan makanan menentukan nilai
energinya. Setiap gram karbohidrat dan protein menghasilkan energi sebesar 4
Kal, lemak menghasilkan 9 Kal dan alkohol menghasilkan 7 Kal. Bahan makanan
yang merupakan sumber energi tinggi yaitu sumber lemak, seperti minyak dan
lemak serta kacang-kacangan. Selain itu, bahan makanan sumber karbohidrat
seperti padi-padian, umbi-umbian dan gula murni. Kekurangan energi pada
orang dewasa dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kerusakan
jaringan tubuh. Kelebihan energi juga tidak baik karena kelebihannya akan
diubah menjadi lemak tubuh yang dapat mengakibatkan kegemukan. Pada
akhirnya, hal tersebut dapat mengakibatkan gangguan fungsi tubuh yang
merupakan resiko untuk menderita penyakit kronik dan memperpendek harapan
hidup (Almatsier 2002).
Protein
Penentuan kebutuhan protein biasanya ditentukan dengan metode
faktorial atau keseimbangan nitrogen. Metode faktorial dilakukan dengan
mengukur N yang keluar melalui feses, urin keringat, kuku, dan sebagainya bila
seseorang diberi diet “protein free”. Misal, hasil penelitian mengungkapkan
dengan cara faktorial kebutuhan N sekitar 54 mg/kgBB bila ditambah 2 SD
menjadi 70 mg N/kgBB. Karena nilai protein sama dengan Nx6,25 maka
kebutuhan protein sekitar 0,45 g/kgBB dengan catatan dari protein kualitas tinggi.
Kehilangan karena efisiensi, mutu protein diperkirakan sekitar 30% sehingga
kebutuhan protein menjadi 0,6 sampai 0,7 g/kgBB. Metode keseimbangan
nitrogen (Nitrogen Balance) dilakukan dengan mengukur nitrogen dari asupan
protein dibanding dengan nitrogen yang keluar melalui feses, urin, keringat. Bila
asupan lebih kecil dari yang keluar disebut N-balance negatif dan bila sama
maka asupan sama dengan kebutuhan. Untuk mengetahui N-balance positif atau
negatif maka percobaan dilakukan dengan pemberian berbagai tingkat protein.
Misalnya dengan pemberian 0,6 g/kgBB sampai 1 g/kgBB (WKNPG 2004).
Protein adalah sumber asam amino yang mengandung unsur nitrogen
yang tidak dimiliki oleh karbohidrat atau lemak. Fungsi utama protein bagi tubuh
yaitu membentuk jaringan baru dan mempertahankan jaringan yang sudah ada.
Secara garis besar, fungsi protein yaitu alat pengangkut dan penyimpan, sebagai
enzim, pengatur pergerakan, penunjang mekanis, membangun sel-sel jaringan
tubuh, pertahanan tubuh, pemberi tenaga, menjaga keseimbangan asam basa
cairan tubuh, membuat protein darah, dan media perambatan impuls saraf
(Nasoetion et al 1994).
Menurut Almatsier (2004), kebutuhan protein normal adalah 10-15% dari
kebutuhan energi total, atau 0,8 – 1 g/kg berat badan. Kebutuhan energi minimal
untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen adalah 0,4 – 0,5 g/kg berat
badan. Demam, operasi, sepsis, trauma dan luka dapat meningkatkan
katabolisme protein, sehingga meningkatkan kebutuhan protein sampai 1,5 – 2,0
g/kg berat badan. Sebagian besar pasien yang dirawat membutuhkan protein
sebesar 1,0 – 1,5 g/kg berat badan.
Bahan makanan hewani merupakan sumber protein yang baik dari segi
kualitas maupun kuantitas. Contoh sumber protein hewani yaitu telur, susu,
daging, ikan, unggas dan kerang. Sumber protein nabati contohnya kacang
kedelai dan hasil olahannya, seperti tempe, tahu serta kacang-kacangan lain.
Kelebihan protein dapat menyebabkan obesitas karena umumnya makanan yang
tinggi protein biasanya tinggi lemak. Selain itu, kelebihan protein menyebabkan
asidosis, diare, dehidrasi, kenaikan amonia darah, kenaikan urea darah, dan
demam (Almatsier 2002).
Kekurangan protein dapat menyebabkan marasmus, kwarsiorkor atau
gabungan keduanya. Hal ini mengakibatkan kegagalan pertumbuhan ringan
sampai suatu sindrom klinis berat yang spesifik.
Zat Besi
Zat besi merupakan komponen dari hemoglobin, mioglobin, sitokhrom,
dan enzim katalase serta peroksidase. Peranan zat besi pada umumnya
berkaitan dengan proses respirasi dalam sel (Karyadi & Muhilal 1990). Di
samping itu berbagai jenis enzim memerlukan besi sebagai faktor penguat. Di
dalam tubuh sebagian besar besi terkonjugasi dengan protein dan terdapat
dalam bentuk ferro atau ferri. Bentuk aktif zat besi biasanya terdapat sebagai
ferro sedangkan bentuk inaktif adalah sebagai ferri. Zat besi lebih mudah diserap
dari usus halus dalam bentuk ferro. Penyerapan ini mempunyai mekanisme
autoregulasi yang diatur oleh kadar ferritin yang terdapat di dalam sel-sel mukosa
usus. Pada kondisi besi yang baik, hanya sekitar 10 persen dari besi yang
terdapat dalam makanan diserap ke dalam mukosa usus, tetapi dalam kondisi
defisiensi besi yang diserap lebih banyak untuk menutupi kekurangan tersebut
(Sediaoetama 2008).
Defisiensi zat besi dapat menyebabkan anemia. Pada penderita anemia,
jumlah sel-sel darah merah berkurang dan karenanya jumlah oksigen yang
dibawa ke jaringan juga menurun. Hal ini mengakibatkan kekurangan energi dan
kelesuan, sakit kepala dan pusing-pusing yang merupakan gejala anemia.
Anemia lebih banyak terjadi pada wanita daripada pria disebabkan antara lain
karena kehilangan darah selama menstruasi (Gaman & Sherrington 1992).
Besi dalam makanan yang dikonsumsi berada dalam bentuk ikatan ferri
(umumnya dalam pangan nabati) maupun ikatan ferro (umumnya dalam pangan
hewani). Besi yang berbentuk ferri oleh getah lambung (HCl) direduksi menjadi
bentuk ferro yang lebih mudah diserap oleh sel mukosa usus. Di dalam sel
mukosa, ferro dioksidasi menjadi ferri, kemudian bergabung dengan apoferritin
membentuk protein yang mengandung besi yaitu ferritin. Selanjutnya untuk
masuk ke plasma darah, besi dilepaskan dari ferritin dalam bentuk ferro,
sedangkan apoferritin yang terbentuk kembali akan bergabung lagi dengan ferri
hasil oksidasi di dalam sel mukosa. Setelah masuk ke dalam plasma, maka besi
ferro segera dioksidasi menjadi ferri untuk digabungkan dengan protein spesifik
yang mengikat besi yaitu transferrin (Suhardjo & Kusharto 1992).
Natrium dan Kalium
Tubuh manusia mengandung 1,8 g Na/Kg BB bebas lemak, dimana
sebagian besar terdapat dalam cairan ekstraseluler (Suhardjo & Kusharto 1992).
Natrium adalah kation utama dalam cairan ekstraseluler. Natrium berada dalam
kerangka tubuh sebanyak 35-40%. Sebagai kaiton utama cairan ekstraseluler,
natrium menjaga keseimbangan cairan dalam kompartemen tersebut. Bila jumlah
natrium didalam sel meningkat secara berlebihan, air akan masuk ke dalam sel,
akibatnya sel akan membengkak. Hal ini menyebabkan pembengkakan atau
edema dalam jaringan tubuh (Almatsier 2002).
Sumber natrium adalah garam dapur, monosodium glutamat (MSG),
kecap dan makanan yang diawetkan dengan garam dapur. Makanan sehari-hari
biasanya cukup mengandung natrium yang dibutuhkan oleh tubuh. Oleh karena
itu,
tidak
ada
penetapan
kebutuhan
natrium
sehari.
Dinjurkan
untuk
mengkonsumsi asupan garam kurang dari 6 g/hari yang setara dengan 110 mmol
natrium (2400 mg) (Karyadi 2002). Kelebihan natrium dapat menimbulkan
keracunan yang dalam keadaan akut menyebabkan edema dan hipertensi
(Almatsier 2002). Penelitian melaporkan bahwa penurunan asupan natrium
sekitar 1,8 g/hari dapat menurunkan tekanan darah sistolik 4 mmHg dan tekanan
darah diastolik 2 mmHg pada seseorang yang memiliki tekanan darah tinggi dan
hanya penurunan lebih sedikit pada individu dengan tekanan darah normal.
Pengurangan asupan garam bukan saja dari garam dapur tetapi juga harus
menghindari makanan yang diasinkan, diawetkan, bumbu-bumbu yang banyak
mengandung garam dapur seperti terasi, kecap, petis, tauco atau juga camilan
(Karyadi 2002).
Natrium dan kalium sangat erat hubungannya dalam memenuhi fungsinya
didalam tubuh. Kedua elemen ini terutama berfungsi dalam keseimbangan air,
elektrolit (asam basa) didalam sel maupun didalam cairan ekstraseluler,
termasuk plasma darah. Natrium terutama terdapat didalam cairan ekstraseluler,
sedangkan natrium didalam cairan intraseluler. Natrium merupakan satu-satunya
elemen yang biasa dikonsumsi dalam bentuk garam yang sedikit-banyak murni,
yaitu garam dapur. Konsumsi garam ini rata-rata 15 gram seorang sehari. Di
daerah pegunungan yang terisolasi dan jauh dari pantai garam, natrium
digantikan oleh garam kalium yang didapat dari abu berbagai tumbuhan yang
dibakar (Sediaoetama 2008).
Di dalam tubuh terdapat natrium sebanyak 0,15% dari berat badan,
sedangkan kalium 0,35% atau terdapat sekitar 2 ½ kali lebih banyak
dibandingkan dengan natrium. Dalam cairan tubuh, natrium membentuk larutan
garam NaCl atau Na-carbonat. Ion Na+ berperan dalam menahan air didalam
tubuh, dalam proses mempertahankan tekanan osmosis cairan. Membran sel
bersifat semipermeabel terhadap natrium, tetapi K+ dapat lewat dengan bebas
melalui membran sel tersebut.
Fisiologi dan Fungsi Ginjal
Fungsi utama ginjal adalah mengatur keseimbangan homeostatik dengan
respon terhadap cairan, elektrolit dan larutan organik. Ginjal yang normal dapat
melakukan fungsi tersebut pada berbagai fluktuasi diet sodium, air dan zat
terlarut lainnya. Tugas ini dilakukan dengan memfiltrasi darah terus menerus dan
perubahan dari filtrat (sekresi dan reabsorbsi) dalam filtrasi cairan. Ginjal
menerima 20% darah dari jantung yang memungkinkan penyaringan darah ratarata 1600 L/hari (Wilkens dan Juneja 2007).
Setiap ginjal terdiri atas sekitar 1 juta unit fungsi yang disebut nefron.
Nefron terdiri dari sebuah glomerulus yang melekat pada serangkaian tubulus,
yang dapat dibagi ke dalam segmen fungsional yang berbeda: tubula
terkonvolusi proksimal, lengkung Henle, tubulus distal dan duktus pengumpul.
Setiap nefron beroperasi secara independen menghasilkan kontribusi ke urin
akhir, meskipun semua dibawah kontrol serupa dan terkoordinasi. Namun, ketika
salah satu nefron hancur, nefron yang lengkap tidak lagi dapat berfungsi.
Glomerulus adalah massa bola kapiler yang dikelilingi oleh membran, kapsul
Bowman. Fungsi glomerulus adalah produksi sejumlah besar ultrafiltrat, termasuk
segmen mengikuti nefron untuk berubah. Ultrafiltrasi dalam glomerulus sangat
mirip dengan komposisi
darah.
Karena fungsi penghalang, glomerulus
menghambat sel darah dan molekul dengan berat molekul lebih besar dari 6500
dalton seperti protein. Ultrafiltrat produksi sebagian besar pasif dan didasarkan
pada tekanan perfusi yang diproduksi oleh hati dan disediakan oleh arteri ginjal.
Tubulus mengisap sebagian besar komponen yang membentuk ultrafiltrat.
Banyak dari proses ini aktif dan membutuhkan energi pengeluaran yang besar
dalam bentuk Adenosin Triphospat (ATP) (Wilkens dan Juneja 2007).
Ginjal memiliki kemampuan hampir tak terbatas untuk mengatur
homeostasis air. Kemampuan ginjal untuk membentuk gradien konsentrasi yang
besar antara bagian dalam dan luar korteks medula memungkinkan ginjal
mengekskresikan urin encer kira-kira 50 mOsm atau konsentrasi kira-kira 1200
mOsm. Mengingat beban zat terlarut tetap harian sekitar 600 mOsm (beban zat
terlarut mewakili produk akhir sampah dari metabolisme normal), ginjal dapat
membuang sedikitnya 500 ml urin terkonsentrasi atau kontrol sebanyak 12 L.
Kontrol ekskresi air diatur oleh vasopresin, atau dikenal sebagai hormon
antidiuretik, suatu hormon peptida kecil yang disekresikan oleh hipofisis
posterior. Kelebihan air pada tubuh, yang ditunjukkan oleh penurunan
osmolalitas, mengarah ke menutupnya semua sekresi vasopresin. Namun,
kebutuhan untuk menghemat natrium kadang-kadang menyebabkan suatu
pengorbanan dari kontrol homeostatik volume air. Mayoritas zat terlarut terdiri
dari limbah nitrogen, terutama produk akhir dari metabolisme protein. Urea
mendominasi dengan jumlah yang tergantung pada kandungan protein diet.
Asam urat, kreatinin dan amonia ada dalam jumlah kecil. Jika produk limbah
normal ini tidak dihapus dengan benar, maka akan terkumpul didalam darah,
mereka akan terkumpul dalam jumlah abnormal dalam darah, dikenal dengan
sebutan azotemia. Kemampuan ginjal untuk menghilangkan produk limbah
nitrogen dikenal sebagai fungsi ginjal; gagal ginjal merupakan ketidakmampuan
ginjal untuk mengekskresikan beban limbah harian (Wilkens dan Juneja 2007).
Menurut
Sediaoetama
(2008),
ginjal
berperan
penting
dalam
keseimbangan cairan. Darah didalam glomerulus disaring dan plasma masuk
kedalam cawan glomerulus sebagai ultrafiltrat. Komposisi ultrafiltrat ini sama
dengan komposisi plasma tanpa makromolekul (protein plasma), yang tidak
dapat menembus saringan. Berat jenis plasma tanpa makromolekul sama
dengan berat jenis ultrafiltrat, yaitu 1,010. Ultrafiltrat ini diubah menjadi urin yang
mempunya berat jenis 1,015-1,035. Glomerulus dapat menyaring plasma
sebanyak 150-200 liter dalam 24 jam, untuk menghasilkan urin sebanyak 10001300 ml. Saluran nefron yang berfungsi mengkonsentrasikan ultrafiltrat menjadi
urin ini panjangnya 15 mm tubulus proximalis, 15 mm loop Henle dan 5 mm
tubulus distalis. Sepanjang saluran nefron ini, ion-ion dan zat-zat organik diserap
kembali. Bersama dengan penyerapan zat-zat itu, ikut pula diserap kembali
sejumlah air. Dibagian nefron proksimal, air diserap obligatori sebagai pelarut
zat-zat organik yang diserap kembali secara aktif, sedangkan dibagian distal,
penyerapan air dilakukan secara aktif menurut kebutuhan tubuh. Penyerapan air
dibagian nefron distal ini diatur atas pengaruh hormon antideuritik.
Diet Penyakit Ginjal
Metode penatalaksanaan dan rekomendasi zat gizi berubah-ubah sesuai
dengan berbagai stadium gagal ginjal. Ginjal normal mengeluarkan kelebihan
cairan dan produk sisa dari tubuh serta memelihara keseimbangan asam basa.
Ginjal juga mengatur tekanan darah, stimulasi produksi sel darah merah, dan
mengatur metabolisme kalsium dan fosfor. Sindrom nefrotik adalah disfungsi
kapiler glomerulus. Gejala-gejala yaitu urin kehilangan protein plasma, serum
albumin rendah, edema, dan meningkatnya lemak darah. Pada gagal ginjal akut,
nefron kehilangan fungsinya atau Glomerulus Filtration Rate (GFR) menurun
tiba-tiba. Gejalanya yaitu meningkatnya nitrogen urea darah, katabolisme,
keseimbangan
nitrogen
negatif,
meningkatnya
elektrolitis,
asidosis,
meningkatnya tekanan darah, dan berlebihnya cairan. Sindrom nefrotik dan
gagal ginjal akut merupakan kondisi dapat pulih kembali (reversibel). Pada gagal
ginjal kronik, GFR menurun secara bertahap. Pada stadium awal, terjadi
penggantian dengan memperbesar nefron yang tersisa (Greene dan Thomas
2008).
Gejala serupa pada gagal ginjal akut terlihat ketika fungsi ginjal tersisa
75% dari fungsi normal. Ketika GFR berkurang 10% dari normal, pasien
dipertimbangkan terkena End Stage Renal Disease (ESRD). Dialisis merupakan
awal untuk menggantikan fungsi ginjal yang telah berkurang. Elektrolit, cairan,
anemia, dan diet diawasi setiap bulan oleh ahli gizi. Sebagian pasien dengan
ESRD menerima transplantasi ginjal (Greene dan Thomas 2008).
Menurut Hartono (2002), diet ginjal terutama bertujuan untuk mengurangi
ekskresi zat-zat sisa metabolisme protein melalui diet rendah protein dengan
jumlah kalori yang memadai atau tinggi. Keseimbangan air, elektrolit dan pH
pada gagal ginjal diperbaiki melalui pengaturan asupan cairan dan diet rendah
mineral tertentu seperti kalium, natrium, magnesium, fosfor menurut keadaan
pasien serta hasil pemeriksaan laboratorium. Gangguan produksi zat seperti
eritropoietin dan kalsitrol diatasi dengan suplementasi zat-zat tersebut.
Sindroma Nefritik
Sindrom nefritik merupakan manifestasi klinis dari sekelompok penyakit
yang ditandai dengan peradangan pada lengkung glomerulus kapiler. Penyakit
ini juga disebut glumerulonefritis akut yang terjadi secara tiba-tiba; terjadinya
sesaat, dan dapat berkembang menjadi sindrom nefrotik kronik atau ESRD.
Manifestasi utama dari penyakit ini adalah hematuria (darah dalam urin),
konsekuensi dari inflamasi kapiler yang menyerang pertahanan glomerulus
terhadap sel darah. Sindrom ini juga ditandai oleh hipertensi dan penurunan
fungsi ginjal. Sebagian besar disebabkan oleh infeksi streptococcal. Penyebab
lain termasuk penyakit ginjal utama seperti imunoglobulin A nefropati; nefritik
hereditari; dan penyakit kedua seperti systemic lupus erythematosus (SLE),
vaskulitis dan glumerulonefritis berhubungan dengan endokarditis, abses, atau
infeksi peritoneal (Wilkens dan Juneja 2007).
Penatalaksanaan glomerulusnefritis adalah mencoba memelihara status
gizi baik ketika penyakit berubah spontan. Pada pasien dengan sindrom nefritik,
membatasi konsumsi protein atau potasium tidak memberikan keuntungan
signifikan pada perkembangan uremia atau hiperkalemia. Ketika terjadi
hipertensi, hal tersebut sebagian besar berhubungan dengan kelebihan volume
ekstraseluler dan terancam dengan pembatasan sodium (Wilkens dan Juneja
2007).
Sindroma Nefrotik
Sindroma Nefrotik terdiri atas kelompok penyakit heterogen, manifestasi
yang umum berasal dari hilangnya pertahanan glomerulus terhadap protein.
Protein dalam jumlah besar hilang melalui urin sehingga berujung pada
hipoalbuminemia
dengan
konsekuensi
edema,
hiperkolesterolemia,
hiperkoagulabiliti, dan metabolisme tulang abnormal. Lebih dari 95% kasus
sindrom nefrotik berakar dari tiga penyakit sistemik (diabetes melitus, SLE dan
amiloidosis) dan empat penyakit utama ginjal: penyakit yang hanya dapat dilihat
dengan mikroskop elektron,
nefropati membran, glumerulosklerosis dan
glumerulonefritis membranoproliferatif (Wilkens dan Juneja 2007).
Menurut Almatsier (2004), sindrom nefrotik atau nefrosis adalah
kumpulan manifestasi penyakit yang ditandai oleh ketidakmampuan ginjal untuk
memelihara keseimbangan nitrogen sebagai akibat meningkatnya permeabilitas
membran kapiler glumerolus. Gejala penyakit ini bersifat individual, sehingga diet
yang diberikan harus individual pula, dengan menyatakan banyak protein dan
natrium yang dibutuhkan dalam diet.
Tujuan utama dari terapi gizi medis adalah untuk mengelola gejala yang
berhubungan dengan sindrom (edema, hipoalbuminemia dan hiperlipidemia),
mengurangi
resiko
pengembangan
kegagalan
ginjal
dan
memelihara
penyimpanan zat gizi. Pasien dengan kekurangan protein yang parah secara
terus menerus memerlukan waktu perawatan yang lama serta diperlukan
pemantauan gizi secara hati-hati. Diet bertujuan memberikan energi dan protein
yang cukup untuk mempertahankan keseimbangan nitrogen positif dan
meningkatkan konsentrasi plasma albumin serta menghilangkan edema (Wilkens
dan Juneja 2007).
Diet protein untuk pasien sindrom nefrotik berubah-ubah. Awalnya, pasien
menerima diet tinggi protein (hingga 1,5 g/kgBB/hari) sebagai usaha untuk
meningkatkan serum albumin dan mencegah malnutrisi protein. Bagaimanapun,
penelitian menunjukkan bahwa penurunan asupan protein hingga 0,8 mg/kg/hari
dapat menurunkan proteinuria tanpa berpengaruh negatif terhadap serum
albumin. Untuk memungkinkan penggunaan optimal dari protein, 50 sampai 60%
protein harus berasal dari sumber nilai biologi tinggi (HBV) dan asupan energi
harus sekitar 35 Kal/kgBB/hari untuk dewasa dan 100 sampai 150 Kal/kgBB/hari
untuk anak-anak (Wilkens dan Juneja 2007).
Upaya untuk membatasi asupan natrium dalam jumlah besar dapat
menyebabkan hipotensi, eksaserbasi koagulopati dan penurunan fungsi ginjal.
Oleh karena itu, pengendalian edema pada kelompok ini harus didasarkan
sampai batas waktu tertentu dan pembatasan natrium sekitar 3 g natrium per hari
(Wilkens dan Juneja 2007).
Gagal Ginjal Akut
Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)
Gagal ginjal akut merupakan keadaan akibat penurunan akut fungsi ginjal
sehingga terjadi penimbunan zat-zat yang seharusnya diekskresikan keluar oleh
ginjal. Penyebab gagal ginjal akut meliputi (1) aliran darah ginjal yang tidak
mencukupi, (2) infeksi akut ginjal (penyebab renal), (3) sumbatan aliran air seni
(penyebab postrenal) seperti pada batu ginjal atau penekukan ureter (saluran
yang menghubungkan ginjal dengan kandung kemih). Tindakan diet bertujuan
mengurangi beban kerja ginjal untuk mengekskresikan zat-zat sisa disamping
memberikan cukup kalori. Diet rendah protein untuk mengurangi eksresi zat sisa
harus memberikan cukup protein untuk perbaikan jaringan ginjal yang rusak
disamping untuk keperluan lain seperti pembentukan hormon, enzim dan antibodi
(Hartono 2004).
Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien
dengan gagal ginjal akut adalah sebagai berikut.
Tabel 1 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal akut
Zat Gizi
Rekomendasi
Energi
30-35 Kal/kgBB
Protein
0,6-0,8 g/kgBB
Sodium
2 g/hari
Potasium
2 g/hari
Zat Besi
Sesuai AKG
Cairan
Cairan yang dikeluarkan ditambah 500cc
Gagal Ginjal Kronik
Jenis diet : diet rendah protein (DRP), diet rendah garam (DRG)
Penyakit Ginjal Kronik adalah keadaan dimana terjadi penurunan fungsi
ginjal yang cukup berat secara perlahan-lahan (menahun) disebabkan oleh
berbagai penyakit ginjal. Penyakit ini bersifat progresif dan umumnya tidak dapat
pulih kembali (irreversible). Gejala penyakit ini umumnya adalah tidak nafsu
makan, mual, muntah, pusing, sesak nafas, rasa lelah, edema pada kaki dan
tangan, serta uremia. Apabila nilai Glomerulus Filtration Rate (GFR) < 25
ml/menit, diberikan Diet Protein Rendah (Almatsier 2004).
Terapi diet membantu memperlambat progresivitas gagal ginjal kronik.
Pemberian suplemen zat besi, asam folat, kalsium dan vitamin D mungkin
diperlukan. Pemberian suplemen vitamin dan mineral pada gagal ginjal kronik
harus mengacu kepada hasil laboratorium seperti kadar hemoglobin, kadar
kalium, natrium dan klorida. Pada pasien-pasien gagal ginjal kronik, fokus terapi
gizi adalah untuk menghindari asupan elektrolit yang berlebih dari makanan
karena kadar elektrolit bisa meninggi akibat klirens ginjal yang menurun (Hartono
2004). Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasien
dengan gagal ginjal kronik adalah sebagai berikut.
Tabel 2 Kebutuhan zat gizi harian pasien dengan gagal ginjal kronik
Zat Gizi
Rekomendasi
Energi
30-35 Kal/kgBB
Protein
0,6-0,8 g/kgBB
Sodium
2-4 g/hari
Potasium
Tidak ada batasan
Zat Besi
Sesuai AKG
Cairan
Tidak ada batasan
Transplantasi Ginjal
Transplantasi melibatkan implantasi bedah ginjal dari donor hidup, donor
hidup yang tidak ada hubungan atau donor meninggal. Penolakan terhadap
jaringan asing atau infeksi sekunder untuk terapi imunosupresif komplikasi utama
(Wilkens dan Juneja 2007). Transplantasi ginjal adalah terapi pengganti dengan
cara mengganti ginjal yang sakit dengan ginjal donor. Setelah transplantasi
sering terjadi hiperkatabolisme protein, kegemukan, dan hiperlipidemia. Diet
pada bulan pertama setelah tranplantasi adalah energi cukup dengan protein
tinggi, setelah itu berubah menajdi energi dan protein cukup. Karena diet sangat
tergantung pada keadaan pasien, penyusunan diet dilakukan secara individual
(Almatsier 2004).
Menurut Greene dan Thomas (2008), kebutuhan zat gizi harian pasca
transplantasi ginjal adalah sebagai berikut.
Tabel 3 Kebutuhan zat gizi harian pasien pasca transplantasi ginjal
Zat Gizi
Rekomendasi
Energi
25-35 Kal/kgBB
Protein
1,0-1,5g/kgBB
Sodium
2-4 g/hari
Potasium
Tidak ada batasan
Zat Besi
Sesuai AKG
Cairan
Tidak ada batasan
Gagal Ginjal dengan Dialisis
Dialisis dilakukan terhadap pasien dengan penurunan fungsi ginjal berat,
dimana ginjal tidak mampu lagi mengeluarkan produk-produk sisa metabolisme,
mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta memproduksi
hormon-hormon. Ketidakmampuan ginjal mengeluarkan sisa metabolisme
menimbulkan gejala uremia. Dialisis dilakukan bila GFR atau hasil tes kliren
kreatinin < 15 ml/menit (Almatsier 2004).
Dialisis dapat dilakukan dengan cara hemodialisis atau dialisis peritoneal.
Cara yang paling banyak digunakan adalah hemodialisis. Pada proses
hemodialisis, aliran darah ke ginjal dialirkan melalui membran semipermeabel
dari ginjal tiruan (mesin cuci ginjal) sehingga produk-produk sisa metabolisme
dapat dikeluarkan dari tubuh melalui difusi dan air melalui ultrafiltrasi.
Hemodialisis membutuhkan akses permanen ke aliran darah melalui fistula
pembedahan yang dibuat untuk menghubungkan arteri dan vena. Fistula sering
dibuat didekat pergelangan tangan, yaitu didekat pembuluh darah besar di
lengan
bawah.
Jika
pembuluh
darah
pasien
rapuh,
dapat
dilakukan
pencangkokan pembuluh darah tiruan. Jarum besar dimasukkan kedalam fistula
atau cangkok sebelum dialisis dimulai dan dilepas ketika dialisis selesai.
Umumnya, akses sementara melalui kateter subklavia sampai akses permanen
pasien dapat diciptakan, bagaimanapun, masalah infeksi pada kateter tidak
diinginkan. Hemodialisis biasanya membutuhkan perawatan 3 sampai 5 jam
sebanyak 3 kali seminggu, tetapi terapi yang baru dilaksanakan membutuhkan
waktu yang berubah-ubah. Pasien yang melakukan dialisis harian dirumah tipe
perawatan yang berlangsung 1,5 sampai 2,5 jam, sedangkan beberapa pasien
yang didialisis dirumah, menerima dialisis nokturnal 3 kali seminggu selama 8
jam. Diet protein dibutuhkan kurang lebih 1,2 g/kg, untuk menutupi kehilangan
protein ketika dialisis (Wilkens dan Juneja 2007). Menurut Greene dan Thomas
(2008), kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani hemodialisis 3 kali
per minggu yaitu sebagai berikut.
Tabel 4 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien hemodialisis
Zat Gizi
Rekomendasi
Energi
30-35 Kal/kgBB
Protein
1,2-1,4 g/kgBB
Sodium
2-3 g/hari
Potasium
2-3 g/hari
Zat besi
Individual
Cairan
Individual
Menurut Greene dan Thomas (2008), dialisis peritonial adalah proses
pengeluaran sisa produk metabolisme melalui perfusi larutan steril dialisis
seluruh rongga peritonial. Metode dialisis ini dapat dilakukan dirumah. Pertukaran
dialisis dilakukan beberapa kali dalam sehari atau terus-menerus di malam hari
dengan bantuan mesin dialisis peritonial. Normalnya, diet yang diberikan adalah
diet rendah garam. Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien yang menjalani
dialisis peritonial adalah sebagai berikut.
Tabel 5 Kebutuhan zat gizi harian untuk pasien dialisis peritoneal
Zat Gizi
Rekomendasi
Energi
25-35 Kal/kgBB
Protein
1,2-1,5 g/kgBB
Sodium
2-4 g/hari
Potasium
3-4 g/hari
Zat besi
Individual
Cairan
Sesuai toleransi
Batu Ginjal (Nefrotiliasis)
Batu ginjal terbentuk bila konsentrasi mineral atau garam dalam urin
mencapai nilai yang memungkinkan terbentuknya kristal, yang akan mengendap
pada tubulus ginjal atau ureter. Meningkatnya konsentrasi garam-garam ini
disebabkan adanya kelainan metabolisme atau pengaruh lingkungan. Sebagian
besar batu ginjal merupakan garam kalsium. Fosfat, oksalat, serta asam urat.
Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi pada
saluran kemih dan sering buang air kecil.
Gejala batu ginjal adalah rasa nyeri pada abdomen, mual, muntah, infeksi
pada saluran kemih dan sering buang air kecil. Penyakit ini sering kambuh
kembali. Agar bisa dilakukan upaya penyembuhan yang tepat, hendaknya
dilakukan analisis terhadap jenis batu dan penyakit yang menjadi penyebabnya.
Syarat diet nefrolitiasis yaitu energi diberikan sesuai dengan kebutuhan, protein
sedang, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total, cairan diberikan tinggi, yaitu
2,5-3 liter/hari, setengahnya berasal dari minuman.
Pemberian Dukungan Gizi
Pemberian dukungan gizi bagi pasien rawat inap dapat berupa gizi
enteral (melalui gastrointestinal) dan gizi parenteral (melalui vena). Dukungan
gizi tersebut diberikan apabila supan zat gizi pasien dengan makanan tidak dapat
memenuhi kebutuhan (Dir.Jen.Yan.Medik 1999a).
Gizi Enteral
Gizi enteral merupakan terapi pemberian nutrien lewat saluran cerna
dengan menggunakan selang/kateter khusus (feeding tube). Cara pemberiannya
bisa melalui jalur hidung lambung (nasogastric route) atau hidung usus
(nasoduodenal atau nasojejunal route). Pemberian nutrien juga bisa dilakukan
secara bolus atau cara infus lewat pompa infus enteral. Pemberian zat gizi
enteral yang dini akan memberikan manfaat antara lain memperkecil respons
katabolik,
mengurangi komplikasi
mempertahankan
integritas
infeksi, memperbaiki
usus,
mempertahankan
toleransi pasien,
integritas/respons
imunologis, lebih fisiologik dan memberikan sumber energi yang tepat bagi usus
pada waktu sakit. Pemberian zat gizi enteral yang tepat akan memberikan nutrien
kepada pasien dalam bentuk yang bisa digunakan oleh metabolisme tubuhnya
tanpa menimbulkan gangguan saluran cerna seperti kram usus atau diare
sementara biaya dan proses pembuatannya memungkinkan pemberian zat gizi
tersebut (Hartono 2004).
Pemberian gizi enteral bertujuan untuk mencukupi kebutuhan gizi
keseluruhan (terapetik) pada pasien yang tidak dapat makan sama sekali dan
sebagai tambahan (suplementasi) pada pasien yang mampu makan dan minum
tetapi tidak mencukupi kebutuhannya. Indikasi pemberiannya yaitu adanya
gangguan kesadaran, gangguan menelan, koma, stroke, kekacauan sistem saraf
pusat, dan selera makan yang buruk. Gizi enteral dapat diberikan melalui mulut
(oral), pipa (sonde), dan enterostomi (esofagustomi, jenunostomi). Makanan
enteral terdiri atas formula rumah sakit dan formula komerisial. Formula rumah
sakit dibuat oleh rumah sakit dari berbagai bahan makanan yang dihaluskan.
Konsistensi, kandungan zay gizi dan osmoralitas formula rumah sakit berubahubah pada saat pembuatannya. Formula komersial merupakan formula yang
telah siap digunakan bergantung pada kebutuhan zat gizi pasien, kebutuhan
cairan, fungsi gastrointestinal, restriksi zat gizi dan kebutuhan tambahan.
Pemberian gizi enteral memiliki kelebihan dibandingkan dengan gizi parenteral.
Keuntungannya yaitu bersifat fisiologis, lebih efektif, komplikasi kurang, energi
tinggi mudah tercapai, teknik pemasangannyamudah dan biayanya murah
(Dir.Jen.Yan.Medik 1999a).
Gizi Parenteral
Gizi parenteral dapat diberikan melalui vena perifer atau vena sentral
kepada pasien yang beresiko melnutrisi tetapi tidak mampu dan/atau tidak boleh
mendapatkan zat gizi melalui saluran cerna. Gizi parenteral disebut gizi
parenteral total jika seluruh kebutuhan zat gizi pasien diberikan lewat vena dan
disebut gizi parenteral parsial jika hanya sebagian kebutuhan zat gizi saja yang
diberikan lewat vena (Hartono 2000).
Pemberian gizi parenteral dapat dilakukan sebagai terapi gizi primer dan
terapi giai suplemental/suportif. Gizi parenteral sebagai terapi gizi primer
diberikan kepada pasien yang tidak mampu mempertahankan, mencerna atau
menyerap makanan. Gizi parenteral sebagai terapi gizi suplemental/suportif
diberikan pada pasien yang bisa makan atau mendapat gizi enteral tetapi tidak
mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Nutrisi parenteral tidak boleh diberikan
pada pasien dengan krisis hemodinamik atau kegagalan pernafasan yang
membutuhkan bantuan respirator (Hartono 2000).
Daya Terima Makanan
Menurut Nasoetion (1980) diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), daya
terima terhadap suatu makanan ditentukan oleh rangsangan yang ditimbulkan
makanan melalui indera penglihat, pencium, pencicip, dan bahkan indera
pendengar. Namun demikian, faktor utama yang akhirnya mempengaruhi daya
penerimaan terhadap makanan adalah rangsangan citarasa yang ditimbulkan
oleh makanan tersebut.
Menurut Lowe diacu dalam Hardinsyah et al. (1989), hal pertama yang
dinilai dari suatu makanan adalah berdasarkan indera penglihat, yaitu meliputi
warna, bentuk, ukuran dan sifat permukaan seperti halus, kasar, berkerut, dan
sebagainya. Selain itu, dinilai penyajian makanan seperti pemilihan alat yang
digunakan, cara menyusun makanan di tempat saji, termasuk penghias hidangan
(Moehyi 1997). Pasien yang selera makannya kurang sebaiknya diberi hidangan
dalam porsi kecil (Beck 1994).
Untuk mengetahui daya terima makanan, dilakukan dengan uji hedonik
skala verbal. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat
atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenangi. Dalam hal ini,
panelis mengemukakan tanggapan senang atau tidaknya terhadap sifat sensorik
atau kualitas yang dinilai pada skala hedonik yaitu suka, biasa, dan tidak suka
(Hardinsyah et al. 1989).
Warna Makanan
Betapapun lezatnya makanan, apabila penampilannya tidak menarik
waktu disajikan, akan mengakibatkan selera orang yang akan memakannya
menjadi hilang. Warna makanan memegang peranan utama dalam penampilan
makanan. Warna daging yang sudah berubah menjadi cokelat kehitaman, warna
sayuran yang sudah berubah menjadi pucat sewaktu disajikan akan menjadi
sangat tidak menarik dan menghilangkan selera untuk memakannya (Moehyi
1992a).
Warna makanan tidak hanya membantu dalam menentukan kualitas,
tetapi dapat pula memberitahukan banyak hal. Warna biasanya merupakan
tanda kemasakan atau kerusakan (Sukarni & Kusno 1980). Penerimaan warna
suatu bahan makanan berbeda-beda tergantung dari faktor alam, geografis, dan
aspek sosial masyarakat penerima (Winarno 1997).
Aroma Makanan
Aroma yang dikeluarkan oleh setiap masakan berbeda-beda. Demikian
pula cara memasak makanan akan memberikan aroma yang berbeda pula.
Aroma makanan banyak menentukan kelezatan bahan makanan tersebut.
Penggunaan panas yang tinggi dalam proses pemasakan makanan yang
digoreng, dibakar, atau dipanggang akan menimbulkan aroma yang harum,
berbeda dengan makanan yang direbus, hampir-hampir tidak mengeluarkan
aroma yang merangsang, dalam hal ini disebabkan senyawa yang memancarkan
aroma sedap larut air (Moehyi 1992a). Umumnya aroma utama yang diterima
oleh hidung dan otak yaitu harum, asam, tengik, dan hangus (Winarno 1997).
Rasa Makanan
Rasa merupakan suatu komponen flavour yang terpenting karena
mempunyai pengaruh yang dominan. Pada citarasa lebih banyak melibatkan
indera kecapan (lidah). Penginderaan kecapan dapat dibagi menjadi empat rasa
utama, yaitu asin, manis, pahit dan asam. Masakan yang mempunyai variasi
keempat macam rasa tersebut lebih disukai daripada hanya mempunyai satu
macam rasa yang dominan (Winarno 1997).
Timbulnya respon tidak sama untuk rasa yang berbeda, respon terhadap
rasa asin lebih cepat dibandingkan respon terhadap rasa pahit. Rasa dipengaruhi
oleh beberapa faktor yaitu senyawa kimia, suhu, konsentrasi, dan interaksi
dengan komponen rasa yang lain (Winarno 1997).
Rasa makanan merupakan faktor kedua yang menentukan citarasa
makanan setelah penampilan makanan itu sendiri. Apabila penampilan makanan
yang disajikan merangsang saraf melalui indera penglihatan sehingga mampu
membangkitkan selera untuk memcicipi makanan itu, maka pada tahap
berikutnya citarasa makanan itu akan ditentukan oleh rangsangan terhadap
indera pencium dan indera pengecap (Moehyi 1992a).
Tekstur Makanan
Tekstur dan konsistensi suatu bahan akan mempengaruhi citarasa yang
ditimbulkan oleh bahan tersebut. Berdasarkan penelitian-penelitian yang
dilakukan diketahui bahwa perubahan tekstur dapat mengubah rasa dan bau
yang timbul karena dapat mempengaruhi kecepatan timbulnya rangsangan
terhadap sel respirator olfaktori dan kelenjar air liur (Winarno 1997). Dengan
tesktur kita dapat mengartikan kualitas makanan dengan merasakan apakah
dengan jari, lidah, gigi atau langit-langit (tekak) (Sukarni & Kusno 1980).
Menurut Beck (1994), makanan yang diajikan rumah sakit harus dapat
dimakan dengan mudah, sebaiknya tidak membuat pasien berkutat dengan
daging yang alot atau bersusah payah memisahkan tulang-tulang ikan satu per
satu.
Suhu
Menurut Winarno (1997), suhu mempengaruhi sensitivitas rasa di lidah,
bila suhu tubuh 20oC atau diatas 30oC, sensitivitas rasa pada kuncup cecapan
rasa di lidah berkurang. Makanan sedap dengan suhu panas akan mampu
memancarkan aroma yang sedap, karena bau-bauan baru dapat dikenali bila
berbentuk uap dan molekul-molekul kompunen bau itu harus dapat merangsang
otak, namun makanan yang panas pun dapat merusak kepekaan kuncup
cecapan lidah. Makanan dingin akan membius kuncup cecapan hingga tidak
peka lagi.
Umumnya pada rumah sakit modern untuk mengurangi penurunan suhu
(saat dilakukan distribusi makanan pasien), maka kereta makanan dilengkapi
dengan alat pemanas (Moehyi 1990).
Kebersihan Alat Makan
Pengawasan sanitasi (kebersihan) tidak hanya ditujukan pada bahan
makanan, tetapi juga terhadap peralatan yang digunakan. Sanitasi peralatan
makan perlu diperhatikan, agar tidak ada sisa makanan yang tertinggal atau
menempel pada alat dan menjadi busuk sehingga merupakan tempat yang baik
bagi tumbuhnya bakteri-bakteri (Moehyi 1990). Selain itu, penggunaan alat yang
bersih dalam penyajian makanan akan berpengaruh terhadap sisa makanan,
apabila alat yang digunakan bersih ada kecenderungan makanan yag diberikan
habis dimakan (Noras 2000). Semua sendok garpu, piring dan baki yang dipakai
harus bersih (Beck 1994).
Hal yang juga perlu diperhatikan dalam penggunaan alat penyajian
makanan adalah harus sesuai dengan volume makanan yang disajikan, agar
tidak terlihat terlalu banyak atau terlalu sedikit (Noras 2000).
Uji Kesukaan (Uji Hedonik)
Uji kesukaan disebut juga uji hedonik, dilakukan apabila uji didesain untuk
memilih satu produk diantara produk lain secara langsung. Uji ini juga dapat
digunakan ketika peneliti ingin menentukan status afeksi sebuah produk,
misalnya seberapa besar kesukaan konsumen terhadap produk. Pada proses
penilaiannya, panelis dimintakan tanggapan pribadinya tentang kesukaan atau
sebaliknya (ketidaksukaan) (Setyaningsih 2010).
Selain
panelis
mengemukaan
tanggapan
senang,
suka
atau
kebalikannya, mereka juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat-tingkat
kesukaan ini disebut skala hedonik. Misalnya, dalam hal “suka” dapat
mempunyai skala hedonik seperti: amat sangat suka, sangat suka, suka, dan
agak suka. Sebaliknya, jika tanggapan itu “tidak suka” dapat mempunyai skala
hedonik seperti suka dan agak suka, terdapat tanggapannya yang disebut
sebagai netral, yaitu bukan suka tetapi juga bukan tidak suka (biasa). Skala
Hedonik dapat direntangkan atau diciutkan menurut rentangan skala yang
dikehendaki. Skala hedonik dapat juga diubah menjadi skala numerik dengan
angka mutu menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik ini, dapat dilakukan
analisis secara parametrik (Setyaningsih 2010).
KERANGKA PEMIKIRAN
Hal yang penting dalam ketersediaan makanan di rumah sakit untuk
pasien penyakit ginjal adalah kebutuhan energi, protein, zat besi, natrium dan
kalium. Konsumsi menu diet pada pasien penyakit ginjal, berpengaruh langsung
pada tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium).
Tingkat konsumsi merupakan perbandingan antara angka konsumsi terhadap
ketersediaan. Jika tingkat konsumsi belum mencapai 100%, maka pelaksanaan
terapi diet pasien secara individu berjalan kurang efektif. Sedangkan, apabila
perbandingan konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium,
kalium) terhadap ketersediaannya mencapai 100%, mengindikasikan bahwa
pasien menjalani terapi dietnya dengan baik. Kontribusi konsumsi makanan luar
rumah sakit dan infus diperhitungkan untuk mengetahui seberapa besar
makanan rumah sakit (makanan RS) yang dikonsumsi dibandingkan dengan total
konsumsi pasien.
Dalam upaya mencapai tingkat konsumsi energi dan zat gizi yang optimal
pada pasien, perlu diketahui daya terima pasien terhadap makanan yang
disajikan di rumah sakit. Pengukuran daya terima subyek terhadap makanan
yang disajikan rumah sakit diperoleh melalui pengisian kuisioner Uji Hedonik
untuk mengukur tingkat kesukaan subyek. Unsur makanan yang diamati maliputi
warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat,
dan variasi menu.
Daya terima yang positif terhadap menu diet diperkirakan dapat
mengurangi minat pasien untuk mengkonsumsi makanan luar rumah sakit serta
dapat mengefektifkan terapi diet pada pasien penyakit ginjal.
Riwayat penyakit
subyek :
Lama penyakit
Ada tidaknya
komplikasi
Status
perawatan RS
Lama perawatan
di RS
Kebutuhan Energi,
Protein, Zat besi,
Natrium, Kalium
Sehari Subyek
Ketersediaan Energi,
Protein, Zat besi,
Natrium, Kalium
Karakteristik subyek:
usia, jenis kelamin, bb,
tb, , status gizi
Jenis Diet
(Makanan yang disajikan
di RS)
Daya terima :
Warna, aroma, rasa
lauk, rasa sayuran,
tekstur, bentuk, suhu,
kebersihan alat, dan
variasi menu
Konsumsi Energi,
protein, zat besi,
natrium, kalium
makanan yang
disajikan
Kontribusi :
1. Energi, P, Fe, Na, K
makanan RS
2. Zat Gizi dari infus
3. Energi, P, Fe, Na, K
makanan luar RS
Selera dan kebiasaan
makan
Tingkat Konsumsi Energi, Protein, Zat besi, Natrium, Kalium :
- Terhadap Ketersediaan
- Terhadap Kebutuhan
Gambar 1 Kerangka pemikiran konsumsi zat gizi dan daya terima pasien rawat inap
penyakit ginjal kronik terhadap makanan yang disajikan RSUP Fatmawati
Keterangan :
= variabel diteliti
= variabel tidak diteliti
= hubungan yang dianalisis
= hubungan yang tidak dianalisis
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat dan Waktu Penelitian
Desain penelitian ini adalah cross sectional study, yaitu pengamatan yang
dilakukan sekaligus pada satu waktu yang tidak berkelanjutan. Penelitian ini
dilaksanakan di RSUP Fatmawati, Jakarta. Penentuan lokasi penelitian dilakukan
secara purposive sampling dengan pertimbangan bahwa RSUP Fatmawati
merupakan RS Badan Layanan Umum yang berfungsi sebagai pusat rujukan
wilayah Jakarta Selatan, memiliki instalasi rawat ginjal, memiliki unit instalasi gizi,
lokasi cukup strategis, mudah dijangkau dan merupakan RS pendidikan.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus-Oktober 2011.
Jumlah dan Cara Pengambilan Subyek
Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien penyakit ginjal rawat
inap IRNA B RSUP Fatmawati. Pemilihan subyek dilakukan secara purposive
sampling, berdasarkan kriteria sebagai berikut:
1. Laki-laki dan wanita yang berusia 17-55 tahun, untuk memudahkan
wawancara dan dapat menilai makanan yang disajikan secara rasional
2. Dalam keadaan sadar dan tidak mengalami gangguan kejiwaan sehingga
dapat berkomunikasi dengan baik
3. Telah dirawat dan sudah mendapat pelayanan makanan dari rumah sakit
minimal selama 2 hari, sehingga subyek telah mengalami penyesuaian
terhadap makanan yang disajikan dan dapat melakukan penilaian
4. Tidak diberikan makanan enteral
5. Bersedia di wawancara
Berdasarkan buku catatan pasien masuk, selama kurun waktu 3 bulan (AprilJuni 2011), populasi penderita penyakit ginjal rawat inap IRNA B RSUP
Fatmawati yaitu 86 orang. Berdasarkan data tersebut, perkiraan jumlah
subyek dihitung menggunakan rumus berikut:
N
n =
2
1 + N (d )
Keterangan:
N = besar populasi
n = besar subyek
d2 = tingkat kepercayaan / ketepatan yang diinginkan (0.1)
Berdasarkan hasil perhitungan, perkiraan jumlah subyek sebesar 46
orang. Sementara itu, dari populasi yang ada di RSUP Fatmawati, telah dipilih
berdasarkan kriteria yaitu 52 orang. Selama penelitian berlangsung, diperoleh
pasien yang memiliki data lengkap sejumlah 50 orang dan ditetapkan sebagai
subyek. Penjelasan lanjut mengenai cara pemilihan subyek dapat dilihat pada
Gambar 2.
Pengunjung RSUP Fatmawati
Rawat Jalan
Rawat Inap
Perkiraan jumlah
subyek = 46 orang
Pasien Rawat Inap di IRNA B RSUP Fatmawati
Kriteria :
* Penyakit ginjal be
* L/P berusia 17-55 thn
* Komunikasi baik
* Telah dirawat min 2 hr
* Tidak diberikan
makanan enteral
* Bersedia diwawancara
Populasi pasien penyakit ginjal kronik di IRNA B
(April – Juni 2011) = 86 orang
Calon subyek 52 orang
Pasien yang
memiliki data
lengkap
Subyek = 50 orang
Gambar 2 Penarikan subyek penelitian
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh melalui pengamatan langsung dan wawancara menggunakan
kuisioner. Data primer yang dikumpulkan yaitu :
1. Karakteristik dan identitas subyek (nama, usia, jenis kelamin, berat badan,
tinggi badan, dan status gizi), riwayat penyakit subyek (lama penyakit, ada
tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama perawatan di
rumah sakit)
2. Gambaran umum instalasi gizi RSUP Fatmawati, penyelenggaraan makanan
dan jenis diet yang diberikan oleh RS
3. Data kebutuhan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
subyek
4. Data ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
dari makanan yang disajikan di rumah sakit dan tingkat ketersediaan
5. Konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) subyek
serta tingkat konsumsi subyek terhadap kebutuhan dan ketersediaan energi
dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
6. Daya terima subyek terhadap makanan yang disajikan dirumah sakit yang
meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu,
kebersihan alat, dan variasi menu.
7. Kontribusi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dari
makanan luar rumah sakit dan atau infus rumah sakit
Data karakteristik, identitas, riwayat penyakit (jenis penyakit, lama
penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama
perawatan) diperoleh dengan wawancara menggunakan kuisioner. Data berat
badan, tinggi badan diperoleh berdasarkan rekam medik. Berat badan subyek
ditimbang menggunakan bathroom scale dan tinggi badan subyek diukur dengan
microtoise. Data status gizi dihitung berdasarkan indeks massa tubuh (IMT)
mengacu pada WHO (1995) dalam Effendi (1998).
Data kebutuhan energi dan zat gizi (protein, zat besi, natrium) diperoleh
dengan cara menghitung kebutuhan masing-masing subyek.
Data ketersediaan makanan yang disajikan RS dikumpulkan selama 3
hari.
Ketersediaan
makanan
RS
diperoleh
dengan
cara
menimbang
(foodweighing method) dan mencatat porsi (URT) makanan RS yang akan
disajikan selama sehari yaitu makan pagi, siang, sore dan makan selingan.
Data konsumsi yang dikumpulkan meliputi konsumsi makanan RS,
makanan luar rumah sakit dan infus.
Data konsumsi makanan RS dikumpulkan selama 3 hari. Konsumsi
makanan RS diperoleh dengan cara menimbang berat makanan sisa dan
mencatat jenis dan berat makanan sesuai standar porsi atau mengamati
makanan yang habis dimakan. Apabila terdapat makanan sisa, data konsumsi
didapatkan dengan cara menghitung ketersediaan dikurangi dengan berat
makanan yang tidak habis dimakan. Tetapi apabila makanan dari rumah sakit
habis dimakan, maka data konsumsi sama dengan ketersediaan.
Data konsumsi makanan luar RS dikumpulkan selama 3 hari. Jenis
makanan dan jumlah konsumsi diperoleh dengan cara recall (mengingat
kembali).
Data konsumsi infus dikumpulkan selama 3 hari. Jenis infus dan
kandungan zat gizi diketahui dengan melihat pada label infus. Jumlah konsumsi
infus diperoleh dengan melihat rekam medik.
Data daya terima terhadap makanan RS dikumpulkan selama 3 hari dan
dimulai minimal pada hari ke-2 subyek dirawat dan mendapatkan pelayanan dari
instalasi gizi. Data daya terima diperoleh melalui pengisian kuisioner Uji Hedonik
Skala Verbal dengan menanyakan penilaian inderawi terhadap sembilan atribut
makanan yaitu warna, aroma, rasa (lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu,
kebersihan alat, dan variasi menu.
Data kontribusi makanan luar rumah sakit diperoleh dengan cara merecall masing-masing subyek. Data kontribusi yang berasal dari infus diperoleh
melalui label informasi kandungan zat gizi yang terdapat pada infus tersebut.
Pengambilan data kontribusi makanan luar rumah sakit dan infus dilakukan
selama 3 hari subyek dirawat.
Data sekunder yang harus dikumpulkan yaitu gambaran umum RSUP
Fatmawati (sejarah, tipe rumah sakit, visi, misi, tugas dan fungsi, pelayanan dan
fasilitas, jumlah tenaga kerja, ruang perawatan dan kapasitas tempat tidur).
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan Data
Data tentang karakteristik subyek yang meliputi jenis kelamin, usia, status
gizi, jenis diet yang diberikan, dan data riwayat penyakit ginjal subyek meliputi
lama penyakit, ada tidaknya komplikasi, status perawatan penyakit dan lama
perawatan di rumah sakit dikelompokkan atas beberapa kategori tertentu, data
selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Jenis, kelompok dan kategori karakteristik subyek
Jenis Data
Kelompok dan Kategori
1. Karakteristik subyek
 Jenis Kelamin
a. Laki-laki
b. Perempuan

Usia
a. Remaja (17-19 tahun)
b. Dewasa awal (20-45 tahun)
c. Dewasa menengah (46-55 tahun)

Status Gizi berdasarkan IMT
2
(kg/m ) (HISOBI 2004, diacu dalam
Tjokoprawiro 2006)
a.
b.
c.
d.
e.
a.
b.
2. Jenis diet yang diberikan
Kurus (<18.5)
Normal (18.5 – 22.9)
At Risk (23 – 24.9)
Obesitas I (25 – 29.9)
Obesitas II (≥30.0)
Diet Rendah Protein (RP)
Diet Diabetes Melitus Rendah
Protein (DMRP)
c. Diet Rendah Garam
3. Riwayat Penyakit Ginjal
a.
b.
c.
d.
e.
<1
1-5
6-10
11-15
> 15

Lama Sakit (tahun)

Ada tidaknya komplikasi
a. Ada
b. Tidak ada

Status pernah dirawat
a. Pernah
b. Tidak pernah

Lama dirawat di RS
a. 3 hari
b. 4-7 hari
c. >7 hari
Kebutuhan energi sehari subyek dihitung menggunakan rumus Total
Daily Energy (TDE) yang mengacu pada Almatsier (2004).
TDE (Kal)= AMB (Kal) X FA X FI
Keterangan: TDE
FA
FI
= Total Daily Energy
= Faktor Aktivitas
= Faktor Injuri
Angka Metablisme Basal (AMB) dihitung menggunakan dua rumus yaitu
AMB berdasarkan Oxford Equation (WKNPG 2004) dan Rumus Cepat menurut
Almatsier (2004). Berikut ini merupakan perhitungannya secara rinci :
Rumus AMBRumus Cepat:
AMB Pria (Kal)
AMB Wanita (Kal)
= 30 Kal x kg BB
= 25 Kal x kg BB
Keterangan : BB = berat badan (kg)
Tabel 7 Rumus AMB berdasarkan Oxford equation
Jenis Kelamin
Usia
Rumus AMB Oxford Equation
Pria
17-18 thn
19-29 thn
30-55 thn
17-18 thn
19-29 thn
30-55 thn
(88.5-61.9U)+26.7B(FA)+903TB+25
(16.8B+498)
(16.0B+462)
(88.5-61.9U)+26.7B(FA)+903TB+25
(13.4B+517)
(9.59B+687)
Wanita
Keterangan: U = usia (tahun), B = berat badan (kg), TB = tinggi badan (cm)
Penetapan faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) menurut Hartono
(2000), dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Faktor aktifitas (FA) dan faktor injuri (FI) untuk menetapkan kebutuhan energi
orang sakit
No. Jenis Aktfitas
Faktor
1
Tirah baring
2
Ambulasi
No. Jenis Injuri
o
1
Demam, per 1 C
2
Infeksi sedang
3
Infeksi berat
4
Gagal hati
5
Stroke
6
Hipoglikemik
7
Gagal ginjal kronik (non-Doalisis)
8
Hemodialisis
9
Bedah elektif tanpa komplikasi
Sumber: Asuhan Nutrisi Rumah Sakit (Hartono 2000)
1,2
1.,3
Faktor
1,13
1,2-1,3
1,4-1,5
1,5
1,1
1,0
1
1-1,05
1,1
Kebutuhan protein untuk subyek penyakit ginjal kronik, telah ditetapkan
oleh RS. Jumlah kebutuhan protein subyek per hari yaitu 40 g. Penetapan
kebutuhan protein tersebut mengacu pada Diet Rendah Protein III yang diberikan
kepada pasien dengan penyakit ginjal (Almatsier 2004).
Kebutuhan zat besi mengacu pada angka kecukupan zat besi
berdasarkan WKNPG (2004). Angka kecukupan zat besi untuk pria berusia 17-55
tahun adalah 13mg/hari. Angka kecukupan zat besi untuk wanita berusia 16-49
tahun yaitu 26 mg/hari dan usia 50-55 tahun sebesar 12 mg/hari.
Kebutuhan natrium mengacu pada rekomendasi konsumsi natrium
harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis
yaitu 3000 mg (Greene dan Thomas 2008).
Kebutuhan kalium mengacu pada rekomendasi konsumsi kalium harian
bagi pasien penderita gagal ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 2500
mg (Greene dan Thomas 2008).
Data ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium,
kalium) dihitung dengan weighing method (Suhardjo, Hardinsyah, & Riyadi 1988),
serta dianalisis menggunakan Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan Makanan
(Hardinsyah dan Briawan 1994).
Tingkat ketersediaan energi dihitung dengan cara angka ketersediaan
energi dibagi dengan kebutuhan energi kemudian dikalikan 100%.
Tingkat ketersediaan protein dihitung dengan cara angka ketersediaan
protein dibagi dengan kebutuhan protein kemudian dikalikan 100%.
Tingkat ketersediaan zat besi dihitung dengan cara angka ketersediaan
zat besi dibagi dengan angka kebutuhan zat besi yang mengacu pada AKG
dalam WKNPG (2004) kemudian dikalikan 100%.
Tingkat ketersediaan natrium dihitung dengan cara angka ketersediaan
natrium dibagi dengan kebutuhan natrium yang mengacu pada rekomendasi
konsumsi natrium harian bagi pasien penderita gagal ginjal kronik (Greene dan
Thomas 2008) kemudian dikalikan 100%.
Tingkat
ketersediaan
kalium
dihitungan
dengan
cara
angka
ketersediaan kalium dibagi dengan kebutuhan kalium yang mengacu pada
rekomendasi konsumsi kalium harian pasien penderita gagal ginjal kronik dengan
hemodialisis (Greene dan Thomas 2008) kemudian dikalikan 100%.
Tingkat Ketersediaan Energi
Tingkat Ketersediaan Protein
Tingkat Ketersediaan Zat Besi
Tingkat Ketersediaan Natrium
Tingkat Ketersediaan Kalium
= Jumlah Energi Makanan yang disajikan RS
Kebutuhan Energi
= Jumlah Protein Makanan yang disajikan RS
Kebutuhan Protein
= Jumlah Zat Besi Makanan yang disajikan RS
Kebutuhan Zat Besi
= Jumlah Natrium Makanan yang disajikan RS
Kebutuhan Natrium
= Jumlah Kalium Makanan yang disajikan RS
Kebutuhan Kalium
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
Tingkat ketersediaan energi dan protein dikategorikan menjadi tiga
(Hardinsyah dan Briawan 1994), yaitu:
1. Defisit (<90% angka kebutuhan)
2. Normal (energi=90-110% angka kebutuhan, protein=90-120% angka
kebutuhan)
3. Lebih (energi>110% angka kebutuhan, protein>120% angka kebutuhan)
Konsumsi makanan RS dihitung dengan cara mengamati ada tidaknya
sisa makanan yang disediakan rumah sakit. Apabila habis dimakan, maka
konsumsi makanan RS sama dengan angka ketersediaan. Apabila terdapat sisa
makanan, maka konsumsi subyek didapat dengan cara mengurangi angka
ketersediaan dengan berat makanan yang tidak habis dimakan. Berat makanan
sisa yang tidak habis dimakan diketahui dengan menimbang langsung atau
menggunakan pendekatan URT kemudian makanan yang habis dimakan
maupun makanan sisa, dianalisis dengan Daftar Kandungan Zat Gizi Bahan
Makanan.
Tingkat konsumsi yang diamati yaitu tingkat konsumsi subyek terhadap
ketersediaan dan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi dihitung dengan cara
jumlah energi yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan energi dari makanan
RS kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein dihitung dengan cara
jumlah protein yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan protein dari
makanan RS kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat besi dihitung dengan
cara jumlah zat besi yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan zat besi dari
makanan RS kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan natrium dihitung dengan
cara jumlah natrium yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan natrium dari
makanan RS kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan kalium dihitung dengan cara
jumlah kalium yang dikonsumsi dibagi dengan ketersediaan kalium dari makanan
RS kemudian dikalikan 100%.
Tingkat Konsumsi Energi
Tingkat Konsumsi Protein
Tingkat Konsumsi Zat Besi
Tingkat Konsumsi Natrium
Tingkat Konsumsi Kalium
= Jumlah Energi Mkn. RS yang dikonsumsi
Jumlah Energi Mkn. RS yang disajikan
= Jumlah Protein Mkn. RS yang dikonsumsi
Jumlah Protein Mkn. RS yang disajikan
= Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang dikonsumsi
Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang disajikan
= Jumlah Natrium Mkn. RS yang dikonsumsi
Jumlah Natrium Mkn. RS yang disajikan
= Jumlah Kalium Mkn. RS yang dikonsumsi
Jumlah Kalium Mkn. RS yang disajikan
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap ketersediaan
dikategorikan menjadi empat (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996), yaitu:
1. Defisit tingkat berat (<70% angka ketersediaan)
2. Defisit tingkat sedang (70-79% angka ketersediaan)
3. Defisit tingkat ringan (80-89% angka ketersediaan)
4. Normal (90-100% angka ketersediaan)
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dihitung dengan cara
jumlah energi yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan
energi kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein dihitung dengan cara
jumlah protein yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan
protein kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi dihitung dengan cara
jumlah zat besi yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan zat
besi kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan natrium dihitung dengan cara
jumlah natrium yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan
natrium kemudian dikalikan 100%.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan kalium dihitung dengan cara
jumlah kalium yang dikonsumsi dari makanan RS dibagi dengan kebutuhan
kalium kemudian dikalikan 100%.
Tingkat Konsumsi Energi
Tingkat Konsumsi Protein
Tingkat Konsumsi Zat Besi
Tingkat Konsumsi Natrium
Tingkat Konsumsi Kalium
= Jumlah Energi Mkn. RS yang dikonsumsi
Kebutuhan Energi
= Jumlah Protein Mkn. RS yang dikonsumsi
Kebutuhan Protein
= Jumlah Zat Besi Mkn. RS yang dikonsumsi
Kebutuhan Zat Besi
= Jumlah Natrium Mkn. RS yang dikonsumsi
Kebutuhan Natrium
= Jumlah Kalium Mkn. RS yang dikonsumsi
Kebutuhan Kalium
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
x 100%
Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap kebutuhan
dikategorikan menjadi lima (Direktorat Bina Gizi Masyarakat 1996), yaitu:
1. Defisit tingkat berat (<70% angka kebutuhan)
2. Defisit tingkat sedang (70-79% angka kebutuhan)
3. Defisit tingkat ringan (80-89% angka kebutuhan)
4. Normal (90-119% angka kebutuhan)
5. Lebih (≥ 120% angka kebutuhan)
Klasifikasi tingkat ketersediaan dan tingkat konsumsi energi dan zat gizi
lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9 Jenis data dan klasifikasi ketersediaan, kebutuhan dan konsumsi
Jenis Data
Klasifikasi
1. Tingkat ketersediaan energiprotein
(Hardinsyah
dan
Briawan 1994)
a. Kurang (<90% angka kebutuhan)
b. Normal
(energi=90-110%
angka
kebutuhan,
protein=90-120%
angka
kebutuhan)
c. Lebih (energi>110% angka kebutuhan,
protein>120% angka kebutuhan)
2. Tingkat ketersediaan natrium,
zat besi dan kalium
a. Dibawah angka kebutuhan (%)
b. Sesuai angka kebutuhan (%)
c. Diatas angka kebutuhan (%)
3. Tingkat konsumsi terhadap
ketersediaan energi dan zat
gizi lain (protein, zat besi,
natrium,
kalium)(Direktorat
Bina Gizi Masyarakat 1996)
a. Defisit tingkat berat (<70% angka
ketersediaan)
b. Defisit tingkat sedang (70-79% angka
ketersediaan)
c. Defisit tingkat ringan (80-89% angka
ketersediaan)
d. Normal (90-100% angka ketersediaan)
4. Tingkat konsumsi terhadap
kebutuhan (Direktorat Bina
Gizi Masyarakat 1996)
a. Defisit tingkat berat (<70% angka
kebutuhan)
b. Defisit tingkat sedang (70-79% angka
kebutuhan)
c. Defisit tingkat ringan (80-89% angka
kebutuhan)
d. Normal (90-119% angka kebutuhan)
e. Diatas angka kebutuhan (≥ 120% angka
kebutuhan)
Penilaian daya terima terhadap makanan yang disajikan rumah sakit
diuji dengan Uji Hedonik Skala Verbal dengan menanyakan penilaian indrawi
terhadap sembilan atribut makanan. Atribut makanan yaitu warna, aroma, rasa
(lauk dan sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu.
Penilaian tingkat kesukaan masing-masing atribut makanan diukur dengan tiga
skala, yaitu suka, biasa, dan tidak suka. Setiap jawaban pertanyaan jika
menjawab tidak suka mendapatkan skor 1, jika menjawab biasa mendapatkan
skor 2, jika menjawab suka mendapatkan skor 3 (Hardinsyah et al. 1989).Total
nilai atribut makanan selama 3 hari dijumlahkan sehingga menghasilkan total
nilai terendah yaitu 27 (1TS x 3hari x 9atribut) dan tertinggi 81 (3S x 3hari x 9atribut).
No
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Tabel 10 Skor pengolahan data daya terima subyek terhadap makanan RS
Penilaian
Skor (Pagi/Siang/Malam)
Tidak Suka
Biasa
Suka
Warna
1
2
3
Aroma
1
2
3
Tekstur
1
2
3
Bentuk
1
2
3
Rasa Lauk
1
2
3
Rasa Sayur
1
2
3
Suhu
1
2
3
Variasi Menu
1
2
3
Kebersihan Alat
1
2
3
Total
9
18
27
Hari Pengamatan (3)
9 x 3 = 27
18 x 3 = 54
27 x 3 = 81
Nilai daya terima subyek terhadap makanan RS dihitung dengan cara
nilai subyek dikurangi dengan nilai minimal (27) kemudian dibagi dengan hasil
pengurangan antara nilai maksimal (81) dengan nilai minimal. Total nilai setiap
atribut makanan tiap subyek dikonversikan sehingga berada pada rentang 0
hingga 100% menggunakan rumus (Sukandar, diacu dalam Primadhani 2006):
(nilai subyek – nilai minimal)
y=
x 100%
(nilai maksimal – nilai minimal)
Daya terima (y) diklasifikasi menjadi tiga, yaitu:
1. Daya terima rendah apabila y < 25%
2. Daya terima sedang apabila 25% ≤ y ≥ 54%
3. Daya terima tinggi apabila y > 54%
Makanan luar RS yang dikonsumsi dihitung dengan mengkonversi
jumlah makanan luar yang dikonsumsi (URT) dengan menggunakan nutrition fact
dan Daftar Komposisi Bahan Makanan.
Infus yang dikonsumsi dihitung dengan cara mengalikan jumlah infus
selama sehari dengan kandungan zat gizi yang terdapat pada label infus.
Kontribusi konsumsi makanan RS dihitung dengan cara konsumsi
makanan RS dibagi dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan luar
RS+infus).
Kontribusi konsumsi energi makanan RS dihitung dengan cara
konsumsi energi makanan RS dibagi dengan total konsumsi energi sehari
(makanan RS+makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi protein makanan RS dihitung dengan cara
konsumsi protein makanan RS dibagi dengan total konsumsi protein sehari
(makanan RS+ makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi zat besi makanan RS dihitung dengan cara
konsumsi zat besi makanan RS dibagi dengan total konsumsi zat besi sehari
(makanan RS+ makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi natrium makanan RS dihitung dengan cara
konsumsi natrium makanan RS dibagi dengan total konsumsi natrium sehari
(makanan RS+ makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi kalium makanan RS dihitung dengan cara
konsumsi kalium makanan RS dibagi dengan total konsumsi kalium sehari
(makanan RS+makanan luar RS+infus).
Kontribusi Kons. Energi Mkn. RS (%)
= Kons. E Mkn. RS x 100%
Kons. E (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Protein Mkn. RS (%) = Kons. Prot. Mkn. RS x 100%
Kons. Prot (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Zat Besi Mkn. RS (%) = Kons. Fe Mkn. RS x 100%
Kons. Fe (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Natrium Mkn. RS (%) = Kons. Na Mkn. RS x 100%
Kons. Na (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Kalium Mkn. RS (%) = Kons. K Mkn. RS x 100%
Kons. K (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi konsumsi makanan luar RS dihitung dengan cara konsumsi
makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan
luar RS+infus).
Kontribusi konsumsi energi makanan luar RS dihitung dengan cara
konsumsi energi makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi energi sehari
(makanan RS+makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi protein makanan luar RS dihitung dengan cara
konsumsi protein makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi protein sehari
(makanan RS+ makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi zat besi makanan luar RS dihitung dengan cara
konsumsi zat besi makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi zat besi sehari
(makanan RS+ makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi natrium makanan luar RS dihitung dengan cara
konsumsi natrium makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi natrium sehari
(makanan RS+ makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi kalium makanan luar RS dihitung dengan cara
konsumsi kalium makanan luar RS dibagi dengan total konsumsi kalium sehari
(makanan RS+makanan luar RS+infus).
Kontribusi Kons. Energi Mkn. Luar RS (%) = Kons. E Mkn. Luar RS x 100%
Kons. E (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Protein Mkn. Luar RS (%) = Kons. Prot. Mkn. Luar RS x 100%
Kons. Prot (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Zat Besi Mkn.Luar RS (%) = Kons. Fe Mkn. Luar RS x 100%
Kons. Fe (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Natrium Mkn. Luar RS (%) =Kons. Na Mkn. Luar RS x 100%
Kons. Na (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi Kons. Kalium Mkn. Luar RS (%) = Kons. K Mkn. Luar RS x 100%
Kons. K (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Kontribusi konsumsi infus dihitung dengan cara konsumsi infus dibagi
dengan total konsumsi sehari (makanan RS+ makanan luar RS+infus).
Kontribusi konsumsi energi infus dihitung dengan cara konsumsi energi
infus dibagi dengan total konsumsi energi sehari (makanan RS+makanan luar
RS+ infus).
Kontribusi konsumsi protein infus dihitung dengan cara konsumsi
protein infus dibagi dengan total konsumsi protein sehari (makanan RS+
makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi zat besi infus dihitung dengan cara konsumsi zat
besi infus dibagi dengan total konsumsi zat besi sehari (makanan RS+ makanan
luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi natrium infus dihitung dengan cara konsumsi
natrium infus dibagi dengan total konsumsi natrium sehari (makanan RS+
makanan luar RS+ infus).
Kontribusi konsumsi kalium infus dihitung dengan cara konsumsi
kalium infus dibagi dengan total konsumsi kalium sehari (makanan RS+makanan
luar RS+infus).
Kontribusi Kons. Energi infus (%)
Kontribusi Kons. Protein infus (%)
Kontribusi Kons. Zat Besi infus (%)
Kontribusi Kons. Natrium infus (%)
Kontribusi Kons. Kalium infus (%)
= Kons. E infus x 100%
Kons. E (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
= Kons. Prot. Infus x 100%
Kons. Prot (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
= Kons. Fe infus x 100%
Kons. Fe (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
= Kons. Na infus x 100%
Kons. Na (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
= Kons. K infus x 100%
Kons. K (Mkn. RS + Mkn. Luar RS + Infus)
Analisis Data
Data yang diperoleh diolah dan dianalisis secara statistika deskriftif
dengan menggunakan program komputer Microsoft Excell dan SPSS 16.0 for
Windows. Hubungan daya terima makanan RS dengan konsumsi energi dan zat
gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) dianalisis melalui persentase tingkat
konsumsi dengan persentase daya terima menggunakan uji korelasi Spearman
melalui program SPSS 16.0 for Windows.
Definisi Operasional
Lama rawat adalah jumlah hari rawat subyek menjalani rawat inap di RS sampai
saat wawancara
Penyelenggaraan makanan RS adalah serangkaian kegiatan perencanaan
menu, pembelian, penyimpanan bahan makanan, pengolahan makanan,
pemorsian, distribusi, penyajian, dan pengolahan sisa bahan makanan
maupun makanan pasien
Siklus menu adalah perputaran menu atau hidangan yang akan disajikan rumah
sakit dalam jangka waktu tertentu
Makanan luar RS adalah makanan yang dikonsumsi subyek selain makanan
yang disajikan RS
Makanan parenteral (infus) adalah makanan dalam bentuk formula parenteral
yang diberikan RS kepada pasien
Konsumsi sehari adalah penjumlahan konsumsi energi dan zat gizi lain dari
makanan RS, luar RS dan infus selama sehari
Standar porsi adalah porsi yang dihitung berdasarkan kebutuhan zat gizi bagi
setiap orang sehari dan digunakan sebagai patokan kebutuhan zat gizi
Ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
dari makanan RS untuk subyek ditiap kelas perawatan dalam satu hari
Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium,
kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium,
kalium) dari makanan yang disajikan RS untuk subyek selama satu hari
Angka kebutuhan energi dan dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium,
kalium) adalah jumlah energi dan zat gizi (protein, zat besi, natrium,
kalium) yang dibutuhkan oleh tubuh seseorang agar hidup sehat dan dapat
melakukan fungsi fisiologis
Angka kecukupan energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
adalah jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
rata-rata yang dianjurkan untuk dikonsumsi agar hidup sehat setiap hari
bagi hampir semua populasi menurut kelompok umur, jenis kelamin, dan
kondisi fisiologis agar tercegah dari kekurangan atau defisiensi dan
kelebihan zat gizi
Konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) adalah
jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang
dikonsumsi oleh subyek dalam waktu satu hari
Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
terhadap ketersediaan adalah perbandingan jumlah energi dan zat gizi
lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang dikonsumsi dari RS terhadap
jumlah energi dan zat gizi (protein, zat besi,natrium) dari makanan yang
disajikan RS
Tingkat konsumsi energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium)
terhadap kebutuhan adalah perbandingan jumlah energi dan zat gizi lain
(protein, zat besi, natrium, kalium) yang dikonsumsi dari RS terhadap
jumlah energi dan zat gizi lain (protein, zat besi, natrium, kalium) yang
dibutuhkan masing-masing subyek
Uji Hedonik adalah uji untuk menentukan tingkat kesukaan subyek terhadap
makanan yang disajikan
Daya terima subyek adalah penilaian inderawi subyek terhadap sembilan unsur
makanan. Unsur makanan tersebut meliputi warna, aroma, rasa (lauk dan
sayuran), tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu
Warna makanan adalah reaksi atau tanggapan indera penglihatan subyek
terhadap keserasian warna menu makanan yang disajikan
Aroma makanan adalah reaksi atau tanggapan indera pencium subyek terhadap
bau yang ditimbulkan menu makanan yang disajikan
Rasa makanan adalah reaksi atau tanggapan indera pengecap subyek terhadap
menu makanan yang disajikan
Tekstur makanan adalah struktur makanan yang dapat dirasakan didalam mulut
Bentuk makanan adalah reaksi atau tanggapan indera penglihatan subyek
terhadap rupa menu makanan yang disajikan
Suhu makanan adalah temperatur menu makanan yang disajikan RS
Kebersihan alat makan adalah penampakan dari makanan yang disajikan yaitu
tidak tercecer di baki, alat hidang yang bersih dan penempatan makanan
yang rapih di baki
Variasi menu adalah keanekaragaman menu yang digunakan pada makanan
RS
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum RSUP Fatmawati
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati terletak diwilayah Jakarta
Selatan dengan luas bangunan 57.457,50 m2 dan luar tanah 13 Ha. RSUP
Fatmawati merupakan Badan Layanan Umum (BLU) yang berfungsi sebagai
pusat rujukan bagi wilayah Jakarta Selatan dan juga berfungsi sebagai rumah
sakit pendidikan.
Gambar 3 Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati, Jakarta Selatan
Sejarah dan Tipe RSUP Fatmawati
Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Fatmawati bermula dari gagasan Ibu
Fatmawati Soekarno yang saat itu sebagai Ibu Negara Republik Indonesia yang
bermaksud mendirikan sebuah Rumah Sakit Tuberculose anak-anak, untuk
perawatan anak penderita TBC serta tindakan rehabilitasinya. Peletakan batu
pertama pembangunan Rumah Sakit TBC khusus anak-anak dilakukan oleh Ibu
Fatmawati Soekarno pada tanggal 2 Oktober 1954.
Melalui dana yang dihimpun oleh Yayasan Ibu Soekarno dan bantuan dari
Yayasan Dana Bantuan Kementerian Sosial RI dilaksanakan pembangunan
Gedung Rumah Sakit Ibu Soekarno. Kementerian Kesehatan RI melanjutkan
pembangunan gedung RS Ibu Soekarno hingga selesai dan dapat difungsikan
sebagai rumah sakit. Fungsi rumah sakit tersebut berubah menjadi Rumah Sakit
Umum seperti ketentuan dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI, Nomor
21286/KEP/121 tanggal 12 April 1961.
Pada tanggal 20 Mei 1967 oleh Menteri Kesehatan RI, Prof Dr. G.A.
Siwabesi, nama RSU Ibu Soekarno diganti menjadi RSU Fatmawati, dan dengan
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 294/menkes/SK/V/1984 tanggal 20 Mei
1984, RSU Fatmawati ditetapkan sebagai Pusat Rujukan Wilayah Jakarta
Selatan. Setelah keluarnya Keputusan Presiden RI Nomor 38 tahun 1991 pada
tanggal 25 Agustus 1991 tentang Unit Swadana, maka RSU Fatmawati
melakukan berbagai persiapan, sehingga Menteri Keuangan RI mengeluarkan
surat persetujuan penetapan RSU Fatmawati menjadi unit Swadana, Nomor S901/MK013/1992.
Berdasarkan surat tersebut, RSU Fatmawati ditetapkan menjadi Rumah
Sakit Swadana Bersyarat, dua tahun mulai 1 Agustus 1992 berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 745/Menkes/SK/IX/1992, tanggal 2
September
1992.
Dengan
Keputusan
Menteri
Kesehatan
RI
Nomor
551/Menkes/SK/VI/1994, tanggal 13 Juni 1994, ditetapkan Struktur Organisasi
dan Tata Kerja RSUP Fatmawati sebagai Rumah Sakit Umum Kelas B
Pendidikan, sesuai dengan Keputusan Menkes Nomor 983/Menkes/SK/IX/1992
tanggal 12 November 1992 tentang Pedoman Organisasi Rumah Sakit Umum.
Tahun
2010,
melalui
1243/Menkes/SK/VIII/2010
Keputusan
Menteri
Kesehatan
tanggal
Agustus
2010,
11
RSUP
RI
Nomor
Fatmawati
ditetapkan sebagai Rumah Sakit Kelas A Pendidikan.
Visi, Misi, dan Struktur Organisasi
Visi RSUP Fatmawati adalah menjadi Rumah sakit terkemuka yang
memberikan pelayanan yang melampaui harapan pelanggan. Sedangkan Misi
yang ditegakkan oleh RSUP Fatmawati antara lain memberikan pelayanan
kesehatan yang sesuai dengan standar pelayanan kesehatan yang sesuai
dengan standar pelayanan dan dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat
dengan
unggulan
orthopedi
dan
rehabilitasi
medik;
memfasilitasi
dan
meningkatkan pendidikan, pelatihan dan penelitian untuk pengembangan sumber
daya
manusia
dan
pelayanan.
Menyelenggarakan
administrasi
dan
penatakelolaan rumah sakit yang efisien serta akuntabel; melaksanakan
pengelolaan keuangan yang efektif, fleksibel berdasarkan prinsip ekonomi dan
produktifitas dan penerapan praktek bisnis yang sehat; mengutamakan
keselamatan pasien dan lingkungan yang sehat; serta meningkatkan semangat
persatuan dan kesejahteraan sumber daya rumah sakit.
RSUP Fatmawati diawasi oleh dewan pengawas dan dipimpin oleh
seorang direktur utama yang dibantu oleh 3 direktur yaitu direktur medik dan
keperawatan, direktur umum, SDM dan pendidikan, dan direktur keuangan.
Direktur utama juga membawahi komite etika dan hukum, komite mutu dan
pengembangan, komite medik, komite keperawatan dan satuan pengawasan
intern. Ketiga wakil direktur bertanggung jawab dibeberapa instalasi dan
membawahi beberapa bidang dan bagian komite-komite tersebut membawahi
beberapa bidang dan bagian.
Pelayanan Medis, Fasilitas Pelayanan dan Pelayanan Penunjang
Pelayanan medis yang terdapat di RSUP Fatmawati meliputi pelayanan
unggulan, pelayanan terpadu, pelayanan pemeliharaan dan klinik dokter
spesialis. Pelayanan Unggulan terdiri atas Bedah Orthopaedi dan Rehabilitasi
Medis, Rawat Darurat, Rawat Jalan, Rawat Inap. Pelayanan Terpadu terdiri atas
Poli VCT, Tumbuh Kembang, Klinik Remaja, Perinatal Resiko Tinggi, dan lainlain. Pelayanan Pemeliharaan Kesehatan terdiri atas MCU dan klub.
Pada bagian pelayanan kesehatan untuk pasien inap, RSUP Fatmawati
memiliki beberapa kelas perawatan. Kapasitas seluruh tempat tidur untuk pasien
rawat inap berjumlah 750 unit. Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas
perawatan di RSUP Fatmawati ditampilkan dalam Tabel 11.
Tabel 11 Jumlah kapasitas tempat tidur berdasarkan kelas perawatan
Kelas
Jumlah Tempat Tidur (unit)
Super VIP
4
VIP
33
VIP (IRNA A dan IRNA C)
8
Unit Stroke
4
Kelas I
37
CEU
10
ICU
12
NICU
2
PICU
2
Kelas II Umum
128
Kelas II High Care
16
Kelas III
477
Jumlah
750
Fasilitas pelayanan terdiri atas Unit Emergensi, Instalasi Rawat Jalan,
Instalasi Rawat Inap, Instalasi Bedah Sentral, Intersive Care Unit (ICU), Cardiac
Emergency Unit (CEU), Haemodialisa, NICU/PICU, Medical Check Up (MCU).
Pelayanan Unggulan Terpadu (Poli Konseling OHDA Wijaya Kusuma, Klinik
Tumbuh Kembang, Klinik Kesehatan Remaja, Kanker/PPKT). Selain itu terdapat
pula Praktek Dokter Spesialis (PDS), Klub Kesehatan (stroke, asma, diabetes,
osteoporosis, geriatri dan jantung sehat).
Pelayanan penunjang terdiri atas Farmasi/Apotek (24 jam), Laboratorium
Klinik (24 jam), Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Patologi Anatomi,
Radiologi dan Kedokteran Nuklir (CT Scan, C-Arm, Mammography). Diagnosik
Penunjang
(ECG,
EEG,
EMG,
Echo-Cardiograph
Color
dan
Doppler
Audiometric), Instalasi Gizi, Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah serta
Instalasi Sterilisasi dan Sentralisasi Binatu.
Gambaran Umum Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
Visi dan Misi
Instalasi Gizi RSUP Fatmawati dirancangkan selain untuk melayani
makanan bagi pasien rawat inap juga melayani pemesanan makanan diet bagi
masyarakat yang membutuhkan. Bagi yang membutuhkan konsultasi gizi, pasien
dapat datang ke klinik gizi. Upaya yang dilakukan untuk menjamin kebersihan
makanan, proses persiapan makanan serta peralatan yang digunakan mulai dari
pencucian alat makan sampai dengan penataan makanan kedalam insulated tray
dilakukan secara higienis.
Visi Instalasi Gizi RSUP Fatmawati adalah menjadi pusat layanan gizi
yang terbaik dengan memberikan pelayanan melampaui harapan pelanggan.
Adapun misi yang diterapkan antara lain melakukan pelayanan gizi yang meliputi
penyediaan makanan, pelayanan gizi di ruang rawat inap, penyuluhan dan
konsultasi gizi dan pengembangan gizi terapan secara efektif dan efisien dengan
mutu
yang
prima;
memfasilitasi
dan
meningkatkan
pendidikan
untuk
pengembangan sumber daya manusia dan pelayanan gizi; melakukan inovasi
terus menerus dalam bidang pelayanan gizi rumah sakit, serta melakukan usaha
untuk meningkatkan kesejahteraan sumber daya manusia instalasi gizi.
Komponen Ketenagaan
Gambar 4 Instalasi gizi RSUP Fatmawati
Berdasarkan jenis kegiatan, ketenagaan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
terdiri atas dokter spesialis gizi klinik (1), ahli gizi (16), pengatur gizi (3),
administrasi (1), pengolah makanan (28) dan pramusaji (36). Berdasarkan jenis
pendidikan terdiri atas dokter spesialis gizi klinik (1), sarjana pertanian jurusan
gizi (1), sarjana kesehatan ,masyarakat (1), DIV Gizi dan Sarjana Ekonomi (1),
DIV Gizi (2), DIII Gizi (11), D1 Gizi (3), SMA (5), SMKK (26), SMIP (1), KPAA (5),
SMP (21) dan SD (7).
Gambaran Penyelenggaraan Makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
Proses penyelenggaraan makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
terdiri atas beberapa subkegiatan, dimulai dari perencanaan menu, pengadaan
bahan makanan, penyimpanan, proses pengolahan, pemorsian dan distribusi
makanan. Jenis makanan yang disediakan oleh Instalasi Gizi RSUP Fatmawati
dibedakan berdasarkan konsistensinya yaitu makanan biasa, makanan lunak,
makanan saring, blender dan makanan cair. Berdasarkan jenis diet, Instalasi Gizi
menyediakan beberapa jenis diet diantaranya Diet Djantung Rendah Garam
(DDRG), Diet Diabetes Mellitus (DM), Diet Rendah Garam (RG), Diet Tinggi
Kalori Tinggi Protein (TKTP), Diet Rendah Protein (RP), Diet Hati (DH), dan Diet
Lambung (DL).
Perencanaan Menu
Kegiatan perencanaan menu bertujuan untuk menyediakan beberapa
susunan menu yang akan digunakan. Siklus menu yang diterapkan oleh RSUP
Fatmawati yaitu siklus menu 10 hari. Bulan dengan jumlah 31 hari akan
menggunakan menu ke 11. Perputaran menu dilakukan sebanyak tiga kali
dengan pergantian menu yang dilakukan setiap enam bulan. Hal ini dilakukan
agar pasien tidak merasa bosan terhadap menu yang diberikan.
Jenis menu yang diterapkan di RSUP Fatmawati dibagi menjadi dua yaitu
menu pilihan dan menu non pilihan. Menu pilihan diberikan kepada pasien VIP,
dimana menu untuk makan pagi diberikan tiga paket menu pilihan yang dapat
dipilih oleh pasie VIP, sedangkan untuk makan siang dan sore diberikan dua
menu pilihan. Pasien kelas perawatan I, II dan III menggunakan menu non
pilihan atau menu yang telah ditetapkan oleh pihak rumah sakit.
Pembelian dan Pemesanan Bahan Makanan
Pembelian bahan makanan dilakukan oleh tim pengadaan barang non
medik dan gizi. Pelaksanaan pembelian antara lain dilakukan melalui pelelangan
umum dan terbatas, penunjukkan langsung, maupun pembelian langsung.
Pemesanan bahan makanan adalah penyusunan permintaan bahan makanan
berdasarkan menu dan rata-rata jumlah pasien.
Langkah-langkah pemesanan bahan makanan adalah ahli gizi membuat
rekapitulasi kebutuhan bahan makanan untuk esok hari dengan cara mengalikan
standar porsi dengan jumlah pasien, kemudian meminta persetujuan kepala
instalasi gizi. Surat pemesanan tersebut diserahkan kepada rekanan yang telah
ditetapkan. Bahan makanan basah dipesan setiap hari, sementara bahan
makanan kering dipesan 1-2 kali dalam 1 bulan.
Penerimaan, Penyimpanan dan Penyaluran Bahan Makanan
Penerimaan bahan makanan adalah kegiatan yang meliputi pemeriksaan
bahan makanan, pencatatan dan pelaporan kesesuaian kualitas dan kuantitas
bahan makanan yang diterima dengan pesanan dan spesifikasi yang telah
ditetapkan. Penyimpanan bahan makanan adalah suatu tata cara menata,
menyimpan, meemlihara, menjaga keamanan bahan makanan kering dan basah
serta pencatatan dan pelaporannya. Penyaluran bahan makanan adalah tata
cara mendistribusikan bahan makanan berdasarkan permintaan harian, yang
bertujuan agar tersedianya bahan makanan siap pakai dengan kualitas dan
kuantitas yang tepat sesuai kebutuhan.
Persiapan Bahan Makanan
Persiapan bahan makanan merupakan suatu proses dalam rangka
menyiapkan bahan makanan dan bumbu yang siap untuk dimasak sesuai
dengan standar resep serta perlengkapan atau peralatan sebelum dilakukan
pemasakan. Instalasi Gizi RSUP Fatmawati mempunyai ruang persiapan bahan
makanan tersendiri.
Kegiatan persiapan bahan makanan terdiri atas persiapan untuk bahan
hewani, nabati, makanan pokok dan sayuran. Sebelum dimasak, bahan
makanan tersebut melewati tahapan seperti pemotongan dan pencucian.
Persiapan bahan makanan cair di Istalasi Gizi RSUP Fatmawati yaitu mulai dari
pengambilan bahan makanan cair dari gudang harian sesuai dengan kebutuhan.
Bahan untuk makanan blender telah dipersiapkan dan diolah sebelumnya di
dapur pengolahan.
Pengolahan Bahan Makanan
Pengolahan makanan di Instalasi Gizi RSUP Fatmawati memfokuskan
kepada makanan diet untuk pasien rawat inap. Pengolahan dibagi berdasarkan
bagian jenis makanannya yaitu makanan pilihan dan non pilihan.
Proses pengolahan makanan untuk pasien kelas VIP dan kelas I
dilakukan pada satu area dengan tenaga pengolah sebanyak empat orang.
Penggabungan pengolahan antara kelas VIP dan kelas I dilakukan karena
jumlah pasien VIP yang sedikit. Alasan lain yaitu pada hidangan sayur, menu
pasien kelas I mengikuti menu VIP.
Makanan yang diolah untuk kelas perawatan II dan III terdiri atas
makanan biasa dan diet khusus. Penggabungan proses pengolahan makanan
biasa dan diet khusus dikarenakan perbedaan makanan hanya terdapat pada
menu lauk hewani dan nabati saja, sedangkan untuk sayur, jenis hidangannya
sama antara kelas II dan III. Pengolahan makanan biasa dan diet dilakukan oleh
tiga tenaga pengolah. Pengolahan lauk nabati dan hewani untuk penderita DM
dibedakan yaitu tidak menggunakan bumbu seperti kecap ataupun gula. Bagi
pasien dengan Diet Hati, lauk hewani dan nabati yang diberikan diolah tanpa
menggunakan santan. Begitu pula dengan Diet Rendah Garam, penggunaan
garam dibatasi bahkan ada yang tidak menggunakan garam.
Gambar 5 Lauk dan tumisan sebelum diporsikan
Makanan cair yang akan dibuat oleh pengolah sesuai dengan jumlah dan
kebutuhan pasien yang membutuhkan makanan cair pada hari tersebut. Hal ini
diketahui dengan cara pramusaji tiap ruangan memberikan amprahan atau daftar
kebutuhan makan pasien kepada tenaga pekerja yang bekerja di dapur susu.
Cara pengolahan makanan cair yaitu dengan memblender semua bahan yang
diberi sedikit air panas, setelah itu dilakukan pengemasan. Makanan cair yang
berupa susu, pengolah akan mengemas susu bubuk kedalam kemasan-kemasan
kecil yang sudah sesuai dengan takaran dan jumlah pemberian.
Pengolahan makanan selingan pagi dan buah dilakukan hanya untuk
pasien kelas II dan III. Jumlah tenaga yang bekerja pada makanan selingan yaitu
satu orang, sehingga jenis makanan yang dihidangkan hanya berupa makanan
selingan yang mudah dibuat. Salah satu contoh hidangan selingan yang terdapat
di instalasi gizi yaitu agar-agar dan bubur kacang hijau.
Pemorsian Makanan
Proses pemorsian makan pasien dilakukan oleh petugas pengolah makan
atau pekarya serta pramusaji makanan. Proses pemorsian makan pasien untuk
kelas VIP dan kelas I dibedakan dengan tempat pemorsian untuk kelas II dan III.
Pemorsian kelas VIP dilakukan didapur pantry sedangkan pemorsian kelas I, II
dan III dilakukan didapur instalasi gizi. Tempat pemorsian kelas II dan kelas III
dilakukan di atas tray conveyor dengan cara plato disusun kemudian makanan
yang akan diporsikan terlebih dahulu berupa makanan pokok (nasi biasa, nasi
tim, bubur, kentang rebus) beserta buah kemudian lauk hewani, lauk nabati dan
terkahir sayur sesuai dengan etiket pasien. Proses wrapping dilakukan setelah
makanan diporsikan pada plato. Hal ini dilakukan agar makanan terhindar dari
kontaminasi.
Distribusi Makanan
Proses distribusi makanan pasien di RSUP Fatmawati dilakukan secara
sentralisasi dan desentralisasi. Proses sentralisasi dilakukan dengan ketentuan
makanan tiap pasien langsung diporsikan di dapur instalasi gizi. Proses ini
dilakukan untuk pasien kelas I,II dan III, sedangkan pasien kelas VIP
menggunakan sistem desentralisasi yaitu makanan diporsikan di dapur pantry
kemudian didistribusikan ke pasien. Petugas distribusi makanan pasien kelas
VIP, I, II dan III dilakukan oleh pramusaji di tiap lantai ruang rawat inap yang
terdiri dari dua sampai tiga orang.
Gambar 6 Bagian luar dan bagian dalam kereta makan pasien
Karakteristik Subyek
Karakteristik subyek meliputi jenis kelamin, usia dan status gizi. Sebaran
subyek berdasarkan karakteristik disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12 Sebaran subyek berdasarkan karakteristik subyek
Jumlah
Karakteristik Subyek
n
%
Laki-Laki
31
62
Perempuan
19
38
50
100
Remaja
0
0
Dewasa Awal
21
42
Dewasa Menengah
29
58
50
100
Underweight
13
26
Normal
32
64
At Risk
2
4
Obesitas I
3
6
Obesitas II
0
0
50
100
Jenis Kelamin
TOTAL
Usia
TOTAL
Status Gizi
TOTAL
Jenis Kelamin
Total subyek dalam penelitian ini adalah 50 orang. Sebagian besar
subyek (62%) berjenis kelamin laki-laki. Subyek dengan jenis kelamin
perempuan berjumlah 38%.
Usia
Usia subyek dikelompokkan menjadi 3, yaitu remaja (17-19 tahun),
dewasa awal (20–45 tahun) dan dewasa menengah (46-55 tahun). Subyek yang
tergolong usia dewasa awal berjumlah 42% dan yang tergolong dalam usia
dewasa menengah yaitu 58%.
Status Gizi
Status gizi subyek diperoleh dengan menghitung indeks massa tubuh.
Nilai IMT dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu: kurus; normal; at risk;
obesitas I dan obesitas II. Lebih dari separuh subyek (64%) memiliki status gizi
normal. Persentase subyek dengan status gizi kurus yaitu 26% dan 6% tergolong
status gizi obesitas I.
Riwayat Penyakit
Lama Sakit
Lebih dari separuh subyek (58%) telah menderita penyakit ginjal selama
kurun waktu 1 – 5 tahun, sedangkan 30% subyek telah menderita penyakit ginjal
selama 6 – 10 tahun. Persentase subyek yang menderita penyakit ginjal < 1
tahun dan antara kurun 11 – 15 tahun yaitu 4% dan 8%. Secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 13.
Tabel 13 Sebaran subyek berdasarkan lama sakit
Lama Penyakit (thn)
n
%
<1
1–5
6 – 10
11 – 15
> 15
Total
2
29
15
4
0
50
4
58
30
8
0
100
Perubahan lingkungan pada orang yang dirawat dalam waktu lama di RS,
dapat menyebabkan tekanan psikologis pada orang yang bersangkutan. Hal ini
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan rasa mual terhadap makanan yang
disajikan (Subandriyo 1995).
Komplikasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh subyek sudah mengalami
komplikasi. Komplikasi yang menyertai subyek antara lain diabetes mellitus,
hipertensi, anemia, intake sulit, Chronic Heart Failure (CHF), hiperkalemia,
sindrom dispepsia dan asidosis metabolik. Sebaran subyek berdasarkan ada
tidaknya komplikasi ditampilkan dalam Tabel 14.
Tabel 14 Sebaran subyek berdasarkan ada tidaknya komplikasi
Komplikasi
n
%
Ada
Tidak Ada
Total
50
0
50
100
0
100
Status Pernah Dirawat di RS
Status perawatan penyakit ginjal yaitu riwayat pernah atau tidaknya
subyek dirawat di RS karena penyakit ginjal sebelum penelitian dilakukan.
Berdasarkan status perawatan subyek dibedakan menjadi pernah dan tidak
pernah. Subyek yang pernah dirawat di RS karena penyakit ginjal dan yang tidak
pernah dirawat memiliki persentase yang sama yaitu 50%. Sebaran subyek
berdasarkan status perawatan penyakit ginjal ditampilkan dalam Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran subyek berdasarkan status pernah dirawat di RS
Status Perawatan
n
%
Pernah
Tidak Pernah
Total
25
25
50
50
50
100
Lama Dirawat di RS
Lama dirawat di RS dihitung sejak subyek masuk RS hingga saat
dilakukan pengamatan. Lama perawatan subyek dibedakan menjadi 3 hari, 4 -7
hari dan >7 hari. Lebih dari separuh subyek (66%), telah dirawat antara kurun
waktu 4 – 7 hari. Persentase subyek yang telah dirawat selama 3 hari sebesar
28%. Hanya 6% subyek yang telah dirawat >7 hari. Sebaran subyek berdasarkan
lama perawatan di RS disajikan dalam Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran subyek berdasarkan lama dirawat di RS
Lama dirawat
n
%
3 hari
4 – 7 hari
> 7 hari
Total
15
33
3
50
28
66
6
100
Diet yang diberikan RS
Jenis Diet
Jenis diet yang diberikan oleh RS kepada pasien dengan gagal ginjal
kronik dibedakan menjadi 2, yaitu Rendah Protein (RP) dan Diabetes Mellitus
Rendah Protein (DMRP). Diet RP diberikan kepada pasien gagal ginjal kronik
tanpa komplikasi diabetes mellitus sedangkan diet DMRP diberikan kepada
pasien gagal ginjal kronik yang disertai dengan diabetes mellitus. Sebaran
subyek berdasarkan jenis diet yang diberikan RS ditampilkan dalam Tabel 17.
Tabel 17 Sebaran subyek berdasarkan jenis diet yang diberikan RS
Jenis Diet
n
%
RP
DMRP
Total
30
20
50
60
40
100
Lebih dari separuh jumlah subyek (60%) dalam penelitian 60% diberikan
diet RP. Persentase subyek yang mendapatkan diet DMRP yaitu sebesar 40%.
Berdasarkan ketentuan RS, menu pada diet RP dan DMRP sudah termasuk diet
rendah garam (RG). Ketetapan ini diberlakukan untuk membatasi konsumsi
natrium bagi pasien penyakit ginjal kronik.
Gambar 7 Diet RP dan DMRP lunak
Konsistensi Makanan Pokok
Konsistensi diet yang diamati dalam penelitian ini adalah makanan lunak
dan makanan biasa pada masing-masing diet yang diberikan (RP dan DMRP).
Perbedaan konsistensi makanan lunak dan biasa terlihat pada makanan pokok
yang diberikan. Diet dengan konsistensi makanan lunak diberikan makanan
pokok berupa bubur atau nasi tim, sedangkan pada konsistensi makanan biasa,
makanan pokoknya berupa nasi. Tidak ada perbedaan pada lauk maupun sayur
yang disajikan. Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok
disajikan dalam Tabel 18.
Tabel 18 Sebaran subyek berdasarkan konsistensi makanan pokok
Konsistensi Diet
n
%
Lunak
Biasa
Total
42
8
50
84
16
100
Sebagian besar subyek (84%) diberikan diet dengan konsistensi
makanan lunak. Hanya 16% subyek yang diberikan diet dengan konsistensi
makanan biasa.
Kebutuhan Energi dan Zat Gizi Lain
Kebutuhan energi dihitung menggunakan rumus cepat menurut Almatsier
(2004) yang juga digunakan oleh RS dan menggunakan rumus Oxford Equation.
Kebutuhan energi subyek berdasarkan rumus cepat RS berkisar antara 1276
hingga 2580 Kal dengan rata-rata 2003
343 Kal. Sementara itu, kebutuhan
energi subyek berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Oxford Equation
berkisar antara 1228 hingga 2174 Kal dengan rata-rata 1624
189 Kal.
Kebutuhan protein subyek ditetapkan oleh RS yaitu sebesar 40 g. Hasil
perhitungan rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain subyek ditampilkan
dalam Tabel 19.
Tabel 19 Rata-rata kebutuhan energi dan zat gizi lain
Zat Gizi
Rata-rata Kebutuhan
Rata-rata Kebutuhan
(Oxford Equation)
(Rumus Cepat RS)
Energi (Kal)
2003 343
1624 189
Protein (g)
40,0 0,0
40,0 0,0
Zat Besi (mg)
15,9 5,7
15,9 5,7
Natrium (mg)
3000,0 0,0
3000,0 0,0
Kalium (mg)
2500,0 0,0
2500,0 0,0
Kebutuhan zat besi seluruh subyek berkisar antara 12 hingga 26 mg.
Rata-rata kebutuhan zat besi yaitu 15,9
5,7 mg. Kebutuhan natrium dan kalium
diperoleh berdasarkan rekomendasi jumlah natrium dan kalium yang dianjurkan
untuk penderita penyakit ginjal kronik yang menjalani hemodialisis yaitu 3000 mg
natrium dan 2500 mg kalium (Greene dan Thomas 2008).
Perbedaan yang cukup signifikan terlihat pada rata-rata kebutuhan energi
subyek, dimana rata-rata kebutuhan subyek berdasarkan rumus Oxford Equation
lebih kecil dibandingkan dengan perhitungan menggunakan rumus cepat RS.
Perbedaan ini terjadi karena pada perhitungan menggunakan Oxford Equation
dalam menentukan nilai Angka Metabolisme Basal (AMB) digolongkan
berdasarkan jenis kelamin dan kelompok umur, sedangkan perhitungan
menggunakan rumus cepat RS hanya dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin.
Ketersediaan dan Tingkat Ketersediaan Makanan RS
Ketersediaan Makanan RS
Jumlah ketersediaan energi dan zat gizi lain makanan RS diperoleh
dengan menjumlahkan masing-masing zat gizi yang tersedia selama 3 hari
kemudian dirata-ratakan. Rincian rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi
subyek disajikan dalam Tabel 20.
Tabel 20 Rata-rata ketersediaan energi dan zat gizi makanan RS
Zat Gizi
Rata-rata Ketersediaan
Energi (Kal)
Protein (g)
Zat Besi (mg)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
1357
40,8
17,9
256,7
3492,5
190
4,7
3,4
35,4
500,8
Ketersediaan energi seluruh subyek berkisar antara 1069 hingga 1714
Kal dengan rata-rata 1357
190 Kal. Ketersediaan protein berkisar antara 32,1
hingga 56,4 g dengan rata-rata 40,8
4,7 g. Ketersediaan zat besi berkisar
antara 12,8 mg hingga 27,2 mg dengan rata-rata 17,9
3,4 g.
Ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 206,3 hingga 417,5
mg dengan rata-rata 256,7
35,4 mg. Ketersediaan kalium berkisar antara 2484
hingga 4826 mg dengan rata-rata 3492,5
500,8 mg.
Tingkat Ketersediaan Makanan RS
Tingkat ketersediaan energi dan zat gizi lain diperoleh dengan
membandingkan angka ketersediaan zat gizi dengan kebutuhan subyek. Tingkat
ketersediaan energi dan protein dikategorikan menjadi defisit,normal dan lebih.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein ditampilkan
dalam Tabel 21.
Tingkat ketersediaan energi (rumus cepat RS) seluruh subyek berkisar
antara 46,4 hingga 119,5% dengan rata-rata 70,2
17,1%. Berdasarkan hasil
perhitungan, diketahui persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat
ketersediaan energi dengan kategori defisit yaitu sebesar 86%. Hanya 12% dari
keseluruhan subyek yang memiliki tingkat ketersediaan energi dengan kategori
normal dan 2% subyek tergolong kategori lebih.
Sementara itu, tingkat ketersediaan energi (rumus Oxford Equation)
seluruh subyek berkisar antara 54,2 hingga 124,1% dengan rata-rata 84,7
15,6%. Lebih dari separuh jumlah subyek (62%) tergolong kategori defisit. Hanya
30% dari keseluruhan subyek yang memiliki tingkat ketersediaan energi dengan
kategori normal dan 8% subyek tergolong kategori lebih. Ketidaksesuaian
ketersediaan energi dengan kebutuhan subyek diduga karena kurang tepatnya
pemorsian makanan.
Tabel 21 Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan energi dan protein
Energi (rumusRS)
Energi (rumusOE)
Protein
Tingkat Ketersediaan
Defisit
Normal
Lebih
Total
n
%
n
%
n
%
43
6
1
50
86
12
2
100
31
15
4
50
62
30
8
100
5
41
4
50
10
82
8
100
Keterangan : rumusRS = rumus yang digunakan oleh rumah sakit
rumusOE = rumus Oxford Equation
Tingkat ketersediaan protein seluruh subyek berkisar antara 80,1 hingga
141,1% dengan rata-rata 102
11,8%. Persentase terbesar subyek terdapat
pada tingkat ketersediaan protein dengan kategori normal (90 – 120% dari angka
kebutuhan) yaitu sebesar 82%. Persentase terkecil subyek terdapat pada tingkat
ketersediaan protein dengan kategori defisit (< 90%dari angka kebutuhan) yaitu
sebesar 10%. Hal ini menunjukkan ketersediaan protein RS sudah sesuai
dengan kebutuhan pasien penyakit ginjal kronik. Pembatasan protein pada
pasien penyakit ginjal kronik dan pasien nefropati diabetik merupakan hal yang
penting. Pemberian diet rendah protein bertujuan untuk mempertahankan fungsi
ginjal. Saat ini, anjuran konsumsi protein 0,8 g/kgBB/hari, kurang atau sama
dengan 10% dari total energi. Sebagian besar protein (50%) bernilai biologis
tinggi (IKCC 2007).
Hasil
penelitian
Primadhani
(2006)
menunjukkan
bahwa
tingkat
ketersediaan energi dan protein pada pasien penyakit dalam kelas III RS Cipto
Mangunkusumo sebagian besar tergolong defisit. Sementara itu, penelitian
Ratnasari (2003) menyebutkan bahwa tingkat ketersediaan energi pasien
penyakit dalam di RSUD Kabupaten Cilacap 55,3% tergolong defisit dan 2,1%
tergolong defisit protein.
Tabel 22 Sebaran subyek berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium
Zat Besi
Natrium
Kalium
Tingkat Ketersediaan
Dibawah kebutuhan
Sesuai kebutuhan
Diatas kebutuhan
Total
n
%
n
%
n
%
12
8
30
50
24
16
60
100
50
0
0
50
100
0
0
100
1
1
48
50
2
2
96
100
Tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium dikategorikan menjadi
dibawah kebutuhan, sesuai kebutuhan dan diatas kebutuhan. Sebaran subyek
berdasarkan tingkat ketersediaan zat besi, natrium dan kalium disajikan dalam
Tabel 22.
Hasil perhitungan menunjukkan tingkat ketersediaan zat besi seluruh
subyek berkisar antara 49,4 hingga 209,2% dengan rata-rata 124,3
42,3%.
Persentase terbesar subyek terdapat pada tingkat ketersediaan zat besi dengan
kategori diatas kebutuhan yaitu sebesar 60%. Persentase terkecil subyek
terdapat pada tingkat ketersediaan zat bsei dengan kategori sesuai kebutuhan
yaitu sebesar 16%.
Tingkat ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar antara 6,9 hingga
hingga 13,9% dengan rata-rata 8,6
1,2%. Seluruh subyek (100%) memiliki
tingkat ketersediaan natrium dengan kategori dibawah kebutuhan.
Tingkat ketersediaan kalium berkisar antara 99,4 hingga 193,1% dengan
rata-rata 139,7
20%. Sebesar 96% dari keseluruhan subyek termasuk dalam
kategori diatas kebutuhan. Subyek yang termasuk dalam kategori dibawah
kebutuhan dan sesuai dengan kebutuhan memiliki persentase yang sama yaitu
2%.
Konsumsi dan Tingkat Konsumsi Makanan RS
Konsumsi Makanan RS
Konsumsi makanan RS pada penelitian ini diamati menggunakan metode
food weighing. Konsumsi zat gizi yang diamati adalah energi, protein, zat besi,
natrium dan kalium. Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS
ditampilkan dalam Tabel 23.
Tabel 23 Rata-rata konsumsi energi dan zat gizi lain dari makanan RS
Zat Gizi
Rata-rata Konsumsi
Energi (Kal)
Protein (g)
Zat Besi (mg)
Natrium (mg)
Kalium (mg)
992 208
29,3 6,8
10,2 3,0
189,7 50,9
3492,5 500,8
Konsumsi energi seluruh subyek berkisar antara 566 Kal hingga 1450 Kal
dengan rata-rata 992
208 Kal. Konsumsi protein seluruh subyek berkisar antara
10,4 hingga 42,4 g dengan rata-rata 29,3
6,8 g. Konsumsi zat besi berkisar
antara 4,2 hingga 19,3 mg dengan rata-rata 10,2
3,0 mg.
Konsumsi natrium seluruh subyek berkisar antara 57,8 hingga 408 mg
dengan rata-rata 189,7
50,9 mg. Konsumsi kalium seluruh subyek berkisar
antara 4626,7 hingga 3292,5 mg, dengan rata-rata 3492,5
500,8 mg.
Sebagian besar subyek tidak menghabiskan makanan yang disajikan RS.
Alasan subyek tidak menghabiskan makanan antara lain karena lemas, pusing,
mual, tidak berselera makan, lidah terasa pahit, dan tidak bisa buang air besar.
Bahkan menurut Khomsan (2003) konsumsi obat-obatan tertentu dapat
menurunkan nafsu makan. Konsumsi subyek yang cenderung kurang dari diet
yang telah ditetapkan RS menyebabkan terjadinya malnutrisi klinis. Malnutrisi
klinis dapat terjadi disebabkan oleh penyakit pasien sendiri dan kurang gizi, dan
dapat juga karena efek samping terapi atau pembedahan (Philipi 2007).
Tingkat Konsumsi terhadap Ketersediaan Makanan RS
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat gizi dikategorikan menjadi
defisit tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan dan normal.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan disajikan
dalam Tabel 24.
Tabel 24 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan
energi dan protein makanan RS
Energi
Protein
Tingkat Konsumsi
Defisit tingkat berat
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat ringan
Normal
Total
n
%
n
%
21
15
9
5
50
42
30
18
10
100
21
14
8
7
50
42
28
16
14
100
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi seluruh subyek berkisar
antara 49 hingga 98,7% dengan rata-rata 73,1
11,8%. Hampir seluruh subyek
(90%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat) dan 10% termasuk kategori
normal.
Hasil perhitungan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan protein seluruh
subyek berkisar antara 28,5 hingga 102% dengan rata-rata 71,9
15,2%.
Sebagian besar subyek (86%) termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga
berat) dan hanya 14% yang tergolong kategori normal.
Pendamping pasien
maupun pasien sebaiknya perlu menyadari akan
pentingnya zat gizi pada saat penyembuhan, baik saat dirawat dirumah sakit
maupun saat rawat jalan. Bagi pasien rawat inap diharuskan menghabiskan
makanan yang telah disediakan RS (Kresnawan 2007). Beberapa penelitian di
Eropa melaporkan bahwa konsumsi energi pasien rawat inap dapat distimulasi
dengan meningkatkan suasana sosial dan pelayanan terhadap pasien, rasa
makanan, dan memberikan pilihan menu (Larsen & Toubro 2007).
Tabel 25 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan
zat besi, natrium dan kalium makanan RS
Zat Besi
Natrium
Kalium
Tingkat Konsumsi
n
%
N
%
n
%
Defisit tingkat berat
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat ringan
Normal
Total
40
5
3
1
50
80
10
6
2
100
18
14
13
5
50
36
28
26
10
100
17
15
10
8
50
34
30
20
16
100
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan zat
besi, natrium dan kalium ditampilkan dalam Tabel 25. Tingkat konsumsi terhadap
ketersediaan zat besi seluruh subyek berkisar antara 29,4 hingga 101,4%
dengan rata-rata 56,9
14,9%. Sebagian besar subyek yaitu 80% terdapat pada
kategori defisit tingkat berat. Hanya 2% subyek yang terdapat pada kategori
normal.
Tingkat konsumsi terhadap ketersediaan natrium seluruh subyek berkisar
antara 21,9 hingga 143,1% dengan rata-rata 74,4
18,6%. Hampir seluruh
subyek (90%) termasuk kategori defisit (ringan hingga berat) dan hanya 10%
yang tergolong kategori normal.
Hasil perhitungan tingkat konsumsi terhadap ketersediaan kalium seluruh
subyek berkisar antara 30,2 hingga 138,7% dengan rata-rata 64,5
0,8%.
Persentase terbesar subyek terdapat pada kategori defisit (ringan hingga berat)
yaitu 84% dan hanya 16% yang tergolong kategori normal.
Tingkat Konsumsi Makanan RS terhadap Kebutuhan
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan dikategorikan menjadi defisit
tingkat berat, defisit tingkat sedang, defisit tingkat ringan, normal dan lebih.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi dan
protein disajikan dalam Tabel 26.
Tabel 26 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi
dan protein
Energi (rumusRS)
Energi (rumusOE)
Protein
Tingkat Konsumsi
n
%
N
%
n
%
Defisit tingkat berat
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat ringan
Normal
Lebih
Total
44
3
2
1
0
50
88
6
4
2
0
100
39
5
3
2
1
50
78
10
6
4
2
100
19
14
8
9
0
50
38
28
16
18
0
100
Keterangan : rumusRS = rumus yang digunakan oleh rumah sakit
rumusOE = rumus Oxford Equation
Hasil perhitungan menggunakan rumus cepat RS menunjukkan tingkat
konsumsi terhadap kebutuhan energi seluruh subyek berkisar antara 25,2 hingga
112,8% dengan rata-rata 51,5
16,3%. Hampir seluruh subyek yaitu 98%
termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 2% subyek yang
tergolong kategori normal. Sementara itu, perhitungan menggunakan rumus
Oxford Equation menunjukkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi
berkisar antara 39,1 hingga 117% dengan rata-rata 61,9
15,6%. Hampir
seluruh subyek (78%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat), 4%
tergolong normal dan hanya 2% subyek yang tergolong kategori lebih.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein seluruh subyek berkisar
antara 26,1 hingga 105,6% dengan rata-rata 73,2
16,9%. Sebesar 82% dari
keseluruhan subyek termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya
10% subyek yang tergolong kategori normal.
Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat
besi, natrium dan kalium ditampilkan dalam Tabel 27. Tingkat konsumsi terhadap
kebutuhan zat besi seluruh subyek berkisar antara 21,5 hingga 160,6% dengan
rata-rata 70,7
29,8%. Sebagian besar subyek yaitu 82% termasuk dalam
kategori defisit (ringan hingga berat). Hanya 18% subyek yang tergolong kategori
normal.
Tabel 27 Sebaran subyek berdasarkan tingkat konsumsi terhadap kebutuhan zat besi,
natrium dan kalium
Zat Besi
Natrium
Kalium
Tingkat Konsumsi
n
%
n
%
n
%
Defisit tingkat berat
Defisit tingkat sedang
Defisit tingkat ringan
Normal
Lebih
Total
19
14
8
9
0
50
38
28
16
18
0
100
50
0
0
0
0
50
100
0
0
0
0
100
25
7
4
13
1
50
50
14
8
26
2
100
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan natirum seluruh subyek berkisar
antara 1,9 hingga 13,6% dengan rata-rata 6,3
1,7%. Hasil perhitungan
menunjukkan seluruh subyek (100%) termasuk dalam kategori defisit tingkat
berat.
Tingkat konsumsi terhadap kebutuhan kalium seluruh subyek berkisar
antara 91 hingga 185% dengan rata-rata 131
20%. Lebih dari separuh subyek
(61%) tergolong kategori defisit (ringan hingga berat). Sebesar 13% subyek
tergolong dalam kategori normal.
Daya Terima Terhadap Makanan RS
Daya Terima Setiap Waktu Makan
Daya terima subyek terhadap makanan RS adalah tingkat atau derajat
kesukaan subyek terhadap makanan yang disajikan RS. Daya terima subyek
terhadap makanan RS merupakan gambaran penilaian subyek terhadap 9 atribut
makanan. Atribut makanan yang dinilai meliputi warna, aroma, rasa lauk, rasa
sayur, tekstur, bentuk, suhu, kebersihan alat, dan variasi menu. Penilaian daya
terima dilakukan selama 3 hari. Sebaran subyek berdasarkan daya terima
terhadap makanan RS pada setiap waktu makan ditampilkan dalam Tabel 28.
Sebagian besar subyek (80%) memiliki daya terima yang tinggi terhadap
makan pagi. Begitu pula dengan daya terima subyek terhadap makan siang,
sebesar 78% memiliki daya terima yang tinggi. Lebih dari separuh subyek (58%)
memiliki daya terima sedang terhadap makanan yang disajikan waktu sore.
Tabel 28 Sebaran subyek berdasarkan daya terima terhadap makanan RS tiap waktu
makan
Pagi
Siang
Sore
Daya Terima
n
%
n
%
n
%
Rendah
Sedang
Tinggi
Total
0
10
40
50
0
20
80
100
0
11
39
50
0
22
78
100
0
29
21
50
0
58
42
100
Penilaian Subyek Terhadap Atribut Makanan
Penilaian terhadap makanan waktu makan pagi menunjukkan bahwa
sebagian besar subyek memiliki penilaian biasa terhadap warna (70,7%), aroma
(91,3%), rasa lauk (60%), tekstur (62,7%), bentuk (70%), kebersihan alat
(84,7%), dan variasi menu (89,3%). Sebanyak 40,7% tidak menyukai rasa sayur.
Lebih dari separuh subyek menilai suka terhadap suhu makanan. Rincian
sebaran subyek berdasarkan berdasarkan penilaian atribut makanan pada waktu
makan pagi ditampilkan dalam Tabel 29.
Tabel 29 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu
makan pagi
Tidak Suka
Biasa
Suka
Total
Atribut Makanan
n
%
n
%
n
%
n
%
Warna
Aroma
Rasa Lauk
Rasa Sayur
Tekstur
Bentuk
Suhu
Kebersihan Alat
Variasi Menu
7
10
0
61
25
0
0
23
6
132
4,7
6,7
0,0
40,7
16,7
0,0
0,0
15,3
4,0
88,1
106
137
90
50
94
105
67
127
134
910
70,7
91,3
60,0
33,3
62,7
70,0
44,7
84,7
89,3
606,7
37
3
60
39
31
45
83
0
10
308
24,7
2,0
40,0
26,0
20,7
30,0
55,3
0,0
6,7
205,4
150
150
150
150
150
150
150
150
150
1350
100
100
100
100
100
100
100
100
100
900
Keterangan : ntotal = 1 makan pagi x 3 hari x 50 orang
Penilaian terhadap makanan waktu makan siang menunjukkan bahwa
36% subyek tidak menyukai rasa sayur. Sebagian besar subyek cenderung
memberikan penilaian biasa terhadap warna (72%), aroma (80%), rasa lauk
(74%), tekstur (67,3%), bentuk (70%), kebersihan alat (82%) dan variasi menu
(89,3%).
Separuh subyek (50,7%) memberikan penialai suka terhadap suhu
makanan. Secara rinci dapat dilihat pada Tabel 30.
Tabel 30 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu
makan siang
Tidak Suka
Biasa
Suka
Total
Atribut Makanan
n
%
n
%
n
%
n
%
Warna
Aroma
Rasa Lauk
Rasa Sayur
Tekstur
Bentuk
Suhu
Kebersihan Alat
Variasi Menu
5
7
11
55
12
0
9
28
5
132
3,3
4,7
7,3
36,7
8,0
0,0
6,0
18,7
3,3
88
108
120
74
49
101
105
65
123
134
879
72,0
80,0
49,3
32,7
67,3
70,0
43,3
82
89,3
585,9
37
23
65
46
36
45
76
0
11
339
24,7
15,3
43,3
30,7
24,0
30,0
50,7
0,0
7,3
226
150
150
150
150
150
150
150
150
150
1350
100
100
100
100
100
100
100
100
100
900
Keterangan : ntotal = 1 makan siang x 3 hari x 50 orang
Penilaian terhadap makanan waktu makan sore menunjukkan bahwa
sebagian besar subyek cenderung memberikan penilaian biasa terhadap warna
(69,3%), aroma (90,7%), rasa lauk (61,3%), rasa sayur (52,7%), tekstur (67,3%),
bentuk (70%), kebersihan alat (75,3%) dan variasi menu (92,7%). Lebih dari
separuh subyek (52,7%) suka terhadap suhu makanan. Secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 31.
Tabel 31 Sebaran subyek berdasarkan penilaian terhadap atribut makanan pada waktu
makan sore
Tidak Suka
Biasa
Suka
Total
Atribut Makanan
n
%
n
%
n
%
n
%
Warna
Aroma
Rasa Lauk
Rasa Sayur
Tekstur
Bentuk
Suhu
Kebersihan Alat
Variasi Menu
11
6
56
69
9
0
0
37
6
194
7,3
4,0
37,3
46
6,0
0,0
0,0
24,7
4,0
129,3
104
136
92
79
101
105
71
113
139
940
69,3
90,7
61,3
52,7
67,3
70,0
47,3
75,3
92,7
626,6
35
8
2
2
30
45
79
0
5
206
23,3
5,3
1,3
1,3
20,0
30,0
52,7
0,0
3,3
137,2
150
150
150
150
150
150
150
150
150
1350
100
100
100
100
100
100
100
100
100
900
Keterangan : ntotal = 1 makan sore x 3 hari x 50 orang
Konsumsi Makanan Luar RS dan Infus
Makanan Luar RS
Lebih dari separuh subyek (66%) selain mengkonsumsi makanan RS juga
mengkonsumsi makanan dari luar RS. Sebaran subyek berdasarkan konsumsi
makanan luar RS dipat dilihat pada Tabel 32.
Tabel 32 Sebaran subyek berdasarkan konsumsi makanan luar RS
Laki-laki
Perempuan
Subyek
Konsumsi Makanan Luar RS
Ya
Tidak
Total
n
%
n
%
n
%
16
14
30
32
28
60
17
3
20
34
6
40
33
17
50
66
34
100
Rata-rata (n=33) konsumsi energi dari makanan luar RS sebesar 158,4
Kal dan konsumsi protein 3,3 g. Konsumsi zat besi, natrium, dan kalium yang
berasal dari makanan luar RS rata-rata sebesar 2 mg, 134,7 mg dan 196,9 mg.
Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi oleh subyek secara rinci dapat dilihat
pada Tabel 33.
Jenis Makanan
Tabel 33 Jenis makanan luar RS yang dikonsumsi
Contoh Makanan
Nasi
Lauk
Sayur
Buah
Roti
Biskuit
Krekers
Makanan Rebus
Minuman
Bubur ayam, lontong
Ayam goreng, kentang goreng, telur rebus
Sup wortel jagung
Apel, jeruk, pir
Roti manis (cokelat, keju), roti tawar
Biskuit manis, wafer
Krekers manis, krekers tawar
Kentang, ubi, pisang
Teh manis
Subyek mengkonsumsi makanan luar RS karena beberapa alasan yaitu
ingin makanan kesukaan, masih lapar dan merasa bosan dengan makanan
rumah sakit.
Pemberian Infus
Jenis infus yang diberikan kepada sebagian besar subyek (88%) subyek
adalah NaCl 0,9%, Ringer Laktat (RL), sedangkan infus Dextrose 5% hanya 10%
subyek dan infus Flashbumin 2%. Sebaran sampe berdasarkan jenis infus yang
diberikan ditampilkan dalam Tabel 34.
Tabel 34 Sebaran subyek berdasarkan jenis infus yang diberikan
Laki-laki
Perempuan
Total
Jenis Infus
n
%
n
%
n
%
NaCl 0,9%
Ringer Laktat
Dextrose 5%
Flashbumin
Total Subyek
21
6
3
0
30
42
12
6
0
60
13
4
2
1
20
26
8
4
2
40
34
10
5
1
50
68
20
10
2
100
Energi rata-rata dari subyek yang diberikan infus dextrose 5% (n=5)
sebesar 300 Kal. Protein yang diperoleh dari infus flashbumin sebesar 55,13 g.
Pasien yang diberikan infus NaCl 0,9% dan Ringer Laktat tidak memperoleh
tambahan energi maupun protein dari infus, karena jenis infus tersebut hanya
mengandung elektrolit (natrium, kalium, kalsium, klorida, laktat).
Kontribusi Konsumsi Energi dan Zat Gizi Lain
Kontribusi konsumsi energi makanan RS terhadap total konsumsi
(makanan RS, luar RS, infus) subyek yaitu 90% dan persentase kontribusi
protein adalah 92,5% total konsumsi. Kontribusi zat besi, natrium dan kalium
terhadap total konsumsi yaitu 91,9%, 38,5% dan 96,2%. Persentase kontribusi
natrium makanan RS jauh lebih rendah dibandingkan dengan kontribusi energi,
protein, zat besi dan kalium. Hal ini terjadi karena konsumsi natrium hampir
separuh diperoleh dari infus dan sisanya diperoleh dari makanan luar RS.
Rincian kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS, luar RS dan
infus terhadap total konsumsi ditampilkan dalam Tabel 35.
Tabel 35 Rata-rata kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain makanan RS, luar RS dan
infus terhadap total konsumsi
Zat Gizi
Makanan RS
Makanan Luar RS
Infus
Total
Energi
Protein
Zat Besi
Natrium
Kalium
90%
92,5%
91,9%
38,5%
96,2%
8,1%
6,2%
8,1%
12,1%
3,5%
1,9%
1,3%
0%
49,4%
0,3%
100%
100%
100%
100%
100%
Persentase kontribusi energi makanan luar RS terhadap total konsumsi
yaitu 8,1% dan kontribusi protein 6,2%. Kontribusi zat besi, natrium dan kalium
masing-masing 8,1%, 12,1% dan 3,5%.
Kontribusi energi infus terhadap total konsumsi yaitu 1,9% dan kontribusi
protein 1,3%. Persentase kontribusi zat besi, natrium dan kalium adalah 0%,
49,4% dan 0,3%. Hampir separuh kontribusi natrium subyek diperoleh dari infus.
Sebagian besar subyek memperoleh infus NaCl maupun Ringer Laktat yang
mengandung elektrolit (natrium, klorida, kalium, kalsium, laktat) dan tidak
mengandung energi maupun protein.
Hubungan Tingkat Konsumsi dengan Daya Terima
Hasil uji Spearman menunjukkan nilai p>0,05 dan r<0,5 yang berarti tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi energi, protein, zat
besi, natrium dan kalium dengan daya terima. Hal ini mengindikasikan bahwa
daya terima makanan tidak berhubungan dengan tingkat konsumsi energi dan
zat gizi lain. Meskipun daya terima terhadap energi dan zat gizi lain cenderung
tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal ini diduga disebabkan oleh
faktor penyakit (merasa lemas, lidah terasa pahit, pusing) dan pengaruh obat
(mual dan susah buang air besar).
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Subyek dalam penelitian ini adalah pasien penderita penyakit ginjal kronik
yang berusia 17-55 tahun. Sebagian besar subyek berjenis kelamin laki-laki
(62%), hanya 38% subyek yang berjenis kelamin perempuan. Persentase
terbesar subyek (58%) berada dalam kisaran usia 46 – 55 tahun atau dewasa
menengah. Lebih dari separuh subyek (64%) memiliki status gizi normal.
Sebesar 58% subyek telah menderita penyakit ginjal selama kurun waktu 1-5
tahun dan seluruh subyek (100%) sudah mengalami komplikasi. Separuh subyek
(50%) pernah dirawat dirumah sakit sebelumnya karena penyakit ginjal yang
diderita. Saat penelitian dilaksanakan, sebesar 66% subyek telah dirawat di RS
antara kurun waktu 4 – 7 hari. Sebesar 60% subyek diberikan diet rendah protein
(RP). Berdasarkan jenis diet, sebagian besar subyek (84%) diberikan diet
dengan konsistensi lunak.
Rata-rata kebutuhan energi berdasarkan rumus cepat RS adalah 2003
Kal dan berdasarkan rumus Oxford Equation 1624 Kal. Kebutuhan protein
seluruh subyek yaitu 40 g. Rata-rata kebutuhan zat besi, natrium dan kalium
subyek yaitu 15,9 mg, 3000 mg dan 2500 mg.
Rata-rata ketersediaan energi dan protein dari makanan RS adalah 1357
Kal dan 40,8 g. Rata-rata ketersediaan zat besi, natrium dan kalium yaitu 17,9
mg, 256,7 mg dan 3492,5 mg. Rata-rata tingkat ketersediaan energi (rumus
cepat RS) sebesar 70,2% angka kebutuhan, termasuk kategori defisit dan
perhitungan menggunakan rumus Oxford Equation menunjukkan lebih dari
separuh subyek (62%), termasuk kategori defisit.
Rata-rata tingkat ketersediaan protein 102% angka kebutuhan, termasuk
kategori normal. Rata-rata tingkat ketersediaan zat besi yaitu 124%, termasuk
dalam kategori diatas AKG, sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium
yaitu 8,6%, termasuk dalam kategori dibawah AKG. Rata-rata tingkat
ketersediaan kalium subyek yaitu 139%, termasuk dalam kategori diatas AKG.
Rata-rata konsumsi energi dan protein subyek adalah 992 Kal dan 29,3 g.
Rata-rata konsumsi zat besi, natrium dan kalium yaitu 10,2 mg, 189,7 mg dan
3492,5 mg.
Rata-rata tingkat konsumsi terhadap ketersediaan energi 73,1% angka
ketersediaan, termasuk kategori defisit (ringan hingga berat) dan rata-rata tingkat
konsumsi terhadap ketersediaan protein 71,9% angka ketersediaan, termasuk
kategori defisit (ringan hingga berat). Rata-rata tingkat ketersediaan konsumsi
terhadap ketersediaan zat besi yaitu 56,9%, termasuk dalam kategori defisit
(ringan hingga berat), sementara itu, rata-rata tingkat ketersediaan natrium yaitu
74,4%, juga termasuk dalam kategori defisit (ringan hingga berat). Rata-rata
tingkat ketersediaan kalium subyek yaitu 64,5%, termasuk dalam kategori defisit
(ringan hingga berat).
Rata-rata tingkat konsumsi terhadap kebutuhan energi berdasarkan
rumus cepat RS sebesar 51,5% angka kebutuhan dan berdasarkan rumus
Oxford equation sebesar 61,9% termasuk kategori defisit tingkat berat. Rata-rata
tingkat konsumsi terhadap kebutuhan protein 73,2% angka kebutuhan, termasuk
kategori defisit tingkat sedang. Rata-rata tingkat kebutuhan konsumsi terhadap
kebutuhan zat besi yaitu 56,9%, termasuk dalam kategori defisit tingkat berat,
sementara itu, rata-rata tingkat kebutuhan natrium yaitu 74,4%, termasuk dalam
kategori defisit tingkat sedang. Rata-rata tingkat kebutuhan kalium subyek yaitu
64,5%, termasuk dalam kategori defisit tingkat berat.
Daya terima berdasarkan waktu makan menunjukkan, mayoritas subyek
memiliki penerimaan tinggi untuk makan pagi (80%) dan siang (78%) serta
penerimaan sedang untuk makan sore (58%). Penilaian subyek terhadap atribut
makanan cenderung biasa terhadap warna, aroma, tekstur, bentuk, rasa lauk,
kebersihan alat dan variasi menu. Subyek cenderung tidak menyukai rasa sayur,
baik pada waktu makan pagi, siang atau sore.
Kontribusi konsumsi energi dan zat gizi lain terhadap total konsumsi
terbesar berasal dari makanan RS. Persentase kontribusi natrium jauh lebih
rendah dibandingkan dengan energi, protein, zat besi dan kalium. Hal ini
disebabkan hampir separuh (49,4%) kontribusi natrium berasal dari infus.
Kontribusi konsumsi energi, protein, zat besi dan kalium yang berasal dari
makanan luar RS maupun infus tergolong rendah.
Uji korelasi antara tingkat konsumsi dan daya terima menunjukkan tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara tingkat konsumsi energi dan zat gizi
lain dengan daya terima. Artinya, meskipun daya terima terhadap energi dan zat
gizi lain cenderung tinggi namun konsumsi subyek tergolong rendah. Hal tersebut
mungkin dipengaruhi beberapa faktor eksternal seperti konsumsi makanan dari
luar rumah sakit dan penyajian makanan RS yang kurang menarik maupun faktor
internal yaitu rasa mual, pusing, lemas dan menurunnya nafsu makan yang
dialami subyek karena penyakit ginjal yang diderita.
Saran
Secara umum, makanan RS telah dapat diterima subyek. Namun,
sebaiknya RS lebih meningkatkan penyajian makanan, terutama pada waktu
makan sore. Hasil penelitian menunjukkan daya terima subyek pada waktu
makan sore lebih rendah dibandingkan pada waktu makan pagi dan siang.
Pemberian diet kepada pasien penyakit ginjal kronik komplikasi diabetes
mellitus yang menjalani hemodialisis sebaiknya dibedakan antara diet pra dan
pasca hemodialisis. Hal ini disebabkan kebutuhan energi dan protein pada
pasien penyakit ginjal kronik komplikasi diabetes mellitus lebih besar pasca
hemodialisis.
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier. 2002. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Almatsier. 2004. Penuntun Diet. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Anderson et al. 1982. Nutrition in Health and Disease. USA : J.B.Lippincott
Company
Bakri S. 2005. Deteksi Dini dan Upaya-upaya Pencegahan Progresivitas
Penyakit Ginjal Kronik. Bagian Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Hasanuddin
Beck ME. 1994. Ilmu Gizi dan Diet (Hubungannya dengan Penyakit-penyakit).
Kristiani, penerjemah. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica
[Depkes] Departemen Kesehatan. 2006. Pelayanan Gizi Rumah Sakit edisi
ketiga. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
_____________________________. 2007. Profil Kesehatan Indonesia tahun
2006. Jakarta : Departemen Kesehatan Republik Indonesia
Direktorat Bina Gizi Masyarakat. 1990. Pedoman Pelaksanaan Kegiatan
Pelayanan Gizi di Rumah Sakit. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
______________________________. 1996. Laporan Akhir Survei Konsumsi Gizi
Tahun 1995. Jakarta: Departemen Kesehatan RI
[Dir.Jen.Yan.Medik] Direktorat Jendral Pelayanan Medik. 1999a. Pedoman
Pencegahan Gizi Kurang di Rumah Sakit. Jakarta : Departemen Kesehatan
Republik Indonesia
Effendi AT dan Effendi YH. 1998. Pencegahan dan Penanggulangan non-Insulin
Dependent Diabetes dan Penyakit Jantung Koroner. Diktat Program
Pasca Sarjana Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga.
Bogor: Fakultas Pertanian IPB.
Effendi YH. 2011. Prinsip penatalaksanaan nutrisi klinik bagi pasien kasus
penyakit dalam. Diktat Kuliah Pembekalan Intership Dietetik (Rumah
Sakit). Bogor: Departemen Gizi Masyarakat IPB
Gamman PM, dan KB. Sherrington. 1992. Ilmu pangan. Terjemahan M. Gardjito
dkk. editor R.B Kasmidjo. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Gibson RS. 1993. Nutritional Assessment Laboratory Manual. New York :
University of Guelph.
Greene JM dan Thomas L. 2008. Renal Nutrition. Di dalam Berdanier DC, Dwyer
J, Feldman BE.Handbook of Nutrition and Food.2nd Edition. USA : CRC.
Hlm 1255-1270
Hardinsyah, Setiawan B, Marliyati SA. 1989. Aspek Gizi dan Daya Terima Menu
dengan Pangan Pokok Beragam dalam Upaya Penganekaragaman
Konsumsi Pangan. Bogor: Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi.
Hardinsyah dan Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi
Pangan. Diktat Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
_________ dan Martianto D. 1992. Gizi Terapan. Bogor : Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor
Hartono A. 2000. Asuhan Nutrisi Rumah Sakit. Jakarta : EGC
_________. 2004. Terapi Gizi dan Diet Rumah Sakit. Jakarta : EGC
Karyadi D, Muhilal. 1990. Kecukupan Gizi yang Dianjurkan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Karyadi E. 2002. Hidup Bersama Penyakit. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Moehyi S. 1990. Ilmu Gizi. Jakarta : Bhratara
________. 1992a. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Jakarta :
Bhratara
________. 1997. Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
________. 1999. Pengaturan Makanan dan Diit untuk Penyembuhan Penyakit.
Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Mukrie NA. 1990. Manajemen Pelayanan Gizi Institusi Dasar. Jakarta : Akademi
Gizi, Departemen Kesehatan dan Proyek Pengembangan Pendidikan
Tenaga Gizi Pusat
Nasoetion A, Riyadi H, Mudjajanto ES. 1994. Dasar-dasar Ilmu Gizi. Jakarta :
Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan
Noras JU. 2000. Penilaian Pasien terhadap Pelayanan Gizi di Ruang Rawat
Teratai RSUP Fatmawati Jakarta. Skripsi. Bogor : Fakultas Pertanian IPB
Primadhani. 2006. Konsumsi Energi dan Protein pada Penderita Penyakit Hati
Rawat Inap di PERJAN Dr. Cipto Mangunkusumo.Skripsi. Bogor: Fakultas
Pertanian IPB.
Sediaoetama AD. 2008. Ilmu Gizi untuk Profesi dan Mahasiswa. Jakarta: Dian
Rakyat
Setyaningsih D, Apriyantono A, Sari MP. 2010. Analisis Sensori untuk Industri
Pangan dan Agro. Bogor: IPB Press
Subandriyo VU dan Santoso H. 1995. Pengelolaan Makanan di Rumah Sakit.
Jakarta : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
Suhardjo, Hardinsyah, Riyadi H. 1988. Survei Konsumsi Pangan. Bogor : Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor
_______ dan Kusharto CM. 1992. Prinsip-prinsip Ilmu Gizi. Yogyakarta : Kanisius
Suharma L. 1995. Tingkat Konsumsi dan Persepsi Pasien Rawat Inap Terhadap
Makanan yang Disediakan Rumah Sakit Umum Azra Bogor. Skripsi
Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Sukarni M dan Kusno SR. 1980. Metode Penilaian Citarasa II. Bogor :
Departemen Ilmu Kesejahteraan Keluarga Pertanian, Fakultas Pertanian
IPB
Supariasa IPN, Bakri B, Fajar I. 2001. Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC
Suwitra K. 2007. Penyakit Ginjal Kronik. Dalam: Sudoyo A.W, Setiyohadi B, Alwi
I, Marcellus S.K, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Jakarta :
Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Tjokoprawiro. 2006. Hidup Sehat dan Bahagia Bersama Diabete Mellitus.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama
Uripi V. 1993. Pengelolaan Makanan di Rumah Sakit. Bogor: Jurusan Gizi
Masyarakat dan Sumber Daya Keluarga, Fakultas Pertanian IPB
Waspadji, Sukardji K, Octarina M. 2002. Pedoman Diet Diabetes Mellitus sebagai
Penduan bagi Dietisien/Ahli Gizi, Dokter, Mahasiswa dan Petugas
Kesehatan Lain. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
[WKNPG] Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi. 2004. Ketahanan Pangan dan
Gizi di Era Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta : LIPI.
Winarno. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Wilkens KG dan Juneja V. 2007.Medical Nutrition Therapy for Renal Disorder. Di
dalam : Mahan K, Stump SE. Krause’s Food, Nutrition, and Diet
Therapy.11 th edition. Philadelphia : Saunders. Hlm 921-948
Lampiran 1 Kuisioner Penelitian
Kuisioner
KONSUMSI ZAT GIZI DAN DAYA TERIMA PASIEN RAWAT INAP
PENYAKIT GINJAL KRONIK SERTA PENYAKIT GINJAL KRONIK
KOMPLIKASI TERHADAP MAKANAN YANG DISAJIKAN RSUP FATMAWATI
Oleh:
Fatma Silviani
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
KARAKTERISTIK PASIEN
Nama Lengkap
:
No. Rekam Medik
:
Pendamping Wawancara
:
Jenis Kelamin
:
Usia
:
Berat Badan / LLA
:
Tinggi Badan / TL / PU
:
Status Gizi
:
Aktivitas Fisik
: Ambulatori/Tirah Baring (coret salah satu)
Alamat Pasien
:
INFORMASI PENYAKIT DAN PERAWATAN
Tanggal masuk :.....................
Tanggal Keluar:....................
Lama Rawat :... ..hari
Penyakit yang diderita :....................................................................................................
Komplikasi (jika ada) :...........................................................................................................
Lama penyakit :................................................................................................................
Status Perawatan Penyakit :.............................................................................................
Tahap/stadium penyakit :.................................................................................................
Janis Trauma/ stress :.......................................................................................................
Kemampuan dan selera makan :......................................................................................
Jenis dan konsistensi Diet yang diberikan RS :...............................................................
INFORMASI KETERSEDIAAN
Hari 1 (Hari/Tanggal:........................../..............................................)
Jenis Diet
:
Konsistensi Makanan
:
Waktu
Makan
Menu
Bahan Makanan
Ukuran
URT
gram
INFORMASI KONSUMSI
Hari 1 (Hari/Tanggal:........................../..............................................)
a.
Makanan RS
Jenis Diet
:
Konsistensi Makanan
:
Waktu
Makan
Menu
Bahan
Makanan
Ukuran
standar porsi
URT
g
Jumlah yang dikonsumsi
0
1/4
1/2
3/4
gram yang
dikonsumsi
1
b. Gizi Parenteral
Jam..........s/d...........
Jenis Cairan Infus
Intake (ml)
Informasi Kandungan
Gizi
c. Makanan Luar RS
Waktu
Makan
Menu
Bahan Makanan
Ukuran
URT
gram
d. Suplemen
No.
Jenis suplemen
Dosis per hari
Kandungan Zat Gizi
Lampiran 2 Siklus Menu Diet RP Kelas III
Siklus
Menu
H1
H2
H3
Pagi
Daging semur
Tahu kare
Capcay
Ayam goreng
lengkuas
Tumisan
Sup wortel caisin
Telur dadar
Tumisan
Sayur asam
H4
Daging semur
Tumisan
Soto mie
H5
Abon/Ayam semur
Sayur kare
Wortel+timun
H6
Daging opor
Tumisan
Sayur asam lb
siam+kacang
H7
Ayam kare
Tumisan
Bening oyong soun
H8
Daging bumbu terik
Tumisan
Mie kuah
H9
Ayam bumbu semur
Tumisan
Oseng buncis+soun
H10
Daging opor
Tumisan
Kare wortel+timun
H11
Ayam bumbu kare
Tumisan
Soto tauge+bihun
Waktu Makan
Siang
Ayam opor
Bening bayam jagung
Pisang ambon/pepaya
Semur kentang (RP/DH)
Telur bumbu kare
Sup jagung buncis
Pisang ambon/pepaya
Hance soun (RP/DH)
Ikan goreng tepung
Sayur asam
Pisang ambon/pepaya
Perkedel kentang
(RP/DH)
Ayam panggang gulai
Sup makaroni
Pisang
Ambon/pepaya
Semur kentang (RP/DH)
Daging gulai
Sup oyong caisin
Pisang ambon/pepaya
Hanche soun+kentang
(RP/DH)
Telur semur
Brongkos
Pisang ambon/pepaya
Perkedel kentang
(RP/DH)
Ikan pgg+kemangi
Bobor sawi putih
Pisang ambon/pepaya
Mie goreng (RP/DH)
Ayam pgg kecap
Soto tauge
Pisang ambon/pepaya
Bihun goreng (RP/DH)
Daging bumbu kare
Sup oyong caisin
Pisang ambon/pepaya
Semur kentang (RP/DH)
Ikan goreng tepung
Sayur asam
Pisang ambon/pepaya
Mie goreng (RP/DH)
Telur dadar
Sayur kare
Pisang ambon/pepaya
Perkedel kentang
(RP/DH)
Sore
Ikan gulai kuning
Sayur lodeh
Pisang ambon
Bihun goreng (RP/DH)
Daging pindang
Sayur laksa
Pisang ambon
Mie goreng (RP/DH)
Cah ayam jamur
Sayur kare
Pisang ambon
Hace soun (RP/DH)
Telur dadar
Bobor ayam+lb siam
Pisang ambon
Bihun goreng (RP/DH)
Sup ikan tuna
Gulai buncis+lb siam
Pisang ambon
Mie goreng (RP/DH)
Daging terik
Soto mie
Pisang Ambon
Hanche soun (RP/DH)
Ayam pgg kuning
Sayur asem
Pisang ambon
Semur kentang
(RP/DH)
Ikan gulai kuning
Sayur lodeh
Pisang ambon
Hanche soun (RP/DH)
Telur dadar
Bobor ayam+lb siam
Pisang ambon
Mie goreng (RP/DH)
Ayam cah jamur
Sup oyong wortel
Pisang ambon
Bihun goreng (RP/DH)
Daging bumbu gulai
Sup kacang merah
Pisang ambon
Mie goreng (RP/DH)
Lampiran 3 Siklus Menu Selingan Jam 10.00 Kelas III
Siklus
Menu
H1
Menu Selingan
Puding Roti
H2
Bubur Kacang Hijau
H3
Agar-agar Srikaya
H4
Pisang Rebus
H5
Bubur Kacang Hijau
H6
Kue Talam Cokelat
H7
Pisang Rebus
H8
Roti Manis
H9
Bubur Kacang Hijau
H10
Hunkwe Pisang
H11
Puding Roti
Download