Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi

advertisement
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam
Tubuh Mahkamah Konstitusi
Danang Hardianto
Badan Konsultasi dan Bantuan Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Semarang
Naskah diterima: 2/5/2014 revisi: 16/5/2014 disetujui: 30/5/2014
Abstrak
Hakim Konstitusi adalah segumpal daging yaitu hati dalam tubuh Mahkamah
Konstitusi (MK). Jika hati itu baik maka baik pula tubuh itu dan sebaliknya jika
hati itu buruk maka buruk pula tubuh itu. Hati yang baik itu diisi oleh hakim
yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; adil; dan negarawan
yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Oleh karena itu mereka memiliki
kewajiban untuk membuat putusan yang responsif dan preskriptif demi tegaknya
hukum berdasar moralitas dan kebenaran. Putusan itu menjadi matahari yang
akan tetap bersinar dan menyinari kehidupan nusa dan bangsa.
Kata Kunci: Hakim Konstitusi, Integritas, Keadilan.
Abstract
Constitutional judges denote a piece of ϔlesh i.e. heart in the body of the
Constitutional Court. If it is good, the whole body is good, and if it is bad, or else
if it is bad, the whole boy is bad. The good heart is ϔilled by the judges who have
impeccable integrity and personality; be fair-minded; and be statesman who have
mastered constitution and constitutional law. They therefore have an obligation to
make a responsive and prescriptive decision in order to enforce the law based on
the morality and the truth. The decision becomes the sun which will continue to
shine and illuminate the life of the country.
Key word: Constitutional Justice, Integrity, Justice
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
PENDAHULUAN
Badai ujian Mahkamah Konstitusi (MK) sedikit mereda bukan berarti badai
itu tidak akan terus menimpa MK layaknya seperti kehidupan manusia pada
umumnya, namun demikian dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang No. 1 Tahun 2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No. 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Undang-Undang (UU) ini
dapat dikatakan sebagai tonggak kelahiran kembali MK yang sempat diragukan
kredibilitas dan akuntabilitasnya oleh publik beberapa waktu yang lalu. Keraguan
itu lebih ditujukan kepada kapasitas hakim konstitusi.
MK hanyalah sebuah lembaga yang dibebani tugas dan kewenangan oleh
Konstitusi dan Undang-Undang. Sebuah lembaga dapat diibaratkan tubuh manusia
dan paling inti dari setiap diri manusia ialah segumpal daging yang bernama hati.
Dengan kata lain, hakim konstitusi adalah “hati” dalam tubuh MK, ketika hakim
konstitusi itu baik maka MK menjadi baik pula karena hati selalu bersentuhan
dengan percikan dari sifat-sifat Tuhan.1
Pemikiran ini mengingatkan kita kepada sebuah sabda Nabi Muhammad
yang didengar oleh An-Nu’man bin Basyar dengan mengatakan: “Ketahuilah,
sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging
itu baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan
buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati”,
dari Hadits riwayat Bukhori dan Muslim.2
Perlu diingat pula bahwa putusan pada pengadilan biasa hanya menentukan
nasib para pihak yang bersengketa dalam kasus perdata, menghukum terdakwa satu
atau lebih dalam hukum pidana tetapi putusan yang diambil oleh MK menentukan
nasib bangsa dan negara. Oleh karena itu, dengan hati yang baik, para hakim MK
akan selalu melahirkan putusan responsif dan preskriptif yang berkeadilan bagi
seluruh rakyat Indonesia yang tidak berbenturan dengan moralitas dan kebenaran.
Putusan itu menjadi matahari yang akan tetap bersinar dan menyinari sendi-sendi
kehidupan bangsa Indonesia.3
Goresan tulisan ini sebagai serpihan sumbangsih pemikiran tentang hakikat
hakim konstitusi yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela; adil;
1
2
3
James Fadiman dan Robert Frager (Ed.), Indahnya Menjadi Sufi, alih bahasa: Helmi Mustofa, Yagyakarta: Pustaka Sufi, 2002, h. 115.
Kudang Abdulllah B. Seminar, “Hati Mengeras Tak Tersiram Kitabullah”, diakses dari http://www.iium.edu.my/kkk/pdf_tazkirah/hati.pdf, diunduh
tanggal 25 Desember 2013.
Jalaluddin Rumi, Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya aforisme-aforisme sufistik Jalaluddin Rumi, Penerjemah: Anwar Kholid,
Bandung: Pustaka Hidayah, 2006, h. 133.
316
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
dan negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan. Tulisan ini dapat
pula menjadi input bagi tim panel ahli untuk memilih putra dan putri terbaik
bangsa untuk menjadi hakim pengawal konstitusi (justices of the guardian of the
constitution).
PEMBAHASAN
A. Integritas dan Kepribadian Tidak Tercela
Integritas adalah kualitas kejujuran dan memiliki prinsip moral-moral yang
kuat.4 Kejujuran mengajarkan sesuatu yang baik, dapat dipercaya, kebajikan, tidak
berbohong dan menipu. Prinsip kejujuran adalah prinsip utama dalam kehidupan
manusia. Kualitas seseorang diukur dari tingkat kejujurannya, dimanapun dia
berada dia akan selalu diterima dan dihormati karena kejujurannya. Kejujuran
seyogyanya dibarengi keikhlasan tanpa pengharapan akan sesuatu atau pamrih
jauh dari kebohongan dan kedustaan.
Tuhan memerintahkan kita untuk mengedepankan kejujuran dan hidup
bersama-sama dengan orang-orang yang memiliki kejujuran yang mengantarkan
kepada jalan kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu akan mengantarkan ke
dalam surga, sebaliknya kedustaan itu berada dalam ruang kejelekan dan lebih
dekat pada neraka.5
Seorang yang berprofesi sebagai hakim harus memiliki kejujuran, tercermin
baik dalam menjalankan profesinya maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Kejujuran merupakan ciri keimanan dan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan kedustaan ialah ciri kemuna ikan yang dapat menjerumus ke dalam
lembah kedurhakaan Tuhan. Hakim ialah perwakilan Tuhan di dunia untuk menjaga
dan menegakkan keadilan. Lahir maupun batin kejujuran itu harus tetap terjaga
di hati sanubari setiap hakim. Oleh sebab itu, hakim konstitusi harus memiliki
kejujuran sebagai sifat yang utama sebagai wujud ubudiyah atau penghambaan
tegaknya hukum di Indonesia.
Kepribadian tidak tercela dapat dimaknai sebagai suatu kepribadian yang
jauh dari sifat-sifat buruk atau immoral. Tercela artinya tidak mendapat hinaan
dan jauh dari tidakan yang bertentangan dengan moral seperti menerima suap,
4
5
A. S. Hornby, Oxford Advance Leaner’s Dictionary, Walton Street: Oxford University Press, 1995, h. 620.
Andy Hadiyanto, “Kejujuran Dalam Perspekif Hadits”, http://www.jiaionline.com/multimedia/dokumen/hadiyanto/11Kejujuran%20Dalam%20Perspektif%20Hadits.pdf, diunduh tanggal 27 Desember 2013.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
317
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
korupsi, pengkhianatan terhadap negara, perbuatan asusila, perbuatan tidak
pidana dan lain sebagainya. Pendek kata, kepribadian tidak tercela sangat dekat
kaitannya dengan moral.
Menurut Franz Magnis-Suseno, kata moral ini mengacu pada perbuatan baikburuknya manusia.6 Untuk itu seorang yang memilki kepribadian tidak tercela
selalu perpegangan pada norma-norma moral yaitu norma-norma yang menjadi
tolak ukur untuk menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat
dari segi baik-buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu
dan terbatas.7
Moral merupakan kata sifat sedangkan kata bendanya ialah moralitas.
Keduanya memiliki arti yang sama yaitu berkaitan dengan penilaian baik dan
buruknya perbuatan manusia. W. Poespoprodjo mende inisikan moralitas yaitu
kualitas dalam perbuatan dalam perbuatan manusia yang menunjukkan bahwa
perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian
baik-buruknya.8 Dalam hal ini, kita dapat mengambil pembagian moralitas menurut
beliau yaitu moralitas intrinsik dan ekstrinsik.
Moralitas instrinsik adalah suatu perbuatan menurut hakikatnya bebas
dari lepas dari bentuk tekanan dari hukum positif.9 Berkaitan dengan hal ini,
hakim konstitusi berangkat kemurnian dari lubuk hati terdalam tidak akan
melakukan perbuatan tercela bahwa mereka selama hidupnya tidak melanggar
norma-norma moral. Sementara moral ekstrinsik merupakan moralitas yang
memandang perbuatan sesuatu yang diperintahkan atau dilarang oleh seseorang
yang berkuasa atau oleh hukum positif, baik dari manusia maupun dari Tuhan.
Selain dari dalam hati sanubari dirinya sendiri untuk tidak melakukan perbuatan
tercela, adanya kontrol pengawasan bahwa dirinya selalu diawasi oleh Tuhan
dengan ancaman siksa neraka dan ancaman hukuman dunia baik berupa sanksi
moral dari masyarakat dan sanksi hukum positif seperti pidana yang membawa
masuk dalam penjara atau hukum administrasi berupa pencabutan jabatan hakim
konstitusi.
Prinsip integritas dan perbuatan tidak tercela ini akan membuahkan hasil
berupa etika yang selalu dijunjung dan diterapkan oleh hakim konstitusi karena
etika menuntun manusia menjadi baik. K Bertens mengemukakan dua jenis etika
6
7
8
9
Franz Magnis-Suseno, Etika Dasar Masalah-masalah pokok filsafat moral, Yogyakarta: Kanisius, 1987, h. 19.
Ibid.
W. Poespoprodjo, Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik, Bandung: Pustaka Grafika, 1999, h. 188.
Ibid, h. 189.
318
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
yaitu pertama, etika keutamaan menunjukkan norma-norma dan prinsip-prinsip
mana yang perlu diterapkan dalam hidup moral kita. Kedua, etika keutamaan
yaitu watak yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.10
Jadi, Etika ini lahir dari moralitas intrinsik dan ekstrinsik sebagai alat kontrol
yang berguna bagi hakim konstitusi untuk menilai dirinya sendiri benar atau salah
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. Etika dapat pula sebagai pegangan
untuk tetap menjadi hakim yang memiliki integritas dan kepribadian yang tidak
tercela dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai hakim.
B. Adil
Kata “adil” selalu tera iliasi dengan dunia hukum. Adil adalah kata sifat,
menurut kamus besar bahasa Indonesia bermakna 1) sama berat; tidak berat
sebelah; tidak memihak; 2) berpihak kepada yangg benar; berpegang pada
kebenaran; 3) sepatutnya; tidak sewenang-wenang.11 Sedangkan kata bendanya
ialah “keadilan”, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah “justice”. Oxford
Dictionary of Law mende inisikan justice adalah ideal moral yang menyatakan
bahwa hukum harus menegakan perlindungan hak-hak dan penghukuman terhadap
yang salah (a moral ideal that the law seeks to uphold in the protection of rights and
punishment of wrongs).12 Jadi, adil atau keadilan merupakan suatu tindakan yang
tidak berat sebelah demi kebenaran tanpa sewenang-wenang untuk melindungi
hak-hak siapa yang benar dan menghukum siapa yang salah.
Keadilan selalu dikaitkan pula dengan dua hal. Pertama adalah sosok
Themis, dewi keadilan dan hukum dalam mitologi Yunani. Seorang dewi yang
tertutup matanya yang dianut oleh Neo-Pagan. Themis dianggap berperan dalam
penentuan kehidupan setelah mati, dia membawa seperangkat timbangan yang
digunakan untuk menimbang kebaikan dan keburukan seseorang.13 Kedua, kita
selalu mendengar jargon dalam penegakan hukum “ϔiat justitia ruat coeleum”
yaitu hukum harus tetap ditegakkan, biarpun langit runtuh. Oleh karena itu, nilai
ϔilosoϔis yang terkandung dari keduanya sangat baik yakni hukum harus benar-benar
ditegakkan secara adil tanpa memandang bulu siapa yang bersalah yang menjadi
tanggung jawab hakim konstitusi ketika mereka dihadapkan perkara-perkara yang
diajukan di MK.
10
11
12
13
K. Bertens, Etika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, h. 224.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/adil, diunduh tanggal 31 Desember 2013.
Oxford Paperback Reference, A Dictionaryof Law, Fifth Edition Reissued With Newcovers. Edited by Elizabeth A. Martinhal, New York: Oxford
University Press, 2003, h. 275.
Wikipedia, http://id.wiki pedia.org/wiki/Themis, diunduh tanggal 31 Desember 2013.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
319
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
Mahfud MD mengatakan MK adalah pengawal konstitusi dan penafsir tunggal
atas konstitusi yang tidak terikat pada tafsir-tafsir yang berbeda-beda secara teoritis
dan akademis.14 Konsekuesinya, hakim konstitusi miliki kewajiban menyelesaikan
permasalahan hukum yang bersinggungan langsung dengan Pasal-Pasal UUD
1945 dimana terbuka banyak ruang penafsiran. Jika mereka hanya mendasarkan
pada bunyi teks tertulis dari Pasal-Pasal UUD 1945 atau penafsiran teroritis dan
akademis bukan hakikat yang tersirat di dalamnya menurut keyakinan mereka
sendiri. Dalam bahasa Ronald Dworkin dalam bukunya Law’s Empire, maka mereka
dapat disebut “plain fact” dalam memandang dasar-dasar hukum.15
Menurut Dworkin, hukum eksis hanya berbentuk sebuah fakta sederhana,
pendek kata, hukum itu berkaitan dengan “apa yang seharusnya” atau bunyi
tertulis. Oleh sebab itu, Dworkin mempertanyakan para sarjana hukum dan
hakim yang terkadang berbenturan dalam persetujuan teoritik mengenai hukum
dikarenakan mereka beranggapan mengenai hukum dari sudut pandang teori
yang berbeda.16 Mereka tidak setuju tentang hakikat “apa yang seharusnya” atau
“das sollen” di dalam hukum. Kemudian, ketika mereka dihadapkan pada kasus
yang sulit (hard cases), mereka hanya mendasarkan pada hukum tertulis yang
mengandung “perintah” untuk dilakukan, tetapi tidak memiliki rasa empati pada
moralitas dan kebenaran (morality and ϔidelity).17
Selanjutnya, Dworkin menyatakan, beberapa orang yang beranggapan bahwa
hakim yang baik seharusnya mencoba untuk mengembangkan hukum ketika
mereka bisa mengembangkannya, sebaliknya hakim yang buruk bersikap kaku,
pragmatis atau mekanis untuk menegakkan hukum menurut ukurannya dengan
hanya berdasar pada hukum tertulis saja tanpa mempedulikan penderitaan atau
ketidakadilan atau ketidakmanfaatan. Hakim yang baik lebih menyukai keadilan
dari pada hukum (the good judge prefers justice to law).18
Penekanan terhadap moral terkadang menjadi suatu yang dilematik dan
problematis bagi hakim pada umumnya karena biasanya moral dikesampingkan
dan lebih menonjol bunyi hukum tertulis yang berkarakter otoritatif. Jaap C.
Hage mengatakan bahwa hakim dapat mempergunakan penilaian yang benar
(waardeoordelen), bahkan mungkin pula penilaian moral (moreleordelen).
Menurutnya, penilaian yang benar ini tidak ditentukan hukum positif itu berbunyi,
14
15
16
17
18
Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta: Rajawali Pers, 2010, h. 99.
Ronald Dworkin, Law’s Empire, Cambridge, Massachussets: Belknap Press of Harvard University Press, 1986, h. 7.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
320
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
melainkan memiliki peran untuk “membuat” hukum baru (deze waardeoordelen
zijn niet bepalend voor hoe het bestaande recht luidt, maar spleen een rol bij het
“maken” van nieuw recht).19 Hal senada juga dikemukakan oleh Peter Mahmud
Marzuki, moral merupakan dasar berpijak hukum dan hukum harus mencerminkan
moral.20
Pendapat di atas dapat dijadikan pedoman bagi hakim konstitusi dalam
putusannya sehingga putusan tersebut menjadi landmark decision yang lebih
mengedepankan moralitas dan kebenaran. Misalnya di Amerika, kasus Marbury
v. Madison yang menggambarkan fakta sejumlah diskusi mengenai keaslian dan
keabsahan mengenai judicial review dan sekarang hampir berusia lebih dari dua
ratus lima puluh tahun. Ronald Dworkin – dia sendiri adalah seorang pendukung
judicial review – mengatakan bahwa judicial review menjadi pertanyaan secara
moralitas politik sulit untuk disetujui, kontroversial, dan dalam yang menjadi
perdebatan pula selama beberapa abad untuk para ahli ilsafat, negarawan, dan
masyarakat Amerika.21 Kasus lain seperti Brown v. Board Education, dalam kasus
pelarangan racial segregation di sekolah yang bertentangan dengan konstitusi22 atau
kasus Riggs v. Palmer dimana hakim berpedoman bahwa seseorang tidak boleh
mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri (no man may proϔit from his own
wrong). Elmer membunuh kakeknya Palmer untuk mendapatkan warisan meskipun
New York Statute of Wills tidak menyebutkan secara eksplisit, bandingkan dengan
Pasal 912 KUHPerdata yang melarang pembunuh testator untuk mendapatkan
warisan dari testator, dengan kata lain, apakah seseorang yang telah membunuh
testator dapat mewarisi kekayaan testator.23 Di Belanda, kita kenal dengan istilah
onrechmatige daad dalam Kasus Lindenbaum v Cohen.24 Sebagai contoh, pembatalan
RSBI oleh MK mirip dengan kasus Brown v. Board Education dapat dianggap
sebagai salah putusan landmark decision. Pembatalan RSBI dikarenakan adanya
diskriminasi dalam sistem pendidikan Indonesia antaran sekolah-sekolah yang
memiliki “lebel” RSBI dan sekolah-sekolah lain tanpa lebel tersebut.
Dalam menjalankan tugas dan kewajibannya, hakim konstitusi tidak perlu
takut untuk membuat putusan bersifat responsif dan preskriptif. Responsif
berarti putusan itu membuat hukum lebih tanggap terhadap dinamika yang
19
20
21
22
23
24
Jaap Hage, Recht, vaardig, en zeker, Een Inleiding in het recht, Den Haag: Boom Juridische Uitgevers, 2010, h. 328.
Peter Mahmud Marzuki, Pengantar Ilmu Hukum, Edisi Revisi, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012, h. 84.
Jeremy Waldron, The Core of the Case Against Judicial Review, the Yale Law Journal 115:1346, 2006, h. 1350.
Mark Tebit, Philosophy of Law An Introduction, New York: Routledge, 2005, h. 61.
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, hal. 134, lihat pula, Frederick Schauer, Thinking Like A Lawyer A New Introduction To Legal Reasoning, Cambridge, Massachussets: Harvard University Press, 2009, h. 33-34.
J. W. P. Verheugt, etc., Inleiding in het Nederlandse Recht, Arnhem: Gouda Quint BV, 1992, h. 225-227.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
321
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
perkembang di dalam masyarakat tanpa meninggalkan sifat pengikatannya dan
karakter moral,25 sementara preskriptif bermakna untuk diterapkan dalam praktik
sebagai “jembatan hukum”26 untuk mengisi hukum yang kosong akibat pembatalan
satu atau beberapa pasal UU dan bisa pula menjadi bahan pembuatan UU baru,
serta harus segera dieksekusi karena bersifat inal dan mengikat. Namun hal ini
terkadang memicu kontroversi karena MK memiliki sekat-sekat yang membatasi
ruang geraknya misalnya, pertama, putusan MK tidak bersifat mengatur; kedua,
MK tidak memutus batal atau tidak batal sebuah UU atau sebagian yang bersifat
terbuka yang UUD diatribusikan (diserahkan pengaturannya) kepada UUD;
ketiga, MK tidak boleh memutus hal-hal yang tidak diminta (ultra petita); dan
keempat, MK melanggar asas nemo judex indoneus in propria causa atau hakim
tidak memeriksa dan memutus atau menjadi hakim dalam hal-hal yang terkait
dengan dirinya sendiri.27
Sekat pertama dan kedua dapat disimpulkan MK telah memasuki ranah
legislasi (legislative supremacy). Untuk memecahkan hal ini, dengan menggunakan
metode perbandingan hukum (comparative approach), yang mengutip lagi
pendapat dari Ronald Dworkin, dalam sistem hukum common law, peraturan
perundang-undangan (statutory rules) menjadi subyek penafsiran dan bahkan
terbuka kembali penafsiran yang baru, terkadang hasilnya tidak sesuai apa yang
dinginkan oleh pembuat undang-undang (legislative intent).28 Lebih lanjut, hakim
memiliki diskresi untuk mengubah peraturan tersebut dikarenakan hal itu tidak
mengikat dirinya dan terlepas dari bayang-bayang model positivistik. Dworkin
mengungkapkan bahwa ketika hakim diizinkan untuk mengubah keberadaan
peraturan perundang-undangan ada dua hal yang mesti ditempuh.29 Pertama,
menurut hakim bahwa perubahan akan memajukan beberapa prinsip-prinsip
hukum yang mana prinsip-prinsip itu membenarkan perubahan tersebut, sebagai
contoh kasus Riggs v. Palmer, adanya perubahan (sebuah penafsiran baru terhadap
statute of wills) dibenarkan oleh prinsip hukum yakni seseorang seharusnya
tidak mendapatkan keuntangan dari kesalahannya sendiri. Kedua, setiap hakim
yang mengajukan pendapat hukumnya untuk mengubah keberadaan peraturan
25
26
27
28
29
Stephen B. Besser dalam “foreword” Roscoe Pound, The Ideal Element In Law, Indianapolis: Liberty Fund, 2002, h. i.
Yang dimaksud “jembatan hukum”, putusan MK biasanya mengubah bunyi pasal atau beberapa pasal dalam suatu UU yang bertujuan untuk
menghindari hukum yang kosong karena pasal itu masih dibutuhkan dalam praktik sebelum legislatif membuat UU baru. Sebagai contoh,
perubahan bunyi Pasal Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) dalam Putusan Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan, Op.cit, h. 100-102.
Ronald Dworkin, Taking Rights Seriously, Cambridge, Massachusset: Harvard University Press, 1978, h. 37.
Ibid.
322
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
perundang-undangan harus memperhitungkan beberapa ukuran-ukuran tertentu
yang berlawanan dengan titik pangkal dari doktrin-doktrin yang telah ada, dan
ukuran-ukuran ini juga diperuntukkan terhadap inti bagian-bagian dari prinsipprinsip hukum.30 Berangkat dari pendapat Dworkin ini, bahwa hakim konstitusi
harus memberanikan dirinya memasukkan doktrin ‘legislative supremacy” dalam
putusannya dengan memperhatikan seperangkat prinsip-prinsip hukum sebagai
dasar berpijak dalam membuat putusan dan bukan hanya berpatokan pada teks
tertulis.
Sekat ketiga, meskipun terdapat beberapa pandangan yang pro dan kontra
untuk hal ini. Pandangan pro dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, ultra petita
hanya berlaku di ranah hukum perdata dan pengujian atas satu pasal UU yang
memiliki kaitan dengan pasal-pasal lain di dalam UU yang diujimaterikan,
mungkin satu pasal itu merupakan jantung dari UU sehingga memiliki potensi
UU digugurkan secara keseluruhan.31 Sementara Bagir Manan, ultra petita boleh
dilakukan asalkan sejak awal pemohon mencantumkan “et aequo et bono” artinya
pemohon meminta putusan yang adil sehingga hakim konstitusi membuat putusan
yang adil meski tidak diminta pemohon seperti dalam hukum pidana.32 Pandangan
kontra disampaikan oleh Mahfud MD karena ultra petita memasuki ranah
legilatif sehingga MK boleh mematalkan isi UU yang tidak dimintakan uji materi
sekalipun.33 Menurut Penulis, MK boleh membuat putusan ultra petita dengan
alasan; pertama, berdasar sumpah hakim konstitusi bahwa hakim konstitusi untuk
menjaga konstitusi sebagai the supreme law of the land jika ada satu pasal dari
suatu UU yang merupakan jantung UU tersebut berbenturan dengan konstitusi
maka MK boleh membatalkannya, dengan catatan hanya UU yang diujimateri bukan
UU lain yang tidak diajukan oleh pemohon. Kedua, putusan MK dapat menjadi
jembatan hukum untuk menjembatani hukum yang kosong akibat pembatalan
UU, sementara dalam praktik pasal atau beberapa Pasal dari UU yang diubah
bunyinya oleh MK dibutuhkan dalam praktik.
Sekat keempat, merupakan suatu hal kontradiktif. Di satu sisi, secara umum
hakim wajib memegang asas obyekti itas bahwa hakim tidak memeriksa perkaranya
sendiri. Di sisi lain, ketika produk UU yang diujimateri ternyata menyangkut MK
dan hakim konstitusi apakah hal ini harus ditolak sementara hakim tidak boleh
30
31
32
33
Ibid.
Moh. Mahfud MD, Perdebatan., Loc.cit.
Ibid.
Ibid.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
323
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
menolak perkara yang diajukan kepadanya. Sekat ini bisa saja terjadi kepada
Mahkamah Agung (MA), jika ada aturan di bawah UU yang menyangkut MA dan
hakim MA diujimateri apakah hakim MA harus menolak pula. Berkaitan hal ini,
menurut penulis, hakim konstitusi boleh melanggar sekat keempat berdasar pula
pada sumpah jabatan bahwa hakim konstitusi harus menegakkan hukum dengan
sebaik-baiknya dan seadil-adilnya meskipun terhadap perkara yang menyangkut
dirinya sendiri dan lembaganya. Oleh karena itu, hakim konstitusi dan MA dapat
pula berpegangan pada Pasal 5 ayat (1) UU No. UU No. 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman yang menegaskan hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup di masyarakat.
Jadi, hakim konstitusi seyognya berani mengambil putusan bersifat responsif
dan preskriptif yang benar-benar adil meskipun hal ini berdampak munculnya
kontroversi. In casu, mereka seyogyanya berpegang teguh pada hakikat dan tujuan
utama hukum yaitu keadilan yang bersandar pada moralitas dan kebenaran.
C. Negarawan Yang Menguasai Konstitusi dan Ketatanegaraan
Syarat ketiga ini mengadung tiga unsur yang menjadi satu yaitu seorang hakim
yang berkarakter negarawan, ahli konstitusi dan ahli ketatanegaraan. Untuk itu
ada baiknya kita bedah satu persatun apa yang dimaksud dengan negarawan
yang ahli konstitusi dan ahli ketatanegaraan. Selanjutnya kita menarik sebuah
kesimpulan untuk syarat ketiga ini.
1. Negarawan
Apakah yang dimaksud dengan kata “negarawan”, kata ini dalam bahasa
Inggris berarti “statesman”. Diagnosis paling utama yang mesti kita lakukan
adalah mencari karakter-karakter dari sosok negarawan yang biasanya
dikaitkan dengan sosok “pemimpin”. Dari sudup pandang iloso is, karakter
negarawan sebagaimana dikemukakan oleh Edmund Burke, pemikir politik
Inggris dari abad-18 (delapan belas) menyimpulkan: “perbedaan besar antara
negarawan sejati dan penipu, negarawan seorang yang melihat masa depan dan
bertindak pada prinsip-prinsip yang ditetapkan dan untuk keabadian, semetara
penipu hanya melihat masa kini dan bertindak berdasarkan ketidakadilan
dan immoralitas.34 Dia membedakan karakteristik negarawan dan politisi,
negerawan memiliki kapasitas untuk berpikir jangka panjang (the statesman
34
Gary I. Allen, “Developing Leadership for Democratic Nations: Creating Statesmen Rather Than Politicians”, paper Delivered at the United
Nations 21 March 1996, h. 2.
324
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
has the capacity to think long-range) dan bekerja berdasar pada prinsip-prinsip
yang telah ditetapkan (the statesman operates on enduring principles).35 Dwight
Eisenhower mengatakan bahwa kualitas tinggi untuk seorang pemimpin adalah
integritasnya tidak perlu diragukan lagi (unquestionably integrity), ajaran dan
tindakannya mulia. Oleh karena itu, syarat utama seorang negarawan yaitu
integritas dan tujuan mulia dari ajaran dan tidakannya.36
Ajaran agama Islam yang bersumber dari Al Quraan dan hadits serta
diajarkan oleh Nabi Muhammad, untuk seorang negarawan harus memiliki
beberapa karakter diantaranya; prinsip keadilan, pemimpin yang adil karena
membedakan antara yang salah dan yang benar; prinsip kejujuran, pemimpin
yang jujur adalah pemimpin yang dalam segala aktivitasnya tidak menggunakan
kekuatan; setia, pemimpin dan orang yang dipimpin terikat kesetian pada
Allah; berpegang pada syariat dan akhlak Islam, pemimpin terikat peraturan
Islam, boleh menjadi pemimpin selama ia berpegang pada perintah syariat;
dan pengemban amanah, pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah
dari Allah yang disertai oleh tanggungjawab yang besar.37
Karakter negarawan yang disampaikan oleh oleh Dr. O. Notohamidjojo,
Rektor pertama Universitas Kristen Satya Wacana, dalam pidato Dies Natalis
Satya Wacana tahun 1958, yakni memiliki wawasan (vision and insight)
artinya harus mampu melihat lebih jauh ke depan atau meramalkan apa yang
akan terjadi serta memberika solusi yang terbaik dan berkeyakinan kuat dan
percaya kepada diri sendiri (strong conviction and self conϔidence). 38
Dari perspektif agama Katholik, Donna Prestwood dan Paul Schumman
menyatakan bahwa sifat kepemimpinan sejati Yesus Kristus meliputi empat
kemampuan, meliputi; ennoble-ennobling (memaknai) berarti memaknai berarti
memberi atau menanamkan makna dan tujuan orang maupun kerja mereka;
menanamkan visi dan misi organisasi; enable-enabling (memampukan),
empower-empowering (memberdayakan), memberdayakan dengan cara
membangkitkan kegairahan, membangun kepercayaan dan menghasilkan
tindakan dan encourage-encouraging (mendorong) untuk membuahkan hasil
dan pengaruh bagi misi dan membangun kegairahan yang lebih besar sehingga
dapat membuahkan perubahan dan pemberdayaan terus-menerus. 39
35
36
37
38
39
Ibid.
Ibid., h. 4.
AH. Hasanuddin, Rethorika Dakwah dan Publisistik Dalam Islam, Semarang: CV. Usaha Nasional, 2002, h. 142-145.
Sutarno, “Kepemimpinan Kristen”, http://www.leimena.org/en/page/v/442/kepemimpinan-kristen, diunduh 3 Januari 2014.
Lastiko Runtuwene, “Kepemimpinan Transformasional Pemimpin Jemaat Belajar Dari Yesus Kristus”. Disampaikan dalam Pembinaan Pimimpin
Umat Paroki Santu Yohanes Rasul Tahuna-Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Manado, 17 September 2011, h. 4-5.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
325
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
Karakter pemimpin dalam kitab Jataka, menurut agama Budha, Sang
Buddha memberikan beberapa persyaratan seorang pemimpin yang baik
(Dasa Raja Dharma), diantaranya:40 Sila (bermoral), pemimpin harus sesuai
dengan aturan moralitas; Pariccaga (berkorban), seorang pemimpin harus rela
mengorbankan kesenangan atau kepentingan pribadi demi kepentingan orang
banyak; Ajjava (tulus hati dan bersih), memiliki kejujuran, ketulusan sikap
maupun pikiran, dan kebersihan tujuan serta cita-cita dalam kepemimpinannya;
Avirodhana (tidak menimbulkan atau mencari pertentangan), tidak menentang
dan menghalangi kehendak mereka yang dipimpinnya untuk memperoleh
kemajuan sesuai dengan tujuan dan cita-cita kepemimpinannya. Ia harus
hidup bersatu dengan anggota sesuai dengan tuntutan hati nurani anggota.
Agama Hindu menyimpulkan delapan karakter atau sifat pemimpin
yang dikenal dengan nama “asta brata” yang merupakan suatu ajaran Prabu
Ramawijaya, diantaranya:41 Watak Matahari, seorang pemimping harus dapat
berfungsi sebagai matahari yang dapat memberikan semangat dan kehidupan
dari rakyatnya; Watak Bulan, seorang pemimping harus dapat berfungsi sebagai
bulan yang dapat memberikan penerangan serta dapat membimbing rakyat
yang berada dalam kegelapan; Watak Binatang, seorang pemimpin harus
dapat memberikan contoh/tauladan kepada rakyatnya/atau putranya; Watak
Angin, seorang pemimpin harus dapat bertindak secara teliti dan bijaksana
disamping harus melayani kehidupan rakyatnya; Watak Mendung, seorang
pemimpin harus bersikap wibawa di hadapan rakyatnya; Watak Api, seorang
pemimpin harus dapat bertindak adil dan berprinsip, disiplin, dan tegas kepada
bawahannya; Watak Samudra, seorang pemimpin harus memiliki pandangan
yang luas dan siap menerima persoalan; dan Watak Bumi, seorang pemimpin
harus mempunyai sifat jujur, berbudi pekerti yang luhur serta mau memberi
anugerah kepada siapa saja yang berjasa kepada negara.
Dari beberapa pendapat di atas, aksen yang paling krusial untuk
dinyatakan bahwa seorang negarawan atau pemimping adalah “seseorang yang
mengorbankan jiwa dan raganya demi kepentingan bangsa dan negaranya
daripada kepentingan pribadi dan golongannya.” Oleh karena itu, seyogyanya
hakim konstitusi membuat putusan yang lebih mengedepankan kepentingan
bangsa dan negara daripada kepentingan pribadi dan golongannya.
40
41
Upa. Sasanasena Seng Hansen, Ikhtisar Ajaran Buddha, Yogyakarta: Vidyasena Production, 2008, h. 55-57.
I Wayan Wirata, “Kepemimpinan Universal pada Era Globalisasi dalam Konsep Hindu”, GaneC Sewa, Vol. 5 No. 1 Februari 2011, h. 97.
326
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
2. Menguasai Konstitusi
Frase kata “menguasai konstitusi” terdiri dari dua kata, yaitu “menguasai”
dan “konstitusi”. Kata “menguasai” ialah kata kerja yang berasal dari kata
“kuasa” yang dalam hal ini memiliki hubungan dengan kata “ahli”, seperti
orang yang menguasai suatu warisan maka kita menyebutnya dengan “ahli
waris.” Jadi, kata “menguasai” ada baiknya kita menggantinya dengan kata
“ahli”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), seseorang yang
dapat dikatakan ahli adalah orang yang mahir, paham sekali di suatu ilmu
(kepandaian).42 Oxford Advance Leaner’s mende inisikan ahli adalah orang
dengan pengetahuan khusus, terampil atau terlatih dalam suatu bidang khusus
(expert is person with special knowledge, skill or training in a particular ϔield).43
Jadi ahli adalah orang yang memiliki pengetahuan, ketrampilan, terlatih dan
profesionalitas di dalam suatu bidang tertentu.
Selanjutnya, apa yang dimaksud dengan “konstitusi”. L. J. Van Appeldorn,
sarjana hukum Belanda, memberikan catatan perbedaan pengertian UUD dalam
arti constitutie dan grondwet. Dia menyatakan bahwa konstitusi itu lebih luas
daripada UUD, karena UUD itu tidak lain menjadi bagian daripada konstitusi.
UUD adalah bentuk tertulis, sedangkan konstitusi memuat peraturan tertulis
maupun tidak tertulis (geschreven en ongeschreven recht/written and unwritten
law).44 Tak pelak pendapat Van Appeldorn mempengaruhi para penyusun UUD
1945, oleb sebab itu dalam penjelasan dinyatakan secara tegas: “UUD suatu
negara ialah sebagian dari hukumnya dasar negara itu. UUD ialah Hukum
Dasar yang tertulis, sedang disamping UUD itu berlaku juga Hukum Dasar
yang tak tertulis, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam
praktek penyelenggara negara, meskipun tidak tertulis.”45
Hal ini dapat dimaknai bahwa konstitusi dapat berarti pertama, konsitusi
dalam arti formal dan kedua, konsitusi dalam arti substantif. Yang pertama
biasanya merujuk pada dokumen tertulis dan dikodi ikasikan memuat
aturan dan prinsip hukum, adanya tuntutan supremasi diatas semua aturan
hukum yang lain berkaitan dengan perintah hukum, dan dari hukum yang
lain tersebut berasal dari aturan dan prinsip tersebut. Yang kedua mengacu
pada seperangkat hukum dan norma yang mengatur dan mengkonstruksi
42
43
44
45
Kamus Besar Bahasa Indonesia, http://kbbi.web.id/, diunduh 5 Januari 2014.
A. S. Hornby, Op.cit, hal. 405.
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 169.
Ibid.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
327
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
pemerintahan dari suatu negara dan menentukan batas-batas kewenangan
pemerintah dalam arti perspektif dan diskriptif.46 Kesimpulannya, konstitusi
adalah aturan dan prinsip hukum tertinggi yang berbentuk tertulis yang mana
memuat cita-cita suatu negara, pengaturan tata negara dan pemerintahan, hakhak dan kewajiban warga negara dan yang berbentuk tidak tertulis ialah aturan
dan pedoman hukum yang berlaku dalam praktek kehidupan suatu negara,
termasuk pengakuan terhadap hukum kebiasaan dalam masyarakat.
Jadi, ahli konstitusi ialah orang yang memiliki pengetahuan, ketrampilan,
terlatih dan profesionalitas mengenai aturan dan prinsip hukum tertinggi yang
berbentuk tertulis yaitu UUD dan tidak tertulis yang berlaku dalam praktek
kehidupan suatu negara, termasuk pengakuan terhadap hukum kebiasaan
dalam masyarakat.
3. Menguasai Ketatanegaraan
Kata “menguasai” telah dibahas di atas yang berkaitan dengan kata “ahli”
untuk itu dalam bab ini hanya dibahas mengenai kata “ketatanegaraan”.
Kata ini berasal dari dua suku kata yaitu “tata negara” sebagai salah
cabang ilmu hukum yang biasanya disebut hukum tata negara (het
constitutioneel recht/constitutional law). Oleh sebab itu, yang dimaksud dengan
“ketatanegaraan” dalam hal ini ialah lebih bijak apabila de inisi tata negara
diambil dari hukum tata negara.
P.J.P. Tak mende inisikan bahwa hukum tata negara mengatur antara lain
peraturan pelaksanaan kekuasaan negara, pembagian kekuasaan diantara
organ-organ yang melaksanakan kekuasaan negara dan aturan-aturan yang
mengatur tentang penyalahgunaan kekuasaan negara.47 Sementera itu, Moh.
Kosnardi dan Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa hukum tata negara dapat
dirumuskan sebagai sekumpulan peraturan hukum yang mengatur organisasi
daripada negara, hubungan antaralat perlengkapan negara dalam garis vertikal
dan horizontal, serta kedudukan warga negara dan hak asasinya.48 Jadi, hukum
tata negara adalah hukum yang mempelajari peraturan-peraturan hukum yang
mengatur pembagian kekuasaan kepada lembaga-lembaga negara beserta
tugas, pokok, fungsinya dan pembatasan kewenangannya, hubungan di antara
46
47
48
Monica Claes, “Constitutional Law”, Elgar Encyclopedia of Comparative Law, Edited by Jan M. Smits. Northampton, Massachussets: Edward
Elgar Publishing, 2006, h. 188.
P.J.P. Tak, Rechtsvorming in Nederland, Alphend aan de Rijn: Samson H.D. Tjeenk Willink, 1991, h. 32.
Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: FH UI dan Sinar Bakti, 1983, h. 29.
328
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
lembaga-lembaga negara dan hubungan lembaga-lembaga negara dengan
individu dan/atau kelompok masyarakat secara vertikal maupun horizontal,
serta kedudukan warga negara dan hak-hak dasarnya. Seorang ahli hukum tata
negara tidak boleh menutup matanya untuk politik dan demokrasi. Menurut
André Donner, seorang komisi negara (Staatscommissie) Belanda, jika ia tidak
mampu mengusai kedua bidang tersebut, maka ia akan mendapat gelar
‘juristenmyopie’ (sarjana hukum mata minus). Donner mengatakan: “Ook een
democratie moet een rechtsstaat zijn (daarom staatsrecht), maar het ontwikkelt
zich tot een myopie van juristen indien deze rechtsstaat wordt ingekrompen tot
een rechtersstaat (Sebuah demokrasi harus pula sebuah negara hukum (oleh
karena itu), tetapi demokrasi berkembang menjadi suatu yang mengaburkan
bagi para sarjana hukum meskipun negara hukum ini disusutkan menjadi
sebuah negara hukum)”.49 Kemudian, Donner mengingatkan seorang sarjana
hukum tata negara haruslah mengusai hukum tata negara itu sendiri, politik,
dan demokrasi.50 Di mata Donner hukum tata negara itu membentuk sebuah
bendungan yang di dalamnya proses politik tidak dapat bergerak bebas.51
Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Groningen Belanda, Douwe
Jan Elzinga mempostulatkan bahwa hukum tata negara penting, tetapi amat
sangat sedikit perannya karena lebih banyak didominasi oleh permainan
politik kotor. Pernyataan ini Beliau lontarkan mengingat begitu mirisnya
kehidupan ketatanegaran saat ini dikarenakan tidak begitu banyak orang
mempedulikannya sehingga dia menyarankan tujuan utama dari hukum tata
negara adalah untuk mencegah dan menghindarkan kekuasaan dari tangan
seorang “magnum latrocinium” atau roversbende yang berarti perampok
atau perompak.52 Untuk sebab itu, pretensi terhadap politik harus dicurigai
karena UUD harus dijauhkan dan dijamin untuk tidak berada di tengah-tengah
gelombang politik yang buas (saevis tranquillus in undis). Menurutnya, hukum
tata negara harus menjadi semacam tanggul dalam (slaperdijk) dengan margin
untuk politik dan kehidupan bersama.53
Kesimpulannya, ahli ketatanegaraan adalah orang yang memiliki
pengetahuan, ketrampilan, terlatih dan profesionalitas pertama mengenai
49
50
51
52
53
Douwe Jan Elzinga, “Tranquillus in Undis Zeven Vuistregels voor De Grondwetgever” dalam Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties, De Grondwetsherziening van 1983: 30 Jaar Oud of 30 Jaar nog?, Den Haag: Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties,
Juli 2013, h. 27-28.
Ibid.
Ibid.
Ibid.
Ibid, h. 28.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
329
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
aturan hukum yang mengatur pembagian kekuasaan lembaga-lembaga negara
yang mencakup, pokok, fungsi, pembatasan kewenangannya, hubungan antara
lembaga-lembaga negara tersebut, individu dan/atau kelompok masyarakat;
kedua, kedudukan warga negara dan hak-hak dasarnya; dan ketiga, politik
dan demokrasi.
Jadi yang dimaksud dengan “negarawan yang menguasi konstitusi dan
ketatanegraan ialah hakim konstitusi yang memiliki karakter negarawan serta
memiliki keahlian di bidang konstitusi dan hukum tata negara.
KESIMPULAN
Hakim konstitusi harus benar-benar memiliki integritas dan kepribadian
tidak tercela, adil dan negarawan yang mengusai konstitusi dan ketatanegaraan.
Integritas dan kepribadian tidak tercela terkristalisasi dalam diri hakim konstitusi
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai hakim dan kehidupan seharihari. Adil termanifestasi melalui putusan bersifat responsif dan preskriptif yang
berpegah teguh pada hakikat dan tujuan utama hukum yaitu keadilan yang
bersandar pada moralitas dan kebenaran untuk mengawal konstitusi dan berbakti
kepada nusa dan bangsa meskipun yang dihadapinya menyangkut perkara dirinya
sendiri dan lembaganya. Hakim konstitusi ialah hakim yang memiliki karakter
negarawan yang memiliki keahlian di bidang konstitusi dan tata negara. Karakter
negarawan yang memiliki integritas yang mengedepankan kepentingan bangsa dan
negara, berbudi pekerti yang luhur, bertindak adil, berwibawa dan berwawasan
luas yang didukung dengan keahlian dalam memahami konstitusi baik tertulis
maupun tidak tertulis dan ketatanegaraan yang meliputi aturan hukum pembagian
kekuasaan lembaga negara, hak asasi manusia, politik dan demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
A. S. Hornby, 1995, “Oxford Advance Leaner’s Dictionary”, Walton Street: Oxford
University Press.
AH. Hasanuddin, 2002, “Rethorika Dakwah dan Publisistik Dalam Islam”, Semarang:
CV. Usaha Nasional.
330
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
Douwe Jan Elzinga, “Tranquillus in Undis Zeven Vuistregels voor De Grondwetgever”
dalam Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties, De
Grondwetsherziening van 1983: 30 Jaar Oud of 30 Jaar nog?, Den Haag:
Ministerie van Binnenlandse Zaken en Koninkrijksrelaties, Juli 2013.
Franz Magnis-Suseno, 1987, “Etika Dasar Masalah-masalah pokok ϔilsafat moral”,
Yogyakarta: Kanisius.
Gary I. Allen, “Developing Leadership for Democratic Nations: Creating Statesmen
Rather Than Politicians”, paper Delivered at the United Nations 21 March 1996.
I Wayan Wirata, “Kepemimpinan Universal pada Era Globalisasi dalam Konsep
Hindu”, GaneC Sewa, Vol. 5 No. 1 Februari 2011.
J. W. P. Verheugt, etc., 1992, “Inleiding in het Nederlandse Recht”, Arnhem: Gouda
Quint BV.
Jaap Hage, 2010, “Recht, vaardig, en zeker, Een Inleiding in het recht”, Den Haag:
Boom Juridische Uitgevers.
Jalaluddin Rumi, 2006, “Yang Mengenal Dirinya Yang Mengenal Tuhannya aforismeaforisme suϔistik Jalaluddin Rumi”, Bandung: Pustaka Hidayah.
James Fadiman, Robert Frager (Ed.), 2002, “Indahnya Menjadi Suϔi”, alih bahasa:
Helmi Mustofa, Yogyakarta: Pustaka Su i.
Jeremy Waldron, 2006, “The Core of the Case Against Judicial Review”, the Yale
Law Journal 115:1346.
K. Bertens, 2011, “Etika”, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Lastiko Runtuwene, “Kepemimpinan Transformasional Pemimpin Jemaat Belajar
Dari Yesus Kristus”. Disampaikan dalam Pembinaan Pimimpin Umat Paroki
Santu Yohanes Rasul Tahuna-Sangihe, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Manado,
17 September 2011.
Mark Tebit, 2005, “Philosophy of Law An Introduction”, New York: Routledge.
Miriam Budiardjo, 2008, “Dasar-Dasar Ilmu Politik”, Edisi Revisi, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Moh. Kosnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara,
Jakarta: FH UI dan Sinar Bakti.
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
331
Hakim Konstitusi Adalah Hati dalam Tubuh Mahkamah Konstitusi
Moh. Mahfud MD, 2010, “Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi”, Jakarta: Rajawali Pers.
Monica Claes, 2006, “Constitutional Law”, Elgar Encyclopedia of Comparative
Law, Edited by Jan M. Smits. Northampton, Massachussets: Edward Elgar
Publishing.
Oxford Paperback Reference, 2003, “A Dictionaryof Law”, Fifth Edition Reissued
With Newcovers. Edited by Elizabeth A. Martinhal, New York: Oxford University
Press.
P.J.P. Tak, 1991, Rechtsvorming in Nederland, Alphend aan de Rijn: Samson H.D.
Tjeenk Willink.
Peter Mahmud Marzuki, 2012, “Pengantar Ilmu Hukum”, Edisi Revisi, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 dalam perkara
permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, yang diajukan oleh Hj. Aisyah Mochtar alias Machica binti H. Mochtar
Ibrahim dan Muhammad Iqbal Ramadhan bin Moerdiono.
Ronald Dworkin, 1978, “Taking Rights Seriously”, Cambridge, Massachusset:
Harvard University Press.
Ronald Dworkin, 1986, “Law’s Empire”, Cambridge, Massachussets: Belknap Press
of Harvard University Press.
Roscoe Pound, 2002, “The Ideal Element In Law”, Indianapolis: Liberty Fund.
Upa. Sasanasena Seng Hansen, 2008, “Ikhtisar Ajaran Buddha”, Yogyakarta:
Vidyasena Production.
W. Poespoprodjo, 1999, “Filsafat Moral Kesusilaan dalam Teori dan Praktik”,
Bandung: Pustaka Gra ika.
332
Jurnal Konstitusi, Volume 11, Nomor 2, Juni 2014
Download