MODUL PERKULIAHAN Etika Periklanan Dasar-Dasar Periklanan dan EPI Fakultas Program Studi Tatap Muka Fakultas Ilmu Komunikasi Advertising and Marketing Communication 03 Kode MK Disusun Oleh Ardhariksa Z., M.Med.Kom Abstract Kompetensi Dasar-Dasar Periklanan dan EPI Mahasiswa mampu memahami dan melakukan kajian tentang dasar-dasar Periklanan dan EPI Dasar-dasar Periklanan dan EPI Prinsip – Prinsip Etika Periklanan Indonesia Penyusunan dan penegakan etika periklanan yang tercantum dalam EPI ini dilakukan sejalan dengan prinsip-prinsip swakramawi (self-regulation) yang dianut oleh industri periklanan secara universal. Prinsip-prinsip dimaksud memberi rujukan bahwa suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri. Prinsip tersebut juga mengakui bahwa meskipun telah disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri, akan tetap terbuka kemungkinan ada saat-saat ia kurang diindahkan. Karena itu diperlukan upaya terus-menerus untuk menyosialisasikan dan mengkoordinasikan gerak langkah penegakkannya oleh segenap komponen industry periklanan. Pengertian Asas Swakramawi Prinsip swakramawi (self-regulation) adalah prinsip yang dipakai secara universal dalam industri periklanan. Secara sederhana, swakramawi dalam industri periklanan mendasarkan dirinya pada keyakinan bahwa: “suatu etika periklanan akan lebih efektif justru kalau ia disusun, disepakati, dan ditegakkan oleh para pelakunya sendiri.” Dalam kitab Etika Pariwara Indonesia, disebutkan 4 (empat) alasan utama penerapan asas swakramawi tersebut: (i) Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka. 2016 2 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id (ii) Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat. (iii) Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan. (iv) Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain. Alasan Penerapan Asas Swakramawi 1. Swakrama menyiratkan kepercayaan yang amat besar dari industri periklanan kepada para pelakunya. Kepercayaan ini selanjutnya diyakini akan memberi mereka dorongan naluriah yang luar biasa untuk senantiasa berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial-budaya mereka. 2. Sebagai bagian dari masyarakat, penerapan swakrama pada komunitas periklanan akan sangat membantu dalam menegakkan sendi-sendi peradaban dalam kehidupan bermasyarakat. 3. Swakrama dapat meniadakan – setidaknya meminimalkan – campur tangan dari mereka yang kurang memahami periklanan, termasuk pamong (government) atau para penegak hukum, yang justru dapat menghambat perkembangan industri periklanan. 4. Dari aspek hak asasi dan demokrasi, ia juga merupakan wujud dari kebebasan berpendapat dari komunitas periklanan kepada pihak-pihak lain. 2016 3 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Sejarah Singkat EPI • Di Indonesia, prinsip swakrama mulai diperkenalkan pada tanggal 19 – 20 Juni 1980, saat berlangsungnya Simposimum Periklanan Nasional di Jakarta. Pada symposium yang diprakarsai PPPI tersebut terungkap bahwa di antara para pelaku periklanan, baru PPPI dan Serikat Penerbit Surakabar (SPS) yang memiliki kode etik periklanan. Sebagai kode etik intern asosiasi, tentu saja hanya mengikat bagi para anggota dari asosiasiasosiasi tersebut. Namun berkat upaya gigih para pegiat periklanan saat itu, suatu kode etik yang berlaku bagi semua pelaku periklanan kemudian dapat dihasilkan, dan diikrarkan bersama pada tanggal 17 September 1981, pada forum Konvensi Periklanan Indonesia. Kode etik itu diberi nama Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia. Sejak saat itulah prinsip swakrama juga menjadi bagian dari isi dan jiwa kode etik periklanan di Indonesia. • EPI merupakan penyempurnaan atas kitab Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia (TKTCPI). Ini merupakan penyempurnaan kedua atas dokumen serupa yang pertama kali diikrarkan tanggal 17 September 1981, yang juga adalah penyempurnaan atas kitab pertama yang diterbitkan tanggal 19 Agustus 1996. • Tiga gejala penting yang menjadi penyebab terjadinya perubahan besar dalam industry periklanan saat ini, yaitu: o Lompatan teknologi komunikasi dan informasi yang memunculkan berbagai wujud pesan dan media periklanan baru. o Konvergensi media yang mengharuskan adanya konsistensi perlakuan antar media, antar klausal. o Kebutuhan untuk berkampanye pemasaran yang menyeluruh dan terpadu, sehingga memunculkan juga bentuk‐bentuk jasa dan metode baru dalam berprofesi dan berpraktik usaha. Pendukung EPI 2016 4 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id 1. EPI disusun dan diterbitkan oleh Dewan Periklanan Indonesia - DPI (sebelumnya dikenal sebagai Komisi Periklanan Indonesia). 2. DPI beranggotakan asosiasi-asosiasi yang terkait dalam industri periklanan. Saat ini terdiri dari: a) AMLI (Asosiasi Perusahaan Media Luar-griya Indonesia) b) APPINA (Asosiasi Perusahaan Pengiklan Indonesia) c) ASPINDO (Asosiasi Pemrakarsa dan Penyantun Iklan Indonesia) d) ATVLI (Asosiasi Televisi Lokal Indonesia) e) ATVSI (Asosiasi Televisi Swasta Indonesia) f) GPBSI (Gabungan Perusahaan Bioskop Indonesia) g) PPPI (Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia) h) PRSSNI (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) i) SPS (Serikat Penerbit Suratkabar) j) Yayasan TVRI (Yayasan Televisi Republik Indonesia) k) IPFII (Ikatan Perusahaan Film Iklan Indonesia) Asas Etika Periklanan Iklan dan pelaku periklanan harus: 1. Jujur, benar, dan bertanggungjawab. 2. Bersaing secara sehat. 3. Melindungi dan menghargai khalayak, tidak merendahkan agama, budaya, negara, dan golongan, serta tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. 2016 5 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Lingkup EPI 1. Tatanan Pedoman etika (code of ethics) periklanan ini disusun dalam dua tatanan pokok, yaitu tata krama (code of conducts) atau tatanan etika profesi, dan tata cara (code of practices) atau tatanan etika usaha. 2. Keberlakuan EPI ini berlaku bagi semua iklan, pelaku, dan usaha periklanan yang dipublikasikan atau beroperasi di wilayah hukum Republik Indonesia. 3. Kewenangan Ke dalam, ia mengikat orang-perorang yang berkiprah dalam profesi apa pun di bidang periklanan, serta semua entitas yang ada dalam industri periklanan. Ke luar, ia mengikat seluruh pelaku periklanan – baik sebagai profesional maupun entitas usaha – terhadap interaksinya dengan masyarakat dan pamong. Dalam pengertian masyarakat, termasuk konsumen dari produk yang beriklan, khalayak sasaran, ataupun khalayak umum penerima pesan periklanan, serta anggota masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Dalam pengertian pamong, termasuk semua lembaga resmi, baik di tingkat pusat maupun daerah. 2016 6 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Keterbatasan EPI 1. Bukan syarat Keberterimaan Setiap ide, konsep, materi atau kegiatan bisnis periklanan yang sesuai dengan EPI dan diproduksi oleh sesuatu pelaku periklanan, tidak berarti dengan sendirinya layak diterima untuk diproduksi, dilaksanakan atau disiarkan oleh sesuatu pelaku periklanan lainnya. Masing-masing pelaku periklanan tetap memiliki hak prerogatif untuk menerima atau menolak ide, konsep, materi atau kegiatan bisnis periklanan yang diajukan kepadanya. Pengertiannya adalah: suatu iklan yang menurut satu pihak (bisa klien/produsen, biro iklannya, rumah produksi ataupun media-massa) dinyatakan telah sesuai dengan kitab Etika Pariwara Indonesia, tidak secara otomatis harus diterima oleh pihak yang lain. Pihak yang lain berhak menerapkan syarat-syarat yang lebih ketat daripada EPI. Misalnya: suatu stasiun radio bisa dan boleh saja menyatakan bahwa mereka tidak akan menyiarkan iklan dari produk rokok walaupun iklan tersebut sudah sesuai dengan EPI. 2. Bukan Lembaga Sensor EPI ini bersifat amat terbuka dan akomodatif bagi kepekaan masyarakat. Meskipun demikian, ia sama sekali tidak dimaksudkan untuk memerankan penyensoran atau praseleksi atas naskah materi, ataupun rancangan bisnis periklanan. Pengertiannya adalah: dengan prinsip swakramawi yang dianutnya, maka diharapkan setiap pihak yang terkait dengan periklanan akan mendukung dan melakukan segala sesuatunya sesuai dengan pedoman dalam EPI. Dengan demikian, tidaklah dibutuhkan suatu sistem penyensoran atas suatu materi iklan yang belum ditayangkan. Tindakan korektif akan dilakukan hanya bagi iklan-iklan yang sudah ditayangkan melalui badan-badan pengawas etika yang dibentuk oleh asosiasi pendukung EPI. Dengan demikian, bukanlah tanggung-jawab badan pengawas etika untuk memberikan rekomendasi ataupun keputusan bahwa suatu materi iklan yang belum ditayangkan telah sesuai dengan EPI ataukah tidak sesuai. 2016 7 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Pengertian-Pengertian Dasar • EPI; ialah ketentuan-ketentuan normatif yang menyangkut profesi dan usaha periklanan yang telah disepakati untuk dihormati, ditaati, dan ditegakkan oleh semua asosiasi dan lembaga pengembannya. • Iklan; ialah pesan komunikasi pemasaran atau komunikasi publik tentang sesuatu produk yang disampaikan melalui sesuatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. • Pengiklan; ialah pemrakarsa, penyandang dana, dan pengguna jasa periklanan. • Periklanan; ialah seluruh proses yang meliputi penyiapan, perencanaan, pelaksanaan, penyampaian, dan umpan balik dari pesan komunikasi pemasaran • Perusahaan Periklanan; ialah suatu organisasi usaha yang memiliki keahlian untuk merancang, mengkoordinasi, mengelola, dan atau memajukan merek, pesan, dan atau media komunikasi pemasaran untuk dan atas nama pengiklan dengan memperoleh imbalan atas layanannya tersebut. • Media; ialah sarana komunikasi untuk menyampaikan pesan periklanan kepada konsumen atau khalayak sasaran. • Khalayak; ialah orang atau kelompok orang yang menerima pesan periklanan dari sesuatu media. • Lembaga Penegak Etika; ialah organisasi independen dan nirpamong yang bertugas dan berwenang untuk menegakkan etika periklanan, dan bernaung di bawah Dewan Periklanan Indonesia atau asosiasi pengemban EPI. 2016 8 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id MENELAAH KASUS IKLAN BERMASALAH Mahasiswa mencari contoh iklan bermasalah (satu mahasiswa satu iklan: dari media cetak sertakan copynya, bila dari televisi sebutkan iklan apa dan buat sinopsis iklannya). Kemudian telaah/ komentari sesuai dengan materi etika periklanan (minimal satu halaman spasi satu) 2016 Dikumpulkan pertemuan berikutnya. 9 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Ada 6 pokok bahasan yang menyangkut reaksi kritis masyarakat Indonesia tentang iklan yang dapat dipandang sebagai kasus etika periklanan dalam konteks kita. 1. Fungsi Periklanan Dalam buku-buku tentang manajemen periklanan, iklan dipandang sebagai upaya komunikasi. Iklan dilukiskan sebagai komunikasi antara produsen dan pasaran, antara penjual dan calon pembeli. Periklanan dibedakan dalam dua fungsi : fungsi informatif dan fungsi persuasif. Tetapi pada kenyataannya tidak ada iklan yang semata-mata informatif dan tidak ada iklan yang semata-mata persuasif. Iklan tentang produk baru biasanya mempunyai unsur informasi yang kuat. Misalnya iklan tentang tempat pariwisata dan iklan tentang harga makanan di toko swalayan. Sedangkan iklan tentang produk yang ada banyak mereknya akan memiliki unsure persuasif yang lebih menonjol, seperti iklan tentang pakaian bermerek dan rumah. Tercampurnya unsure informative dan unsure persuasive dalam periklanan, membuat penilaian etis terhadapnya menjadi l ebih kompleks. 1. Periklanan dan kebenaran Pada umumnya periklanan tidak mempunyai reputasi baik sebagai pelindung atau pejuang kebenaran. Sebaliknya, kerap kali iklan terkesan suka membohongi, menyesatkan, dan bahkan menipu publik. Iklan mempunyai unsure promosi. Iklan merayu konsumen, iklan ingin mengimingiming calon pembeli. Karena itu bahasa periklanan mempergunakan retorika tersendiri. Ia menandaskan bahwa produknya adalah yang terbaik atau nomor satu di bidangnya. Bahasa periklanan pada umumnya sarat dengan superlative dan hiperbol. Di sini si pengiklan tidak bermaksud agar public percaya begitu saja. Dan public konsumen tahu bahwa retorika itu tidak perlu dimengerti secara harfiah. 2016 10 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Iklan bukan saja menyesatkan dengan berbohong, tapi juga dengan tidak mengatakan seluruh kebenaran, misalnya karena mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting untuk diketahui. Contohnya, iklan tentang mobil bekas yang berbunyi “semua mobil yang kami jual sebelumnya diperiksa oleh montir ahli” tetap berbohong, bila hal itu memang benar, tapi montir tidak berbuat apa-apa bila menemukan ketidakberesan serius pada suatu mobil. Pada intinya, masalah kebenaran dalam periklanan tidak bias dipecahkan dengan cara hitam putih. Banyak tergantung pada situasi konkret dan kesediaan public untuk menerimanya atau tidak. 1. Manipulasi dengan periklanan Masalah manipulasi terutama berkaitan dengan segi persuasive dari iklan (tapi tidak terlepas juga dari seg informatifnya). Karena dimanipulasi, seseorang mengikuti motivasi yang tidak berasal dari dirinya sendiri, tapi ditanamkan dalam dirinya dari luar. Dikhawatirkan bahwa periklanan-seperti propaganda lain-bisa memanipulasi public. Tetapi sekarang pada umumnya orang tidak begitu takut lagi akan bahaya dimanipulasikan melalui propaganda dan periklanan. Namun demikian, tetap benar juga bahwa periklanan berusaha mempengaruhi tingkah laku konsumen. Contohnya : iklan kosmetika selalu berusaha menciptakan suatu suasana romantic yang khas, sehingga menggiurkan untuk public konsumen. Manipulasi melalui iklan atau cara apapun merupakan tindakan yang tidak etis. Tetapi, iklan tidak mudah memanipulasi, karena tidak mudah membuat “korban” permainan. Ada 2 cara untuk memanipulasi orang dengan periklanan : 1. Subliminal advertising 2016 11 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Maksudnya adalah teknik periklanan yang sekilas menyampaikan suatu pesan dengan begitu cepat, sehingga tidak dipersepsikan dengan sadar, tapi tinggal di bawah ambang kesadaran. Teknik ini bisa dipakai di bidang visual maupun audio. Teknik subliminal bisa sangat efektif, contohnya, dalam sebuah bioskop di New Jersey yang menyisipkan sebuah pesan subliminal dalam film yang isinya “Lapar. Makan popcorn”. Dan konon waktu istirahat popcorn jauh lebih laris dari biasa. 1. Iklan yang ditujukan kepada anak Iklan seperti ini pun harus dianggap kurang etis, Karena anak mudah dimanipulasi dan dipermainkan. Iklan yang ditujukan langsung kepada anak tidak bisa dinilai lain daripada manipulasi saja dan karena itu harus ditolak sebagai tidak etis. 1. Pengontrolan terhadap iklan Dalam bisnis periklanan, perlulah adanya kontrol tepat yang dapat mengimbangi kerawanan tersebut. Pengontrolan ini terutama harus dijalankan dengan tiga cara berikut ini : 1. Kontrol oleh pemerinah Tugas penting bagi pemerintah, harus melindungi masyarakat konsumen terhadap keganasan periklanan. Di Amerika Serikat instansi-instansi pemerintah mengawasi praktek periklanan dengan cukup efisien, antara lain melalui Food and Drug Administration dan Federal Trade Commission. Di Indonesia iklan diawasi oleh Direktorat Jendral Pengawasan Obat dan Makanan (POM) dari Departemen Kesehatan. 1. Kontrol oleh para pengiklan Cara paling ampuh untuk menanggulangi masalah etis tentang periklanan adalah pengaturan diri (self regulation) oleh dunia periklanan. Biasanya dilakukan dengan menyusun sebuah kode etik, sejumlah norma dan pedoman yang disetujui oleh para periklan, khususnya oleh asosiasi biro-biro periklanan. 2016 12 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Jika suatu kode etik disetujui, tentunya pelaksanaannya harus diawasi juga. Di Indonesia pengawasan kode etik ini dipercayakan kepada Komisi Periklanan Indonesia. 1. Kontrol oleh masyarakat Masyarakat luas tentu harus diikutsertakan dalam mengawasi mutu etis periklanan. Dengan mendukung dan menggalakkan lembaga-lembaga konsumen, kita bisa menetralisasi efek-efek negatif dari periklanan. Laporan-laporan oleh lembaga konsumen tentang suatu produk atau jasa sangat efektif sebagai kontrol atas kualitasnya dan serentak juga atas kebenaran periklanan. Selain itu, ada juga cara yang lebih positif untuk meningkatkan mutu etis dari iklan dengan memberikan penghargaan kepada iklan yang di nilai paling baik. Di Indonesia ada Citra Adhi Pariwara yang setiap tahun dikeluarkan oleh Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. 1. Penilaian etis terhadap iklan Ada empat faktor yang selalu harus dipertimbangkan dalam menerapkan prinsipprinsip etis jika kita ingin membentuk penilaian etis yang seimbang tentang iklan. Maksud si pengiklan Jika maksud si pengiklan tidak baik, dengan sendirinya moralitas iklan itu menjadi tidak baik juga. Jika maksud si pengiklan adalah membuat iklan yang menyesatkan, tentu iklannya menjadi tidak etis. Sebagai contoh: iklan tentang roti Profile di Amerika Serikat, yang menyatakan bahwa roti ini bermanfaat untuk melangsingkan tubuh, karena kalorinya kurang dibandingkan dengan roti merk lain. Tapi ternyata, roti Profile ini hanya diiris lebih tipis. Jika diukur per ons, roti ini sama banyak kalorinya dengan roti merk lain. 2016 Isi iklan 13 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Menurut isinya, iklan harus benar dan tidak boleh mengandung unsur yang menyesatkan. Iklan menjadi tidak etis pula, bila mendiamkan sesuatu yang sebenarnya penting. Namun demikian, kita tidak boleh melupakan bahwa iklan diadakan dalam rangka promosi. Karena itu informasinya tidak perlu selengkap dan seobyektif seperti seperti laporan dari instansi netral. Contohnya : iklan tentang jasa seseorang sebagai pembunuh bayaran. Iklan semacam itu tanpa ragu-ragu akan ditolak secara umum. Keadaan publik yang tertuju Yang dimengerti disini dengan publik adalah orang dewasa yang normal dan mempunyai informasi cukup tentang produk atau jasa yang diiklankan. Perlu diakui bahwa mutu publik sebagai keseluruhan bisa sangat berbeda. Dalam masyarakat dimana taraf pendidikan rendah dan terdapat banyak orang sederhana yang mudah tertipu, tentu harus dipakai standar lebih ketat daripada dalam masyarakat dimana mutu pendidikan rata-rata lebih tinggi atau standar ekonomi lebih maju. Contohnya : Iklan tentang pasta gigi, dimana si pengiklan mempertentangkan odol yang biasa sebagai barang yang tidak modern dengan odol barunya yang dianggap barang modern. Iklan ini dinilai tidak etis, karena bisa menimbulkan frustasi pada golongan miskin dan memperluas polarisasi antara kelompok elite dan masyarakat yang kurang mampu. Kebiasaan di bidang periklanan Periklanan selalu dipraktekkan dalam rangka suatu tradisi. Dalam tradisi itu orang sudah biasa dengan cara tertentu disajikannya iklan. Dimana ada tradisi periklanan yang sudah lama dan terbentuk kuat, tentu masuk akal saja bila beberapa iklan lebih mudah di terima daripada dimana praktek periklanan baru mulai dijalankan pada skala besar. 2016 14 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Seperti bisa terjadi juga, bahwa di Indonesia sekarang suatu iklan dinilai biasa saja sedang tiga puluh tahun lalu pasti masih mengakibatkan banyak orang mengernyitkan alisnya. 1. Beberapa kasus etika periklanan Tiket gratis dari Bouraq Pada tanggal 11 dan 18 Mei 1992, maskapai Penerbangan Bouraq memasang iklan di sebuah harian yang berbunyi : “tukarkan 10 lembar tiket bekas penerbangan Bouraq dengan sebuah tiket gratis di perwakilan Bouraq setempat”. Tidak diberi penjelasan lain. Lalu seorang pengusaha di Banjarmasin kebetulan menyimpan 50 tiket bekas dan berencana menukarkannya dengan harapan memperoleh 5 tiket gratis. Ia mendapat keterangan dari petugas bahwa yang bisa ditukarkan hanyalah tiket 5 Agustus 1992 ke atas. Keterangan ini tidak dimuat dalam iklan dan juga tidak disebut bahwa konsumen bisa memperoleh informasi lebih lanjut di kantor perwakilan Bouraq. Karena itu, boleh diandaikan saja bahwa informasi dalam iklan itu lengkap. Iklan plaza senayan Sangat disayangkan pada nyanyian dan tokoh pelaku iklan plaza senayan. Begitu konsumtif degan menggunakan helikopter belanja dan terkesan hura-hura ditambah konteks nyanyian: “Hidup hanya …..jangan sia-siakan” apakah betul yang hanya sekali itu harus diisi dengan hura-hura belanja penuh kemegahan Apakah tidak terbesit sedikitpun utuk menggunakan hidup yang sekali itu dengan menjalankan ibadah, beramal dan membantu saudara kita yang masih banyak berekonomi lemah? Yang jangankan belanja dengan mewah di tempat megah, membeli makanan di warungpun mikir. 2016 Iklan kijang 15 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Mendengar iklan mobil Toyota Kijang di radio maupun di televisi, yang melibatkan seorang anak usia sekolah. Iklan itu secara ditdak langsung telah mendidik anak dan keluarga untuk bergaya hidup dan berbudaya konsumtif. Sangat memrihatinkan, begitu banyak anak di negeri ini yang jangankan liburan ke Bali dan naik “Kijang”, untuk sekolah mereka tidak mampu dan harus bekerja siang malam sekadar untuk makan 1 hari. Sungguh merupakan hal yang ironis, seorang anak yang seharusnya belajar memahami fakta sosial teman-teman seusianya yang tersuruk di tengah kerasnya perjuangan mereka, ternyata terdidik untuk ikut berpikir tentang cicilan ke Bali hanya karena sudah terlanjur bercerita kepada teman-temannya. Eksploitasi anak-anak untuk iklan saja sudah merupakan sesuatu yang tidak etis, apalagi dengan materi iklan yang mewah dan konsumtif. 2016 16 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id Daftar Pustaka Pustaka: 1. Coleman, John & Tomko, Miklos (Eds.), “Mas Media”, dalam majalah Concilium, SCM Press Ltd, London, 1993/6. 2. Dokumen Komisi Kepausan bidang Komunikasi Sosial tentang Etika dalam Iklan. Dikutip dari L’Osservatore Romano N. 16, 16 April 1997. 3. Elaine, St. James, Simplify Your Life, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997. 4. Henderson Britt, Steuart, “Advertising” dalam Encyclopedia Americana, Vol 1, Glorier Inc., USA. 5. Garrett, Thomas M., SJ, Some Ethical Problems of Modern Advertising, The Gregoriana Univ. Press, Rome, 1961. 6. Keraf, Sonny A., Etika Bisnis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta, 1991. 7. Dewan Periklanan Indonesia.Kitab Etika Pariwara Indonesia. Cetakan 3.2007. 8. Pitoyo, Djoko dan Siswanto, Joko, “Pandangan Moral Guru Terhadap Iklan Komersial yang Mengeksploitasi Wanita Sebagai Model”, dalam Jurnal Fakultas Filsafat UGM, Seri 27, Maret 1997, Yogyakarta, Maret 1997. 9. Sutanto, Limas, “Media Massa: Kekuatan Otoritatif di Era Informasi”, dalam Buletin Komunikasi, No. 44, 1997. 2016 17 Etika Periklanan Indonesia Ardhariksa Z., M.Med.Kom Pusat Bahan Ajar dan eLearning http://www.mercubuana.ac.id