Hidup Akrab dengan Resiko Bencana Negeri ini juga rawan akan gempa bumi, sebab dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu: Lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. D I awal tahun 2014, negeri tercinta ini menjadi semakin akrab dengan bencana. Setiap hari di berbagai media cetak, online, maupun elektronik disuguhi berita tentang bencana yang terjadi di berbagai daerah di tanah air. Banjir yang menerjang berbagai kota besar termasuk Jakarta dan Jalur Pantura, diiringi dengan musibah tanah longsor, menelan korban harta dan jiwa. Berita mengenai erupsi gunung berapi juga jadi tontonan sehari-hari. Begitu juga dengan kabar adanya gempa yang bergetar di beberapa daerah yang meski tak berpotensi memicu tsunami, namun telah mengakibatkan beberapa bangunan rusak parah. Indonesia terkenal memiliki panorama yang sungguh indah. Ini bukan sekedar pujian. Faktanya, tahun 2013 lalu World Economic Forum (WEF) merilis The Travel & Tourism Index 2013 yang menyebutkan indikator keindahan alam Indonesia berada di peringkat ke-6 dari 140 negara. Di balik kecantikanKIPRAH Volume 60 th XIV | Januari-Februari 2014 nya itu, sudah jadi takdir negeri ini, rawan bencana. Banyak kota besar yang terletak di muara sungai atau di daerah aliran pertemuan beberapa sungai besar. Letaknya memang strategis, namun dari sisi geologi rentan terhadap banjir. Tatkala sungai-sungai itu tak mampu menampung debit air ketika hujan, banjir pun menggenangi kota. Daerah yang terletak di dataran rendah dekat dengan pantai juga memiliki potensi terimbas banjir rob. Di sisi lain, sebagai negara yang berada dalam zona cincin api, Indonesia memiliki lebih dari 400 gunung berapi dan 170 diantaranya termasuk gunung berapi aktif. Wajar bila potensi terjadinya bencana erupsi juga sangat tinggi. Seperti diketahui, awal Februari lalu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melansir data adanya 19 gunung yang berstatus “waspada” (level II). Belum lama ini meski telah tertidur lebih dari empat abad, Gunung Sinabung kembali bangun dan mengeluarkan isi materialnya selama lebih dari lima bulan terakhir. Selain Gunung Sinabung, masih banyak gunung api yang mulai menggeliat. Misalnya Gunung Kelud di Kediri, Jawa Timur, yang akibat erupsi pada 13 Februari lalu abu vulkaniknya telah menyebar di kawasan selatan Jawa. Abu itu terbang hingga sejauh 700 km dari Gunung Kelud, menyelimuti kota-kota besar di Pulau Jawa dan membuat delapan bandara tidak beroperasi. Negeri ini pun rawan akan gempa bumi sebab dilalui oleh jalur pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Lempeng IndoAustralia, Lempeng Eurasia, dan Lempeng Pasifik. Lempeng Indo-Australia bergerak relatif ke arah utara dan menyusup ke dalam Lempeng Eurasia, sementara Lempeng Pasifik bergerak relatif ke arah barat. Jalur pertemuan lempeng berada di laut, sehingga apabila terjadi gempa bumi besar dengan kedalaman dangkal maka akan berpotensi menimbulkan tsunami. Dengan demikian, Indonesia juga tergolong negara yang rawan tsunami. Bencana yang kerap datang itu tak hanya terjadi akibat faktor alam semata. Banjir dan tanah longsor misalnya, mungkin daya rusaknya tidak akan sehebat yang kita saksikan bila saja ada kesadaran dari masyarakat untuk lebih peduli pada lingkungan. Kepedulian itu mungkin bisa dimulai dari hal yang kecil, contohnya dengan tidak membuang sampah ke sungai atau saluran drainase, serta tidak menebangi pohon di hutan, terlebih di daerah lereng yang curam. Justru sebaliknya, vegetasi di daerah tersebut harus terpelihara. Demikian pula di kawasan pesisir, keberadaan hutan mangrove/bakau harus dijaga kelestariannya agar mampu meredam daya rusak ombak dan gelombang tsunami. Sayangnya apa yang terjadi? Pembangunan dan aktifitas manusia yang makin banyak namun kurang memperhatikan 9