CANGKOK HATI: Cara untuk Kembali ke Kegiatan Sehari-hari Dr Tan Yu Meng tak pernah menyukai saat-saat ketika ia harus memberi tahu pasiennya bahwa mereka membutuhkan cangkok hati (liver). Tetapi, sebagai dokter bedah senior di Rumah Sakit Gleneagles, ia paham bahwa hanya ada sedikit pilihan lain dalam menangani kanker dan penyakit hati stadium lanjut. Ini bukan berarti Dr Tan memberi tahu pasiennya agar bersiap menghadapi ke­ mungkinan terburuk; malah sebaliknya. Dengan kemajuan teknologi medis saat ini, nyaris semua pasien cangkok yang dita­ nganinya berhasil melewati operasi dengan selamat dan kembali ke kegiatan seharihari. Sejak 2002, ia dan tim cangkok hati di Rumah Sakit Gleneagles telah melaku­ kan hampir 200 operasi cangkok hati, dan banyak di antaranya dilakukan terhadap pasien internasional dari Indonesia. “Jika kita membicarakan pasien yang keluar dari rumah sakit dan kembali hidup normal, tingkat kesuksesannya sangat ting­ gi,” kata Dr Tan. “Saya kira dari 170 cangkok hati donor hidup yang sudah pernah kami lakukan di sini, peluang pasien meninggal dunia kurang dari 5%. Ini setara dengan unit-unit cangkok hati ter­kemuka di du­ nia.” Salah satu dari dua kelompok utama pasien yang memerlukan cangkok hati umum­nya menderita Hepatitis B atau C yang parah, atau kondisi terkait lain ketika hati sudah bertahun-tahun rusak. Ada juga kasus yang melibatkan hati yang rusak aki­ bat penyalahgunaan obat atau alkohol. “Hepatitis B adalah masalah yang cukup berat di Asia. Di Barat, banyak penyakit hati yang terkait alkohol, tapi di Asia yang banyak ditemui adalah Hepatitis B,” kata Dr Tan, yang menimba ilmu kedokteran di Inggris. “Untuk Asia Tenggara saja, Hepa­ titis B adalah penyakit yang endemik. Se­ bagian besar penderita mewarisi penyakit itu dari ibu mereka. Kami menyebutnya transmisi vertikal; atau melalui hubungan seksual.” Penderita kanker hati adalah kelompok utama lain yang mungkin membutuhkan cangkok. Walaupun pilihan pengobat­an la­in telah tersedia—seperti operasi untuk mengangkat tumor penyebab kanker, atau kemoterapi—opsi-opsi ini memiliki keter­ batasan. Banyak pasien kanker hati yang ternyata menderita Hepatitis B atau keru­ sakan hati yang menghambat pen­g­obatan efektif. Faktor risiko kanker kambuh juga masih ada di hati yang rusak. “Salah satu aspek positif dari cangkok adalah jika Anda mendapat hati baru. Ini dapat mengatasi masalah kanker Anda dan sekaligus memberikan peluang untuk benar-benar mengangkat Hepatitis B serta hati yang rusak dari tubuh Anda,” ujar Dr Tan. “Jadi, peluang kankernya kambuh jauh Advertorial lebih kecil.” Cangkok hati pertama kali dilakukan pada 1960-an, tapi baru 20 tahun ini prose­ dur tersebut tersebar luas. Sekitar 90% dari pasien di Rumah Sakit Gleneagles ada­ lah pasien internasional yang menjalani pengobatan hepatitis, kanker, dan penyakit gastrointestinal (saluran pencernaan) lain. Sebagian pasien cangkok hati berasal dari Indonesia. Singapura cukup ketat dalam mengatur cangkok dan donornya. Dr Tan me­ng­a­­­­takan Rumah Sakit Gleneagles hanya melakukan cangkok donor hidup. Berarti mereka tidak menerima hati dari donor yang baru saja meninggal. Ada dua alasan di balik hal ini. Pertama, Singapura adalah negara kecil dan jumlah organ yang tersedia dari donor meninggal sangat sedikit. Kedua, karena alasan budaya atau agama, orang-orang di banyak negara Asia Tenggara umumnya tidak bersedia menjadi donor organ set­ elah meninggal. “Jadi, jumlah orang yang membu­ tuhkan cangkok jauh melebihi jumlah hati yang tersedia. Estimasinya, un­ tuk setiap 1 juta penduduk di belahan dunia ini, ada sekitar 30-40 orang yang akan membutuhkan cangkok akibat penyakit hati atau yang terkait,” kata Dr Tan. Salah satu kesalahan persepsi yang ba­ nyak ditemukan dalam operasi cangkok donor hidup adalah bahwa donor dise­ diakan oleh rumah sakit. Sebetulnya, tidak seperti itu. Pasien Rumah Sakit Gleneagles membawa donor sendiri, diutamakan sau­ dara atau kawan dekat. Membayar/menye­ wa donor hidup tidak diperbolehkan, dan pemerintah Singapura mempunyai komite etika yang berwenang menyetujui atau menolak permintaan operasi cangkok. “Tetapi bagusnya, sistem kesehatan Singapura ini tidak mengharuskan donor dari keluarga atau pasangan sendiri,” ujar Dr Tan. “Kami mampu melakukan cangkok hati dari donor hidup yang tak memiliki hubungan saudara, selama ada ‘hubungan emosional’ antara donor dan pasien yang dapat dicocokan serta di­setujui oleh pro­ ses ketat di komite etika cangkok yang ditunjuk oleh Kementerian Kesehatan dan rumah sakit ini. Kalau kami mencurigai bahwa ada indikasi perdagangan organ tubuh antara donor dan pasien, kami tak akan melanjutkan ke proses evaluasi cang­ kok.” Dengan kemajuan teknologi medis, donor hati yang bukan saudara sedarah hanya diharuskan mempunyai golongan darah yang cocok dengan pasien. Hati yang dicangkok dari donor hidup umum­ nya dapat ditoleransi dengan baik oleh tubuh pasien, dengan hanya sedikit kasus penolak­an klinis yang signifikan. Meski­pun cangkok hati adalah operasi yang sangat menantang secara teknis, proses penyem­ buhannya tampak bak mukjizat di mata orang awam yang tidak berkecimpung di bidang kedokteran. “Biasanya donor menyumbangkan “Untuk setiap 1 juta penduduk di belahan dunia ini, ada sekitar 30-40 orang yang akan membutuhkan cangkok akibat penyakit hati atau yang terkait,” kata Dr Tan sekitar 60% dari hatinya. Hati adalah or­ gan tubuh yang sangat hebat karena bisa melakukan regenerasi. Hati bisa tumbuh kembali ke ukuran semula dalam hitungan bulan,” kata Dr Tan. “Kita bisa mengambil sampai 70% hati donor dengan aman, dan donor akan pulih dengan baik jika operasi dilakukan dengan baik pula. Dalam waktu enam sampai 12 minggu, fungsi hati donor akan kembali normal dan ia dapat melak­ sanakan kembali aktivitas sehari-hari.” Begitu donor telah didapat, serta pasien dan donor telah menjalani evaluasi kesehat­ an yang teliti, Dr Tan serta tim cangkok bersiap melakukan operasi. Tahap yang dikenal sebagai perencanaan pembedahan ini sangat penting karena dapat memini­ malkan risiko dan membantu dokter bedah mencapai hasil yang berkualitas. Kedua pembedahannya dilakukan secara bersa­ maan dan memakan waktu 10 sampai 12 jam. Donor akan tinggal di rumah sakit se­ lama sekitar seminggu setelah operasi, dan umumnya dalam satu bulan sudah dapat kembali menjalani sebagian besar aktivitas sehari-hari. “Sebagian besar donor kami sudah kembali ke pekerjaan mereka dalam dela­ pan sampai 12 minggu. Setelah tiga bulan, mere­ka bahkan bisa kembali berolahraga,” katanya. “Kami pernah mendapat donor atlet, dan mereka telah kembali berkom­ petisi.” Waktu pemulihan pasien bergantung pada seberapa parah keadaan mereka sebelum operasi. Pasien yang secara umum cukup sehat biasanya menginap di rumah sakit selama sekitar tiga pekan. Sementara itu, pasien yang sakitnya lebih berat mung­ kin akan tinggal lebih lama. Secara keselu­ ruhan, tingkat kesuksesan dan waktu pemulihan bagi pasien te­ lah berkurang drastis sejak cang­ kok hati donor hidup pertama pada manusia dewasa dilakukan pada 1996. “[Pasien] menjalani pemulih­ an yang agak lebih lama dari donor; mungkin lebih dekat ke enam bulan daripada dua atau tiga bulan,” ujar Dr Tan. “Setelah enam bulan, sebagian besar dari mereka sudah kembali bekerja, berolahraga, beraktivitas bersa­ ma keluarga, dan berkesempat­ an melakukan kegiatan apa pun yang mereka inginkan. Tak ada hal yang lebih memuaskan dari melihat pasien kami mendapat kesempatan kedua dalam hidup­ nya.” Da Vinci: Kolaborasi Dokter dan Robot S eperti seorang profesor, Dr Chin Chong Min senang memberikan ku­ liah kilat tentang bahasa. “Robot”, misalnya, adalah kata bahasa Ceko yang berarti “kerja paksa”. Kata ini terkenal se­ jak digunakan oleh sastrawan Karel Capek pada awal 1920-an. Namun Dr Chin bukan seorang dok­ tor dalam bidang bahasa. Ia adalah seorang ahli saluran kemih yang mengambil spesiali­sasi ­dalam kanker, buang air seni tak terkendalikan, dan pembedahan robotika di Rumah Sakit­­ Mount Elizabeth. Ia memang menyukai robotika, yang telah membantunya menye­ lamatkan nyawa pasien-pasiennya. “Kami menggunakan teknologi robot sebagai interface antara dokter bedah dan pasien. Beberapa operasi memiliki tingkat kesulitan tinggi yang tak bisa dihindari, dan teknologi robotika bisa dimanfaatkan deng­an baik untuk pembedahan yang su­ lit,” kata Dr Chin. “Saya rasa kita semua agak terpengaruh oleh apa yang kita lihat di film-film—robot yang dapat berpikir, mempunyai otak, dan bisa bertindak sendiri. Kecerdasan semacam itu bukan apa yang kami maksud­ kan di bidang kedokteran,” katanya. “Yang kami maksudkan adalah robot one-to-one, yang berarti robot itu melakukan apa yang kita perintahkan. Jadi, kami memanfaatkan robot untuk melakukan pembedahan yang lebih baik.” Da Vinci, sistem pembedahan robotika yang canggih di Rumah Sakit Mount Eliza­ beth, adalah puncak dari percobaan yang telah berlangsung puluhan tahun. Saat ini, pada usianya yang ke-10 tahun, robot da Vinci digunakan untuk membantu operasi laparoskopi dalam ilmu saluran kemih. Pembedahan laparoskopi, atau yang juga dikenal sebagai operasi “lubang kunci” dengan invasi minimal, memungkinkan ­dokter bedah melakukan operasi di dalam perut de­ngan menggunakan alat mungil plus kamera yang menampilkan gambar- gambar yang diperbesar di layar televisi. “Di pembedahan laparoskopi, kami ha­ rus menghadapi citra datar dua dimensi di layar. Kami bekerja dengan alat yang bentuknya seperti sumpit, dan oleh karena­ itu akan selalu ada batasannya, terutama dalam kebebasan gerak,” kata Dr Chin. “Jadi, robot itu memungkinkan kami me­ nampilkan gambar tiga dimensi di layar. Karena lengan robot memiliki beberapa ruas, dokter bedah juga bisa bergerak lebih luwes.” Bisa dikatakan teknologi ini bahkan me­ mungkinkan dokter bedah tak lagi terikat oleh meja operasi. Dokter bedah robotika seperti Dr Chin sebetulnya be­kerja terpisah beberapa meter dari meja operasi, tepatnya di panel kendali sistem da Vinci. Dengan pengendalian jarak jauh, ia menggerakkan lengan komputer mungil yang berada di dalam tubuh pasien, dan memandangnya melalui monitor 3D dengan pembesar­ an 10 kali lebih kuat daripada teknologi ­laparoskopi. Seorang asisten medis bertu­ gas di dekat pasien untuk mengganti alat, yang ukurannya tidak lebih besar dari sebuah pena. Asisten itu juga melakukan penyesuaian pada robot jika diperlukan. “Hal yang terbaik dari ini adalah se­ mua terlihat tiga dimensi. Wajah saya seolah-olah berada di dalam perut pasien, dan tidak ada jeda waktu,” kata Dr Chin. “Yang melakukan pembedahannya bukan­ robot, melainkan manusia. Kini, saya bisa melihat pembuluh darah yang sangat kecil. Saya bisa melihat saraf-sarafnya.” Robot da Vinci paling sering dimanfaat­ kan untuk operasi kanker prostat. Karena prostat diselimuti oleh pembuluh darah, operasi­nya menuntut akurasi yang sangat ting­ gi, terutama dalam memasang jahitan. Lengan robot itu bergerak persis seperti pergelang­ an tangan manusia, dan dokter bedah yang biasanya hanya bisa menjahit dengan tangan dominan mereka kini bisa melakukannya de­ ngan kedua lengan robot itu. “Saya menyebutnya keindahan dalam gerak. Semuanya berlangsung sangat indah dan mulus,” ujar Dr Chin. Ia menambahkan bahwa waktu yang diperlukan untuk me­ masang jahitan pada seorang pasien telah berkurang, dari sekitar satu jam menjadi hanya 15 menit. Teknologi da Vinci semakin sering di­ gunakan dalam bidang bedah lain seperti bedah jantung, ilmu kebidanan, dan bedah umum. Tetapi Dr Chin mengatakan, “Dalam urologi, peranannya sangat penting ­karena sistem organ tubuh kita adalah sistem yang sangat kedap air. Itulah mengapa banyak orang menyebut kami sebagai ‘tukang ledeng’. Seorang tukang ledeng harus me­ mastikan bahwa tidak ada kebocoran apa pun dalam sistem organ tubuh Anda.” Ia berkata bahwa kanker prostat sa­ngat sering ditemukan di Barat, walaupun di Asia Tenggara kasusnya semakin ­ba­nyak terjadi. Pembedahan adalah prosedur dengan tingkat kesembuhan paling tinggi ­­bagi laki-laki yang ­menderita kanker prostat, kira-kira 90%. ­Ber­kat da Vinci, kata­nya, prosedur ini telah berkem­ bang sehingga tidak lagi berupa pem­ bedahan terbuka yang berdarahdarah dengan sayatan yang panjang. Dulu, peluang kanker untuk tersisa lebih besar, karena pandangan dokter bedah ­terbatas. “Jika menangani pasien kanker pros­ tat, saya tetap akan menawarkan bedah robotika sebagai pilihan pertama karena ada banyak keunggulan yang ditawarkan oleh teknologi ini. Tak hanya hasil operasi yang lebih baik, tapi juga kami memperha­ tikan bahwa pemulihan kontinensi ­setelah operasi berlangsung lebih cepat,” kata Dr Chin; kontinensi adalah kemampuan untuk menahan kemih tanpa kebocoran. “Pasien terakhir saya bisa berkemih tepat setelah saya melepas kateter.” Masalah setelah operasi lain, misalnya impotensi, bisa dikurangi dengan drastis karena pembesaran 3D yang kuat dalam teknologi da Vinci memungkinkan dokter bedah melihat dan menjaga saraf-saraf dengan lebih baik. Waktu persiapan sebe­ lum operasi dan pemulihan setelah operasi juga sangat berkurang. “Pasien dapat mendaftar pada hari yang sama, dan tidak perlu khawatir tentang periksa darah ulang,” kata Dr Chin. “Sepe­ kan kemudian, pasien bisa pulang kembali ke negaranya dan langsung bekerja. Kalau Anda berbincang dengan pasien yang baru saja menjalani operasi robot, mereka akan bercerita bahwa para penjenguk selalu bertanya, ‘Apakah benar Anda baru saja di­ operasi? Anda kelihatan sangat sehat.’” Advertorial Mengerahkan Ilmu Kedokteran untuk Meredam Takhayul di Internet Dr Melvin Look aktif berinteraksi dengan teknologi modern, tapi ia tidak memercayai semua hal yang ia temukan di internet. Misalnya, belasan ribu situs kedokteran tentang “kuras empedu” atau metode yang dapat membantu mengeluarkan batu empedu dengan meminum perasan jeruk asam dan minyak zaitun. Masalahnya hanya satu: metode itu tak akan berhasil. Dr Look tahu betul tentang ini, karena ia adalah dokter bedah umum di Rumah Sakit Mount Elizabeth dan ­Rumah Sakit Parkway East yang mengam­ bil spesialisasi dalam penyakit gastrointes­ tinal (saluran pencernaan). Ia mengatakan bahwa takhayul kuras empedu itu berta­han karena memang ada benda-benda yang tampak seperti batu keluar dari orang yang mencobanya. “Batu-batu itu sebetulnya terbentuk di dalam usus sebagai akibat dari benda­benda yang dimakan,” kata Dr Look. “Pen­ gobatan semacam itu tidak efektif. Saya belum pernah bertemu dengan pasien yang berhasil sembuh berkat pengobatan seperti itu.” Ini bukan berarti Dr Look tidak ingin membantu. Ia bahkan mendedikasikan karirnya untuk menolong orang yang men­ galami masalah saluran pencernaan, tentu­ nya termasuk batu empedu. “Masalah yang paling sering ditemui sebenarnya adalah batu empedu. Di Asia ada banyak orang yang mempunyai ke­­ cenderungan untuk menderita ­batu em­ pedu,” ujarnya. “Hal ini bisa meng­hinggapi orang dari segala usia, tapi paling sering terdapat pada usia paruh baya, 40-50 tahun­an.” Batu empedu adalah butiran yang be­ nar-benar berupa batu, dan terbentuk di kantong empedu. Ada yang lembek dan ada juga yang betul-betul keras seperti batu. Gejala awal penyakit ini adalah rasa tidak nyaman dan kembung di perut, ter­ utama setelah makan. Jika orang yang men­ derita batu empedu memakan makanan ber­ minyak atau gorengan, mereka akan mera­ sa sangat kekenyangan dan tidak ­nyaman. Ketika radang di empedu semakin parah, si penderita akan merasakan sakit yang luar biasa, terutama di bagian kanan ­tubuh. Rasa sakit ini diakibatkan oleh ­batu empedu yang terperangkap dan menekan kantong empedu. Orang yang merasa­­­kan sakit parah terpaksa masuk rumah sakit. Begitu empedu menunjukkan gejala semacam itu. Spesialis seperti Dr Look akan menyarankan agar pasien menjalani opera­ si untuk mengangkatnya. Jika tidak, hal ini berisiko menimbulkan masalah yang lebih serius, misalnya jaundis (sakit kuning) atau pankreatitis. “Jadi, mereka harus menjalani operasi, yang akan mengangkat batu empedu atau mengangkat kantong empedu yang me­ ngandung batu-batu itu,” katanya. “Jika hanya batunya yang diangkat, pasien ke­ mungkinan besar akan merasakan batu empedu lagi dalam beberapa tahun. Jadi, kami selalu menyarankan untuk mengang­ kat kantong empedu, karena empedu yang sakit itu adalah sumber masalah yang sebe­ narnya.” Sebagian besar operasi kantong empedu dilakukan dengan metode pem­bedahan ­laparoskopi “lubang kunci”. Dalam ­operasi ini, dokter membuat suatu irisan kecil untuk memasukkan sebuah teleskop ke rongga perut. Dulu, operasi empedu mengharus­kan irisan besar (sekitar 8 sentimeter) di bawah tulang rusuk, tapi kini irisan itu ha­nya berukuran 1 senti­ meter di sekitar pusar. Dr Look juga me­ makai metode baru, yakni teknik “lubang jarum” yang memanfaatkan alat dan ­kamera dengan ukuran tak lebih besar dari 5 milimeter. “Kami menemukan bahwa mengecil­ kan irisan akan mengurangi rasa sakit dan memberikan hasil tampilan yang lebih baik. Kami sekarang sudah beralih untuk melakukan semuanya dengan suatu me­ tode bernama Single Incision Laparoscopic Surgery, yang hanya menggunakan satu ­irisan yang dilakukan di dalam pusar,” ujar Dr Look. “Jadi, kami memasukkan semua alat kerja dan laparoskop melalui satu sa­ luran. Pada akhir operasi, nyaris tak ada luka yang terlihat.” Pasien pada umumnya diharuskan menginap satu malam di rumah sakit, meski beberapa pasien internasional ­telah menjalani operasi pada siang hari lalu kembali ke hotel pada malam harinya. ­Setelah pemeriksaan kesehatan ter­akhir beberapa hari kemu­dian, pasien interna­ sional bisa langsung terbang pulang. “Biasanya kami meminta pasien un­ tuk kembali satu bulan kemudian untuk ­pemeriksaan kesehatan umum. Tetapi jika pasien tinggal jauh dari sini, itu tidak ­harus,” ujar Dr Look. “Kami selalu bisa ­menilai kon­ disi Anda melalui telepon atau e-mail.” Operasi Payudara Tak Lagi Menakutkan Dr Wee Siew Bock menghabiskan banyak waktunya untuk menimba ilmu demi menjadi seorang dokter bedah payudara. Tetapi ia berkata bahwa hal terbaik dalam pekerjaannya di Rumah Sakit Mount Elizabeth adalah ketika ia memberi tahu pasien wanitanya bahwa mereka tidak perlu dioperasi. “Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya bersama pasien yang melapor­ kan gejala-gejala seperti benjolan atau rasa sakit di sekitar payudara,” katanya. “Yang menggembirakan adalah saya tahu bahwa sering kali gejala-gejala seperti itu bukan bersifat kanker. Dan saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk meya­ kinkan pasien wanita saya bahwa mereka sebetulnya baik-baik saja, bagaimanapun gejala yang mereka rasakan.” Namun ia juga berharap publik, ter­ utama wanita, menyadari bahwa men­ emui dokter begitu mereka menemukan benjolan di payudara adalah hal yang ha­ rus dilakukan; baik untuk menenangkan hati mereka dengan memastikan bahwa ben­jolan itu bukan kanker maupun untuk mempersiapkan diri mereka jika ternya­ ta itu bersifat kanker. Jika mereka tidak melakukan apa-apa, bisa fatal akibatnya. “Kalau pasien menunda-nunda meme­ riksakan sesuatu yang benar-benar serius, pada saat kami mengetahui hal tersebut sebetulnya sudah sangat sulit untuk mem­ bantu mereka,” kata Dr Wee. “Tetapi hal positif dalam menangani pasien kanker stadium lanjut ini adalah kami masih bisa melakukan hal-hal untuk menolong me­ reka. Dengan pembedahan modern dan bahan kemoterapi, banyak yang bisa dica­ pai; baik dengan menyusutkan atau meng­ angkat kankernya.” Kanker payudara paling banyak ditemu­ kan sebagai benjolan, kata Dr Wee. Jika didiagnosis sebagai benjolan jinak atau non-kanker, benjolan itu dapat diangkat dengan operasi invasi minimal yang seder­ hana. Operasi ini memanfaatkan teknologi terbaru dan hanya memakan waktu satu hari. Namun, jika benjolan bersifat kanker, pasien kemungkinan masih harus men­ jalani pembedahan terbuka. “Pembedahan memegang peran pen­ ting dalam pengobatan kanker payudara, sederhananya karena dapat mengang­ kat kanker dari tubuh pasien. Satu hal lagi yang penting adalah sering kali jenis Advertorial terapi lanjutan yang diperlukan bergantung pada informasi yang kami dapat dari pembedahan; ini terkait erat dengan ketelitian pembedahan,” kata Dr Wee. Dalam operasi kanker payu­ dara, kelenjar limfe pasien juga akan diangkat dan dipelajari, se­ hingga dokter dapat mengiden­ tifikasi stadium kanker dengan tepat dan merencanakan peng­ obatan lanjutan seperti kemo­ terapi atau radioterapi, kata Dr Wee. Berkat kemajuan luar biasa dalam bidang kedokter­ an, pusat medis seperti Rumah Sakit Mount Elizabeth tidak lagi memandang mastektomi se­ bagai pilih­an pertama dalam pembedah­an kanker payudara. “Kami mencoba memperta­ hankan payudara setiap waktu jika mungkin. Kalau payudara ingin dipertahankan, kami ha­ rus mengangkat cukup banyak kanker sehingga peluang untuk kambuh di payudara yang masih ada semakin kecil,” ujar Dr Wee. “Dengan berbekal keterampilan dan pemahaman, akan dicapai perpaduan yang tepat: menawar­ kan peluang kambuh yang ter­ kecil, dan pada saat yang sama memberikan bentuk payudara yang tetap indah.” Namun, dalam hampir semua kasus payudara yang tidak diangkat, pasien akan menjalani radioterapi untuk mengu­ rangi kemungkinan kanker muncul kem­ bali. Uji coba medis telah menunjukkan bahwa radioterapi untuk payudara adalah cara efektif guna menstabilkan payudara ­pasca-­operasi untuk mencegah kanker datang kembali. Walaupun pasien ­dapat memilih untuk mengangkat payudara yang terkena kanker dan menghindari radioterapi, Dr Wee berkata bahwa da­ lam sebagian besar kasus langkah drastis tersebut tak diperlukan. “Saat ini, wanita menginginkan kehidup­ an yang normal,” ujarnya. “Dan memi­ liki payudara berukuran cukup normal serta merasa nyaman atas penampilan­ nya ­sangat penting secara ­psi­kologis. Hal ini telah dibuktikan dalam banyak sekali uji coba; masektomi dapat memiliki dam­ pak negatif yang sangat besar.” Operasi payudara saat ini umumnya bebas dari rasa sakit. Pasien biasanya hanya perlu meminum obat oral. Komplikasi dalam operasi payudara hanya terjadi dalam 1%-2% dari se­ mua kasus, kata Dr Wee. Pasien internasional hanya perlu m­e­­­­­­­n­et­ ­ap di rumah sakit selama beberapa hari, dan dapat pulang ke negaranya setelah menjalani pemeriksaan dan tes lanjutan selama satu pekan. Sementara itu, pengangka­ tan benjolan jinak di payudara semakin menjadi operasi yang rutin dan tak lagi bersifat in­ vasif. Dokter di Rumah Sakit Mount Elizabeth menggunakan alat mammotome, alat kecil mi­ rip jarum yang akan mengisap benjolan dari payudara setelah mengangkatnya, sehingga mu­ dah dibuang. Operasi satu hari yang sederhana ini dilakukan selama sekitar 20 menit dan meninggalkan bekas yang sa­ ngat kecil sepanjang 4-5 mili­ meter. Pasien internasional dapat pulang paling cepat pada hari berikutnya. “Jadi, pembedahan dengan invasi mini­ mal ini ideal bagi wanita dengan ben­jol­ an di payudaranya yang ternyata bukan kanker. Ini adalah metode sederhana un­ tuk mengangkatnya dengan bekas luka yang minimal,” ujar Dr Wee. “Setelah itu, mereka bisa pulang dengan hati yang tenang.” ParkwayHealth mengoperasikan tiga rumah sakit (Gleneagles Hospital, Mount Elizabeth ­Hospital dan Parkway East Hospital) di ­Singapura. Fasilitas dan layanan medisnya mencakup lebih dari 3.400 ranjang dengan 1.200 dokter ­spesialis dari 40 ­bidang multi-disiplin. Parkway juga ­mengoperasikan lebih dari 35 pusat bantuan pelayanan di seluruh dunia demi akses layanan kesehatan tanpa hambatan bagi pasien internasional. Untuk mendapatkan layanan kesehatan berkualitas di Singapura. Hubungi Layanan Telepon 24 Jam ­ParkwayHealth Patient ­Assistance ­Centre (Jakarta) di: 0811 942 720