1 MENANAM POHON UNTUK MENGATASI BANJIR PERKOTAAN Oleh: Amin S. Leksono, M.Sc., Ph.D. Prof Dr Ir Soemarno MS (Program Magister Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, PPSUB) PENDAHULUAN Bencana banjir yang akhir-akhir ini terjadi di berbagai daerah, di Jawa Timur, adalah dampak dari penebangan pohon, pembabatan hutan dan perubahan fungsi hutan secara besar-besaran menjadi lahan pertanian dan pemukiman di daerah hulu sungai, daerah lereng gunung, serta lokasi-lokasi lain seperti perkebunan, pekarangan, tegalan, dan ruang-ruang terbuka hijau. Konversi lahan hutan yang berpepohonan rapat menjadi lahan yang terbuka dapat dilakukan oleh siapa saja, karena didorong oleh kurangnya pemahaman fungsi hutan yang sebenarnya. Sebanyak 2.5 juta hektar hutan produksi, yaitu hutan komersial dan hutan monokultur di P. Jawa harus dipulihkan menjadi hutan-hutan alam yang dapat mengembalikan fungsi ekologis yang sudah hilang selama ini akibat tingginya eksploitasi. Sementara itu berjuta-juta hektar lahan lainnya juga menunggu gerakan sejuta pohon. Aneka jenis pohon telah diciptakan untuk mampu meresapkan air hujan ke dalam tanah. Berbagai hasil penelitian telah membuktikan hal-hal seperti ini. Oleh karena itu, sebenarnya “POHONISASI” dalam perspektif jangka panjang serupakan sarana yang paling ampuh untuk mengurangi ancaman bahaya banjir. KASUS-KASUS AKTUAL Pada musim hujan kali ini (Nopember 2002) curah hujan di Surabaya dan sekitarnya akan berkisar antara 50 – 100 mm/dekade (10 hari). Sementara itu, kejadian hujan sebesar 28 mm, sudah mengakibatkan sejumlah lokasi tergenang air. Tinggi genangan air 20-50 cm, lalulintas macet dan listrik padam. Lokasi genangan yg parah ialah Jl. Ciliwung, Cisadane, dan Kutai; lokasi genangan lainnya Jl. Mayjen Sungkono, Darmo, Mojopahit, Dinoyo, Kombes Duryat, Pasar Kembang, Kedung Doro, Dupak, Dukuh Kupang. Banjir dan genangan air dipastikan akan lebih besar lagi selama musim hujan mendatang. Faktor penyebabnya ialah tingginya curah hujan dan efek pasang-surut air laut. Pasang pukul 24.00 dapat mencapai 220 cm, sednagkan surutnya hanya 170 cm pd pukul 12.00. Selisih pasang-surut ini mengakibatkan genangan air lebih lama tertahan di suatu lokasi dan akan bertambah terus dari curah hujan; di sinilah pentingnya peranan pompa air. 2 Dinas Pengendalian dan Penanggulangan (DPP) Banjir Kota Surabaya telah menyelesaikan 60% pengerusak saluran pembuangan air hujan ke laut. Namun baru beberapa bulan dikeruk, saluran drainse sudah penuh lagi dengan aneka bentuk sedimen, sampah dan limbah. Bagaimana mengatasinya?. Pada TA 2002 DPP Kota Surabaya menerima anggaran untuk penanganan banjir sekitar 33 milyar (JP 10-8-2002). Berbagai proyek teknik-sipil dilaksanakan untuk mengantisipasi banjir, saluran drainase, gorong-gorong, pompa air, Bozem, dll. Proyek-proyek ini semuanya ditujukan untuk mempercepat aliran air hujan menuju ke laut; sedangkan proyekproyek untuk memaksimumkan jumlah air hujan yang masuk ke dalam tanah masih dipertanyakan?. Penanggulangan banjir di Kota Gresik hingga saat ini masih belum optimal. Pemkab Gresik telah menganggarkan dana antisipasi banjir sebesar Rp. 8 milyar, namun hasil penanggulangan banjir masih belum optimal (Kompas, 27-11-2002). Beberapa lokasi wilayah kota tergenang air setelah hujan turun tiga hari berturut-turut. Wilayah genangan air ini berada di daerah yang dilalui sungai-sungai yang menuju ke laut, seperti Jl. Samahudi, Telogo Pojok, Telaga Bendung, Wahidin, Kelurahan Sido Kumpul dan Jl. Ternate. Faktor penyebab genangan air adalah (1) sempitnya saluran air, (2). sampah menggunung di sungai, (3) terbatasnya armada angkutan sampah. Kendati luapan Sungai Lamong sudah berangsur surut, namun empat wilayah kecamatan di wilayah selatan Kabupaten Gresik masih terendam air. Jalan yang menghubungkan Kec. Balongpanggang dengan Surabaya yang terputus sudah kembali normal dan dapat dilalui kendaraan. Ratusan hektar sawah dan ratusan rumah penduduk di wilayah selatan Kabupaten Gresik terendam banjir (Rabu, 5/4). Banjir yang merendam sekitar 15 desa di empat kecamatan di Kabupaten Gresik terjadi akibat meluapnya Sungai Lamong yang berhulu di Peg. Kendeng Mojokerto. Menurut sejumlah warga, luapan Sungai Lamong sudah terjadi sejak hari Selasa pagi lalu, dan debit airnya terus bertambah dan meluas hingga merendam ratusan rumah warga serta ratusan hektar sawah dan tambak ikan milik penduduk. Empat kecamatan yang terendam itu adalah Kec. Benjeng, Cerme, Kedamen, dan Menganti. Lokasi paling parah di Kec. Benjeng, tujuh desa terendam air hingga satu meter. Keruskaan diderita oleh masyarakat karena rusaknya rumah, sawah dan tambak. Sejumlah petani tambak menyatakan kolam yang baru beberapa bulan ditaburi benih ikan bandeng terendam luapan air sungai Lamong. Banjir tidak hanya merendam ratusan rumah warga, tambak dan sawah; jalan yang menghubungkan Surabaya dengan Kec. Balongpanggang tergenang sepanjang satu kilometer dengan kedalaman 80 cm. Sejumlah warga Desa Morowudi menyesalkan kelambanan aparat Pemkab Gresik dalam mengantisipasi dampak banjir. Banjir di empat kecamatan tsb merupakan banjir kiriman yang terjadi hampir setiap tahun akibat luapan Sungai Lamong. Kendati telah diperbaiki bantaran sungai sepanjang 15 km, banjir tidak dapat dihindarkan karena volume air cukup besar. Air meluap melalui tangkis-tangkis sungai yang belum kami perbaiki yng terletak di Kec. Benjeng. Air luapan ini kemudia 3 menyatu dengan sungai Medangan dan kembali lagi ke Sungai Lamong di desa Morowudi. Sehingga banjir yang terjadi di Morowudi cukup besar. FAKTOR PENYEBAB BANJIR Pola hidup dan perilaku masyarakat kota –pantai dianggap menjadi faktor serius dalam kaitannya dengan ancaman banjir di wilayah kota. Mereka masih suka membuang sampah di sembarang tempat, termasuk saluran-saluran air drainase. Tiga akar masalah banjir DI kawasan kota – pantai pada dasarnya adalah: 1. Perbedaan elevasi (ketinggian tempat) antara pusat kota dengan garis pantai sangat tipis, sehingga aliran air hujan di permukaan tanah sangat lambat. 2. Konversi penggunaan lahan di seluruh wilayah perkotaan dan sekitarnya, sehingga memperkecil kesempatan air hujan untuk dapat memasuki tanah (infiltrasi dan perkolasi), dan memaksimumkan volume air hujan yang mengalir di permukaan 3. Sistem saluran drainase (SPA) yang tidak jelas ujung-pangkalnya, jumlahnya terbatas, dimensi / ukurannya sangat minim, pintu air tidak berfungsi, tersumbat sampah dan lainnya. 4. Banjir Kiriman dari daerah atas / hulu sungai. 5. Naiknya permukaan air laut, sebagai akibat dari peristiwa alam seperti adanya badai-topan, gempa, dan sebagainya. ALTERNATIF mengatasi BANJIR wilayah Perkotaan 1. GERAKAN MENANAM ANEKA JENIS POHON 1.1. 1.2. 1.3. 1.4. 1.5. 1.6. 1.7. Menanam Pohon di Halaman Rumah Menanam Pohon di Pekarangan Rumah Menanam Pohon di Sepanjang Tepian Jalan Menanam Pohon di Lahan-lahan / Ruang Terbuka Menanam Pohon pada Lahan-lahan Tidur Menanam Pohon di Lahan Tegalan Menanam Pohon di Kebun Campuran 2. GERAKAN MEMBUAT RESAPAN AIR HUJAN 2.1. 2.2. 2.3. 2.4. 2.5. Resapan air hujan berupa kolam ikan musiman Sumur resapan air hujan milik rumah-tangga Sumur resapan air hujan milik komunal Sumur resapan air hujan milik instansi pemerintah dan suasta Resapan air hujan berupa Boozem 4 2.6. Resapan air hujan berupa cekungan lahan terbuka 3. PEMBANGUNAN HUTAN KOTA / PENGHIJAUAN KOTA Tingkat pencemaran di kota-kota pantai, seperti Surabaya, tergolong tinggi dan mengkhawatirkan. Sehingga diperlukan penghijauan untuk menciptakan keseimbangan lingkungan, kenyamanan dan kesehatan; salah satu caranya ialah dengan membangun hutan mini di sekeliling kota. Alat monitoring kualitas udara di lima titik di Kota Surabaya juga dilaporkan menunjukkan kondisi yg membahayakan. Suhu pagi hari mencapai 35oC, padahal dahulu pernah menhalami suhu 5oC waktu pagi hari. Selain polusi akibat gas buangan kendaraan bermotor, minimnya lahan hutan kota menjadi penyebab utama berubahnya kualitas lingkungan kota Surabaya. Sebagian besar lahan (90%) merupakan lahan terbangun terdiri 50% permukiman, 30% industri, 20 % faslitas umum lainnya. Pembangunan hutan kota ditandai dengan penanaman 500 pohon pada lahan seluas dua hektar yg membentang sepanjang 300-500 m dari Jembatan Nginden. Sebanyak 3000 bibit pohon akan ditanam secara bertahap; terdisi atas sengon, sono kembang, dan dadap merah. Rencana kawasan hutan mini lainnya di Surabaya, adalah di Kebaraon dan dua lainnya masih ditentukan. Sekitar 5000 bibit pohon ditanam untuk penghijauan kota Surabaya, baik penghijauan bantaran sungai, hutan mini, dan lainnya. Direncanakan hutan mini sepanjang 8 km, mulai dari Jembatan Nginden hingga Wonorejo, mengelilingi kota Surabaya. 3. MEMBANGUN DAN MEMELIHARA SISTEM SALURAN DRAINASE (SPA: SALURAN PEMBUANGAN AIR) 3.1. Pembangunan Sistem Jaringan Drainase Beberapa ciri yang menonjol dalam setiap pembangunan saluran drainase kota adalah (1) tidak terintegrasi dengan sistem jaringan drainase yang lebih luas, (2) jumlah saluran kurang banyak, dan (3) dimensi saluran tidak mampu menyalurkan debit air; karena lebar dan kedalaman efektif saluran kurang, serta kemiringan saluran kurang ; dan (4) tidak ada “fasilitas resapan air” di sepanjang saluran. 3.2. Pemeliharaan Sistem Jaringan Drainase Kegiatan pemeliharaan SPA yang masih belum diprogramkan dan masih belum menjadi gerakan masyarakat ialah “pengambilan sedimen dan sampah” di sepanjang saluran drainasi kota dan saluran pembuangan air (SPA). Material yang diambil dari saluran ini sebenarnya dapat diolah menjadi “pupukorganik” atau “media tumbuh tanaman” yang bagus. Selain itu perlu upaya-upaya untuk meningkatkan prakarsa dan peran-serta masyarakat untuk tidak membuang sampah ke saluran drainasi. 3.3. 3.4. Pompanisasi Optimalisasi Sistem Kerja Pintu-pintu Air 5 IV. FUNGSI DAN PERANAN POHON 4.1. Pengaruh Tegakan Pohon Sekurang-kurangnya satu komponen dalam ekosistem hutan kota merupakan tanaman keras berkayu (pohon), sehingga siklusnya selalu lebih dari satu tahun. Fungsi pohon-pohonan ini dalam sistem agroforestry sangat penting. Fungsi utama pohon-pohonan dan tanaman keras lainnya dalam sistem agroforestry adalah untuk memberikan jasa dan juga untuk memberikan penghasilan langsung dalam bentuk buah-buahan, biji-bijian, rebung, kulit dan bahkan akar. Lebih lanjut disebutkan keuntungan lainnya yang dapat diperoleh dengan penanaman pohon-pohonan, yaitu: a. Memberikan diversifikasi hasil, disamping buah dapat juga digunakan kayunya b. Memberikan jaminan terhadap kegagalan hasil, karena pohon-pohonan merupakan “modal berdiri” c. Berpengaruh baik tehadap tata air (hidrologi) dan jasa-jasa ekologis lainnya d. Mengurangi terjadinya suhu-suhu ekstrim baik di udara, dalam tanah dan dalam batang dan daun, sehingga meningkatkan produktivitas tanaman pertanian e. Dapat mengurangi kerusakan-kerusakan terhadap tanaman pertanian yang disebabkan oleh hujan yang deras. Sistem hutan kota juga dapat bersifat lokal, karena harus cocok dengan kondisi ekologi dan sosial-ekonomi setempat. Mengingat bahwa konsep hutan kota memberikan harapan baru dalam sistem pengelolaan lingkungan perkotaan, maka di beberapa negara konsep ini berangsur-angsur mulai dikembangkan, terutama di negara-negara sedang berkembang. Dari beberapa definisi tersebut di atas diperoleh pengertian bahwa, bentuk tatanan vegetasi hutan-kota seperti itu merupakan salah satu bentuk alternatif yang dianggap optimum oleh masyarakat perkotaan untuk mencukupi kebutuhan jasa lingkungan hidupnya dengan memperhatikan faktor-faktor pembatas yang ada (misalnya: luas lahan, pencemaran lingkungan, teknologi, legalitas, dll.). Secara global terdapat permasalahan pertanian yang sama di antara negara-negara sedang berkembang, seperti di Asia Tenggara, yaitu berupa semakin menurunnya kualitas lingkungan dan meningkatnya tekanan penduduk urban yang dampaknya adalah munculnya berbagai masalah lingkungan. Salah satu alternatif untuk mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan melaksanakan sistem pertanaman ganda hutan kota, karena sistem ini selain meningkatkan produktivitas ekologis, juga akan menjamin kontinuitas mekanisme “pembersihan “ dan kenyamanan serta estetika lingkungan. Hutan kota menjadi suatu sistem penggunaan lahan perkotaan, tidak hanya berperan untuk memelihara tingkat produksi yang sekarang, akan tetapi diharapkan juga dapat mendukung tingkat-tingkat produktivitas ekologis yang lebih tinggi pada waktu-waktu yang akan datang. 6 Hipotesis yang dibangun oleh para ahli tentang pengaruh pohonpohonan terhadap tanah di bawahnya adalah bahwa “pohon-pohonan mampu memperbaiki kualitas lahan di bawahnya”. Hipotesis ini didukung oleh beberapa temuan berikut (Nair, 1993): 1. Pengalaman petani menunjukkan bahwa mereka memperoleh hasil tanaman yang baik dengan menanam tanaman pada lahan hutan yang dibuka 2. Tanah-tanah yang berkembang di bawah ekosistem hutan mempunyai struktur tanah yang baik, kapasitas menahan air yang baik, dan kandungan bahan organik yang tinggi 3. Dibandingkan dengan sistem pertanian, ekosistem hutan merupakan sistem yang relatif tertutup ditinjau dari transfer, simpanan dan siklus hara 4. Kemampuan pohon untuk memulihkan kembali kesuburan tanah terbukti dari pengalaman negara-negara berkembang, yang menyatakan bahwa cara yang dianggap baik untuk merehabiltasi lahan kritis adalah reboisasi 5. Konversi ekosistem alami menjadi sistem pertanian seringkali mengakibatkan kemerosotan kesuburan tanah dan degradasi lahan, kecuali jika dilaksanakan tindakan-tindakan pengelolaan yang tepat dan seringkali sangat mahal Young (1989), mencoba membangun beberapa hipotesis tentang pengaruh pohon-pohonan terhadap sumberdaya lahan , sbb: Pengaruh baik: Sifat proses INPUT Proses Produksi biomasa OUTPUT Pengembal i-an KATALITIK Efek utama terhadap tanah Peningkatan atau pemeliharaan bahan organik tanah Fiksasi nitrogen Pengayaan N Efek terhadap hujan Penambahan hara melalui air hujan dan (Kuantitas dan distribusi) debu Perlindungan terhadap erosi Mengurangi kehilangan material tanah dan oleh air dan angin hara Penyerapan, siklus dan Penyerapan hara dari lapisan bawah dan pelepasan hara deposisi pada lapisan permukaan Menahan hara supaya tidak tercuci Dekomposisi dan Mineralisasi Fisik Perbaikan ciri tanah Kimia Memperingan pengaruh kemasaman, salinitas dan alkalinitas Iklim mikro Menyangga efek buruk dari kondisi ekstrim Biologis Efek terhadap mikroorganisme, perbaikan kualitas seresah melalui diversitas spesies Pengaruh Buruk: 7 a. Kompetisi air dan hara b. Produksi zat penghambat pertumbuhan c. Kehilangan hara melalui panen pohon-pohonan d. Kemungkinan adanya efek buruk terhadap erosi tanah. 4.2. Sistem Perakaran Kompetisi di antara pohon-pohon dalam sistem hutan kota tergantung pada kebutuhan air dan haranya. Kompetisi ini dapat terjadi terhadap sumberdaya yang berada di atas tanah dan sumberdaya yang ada di bawah permukaan tanah. Daya kompetisi di dalam tanah sangat ditentukan oleh distribusi akar. Sistem hutan kota secara ekologis dapat lebih produktif apabila di antara pepohonan tersebut bersifat komplementer dalam menggunakan sumberdaya di atas dan di dalam tanah. Ditinjau dari komplementaritas penggunaan sumberdaya di bawah tanah, pembedaan terjadi antara sistem-sistem hutan kota yang simultans dengan sistem-sistem yang sekuensial. Dalam sistem sekuensial, semua interaksi biologis terjadi melalui kondisi tanah pada akhir fase pohon. Pada tanah-tanah yang mempunyai cukup banyak cadangan hara dalam subsoilnya, pohon yang perakarannya dalam dapat berfungsi sebagai “nutrient pumps” , mengangkut hara ke permukaan melalui “litterfall”. Dalam sistem simultans, kompetisi air dan/atau hara menjadi snagat penting, tetapi kalau perakaran pohon menempati zone di bawah zone perakaran tanaman semusim, mereka dapat menangkap limpahan air dan hara dari zone perakaran tanaman semusim, sehingga mereka dapat berperan sebagai “jaring pengaman, safety nets”. Fungsi “jaring pengaman” ini snagat penting terutama bagi unsur hara yang ketersediaannya sangat dipengaruhi oleh surplus hujan, sifat jerapannya konstan, dan mudah tercuci. Pola perakaran yang memaksimalkan kepadatan panjang-akar tampaknya sangat menarik untuk sistem hutan kota campuran yang sekuensial (atau terpisah secara spasial), karena kondisi ini memungkinkan peningkatan penangkapan hara oleh pohon dan mobilisasi hara untuk dapat tersedia bagi tanaman lainnya melalui residu organiknya. Sistem perakaran pohon yang rapat diduga juga mampu mempercepat proses pembentukan struktur tanah secara biologis. Pohon-pohon yang perakarannya dalam juga mampu membantu menciptakan “liang-liang bekas akar” yang sangat bermanfaat bagi tanaman berikutnya. Untuk sistem-sistem yang simultan, yang biasanya ada zonasi spasial, komplementaritas distribusi akar diperlukan untuk mereduksi kompetisi. Sampai dimana efektifitas zonasi spasial dalam mereduksi interaksi bawah tanah tergantung pada pola pertumbuhan lateral dari perakaran pohon. Tanaman pohon yang pola perakarannya superficial mungkin sangat kompetitif dengan tanaman semusim yang perakarannya dangkal, kecuali jika fenologi tajuknya memungkinkan reduksi kebutuhan air dan hara selama periode kritis bagi tanaman semusim. 8 Van Noordwijk dan Purnomosidhi (1995) telah melakukan penelitian tentang perakaran beberapa jenis pohon yang tumbuh pada lahan pekarangan. Jenis-jenis pohon ini umurnya sekitar 5-7 tahun. Bagian pangkal dari akar yang tumbuh pada pangkal batang dibongkar secara hatihati pada radius 0.5-1.0 m dari batang. Diameter akar dan sudut akar dari bidang horisontal diukur untuk semua akar proximal (akar yang tumbuh pada pangkal batang atau akar lateral dari pangkal tap-root). Diameter batang diukur pada ketinggian 1-1.5 m (D(stem)), luas pangkal batang dihitung D(stem)2 9 Tabel 1. Spesies Pola perakaran pohon-pohon multiguna yang tumbuh pada lahan pekarangan di Lampung utara A B (1-A)/B Leucaena leucocephala 0.17 0.39 2.13 Parkia speciosa 0.23 0.46 1.67 Annona muricata 0.28 0.44 1.64 Perunema canescens 0.04 0.78 1.23 Psidium guajava 0.11 0.74 1.20 Nephelium lappaceum 0.15 0.77 1.10 Pithecolobium jiringa 0.10 1.00 0.90 Gliricidea sepium 0.18 0.94 0.87 Paraserianthes falcataria 0.17 0.86 0.97 Eugenia aquea 0.17 1.43 0.58 Ceiba petandra 0.45 0.95 0.58 Gnetum gnemon 0.15 1.53 0.56 Anacardium occidentale 0.45 1.20 0.46 Calliandra calothyrsus 0.75 0.64 0.39 Peltophorum dasyrachis 0.74 0.69 0.38 Artocarpus heterophyllus 0.69 0.89 0.35 Durio zibethinus 0.75 1.14 0.22 Artocarpus integer 0.84 0.86 0.19 Mangifera indica 0.85 1.04 0.14 Sumber: Van Noordwijk dan Purnomosidhi (1995). A = Root(vert) : Root basal area ratio; B = Stem : Root basal area ratio; (1-A)/B = Indeks kedangkalan perakaran. Hasil yang diperoleh dari lima jenis pohon (C. calothyrus, C.siamea, G.Sepium, A.falcataria, dan P. dasyrachis) menunjukkan bahwa pemangkasan pohon yang berulang-ulang pada ketinggian 0.5, 0,75 atau 1.0 m berpengaruh terhadap diameter akar proximal dan orientasinya. 10 PERHUTANAN PERTANIAN Reboisasi/Penghijauan Penanaman Pemanfaatan Pemeliharaan, dll Tanaman semusim Tnm perennial Ternak + tnm pakan dll KONDISI KHUSUS / KENDALA Lingkungan Kemiskinan Kota: tenaga Udara & Air Kekurangan RTH Degradasi Zone resapan Hutan, Penyerap polutan Tanah, dan Air Kendala penguasaan lahan Banyak kerja Pohon dalam sistem AGROFORESTRY Penanaman pohon untuk reklamasi & rehabilitasi lingkungan Sistem terpadu dengan pohon “non-hutan”, spt pekarangan, kebun campuran Agroforestry zone penyangga wilayah kota Multi purposes tree Hutan KOTA Gambar 1. Penanaman pohon kayu perennial untuk: Konservasi tanah & air Batas/pagar pembatas Hijauan estetika Penyerap polutan Fungsi dan Posisi Pohon sebagai “interface” antara pertanian dan perhutanan 11 Radiasi TAJUK TANAMAN Pohon Udara: CO2 dan O2 H2O: presipitasi/ hujan LITTER BOT, SERESAH struktur Run-off Permukaan tanah Infiltrasi infiltrasi TOPSOIL: 0-30 cm Agregasi, BI, Infiltrasi PERAKARAN TANAMAN POHON Tekstur SUBSOIL: 30 - 90 cm porositas permeabilitas WHC, Perkolasi drainase internal BAHAN INDUK TANAH: 90 - > 120 cm absorpsi mass-flow Perkolasi WHC perkolasi Gambar 2. Abstraksi peranan pohon dalam penyimpan air hujan dalam tanah 12 INPUT UDARA Air Hujan VEGETASI: Pohon + tanm lainnya Fiksasi N translokasi Storage organ Canopywash Akar Throughfall POHON Stemflow increment Non-storage organ Batang Umbi Akar Daun bunga cabang, ranting akar yang mati daun, bagian lain yang mati SERESAH 60% RESAPAN 40% simbiotik non-simbiotik TOPSOIL Infiltrasi Proseses kimia & biologis SEEPAGE Transpor oleh fauna tanah SUBSOIL Perkolasi & drainase internal GROUND-WATER baseflow ALIRAN SUNGAI / MATA AIR Gambar 3. Peranan Pohon dalam sistem dan proses hidrologis alamiah 13 KUALITAS DAN DAN PRODUKTIVITAS LINGKUNGAN DALAM SISTEM HUTAN KOTA Populasi pohon Kualitas lingkungan hidup Pola Pertumbuhan Pohon Kualitas dan karakteristik lingkungan kota Keberadaan Pohon Dalam ekosistem kota HUTAN KOTA Indikator pertumbuhan Tanaman pohon Penghijauan kota Arsitektur Tajuk holding Perakaran Daya kompetisi tanaman Indikator pertumbuhan Indikator produksi - Shoot - Roots Kesuburan tanah Profil: BOT KTK N-tanah Fisika tanah Agregasi: Water Infiltrasi Perkolasi Produksi kayu Dimensi Vertikal Dimensi Horisontal SISTEM KOMUNITAS POHON SISTEM HUTAN KOTA Gambar 4. Kerangka Konsep Optimalisasi Peranan Pohon 14 Produksi: - Biomasa - C-total - N-total - hara lain 0 cm 30 BOT, Porositas agregasi Permeabilitas, WHC arsitektur akar air tanah 90 : Titik sampel tanah: variabel pokok dan variabel penunjang Gambar 6. Konsep STUDI INTERAKSI SENGON DENGAN TANAH 15 Produksi: - Biomasa - C-total - N-total - hara lain Tanaman Non-Pohon 0 cm 30 BOT, Tekstur Porositas Permeabilitas arsitektur akar air tanah 90 : Titik sampel tanah: variabel pokok dan variabel penunjang Gambar 7. Konsep STUDI INTERAKSI tanaman semusim dgn tanah 16 DAFTAR PUSTAKA Fogel, R. 1985. Roots as primary producers in below ground ecosystems . Dalam: Fitter, A.H (eds.) Ecological Interaction in Soil, pp. 23-26, Blackwell, Oxford, UK. Hairiah, K., Van Noordwijk M, B. Santoso, dan Syekhfani. 1992. Biomass production and root distribution of eight trees and their potential for hedgerow intercropping on an ultisol in Lampung. AGRIVITA 15:54-68. Huxley, P.A. 1985. The tree/crop interface - or simplifying the biological /environmental study of mixed cropping agroforestry systems. Agroforestry Systems 3:251-266. Neumann, F. dan P. Pietrowicz. 1989. Light and water availability in fields with and without trees. An example from Nyabisindu in Rwanda. Dalam: Reifsnyder, W.S dan T,O.Darnhofer (eds.), Meteorology and Agroforestry, pp. 401-406, ICRAF, Nairobi, Kenya. Ong,C.K., J.C.W.Odongo, F.Marshall, dan C.R.Black. 1991a. Water use by tree and crops: Five hypotheses . Agroforestry Today 2(3):7-10. Ong,C.K., J.E. Corlett, R.P.Singh dan C.R.Black. 1991b. Above and below bround interaction in agroforestry systems. Forest Ecology and Management 45:45-47. Osman, M dan K.P.C.Rao. 1988. Agroforestry systems research: Efficient horticultural system for shallow undulating red ‘chalka’ soils. Annual report, CRIDA Hyderabad: 52-56. Palm,C.A. 1995. Contribution of agroforestry trees to nutrient requirements of intercropped plants. Agroforestry Systems 30:105-124. Kluwer Academic Publishers, Netherlands. Patil, B.D. dan A.S.Gill. 1986. Shevri (Sesbania sesban) a multi purpose shrub. Indian Farming 35(10): 24-25. Sauerbeck, D.R., dan B.G.Johnen. 1977. Root formation and decomposition during plant growth. Dalam: Soil Organic Matter Studies. pp. 141-148, IAEA, Vienna, Austria. Schroth, G. 1995. Tree root characteristics as criteria for spesies selection and systems design in agroforestry. Agroforestry Systems 30:125-143. Singh, R.P., C.K. Ong dan N. Saharan. 1989. Above and below ground interactions in alley-cropping in semiarid India. Agroforestry Systems 9:259-274. Singh,G., N.T. Singh dan I.P.Abrol. 1994. Agroforestry techniques for the rehabilitation of degraded salt-affected lands in India. Land Degradation and Rehabilitation: 5:223-242. Steppler, H.A. dan P.K.R.Nair. 1987. Agroforestry: A Decade of Development. ICRAF, Nairobi, Kenya, 335 p. Van Noordwijk , M. dan P. Purnomosidhi. 1995. Root architecture in relation to tree-soil-crop interactions and shoot pruning in agroforestry. Agroforestry Systems 30:161-173. Wiersum, K.F. 1982. Tree gardening and taungya in Java: Examples of agroforestry techniques in the humid tropics. Agroforestry Systems 1:53-70. 17 Wiersum, K.F. 1986. Ecological aspects of agroforestry with special emphasis on tree-soil interactions: Lecture notes. FONC Project Communication 1986-16. Fakultas Kehutanan, UGM, Yogjakarta, Indonesia. Wood, P.J. 1990. Principles of species selection for agroforestry. Dalam: MacDicken, K.G. dan N.J.Vergara (eds.) Agroforestry: Classification and Management. pp. 290-309. John Wiley, New York, USA. Young, A. 1986. Effects of trees on soils. ICRAF Reprint No. 31. Nairobi, Kenya. Young, A. 1989a. Agroforestry for Soil Conservation. ICRAF, Nairobi and CAB International, Wallingford, UK.