Modul Etika Periklanan [TM3]

advertisement
MODUL PERKULIAHAN
Etika Periklanan
Dasar-Dasar Periklanan dan
EPI
Fakultas
Program Studi
Tatap Muka
Fakultas Ilmu
Komunikasi
Advertising and
Marketing
Communication
03
Kode MK
Disusun Oleh
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Abstract
Kompetensi
Dasar-Dasar Periklanan dan EPI
Mahasiswa mampu memahami dan
melakukan kajian tentang dasar-dasar
Periklanan dan EPI
Dasar-dasar Periklanan dan EPI
Prinsip – Prinsip Etika Periklanan Indonesia
Penyusunan dan penegakan etika periklanan yang tercantum dalam EPI ini
dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip swakramawi (self-regulation) yang dianut
oleh industri periklanan secara universal. Prinsip-prinsip dimaksud memberi rujukan
bahwa suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan
ditegakkan oleh para pelakunya sendiri.
Prinsip tersebut juga mengakui bahwa meskipun telah disusun, disepakati, dan
ditegakkan oleh para pelakunya sendiri, akan tetap terbuka kemungkinan ada saat-saat
ia kurang
diindahkan. Karena
itu diperlukan
upaya
terus-menerus
untuk
menyosialisasikan dan mengkoordinasikan gerak langkah penegakkannya oleh
segenap komponen industry periklanan.
Pengertian Asas Swakramawi
Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara
universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri
periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan
lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya
sendiri.”
Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama
penerapan asas swakramawi tersebut:
(i)
Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan
kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka
dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan
lingkungan sosial-budaya mereka.
2016
2
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
(ii)
Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas
periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam
kehidupan bermasyarakat.
(iii)
Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari
mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para
penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan.
(iv)
Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan
berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.
Alasan Penerapan Asas Swakramawi
1. Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan
kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka
dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan
lingkungan sosial-budaya mereka.
2. Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan
akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan
bermasyarakat.
3. Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari
mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para
penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan.
4. Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan
berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain.
2016
3
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Sejarah Singkat EPI
• Di Indonesia, prinsip swakrama mulai diperkenalkan pada tanggal 19 – 20 Juni
1980, saat berlangsungnya Simposimum Periklanan Nasional di Jakarta. Pada
symposium yang diprakarsai PPPI tersebut terungkap bahwa di antara para pelaku
periklanan, baru PPPI dan Serikat Penerbit Surakabar (SPS) yang memiliki kode etik
periklanan. Sebagai kode etik intern asosiasi, tentu saja hanya mengikat bagi para
anggota dari asosiasiasosiasi tersebut. Namun berkat upaya gigih para pegiat
periklanan saat itu, suatu kode etik yang berlaku bagi semua pelaku periklanan
kemudian dapat dihasilkan, dan diikrarkan bersama pada tanggal 17 September 1981,
pada forum Konvensi Periklanan Indonesia. Kode etik itu diberi nama Tata Krama
dan Tata Cara Periklanan Indonesia. Sejak saat itulah prinsip swakrama juga menjadi
bagian dari isi dan jiwa kode etik periklanan di Indonesia.
• EPI merupakan penyempurnaan atas kitab Tata Krama dan Tata Cara Periklanan
Indonesia (TKTCPI). Ini merupakan penyempurnaan kedua atas dokumen serupa yang
pertama kali diikrarkan tanggal 17 September 1981, yang juga adalah penyempurnaan
atas kitab pertama yang diterbitkan tanggal 19 Agustus 1996.
• Tiga gejala penting yang menjadi penyebab terjadinya perubahan besar dalam
industry periklanan saat ini, yaitu:
o Lompatan teknologi komunikasi dan informasi yang memunculkan berbagai wujud
pesan dan media periklanan baru.
o Konvergensi media yang mengharuskan adanya konsistensi perlakuan antar media,
antar klausal.
o Kebutuhan untuk berkampanye pemasaran yang menyeluruh dan terpadu, sehingga
memunculkan juga bentuk‐bentuk jasa dan metode baru dalam berprofesi dan
berpraktik usaha.
Pendukung EPI
2016
4
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
1. EPI disusun dan diterbitkan oleh Dewan Periklanan Indonesia - DPI (sebelumnya
dikenal sebagai Komisi Periklanan Indonesia).
2. DPI beranggotakan asosiasi-asosiasi yang terkait dalam industri periklanan. Saat ini
terdiri dari:
a) AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia)
b) APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia)
c) ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia)
d) ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia)
e) ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia)
f) GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia)
g) PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia)
h) PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia)
i) SPS (Serikat Penerbit Suratkabar)
j) Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia)
k) IPFII (Ikatan Perusahaan Film Iklan Indonesia)
Asas Etika Periklanan
Iklan dan pelaku periklanan harus:
1. Jujur, benar, dan bertanggungjawab.
2. Bersaing secara sehat.
3. Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara,
dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.
2016
5
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Lingkup EPI
1. Tatanan
Pedoman etika (code of ethics) periklanan ini disusun dalam dua tatanan pokok, yaitu
tata krama (code of conducts) atau tatanan etika profesi, dan tata cara (code of
practices) atau tatanan etika usaha.
2. Keberlakuan
EPI ini berlaku bagi semua iklan, pelaku, dan usaha periklanan yang dipublikasikan
atau beroperasi di wilayah hukum Republik Indonesia.
3. Kewenangan
Ke dalam, ia mengikat orang-perorang yang berkiprah dalam profesi apa pun di
bidang periklanan, serta semua entitas yang ada dalam industri periklanan.
Ke luar, ia mengikat seluruh pelaku periklanan – baik sebagai profesional maupun
entitas usaha – terhadap interaksinya dengan masyarakat dan pamong.
Dalam pengertian masyarakat, termasuk konsumen dari produk yang beriklan,
khalayak sasaran, ataupun khalayak umum penerima pesan periklanan, serta anggota
masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya.
Dalam pengertian pamong, termasuk semua lembaga resmi, baik di tingkat pusat
maupun daerah.
2016
6
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Keterbatasan EPI
1. Bukan syarat Keberterimaan
Setiap ide, konsep, materi atau kegiatan bisnis periklanan yang sesuai dengan EPI dan
diproduksi oleh sesuatu pelaku periklanan, tidak berarti dengan sendirinya layak
diterima untuk diproduksi, dilaksanakan atau disiarkan oleh sesuatu pelaku periklanan
lainnya. Masing-masing pelaku periklanan tetap memiliki hak prerogatif untuk
menerima atau menolak ide, konsep, materi atau kegiatan bisnis periklanan yang
diajukan kepadanya. Pengertiannya adalah: suatu iklan yang menurut satu pihak (bisa
klien/produsen, biro iklannya, rumah produksi ataupun media-massa) dinyatakan telah
sesuai dengan kitab Etika Pariwara Indonesia, tidak secara otomatis harus diterima
oleh pihak yang lain. Pihak yang lain berhak menerapkan syarat-syarat yang lebih
ketat daripada EPI. Misalnya: suatu stasiun radio bisa dan boleh saja menyatakan
bahwa mereka tidak akan menyiarkan iklan dari produk rokok walaupun iklan tersebut
sudah sesuai dengan EPI.
2. Bukan Lembaga Sensor
EPI ini bersifat amat terbuka dan akomodatif bagi kepekaan masyarakat. Meskipun
demikian, ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk memerankan penyensoran atau
praseleksi atas naskah materi, ataupun rancangan bisnis periklanan. Pengertiannya
adalah: dengan prinsip swakramawi yang dianutnya, maka diharapkan setiap pihak
yang terkait dengan periklanan akan mendukung dan melakukan segala sesuatunya
sesuai dengan pedoman dalam EPI. Dengan demikian, tidaklah dibutuhkan suatu
sistem penyensoran atas suatu materi iklan yang belum ditayangkan. Tindakan
korektif akan dilakukan hanya bagi iklan-iklan yang sudah ditayangkan melalui
badan-badan pengawas etika yang dibentuk oleh asosiasi pendukung EPI. Dengan
demikian, bukanlah tanggung-jawab badan pengawas etika untuk memberikan
rekomendasi ataupun keputusan bahwa suatu materi iklan yang belum ditayangkan
telah sesuai dengan EPI ataukah tidak sesuai.
2016
7
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Pengertian-Pengertian Dasar
• EPI; ialah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha
periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua
asosiasi dan lembaga pengembannya.
• Iklan; ialah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu
produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang
dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat.
• Pengiklan; ialah pemrakarsa, penyandang dana, dan pengguna jasa periklanan.
• Periklanan; ialah seluruh proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan,
penyampaian, dan umpan balik dari pesan komunikasi pemasaran
• Perusahaan Periklanan; ialah suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk
merancang, mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan atau
media komunikasi pemasaran untuk dan atas nama pengiklan dengan memperoleh
imbalan atas layanannya tersebut.
• Media; ialah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan periklanan kepada
konsumen atau khalayak sasaran.
• Khalayak; ialah orang atau kelompok orang yang menerima pesan periklanan dari
sesuatu media.
• Lembaga Penegak Etika; ialah organisasi independen dan nirpamong yang bertugas
dan berwenang untuk menegakkan etika periklanan, dan bernaung di bawah Dewan
Periklanan Indonesia atau asosiasi pengemban EPI.
2016
8
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
MENELAAH KASUS IKLAN BERMASALAH

Mahasiswa mencari contoh iklan bermasalah (satu mahasiswa satu iklan: dari media
cetak sertakan copynya, bila dari televisi sebutkan iklan apa dan buat sinopsis
iklannya).

Kemudian telaah/ komentari sesuai dengan materi etika periklanan (minimal satu
halaman spasi satu)

2016
Dikumpulkan pertemuan berikutnya.
9
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Ada 6 pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang
iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan dalam konteks kita.
1. Fungsi Periklanan
Dalam buku-buku tentang manajemen periklanan, iklan dipandang sebagai upaya
komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran,
antara penjual dan calon pembeli.
Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif.
Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak
ada iklan yang semata-mata persuasif.
Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya
iklan tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan.
Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsure
persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah.
Tercampurnya unsure informative dan unsure persuasive dalam periklanan,
membuat penilaian etis terhadapnya menjadi l ebih kompleks.
1. Periklanan dan kebenaran
Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau
pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi,
menyesatkan, dan bahkan menipu publik.
Iklan mempunyai unsure promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengimingiming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika
tersendiri. Ia menandaskan bahwa produknya adalah yang terbaik atau nomor satu
di bidangnya. Bahasa periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan
hiperbol. Di sini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan
public konsumen tahu bahwa retorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah.
2016
10
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak
mengatakan seluruh kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang
sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas yang
berbunyi “semua mobil yang kami jual sebelumnya diperiksa oleh montir ahli” tetap
berbohong, bila hal itu memang benar, tapi montir tidak berbuat apa-apa bila
menemukan ketidakberesan serius pada suatu mobil.
Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bias dipecahkan dengan
cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan public
untuk menerimanya atau tidak.
1. Manipulasi dengan periklanan
Masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak
terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti
motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari
luar.
Dikhawatirkan bahwa periklanan-seperti propaganda lain-bisa memanipulasi public.
Tetapi sekarang pada umumnya orang tidak begitu takut lagi akan bahaya
dimanipulasikan melalui propaganda dan periklanan. Namun demikian, tetap benar
juga bahwa periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen.
Contohnya : iklan kosmetika selalu berusaha menciptakan suatu suasana romantic
yang khas, sehingga menggiurkan untuk public konsumen.
Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis.
Tetapi, iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban”
permainan.
Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan :
1. Subliminal advertising
2016
11
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan
dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di
bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio.
Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New
Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar.
Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa.
1. Iklan yang ditujukan kepada anak
Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi
dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain
daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis.
1. Pengontrolan terhadap iklan
Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi
kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara
berikut ini :
1. Kontrol oleh pemerinah
Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap
keganasan periklanan.
Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan
dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan Federal
Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan
Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan.
1. Kontrol oleh para pengiklan
Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah
pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan
menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para
periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan.
2016
12
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di
Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan
Indonesia.
1. Kontrol oleh masyarakat
Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan.
Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa
menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan.
Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat
efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran
periklanan.
Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan
dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di
Indonesia ada Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan
Perusahaan Periklanan Indonesia.
1. Penilaian etis terhadap iklan
Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsipprinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan.

Maksud si pengiklan
Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi
tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan,
tentu iklannya menjadi tidak etis.
Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan
bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang
dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih
tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain.

2016
Isi iklan
13
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang
menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang
sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan
diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan
seobyektif seperti seperti laporan dari instansi netral.
Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan
semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum.

Keadaan publik yang tertuju
Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan
mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan.
Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam
masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana
yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam
masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi
lebih maju.
Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol
yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap
barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada
golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat
yang kurang mampu.

Kebiasaan di bidang periklanan
Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang
sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan
yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih
mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada
skala besar.
2016
14
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Seperti bisa terjadi juga, bahwa di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja
sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang
mengernyitkan alisnya.
1. Beberapa kasus etika periklanan

Tiket gratis dari Bouraq
Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992, maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan
di sebuah harian yang berbunyi : “tukarkan 10 lembar tiket bekas penerbangan
Bouraq dengan sebuah tiket gratis di perwakilan Bouraq setempat”. Tidak diberi
penjelasan lain. Lalu seorang pengusaha di Banjarmasin kebetulan menyimpan 50
tiket bekas dan berencana menukarkannya dengan harapan memperoleh 5 tiket
gratis.
Ia mendapat keterangan dari petugas bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5
Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat dalam iklan dan juga tidak
disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor
perwakilan Bouraq. Karena itu, boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan
itu lengkap.

Iklan plaza senayan
Sangat disayangkan pada nyanyian dan tokoh pelaku iklan plaza senayan. Begitu
konsumtif degan menggunakan helikopter belanja dan terkesan hura-hura ditambah
konteks nyanyian: “Hidup hanya …..jangan sia-siakan” apakah betul yang hanya
sekali itu harus diisi dengan hura-hura belanja penuh kemegahan
Apakah tidak terbesit sedikitpun utuk menggunakan hidup yang sekali itu dengan
menjalankan ibadah, beramal dan membantu saudara kita yang masih banyak
berekonomi lemah? Yang jangankan belanja dengan mewah di tempat megah,
membeli makanan di warungpun mikir.

2016
Iklan kijang
15
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Mendengar iklan mobil Toyota Kijang di radio maupun di televisi, yang melibatkan
seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara ditdak langsung telah mendidik anak dan
keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif.
Sangat memrihatinkan, begitu banyak anak di negeri ini yang jangankan liburan ke
Bali dan naik “Kijang”, untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja siang
malam sekadar untuk makan 1 hari.
Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar
memahami fakta sosial teman-teman seusianya yang tersuruk di tengah kerasnya
perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan ke Bali hanya
karena sudah terlanjur bercerita kepada teman-temannya. Eksploitasi anak-anak
untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi
iklan yang mewah dan konsumtif.
2016
16
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Daftar Pustaka
Pustaka:
1. Coleman, John & Tomko, Miklos (Eds.), “Mas Media”, dalam majalah Concilium,
SCM Press Ltd, London, 1993/6.
2. Dokumen Komisi Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan.
Dikutip dari L’Osservatore Romano N. 16, 16 April 1997.
3. Elaine, St. James, Simplify Your Life, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
4. Henderson Britt, Steuart, “Advertising” dalam Encyclopedia Americana, Vol 1,
Glorier Inc., USA.
5. Garrett, Thomas M., SJ, Some Ethical Problems of Modern Advertising, The
Gregoriana Univ. Press, Rome, 1961.
6. Keraf, Sonny A., Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991.
7. Dewan Periklanan Indonesia.Kitab Etika Pariwara Indonesia. Cetakan 3.2007.
8. Pitoyo, Djoko dan Siswanto, Joko, “Pandangan Moral Guru Terhadap Iklan
Komersial yang Mengeksploitasi Wanita Sebagai Model”, dalam Jurnal Fakultas
Filsafat UGM, Seri 27, Maret 1997, Yogyakarta, Maret 1997.
9. Sutanto, Limas, “Media Massa: Kekuatan Otoritatif di Era Informasi”, dalam Buletin
Komunikasi, No. 44, 1997.
2016
17
Etika Periklanan Indonesia
Ardhariksa Z., M.Med.Kom
Pusat Bahan Ajar dan eLearning
http://www.mercubuana.ac.id
Download