6 | Nusantara SENIN, 11 OKTOBER 2010 | MEDIA INDONESIA Menyadap Manisnya Pohon Kehidupan Sepanjang musim fai tua fanduk, antara September dan Desember, masyarakat Rote yang tidak kebagian pohon sadapan akan mencari nira lontar di pulau lain. MI/PALCE AMALO GULA LEMPENG: Maria mengolah gula merah cair untuk dijadikan gula lempeng di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kupang, Nusa Tenggara Timur, Senin (27/9). Gula lempeng dijual Rp20.000/kilogram. Palce Amalo B UIH telah menyentuh permukaan periuk. Maria, 46, buru-buru mengurasnya sampai habis dan menyisakan adonan gula kental yang terus mendidih. Supaya menyatu sempurna, gula yang kehitaman itu dikocoknya hingga mengental. Sampai cairan tersebut berubah warna menjadi merah kecokelatan dan siap mengisi 150 pan bulat yang ia sebar ke tengah tikar. Maria bercerita, suaminya, Marten, yang asal Pulau Rote, telah menyadap 30 pohon nira lontar (Borassus flabellibe) saat hari masih subuh. Sore, ia kembali menyadap 30 pohon. Adalah tugas Maria memasak gula, dalam gubuk mereka di Kelurahan Lasiana, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur. “Kami bekerja mulai pukul 3.00 Wita sampai malam,” ucapnya. Di beberapa daerah lain, gula padat semacam bikinan Maria populer dengan sebutan gula jawa atau gula batu, sementara di NTT sebutannya adalah gula lempeng. Profesi sebagai pembuat gula lempeng banyak ditekuni secara turun-temurun oleh pen duduk asal Pulau Rote yang bermukim di berbagai wilayah NTT. Setelah masuk pasar tradisional, gula lempeng mereka jual Rp20 ribu per kilogram. Ada juga olahan nira lontar lain dengan harga yang lebih ekonomis, yakni gula cair yang harganya Rp5.000 per liter. Musim menyadap Penduduk Rote mengenal dua musim dalam proses penyadapan lontar. Yang disebut fai tua timu jatuh pada April hingga Juli. Ketika itu seluruh pohon lontar belum mengeluarkan mayang sehingga tidak ada yang disadap untuk memperoleh nira. Musim kedua ialah fai tua fanduk yang dimulai September dan berakhir saat Desember. Periode itu ditandai dengan keluarnya mayang di seluruh lontar. Biasanya laki-laki di pulau paling selatan NTT itu akan mulai melantunkan syair-syair menyambut musim menyadap tersebut. Di antaranya syair berbunyi ‘mana fata tinu mai papole, mana ledi fanduk mai lelendu’ yang berarti ‘penyadappenyadap musim kemarau dan musim panas berdatangan mengapit’. Saking gembiranya lelaki Rote, sampai-sampai lontar pun mereka sebut sebagai pohon kehidupan. Adapun mereka yang tidak kebagian menyadap biasanya pindah ke daerah lain. Termasuk Marten dan istri nya yang datang dari Rote sejak Agustus dengan digerakkan “ Kita telah membina banyak industri kecil gula merah, tetapi tidak berkembang.” John Hermanus Kepala Dinas Perindustrian Kota Kupang niat menyadap lontar yang tumbuh di kawasan Lasiana, Kupang. Masuk Desember, pasangan itu akan kembali ke kampung halaman untuk menyongsong kemeriahan Natal. Saat ada begitu banyaknya lelaki pergi menyadap di musim fai tua fanduk, produksi gula cair dan gula lempeng di Rote melimpah di pasar sehingga harga pun turun. Sebuah hukum ekonomi yang jamak berlaku. Modal hidup “Bayar ongkos pendidikan anak juga hanya dari menjual gula lempeng,” celetuk Marten yang kini menyekolahkan dua anaknya di perguruan tinggi dan SMA. Bukan dia seorang yang menyandarkan tumpuan pada hasil pohon lontar. Adapun Rote merupakan daerah penghasil gula merah terbesar untuk NTT. Komoditas gula lempeng per tahun yang berasal dari pulau tersebut mencapai 246,5 ton. Jumlah itu belum termasuk produksi gula air sebanyak 2.607 ton. Di sisi lain, tegakan pohon di Nusa Lontar tersebut berjumlah 5,3 juta, tumbuh di areal seluas 13,3 ribu hektare. Andai saja potensi itu diperhatikan dan didesak untuk dikelola secara profesional maka Maria dan Marten yang menyadap seharian bisa beroleh standar hidup lebih baik. Paling tidak ketekunan ekstra mereka bisa mendatangkan penghasilan bagus. Tetapi, pada kenyataannya tidak. Dunia penyadap nira, tidak begitu jauh berbeda rona ceritanya dengan yang hidup di tanah Jawa, Sulawesi, ataupun NTT, terperangkap dalam kemiskinan. Padahal kalau ingin lebih komersial, sesungguhnya nira bisa bermetamorfosis menjadi produk ekspor. Tidak sekadar olahan paling primitif yang disebut gula lempeng. Sebab sadapan tersebut jika diolah bisa menghasilkan alkohol berkadar 20%-80% maka jadilah nira sebagai bahan baku pembuatan anggur, kecap, atau yang paling simpel, yakni gula semut. Buahnya bisa dibuat minum an segar, sedangkan buah yang tua menjadi bahan baku kosmetik. Tetapi, nira rote yang diproses menjadi gula semut pun masih minim. Hanya 6,5 ton yang berhasil diolah per tahun. Adapun hasil sadapan yang diproduksi untuk kecap baru 500 liter per tahun. Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Kupang John Hermanus mengakui situasi yang serbaminim itu. Menurutnya, pemerintah dua tahun terakhir sudah membina sejumlah perajin gula untuk memacu mereka meningkatkan produksi. Apa hasilnya? “Kita telah membina banyak industri kecil gula merah, tetapi tidak berkembang,” katanya. Dari puluhan binaan sampai 2010, hanya satu industri yang berkembang. Industri tersebut, kata dia, menghasilkan gula merah padat dan gula semut masing-masing 7.000 ton senilai Rp70 juta per tahun. Menurut John, pasokan gula juga tidak rutin karena bergantung pada produksi nira. Musim sadap hanya berlangsung sembilan bulan, sedangkan mulai Januari-Maret penyadap beralih profesi menanam jagung dan umbi, dan mengolah sawah untuk padi. (N-4) [email protected]