perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI TESIS Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Megister Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Oleh: Anjar Setianingsih S841008004 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012 commit to user i perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id HALAMAN PENGESAHAN ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI Disusun Oleh: Anjar Setianingsih S841008004 Telah disetujui oleh Tim Pembimbing Komisi Pembimbing Pembimbing I Nama Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. Tanda Tangan Tanggal …………… …..……2012 ……………. …………2012 NIP 19440315 1978041001 Pembimbing II Dr. Andayani, M.Pd. NIP. 196010301986012001 Mengetahui Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd. NIP 19440315 commit to1978041001 user ii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI Disusun Oleh: Anjar Setianingsih S841008004 Tm Penguji Jabatan Ketua Nama Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd. Tanda Tangan Tanggal ………………. ……… 2012 ………………. ……… 2012 ………………. ……… 2012 ………………. ……… 2012 NIP 196204071987031001 Sekretaris Dr. Nugraheni Eko W, M.Hum NIP. 197007162002122001 Anggota Penguji Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. NIP 19440315 1978041001 Dr. Andayani, M.Pd NIP. 196010301986012001 Telah dipertahankan di depan penguji Dinyatakan telah memenuhi syarat Pada tanggal …….…………. 2012 Direktur Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S. Nip 196107171986011001 NIP 19440315 1978041001 commit to user iii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id PERNYATAAN Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Nama : Anjar Setianingsih NIP : S841008004 Menyatakan dengan sesungguhnya, bahwa tesis berjudul ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI adalah betul-betul karya saya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya peroleh dari tesis tersebut. Surakarta, 4 Januari 2012 Yang membuat pernyataan, Anjar Setianingsih commit to user iv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id Persembahan: 1. Bapak dan Ibu tercinta 2. Keluarga besar Bapak Sahono 3. Suami tercinta, Irsyad Afrianto 4. Anakku tersayang, Natasya Aura Putri 5. Almamater commit to user v perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id MOTTO Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh. Apabila dia ditimpa kesusahan, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta), dia jadi kikir. (QS Al-Ma’arij:19-21) Mimpi adalah kunci untuk menakhlukan dunia (Penulis) Manusia tidak dilihat dari usianya, tetapi dari seberapa jauh dia bertumbuh dan berkembang serta memberikan kontribusi nyata bagi dunia sesuai tingkat usianya. (Xavier Quentin) commit to user vi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KATA PENGANTAR Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Tesis ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan pendekatan Sosiologi Sastra. Tesis dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini dapat diselesaikan karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulismenyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat: 1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S., Direktur PPs UNS yang telah memberikan izin penyusunan tesis ini; 2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Ketua Program Studi Bahasa Indonesia Program Pascasarjana UNS dan sekretaris program Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd., yang telah membantu proses perkuliahan sehingga dapat berjalan dengan lancar; 3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian dan penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun dengan lancar; commit to user vii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 4. Dr.Andayani,M.Pd sebagai pembimbing II yang telah, bimbingan, masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sampai ke lubuk hati yang paling dalam sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan dengan tepat waktu; 5. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak Ibu akan menjadi bekal hidup penulis sebagai calon pegajar; 6. Suroto, S.pd dan Sukarti sebagai orang tua yang telah memberikan dukungan dan motivasi sehingga jejang pendidikan Megister ini dapat ditempuh dan diselesaikan dengan lancar. 7. Irsyad Afianto, S.pd selaku pendamping hidup yang telah memberikan semangat dan motivasi. 8. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah Yang Maha Kaya membalas kebaikan Bapak Ibu. Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis agar lebih baik dan bermanfaat. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita, sekarang dan selamanya. Amin. Surakarta, Januari 2012 Penulis, commit to user viii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR ISI Hal HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... ii PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS...................................................... .... iii PERNYATAAN............................................................................................... iii PERSEMBAHAN ............................................................................................ iv MOTTO ........................................................................................................... v KATA PENGANTAR ..................................................................................... vi DAFTAR ISI .................................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii ABSTRAK ....................................................................................................... xiv ABSTRACT ..................................................................................................... xv BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1 A. Latar Belakang ...................................................................................... 1 B. Rumusan Masalah ................................................................................. 5 C. Tujuan Penelitian ................................................................................... 6 D Manfaat Penelitian ................................................................................ 6 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR ...................... 8 A. Tinjauan Pustaka ................................................................................... 8 1. Kajian Tentang Novel .......................................................................... 8 a. Pengertian Novel ........................................................................ .... commit to user viii 8 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id b. Jenis-Jenis Novel .............................................................................. 13 c. Unsur-Unsur Novel .......................................................................... 18 d. Novel sebagai Dokumen Sosial (Teeuw) ......................................... 28 2. Kajian Tentang Sosiologi Sastra ........................................................... 30 a. Pengertian Sastra .............................................................................. 30 b. Pengertian Sosiologi......................................................................... 35 c. Pengertian Sosiologi Sastra .............................................................. 39 3. Hakikat Aspek Sosial Budaya................................................................. 55 4. Kajian Tentang Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel ........................... 65 a. Pengerian Nilai ................................................................................. 65 b. Pengertian Pendidikan ...................................................................... 67 c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel...................... 68 B. Penelitian yang Relevan....................................................................... 78 C. Kerangka Berfikir................................................................................ 81 BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………… 83 A. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………. 83 B. Metode Penelitian…………………………………………………… 84 C. Data dan Sumber Data………………………………………………. 84 D. Teknik Cuplikan (Sampling)………………………………………… 85 E. Teknik Pengumpulan Data………………………………………….. 86 F. Uji Validitas Data…………………………………………………… 87 G. Teknik Analisis Data………………………………………………... 88 H. Prosedur Penelitian…………………………………………………. 92 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 95 A. Hasil Penelitian ....................................................................................... 95 1. Pandangan Pengarang terhadap Novel Negeri Lima Menara commit to user ix perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id karya Ahmad Fuadi .............................................................................. 95 2. Aspek Sosial Budaya tang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi ............................................................................. .. 109 a. Sistem Religi…………………………………………… ............... 110 1. Sistem Kepercayaan.................................................................... 110 2. Sistem Nilai dan Pandangan Hidup.................................... ....... 113 3. Komunikasi Keagamaan............................................... .............. 115 b. Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial............................... .. 116 1. Kekerabatan………………………………………………..... .. 116 2. Asosiasi dan Perkumpulan………………………………….. ... 118 c. System Pengetahuan……………………………………………... .. 121 d. Bahasa…………………………………………………………… .... 123 1. Lisan.................................................................................. ........ 123 1) Bahasa Minang............................................................... ..... 123 2) Bahasa Arab................................................................... ...... 125 3) Bahasa Inggris................................................................ ..... 132 2. Tulisan............................................................................... ........ 136 1) Bahasa Arab................................................................... ...... 136 2) Bahasa Inggris................................................................ ..... 137 e. Kesenian................................................................................... ......... 139 1. Kaligrafi............................................................................. ........ 139 2. Bangunan............................................................................ ....... 140 f. Sistem Mata Pencaharian............................................................. ..... 141 1. Guru................................................................................... ........ 141 2. Pegawai Pemda.................................................................... ...... 142 g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi.......................................... .. 143 1. Transportasi......................................................................... ...... 143 2. Peralatan komunikasi............................................................ ..... 145 commit to user x perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 3. Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah................................. 145 4. Pakaian................................................................................ ....... 146 5. Tempat Berlindung dan Perumahan .................................... ...... 147 3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi........................................................................ ....... 147 a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial............................................ .... 148 b. Nilai Spiritual dan Nilai Agama................................................... ..... 149 c. Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif.................. 152 d. Nilai Budaya.............................................................................. ........ 155 B. Pembahasan................................................................................... ........ 156 1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi............................................................ ...... 156 2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi................................................................................. ........ 158 3. Nilai- Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara katya Ahmad Fuadi........................................................................ ........ 161 BAB V PENUTUP................................................................................. ......... 163 A. Simpulan..................................................................................... ........ 163 B. Implikasi Hasil Penelitian.............................................................. ..... 165 C. Saran – Saran............................................................................... ....... 166 DAFTAR PUSTAKA............................................................................... ...... 168 commit to user xi perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR TABEL Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian............................................. 83 commit to user xii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir ............................................................. 82 Gambar 2. Bagan model interatif Miles & Huberman ............................ ... 89 commit to user xiii perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRAK ANJAR SETIANINGSIH. S841008004. 2011. SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI. Komisi Pembimbing Pertama Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd. Pembimbing Dua Dr.Andayani, M.Pd. Tesis: Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan (1) pandangan pengarang terhadap Pondok Madani; (2) sosiologi sastra yang terungkap pada novel dan (3) nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Novel berlatar pendidikan di pondok ini cukup menarik untuk dikaji melalui pendekatan sosiologi sastra, yaitu tentang perjuangan enam anak laki-laki yang belajar di Pondok Madani dan berlomba-lomba melukis negeri impiannya di langit. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif. Data penelitian berupa dokumentasi berbentuk novel. Teknik cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling, sampel mewakili informasinya. Teknik pengumpulan data mengkaji dokumen melalui content analysis. Uji validasi data menggunakan triangulasi data/sumber, triangulasi teori dan teori metode. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis data interaktif yang meliputi tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan simpulan. Penelitian ini menyimpulkan (1) pandangan pengarang terhadap novel; (2) aspek sosiologi sastra pada novel meliputi: a. Sistem Religi yang berupa Sistem Kepercayaan, Sistem Nilai dan Pandangan Hidup dan Komunikasi Keagamaan; b. Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial yang meliputi Kekerabatan, Asosiasi atau Perkumpulan dan Sistem Pengetahuan; c. Bahasa yang meliputi bahasa Lisan yaitu Bahasa Minang, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, Tertulis yaitu Bahasa Arab dan Bahasa Inggris; d. Kesenian meliputi kaligrafi Dan Bangunan; e. Sistem Mata Pencaharian berupa Guru dan Pegawai Pemda; f. Sistem Peralatan Hidup Atau Teknologi dan Perumahan meliputi Transportasi, Peralatan Komunikasi, Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah dan Pakaian dan Tempat Berlindung (3) nilai-nilai pendidikan yang terungkap adalah nilai vitalitas dan kehidupan, nilai spiritual atau keagamaan, nilai moral yang positif dan negatif dan nilai budaya. Kata Kunci: Pendekatan, Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan commit to user xiv perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id ABSTRACT ANJAR SETIANINGSIH. S841008004. 2011. SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI. First Advisors Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd. second mentors Dr.Andayani, M.Pd. Thesis: Education Indonesian Studies Program in Graduate Program of Sebelas Maret University of Surakarta. This study explains and describes (1) views of the author against Madani Cottage (2) the sociology of literature which was revealed at the novel and (3) educational value contained in the Negeri Lima Menara novels. Novel set in education at the cottage is quite interesting to examine through sociological approach to literature, which is about the struggle of six boys who studied in Pondok Madani and the country vying to paint his dream in the sky. This study is a qualitative research, which using qualitative descriptive methods. The research data is the form of a novel form of documentation. The technique used is footage of purposive sampling, the samples represent the information. Data collection techniques examine documents through content analysis. Test data validation using triangulation of data / sources, triangulation theory and the theory of the method. Analysis technique used is an interactive data analysis that includes three components, namely data reduction, data presentation, and conclusions. This study concludes (1) views of the author of the novel, (2) aspects of the sociology of literature in the novel which include: a. Religions systems of belief systems, value systems and views of Life and Religious Communication; b. Civic or social organization system which includes Kinship, Association or Society and Knowledge Systems; c. Oral language includes Minang Language, Arabic and English, and the written are Arabic and English; d. Art covers calligraphy And Building; e. Livelihood System of Teachers and Employees of Local Government; f. Life Or Equipment Systems Technology and Housing include Transportation, Communications Equipment, Appliances Consumption in the form of container, Clothing and Shelter (3) educational values expressed are the vitality and life, spiritual or religious values, moral values, and positive and negative cultural values. Keywords: Approaches, Sociology of Literature, Values Education commit to user xv 1 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sastra merupakan sebuah karya seni. Sastra adalah hasil kegiatan kreativitas seorang sastrawan. Sebuah karya sastra mencerminkan berbagai masalah kehidupan manusia. Karya sastra dapat berinteraksi dengan lingkungan, sesama manusia dan dengan Tuhannya. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:307) bahwa imajinasi dalam karya sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga diimajinasikan orang lain. Karya sastra tidak hanya berupa imajinasi saja, melainkan berupa penghayatan dan perenungan secara sadar. Karya sastra hasil sebuah imajinasi yang didasari atas kesadaran yang menghasilkan kreativitas sebagai karya seni. Karena sebagai hasil imajinasi, karya sastra menciptakan dunia sendiri. Meskipun kita juga menyadari tidak jarang karya sastra yang menyajikan sebuah konteks realitas sosial. Karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak hanya berguna sebagai hiburan yang menyenangkan saja. Karya sastra juga berguna untuk menambah pengalaman bagi pembaca.Lukens dalam Burhan Nurgiyantoro (2010 : 3) mengatakan bahwa sastra memberikan dua hal utama, yaitu kesenangan dan pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik, commitfantasi, to usermembawa pembaca ke suatu alur mengajak pembaca untuk memanjakan 1 perpustakaan.uns.ac.id 2 digilib.uns.ac.id kehidupan yang penuh daya suspens, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin tahu dan merasa terikat emosinya sehingga ikut larut dalam cerita, dan kesemuanya itu di kemas dalam bahasa yang menarik Meskipun sebuah karya imajinatif, karya sastra menampilkan suatu gambaran kehidupan. Kehidupan itu sendiri merupakan kejadian yang nyata dalam kehidupan sosial dan kultural (sosial and cultural facts). Kehidupan itu diwarnai oleh sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Persoalan atau peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat akan terjadi sepanjang masa. Artinya terjadi pada masyarakat yang berbeda-beda menurut zaman. Bukan hanya sekarang, melainkan terjadi pada setiap zaman. Persoalan itu juga akan mempengaruhi kreativitas pemikiran seorang pencipta karya sastra, sehingga memungkinkan muncul konflik atau ketegangan batin tersebut dalam bentuk karya sastra. Luxemburg (1984: 23) memaparkan bahwa sastra yang ditulis pada suatu kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu. Selain itu, sastra juga menggambarkan suatu kebudayaan yang tumbuh dalam lingkungan masyarakat yang diangkat untuk menjadi ciri yang ditonjolkan dalam karya tersebut. Di samping mengekspresikan dan mengemukakan persoalan hidup yang terjadi, pengarang juga mengajak pembaca untuk ikut memecahkan persoalan kehidupan. Karya satra tercipta karena adanya keinginan dari pengarang dalam mengungkapkan kreativitasnya yang dituangkan melalui pola berpikir, ide, gagasan, pesan dan prinsip yang berasal dari imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaianya. Pencipta commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3 digilib.uns.ac.id sastra merupakan warga masyarakat yang dengan sengaja atau tidak sengaja mencurahkan masalah kehidupan manusia dan masyarakat sebagai objek yang dituangkan sebuah karya sastra. Karya sastra juga dipengaruhi oleh letak geografis, adat istiadat yang menjadi objek kajian dan biasanya disesuaikan dengan zaman yang ada. Burhan Nurgiyantoro (2010:14) mengemukakan sastra dewasa dibagi dalam tiga besar genre yaitu puisi, fiksi dan drama dengan masing-masing memiliki subgenre. Untuk kajian prosa atau fiksi di Indonesia di bagi menjadi tiga macam yaitu novel, cerpen dan roman. Novel merupakan karya rekaan yang menggambarkan kehidupan, adat-istiadat, aturan serta budaya dalam suatu masyarakat tertentu. Novel merupakan karya rekaan atau fiksi yang memberikan gambaran aspek-aspek kehidupan yang dikemas dalam gaya bahasa yang memikat. Kehidupan dalam sebuah novel digambarkan melalui tokoh, perwatakan, setting, alur dan unsur instriksik lainnya. Dalam menyampaikan keanekaragaman kebudayaan dan suatu ajaran atau nilai didikan kepada para pembaca digambarkan dengan bahasa yang baik sehingga pembaca bisa memahami novel tersebut. Rene Wellek dan Austin Warren (1993:316) menjelaskan bahwa sepanjang sejarah, orang telah tertarik dan mengganggap sastra lisan maupun cetakan bernilai positif. Novel merupakan karya sastra yang memberikan nilai positif bagi pembaca. Novel juga mengungkapkan kehidupan sosial untuk mempelajari manusia pada zamannya. Novel yang memiliki kualitas baik merupakan hasil rekaan dan polesan oleh penulisnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 4 digilib.uns.ac.id Novel Negeri Lima Menarakarya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun 2009 dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilainilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Novel Negeri Lima menara mempunyai masalah-masalah kehidupan sosial budaya yang berasal dari daerah masing-masing oleh para tokoh. Novel Negeri Lima menarajuga memiliki nilai positif yaitu penjelasan nilai keteladanan dalam sebuah lembaga pendidikan sehingga bisa dijadikan panutan bagi pembaca. Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi dipilih karena memiliki beberapa kelebihan baik dari segi isi atau bahasanya dibandingkan novel yang lain. Novel-novel lain yang mempunyai masalah-masalah sosial yaitu novel Singkar karya Siti Aminah tahun 2008 dari Yogyakarta yang menceritakan tentang masalah politik, pergerakan mahasiswa dan masalah rumah tangga, Novel Para Priyayi karya Umar Kayam bercerita tentang seorang anak dari keluarga buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi “sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil, Novel Di Kaki Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari yang menggambarkan keadaan sosial masyarakat Jawa Tengah, pada salah satu desa kecil bernama Desa Tanggir tahun 70-an dan lain-lain. Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi menggambarkan tentang kisah seorang anak dari Kabupaten Agam, Bukittinggi yang melanjutkan sekolah ke Pondok Madani di Jawa Timur. Keinginan masuk ke Podok Madani ini atas permintaan ibunya. Yang menarik setelah masuk ke Pondok Madani, ia terkesan dengan mantra dari kiayinya yaitu man jadda wa jadda, artinya bahwa siapa yang commit to user 5 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bersungguh-sungguh akan berhasil, kedisiplinan yang kuat, persabatan yang tak pernah putus walau jarak memisahkan, dan cita-cita yang didasari dengan keyakinan yang kuat. Kisah ini diperankan oleh enam anak yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Latar pesantren yang kuat dengan kedisiplinan menjadi latar cerita yang memikat dan memberikan nilai lebih bagi pembaca. Hal ini mengajarkan tentang pergaulan yang kuat, mandiri, belajar keras dan sampai pada belajar menjadi seorang pemimpi yang sejati. Kelebihan lain adalah gaya bahasa yang lugas dan mudah dipahami serta pencitraan dalam novel Negeri Lima menara mudah diekspresikan dan diinterprestasikan. Adapun alasan diangkatnya sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan sebagai kajian karena novel Negeri Lima menara memiliki kelebihan tersendiri. Apalagi didukung masalah kehidupan sosial yang terjadi selama di dalam pesantren. Nilai pendidikan terlihat pada segala sesuatu yang terlihat melalui proses pendidikan. Baik bentuk pengalaman di menara, tatap muka di kelas dan hukuman yang dijatuhkan pada setiap anak yang melanggar peraturan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimanakah pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi? commit to user 6 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Bagaimanakah aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi? 3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. 2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. 3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian novel sebagai salah satu genre sastra. b. Menambah wawasan tentang pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan khususnya novel yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi referensi untuk meneliti dan mengkaji novel yang lain. c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan commit to karya user sastra. ranah ilmu sastra serta studi tentang 7 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru Hasil penelitian ini mendeskripsikan sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Guru dapat mengajarkan nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa dalam menghadapi serta menyikapi setiap permasalahan yang terjadi dalam kehidupan. b. Bagi Siswa Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap novel terutama pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang merupakan salah satu materi ajar pada Pembelajaran Sastra. c. Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sehingga pemaknaan terhadap karya sastra akan lebih terarah. commit to user 8 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR A. Landasan Teori 1. Hakikat Novel a. Pengertian Novel Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebu sebagai fiksi. Istilah novel berasal dari kata novella yang berasal dari bahasa Italia. Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 9), secara harafiah novella berarti sebagai sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa. Abrams (1971: 110) menjelaskan bahwa “Novel is term novel is now applied to great variety of writings that have in common only the attribute of being extended works of prose fiction. As an extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the work of midlle length called thenovelette. “ Abrams menjelaskan bahwa novel adalah istilah novel sekarang diterapkan untuk berbagai macam tulisan yang berbentuk suatu karangan yang berupa prosa fiksi. Karangan tersebut berupa cerita pendek dan prosa. Fiksi adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah novel dan cerpen. Namun kadangkala fiksi juga sering digunakan sinonim dari novel. Burhan Nurgiyantoro (2002: 9-10) memaparkan bahwa dewasa ini istilah novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia, commit user yang panjangnya cukupan, tidak novellet yang berarti sebuah karya prosatofiksi 8 9 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terlalu panjang namun juga tidakterlalu pendek. Meskipun dengan panjang yang cukupan tersebut. Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal of College &Character Volume X, NO. 7, November 2009: The possibilities of using this novel in courses on student development to make the understanding of identity development become more alive than through the more usual scholarly analyses. Given the emerging understanding of today’s millennium generation of college students, are particularly appropriate. Pop culture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. In thinking about novels as ethnographies of the college experience, both that of faculty as well as students, the possibilities are even more extensive, as exemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels from different time periods, for example, might serve to amplify other studies of the history and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2) Berdasarkan pendapat di atas diharapkan novel mampu memberikan pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran kepada masyarakat luas.Novel memberikan pelajaran kehidupan bagi pelajar. Hal ini akan menjadi bekal bagi pelajar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat nantinya. Menurut Herman J. Waluyo (2002: 37) dalam novel terdapat 3 hal, antara lain: (1) perubahan nasibdari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3)biasanya tokoh utama tidak sampai mati. Sejalan dengan pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan (1993:165) menyimpulkan berbagai definisi novel yang telah dipaparkan oleh para ahi teori sastra, antara lain: (a) novel bergantung pada tokoh; (b) novel menyajikan lebih dari satu impresi; (c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (d) novel menyajikan lebih dari satu emosi. commit to user 10 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dengan kata lain, novel merupakan salah satu bentuk fiksi dalam bentuk prosa yang memiliki panjang cukupan dalam arti tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek serta di dalamnya terkandung 3 hal yang berkaitan dengan isicerita novel, antara lain: (1) perubahan nasib tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama yang diceritakan tidak sampai mati. Secara garis besar, novel merupakan sebuah karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisanya. Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan,1993: 120) novel adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif, terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/ dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan, suatu cerita yang disusun. Sementara itu menurut Orr dalam Journal of European Studies.Volume, 9 No. 36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas. Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is is concerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appear to the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around, Orwell. (Orr, 1977: 304-305). Orr (1977 :304-305) pada pernyataan di atas mengatakan bahwa kontribusi asli untuk sosiologi pada novel. Hal ini berkaitan dengan novel modern tersebut. Misalnya seperti hal yang diperlukan dalam peristiwa yang tragis, kematian atau kejadian yang terjadi di sekitar kita. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 11 digilib.uns.ac.id Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan fiksi sebagai sebuah bentuk penyajian ataucara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya fiksi memang bukan nyata, tetapikarya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada daya penceritaannya. Karya sastra bukan hanya sebuah khayalan semata, tetapi juga merupakan sebuah refleksi dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin juga dialami oleh penulis. Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero yang problematik dalam sebuah dunia yang juga tergradasi. Nilai-nilai otentik yang dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel yang dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak tertuang secara eksplisit. Atar Semi (1993: 32) juga memaparkan pendapat yang tidak jauh berbeda dengan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel mengungkapkan suatu konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan yang tegas. Dalam hal ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan yang lebih mendalam dan disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat diartikan bahwa sebuah novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang menggambarkan refleksi kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya secara utuh dengan berbagai nilai yang turut membangun kelengkapan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 12 digilib.uns.ac.id sebuahcerita. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai tersebut pada akhirnya dapat diambil oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang mungkin bermanfaat untuk kehidupannya. Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur, yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menguntungkan. Unsur-unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang kemudian membentuk sebuah totalitas tersebut. Secara tradisional, unsur-unsur pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua bagian walaupun tidak sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 23). Mengenai segi unsur dari dalam novel yang turut membangun jalinan keutuhan sebuah novel, Burhan Nurgiyantoro (2002: 4) memaparkan bahwa novel merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner, dunia yang diharapakan menjadi model kehidupan yang nyata yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsik, seperti plot, setting, peristiwa, tokoh, tema, dan sudut pandang. Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah karya sastra yang berisi tentang rangkaian cerita yang memaparkan ide, gagasan, maupun khayalan penulisnya. Akan tetapi, novel tidak hanya khayalan semata, novel juga memaparkan tentang refleksi dari suatu hal yang dilihat, dirasa, bahkan mungkin juga dialami oleh penulisnya. Keterjalinan cerita dan kesempurnaan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 13 digilib.uns.ac.id sebuah novel dapat dilihat dari beberapa unsur yaitu unsur intrinsik yang terdiri dari alur, penokohan, setting, tema, dan sudut pandang serta unsur ekstrinsik yang berupa latar belakang pengarang, amanat, dan berbagai unsur lain yang turut membangun sebuah novel hingga novel tersebut dapat dengan mudah dipahami oleh para penikmatnya. b. Jenis-Jenis Novel Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 16), novel terdiri dari dua macam yaitu novel serius dan novel populer. Pembedaan novel tersebut sering mengalami kekaburan makna. Hal ini disebabkan karena pembedaan tersebut cenderung mengarah pada subjektifitas penikmat sastra. Para penikmat sastra beranggapan bahwa novel yang ditulis oleh beberapa penulis tertentu dan penerbit tertentu yang sering menerbitkan karya sastra yan cenderung “berat” kadar kesastraannya. Novel serius merupakan novel yang mengandung unsur sastra yang kental. Novel ini juga harus sanggup memberikan hal yang serba mungkin terjadi, dan itulah makna dari sastra yang sastra. Pada umunya novel serius mengandung tujuan yang tersirat didalamnya untuk memberikan pengalaman yang berhargabagi pembaca, setidaknya novel tersebut mampu mengajak pembacanya untuk meresapi dan merenungkan masalah yang diangkat oleh sebuah novel (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 18-19). Dengan demikia, novel serius lebih mengarah pada suatu bentuk karya yang di dalamnya terdapat sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil oleh para penikmat sastra melalui pemahaman yang mendalam. commit to user 14 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Burhan Nurgiyantoro (2002: 18) mendefinisikan novel popular sebagai novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya pembaca di kalangan remaja.Namun, novel popular hanya bersifat sementara,cepat ketinggalan zaman, dan tidak dapat memaksa pembacanya untuk membaca sekali lagi novel tersebut.Selain itu, novel popular juga cepat ditinggalkan oleh pembacanya setelah muncul novel yang lebih baru dan popular (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 16). Novel ini menampilkan masalah-masalah yang aktual dan selalu menzaman namun hanya sampai pada tingkat permukaan saja, tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih mendalam atau dengan katalain tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Apabila hal tersebut terjadi dalam penulisan novel popular maka novel akan menjadi lebih berat, menjadi novelserius, dan bisa dimungkinkan akan ditinggalkan oleh pembacanya. Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 31) membagi novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis kedua sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan pencariannya akan nilai-nilai yang otentik. Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural, mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara commit to user perpustakaan.uns.ac.id 15 digilib.uns.ac.id menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127). Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 5960) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia fantasi atau dunia imajinasi. Wellek dan Warren (1993: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki Kenney (1966: 6-7) berpendapat, “To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up (this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts, to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the literary work as a unified and complex whole”. Dari pendapat Kenney (1966:6-7) dijelaskan bahwa menganalisis sebuah karya sastra dengan mengidentifikasi bagian-bagian karya yang membentuk, dengan menentukan hubungan antar bagian-bagian, dan menemukan antar bagiancommit to user 16 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bagian secara keseluruhan. Analisis akhir suatu pemahaman karya sastra sebagai satu kesatuan yang utuh dan kompleks. Fiksi modern di bagi menjadi tiga golongan besar yaitu, bacaan hiburan, cerita dengan kecenderungan konvensional, dan fiksi modern dengan kecenderungan inkonvensional. Bacaan hiburan berfungsi sebagai sarana hiburan bagi pembacanya. Pembagian cerita dengan kecenderungan konvensional dan inkonvensional tersebut berkaitan dengan konvensi unsur-unsur intrinsik sastra. Konvensional merupakan cerita yang masihberpegang pada aturan atau konvensi sastra yang ada, sedangkan inkonvensional tidak berpegang dan bahkan menyimpang dari konvensi atau aturan sastra yang telah ada. Pembedaan tersebut sedikit berbeda dengan kategorisasi yang dilakukanoleh Goldmann. Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:165-166) mengkategorikan novel menjadi beberapa jenis, antara lain roman avontur, roman psikologis, roman detektif, roman sosial, roman politik, roman kolektif. Terdapat sedikit perbedaan dari pengkategorian di atas adalah pembagian yang ada dalam Ensiklopedia Indonesia (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 166), yaitu romansosial, roman bersejarah, roman tendens, roman keluarga, roman psikologis. Berdasar pada berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara garis besar novel terbagi menjadi dua, yaitu novel serius dan novel popular. Novel serius merupakan sebuah karya sastra yang memiliki kadar kesastraan yang tinggi dan membutuhkan suatu pemahaman yang lebih untuk dapat memahaminya. Novel serius cenderung mengangkat tema-tema yang lebih “berat”, seperti tema tentang politik, pendidikan, psikologi, dan lai-lain.Novel popular merupakan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 17 digilib.uns.ac.id sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai sebuah sarana hiburan.Meskipun hanya sebagai sebuah sarana hiburan, novel popular tak lantas mengabaikan konvensi-konvensi sastra yang ada.Novel popular tetap mengindahkan konvensi sastra yang ada dan juga memiliki nilai estetis yang dapat dinikmati oleh pembaca dan nilai pedagogis yang dapat dipetik oleh pembaca. Untuk memahaminya pun pembaca tidak membutuhkan pemikiran yang lebih. c. Unsur-Unsur Novel Jakob Sumarjo (1982:11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (novel) sebagai berikut: (1) plot atau alur; (2) kerakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau latar; (5) suasana; (6) gaya; dan (7) sudut pandang penceritaan. Berbeda dengan pendapat di atas, Zainuddin Fanani (2000 : 84) mendefinisikan bahwa unsur-unsur prosa dibagi menjadi: (1) Tema; (2) Penokohan; (3) Plot; dan (4) Setting. Lebih lanjut lagi akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut: 1. Plot Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8). William Kenney (1966: 13-14) menyatakan: “ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The structure of plot to recognize this much, however.Is only a beginning. We commit to user must consider in more specific terms the form this “arrangement” we call 18 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we may discern certain recurring patterns”. Berpijak dari pendapat William Kenney (1966: 13-14) dapat dijelaskan bahwa plot mengungkapkan suatu rencana, bukan hanya dalam duniawi penulis tetapi juga dalam hal hubungan antar jalinan cerita.Plot merupakan peristiwa yang tidak hanya sebagai elemen dalam seri temporal, tetapi juga sebagai pola sebab akibat. Alur/ Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa alur merupakan unsur terpenting dalam sebuah cerita diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh, kejelasan alur sebuah cerita erat kaitannya dengan jalinan antarperistiwa yang disajikan oleh penulis sehingga dapat membantu mempermudah pemahaman kita terhadap ceritayang ditampilkan.Kejelasan alur berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 110). Forster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) mengemukakan bahwa alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada adanya hubungan kausalitas. Hal tersebut sejalan dengan Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) yang menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat, peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain. Alur ada bermacam-macam, dilihat dari aspek urutan waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang besagkutan atau lebih tepatnya urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, alur terbagi menjadi: commit to user 19 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1) Plot lurus/ progresif, alur/ plot sebuah novel dikatakan lurus atau progresif apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa – peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa atau meyebabkan terjadinya peristiwa yang kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal, yaitu penyituasian, pengenalan, pemunculan konflik, tengah/ konflik meningkat, klimaks, dan akhir/ penyelesaian (Burhan Nurgiyantoro, 2002:154). 2) Plot Sorot-balik/ Flash-back, Urutan kejadian yang disajikan dalam dalam sebuah karya fiksi dengan alur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak dimulai dari tahap awal melainkan mungkin cerita disuguhkan mulai dari tengah atau bahkan dari tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita disajikan. Karya sastra dengan jenis ini, langsung menyuguhkan konflik bahkan telah sampai pada konflik yang meruncing (Burhan Nurgiyantoro,2002:154).Dalam menyajikan sebuah alur cerita, penulis umumnya memiliki tahapan–tahapan atau urutan penceritaan yang berbeda-beda. Berikut ini tahapan alur yangdijabarkan oleh Tasrif dalam Mochtar Lubis (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:149) yang membedakan tahapan plot menjadi lima bagian, antara lain: 1) Tahap situation (penyituasian), yaitu tahap yang terutama berisi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan cerita, pemberian informasi awal. Tahap ini berfungsi sebagai landasan tumpu cerita yang akan dikisahkan; commit to user perpustakaan.uns.ac.id 20 digilib.uns.ac.id 2) Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), pada tahap ini masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai dimunculkan; 3) Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik-konflik yang dimunculkan mulai berkebang atau dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan; 4) Tahap climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan yang terjadi padapara tokoh mulai mencapai puncaknya; dan 5) Tahap denouement (tahap penyelesaian), pada tahap ini konflik utama yang telah mencapai klimaks mulai diberi jalan keluar begitu juga dengan konflikkonflik tambahan yang lain juga mulai diberi jalan keluar. Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah rangkaian peristiwa yang disajikan secara kronologis oleh pengarang mulai dari tahap awal atau tahap pegenalan tokoh, pemunculan konflik hingga konflik tersebut dapat diselesaikan. 2. Perwatakan atau Penokohan Penokohan adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat, sikap dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur, dkk., 1996: 29). Pengertian penokohan tersebut, menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, dkk., 1996: 29) merupakan individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwaatau lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam certa fiksi dapat berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun mentalnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 21 digilib.uns.ac.id Wellek danWarren (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:133-134), menyatakan ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan rupa, watak, dan pribadi para tokoh,yaitu: (1) Physical description, yaitu melukiskan bentuk lahiriah tokoh yang dilakukanoleh pengarang; (2) Portroyal of througth streem or of conscious though, yaitu pelukisan jalan pikiran pelakon atau tokoh atau apa yang terlintas dalam pikiran pengarangnya; (3) Reaction of events, yaitu pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh ataulakon terhadap kejadian yang ada; (4) Direct author analisys, yaitu pengarang menganalisis watak tokoh atau lakon secara langsung; (5) Discussion of environment, yaitu pengarang melukiskan keadaan sekitar lakonatau tokoh. Misalnya, melukiskan keadaan kamar, sehingga pembaca akan memperoleh kesan secara jelas terhadap tokoh yang ada; (6) Reaction of others about character, yaitu pengarang melukiskan bagaimanapandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap pelakon utama; dan (7) Conversation of others about character, yaitu pelakon atau tokoh yang laindalam suatu carita memperbincangkan keadaan pelakon utama dengan demikian maka secara tidak langsung pembaca mendapat kesan tentang segala sesuatu mengenai pelakon utama. Herman J. Waluyo (2002: 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa macam yaitu, pertama berdasar peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokohtokoh yaitu, tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita; tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang cerita biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa commit to user 22 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan tokoh tritagonis, yaitu tokoh pembantu baik untuk tokoh protagonist maupun tokoh antagonis. Kedua berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat tokoh-tokohyaitu, tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak lakon. Tokoh sentral merupakan biang keladi dari pertikaian.Tokoh sentral adalah tokoh protagonis maupun antagonis; tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau tokoh penentang tokoh sentral.Bisa juga sebagai medium atau perantara tokoh sentral.Dalam hal inimerupakan tokoh tritagonis; dan tokoh pembantu, yaitu tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkapdalam mata rangkai cerita. Ketiga hubungan antartokoh. Penokohan dan perwatakan mempunyai hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang sama yaitu tokoh atau suatu peran.Penokohan yang baik adalah yang dapat menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat. Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai penokohan. Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2) melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiranpikirannya; (5) melalui penerangan langsung dari pengarang. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 23 digilib.uns.ac.id Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional), dan penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis, psikologis, dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam keadaan fisik tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah, ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus /gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak, kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah watak tokoh yang berupa perilaku, ucapan maupun kebiasaan. Hubungan antartokoh dapat dilihat dari perwatakan atau penokohan yang digambarkan oleh pengarang. Dari penokohan tersebut akan tergambar tentang perilaku, cara bicara,dan sikap dari para tokoh yang kemudian dapat digunakan untuk menganalisis. 3. Tema Tema/ theme, menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) yang juga menyatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Lebih rinci lagi, Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) mendefinisikan tema sebagai gagasan dasar umum yang menopang commit to user 24 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam sebuah teks sastra sebagai struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaanperbedaan. Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh Zulfahnur, dkk. (1996: 25) yang menyatakan bahwa tema adalah ide sentral yang mendasari sebuah cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai pedoman bagi pengarang dalam menggarap cerita; sasaran atau tujuan penggarapan cerita: dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur. Tema merupakan maknakeseluruhan yang didukung cerita, dengan sendirinya ia akan “tersembunyi” dibalik cerita yang mendukungnya. Oleh karena itu, untuk menemukan tema dari sebuah cerita, haruslah disimpulkan terlebih dahulu keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari sebuah cerita. Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema berhubungan dengan premis dari prosa tersebut yang berhubungan pula dengan nada dasar dari sebuah prosa dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh pengarangnya (Herman J. Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, ia juga mengemukakan bahwa premis dapat juga disebut sebagi landasan pokok yang menentukan arah tujuan lakon yang merupakan landasan bagi pola konstruksi lakon. Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema atau theme adalah ide pokok dari sebuah cerita yang mengandung makna dari sebuah cerita yang pada umunya tekandung secara tersirat, maka untuk menyimpulkan tema commit to user perpustakaan.uns.ac.id 25 digilib.uns.ac.id dari sebuah karya fiksi haruslah menyimpulkannya secara keseluruhan terlebih duhulu, melalui tema pula sebuah cerita dikembangkan oleh penulisnya. 4. Setting atau Latar Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto(2004: 28). berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu adegan.Latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita.Tercakup di dalamnya lingkungan geografis mulai dari rumah tangga, pekerjaan, benda-benda dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu, suasana dan periode sejarah (Zulfahnur, dkk., 1996: 37). Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diugkapkan oleh Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216) landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting yang disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan. Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40), yaitu: (1) the actual geographical location, including topographyscenery, even the details of a room’s interior; (2) the accupationsand modes of day-to-day existence of the characters; (3) the time inwhich the action takes plece,e.g, historical period, season of theyear; (4) the religious, moral, intellecctual, sosial, and emotional environment of the characters. Mengacu dari pendapat William Kenney (1966 : 40) menjelaskan bagian penyususn setting adalah (1) lokasi geografis yang sebenarnya, termasuk commit to user 26 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id rancangan bentuk dan desain interior; (2) model karakter pemain sesuai dengan kehidupan sehari-hari; (3) waktu pegambilan tempat, misalnya periode, sejarah, musim dan tahun; (4) karakter yang mencerminkan keagamaan, moral, lingkungan, sosial dan emosional. Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), menjelaskan unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar tempat disebut pula sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial. Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa yang berhubungan dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu tempat dalam karya fiksi. d. Novel Sebagai Dokumen Sosial (Teeuw) Karya sastra sebagai dokumen sosial, hal ini sesuai dengan konsekuensinya untuk pemakaian karya sastra, khususnya roman, untuk tujuan commit to user penelitian ilmu-ilmu sosial. Ada kalanya roman disebut sebagai dokumen sosial, 27 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id walaupun sebutan ini dari segi tertentu ada benarnya. Namun roman tidak berarti dapat dipergunakan langsung sebagai dokumen seperti laporan wartawan, kumpulan data statistik dan lain-lainnya. Oleh karena itu tiap karya sastra ada keterpaduan antara mimesis dan kreasi, antara kenyataan dan khayalan orang harus hati-hati dalam mengambil data faktual dari tulisan rekaan, walaupun tulisan itu sebenarnya sangat realis. Sebagai penyedia data dan fakta roman tidak dapat dipercaya karena tidak bisa diketahui di mana fakta berakhir dan rekaan dimulai. Penulis roman tidak dapat dan tidak perlu mempertanggungjawabkan takaran kenyataan dalam isi faktual karyanya. Dalam arti ini roman biasanya bukan dokumen sosial. Hanya tulisan rekaan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yang diperoleh dari sumber yang jelas bersifat dokumen sosial. Novel merupakan karya rekaan. Karya rekaan memang merupakan dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keemapat ke kebenaran: lewat sastra pembaca sering kali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun juga, dapat menghayati hakikat eksistensi manusia dengan segala permasalahannya (Teeuw, 1984:237). Richard Hoggart dalam Teeuw (1984:237) menjelaskan bahwa sastra yang baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya. Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayatinya, kehidupan emosi, kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang syarat obyek.Hal ini diciptakannya bersama-sama dan secara saling keterjalinan, seperti terjadi dalam commit to user 28 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kehidupan yang kita hayati sendiri.Sastra baik menciptakan kembali kemendesakan hidup.Tetapi arti karya sastra semacam itu tidak bias ditangkap dengan metode dan teknik ilmu-ilmu sosial. Untuk itu diperlukan kepekaan kesastraan, kemahiran membaca, memahami dan menilai karya sastra sesuai dengan ciri khasnya sebagai rekaan, yang diciptakan oleh manusia dengan dengan daya cipta yang peka pula. Hal ini diperkuat oleh Hoggart dalam Teeuw (1984:238) bahwa pemahaman puitik, metaforik, intuitif adalah wujud pengetahuan, walaupun tidak dapat diukur secara obyektif. Kesahihannya tergantung pada daya imajinasi pengarang (imajinasi terkandung pula didalamnya penembusan, kekompleksan, kejujuran) dan pada kemampuan kita sebagai pembaca untuk mengujinya dengan rasa pengalaman sendiri. Permasalahan dalam novel yang terjadi di dalam masyarakat, ketika diangkat oleh pengarang melalui karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, akan memberikan makna yang kompleks dan mengandung misi tertentu. Sehubungan dengan hal itu, novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosiobudaya yang mengandung makna. Setiap makna yang terkandung pada sebuah novel tentunya dapat diperoleh dari kajian berbagai aspek dan unsur yang membangunnya. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra dapat dikatakan sebagai dokumen sosial, jika karya sastra tersebut berdasarkan cerita rekaan yang datanya diambil dari kehidupan masyarakat yang commit to user perpustakaan.uns.ac.id 29 digilib.uns.ac.id sebenarnya.Hal ini sesuai dengan karya sastra berupa novel yang banyak mengisahkan tentang kehidupan manusia. 2. Kajian tentang Sosiologi Sastra a. Pengertian Sastra Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sehingga, berbatasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak. Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau instruksi. Akhiran –tra biasanya menujukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran, seperti silpasastra (buku arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai petunjuk seni cinta) (Teeuw, 1984 : 23). Selanjutnya Teeuw (1984 :22) juga merumuskan nama sastra sebenarnya merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang digunakan dalam masyarakat bahasa asing, khususnya eropa. Dalam bahasa Inggris sastra dinamakan literature, dalam bahasa Jerman sastra dinamakan literature, dalam bahasa Perancis literature. Nama susastra digunakan yang kurang lebih berarti “tulisan yang indah” juga digunakan dalam masyarakat Eropa tersebut: letterkunde dalam bahasa Belanda, belles-letters dalam bahasa Perancis. Merujuk dari pendapat Teeuw di atas bahwa dalam usahanya untuk merumuskan pengertian sastra memusatkan banyak perhatian pada pengertian commit to user tulisan dengan berbagai cirinya. perpustakaan.uns.ac.id 30 digilib.uns.ac.id Rene Wellek dan Austin Waren memberikan pengertian sastra sebagai berikut: “Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknikteknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial, walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan manusia.” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:109) Berhubungan dengan istilah sastra, Atar Semi (1993:8) menjelaskan sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:3) menjelaskan bahwa sastra adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Sastra juga dapat diartikan sebagai hasil kreativitas pengarang yang bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya dengan bahasa sebagai medianya. Sastra dianggap sebagai karya yang berpusat pada moral manusia (humanitat), yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan pada sisi lain pada filsafat (Darma dalam Retno Winarni, 2009:7). Dari beberapa istilah sastra di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli memiliki persamaan bahwa sastra sama-sama menggunakan media atau perantara berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi bagi masayarakat. Bahasa diciptakan oleh manusia berdasarkan tempat tinggalnya. Namun, kosa kata dalam commit to user bahasa merupakan kesepakatan antar masyarakat. Selain bahasa, persamaan lain perpustakaan.uns.ac.id 31 digilib.uns.ac.id adalah obyeknya adalah manusia. Ungkapan karya sastra manusia tersebut berupa kehidupan sehari-hari atau hasil imajinasi pengarang. Sementara itu Sastra menurut Luxemburg (1984 : 5) merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta alam, bahkan meyempurnakannya. Merujuk dari pendapat di atas, sastra memang hidup dan berasal dari masyarakat. Masyarakat mampu menciptakan karya sastra merupakan masyarakat yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi. Hasil karya tersebut akan dinikmati oleh pembaca dan dijadikan pandahuan dalam kehidupan. Di mana karya sastra mempunyai ide, gagasan dan nilai-nilai kehidupan yang baik dan patut diikuti oleh masyarakat. Secara intuitif, kita ketahui bahwa sastra termasuk dalam seni, tetapi juga lebih dari seni.Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang lebih luas daripada yang bersifat estetik (seni) saja. Sastra selalu melibatkan pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi dan etika.Dengan demikian sastra cenderung menjadi lebih penting dan menarik perhatian pembaca dari pada bentuknya sebagai penjelmaan pengungkapan seni. Pembicaraan sastra lebih banyak berhubungan dengan kehidupan yang dipaparkan dalam karya sastra daripada masalah estetikanya (Sastrowardoyo dalam Nani Tuloli, 2000:2). Sementara itu Nani Tutoli (2000:2) mengatakan bahwa sastra merupakan commit to user dengan cara penggambaran. ungkapan batin seseorang melalui bahasa perpustakaan.uns.ac.id 32 digilib.uns.ac.id Penggambaran atau imajinasi ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu. Merujuk dari beberapa pendapat di atas, untuk memudahkan pengertian sastra, perlu dikembangkan beberapa pandangan sebagai berikut: b. Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, yang berlaku pada puisi dan prosa. Misalnya terdapat paralisme, kiasan, penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, peristiwaan dan sudut pandang yang bermacam-macam. Maka untuk mengerti sastra kita haru kembali kepengetahuan tentang bahasa. c. Ada anggapan bahwa sastra cenderung sebagai fiksi. Fiksionalitas ini dapat dikaji dalam sastra tulis maupun sastra lisan, juga terdapat pada semua ragam (puisi dan prosa) d. Penggunaan tanda-tanda khusus dalam sastra, memungkinkan munculnya wawasan bersifat umum tentang keberadaan menusia sosial atau budaya dan intelektual. e. Dengan memahami sastra sebagai sebagai karya fiksi, serta hubungan antara yang khusus dan umum, kita dapat menginterpretasikan sastra sesuai dengan wawasan kita. Dalam teks sastra, secara implisit terdapat banyak “tempat terbuka” bagi penafsiran dan pemahaman. f. Penciptaan karya sastra berada pada ketegangan antara kreatikvitas dan konvensi. Karya sastra itu di satu pihak tergantung (terkait) dengan konvensi sastra, tetapi pada sisi lain dituntun keaslian dan kraatifitas peniptaan (Nani Tutoli, 2000:2-3) Definisi-definisi sastra yang ada dijadikan patokan tentang pengertian sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh Luxemburg (1984:4) digolongkan menjadi empat bagian yang meliputi: a. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering dilupakan antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa. Dengan devinisi commit to user perpustakaan.uns.ac.id 33 digilib.uns.ac.id evaluative yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu karya bernilai tinggi atau tidak. b. Definisi yang merupakan definisi ontologism, yaitu definisi yang mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan bahwa hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai atau pembaca sastra, norma dan deskripsi sering dicampurbaurkan sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini termasuk sastra sedang munurut orang lain bukan sastra. c. Definisi yang terlalu dititikberatkan pada contoh sastra Barat. Khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra Eropa, banyak dijumpai sastra yang berbeda yang mempunyai kekhasan. d. Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastra tertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis sastra. Pengertian tentang sastra (Luxemburg, 1984: 3-4) juga berlaku pada zaman romantik. Beberapa pengertian sastra pada zaman romantik; a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di alam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra terutama merupakan sesuatu luapan emosi yang spontan. b. Sastra bersifat otonom , tidak mengacu pada yang lain, sastra tidak bersifat komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya sendiri. Dalil ini masih bergema di hampir setiap pendekatan terhadap sastra. c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang mendalam antara bentuk dan isi. d. Sastra menghindarkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan. Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya ada pertentangan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 34 digilib.uns.ac.id antara yang di sadari dan yang tidak di sadari, antara pria dan wanita, antara roh dan benda, dan seterusnnya. e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan. Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa sastra adalah hasil kreatifittas masyarakat yang berupa ide, pengalaman, pemikiran dan perasaan melalui media bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi ini dapat berupa titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu. b. Pengertian Sosiologi Nyoman Kutha Ratna (2011:1) menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat , sifatnya umum, rasional dan empiris. Soerjono Soekanto (2010: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi sastra berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan: commit to user perpustakaan.uns.ac.id 35 digilib.uns.ac.id Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono Soekanto, 1993: 395) Swingewood (dalam Faruk, 2010: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Berkaitan dengan pendapat di atas, Giddens dalam Faruk (2010:18) mengatakan bahwa : “…The study of human sosial life, groups, dan societies.it is a dazzling and compelling enterprise, having as its subject matter our own behavior as sosial beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysis of passing encounters between individuals in the street up to the investigation of global sosial processes.” Bertumpu pada penjelasan di atas bahwa Giddens dalam Faruk (2010:18) mengatakan studi tentang kehidupan manusia, kelompok dan masyarakat.Studi tersebut merupakan permasalahan manusia dalam kehidupan sosial. Ruang lingkup sosiologi sangat luas mulai dari individu sampai proses sosial dalam masyarakat. Selanjutnya Pitirim Sorokin dalam Soerjono Soekanto (2010: 17) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari: a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan moral, hukum dengan ekonomi, gerak masayarakat dengan politik dan lain sebagainya); b. Hubungan dan pengaruh timbal antara gejala sosial dengan gejalacommitbalik to user gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya); 36 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala – gejala sosial. Abdulsyani (2007:5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat.Sosiologi berkembang di dalam masyarakat.Masyarakatlah yang menjadi obyek ilmu.Baik itu dilihat dari aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya. Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010:17). Sebuah usaha untuk menemukan aturan, hukum dan pola-pola yang berulang dan berlangsung dalam waktu relatif lama. Hal ini disebabkan obyek pengalaman dalam kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraraturan.Pengalaman tersebut senantiasa berubah, hilang sesaat atau muncul kembali. Michael Zeratta dalam Elizabeth dan Tom Burns (1973:11) mendefinisikan sosiologi dalam novel: In the sociology of the novel, sociologi is dealing with an art. True, narrative fiction is contained within language and takes most of its own character from it; the form and content of the novel derive more closely from sosial phenomena than do those of other arts, except perhaps cinema; novels often seem bound up with particular moments in the history of society; we are none the less concerned with a specific art. Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu seni.Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel seringkali terlihat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah manusia. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 37 digilib.uns.ac.id Suatu paradigma sosiologi mempelajari apa yang disebut sebagai institusiinstitusi sosial dan struktur sosial. Institusi sosial menurut Ritzer (dalam Faruk, 2010:19) adalah nilai-nilai dan norma-norma bersama yang diwujudkan dalam suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Atau dalam pengertian yang lain: “aways of actingand thingking that the individuals find preestablished,…already made,…imposed more or less in him … and that will survive him” Sedangkan struktur sosial adalah “the net works of sosial relations in which processes of sosial interaction become organized and through which sosial positions of individuals and subgroups become differentiated” Berdasarkan penjelasan di atas institusi sosial menurut Ritzer (dalam Faruk, 2010:19) adalah cara berfikir seorang individu sudah ada dalam dirinya. Strutur sosial merupakan hubungan interaksi sosial yang terorganisasi dalam individu dan kelompok sosial yang berbeda. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang timbul dalam masyarakat yang bersifat umum, rasional dan empiris. c. Pengertian Sosiologi Sastra Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitianpenelitian sosiologi sastra menghasilkan bahwa karya sastra adalah commit topandangan user perpustakaan.uns.ac.id 38 digilib.uns.ac.id ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut. Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratanpersyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya. Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya.Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams, 1971:178). Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1978:3) berkaitan dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang terjadi dewasa ini (das sein) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen). Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan commit to user 39 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:(1) Pemahaman terhadap karya sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya;(2) Pemahaman terhadap totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di dalamnya;(3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan masyarakat yang melatarbelakangi; (4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah (dialektik) anatara sastra dengan masyarakat; dan (5) Sosiologi sastra berusaha menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat. Endraswara (2010: 79) dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra, memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi. Lebih lanjut Nurhayati Harahap (2006:31-32) dalam Jurnal Ilmiah dan Bahasa menjelaskan bahwa sebuah karya sastra didekatidari hal-hal yang berada di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatiannya pada latar belakang sosiobudaya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini di sebut sosiologi sastra,yaitu pendekatan sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatannya. Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat yang berada di sekitar sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang diceritakannya itu dan pembacanya. Sementara, Faruk (2010: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi commit to user Selanjutnya, dikatakan bahwa mengenai lembaga dan proses-proses sosial. perpustakaan.uns.ac.id 40 digilib.uns.ac.id sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup. Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi, politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individuindividu dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur sosial itu. Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara keseluruhan. Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai berikut; (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat;(2) Karya sastra hidup commit to user perpustakaan.uns.ac.id 41 digilib.uns.ac.id dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) Medium karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; (4) Berbeda denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut; (5) Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya. Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa, gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Perkembangan sosiologi sastra modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar, menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan (Abrams, 1971: 178). Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam karya sastra. Sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip commit to user perpustakaan.uns.ac.id 42 digilib.uns.ac.id penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multiinterpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras, saat, dan lingkungan. Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai yang menonjol dilakukan oleh kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang. Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra. Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra, kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya, tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu (a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai ungkapan kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi (dengan mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 43 digilib.uns.ac.id Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra. Berkaitan dengan sosiologi sastra Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi dalam Soerjono Soekanto (2010: 18) menyatakan bahwa sosiologi sastra atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial. Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia, gejala-gejala baru yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut (Nyoman Khuta Ratna, 2011: 8). Jadi, sosiologi sangat erat hubungannya dengan apa yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian, sosiologi tumbuh tidak dengan kekosongan sosial. commit to user 44 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik, keluarga, dan pendidikan atau sosial budaya, Hal ini dapat dipahami karena pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan karya sastra itu. Latar belakang budayanya menjadi sumber penciptaan, yang mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya (Nani Tuloli, 2000: 62). Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru. Sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Sosiologi sastra berkembang dengan pesat sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap mengalami kemunduran. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat, memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan system komunikasi secara keseluruhan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 332). Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan dengan kenyataan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 11). Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan meliputi tiga macam, yaitu: a. Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah terjadi. Pada umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan yang terjadi di sebut refleksi commit to user 45 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan antarstruktur, bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika. c. Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu, dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya menghasilkan penelitian karya sastra sebagai kedua (Nyoman Kutha Ratna, 2011:339-340) Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang kedualah yang dianggap lebih relevan. Dibandingkan dengan model penelitian yang pertama dan ketiga, dalam penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif dan dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar berperanan. Selanjutnya dikaitkan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justru masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra bukan sebaliknya. Wellek dan Werren (1993: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut: Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang commit to user perpustakaan.uns.ac.id 46 digilib.uns.ac.id akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek dan Warren,1993:112) Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. (Wellek dan Warren, 1993:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah peradaban. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya. Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam Damono, 1978: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut: Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya, yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan: (a) bagaimana pengarang commit to user perpustakaan.uns.ac.id 47 digilib.uns.ac.id mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang. Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis, sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c) genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra sebagai cermin masyarakat. Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan (1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama commit to user perpustakaan.uns.ac.id 48 digilib.uns.ac.id derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3) sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur. Rahmat Djoko Pradopo (2001: 159) menyatakan sasaran sosiologi dapat diperinci ke dalam beberapa bidang pokok seperti berikut: (a) Konteks sosial pengarang. Konteks sosial pengarang membicarakan hubungannya dengan status sosial sastrawan dalam masyarakat, masyarakat pembaca, serta keterlibatan pengarang dalam menghasilkn karya sastra; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat. Maksudnya, sastra dianggap sebagai gambaran keadaan masyarakatnya dan (c) Fungsi sosial sastra. Pada bidang ini terdapat hubungan antara nilai sastra dan nilai sosial. Selanjutnya Swingewood mendeskripsikan berbeda mengenai masalah sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut. a. Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan. Pertama, melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang mencerminkan waktu zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya sastra terutama kedudukan sosial pengarang. Ketiga, melihat tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra. b. Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar belakang sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra. c. Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori strukturalisme. d. Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode dialektik. Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karya sastra yang digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosio budaya, sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai sastra. Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya, tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan (dalam Umar Yunus, 1986:1-2). commit to user perpustakaan.uns.ac.id 49 digilib.uns.ac.id Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya. Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang. Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Sosiologi karya sastra itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumbersumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih relevan dalam kehidupan masyarakat. Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams(1971: 178) menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh kritikus atau peneliti yaitu: (1) Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia tinggal;(2) Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya;(3) Audien atau pembaca. Lain halnya dengan pendapat Grebsten (dalam Damono, 1978) mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai berikut: Pertama karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak commit to user 50 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu gejala yang tersendiri. Kedua gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra adalah kegiatan yang sungguh-sunggug. Ketiga setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra adalah eksprimen moral. Keempat masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama, sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 51 digilib.uns.ac.id Kelima kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya, melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan seni besar. Keenam kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu tak ada habisnya. Lanjut Damono (1978: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan hasilnya bukan suatu kenyataan. Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984: 220) mengatakan bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan. Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan to user itu. Oleh karena itu, seni yang commit baik harus truthful berani dan seniman harus 52 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia hanya dapat mendekati yang ideal. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas dari manusia dan masyarakat yang berpusat pada karya sastra sebagai objek yang dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial yang melatarbelakangi masyarakat tersebut. Berdasarkan teori tentang pengertian sosiologi sastra dari beberapa ahli di atas, Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai kajian dalam penelitian ini dianalisis berdasarkan sosiologi sastra Wellek dan Werren, aspek sosiologi sastranya yaitu sosiologi pengarang dan sosiologi karya sastra. Sosiologi pembaca menurut Wellek dan Werren dalam penelitian ini tidak dianalisis. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani, Novel Negeri Lima Menara bercerita tentang kehidupan di Pondok Madani atau Pondok Gontor khusus Putra. Pengarang novel tersebut dalam menciptakan karyanya terinspirasi dari pengalaman pribadinya. Novel tersebut bercerita mengenai pengarang sebagai tokoh utama. Di mana pengarang bercerita tentang pertama kali masuk ke Pondok Madani samapai lulus, ketidaksukaan pengarang masuk Pondok, pandangan pengarang terhadap kehidupan di pondok dan pemberontakan hati pengarang. Pandangan pengarang terhadap kehidupan pondok itulah yang akan di analisis dalam penelitian ini. commit to user 53 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sosiologi karya sastra menurut Wellek dan Werren, seperti yang dijelaskan di atas bahwa sosiologi karya sastra memperlajari makna yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Dalam hal ini karya sastra berupa novel Negeri Lima Menara. Selain makna juga dipelajari tujuan yang terdapat dalam karya sastra. Sosial Budaya, analisis sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren khususnya sosiologi karya sastra. Sosiologi tersebut membahas mengenai karya sastra itu sendiri atau sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial. Salah satunya yaitu sosial budaya. 3. Kajian tentangAspek Sosial Budaya a. Pengertian Aspek Sosial Budaya Menurut Fatimah Djajasudarma (1999: 26) aspek adalah cara memandang struktur temporalintern suatu situasi yang dapat berupa keadaan, peristiwa, dan proses.Keadaan bersifat statis, sedangkan peristiwa bersifat dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang sedang berlangsung (imperaktif). Sosial artinya kebersamaan yang melekat pada individu (Soelaeman, 1998: 123). Jadi, aspek sosial dapat diartikan sebagai penginterpretasian terhadap sudut pandang masyarakat. Aspek sosial merupakan sesuatu yang memperhitungkan nilai penting antara sastra dan masyarakat, sehingga untuk memahami permasalahan dalam suatu karya sastra, akan berhubungan dengan realita sosial yang terdapat dalam masyarakat. Aspek sosial suatu karya sastra commit to user perpustakaan.uns.ac.id 54 digilib.uns.ac.id menangkap kenyataan kehidupan melalui berbagai permasalahannya. Selaras dengan itu, Nyoman Kutha Ratna (2011: 11) menyatakan bahwa: Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsifungsi sastra, karya sastra sebagai produk masyarakat tertentu.Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang menghasilkannya.Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif, tetapi tidak dalam pengertian yang negatif.Artinya, antar hubungan yang terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antar hubungan akan menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing. Jadi, karya sastra hampir mencakup seluruh aspek kehidupan manusia sehingga karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat.Karya sastra yang dihasilkan pengarang di dalamnya memuat masalah-masalah yang terdapat dalam masyarakat.Dalam hubungan inilah, pengarang merupakan wakil dari masyarakat.Oleh karena itu, penelitian terhadap karya sastra pada dasarnya identik dengan meneliti seluruh aspek kehidupan masyarakat. Sebagaimana pendapat Luxemburg (1984: 23-24) yang membuat hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan berbagai cara. (a) Yang diteliti ialah faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks sastra: teks sastra itu tidak ditinjau. Misalnya, dengan meneliti kedudukan pengarang di dalam masyarakat, sidang pembaca, penerbitan, dan seterusnya. (b) Yang diteliti ialah hubungan antara aspek-aspek teks sastra dan susunan masyarakat. Penilaian tidak hanya berdasarkan normanorma estetik melainkan juga norma-norma politik dan etik. Soelaeman (1998: 173) menyatakan bahwa aspek sosial dibedakan menjadi beberapa bagian yang diuraikan sebagai berikut. a. Budaya yaitu nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya commit suatu to user dimiliki bersama oleh anggota masyarakat. 55 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id b. Pedesaan dan perkotaan yaitu suatu persekutuan hidup permanen pada suatu tempat sifat yang khas. c. Ekonomi, meliputi kemiskinan adalah kurangnya pendapatan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan beradadi garis kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Lebih lanjut, Soelaeman (1998: 5) mengemukakan bahwa kehidupan manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial ini timbul sebagai akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah lakunya. Masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kebudayaannya, sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya. Masalah-masalah sosial merupakan hambatan dalam usaha untuk mencapai sesuatu yang diinginkan.Pemecahannya mengunakan cara-cara yang diketahauinya dan yang berlaku tetapi aplikasinya menghadapi kenyataan, hal yang biasanya berlaku telah berubah, atau terlambat pelaksanaannya. Masalahmasalah tersebut dapat terwujud sebagai masalah sosial, masalah moral, masalah politik, masalah ekonomi, masalah agama, atau masalah-masalah lainnya (Soelaeman, 1998: 6). Menurut Soerjono Soekanto (2010: 54-55) yang dimaksud proses-proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila para individu dan kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk commit to user 56 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan perkataan lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara berbagai segi kehidupan bersama. Tiga bentuk interaksi sosial yaitu Persaingan (Competition) dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, di mana individu atau kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik perhatian publik atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa mempergunakan ancaman atau kekerasan (Soerjono Soekanto, 2010: 83). Adapun pertentangan (Pertikaian atau Conflict) adalah merupakan suatu proses sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menantang lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau kekerasan. (Soerjono Soekanto, 2010: 91). Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal balik antarindividu, antarkelompok manusia, maupun antara orang dengan kelompok manusia dan masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan kebudayaannya, sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya. Aspek sosial masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain berbeda. commit to user 57 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culuture, yang berasal dari bahasa latin Colore, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diartikan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Edward Burnett Tylor (dalam Alo Liliwori, 2009: 107) menjelaskan bahwa kebudayaan adalah kompleks dari keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun Bounded et. al (dalam Alo Liliwori, 2009: 110) mendefinisikan bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol bahasa sebagai rangkaian simbol, yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintahan, institusi agama, sistem pendidikan dan bermacam-macam. Adapun P. Hariyono (2009: 23-24) mendefinisikan bahwa kebudayaan berdasarkan pengertian luas dan pengertian sempit sebagai berikut, 1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar. Istilah commit to user perpustakaan.uns.ac.id 58 digilib.uns.ac.id kebudayaan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik manusia, sekalipun hasil karya fisik manusia ini sebenarnya tidak lepas dari pengaruh pola pikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan manusia. 2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut istilah budaya atau sering disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh kelompok manusia dalam berpikir dan bertindak. Kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 9) adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (2000: 5) berpendapat bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud: 1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya. 2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. 3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia. Berdasarkan berbagai definisi kebudayaan menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun, perwujudan kebudayaan adalah bendacommit to user 59 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Unsur-unsur kebudayaan adalah rincian suatu kebudayaan agar dapat kebudayaan yang khusus.Ada tujuh unsur kebudayaan yang merupakan isi pokok dari setiap kebudayaan yang bersifat universal, yang artinya ada dalam setiap kebudayaan dunia. (Hadi Rahman, 2009: 40). Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan antara lain C. Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of Culture membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah, Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan; (2) Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial: kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup dan perkumpulan; (3) Sistem pengetahuan: Flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan dan tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia; (4) Bahasa: lisan dan tulisan; (5) Kesenian: seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vocal, music, bangunan, dan kesusateraan; (6) Sistem mata pencaharian; berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan dan perdagangan; dan (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi: produksi, distribusi, commit to user 60 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata. Ketujuh unsur kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud kebudayaan.Sehingga tiap-tiap kebudayaan dapat dijelaskan pada 1) wujud budaya (gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial (tindakannya, pola aktivitas), dan 3) wujud fisik. Keseluruhan sistem dalam wujud kebudayaan itu pada akhirnya menjelma menjadi kebudayaan makro suatu masyarakat, yang memiliki peraturan-peraturan antar unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan (P. Hariyono, 2009: 38). Unsur-unsur kebudayaan yang disebut cultural universal atau kebudayaan umum atau universal dapat dijumpai dalam kebudayaan manapun kebudayaan yang bersifat pokok. Meminjam istilah Ralph Liton kebudayaan umum dapat dibagi lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil yang disebut cultural activity atau kegiatan-kegiatan kebudayaan.Cultural activity dapat dipecah lagi menjadi unsur-unsur yang disebut triat complex atau rincian dari kegiatan kebudayaan. Trias complek dibagi lagi atas unsur-unsur traits. Dan traits dapat dibagi lagi atas items atau bagian terkecil yang membentuk traits. Keterangan: Cultural universal Cultural activity Triats complex :mata pencaharian dan sistem-sistem sosial : pertanian, nelayan, peternakan, dsb : sistem irigasi, teknik menanam, system mengolah tanah Trait : sistem mengolah tanah dengan dibajak Items : unsur-unsur kecil dapat melepaskan diri satu samalain (Mg. Sri. Wiyarti, 2007: 134-135) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 61 digilib.uns.ac.id Menurut Koentjaraningrat (2000: 5), ada tiga wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola. Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya.Wujud ini adalah wujud ideal dari kebudayaan.Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba atau difoto.Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Atau dengan perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana kebudayaan bersangkutan itu hidup. Kedua, wujud kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sitem sosial ini terdiri dari aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul satu dengan lain. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi. Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterengan banyak. Karena merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret, dan berupa benda-benda atau hal-hal yang diraba, dilihat, dan difoto. Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas dalam kehidupan masyarakat merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam memahami sebuah kebudayaan yaitu ide (mantefak), sistem sosial (sosiofak), dan wujud fisik (artefak). Berdasarkan teori tentang pengertian sosial budaya menurut para ahli di atas, maka dalam penelitian ini mengacu pada teori sosial budaya yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2000: 5) bahwa kebudayaan adalah commityang to user keseluruhan gagasan dan karya manusia harus dibiasakannya dengan belajar, 62 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu. Ada tujuh unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah (1) Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan, upacara keagamaan; (2) Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial : kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup, perkumpulan; (3) Sistem pengetahuan : Flora dan fauna, Waktu, ruang dan bilangan, Tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia; (4) Bahasa : lisan dan tulisan; (5) Kesenian : seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vokal, musik, bangunan, kesusateraan; (6) Sistem mata pencaharian : berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan dan perdagangan; (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi : produksi, distribusi, dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata. Dari tujuh unsur kebudayaan yang dikemukaan oleh Koentjaraningrat tersebut ada tiga wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsepkonsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya; Kedua, wujud kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola dari manusia itu sendiri; . Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia, disebut kebudayaan fisik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 63 digilib.uns.ac.id b. Kebudayaan Minangkabau Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok etnikNusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud sama dengan orang Minang itu sendiri). Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu kerbau.Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut. Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang commit to user 64 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari, yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat. Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama tahun 1365 M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabau sebagai salah satu dari negeri Melayu yang ditaklukannya. Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minanga". Beberapa ahli yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minanga) dan ke-5 (tamvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi minangatamvan dan diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tamvan" tidak ada hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri. Selanjutnya ada beberapa kebudayaan Minangkabau antara lain sebagai berikut: commit to user 65 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 1. Agama Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau, dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun, Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama (Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau. Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam. commit to user 66 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an. 2. Adat dan Budaya Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan. Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis, sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau. Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin. Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 3. 67 digilib.uns.ac.id Matrilineal Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan namaSumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya. Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut.Pada setiap individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta pusaka yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam commit to userperempuan itu nanti menyerahkan Islamhanya kepada anak perempuannya. Anak 68 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di luar Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem Patrilineal. 4. Bahasa Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa protoMelayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masingmasing. Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin. commit to user 69 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 5. Kesenian Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian, seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan. Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu yang dimainkan oleh talempong dan saluang. Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama.Selain itu, adapula tarian yang bercampur dengan silek yang disebut dengan randai.Randai biasa diiringi dengan nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni peran (acting) berdasarkan skenario. Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata.Ada tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan salawat dulang.Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa menggunakan senjata dan kontak fisik. commit to user 70 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 6. Rumah Adat Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas, menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang tersebut. Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah, biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah. Selain itu dalam budaya Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan. commit to user 71 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 7. Perkawinan Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah gadang mereka. Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan.Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai. Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 72 digilib.uns.ac.id 8. Masakan Khas Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang secara umum. Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s 50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN International. 9. Sosial Kemasyarakatan a) Persukuan Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental. Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau, dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu keturunan nenek moyang yang sama. Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 73 digilib.uns.ac.id sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaumkeluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan. Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah gadang secara bersama-sama b) Nagari Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan. Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu commit to user perpustakaan.uns.ac.id 74 digilib.uns.ac.id untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling tinggi. Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari, Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.Selanjutnya sebagai pusat administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari tersebut. c) Penghulu Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang lakilaki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki to user jawab mengurusi semua harta posisi ini. Hal ini dikarenakan commit ia bertanggung 75 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya, sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap kaum bernilai sama. Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang semakin sedikit jumlahnya, cenderung akan menggabungkan gelar kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari. Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari, merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha sekuatnya memiliki penghulu sendiri. Kaum-keluarga yang gelar kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya. d) Kerajaan Dalam laporan de Stuerskepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan pemerintahan terpusat di bawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagaricommit to user 76 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno. Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura. Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang signifikan di Semenanjung Malaya. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin. c. Kebudayaan Pesantren 1. Unsur-unsur sebuah pesantren Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri (Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi commit to user perpustakaan.uns.ac.id 77 digilib.uns.ac.id militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di sana mengalami suatu kondisi totalitas.” Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70).Pondok pesantren di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian, ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren. (Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri, pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya. 2. Kyai Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial. Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144). Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa (Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis commit to user gelar yang berbeda, yaitu: (1) sebagai gelar kehormatan bagi barang-barang yang 78 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; (2) gelar kehormatan bagi orangorang tua pada umumnya; (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55). 3. Masjid Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam, masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.” (Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid.Masjid itu terletak dekat atau di belakang rumah kyai. 4. Santri Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau commit to user perpustakaan.uns.ac.id 79 digilib.uns.ac.id murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya. Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri mukim.Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52). 5. Pondok Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa, besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu.Tanpa memperhatikan berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri laki-laki. Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama to user santri dan rumah kyai, termasukcommit perumahan ustad, gedung madrasah, lapangan 80 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadangkadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan. Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat asrama para santri adalah sebagai tempat latihan bagi santri untuk mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.Santri harus memasak sendiri, mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok. Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45). 6. Kitab-Kitab Islam Klasik Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning. Menurut Dhofier (1985:50), “pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam commit to user pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi 81 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kepentingan tinggi.Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan (Hasbullah, 1999:144). Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab Islam klasik, termasuk: 1) nahwu dan saraf (morfologi); 2) fiqh; 3) usul fiqh; 4) hadis; 5) tafsir; 6) tauhid; 7) tasawwuf dan etika; dan 8) cabang-cabang lain seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier 1985:51). 7. Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan kepentingan tinggi bagi kaum muslimin.Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan metode pendidikan baru.Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia, yaitu sistem pendidikan Islam.Pemerintahan penjajahan Belanda membuat commit to user 82 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam. Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda mendirikan Priesterreden (Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun 1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41, Zuhairini 1997:149) Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949, pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluasluasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut..Dampak kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak commit to user muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas. perpustakaan.uns.ac.id 83 digilib.uns.ac.id Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang cukup banyak (Dhofier 1985:41). Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI, memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia. 4. Kajian tentang Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel a. Pengertian Nilai Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia.Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung. Nilai pada hakikatnya adalah hal-hal penting yang berhubungan dengan menusia. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain (Atar Semi, 1988: commit to user 54).Lebih lanjut Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah 84 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bagaimana usaha untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta tentang apa yang dikehendaki atau ditolak Rieseri Frondizi (2007: 20) menjelaskan bahwa nilai bersifat objektif dan subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. Nilai bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai. Nilai juga dapat bersifat subjektif jika eksistensi, makna, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian. Pengertian nilai menurut Ginanjar (2002: 14) adalah berkaitan dengan cara bertingkah laku yang disukai dan keadaan akhir dari suatu eksistensi. Perbedaan tingkah laku individu tergantung pada nilai yang diprioritaskan, yaitu memprioritaskan nilai sosial atau nilai personal. Dendy Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah sebagai berikut: nilai hedonik; nilai artistik; nilai kultural; nilai etika, moral, dan agama; dan nilai praktis. Nilai dapat dibedakan menjadi berikut ini: (1) nilai materi yang mencakup kebutuhan pangan, sandang, dan papan; (2) nilai sosial mencakup kebutuhan hidup bersama antarsesama yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan, kemesraan, dan sebagainya; (3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung jawab atas kehidupan pribadi; (4) nilai estetika yang menyangkut keindahan dan rasa seni; (5) nilai spiritual yang menyangkut kebutuhan manusia akan kesempurnaan dan kelengkapan dirinya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 85 digilib.uns.ac.id Dari pendapat para ahli di atas ditarik kesimpulan bahwa nilai adalah keyakinan yang mampu mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap maupun cara bertindak dalam mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik dan bersifat objektif dan subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. b. Pengertian Pendidikan Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nsional Bab I ketentuan umum pasal 1 disebutkan bahwa, “Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara” (dalam Seodomo Hadi, 2003:108) Soedomo Hadi (2003:18) mengatakan bahwa pendidikan adalah bantuan atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak didik dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri dari pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya menuju arah pertumbuhan dan perkembangan. Pendidikan pada hakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu: a) cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan persoalan nyata. Cerdas bermakna kreatif, inovatif dan siap mengaplikasikan ilmunya; b) hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi commit to user 86 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id bahwa suatu hari kita akan mati, dan segala amalan kita akan dipertanggungjawabkan kepadaNya. Filosofi hidup ini sangat syarat akan makna individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan manusia, memberikan makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral, dan tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai individu juga merupakan makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain. Setiap individu berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat meningkatkan derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah pendidikan dan pengajaran (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 449). Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, bertanggung jawab mendewasakan anak bangsa melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan untuk mewujudkan proses pengubah sikap dan tingkah laku agar peserta didik aktif mengembangkan potensi diri melalui upaya pengajaran dan latihan. c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel Dalam karya sastra yang baik sebagai karya imajinasi dan kreativitas pengarang yang memberikan pengalaman bagi pembaca. Dengan kreativitas, seorang pengarang mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan juga memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama, filsafat dan beranekaragam pengalaman tentang problematika hidup. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 87 digilib.uns.ac.id Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur yang bermanfaat bagi penikmatnya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat mencapai nilai pendidikan moral, agama, sosial, maupun estetis (keindahan). Hal ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990:27) bahwa nilai sastra berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang), nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama. Selanjutnya kajian Carverand Richard P. Enfield (2006: 66) dalam Journal education and culture, Vol 22berikut ini: Offering an introduction to both John Dewey’s philosophy ofeducation and the 4H Youth Development Program, this paper drawsclear connections between these two topics. Concepts explored includeDewey’s principles of continuity and interaction, and contagion withrespect to learning. Roles of educational leaders (including teachers) areinvestigated in the context of a discussion about the structuring ofopportunities for students to develop habits of meaningful and lifelearning. Specific examples are described in depth to demonstrate, from aDeweyan perspective, the educational process and value of 4-Hparticipation. Brief comments are made about the place of 4-H in the U.S.system of public education. Nilai pendidikan dalam karya sastra penting untuk membangun masyarakat yang berkarakter kuat.Nilai pendidikan yang tergambar dalam interksi antar tokoh dan kebiasaan-kebiasaan tokoh dalam novel sesuai dengan konsep pendidikan kontekstual. Nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan commit to user perpustakaan.uns.ac.id 88 digilib.uns.ac.id dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah (M. Atar Semi, 1993: 20). Lubis (dalam H. Nani Tuloli, 1999: 233-234) menambahkan bahwa dalam sastra (khususnya novel) akan melakukan berbagai hal untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Jadi novel dapat berperan penting dalam proses perubahan masyarakat itu. Perubahan itu sebagai berikut: (a) Menimbulkan kebiasaan membaca yang sangat dibutuhkan pada era kemajuan IPTEKS; (b) Menimbulkan rasa simpati terhadap penderitaan masyarakat dan berusaha untuk menanggulanginya; (c) Memantapkan budaya yang beretika dan bermoral tinggi dalam kehidupan sebagai makhluk Tuhan maupun anggota masyarakat; dan (d) Mencintai kebenaran, keberanian, kejujuran, ketabahan, dan ketangguhan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan. Dendy Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat dalam karya sastra adalah sebagai berikut: nilai hedonik (hedonic value), nilai artistik (artistic value), nilai kultural (cultural value), nilai etika, moral, agama (ethical, moral, religious value), dan nilai praktis (practice value). Berikut penjelasan dari kelima nilai tersebut: (a) Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; (b) Nilai artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; (c) Nilai kultural(cultural value), yaitu nilaiyang dapat memberikan ataumengandung hubunganyang mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, dan keagamaan; (d) Nilai etis, moral, dan agama (ethical, moral, religious value), yaitu nilai yang dapat to user memberikan atau memancarkan commit petuah atau ajaran yang berkaitan dengan etika, perpustakaan.uns.ac.id 89 digilib.uns.ac.id moral, atau agama; dan (e) Nilai praktis (practice value), yaitu nilai yang mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Novel memiliki berbagai macam tema. Dendy Sugono (2003: 111) menyatakan bahwa dengan membaca novel, pembaca akan memperoleh sesuatu yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup. Dengan kata lain, dalam novel ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Karena itulah, karya sastra yang baik senantiasa mengandung nilai (value). Sastrowardoyo (dalam H. Nani Tuloli, 1999: 232) menjelaskan bahwa sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang dengan subur dan nilai-nilainya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum. Kesusastraan sendiri mengandung potensi-potensi ke arah keluasan kemanusiaan dan semangat hidup serta mengandung ekspresi total pribadi manusia yang meliputi tingkat pengalaman biologi, sosial, intelektual, dan religius. Nilai-nilai seperti itu sangat dibutuhkan oleh masyarakat modern karena merupakan hasil observasi yang teliti dari pengarang yang dituangkan dalam karya sastra. Butir-butir nilai seperti itu banyak terungkap dalam novel dan dapat dijadikan sebagai bahan kajian, renungan, dan pegangan bagi para pembacanya serta menumbuhkan sikap positif bagi para pembacanya (H. Nani Tuloli, 1999: 234). Hal itu sangat mendasar karena sastra juga mampu eksis dan dapat menjembatani kehidupan di Indonesia yang plural dan miltikultural, sebagaimana dinyatakan Suminto A. Sayuti (2006: 1) sebagai berikut: (a) Sastra mampu menyuarakan perbedaan budaya agar saling memahami; (b) Karya sastra commit to user 90 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id umumnya mengedepankan pluralisme budaya; (c) Sastra mempunyai kepedulian yang tinggi pada mereka yang berbeda secara kultural; dan (d) Sastra menekankan pentingnya relasi antarmanusia yang memusatkan perhatiannya pada timbulnya sikap positif, tenggang rasa, berkembangnya konsep diri, dan menerima kehadiran orang lain. Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yaitu: kedamaian, penghargaan, cinta, toleransi, kejujuran, kerendahan hati, kerja sama, kebahagiaan, tanggung jawab, kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan. (a) Kedamaian yang ditandai dengan tidak adanya kekerasan, adanya penerimaan, komunikasi keadilan, komunikasi, ketenangan, dan sebagainya; (b) Penghargaan, yaitu mengenal kualitas individu, karena setiap individu adalahberharga; (c) Cinta yang berarti bahwa dalam pribadi yang baik selalu ada cinta yang tulus, memberikan kebaikan, pemeliharaan dan pengertian, melenyapkan kecemburuan, dan menjaga tingkah laku; (d) Toleransi, yakni sifat terbuka dan reseptif pada indahnya perbedaan atau saling menghargai melalui saling pengertian; (e) Kejujuran yang berarti menyatakan bahwa kebenaran tidak ada kontradiksi dalam pikiran, kata atau tindakan serta tidak ada kemunafikan; (f) Kerendahan hati yang artinya mengizinkan diri untuk tumbuh dalam kemuliaan dan integritas; (g) Kerja sama yang disebabkan karena ada prinsip saling menghargai, keberanian, pertimbangan pemeliharaan, membagi keuntungan, dan adanya penerimaan; (h) Kebahagiaan sebagai akibat adanya kepuasan; (i) Tanggung jawab, yaitu melakukan kewajiban dengan sepenuh hati; to usermempertimbangkan hal-hal yang (j) Kesederhanaan, maksudnya commit kemampuan perpustakaan.uns.ac.id 91 digilib.uns.ac.id tidak perlu; (k) Kebebasan yang berarti adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban dan pilihan seimbang dengan konsekuensinya; dan (l) Persatuan yang merupakan keharmonisan antara individu dalam suatu kelompok serta dibangun dari saling berbagi pandangan, harapan, dan tujuan mulia atau demi kebaikan bersama. Dengan demikian, novel yang merupakan salah satu genre sastra pasti mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi pendidikan batin pembacanya atau penikmatnya. Dengan demikian, bisa jadi novel dapat memegang peran penting dalam mengatasi krisis moral maupun menurunnya moral bangsa, khususnya generasi muda saat ini. Ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah nilai yang dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian nilai-nilai yang diambil untuk menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukan oleh Max Scheler.maka nilai-nilai pada novel dapat dikemukakansebagai berikut: 1) Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, adapun mencuri bernilai buruk.Nilai sosial termasuk pada nilai vitalitas atau kehidupan sosial. Ukuran untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini sangat dipengaruhi commit to user oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat yang satu 92 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh masyarakat yang tinggal diperkotaan lebih menyukai persaingan Karena dalam persaingan akan muncul perubahan-perubahan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun. Kimbal Young mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak dan sering tdak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat. Adapun A.W Green memandang nilai sosial seabagai kesadaran yang secara relatif berlangsung disertai emosi terhadap obyek. Menurut Woods, nilai sosial merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang mengarahkan tingkah laku dalam kehidpan sehari-hari,(Fikri, 2010). Burhan Nurgiyantoro (2010: 334) menyatakan bahwa banyak karya sastra yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yangseperti dipermainkan oleh tangan-tangan kekuasaan, kekuasaan yang kini lebih berupakekuatan ekonomi.Memperjuangkan nasib rakyat kecil yang dimaksudkan Burhan Nurgiyantoro adalah perwujudan nilai moral dalam karya sastra. 2) Nilai Spiritual a) Nilai agama Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada nabi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 93 digilib.uns.ac.id Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima apayang terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 326) mengatakan bahwa, kehadiran unsur keagamaan dan religious dalam sastra adalah suatu keberadaan sastra itu sendiri. Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan dengan ketuhanan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama. Adapun nila dasar religious, semua pemeluk agama mengakunya seperti: (1) membantu, membela kaum yang lemah; (2) mengakui persamaan derajat manusia (hak azasi manusia); (3) memperjuangkan keadilam, kebenaran, kejujuran, kemerdekaan, dan perdamaian; (4) menentang adanya penindasan sesama manusia, dan lain sebagainya. b) Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif Nilai pendidikan merupakan hal-hal penting dan ajaran yang berguna bagi kemanusaiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan manusia berbudaya. Nilai pendidikan adalah nilai yang bermoral. Moral merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk, benar dan salah berdasarkan adat dan kebiasaan di mana individu itu berada. Nilai moral di bagi dua yaitu segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu diasampaikan, sebab kita dapat memperoleh teladan yang bermanfaat.Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang ditiru dan diteladani. Demikian segi commit to user perpustakaan.uns.ac.id 94 digilib.uns.ac.id negatif perlu juga diketahui serta disampaikan kepada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan. Nilai moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia, mencakup semua persoalan yang boleh dikatakan tak terbatas. Setiap karya sastra selalu berorientasi pada hal-hal yang bersifat membangun melalui pesan moral. Nilai-nilai moral dalam karya sastra dapat dijadikan bahan perenungan sekaligus menjadi kaidah pendamping dalam menjalankan kegiatan kehidupan. Sebuah karya sastra (novel) tentu saja dapat mengandung dan menawarkan pesan moral, tentunya banyak sekali jenis moral dan wujud ajaran moral yang dipesankan. Karya sastra disebut memiliki nilai moral apabila menyajikan, mendukung, dan mengharagai nilai kehidupan yang berlaku. Moral dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam karya sastra dapat dipandang sebagai amanat. Burhan Nurgiyantoro (2010: 324) Berdasarkan dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa nilai moral adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca, pesan tersebut merupakan makna yang terkandung dalam suatu karya yaitu makna yang diungkapkan lewat cerita. commit to user 95 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c) Nilai Budaya Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Kluckhon dan Strodtbeck (dalam Koentjaraningrat, 2000: 78) menyatakan bahwa konsepsi mengenai isi dari nilai budaya yang secara universal ada dalam tiap kebudayaan menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu 1) masalah human nature, atau makna hidup manusia; 2) masalah man nature, atau makna dari hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3) masalah time, atau persepsi manusia mngenai waktu; 4) masalah activity, atau soal makna dari pekerjaan, karya dan amal perbuatan manusia, dan 5) masalah relational, atau hubungan manusia dengan sesama manusia. Kelima masala tersebut sering disebut sebagai orientasi nilai budaya (value orientation). Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi, misi atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nila-nilai budaya yaitu: 1) Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata. 2) Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto tersebut. 3) Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak commit to user 96 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id terlihat). B. Penelitian yang Relevan Berkaitan dengan teori di atas diketemukan hasil penelitian terdahulu. Berikut akan dipaparkan penelitian yang relevan dengan penelitian ini: Penelitian yang telah dilakukan oleh Purwoko tahun 2009 berjudul Novel Kutahu Matiku Karya Nwi Palupi Pendidikan).Kesimpulan dalam (Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai penelitian ini, yaitu: (1) latar tempat mempengaruhi sikap dan keyakinan Klara tentang apa yang dirasakan dan dilihat tetapi yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain; (2) makna nilai pendidikan dengan tinjauan sosiologi, antara lain: (a) Nilai pendidikan religius atau agama, (b) Nilai pendidikan ilmu pengetahuan, (c) Nilai pendidikan sosial, (d) Nilai pendidikan ekonomi, (e) nilai pendidikan politik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purwoko adalahpenggunaan pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni sama-sama menggunakan pendekatan sosoilogi sastra dan penggunaan obyek penelitian berupa novel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Purwoko adalah penggunaan obyek penelitian di atas menggunakan novel Kutahu Matiku Karya Nwi Palupi sedangkan obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Renee N. Easter, Joseph A. Caruso and Anne P. Vonderheide (2010,493commit to user Teaching. Hasil penelitian yang 502) yang dimuat di dalam Journal of Language perpustakaan.uns.ac.id 97 digilib.uns.ac.id dimuat di dalamn Journal ini dikemukakan bahwa mencatat perkembangan novel terbaru dan aplikasinya sehingga menjadi komprehensif, yaitu dengan mengeksplorasi kemajuan instrumental yang menunjukkan peningkatan dalam kemampuan analisis.Persamaan penelitian ini dengan penelitian Renee N. Easter adalah penggunaan obyek penelitian berupa novel.Adaapun perbedaan penelitian Renee N. Easter dengan penelitian ini adalah penggunaan pendekatan yang dipakai.Penelitian Renee N. Easter menggunakan pendekatan eksplorasi, adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi sastra. Casey Brienza (2010, 105-119) yang dimuat di dalam Journal of Language Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalamn Journal ini dikemukakan bahwa pendekatan sosiologis untuk mempelajari seni dan sastra dan menunjukkan nilai sebagai intervensi metodologi dalam bidang studi komik. Pendekatan ini berpendapat bahwa semua karya seni termasuk komik adalah produk dari aktivitas manusia kolektif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Casey Brienza adalah penggunaan pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni sama-sama menggunakan pendekatan sosoilogi sastra. Adapun perbedaan penelitian Casey Brienza dengan penelitian ini adalah penggunaan obyek penelitian di atas menggunakan komik adapun obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara Brian Conway (2010, vol 4) yang dimuat di dalam Journal of Language Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalam Journal ini dikemukakan bahwa commit to user pembelajaran pemahaman dengan cakupan luas tentang ilmu sosial dan ilmu 98 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id pengetahuan dalam sosiologi, psikologi, antropoligi dan geografi. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Brian Conway adalah penggunaan pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran pemahaman yakni sama-sama menggunakan pendekatan sosoilogi. Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini adalah penggunaan obyek penelitian Brian Conway adalah pembelajaran secara umum sedangkan obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara. Diana Crane (2010, vol 4) yang dimuat di dalam Journal of Language Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalam Journal ini dikemukakan bahwa hubungan antara sosiologi budaya dan pendekatan budaya diluar disiplin ilmu sosial. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Diana Crane adalah penggunaan pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran yakni sama-sama menggunakan pendekatan sosoilogi budaya. Adapun perbedaan penelitian Diana Crane dengan penelitian ini adalah obyek penelitian di atas adalah disiplin ilmu sosial sedangkan obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara. C. Kerangka Berfikir Karya sastra merupakan satu bentuk kebudayaan, sehingga tidak dapat dipisahkan dari lingkungan yang telah membentuknya. Salah satu bentuk karya sastra adalah novel. Novel merupakan cerminan keadaan sosial dari kurun waktu tertentu. Novel berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan. Di dalam novel terkandung fenomena-fenomena sosial yang ditampilkan oleh pengarang. Oleh karena itu kehadiran karya sastra tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi sosial masyarakat. commit to user 99 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam penelitian ini peneliti mengambil judul “Analisis Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi”. Dengan menggunakan Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai objek penelitian, penulis akan mengkaji novel tersebut dengan sosiologi sastra. Penulis berupaya mendeskripsikan pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, aspek sosial budaya yang terdapat dalam Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, dan Nilai pendidikan dalam Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Setelah ketiga rumusan dianalisis barulah ditarik simpulan. Untuk lebih jelasnya, alur kerangka berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut, commit to user 100 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi Pendekatan Sosiologi Sastra Pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi Aspek sosial budaya yang terdapat Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi Totalitas Makan Novel Gambar 1: Alur kerangka berpikir commit to user Nilai-nilai Pendidikan Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi 101 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen berupa novel yaitu novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai objek penelitiannya, maka penelitian ini berupa kajian novel, maka objek kajian penelitiannya adalah novel itu sendiri. Adapun rincian penelitian ini tidak terpancang waktu dan tempat. Waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam penelitian ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut: Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian Waktu Bulan NO Kegiatan Ke-1 1. Persiapan xx 2. Pembuatan Proposal Ke-2 Ke-3 Ke-4 Ke-5 Ke-6 xx 3. Revisi Proposal xx 4. Pengumpulan Data 5. Pengolahan dan Analisis xx xx xx x Data 6. Penyusunan Laporan hasil xxxx xx penelitian 7. Revisi Laporan Hasil xx Penelitian commit to user 101 xx 102 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id B. Metode Penelitian Metode penelitian ini adalah kualitatif deskriptif. Metode kualitatif deskriptif menurut H.B Sutopo (2002 : 40) menjelaskan bahwa: Penelitian kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat tau gambar yang memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman yang lebih nyata daripada sekedar sajian angka atau frekuensi. Penelitian menekankan catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan mendalam, yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna mendukung penyajian data. Oleh karena itu penelitian kualitatif secara umum sering disebut sebagai pendekatan kualitatif deskripsi. Penelitian ini akan mendeskripsikan pandangan pengarang Ahmad Fuadi terhadap karya sastranya yaitu novel Negeri Lima Menara. Aspek sosial budaya yang terjadi dalam novel Negeri Lima Menara dan Nilai-nilai pendidikan dalam novel Negeri Lima Menara . C. Data dan Sumber Data 1. Data Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian ini berupa data kualitatif yang berwujud ungkapan atau kalimat yang ada dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Adapun data yang dikumpulkan harus sesuai dengan pendekatan sosiologi sastra yang memfokuskan diri pada data: a. Data pandangan pengarang terhadap isi novelnya. Pengarang dibicarakan terlebih dahulu dengan anggapan bahwa pengarang adalah kunci penentu tentang apa dan bagaimana aspek sosial budaya dimanfaatkan; commitnovel to user b. Data sosial budaya yang ada dalam Negeri Lima Menara; 103 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Data nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Negeri Lima Menara; 2. Sumber Data Sumber data penelitian dikelompokkan menjadi dua bagian sebagai berikut: a. Dokumen berupa bahan tertulis yaitu isi novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2009, tebal 423 halaman. b. Narasumber atau informan berupa manusia yang memiliki informasi terkait: Nama : Ahmad Fuadi Tempat/Tgl Lahir : Bukittinggi, 1972 Alamat : Bintaro, Jakarta Keterangan : Penulis Novel Negeri Lima Menara D. Teknik Cuplikan (Sampling) Sutopo (2002 : 55) mengatakan bahwa teknik cuplikan merupakan suatu bentuk khusus atau proses bagi pemusatan sumber data dalam penelitian yang mengarah pada seleksi dari sifatnya yang internal tersebut mengarah pada kemungkinan generalisasi teoritis). Oleh karena itu pada penelitian ini menggunakan teknik cuplikan purposive sampling yaitu: Sumber data yang digunakan di sini tidak sebagai sumber data yang mewakili populasinya tetapi seperti telah disebutkan di depan, lebih cenderung mewakili informasinya...., dengan akses tertentu yang dianggap memiliki informasi yang berkaitan dengan permasyalahannya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap (Sutopo, 2002:56). commit to user 104 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Penelitian ini mencuplik bagian-bagian dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi yang mewaili informasi penting agar bisa digunakan untuk analisis. Selain itu, juga mencuplik bagian buku dan internet yang bisa memberikan informasi penunjang. E. Teknik Pengumpulan Data Teknik yang digunakan selama pengumpulan data yaitu teknik interaktif meliputi wawancara dan teknik noninteraktif meliputi mancatat dokumen atau arsip (content analysis). 1. Melakukan Wawancara Wawanacara dilakukan secara tidak terstruktur kerena peneliti merasa tidak tahu mengeni apa yang terjadi sebenarnya dan ingin menggali informasi secara mendalam dan lengkap dari narasumbernya (Sutopo, 2002:59). Wawancara berlangsung melalui email dengan pengarang novel Negeri Lima Menara yaitu Ahmad Fuadi. Hasil wawancara dilampirkan di lampiran halaman 202. 2. Mengkaji Dokumen dan Arsip (content analisys) Sumber data yang berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan data pokok dalam penelitian historis, terutama untuk mendukukung proses interprestasi dari setiap peristiwa yang diteliti. Dokumen yang ditemukan wajib dikaji kebenarannya, baik secara eksternal (kritik eksternal) yang berkaitan dengan kaslian dokumen, dan juga secara internal (kritik internal) yang berkaitan dengan kebenaran isi dokumen atau pernyataan yang ada (Sutopo, 2002:70). Pengkajian commit to user 105 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dokumen tersebut dilakukan dengan teknik analisis isi (content analisys). Langkah kerjanya adalah: a. Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu novel Negeri Lima Menara (2009) karya Ahmad Fuadi. b. Melakukan dua tahap pembacaan sastra, heuristik dan hermeneutik. Membaca novel Negeri Lima Menara dan sumber-sumber tertulis lainnya. 1) Teknik simak, yakni melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan teliti terhadap data primer yaitu novel Negeri Lima Menara. Data sekunder berupa buku, jurnal, dan artikel dalam rangka memperoleh data tentang pandangan pengarang, sosial budaya dan nilai-nilai pendidikan. Teknik simak dilakukan dengan cara berulang-ulang sambil memberi tanda-tanda khusus pada data yang diperlukan. 2) Teknik catat, hasil penyimakan terhadap data ditampung dan dicatat untuk digunakan dalam penyusunan laporan. F. Uji Validitas Data Uji validitas data dalam penelitian ini menggunakkan validitas triangulasi teori. TriangguIasi merupakan teknik yang didasari poIa piker fenomenoIogi yang bersifat muItiperspektif Artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap, diperlukan tidak hanya satu cara pandang (Sutopo. 2002: 92). Sedangkan teknik trianggulasi yang digunakan adalah: 1) Trianggulasi Sumber atau Trianggualsi Data. Cara ini mengarahkan agar di commit to user 106 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dalam mengumpulkan data, wajib mengggunakan beragam sumber data yang berbeda-beda. Sumber data yang digunakan dalam peneIitian terdiri dari dua sumber data yang berbeda. Yaitu: (a) sumber yang berupa dokumen atau arsip dari buku-buku ilmiah, jurnal ilmiah, artikel yang berbeda,dianalisis dengan metode content analysis; (b) informan atau narasurnber (rnanusia) dijaring dengan cara wawancara mendalam secara tertulis. Narasumber tersebut yaitu: Pengarang Ahmad Fuadi berkedudukan di Jakarta dengan email [email protected] 2) Trianggulasi Teori. TriangguIasi jenis ini dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji, (Sutopo, 2002: 9~;). Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) teori pengkajian sastra; (2) teori sosiologi; dan (3) teori sosiologi 3) Trianggulasi Metode. Teknik ini bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan data yang berbeda, (Sutopo, 2002:95). Yaitu: a. Dokumen atau arsip novel Negeri Lima Menara; b. Wawancara melalui email dengan narasumber Ahmad Fuadi G. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian karena dengan menganalisis data yang diteliti akan dapat diketahui makna atau commit to user 107 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy J. Moleong (2010: 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang dikemukakan oleh Matthew B. Miles & A. Michael Huberman (1992 :20), yang terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk interaktif dengan proses pengumpulan data. Langkah-langkah di dalam analisis data tersebut dapat dilihat di dalam bagan berikut ini Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan kesimpulan Gambar 2. Bagan Model Interaktif Miles & Huberman (1992 :20) 1. Reduksi Data commit to user Data dikumpulkan dari dokumen dan arsip, serta hasil wawancara. Data perpustakaan.uns.ac.id 108 digilib.uns.ac.id tersebut direduksi, diidentifikasi untuk mendapatkan hal yang pokok. Identifikasi difokuskan padahal yang terpenting terkait dengan focus dan masalah penelitian. Data dikoding, kemudian dimaknai, dicari terna atau polanya (melalui proses penyuntingan dan pemberiankode). Reduksi data dilakukan terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Pada tahapan ini data disederhanakan, yang tidak diperlukan disortir untuk rnemberi kemudahan dalam penarnpilan, penyajian, serta untuk menarik kesimpulan sementara. Langkah pertama yang penulis lakukan adalah dengan mengumpulkan data dari dokumen dan arsif berupa novel Negeri Lima Menara, melakukan studi pustaka dari buku-buku yang relevan, internet. Data dikumpul juga dari hasil wawancara dengan narasumber yaitu pengarang novel. Data yang diperoleh di atas direduksi, dipilih hal-hal pokoksaja yang terkait dengan permasalahan. Yaitu, tentang pandangan pengarang, sosial budaya nilai-nilaipendidikan dan kualitas novel.Data tersebut dikoding, dikelompokan, dimaknai dan dihubung-hubungkan supaya mendapatkan relevansi antara data yang diperoleh dengan permasalahan. Hasil wawancara untuk mendukung teori dan mendapatkan sirnpulan yang benar terhadap data dokumen. 2. Penyajian Data Penyajian data (display data) dimasudkan agar lebih mudah untuk dapat melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data penelitian.Data-data dikelompokan dan disusun sesuai dengan rumusan masalah yang telah ditentukan sebelumnya. Termasuk kesimpulan- kesimpulan sementara diperoleh padawaktu data direduksi. Data tentang pandangan pengarang, sosial commit to user perpustakaan.uns.ac.id 109 digilib.uns.ac.id budaya, nilai-nilai pendidikan dan kualitas novel ditayangkan. 3. Penarikan Simpulan atau Verifikasi Verifikasi data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian dilakukan. Sejak pertama proses pengumpulan data, mulai menganalisis dan mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari polatema, hubungan persarnaan, hipotesis dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesirnpulan yang masih bersifat tentatife. Dalam tahapan penarikan sirnpulan dari katagori-katagori data yang telah direduksi dan disajikan untuk selanjutnya menuju kesimpulan akhir rnampu menjawab permasalahan yang dihadapi. Bertambahnya data melalui verifikasi secara terus menerus, akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded. Simpulan disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas. Bila simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan data dalam reduksi maupun sajian datanya, maka wajib kembali melakukan kegiatan pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkannya dan juga sebagai usaha bagi pendalarnan data, (Sutopo, 2002: 120). Dalam model tersebut ketiga komponen analisis berjalan bersamaan pada waktu kegiatan pengumpulan data. Begitu penyusunan catatan lapangan lengkap, reduksi data segera dibuat, dan seterusnya dengan pengembangan bentuk susunan sajian data yang bersifat sementara, (Sutopo, 2002 : 121). Sebagai upaya yang berkelanjutan, berulang dan terus-rnenerus. Masalah reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan dan verifikasi menjadi gambaran commit to user 110 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id keberhasilan. Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan sebagai sesuatu yang jalin-rnenjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data, (Miles &Huberman, 1992 : 19-20). Selain analisis di atas, digunakan juga analisis data dengan metode induktif dengan langkah menelaah terhadap fakta-fakta yang khusus, Pemyataan yang khusus, dan peristiwa yang kongret. Kemudian digeneralisasi untuk mendapat kesimpulan secara umum. Membaca peristiwa-peristiwa khusus tentang sosial budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Negeri Lima Menara, kemudian dihubungkan dengan kejadian-kejadian umum dalam kehidupan nyata secara umum. H. Prosedur Penelitian Berdasarkan masalah yang diteliti, prosedur penelitian yang peneliti lakukan meliputi beberapa tahap sesuai arahan Lexy J. Moleong (2010: 247-268) sebagai berikut: 1. Pengumpulan data, dengan langkah: a. Menentukan objek yang akan dipakai sebagai bahan penelitian, yaitu novel Negeri Lima Menara karyaAhmad Fuadi (2009); b. Mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang mendukung kegiatan penelitian, meliputi buku-buku referensi dan artikeI-artikel sastra yang menunjang penelitian. 2. Melakukan dua tahap pembacaan sastra, yaitu pembacaan heuristik dan hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah tahap orientasi untuk memperoleh commit to user perpustakaan.uns.ac.id 111 digilib.uns.ac.id gambaran umum ataue ksplorasi awal terhadap objek yang diteliti. Pembacaan hermeneutika dalah tahap eksplorasi fokus. 3. Menganalisis objek penelitian dengan mendaftar wacana-wacana tentang sosial budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Negeri Lima Menara; 4. Data direduksi. Reduksi data dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Pernyataan-pernyataan perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya: a. Susun dalam satua-satuan, dan dibuat penjelasan secara deskriptif pada masing-masing data yang diperoleh berdasarkan teori yang ada; b. Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan; c. Kategori-kategori dibuat sambil melakukan koding atau penafsiran data; d. Mengaitkan dengan realitas atau teks yang saling berlawanan dan kontradisi dalam novel; e. Mensejajarkan dan membandingkan dengan wacana-wacana atau realitas di luar teks novel sebagai upaya intertekstual. f. Mengadakan pemeriksaan keabsahan data; g. Memakai teori sosiologi sastra Rene Wellek dalam mengkaji novel Negeri Lima Menara. 5. Penyajian data, data disajikan berdasarkan hasil penelitian dan perumusan masalah. 6. Penarikan simpulan secara deskripsi; 7. Tahap pengecekan keabsahan data. Pada tahap ini dilakukan penelitian yang ada terutama mengadakan tringulasi, pengecekan anggota dan auditing yang commit to user 112 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengungkapkan fakta atau interpretasi. Berdasarkan model analisis interaktif, tetap bergerak di antara tiga dengan proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung. Kemudian sesudah pengumpulan data berakhir, bergerak di antara tiga komponen analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa. Reduksi data selalu dilakukan, bila simpulan dirasa kurang, maka data kembali dikumpulkan kemasalah lebih fokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah dikembangkan dan juga sebagai usaha pendalaman data. commit to user 113 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Ahmad Fuadi lahir di Bayur, di sebuah kampung yang kecil. Kampung itu terletak di Danau Minanjau. A. Fuadi lahir pada tanggal 30 Desember 1972. Fuadi menulis novel ini terinspirasi oleh pengalaman pribadi ketika menempuh pendidikan. Pendidikan di Pondok Gontor memberikan kenikmatan yang mencerahkan kehidupan. Semua tokoh dalam novel Negeri Lima Menara terinspirasi oleh sosok asli. Karakter yang ada dalam tokoh, juga merupakan gabungan dari beberapa karakter yang sebenarnya. Pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara, merupakan tempat yang mengajarkan tentang kehidupan yang percaya dan bertakwa terhadap Tuhan. Selain itu pengarang juga berpandangan bahwa Pondok Madani merupakan tempat untuk membentuk karakter seseorang dan menjadikan manusia berwawasan luas. Murid Pondok Madani dibekali dengan iman yang kuat, pintar dan berkarakter tersebut, tidak terlepas dari pendidik Pondok. Pengajar Pondok Madani sebagian besar adalah lulusan Inggris dan Mesir. Menurut Ahmad Fuadi, kyai Pondok Madani tidak hanya mengajarkan agama. Belajar agama dapat commit to user dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan membaca buku, pengajian, 113 perpustakaan.uns.ac.id 114 digilib.uns.ac.id atau lewat internet. Pondok Pesantren adalah tempat belajar kehidupan secara total. Artinya belajar mengenai kehidupan yang nantinya akan diterapkan dalam masyarakat. Di Pondok Madani, murid belajar dengan pembiasaan yang baik dan teratur selama 24 jam. Selama 24 jam tersebut semua aktivitas dipantau oleh para kyai. Kegiatan di Pondok Madani antara lain belajar cara belajar (learn how to learn), etos kerja sampai tujuan hidup. Di Pondok Madani juga diwajibkan untuk menulis karangan sebanyak tiga kali dalam seminggu dan menulis teks pidato dalam tiga bahasa. Semua kegiatan tersebut dipantau dan diperiksa oleh kyai dengat ketat. Menurut Ahmad Fuadi pembiasaan positif tersebut memudahkannya menulis sampai sekarang. Menulis perlu etos kerja yang keras dan kejernihan visi tentang hidup. Selain hal tersebut, dengan adanya pembiasaan yang positif Ahmad Fuadi mendapatkan beberapa beasiswa ke luar negeri. Hal itu terjadi karena adanya semangat dan motifasi yang diajarkan di Pondok Madani. Kesempatan Ahmad Fuadi untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri antara lain di Inggris, London, Amerika Serikat dan singapura. Ahmad Fuadi memang tidak salah pilih bersekolah di Pondok Madani. Selain penjelasan di atas, Pondok Madani juga merupakan tempat membentuk anak muda dengan totalitas pendidikan yang iklas. Artinya, pengajar di pondok Madani memberikan pendidikan yang mengajarkan keikhlasan. Selain itu kyai Pondok Madani memberikan ilmu yang dimiliki dengan ikhlas dan hanya commit to user perpustakaan.uns.ac.id 115 digilib.uns.ac.id mengharapkan pahala dari Allah. Ahmad Fuadi sangat beruntung bisa masuk ke Pondok Madani. Pondok Madani juga memberikan bekal hidup bagi anak didiknya. Bekal tersebut antara lain bekal untuk mengarungi hidup. Dimana kehidupan itu terkadang senang dan susah. Bekal tersebut tertanam di dalam pikiran dan hati. Bekal itu berupa ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama. Keduanya saling berjalan beriringan untuk mengarungi kehidupan. Namun, penanaman dan penerapan bekal setiap individu di Pondok Madani itu berbedabeda. Selanjutnya pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani adalah kepercayaan Pondok yang mengharuskan murid pondok menggunakan bahasa asing selama 24 jam. Bahasa asing tersebut adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Setiap murid diwajibkan menggunakan bahasa asing dengan harapan agar semua murid bisa berbahasa asing dengan lancar. Dimana bahasa asing merupakan kunci utama untuk menjelajah dunia. Semua dapat dilakukan dan didapat oleh Ahmad Fuadi berkat semangat, motivasi, kesungguhan, doa dan kerja keras. Salah satunya adalah motivasi yang diajarkan di Pondok Madani. Motivasi tersebut adalah man jadda wajadda artinya siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Menurut pandangan pengarang man jadda wajadda harus diimbangi dengan usaha keras. Setiap keberhasilan pasti ada jaranya. Jarak tersebut tidak bisa ditentukan berapa lamanya. Jarak tersebut harus diisi dengan kesabaran. Man jadda wajadda saja commit to user 116 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id tidak cukup, tetapi harus dilengkapi dengan man shabara zhafira artinya siapa yang sabar akan beruntung. 2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Aspek sosial budaya yang terdapat dalam sebuah novel Negeri Lima Menara yang mendasari sebuah cerita rekaan. Menurut para ahli memandang bahwa karya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Menurut Koentjaraningrat (2000: 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu. Sementara itu, Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur kebudayaan antara lain C. Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of Culture membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah, Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) sistem religi; (2) sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem mata pencaharian hidup; dan (7) sistem peralatan hidup atau teknologi. Berdasarkan penjelasan di atas, maka sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah sistem religi, sistem kemasyarakan atau komunikasi sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem peralatan hidup dan teknologi. commit to user 117 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id a. Sistem Religi 1) Sistem Kepercayaan Masyarakat Minang merupakan pemeluk agama islam. Apabila ada masyarakat yang keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya disebut "dibuang sepanjang adat". Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an. Amak Alif menganjurkan Alif untuk masuk ke Pondok, Amak percaya bahwa Alif akan menjadi pemimpin agama yang hebat. Bagaimanapun juga garis keturunan Amaak adalah garis keturunan ulama. Alif tidak mau melanjutkan sekolah ke pondok. Alif ingin melanjutkan ke SMA dan kuliah agar bisa seperti Habibie. Amaak tetap tidak mengijinkan karena bersekolah di SMA membutuhkan uang yang banyak. hal ini sesuai kutipan dalam novel: Tapi aku tidak ingin… Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.(AHMAD FUADI, 2011 : 9) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 118 digilib.uns.ac.id Sementara itu, Alif bersedia bersekolah di pondok. Namun pondok yang dipilih adalah Pondok Madani di Jawa Timur. Pelajaran agama di pondok dapat dilakukan setiap saat. Hal ini terungkap dalam novel sebagai berikut: “Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,” Jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI, 2011 : 35) Pendidikan agama di Pondok Madani tidak mengenal waktu. Setiap saat agama selalu diajarkan di pondok. Kiai di pondok membuat aturan agama harus diajarkan setiap saat. Di sela-sela pelajaran umum juga diberikan materi agama. Hal ini sesuai dengan pertanyaan dari bapak Alif. Bahwa di pondok banyak dijarkan tentang pelajaran umum, kapan agama akan di ajarkan? Dengan senang hati pemandu pondok menjelaskan bahwa agama di pondok diajarkan setiap waktu. Pendidikan agama islam dalam novel ini sangat kental sekali. Setiap detail diceritakan dengan sanagat menarik. Ini menandakan bahwa ajaran di pondok memang sangat ketat. Apalagi soal agama islam. Di pondok waktu sholat memang segala aktifitas harus dihentikan. Semua harus datang ke masjid pada waktu sholat Magrib. Namun, untuk sholat lainnya dilakukan di kamar masing-masing. Hal ini dilakukan untuk melatih murid agar bisa menjadi imam bagi orang lain. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Shalat Magrib di masjid jami` dihadiri seluruh penduduk sekolah. Karena hampir semua orang hadir, kecuali yang sakit atau pura-pura sakit, waktu seperempat jam setelah shalat dimanfaatkan untuk memberikan maklumat to I`lam, user bagian yang khusus mengurusi penting bagi semua warga.commit Kismul perpustakaan.uns.ac.id 119 digilib.uns.ac.id pengumuman tampil di depan jamaah. Ditemani secarik kertas dan kepercayaan diri, mereka membacakan pengumuman. (AHMAD FUADI, 2011 : 70) Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awanawan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi merah terang, seiring dengan merapatnya matahari ke peraduannya. Lonceng berdentang, waktunya kami ke masjid menunaikan Maghrib. (AHMAD FUADI, 2011 : 211) Untuk sholat isya, subuh, dhuhur, ashar dan sholat sunah dilakukan di kamar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem religi dalam novel tersebut sangat menonjol. Shalat malam biasa Alif dan kawan-kawan kerjakan. Shalat dan berdoa merupakan usaha yang dilakukan agar semua pekerjaan dan kesulitan dalam belajar bisa teratasi. Hanya kepada Tuhanlah semua memohon dan meminta bantuan. Semua itu dilakukan dengan khusuk dan ikhlas. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Aku membentang sajadah dan melakukan shalat Tahajud. Di akhir rakaat, aku benamkan ke sajadah sebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba memusatkan perhatian kepadaNya dan menghilang selainNya. Pelan-pelan aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang diciptakanNYa. Betapa keci dan tidak berartinya didiku, dan betapa luas kekuasanNya. Dengan segala kerendahan hati, aku bisikkan doaku. “Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati rusuh dan berharap. Ujian pelajaran Muthala`ah tinggal besok, tapi aku belum siap dan belum hapal pelajaran. HambaMu ini datang meminta kelapangan pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan lulus ujian dengan baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar terhadap doa hamba yang kesulitan. Amiiinnn”. Alhamdulillah, selesai tahajud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku siap sahirul lail, belajar keras dini hari sampai subuh. Dengan setumpuk buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah sajadah, aku bergabung dengan para pelajar malam lainnya di teras asrama. Ada belasan orang yang sudah lebih dulu membuka buku pelajaran di tengah malam buta ini. Ada yang bersila, ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya dengan dinding, dengan commit bermacam gaya. Tapi semuanya sama: mulut to user komat-kamit, buku terbuka di tangan, sarung melilit leher, segelas kopi 120 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan duduk diatas hamparan sajadah. Sekilas mereka seperti sedang naik permadani terbang. (AHMAD FUADI, 2011 : 197-198) Dengan sholat tahajud badan juga terasa ringan dan segar. Apalagi menjelang ujian, banyak murid yang melakukan doa malam dan belajar malam. Sungguh hal yang jarang dilaukan oleh orang awam. 2) Sistem Nilai dan Pandangan Hidup Pandangan hidup yang terungkap dalam novel Negeri Lima Menara adalah kata mujarab yang sampaikan oleh Ustad Salman. Kata mujarab yang memikat semua orang tersebut adalah Man Jadda Wajada. Hal tersebut terdapat dalam kutipan novel seperti di bawah ini: Man jadda wajada : sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kenceng. “Man jadda wajada!” Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokan panas dan suara serak. Ingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdengingdenging sementara wajah kami merah padam memfosir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar disebelahku. Bahkan, meja kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh liur yang ikut berloncatan setiap berteriak lantang. Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang enerjik ini tidak dimuati aura jahat. Dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan meletup-letup. Kami tersengat menikatinya. Seperti sumbu kecil terpecik api, mulai terbakar, membesar, dan terang! Dengan wajah berseri-seri dan senyum senti menyilang di wajahnya, lakilaki ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru, mengulang-ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyela balik dengan kata yang sama man jadda wajada. Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna tegas: “Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil!!”. (AHMAD FUADI, 2011 : 40-41) commit to user 121 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Kata-kata mujarab man jadda wajada artinya bahwa siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Kata itulah yang pertama kali diberikan kepada murid baru. Man jadda wajada diberikan kepada murid baru untuk memotivasi. Bahkan kata-kata itu diucapkan berkali-kali sampai melekat di dalam hati. Bahwa segala sesuatu itu apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil. Setiap kelas, setiap mulut berlomba-lomba menyuarakan man jadda wajada dengan lantang. Bahkan suara itu sampai membahana ke Ponorogo. Hampir satu jam perlombaan menyuarakan man jadda wajada itu dilakukan. Namun, tak satupun dari murid yang protes. Justru kata itulah sampai sekarang tetap terpatri di dalam hati dan jiwa setiap murid. Walaupun sudah keluar dari pondok man jadda wajada tetap membahana keliang telinga setiap orang. Hal ini terlihat terlihat dalam kutipan novel sebagai berikut: Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakan “man jadda wajada”. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo. Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana tapi kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak. (AHMAD FUADI, 2011 : 41) “Man jadda wajada,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair Arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. (AHMAD FUADI, 2011 : 82) Rumus man jadda wajada terbukti mujarab. Kesungguhanku segera dibalas kontan. (AHMAD FUADI, 2011 : 82) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 122 digilib.uns.ac.id Siapapun yang meresapi dan melaksanakan kata man jadda wajada dengan sungguh-sungguh. Maka, usahanya itu akan segera di balas kebaikan oleh Tuhan. Hal itu dilakukan oleh Alif sekaligus pengarang novel tersebut. Alif dengan sungguh-sungguh berdoa dan berusaha. Usaha tersebut tidak sia-sia. Alif mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, semua itu tidak terlepas dari suratan takdir Allah SWT. 3) Komunikasi Keagamaan Komunikasi keagamaan juga terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Komunikasi keagamaan ini terjadi ketika Alif, Atang dan Baso berlibur ke rumah Atang di Bandung. Komunikasi keagamaan yang terdapat dalam kutipan novel ini adalah komunikasi keagamaan berupa dakwah. Dahwah itu dilakukan di masjid Universitas Unpad Bandung. Hal tersebut sesuai dengan pesan Kiai Rais. Bahwa dinamapun kalian berada sampaikan kebaikan atau nasehat walaupun hanya satu ayat. Kiai Rais adalah pimpinan Pondok Madani. Kutipan dalam novel tersebut adalah sebagai berikut: “Silakan gunakan liburan untuk berjalan, melihat alam dan masyarakat di sekitar kalian. Dimana pun dan kapanpun, kalian adalah murid PM. Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat”, begitu pesan singkat Kiai Rais di acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan seperti yang disampaikan Atang adalah pelajari di luar PM, menjalanan amanah Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, Billighual anni walau aayah. Sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat. (AHMAD FUADI, 2011 : 219) Undangan dari Universitas Unpad sudah diterima Atang. Undangan tersebut berisi tentang permintaan mengisi dahwah setelah sholat Ashar di masjid Universitas Unpad. Mulanya Atang, Alif dan Baso tercengang melihat banyaknya commit to user perpustakaan.uns.ac.id 123 digilib.uns.ac.id jamaah yang ada di masjid tersebut. Tetapi, karena pendidikan di Pondok Madani yang sangat ketat dan berkualitas tinggi. Hal itu bisa di tepis oleh ketiga orang tersebut. Dengan semangat yang tinggi, ketiganya membawakan dahwah dengan tiga bahasa. Bahasa Indonesia, bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Jamaah yang ada di masjid itu terkagum-kagum dengan dahwah Atang, Alif dan Baso. Semuanya sungguh sangat bagus. Hal itu sesuai dengan kutipan pada novel tersebut sebagai berikut: Seperti undangan yang diterima Atang, kami datang ke Masjid Unpad sebelum Ashar. Diluar dugaan, shalat Ashar berjamaah di masjid kampus ini penuh. Aku sempat agak grogi melihat jamaah yang beragam, mulai dari mahasiswa, dosen, masyarakat umum dan terutama para mahasiswa yang manis-manis.tapi begitu aku tampil di mimbar membawakan pidato bahasa Inggris favoritku yang berjudul “How Islam Solves Our Problems”, pelan-pelan grogiku menguap. Semua teks pidato dan potongan dalil masih aku hafal dengan baik. (AHMAD FUADI, 2011 : 220) b. Sistem Kemasyarakatan atau Komunikasi Sosial 1) Kekerabatan Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan identitas masyarakat Minang. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga. Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh commit to user kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak 124 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id ibu), dan penghulu (kepala suku). Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut. Hal tersebut sesuai dengan tokoh Amaak. Amaak menyarankan Alif agar bersekolah di Pondok Pesantren. Semua keputusan tersebut berada di tangan Amaak. Sedangkan ayah hanya diam dan menuruti keputusan Amaak. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel Negeri Lima menara sebagai berikut: “Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Biaya Hamka yang sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma`ruf nahi munkar, mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata Amak pelan-pelan. Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan. Kepalaku kini terasa melayang. Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela nafas panjang, Amak meneruskan dengan suara gemetar. “Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah” (AHMAD FUADI, 2011 : 8) Dalam kutipan di atas, Amak memegang peranan penting di dalam keluarga. Amak yang memutuskan segala segala sesuatu yang ada di keluarga. Ayah Alif hanya berperan sebagai tamu dalam keluarga. Amak yang berbicara kepada Alif. Amak berharap Alif bersedia untuk melanjutkan sekolah ke madrasah aliyah atau sering disebut sebagai pondok pesantren. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 125 digilib.uns.ac.id 2) Asosiasi dan Perkumpulan Asosiasi dan perkumpulan yang terdapat dalan Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi ini berupa asosiasi persahatan sahibul menara di manara masjid yang dilakukan setiap sore menjelang maghrib. Sahibul menara berasal dari bahasa Arab. Kata Sahibul kerab digunakan untuk menyatakan kepunyaan. Sahibul menara itu terdiri dari Alif, Baso, Atang, Said, Raja dan Dulmajid. Kutipan dalam novel antara lain sebagai berikut: Setelah termenung beberapa lama, Said berteriak. “Aku tahu di mana kita bisa berkumpul tanpa diganggu dan tempatnya dekat dengan masjid. Yuk !” kata dia langsung berjalan cepat dan memaksa kami ikut. ........................................................................................................................ Kami sepakat, kaki menara ini tempat yang sangat cocok untuk berkumpul. Pertama, dekat dengan masjid, kapanpun lonceng shalat berbunyi, kami tinggal berjalan sedikit langsung sampai di masjid. Kedua, relatif tidak terpantau para petugas keamanan yang terlalu sibuk menyatroni asrama demi asrama. Semen berundak ini cukup tersembunyi karena di tutupi taman, sementara kami bisa memantau keadaan PM melalui sela-sela dedaunan. Ketiga, tempat ini teduh dan memungkinkan kami berlama-lama, untuk belajar, ngobrol, bahkan tidur-tiduran sambil lurus menatap langit ditemani ujung menara yang lancip mrngkilap. Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita tentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani kacang sukro. Bagaikan menara cita-cita kami tinggi menjulang. Kami ingin sampai di puncak-puncak mimpi kalak. (AHMAD FUADI, 2011 : 93-94) Di menara tersebut merupakan tempat untuk berkumpul. Membahas pelajaran tadi siang. Membicarakan pelajaran yang sulit, menghafal, diskusi dan menghayal negara yang diimpikan. Masing-masing anggota sahibul menara memiliki cita-cita. Cita-cita itu dilukiskan di awan dengan gambar negara sesuai commit to user keinginan masing-masing anggota sahibul menara. Alif ingin melihat awan itu perpustakaan.uns.ac.id 126 digilib.uns.ac.id sebagai benua Amerika, Raja melihat awan seperti benua Eropa, Atang melihat awan itu sebagai negara Timur Tengah dan Afrika, Baso lebih suka melihat awan itu sebagai benua Asia dan Afrika, dan Dulmajid serta Said lebih suka melihat awan itu tetap sebagai negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan kutipan novel sebagai berikut: Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali melihat awan-awan ini menjelma menjadi peta dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangi Columbus sekitar 500 tahun silam: Benua Amerika. ........................................................................................................................ (AHMAD FUADI, 2011 : 207) Selain perkumpulan sahibul menara di menara masjid, Aula juga merupakan tempat berkumpul bagi semua murid PM. di aula tersebut sebagian kegitan di lakukan. Hal itu sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut Sehabis Isya, murid-murid berbodong-bondong memenuhi aula. Ratusan kursi disusun sampai ke teras untuk menampung tiga ribu orang. Semua orang mengobrol seperti dengungan ribuan tawon transmigrasi. Di panggung duduk berjejer beberapa ustad senior dan kiai. Sebuah tulisan besar menggantung sebagai latar: Pekan Perkenalan Siswa PM. (AHMAD FUADI, 2011 : 48) Malamnya, semua murid dikumpulkan di aula untuk menyaksikan pembukaan musim ujian oleh Kiai Rais, seakan-akan ujian adalah sebuah hari besar keramat ketiga setelah Idul Adha dan Idul Fitri. (AHMAD FUADI, 2011 : 189-190) Aku layangkan pandanganku ke aula di seberang Al-Barq. Jam 2 malam, aula ini sudah ramai seperti pasar subuh! Puluhan lampu semprong berkerlap-kerlip di atas setiap meja pasukan sahirul lail. Ketika angin malam berhembus, mata apinya serentak menari-nari seperti kunang. (AHMAD FUADI, 2011 : 198) Pengumuman kelulusan kita sudah ada, bisa di lihat di aula,” seru Said sebagai ketua angkatan kami berteriak-teriak setelah subuh. Walau masih pegal-pegal dengan perjalanan keliling Jawa Timur kemarin, kami tidak commit to user sabar untuk berbondong-bondong ke aula. Walau sudah bertawakal perpustakaan.uns.ac.id 127 digilib.uns.ac.id sepenuh hati, tetap saja hatiku berdebur-debur ketika melihat pengumuman yang di tempel di aula. (AHMAD FUADI, 2011 : 395) Aula merupakan tempat untuk perkumpulan murid baru. Di aula tersebut murid baru di beri amanat, pengumuman dan nasehat yang berkaitan dengan pendidikan di Pondok Madani. Biasanya para kiai dari Pondok Madani yang memimpin pertemuan tersebut. Semua murid baru harus mengikuti acara tersebut. Selain perkumpulan untuk murid bari, aula juga digunakan untuk belajar para murid ketika akan menghadapi ujian. Semua murid belajar di aula, bahkan aula diubah menjadi perkemahan masal. Semua itu dilakukan demi ujian. Ujian bagi Pondok Madni adalah hari yang istimewa selain Hari Idul Fitri dan Idul Adha. Aula juga digunakan untuk menyampaikan pengumuman kelulusan bagi murid kelas enam. Hal itu semua dilakukan di aula. c. Sistem Pengetahuan Sistem pengetahuan ini berhubungan dengan tubuh manusia dan hubungan antar sesama manusia. Sistem pengetahuan yang terkait dengan novel Negeri Lima menara ini adalah sistem pengetahuan tentang pengetahuan dan sistem pengetahuan tentang pengajaran di Pondok yang bersifat modern. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel Negeri Lima Menara sebagai berikut Masih segar dalam ingatanku bagaimana senior kelas enam tahun lalu membuat gempar dengan show mereka. Di tengah gelapnya aula, tahutahu sesosok tubuh terbang! Benar-benar terbang di atas kepala penonton. Lebih hebat lagi, badannya diliputi api yang menyala-nyala. Ini adegan yang mempersonifikasikan iblis yang melayang-layang siap membakar nafsu manusia. Rahasia efek itu adalah membaluri baju pemadam kebakaran dengan spritus untuk menyulut api, dan mencantolkan baju berisi pemberat ini ke kabel berjalan. Untyuk keamanan, tentu saja tidak to userberbulan-bulan, kami tidak bosan ada orang di dalam baju commit ini. Selama perpustakaan.uns.ac.id 128 digilib.uns.ac.id membahasnya. Kelas enam tahun lalu bahkan disebut “The Fire Maker”. (AHMAD FUADI, 2011 : 338) Bagi siswa kelas enam di Pondok Madani, diwajibkan menampilkan sebuah pentas. Pesta itu dihadiri oleh seluruh warga Pondok Madani dan masyarakat sekitar. Hal ini berhubungan dengan sistem pengetahuan yaitu bahwa siswa kelas enam tahun lalu berhasil membuat pesta yang luar biasa. Pesta pertunjukan itu biasa di sebut dengan Class Six Show. Class Six Show yang ditampilakan senior kelas enam tahun lalu yaitu bercerita tentang iblis yang melayang-layang di udara. Iblis itu melayang dengan tubuh terbakar oleh api. Dengan pertunjukan itu, menunjukkan bahwa sistem pengetahuan murid kelas enam sudah maju dan kreatif. Terbukti dengan menampilkan iblis yang melayang, digunakan manusia tiruan yang memakai baju pemadam kebakaran. Rahasianya adalah baju pemadam itu dibalur dengan spiritus untuk menyulut api. Baju itu diletakan pada kabel berjalan. Sehingga, pertunjukan itu benar-benar seperti dalam kehidupan nyata. Sistem pengetahuan lain adalah kelas Alif yang menampilkan pertunjukan Class Six Show dengan cerita Ibnu Batutah. Class Six Show ini juga spektakuler. Hal ini terlihat pada kutipan novel yang menceritakan perjalanan Ibnu Batutah dalam menyebarkan agama islam. Ide itu disampaikan oleh Atang. Ketika Ibnu Batutah berjalan topan badai, maka penonton juga merasakan angin kencang. Waktu Ibnu Batutah terkena hujan tropis, penonton juga ikut merasakan basah karena hujan. Ibnu Batutah edang berjalan menembus kabut Himalaya, maka penonton juga harus ikut tersesat bersamanya. Hal ini sesuai dengan kutipan dalan commit to user novel sebagai berikut: 129 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “Aku punya ide,” kata Atang menggebu-gebu, seminggu sebelum hati H. “jadi, kawan-kawan, aku ingin kita membuat teater yang panggungnya tidak terbatas di panggung depan, tapi panggungnya juga ada di tempat duduk penonoton. Kalau Ibnu Batutah sedang berjalan menembus topan badai, maka penonton akan ikut di terpa angin kencang, kalau dia sedang kena hujan tropis, penonton ikut basah oleh percikan air, kalau dia sedang menembus kabut Himalayala, penonton juga harus ikut tersesat bersamanya.” (AHMAD FUADI, 2011 : 340) Namun, untuk melaksanakan ide cemerlang itu, membutuhkan pengorbanan. Untuk membuat asap buatan, Alif, Said dan Atang harus pergi ke Surabaya. Bahan utama untuk membuat asap itu adalah karbon dioksida kering. Karbon dioksida bersuhu rendah yang dipadatkan, sehingga apabila terkena udara sedikit saja, karbon dioksida akan mengeluarkan asap banyak. Istilah ilmiahnya ada kondensasi, sehingga asap tersebut bisa kita lihat seperti kabut. Sementara itu sistem pengetahuan yang berkaitan dengan pembelajaran yang bersifat modern adalah pengajaran mengenai penggunaan bahasa asing. Penggunaan bahasa asing wajib bagi semua murid. Bagi murid baru diberi kesempatan untuk belajar selama empat bulan. Siapa yang melanggarnya akan mendapatkan sanksi. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Dan yang tidak kalah penting, bagi anak baru, kalian hanya punya waktu empat bulan untuk boleh berbicara bahasa Indonesia. Setelah empat bulan, semua wajib berbahasa Inggris dan Arab, 24 jam. Percaya kalian bisa kalau berusaha. Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendelajendela dunia.” (AHMAD FUADI, 2011 : 51) Bahasa Asing yang perlu dipelajari oleh murid adalah bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bagaimanapun juga bahasa asing adalah kunci untuk membuka jendela dunia. Pondok Madani berharap lulusan pondok bisa bersaing di kancah dunia. commit to user 130 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id d. Bahasa Bahasa dalam unsur kebudayaan yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat ada dua macam, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara ini adalah bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minang, bahasa Indonesia, bahasa Arab dan bahasa Inggris. 1. Lisan 1. Bahasa Minang Alif sebagai tokoh utama berasal dari kampung Bayur, Minanjau. Bahasa daerah Minangkabau adalah bahasa Minang. Bahasa derah itu digunakan sebagai alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada novel Negeri Lima Menara. Bahasa Minang yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah sebagai berikut “Buyuang, sejak waang masih di kandungan, Amak selalu punya citacita,” mata Amak kembali menatapku. (AHMAD FUADI, 2011 : 8) Buyuang merupakan pangilan untuk anak laki-laki di kampung Minanjau. Buyuang adalah panggilan Alif. Biasa Amaak memanggil Alif dengan sebutan Buyuang. Waang adalah kata ganti orang kedua tunggal yaitu artinya kamu. Waang diucapakan Amaak kepada Alif. Hal itu ducapakan ketika Amaak membujuk Alif untuk masuk sekolah ke Pondok. Sementara itu kata ambo kata ganti orang pertama, yaitu saya. Kata ambo dianggap lebih sopan dan dipakai ketikato bicara commit user dengan orang yang dihormati. perpustakaan.uns.ac.id 131 digilib.uns.ac.id Sebutan kata ambo ini digunakan Alif ketika berbicara dengan ibunya. Alif membela diri bahwa Alif tidak berbakat dalam agama. Alif lebih senang melanjutkan sekolah ke SMA. Namun, ibu Alif tetap kukuh agar Alif melanjutkan sekolah ke Pondok. Bahkan ibu Alif mengatakan bahwa orang tua lain mengirim anaknya ke sekolah madrasah bukan berarti anak tersebut cadiak. Cadiak artinya adalah pintar. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. Mukaku merah dan mata terasa panas. (AHMAD FUADI, 2011 : 9) “Tapi bukan salah ambo, orang tua lain mengirim anak yang kurang cadiak masuk madrasah...” (AHMAD FUADI, 2011 : 9) Di dalam novel Negeri Lima Menara juga terdapat bahasa Minang yang berbentuk sebuah kalimat percakapan. “Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!” Kalimat tersebut adalah kalimat yang dilontarkan oleh Etek Muncak dan keneknya secara bersamaan. Kalimat “Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!” artinya bahwa roda belakang bus tersebut pecah. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: BLAAR! Bus tiba-tiba bergetar dan oleng. Semua penumpang berteriak kaget. Amukan di perutku tiba-tiba surut, pudur seperti lilin di henbus angin. Pak Etek Muncak dan kenek bersamaan berseru, “Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!”. Roda belakang pecah. (AHMAD FUADI, 2011 : 21) Kalimat Minang lain yang ditemukan adalah “ndak ba’a do” artinya adalah sebentar lagi perjalanan menyebrang pulau akan sampai. “ndak ba’a do” disampaikan oleh bapak kepada Alif. Karena perjalanan laut ketika itu sangat menakutkan. Tiba-tiba gelombang laut tinggi. Kapal tergocang, penumpangnya commit to user perpustakaan.uns.ac.id 132 digilib.uns.ac.id bagai dilempar kesana- kemari. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “ndak ba’a do”, sebentar lagi kita sampai!” seru ayah mencoba menenangkan sambil menggamit bahuku. Padahal setengah jam yang lalu pelayaran kami mulus, gemericik air yang di belah haluan terasa menentramkan hati. (AHMAD FUADI, 2011 : 22) 2. Bahasa Arab Bahasa resmi di Pondok Madani dalam novel tersebut adalah bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Bahasa Arab yang disanpaikan secara lisan dalam novel tersebut sangat banyak sekali. Bahasa Arab yang terdapat dalam novel adalah sebagai berikut: Bahasa Arab digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di Pondok Madani. Bahasa Arab merupakan bahasa wajib yang harus digunakan oleh semua murid. Namun, kalimat “uthulubul ilma walau bisshin”, artinya ”tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina” ini disampaikan oleh Alif ketika Alif akan pergi ke Pondok Madani di Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan kutipan pada novel sebagai berikut: Bujukan mereka agar tetap tinggal di kampung telah kukalahkan dengan argumen berbahasa Arab yang terdengar gagah, “uthulubul ilma walau bisshin”, artinya ”tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina”. (AHMAD FUADI, 2011 : 17) Sementara itu, setelah tiba di Pondok Madani Alif dan bapaknya di sambut dengan ramah oleh panitia pendaftaran dari Pondok Madani. Disela-sela perkataan panitia pendaftaran dari Pondok tersebut ada beberapa kalimat dengan bahasa commit to user 133 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Arab. Kalimat tersebut adalah “Shabahal khair ya akhi Burhan.” Artinya adalah ini rombongan tamu pertama hari ini. Semua delapan orang. Hal tersebut diucapkan oleh Ismail kepada Burhan. Burhan adalah panitia pendaftaran. Burhan menjawab perkataan Ismail dengan kalimat bahasa Arab yaitu “Syukron ya akhi.” Artinya yaitu terima kasih. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel sebagai berikut: Ismail meloncat turun dari bus. Kerikil yang diinjak oleh hak sepatunya berderik-derik. Dia menyerahkan selembar daftar penumpang ke seorang anak muda berwajah riang yang telah menunggu di luar mobil. Sebuah dasi berkelir biru laut menggantung rapi di kerah leher baju putihnya. “Shabahal khair ya akhi Burhan. Ini rombongan tamu pertama hari ini. Semua delapan orang,” kata Ismail. “Syukron ya akhi. Terima kasih. Kami akan beri pelayanan terbaik. (AHMAD FUADI, 2011 : 29-30) Bahasa Arab selalu digunakan dalam pembelajaran. Misalnya, Ustad Salman. Ustad Salman mengajarkan Bahasa Arab. Beliau mengajar dengan menggunakan metode yang mudah dipahami oleh murid. Metode tersebut adalah metode dengar, ikuti, teriakkan dan ulangi lagi. Tidak ada terjemahan bahasa Indonesia sama sekali. Namun, metode tersebut sangat ampuh untuk menginternalisasi bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa yang tertahan lama. Inilah sistem bahasa yang membuat Pondok Madani terkenal dengan kemampuan muridnya berbicara aktif. Seperti kutipan dalam novel di bawah ini, ada kalimat “Quuluu jamaaatan... maa haaza? Haaza kitaabun.” Artinya apa yang saya pegang ini? Ini adalah buku. Hal tersebut sesuai dengan kutipan sebagai berikut: commit to user perpustakaan.uns.ac.id 134 digilib.uns.ac.id Lalu dengan gerakan tangan, dia mengisyaratkan untuk bersama-sama mengulang apa yang disebutkanya tadi dengan keras. “Quuluu jamaaatan... maa haaza? Haaza kitaabun.” (AHMAD FUADI, 2011 : 110) Murid baru membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi bahasa asing. Hal tersebut diakui semua murid baru. Dalam waktu empat bulan murid baru harus bisa menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kata “Kaifa arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar?” “aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.” Merupakan kata-kata yang diucapkan oleh murid baru. “Kaifa arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar?” artinya bagaimana bahasa Arab yang kamu kuasai, apakah lancar? Kalimat itu selalu diucapakan oleh kiai atau murid senior kepada murid baru. Kata “aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.” Artinya sedikit-sedikit murid baru bisa berbahasa Arab. Walaupun sepenuhnya belum bisa lancar. Seperti kutipan dalam novel sebagai berikut: “Kaifa arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar?” “aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.” Itulah broken Arabic yang sering muncul diantara anak tahun pertama. Kami saling bartanya bagaimana kemampuan bahasa Arab. Dengan seadanya, kami jawab, ya sudah sedikit-sedikit. Walau belum menguasai grammar dengan cepat, kami berusaha menggunakan kosa kata Arab. (AHMAD FUADI, 2011 : 132). Itulah masalah yang selalu muncul pada murid baru. Masalah tersebut adalah penggunaan bahasa Arab. Dengan penguasaan kosa kata sedikit, digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Hal tersebut membantu dan mempercepat penguasaan Bahasa Arab murid. Bahasa Arab juga digunakan untuk memberikan semangat dalam commit to user pertandingan bulu tangkis. Karena tidak boleh menggunakan bahasa Indonesia, perpustakaan.uns.ac.id 135 digilib.uns.ac.id maka semua murid yang melihat pertandingan bulu tangkis berbicara dengan bahasa Arab. Kata “Idrib...Idrib... Idrib... qawaiyyan... Hit...Hit hit harder!” kata tersebut adalah kata penyemangat bagi tim Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Idrib...Idrib... Idrib... qawaiyyan... Hit...Hit hit harder!” suaraku sampai parau meneriaki setiap pukulan Indonesia. (AHMAD FUADI, 2011 : 187) Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa Arab juga digunakan kiai untuk memberikan motivasi, nasehat dan semangat kepada murid. Motivasi, nasehat dan semangat tersebut disampaikan para kiai ketika akan menghadapi ujian. Ujian di Pondok Madani berlangsung selama dua minggu. Seperti kata “Uthlub ilma minal mahdi ila lahdi” artinya Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Setelah memberikan nasehat, pertemuan itu ditutup dengan doa bersama. Seperti kata “Allahummaftah alaina hikmatan alaina birahmatika ya arhamarrahimin.” artinya Tuhan kami, bukanlah kepada kami hikmah dan bantulah kami dengan rahmatMu, wahai sang Maha Pengasih. doa tersebu adalah doa meminta perlindungan agar ilmu yang di dapatkan selama pendidikan di Pondok Madani bisa masuk ke dalam sumsum otak. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel sebagai berikut: “Anak-anakku, ilmu bagai nur, sinar. Dan sinar tidak bisa datang dan ada ditempat yang gelap. Karena itu, bersihkan hati dan kepalaku, supaya sinar itu bisa datang, menyentuh dan menerangi kalbu kalian semua”. Kiai Rais memulai wejangannya dengan lemah lembut. Beliau menegaskan keutamaan menuntut ilmu, bahkan sampai disebutkan siapa yang menuntut ilmu dengan niat yang ikhlas, dia mendapat kehormatan sebagai mujahid, pejuang Allah. Bahkan kalau mati dalam proses mencari ilmu, dia akan diganjar dengan gelar syahid dan berhak mendapat derajat premium di akhirat nanti. Tidak main-main, Rasulullah sendiri yang mengatakan agar commit to user kita menuntut ilmu dari orok sampai menjelang jatah umur kita expired. 136 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Uthlub ilma minal mahdi ila lahdi. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat.(AHMAD FUADI, 2011 : 190) “Kerahkan semua kemampuan kalian belajar!” Berikan yang terbaik! Baru setelah segala usaha disempurnakan berdoalah dan bertawakalah. Tugas kita hanya sampai usaha dan doa, serahkan kepada Tuhan selebihnya, ikhlaskan keputusan kepadaNya, sehingga kita tidak akan pernah stres dalam hidup ini. Stres hanya bagi orang yang belum berusaha dan tawakal. Ma`annajah, good luck”. Intonasi lembutnya belum berubah menjadi berkorbar-kobar. Kiai Rais telah menyentrum 300 murid kesayangannya. Kami bertepuk tangan dengan gempita. (AHMAD FUADI, 2011 : 190) Acara malam ini ditutup dengan dia Kiai Rais yang kami amini dengan sepenuh hati, meminta Tuhan untuk membuka hati dan pikiran kami dalam menerima nur ilmu tadi. Allahummaftah alaina hikmatan alaina birahmatika ya arhamarrahimin. Tuhan kami, bukanlah kepada kami hikmah dan bantulah kami dengan rahmatMu, wahai sang Maha Pengasih. Said dan Atang lebih lama membenamkan mukanya di telapak tangan mereka yang terbuka setelah doa berakhir. Memang, akhir-akhir ini kedua kawanku harus berjuang keras untuk bisa mengejar pelajaran. (AHMAD FUADI, 2011 : 190-191) Pondok Madani memiliki sistem penjagaan keamanan yang ketat. Sistem keamanan itu khususnya dilakukan pada malam hari. Pondok Madani memiliki lahan yang sangat luas, peternakan dan perkebunan. Setiap malam murid Pondok Madani mendapat giliran untuk berjaga. Hal tersebut dinamakan bulis lail atau ronda malam. Bagi yang bertugas ronda malam mendapat keringanan untuk tidur sore. Ketika jam untuk ronda, maka murid yang diberjaga segera dibangunkan. Seperti kata “Qum ya akhi.” Artinya Ayo bangun. Semua murid yang bertugas bangun untuk berjaga. Supaya berjaga tidak mengantuk, ada tim khusus yang menyediakan kopi. Seperti kata “Hoi, la tan’as daiman,” artinya ini kopi datang!” Alif dan Dulmajid mendapat tugas di dekat sungai. Mata Alif dan Dulmajid tetap mengantuk. Walaupun sudah minum kopi. Alif dan Dulmajid tertidur. Sergapan tyson datang secara tiba-tiba membangunkan dengan air. Sepert kutipan “Qiyaman ya akhi!” commit to user perpustakaan.uns.ac.id 137 digilib.uns.ac.id Sergapan tyson membuat Alif dan Dulmajid terjaga. Tiba-tiba dari arah sungai terdengar suara gemericik, seperti orang berjalan. Alif dan Dulmajid segera bersiap-siap untuk menangkap maling tersebut. Dengan sigap maling itu bisa dikalahkan oleh Alif dan Dulmajid. Atas keberaniannya itu Alif dan Dulmajid tidak jadi di hukum. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Qum ya akhi. Ayo bangun. Waktunya bertugas. Cepat berkumpul di kantor keamanan pusat untuk briefing dan pembagian lokasi kalian,” katanya di depan kami yang masih menguap dan mengucek-ngucek mata. (AHMAD FUADI, 2011 : 238) “Qum ya akhi, kok sudah tidur, belum habis ceritaku,” aku goyang-goyang bahunya. (AHMAD FUADI, 2011 : 244) “Hoi, la tan’as daiman, ini kopi datang!” kata Ali melihat kami yang berwajah tidur. Sabrun menuangkan cairan hitam ke gelas kami dengan gayung plastik. (AHMAD FUADI, 2011 : 244) “Qiyaman ya akhi!” yang punya tangan ini menggeram. Geraman yang ku kenal. Geraman Tyson. Ya Tuhan. Tangan kirinya memegang botol air yang digunakan untuk membasahi mukaku. Melihat aku bangun, sekarang dia menjentikkan air ke muka Dul yang segera mencelat dan terjengkang dari kursinya karena kaget. (AHMAD FUADI, 2011 : 245) Sementara itu kalimat “Kullukum ra’in wakullukum masulun an raiyatihi,” artinya setiap orang adalah pemimpin, tidak peduli siapapun, paling tidak untuk diri mereka sendiri. Itu kata-kata nasehat bahwa murid Pondok Madani harus bisa menjadi seorang pemimpin. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Kullukum ra’in wakullukum masulun an raiyatihi,” ini kata-kata penting untuk leadership di PM. setiap orang adalah pemimpin, tidak peduli siapapun, paling tidak untuk diri mereka sendiri. (AHMAD FUADI, 2011 : 297) commit to user 138 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Dalam bahasa Arab ucapan kata terima kasih juga banyak terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Seperti “Syukran ya akhi,” artinya terima kasih. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Syukran ya akhi, gitu dong, sering-sering kita dikasih bonus,” sahutku senang hati. Hanya pada hari spesial saja kami dapat jatah makan mewah dengan daging, susu, dan kurma. Misalnya menjelang ujian, hari raya, atau hari kami naik kelas enam. (AHMAD FUADI, 2011 : 289-290) “Syukran ya akhi, telah mau mendengarkan keluh kesah ini,” katanya lirih. Kilau lainnya kembali luruh dari sudut matanya. Basah. (AHMAD FUADI, 2011 : 363) 3. Bahasa Inggris Bahasa Inggris merupakan bahasa yang wajib dikuasai murid selain bahasa Arab. Hal ini diterapkan guna mengantisipasi kemajuan zaman. Bahasa Inggris merupakan bahasa resmi internasional. Sehingga harapan ke depan, lulusan Pondok Madani bisa fasih menggunakan Bahasa Inggris. Bahasa Inggris banyak terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Hal ini terjadi karena dalam novel Negeri Lima Menara terdapat beberapa tokoh orang asing. Bahasa Inggris yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah sebagai berikut: Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan waktu ujiannya. Ujian maraton sepanjang 15 hari disambut bagai pesta akbar, riuh dan semarak. You can feel the exam in the air. Itulah the moment of truth seorang pencari ilmu untuk membuktikan bahwa jerih payah belajar selama ini mendatangkan hasil setimpal, yaitu meresapnya ilmu tadi sampai ke sumsumnya. (AHMAD FUADI, 2011 : 189) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 139 digilib.uns.ac.id Bahasa Inggris yang terdapat dalam kutipan di atas adalah “You can feel the exam in the air”artinya bahwa kamu buktikan bahwa usahumu belajar selama ini akan mendapatkan hasil yang setimpal. Kata “the moment of truth” artinya suasana atau momen yang bagus. Kalimat tersebut digunakan ketika akan diadakan ujian maraton. Bahasa Inggris juga ditemukan dalam percakapan di pesawat. Percakapan tersebut antara Alif dan pramugari pesawat terbang. Ketika itu Alif melakukan perjalanan Washington DC-London dengan menggunakan pesawat British Airways. Seperti kata “Would you like something to drink, sir?” Artinya Anda mau minum apa, pak? Kata tersebut diucapkan oleh pramugari pesawat dengan logat bahasa Inggris yang kental. Alif menjawab dengan “Acup of tea would be lovely,” artinya secangkir teh yang manis. Pramugari tersebut menjawab “certainly, Sir.” Artinya baiklah, pak. Pramugari tersebut segera menuangkan teh ke dalam cangkir. Bahasa Inggris yang digunakan dalam percakapan tersebut merupakan bahasa resmi internasional yang dibawakan dengan sopan oleh pramugari. Alif sebagai lawan bicara berusaha membalas percakapan tersebut dengan ramah dan sopan. Sehingga percakapan tersebut dapat berjalan dengan baik. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan novel sebagai berikut: “Would you like something to drink, sir?” tawar sebuah suara merdu beraksen British yang lengket. Aku tergeragapdan mengucek-ngucek mata. Pelan-pelan bagai lensa auto focus, pandanganku memejam. “Acup of tea would be lovely,” sahutku. Aku agak memaksa menggunakan gaya orang British yang katanya suka menggunakan kata “lovely” “certainly, Sir.” Dia mencurahkan isi poci putihnya ke cangkirku. (AHMAD FUADI, 2011 : commit 286) to user perpustakaan.uns.ac.id 140 digilib.uns.ac.id Sementara itu, pramugari yang berambut merah tersebut datang. Pramugari menawarkan “dessert” makanan pencuci mulut. Ada beberapa pilihan makanan penutup diantaranya ada “chocolate baklava, qatayef with cheese dan Arabian ice cream with date.” Alif memilih makanan pencuci mulut “Arabian ice cream with date” yaitu es krem dari arab. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel sebagai berikut: Si rambut merah datang lagi dengan memamerkan senyum customer service yang sama. “Sir, kami punya beberapa pilihan dessert ala Timur Tengah. Apakah anda tertarik mencoba?” “Kami punya chocolate baklava, qatayef with cheese dan Arabian ice cream with date.” “Sepertinya yang terakhir enak, boleh minta yang itu?” “Certainly, Sir.” (AHMAD FUADI, 2011 : 287) Bahasa Inggris tidak hanya digunakan oleh murid dan kiai Pondok Madani. Tetapi tukang masak juga menggunakan bahasa Inggris dengan lancar. Hal ini terbukti seperti kata “Good morning my friend,” atinya selamat pagi teman. Tukang masak Pondok Madani menyediakan kurma untuk merayakan keberhasilan kenaikan kelas. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Good morning my friend, untuk merayakan hari keberhasilan kita naik kelas enam, kami menyediakan kurma hari ini untuk mencuci mulut,” katanya tersenyum lebar menyodorkan 3 buah hitam berkilat-kilat. (AHMAD FUADI, 2011 : 289) Selanjutnya, bahasa Inggris juga digunakan ketika Alif dipilih sebagai commit to user student speaker. Pidato tersebut untuk menyambut Dubes Inggris yaitu McGregor. perpustakaan.uns.ac.id 141 digilib.uns.ac.id Ketika tiba waktu menyampaikan pidato, pembawa acara memanggil Alif dengan Bahasa Inggris yaitu “Your excellency, one of our student would like to welcom you. Mr. Alif Fikri...” artinya ananda mulia, salah satu murid kami akan menyampaikan sambutan, yaitu pak Alif Fikri... Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Your excellency, one of our student would like to welcom you. Mr. Alif Fikri...” Undang MC sambil menganggukkan dagu yang duduk mengkerut di ujung aula.tiba-tiba kerongkongakku terasa kering dan dasiku terasa mencekik. (AHMAD FUADI, 2011 :318) Sementara itu diakhir acara, Alif berjabat tangan dengan Dubes Inggris. Dubes Inggris sangat senang dengan pidato yang dibawakan oleh Alif. Dubes Inggris berjabat tangan sambil berkata “Indeed, a very good speech. I like your idea on how to strengthen the relationship between west and the east.” Artinya memang bagus pidatomu. Aku suka ide dengan idemu yang membahas tentang cara memperkuat hubungan antara negara barat dan timur. Alif Fikri hanya bisa membalas dengan ucapan “...thank you Sir, thank you, Sir...” artinya adalah terima kasih pak. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Di akhir acara, aku sempat bersalaman dan berfoto bersama Pak Dubes dan Kiai Rais. Tanganku tenggelam di dalam tangan Dubes yang besar dan empuk. Diayun-ayunkannya tanganku beberapa kali sambil berkata, “Indeed, a very good speech. I like your idea on how to strengthen the relationship between west and the east.” Aku senyum-senyum sambil berulang-ulang menyebut...thank you Sir, thank you, Sir... (AHMAD FUADI, 2011 : 320) Bahasa Inggris yang ditemukan selanjutnya adalah kalimat “It’s official, we are good to go!” artinya itu acara resmi, kita diizinkan untuk melaksanakan acara tersebut. Hal tersebut merupakan commitucapan to user yang disampaikan Ustad Salman perpustakaan.uns.ac.id 142 digilib.uns.ac.id kepada murid. Bahwa acara kilas 70 yang telah direncanakan disetujui oleh Kiai Rais. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “It’s official, we are good to go!” seru Ustad Salman sambil melempar kepalanya ke udara. “Kiai Rais setuju kiita punya Kilas 70.” (AHMAD FUADI, 2011 : 327) 2. Tulisan 1. Bahasa Arab Bahasa kedua menurut Koentjaraningrat adalah bahasa tulisan. Bahasa tulisan yaitu bahasa dalam wujud tulisan. Hal ini juga terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Seperti kutipan di bawah ini. Kata “Man thalabal ‘ula sahiral layali.” Ini merupakan pepatah dalam bahasa Arab. Artinya adalah Siapa yang ingin mendapatkan kemuliyaan, maka bekerjalah sampai jauh malam. Seperti kutipan dalam novel sebagai berikut: Sahirul lail maknanya kira-kira begadang sampai jauh malam untuk belajar dan membaca buku. Sebuah pepatah Arab berbunyi: Man thalabal ‘ula sahiral layali. Siapa yang ingin mendapatkan kemuliyaan, maka bekerjalah sampai jauh malam. Dan aku ingin mencari kemuliyaan itu. (AHMAD FUADI, 2011 : 196) Tulisan Arab selanjutkanya adalah kata “Ma’an Najah,” artinya “semoga sukses dalam ujian”. Ini merupakan kata penyemangat bagi murid. Dalam kutipan tersebut sebentar lagi akan diadakan ujian selama dua minggu. Di Pondok Madani diberi sepanduk yang berisikan semangat dan motivasi. Salah satunya yaitu poster yang bertuliskan “Ma’an Najah”. Seperti kutipan dalam novel sebagai berikut: Pagi itu, tepat dua minggu sebelum hari pertama ujian, aku terbengongbengong melihat suasana commit PM yang baru. Ma’an Najah, “semoga sukses to user dalam ujian” dalam bentuk poster selebaran kami temukan di ruang kelas, perpustakaan.uns.ac.id 143 digilib.uns.ac.id asrama, kantindi pohon-pohon, bahkan di lapangan basket. (AHMAD FUADI, 2011 : 189) Sementara itu, ketika Alif berada di dalam pesawat terbang menuju ke London, Alif mencoba makanan pencuci mulut. Makanan itu berupa setangkup es krim yang puncaknya di beri kurma dari Jeddah. Penyajian es krim tersebut kartu yang berisikan pesan. Pesan tersebut adalah “This Ajwa date is imported from a natural farmoff Jeddah, believed by muslims as the favorite fruit of the Prophet Muhammad. Enjoy your dessert.” Artinya kurma yang terdapat dalam es krim tersebut, adalah kurma dari Jeddah. Jenis Kurma itu adalah makanan favorit nabi Muhammad SAW. Selamat menikmati makanan ini. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Dengan rapi dia meletakkan sebuah mankok kecil, setangkup es krim berwarna krem, ditaburi hazelnut, dan dipuncaki sebutir kurma yang mengkilat-kilat. Sebuah kartu kecil bercorak gambar kubah menemani pesananku. Tulisannya: This Ajwa date is imported from a natural farmoff Jeddah, believed by muslims as the favorite fruit of the Prophet Muhammad. Enjoy your dessert. (AHMAD FUADI, 2011 : 287-288) 2. Bahasa Inggris Selain bahasa Arab, bahasa tulis berupa bahasa Inggris juga terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Seperti tulisan “we are going back to Trafalgar Square today.” Artinya mereka akan kembali ke Trafalgar Square besuk. Hal ini merupakan salah satu pelajaran murid di Pondok Madani. Pelajaran membaca bahasa Inggris. Sehingga bagi murid yang belum begitu paham mengenai bahasa Inggris, membacanya harus dieja. Selain itu, ada juga contoh membaca kalimat “Waath thaimi izzz ith naung”. Maksudnya “what time is it now”. Artinya jam commit to user perpustakaan.uns.ac.id berapa sekarang? Namun, dalam mengeja kata now 144 digilib.uns.ac.id tersebut harus dengan berdengung panjang. Seperti membaca bahasa Arab. Hal tersebut sesuai dengan kutipan sebagai berikut: “Wai ari guingg tho Trrafalghaar Siquarri tudayyy,” bacanya tegang, sementara butir-butir peluh mengucur deras dari jidatnya yang lebar. Tulisannya yang dibacanya: “we are going back to Trafalgar Square today.” “Waath thaimi izzz ith naung”. Maksudnya “what time is it now”. Time di baca dengan thaim dengan menggunakan huruf tha tebal yang sempurna sekali. Now, di baca dengan berdengung panjang, persis seperti dia membaca mad panjang tiga harakat dengan ilmu tajwid. (AHMAD FUADI, 2011 : 118) Peraturan di Pondok Madani menganjurkan kepada muridnya untuk mengirim surat kepada perusahaan luar negeri. Surat tersebut berisi permintaan bantuan buku yang menunjang pembelajaran di Pondok Madani. Ketika itu Alif mengirim surat ke radio Amerika. Setrelah berapa lama Alif mendapat balasan. Balasan surat tersebut berisi buku. Surat tersebut bertuliskan “Mr. Fikri, enjoy your free copy of this book. Thank you. VOA Indonesian service.” Artinya bapak Fikri silakan menikmati buku gratis permintaan anda. Terima kasih. Dari bagian VOC Indonesia. Hla ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Wah buku percakapan Indonesia-American English dari radio Amerika!” teriakku kaget. Secarik surat pendek menyertai dan berbunyi: “Mr. Fikri, enjoy your free copy of this book. Thank you. VOA Indonesian service.” (AHMAD FUADI, 2011 : 174) Sementara itu, tulisan bahasa Inggris terdapat dalam poster. Poster tersebut di tempel menjelang ujian dilaksanakan. Poster yang berisi “You can feel the exam in the air” artinya bahwa usaha belajar yang maksimal akan mendatangkan hasil yang setimpal. Itulah the moment of truth. Itulah suasana yang dinantikan. Hal commit to user tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: 145 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan wakyu ujian. Ujian maraton sepanjang 15 hari di sambut bagai pesta akbar, riuh dan semarak. You can feel the exam in the air. Itulah the moment of truth seorang pencari ilmu untuk membuktikan bahwa jerih payah belajar selama ini mendatangkan hasil setimpal, yaitu meresapnya ilmu tadi sampai ke sumsumnya.( AHMAD FUADI, 2011 : 189) e. Kesenian Kesenian merupakan salah satu unsur yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Kesenian yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara berupa kesenian kaligrafi dan bangunan. 1. Kaligrafi Kaligrafi merupakan salah satu mata pelajaran di Pondok Madani. Kaligrafi tersebut belajar mengenai menulis arab yang indah. Ketika ujian, kaligrafi juga diujikan. Pelajaran kaligrafi juga merupakan pelajaran yang digemari oleh Alif. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Ujian hari akhir adalah dua pelajaran favoritku: kaligrafi Arab dan bahasa Inggris. Walau bukan pelajaran utama, untuk kaligrafi, aku mempersiapkan diri lebih dari para Sahibul Menara. Kaligrafi tidak dihapalkan, tapi dipraktekkan. Dengan tekun, aku menulis berlembarlembar kertas dengan menggunakan beragam gaya kaligrafi yang diajarkan dan yang belum diajarkan. Aku bahkan meminjam beberapa buku referensi kaligrafi terbitan Mesir dan lokal. Qalam pena khusus kaligrafi pun aku siapkan dengan berbagai ukuran. Semua aku lakukan dengan penuh antusiasme. Dengan gembira dan percaya diri aku mengerjakan soal ujian kaligrafi dan Bahasa Inggris. Inilah hari tersuksesku dalam ujian kali ini. (AHMAD FUADI, 2011 : 203) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 146 digilib.uns.ac.id 2. Bangunan Selanjutnya bangunan dalam unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat ini merupakan kesenian. Bangunan yang digambarkan dalam novel Negeri Lima Menara adalah bangunan pondok Madani dan menara. Bangunan di Pondok Madani memang sangat luas. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa bagian yang memiliki fungsi tersendiri. Bangunan pertama berupa masjid. Bangunan kedua berupa aula serba guna. Aula tersebut berguna untuk semua kegiatan penting seperti: pegelaran teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buat siswa baru dan penyambutan tamu penting. Bangunan ketiga asrama, yaitu gedung yang digunakan untuk menginap bagi murid baru. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “yang kedua adalah aula serba guna. Di sini semua kegiatan penting berlangsung. Pegelaran teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buuat siswa baru dan penyambutan tamu penting,” kata Burhan sambil memipin kami melewati aula. Gedung ini seukuran hampir setengah lapangan sepak bola dan diujungnya ada panggung serta tirai pertunjukan. Tampak mukanya minimalis dengan gaya art-deco, bergarisgaris lurus. Sederhana tapi megah. Di atas gerbangnya yang menghadap ke luar, tergantung jam antik dan tulisan dari besi berlapis krom: Pondok Madani. Rombongan kecil kami melintasi lapangan besar yang berada di depan masjid dan balai pertemuan menuju bangunan memanjang berbentuk huruf L. Dindingnya dikapur putih bersih, atap segitiganya dilapisi genteng berwarna bata dan ubinya berwarna semen mengkilat. Kusen, jendela dan tiangnya dilaburi cat minyak hijau muda. Bangunan sederhana yang tampak bersih dan terawat ini terdiri dari 14 kamar besar. Bangunan ini semakin teduh dengan beberapa pohon rindang dan kolam air mancur di halamnnya. “Gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni, karena setiap anak tahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama AlBarq, yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelegar sekuat commit to user 147 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id petir dan bersinar seterang petir,” terang pemandu kami. Mata Raja yang berdiri disebelahku berbinar-binar. (AHMAD FUADI, 2011 : 32) Bangunan selanjutnya adalah Menara. Menar adalah tempat berkumpulnya Sahibul Menara. Di kaki menara itu, Sahibul menara mengadakan diskusi, belajar dan berkhayal tentang masa depannya. Manara itu dibangun dengan menjulang tinggi dengan gaya arsitektur Turki. Puncak menara itu berupa kubah yang mengkilat dan lancip serta terdapat corong pengeras suara. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Tepat disamping kanan Masjid Jami, menjulang menara yang diilhami arsitektur gaya Turki yang kokoh, efisien, tanpa melupakan keindahan. Menara dipucuki oleh sebuah kubah metal yang mengkilat dan lancip ujungnya. Di leher kubah ini menyembul empat corong pengeras suara yang selalu setia mengabarkan panggilan shalat sampai berkolo-kilo meter jauhnya.(AHMAD FUADI, 2011 : 93) f. Sistem Mata Pencaharian Mata pencaharian yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah guru dan pegawai pemkab. Hal ini terlihat pada mata pencaharian orang tua Alif dan orang tua Atang. Hal ini dapat terlihat pada kutipan novel sebagai berikut: 1. Guru Walau berprofesi sebagai guru madrasah, beliau pengajar matematika, seringkali pendapatnya lain dengan amak. Misalnya, ayah percaya untuk berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih sering menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta, Bung Sjahrir,. Pak Natsir, atau Haji Agus Salim, di banding Buya Hamka. Padahal latar belakang religius ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku adalah ulama yang terkenal di Minangkabau.(AHMAD FUADI, 2011 : 10) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 148 digilib.uns.ac.id Berdasarkan kutipan di atas, menjelaskan bahwa pekerjaan ayah Alif adalah seorang guru matematika di madrasah. Hal tersebut tidak terlepas dari kewajiban seorang kepala keluarga yaitu mencari nafkah. Walaupun ayah Alif berprofesi sebagai guru. Beliau lebih banyak diam yang berkaitan dengan sekolah Alif. Sementara itu yang berperan dalam urusan pendidikan Alif adalah Amak. Amak bekerja sebagai seorang guru di sekolah swasta. Bahkan Amak rela tidak dibayar. Hal itu dilakukan Amak, supaya mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang ijadikan pegangan hidup di masa depan. Hal itu dapat terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut: Beberapa hari setelah eforia kelulusan mulai kisut, Amak mengajakku duduk dilankan rumah.amakku seorang perempuan berbadan kurus dan mungil. Wajahnya sekurus badannnya, dengan sepasang mata yang bersih dan dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu dengan kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya selalu ditutup songkok dan dilehernya digantung selendang. Dia menamatkan SPG bertepatan dengan pemberontakan G30S, sehingga negara yang sedang kacau tidak mampu segera mengangkatnya menjadi guru. Amak terpaksa menjadi guru sukarelayang hanya dibayar dengan beras selama 7 tahun, sebelum dianggakat menjadi pegawai negeri. (AHMAD FUADI, 2011 : 6) 2. Pegawai Pemda Pegawai pemerintahan daerah merupakan mata pencaharian yang terdapat dalam novel Negri Lima Menara. Pegawai daerah ini adalah mata pencaharian Pak Yunus. Pak Yunus adalah ayah Atang. Keluarga Pak Yunus tinggal di Bandung. Hal ini sesuai dengan kutipan commitdalam to user novel sebagai berikut: 149 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Pak Yunus adalah pegawai Pemda Bandung dan aktif di Muhammadyah. Kaca depan rumahnya menempel sebuah stiker hujau dengan gambar matahari di tengahnya. “Dari mulai orang tua saya sudah aktif dipengurus cabang Muhammadyah,” katanya Pak Yunus. (AHMAD FUADI, 2011 : 218) g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi Sistem peralatan hidup dan teknologi merupakan tujuh unsur kebudayaan yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Sistem peralatan hidup dan teknologi ini berhubungan dengan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah, pakaian dan tempat berlindung. Hal ini dapat terlihat pada kutipan novel sebagai berikut: 1. Transportasi Bersama ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang terkentut-kentut merayapi kelok Ampek Puluah Ampek. Jalan mendaki dengan 44 kelok patah. Kawasan Danau Minanjau menyerupai kuali raksasa, dan kami sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar. Makin lama kami makin tinggi di atas Danau Minanjau. Dalam satu jam permukaan danau yang biru tenang itu menghilang dari pandangan mata. Berganti dengan horison yang didomonasi dua puncak gunung yang gagah, merapi yang kepundan aktifnya mengeluarkan asap dan Singgalang yang puncaknya dipeluk awan. Tujuan kami ke kaki Merapi, Kota Bukittinggi. Di kota sejuk ini kami berhenti di loket bus antar pulau, P.O.ANS. Dari ayah aku tahu kalau PO itu kependekan dari perusahaan oto bus. (AHMAD FUADI, 2011 : 15) Dari kutipan di atas terlihat bahwa transportasi yang digunakan Alif dan ayah adalah bus. Bus digunakan sebagai alat transportasi menuju ke Pondok madani yang ada di Jawa Timur. Hal tersebut dipilih karena tiket bus lebih murah. Mengingat keluarga Alif berasal dari keluarga yang kurang mampu. Menggunakan armada pesawat tidak mampu membeli tiketnya. commit to user 150 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Jawa Timur terletak di sebelah selatan pulau Sumatra. Untuk sampai ke Pulau Jawa harus menyebrang pulau. Alat transportasi yang digunakan adalah kapal. Kapal merupakan alat transportasi laut. Alif dan ayah menyebrang laut dengan menggunakan ferry. Ketika menyebrang lautan pada waktu malam hari, ombak sangat besar. Sebingga Alif marasa takut, cemas dan mual. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Pegangan yang kuat,” terriak laki-laki bercambang lembat dengan seragam kelasi kepada penumpang ferry raksasa yang aku tumpangi. Dari laut yang gulita, deburan demi deburan terus datang menampar badan kapal, bagai tidak setuju dengan perjalananku. Lampu ruang penumpang mengeridip setiap goyangan keras datang. Angin bersiut-siutan melontarkan tempiasair laut yang terasa asin di mulut. Muka dan bajuku basah. Aku segera mencekal erat pagar besi dengan tangan kanan. Tapi aku tetap terhuyung ke kanan, ketika kapal besar menampar lambung ferry. Mukaku terasa pias karena cemas dan mual.berkali-kali aku komat-kamit memasang doa, agar laut kembali tenang. Ayah memeluk tiang besi disebelahnya. (AHMAD FUADI, 2011 : 22) Sementara itu, ketika Alif sudah lulus dari Pondok Madani dan lulus kuliah mendapat kesempatan untuk bertemu dengan dua kawan lama di Podok Madani. Pertemuannya itu dilakukan di London. Untuk sampai di London Alif menggunakan armada pesawat terbang. Hal ini dapat terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut: Penerbangan Washington DC-London dengan Britis Air Ways sungguh nyaman. Aku tertidur nyenyak hampir empat jam. Sebuah tidur yang penuh mimpi. Mimpi yang deras dengan kenangan hidupku masa lalu bersama 5 bocah nusantara yang terdampar disebuah kampung di Jawa dalam misi merebut mimpi mereka. (AHMAD FUADI, 2011 : 286) commit to user perpustakaan.uns.ac.id 151 digilib.uns.ac.id 2. Peralatan Komunikasi Peralatan komunikasi yang digunakan dalam novel Negeri Lima Menara adalah surat. Surat merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berkomunikasi dalam jarang yang sangat jauh. Alif berhubungan dengan pamannya yang ada di Mesir dengan saling berkirim surat. Hal ini dilakukan beberapa bulan sekali. Begitu juga Alif ketika berada di Pondok Madani. Supaya dapat berkomunikasi dengan keluarga di Minangkabau dan berkomunikasi dengan temannya, Alif mengguankan alat komunikasi surat. Hal tersebut dilakukan karena pada zaman tersebut telephon masih sangat jarang. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Dia mendoakan aku lulus dengan baik dan memberi usul. (AHMAD FUADI, 2011 : 12) 3. Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah Peralatan konsumsi yang diguanakan di Pondok Madani adalah piring dan gelas. Setiap anak membawa piring dan gelas sendiri-sendiri untuk makan. Dapur tempat untuk menyediakan makanan tidak menyediakan peralatan makan. Petugas dapur hanya melayani murid yang membawa piring dan gelas sendiri serta kupon.kupon tersebut digunakan untuk mendapatkan lauk. Hal ini dapat terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut: Di PM, dapur tidak menyediakan alat makan, kami harus membawa piring dan gelas sendiri-sendiri. Untuk mendapatkan lauk kami harus membawa potongan kupon makan. Setiap bulan kami mendapat selembar kertas besar commit to user seperti kalender yang memuat angka dari satu sampai tiga puluh satu. 152 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Setiap kali makan kami membawa sobekan angka yang sesuai dengan tanggal hari ini. “Intadzir. Tunggu. Saya lupa dimana menaruh kupon makan,” balasku sambil mengaduk-aduk lemari. “Cepat, kita akan kalah dengan asrama sebelah!” “Iya, tapi saya tidak punya kupon.” “Ma fisy. Tidak ada. Ya nasib hari ini kurang baik”, gumanku berlalu tanpa kupon penting ini. Aku pasrah, tidak ada kupon, tidak ada rendang. Sambil menenteng piring dan gelas masing-masing, kami berlari-lari kecil ke dapur umum. Kalau kami terlambat sedikit saja, antrian bisa mengular sampai ke halaman dapur. (AHMAD FUADI, 2011 : 120-121) 4. Pakaian Pakaian adalah mahkota yang digunakan untuk menutupi badan. Pakaian yang digunakan bagi murid Pondok Madani sudah di tentukan. Yaitu berupa kaos baju olah raga dan baju pramuka, serta bawahan sarung ketika sholat. Semua seragam tersebut sudah ditulis pada daftar belanja wajib bagi murid baru. Hal ini dapat terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut: Perlengkapan pakaian 1. 2. 3. 4. 5. 6. Sarung Ikat Pinggang Kopiah Baju Pramuka Baju Olahraga (kaos dan training pack) Papan nama untuk disematkan di baju. Latar belakang ungu untuk anak kelas 1. Waktu pembuatan 10 menit. (AHMAD FUADI, 2011 : 58) commit to user 153 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 5. Tempat Berlindung dan Perumahan Setiap murid yang masuk di Pondok Madani tidak diperbolehkan untuk pulang. Sehingga siapa pun yang masuk Pondok Madani menempati asrama yang sudah disediakan. Asrama tersebut dibangun di atas tanah yang sangat luas. Asrama Pondok Madani bisa menampung ratusan murid. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: “Gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni, karena setiap anak tahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama AlBarq, yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelegar sekuat petir dan bersinar seterang petir,” terang pemandu kami. Mata Raja yang berdiri disebelahku berbinar-binar. (AHMAD FUADI, 2011 : 32) 3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai. Ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita (dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah nilai yang dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian nilai-nilai yang diambil untuk menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukan oleh Max Scheler. maka nilai-nilai pada novel dapat dikemukakan sebagai berikut: commit to user 154 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, adapun mencuri bernilai buruk. Nilai sosial termasuk pada nilai vitalitas atau kehidupan sosial. Ukuran untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Kehidupan sosial keluarga Alif berada di antara golongan menengah ke bawah. Kedua orang tua Alif adalah seorang guru Madrasah. Alif tinggal disebuah rumah kontrakan beratap seng dan bendinding kayu. Alif yang sejak kecil bersekolah di madrasah, setelah lulut Madrasah Tsanawiyah atau setara SMP ingin melanjutkan di sekolahan Umum. Menurutnya ia merasa sudah cukup bekal agama yang dimilikinya selama sekolah di madrasah. Kehidupan warga tempat Alif tinggal; banyak yang menyekolahkan ke sekolahan agama karena tidak punya uang, karena ongkos masuk sekolaha madrasah lebih murah dibandingkan di sekolahan negeri. Hal ini terlihat dalam kutipan berikut ini “beberapa orang tua menyekolahkan anak ke sekolah agama karena tidak punya cukup uang. Ongkos masuk madrasah lebih murah....:”(AHMAD FUADI, 2011:6). Kehidupan keluarga alif yang serba kekurangan juga nampak dalam kutipan berikut: commit to user 155 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Tidak ada waktu lagi. Menurut informasi dari surat pak Etek Gindo, waktu pendaftaran Pondok Madani ditutup empat hari lagi, padahal butuh tiga hari jalan darat untuk sampai di jawa Timur. Tiket pesawat tidah terjangkau oleh kantung keluargaku. “ kita naik bus saja ke jawa besok pagi,” kata Ayah yang akan mengantarku, (AHMAD FUADI, 2011: 14) Kutipan di atas menerangkan bahwa keluarga Alif tidak mampu membelikan tiket pesawat terbang untuk menuju Pondok Madani yang terletak di Jawa Timur. Ketika itu jika dilaluli perjalan darat dari pulau sumatra menuju jawa timur membutuhkan waktu sekitar 3 hari, dan pendaftaran Pondok Madani hanya tinggal 4 hari lagi. b. Nilai Spiritual atau Nilai agama Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada nabi sebagai petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata sertamengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan masyarakat serta alam sekitarnya. Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima apayang terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan apa yang dicari adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa. Amak Alif menganjurkan Alif untuk masuk ke Pondok, Amak percaya bahwa Alif akan menjadi pemimpin agama yang hebat. Bagaimanapun juga garis keturunan Amaak adalah garis keturunan ulama. Alif tidak mau melanjutkan sekolah ke pondok. Alif ingin melanjutkan ke SMA dan kuliah agar bisa seperti commit to user perpustakaan.uns.ac.id 156 digilib.uns.ac.id Habibie. Amaak tetap tidak mengijinkan karena bersekolah di SMA membutuhkan uang yang banyak. hal ini sesuai kutipan dalam novel: Tapi aku tidak ingin… Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.(AHMAD FUADI, 2011 : 9) Sementara itu, Alif bersedia bersekolah di pondok. Namun pondok yang dipilih adalah Pondok Madani di Jawa Timur. Pelajaran agama di pondok dapat dilakukan setiap saat. Hal ini terungkap dalam novel sebagai berikut: “Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,” Jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI, 2011 : 35) Pendidikan agama di Pondok Madani tidak mengenal waktu. Setiap saat agama selalu diajarkan di pondok. Kiai di pondok membuat aturan agama harus diajarkan setiap saat. Di sela-sela pelajaran umum juga diberikan materi agama. Hal ini sesuai dengan pertanyaan dari bapak Alif. Bahwa di pondok banyak dijarkan tentang pelajaran umum, kapan agama akan di ajarkan? Dengan senang hati pemandu pondok menjelaskan bahwa agama di pondok diajarkan setiap waktu. Pendidikan agama islam dalam novel ini sangat kental sekali. Setiap detail diceritakan dengan sanagat menarik. Ini menandakan bahwa ajaran di pondok memang sangat ketat. Apalagi soal agama islam. Di pondok waktu sholat memang segala aktifitas harus dihentikan. Semua harus datang ke masjid pada waktu sholat commit to user Magrib. Namun, untuk sholat lainnya dilakukan di kamar masing-masing. Hal ini perpustakaan.uns.ac.id 157 digilib.uns.ac.id dilakukan untuk melatih murid agar bisa menjadi imam bagi orang lain. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Shalat Magrib di masjid jami` dihadiri seluruh penduduk sekolah. Karena hampir semua orang hadir, kecuali yang sakit atau pura-pura sakit, waktu seperempat jam setelah shalat dimanfaatkan untuk memberikan maklumat penting bagi semua warga. Kismul I`lam, bagian yang khusus mengurusi pengumuman tampil di depan jamaah. Ditemani secarik kertas dan kepercayaan diri, mereka membacakan pengumuman. (AHMAD FUADI, 2011 : 70) Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awanawan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi merah terang, seiring dengan merapatnya matahari ke peraduannya. Lonceng berdentang, waktunya kami ke masjid menunaikan Maghrib. (AHMAD FUADI, 2011 : 211) Untuk sholat isya, subuh, dhuhur, ashar dan sholat sunah dilakukan di kamar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem religi dalam novel tersebut sangat menonjol. Shalat malam biasa Alif dan kawan-kawan kerjakan. Shalat dan berdoa merupakan usaha yang dilakukan agar semua pekerjaan dan kesulitan dalam belajar bisa teratasi. Karena hanya kepada Tuhanlah semua memohon dan meminta bantuan. Semua itu dilakukan dengan khusuk dan ikhlas. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: Aku membentang sajadah dan melakukan shalat Tahajud. Di akhir rakaat, aku benamkan ke sajadah sebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba memusatkan perhatian kepadaNya dan menghilang selainNya. Pelan-pelan aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang diciptakanNYa. Betapa keci dan tidak berartinya didiku, dan betapa luas kekuasanNya. Dengan segala kerendahan hati, aku bisikkan doaku. “Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati rusuh dan berharap. Ujian pelajaran Muthala`ah tinggal besok, tapi aku belum siap dan belum hapal pelajaran. HambaMu commit to user ini datang meminta kelapangan pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan perpustakaan.uns.ac.id 158 digilib.uns.ac.id lulus ujian dengan baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar terhadap doa hamba yang kesulitan. Amiiinnn”. Alhamdulillah, selesai tahajud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku siap sahirul lail, belajar keras dini hari sampai subuh. Dengan setumpuk buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah sajadah, aku bergabung dengan para pelajar malam lainnya di teras asrama. Ada belasan orang yang sudah lebih dulu membuka buku pelajaran di tengah malam buta ini. Ada yang bersila, ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya dengan dinding, dengan bermacam gaya. Tapi semuanya sama: mulut komat-kamit, buku terbuka di tangan, sarung melilit leher, segelas kopi dan duduk diatas hamparan sajadah. Sekilas mereka seperti sedang naik permadani terbang. (AHMAD FUADI, 2011 : 197-198) Dengan sholat tahajud badan juga terasa ringan dan segar. Apalagi menjelang ujian, banyak murid yang melakukan doa malam dan belajar malam. Sungguh hal yang jarang dilaukan oleh orang awam. c. Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan organis, harmonis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan. Adapun filsafat pendidikan nasional adalah suatu sistem yang mengatur dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi kepentingan bangsa dan Negara dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan Negara Indonesia. Nilai pendidikan merupakan hal-hal penting dan ajaran yang berguna bagi kemanusaiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan manusia berbudaya. Nilai pendidikan adalah nilai yang bermoral. Moral commit to userdipandang dari nilai baik-buruk, merupakan tingkah laku perbuatan manusia perpustakaan.uns.ac.id 159 digilib.uns.ac.id benar dan salah berdasarkan adat dan kebiasaan di mana individu itu berada. Nilai moral di bagi dua yaitu segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu diasampaikan, sebab kita dapat memperoleh teladan yang bermanfaat. Segi positif harus ditonjolkan sebagai hal yang ditiru dan diteladani. Demikian segi negatif perlu juga diketahui serta disampaikan kepada pembaca. Hal ini dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan. Nilai moral mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang menyangkut harkat dan martabat manusia, mencakup semua persoalan yang boleh dikatakan tak terbatas. Pandangan hidup yang terungkap dalam novel Negeri Lima Menara adalah kata mujarab yang sampaikan oleh Ustad Salman. Kata mujarab yang memikat semua orang tersebut adalah Man Jadda Wajada. Hal tersebut terdapat dalam kutipan novel seperti di bawah ini: Man jadda wajada : sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat ribuan tawon. Kami tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau kalah kenceng. “Man jadda wajada!” Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokan panas dan suara serak. Ingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdengingdenging sementara wajah kami merah padam memfosir tenaga. Kaca jendela yang tipis sampai bergetar-getar disebelahku. Bahkan, meja kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh liur yang ikut berloncatan setiap berteriak lantang. Tapi kami tahu, mata laki-laki yang enerjik ini tidak dimuati aura commitkurus to user jahat. Dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan perpustakaan.uns.ac.id 160 digilib.uns.ac.id meletup-letup. Kami tersengat menikatinya. Seperti sumbu kecil terpecik api, mulai terbakar, membesar, dan terang! Dengan wajah berseri-seri dan senyum senti menyilang di wajahnya, lakilaki ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru, mengulang-ulang mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami menyela balik dengan kata yang sama man jadda wajada. Mantera ajaib berbahasa Arab ini bermakna tegas: “Siapa yang bersungguh-sungguh, akan berhasil!!”. (AHMAD FUADI, 2011 : 40-41) Kata-kata mujarab man jadda wajada artinya bahwa siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil. Kata itulah yang pertama kali diberikan kepada murid baru. Man jadda wajada diberikan kepada murid baru untuk memotivasi. Bahkan kata-kata itu diucapkan berkali-kali sampai melekat di dalam hati. Bahwa segala sesuatu itu apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan membuahkan hasil. Setiap kelas, setiap mulut berlomba-lomba menyuarakan man jadda wajada dengan lantang. Bahkan suara itu sampai membahana ke Ponorogo. Hampir satu jam perlombaan menyuarakan man jadda wajada itu dilakukan. Namun, tak satupun dari murid yang protes. Justru kata itulah sampai sekarang tetap terpatri di dalam hati dan jiwa setiap murid. Walaupun sudah keluar dari pondok man jadda wajada tetap membahana keliang telinga setiap orang. Hal ini terlihat terlihat dalam kutipan novel sebagai berikut: Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakan “man jadda wajada”. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan, menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo. Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana tapi kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak. (AHMAD FUADI, 2011 : 41) commit to user 161 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id “Man jadda wajada,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair Arab yang diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang bersungguh-sungguh akan sukses. (AHMAD FUADI, 2011 : 82) Rumus man jadda wajada terbukti mujarab. Kesungguhanku segera dibalas kontan. (AHMAD FUADI, 2011 : 82) Siapapun yang meresapi dan melaksanakan kata man jadda wajada dengan sungguh-sungguh. Maka, usahanya itu akan segera di balas kebaikan oleh Tuhan. Hal itu dilakukan oleh Alif sekaligus pengarang novel tersebut. Alif dengan sungguh-sungguh berdoa dan berusaha. Usaha tersebut tidak sia-sia. Alif mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, semua itu tidak terlepas dari suratan takdir Allah SWT. d. Nilai Budaya Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik tertentu yang dapat dibedakan dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi. Nilai budaya yang terungkap dalam novel yaitu kepercayaan orang Minang mengenai rumah makan Padang. Supremasi orang Minang soal makanan sangat terlihat dalam perjalanan menuju ke Pondok Madani. Perjalanan dengan menggunakan bus tersebut terlihat begitu jelas. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut: commit to user 162 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Supremasi orang Minang soal makanan sangat tampak dalam perjalanan ini. Hampir semua tempat makan di pinggir jalan lintas Sumatera dan Padang memakai tanduk dan bertuliskan “RM Padang”. Di dalam ruangannya yang lapang tersusun meja dan kursi yang jumlahnya ratusan. Speaker yang berbentuk kotak-kotak kayu ada di setiap sudut ruangan dan tidak henti-henti memperdengarkan lagi pop minang. (AHMAD FUADI, 2011 : 23) Orang Minang yang membuka lestoran makanan selalu menggunakan atap tanduk dan bertuliskan “RM Padang”. Atap tanduk merupakan salah satu ciri rumah gadang. Rumah gadang merupakan rumah adat daerah Minangkabau. Bagi sebagian besar orang menggunakan atap tanduk menonjolkan salah satu ciri khas kebudayaan daerah. Hal itulah yang menjadi ciri khas orang Padang. Selain itu juga menggunakan tulisan RM Padang. Itu merupakan satu kesatuan dengan atap bertanduk. Kedua ciri khas tersebut tidak bisa dipisahkan. Ibarat langit dengan bumi. Keduanya merupakan budaya dari orang Minang. Selain itu, kebudaayaan lain dari Minang adalah tingkat derajat pedas pada makanan rendang. Semakin jauh dari Padang derajat pedasnya semakin berkurang. Hal inilah yang menjadi kebudayaan yang sudah dianut oleh masayarakat Padang secar turun temurun. B. Pembahasan 1. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara Langkah yang dilakukan pengarang dalam menciptakan karyanya terispirasi dari kisah pribadinya. Awalnya commit to user pengarang terpaksa masuk di perpustakaan.uns.ac.id 163 digilib.uns.ac.id pendidikan Pondok Madani. Pengarang ingin mewujudkan cita-cita menjadi seperti Habibie. Akan tetapi, keinginannya di tentang oleh orang tua pengarang. Keinginan untuk masuk Pondok Madani timbul karena surat dari Etek Gindo. Keputusan pengarang untuk melanjutkan ke pondok merupakan keputusan setengah hati. Selanjutnya keputusannya itu sirna seiring berjalannya waktu dan terlaksananya pembelajaran di Pondok Madani. Ahmad fuadi sebagai pengarang novel Negeri Lima Menara memandang Pondok Madani adalah tempat membangun karakter anak bangsa. Dimana lulusan Pondok Madani mampu bersaing di dunia kerja dan mampu bersaing di kancah luar negeri. Selain itu Pondok Madani merupakan tempat mengajarkan ilmu pengetahuan dan wawasan yang luas. Hal ini sesuai dengan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah dalam UU nomor 20 tahun 2003 pasal 3 UU Sisdiknas. Karakter bangsa merupakan Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter commit to user individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya perpustakaan.uns.ac.id 164 digilib.uns.ac.id yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. (Pedoman Sekolah, 2010) Selanjutnya pengarang memiliki pandangan bahwa pengarang merupakan orang yang paling beruntung bisa menjadi murid Pondok Madani. Beruntung Pondok Madani telah memberi bekal ilmu pembangun karakter. Pengarang juga merasa menjadi seorang anak muda yang dibentuk dengan totalitas pendidikan yang iklas. Pondok Madani telah memberikan bekal untuk mengarungi kehidupan ini. Baik kehidupan yang senang maupun kehidupan yang susah. Bekal tersebut melekat di dalam otak dan hati. Namun, semua itu tidak bisa lepas dari motivasi para kiai yang ada di Pondok Madani. 2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) Sistem religi; (2) Sistem kemasyarakatan atau organisasi social; (3) Sistem pengetahuan; (4) Bahasa; (5) Kesenian; (6)Sistem mata pencaharian; dan (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi. Ketujuh unsur kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud kebudayaan. Sehingga tiap-tiapcommit kebudayaan to userdapat dijelaskan pada 1) wujud perpustakaan.uns.ac.id 165 digilib.uns.ac.id budaya (gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial (tindakannya, pola aktivitas), dan 3) wujud fisik. Keseluruhan sistem dalam wujud kebudayaan itu pada akhirnya menjelma menjadi kebudayaan makro suatu masyarakat, yang memiliki peraturan-peraturan antar unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan (P. Hariyono, 2009: 38). Sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara sesuai dengan tujuh unsur yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133). Sistem religi yang terdapat dalam novel adalah menganut agama islam. Novel tersebut bercerita tentang kehidupan sehari-hari di Pondok Madani. Di mana di Pondok sarat dengan pendidikan agama yang sangat kental. Selanjutnya sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, terdapat organisasi berupa perkumpulan enam murid Pondok Madani. Perkumpulan enam anak tersebut dinamakan Sahibul Menara. Tempat berkumpu Sahibul Menara adalah di manara masjid Pondok Madani. Kegiatan yang dilakukan adalah belajar, diskusi dan berkhayal tentang impian masing-masing anggota Sahibul Menara. Impian tersebut adalah impian untuk pergi ke luar negeri. Selain di Menara masjid perkumpulan juga dilakukan di aula. Aula merupakan tempat perkumpulan semua murid Pondok Madani. Sistem pengetahuan juga terdapat dalam novel tersebut. Sistem pengetahuan yang terdapat dalam novel bahwa murid kelas enam Pondok Madani mampu membuat pertunjukan. Pertunjukan itu sangat spektakuler. Sehingga to user disebut sebagai pertunjukan class commit six show. 166 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id Sementara itu bahasa yang terdapat dalam novel berupa bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa lisan terdiri dari bahasa Minang, bahasa Inggris dan bahasa Arab. Sedangkan bahasa tulisan berupa bahasa Inggris dan bahasa Arab. Untuk bidang kesenian terdapat kesenian berupa kaligrafi dan kesenian bangunan Pondok Madani yang menawan.Sistem mata pencaharian yang terdapat dalam novel yaitu guru dan pegawai Pemda. Guru merupakan mata pencaharian orang tua Alif. Orang tua Atang yang tinggal di Bandung bekerja sebagai pegawai Pemda. Unsur kebudayaan yang terakhir yaitu sistem peralatan hidup dan teknologi terdiri dari transportasi, alat komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah dan pakaian. Transportasi yang digunakan Alif untuk pergi ke Pondok Madani adalah bus dan kapal. Namun, setelah lulus dari Pondok Madani dan sukses Alif belajar di luar negeri. Untuk dapat keluar negeri, Alif menggunakan alat transportasi pesawat terbang. Selanjutnya, peralatan komunikasi berguna untuk mengetahui keadaan dan kabar berita, maka dalam novel tersebut terdapat peralatan komunikasi berupa surat. Lain halnya dengan peralatan konsumsi dalam bentuk wadah. Peralatan makan yang digunakan di Pondok Madani adalah piring dan gelas. Terakhir adalah pakaian. Pakaian seragam di Pondok Madani sudah ditentukan yaitu pakaian pramuka, sarung dan pakaian olah raga. commit to user 167 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id 3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi Nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari novel Negeri Lima Menara adalah nilai pendidikan yang dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian ini nilai-nilai yang diambil untuk menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukan oleh Max Scheler. maka nilai-nilai pada novel dapat dikemukakanyaitu nilai vitalitas atau kehidupan sosial, nilai religius atau keagamaan, nilai moran positif dan negatif dan nilai budaya. Nilai vitalitas atau kehidupan sosial yaitu mengenai kehidupan sosial keluarga Alif yang sederhana. Sehingga orang tua Alif tidak mampu menyekolahkan Alif ke sekolah negeri. Namun, orang tua Alif menganjurkan untuk bersekolah di Pondok yang biayanya jauh lebih murah. Nilai pendidikan selanjutnya yaitu nilai religius atau keagamaan. Alif menuruti nasehat orang tua untuk masuk ke Pondok. Di Pondok Madani terdapat pembelajaran agama yang diajarkan setiap waktu. Di mana pun berada, pelajaran agama selalu dipelajari. Hal ini terbukti sesuai dengan kutipan, “Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,” Jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI, 2011 : 35) Sementara itu nilai moral yang positif dan negatif berupa kalimat mujarab yang mendatang motivasi dan semangat tinggi. Kata mujarab tersebut adalah man jadda wajadda. Artinya siapa yang berusaha dengan sungguh-sungguh maka akan commit to user 168 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id sukses. Nilai pendidikan terakhir yaitu nilai budaya. Budaya merupakan sesuatu yang dianut oleh masyarakat setempat. Berkaitan dengan nilai budaya tersebut, dalam novel Negeri Lima Menara terdapat nilai budaya mengenai kepercayaan orang Minang tentang rumah makan Padang. Dalam mendirikan rumah makan Padang bangunannya terdapat atap bertanduk dan bertuliskan “RM Padang”. commit to user 169 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id BAB V PENUTUP A. Simpulan Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi Pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri Lima Menara, merupakan tempat yang mengajarkan kehidupan yang percaya dan bertakwa terhadap Tuhan. Selain itu pengarang juga berpandangan bahwa Pondok Madani merupakan tempat untuk membentuk karakter seseorang dan menjadikan manusia berwawasan luas. Pondok Madani merupakan pondok yang memberi bekal hidup kepada murid dan mengharuskan muridnya untuk menggunakan bahasa asing selama 24 jam. Semua itu dapat dilakukan dengan usaha dan kerja keras seperti motivasi yang diajarkan di pondok man jadda wajadda. 2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi a. Sistem Religi meliputi (1) sistem kepercayaan yang menganut ajaran Agama Islam; (2) sistem nilai dan pandangan hidup yaitu berupa kata yang mujarab “man jadda wajadda”; dan (3) komunikasi keagamaan berupa dahwah; b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial meliputi (1) sistem kekerabatan masyarakat Minangkabau yang matrilinial commit to userdan (2) asosiasi dan perkumpulan 169 perpustakaan.uns.ac.id 170 digilib.uns.ac.id Sahibul Menara di menara masjid sebelum Magrib dan aula yang digunakan sebagai perkumpulan murid untuk melakukan kegiatan; c. Sistem pengetahuan berupa kemampuan membuat Pesta pertunjukan itu biasa di sebut dengan Class Six Show. Class Six Show yang ditampilkan murid senior kelas enam dan pengajaran pondok yang bersifat modern yaitu penggunaan bahasa asing selama 24 jam; d. Bahasa, bahasa yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara adalah bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan berupa bahasa Minang, bahasa Arab dan bahasa Inggris. Bahasa tulis berupa bahasa Arab dan bahasa Inggris. e. Kesenian berupa kesenian kaligrafi dan bangunan; f. Sistem mata pencaharian yaitu berupa guru dan pegawai Pemda; g. Sistem peralata hidup dan komunikasi berupa (1) transportasi yaitu berupa bus dan kapal; (2) peralatan komunikasi berupa surat; (3) bentuk peralatan komunikasi dalam bentuk wadah berupa piring dan gelas; dan (4) pakaian yang digunakan setiap hari di dalam pondok yaitu berupa sarung, baju pramuka dan baju olah raga. 3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial yang berupa kisah kehidupan keluarga Alif yang sederhana. b. Nilai spiritual atau nilai agama yang tokohnya beragama islam dan menampilkan kesediaan Alif untuk masuk ke Pondok commit to user 171 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id c. Nilai moral yang positif dan negatif, nilai tersebut berupa nilai moral yang positif yaitu adanya pembelajaran pertama dengan menggunakan kata yang mujarab “man jadda wajadda” d. Nilai budaya berupa supremasi masyarakat mengenai rumah makan padang yang terdapat atap bertanduk dan bertuliskan “RM Padang”. B. Implikasi Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap karya sastra novel berjudul Analisis Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain yang relevan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut 1. Menjadi alternatif bahan materi pengajaran sastra Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif bahan materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, kemampuan untuk memiliki sikap dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau menghafal judul dan pengarang karya sastra. Di dalam hal tersebut tercakup masalah pemberian tanggapan terhadap karya sastra. Dalam pengajaran sastra, siswa harus diarahkan pada penilaian karya sastra secara objektif. Maka, hal ini akan membentuk jiwa sastra yang tidak hanya menampilkan prestasi akademis, tetapi juga mengembangkan karakter diri yang potensial. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 172 digilib.uns.ac.id 2. Pencapaian dalam proses pengajaran sastra Penelitian ini mengkaji objek karya sastra berbentuk novel berjudul Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Memang, karya novel memiliki jumlah halaman yang banyak sehingga diperlukan waktu banyak dalam proses apresiasi karya. Meskipun demikian, hasil analisis pada aspek sosiologi pada novel tersebut telah memberikan gambaran awal yang sederhana terhadap kandungan novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Pemahaman merupakan tahapan kelanjutan atas pengenalan aspek fisik sastra berupa wujud buku. Sosiologi sastra terkandung di dalam dan di luar karya sastra. Oleh karena itu, pendidik harus memberikan arahan jelas terhadap aspek pencapaian pembelajaran apresiasi sastra. Dengan begitu ada persiapan berupa bahan materi yang telah disederhanakan sehingga dapat dipahami siswa secara baik. 3. Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik Bagi guru, pengkajian terhadap karya sastra novel melalui pendekatan sosiologi sastra bisa dikembangkan dalam pola pengajaran apresiasi karya sastra kepada siswa. Kajian ini memberikan fakta sastra dari dalam karya itu sendiri juga dari luar karya sastra, berupa pengarang kreatifnya dan latar sosial budaya masyarakat pembentuknya. Dalam hal ini patokan pengajaran bukan hanya pada aspek kognitif, melainkan juga pada aspek afektif bahkan psikomotoriknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran pendidik yang tidak hanya menyampaikan kaidah pemahaman sosiologi, tetapi juga pada aspek usersastra tersebut. Artinya, pendidik nilai-nilai yang terkandung dicommit dalam to karya perpustakaan.uns.ac.id 173 digilib.uns.ac.id juga menggugah kesadaran siswa sebagai manusia dengan memberikan gambaran keteladanan dari nilai-nilai edukatif cerita sastra tersebut. 4. Sebagai salah satu pendidikan nilai moral Media pembelajaran dapat diambil dari berbagai sumber, termasuk dari sebuah kisah atau cerita. Cerita novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi merupakan cerita yang mengandung nilai pendidikan, terutama nilai moral. Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi pendidikan di Pondok Madani. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel tersebut menggambarkan karakteristik manusia dengan sisi kemanusiaan yang dimiliki. Manusia merasakan suka dan duka, tertawa dan menangis, juga emosi dan pemaaf. Hal itu merupakan cerminan bagi pembaca dalam menjalani hidup dalam kehidupan masyarakat juga dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat. Novel tersebut memberikan gambaran lengkap sosok manusia dengan realitas masalah yang dihadapi dalam hidup di pondok. Sikap dan perilaku yang dilakukan dalam menangani masalah yang terjadi menjadi contoh yang bisa diteladani. Oleh karena itu, novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi dapat dijadikan sebagai sumber pengajaran. 5. Aspek keteladanan Bagi siswa, materi dengan objek novel yang menggambarkan realitas masyarakat memberikan variasi materi belajar terhadap apresiasi karya sastra. Siswa juga akan merasa terdorong aspek kesadarannya jati dirinya sebagai insan cendekia. Cerita yang bermakna dalam dan menggugah motivasi dari commit to user novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi memberikan kedalaman arti perpustakaan.uns.ac.id 174 digilib.uns.ac.id tersendiri bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan menemukan keteladanan yang utuh saat mereka menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani. 6. Aspek pelestarian seni budaya Minangkabau melalui pendidikan Wujud lain dari implikasi penelitian ini yaitu pada pelestarian budaya, khususnya dalam hal ini seni budaya Minangkabau sebagaimana menjadi cerita novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Aktivitas penelitian yang dilakukan penulis merupakan bentuk kepedulian yang secara sederhana dari tindakan yang bisa dilakukan dalam aspek pelestarian seni budaya Minangkabau. Sebagai hal sederhana penulis akan mencapai pemahaman dasar terhadap seni budaya yang memang harus dilestarikan yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut. Keluhuran seni budaya Minangkabau perlu diwariskan dari generasi ke generasi. Aspek awal yang bisa dilakukan yaitu dengan proses show up “menunjukkan” eksistensi seni budaya tersebut. Hal itu bisa dicapai dengan pelaksanaan penelitian ini. Meluasnya efek ini ketika terjadi akumulasi dari pengaruh positif yang diperoleh oleh masyarakat pembaca karya sastra ini. Setiap pembaca akan memberikan pengaruh yang lebih luas dengan penyebaran terhadap nilai-nilai seni budaya yang terkandung dalam karya sastra manakala terjadi proses interaksi yang lebih meluas. Oleh karena itu, proses pelestarian seni budaya Minangkabau kemudian dapat lebih dikembangkan, bahkan bisa dilakukan secara lebih sistematis. Aplikasi yang lebih mudah mengarah pada media pendidikan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id 175 digilib.uns.ac.id Penyelenggaraan pengajaran sastra menjadi salah satu sarana yang bisa diandalkan. Sistematika yang dimiliki proses pengajaran bisa menempatkan karya sastra ini sebagai bahan ajar apresiasi karya sastra. Diharapkan proses pengajaran menjadi sarana pelestarian seni budaya yang efektif. Penanaman nilai-nilai luhur seni budaya Minangkabau dapat dilakukan terprogram, kontinyu, terarah, terpantau secara baik. 7. Pengembangan kualitas dan kompetensi penelitian sastra Pada aspek penelitian ilimiah, hasil penelitian ini menambah kuantitas dan kualitas penelitian ilmiah, khususnya kajian di bidang karya sastra. Secara kuantitas, penelitian ini akan menjadi dokumen sastra yang dapat dijadikan sebagai bahan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan di masa datang. Oleh karena itu, penelitian ini juga mendorong kegiatan ilmiah karena akan memberikan motivasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian. Tumbuhnya motivasi kegiatan ilmiah juga akan meningkatkan kompetensi atau kualitas kajian terhadap penelitian. Para peneliti lain akan melakukan peningkatan kualitas penelitian mulai dari materi yang dikaji sampai ke metodologi sehingga penelitian pada masa selanjutnya akan lebih berkembang dan bervariasi. 8. Memberikan paradigma positif sastra kepada masyarakat pembaca Kajian sastra merupakan alternative bagi mahasiswa atau peneliti yang memiliki sense kecenderungan terhadap dunia sastra. Paradigma pengkajian terhadap karya sastra sendiri akan mengubah persepsi masyarakat yang commit to user cenderung memandang sastra sebagai sesuatu yang abstrak dan imajinatif 176 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id belaka. Fakta yang bisa dimunculkan yaitu dengan peningkatan kualitas penelitian serta hasil penelitian yang ternyata menyodorkan solusi dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan di masyarakat. 9. Cermin edukasi masyarakat Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat pembaca. Pembaca merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat. Demikian juga tokoh-tokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi manusia dalam media cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi pada tokoh bisa menjadi teladan yang bijak tanpa dengan menggurui. Masyarakat pembaca pun dapat belajar dari interaksi sosial yang positif dari cerita yang diperlihatkan dalam novel tersebut. Dengan akal pikiranya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak dan berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi peristiwa dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra merupakan wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan sikap dan perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem kemasyarakatan yang baik. C. Saran Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut: 1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sastra sebaiknya melakukan commit user dan detail agar mudah dipahami pengajaran dengan sistematika yang to runtut 177 digilib.uns.ac.id perpustakaan.uns.ac.id dan mendapatkan makna novel yang mendalam. Pencapaian maksimal terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan secara baik, mencakup aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di samping itu, pendidik tidak boleh melupakan berkenaan penanaman nilai moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa. 2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens karena dengan hal ini maka pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada akademis, tetapi juga pada perubahan behaviour. 3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga dengan objek karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang kompleks. 4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang bisa menjadi pengaruh meluas terhadap perwujudan efek-efek potensial di masyarakat. commit to user