ANALISIS LEGAL ASPEK DAN KEBIJAKAN RESTRAIN, SEKLUSI DAN PASUNG PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN JIWA Eka Malfasari1, Budi Anna Keliat2 dan Novy Helena Chatarina Daulima3 Program Magister Ilmu Keperawatan Kekhususan Keperawatan Jiwa Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia Abstrak Pasien dengan perilaku kekerasan beresiko untuk mencedarai diri sendiri, orang lain dan lingkungan salah satu cara yang digunakan di rumah sakit jiwa adalah restrain dan seklusi, sedangkan di masyarakat adalah pasung. Tetapi saat ini di Indoensia belum ada legal aspek dan kebijakan khusus untuk restrain, seklusi dan pasung. Sehingga perlu dilakukan analisis tentang kebijakan restrain, seklusi dan pasung yang ada di luar negeri. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan tematik analisis. Jumlah dokumen luar negeri yang di dapat ada 8 dokumen dan 7 dokumen dari Indonesia. Penelitian dianalisis menggunakan analisis tematik. Hasil: Tema dari analisis kebijakan dan legal aspek restrain, seklusi dan pasung yang ada di luar negeri. Tema utama tersebut adalah (1) Restrain, seklusi dan pasung merupakan alternatif akhir intervensi, (2) Perlindungan Hak Asasi Manusia selama Restrain Seklusi dan Pasung dan (3) Keselamatan Pasien dan Perawat dalam Pelaksanaan Restain, Seklusi dan Pasung. Sedangkan hasil analisis kebijakan dan legal aspek restrain, seklusi dan pasung yang ada di Indonesia menemukan dua tema besar yaitu (1)keselamatan pasien dan perawat dan (2) perlindungan hak asasi manusia selama restrain, seklusi dan pasung. Hasil analisis ini direkomendasikan sebagai dasar kebijakan dan legal aspek restrain, seklusi dan pasung di Indonesia. Kata Kunci: Restrain; Seklusi; Pasung; Legal Aspek; Kebijakan LATAR BELAKANG Pasien dengan gangguan jiwa merupakan seseorang yang beresiko tinggi untuk melakukan tindakan kekerasan baik pada diri sendiri, orang lain, maupun lingkungannya (Aras, 2014). Perilaku pasien yang dapat mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungannya muncul karena tanda gejala positif seperti halusinasi (Ranjan, Prakash, Sharma, & Singh, 2010). Halusinasi pasien dengan skizofrenia bisa menjadi pencetus terjadinya perilaku kekerasan (Fazel, Gulati, Linsell, Geddes, & Grann, 2009). Perilaku kekerasan yang dilakukan pasien antara lain dalam bentuk kata-kata kasar sebanyak 60% (Foster, Bowers, & Nijman, 2007), melakukan tindakan kekerasan terhadap objek sebanyak 29 % dan melakukan kekerasan terhadap diri sendiri sebanyak 19 % (Bobes, Fillat, & Arango, 2009). Sedangkan perilaku maladaptif yang muncul pada pasien dengan tanda gejala negatif seperti isolasi sosial adalah adanya percobaan bunuh diri (National Institue of Mental Health, 2009). Percobaan bunuh diri merupakan salah satu bentuk perilaku kekerasan pada diri sendiri. Tanda dan gejala yang khas pada pasien skizofrenia yang dapat juga merugikan 1 termasuk mencederai diri sendiri orang lain ataupun lingkungannya membuat tenaga kesehatan atau orang-orang di sekeliling pasien memberikan penanganan khusus untuk mengatasi perilaku tersebut. Penanganan yang sering dilakukan dilakukan di rumah sakit jiwa adalah pengikatan atau restrain (restraint) dan pengurungan atau seklusi (seclusion). Sedangkan pasien dengan skizofrenia di komunitas akan di restrain dan di seklusi yang dikenal dengan istilah pasung (confinement) (Minas & Diatri, 2008). Restrain adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk mengekang seseorang dengan menggunakan fisik atau alat lain (NMHCCF, 2012). Sedangkan seklusi adalah suatu tindakan dimana seseorang tidak diberikan kebebasan dan dikurung selama pagi, siang dan malam di sebuah ruangan yang tidak ada jalan keluarnya atau ruangan tertutup (NMHCCF, 2012). Restrain dan seklusi adalah tindakan untuk mengendalikan pasien yang dilakukan oleh profesional, sedangkan pasung (confinement) adalah tindakan untuk mengendalikan pasien yang tidak terkontrol oleh masyarakat biasa atau non profesional (Minas & Diatri, 2008). Jadi, dapat disimpulkan bahwa restrain, seklusi dan pasung merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengontrol perilaku mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan pada pasien dengan gangguan jiwa. Restrain dan seklusi hingga saat ini masih dilaksanakan di rumah sakit jiwa di seluruh dunia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 67 dari 1000 orang pasien yang di rawat di rumah sakit jiwa di Amerika Serikat selama 10 tahun terakhir yang di lakukan pengasingan setiap hari, sedangkan sebanyak 29 % atau 42,7 dari 1000 orang pasien dilakukan pengikatan setiap harinya (Hert, Dirix, Demunter, & Correll, 2011). Australia mengalami peningkatan jumlah restrain dan seklusi dari 9% hingga 31% dari tahun 1998 hingga tahun 2005 mengalami seklusi, dengan angka 33 kali pengurungan setiap hari dan 12.000 pengurungan atau seklusi pertahun. Hal ini menunjukkan angka pasien di restrain cukup tinggi setiap hari nya di rumah sakit dengan alasan untuk penanganan pasien yang akan membahayakan diri sendiri, orang lain dan lingkungannya. Restrain dan seklusi juga dilakukan di rumah sakit Indonesia. Angka pasien yang dilakukan resrain dan seklusi di rumah sakit jiwa Tampan pada tahun 2012 sebanyak 498 pasien dengan rata-rata lama pengekangan adalah 8 jam. Sedangkan data yang di dapatkan peneliti di rumah sakit jiwa Surakarta, pada bulan februari 2014 adalah sekitar 13 pasien 2 dengan rata-rata lama pengurungan adalah 6 jam. Jumlah ini termasuk tinggi, dimana jam restrain dan seklusi juga tidak sesuai dengan standar yang berlaku. Restrain dan seklusi pada pasien harus dicek setiap satu jam sekali (2006). Hal ini dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan restrain dan seklusi di indonesia belum sesuai dengan standar, begitu juga pelaksaan pasung di masyarakat. Di Indonesia, masyarakat mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa yang tidak bisa dikontrol dengan pasung (confinement) (Puteh, Marthoenis & Minas, 2011) dibawa ke paranormal atau di bawa kepelayanan kesehatan (Keliat, Riasmini & Daulima, 2012). Perkiraan pasien yang di pasung di seluruh Indonesia adalah 25.000 pasien (Colucci, 2013). Perkiraan lainnya sebanyak 18.000 pasien dengan gangguan jiwa di Indonesia di pasung dan belum semua klien gangguan jiwa teridentifikasi di pasung (Keliat, 2013). Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa 14 dari 100 pasien dengan skizofrenia pernah di pasung. Rendahnya pengetahuan masyarakat tentang gangguan jiwa mengakibatkan masyarakat tidak hanya memasung tetapi pasien gangguan jiwa sebanyak 46, % di bawa ke paranormal atau orang pintar (Keliat, Riasmini, & Daulima, 2012), membuat pasien gangguan jiwa tidak mendapatkan perawatan yang layak. Alasan dilakukan pemasungan oleh masyarakat tidak hanya karena masyarakat dan keluarga takut pasien akan bunuh diri dan mencederai orang lain, tetapi juga karena pemerintah tidak memberikan pelayanan kesehatan jiwa dasar pada pasien dengan gangguan jiwa (Minas & Diatri, 2008). Selain itu alasan lain pasien gangguan jiwa di pasung di masyarakat adalah karena adanya stigma masyarakat (Corrigan, Watson, & Miller, 2006) sehingga keluarga memutuskan untuk memasung pasien (Puteh, Marthoenis, & Minas, 2011). Banyak alasan yang dijadikan keluarga sehingga mengambil keputusan untuk memasung. Selain alasan keamanan dan stigma masyarakat, kondisi sosial ekonomi dan kegagalan tindakan alternatif pra pasung juga membuat keluarga memutuskan untuk memasung keluarganya dengan gangguan jiwa (Daulima, 2014). Hal ini dapat disimpulkan bahwa pasung yang terjadi pada pasien gangguan jiwa di masyarakat tidak hanya karena pengetahuan masyarakat di Indonesia yang cukup rendah, tetapi karena keluarga, stigma, ekonomi dan pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus pada pelayanan kesehatan jiwa pada pasien. Restrain, seklusi dan pasung yang dilakukan pada pasien dengan gangguan jiwa yang terjadi pada pasien gangguan jiwa selain untuk mengendalikan perilaku pasien tetapi juga 3 memberikan dampak tersendiri untuk pasien, perawat dan pelaku. Dampak terjadinya restrain dan seklusi bisa terjadi pada pihak pasien sendiri dan untuk perawat yang melakukan tindakan ini. Restraint dan seklusi pada pasien bisa menyebabkan trauma, termasuk trauma secara fisik dan psikologis (Haimowits, Urff & Huckshorn, 2006). Penelitian menunjukkan bahwa restrain secara fisik telah membuat 22 orang dari 26 kasus pasien gangguan jiwa meninggal (A. Berzlanovich, J. Schöpfer, & W. Keil, 2012). Restrain yang juga menyebakan trauma psikologis, dimana restrain dan seklusi membuat pasien gangguan jiwa mengambil langkah untuk bunuh diri (suicide) (Haimowits, Urff, & Huckshorn, 2006). Akibat selanjutnya dengan adanya restrain dan seklusi adalah pasien menjadi cedera atau bahkan meninggal dunia. Pada tahun 1998 terdapat sekitar 50 hingga 150 orang yang meninggal dan mengalami trauma karena adanya pengasingan dan pengikatan di ruangan perawatan jiwa di Amerika Serikat (NASMHPD, 2012). Dampak negatif juga dirasakan pada pasien yang di pasung. Pasien yang yang dipasung lebih dari 20 tahun akan mengalami atropi otot, tidak bisa lagi berjalan (jika kaki di pasung), dan mengalami cedera hingga pasien harus di terapi jika pasien tersebut dilepaskan dari pasung (Puteh, et al., 2011). Dampak restrain dan seklusi merugikan pihak pasien hingga mengalami kecatatan hingga kematian. Selain restrain dan seklusi memberikan dampak yang negatif untuk pasien, perawat dan orang-orang yang memberikan restrain, seklusi dan pasung juga menjadi pihak yang dirugikan. Restrain selain membahayakan pasien tindakan ini juga bisa membahayakan staff perawat yang melakukannya yaitu mengalami cedera atau mendapatkan sangsi (NASMHPD, 2012). Peneliti pernah menemukan kasus dimana pasien mengamuk dan perawat melakukan tindakan untuk merestrain pasien, tetapi karena tidak ada standar maka pasien tersebut mengalami fraktur pada bagian tangan dan perawat tersebut di berikan sanksi karena telah membahayakan keselamatan pasien. Penelitian yang berjudul Staff perceptions and organizational factors as predictors of seclusion and restraint on psychiatric wards menulis alasan yang membuat perawat di ruangan jiwa merasa tidak nyaman melakukan restrain dan seklusi, alasan ketidaknyamanan dalam melaksanakan restrain dan seklusi adalah peralatan yang kurang memadai, peraturan yang tidak jelas hingga staff ikut merasa emosi ketika ada pasien yang mengamuk dan di berikan restrain dan seklusi (De Benedictis et al., 2011). Pengurangan dampak negatif pada pasien dan perawat sebagai pelaksana restrain dan seklusi dapat dilakukan dengan adanya aspek legal dalam bentuk peraturan dan kebijakan dalam pelaksanaan restrain dan seklusi pada pasien dengan gangguan jiwa. Peraturan dan Aspek legal restrain dan seklusi sudah ada di negara-negara di dunia. Amerika Serikat 4 merupakan negara yang mempunyai peraturan mengenai restain dan seklusi pada pasien. Peraturan tentang restrain dan seklusi pada pasien ini ada pada Federal Register Part IV Departement of Health and Human Services; Medicare and Medicaid Programs; Hospital Conditions of Partisipation; Patients’ Right; Final Rule tahun 2006. Peraturan tentang restrain dan seklusi dibahas secara umum. Peraturan tersebut membahas restrain dan seklusi pada pasien umum dan pasien gangguan jiwa. Dalam peraturan ini teradapat kriteria-kriteria restrain dan seklusi, pengaturan penggunaan restrain dan seklusi, siapa yang berhak melakukan restrain dan seklusi. Angka yang tinggi dalam pelaksaan restrain dan seklusi dan kematian yang terjadi karena pelaksanaan restrain dan seklusi di Australia membuat National Mental Health Consumer & Carer Forum (NMHCCF) Australia mencoba mengubah tentang peraturan penggunaan restrain dan seklusi yang sudah ada yang diatur oleh Departemen Kesehatan mereka (National Mental Health Consumer & Carer Forum, 2009). Tidak semua negara di dunia mempunyai peraturan khusus mengenai restrain dan seklusi, begitu juga di Indonesia. Indonesia telah mempunyai kebijakan tentang restrain dan seklusi. Pemasungan (restrain dan seklusi) di Indonesia sebelumnya telah dilarang Surat Menteri Dalam Negeri Nomor PEM.29/6/15 tahun 1977 berisi tentang pelarangan pasung pada pasien gangguan jiwa, dan masyarakat diharapkan untuk membawa pasien dengan gangguan jiwa untuk dilakukan perawatan di rumah sakit jiwa, sehingga pasien yang dianggap mencederai diri sendiri dan lingkungannya bisa di tangani di rumah sakit. Saat ini di Indonesia juga sudah ada penanganan restrain tersendiri untuk gawat darurat psikiatri, dimana sudah di tuangkan dalam modul Psychiatric Intensive Care Unit (PICU). Pelaksanaan restrain dan seklusi atau pasung di masyarakat juga telah tertuang secara tersirat dalam Undang-undang (UU) kesehatan No 36 tahun 2009 tentang kesehatan jiwa. Pasal-pasal dalam UU tersebut telah tercantum hak-hak pasien dengan masalah kejiwaan bahwa mereka punya hak yang sama dengan orang sehat lainnya. Ayat 149 dalam pasal tersebut juga menyebutkan bahwa jika ada pasien dengan gangguan jiwa yang mengganggu, mengancam diri sendiri dan orang lain berhak untuk mendapatkan perawatan yang layak. Pada kenyataannya masih banyak pasien yang di restrain dan seklusi dan mendapatkan berbagai dampak akibat dari restrain, seklusi dan pasung tersebut. Hal ini dapat disimpulkan bahwa belum adanya peraturan khusus tentang standar-standar restrain dan seklusi. Belum adanya pelarangan pasung yang juga di dalam kebijakan tersebut akan 5 diberikan sangsi yang sesuai. Perawat sebagai tenaga kesehatan dengan kontak terlama dengan pasien dan pasien bisa menjadi korban dalam pelaksanaan restrain dan seklusi karena tidak ada peraturan khusus yang menangangi tentang restrain dan seklusi ini. Saat ini di Indonesia belum ada ditemukan peraturan, aspek legal, kebijakan mengenai restrain dan seklusi untuk penanganan pasien yang amuk dan tidak terkontrol yang lebih spesifik. Banyaknya kasus yang mengakibatkan pasien menjadi trauma karena tindakan restrain dan peraturan restrain dan seklusi yang sesuai dengan standar. Restrain, seklusi dan pasung yang mengakibatkan banyaknya dampak negatif jika tidak dilakukan sesuai standar maka dampak tersebut secara tidak langsung juga melanggar Hak Asasi Manusia (HAM) pasien itu sendiri. Hal ini dapat menyebabkan dilema ketika pasien dengan gangguan jiwa harus dilakukan restrain, seklusi dan pasung tetapi mengalami cedera karena pasien tersebut melawan restrain, seklusi dan pasung yang di berikan, secara tidak langsung perawat akan dirugikan karena peraturan ini. Selain itu banyak nya dampak negatif pada pasien dan perawat serta tidak ada peraturan, kebijakan atau legal aspek yang jelas dalam melakukan restain restrain, seklusi dan pasung. Fakta ini membuat peneliti ingin melihat bagaimana penerapan peraturan tentang restrain, seklusi dan pasung di negara-negara di dunia yang nantinya akan menjadi dasar untuk Indonesia dalam pembuatan peraturan atau kebijakan tentang restrain dan seklusi dan penghapusan pasung di Indonesia. METODE PENELITIAN Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis tematik. Penelitian ini menggunakan dokumen sebagai data. Dokumen yang digunakan adalah legal aspek, kebijakan dan peraturan restrain, seklusi dan pasung yang ada di seluruh dunia dan di Indonesia. Jenis dokumen yang di dapat adalah jenis dokumen yang telah di publikasikan dan bisa diakses oleh siapa saja, pengambilan jumlah sampel menggunakan tehnik purposive sampling. Jumlah dokumen legal aspek dan kebijakan restrain, seklusi dan pasung di luar negeri adalah 8 dokumen sedangkan dari dalam negeri 7 dokumen. Sumber dokumen didapatkan dari hasil penelusuran internet dan mencari informasi di rumah sakit jiwa di Indonesia. Dokumen pada penelitian ini di kelompokkan menjadi dua yaitu dokumen dunia dan dokumen Indonesia. Dokumen ini akan di analisis secara terpisah. Analisis yang digunakan adalah analisis tematik yang digunakan dengan membuat koding telebih dahulu untuk 6 memudahkan peneliti dalam mengelompokkan kata kunci. Hasil dari kata kunci akan menjadi kategori dan beberapa kategori menjadi sebuah tema. HASIL PENELITIAN Terdapat beberapa perbedaan dan persamaan antara kebijakan restrain, seklusi dan pasung yang ada di Luar Negeri dan Indonesia. Perbedaan pertama terletak dari jumlah penemuan tema dari kedua analisis, analisis dokumen luar negeri dan dalam negeri. Tema yang didapat dari analisis dokumen di luar negeri adalah restrain, seklusi dan pasung sebagai alternatif terakhir, perlindungan HAM pada pasien restrain, seklusi dan pasung dan keselamatan pasien dan staf. Sedangkan tema yang di dapat dari analisis dokumen dalam negeri adalah keselamatan pasien dan perawat dan perlindungan Hak Asasi Manusa (HAM) pada pasien yang dilakukan restrain seklusi dan pasung. Perbedaan lainnya terlihat pada poin-poin kategori masing-masing, berikut merupakan tabel yang menunjukan perbedaan dan persamaan analisis dalam dan luar negeri. Tabel Persamaan dan Perbedaan Kebijakan Legal Aspek Restrain, Seklusi dan Pasung di Luar Negeri dan Indonesia No 1 2 Tema Kategori Dokumen luar negeri Dokumen indonesia restrain, seklusi dan pasung sebagai alternatif terakhir Cara Terakhir ada - Alternatif lain tidak berhasil ada - perlindungan HAM pada pasien restrain, seklusi dan pasung memberikan informasi pada pasien dan keluarga tentang pelaksaanaan restrain, seklusi dan pasung, dan perawat ada Ada pelaksanaan restrain dan seklusi bukan merupakan sebuah hukuman ada - durasi restrain dan seklusi yang sesingkatsingkatnya ada - memberikan pakaian pada pasien ada - staff dan pasien mempunyai jenis kelamin yang sama ada - memberikan kebutuhan minum dan toilet) (makan, ada Ada mempertimbangkan budaya dalam pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung ada - pasien 7 3 Keselamatan Pasien dan Perawat tidak membeda-bedakan pasien ada Ada adanyanya fasilitas untuk di restrain dan seklusi ada Ada perlindungan kepada pasien, ada Ada membebaskan pasien gangguan jiwa yang di pasung ada - mempertahankan keselamatan fisik pada pasien ada - tidak melakukan restrain dan seklusi secara bersamaan ada - alat restrain, seklusi dan pasung tidak menyakiti pasien ada - memonitor dan mengobservasi keselamatan pasien ada Ada tersedianya alat-alat emergensi jika terjadi kegawatdaruratan pada pasien di ruangan restrain dan seklusi di rumah sakit ada - staf harus dilatih sebelum ditugaskan dalam ruangan restrain dan seklusi. ada Ada Keselamatan staff. ada - komunikasi yang terapeutik - Ada Hasil analisa di atas menunjukkan beberapa persamaan dan perbedaan dalam beberapa kategori analisa dokumen dari dalam dan luar negeri. Temuan didapatkan masih bnyak poinpoin yang penting dalam kebijakan restrain, seklusi dan pasung yang ada di Indonesia. Semua 21 kategori yang ditemukan dalam analisis dokumen dari luar negeri dan Indonesia menunjukkan bahwa di luar negeri belum ada komponen komunikasi terapeutik dalam pelaksaanaan restrain dan seklusi. Sedangkan perbandingan hasil analisis di Indonesia dan luar negeri menunjukkan bahwa Indonesia belum memiliki beberapa komponen penting dalam pelaksanaan restrain dan seklusi di rumah sakit jiwa. Komponen yang belum tersurat dalam kebijakan dan legal aspek retrain dan seklusi yang ada di Indonesia adalah pelaksanaan restrain dan seklusi sebagai altenatif terakhir, pelaksanaan restrain dan seklusi 8 bukan merupakan sebuah hukuman, durasi restrain dan seklusi yang sesingkat-singkatnya, memberikan pakaian pada pasien, staff dan pasien mempunyai jenis kelamin yang sama. Persamaan yang di dapatkan dalam analisis dokumen di dapatkan bahwa Indonesia telah memiliki 6 kategori yaitu memberikan kebutuhan pasien (makan, minum dan toilet), tidak membeda-bedakan pasien, adanyanya fasilitas untuk di restrain dan seklusi, perlindungan kepada pasien, memonitor dan mengobservasi keselamatan pasien, staf harus dilatih sebelum ditugaskan dalam ruangan restrain. Persamaan dan perbedaan tersebut akan dianalisis apakah bisa menjadi gambaran kebutuhan legal aspek yang ada di Indonesia. Gambaran kebutuhan kebijakan dan legal aspek yang ada di Indonesia adalah adanya pernyataan untuk menggunakan restrain dan seklusi merupakan cara terakhir dan dilakukan jika alternatif lain tidak berhasil, pelaksanaan restrain dan seklusi bukan merupakan sebuah hukuman, durasi restrain dan seklusi yang sesingkatsingkatnya, memberikan pakaian pada pasien, staff dan pasien mempunyai jenis kelamin yang sama, mempertimbangkan budaya dalam pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung, membebaskan pasien gangguan jiwa yang di pasung, mempertahankan keselamatan fisik pada pasien, tidak melakukan restrain dan seklusi secara bersamaan, alat restrain, seklusi dan pasung tidak menyakiti pasien, tersedianya alat-alat emergensi jika terjadi kegawatdaruratan pada pasien di ruangan restrain dan seklusi di rumah sakit dan Keselamatan staff. PEMBAHASAN Hasil analisis penelitian dalam penelitian ini mendapatkan tema utama dalam menganalisis kebijakan dan legal aspek restrain, seklusi dan pasung yang ada di luar negeri. Tema utama tersebut adalah (1) Restrain, seklusi dan pasung merupakan alternatif akhir intervensi, (2) Perlindungan Hak Asasi Manusia selama Restrain Seklusi dan Pasung dan (3) Keselamatan Pasien dan Perawat dalam Pelaksanaan Restain, Seklusi dan Pasung. Sedangkan hasil analisis kebijakan dan legal aspek restrain, seklusi dan pasung yang ada di Indonesia menemukan dua tema besar yaitu (1)keselamatan pasien dan perawat dan (2) perlindungan hak asasi manusia selama restrain, seklusi dan pasung. Berikut merupakan pembahasan untuk setiap tema. Restrain, seklusi dan pasung merupakan alternatif akhir intervensi Restrain, seklusi dan pasung merupakan isu utama saat ini. Restrain, seklusi dan pasung banyak memberikan dampak negatif baik itu dari segi biologis, psikologis maupun 9 dari segi sosial. Dampak penggunaan restrain telah membuat 22 orang dari 26 kasus pasien gangguan jiwa meninggal (Berzlanovich, et al., 2012). Efek secara fisik yang di terima oleh pasien sebagai dampak negatif dilakukannya restrain dan seklusi adalah adanya cedera fisik, nyeri hebat, luka (SAMSHA. 2010). Pasien juga merasa tangan dan kakinya yang di ikat terasa sangat sakit (Kontio, et al., 2012). Selain itu, dampak negatif yang juga membuat pasien menjadi trauma oleh tindakan perawatan, maupun tidak ingin lagi dirawat oleh pelayanan keperawatan (U.S Departement of Health and Human Sevices, 2010). Hal ini menunjukkan bahwa restrain, seklusi dan pasung dianggap bukan tindakan pertama yang harus ddiberikan kepada pasein gangguan jiwa. Restrain, seklusi dan pasung merupakan tindakan terakhir yang harus di berikan kepada pasien mengingat banyak nya dampak negatif yang didapat pasien. Hasil analisa dari negara yang menjadi unit analisis peneliti didapatkan bahwa Amerika Serikat, Inggris , Australia dan Kanada, menyatakan bahwa restrain dan seklusi merupakan tindakan terakhir yang dilakukan kepada pasien gangguan jiwa. Sedangkan Afrika selatan menuliskan bahwa restrain dan seklusi pada gangguan jiwa merupakan tindakan yang emegensi. Irlandia dan New Zealand menuliskan bahwa restrain dan seklusi dilakukan jika pilihan alternatif non restriktif tidak berhasil dilakukan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, saat ini belum ditemukan standar atau kebijakan yang menuliskan bahwa restrain, seklusi dan pasung merupakan tindakan terhakir yang harus dilakukan pada pasien ganguan jiwa. Persamaan negara diatas tentang pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung yang merupakan tidakan terakhir yang harus diberikan kepada pasien dengan gangguan jiwa. Kebijakan untuk menjadikan restrain dan seklusi sebagai alternatif terakhir mejadi bahan kajian dalam penelitian yang berjudul Re-Designing State Mental Health Policy to Prevent the Use of Seclusion and Restraint (Huckshorn, 2006). Penelitian ini menyebutkan bahwa tindakan alternatif terakhir merupakan salah satu cara untuk mengurangi melakukan tindakan restrain dan seklusi di rumah sakit. Tentunya Huckshorn (2006) juga menyatakan bahwa lebih baik untuk menjadikan restrain, seklusi sebagai alternatif terakhir sebagai “do nothing” alternatif untuk mengurangi resiko untuk mengurangi dampak negatif bagi pasien dan perawat. Hal ini sesuai dengan tindakan pasung yang ada di Indonesia, bahwa pasung tidak boleh di lakukan di masyarakat karena bukanlah suatu pilihan terakhir, karena masih ada alternatif untuk membawa pasien ke rumah sakit atau pelayanan kesehatan terdekat untuk di kendalikan perilakunya. 10 Perlindungan Hak Asasi Manusia selama Restrain Seklusi dan Pasung Perlindungan HAM berdasarkan hasil analisis pada penelitian ini terdapat beberapa kategori yaitu adalah dengan memberikan informasi pada pasien dan keluarga tentang pelaksaanaan restrain, seklusi dan pasung, pelaksanaan restrain dan seklusi bukan merupakan sebuah hukuman, durasi restrain, seklusi yang sesingkat-singkatnya, memberikan pakaian pada pasien , staff dan pasien mempunyai jenis kelamin yang sama, memberikan kebutuhan pasien (makan, minum dan toilet), mempertimbangkan budaya dalam pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung, dan tidak membeda-bedakan pasien. Sedangkan perlindungan HAM juga di sebutkan dalam kebijakan dan legal aspek di Indonesia bahwa adanyanya fasilitas untuk di restrain dan seklusi, informed concent pada pasien dan keluarga, perlindungan kepada pasien, pemenuhan kebutuhan dasar pasien dan membebaskan pasien gangguan jiwa yang di pasung. Persamaan dari semua unit analisis negara-negara yang mempunyai kebijakan tentang restrain dan seklusi di luar negeri tentang perlindungan HAM. Pemberian informasi kepada keluarga dan pasien pada saat sebelum dilakukan restrain dan seklusi hampir dilakukan oleh semua negara. Negara tersebut adalah Australia, Amerika Serikat, Kanada, Afrika Selatan, New Zealand. Negara-negara tersebut adalah negara yang menjunjung tinggi HAM. Keluarga merupakan pendukung yang paling besar untuk pasien gangguan jiwa, dimana keluarga akan memberikan kekuatan kepada pasien dalam bentuk konsep diri, perilaku, ekspektasi, nilai dan kepercayaan (Stuart, 2009). Keluarga sangat penting untuk pasien gangguan jiwa, karena kelurga adalah pendukung utama ketika pasien melalui masamasa tersulit (Rothon, Goodwin, & Stansfeld, 2012). Terutama pada saat pengambilan keputusan dilakukannya restrain dan seklusi pada pasien. Begitu juga dengan pelaksanaan pasung dimasyarakat. Peranan keluarga sangat besar dalam pengambilan keputusan pasien dilakukan atau tidak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan keluarga sangat berpengaruh dalam pengambilan keputusan pada pasien pasung (Daulima,2014). Tetapi tentunya pasung bukanlah sebuah tindakan yang terapetik seperti di rumah sakit dan tidak sesuai prosedur tindakan untuk mengotrol perilaku pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keikutsertaan keluarga dalam pengambilan keputusan terhadap sebuah tindakan dapat meningkatkan keberhasilan tindakan yang dilakukan pada pasien (Heru, 2006). Oleh karena itu , perlu sekali adanya poin untuk memberikan keluaga dan pasien untuk mengambil keputusan dalam pelaksanaan restrain dan 11 seklusi di rumah sakit dan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang pasung agar tidak terjadi lagi kejadian pasung di masyarakat. Tema pelindungan HAM pada pasien gangguan jiwa pelaksaan restrain, seklusi dan pasung selanjutnya adalah menjadikan restrain, seklusi dan pasung bukan sebagai hukuman. Hampir setiap negara menuliskan hal ini di dalam legal aspek dan kebijakan restrain dan seklusi. Setiap pasien berhak untuk mendapatkan kebebasan dari adanya kekerasan mental dan tidak dibenarkan untuk menjadikan restrain dan seklusi di rumah sakit sebagai hukuman. International Bill of Human Rights menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk tidak mendapatkan kekerasan baik itu kekerasaan fisik maupun mental. Jika restrain, seklusi atau pasung dilaksanakan karena alasan untuk menghukum pasien, berarti perorangan atau sebuah organisasi tersebut sudah melanggar Hak Asasi Manusia (HAM). Sehingga dapat disimpulkan bahwa poin tidak menjadikan restrain, seklusi dan pasung menjadi sebuah hukuman di dalam legal aspek dan kebijakan restrian seklusi dan pasung yang ada di Indonesia bisa di pertimbangkan. Perlindungan HAM lainnya pada pelaksanaan restrain seklusi dan pasung pada pasien adalah pelaksanaan restrain dan seklusi dalam durasi yang sesingkat-singkatnya. Setiap dokumen dari setiap negara mempunyai macam macam durasi dalam melaksanakan restrain dan seklusi di rumah sakit jiwa. Pada dasarnya standar durasi belum ada secara internasional, tetapi prinsip sesingkat-singkatnya dan dengan mempertimbangkan pengkajian klinis, efek obat dan alasan keamanan (Bergk, Einsiedler, & Steinert, 2008). Perbedaan frekuensi dan durasi dari pelaksanaan restrain dan seklusi di setiap negara karena adanya perbedaan kultur , nilai dan sistem kesehatan jiwa di negara tersebut (Bowers et al., 2007). Jadi, pelaksanaan durasi restrain dan seklusi di rumah sakit harus dilaksanakan dengan waktu yang sesingkatsingkatnya untuk menghargai HAM pasien. Hak pasien yang dilanggar jika pelaksanaan restrain dan seklusi yang dilakukan dalam waktu yang lama adalah hak untuk mendapatkan hak untuk kebebasan. HAM pasien yang harus dilindungi dalam pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung adalah melindungi privasi pasien dengan memberikan pakaian, memnberikan kebutuhan dasar seperti makanan minuman dan toilet. Menghargai pasien dengan gangguan jiwa berarti menghargai harkat dan martabat pasien sebagai manusia. Seperti yang terkandung dalam dalam Undang-Undang Kesehatan no 36 Tahun 2009 pasal 148 ayat 1 yang menyatakan bahwa pasein dengan gangguan jiwa mempunyai hak yang sama dengan manusia sehat 12 lainnya sebagai warga negara Indonesia. Begitu juga di jelaskan pada pasal 148 ayat 2 bahwa pasien dengan gangguan jiwa mendapatkan perlakuan yang sama untuk setiap aspek kehidupan. Dengan demikian berarti pasien dengan gangguan jiwa yang di resdtrain, seklusi dan pasung harus dihormati selayaknya manusia lain pada umumnya yang diberikan pakaian, makan dan minum yang layak dan penggunaan toilet yang layak. Hak pasien lainnya yang juga di dapatkan dari hasil analisis dokumen luar negeri bahwa pasien yang direstrain dan di seklusi harus di intervensi oleh perawat atau staff lain dengan jenis kelamin yang sama dengan pasien. Hasil penelitian menunjukkan bahwa angka kecelakaan meningkat jika pasien perempuan ditangani oleh staff pria, berbanding terbalik jika pasien laki-laki ditangani oleh staff wanita, sehigga angka kecelakaan semakin meningkat. Begitu juga dengan resiko adanya kekerasan secara seksual. Tentunya fakta ini memungkinkan bahwa pelaksanaan restrain dan seklusi dilakukan oleh pasien dan staff atau perawang mempunyai gender sama diterapkan di Indonesia. Hal ini dikarenakan sebelumnya memang belum ada pernyataan tertulis tentang gender sama antara staff dan pasien sebelumnya. HAM pasien yang harus dilindungi lainnya dalam pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung adalah menghormati budaya, spiritual, bahasa, suku bangsa dan tidak membedabedakan pasien. Negara-negara yang mengusung adanya rasa hormat terhadap budaya, spiritual, bahasa, suku bangsa dan tidak membeda-bedakan pasien adalah Inggris, Australia, Irlandia, New Zealand, dan Amerika Serikat. Penyataan ini tidak tersurat secara langsung di legal aspek dan kebijakan Indonesia pada pasien gangguan jiwa yang dilakukan restrain, seklusi dan pasung. Padahal Indonesia adalah negara dengan berbagai macam budaya, suku dan bahasa. Negara Australia dan New Zealand menyatakan sangat penting sekali untuk menghormati budaya pasien. Hal ini karena Australia dan New Zealand mempunyai suku bangsa Aborigin dan Maori yang masih kuat memegang budaya mereka , sehingga jika dilakuka restrain dan seklusi pada suku tersebut (Ministry of Health NSW, 2012). Suku aborigin menganggap bahwa restrain dan seklusi adalah tinakan yang merendahkan derajat mereka sebgai manusia, oleh karena itu masyarakat aborigin tidak mau membawa keluarga mereka ke rumah sakit (Aubusson, 2013). Oleh karena itu faktor budaya menjadi hal yang penting untuk di pertimbangkan dalam kebijakan dan legal aspek restraint, seklusion dan pasung. 13 Keselamatan Pasien dan Perawat dalam Pelaksanaan Restain, Seklusi dan Pasung Keselamatan pasien dan perawat dalam pelakasanaan restrain dan seklusi merupakan hal yang krusial. Tema keselamatan pasien dan perawat dalam penelitian ini di dapat dari beberapa kategori yaitu mempertahankan keselamaan fisik pada pasien, tidak melakukan restrain dan seklusi secaara bersamaan, alat restrain, seklusi dan pasung tidak menyakiti pasien, memonitor dan mengobservasi keselamatan pasiendan tersedianya alat-alat emergensi jika terjadi kegawatdaruratan pada pasien di ruangan restrain dan seklusi di rumah sakit dan staf harus dilatih sebelum ditugaskan dalam ruangan restrain dan seklusi. Keselamatan staff yang dalam hal ini perawat juga menjadi perhatian beberapa negara untuk menjaga keselamatan staf dalam melaksanakan restrain dan seklusi. Keselamatan pasien adalah hal utama. Tingginya angka kematian pada pasien yang dilakukan pada pasien gangguan jiwa menunjukkan bahwa pentingnya aspek keselamatan pasien dalam pelaksaan restrain dan seklusi (Haimowits, Urff & Huckshorn, 2006 ; SAMSHA, 2010). Oleh karena itu pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung harus memperhatikan keselamatan dimulai dengan menjaga jalan napas, dada, perut yang jika salah dalam penanganannya akan menyebabkan pasien meninggal dunia. Keselamatan pasien dapat di tingkatkan dengan adanya pelatihan pada staff. Staff yang berkompeten yang juga termasuk perawat dapat mengurangi resiko adanya kecelakaan ketika terjadinya restrain dan seklusi (Bowers & Crowder, 2012). Keselamatan staf juga harus menjadi hal yang penting, staff keperawatan khususnya adalah orang yang paling beresiko terhadap keagresifan dan perilaku kekerasan pasien dengan gangguan jiwa (Briner & Manser, 2013). Pelatihan staff juga menurunkan resiko kecelakaan kerja pada perawat itu sendiri (Emde & Merkle, 2002). Dengan demikian keselamatan pasien dan staff juga harus dipertimbangkan untuk dimasukkan dalam kebijakan restrain, seklusi dan pasung yang ada di Indonesia. KESIMPULAN DAN SARAN Persamaan aspek legal dan kebijakan restrain dan seklusi pada pasien gangguan jiwa di dunia adalah adanya persamaan dalam pelaksaanaan restrain seklusi dan pasung adalah restrain dan seklusi di rumah sakit dalah pilihan terakhir dan dianjurkan untuk menggunakan altenatfi intervensi yang lain. Selain itu persamaan lainnya adalah dalam perlindungan HAM pada pasien gangguan jiwa yang dilaksanakan restrain, seklusi dan pasung. Tentunya pasung 14 adalah tindakan yang melanggar HAM dan tidak boleh lagi ada di Indonesia. Persamaan yang ketiga adalah dipertahankan keselamatan pasien dan perawat, dimana setiap negara mempunyai pernyataan tersendiri dalammengatur keselamatan pasien dan perawat. Terdapat perbedaan dalam legal aspek dan kebijakaan restrain, seklusi dan pasung. Perbedaan terletak pada penghargaan budaya, tindakan untuk memonitor pasien dengan menggunakan alat dan durasi untuk monitoring dan pelepasan pasien yang di restrain dan diseklusi di luar negeri.Hasil analisis aspek legal, peraturan, dan kebijakan restrain, seklusi dan pasung yang sesuai di Indonesia adalah harus adanya kebijakan yang mengatur tentang pelarangan pasung. Selanjutnya, kebijakan dan legal aspek yang di dapat dari analisis luar negeri cocok untuk di terapkan di Indonesia. Gambaran kebutuhan legal, peraturan, dan kebijakan restrain dan seklusi serta pasung di Indonesia adalah diterapkan nya pelarangan pasung secara nasional, bukan perdaerah. Selanjutnya dibuatnya kebijakan restrain dan seklusi secara nasional untuk pemenuhan banyaknya pasien gangguan jiwa di Indonesia. Saran-Saran Bagi Keilmuan Keperawatan Jiwa Penelitian ini bisa dipakai dalam pengembangan ilmu keperawatan jiwa dengan menambah pengetahuan kebijakan tentang restrain, seklusi dan pasung. Praktik keperawatan ditingkatkan kualitasnya dengan pelaksanaan restrain, seklusi dan pasung yang sudah di standarisasi terlebih dahulu. Bagi Profesi Keperawatan Penelitian ini dapat dijadikan standar untuk staff keperawatan untuk meningkatkan kualitas standar pelayanan keperawatan. Perawat jiwa khusus nya bisa dilatih dahulu sebelum di tunjuk untuk melakukan restrain dan seklusi di rumah sakit. Bagi Penelitian Sebelumnya Diharapkan peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian mengenai restrain, seklusi dan pasung. Penelti berharap peneltia selanjutnya dapat meneliti secara kualitatif bagaimana pengalaman seorang perawat saat melakukan restrain dan seklusi di rumah skit dan bagaiman pengalaman seorang pasien saat di restrain, seklusi dan pasung. Penelitian ini harus dilanjutkan kembali dengan metode lain sehingga bisa diketahui secara internasional 15 Daftar Pustaka Afiyanti, Y., & Rachmawati, I. N. (2014). Metodologi penelitian kualitatif dalam riset keperawatan. Jakarta: Rajawali Pers. Aras, H. I. (2014). Violence in Schizophrenia. Psikiyatride Guncel Yaklasimlar - Current Approaches in Psychiatry, 6(1), -. Aubusson, K. (2013). Fear of seclusion drives Indigenous from mental healthcare: experts. Retrieved from http://www.psychiatryupdate.com.au/latest-news/fear-of-seclusiondrives-indigenous-from-mental-he Bergk, J., Einsiedler, B., & Steinert, T. (2008). Feasibility of randomized controlled trials on seclusion and mechanical restraint. Clinical Trials (London, England), 5(4), 356-363. doi: 10.1177/1740774508094405 Berzlanovich, Schöpfer, & Keil. (2012). Deaths Due to Physical Restraint. Dtsch Arztebl Int, 109(3), 27-32. doi: 10.3238/arztebl.2012.0027 Berzlanovich, A., Schöpfer, J., & Keil, W. (2012). Deaths Due to Physical Restraint. Dtsch Arztebl Int, 109(3), 27–32. doi: doi: 10.3238/arztebl.2012.0027 Bobes, J., Fillat, O., & Arango, C. (2009). Violence among schizophrenia out-patients compliant with medication: prevalence and associated factors. [Article]. Acta Psychiatrica Scandinavica, 119(3), 218-225. doi: 10.1111/j.1600-0447.2008.01302.x Bowers, L., & Crowder, M. (2012). Nursing staff numbers and their relationship to conflict and containment rates on psychiatric wards—A cross sectional time series Poisson regression study. International Journal of Nursing Studies, 49(1), 15-20. doi: http://dx.doi.org/10.1016/j.ijnurstu.2011.07.005 Bowers, L., van der Werf, B., Vokkolainen, A., Muir-Cochrane, E., Allan, T., & Alexander, J. (2007). International variation in containment measures for disturbed psychiatric inpatients: A comparative questionnaire survey. International Journal of Nursing Studies, 44(3), 357-364. Boyd, M. A. (2012). Psychiatric nursing : Contemporary practice (5th ed.). Philadelphia: Lippincott. Braun, V., & Clarke, V. (2006). Using thematic analysis in psychology. Qualitative Research in Psychology, 3(2), 77-101. doi: http://dx.doi.org/10.1191/1478088706qp063oa Briner, M., & Manser, T. (2013). Clinical risk management in mental health: a qualitative study of main risks and related organizational management practices. BMC Health Services Research, 13, 44-44. doi: 10.1186/1472-6963-13-44 Broch, H. B. (2001). The Villagers' Reactions Towards Craziness: An Indonesian Example. [Article]. Transcultural Psychiatry, 38(3), 275. Carr, P. G. (2012). The use of mechanical restraint in mental health: a catalyst for change? [Article]. Journal of Psychiatric & Mental Health Nursing, 19(7), 657-664. doi: 10.1111/j.1365-2850.2012.01912.x Colaizzi, J. P. R. N. (2005). Seclusion & Restraint: A Historical Perspective. Journal of Psychosocial Nursing & Mental Health Services, 43(2), 31-37. Colucci, E. (2013). Breaking The Chains. Retrieved from https://www.escholar.manchester.ac.uk/api/datastream?publicationPid=uk-ac-manscw:215356&datastreamId=FULL-TEXT.PDF Corrigan, P. W., Watson, A. C., & Miller, F. E. (2006). Blame, shame, and contamination: The impact of mental illness and drug dependence stigma on family members. Journal of Family Psychology, 20(2), 239-246. doi: http://dx.doi.org/10.1037/08933200.20.2.239 16 Creswell, J. W. (2013). Qualtative inquiry & research design : Choosing among five approaches (3rd ed.). United Kingdom: Sage Publication. De Benedictis, L., Dumais, A., Sieu, N., Mailhot, M.-P., Létourneau, G., Tran, M.-A. M., . . . Lesage, A. D. (2011). Staff Perceptions and Organizational Factors as Predictors of Seclusion and Restraint on Psychiatric Wards. Psychiatric Services, 62(5), 484-491. Departement of Health and Human Services, D. (2012). Federal Register. USA: National Archieve and Records Administration, (NARA). Department of Health Republic of South Africa, D. (2012). Policy Guidelines On Seclusion And Restraint Of Mental Health Care Users. Retrieved from http://www.doh.gov.za/docs/policy/2013/SECLUSION_POLICY_FOR_DISTRIBUTI mmmmmmmmmm ON.pdf. Depkes RI, P. (2008). Laporan nasional riset kesehatan dasar (riskesdas) 2007. Retrieved from http://www.litbang.depkes.go.id/bl_riskesdas2007 Emde, K., & Merkle, S. (2002). Reducing use of restraints in the emergency department: One level III community hospital's experience. Journal of Emergency Nursing, 28(4), 320322. doi: http://dx.doi.org/10.1067/men.2002.126360 Fazel, S., Gulati, G., Linsell, L., Geddes, J. R., & Grann, M. (2009). Schizophrenia and Violence: Systematic Review and Meta-Analysis. PLoS Medicine, 6(8), e1000120. doi: 10.1371/journal.pmed.1000120 http://dx.doi.org/10.1371/journal.pmed.1000120 Fereday, J., & Muir-Chochrane, E. (2006). Demonstrating Rigor Using Thematic Analysis: A Hybrid Approach of Inductive and Deductive Coding and Theme Development. International Journal of Qualitative Methods 5(1), 1-11. Foster, C., Bowers, L., & Nijman, H. (2007). Aggressive behaviour on acute psychiatric wards: prevalence, severity and management. [Article]. Journal of Advanced Nursing, 58(2), 140-149. doi: 10.1111/j.1365-2648.2007.04169.x Haimowits, S., Urff, J., & Huckshorn, K. A. (2006). Restraint and Seclusion – A Risk Management Guide. Retrieved from http://www.nasmhpd.org/docs/Policy/RS%20RISK%20MGMT%2010-10-06.pdf Happell, B., & Koehn, S. (2010). Attitudes to the use of seclusion: has contemporary mental health policy made a difference? [Article]. Journal of Clinical Nursing, 19(21/22), 3208-3217. doi: 10.1111/j.1365-2702.2010.03286.x Happell, B., & Koehn, S. (2011). Seclusion as a necessary intervention: the relationship between burnout, job satisfaction and therapeutic optimism and justification for the use of seclusion. [Article]. Journal of Advanced Nursing, 67(6), 1222-1231. doi: 10.1111/j.1365-2648.2010.05570.x Hert, M., Dirix, N., Demunter, H., & Correll, C. (2011). Prevalence and correlates of seclusion and restraint use in children and adolescents: a systematic review. [Article]. European Child & Adolescent Psychiatry, 20(5), 221-230. doi: 10.1007/s00787-011-0160-x Heru, A. (2006). Family psychiatry: from research to practice. American Journal of Psychiatry, 163(6), 962-968. Huckshorn, K. A. R. N. M. S. N. C. A. P. I. (2006). Re-Designing State Mental Health Policy to Prevent the Use of Seclusion and Restraint. Administration and Policy in Mental Health and Mental Health Services Research, 33(4), 482-491. doi: http://dx.doi.org/10.1007/s10488-005-0011-5 Janssen, W., Noorthoorn, E., Nijman, H., Bowers, L., Hoogendoorn, A., Smit, A., & Widdershoven, G. (2013). Differences in Seclusion Rates Between Admission Wards: Does Patient Compilation Explain? [Article]. Psychiatric Quarterly, 84(1), 39-52. doi: 10.1007/s11126-012-9225-3 17 Keliat, B. A. (2013). Kontribusi keperawatan kesehatan jiwa dalam meningkatkan pelayanan kesehatan jiwa di indonesia. Jakarta: EGC. Keliat, B. A., Riasmini, M., & Daulima, N. H. C. (2012). The Effectiveness of the Implementation of Community Mental Heatlh Nursing Model Toward the Life Skill of Patients with Mental Disorder and Their Family in Jakarta. Depok: Directorate of Research and Public Service Universitas Indonesia. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, K. (2011). PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1691/MENKES/PER/VIII/2011TENTANG KESELAMATAN PASIEN RUMAH SAKIT. Retrieved from http://www.hukor.depkes.go.id/up_prod_permenkes/PMK%20No.%201691%20ttg%2 0Keselamatan%20Pasien%20Rumah%20Sakit.pdf. Kontio, R., Joffe, G., Putkonen, H., Kuosmanen, L., Hane, K., Holi, M., & Välimäki, M. (2012). Seclusion and Restraint in Psychiatry: Patients' Experiences and Practical Suggestions on How to Improve Practices and Use Alternatives. [Article]. Perspectives in Psychiatric Care, 48(1), 16-24. doi: 10.1111/j.17446163.2010.00301.x Kontio, R., Välimäki, M., Putkonen, H., Kuosmanen, L., Scott, A., & Joffe, G. (2010). Patient restrictions: Are there ethical alternatives to seclusion and restraint? Nursing Ethics, 17(1), 65-76. doi: http://dx.doi.org/10.1177/0969733009350140 Livingstone, A. (2007). Seclusion practice : A literature review. Victoria: Departement of Human Services. Mason, M. (2010). Sample Size and Saturation in PhD Studies Using Qualitative Interviews. Forum: Qualitative Social Research, 11(3). Minas, H., & Diatri, H. (2008). Pasung: Physical restraint and confinement of the mentally ill in the community. International Journal of Mental Health Systems, 2(1), 1-5. doi: 10.1186/1752-4458-2-8 Ministry of Health NSW, M. H. (2012). Aggression, Seclusion & Restraint in Mental Health Facilities in NSW. http://www.mass.gov/eohhs/gov/laws-regs/dmh/dmh-policiesand-forms.html Mogalakwe, M. (2006). The Use of Documentary Research Methods in Social Research. African Sociological Review, 10(1), 221-230. Moleong, L. J. (2007). Metodologi penelitian kualitatif. Bandung: Rosda Karya. Moran, A., Cocoman, A., Scott, P. A., Matthews, A., Staniuliene, V., & Valimaki, M. (2009). Restraint and seclusion: a distressing treatment option? [Article]. Journal of Psychiatric & Mental Health Nursing, 16(7), 599-605. doi: 10.1111/j.13652850.2009.01419.x National Mental Health Consumer & Carer Forum, N. (2009). Ending seclusion and restraint in Australian mental health services. Retrieved from www.nmhccf.org.au NMHCCF. (2012). Ending Seclusion and Restraint in Australian Mental Health Services. (Seclusion and Restraint in Mental Health Services). Retrieved from www.nmhccf.org.au O’Hagan, M., Divis, M., & Long, J. (2008). Best practice in the reduction and elimination of seclusion and restraint; Seclusion: time for change. Auckland: Te Pou Te Whakaaro Nui: the National Centre of Mental Health Research, Information andn Workforce Development. Omolewa, P. (2012). The Impact of Instructive Educational Program on Physical Restraint Reduction in Acute Mental Health Hospitals. 3498172 Ph.D., Walden University, Ann Arbor. Retrieved from 18 http://search.proquest.com/docview/926194964?accountid=17242 ProQuest Dissertations & Theses Full Text database. Puteh, I., Marthoenis, M., & Minas, H. (2011). Aceh Free Pasung: Releasing the mentally ill from physical restraint. International Journal of Mental Health Systems, 5(1), 1-5. doi: 10.1186/1752-4458-5-10 Ranjan, J. K., Prakash, J., Sharma, V. K., & Singh, A. R. (2010). Manifestation of Auditory Hallucination in the Cases of Schizophrenia. SIS Journal of Projective Psychology & Mental Health, 17(1), 76-79. Rothon, C., Goodwin, L., & Stansfeld, S. (2012). Family social support, community "social capital" and adolescents' mental health and educational outcomes: a longitudinal study in England. Social Psychiatry And Psychiatric Epidemiology, 47(5), 697-709. doi: 10.1007/s00127-011-0391-7 Sadock, B. J., & Sadock, A. S. (2010). Kaplan & Sadock : Buku ajar psikiatri klinis. Jakarta: EGC. Sequeira, H., & Halstead, S. (2004). The psychological effects on nursing staff of administering physical restraint in a secure psychiatric hospital: 'When I go home, it's then that I think about it'. The British Journal of Forensic Practice, 6(1), 3-15. Shive, L. R. (2012). Basic concept of psychiatric-mental health nursing. Philadelphia: Lippincott. Speziale, S. H., & Carpenter, D. R. (2003). Qualitative research in nursing : Advancing the humanistic imperative. Philadelphia: Lippincott. Stuart, G. (2009). Principle and practice of psychiatric nursing (9th ed.). Philadelphia: Mosby. Townsand, M. C. (2011). Essensial of psychiatric mental health nursing: Concept of care in evidence based practice. Philadelphia: Davis. Victorian Government Department of Health, h. (2011). Seclusion in approved mental health services. Victoria: Mental Health, Drugs & Regions Division, Victorian Government Department of Health, Melbourne Victoria Retrieved from http://www.health.vic.gov.au/mentalhealth/cpg. Videbeck, S. (2008). Buku ajar keperawatan jiwa. Jakarta: EGC. WHO. (2013). Schizophrenia. Retrieved from http://www.who.int/mental_health/management/schizophrenia/en/ 1Ns. Eka Malfasari,S.Kep: Mahasiswa Program Pasca Sarjana Kekhususan Keperawatan Jiwa FIK-UI. 2Prof. Dr. 3Dr. Budi Anna Keliat, S.Kp., M. App.Sc: Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI Novy Helena Chatarina Daulima, MSc .: Dosen Kelompok Keilmuan Keperawatan Jiwa FIK UI 19