analisis sosiologi sastra dan nilai pendidikan pada novel negeri

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI
PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA
KARYA AHMAD FUADI
TESIS
Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Megister
Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia
Oleh:
Anjar Setianingsih
S841008004
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
commit
to user
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
HALAMAN PENGESAHAN
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA
NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI
Disusun Oleh:
Anjar Setianingsih
S841008004
Telah disetujui oleh Tim Pembimbing
Komisi
Pembimbing
Pembimbing I
Nama
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Tanda Tangan
Tanggal
……………
…..……2012
…………….
…………2012
NIP 19440315 1978041001
Pembimbing II Dr. Andayani, M.Pd.
NIP. 196010301986012001
Mengetahui
Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia,
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M. Pd.
NIP 19440315
commit to1978041001
user
ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ANALISIS SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA
NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI
Disusun Oleh:
Anjar Setianingsih
S841008004
Tm Penguji
Jabatan
Ketua
Nama
Prof. Dr. Sarwiji Suwandi, M.Pd.
Tanda Tangan
Tanggal
……………….
……… 2012
……………….
……… 2012
……………….
……… 2012
……………….
……… 2012
NIP 196204071987031001
Sekretaris
Dr. Nugraheni Eko W, M.Hum
NIP. 197007162002122001
Anggota
Penguji
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
NIP 19440315 1978041001
Dr. Andayani, M.Pd
NIP. 196010301986012001
Telah dipertahankan di depan penguji
Dinyatakan telah memenuhi syarat
Pada tanggal …….…………. 2012
Direktur
Ketua Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia
Program Pascasarjana UNS
Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd.
Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S.
Nip 196107171986011001
NIP 19440315 1978041001
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya
Nama
: Anjar Setianingsih
NIP
: S841008004
Menyatakan
dengan
sesungguhnya,
bahwa
tesis
berjudul
ANALISIS
SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI
LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI adalah betul-betul karya saya
sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam tesis tersebut diberi tanda citasi dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya
bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan tesis dan gelar yang saya
peroleh dari tesis tersebut.
Surakarta, 4 Januari 2012
Yang membuat pernyataan,
Anjar Setianingsih
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
Persembahan:
1. Bapak dan Ibu tercinta
2. Keluarga besar Bapak Sahono
3. Suami tercinta, Irsyad Afrianto
4. Anakku tersayang, Natasya Aura Putri
5. Almamater
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
Sungguh manusia diciptakan suka mengeluh. Apabila dia ditimpa
kesusahan, dia berkeluh kesah, dan apabila mendapat kebaikan (harta), dia
jadi kikir. (QS Al-Ma’arij:19-21)
Mimpi adalah kunci untuk menakhlukan dunia
(Penulis)
Manusia tidak dilihat dari usianya, tetapi dari seberapa jauh dia
bertumbuh dan berkembang serta memberikan kontribusi nyata bagi
dunia sesuai tingkat usianya.
(Xavier Quentin)
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya, sehingga tesis yang berjudul “Sosiologi Sastra dan
Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Tesis ini berusaha menjelaskan dan mendeskripsikan Sosiologi Sastra
dan Nilai Pendidikan pada Novel Negeri Lima Menara dengan menggunakan
pendekatan Sosiologi Sastra.
Tesis dibuat guna memenuhi salah satu persyaratan untuk mencapai gelar
magister pada Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia Program
Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta. Tesis ini dapat diselesaikan
karena bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini
penulismenyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. Ir. Ahmad Yunus, M.S., Direktur PPs UNS yang telah
memberikan izin penyusunan tesis ini;
2. Prof. Dr. Herman J. Waluyo, M.Pd., Ketua Program Studi Bahasa
Indonesia Program Pascasarjana UNS dan sekretaris program Prof. Dr.
Sarwiji Suwandi, M.Pd., yang telah membantu proses
perkuliahan
sehingga dapat berjalan dengan lancar;
3. Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd., sebagai pembimbing I yang telah
memberikan bimbingan dengan penuh kesabaran, ketulusan, ketelitian dan
penuh harapan sehingga tesis ini dapat tersusun dengan lancar;
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
4. Dr.Andayani,M.Pd sebagai pembimbing II yang telah, bimbingan,
masukan yang sangat berharga, serta memotivasi sampai ke lubuk hati
yang paling dalam sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan
dengan tepat waktu;
5. Seluruh Dosen Pascasarjana, ilmu yang diberikan oleh Bapak Ibu akan
menjadi bekal hidup penulis sebagai calon pegajar;
6. Suroto, S.pd dan Sukarti sebagai orang tua yang telah memberikan
dukungan dan motivasi sehingga jejang pendidikan Megister ini dapat
ditempuh dan diselesaikan dengan lancar.
7. Irsyad Afianto, S.pd selaku pendamping hidup yang telah memberikan
semangat dan motivasi.
8. Seluruh teman satu angkatan, staf TU Pascasarjana yang tidak dapat
disebutkan satu persatu. Semoga Allah Yang Maha Kaya membalas
kebaikan Bapak Ibu.
Kritik dan saran sangat penulis harapkan demi perbaikan tesis agar lebih
baik dan bermanfaat. Semoga Allah selalu menyertai langkah kita, sekarang dan
selamanya. Amin.
Surakarta,
Januari 2012
Penulis,
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN JUDUL........................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN..........................................................................
ii
PENGESAHAN TIM PENGUJI TESIS...................................................... ....
iii
PERNYATAAN...............................................................................................
iii
PERSEMBAHAN ............................................................................................
iv
MOTTO ...........................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .....................................................................................
vi
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xiii
ABSTRAK ....................................................................................................... xiv
ABSTRACT ..................................................................................................... xv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................
1
A. Latar Belakang ......................................................................................
1
B. Rumusan Masalah .................................................................................
5
C. Tujuan Penelitian ...................................................................................
6
D Manfaat Penelitian ................................................................................
6
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR ......................
8
A. Tinjauan Pustaka ...................................................................................
8
1. Kajian Tentang Novel ..........................................................................
8
a. Pengertian Novel ........................................................................ ....
commit to user
viii
8
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
b. Jenis-Jenis Novel .............................................................................. 13
c. Unsur-Unsur Novel .......................................................................... 18
d. Novel sebagai Dokumen Sosial (Teeuw) ......................................... 28
2. Kajian Tentang Sosiologi Sastra ........................................................... 30
a. Pengertian Sastra .............................................................................. 30
b. Pengertian Sosiologi......................................................................... 35
c. Pengertian Sosiologi Sastra .............................................................. 39
3. Hakikat Aspek Sosial Budaya................................................................. 55
4. Kajian Tentang Nilai-Nilai Pendidikan dalam Novel ........................... 65
a. Pengerian Nilai ................................................................................. 65
b. Pengertian Pendidikan ...................................................................... 67
c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel......................
68
B. Penelitian yang Relevan....................................................................... 78
C. Kerangka Berfikir................................................................................ 81
BAB III METODOLOGI PENELITIAN…………………………………… 83
A. Waktu dan Tempat Penelitian ………………………………………. 83
B. Metode Penelitian…………………………………………………… 84
C. Data dan Sumber Data………………………………………………. 84
D. Teknik Cuplikan (Sampling)………………………………………… 85
E. Teknik Pengumpulan Data…………………………………………..
86
F. Uji Validitas Data…………………………………………………… 87
G. Teknik Analisis Data………………………………………………... 88
H. Prosedur Penelitian………………………………………………….
92
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ............................. 95
A. Hasil Penelitian ....................................................................................... 95
1. Pandangan Pengarang terhadap Novel Negeri Lima Menara
commit to user
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
karya Ahmad Fuadi .............................................................................. 95
2. Aspek Sosial Budaya tang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi ............................................................................. .. 109
a. Sistem Religi…………………………………………… ............... 110
1. Sistem Kepercayaan.................................................................... 110
2. Sistem Nilai dan Pandangan Hidup.................................... ....... 113
3. Komunikasi Keagamaan............................................... .............. 115
b. Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial............................... .. 116
1. Kekerabatan………………………………………………..... .. 116
2. Asosiasi dan Perkumpulan………………………………….. ... 118
c. System Pengetahuan……………………………………………... .. 121
d. Bahasa…………………………………………………………… .... 123
1. Lisan.................................................................................. ........ 123
1) Bahasa Minang............................................................... ..... 123
2) Bahasa Arab................................................................... ...... 125
3) Bahasa Inggris................................................................ ..... 132
2. Tulisan............................................................................... ........ 136
1) Bahasa Arab................................................................... ...... 136
2) Bahasa Inggris................................................................ ..... 137
e. Kesenian................................................................................... ......... 139
1. Kaligrafi............................................................................. ........ 139
2. Bangunan............................................................................ ....... 140
f. Sistem Mata Pencaharian............................................................. ..... 141
1. Guru................................................................................... ........ 141
2. Pegawai Pemda.................................................................... ...... 142
g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi.......................................... .. 143
1. Transportasi......................................................................... ...... 143
2. Peralatan komunikasi............................................................ ..... 145
commit to user
x
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
3. Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah................................. 145
4. Pakaian................................................................................ ....... 146
5. Tempat Berlindung dan Perumahan .................................... ...... 147
3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi........................................................................ ....... 147
a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial............................................ .... 148
b. Nilai Spiritual dan Nilai Agama................................................... ..... 149
c. Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif.................. 152
d. Nilai Budaya.............................................................................. ........ 155
B. Pembahasan................................................................................... ........ 156
1. Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi............................................................ ...... 156
2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi................................................................................. ........ 158
3. Nilai- Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
katya Ahmad Fuadi........................................................................ ........ 161
BAB V PENUTUP................................................................................. ......... 163
A. Simpulan..................................................................................... ........ 163
B. Implikasi Hasil Penelitian.............................................................. ..... 165
C. Saran – Saran............................................................................... ....... 166
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... ...... 168
commit to user
xi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian............................................. 83
commit to user
xii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Alur Kerangka Berpikir ............................................................. 82
Gambar 2. Bagan model interatif Miles & Huberman ............................ ... 89
commit to user
xiii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK
ANJAR SETIANINGSIH. S841008004. 2011. SOSIOLOGI SASTRA DAN
NILAI PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA
AHMAD FUADI. Komisi Pembimbing Pertama Prof. Dr. Herman J. Waluyo
M.Pd. Pembimbing Dua Dr.Andayani, M.Pd. Tesis: Program Studi Pendidikan
Bahasa Indonesia Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Penelitian ini menjelaskan dan mendeskripsikan (1) pandangan pengarang
terhadap Pondok Madani; (2) sosiologi sastra yang terungkap pada novel dan (3)
nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Novel berlatar
pendidikan di pondok ini cukup menarik untuk dikaji melalui pendekatan sosiologi
sastra, yaitu tentang perjuangan enam anak laki-laki yang belajar di Pondok Madani
dan berlomba-lomba melukis negeri impiannya di langit.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode
kualitatif deskriptif. Data penelitian berupa dokumentasi berbentuk novel. Teknik
cuplikan yang digunakan adalah purposive sampling, sampel mewakili
informasinya. Teknik pengumpulan data mengkaji dokumen melalui content
analysis. Uji validasi data menggunakan triangulasi data/sumber, triangulasi teori
dan teori metode.
Teknik analisis yang digunakan adalah analisis data interaktif yang meliputi
tiga komponen yaitu reduksi data, penyajian data, dan simpulan.
Penelitian ini menyimpulkan (1) pandangan pengarang terhadap novel; (2)
aspek sosiologi sastra pada novel meliputi: a. Sistem Religi yang berupa Sistem
Kepercayaan, Sistem Nilai dan Pandangan Hidup dan Komunikasi Keagamaan; b.
Sistem Kemasyarakat atau Organisasi Sosial yang meliputi Kekerabatan, Asosiasi
atau Perkumpulan dan Sistem Pengetahuan; c. Bahasa yang meliputi bahasa Lisan
yaitu Bahasa Minang, Bahasa Arab dan Bahasa Inggris, Tertulis yaitu Bahasa Arab
dan Bahasa Inggris; d. Kesenian meliputi kaligrafi Dan Bangunan; e. Sistem Mata
Pencaharian berupa Guru dan Pegawai Pemda; f. Sistem Peralatan Hidup Atau
Teknologi dan Perumahan meliputi Transportasi, Peralatan Komunikasi, Peralatan
Konsumsi dalam Bentuk Wadah dan Pakaian dan Tempat Berlindung (3) nilai-nilai
pendidikan yang terungkap adalah nilai vitalitas dan kehidupan, nilai spiritual atau
keagamaan, nilai moral yang positif dan negatif dan nilai budaya.
Kata Kunci: Pendekatan, Sosiologi Sastra, Nilai Pendidikan
commit to user
xiv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
ANJAR SETIANINGSIH. S841008004. 2011. SOSIOLOGI SASTRA DAN NILAI
PENDIDIKAN PADA NOVEL NEGERI LIMA MENARA KARYA AHMAD FUADI.
First Advisors Prof. Dr. Herman J. Waluyo M.Pd. second mentors Dr.Andayani,
M.Pd. Thesis: Education Indonesian Studies Program in Graduate Program of Sebelas
Maret University of Surakarta.
This study explains and describes (1) views of the author against Madani
Cottage (2) the sociology of literature which was revealed at the novel and (3)
educational value contained in the Negeri Lima Menara novels. Novel set in
education at the cottage is quite interesting to examine through sociological approach
to literature, which is about the struggle of six boys who studied in Pondok Madani
and the country vying to paint his dream in the sky.
This study is a qualitative research, which using qualitative descriptive
methods. The research data is the form of a novel form of documentation. The
technique used is footage of purposive sampling, the samples represent the
information. Data collection techniques examine documents through content analysis.
Test data validation using triangulation of data / sources, triangulation theory and the
theory of the method.
Analysis technique used is an interactive data analysis that includes three
components, namely data reduction, data presentation, and conclusions.
This study concludes (1) views of the author of the novel, (2) aspects of the
sociology of literature in the novel which include: a. Religions systems of belief
systems, value systems and views of Life and Religious Communication; b. Civic or
social organization system which includes Kinship, Association or Society and
Knowledge Systems; c. Oral language includes Minang Language, Arabic and
English, and the written are Arabic and English; d. Art covers calligraphy And
Building; e. Livelihood System of Teachers and Employees of Local Government; f.
Life Or Equipment Systems Technology and Housing include Transportation,
Communications Equipment, Appliances Consumption in the form of container,
Clothing and Shelter (3) educational values expressed are the vitality and life,
spiritual or religious values, moral values, and positive and negative cultural values.
Keywords: Approaches, Sociology of Literature, Values Education
commit to user
xv
1
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sastra merupakan sebuah karya seni. Sastra adalah hasil kegiatan
kreativitas seorang sastrawan. Sebuah karya sastra mencerminkan berbagai
masalah kehidupan manusia. Karya sastra dapat berinteraksi dengan lingkungan,
sesama manusia dan dengan Tuhannya.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2010:307) bahwa imajinasi dalam karya
sastra adalah imajinasi yang didasarkan atas kenyataan, imajinasi yang juga
diimajinasikan orang lain. Karya sastra tidak hanya berupa imajinasi saja,
melainkan berupa penghayatan dan perenungan secara sadar. Karya sastra hasil
sebuah imajinasi yang didasari atas kesadaran yang menghasilkan kreativitas
sebagai karya seni. Karena sebagai hasil imajinasi, karya sastra menciptakan
dunia sendiri. Meskipun kita juga menyadari tidak jarang karya sastra yang
menyajikan sebuah konteks realitas sosial.
Karya sastra sebagai hasil imajinasi, tidak hanya berguna sebagai hiburan
yang menyenangkan saja. Karya sastra juga berguna untuk menambah
pengalaman bagi pembaca.Lukens dalam Burhan Nurgiyantoro (2010 : 3)
mengatakan bahwa sastra memberikan dua hal utama, yaitu kesenangan dan
pemahaman. Sastra hadir kepada pembaca pertama-tama adalah memberikan
hiburan, hiburan yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang menarik,
commitfantasi,
to usermembawa pembaca ke suatu alur
mengajak pembaca untuk memanjakan
1
perpustakaan.uns.ac.id
2
digilib.uns.ac.id
kehidupan yang penuh daya suspens, daya yang menarik hati pembaca untuk ingin
tahu dan merasa terikat emosinya sehingga ikut larut dalam cerita, dan
kesemuanya itu di kemas dalam bahasa yang menarik
Meskipun sebuah karya imajinatif, karya sastra menampilkan suatu
gambaran kehidupan. Kehidupan itu sendiri merupakan kejadian yang nyata
dalam kehidupan sosial dan kultural (sosial and cultural facts). Kehidupan itu
diwarnai oleh sikap, latar belakang dan keyakinan pengarang. Persoalan atau
peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat akan terjadi sepanjang masa. Artinya
terjadi pada masyarakat yang berbeda-beda menurut zaman. Bukan hanya
sekarang, melainkan terjadi pada setiap zaman. Persoalan itu juga akan
mempengaruhi kreativitas pemikiran seorang pencipta karya sastra, sehingga
memungkinkan muncul konflik atau ketegangan batin tersebut dalam bentuk
karya sastra.
Luxemburg (1984: 23) memaparkan bahwa sastra yang ditulis pada suatu
kurun waktu tertentu berkaitan dengan norma-norma dan adat istiadat zaman itu.
Selain itu, sastra juga menggambarkan suatu kebudayaan yang tumbuh dalam
lingkungan masyarakat yang diangkat untuk menjadi ciri yang ditonjolkan dalam
karya tersebut. Di samping mengekspresikan dan mengemukakan persoalan hidup
yang terjadi, pengarang juga mengajak pembaca untuk ikut memecahkan
persoalan kehidupan. Karya satra tercipta karena adanya keinginan dari pengarang
dalam mengungkapkan kreativitasnya yang dituangkan melalui pola berpikir, ide,
gagasan, pesan dan prinsip yang berasal dari imajinasi dan realitas sosial budaya
pengarang serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaianya. Pencipta
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3
digilib.uns.ac.id
sastra merupakan warga masyarakat yang dengan sengaja atau tidak sengaja
mencurahkan masalah kehidupan manusia dan masyarakat sebagai objek yang
dituangkan sebuah karya sastra. Karya sastra juga dipengaruhi oleh letak
geografis, adat istiadat yang menjadi objek kajian dan biasanya disesuaikan
dengan zaman yang ada.
Burhan Nurgiyantoro (2010:14) mengemukakan sastra dewasa dibagi
dalam tiga besar genre yaitu puisi, fiksi dan drama dengan masing-masing
memiliki subgenre. Untuk kajian prosa atau fiksi di Indonesia di bagi menjadi tiga
macam yaitu novel, cerpen dan roman. Novel merupakan karya rekaan yang
menggambarkan kehidupan, adat-istiadat, aturan serta budaya dalam suatu
masyarakat tertentu. Novel merupakan karya rekaan atau fiksi yang memberikan
gambaran aspek-aspek kehidupan yang dikemas dalam gaya bahasa yang
memikat. Kehidupan dalam sebuah novel digambarkan melalui tokoh,
perwatakan, setting, alur dan unsur instriksik lainnya. Dalam menyampaikan
keanekaragaman kebudayaan dan suatu ajaran atau nilai didikan kepada para
pembaca digambarkan dengan bahasa yang baik sehingga pembaca bisa
memahami novel tersebut.
Rene Wellek dan Austin Warren (1993:316) menjelaskan bahwa
sepanjang sejarah, orang telah tertarik dan mengganggap sastra lisan maupun
cetakan bernilai positif. Novel merupakan karya sastra yang memberikan nilai
positif bagi pembaca. Novel juga mengungkapkan kehidupan sosial untuk
mempelajari manusia pada zamannya. Novel yang memiliki kualitas baik
merupakan hasil rekaan dan polesan oleh penulisnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
4
digilib.uns.ac.id
Novel Negeri Lima Menarakarya Ahmad Fuadi yang diterbitkan tahun
2009 dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mengetahui sosiologi sastra dan nilainilai pendidikan yang terkandung dalam novel tersebut. Novel Negeri Lima
menara mempunyai masalah-masalah kehidupan sosial budaya yang berasal dari
daerah masing-masing oleh para tokoh. Novel Negeri Lima menarajuga memiliki
nilai positif yaitu penjelasan nilai keteladanan dalam sebuah lembaga pendidikan
sehingga bisa dijadikan panutan bagi pembaca. Novel Negeri Lima menara karya
Ahmad Fuadi dipilih karena memiliki beberapa kelebihan baik dari segi isi atau
bahasanya dibandingkan novel yang lain.
Novel-novel lain yang mempunyai masalah-masalah sosial yaitu novel
Singkar karya Siti Aminah tahun 2008 dari Yogyakarta yang menceritakan
tentang masalah politik, pergerakan mahasiswa dan masalah rumah tangga, Novel
Para Priyayi karya Umar Kayam bercerita tentang seorang anak dari keluarga
buruh tani yang oleh orang tua dan sanak saudaranya diharapkan dapat menjadi
“sang pemula” untuk membangun dinasti keluarga priyayi kecil, Novel Di Kaki
Bukit Cibalak karya Ahmad Tohari yang menggambarkan keadaan sosial
masyarakat Jawa Tengah, pada salah satu desa kecil bernama Desa Tanggir tahun
70-an dan lain-lain.
Novel Negeri Lima menara karya Ahmad Fuadi menggambarkan tentang
kisah seorang anak dari Kabupaten Agam, Bukittinggi yang melanjutkan sekolah
ke Pondok Madani di Jawa Timur. Keinginan masuk ke Podok Madani ini atas
permintaan ibunya. Yang menarik setelah masuk ke Pondok Madani, ia terkesan
dengan mantra dari kiayinya yaitu man jadda wa jadda, artinya bahwa siapa yang
commit to user
5
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersungguh-sungguh akan berhasil, kedisiplinan yang kuat, persabatan yang tak
pernah putus walau jarak memisahkan, dan cita-cita yang didasari dengan
keyakinan yang kuat. Kisah ini diperankan oleh enam anak yang berasal dari
berbagai daerah di Indonesia.
Latar pesantren yang kuat dengan kedisiplinan menjadi latar cerita yang
memikat dan memberikan nilai lebih bagi pembaca. Hal ini mengajarkan tentang
pergaulan yang kuat, mandiri, belajar keras dan sampai pada belajar menjadi
seorang pemimpi yang sejati. Kelebihan lain adalah gaya bahasa yang lugas dan
mudah dipahami serta pencitraan dalam novel Negeri Lima menara mudah
diekspresikan dan diinterprestasikan.
Adapun alasan diangkatnya sosiologi sastra dan nilai-nilai pendidikan
sebagai kajian karena novel Negeri Lima menara memiliki kelebihan tersendiri.
Apalagi didukung masalah kehidupan sosial yang terjadi selama di dalam
pesantren. Nilai pendidikan terlihat pada segala sesuatu yang terlihat melalui
proses pendidikan. Baik bentuk pengalaman di menara, tatap muka di kelas dan
hukuman yang dijatuhkan pada setiap anak yang melanggar peraturan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :
1. Bagaimanakah pandangan pengarang terhadap Pondok Madani dalam
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi?
commit to user
6
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Bagaimanakah aspek sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi?
3. Bagaimana nilai-nilai pendidikan yang terdapat dalam novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mendeskripsikan dan menjelaskan pandangan pengarang terhadap Pondok
Madani dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
2. Mendeskripsikan dan menjelaskan aspek sosial budaya yang terdapat
dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
3. Mendeskripsikan dan menjelaskan nilai-nilai pendidikan yang terdapat
dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Memberi sumbangan bagi penelitian sastra khususnya dalam pengkajian
novel sebagai salah satu genre sastra.
b. Menambah wawasan tentang pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai
pendidikan khususnya novel yang nantinya dapat diterapkan atau menjadi
referensi untuk meneliti dan mengkaji novel yang lain.
c. Hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi perkembangan dan penerapan
commit
to karya
user sastra.
ranah ilmu sastra serta studi
tentang
7
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
2. Manfaat Praktis
a. Bagi Guru
Hasil penelitian ini mendeskripsikan sosiologi sastra dan nilai-nilai
pendidikan dalam novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Guru
dapat mengajarkan nilai-nilai tersebut dapat dijadikan teladan bagi siswa
dalam menghadapi serta menyikapi setiap permasalahan yang terjadi
dalam kehidupan.
b. Bagi Siswa
Menambah perbendaharaan tentang kajian terhadap novel terutama
pengkajian nilai sosiologi sastra dan nilai pendidikan yang merupakan
salah satu materi ajar pada Pembelajaran Sastra.
c. Membantu pembaca atau penikmat sastra dalam menginterpretasikan
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sehingga pemaknaan
terhadap karya sastra akan lebih terarah.
commit to user
8
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Landasan Teori
1. Hakikat Novel
a. Pengertian Novel
Novel merupakan salah satu bentuk karya sastra yang sekaligus disebu
sebagai fiksi. Istilah novel berasal dari kata novella yang berasal dari bahasa
Italia. Menurut Abrams (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 9), secara harafiah
novella berarti sebagai sebuah barang baru yang kecil yang kemudian diartikan
sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Abrams (1971: 110) menjelaskan bahwa
“Novel is term novel is now applied to great variety of writings that have
in common only the attribute of being extended works of prose fiction. As an
extended narrative, the novel is distinguished from the short story and from the
work of midlle length called thenovelette. “
Abrams menjelaskan bahwa novel adalah istilah novel sekarang
diterapkan untuk berbagai macam tulisan yang berbentuk suatu karangan yang
berupa prosa fiksi. Karangan tersebut berupa cerita pendek dan prosa. Fiksi
adalah cerita rekaan atau dibuat-buat, sedangkan yang termasuk fiksi adalah
novel dan cerpen. Namun kadangkala fiksi juga sering digunakan sinonim dari
novel.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 9-10) memaparkan bahwa dewasa ini istilah
novella atau novelle mengandung pengertian yang sama dengan istilah Indonesia,
commit
user yang panjangnya cukupan, tidak
novellet yang berarti sebuah karya
prosatofiksi
8
9
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terlalu panjang namun juga tidakterlalu pendek. Meskipun dengan panjang yang
cukupan tersebut.
Hal ini selaras dengan apa yang disampaikan oleh Stamm dalam Journal
of College &Character Volume X, NO. 7, November 2009:
The possibilities of using this novel in courses on student development to make the
understanding of identity development become more alive than through the more
usual scholarly analyses. Given the emerging understanding of today’s
millennium generation of college students, are particularly appropriate. Pop
culture has played an educative role in the lives of the Millennial Generation. In
thinking about novels as ethnographies of the college experience, both that of
faculty as well as students, the possibilities are even more extensive, as
exemplified by the previous illustrations. Comparison of academic novels from
different time periods, for example, might serve to amplify other studies of the
history and foundations of higher education. (Stamm, 2009: 2)
Berdasarkan pendapat di atas diharapkan novel mampu memberikan
pencerahan dan penyadaran kepada pelajar agar mereka dapat hidup
bermasyarakat dengan baik, saling menyadari perbedaan, dan lebih toleran kepada
masyarakat luas.Novel memberikan pelajaran kehidupan bagi pelajar. Hal ini akan
menjadi bekal bagi pelajar dalam memasuki kehidupan bermasyarakat nantinya.
Menurut Herman J. Waluyo (2002: 37) dalam novel terdapat 3 hal, antara
lain: (1) perubahan nasibdari tokoh cerita; (2) ada beberapa episode dalam
kehidupan tokoh utamanya; (3)biasanya tokoh utama tidak sampai mati.
Sejalan dengan pendapat di atas, Henry Guntur Tarigan (1993:165)
menyimpulkan berbagai definisi novel yang telah dipaparkan oleh para ahi teori
sastra, antara lain: (a) novel bergantung pada tokoh; (b) novel menyajikan lebih
dari satu impresi; (c) novel menyajikan lebih dari satu efek; dan (d) novel
menyajikan lebih dari satu emosi.
commit to user
10
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dengan kata lain, novel merupakan salah satu bentuk fiksi dalam bentuk
prosa yang memiliki panjang cukupan dalam arti tidak terlalu panjang dan juga
tidak terlalu pendek serta di dalamnya terkandung 3 hal yang berkaitan dengan
isicerita novel, antara lain: (1) perubahan nasib tokoh cerita; (2) ada beberapa
episode dalam kehidupan tokoh utamanya; (3) biasanya tokoh utama yang
diceritakan tidak sampai mati. Secara garis besar, novel merupakan sebuah
karangan yang memaparkan ide, gagasan atau khayalan dari penulisanya.
Hal tersebut sejalan dengan definisi novel yang terdapat di dalam The
American College Dictionary (dalam Henry Guntur Tarigan,1993: 120) novel
adalah (1) cabang dari sastra yang menyusun karya-karya narasi imajinatif,
terutama dalam bentuk prosa; (2) karya-karya dari jenis ini, seperti novel/
dongeng-dongeng; (3) sesuatu yang diadakan, dibuat-buat atau diimajinasikan,
suatu cerita yang disusun.
Sementara itu menurut Orr dalam Journal of European Studies.Volume, 9
No. 36 bahwa tujuan novel adalah penyadaran terhadap realitas.
Intended as an original contribution to the sociology of the novel. It is is
concerned with the destiny of the modern novel itself. This destiny would appear
to the needful resuscitation of tragic realism after its demise with or around,
Orwell. (Orr, 1977: 304-305).
Orr (1977 :304-305) pada pernyataan di atas mengatakan bahwa kontribusi
asli untuk sosiologi pada novel. Hal ini berkaitan dengan novel modern tersebut.
Misalnya seperti hal yang diperlukan dalam peristiwa yang tragis, kematian atau
kejadian yang terjadi di sekitar kita.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
11
digilib.uns.ac.id
Selanjutnya tidak jauh berbeda dengan definisi di atas, Brooks (dalam
Henry Guntur Tarigan, 1993: 120) mendefinisikan fiksi sebagai sebuah bentuk
penyajian ataucara seseorang memandang hidup ini. Jadi karya fiksi memang
bukan nyata, tetapikarya sastra juga bukan kebohongan karena fiksi adalah suatu
jenis karya sastra yang menekankan kekuatan kesastraannya pada daya
penceritaannya. Karya sastra bukan hanya sebuah khayalan semata, tetapi juga
merupakan sebuah refleksi dari suatu hal yang dirasakan, dilihat, bahkan mungkin
juga dialami oleh penulis.
Sedikit berbeda dengan beberapa pendapat di atas, Goldmann (dalam
Faruk, 2010: 29) mendefinisikan novel sebagai cerita tentang suatu pencarian
yang terdegradasi akan nilai-nilai yang otentik yang dilakukan oleh seorang hero
yang problematik dalam sebuah dunia yang juga tergradasi. Nilai-nilai otentik
yang dimaksud tersebut adalah nilai-nilai yang terkandung di dalam sebuah novel
yang dapat mengorganisasikan sebuah novel secara keseluruhan meskipun tidak
tertuang secara eksplisit.
Atar Semi (1993: 32) juga memaparkan pendapat yang tidak jauh berbeda
dengan pendapat-pendapat di atas, bahwa novel mengungkapkan suatu
konsentrasi kehidupan pada suatu saat yang tegang dan pemusatan kehidupan
yang tegas. Dalam hal ini novel lebih mengungkapkan aspek-aspek kemanusiaan
yang lebih mendalam dan disajikan dengan lebih halus. Pendapat tersebut dapat
diartikan bahwa sebuah novel merupakan suatu hasil imajinasi penulis yang
menggambarkan refleksi kehidupan tokoh dan segala masalah yang menyertainya
secara utuh dengan berbagai nilai yang turut membangun kelengkapan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
12
digilib.uns.ac.id
sebuahcerita. Nilai-nilai yang terkandung di dalam novel tersebut tidak
dituangkan secara eksplisit oleh penulisnya dan nilai tersebut pada akhirnya dapat
diambil oleh pembaca sebagai sebuah pelajaran yang mungkin bermanfaat untuk
kehidupannya.
Novel merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat
artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur,
yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling
menguntungkan. Unsur-unsur tersebut turut membangun sebuah novel yang
kemudian membentuk sebuah totalitas tersebut. Secara tradisional, unsur-unsur
pembangun novel dapat dibedakan menjadi dua bagian walaupun tidak
sepenuhnya terpisah, unsur tersebut adalah unsur intrinsik dan ekstrinsik (Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 23).
Mengenai segi unsur dari dalam novel yang turut membangun jalinan
keutuhan sebuah novel, Burhan Nurgiyantoro (2002: 4) memaparkan bahwa novel
merupakan sebuah karya fiksi yang menawarkan sebuah dunia yang imajiner,
dunia yang diharapakan menjadi model kehidupan yang nyata yang dibangun
melalui berbagai unsur intrinsik, seperti plot, setting, peristiwa, tokoh, tema, dan
sudut pandang.
Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa novel adalah sebuah
karya sastra yang berisi tentang rangkaian cerita yang memaparkan ide, gagasan,
maupun khayalan penulisnya. Akan tetapi, novel tidak hanya khayalan semata,
novel juga memaparkan tentang refleksi dari suatu hal yang dilihat, dirasa, bahkan
mungkin juga dialami oleh penulisnya. Keterjalinan cerita dan kesempurnaan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
13
digilib.uns.ac.id
sebuah novel dapat dilihat dari beberapa unsur yaitu unsur intrinsik yang terdiri
dari alur, penokohan, setting, tema, dan sudut pandang serta unsur ekstrinsik yang
berupa latar belakang pengarang, amanat, dan berbagai unsur lain yang turut
membangun sebuah novel hingga novel tersebut dapat dengan mudah dipahami
oleh para penikmatnya.
b. Jenis-Jenis Novel
Menurut Burhan Nurgiyantoro (2002: 16), novel terdiri dari dua macam
yaitu novel serius dan novel populer. Pembedaan novel tersebut sering mengalami
kekaburan makna. Hal ini disebabkan karena pembedaan tersebut cenderung
mengarah pada subjektifitas penikmat sastra. Para penikmat sastra beranggapan
bahwa novel yang ditulis oleh beberapa penulis tertentu dan penerbit tertentu yang
sering menerbitkan karya sastra yan cenderung “berat” kadar kesastraannya.
Novel serius merupakan novel yang mengandung unsur sastra yang kental. Novel
ini juga harus sanggup memberikan hal yang serba mungkin terjadi, dan itulah
makna dari sastra yang sastra.
Pada umunya novel serius mengandung tujuan yang tersirat didalamnya
untuk memberikan pengalaman yang berhargabagi pembaca, setidaknya novel
tersebut mampu mengajak pembacanya untuk meresapi dan merenungkan
masalah yang diangkat oleh sebuah novel (Burhan Nurgiyantoro, 2002: 18-19).
Dengan demikia, novel serius lebih mengarah pada suatu bentuk karya yang di
dalamnya terdapat sebuah pelajaran berharga yang dapat diambil oleh para
penikmat sastra melalui pemahaman yang mendalam.
commit to user
14
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Burhan Nurgiyantoro (2002: 18) mendefinisikan novel popular sebagai
novel yang popular pada masanya dan banyak penggemarnya, khususnya
pembaca
di
kalangan
remaja.Namun,
novel
popular
hanya
bersifat
sementara,cepat ketinggalan zaman, dan tidak dapat memaksa pembacanya untuk
membaca sekali lagi novel tersebut.Selain itu, novel popular juga cepat
ditinggalkan oleh pembacanya setelah muncul novel yang lebih baru dan popular
(Burhan Nurgiyantoro, 2002: 16). Novel ini menampilkan masalah-masalah yang
aktual dan selalu menzaman namun hanya sampai pada tingkat permukaan saja,
tidak menampilkan permasalahan kehidupan secara lebih mendalam atau dengan
katalain tidak berusaha meresapi hakikat kehidupan. Apabila hal tersebut terjadi
dalam penulisan novel popular maka novel akan menjadi lebih berat, menjadi
novelserius, dan bisa dimungkinkan akan ditinggalkan oleh pembacanya.
Sesuai dengan teori Lukacs, Goldmann (dalam Faruk, 2010: 31) membagi
novel menjadi tiga jenis, yaitu novel idealisme abstrak, novel psikologi, dan novel
pendidikan. Novel jenis pertama menampilkan sang hero yang penuh optimisme
dalam petualangan tanpa menyadari kompleksitas dunia. Dalam novel jenis kedua
sang hero cenderung pasif karena keluasan kesadarannya tidak tertampung oleh
dunia fantasi. Sedangkan dalam novel jenis ketiga sang hero telah melepaskan
pencariannya akan nilai-nilai yang otentik.
Di pihak lain Goldmann (dalam Nyoman Kutha Ratna, 2011: 126), yang
memandang karya sastra dalam kapasitas sebagai manifestasi aktivitas kultural,
mengungkapkan bahwa novellah karya sastra yang berhasil merekonstruksi
struktur mental dan kesadaran sosial secara memadai, yaitu dengan cara
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
15
digilib.uns.ac.id
menyajikannya melalui tokoh-tokoh dan peristiwa. Penggunaan tokoh-tokoh
imajiner juga merupakan salah satu keunggulan novel dalam usaha untuk
merekonstruksi dan memahami gejala sosial, perilaku impersonal, termasuk
peristiwa-peristiwa historis (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 127).
Kita harus membedah struktur yang dimiliki suatu karya sastra untuk
memahaminya, khususnya novel. A. Teeuw (dalam Herman J. Waluyo, 2002: 5960) menyebutkan bahwa sebuah sistem sastra memiliki tiga aspek: pertama
eksterne strukturrelation, yaitu struktur yang terikat oleh sistem bahasa pengarang
terikat oleh bahasa yang dipakainya; kedua interne strukturrelation, yaitu struktur
dalam bagian-bagiannya saling menentukan dan saling berkaitan; dan ketiga
model dunia sekunder, yaitu model dunia yang dibangun oleh pengarang, dunia
fantasi atau dunia imajinasi.
Wellek dan Warren (1993: 75-130) menyebutkan adanya empat faktor
ekstrinsik yang saling berkaitan dengan makna karya sastra, yaitu biografi
pengarang, psikologis, sosial budaya masyarakat dan filosofis. Untuk memahami
sebuah novel, harus dilakukan pembedahan struktur yang dimiliki Kenney (1966:
6-7) berpendapat,
“To analyze a literary work is to identify the sparate parts that make it up
(this correspondsroughly to the notion of tearing it to pieces), to determine
the relationships among the parts, and to discover the relation of the parts,
to the whole. The end of the analysis is always the understanding of the
literary work as a unified and complex whole”.
Dari pendapat Kenney (1966:6-7) dijelaskan bahwa menganalisis sebuah
karya sastra dengan mengidentifikasi bagian-bagian karya yang membentuk,
dengan menentukan hubungan antar bagian-bagian, dan menemukan antar bagiancommit to user
16
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bagian secara keseluruhan. Analisis akhir suatu pemahaman karya sastra sebagai
satu kesatuan yang utuh dan kompleks.
Fiksi modern di bagi menjadi tiga golongan besar yaitu, bacaan hiburan,
cerita
dengan
kecenderungan
konvensional,
dan
fiksi
modern
dengan
kecenderungan inkonvensional. Bacaan hiburan berfungsi sebagai sarana hiburan
bagi pembacanya. Pembagian cerita dengan kecenderungan konvensional dan
inkonvensional tersebut berkaitan dengan konvensi unsur-unsur intrinsik sastra.
Konvensional merupakan cerita yang masihberpegang pada aturan atau konvensi
sastra yang ada, sedangkan inkonvensional tidak berpegang dan bahkan
menyimpang dari konvensi atau aturan sastra yang telah ada. Pembedaan tersebut
sedikit berbeda dengan kategorisasi yang dilakukanoleh Goldmann.
Lubis (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:165-166) mengkategorikan
novel menjadi beberapa jenis, antara lain roman avontur, roman psikologis, roman
detektif, roman sosial, roman politik, roman kolektif. Terdapat sedikit perbedaan
dari pengkategorian di atas adalah pembagian yang ada dalam Ensiklopedia
Indonesia (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993: 166), yaitu romansosial, roman
bersejarah, roman tendens, roman keluarga, roman psikologis.
Berdasar pada berbagai pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa secara
garis besar novel terbagi menjadi dua, yaitu novel serius dan novel popular. Novel
serius merupakan sebuah karya sastra yang memiliki kadar kesastraan yang tinggi
dan membutuhkan suatu pemahaman yang lebih untuk dapat memahaminya.
Novel serius cenderung mengangkat tema-tema yang lebih “berat”, seperti tema
tentang politik, pendidikan, psikologi, dan lai-lain.Novel popular merupakan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
17
digilib.uns.ac.id
sebuah karya sastra yang berfungsi sebagai sebuah sarana hiburan.Meskipun
hanya sebagai sebuah sarana hiburan, novel popular tak lantas mengabaikan
konvensi-konvensi sastra yang ada.Novel popular tetap mengindahkan konvensi
sastra yang ada dan juga memiliki nilai estetis yang dapat dinikmati oleh pembaca
dan nilai pedagogis yang dapat dipetik oleh pembaca. Untuk memahaminya pun
pembaca tidak membutuhkan pemikiran yang lebih.
c.
Unsur-Unsur Novel
Jakob Sumarjo (1982:11) mencantumkan unsur-unsur fiksi (novel) sebagai
berikut: (1) plot atau alur; (2) kerakter atau penokohan; (3) tema; (4) setting atau
latar; (5) suasana; (6) gaya; dan (7) sudut pandang penceritaan.
Berbeda dengan pendapat di atas, Zainuddin Fanani (2000 : 84)
mendefinisikan bahwa unsur-unsur prosa dibagi menjadi: (1) Tema; (2)
Penokohan; (3) Plot; dan (4) Setting.
Lebih lanjut lagi akan dipaparkan satu persatu struktur tersebut:
1. Plot
Plot sering juga disebut alur. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka
awal hingga akhir yang merupakan jalinan konflik antara dua tokoh yang
berlawanan (Herman J. Waluyo, 2002: 8).
William Kenney (1966: 13-14) menyatakan:
“ plot reveals event to us, not only in their temporal, but also in
relationships. Plot makes us aware of events not merely as elements in
temporal series, but also as an intricate pattern of cause and effect”. “The
structure of plot to recognize this much, however.Is only a beginning. We
commit
to user
must consider in more specific
terms
the form this “arrangement” we call
18
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
plot is likely to take. For, underlying the evident diversity of fiction, we
may discern certain recurring patterns”.
Berpijak dari pendapat William Kenney (1966: 13-14) dapat dijelaskan
bahwa plot mengungkapkan suatu rencana, bukan hanya dalam duniawi penulis
tetapi juga dalam hal hubungan antar jalinan cerita.Plot merupakan peristiwa yang
tidak hanya sebagai elemen dalam seri temporal, tetapi juga sebagai pola sebab
akibat.
Alur/ Plot merupakan unsur fiksi yang penting, bahkan tidak sedikit orang
yang beranggapan bahwa alur merupakan unsur terpenting dalam sebuah cerita
diantara berbagai unsur fiksi yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh, kejelasan
alur sebuah cerita erat kaitannya dengan jalinan antarperistiwa yang disajikan oleh
penulis sehingga dapat membantu mempermudah pemahaman kita terhadap
ceritayang ditampilkan.Kejelasan alur berarti kejelasan cerita, kesederhanaan alur
berarti kemudahan cerita untuk dimengerti (Burhan Nurgiyantoro, 1995: 110).
Forster (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 113) mengemukakan bahwa
alur atau plot adalah peristiwa-peristiwa cerita yang mempunyai penekanan pada
adanya hubungan kausalitas. Hal tersebut sejalan dengan Stanton (dalam Burhan
Nurgiyantoro, 2002: 113) yang menyebutkan bahwa alur adalah cerita yang berisi
urutan kejadian, namun tiap kejadian itu hanya dihubungkan secara sebab akibat,
peristiwa yang satu disebabkan atau menyebabkan peristiwa yang lain.
Alur ada bermacam-macam, dilihat dari aspek urutan waktu terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam karya fiksi yang besagkutan atau lebih
tepatnya urutan penceritaan peristiwa-peristiwa yang ditampilkan, alur terbagi
menjadi:
commit to user
19
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1) Plot lurus/ progresif, alur/ plot sebuah novel dikatakan lurus atau progresif
apabila peristiwa-peristiwa yang dikisahkan bersifat kronologis, peristiwa –
peristiwa yang pertama diikuti oleh peristiwa atau meyebabkan terjadinya
peristiwa yang kemudian. Atau secara runtut cerita dimulai dari tahap awal,
yaitu penyituasian, pengenalan, pemunculan
konflik, tengah/ konflik
meningkat, klimaks, dan akhir/ penyelesaian (Burhan Nurgiyantoro, 2002:154).
2) Plot Sorot-balik/ Flash-back, Urutan kejadian yang disajikan dalam dalam
sebuah karya fiksi dengan alur regresif tidak bersifat kronologis. Cerita tidak
dimulai dari tahap awal melainkan mungkin cerita disuguhkan mulai dari
tengah atau bahkan dari tahap akhir, baru kemudian tahap awal cerita disajikan.
Karya sastra dengan jenis ini, langsung menyuguhkan konflik bahkan telah
sampai pada konflik yang meruncing (Burhan Nurgiyantoro,2002:154).Dalam
menyajikan sebuah alur cerita, penulis umumnya memiliki tahapan–tahapan
atau urutan penceritaan yang berbeda-beda.
Berikut ini tahapan alur yangdijabarkan oleh Tasrif dalam Mochtar Lubis
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002:149) yang membedakan tahapan plot menjadi
lima bagian, antara lain:
1) Tahap situation (penyituasian), yaitu tahap yang terutama berisi pelukisan dan
pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap
pembukaan cerita, pemberian informasi awal. Tahap ini berfungsi sebagai
landasan tumpu cerita yang akan dikisahkan;
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
20
digilib.uns.ac.id
2) Tahap generating circumstances (tahap pemunculan konflik), pada tahap ini
masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut konflik mulai
dimunculkan;
3) Tahap rising action (tahap peningkatan konflik), konflik-konflik yang
dimunculkan mulai berkebang atau dikembangkan kadar intensitasnya.
Peristiwa-peristiwa yang menjadi inti cerita mulai menegangkan;
4) Tahap climax (tahap klimaks), konflik dan atau pertentangan yang terjadi
padapara tokoh mulai mencapai puncaknya; dan
5) Tahap denouement (tahap penyelesaian), pada tahap ini konflik utama yang
telah mencapai klimaks mulai diberi jalan keluar begitu juga dengan konflikkonflik tambahan yang lain juga mulai diberi jalan keluar.
Dari berbagai teori di atas dapat disimpulkan bahwa alur atau plot adalah
rangkaian peristiwa yang disajikan secara kronologis oleh pengarang mulai dari
tahap awal atau tahap pegenalan tokoh, pemunculan konflik hingga konflik
tersebut dapat diselesaikan.
2. Perwatakan atau Penokohan
Penokohan adalah pelukisan tokoh atau pelaku cerita melalui sifat-sifat,
sikap dan tingkah lakunya dalam cerita (Zulfahnur, dkk., 1996: 29). Pengertian
penokohan tersebut, menurut Panuti Sudjiman (dalam Zulfahnur, dkk., 1996: 29)
merupakan individu rekaan berwujud atau binatang yang mengalami peristiwaatau
lakuan dalam cerita. Manusia yang menjadi tokoh dalam certa fiksi dapat
berkembang perwatakannya baik dari segi fisik maupun mentalnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
21
digilib.uns.ac.id
Wellek danWarren (dalam Henry Guntur Tarigan, 1993:133-134),
menyatakan ada beberapa cara yang digunakan pengarang untuk melukiskan rupa,
watak, dan pribadi para tokoh,yaitu: (1) Physical description, yaitu melukiskan
bentuk lahiriah tokoh yang dilakukanoleh pengarang; (2) Portroyal of througth
streem or of conscious though, yaitu pelukisan jalan pikiran pelakon atau tokoh
atau apa yang terlintas dalam pikiran pengarangnya; (3) Reaction of events, yaitu
pengarang melukiskan bagaimana reaksi tokoh ataulakon terhadap kejadian yang
ada; (4) Direct author analisys, yaitu pengarang menganalisis watak tokoh atau
lakon secara langsung; (5) Discussion of environment, yaitu pengarang
melukiskan keadaan sekitar lakonatau tokoh. Misalnya, melukiskan keadaan
kamar, sehingga pembaca akan memperoleh kesan secara jelas terhadap tokoh
yang ada; (6) Reaction of others about character, yaitu pengarang melukiskan
bagaimanapandangan-pandangan pelakon lain dalam suatu cerita terhadap
pelakon utama; dan (7) Conversation of others about character, yaitu pelakon
atau tokoh yang laindalam suatu carita memperbincangkan keadaan pelakon
utama dengan demikian maka secara tidak langsung pembaca mendapat kesan
tentang segala sesuatu mengenai pelakon utama.
Herman J. Waluyo (2002: 16) mengklasifikasikan tokoh menjadi beberapa
macam yaitu, pertama berdasar peranannya terhadap jalan cerita, terdapat tokohtokoh yaitu, tokoh protagonis, yaitu tokoh yang mendukung cerita. Biasanya ada
satu atau dua tokoh protagonis utama yang dibantu oleh tokoh-tokoh lain yang
ikut terlibat sebagai pendukung cerita; tokoh antagonis, yaitu tokoh penentang
cerita biasanya ada seorang tokoh utama yang menentang cerita, dan beberapa
commit to user
22
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
figur pembantu yang ikut menentang cerita; dan tokoh tritagonis, yaitu tokoh
pembantu baik untuk tokoh protagonist maupun tokoh antagonis.
Kedua berdasarkan peranannya dalam lakon serta fungsinya, terdapat
tokoh-tokohyaitu, tokoh sentral, yaitu tokoh-tokoh yang paling menentukan gerak
lakon. Tokoh sentral merupakan biang keladi dari pertikaian.Tokoh sentral adalah
tokoh protagonis maupun antagonis; tokoh utama, yaitu tokoh pendukung atau
tokoh penentang tokoh sentral.Bisa juga sebagai medium atau perantara tokoh
sentral.Dalam hal inimerupakan tokoh tritagonis; dan tokoh pembantu, yaitu
tokoh-tokoh yang memegang peran pelengkapdalam mata rangkai cerita.
Ketiga hubungan antartokoh. Penokohan dan perwatakan mempunyai
hubungan yang sangat erat karena kedua unsur tersebut berada pada objek yang
sama yaitu tokoh atau suatu peran.Penokohan yang baik adalah yang dapat
menggambarkan tokoh-tokoh dan mengembangkan watak dari tokoh-tokoh
tersebut yang mewakili tipe-tipe manusia yang dikehendaki tema dan amanat.
Perkembangannya haruslah wajar dan dapat diterima berdasarkan hubungan
kausalitas. Penggambaran perwatakan dari tokoh-tokoh cerita disebut sebagai
penokohan.
Pengenalan tokoh dalam suatu cerita, menurut Jakob Sumardjo dan Saini
K. M. (1994:65), ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk memahami
karakter tokoh-tokoh dalam cerita, yaitu : (1) melalui apa yang diperbuatnya; (2)
melalui ucapan-ucapannya; (3) melalui gambaran fisik tokoh; (4) melalui pikiranpikirannya; (5) melalui penerangan langsung dari pengarang.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
23
digilib.uns.ac.id
Watak para tokoh digambarkan dalam tiga dimensi (watak dimensional),
dan penggambaran itu berdasarkan keadaan fisik, psikis, dan sosial (fisiologis,
psikologis, dan sosiologis) (Herman J. Waluyo, 2002 : 17). Yang termasuk dalam
keadaan fisik tokoh adalah: umur, jenis kelamin, ciri-ciri tubuh, cacat jasmaniah,
ciri khas yang menonjol, suku, bangsa, raut muka, kesukaan, tinggi/pendek, kurus
/gemuk, suka senyum/cemberut, dan sebagainya. Keadaan psikis meliputi watak,
kegemaran, mentalitas, standar moral, tempramen, ambisi, kompleks psikologi
yang dialami, keadaan emosinya dan sebagainya. Keadaan sosiologis meliputi
jabatan, pekerjaan, kelas sosial, ras, agama, ideologi, dan sebagainya.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penokohan adalah
watak tokoh yang berupa perilaku, ucapan maupun kebiasaan. Hubungan
antartokoh dapat dilihat dari perwatakan atau penokohan yang digambarkan oleh
pengarang. Dari penokohan tersebut akan tergambar tentang perilaku, cara
bicara,dan sikap dari para tokoh yang kemudian dapat digunakan untuk
menganalisis.
3. Tema
Tema/ theme, menurut Stanton (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67)
adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Pendapat yang sama juga
disampaikan oleh Kenny (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 67) yang juga
menyatakan bahwa tema (theme) adalah makna yang dikandung oleh sebuah
cerita. Lebih rinci lagi, Hartoko dan Rahmanto (dalam Burhan Nurgiyantoro,
2002: 67) mendefinisikan tema sebagai gagasan dasar umum yang menopang
commit to user
24
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam sebuah teks sastra sebagai
struktur semantik dan yang menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaanperbedaan.
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diungkapkan oleh
Zulfahnur, dkk. (1996: 25) yang menyatakan bahwa tema adalah ide sentral yang
mendasari sebuah cerita, tema mempunyai tiga fungsi, yaitu: sebagai pedoman
bagi pengarang dalam menggarap cerita; sasaran atau tujuan penggarapan cerita:
dan mengikat peristiwa-peristiwa cerita dalam satu alur. Tema merupakan
maknakeseluruhan
yang
didukung
cerita,
dengan
sendirinya
ia
akan
“tersembunyi” dibalik cerita yang mendukungnya. Oleh karena itu, untuk
menemukan tema dari sebuah cerita, haruslah disimpulkan terlebih dahulu
keseluruhan cerita, tidak hanya berdasarkan bagian-bagian tertentu dari sebuah
cerita.
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung dalam drama. Tema
berhubungan dengan premis dari prosa tersebut yang berhubungan pula dengan
nada dasar dari sebuah prosa dan sudut pandangan yang dikemukakan oleh
pengarangnya (Herman J. Waluyo, 2002: 24). Mengenai premis, ia juga
mengemukakan bahwa premis dapat juga disebut sebagi landasan pokok yang
menentukan arah tujuan lakon yang merupakan landasan bagi pola konstruksi
lakon.
Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa tema atau theme
adalah ide pokok dari sebuah cerita yang mengandung makna dari sebuah cerita
yang pada umunya tekandung secara tersirat, maka untuk menyimpulkan tema
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
25
digilib.uns.ac.id
dari sebuah karya fiksi haruslah menyimpulkannya secara keseluruhan terlebih
duhulu, melalui tema pula sebuah cerita dikembangkan oleh penulisnya.
4.
Setting atau Latar
Setting sering juga disebut latar cerita. Asul Wiyanto(2004: 28).
berpendapat bahwa setting adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu
adegan.Latar adalah situasi tempat, ruang dan waktu terjadinya cerita.Tercakup di
dalamnya lingkungan geografis mulai dari rumah tangga, pekerjaan, benda-benda
dan alat-alat yang berkaitan dengan tempat terjadinya peristiwa cerita waktu,
suasana dan periode sejarah (Zulfahnur, dkk., 1996: 37).
Pendapat tersebut sejalan dengan pendapat yang diugkapkan oleh Abrams
(dalam Burhan Nurgiyantoro, 2002: 216) landas tumpu, menyaran pada
pengertian tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan. Latar atau setting yang
disebut juga sebagai landas tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang
diceritakan.
Ada empat bagian penyusun setting menurut William Kenney(1966:40),
yaitu:
(1) the actual geographical location, including topographyscenery, even
the details of a room’s interior; (2) the accupationsand modes of day-to-day
existence of the characters; (3) the time inwhich the action takes plece,e.g,
historical period, season of theyear; (4) the religious, moral, intellecctual, sosial,
and emotional environment of the characters.
Mengacu dari pendapat William Kenney (1966 : 40) menjelaskan bagian
penyususn setting adalah (1) lokasi geografis yang sebenarnya, termasuk
commit to user
26
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
rancangan bentuk dan desain interior; (2) model karakter pemain sesuai dengan
kehidupan sehari-hari; (3) waktu pegambilan tempat, misalnya periode, sejarah,
musim dan tahun; (4) karakter yang mencerminkan keagamaan, moral,
lingkungan, sosial dan emosional.
Burhan Nurgiyantoro (2002: 227), menjelaskan unsur latar dapat
dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu (1) latar tempat, yaitu mengacu pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya fiksi. Latar
tempat disebut pula sebagai latar fisik (physical setting); (2) latar waktu, yaitu
berhubungan dengan masalah kapan terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam
sebuah karya fiksi; (3) latar sosial, mengacu pada hal-hal yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat di suatu tempat yang diceritakan
dalam karya fiksi. Hal itu dapat berupa kebiasaan hidup, tradisi, cara berpikir dan
bersikap, pandangan hidup, keyakinan, dan status sosial.
Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa setting atau latar
adalah tempat, waktu, dan suasana terjadinya suatu peristiwa yang berhubungan
dengan perilaku kehidupan sosial masyarakat pada suatu tempat dalam karya
fiksi.
d. Novel Sebagai Dokumen Sosial (Teeuw)
Karya
sastra
sebagai
dokumen
sosial,
hal
ini
sesuai
dengan
konsekuensinya untuk pemakaian karya sastra, khususnya roman, untuk tujuan
commit to user
penelitian ilmu-ilmu sosial. Ada kalanya roman disebut sebagai dokumen sosial,
27
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
walaupun sebutan ini dari segi tertentu ada benarnya. Namun roman tidak berarti
dapat dipergunakan langsung sebagai dokumen seperti laporan wartawan,
kumpulan data statistik dan lain-lainnya. Oleh karena itu tiap karya sastra ada
keterpaduan antara mimesis dan kreasi, antara kenyataan dan khayalan orang
harus hati-hati dalam mengambil data faktual dari tulisan rekaan, walaupun
tulisan itu sebenarnya sangat realis.
Sebagai penyedia data dan fakta roman tidak dapat dipercaya karena tidak
bisa diketahui di mana fakta berakhir dan rekaan dimulai. Penulis roman tidak
dapat dan tidak perlu mempertanggungjawabkan takaran kenyataan dalam isi
faktual karyanya. Dalam arti ini roman biasanya bukan dokumen sosial. Hanya
tulisan rekaan yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan tambahan pada data yang
diperoleh dari sumber yang jelas bersifat dokumen sosial.
Novel merupakan karya rekaan. Karya rekaan memang merupakan
dokumen sosial, yang lebih dahulu disebut jalan keemapat ke kebenaran: lewat
sastra pembaca sering kali jauh lebih baik dari lewat tulisan sosiologi mana pun
juga,
dapat
menghayati
hakikat
eksistensi
manusia
dengan
segala
permasalahannya (Teeuw, 1984:237).
Richard Hoggart dalam Teeuw (1984:237) menjelaskan bahwa sastra yang
baik menciptakan kembali rasa kehidupan, bobotnya dan susunannya.
Menciptakan kembali keseluruhan hidup yang dihayatinya, kehidupan emosi,
kehidupan budi, individu maupun sosial, dunia yang syarat obyek.Hal ini
diciptakannya bersama-sama dan secara saling keterjalinan, seperti terjadi dalam
commit to user
28
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kehidupan
yang
kita
hayati
sendiri.Sastra
baik
menciptakan
kembali
kemendesakan hidup.Tetapi arti karya sastra semacam itu tidak bias ditangkap
dengan metode dan teknik ilmu-ilmu sosial. Untuk itu diperlukan kepekaan
kesastraan, kemahiran membaca, memahami dan menilai karya sastra sesuai
dengan ciri khasnya sebagai rekaan, yang diciptakan oleh manusia dengan dengan
daya cipta yang peka pula.
Hal ini diperkuat oleh Hoggart dalam Teeuw (1984:238) bahwa
pemahaman puitik, metaforik, intuitif adalah wujud pengetahuan, walaupun tidak
dapat diukur secara obyektif. Kesahihannya tergantung pada daya imajinasi
pengarang (imajinasi terkandung pula didalamnya penembusan, kekompleksan,
kejujuran) dan pada kemampuan kita sebagai pembaca untuk mengujinya dengan
rasa pengalaman sendiri.
Permasalahan dalam novel yang terjadi di dalam masyarakat, ketika
diangkat oleh pengarang melalui karya sastra sebagai dokumen sosiobudaya, akan
memberikan makna yang kompleks dan mengandung misi tertentu. Sehubungan
dengan hal itu, novel dianggap sebagai sebuah dokumen sosiobudaya yang
mengandung makna. Setiap makna yang terkandung pada sebuah novel tentunya
dapat diperoleh dari kajian berbagai aspek dan unsur yang membangunnya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sebuah karya sastra
dapat dikatakan sebagai dokumen sosial, jika karya sastra tersebut berdasarkan
cerita rekaan
yang datanya diambil dari kehidupan masyarakat yang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
29
digilib.uns.ac.id
sebenarnya.Hal ini sesuai dengan karya sastra berupa novel yang banyak
mengisahkan tentang kehidupan manusia.
2.
Kajian tentang Sosiologi Sastra
a.
Pengertian Sastra
Sastra merupakan suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni. Sehingga,
berbatasan sastra adalah segala sesuatu yang tertulis atau tercetak.
Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Sansekerta; akar kata
sas-, dalam kata kerja turunan berarti mengarahkan, memberi petunjuk atau
instruksi. Akhiran –tra biasanya menujukkan alat, sarana. Maka dari itu sastra
dapat berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau pengajaran,
seperti silpasastra (buku arsitektur), kamasastra (buku petunjuk mengenai
petunjuk seni cinta) (Teeuw, 1984 : 23).
Selanjutnya Teeuw (1984 :22) juga merumuskan nama sastra sebenarnya
merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari nama yang digunakan dalam
masyarakat bahasa asing, khususnya eropa. Dalam bahasa Inggris sastra
dinamakan literature, dalam bahasa Jerman sastra dinamakan literature, dalam
bahasa Perancis literature. Nama susastra digunakan yang kurang lebih berarti
“tulisan yang indah” juga digunakan dalam masyarakat Eropa tersebut:
letterkunde dalam bahasa Belanda, belles-letters dalam bahasa Perancis.
Merujuk dari pendapat Teeuw di atas bahwa dalam usahanya untuk
merumuskan pengertian sastra memusatkan banyak perhatian pada pengertian
commit to user
tulisan dengan berbagai cirinya.
perpustakaan.uns.ac.id
30
digilib.uns.ac.id
Rene Wellek dan Austin Waren memberikan pengertian sastra sebagai
berikut:
“Sastra adalah institusi sosial yang memakai medium bahasa. Teknikteknik sastra tradisional seperti simbolisme dan mantra bersifat sosial
merupakan konvensi dan norma masyarakat. Lagi pula sastra menyajikan
kehidupan, dan kehidupan sebagian besar terdiri dari kenyataan sosial,
walaupun karya sastra meniru alam dan dunia subjektif kehidupan
manusia.” (Rene Wellek dan Austin Warren, 1993:109)
Berhubungan dengan istilah sastra, Atar Semi (1993:8) menjelaskan sastra
adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah
manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya.
Jakob Sumardjo dan Saini K. M. (1994:3) menjelaskan bahwa sastra
adalah ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan,
ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkrit yang
membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Sastra juga dapat diartikan sebagai hasil kreativitas pengarang yang
bersumber dari kehidupan manusia secara langsung atau melalui rekaannya
dengan bahasa sebagai medianya. Sastra dianggap sebagai karya yang berpusat
pada moral manusia (humanitat), yang di satu sisi terkait dengan sejarah dan pada
sisi lain pada filsafat (Darma dalam Retno Winarni, 2009:7).
Dari beberapa istilah sastra di atas yang dikemukakan oleh beberapa ahli
memiliki persamaan bahwa sastra sama-sama menggunakan media atau perantara
berupa bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi bagi masayarakat. Bahasa
diciptakan oleh manusia berdasarkan tempat tinggalnya. Namun, kosa kata dalam
commit to user
bahasa merupakan kesepakatan antar masyarakat. Selain bahasa, persamaan lain
perpustakaan.uns.ac.id
31
digilib.uns.ac.id
adalah obyeknya adalah manusia. Ungkapan karya sastra manusia tersebut berupa
kehidupan sehari-hari atau hasil imajinasi pengarang.
Sementara itu Sastra menurut Luxemburg (1984 : 5) merupakan sebuah
ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah imitasi. Sang seniman
menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses penciptaan di dalam semesta
alam, bahkan meyempurnakannya.
Merujuk dari pendapat di atas, sastra memang hidup dan berasal dari
masyarakat. Masyarakat mampu menciptakan karya sastra merupakan masyarakat
yang memiliki daya kreatifitas yang tinggi. Hasil karya tersebut akan dinikmati
oleh pembaca dan dijadikan pandahuan dalam kehidupan. Di mana karya sastra
mempunyai ide, gagasan dan nilai-nilai kehidupan yang baik dan patut diikuti
oleh masyarakat.
Secara intuitif, kita ketahui bahwa sastra termasuk dalam seni, tetapi juga
lebih dari seni.Sastra selalu bersinggungan dengan pengalaman manusia yang
lebih luas daripada yang bersifat estetik (seni) saja. Sastra selalu melibatkan
pikiran pada kehidupan sosial, moral, psikologi dan etika.Dengan demikian sastra
cenderung menjadi lebih penting dan menarik perhatian pembaca dari pada
bentuknya sebagai penjelmaan pengungkapan seni. Pembicaraan sastra lebih
banyak berhubungan dengan kehidupan yang dipaparkan dalam karya sastra
daripada masalah estetikanya (Sastrowardoyo dalam Nani Tuloli, 2000:2).
Sementara itu Nani Tutoli (2000:2) mengatakan bahwa sastra merupakan
commit to
user dengan cara penggambaran.
ungkapan batin seseorang melalui
bahasa
perpustakaan.uns.ac.id
32
digilib.uns.ac.id
Penggambaran atau imajinasi ini dapat merupakan titian terhadap kenyataan
hidup, wawasan pengarang terhadap kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi
murni pengarang yang tidak berkaitan dengan kenyataan hidup (rekaan), atau
dambaan intuisi pengarang dan dapat pula sebagai campuran semuanya itu.
Merujuk dari beberapa pendapat di atas, untuk memudahkan pengertian
sastra, perlu dikembangkan beberapa pandangan sebagai berikut:
b. Dalam sastra ada penanganan bahan yang khusus, yang berlaku
pada puisi dan prosa. Misalnya terdapat paralisme, kiasan,
penggunaan bahasa yang tidak gramatikal, peristiwaan dan sudut
pandang yang bermacam-macam. Maka untuk mengerti sastra kita
haru kembali kepengetahuan tentang bahasa.
c. Ada anggapan bahwa sastra cenderung sebagai fiksi. Fiksionalitas
ini dapat dikaji dalam sastra tulis maupun sastra lisan, juga terdapat
pada semua ragam (puisi dan prosa)
d. Penggunaan tanda-tanda khusus dalam sastra, memungkinkan
munculnya wawasan bersifat umum tentang keberadaan menusia
sosial atau budaya dan intelektual.
e. Dengan memahami sastra sebagai sebagai karya fiksi, serta
hubungan antara yang khusus dan umum, kita dapat
menginterpretasikan sastra sesuai dengan wawasan kita. Dalam
teks sastra, secara implisit terdapat banyak “tempat terbuka” bagi
penafsiran dan pemahaman.
f. Penciptaan karya sastra berada pada ketegangan antara kreatikvitas
dan konvensi. Karya sastra itu di satu pihak tergantung (terkait)
dengan konvensi sastra, tetapi pada sisi lain dituntun keaslian dan
kraatifitas peniptaan (Nani Tutoli, 2000:2-3)
Definisi-definisi sastra yang ada dijadikan patokan tentang pengertian
sastra, umumnya masih bersifat parsial sehingga belum mampu memberikan
gambaran pengertian sastra secara utuh. Keparsialan definisi tersebut oleh
Luxemburg (1984:4) digolongkan menjadi empat bagian yang meliputi:
a. Definisi yang mencakup aspek terlalu banyak, sering dilupakan
antara definisi deskriptif mengenai sastra itu apa. Dengan devinisi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
33
digilib.uns.ac.id
evaluative yang berkaitan dengan nilai yang menentukan suatu
karya bernilai tinggi atau tidak.
b. Definisi yang merupakan definisi ontologism, yaitu definisi yang
mengungkapkan hakikat sebuah karya sastra sambil melupakan
bahwa hendaknya didefinisikan di dalam situasi para pemakai atau
pembaca sastra, norma dan deskripsi sering dicampurbaurkan
sehingga tidak disadari bahwa sementara karya untuk orang ini
termasuk sastra sedang munurut orang lain bukan sastra.
c. Definisi yang terlalu dititikberatkan pada contoh sastra Barat.
Khususnya sejak jaman Renaissance, tanpa memperhitungkan
sastra di luar jaman tersebut. Padahal di luar kebudayaan sastra
Eropa, banyak dijumpai sastra yang berbeda yang mempunyai
kekhasan.
d. Definisi yang hanya berkecenderungan dengan jenis-jenis sastra
tertentu sehingga tidak relevan apabila diterapkan pada semua jenis
sastra.
Pengertian tentang sastra (Luxemburg, 1984: 3-4) juga berlaku pada
zaman romantik. Beberapa pengertian sastra pada zaman romantik;
a. Sastra merupakan sebuah ciptaan, sebuah kreasi, bukan pertama-tama sebuah
imitasi. Sang seniman menciptakan sebuah dunia baru, meneruskan proses
penciptaan di alam semesta alam, bahkan menyempurnakannya. Sastra
terutama merupakan sesuatu luapan emosi yang spontan.
b. Sastra bersifat otonom , tidak mengacu pada yang lain, sastra tidak bersifat
komunikatif. Sang penyair hanya mencari keselarasan di dalam karyanya
sendiri. Dalil ini masih bergema di hampir setiap pendekatan terhadap sastra.
c. Karya sastra yang otonom itu bercirikan suatu koherensi. Pengertian
koherensi itu pertama-tama dapat ditafsirkan sebagai suatu keselarasan yang
mendalam antara bentuk dan isi.
d. Sastra menghindarkan sebuah sintesa antara hal-hal yang saling bertentangan.
Pertentangan-pertentangan tersebut aneka rupa bentuknya ada pertentangan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
34
digilib.uns.ac.id
antara yang di sadari dan yang tidak di sadari, antara pria dan wanita, antara
roh dan benda, dan seterusnnya.
e. Sastra mengungkapkan yang tak terungkapkan.
Berdasarkan pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa sastra adalah hasil
kreatifittas masyarakat yang berupa ide, pengalaman, pemikiran dan perasaan
melalui media bahasa dengan cara penggambaran. Penggambaran atau imajinasi
ini dapat berupa titian terhadap kenyataan hidup, wawasan pengarang terhadap
kenyataan kehidupan, dapat pula imajinasi murni pengarang yang tidak berkaitan
dengan kenyataan hidup (rekaan), atau dambaan intuisi pengarang dan dapat pula
sebagai campuran semuanya itu.
b. Pengertian Sosiologi
Nyoman Kutha Ratna (2011:1) menjelaskan bahwa sosiologi berasal dari
akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman)
dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan). Perkembangan
berikutnya mengalami perubahan makna, soio/socius berarti masyarakat,
logi/logos berarti ilmu. Jadi sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan
pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari
keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat , sifatnya umum,
rasional dan empiris.
Soerjono Soekanto (2010: 4) merumuskan “secara etimologis sosiologi
sastra berasal dari bahasa Latin socius yang berarti kawan dan logos dari kata
Yunani yang berarti ilmu”. Lebih lanjut Soekanto menjelaskan:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
35
digilib.uns.ac.id
Secara singkat sosiologi adalah ilmu sosial yang objeknya adalah
keseluruhan masyarakat dalam hubungannya dengan orang-orang di
sekitar masyarakat itu. Sebagai ilmu sosial, sosiologi terutama menelaah
gejala-gejala di masyarakat seperti norma-norma, kelompok sosial, lapisan
masyarakat, lembaga-lembaga kemasyarakatan, perubahan sosial dan
kebudayaan serta perwujudannya. Selain itu sosiologi sastra juga
mengupas gejala-gejala sosial yang tidak wajar dan gejala abnormal atau
gejala patologis yang dapat menimbulkan masalah sosial. (Soerjono
Soekanto, 1993: 395)
Swingewood (dalam Faruk, 2010: 1) mendefinisikan sosiologi sebagai
studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat, studi mengenai
lembaga-lembaga dan proses-proses sosial.
Berkaitan dengan pendapat di atas, Giddens dalam Faruk (2010:18)
mengatakan bahwa :
“…The study of human sosial life, groups, dan societies.it is a dazzling
and compelling enterprise, having as its subject matter our own behavior as
sosial beings. The scope of sociology is extremely wide, ranging from the analysis
of passing encounters between individuals in the street up to the investigation of
global sosial processes.”
Bertumpu pada penjelasan di atas bahwa Giddens dalam Faruk (2010:18)
mengatakan studi tentang kehidupan manusia, kelompok dan masyarakat.Studi
tersebut merupakan permasalahan manusia dalam kehidupan sosial. Ruang
lingkup sosiologi sangat luas mulai dari individu sampai proses sosial dalam
masyarakat.
Selanjutnya Pitirim Sorokin dalam Soerjono Soekanto (2010: 17)
mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu yang mempelajari:
a. Hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala-gejala
sosial (misalnya antara gejala ekonomi dengan agama, keluarga dengan
moral, hukum dengan ekonomi, gerak masayarakat dengan politik dan lain
sebagainya);
b. Hubungan dan pengaruh timbal
antara gejala sosial dengan gejalacommitbalik
to user
gejala non sosial (misalnya gejala geografis, biologis dan sebagainya);
36
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Ciri-ciri umum semua jenis gejala – gejala sosial.
Abdulsyani (2007:5) mengatakan bahwa sosiologi adalah suatu ilmu
pengetahuan yang mempunyai obyek studi masyarakat.Sosiologi berkembang di
dalam masyarakat.Masyarakatlah yang menjadi obyek ilmu.Baik itu dilihat dari
aspek sosial, aturan, adat-istiadat, kebudayaan dan sebagainya.
Sosiologi sebenarnya mempelajari manusia sebagaimana ditemukan dan
dialami secara langsung dalam kenyataan keseharian kehidupan (Faruk, 2010:17).
Sebuah usaha untuk menemukan aturan, hukum dan pola-pola yang berulang dan
berlangsung dalam waktu relatif lama. Hal ini disebabkan obyek pengalaman
dalam kehidupan sehari-hari berlangsung tak beraraturan.Pengalaman tersebut
senantiasa berubah, hilang sesaat atau muncul kembali.
Michael
Zeratta
dalam
Elizabeth
dan
Tom
Burns
(1973:11)
mendefinisikan sosiologi dalam novel:
In the sociology of the novel, sociologi is dealing with an art. True,
narrative fiction is contained within language and takes most of its own
character from it; the form and content of the novel derive more closely
from sosial phenomena than do those of other arts, except perhaps
cinema; novels often seem bound up with particular moments in the
history of society; we are none the less concerned with a specific art.
Dalam sosiologi novel, ilmu sosiologi berhubungan dengan suatu
seni.Adalah benar, fiksi naratif termasuk dalam bahasa dan membentuk
karakternya sendiri paling banyak dari bahasa itu; bentuk dan isi novel mengambil
lebih dekat fenomena sosial dibanding bentuk kesenian lain kecuali, film; novel
seringkali terlihat berhubungan dengan peristiwa-peristiwa tertentu dalam sejarah
manusia.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
37
digilib.uns.ac.id
Suatu paradigma sosiologi mempelajari apa yang disebut sebagai institusiinstitusi sosial dan struktur sosial. Institusi sosial menurut Ritzer (dalam Faruk,
2010:19) adalah nilai-nilai dan norma-norma bersama yang diwujudkan dalam
suatu kebudayaan atau sub kebudayaan. Atau dalam pengertian yang lain:
“aways of actingand thingking that the individuals find preestablished,…already made,…imposed more or less in him … and that will
survive him”
Sedangkan struktur sosial adalah
“the net works of sosial relations in which processes of sosial interaction
become organized and through which sosial positions of individuals and
subgroups become differentiated”
Berdasarkan penjelasan di atas institusi sosial menurut Ritzer (dalam
Faruk, 2010:19) adalah cara berfikir seorang individu sudah ada dalam dirinya.
Strutur sosial merupakan hubungan interaksi sosial yang terorganisasi dalam
individu dan kelompok sosial yang berbeda.
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi adalah suatu
ilmu yang mempelajari masyarakat serta gejala-gejala sosial yang timbul dalam
masyarakat yang bersifat umum, rasional dan empiris.
c.
Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra sebagai suatu jenis pendekatan terhadap sastra memiliki
paradigma dengan asumsi dan implikasi epistemologis yang berbeda daripada yang
telah digariskan oleh teori sastra berdasarkan prinsip otonomi sastra. Penelitianpenelitian sosiologi sastra menghasilkan
bahwa karya sastra adalah
commit topandangan
user
perpustakaan.uns.ac.id
38
digilib.uns.ac.id
ekspresi dan bagian dari masyarakat, dan dengan demikian memiliki keterkaitan
resiprokal dengan jaringan-jaringan sistem dan nilai dalam masyarakat tersebut.
Sebagai suatu bidang teori, maka sosiologi sastra dituntut memenuhi persyaratanpersyaratan keilmuan dalam menangani objek sasarannya.
Istilah "sosiologi sastra" dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut
para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan
antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya, kondisi
ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya.Mereka
memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudak
terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu (Abrams,
1971:178).
Sekalipun teori sosiologis sastra sudah diketengahkan orang sejak
sebelum Masehi, dalam disiplin ilmu sastra, teori sosiologi sastra merupakan
suatu bidang ilmu yang tergolong masih cukup muda (Damono, 1978:3) berkaitan
dengan kemantapan dan kemapanan teori ini dalam mengembangkan alat-alat
analisis sastra yang relatif masih lahil dibandingkan dengan teori sastra
berdasarkan prinsip otonomi sastra.
Sosiologi adalah ilmu objektf kategoris, membatasi diri pada apa yang
terjadi dewasa ini (das sein) bukan apa yang seharusnya terjadi (das solen).
Sebaliknya karya sastra bersifat evaluatif, subjektif, dan imajinatif. Menurut
Nyoman Kutha Ratna (2011: 2) ada sejumlah definisi mengenai sosiologi sastra
yang perlu dipertimbangkan dalam rangka menemukan objektivitas hubungan
commit to user
39
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
antara karya sastra dengan masyarakat, antara lain:(1) Pemahaman terhadap karya
sastra dengan pertimbangn aspek kemasyarakatannya;(2) Pemahaman terhadap
totalitas karya yang disertai dengan aspek kemasyarakatan yang terkandung di
dalamnya;(3) Pemahaman terhadap karya sastra sekaligus hubungannya dengan
masyarakat yang melatarbelakangi; (4) Sosiologi sastra adalah hubungan dua arah
(dialektik) anatara sastra dengan masyarakat; dan (5) Sosiologi sastra berusaha
menemukan kualits interdependensi antara sastra dengan masyarakat.
Endraswara (2010: 79) dalam bukunya Metodologi Pengajaran Sastra,
memberi pengertian bahwa sosiologi sastra adalah penelitian yang terfokus pada
masalah manusia karena sastra sering mengungkapkan perjuangan umat manusia
dalam menentukan masa depannya, berdasarkan imajinasi, perasaan, dan intuisi.
Lebih lanjut Nurhayati Harahap (2006:31-32) dalam Jurnal Ilmiah dan
Bahasa menjelaskan bahwa sebuah karya sastra didekatidari hal-hal yang berada
di luar sastra itu sendiri (ekstrinsik) dengan memfokuskan perhatiannya pada latar
belakang sosiobudaya. Dalam ilmu sastra, pendekatan ini di sebut sosiologi
sastra,yaitu
pendekatan
sastra
dengan
mempertimbangkan
segi-segi
kemasyarakatannya. Segi kemasyarakatan berhubungan dengan masyarakat yang
berada di sekitar sastra itu, baik penciptanya, gambaran masyarakat yang
diceritakannya itu dan pembacanya.
Sementara, Faruk (2010: 1) memberi pengertian bahwa sosiologi sastra
sebagai studi ilmiah dan objektf mengenai manusia dalam masyarakat, studi
commit to
user Selanjutnya, dikatakan bahwa
mengenai lembaga dan proses-proses
sosial.
perpustakaan.uns.ac.id
40
digilib.uns.ac.id
sosiologi berusaha menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat
dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan
hidup. Lewat penelitian mengenai lembaga-lembaga sosial, agama, ekonomi,
politik dan keluarga yang secara bersama-sama membentuk apa yang disebut
sebagai struktur sosial, agama, ekonomi, politik, dan keluarga yang secara
bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai struktur sosial, sosiologi
dikatakan memperoleh gambaran mengenai cara-cara menyesuaikan dirinya
dengan dan ditentukan oleh masyarakat-masyarakat tertentu, gambaran mengenai
mekanisme sosialitas, proses belajar secara kultural yang dengannya individuindividu dialokasikannya pada dan menerima peranan tertentu dalam struktur
sosial itu.
Sosiologi sastra memiliki perkembangan yang cukup pesat sejak
penelitian-penelitian yang menggunakan teori strukturalisme dianggap mengalami
stagnasi. Didorong oleh adanya kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan
sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka karya sastra harus
dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem komunikasi secara
keseluruhan.
Menurut Nyoman Kutha Ratna (2011: 332) ada beberapa hal yang harus
dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan
dengan demikian harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat, sebagai
berikut; (1) Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, ketiganya adalah anggota masyarakat;(2) Karya sastra hidup
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
41
digilib.uns.ac.id
dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam
masyarakat yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat; (3) Medium
karya sastra baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui kompetensi masyarakat
yang dengan sendirinya telah mengandung masalah kemasyarakatan; (4) Berbeda
denga ilmu pengetahuan, agama, dan adat-istiadat dan tradisi yang lain, dalam
karya sastra terkandung estetik, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat
berkepentigan terhadap ketiga aspek tersebut; (5) Sama dengan masyarakat, karya
sastra adalah hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya
dalam suatu karya.
Sastra dapat dikatakan sebagai cermin masyarakat, atau diasumsikan
sebagai salinan kehidupan, tidak berarti struktur masyarakat seluruhnya dapat
tergambar dalam sastra. Yang didapat di dalamnya adalah gambaran masalah
masyarakat secara umum ditinjau dari sudut lingkungan tertentu yang terbatas dan
berperan sebagai mikrokosmos sosial. Seperti lingkungan bangsawan, penguasa,
gelandangan, rakyat jelata, dan sebagainya. Perkembangan sosiologi sastra
modern tidak terlepas dari Hippolyte Taine, seorang ahli sosiologi sastra modern
yang pertama membicarakan latar belakang timbulnya karya sastra besar,
menurutnya ada tiga faktor yang mempengaruhi, yaitu ras, saat, dan lingkungan
(Abrams, 1971: 178).
Hubungan timbal-balik antara ras, saat, dan lingkungan inilah yang
menghasilkan struktur mental pengarang yang selanjutnya diwujudkan dalam
karya sastra. Sosiologi sastra ilmiah apabila menggunakan prinsip-prinsip
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
42
digilib.uns.ac.id
penelitian seperti ilmu pasti, hukum. Karya sastra adalah fakta yang multiinterpretable tentu kadar “kepastian” tidak sebanding dengan ilmu pasti. Yang
penting peneliti sosiologi karya sastra hendaknya mampu mengungkapkan hal ras,
saat, dan lingkungan.
Berkaitan dengan sosiologi sastra sebagai yang menonjol dilakukan oleh
kaum Marxisme yang mengemukakan bahwa sastra adalah refleksi masyarakat
yang dipengaruhi oleh kondisi sejarah. Sastra karenanya, merupakan suatu
refleksi llingkungan budaya dan merupakan suatu teks dialektik antara pengarang.
Situasi sosial yang membentuknya atau merupakan penjelasan suatu sejarah
dialektik yang dikembangkan dalam karya sastra.
Sebagaimana yang dikemukakan Damono, Swingewood (1972: 15) pun
mengingatkan bahwa dalam melakukan analisis sosiologi terhadap karya sastra,
kritikus harus berhati-hati dengan slogan “sastra adalah cermin masyarakat’’. Hal
ini melupakan pengarang, kesadaran, dan tujuannya. Dalam melukiskan
kenyataan, selain melalui refleksi, sebagai cermin, juga dengan cara refleksi
sebagai jalan belok. Seniman tidak semata melukiskan keadaan sesungguhnya,
tetapi mengubah sedemikian rupa kualitas kreativitasnya. Dalam hubungan ini
Teeuw (1984: 18-26) mengemukakan ada empat cara yang mungkin dilalui, yaitu
(a) afirmasi ( merupakan norma yang sudah ada, (b) restorasi ( sebagai ungkapan
kerinduan pada norma yang sudah usang), (c) negasi (dengan mengadakan
pemberontakan terhadap norma yang sedang beralaku, (d) inovasi (dengan
mengadakan pembaharuan terhadap norma yang ada).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
43
digilib.uns.ac.id
Berkenaan dengan kaitan antara sosiologi dan sastra tampaknya
Swingewood (1972: 15) mempunyai cara pandang bahwa suatu jagad yang
merupakan tumpuan kecemasan, harapan, dan aspirasi manusia, karena di
samping sebagai makhluk sosial budaya akan sangat sarat termuat dalam karya
sastra. Hal inilah yang menjadi bahan kajian dalam telaah sosiologi sastra.
Berkaitan dengan sosiologi sastra Selo Soemardjan dan Soelaeman
Soemardi dalam Soerjono Soekanto (2010: 18) menyatakan bahwa sosiologi
sastra atau ilmu masyarakat ialah ilmu yang mempelajari struktur sosial dan
proses-proses sosial, termasuk perubahan-perubahan sosial. Struktur sosial adalah
keseluruhan jalinan antara unsur-unsur sosial yang pokok, yaitu kaidah-kaidah
sosial (norma-norma sosial), lembaga-lembaga sosial, kelompok-kelompok serta
lapisan-lapisan sosial. Proses sosial adalah pengaruh timbal balik antara berbagai
segi kehidupan bersama, umpamanya pengaruh timbal balik antara segi kehidupan
ekonomi dengan segi kehidupan politik, antara segi kehidupan hukum dan segi
kehidupan agama, antara segi kehidupan agama dan segi kehidupan ekonomi dan
lain sebagainya. Salah satu proses sosial yang bersifat tersendiri ialah dalam hal
terjadinya perubahan-perubahan di dalam struktur sosial.
Sosiologi sastra Indonesia dengan sendirinya mempelajari hubungan yang
terjadi antara masyarakat Indonesia dengan sastra (di) Indonesia, gejala-gejala
baru yang timbul sebagai akibat antarhubungan tersebut (Nyoman Khuta Ratna,
2011: 8). Jadi, sosiologi sangat erat hubungannya dengan apa yang ada dalam
masyarakat. Dengan demikian, sosiologi tumbuh tidak dengan kekosongan sosial.
commit to user
44
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sastra tidak dapat dilepaskan dari lembaga-lembaga sosial, agama, politik,
keluarga, dan pendidikan atau sosial budaya, Hal ini dapat dipahami karena
pengarang mempunyai latar belakang sosial budaya pada saat dia menciptakan
karya sastra itu. Latar belakang budayanya menjadi sumber penciptaan, yang
mempengaruhi teknik dan isi karya sastranya (Nani Tuloli, 2000: 62).
Sosiologi sastra atau sosiokritik dianggap sebagai disiplin yang baru.
Sebagai disiplin yang berdiri sendiri. Sosiologi sastra berkembang dengan pesat
sejak penelitian-penelitian dengan memanfaatkan teori strukturalisme dianggap
mengalami kemunduran. Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus
difungsikan sama dengan aspek-aspek kebudayaan yang lain, maka satu-satunya
cara adalah mengembalikan karya sastra ke tengah-tengah masyarakat,
memahaminya sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan system komunikasi
secara keseluruhan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 332).
Tujuan sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan bahwa rekaan tidak berlawanan
dengan kenyataan (Nyoman Kutha Ratna, 2011: 11).
Dengan pertimbangan bahwa sosiologi sastra adalah analisis karya sastra
dalam kaitannya dengan masyarakat, maka model analisis yang dapat dilakukan
meliputi tiga macam, yaitu:
a.
Menganalisis masalah-masalah sosial yang terkandung di dalam karya sastra
itu sendiri, kemudian menghubungkannya dengan kenyataan yang pernah
terjadi. Pada umumnya di sebut sebagai aspek ekstrinsik, model hubungan
yang terjadi di sebut refleksi
commit to user
45
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b.
Sama dengan di atas, tetapi dengan cara menemukan hubungan antarstruktur,
bukan aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan antarstruktur, bukan
aspek-aspek tertentu, dengan model hubungan yang bersifat dialektika.
c.
Menganalisis karya dengan tujuan untuk memperoleh informasi tertentu,
dilakukan oleh disiplin tertentu. Model analisis inilah yang pada umumnya
menghasilkan penelitian karya sastra sebagai kedua (Nyoman Kutha Ratna,
2011:339-340)
Dikaitkan dengan perkembangan penelitian karya sastra, penelitian yang
kedualah yang dianggap lebih relevan. Dibandingkan dengan model penelitian
yang pertama dan ketiga, dalam penelitian yang kedua karya sastra bersifat aktif
dan dinamis sebab keseluruhan aspek karya sastra benar-benar berperanan.
Selanjutnya dikaitkan dengan ciri-ciri sosiologi sastra kontemporer, justru
masyarakatlah yang mengkondisikan karya sastra bukan sebaliknya.
Wellek dan Werren (1993: 111) membagi sosiologi sastra sebagai berikut:
Sosiologi pengarang, profesi pengarang, dan istitusi sastra, masalah yang
berkaitan di sini adalah dasar ekonomi produksi sastra, latar belakang sosial status
pengarang, dan idiologi pengarang yang terlibat dari berbagai kegiatan pengarang
di luar karya sastra, karena setiap pengarang adalah warga masyarakat, ia dapat
dipelajari sebagai makhluk sosial. Biografi pengarang adalah sumber utama, tetapi
studi ini juga dapat meluas ke lingkungan tempat tinggal dan berasal. Dalam hal
ini, informasi tentang latar belakang keluarga, atau posisi ekonomi pengarang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
46
digilib.uns.ac.id
akan memiliki peran dalam pengungkapan masalah sosiologi pengarang (Wellek
dan Warren,1993:112)
Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri yang
menjadi pokok penelaahannya atau apa yang tersirat dalam karya sastra dan apa
yang menjadi tujuannya. Pendekatan yang umum dilakukan sosiologi ini
mempelajari sastra sebagai dokumen sosial sebagai potret kenyataan sosial.
(Wellek dan Warren, 1993:122). Beranggapan dengan berdasarkan pada
penelitian Thomas Warton (penyusun sejarah puisi Inggris yang pertama) bahwa
sastra mempunyai kemampuan merekam ciri-ciri zamannya. Bagi Warton dan
para pengikutnya sastra adalah gudang adat-istiadat, buku sumber sejarah
peradaban.
Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan dampak sosial karya
sastra, pengarang dipengaruhi dan mempengaruhi masyarakat; seni tidak hanya
meniru kehidupan, tetapi juga membentuknya. Banyak orang meniru gaya hidup
tokoh-tokoh dunia rekaan dan diterapkan dalam kehidupannya.
Klasifikasi Wellek dan Warren sejalan dengan klasifikasi Ian Watt (dalam
Damono, 1978: 3-4) yang meliputi hal-hal berikut:
Konteks sosial pengarang, dalam hal ini ada kaitannya dengan posisi sosial
sastrawan dalam masyarakat, dan kaitannya dengan masyarakat pembaca
termasuk juga faktor-faktor sosial yang dapat mempengaruhi karya sastranya,
yang terutama harus diteliti yang berkaitan dengan: (a) bagaimana pengarang
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
47
digilib.uns.ac.id
mendapat mata pencahariannya, apakah ia mendapatkan dari pengayoman
masyarakat secara langsung, atau pekerjaan yang lainnya, (b) profesionalisme
dalam kepengaragannya, dan (c) masyarakat apa yang dituju oleh pengarang.
Sastra sebagai cermin masyarakat, maksudnya seberapa jauh sastra dapat
dianggap cermin keadaan masyarakat. Pengertian “cermin” dalam hal ini masih
kabur, karena itu, banyak disalahtafsirkan dan disalahgunakan. Yang harus
diperhatikan dalam klasifikasi sastra sebagai cermin masyarakat adalah (a) sastra
mungkin tidak dapat dikatakan mencerminkan masyarakat pada waktu ditulis,
sebab banyak ciri-ciri masyarakat ditampilkan dalam karya itu sudah tidak berlaku
lagi pada waktu ia ditulis, (b) sifat “lain dari yang lain” seorang pengarang sering
mempengaruhi pemilihan dan penampilan fakta-fakta sosial dalam karyanya, (c)
genre sastra sering merupakan sikap sosial suatu kelompok tertentu, dan bukan
sikap sosial seluruh mayarakat, (d) sastra yang berusaha untuk menampilkan
keadaan masyarakat secermat-cermatnya mungkin saja tidak dapat dipercaya
sebagai cermin masyarakat. Sebaliknya, sastra yang sama sekali tidak
dimaksudkan untuk menggambarkan masyarakat mungkin masih dapat digunakan
sebagai bahan untuk mendapatkan informasi tentang masyarakat tertentu. Dengan
demikian, pandangan sosial pengarang diperhitungkan jika peneliti karya sastra
sebagai cermin masyarakat.
Fungsi sosial sastra, maksudnya seberapa jauh nilai sastra berkaitan
dengan nilai-nilai sosial. Dalam hubungan ini ada tiga hal yang harus diperhatikan
(1) sudut pandang ekstrim kaum Romantik yang menganggap sastra sama
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
48
digilib.uns.ac.id
derajatnya dengan karya pendeta atau nabi. Karena itu, sastra harus berfungsi
sebagai pengbaharu dan perombak, (2) sastra sebagai penghibur saja, dan (3)
sastra harus mengajarkan sesuatu dengan cara menghibur.
Rahmat Djoko Pradopo (2001: 159) menyatakan sasaran sosiologi dapat
diperinci ke dalam beberapa bidang pokok seperti berikut: (a) Konteks sosial
pengarang. Konteks sosial pengarang membicarakan hubungannya dengan status
sosial sastrawan dalam masyarakat, masyarakat pembaca, serta keterlibatan
pengarang dalam menghasilkn karya sastra; (b) Sastra sebagai cermin masyarakat.
Maksudnya, sastra dianggap sebagai gambaran keadaan masyarakatnya dan (c)
Fungsi sosial sastra. Pada bidang ini terdapat hubungan antara nilai sastra dan
nilai sosial.
Selanjutnya Swingewood mendeskripsikan berbeda mengenai masalah
sosiologi sastra tersebut. Ia mengklasifikasikannya sebagai berikut.
a. Sosiologi dan sastra yang membicarakan tentang tiga pendekatan.
Pertama, melihat karya sastra sebagai dokumen sosial budaya yang
mencerminkan waktu zaman. Kedua, melihat segi penghasil karya
sastra terutama kedudukan sosial pengarang. Ketiga, melihat
tanggapan atau penerimaan masyarakat terhadap karya sastra.
b. Teori-teori sosial tentang sastra. Hal ini berhubungan dengan latar
belakang sosial yang menimbulkan atau melahirkan suatu karya sastra.
c. Sastra dan strukturalisme. Hal ini berhubungan dengan teori
strukturalisme.
d. Persoalan metode yang membicarakan metode positif dan metode
dialektik. Metode positif tidak mengadakan penelitian terhadap karya
sastra yang digunakan sebagai data. Dalam hal ini karya sastra yang
dianggap sebagai dokumen yang mencatat unsur sosio budaya,
sedangkan metode dialektik hanya menggunakan karya yang bernilai
sastra. Yang berhubungan dengan sosio budaya bukan setiap unsurnya,
tetapi keseluruhannya sebagai satu kesatuan (dalam Umar Yunus,
1986:1-2).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
49
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan uraian tersebut dapat dikatakan bahwa sosiologi sastra dapat
meneliti melalui tiga perspektif, pertama, perspektif teks sastra, artinya peneliti
menganalisisnya sebagai sebuah refleksi kehidupan masyarakat dan sebaliknya.
Kedua, persepektif biologis yaitu peneliti menganalisis dari sisi pengarang.
Perspektif ini akan berhubungan dengan kehidupan pengarang dan latar
kehidupan sosial, budayanya. Ketiga, perspektif reseptif, yaitu peneliti
menganalisis penerimaan masyarakat terhadap teks sastra. Sosiologi karya sastra
itu sendiri lebih memperoleh tempat dalam penelitian sastra karena sumbersumber yang dijadikan acuan mencari keterkaitan antara permasalahan dalam
karya sastra dengan permasalahan dengan masyarakat lebih mudah diperoleh. Di
samping itu, permasalahan yang diangkat dalam karya sastra biasanya masih
relevan dalam kehidupan masyarakat.
Dalam bukunya A Glossary of Literature Term. Abrams(1971: 178)
menulis bahwa dari sosiologi sastra ada tiga perhatian yang dapat dilakukan oleh
kritikus atau peneliti yaitu: (1) Penulis dengan lingkungan budaya tempat ia
tinggal;(2)
Karya, dengan kondisi sosial yang direfleksikan di dalamnya;(3)
Audien atau pembaca.
Lain halnya dengan pendapat Grebsten (dalam Damono, 1978)
mengungkapkan istilah pendekatan sosiologi kultural terhadap sastra sebagai
berikut: Pertama karya sastra tidak dapat dipahami secara lengkap apabila
dipisahkan dari lingkungan atau kebudayaan atau peradaban yang telah
menghasilkannya. Ia harus dipelajari dalam konteks yang seluas-luasnya dan tidak
commit to user
50
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hanya dirinya sendiri. Setiap karya sastra adalah hasil dari pengaruh timbal-balik
yang rumit dari faktor-faktor sosial dan kultural. Karya sastra itu sendiri
merupakan objek kultural yang rumit. Bagimanapun karya sastra bukanlah suatu
gejala yang tersendiri.
Kedua gagasan yang ada dalam karya sastra sama pentingnya dengan
bentuk dan teknik penulisannya, bahkan boleh dikatakan bahwa bentuk dan teknik
itu ditentukan oleh gagasan tersebut. Tak ada karya sastra yang besar yang
diciptakan berdasarkan gagasan sepele dan dangkal; dalam pengertian ini sastra
adalah kegiatan yang sungguh-sunggug.
Ketiga setiap karya sastra yang bisa bertahan lama pada hakikatnya adalah
suatu moral, baik dalam hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun
dalam hubungannya dengan orang per orang. Karya sastra bukan merupakan
moral dalam arti yang sempit, yaitu yang sesuai dengan suatu kode atau tindak
tanduk tertentu, melainkan dalam pengertian bahwa ia terlibat di dalam kehidupan
dan menampilkan tanggapan evaluatif terhadapnya. Dengan demikian sastra
adalah eksprimen moral.
Keempat masyarakat dapat mendekati karya sastra dari dua arah. Pertama,
sebagai sesuatu kekuatan atau faktor material, istimewa, dan kedua, sebagai tradisi
yakni kecenderungan spiritual kultural yang bersifat kolektif. Dengan demikian
bentuk dan isi karya sastra dapat mencerminkan perkembangan sosiologi, atau
menunjukkan perubahan-perubahan yang halus dalam watak kultural.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
51
digilib.uns.ac.id
Kelima kritik sastra seharusnya lebih dari sekedar perenungan estetis yang
tampa pamrih ia harus melibatkan diri dalam suatu tujuan tertentu. Kritik adalah
kegiatan yang terpenting yang harus mampu mempengaruhi penciptaaan sastra
tidak dengan cara mendikte sastrawan agar memilih tema tertentu misalnya,
melainkan dengan menciptakan iklim tertentu yang bermanfaat bagi penciptaan
seni besar.
Keenam kritikus bertanggung jawab baik kepada sastra masa silam
maupun sastra masa depan. Dari sumber sastra yang sangat luas itu kritikus harus
memilih yang sesuai untuk masa kini. Perhatiannya bukanlah seperti pengumpul
benda-benda kuno yang kerjanya hanya menyusun kembali, tetapi memberi
penafsiran seperti yang dibutuhkan oleh masa kini. Dan karena setiap generasi
membutuhkan pilihan yang berbeda-beda, tugas kritikus untuk menggali masa lalu
tak ada habisnya.
Lanjut Damono (1978: 14) mengemukakan bahwa segala yang ada di
dunia ini sebenarnya merupakan tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di
dunia gagasan. Seniman hanyalah meniru apa yang ada dalam kenyataan dan
hasilnya bukan suatu kenyataan.
Pandangan senada dikemukakan oleh Teeuw (1984: 220) mengatakan
bahwa dunia empirek tak mewakili dunia sesungguhnya, hanya dapat
mendekatinya lewat mimesis, penelaahan, dan pembayangan ataupun peniruan.
Lewat mimesis, penelaahan kenyataan mengungkapkan makna, hakikat kenyataan
to user
itu. Oleh karena itu, seni yang commit
baik harus
truthful berani dan seniman harus
52
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bersifat modest, rendah hati. Seniman harus menyadari bahwa lewat seni dia
hanya dapat mendekati yang ideal.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sosiologi sastra tidak terlepas
dari manusia dan masyarakat yang berpusat pada karya sastra sebagai objek yang
dibicarakan. Sosiologi sebagai suatu pendekatan terhadap karya sastra yang masih
mempertimbangkan karya sastra dan segi-segi sosial yang melatarbelakangi
masyarakat tersebut.
Berdasarkan teori tentang pengertian sosiologi sastra dari beberapa ahli di
atas, Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai kajian dalam
penelitian ini dianalisis berdasarkan sosiologi sastra Wellek dan Werren, aspek
sosiologi sastranya yaitu sosiologi pengarang dan sosiologi karya sastra. Sosiologi
pembaca menurut Wellek dan Werren dalam penelitian ini tidak dianalisis.
Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani, Novel Negeri Lima
Menara bercerita tentang kehidupan di Pondok Madani atau Pondok Gontor
khusus Putra. Pengarang novel tersebut dalam menciptakan karyanya terinspirasi
dari pengalaman pribadinya. Novel tersebut bercerita mengenai pengarang sebagai
tokoh utama. Di mana pengarang bercerita tentang pertama kali masuk ke Pondok
Madani samapai lulus, ketidaksukaan pengarang masuk Pondok, pandangan
pengarang terhadap kehidupan di pondok dan pemberontakan hati pengarang.
Pandangan pengarang terhadap kehidupan pondok itulah yang akan di analisis
dalam penelitian ini.
commit to user
53
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sosiologi karya sastra menurut Wellek dan Werren, seperti yang
dijelaskan di atas bahwa sosiologi karya sastra memperlajari makna yang terdapat
dalam karya sastra tersebut. Dalam hal ini karya sastra berupa novel Negeri Lima
Menara. Selain makna juga dipelajari tujuan yang terdapat dalam karya sastra.
Sosial Budaya, analisis sosiologi sastra menurut Wellek dan Werren
khususnya sosiologi karya sastra. Sosiologi tersebut membahas mengenai karya
sastra itu sendiri atau sosiologi ini mempelajari sastra sebagai dokumen sosial
sebagai potret kenyataan sosial. Salah satunya yaitu sosial budaya.
3. Kajian tentangAspek Sosial Budaya
a. Pengertian Aspek Sosial Budaya
Menurut Fatimah Djajasudarma (1999: 26) aspek adalah cara
memandang struktur temporalintern suatu situasi yang dapat berupa keadaan,
peristiwa, dan proses.Keadaan bersifat statis, sedangkan peristiwa bersifat
dinamis. Peristiwa dikatakan dinamis jika dipandang sedang berlangsung
(imperaktif). Sosial artinya kebersamaan yang melekat pada individu
(Soelaeman, 1998: 123).
Jadi, aspek sosial dapat diartikan sebagai penginterpretasian terhadap
sudut
pandang
masyarakat.
Aspek
sosial
merupakan
sesuatu
yang
memperhitungkan nilai penting antara sastra dan masyarakat, sehingga untuk
memahami permasalahan dalam suatu karya sastra, akan berhubungan dengan
realita sosial yang terdapat dalam masyarakat. Aspek sosial suatu karya sastra
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
54
digilib.uns.ac.id
menangkap kenyataan kehidupan melalui berbagai permasalahannya. Selaras
dengan itu, Nyoman Kutha Ratna (2011: 11) menyatakan bahwa:
Analisis sosiologis memberikan perhatian yang besar terhadap fungsifungsi
sastra,
karya
sastra
sebagai
produk
masyarakat
tertentu.Konsekuensinya, sebagai timbal balik, karya sastra mesti
memberikan masukan, manfaat, terhadap struktur sosial yang
menghasilkannya.Mekanisme tersebut seolah-olah bersifat imperatif,
tetapi tidak dalam pengertian yang negatif.Artinya, antar hubungan yang
terjadi tidak merugikan secara sepihak. Sebaliknya, antar hubungan akan
menghasilkan proses regulasi dalam sistemnya masing-masing.
Jadi, karya sastra hampir mencakup seluruh aspek kehidupan manusia
sehingga karya sastra sangat dekat dengan aspirasi masyarakat.Karya sastra yang
dihasilkan pengarang di dalamnya memuat masalah-masalah yang terdapat
dalam masyarakat.Dalam hubungan inilah, pengarang merupakan wakil dari
masyarakat.Oleh karena itu, penelitian terhadap karya sastra pada dasarnya
identik dengan meneliti seluruh aspek kehidupan masyarakat.
Sebagaimana pendapat Luxemburg (1984: 23-24) yang membuat
hubungan antara sastra dan masyarakat dapat diteliti dengan berbagai cara.
(a) Yang diteliti ialah faktor-faktor di luar teks sendiri, gejala konteks
sastra: teks sastra itu tidak ditinjau. Misalnya, dengan meneliti
kedudukan pengarang di dalam masyarakat, sidang pembaca,
penerbitan, dan seterusnya.
(b) Yang diteliti ialah hubungan antara aspek-aspek teks sastra dan
susunan masyarakat. Penilaian tidak hanya berdasarkan normanorma estetik melainkan juga norma-norma politik dan etik.
Soelaeman (1998: 173) menyatakan bahwa aspek sosial dibedakan
menjadi beberapa bagian yang diuraikan sebagai berikut.
a. Budaya yaitu nilai, simbol, norma, dan pandangan hidup umumnya
commit suatu
to user
dimiliki bersama oleh anggota
masyarakat.
55
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
b. Pedesaan dan perkotaan yaitu suatu persekutuan hidup permanen pada
suatu tempat sifat yang khas.
c. Ekonomi, meliputi kemiskinan adalah kurangnya pendapatan untuk
memenuhi kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan beradadi garis
kemiskinan apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan
hidup.
Lebih lanjut, Soelaeman (1998: 5) mengemukakan bahwa kehidupan
manusia sebagai makhluk sosial selalu dihadapkan kepada masalah sosial yang
tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan. Masalah sosial ini timbul sebagai
akibat dari hubungannya dengan sesama manusia lainnya dan akibat tingkah
lakunya. Masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang satu dengan
masyarakat yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat perkembangan dan
kebudayaannya, sifat kependudukannya, dan keadaan lingkungan alamnya.
Masalah-masalah sosial merupakan hambatan dalam usaha untuk mencapai
sesuatu
yang
diinginkan.Pemecahannya
mengunakan
cara-cara
yang
diketahauinya dan yang berlaku tetapi aplikasinya menghadapi kenyataan, hal
yang biasanya berlaku telah berubah, atau terlambat pelaksanaannya. Masalahmasalah tersebut dapat terwujud sebagai masalah sosial, masalah moral, masalah
politik, masalah ekonomi, masalah agama, atau masalah-masalah lainnya
(Soelaeman, 1998: 6).
Menurut Soerjono Soekanto (2010: 54-55) yang dimaksud proses-proses
sosial adalah cara-cara berhubungan yang dapat dilihat apabila para individu dan
kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk
commit to user
56
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada perubahan-perubahan
yang menyebabkan goyahnya cara-cara hidup yang telah ada. Atau dengan
perkataan lain, proses sosial diartikan sebagai pengaruh timbal balik antara
berbagai segi kehidupan bersama. Tiga bentuk interaksi sosial yaitu Persaingan
(Competition) dapat diartikan sebagai suatu proses sosial, di mana individu atau
kelompok-kelompok manusia yang bersaing mencari keuntungan melalui
bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian
umum (baik perseorangan maupun kelompok manusia) dengan cara menarik
perhatian publik atau mempertajam prasangka yang telah ada tanpa
mempergunakan ancaman atau kekerasan (Soerjono Soekanto, 2010: 83).
Adapun pertentangan (Pertikaian atau Conflict) adalah merupakan suatu proses
sosial di mana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya
dengan jalan menantang lawan yang disertai dengan ancaman dan/atau
kekerasan. (Soerjono Soekanto, 2010: 91).
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aspek
sosial adalah hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan timbal
balik antarindividu, antarkelompok manusia, maupun antara orang dengan
kelompok manusia dan masalah sosial ini tidaklah sama antara masyarakat yang
satu dengan masyarakat yang lain karena adanya perbedaan dalam tingkat
perkembangan dan kebudayaannya, sifat kependudukannya, dan keadaan
lingkungan alamnya. Aspek sosial masyarakat yang satu dengan masyarakat
yang lain berbeda.
commit to user
57
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris,
kebudayaan disebut culuture, yang berasal dari bahasa latin Colore, yaitu
mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau
bertani. Kata culture juga kadang diartikan sebagai “kultur” dalam bahasa
Indonesia.
Edward Burnett Tylor (dalam Alo Liliwori, 2009: 107) menjelaskan
bahwa
kebudayaan
adalah
kompleks
dari
keseluruhan
pengetahuan,
kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan lain dan
kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Adapun
Bounded et. al (dalam Alo Liliwori, 2009: 110) mendefinisikan bahwa
kebudayaan adalah sesuatu yang terbentuk oleh pengembangan dan transmisi
dari kepercayaan manusia melalui simbol-simbol tertentu, misalnya simbol
bahasa sebagai rangkaian simbol, yang digunakan untuk mengalihkan keyakinan
budaya di antara para anggota suatu masyarakat. Pesan-pesan tentang
kebudayaan yang diharapkan dapat ditemukan di dalam media, pemerintahan,
institusi agama, sistem pendidikan dan bermacam-macam.
Adapun P. Hariyono (2009: 23-24) mendefinisikan bahwa kebudayaan
berdasarkan pengertian luas dan pengertian sempit sebagai berikut,
1) Kebudayaan dalam arti luas, adalah keseluruhan sistem gagasan,
tindakan, dan karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat
yang dijadikan milik diri manusia melalui proses belajar. Istilah
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
58
digilib.uns.ac.id
kebudayaan untuk menunjuk dan menekankan hasil karya fisik
manusia, sekalipun hasil karya fisik manusia ini sebenarnya tidak
lepas dari pengaruh pola pikir (gagasan) dan pola perilaku (tindakan
manusia.
2) Kebudayaan dalam arti sempit dapat disebut istilah budaya atau
sering disebut kultur yang mengandung pengertian keseluruhan
sistem gagasan dan tindakan. Pengertian budaya atau kultur
dimaksudkan untuk menyebut nilai-nilai yang digunakan oleh
kelompok manusia dalam berpikir dan bertindak.
Kebudayaan (Koentjaraningrat, 2000: 9) adalah keseluruhan gagasan dan
karya manusia yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan
dari budi dan karyanya itu. Lebih lanjut, Koentjaraningrat (2000: 5) berpendapat
bahwa kebudayaan itu mempunyai paling sedikit tiga wujud:
1. Wujud kebudayaan sebagai suatu komplek dari ide-ide, gagasangagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya.
2. Wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola
dari manusia dalam masyarakat.
3. Wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia.
Berdasarkan berbagai definisi kebudayaan menurut para ahli di atas,
maka dapat disimpulkan bahwa pengertian kebudayaan adalah sesuatu yang
akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan
yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari
kebudayaan itu bersifat abstrak. Adapun, perwujudan kebudayaan adalah bendacommit to user
59
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
benda yang diciptakan oleh manusia sebagai mahkluk yang berbudaya, berupa
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain,
yang semuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat.
Unsur-unsur kebudayaan adalah rincian suatu kebudayaan agar dapat
kebudayaan yang khusus.Ada tujuh unsur kebudayaan yang merupakan isi
pokok dari setiap kebudayaan yang bersifat universal, yang artinya ada dalam
setiap kebudayaan dunia. (Hadi Rahman, 2009: 40).
Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai komponen atau unsur
kebudayaan antara lain C. Kluckhohn dalam bukunya Universal Categories of
Culture membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan
kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah, Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono,
2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan
sebagai berikut: (1) Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai
dan pandangan hidup, komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan; (2)
Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial: kekerabatan, asosiasi dan
perkumpulan, sistem kenegaraan, sistem kesatuan hidup dan perkumpulan; (3)
Sistem pengetahuan: Flora dan fauna, waktu, ruang dan bilangan dan tubuh
manusia dan perilaku antar sesama manusia; (4) Bahasa: lisan dan tulisan; (5)
Kesenian: seni patung/pahat, relief, lukis dan gambar, rias, vocal, music,
bangunan, dan kesusateraan; (6) Sistem mata pencaharian; berburu dan
mengumpulkan
makanan, bercocok
tanam,
peternakan,
perikanan
dan
perdagangan; dan (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi: produksi, distribusi,
commit to user
60
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah,
pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.
Ketujuh unsur kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud
kebudayaan.Sehingga tiap-tiap kebudayaan dapat dijelaskan pada 1) wujud
budaya (gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial (tindakannya, pola aktivitas),
dan 3) wujud fisik. Keseluruhan sistem dalam wujud kebudayaan itu pada
akhirnya menjelma menjadi kebudayaan makro suatu masyarakat, yang memiliki
peraturan-peraturan antar unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan (P.
Hariyono, 2009: 38).
Unsur-unsur
kebudayaan
yang
disebut
cultural
universal
atau
kebudayaan umum atau universal dapat dijumpai dalam kebudayaan manapun
kebudayaan yang bersifat pokok. Meminjam istilah Ralph Liton kebudayaan
umum dapat dibagi lagi menjadi unsur-unsur yang lebih kecil yang disebut
cultural activity atau kegiatan-kegiatan kebudayaan.Cultural activity dapat
dipecah lagi menjadi unsur-unsur yang disebut triat complex atau rincian dari
kegiatan kebudayaan. Trias complek dibagi lagi atas unsur-unsur traits. Dan
traits dapat dibagi lagi atas items atau bagian terkecil yang membentuk traits.
Keterangan:
Cultural universal
Cultural activity
Triats complex
:mata pencaharian dan sistem-sistem sosial
: pertanian, nelayan, peternakan, dsb
: sistem irigasi, teknik menanam, system mengolah
tanah
Trait
: sistem mengolah tanah dengan dibajak
Items
: unsur-unsur kecil dapat melepaskan diri satu
samalain
(Mg. Sri. Wiyarti, 2007: 134-135)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
61
digilib.uns.ac.id
Menurut Koentjaraningrat (2000: 5), ada tiga wujud kebudayaan sebagai
suatu sistem dari ide-ide dan konsep-konsep dari wujud kebudayaan sebagai
suatu rangkaian tindakan dan aktivitas manusia yang berpola.
Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya.Wujud ini
adalah wujud ideal dari kebudayaan.Sifatnya abstrak, tidak dapat diraba
atau difoto.Lokasinya ada di dalam kepala-kepala. Atau dengan
perkataan lain, dalam alam pikiran warga masyarakat di mana
kebudayaan bersangkutan itu hidup.
Kedua, wujud kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai
kelakuan berpola dari manusia itu sendiri. Sitem sosial ini terdiri dari
aktivitas manusia-manusia yang berinteraksi, berhubungan, serta bergaul
satu dengan lain. Sebagai rangkaian aktivitas manusia-manusia dalam
suatu masyarakat, maka sistem sosial itu bersifat konkret, terjadi di
sekeliling kita sehari-hari bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasi.
Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia,
disebut kebudayaan fisik, dan memerlukan keterengan banyak. Karena
merupakan seluruh total dari hasil fisik dari aktivitas, perbuatan dan
karya semua manusia dalam masyarakat, maka sifatnya paling konkret,
dan berupa benda-benda atau hal-hal yang diraba, dilihat, dan difoto.
Ketiga wujud kebudayaan tersebut di atas dalam kehidupan masyarakat
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain. Oleh
karena itu, ada tiga hal yang menjadi kata kunci dalam memahami sebuah
kebudayaan yaitu ide (mantefak), sistem sosial (sosiofak), dan wujud fisik
(artefak).
Berdasarkan teori tentang pengertian sosial budaya menurut para ahli di
atas, maka dalam penelitian ini mengacu pada teori sosial budaya yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat (2000: 5) bahwa kebudayaan adalah
commityang
to user
keseluruhan gagasan dan karya manusia
harus dibiasakannya dengan belajar,
62
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu. Ada tujuh unsur kebudayaan yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Tujuh unsur kebudayaan tersebut adalah (1)
Sistem religi yang meliputi: sistem kepercayaan, sistem nilai dan pandangan
hidup, komunikasi keagamaan, upacara keagamaan; (2) Sistem kemasyarakatan
atau organisasi sosial : kekerabatan, asosiasi dan perkumpulan, sistem kenegaraan,
sistem kesatuan hidup, perkumpulan; (3) Sistem pengetahuan : Flora dan fauna,
Waktu, ruang dan bilangan, Tubuh manusia dan perilaku antar sesama manusia;
(4) Bahasa : lisan dan tulisan; (5) Kesenian : seni patung/pahat, relief, lukis dan
gambar, rias, vokal, musik, bangunan, kesusateraan; (6) Sistem mata pencaharian
: berburu dan mengumpulkan makanan, bercocok tanam, peternakan, perikanan
dan perdagangan; (7) Sistem peralatan hidup atau teknologi : produksi, distribusi,
dan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi dalam bentuk wadah,
pakaian dan perhiasan, tempat berlindung dan perumahan dan senjata.
Dari tujuh unsur kebudayaan yang dikemukaan oleh Koentjaraningrat
tersebut ada tiga wujud kebudayaan sebagai suatu sistem dari ide-ide dan konsepkonsep dari wujud kebudayaan sebagai suatu rangkaian tindakan dan aktivitas
manusia yang berpola Pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari
ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya; Kedua,
wujud kebudayaan yang sering disebut sistem sosial, mengenai kelakuan berpola
dari manusia itu sendiri; . Ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil
karya manusia, disebut kebudayaan fisik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
63
digilib.uns.ac.id
b. Kebudayaan Minangkabau
Minangkabau atau yang biasa disingkat Minang adalah kelompok
etnikNusantara yang berbahasa dan menjunjung adat Minangkabau. Wilayah
penganut kebudayaannya meliputi Sumatera Barat, separuh daratan Riau, bagian
utara Bengkulu, bagian barat Jambi, bagian selatan Sumatera Utara, barat daya
Aceh, dan juga Negeri Sembilan di Malaysia. Dalam percakapan awam, orang
Minang seringkali disamakan sebagai orang Padang, merujuk kepada nama
ibukota provinsi Sumatera Barat yaitu kota Padang. Namun, masyarakat ini
biasanya akan menyebut kelompoknya dengan sebutan urang awak (bermaksud
sama dengan orang Minang itu sendiri).
Nama Minangkabau berasal dari dua kata, minang dan kabau. Nama itu
dikaitkan dengan suatu legenda khas Minang yang dikenal di dalam tambo. Dari
tambo tersebut, konon pada suatu masa ada satu kerajaan asing (biasa ditafsirkan
sebagai Majapahit) yang datang dari laut akan melakukan penaklukan. Untuk
mencegah pertempuran, masyarakat setempat mengusulkan untuk mengadu
kerbau.Pasukan asing tersebut menyetujui dan menyediakan seekor kerbau yang
besar dan agresif, sedangkan masyarakat setempat menyediakan seekor anak
kerbau yang lapar. Dalam pertempuran, anak kerbau yang lapar itu menyangka
kerbau besar tersebut adalah induknya. Maka anak kerbau itu langsung berlari
mencari susu dan menanduk hingga mencabik-cabik perut kerbau besar tersebut.
Kemenangan itu menginspirasikan masyarakat setempat memakai nama
Minangkabau, yang berasal dari ucapan "Manang kabau" (artinya menang
commit to user
64
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kerbau). Kisah tambo ini juga dijumpai dalam Hikayat Raja-raja Pasai dan juga
menyebutkan bahwa kemenangan itu menjadikan negeri yang sebelumnya
bernama Periaman (Pariaman) menggunakan nama tersebut. Selanjutnya
penggunaan nama Minangkabau juga digunakan untuk menyebut sebuah nagari,
yaitu Nagari Minangkabau, yang terletak di kecamatan Sungayang, kabupaten
Tanah Datar, provinsi Sumatera Barat.
Dalam catatan sejarah kerajaan Majapahit, Nagarakretagama tahun 1365
M, juga telah ada menyebutkan nama Minangkabau sebagai salah satu dari negeri
Melayu yang ditaklukannya. Sedangkan nama "Minang" (kerajaan Minanga) itu
sendiri juga telah disebutkan dalam Prasasti Kedukan Bukit tahun 682 Masehi dan
berbahasa Sanskerta. Dalam prasasti itu dinyatakan bahwa pendiri kerajaan
Sriwijaya yang bernama Dapunta Hyang bertolak dari "Minanga". Beberapa ahli
yang merujuk dari sumber prasasti itu menduga, kata baris ke-4 (...minanga) dan
ke-5 (tamvan....) sebenarnya tergabung, sehingga menjadi minangatamvan dan
diterjemahkan dengan makna sungai kembar. Sungai kembar yang dimaksud
diduga menunjuk kepada pertemuan (temu) dua sumber aliran Sungai Kampar,
yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar Kanan. Namun pendapat ini
dibantah oleh Casparis, yang membuktikan bahwa "tamvan" tidak ada
hubungannya dengan "temu", karena kata temu dan muara juga dijumpai pada
prasasti-prasasti peninggalan zaman Sriwijaya yang lainnya. Oleh karena itu kata
Minanga berdiri sendiri dan identik dengan penyebutan Minang itu sendiri.
Selanjutnya ada beberapa kebudayaan Minangkabau antara lain sebagai berikut:
commit to user
65
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
1. Agama
Masyarakat Minang saat ini merupakan pemeluk agama Islam, jika ada
masyarakatnya keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang
bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat". Agama Islam diperkirakan masuk melalui
kawasan pesisir timur, walaupun ada anggapan dari pesisir barat, terutama pada
kawasan Pariaman, namun kawasan Arcat (Aru dan Rokan) serta Inderagiri yang
berada pada pesisir timur juga telah menjadi kawasan pelabuhan Minangkabau,
dan Sungai Kampar maupun Batang Kuantan berhulu pada kawasan pedalaman
Minangkabau. Sebagaimana pepatah yang ada di masyarakat, Adat manurun,
Syara' mandaki (Adat diturunkan dari pedalaman ke pesisir, sementara agama
(Islam) datang dari pesisir ke pedalaman), serta hal ini juga dikaitkan dengan
penyebutan Orang Siak merujuk kepada orang-orang yang ahli dan tekun dalam
agama Islam, masih tetap digunakan di dataran tinggi Minangkabau.
Sebelum Islam diterima secara luas, masyarakat ini dari beberapa bukti
arkeologis menunjukan pernah memeluk agama Buddha terutama pada masa
kerajaan Sriwijaya, Dharmasraya, sampai pada masa-masa pemerintahan
Adityawarman dan anaknya Ananggawarman. Kemudian perubahan struktur
kerajaan dengan munculnya Kerajaan Pagaruyung yang telah mengadopsi Islam
dalam sistem pemerintahannya, walau sampai abad ke-16, Suma Oriental masih
menyebutkan dari 3 raja Minangkabau hanya satu yang telah memeluk Islam.
commit to user
66
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan Haji Piobang dari Mekkah
sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam penegakan hukum Islam di
pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan muncul tantangan dari
masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi adat, dan puncak dari
konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul kesadaran bersama
bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an.
2.
Adat dan Budaya
Menurut tambo, sistem adat Minangkabau pertama kali dicetuskan oleh
dua orang bersaudara, Datuk Perpatih Nan Sebatang dan Datuk Ketumanggungan.
Datuk Perpatih mewariskan sistem adat Bodi Caniago yang demokratis,
sedangkan Datuk Ketumanggungan mewariskan sistem adat Koto Piliang yang
aristokratis. Dalam perjalanannya, dua sistem adat yang dikenal dengan kelarasan
ini saling isi mengisi dan membentuk sistem masyarakat Minangkabau.
Dalam masyarakat Minangkabau, ada tiga pilar yang membangun dan
menjaga keutuhan budaya serta adat istiadat. Mereka adalah alim ulama, cerdik
pandai, dan ninik mamak, yang dikenal dengan istilah Tali nan Tigo Sapilin.
Ketiganya saling melengkapi dan bahu membahu dalam posisi yang sama
tingginya. Dalam masyarakat Minangkabau yang demokratis dan egaliter, semua
urusan masyarakat dimusyawarahkan oleh ketiga unsur itu secara mufakat.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
3.
67
digilib.uns.ac.id
Matrilineal
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan
identitas masyarakat Minang. Adat dan budaya mereka menempatkan pihak
perempuan bertindak sebagai pewaris harta pusaka dan kekerabatan. Garis
keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal dengan Samande (se-ibu). Sedangkan
ayah mereka disebut oleh masyarakat dengan namaSumando (ipar) dan
diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa
sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam
menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh
kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak
ibu), dan penghulu (kepala suku). Pengaruh yang besar tersebut menjadikan
perempuan Minang disimbolkan sebagai Limpapeh Rumah nan Gadang (pilar
utama rumah). Walau kekuasaan sangat dipengaruhi oleh penguasaan terhadap
aset ekonomi namun kaum lelaki dari keluarga pihak perempuan tersebut masih
tetap memegang otoritas atau memiliki legitimasi kekuasaan pada komunitasnya.
Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat Minangkabau sampai sekarang
walau hanya diajarkan secara turun temurun dan tidak ada sanksi adat yang
diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem kekerabatan tersebut.Pada setiap
individu Minang misalnya, memiliki kecenderungan untuk menyerahkan harta
pusaka yang seharusnya dibagi kepada setiap anak menurut hukum faraidh dalam
commit to
userperempuan itu nanti menyerahkan
Islamhanya kepada anak perempuannya.
Anak
68
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pula kepada anak perempuannya pula. Begitu seterusnya. Sehingga Tsuyoshi Kato
dalam disertasinya menyebutkan bahwa sistem matrilineal akan semakin menguat
dalam diri orang-orang Minangkabau walau mereka telah menetap di kota-kota di
luar Minang sekalipun dan mulai mengenal sistem Patrilineal.
4. Bahasa
Bahasa Minangkabau merupakan salah satu anak cabang bahasa
Austronesia. Walaupun ada perbedaan pendapat mengenai hubungan bahasa
Minangkabau dengan bahasa Melayu, ada yang menganggap bahasa yang
dituturkan masyarakat ini sebagai bagian dari dialek Melayu, karena banyaknya
kesamaan kosakata dan bentuk tuturan di dalamnya, sementara yang lain justru
beranggapan bahasa ini merupakan bahasa mandiri yang berbeda dengan Melayu
serta ada juga yang menyebut bahasa Minangkabau merupakan bahasa protoMelayu. Selain itu dalam masyarakat penutur bahasa Minang itu sendiri juga
sudah terdapat berbagai macam dialek bergantung kepada daerahnya masingmasing.
Pengaruh bahasa lain yang diserap ke dalam Bahasa Minang umumnya
dari Sanskerta, Arab, Tamil, dan Persia. Kemudian kosakata Sanskerta dan Tamil
yang dijumpai pada beberapa prasasti di Minangkabau telah ditulis menggunakan
bermacam aksara di antaranya Dewanagari, Pallawa, dan Kawi. Menguatnya
Islam yang diterima secara luas juga mendorong masyarakatnya menggunakan
Abjad Jawi dalam penulisan sebelum berganti dengan Alfabet Latin.
commit to user
69
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5.
Kesenian
Masyarakat Minangkabau memiliki berbagai macam atraksi dan kesenian,
seperti tari-tarian yang biasa ditampilkan dalam pesta adat maupun perkawinan.
Di antara tari-tarian tersebut misalnya tari pasambahan merupakan tarian yang
dimainkan bermaksud sebagai ucapan selamat datang ataupun ungkapan rasa
hormat kepada tamu istimewa yang baru saja sampai, selanjutnya tari piring
merupakan bentuk tarian dengan gerak cepat dari para penarinya sambil
memegang piring pada telapak tangan masing-masing, yang diiringi dengan lagu
yang dimainkan oleh talempong dan saluang.
Silek atau Silat Minangkabau merupakan suatu seni bela diri tradisional
khas suku ini yang sudah berkembang sejak lama.Selain itu, adapula tarian yang
bercampur dengan silek yang disebut dengan randai.Randai biasa diiringi dengan
nyanyian atau disebut juga dengan sijobang, dalam randai ini juga terdapat seni
peran (acting) berdasarkan skenario.
Di samping itu, Minangkabau juga menonjol dalam seni berkata-kata.Ada
tiga genre seni berkata-kata, yaitu pasambahan (persembahan), indang, dan
salawat dulang.Seni berkata-kata atau bersilat lidah, lebih mengedepankan kata
sindiran, kiasan, ibarat, alegori, metafora, dan aphorisme. Dalam seni berkata-kata
seseorang diajarkan untuk mempertahankan kehormatan dan harga diri, tanpa
menggunakan senjata dan kontak fisik.
commit to user
70
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
6.
Rumah Adat
Rumah adat Minangkabau disebut dengan Rumah Gadang, yang biasanya
dibangun di atas sebidang tanah milik keluarga induk dalam suku tersebut secara
turun temurun. Rumah Gadang ini dibuat berbentuk empat persegi panjang dan
dibagi atas dua bagian muka dan belakang. Umumnya berbahan kayu, dan
sepintas kelihatan seperti bentuk rumah panggung dengan atap yang khas,
menonjol seperti tanduk kerbau yang biasa disebut gonjong dan dahulunya atap
ini berbahan ijuk sebelum berganti dengan atap seng. Di halaman depan rumah
gadang, biasanya didirikan dua sampai enam buah Rangkiang yang digunakan
sebagai tempat penyimpanan padi milik keluarga yang menghuni rumah gadang
tersebut.
Namun hanya kaum perempuan dan suaminya, beserta anak-anak yang
jadi penghuni rumah gadang. Sedangkan laki-laki kaum tersebut yang sudah
beristri, menetap di rumah istrinya. Jika laki-laki anggota kaum belum menikah,
biasanya tidur di surau. Surau biasanya dibangun tidak jauh dari komplek rumah
gadang tersebut, selain berfungsi sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai
tempat tinggal lelaki dewasa namun belum menikah. Selain itu dalam budaya
Minangkabau, tidak semua kawasan boleh didirikan Rumah Gadang, hanya pada
kawasan yang telah berstatus nagari saja, rumah adat ini boleh ditegakkan.
commit to user
71
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
7.
Perkawinan
Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu
peristiwa penting dalam siklus kehidupan, dan merupakan masa peralihan yang
sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru pelanjut
keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk
lingkungan baru, yakni pihak keluarga istrinya. Sedangkan bagi keluarga pihak
istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas rumah
gadang mereka.
Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek,
mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan.Dimulai dengan maminang
(meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai
basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul
kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), maka kemudian
dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di Mesjid,
sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Pada nagari tertentu setelah
ijab kabul di depan penghulu atau tuan kadi, mempelai pria akan diberikan gelar
baru sebagai panggilan penganti nama kecilnya. Kemudian masyarakat sekitar
akan memanggilnya dengan gelar baru tersebut. Gelar panggilan tersebut biasanya
bermulai dari sutan, bagindo atau sidi (sayyidi) di kawasan pesisir pantai.
Sedangkan di kawasan luhak limo puluah, pemberian gelar ini tidak berlaku.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
72
digilib.uns.ac.id
8. Masakan Khas
Masyarakat Minang juga dikenal akan aneka masakannya, dengan citarasa
yang pedas, serta dapat ditemukan hampir di seluruh Nusantara, bahkan sampai ke
luar negeri. Walau masakan ini kadang lebih dikenal dengan nama Masakan
Padang, meskipun begitu sebenarnya dikenal sebagai masakan etnik Minang
secara umum. Rendang salah satu masakan tradisional masyarakat Minang, pada
tahun 2011 dinobatkan sebagai hidangan peringkat pertama dalam daftar World’s
50 Most Delicious Foods (50 Hidangan Terlezat Dunia) yang digelar oleh CNN
International.
9.
Sosial Kemasyarakatan
a) Persukuan
Suku dalam tatanan Masyarakat Minangkabau merupakan basis dari
organisasi sosial, sekaligus tempat pertarungan kekuasaan yang fundamental.
Pengertian awal kata suku dalam Bahasa Minang dapat bermaksud satu perempat, sehingga jika dikaitkan dengan pendirian suatu nagari di Minangkabau,
dapat dikatakan sempurna apabila telah terdiri dari komposisi empat suku yang
mendiami kawasan tersebut. Selanjutnya, setiap suku dalam tradisi Minang, diurut
dari garis keturunan yang sama dari pihak ibu, dan diyakini berasal dari satu
keturunan nenek moyang yang sama.
Selain sebagai basis politik, suku juga merupakan basis dari unit-unit
ekonomi. Kekayaan ditentukan oleh kepemilikan tanah keluarga, harta, dan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
73
digilib.uns.ac.id
sumber-sumber pemasukan lainnya yang semuanya itu dikenal sebagai harta
pusaka. Harta pusaka merupakan harta milik bersama dari seluruh anggota kaumkeluarga. Harta pusaka tidak dapat diperjualbelikan dan tidak dapat menjadi milik
pribadi. Harta pusaka semacam dana jaminan bersama untuk melindungi anggota
kaum-keluarga dari kemiskinan. Jika ada anggota keluarga yang mengalami
kesulitan atau tertimpa musibah, maka harta pusaka dapat digadaikan.
Suku terbagi-bagi ke dalam beberapa cabang keluarga yang lebih kecil
atau disebut payuang (payung). Adapun unit yang paling kecil setelah sapayuang
disebut saparuik. Sebuah paruik (perut) biasanya tinggal pada sebuah rumah
gadang secara bersama-sama
b) Nagari
Daerah Minangkabau terdiri atas banyak nagari. Nagari ini merupakan
daerah otonom dengan kekuasaan tertinggi di Minangkabau. Tidak ada kekuasaan
sosial dan politik lainnya yang dapat mencampuri adat di sebuah nagari. Nagari
yang berbeda akan mungkin sekali mempunyai tipikal adat yang berbeda. Tiap
nagari dipimpin oleh sebuah dewan yang terdiri dari pemimpin suku dari semua
suku yang ada di nagari tersebut. Dewan ini disebut dengan Kerapatan Adat
Nagari (KAN). Dari hasil musyawarah dan mufakat dalam dewan inilah sebuah
keputusan dan peraturan yang mengikat untuk nagari itu dihasilkan.
Faktor utama yang menentukan dinamika masyarakat Minangkabau adalah
terdapatnya kompetisi yang konstan antar nagari, kaum-keluarga, dan individu
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
74
digilib.uns.ac.id
untuk mendapatkan status dan prestise. Oleh karenanya setiap kepala kaum akan
berlomba-lomba meningkatkan prestise kaum-keluarganya dengan mencari
kekayaan (berdagang) serta menyekolahkan anggota kaum ke tingkat yang paling
tinggi.
Dalam pembentukan suatu nagari sejak dahulunya telah dikenal dalam
istilah pepatah yang ada pada masyarakat adat Minang itu sendiri yaitu Dari
Taratak manjadi Dusun, dari Dusun manjadi Koto, dari Koto manjadi Nagari,
Nagari ba Panghulu. Jadi dalam sistem administrasi pemerintahan di kawasan
Minang dimulai dari struktur terendah disebut dengan Taratak, kemudian
berkembang menjadi Dusun, kemudian berkembang menjadi Koto dan kemudian
berkembang menjadi Nagari. Biasanya setiap nagari yang dibentuk minimal telah
terdiri dari 4 suku yang mendomisili kawasan tersebut.Selanjutnya sebagai pusat
administrasi nagari tersebut dibangunlah sebuah Balai Adat sekaligus sebagai
tempat pertemuan dalam mengambil keputusan bersama para penghulu di nagari
tersebut.
c)
Penghulu
Penghulu atau biasa yang digelari dengan datuk, merupakan kepala kaum
keluarga yang diangkat oleh anggota keluarga untuk mengatur semua
permasalahan kaum. Penghulu biasanya seorang laki-laki yang terpilih di antara
anggota kaum laki-laki lainnya. Setiap kaum-keluarga akan memilih seorang lakilaki yang pandai berbicara, bijaksana, dan memahami adat, untuk menduduki
to user jawab mengurusi semua harta
posisi ini. Hal ini dikarenakan commit
ia bertanggung
75
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pusaka kaum, membimbing kemenakan, serta sebagai wakil kaum dalam
masyarakat nagari. Setiap penghulu berdiri sejajar dengan penghulu lainnya,
sehingga dalam rapat-rapat nagari semua suara penghulu yang mewakili setiap
kaum bernilai sama.
Seiring dengan bertambahnya anggota kaum, serta permasalahan dan
konflik intern yang timbul, maka kadang-kadang dalam sebuah keluarga posisi
kepenghuluan ini dipecah menjadi dua. Atau sebaliknya, anggota kaum yang
semakin
sedikit
jumlahnya,
cenderung
akan
menggabungkan
gelar
kepenghuluannya kepada keluarga lainnya yang sesuku. Hal ini mengakibatkan
berubah-ubahnya jumlah penghulu dalam suatu nagari.
Memiliki penghulu yang mewakili suara kaum dalam rapat nagari,
merupakan suatu prestise dan harga diri. Sehingga setiap kaum akan berusaha
sekuatnya
memiliki
penghulu
sendiri.
Kaum-keluarga
yang
gelar
kepenghuluannya sudah lama terlipat, akan berusaha membangkitkan kembali
posisinya dengan mencari kekayaan untuk "membeli" gelar penghulunya yang
telah lama terbenam. Bertegak penghulu memakan biaya cukup besar, sehingga
tekanan untuk menegakkan penghulu selalu muncul dari keluarga kaya.
d) Kerajaan
Dalam laporan de Stuerskepada pemerintah Hindia-Belanda, dinyatakan
bahwa di daerah pedalaman Minangkabau, tidak pernah ada suatu kekuasaan
pemerintahan terpusat di bawah seorang raja. Tetapi yang ada adalah nagaricommit to user
76
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
nagari kecil yang mirip dengan pemerintahan polis-polis pada masa Yunani kuno.
Namun dari beberapa prasasti yang ditemukan pada kawasan pedalaman
Minangkabau, serta dari tambo yang ada pada masyarakat setempat, etnis
Minangkabau pernah berada dalam suatu sistem kerajaan yang kuat dengan
daerah kekuasaan meliputi pulau Sumatera dan bahkan sampai Semenanjung
Malaya. Beberapa kerajaaan yang ada di wilayah Minangkabau antara lain
Kerajaan Dharmasraya, Kerajaan Pagaruyung, dan Kerajaan Inderapura.
Sistem kerajaan ini masih dijumpai di Negeri Sembilan, salah satu
kawasan dengan komunitas masyarakat Minang yang signifikan di Semenanjung
Malaya. Pada awalnya masyarakat Minang di negeri ini menjemput seorang putra
Raja Alam Minangkabau untuk menjadi raja mereka, sebagaimana tradisi
masyarakat Minang sebelumnya, seperti yang diceritakan dalam Sulalatus Salatin.
c. Kebudayaan Pesantren
1.
Unsur-unsur sebuah pesantren
Untuk memberi definisi sebuah pondok pesantren, harus kita melihat
makna perkataannya. Kata pondok berarti tempat yang dipakai untuk makan dan
istirahat. Istilah pondok dalam konteks dunia pesantren berasal dari pengertian
asrama-asrama bagi para santri. Perkataan pesantren berasal dari kata santri, yang
dengan awalan pe di depan dan akhiran an berarti tempat tinggal para santri
(Dhofier 1985:18). Maka pondok pesantren adalah asrama tempat tinggal para
santri. Menurut Wahid (2001:171), “pondok pesantren mirip dengan akademi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
77
digilib.uns.ac.id
militer atau biara (monestory, convent) dalam arti bahwa mereka yang berada di
sana mengalami suatu kondisi totalitas.”
Sekarang di Indonesia ada ribuan lembaga pendidikan Islam terletak
diseluruh nusantara dan dikenal sebagai dayah dan rangkang di Aceh, surau di
Sumatra Barat, dan pondok pesantren di Jawa (Azra, 2001:70).Pondok pesantren
di Jawa itu membentuk banyak macam-macam jenis. Perbedaan jenis-jenis
pondok pesantren di Jawa dapat dilihat dari segi ilmu yang diajarkan, jumlah
santri, pola kepemimpinan atau perkembangan ilmu teknologi. Namun demikian,
ada unsur-unsur pokok pesantren yang harus dimiliki setiap pondok pesantren.
(Hasyim, 1998:39) Unsur-unsur pokok pesantren, yaitu kyai. masjid, santri,
pondok dan kitab Islam klasik (atau kitab kuning), adalah elemen unik yang
membedakan sistem pendidikan pesantren dengan lembaga pendidikan lainnya.
2. Kyai
Peran penting kyai dalam pendirian, pertumbuhan, perkembangan dan
pengurusan sebuah pesantren berarti dia merupakan unsur yang paling esensial.
Sebagai pemimpin pesantren, watak dan keberhasilan pesantren banyak
bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, karismatik dan wibawa, serta
ketrampilan kyai. Dalam konteks ini, pribadi kyai sangat menentukan sebab dia
adalah tokoh sentral dalam pesantren (Hasbullah, 1999:144).
Istilah kyai bukan berasal dari bahasa Arab, melainkan dari bahasa Jawa
(Ziemek, 1986:130). Dalam bahasa Jawa, perkataan kyai dipakai untuk tiga jenis
commit
to user
gelar yang berbeda, yaitu: (1) sebagai
gelar
kehormatan bagi barang-barang yang
78
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dianggap keramat; contohnya, “kyai garuda kencana” dipakai untuk sebutkan
kereta emas yang ada di Kraton Yogyakarta; (2) gelar kehormatan bagi orangorang tua pada umumnya; (3) gelar yang diberikan oleh masyarakat kepada orang
ahli agama Islam yang memiliki atau menjadi pimpinan pesantren dan mengajar
kitab-kitab Islam klasik kepada para santrinya (Dhofier 1985:55).
3.
Masjid
Sangkut paut pendidikan Islam dan masjid sangat dekat dan erat dalam
tradisi Islam di seluruh dunia. Dahulu, kaum muslimin selalu memanfaatkan
masjid untuk tempat beribadah dan juga sebagai tempat lembaga pendidikan
Islam. Sebagai pusat kehidupan rohani,sosial dan politik, dan pendidikan Islam,
masjid merupakan aspek kehidupan sehari-hari yang sangat penting bagi
masyarakat. Dalam rangka pesantren, masjid dianggap sebagai “tempat yang
paling tepat untuk mendidik para santri, terutama dalam praktek sembahyang lima
waktu, khutbah, dan sembahyang Jumat, dan pengajaran kitab-kitab Islam klasik.”
(Dhofier 1985:49) Biasanya yang pertama-tama didirikan oleh seorang kyai yang
ingin mengembangkan sebuah pesantren adalah masjid.Masjid itu terletak dekat
atau di belakang rumah kyai.
4. Santri
Santri merupakan unsur yang penting sekali dalam perkembangan sebuah
pesantren karena langkah pertama dalam tahap-tahap membangun pesantren
adalah bahwa harus ada murid yang datang untuk belajar dari seorang alim. Kalau
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
79
digilib.uns.ac.id
murid itu sudah menetap di rumah seorang alim, baru seorang alim itu bisa
disebut kyai dan mulai membangun fasilitas yang lebih lengkap untuk pondoknya.
Santri biasanya terdiri dari dua kelompok, yaitu santri kalong dan santri
mukim.Santri kalong merupakan bagian santri yang tidak menetap dalam pondok
tetapi pulang ke rumah masing-masing sesudah selesai mengikuti suatu pelajaran
di pesantren. Santri kalong biasanya berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren
jadi tidak keberatan kalau sering pergi pulang. Makna santri mukim ialah putera
atau puteri yang menetap dalam pondok pesantren dan biasanya berasal dari
daerah jauh. Pada masa lalu, kesempatan untuk pergi dan menetap di sebuah
pesantren yang jauh merupakan suatu keistimewaan untuk santri karena dia harus
penuh cita-cita, memiliki keberanian yang cukup dan siap menghadapi sendiri
tantangan yang akan dialaminya di pesantren (Dhofier, 1985:52).
5. Pondok
Definisi singkat istilah ‘pondok’ adalah tempat sederhana yang merupakan
tempat tinggal kyai bersama para santrinya (Hasbullah, 1999:142). Di Jawa,
besarnya pondok tergantung pada jumlah santrinya. Adanya pondok yang sangat
kecil dengan jumlah santri kurang dari seratus sampai pondok yang memiliki
tanah yang luas dengan jumlah santri lebih dari tiga ribu.Tanpa memperhatikan
berapa jumlah santri, asrama santri wanita selalu dipisahkan dengan asrama santri
laki-laki.
Komplek sebuah pesantren memiliki gedung-gedung selain dari asrama
to user
santri dan rumah kyai, termasukcommit
perumahan
ustad, gedung madrasah, lapangan
80
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
olahraga, kantin, koperasi, lahan pertanian dan/atau lahan pertenakan. Kadangkadang bangunan pondok didirikan sendiri oleh kyai dan kadang-kadang oleh
penduduk desa yang bekerja sama untuk mengumpulkan dana yang dibutuhkan.
Salah satu niat pondok selain dari yang dimaksudkan sebagai tempat
asrama para santri
adalah
sebagai
tempat
latihan
bagi
santri
untuk
mengembangkan ketrampilan kemandiriannya agar mereka siap hidup mandiri
dalam masyarakat sesudah tamat dari pesantren.Santri harus memasak sendiri,
mencuci pakaian sendiri dan diberi tugas seperti memelihara lingkungan pondok.
Sistem asrama ini merupakan ciri khas tradisi pesantren yang
membedakan sistem pendidikan pesantren dengan sistem pendidikan Islam lain
seperti sistem pendidikan di daerah Minangkabau yang disebut surau atau sistem
yang digunakan di Afghanistan (Dhofier, 1985:45).
6.
Kitab-Kitab Islam Klasik
Kitab-kitab Islam klasik dikarang para ulama terdahulu dan termasuk
pelajaran mengenai macam-macam ilmu pengetahuan agam Islam dan Bahasa
Arab. Dalam kalangan pesantren, kitab-kitab Islam klasik sering disebut kitab
kuning oleh karena warna kertas edisi-edisi kitab kebanyakan berwarna kuning.
Menurut Dhofier (1985:50),
“pada masa lalu, pengajaran kitab-kitab
Islam klasik…. merupakan satu-satunya pengajaran formal yang diberikan dalam
lingkungan pesantren.” Pada saat ini, kebanyakan pesantren telah mengambil
pengajaran pengetahuan umum sebagai suatu bagian yang juga penting dalam
commit to user
pendidikan pesantren, namun pengajaran kitab-kitab Islam klasik masih diberi
81
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kepentingan tinggi.Pada umumnya, pelajaran dimulai dengan kitab-kitab yang
sederhana, kemudian dilanjutkan dengan kitab-kitab yang lebih mendalam dan
tingkatan suatu pesantren bisa diketahui dari jenis kitab-kitab yang diajarkan
(Hasbullah, 1999:144).
Ada delapan macam bidang pengetahuan yang diajarkan dalam kitab-kitab
Islam klasik, termasuk: 1) nahwu dan saraf (morfologi); 2) fiqh; 3) usul fiqh; 4)
hadis; 5) tafsir; 6) tauhid; 7) tasawwuf dan etika; dan 8) cabang-cabang lain
seperti tarikh dan balaghah. Semua jenis kitab ini dapat digolongkan kedalam
kelompok menurut tingkat ajarannya, misalnya: tingkat dasar, menengah dan
lanjut. Kitab yang diajarkan di pesantren di Jawa pada umumnya sama (Dhofier
1985:51).
7.
Sejarah Perkembangan Pondok Pesantren di Indonesia
Sejak awal masuknya Islam ke Indonesia, pendidikan Islam merupakan
kepentingan tinggi bagi kaum muslimin.Tetapi hanya sedikit sekali yang dapat
kita ketahui tentang perkembangan pesantren di masa lalu, terutama sebelum
Indonesia dijajah Belanda, karena dokumentasi sejarah sangat kurang. Bukti yang
dapat kita pastikan menunjukkan bahwa pemerintah penjajahan Belanda memang
membawa kemajuan teknologi ke Indonesia dan memperkenalkan sistem dan
metode pendidikan baru.Namun, pemerintahan Belanda tidak melaksanakan
kebijaksanaan yang mendorong sistem pendidikan yang sudah ada di Indonesia,
yaitu sistem pendidikan Islam.Pemerintahan penjajahan Belanda membuat
commit to user
82
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
kebijaksanaan dan peraturan yang membatasi dan merugikan pendidikan Islam.
Ini bisa kita lihat dari kebijaksanaan berikut.
Pada
tahun
1882
pemerintah
Belanda
mendirikan
Priesterreden
(Pengadilan Agama) yang bertugas mengawasi kehidupan beragama dan
pendidikan pesantren. Tidak begitu lama setelah itu, dikeluarkan Ordonansi tahun
1905 yang berisi peraturan bahwa guru-guru agama yang akan mengajar harus
mendapatkan izin dari pemerintah setempat. Peraturan yang lebih ketat lagi dibuat
pada tahun 1925 yang membatasi siapa yang boleh memberikan pelajaran
mengaji. Akhirnya, pada tahun 1932 peraturan dikeluarkan yang dapat
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izinnya atau
yang memberikan pelajaran yang tak disukai oleh pemerintah. (Dhofier 1985:41,
Zuhairini 1997:149)
Peraturan-peraturan tersebut membuktikan kekurangadilan kebijaksanaan
pemerintah penjajahan Belanda terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Namun
demikian, pendidikan pondok pesantren juga menghadapi tantangan pada masa
kemerdekaan Indonesia. Setelah penyerahan kedaulatan pada tahun 1949,
pemerintah Republik Indonesia mendorong pembangunan sekolah umum seluasluasnya dan membuka secara luas jabatan-jabatan dalam administrasi modern bagi
bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut..Dampak
kebijaksanaan tersebut adalah bahwa kekuatan pesantren sebagai pusat pendidikan
Islam di Indonesia menurun. Ini berarti bahwa jumlah anak-anak muda yang dulu
tertarik kepada pendidikan pesantren menurun dibandingkan dengan anak-anak
commit to user
muda yang ingin mengikuti pendidikan sekolah umum yang baru saja diperluas.
perpustakaan.uns.ac.id
83
digilib.uns.ac.id
Akibatnya, banyak sekali pesantren-pesantren kecil mati sebab santrinya kurang
cukup banyak (Dhofier 1985:41).
Jika kita melihat peraturan-peraturan tersebut baik yang dikeluarkan
pemerintah Belanda selama bertahun-tahun maupun yang dibuat pemerintah RI,
memang masuk akal untuk menarik kesimpulan bahwa perkembangan dan
pertumbuhan sistem pendidikan Islam, dan terutama sistem pesantren, cukup
pelan karena ternyata sangat terbatas. Akan tetapi, apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah pertumbuhan pendidikan pesantren yang kuatnya dan
pesatnya luar biasa. Seperti yang dikatakan Zuhairini (1997:150), ternyata “jiwa
Islam tetap terpelihara dengan baik” di Indonesia.
4.
Kajian tentang Nilai-nilai Pendidikan dalam Novel
a.
Pengertian Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia.Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau berguna
bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan memiliki
ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai.
Persahabatan sebagai nilai (positif/ baik) tidak akan berubah esensinya manakala ada
pengkhianatan antara dua yang bersahabat. Artinya nilai adalah suatu ketetapan yang
ada bagaimanapun keadaan di sekitarnya berlangsung.
Nilai pada hakikatnya adalah hal-hal penting yang berhubungan dengan
menusia. Dengan kata lain, nilai adalah aturan yang menentukan sesuatu benda
atau perbuatan lebih tinggi, dikehendaki dari yang lain (Atar Semi, 1988:
commit to user
54).Lebih lanjut Atar Semi mengatakan bahwa nilai juga menyangkut masalah
84
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bagaimana usaha untuk menentukan sesuatu itu berharga dari yang lain, serta
tentang apa yang dikehendaki atau ditolak
Rieseri Frondizi (2007: 20) menjelaskan bahwa nilai bersifat objektif dan
subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian. Nilai
bersifat objektif jika ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai.
Nilai juga dapat bersifat subjektif jika eksistensi, makna, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian.
Pengertian nilai menurut Ginanjar (2002: 14) adalah berkaitan dengan cara
bertingkah laku yang disukai dan keadaan akhir dari suatu eksistensi. Perbedaan
tingkah laku individu tergantung pada nilai yang diprioritaskan, yaitu
memprioritaskan nilai sosial atau nilai personal.
Dendy Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra adalah sebagai berikut: nilai hedonik; nilai artistik; nilai
kultural; nilai etika, moral, dan agama; dan nilai praktis.
Nilai dapat dibedakan menjadi berikut ini: (1) nilai materi yang mencakup
kebutuhan pangan, sandang, dan papan; (2) nilai sosial mencakup kebutuhan
hidup bersama antarsesama yang meliputi kasih sayang, kepercayaan, kehangatan,
kemesraan, dan sebagainya; (3) nilai moral yang meliputi kejujuran dan tanggung
jawab atas kehidupan pribadi; (4) nilai estetika yang menyangkut keindahan dan
rasa seni; (5) nilai spiritual yang menyangkut kebutuhan manusia akan
kesempurnaan dan kelengkapan dirinya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
85
digilib.uns.ac.id
Dari pendapat para ahli di atas ditarik kesimpulan bahwa nilai adalah
keyakinan yang mampu mempengaruhi cara berpikir, cara bersikap maupun cara
bertindak dalam mencapai tujuan hidup jika dihayati dengan baik dan bersifat
objektif dan subjektif, tergantung dari sudut pandang yang memberikan penilaian.
b. Pengertian Pendidikan
Dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nsional Bab I ketentuan umum pasal 1 disebutkan bahwa,
“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana
belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara” (dalam Seodomo Hadi, 2003:108)
Soedomo Hadi (2003:18) mengatakan bahwa pendidikan adalah bantuan
atau tuntunan yang diberikan oleh orang yang bertanggung jawab kepada anak
didik dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan yang
dilakukan. Pendidikan mencakup pengalaman, pengertian, dan penyesuaian diri
dari pihak terdidik terhadap rangsangan yang diberikan kepadanya menuju arah
pertumbuhan dan perkembangan.
Pendidikan pada hakikatnya juga berarti mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dari pernyataan tersebut terdapat tiga unsur pokok dalam pendidikan, yaitu: a)
cerdas, berarti memiliki ilmu yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
persoalan nyata. Cerdas bermakna kreatif, inovatif dan siap mengaplikasikan
ilmunya; b) hidup, memiliki filosofi untuk menghargai kehidupan dan melakukan
hal-hal yang terbaik untuk kehidupan itu sendiri. Hidup itu berarti merenungi
commit to user
86
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
bahwa
suatu
hari
kita
akan
mati,
dan
segala
amalan
kita
akan
dipertanggungjawabkan kepadaNya. Filosofi hidup ini sangat syarat akan makna
individualisme yang artinya mengangkat kehidupan seseorang, memanusiakan
manusia, memberikan makanan kehidupan berupa semangat, nilai moral, dan
tujuan hidup; c) bangsa, berarti manusia selain sebagai individu juga merupakan
makhluk sosial yang membutuhkan keberadaan orang lain. Setiap individu
berkewajiban menyumbangkan pengetahuannya untuk masyarakat meningkatkan
derajat kemuliaan masyarakat sekitar dengan ilmu, sesuai dengan yang diajarkan
agama dan pendidikan. Indikator terpenting kemajuan suatu bangsa adalah
pendidikan dan pengajaran (Nyoman Kutha Ratna, 2010: 449).
Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana, bertanggung jawab mendewasakan anak bangsa
melalui pengajaran dan pelatihan yang dilakukan untuk mewujudkan proses
pengubah sikap dan tingkah laku agar peserta didik aktif mengembangkan potensi
diri melalui upaya pengajaran dan latihan.
c. Pengertian Nilai Pendidikan (Edukasi) dalam Novel
Dalam karya sastra yang baik sebagai karya imajinasi dan kreativitas
pengarang yang memberikan pengalaman bagi pembaca. Dengan kreativitas,
seorang pengarang mampu menyajikan keindahan rangkaian cerita, melainkan
juga memberikan pandangan yang berhubungan dengan renungan tentang agama,
filsafat dan beranekaragam pengalaman tentang problematika hidup.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
87
digilib.uns.ac.id
Nilai-nilai pendidikan sangat erat kaitannya dengan karya sastra. Setiap
karya sastra yang baik (termasuk novel) selalu mengungkapkan nilai-nilai luhur
yang bermanfaat bagi penikmatnya. Nilai pendidikan yang dimaksud dapat
mencapai nilai pendidikan moral, agama, sosial, maupun estetis (keindahan). Hal
ini sesuai dengan pernyataan Herman J. Waluyo (1990:27) bahwa nilai sastra
berarti kebaikan yang ada dalam makna karya sastra bagi kehidupan. Nilai sastra
dapat berupa nilai medial (menjadi sarana), nilai final (yang dikejar seseorang),
nilai kultural, nilai kesusilaan, dan nilai agama.
Selanjutnya kajian Carverand Richard P. Enfield (2006: 66) dalam Journal
education and culture, Vol 22berikut ini:
Offering an introduction to both John Dewey’s philosophy ofeducation and the 4H Youth Development Program, this paper drawsclear connections between these
two topics. Concepts explored includeDewey’s principles of continuity and
interaction, and contagion withrespect to learning. Roles of educational leaders
(including teachers) areinvestigated in the context of a discussion about the
structuring ofopportunities for students to develop habits of meaningful and lifelearning. Specific examples are described in depth to demonstrate, from
aDeweyan perspective, the educational process and value of 4-Hparticipation.
Brief comments are made about the place of 4-H in the U.S.system of public
education.
Nilai pendidikan dalam karya sastra penting untuk membangun
masyarakat yang berkarakter kuat.Nilai pendidikan yang tergambar dalam interksi
antar tokoh dan kebiasaan-kebiasaan tokoh dalam novel sesuai dengan konsep
pendidikan kontekstual.
Nilai didik dalam karya sastra memang banyak diharapkan dapat memberi
solusi atas sebagian masalah dalam kehidupan bermasyarakat. Sastra merupakan
alat penting bagi pemikir-pemikir untuk menggerakkan pembaca pada kenyataan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
88
digilib.uns.ac.id
dan menolongnya mengambil suatu keputusan apabila Ia menghadapi masalah
(M. Atar Semi, 1993: 20). Lubis (dalam H. Nani Tuloli, 1999: 233-234)
menambahkan bahwa dalam sastra (khususnya novel) akan melakukan berbagai
hal untuk mengubah dan memperbaiki kehidupan masyarakat. Jadi novel dapat
berperan penting dalam proses perubahan masyarakat itu. Perubahan itu sebagai
berikut: (a) Menimbulkan kebiasaan membaca yang sangat dibutuhkan pada era
kemajuan IPTEKS; (b) Menimbulkan rasa simpati terhadap penderitaan
masyarakat dan berusaha untuk menanggulanginya; (c) Memantapkan budaya
yang beretika dan bermoral tinggi dalam kehidupan sebagai makhluk Tuhan
maupun anggota masyarakat; dan (d) Mencintai kebenaran, keberanian, kejujuran,
ketabahan, dan ketangguhan yang sangat dibutuhkan dalam pembangunan.
Dendy Sugono (2003: 111) menjelaskan bahwa nilai-nilai yang terdapat
dalam karya sastra adalah sebagai berikut: nilai hedonik (hedonic value), nilai
artistik (artistic value), nilai kultural (cultural value), nilai etika, moral, agama
(ethical, moral, religious value), dan nilai praktis (practice value). Berikut
penjelasan dari kelima nilai tersebut: (a) Nilai hedonik (hedonic value), yaitu nilai
yang dapat memberikan kesenangan secara langsung kepada pembaca; (b) Nilai
artistik (artistic value), yaitu nilai yang dapat dimanifestasikan sebagai suatu seni
atau ketrampilan dalam melakukan suatu pekerjaan; (c) Nilai kultural(cultural
value), yaitu nilaiyang dapat memberikan ataumengandung hubunganyang
mendalam dengan suatu masyarakat, peradaban, dan keagamaan; (d) Nilai etis,
moral, dan agama (ethical, moral, religious value), yaitu nilai yang dapat
to user
memberikan atau memancarkan commit
petuah atau
ajaran yang berkaitan dengan etika,
perpustakaan.uns.ac.id
89
digilib.uns.ac.id
moral, atau agama; dan (e) Nilai praktis (practice value), yaitu nilai yang
mengandung hal-hal praktis yang dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Novel memiliki berbagai macam tema. Dendy Sugono (2003: 111)
menyatakan bahwa dengan membaca novel, pembaca akan memperoleh sesuatu
yang dapat memperkaya wawasan dan/atau meningkatkan harkat hidup. Dengan
kata lain, dalam novel ada sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan. Karena
itulah, karya sastra yang baik senantiasa mengandung nilai (value).
Sastrowardoyo (dalam H. Nani Tuloli, 1999: 232) menjelaskan bahwa
sebenarnya dalam masyarakat modern kesusastraan dapat berkembang dengan
subur dan nilai-nilainya dapat dirasakan manfaatnya oleh umum. Kesusastraan
sendiri mengandung potensi-potensi ke arah keluasan kemanusiaan dan semangat
hidup serta mengandung ekspresi total pribadi manusia yang meliputi tingkat
pengalaman biologi, sosial, intelektual, dan religius. Nilai-nilai seperti itu sangat
dibutuhkan oleh masyarakat modern karena merupakan hasil observasi yang teliti
dari pengarang yang dituangkan dalam karya sastra.
Butir-butir nilai seperti itu banyak terungkap dalam novel dan dapat
dijadikan sebagai bahan kajian, renungan, dan pegangan bagi para pembacanya
serta menumbuhkan sikap positif bagi para pembacanya (H. Nani Tuloli, 1999:
234). Hal itu sangat mendasar karena sastra juga mampu eksis dan dapat
menjembatani kehidupan di Indonesia yang plural dan miltikultural, sebagaimana
dinyatakan Suminto A. Sayuti (2006: 1) sebagai berikut: (a) Sastra mampu
menyuarakan perbedaan budaya agar saling memahami; (b) Karya sastra
commit to user
90
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
umumnya mengedepankan pluralisme budaya; (c) Sastra mempunyai kepedulian
yang tinggi pada mereka yang berbeda secara kultural; dan (d) Sastra menekankan
pentingnya relasi antarmanusia yang memusatkan perhatiannya pada timbulnya
sikap positif, tenggang rasa, berkembangnya konsep diri, dan menerima kehadiran
orang lain.
Nilai-nilai yang terkandung dalam sastra, yaitu: kedamaian, penghargaan,
cinta, toleransi, kejujuran, kerendahan hati, kerja sama, kebahagiaan, tanggung
jawab, kesederhanaan, kebebasan, dan persatuan. (a) Kedamaian yang ditandai
dengan tidak adanya kekerasan, adanya penerimaan, komunikasi keadilan,
komunikasi, ketenangan, dan sebagainya; (b) Penghargaan, yaitu mengenal
kualitas individu, karena setiap individu adalahberharga; (c) Cinta yang
berarti bahwa dalam pribadi yang baik selalu ada cinta yang tulus,
memberikan
kebaikan,
pemeliharaan
dan
pengertian,
melenyapkan
kecemburuan, dan menjaga tingkah laku; (d) Toleransi, yakni sifat terbuka dan
reseptif pada indahnya perbedaan atau saling menghargai melalui saling
pengertian; (e) Kejujuran yang berarti menyatakan bahwa kebenaran tidak ada
kontradiksi dalam pikiran, kata atau tindakan serta tidak ada kemunafikan; (f)
Kerendahan hati yang artinya mengizinkan diri untuk tumbuh dalam
kemuliaan dan integritas; (g) Kerja sama yang disebabkan karena ada prinsip
saling
menghargai,
keberanian,
pertimbangan
pemeliharaan,
membagi
keuntungan, dan adanya penerimaan; (h) Kebahagiaan sebagai akibat adanya
kepuasan; (i) Tanggung jawab, yaitu melakukan kewajiban dengan sepenuh hati;
to usermempertimbangkan hal-hal yang
(j) Kesederhanaan, maksudnya commit
kemampuan
perpustakaan.uns.ac.id
91
digilib.uns.ac.id
tidak perlu; (k) Kebebasan yang berarti adanya keseimbangan antara hak dan
kewajiban dan pilihan seimbang dengan konsekuensinya; dan (l) Persatuan
yang merupakan keharmonisan antara individu dalam suatu kelompok serta
dibangun dari saling berbagi pandangan, harapan, dan tujuan mulia atau
demi kebaikan bersama.
Dengan demikian, novel yang merupakan salah satu genre sastra pasti
mengandung nilai-nilai pendidikan yang sangat bermanfaat bagi pendidikan batin
pembacanya atau penikmatnya. Dengan demikian, bisa jadi novel dapat
memegang peran penting dalam mengatasi krisis moral maupun menurunnya
moral bangsa, khususnya generasi muda saat ini.
Ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita
(dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah nilai yang
dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian nilai-nilai yang diambil untuk
menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukan oleh Max
Scheler.maka nilai-nilai pada novel dapat dikemukakansebagai berikut:
1) Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa yang
dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh,
orang menganggap menolong memiliki nilai baik, adapun mencuri bernilai
buruk.Nilai sosial termasuk pada nilai vitalitas atau kehidupan sosial.
Ukuran untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas
atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini sangat dipengaruhi
commit to user
oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat yang satu
92
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai. Contoh masyarakat yang
tinggal diperkotaan lebih menyukai persaingan Karena dalam persaingan akan
muncul perubahan-perubahan. Sementara pada masyarakat tradisional lebih
cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu
keharmonisan dan tradisi yang turun-temurun.
Kimbal Young mengemukakan nilai sosial adalah asumsi yang abstrak
dan sering tdak disadari tentang apa yang dianggap penting dalam masyarakat.
Adapun A.W Green memandang nilai sosial seabagai kesadaran yang secara
relatif berlangsung disertai emosi terhadap obyek. Menurut Woods, nilai sosial
merupakan petunjuk-petunjuk umum yang telah berlangsung lama yang
mengarahkan tingkah laku dalam kehidpan sehari-hari,(Fikri, 2010).
Burhan Nurgiyantoro (2010: 334) menyatakan bahwa banyak karya
sastra yang memperjuangkan nasib rakyat kecil yang menderita, nasib rakyat
kecil yang memang perlu dibela, rakyat kecil yangseperti dipermainkan oleh
tangan-tangan
kekuasaan,
kekuasaan
yang
kini
lebih
berupakekuatan
ekonomi.Memperjuangkan nasib rakyat kecil yang dimaksudkan Burhan
Nurgiyantoro adalah perwujudan nilai moral dalam karya sastra.
2) Nilai Spiritual
a) Nilai agama
Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada nabi sebagai
petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata serta
mengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan masyarakat
serta alam sekitarnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
93
digilib.uns.ac.id
Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima apayang
terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan apa yang dicari
adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa.
Mangunwijaya (dalam Burhan Nurgiyantoro, 2010: 326) mengatakan
bahwa, kehadiran unsur keagamaan dan religious dalam sastra adalah suatu
keberadaan sastra itu sendiri.
Nilai religius dapat dikatakan nilai dasar kemanusiaan yang berkaitan
dengan ketuhanan secara umum dan diakui oleh semua pemeluk agama. Adapun
nila dasar religious, semua pemeluk agama mengakunya seperti: (1) membantu,
membela kaum yang lemah; (2) mengakui persamaan derajat manusia (hak azasi
manusia); (3) memperjuangkan keadilam, kebenaran, kejujuran, kemerdekaan,
dan perdamaian; (4) menentang adanya penindasan sesama manusia, dan lain
sebagainya.
b) Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif
Nilai pendidikan merupakan hal-hal penting dan ajaran yang berguna
bagi kemanusaiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan
manusia berbudaya. Nilai pendidikan adalah nilai yang bermoral. Moral
merupakan tingkah laku perbuatan manusia dipandang dari nilai baik-buruk,
benar dan salah berdasarkan adat dan kebiasaan di mana individu itu berada.
Nilai moral di bagi dua yaitu segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu
diasampaikan, sebab kita dapat memperoleh teladan yang bermanfaat.Segi
positif harus ditonjolkan sebagai hal yang ditiru dan diteladani. Demikian segi
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
94
digilib.uns.ac.id
negatif perlu juga diketahui serta disampaikan kepada pembaca. Hal ini
dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik mana
yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih
baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan. Nilai moral
mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang
menyangkut harkat dan martabat manusia, mencakup semua persoalan yang
boleh dikatakan tak terbatas.
Setiap karya sastra selalu berorientasi pada hal-hal yang bersifat
membangun melalui pesan moral. Nilai-nilai moral dalam karya sastra dapat
dijadikan bahan perenungan sekaligus menjadi kaidah pendamping dalam
menjalankan kegiatan kehidupan.
Sebuah karya sastra (novel) tentu saja dapat mengandung dan
menawarkan pesan moral, tentunya banyak sekali jenis moral dan wujud ajaran
moral yang dipesankan. Karya sastra disebut memiliki nilai moral apabila
menyajikan, mendukung, dan mengharagai nilai kehidupan yang berlaku. Moral
dalam karya sastra biasanya mencerminkan pandangan hidup pengarang yang
bersangkutan, pandangannya tentang nilai-nilai kebenaran, dan hal itulah yang
ingin disampaikan kepada pembaca. Moral dalam karya sastra dapat dipandang
sebagai amanat. Burhan Nurgiyantoro (2010: 324)
Berdasarkan dari beberapa ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
nilai moral adalah pesan yang ingin disampaikan pengarang kepada pembaca,
pesan tersebut merupakan makna yang terkandung dalam suatu karya yaitu
makna yang diungkapkan lewat cerita.
commit to user
95
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c) Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam
suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar
pada
suatu
kebiasaan,
kepercayaan
(believe),
simbol-simbol,
dengan
karakteristik tertentu yang dapat dibedakan dan lainnya sebagai acuan prilaku
dan tanggapan atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Kluckhon dan Strodtbeck (dalam Koentjaraningrat, 2000: 78) menyatakan
bahwa konsepsi mengenai isi dari nilai budaya yang secara universal ada dalam
tiap kebudayaan menyangkut paling sedikit lima hal, yaitu 1) masalah human
nature, atau makna hidup manusia; 2) masalah man nature, atau makna dari
hubungan manusia dengan alam sekitarnya; 3) masalah time, atau persepsi
manusia mngenai waktu; 4) masalah activity, atau soal makna dari pekerjaan,
karya dan amal perbuatan manusia, dan 5) masalah relational, atau hubungan
manusia dengan sesama manusia. Kelima masala tersebut sering disebut sebagai
orientasi nilai budaya (value orientation).
Nilai-nilai budaya akan tampak pada simbol-simbol, slogan, moto, visi,
misi atau sesuatu yang nampak sebagai acuan pokok moto suatu lingkungan atau
organisasi. Ada tiga hal yang terkait dengan nila-nilai budaya yaitu:
1) Simbol-simbol, slogan atau yang lainnya yang kelihatan kasat mata.
2) Sikap, tindak laku, gerak gerik yang muncul akibat slogan, moto
tersebut.
3) Kepercayaan yang tertanam (believe system) yang mengakar dan
menjadi kerangka acuan dalam bertindak dan berperilaku (tidak
commit to user
96
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
terlihat).
B. Penelitian yang Relevan
Berkaitan dengan teori di atas diketemukan hasil penelitian terdahulu.
Berikut akan dipaparkan penelitian yang relevan dengan penelitian ini:
Penelitian yang telah dilakukan oleh Purwoko tahun 2009 berjudul Novel
Kutahu Matiku Karya Nwi Palupi
Pendidikan).Kesimpulan
dalam
(Tinjauan Sosiologi Sastra dan Nilai
penelitian
ini,
yaitu:
(1)
latar
tempat
mempengaruhi sikap dan keyakinan Klara tentang apa yang dirasakan dan dilihat
tetapi yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain; (2) makna nilai pendidikan
dengan tinjauan sosiologi, antara lain: (a) Nilai pendidikan religius atau agama,
(b) Nilai pendidikan ilmu pengetahuan, (c) Nilai pendidikan sosial, (d) Nilai
pendidikan ekonomi, (e) nilai pendidikan politik.
Persamaan penelitian ini dengan penelitian Purwoko adalahpenggunaan
pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni sama-sama
menggunakan pendekatan sosoilogi sastra dan penggunaan obyek penelitian
berupa novel. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Purwoko adalah
penggunaan obyek penelitian di atas menggunakan novel Kutahu Matiku Karya
Nwi Palupi sedangkan obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi.
Renee N. Easter, Joseph A. Caruso and Anne P. Vonderheide (2010,493commit
to user Teaching. Hasil penelitian yang
502) yang dimuat di dalam Journal
of Language
perpustakaan.uns.ac.id
97
digilib.uns.ac.id
dimuat di dalamn Journal ini dikemukakan bahwa mencatat perkembangan novel
terbaru dan aplikasinya sehingga menjadi komprehensif, yaitu dengan
mengeksplorasi kemajuan instrumental yang menunjukkan peningkatan dalam
kemampuan analisis.Persamaan penelitian ini dengan penelitian Renee N. Easter
adalah penggunaan obyek penelitian berupa novel.Adaapun perbedaan penelitian
Renee N. Easter dengan penelitian ini adalah penggunaan pendekatan yang
dipakai.Penelitian Renee N. Easter menggunakan pendekatan eksplorasi, adapun
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiologi
sastra.
Casey Brienza (2010, 105-119) yang dimuat di dalam Journal of Language
Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalamn Journal ini dikemukakan bahwa
pendekatan sosiologis untuk mempelajari seni dan sastra dan menunjukkan nilai
sebagai intervensi metodologi dalam bidang studi komik. Pendekatan ini
berpendapat bahwa semua karya seni termasuk komik adalah produk dari aktivitas
manusia kolektif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Casey Brienza
adalah penggunaan pendekatan yang dipakai untuk mengkaji karya sastra yakni
sama-sama menggunakan pendekatan sosoilogi sastra. Adapun perbedaan
penelitian Casey Brienza dengan penelitian ini adalah penggunaan obyek
penelitian di atas menggunakan komik adapun obyek penelitian ini adalah novel
Negeri Lima Menara
Brian Conway (2010, vol 4) yang dimuat di dalam Journal of Language
Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalam Journal ini dikemukakan bahwa
commit
to user
pembelajaran pemahaman dengan
cakupan
luas tentang ilmu sosial dan ilmu
98
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
pengetahuan dalam sosiologi, psikologi, antropoligi dan geografi. Persamaan
penelitian ini dengan penelitian Brian Conway adalah penggunaan pendekatan
yang dipakai dalam pembelajaran pemahaman yakni sama-sama menggunakan
pendekatan sosoilogi. Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian ini
adalah penggunaan obyek penelitian Brian Conway adalah pembelajaran secara
umum sedangkan obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara.
Diana Crane (2010, vol 4) yang dimuat di dalam Journal of Language
Teaching. Hasil penelitian yang dimuat di dalam Journal ini dikemukakan bahwa
hubungan antara sosiologi budaya dan pendekatan budaya diluar disiplin ilmu
sosial. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Diana Crane adalah
penggunaan pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran yakni sama-sama
menggunakan pendekatan sosoilogi budaya. Adapun perbedaan penelitian Diana
Crane dengan penelitian ini adalah obyek penelitian di atas adalah disiplin ilmu
sosial sedangkan obyek penelitian ini adalah novel Negeri Lima Menara.
C. Kerangka Berfikir
Karya sastra merupakan satu bentuk kebudayaan, sehingga tidak dapat
dipisahkan dari lingkungan yang telah membentuknya. Salah satu bentuk karya
sastra adalah novel. Novel merupakan cerminan keadaan sosial dari kurun waktu
tertentu. Novel berbicara mengenai manusia dan kemanusiaan. Di dalam novel
terkandung fenomena-fenomena sosial yang ditampilkan oleh pengarang. Oleh
karena itu kehadiran karya sastra tidak dapat terlepas dari situasi dan kondisi
sosial masyarakat.
commit to user
99
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam penelitian ini peneliti mengambil judul “Analisis Sosiologi Sastra
dan Nilai Pendidikan dalam Novel Negeri Lima Menara Karya Ahmad Fuadi”.
Dengan menggunakan Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai
objek penelitian, penulis akan mengkaji novel tersebut dengan sosiologi sastra.
Penulis berupaya mendeskripsikan pandangan pengarang terhadap Pondok
Madani dalam Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, aspek sosial
budaya yang terdapat dalam Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi, dan Nilai
pendidikan dalam Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Setelah ketiga
rumusan dianalisis barulah ditarik simpulan. Untuk lebih jelasnya, alur kerangka
berpikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut,
commit to user
100
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi
Pendekatan Sosiologi Sastra
Pandangan
pengarang terhadap
Pondok Madani
dalam Novel
Negeri Lima
Menara karya
Ahmad Fuadi
Aspek sosial budaya
yang terdapat Novel
Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi
Totalitas Makan Novel
Gambar 1: Alur kerangka berpikir
commit to user
Nilai-nilai
Pendidikan
Novel Negeri
Lima Menara
karya Ahmad
Fuadi
101
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang menganalisis data dokumen
berupa novel yaitu novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi sebagai objek
penelitiannya, maka penelitian ini berupa kajian novel, maka objek kajian
penelitiannya adalah novel itu sendiri. Adapun rincian penelitian ini tidak
terpancang waktu dan tempat. Waktu dan pelaksanaan jenis kegiatan dalam
penelitian ini dapat dijelaskan dengan tabel berikut:
Tabel 1. Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian
Waktu
Bulan
NO
Kegiatan
Ke-1
1.
Persiapan
xx
2.
Pembuatan Proposal
Ke-2
Ke-3
Ke-4
Ke-5
Ke-6
xx
3.
Revisi Proposal
xx
4.
Pengumpulan Data
5.
Pengolahan dan Analisis
xx
xx
xx
x
Data
6.
Penyusunan Laporan hasil
xxxx
xx
penelitian
7.
Revisi
Laporan
Hasil
xx
Penelitian
commit to user
101
xx
102
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
B. Metode Penelitian
Metode penelitian ini adalah
kualitatif deskriptif. Metode kualitatif
deskriptif menurut H.B Sutopo (2002 : 40) menjelaskan bahwa:
Penelitian kualitatif melibatkan kegiatan ontologis. Data yang
dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat tau gambar yang
memiliki arti lebih bermakna dan mampu memacu timbulnya pemahaman
yang lebih nyata daripada sekedar sajian angka atau frekuensi. Penelitian
menekankan catatan dengan deskripsi kalimat yang rinci, lengkap, dan
mendalam, yang menggambarkan situasi yang sebenarnya guna
mendukung penyajian data. Oleh karena itu penelitian kualitatif secara
umum sering disebut sebagai pendekatan kualitatif deskripsi.
Penelitian ini akan mendeskripsikan pandangan pengarang Ahmad Fuadi
terhadap karya sastranya yaitu novel Negeri Lima Menara. Aspek sosial budaya
yang terjadi dalam novel Negeri Lima Menara dan Nilai-nilai pendidikan dalam
novel Negeri Lima Menara .
C. Data dan Sumber Data
1.
Data
Data atau informasi penting yang dikumpulkan dan dikaji dalam penelitian
ini berupa data kualitatif yang berwujud ungkapan atau kalimat yang ada dalam
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi.
Adapun data yang dikumpulkan harus sesuai dengan pendekatan sosiologi
sastra yang memfokuskan diri pada data:
a. Data pandangan pengarang terhadap isi novelnya. Pengarang dibicarakan
terlebih dahulu dengan anggapan bahwa pengarang adalah kunci penentu
tentang apa dan bagaimana aspek sosial budaya dimanfaatkan;
commitnovel
to user
b. Data sosial budaya yang ada dalam
Negeri Lima Menara;
103
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Data nilai-nilai pendidikan yang ada dalam novel Negeri Lima Menara;
2. Sumber Data
Sumber data penelitian dikelompokkan menjadi dua bagian sebagai
berikut:
a.
Dokumen berupa bahan tertulis yaitu isi novel Negeri Lima Menara karya
Ahmad Fuadi diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta 2009, tebal
423 halaman.
b. Narasumber atau informan berupa manusia yang memiliki informasi terkait:
Nama
: Ahmad Fuadi
Tempat/Tgl Lahir
: Bukittinggi, 1972
Alamat
: Bintaro, Jakarta
Keterangan
: Penulis Novel Negeri Lima Menara
D. Teknik Cuplikan (Sampling)
Sutopo (2002 : 55) mengatakan bahwa teknik cuplikan merupakan suatu
bentuk khusus atau proses bagi pemusatan sumber data dalam penelitian yang
mengarah pada seleksi dari sifatnya yang internal tersebut mengarah pada
kemungkinan generalisasi teoritis). Oleh karena itu pada penelitian ini
menggunakan teknik cuplikan purposive sampling yaitu:
Sumber data yang digunakan di sini tidak sebagai sumber data yang
mewakili populasinya tetapi seperti telah disebutkan di depan, lebih
cenderung mewakili informasinya...., dengan akses tertentu yang dianggap
memiliki informasi yang berkaitan dengan permasyalahannya secara
mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber data yang mantap
(Sutopo, 2002:56).
commit to user
104
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Penelitian ini mencuplik bagian-bagian dalam novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi yang mewaili informasi penting agar bisa digunakan untuk
analisis. Selain itu, juga mencuplik bagian buku dan internet yang bisa
memberikan informasi penunjang.
E. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan selama pengumpulan data yaitu teknik interaktif
meliputi wawancara dan teknik noninteraktif meliputi mancatat dokumen atau
arsip (content analysis).
1.
Melakukan Wawancara
Wawanacara dilakukan secara tidak terstruktur kerena peneliti merasa
tidak tahu mengeni apa yang terjadi sebenarnya dan ingin menggali informasi
secara mendalam dan lengkap dari narasumbernya (Sutopo, 2002:59). Wawancara
berlangsung melalui email dengan pengarang novel Negeri Lima Menara yaitu
Ahmad Fuadi. Hasil wawancara dilampirkan di lampiran halaman 202.
2. Mengkaji Dokumen dan Arsip (content analisys)
Sumber data yang berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan data
pokok dalam penelitian historis, terutama untuk mendukukung proses interprestasi
dari setiap peristiwa yang diteliti. Dokumen yang ditemukan wajib dikaji
kebenarannya, baik secara eksternal (kritik eksternal) yang berkaitan dengan
kaslian dokumen, dan juga secara internal (kritik internal) yang berkaitan dengan
kebenaran isi dokumen atau pernyataan yang ada (Sutopo, 2002:70). Pengkajian
commit to user
105
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dokumen tersebut dilakukan dengan teknik analisis isi (content analisys). Langkah
kerjanya adalah:
a.
Menentukan teks yang dipakai sebagai objek penelitian, yaitu novel Negeri
Lima Menara (2009) karya Ahmad Fuadi.
b.
Melakukan dua tahap pembacaan sastra, heuristik dan hermeneutik. Membaca
novel Negeri Lima Menara dan sumber-sumber tertulis lainnya.
1) Teknik simak, yakni melakukan penyimakan secara cermat, terarah dan
teliti terhadap data primer yaitu novel Negeri Lima Menara. Data
sekunder berupa buku, jurnal, dan artikel dalam rangka memperoleh data
tentang pandangan pengarang, sosial budaya dan nilai-nilai pendidikan.
Teknik simak dilakukan dengan cara berulang-ulang sambil memberi
tanda-tanda khusus pada data yang diperlukan.
2) Teknik catat, hasil penyimakan terhadap data ditampung dan dicatat untuk
digunakan dalam penyusunan laporan.
F. Uji Validitas Data
Uji validitas data dalam penelitian ini menggunakkan validitas triangulasi
teori. TriangguIasi merupakan teknik yang didasari poIa piker fenomenoIogi yang
bersifat muItiperspektif Artinya untuk menarik kesimpulan yang mantap,
diperlukan tidak hanya satu cara pandang (Sutopo. 2002: 92). Sedangkan teknik
trianggulasi yang digunakan adalah:
1) Trianggulasi Sumber atau Trianggualsi Data. Cara ini mengarahkan agar di
commit to user
106
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dalam mengumpulkan data, wajib mengggunakan beragam sumber data yang
berbeda-beda. Sumber data yang digunakan dalam peneIitian terdiri dari dua
sumber data yang berbeda. Yaitu:
(a) sumber yang berupa dokumen atau arsip dari buku-buku ilmiah, jurnal
ilmiah, artikel yang berbeda,dianalisis dengan metode content analysis;
(b)
informan
atau
narasurnber
(rnanusia)
dijaring
dengan
cara
wawancara mendalam secara tertulis. Narasumber tersebut yaitu:
Pengarang Ahmad Fuadi berkedudukan di Jakarta dengan email
[email protected]
2) Trianggulasi Teori.
TriangguIasi jenis ini dilakukan dengan menggunakan perspektif lebih dari
satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji, (Sutopo, 2002: 9~;).
Ada beberapa teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah: (1) teori
pengkajian sastra; (2) teori sosiologi; dan (3) teori sosiologi
3) Trianggulasi Metode. Teknik ini bisa dilakukan dengan cara mengumpulkan
data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik atau metode pengumpulan
data yang berbeda, (Sutopo, 2002:95). Yaitu:
a.
Dokumen atau arsip novel Negeri Lima Menara;
b.
Wawancara melalui email dengan narasumber Ahmad Fuadi
G. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan bagian yang penting dalam sebuah penelitian
karena dengan menganalisis data yang diteliti akan dapat diketahui makna atau
commit to user
107
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
jawaban pemecahan masalahnya. Menurut Bogdan dan Biklen dalam Lexy J.
Moleong (2010: 248), analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan
jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi
satuan yang dapat dikelola, menyintesiskannya, mencari dan menemukan pola,
menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang
dapat diceritakan kepada orang lain. Adapun teknik analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teknik analisis model interaktif, seperti yang
dikemukakan oleh Matthew B. Miles & A. Michael Huberman (1992 :20), yang
terdiri dari tiga komponen analisis, yaitu: reduksi data, sajian data, dan penarikan
simpulan atau verifikasi. Aktivitas ketiga komponen itu dilakukan dalam bentuk
interaktif dengan proses pengumpulan data. Langkah-langkah di dalam analisis
data tersebut dapat dilihat di dalam bagan berikut ini
Pengumpulan Data
Penyajian Data
Reduksi Data
Penarikan kesimpulan
Gambar 2. Bagan Model Interaktif Miles & Huberman (1992 :20)
1.
Reduksi Data
commit to
user
Data dikumpulkan dari dokumen
dan
arsip, serta hasil wawancara. Data
perpustakaan.uns.ac.id
108
digilib.uns.ac.id
tersebut direduksi, diidentifikasi untuk mendapatkan hal yang pokok. Identifikasi
difokuskan padahal yang terpenting terkait dengan focus dan masalah penelitian.
Data dikoding, kemudian dimaknai, dicari terna atau polanya (melalui proses
penyuntingan dan pemberiankode). Reduksi data dilakukan terus menerus selama
proses penelitian berlangsung. Pada tahapan ini data disederhanakan, yang tidak
diperlukan disortir untuk rnemberi kemudahan dalam penarnpilan, penyajian,
serta untuk menarik kesimpulan sementara.
Langkah pertama yang penulis lakukan adalah dengan mengumpulkan
data dari dokumen dan arsif berupa novel Negeri Lima Menara, melakukan studi
pustaka dari buku-buku yang relevan, internet. Data dikumpul juga dari hasil
wawancara dengan narasumber yaitu pengarang novel.
Data yang diperoleh di atas direduksi, dipilih hal-hal pokoksaja yang
terkait dengan permasalahan. Yaitu, tentang pandangan pengarang, sosial budaya
nilai-nilaipendidikan dan kualitas novel.Data tersebut dikoding, dikelompokan,
dimaknai dan dihubung-hubungkan supaya mendapatkan relevansi antara data
yang diperoleh dengan permasalahan. Hasil wawancara untuk mendukung teori
dan mendapatkan sirnpulan yang benar terhadap data dokumen.
2.
Penyajian Data
Penyajian data (display data) dimasudkan agar lebih mudah untuk dapat
melihat gambaran secara keseluruhan atau bagian-bagian tertentu dari data
penelitian.Data-data dikelompokan dan disusun sesuai dengan rumusan masalah
yang telah ditentukan sebelumnya. Termasuk kesimpulan- kesimpulan sementara
diperoleh padawaktu data direduksi. Data tentang pandangan pengarang, sosial
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
109
digilib.uns.ac.id
budaya, nilai-nilai pendidikan dan kualitas novel ditayangkan.
3.
Penarikan Simpulan atau Verifikasi
Verifikasi data dilakukan secara terus menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan. Sejak pertama proses pengumpulan data, mulai menganalisis dan
mencari makna dari data yang dikumpulkan, yaitu mencari polatema, hubungan
persarnaan, hipotesis dan selanjutnya dituangkan dalam bentuk kesirnpulan yang
masih bersifat tentatife.
Dalam tahapan penarikan sirnpulan dari katagori-katagori data yang telah
direduksi dan disajikan untuk selanjutnya menuju kesimpulan akhir rnampu
menjawab permasalahan yang dihadapi. Bertambahnya data melalui verifikasi
secara terus menerus, akan diperoleh kesimpulan yang bersifat grounded.
Simpulan disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas.
Bila simpulan dirasa kurang mantap karena kurangnya rumusan data
dalam reduksi maupun sajian datanya, maka wajib kembali melakukan kegiatan
pengumpulan data yang sudah terfokus untuk mencari pendukung simpulan yang
telah dikembangkannya dan juga sebagai usaha bagi pendalarnan data, (Sutopo,
2002: 120).
Dalam model tersebut ketiga komponen analisis berjalan bersamaan pada
waktu kegiatan pengumpulan data. Begitu penyusunan catatan lapangan lengkap,
reduksi data segera dibuat, dan seterusnya dengan pengembangan bentuk susunan
sajian data yang bersifat sementara, (Sutopo, 2002 : 121).
Sebagai upaya yang berkelanjutan, berulang dan terus-rnenerus. Masalah
reduksi data, penyajian data, penarikan simpulan dan verifikasi menjadi gambaran
commit to user
110
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
keberhasilan. Reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan sebagai
sesuatu yang jalin-rnenjalin pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data, (Miles &Huberman, 1992 : 19-20).
Selain analisis di atas, digunakan juga analisis data dengan metode
induktif dengan langkah menelaah terhadap fakta-fakta yang khusus, Pemyataan
yang khusus, dan peristiwa yang kongret. Kemudian digeneralisasi untuk
mendapat kesimpulan secara umum. Membaca peristiwa-peristiwa khusus tentang
sosial budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Negeri Lima Menara,
kemudian dihubungkan dengan kejadian-kejadian umum dalam kehidupan nyata
secara umum.
H. Prosedur Penelitian
Berdasarkan masalah yang diteliti, prosedur penelitian yang peneliti
lakukan meliputi beberapa tahap sesuai arahan Lexy J. Moleong (2010: 247-268)
sebagai berikut:
1.
Pengumpulan data, dengan langkah:
a. Menentukan objek yang akan dipakai sebagai bahan penelitian, yaitu novel
Negeri Lima Menara karyaAhmad Fuadi (2009);
b. Mengumpulkan
bahan-bahan
pustaka
yang
mendukung
kegiatan
penelitian, meliputi buku-buku referensi dan artikeI-artikel sastra yang
menunjang penelitian.
2.
Melakukan dua tahap pembacaan sastra, yaitu pembacaan heuristik dan
hermeneutik. Pembacaan heuristik adalah tahap orientasi untuk memperoleh
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
111
digilib.uns.ac.id
gambaran umum ataue ksplorasi awal terhadap objek yang diteliti.
Pembacaan hermeneutika dalah tahap eksplorasi fokus.
3.
Menganalisis objek penelitian dengan mendaftar wacana-wacana tentang
sosial budaya dan nilai-nilai yang terkandung dalam novel Negeri Lima
Menara;
4.
Data direduksi. Reduksi data dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi.
Pernyataan-pernyataan perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya:
a.
Susun dalam satua-satuan, dan dibuat penjelasan secara deskriptif pada
masing-masing data yang diperoleh berdasarkan teori yang ada;
b.
Satuan-satuan itu kemudian dikategorisasikan;
c.
Kategori-kategori dibuat sambil melakukan koding atau penafsiran data;
d.
Mengaitkan dengan realitas atau teks yang saling berlawanan dan
kontradisi dalam novel;
e.
Mensejajarkan dan membandingkan dengan wacana-wacana atau realitas
di luar teks novel sebagai upaya intertekstual.
f.
Mengadakan pemeriksaan keabsahan data;
g.
Memakai teori sosiologi sastra Rene Wellek dalam mengkaji novel
Negeri Lima Menara.
5.
Penyajian data, data disajikan berdasarkan hasil penelitian dan perumusan
masalah.
6.
Penarikan simpulan secara deskripsi;
7.
Tahap pengecekan keabsahan data. Pada tahap ini dilakukan penelitian yang
ada terutama mengadakan tringulasi, pengecekan anggota dan auditing yang
commit to user
112
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kekeliruan dalam mengungkapkan
fakta atau interpretasi.
Berdasarkan model analisis interaktif, tetap bergerak di antara tiga dengan
proses pengumpulan data selama kegiatan pengumpulan data berlangsung.
Kemudian sesudah pengumpulan data berakhir, bergerak di antara tiga komponen
analisisnya dengan menggunakan waktu yang masih tersisa. Reduksi data selalu
dilakukan, bila simpulan dirasa kurang, maka data kembali dikumpulkan
kemasalah lebih fokus untuk mencari pendukung simpulan yang telah
dikembangkan dan juga sebagai usaha pendalaman data.
commit to user
113
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri
Lima Menara Karya Ahmad Fuadi
Ahmad Fuadi lahir di Bayur, di sebuah kampung yang kecil. Kampung itu
terletak di Danau Minanjau. A. Fuadi lahir pada tanggal 30 Desember 1972. Fuadi
menulis novel ini terinspirasi oleh pengalaman pribadi ketika menempuh
pendidikan. Pendidikan di Pondok Gontor memberikan kenikmatan yang
mencerahkan kehidupan. Semua tokoh dalam novel Negeri Lima Menara
terinspirasi oleh sosok asli. Karakter yang ada dalam tokoh, juga merupakan
gabungan dari beberapa karakter yang sebenarnya.
Pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri
Lima Menara, merupakan tempat yang mengajarkan tentang kehidupan yang
percaya dan bertakwa terhadap Tuhan. Selain itu pengarang juga berpandangan
bahwa Pondok Madani merupakan tempat untuk membentuk karakter seseorang
dan menjadikan manusia berwawasan luas.
Murid Pondok Madani dibekali dengan iman yang kuat, pintar dan
berkarakter tersebut, tidak terlepas dari pendidik Pondok. Pengajar Pondok
Madani sebagian besar adalah lulusan Inggris dan Mesir. Menurut Ahmad Fuadi,
kyai Pondok Madani tidak hanya mengajarkan agama. Belajar agama dapat
commit to user
dilakukan dengan berbagai cara. Misalnya, dengan membaca buku, pengajian,
113
perpustakaan.uns.ac.id
114
digilib.uns.ac.id
atau lewat internet. Pondok Pesantren adalah tempat belajar kehidupan secara
total. Artinya belajar mengenai kehidupan yang nantinya akan diterapkan dalam
masyarakat.
Di Pondok Madani, murid belajar dengan pembiasaan yang baik dan
teratur selama 24 jam. Selama 24 jam tersebut semua aktivitas dipantau oleh para
kyai. Kegiatan di Pondok Madani antara lain belajar cara belajar (learn how to
learn), etos kerja sampai tujuan hidup. Di Pondok Madani juga diwajibkan untuk
menulis karangan sebanyak tiga kali dalam seminggu dan menulis teks pidato
dalam tiga bahasa. Semua kegiatan tersebut dipantau dan diperiksa oleh kyai
dengat ketat.
Menurut Ahmad Fuadi pembiasaan positif tersebut memudahkannya
menulis sampai sekarang. Menulis perlu etos kerja yang keras dan kejernihan visi
tentang hidup. Selain hal tersebut, dengan adanya pembiasaan yang positif Ahmad
Fuadi mendapatkan beberapa beasiswa ke luar negeri. Hal itu terjadi karena
adanya semangat dan motifasi yang diajarkan di Pondok Madani. Kesempatan
Ahmad Fuadi untuk melanjutkan sekolah ke luar negeri antara lain di Inggris,
London, Amerika Serikat dan singapura.
Ahmad Fuadi memang tidak salah pilih bersekolah di Pondok Madani.
Selain penjelasan di atas, Pondok Madani juga merupakan tempat membentuk
anak muda dengan totalitas pendidikan yang iklas. Artinya, pengajar di pondok
Madani memberikan pendidikan yang mengajarkan keikhlasan. Selain itu kyai
Pondok Madani memberikan ilmu yang dimiliki dengan ikhlas dan hanya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
115
digilib.uns.ac.id
mengharapkan pahala dari Allah. Ahmad Fuadi sangat beruntung bisa masuk ke
Pondok Madani.
Pondok Madani juga memberikan bekal hidup bagi anak didiknya. Bekal
tersebut antara lain bekal untuk mengarungi hidup. Dimana kehidupan itu
terkadang senang dan susah. Bekal tersebut tertanam di dalam pikiran dan hati.
Bekal itu berupa ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.
Keduanya saling berjalan beriringan untuk mengarungi kehidupan. Namun,
penanaman dan penerapan bekal setiap individu di Pondok Madani itu berbedabeda.
Selanjutnya pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani adalah
kepercayaan Pondok yang mengharuskan murid pondok menggunakan bahasa
asing selama 24 jam. Bahasa asing tersebut adalah bahasa Arab dan bahasa
Inggris. Setiap murid diwajibkan menggunakan bahasa asing dengan harapan agar
semua murid bisa berbahasa asing dengan lancar. Dimana bahasa asing
merupakan kunci utama untuk menjelajah dunia.
Semua dapat dilakukan dan didapat oleh Ahmad Fuadi berkat semangat,
motivasi, kesungguhan, doa dan kerja keras. Salah satunya adalah motivasi yang
diajarkan di Pondok Madani. Motivasi tersebut adalah man jadda wajadda artinya
siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan berhasil. Menurut pandangan
pengarang man jadda wajadda harus diimbangi dengan usaha keras. Setiap
keberhasilan pasti ada jaranya. Jarak tersebut tidak bisa ditentukan berapa
lamanya. Jarak tersebut harus diisi dengan kesabaran. Man jadda wajadda saja
commit to user
116
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
tidak cukup, tetapi harus dilengkapi dengan man shabara zhafira artinya siapa
yang sabar akan beruntung.
2.
Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
Karya Ahmad Fuadi
Aspek sosial budaya yang terdapat dalam sebuah novel Negeri Lima
Menara yang mendasari sebuah cerita rekaan. Menurut para ahli memandang
bahwa karya sastra sebagai dokumen sosial budaya. Menurut Koentjaraningrat
(2000: 9) kebudayaan adalah keseluruhan gagasan dan karya manusia yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari budi dan karyanya itu.
Sementara itu, Ada beberapa ahli yang mengemukakan mengenai
komponen atau unsur kebudayaan antara lain C. Kluckhohn dalam bukunya
Universal Categories of Culture membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang
kemudian dijadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah, Koentjaraningrat
(dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133) memaparkan tujuh
unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) sistem religi; (2) sistem kemasyarakatan
atau organisasi sosial; (3) sistem pengetahuan; (4) bahasa; (5) kesenian; (6) sistem
mata pencaharian hidup; dan (7) sistem peralatan hidup atau teknologi.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka sosial budaya yang terdapat dalam novel
Negeri Lima Menara adalah sistem religi, sistem kemasyarakan atau komunikasi
sosial, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan
sistem peralatan hidup dan teknologi.
commit to user
117
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Sistem Religi
1) Sistem Kepercayaan
Masyarakat Minang merupakan pemeluk agama islam. Apabila ada
masyarakat yang keluar dari agama islam (murtad), secara langsung yang
bersangkutan juga dianggap keluar dari masyarakat Minang, dalam istilahnya
disebut "dibuang sepanjang adat". Kedatangan Haji Miskin, Haji Sumanik dan
Haji Piobang dari Mekkah sekitar tahun 1803, memainkan peranan penting dalam
penegakan hukum Islam di pedalaman Minangkabau. Walau di saat bersamaan
muncul tantangan dari masyarakat setempat yang masih terbiasa dalam tradisi
adat, dan puncak dari konflik ini muncul Perang Padri sebelum akhirnya muncul
kesadaran bersama bahwa Adat berazaskan Al-Qur'an.
Amak Alif menganjurkan Alif untuk masuk ke Pondok, Amak percaya
bahwa Alif akan menjadi pemimpin agama yang hebat. Bagaimanapun juga garis
keturunan Amaak adalah garis keturunan ulama. Alif tidak mau melanjutkan
sekolah ke pondok. Alif ingin melanjutkan ke SMA dan kuliah agar bisa seperti
Habibie. Amaak tetap tidak mengijinkan karena bersekolah di SMA
membutuhkan uang yang banyak. hal ini sesuai kutipan dalam novel:
Tapi aku tidak ingin…
Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang
besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.(AHMAD
FUADI, 2011 : 9)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
118
digilib.uns.ac.id
Sementara itu, Alif bersedia bersekolah di pondok. Namun pondok yang
dipilih adalah Pondok Madani di Jawa Timur. Pelajaran agama di pondok dapat
dilakukan setiap saat. Hal ini terungkap dalam novel sebagai berikut:
“Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan
PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan
semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan
sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,”
Jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI, 2011 : 35)
Pendidikan agama di Pondok Madani tidak mengenal waktu. Setiap saat
agama selalu diajarkan di pondok. Kiai di pondok membuat aturan agama harus
diajarkan setiap saat. Di sela-sela pelajaran umum juga diberikan materi agama.
Hal ini sesuai dengan pertanyaan dari bapak Alif. Bahwa di pondok banyak
dijarkan tentang pelajaran umum, kapan agama akan di ajarkan? Dengan senang
hati pemandu pondok menjelaskan bahwa agama di pondok diajarkan setiap
waktu.
Pendidikan agama islam dalam novel ini sangat kental sekali. Setiap detail
diceritakan dengan sanagat menarik. Ini menandakan bahwa ajaran di pondok
memang sangat ketat. Apalagi soal agama islam. Di pondok waktu sholat memang
segala aktifitas harus dihentikan. Semua harus datang ke masjid pada waktu sholat
Magrib. Namun, untuk sholat lainnya dilakukan di kamar masing-masing. Hal ini
dilakukan untuk melatih murid agar bisa menjadi imam bagi orang lain. Hal ini
sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Shalat Magrib di masjid jami` dihadiri seluruh penduduk sekolah. Karena
hampir semua orang hadir, kecuali yang sakit atau pura-pura sakit, waktu
seperempat jam setelah shalat dimanfaatkan untuk memberikan maklumat
to I`lam,
user bagian yang khusus mengurusi
penting bagi semua warga.commit
Kismul
perpustakaan.uns.ac.id
119
digilib.uns.ac.id
pengumuman tampil di depan jamaah. Ditemani secarik kertas dan
kepercayaan diri, mereka membacakan pengumuman. (AHMAD FUADI,
2011 : 70)
Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awanawan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi merah terang,
seiring dengan merapatnya matahari ke peraduannya. Lonceng berdentang,
waktunya kami ke masjid menunaikan Maghrib. (AHMAD FUADI, 2011 :
211)
Untuk sholat isya, subuh, dhuhur, ashar dan sholat sunah dilakukan di
kamar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem religi dalam novel tersebut
sangat menonjol. Shalat malam biasa Alif dan kawan-kawan kerjakan. Shalat dan
berdoa merupakan usaha yang dilakukan agar semua pekerjaan dan kesulitan
dalam belajar bisa teratasi. Hanya kepada Tuhanlah semua memohon dan
meminta bantuan. Semua itu dilakukan dengan khusuk dan ikhlas. Hal ini sesuai
dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Aku membentang sajadah dan melakukan shalat Tahajud. Di akhir rakaat,
aku benamkan ke sajadah sebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba
memusatkan perhatian kepadaNya dan menghilang selainNya. Pelan-pelan
aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut
hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang
diciptakanNYa. Betapa keci dan tidak berartinya didiku, dan betapa luas
kekuasanNya. Dengan segala kerendahan hati, aku bisikkan doaku.
“Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati rusuh dan
berharap. Ujian pelajaran Muthala`ah tinggal besok, tapi aku belum siap
dan belum hapal pelajaran. HambaMu ini datang meminta kelapangan
pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan
lulus ujian dengan baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar terhadap
doa hamba yang kesulitan. Amiiinnn”.
Alhamdulillah, selesai tahajud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku
siap sahirul lail, belajar keras dini hari sampai subuh. Dengan setumpuk
buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah sajadah, aku bergabung
dengan para pelajar malam lainnya di teras asrama. Ada belasan orang
yang sudah lebih dulu membuka buku pelajaran di tengah malam buta ini.
Ada yang bersila, ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya
dengan dinding, dengan commit
bermacam
gaya. Tapi semuanya sama: mulut
to user
komat-kamit, buku terbuka di tangan, sarung melilit leher, segelas kopi
120
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan duduk diatas hamparan sajadah. Sekilas mereka seperti sedang naik
permadani terbang. (AHMAD FUADI, 2011 : 197-198)
Dengan sholat tahajud badan juga terasa ringan dan segar. Apalagi
menjelang ujian, banyak murid yang melakukan doa malam dan belajar malam.
Sungguh hal yang jarang dilaukan oleh orang awam.
2) Sistem Nilai dan Pandangan Hidup
Pandangan hidup yang terungkap dalam novel Negeri Lima Menara
adalah kata mujarab yang sampaikan oleh Ustad Salman. Kata mujarab yang
memikat semua orang tersebut adalah Man Jadda Wajada. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan novel seperti di bawah ini:
Man jadda wajada : sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh
bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat
ribuan tawon. Kami tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau
kalah kenceng.
“Man jadda wajada!”
Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokan panas dan suara serak.
Ingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdengingdenging sementara wajah kami merah padam memfosir tenaga. Kaca
jendela yang tipis sampai bergetar-getar disebelahku. Bahkan, meja
kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh liur yang ikut berloncatan
setiap berteriak lantang.
Tapi kami tahu, mata laki-laki kurus yang enerjik ini tidak dimuati aura
jahat. Dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan
meletup-letup. Kami tersengat menikatinya. Seperti sumbu kecil terpecik
api, mulai terbakar, membesar, dan terang!
Dengan wajah berseri-seri dan senyum senti menyilang di wajahnya, lakilaki ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru, mengulang-ulang
mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami
menyela balik dengan kata yang sama man jadda wajada. Mantera ajaib
berbahasa Arab ini bermakna tegas: “Siapa yang bersungguh-sungguh,
akan berhasil!!”. (AHMAD FUADI, 2011 : 40-41)
commit to user
121
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Kata-kata mujarab man jadda wajada artinya bahwa siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil. Kata itulah yang pertama kali diberikan
kepada murid baru. Man jadda wajada diberikan kepada murid baru untuk
memotivasi. Bahkan kata-kata itu diucapkan berkali-kali sampai melekat di dalam
hati. Bahwa segala sesuatu itu apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan
membuahkan hasil.
Setiap kelas, setiap mulut berlomba-lomba menyuarakan man jadda
wajada dengan lantang. Bahkan suara itu sampai membahana ke Ponorogo.
Hampir satu jam perlombaan menyuarakan man jadda wajada itu dilakukan.
Namun, tak satupun dari murid yang protes. Justru kata itulah sampai sekarang
tetap terpatri di dalam hati dan jiwa setiap murid. Walaupun sudah keluar dari
pondok man jadda wajada tetap membahana keliang telinga setiap orang. Hal ini
terlihat terlihat dalam kutipan novel sebagai berikut:
Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing
dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakan “man jadda
wajada”. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan
bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan,
menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.
Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana tapi
kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak. (AHMAD FUADI,
2011 : 41)
“Man jadda wajada,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair Arab yang
diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang
bersungguh-sungguh akan sukses. (AHMAD FUADI, 2011 : 82)
Rumus man jadda wajada terbukti mujarab. Kesungguhanku segera
dibalas kontan. (AHMAD FUADI, 2011 : 82)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
122
digilib.uns.ac.id
Siapapun yang meresapi dan melaksanakan kata man jadda wajada
dengan sungguh-sungguh. Maka, usahanya itu akan segera di balas kebaikan oleh
Tuhan. Hal itu dilakukan oleh Alif sekaligus pengarang novel tersebut. Alif
dengan sungguh-sungguh berdoa dan berusaha. Usaha tersebut tidak sia-sia. Alif
mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, semua itu tidak terlepas dari suratan
takdir Allah SWT.
3) Komunikasi Keagamaan
Komunikasi keagamaan juga terdapat dalam novel Negeri Lima Menara.
Komunikasi keagamaan ini terjadi ketika Alif, Atang dan Baso berlibur ke rumah
Atang di Bandung. Komunikasi keagamaan yang terdapat dalam kutipan novel ini
adalah komunikasi keagamaan berupa dakwah. Dahwah itu dilakukan di masjid
Universitas Unpad Bandung. Hal tersebut sesuai dengan pesan Kiai Rais. Bahwa
dinamapun kalian berada sampaikan kebaikan atau nasehat walaupun hanya satu
ayat. Kiai Rais adalah pimpinan Pondok Madani. Kutipan dalam novel tersebut
adalah sebagai berikut:
“Silakan gunakan liburan untuk berjalan, melihat alam dan masyarakat di
sekitar kalian. Dimana pun dan kapanpun, kalian adalah murid PM.
Sampaikanlah kebaikan dan nasehat walau satu ayat”, begitu pesan
singkat Kiai Rais di acara melepas libur minggu lalu. Kesempatan seperti
yang disampaikan Atang adalah pelajari di luar PM, menjalanan amanah
Kiai Rais dan melaksanakan ajaran Nabi Muhammad, Billighual anni
walau aayah. Sampaikanlah sesuatu dariku, walau hanya sepotong ayat.
(AHMAD FUADI, 2011 : 219)
Undangan dari Universitas Unpad sudah diterima Atang. Undangan
tersebut berisi tentang permintaan mengisi dahwah setelah sholat Ashar di masjid
Universitas Unpad. Mulanya Atang, Alif dan Baso tercengang melihat banyaknya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
123
digilib.uns.ac.id
jamaah yang ada di masjid tersebut. Tetapi, karena pendidikan di Pondok Madani
yang sangat ketat dan berkualitas tinggi. Hal itu bisa di tepis oleh ketiga orang
tersebut. Dengan semangat yang tinggi, ketiganya membawakan dahwah dengan
tiga bahasa. Bahasa Indonesia, bahasa Arab dan Bahasa Inggris. Jamaah yang ada
di masjid itu terkagum-kagum dengan dahwah Atang, Alif dan Baso. Semuanya
sungguh sangat bagus. Hal itu sesuai dengan kutipan pada novel tersebut sebagai
berikut:
Seperti undangan yang diterima Atang, kami datang ke Masjid Unpad
sebelum Ashar. Diluar dugaan, shalat Ashar berjamaah di masjid kampus
ini penuh. Aku sempat agak grogi melihat jamaah yang beragam, mulai
dari mahasiswa, dosen, masyarakat umum dan terutama para mahasiswa
yang manis-manis.tapi begitu aku tampil di mimbar membawakan pidato
bahasa Inggris favoritku yang berjudul “How Islam Solves Our Problems”,
pelan-pelan grogiku menguap. Semua teks pidato dan potongan dalil masih
aku hafal dengan baik. (AHMAD FUADI, 2011 : 220)
b. Sistem Kemasyarakatan atau Komunikasi Sosial
1) Kekerabatan
Matrilineal merupakan salah satu aspek utama dalam mendefinisikan
identitas masyarakat Minang. Garis keturunan dirujuk kepada ibu yang dikenal
dengan Samande (se-ibu). Sedangkan ayah mereka disebut oleh masyarakat
dengan nama Sumando (ipar) dan diperlakukan sebagai tamu dalam keluarga.
Kaum perempuan di Minangkabau memiliki kedudukan yang istimewa
sehingga dijuluki dengan Bundo Kanduang, memainkan peranan dalam
menentukan keberhasilan pelaksanaan keputusan-keputusan yang dibuat oleh
commit to user
kaum lelaki dalam posisi mereka sebagai mamak (paman atau saudara dari pihak
124
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
ibu), dan penghulu (kepala suku). Matrilineal tetap dipertahankan masyarakat
Minangkabau sampai sekarang walau hanya diajarkan secara turun temurun dan
tidak ada sanksi adat yang diberikan kepada yang tidak menjalankan sistem
kekerabatan tersebut.
Hal tersebut sesuai dengan tokoh Amaak. Amaak menyarankan Alif agar
bersekolah di Pondok Pesantren. Semua keputusan tersebut berada di tangan
Amaak. Sedangkan ayah hanya diam dan menuruti keputusan Amaak. Hal ini
sesuai dengan kutipan dalam novel Negeri Lima menara sebagai berikut:
“Amak ingin anak laki-lakiku menjadi seorang pemimpin agama yang
hebat dengan pengetahuan yang luas. Seperti Biaya Hamka yang
sekampung dengan kita itu. Melakukan amar ma`ruf nahi munkar,
mengajak orang kepada kebaikan dan meninggalkan kemungkaran,” kata
Amak pelan-pelan.
Beliau berhenti sebentar untuk menarik napas. Aku cuma mendengarkan.
Kepalaku kini terasa melayang.
Setelah menenangkan diri sejenak dan menghela nafas panjang, Amak
meneruskan dengan suara gemetar.
“Jadi Amak minta dengan sangat waang tidak masuk SMA. Bukan karena
uang tapi supaya ada bibit unggul yang masuk madrasah aliyah” (AHMAD
FUADI, 2011 : 8)
Dalam kutipan di atas, Amak memegang peranan penting di dalam
keluarga. Amak yang memutuskan segala segala sesuatu yang ada di keluarga.
Ayah Alif hanya berperan sebagai tamu dalam keluarga. Amak yang berbicara
kepada Alif.
Amak berharap Alif bersedia untuk melanjutkan sekolah ke
madrasah aliyah atau sering disebut sebagai pondok pesantren.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
125
digilib.uns.ac.id
2) Asosiasi dan Perkumpulan
Asosiasi dan perkumpulan yang terdapat dalan Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi ini berupa asosiasi persahatan sahibul menara di
manara masjid yang dilakukan setiap sore menjelang maghrib. Sahibul menara
berasal dari bahasa Arab. Kata Sahibul kerab digunakan untuk menyatakan
kepunyaan. Sahibul menara itu terdiri dari Alif, Baso, Atang, Said, Raja dan
Dulmajid. Kutipan dalam novel antara lain sebagai berikut:
Setelah termenung beberapa lama, Said berteriak.
“Aku tahu di mana kita bisa berkumpul tanpa diganggu dan tempatnya
dekat dengan masjid. Yuk !” kata dia langsung berjalan cepat dan
memaksa kami ikut.
........................................................................................................................
Kami sepakat, kaki menara ini tempat yang sangat cocok untuk
berkumpul. Pertama, dekat dengan masjid, kapanpun lonceng shalat
berbunyi, kami tinggal berjalan sedikit langsung sampai di masjid. Kedua,
relatif tidak terpantau para petugas keamanan yang terlalu sibuk
menyatroni asrama demi asrama. Semen berundak ini cukup tersembunyi
karena di tutupi taman, sementara kami bisa memantau keadaan PM
melalui sela-sela dedaunan. Ketiga, tempat ini teduh dan memungkinkan
kami berlama-lama, untuk belajar, ngobrol, bahkan tidur-tiduran sambil
lurus menatap langit ditemani ujung menara yang lancip mrngkilap.
Di bawah bayangan menara ini kami lewatkan waktu untuk bercerita
tentang impian-impian kami, membahas pelajaran tadi siang, ditemani
kacang sukro. Bagaikan menara cita-cita kami tinggi menjulang. Kami
ingin sampai di puncak-puncak mimpi kalak. (AHMAD FUADI, 2011 :
93-94)
Di menara tersebut merupakan tempat untuk berkumpul. Membahas
pelajaran tadi siang. Membicarakan pelajaran yang sulit, menghafal, diskusi dan
menghayal negara yang diimpikan. Masing-masing anggota sahibul menara
memiliki cita-cita. Cita-cita itu dilukiskan di awan dengan gambar negara sesuai
commit to user
keinginan masing-masing anggota sahibul menara. Alif ingin melihat awan itu
perpustakaan.uns.ac.id
126
digilib.uns.ac.id
sebagai benua Amerika, Raja melihat awan seperti benua Eropa, Atang melihat
awan itu sebagai negara Timur Tengah dan Afrika, Baso lebih suka melihat awan
itu sebagai benua Asia dan Afrika, dan Dulmajid serta Said lebih suka melihat
awan itu tetap sebagai negara Indonesia. Hal ini sesuai dengan kutipan novel
sebagai berikut:
Kini di bawah menara PM, imajinasiku kembali melihat awan-awan ini
menjelma menjadi peta dunia. Tepatnya menjadi daratan yang didatangi
Columbus sekitar 500 tahun silam: Benua Amerika.
........................................................................................................................
(AHMAD FUADI, 2011 : 207)
Selain perkumpulan sahibul menara di menara masjid, Aula juga
merupakan tempat berkumpul bagi semua murid PM. di aula tersebut sebagian
kegitan di lakukan. Hal itu sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut
Sehabis Isya, murid-murid berbodong-bondong memenuhi aula. Ratusan
kursi disusun sampai ke teras untuk menampung tiga ribu orang. Semua
orang mengobrol seperti dengungan ribuan tawon transmigrasi. Di
panggung duduk berjejer beberapa ustad senior dan kiai. Sebuah tulisan
besar menggantung sebagai latar: Pekan Perkenalan Siswa PM. (AHMAD
FUADI, 2011 : 48)
Malamnya, semua murid dikumpulkan di aula untuk menyaksikan
pembukaan musim ujian oleh Kiai Rais, seakan-akan ujian adalah sebuah
hari besar keramat ketiga setelah Idul Adha dan Idul Fitri. (AHMAD
FUADI, 2011 : 189-190)
Aku layangkan pandanganku ke aula di seberang Al-Barq. Jam 2 malam,
aula ini sudah ramai seperti pasar subuh! Puluhan lampu semprong
berkerlap-kerlip di atas setiap meja pasukan sahirul lail. Ketika angin
malam berhembus, mata apinya serentak menari-nari seperti kunang.
(AHMAD FUADI, 2011 : 198)
Pengumuman kelulusan kita sudah ada, bisa di lihat di aula,” seru Said
sebagai ketua angkatan kami berteriak-teriak setelah subuh. Walau masih
pegal-pegal dengan perjalanan keliling Jawa Timur kemarin, kami tidak
commit to user
sabar untuk berbondong-bondong
ke aula. Walau sudah bertawakal
perpustakaan.uns.ac.id
127
digilib.uns.ac.id
sepenuh hati, tetap saja hatiku berdebur-debur ketika melihat pengumuman
yang di tempel di aula. (AHMAD FUADI, 2011 : 395)
Aula merupakan tempat untuk perkumpulan murid baru. Di aula tersebut
murid baru di beri amanat, pengumuman dan nasehat yang berkaitan dengan
pendidikan di Pondok Madani. Biasanya para kiai dari Pondok Madani yang
memimpin pertemuan tersebut. Semua murid baru harus mengikuti acara tersebut.
Selain perkumpulan untuk murid bari, aula juga digunakan untuk belajar para
murid ketika akan menghadapi ujian. Semua murid belajar di aula, bahkan aula
diubah menjadi perkemahan masal. Semua itu dilakukan demi ujian. Ujian bagi
Pondok Madni adalah hari yang istimewa selain Hari Idul Fitri dan Idul Adha.
Aula juga digunakan untuk menyampaikan pengumuman kelulusan bagi murid
kelas enam. Hal itu semua dilakukan di aula.
c. Sistem Pengetahuan
Sistem pengetahuan ini berhubungan dengan tubuh manusia dan hubungan
antar sesama manusia. Sistem pengetahuan yang terkait dengan novel Negeri
Lima menara ini adalah sistem pengetahuan tentang pengetahuan dan sistem
pengetahuan tentang pengajaran di Pondok yang bersifat modern. Hal ini sesuai
dengan kutipan dalam novel Negeri Lima Menara sebagai berikut
Masih segar dalam ingatanku bagaimana senior kelas enam tahun lalu
membuat gempar dengan show mereka. Di tengah gelapnya aula, tahutahu sesosok tubuh terbang! Benar-benar terbang di atas kepala penonton.
Lebih hebat lagi, badannya diliputi api yang menyala-nyala. Ini adegan
yang mempersonifikasikan iblis yang melayang-layang siap membakar
nafsu manusia. Rahasia efek itu adalah membaluri baju pemadam
kebakaran dengan spritus untuk menyulut api, dan mencantolkan baju
berisi pemberat ini ke kabel berjalan. Untyuk keamanan, tentu saja tidak
to userberbulan-bulan, kami tidak bosan
ada orang di dalam baju commit
ini. Selama
perpustakaan.uns.ac.id
128
digilib.uns.ac.id
membahasnya. Kelas enam tahun lalu bahkan disebut “The Fire Maker”.
(AHMAD FUADI, 2011 : 338)
Bagi siswa kelas enam di Pondok Madani, diwajibkan menampilkan
sebuah pentas. Pesta itu dihadiri oleh seluruh warga Pondok Madani dan
masyarakat sekitar. Hal ini berhubungan dengan sistem pengetahuan yaitu bahwa
siswa kelas enam tahun lalu berhasil membuat pesta yang luar biasa. Pesta
pertunjukan itu biasa di sebut dengan Class Six Show. Class Six Show yang
ditampilakan senior kelas enam tahun lalu yaitu bercerita tentang iblis yang
melayang-layang di udara. Iblis itu melayang dengan tubuh terbakar oleh api.
Dengan pertunjukan itu, menunjukkan bahwa sistem pengetahuan murid kelas
enam sudah maju dan kreatif. Terbukti dengan menampilkan iblis yang melayang,
digunakan manusia tiruan yang memakai baju pemadam kebakaran. Rahasianya
adalah baju pemadam itu dibalur dengan spiritus untuk menyulut api. Baju itu
diletakan pada kabel berjalan. Sehingga, pertunjukan itu benar-benar seperti
dalam kehidupan nyata.
Sistem pengetahuan lain adalah kelas Alif yang menampilkan pertunjukan
Class Six Show dengan cerita Ibnu Batutah. Class Six Show ini juga spektakuler.
Hal ini terlihat pada kutipan novel yang menceritakan perjalanan Ibnu Batutah
dalam menyebarkan agama islam. Ide itu disampaikan oleh Atang. Ketika Ibnu
Batutah berjalan topan badai, maka penonton juga merasakan angin kencang.
Waktu Ibnu Batutah terkena hujan tropis, penonton juga ikut merasakan basah
karena hujan. Ibnu Batutah edang berjalan menembus kabut Himalaya, maka
penonton juga harus ikut tersesat bersamanya. Hal ini sesuai dengan kutipan dalan
commit to user
novel sebagai berikut:
129
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Aku punya ide,” kata Atang menggebu-gebu, seminggu sebelum hati H.
“jadi, kawan-kawan, aku ingin kita membuat teater yang panggungnya
tidak terbatas di panggung depan, tapi panggungnya juga ada di tempat
duduk penonoton. Kalau Ibnu Batutah sedang berjalan menembus topan
badai, maka penonton akan ikut di terpa angin kencang, kalau dia sedang
kena hujan tropis, penonton ikut basah oleh percikan air, kalau dia sedang
menembus kabut Himalayala, penonton juga harus ikut tersesat
bersamanya.” (AHMAD FUADI, 2011 : 340)
Namun,
untuk
melaksanakan
ide
cemerlang
itu,
membutuhkan
pengorbanan. Untuk membuat asap buatan, Alif, Said dan Atang harus pergi ke
Surabaya. Bahan utama untuk membuat asap itu adalah karbon dioksida kering.
Karbon dioksida bersuhu rendah yang dipadatkan, sehingga apabila terkena udara
sedikit saja, karbon dioksida akan mengeluarkan asap banyak. Istilah ilmiahnya
ada kondensasi, sehingga asap tersebut bisa kita lihat seperti kabut.
Sementara itu sistem pengetahuan yang berkaitan dengan pembelajaran
yang bersifat modern adalah pengajaran mengenai penggunaan bahasa asing.
Penggunaan bahasa asing wajib bagi semua murid. Bagi murid baru diberi
kesempatan untuk belajar selama empat bulan. Siapa yang melanggarnya akan
mendapatkan sanksi. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Dan yang tidak kalah penting, bagi anak baru, kalian hanya punya waktu
empat bulan untuk boleh berbicara bahasa Indonesia. Setelah empat bulan,
semua wajib berbahasa Inggris dan Arab, 24 jam. Percaya kalian bisa
kalau berusaha. Sesungguhnya bahasa asing adalah anak kunci jendelajendela dunia.” (AHMAD FUADI, 2011 : 51)
Bahasa Asing yang perlu dipelajari oleh murid adalah bahasa Arab dan
bahasa Inggris. Bagaimanapun juga bahasa asing adalah kunci untuk membuka
jendela dunia. Pondok Madani berharap lulusan pondok bisa bersaing di kancah
dunia.
commit to user
130
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
d. Bahasa
Bahasa
dalam
unsur
kebudayaan
yang
di
kemukakan
oleh
Koentjaraningrat ada dua macam, yaitu bahasa lisan dan bahasa tulisan. Bahasa
yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara ini adalah bahasa lisan dan
bahasa tulisan. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Minang, bahasa Indonesia,
bahasa Arab dan bahasa Inggris.
1. Lisan
1. Bahasa Minang
Alif sebagai tokoh utama berasal dari kampung Bayur, Minanjau. Bahasa
daerah Minangkabau adalah bahasa Minang. Bahasa derah itu digunakan sebagai
alat komunikasi dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat pada novel Negeri
Lima Menara. Bahasa Minang yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara
adalah sebagai berikut
“Buyuang, sejak waang masih di kandungan, Amak selalu punya citacita,” mata Amak kembali menatapku. (AHMAD FUADI, 2011 : 8)
Buyuang merupakan pangilan untuk anak laki-laki di kampung Minanjau.
Buyuang adalah panggilan Alif. Biasa Amaak memanggil Alif dengan sebutan
Buyuang. Waang adalah kata ganti orang kedua tunggal yaitu artinya kamu.
Waang diucapakan Amaak kepada Alif. Hal itu ducapakan ketika Amaak
membujuk Alif untuk masuk sekolah ke Pondok.
Sementara itu kata ambo kata ganti orang pertama, yaitu saya. Kata ambo
dianggap lebih sopan dan dipakai
ketikato bicara
commit
user dengan orang yang dihormati.
perpustakaan.uns.ac.id
131
digilib.uns.ac.id
Sebutan kata ambo ini digunakan Alif ketika berbicara dengan ibunya. Alif
membela diri bahwa Alif tidak berbakat dalam agama. Alif lebih senang
melanjutkan sekolah ke SMA. Namun, ibu Alif tetap kukuh agar Alif melanjutkan
sekolah ke Pondok. Bahkan ibu Alif mengatakan bahwa orang tua lain mengirim
anaknya ke sekolah madrasah bukan berarti anak tersebut cadiak. Cadiak artinya
adalah pintar. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Tapi Amak, ambo tidak berbakat dengan ilmu agama. Ambo ingin
menjadi insinyur dan ahli ekonomi,” tangkisku sengit. Mukaku merah dan
mata terasa panas. (AHMAD FUADI, 2011 : 9)
“Tapi bukan salah ambo, orang tua lain mengirim anak yang kurang
cadiak masuk madrasah...” (AHMAD FUADI, 2011 : 9)
Di dalam novel Negeri Lima Menara juga terdapat bahasa Minang yang
berbentuk sebuah kalimat percakapan. “Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!”
Kalimat tersebut adalah kalimat yang dilontarkan oleh Etek Muncak dan
keneknya secara bersamaan. Kalimat “Alah kanai lo baliak. Kita kena lagi!”
artinya bahwa roda belakang bus tersebut pecah. Hal tersebut sesuai dengan
kutipan dalam novel sebagai berikut:
BLAAR! Bus tiba-tiba bergetar dan oleng. Semua penumpang berteriak
kaget. Amukan di perutku tiba-tiba surut, pudur seperti lilin di henbus
angin. Pak Etek Muncak dan kenek bersamaan berseru, “Alah kanai lo
baliak. Kita kena lagi!”. Roda belakang pecah. (AHMAD FUADI, 2011 :
21)
Kalimat Minang lain yang ditemukan adalah “ndak ba’a do” artinya
adalah sebentar lagi perjalanan menyebrang pulau akan sampai. “ndak ba’a do”
disampaikan oleh bapak kepada Alif. Karena perjalanan laut ketika itu sangat
menakutkan. Tiba-tiba gelombang laut tinggi. Kapal tergocang, penumpangnya
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
132
digilib.uns.ac.id
bagai dilempar kesana- kemari. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai
berikut:
“ndak ba’a do”, sebentar lagi kita sampai!” seru ayah mencoba
menenangkan sambil menggamit bahuku. Padahal setengah jam yang lalu
pelayaran kami mulus, gemericik air yang di belah haluan terasa
menentramkan hati. (AHMAD FUADI, 2011 : 22)
2. Bahasa Arab
Bahasa resmi di Pondok Madani dalam novel tersebut adalah bahasa Arab
dan Bahasa Inggris. Bahasa Arab yang disanpaikan secara lisan dalam novel
tersebut sangat banyak sekali. Bahasa Arab yang terdapat dalam novel adalah
sebagai berikut:
Bahasa Arab digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari di Pondok
Madani. Bahasa Arab merupakan bahasa wajib yang harus digunakan oleh semua
murid. Namun, kalimat “uthulubul ilma walau bisshin”, artinya ”tuntutlah ilmu,
bahkan walau ke negeri sejauh Cina” ini disampaikan oleh Alif ketika Alif akan
pergi ke Pondok Madani di Jawa Timur. Hal ini sesuai dengan kutipan pada
novel sebagai berikut:
Bujukan mereka agar tetap tinggal di kampung telah kukalahkan dengan
argumen berbahasa Arab yang terdengar gagah, “uthulubul ilma walau
bisshin”, artinya ”tuntutlah ilmu, bahkan walau ke negeri sejauh Cina”.
(AHMAD FUADI, 2011 : 17)
Sementara itu, setelah tiba di Pondok Madani Alif dan bapaknya di sambut
dengan ramah oleh panitia pendaftaran dari Pondok Madani. Disela-sela perkataan
panitia pendaftaran dari Pondok tersebut ada beberapa kalimat dengan bahasa
commit to user
133
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Arab. Kalimat tersebut adalah “Shabahal khair ya akhi Burhan.” Artinya adalah
ini rombongan tamu pertama hari ini. Semua delapan orang. Hal tersebut
diucapkan oleh Ismail kepada Burhan. Burhan adalah panitia pendaftaran. Burhan
menjawab perkataan Ismail dengan kalimat bahasa Arab yaitu “Syukron ya akhi.”
Artinya yaitu terima kasih. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel sebagai
berikut:
Ismail meloncat turun dari bus. Kerikil yang diinjak oleh hak sepatunya
berderik-derik. Dia menyerahkan selembar daftar penumpang ke seorang
anak muda berwajah riang yang telah menunggu di luar mobil. Sebuah
dasi berkelir biru laut menggantung rapi di kerah leher baju putihnya.
“Shabahal khair ya akhi Burhan. Ini rombongan tamu pertama hari ini.
Semua delapan orang,” kata Ismail.
“Syukron ya akhi. Terima kasih. Kami akan beri pelayanan terbaik.
(AHMAD FUADI, 2011 : 29-30)
Bahasa Arab selalu digunakan dalam pembelajaran. Misalnya, Ustad
Salman. Ustad Salman mengajarkan Bahasa Arab. Beliau mengajar dengan
menggunakan metode yang mudah dipahami oleh murid. Metode tersebut adalah
metode dengar, ikuti, teriakkan dan ulangi lagi. Tidak ada terjemahan bahasa
Indonesia sama sekali. Namun, metode tersebut sangat ampuh untuk
menginternalisasi bahasa baru ke dalam sel otak dan membangun refleks bahasa
yang tertahan lama. Inilah sistem bahasa yang membuat Pondok Madani terkenal
dengan kemampuan muridnya berbicara aktif. Seperti kutipan dalam novel di
bawah ini, ada kalimat “Quuluu jamaaatan... maa haaza? Haaza kitaabun.”
Artinya apa yang saya pegang ini? Ini adalah buku. Hal tersebut sesuai dengan
kutipan sebagai berikut:
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
134
digilib.uns.ac.id
Lalu dengan gerakan tangan, dia mengisyaratkan untuk bersama-sama
mengulang apa yang disebutkanya tadi dengan keras. “Quuluu
jamaaatan... maa haaza? Haaza kitaabun.” (AHMAD FUADI, 2011 :
110)
Murid baru membutuhkan waktu yang lama untuk beradaptasi bahasa
asing. Hal tersebut diakui semua murid baru. Dalam waktu empat bulan murid
baru harus bisa menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris. Kata “Kaifa
arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar?” “aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.”
Merupakan kata-kata yang diucapkan oleh murid baru. “Kaifa arabiyatuka ya
akhi. Khalas lancar?” artinya bagaimana bahasa Arab yang kamu kuasai, apakah
lancar? Kalimat itu selalu diucapakan oleh kiai atau murid senior kepada murid
baru. Kata “aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.” Artinya sedikit-sedikit murid
baru bisa berbahasa Arab. Walaupun sepenuhnya belum bisa lancar. Seperti
kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Kaifa arabiyatuka ya akhi. Khalas lancar?”
“aadi faqad. Sedikit-sedikit, astathi.”
Itulah broken Arabic yang sering muncul diantara anak tahun pertama.
Kami saling bartanya bagaimana kemampuan bahasa Arab. Dengan
seadanya, kami jawab, ya sudah sedikit-sedikit. Walau belum menguasai
grammar dengan cepat, kami berusaha menggunakan kosa kata Arab.
(AHMAD FUADI, 2011 : 132).
Itulah masalah yang selalu muncul pada murid baru. Masalah tersebut
adalah penggunaan bahasa Arab. Dengan penguasaan kosa kata sedikit, digunakan
dalam komunikasi sehari-hari. Hal tersebut membantu dan mempercepat
penguasaan Bahasa Arab murid.
Bahasa Arab juga digunakan untuk memberikan semangat dalam
commit to user
pertandingan bulu tangkis. Karena tidak boleh menggunakan bahasa Indonesia,
perpustakaan.uns.ac.id
135
digilib.uns.ac.id
maka semua murid yang melihat pertandingan bulu tangkis berbicara dengan
bahasa Arab. Kata “Idrib...Idrib... Idrib... qawaiyyan... Hit...Hit hit harder!” kata
tersebut adalah kata penyemangat bagi tim Indonesia. Hal tersebut sesuai dengan
kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Idrib...Idrib... Idrib... qawaiyyan... Hit...Hit hit harder!” suaraku sampai
parau meneriaki setiap pukulan Indonesia. (AHMAD FUADI, 2011 : 187)
Berpijak dari pernyataan di atas, bahasa Arab juga digunakan kiai untuk
memberikan motivasi, nasehat dan semangat kepada murid. Motivasi, nasehat dan
semangat tersebut disampaikan para kiai ketika akan menghadapi ujian. Ujian di
Pondok Madani berlangsung selama dua minggu. Seperti kata “Uthlub ilma minal
mahdi ila lahdi” artinya Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat. Setelah
memberikan nasehat, pertemuan itu ditutup dengan doa bersama. Seperti kata
“Allahummaftah alaina hikmatan alaina birahmatika ya arhamarrahimin.”
artinya Tuhan kami, bukanlah kepada kami hikmah dan bantulah kami dengan
rahmatMu, wahai sang Maha Pengasih. doa tersebu adalah doa meminta
perlindungan agar ilmu yang di dapatkan selama pendidikan di Pondok Madani
bisa masuk ke dalam sumsum otak. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel
sebagai berikut:
“Anak-anakku, ilmu bagai nur, sinar. Dan sinar tidak bisa datang dan ada
ditempat yang gelap. Karena itu, bersihkan hati dan kepalaku, supaya sinar
itu bisa datang, menyentuh dan menerangi kalbu kalian semua”. Kiai Rais
memulai wejangannya dengan lemah lembut. Beliau menegaskan
keutamaan menuntut ilmu, bahkan sampai disebutkan siapa yang menuntut
ilmu dengan niat yang ikhlas, dia mendapat kehormatan sebagai mujahid,
pejuang Allah. Bahkan kalau mati dalam proses mencari ilmu, dia akan
diganjar dengan gelar syahid dan berhak mendapat derajat premium di
akhirat nanti. Tidak main-main, Rasulullah sendiri yang mengatakan agar
commit to user
kita menuntut ilmu dari orok sampai menjelang jatah umur kita expired.
136
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Uthlub ilma minal mahdi ila lahdi. Tuntutlah ilmu dari buaian sampai
liang lahat.(AHMAD FUADI, 2011 : 190)
“Kerahkan semua kemampuan kalian belajar!” Berikan yang terbaik! Baru
setelah segala usaha disempurnakan berdoalah dan bertawakalah. Tugas
kita hanya sampai usaha dan doa, serahkan kepada Tuhan selebihnya,
ikhlaskan keputusan kepadaNya, sehingga kita tidak akan pernah stres
dalam hidup ini. Stres hanya bagi orang yang belum berusaha dan tawakal.
Ma`annajah, good luck”. Intonasi lembutnya belum berubah menjadi
berkorbar-kobar. Kiai Rais telah menyentrum 300 murid kesayangannya.
Kami bertepuk tangan dengan gempita. (AHMAD FUADI, 2011 : 190)
Acara malam ini ditutup dengan dia Kiai Rais yang kami amini dengan
sepenuh hati, meminta Tuhan untuk membuka hati dan pikiran kami dalam
menerima nur ilmu tadi. Allahummaftah alaina hikmatan alaina
birahmatika ya arhamarrahimin. Tuhan kami, bukanlah kepada kami
hikmah dan bantulah kami dengan rahmatMu, wahai sang Maha Pengasih.
Said dan Atang lebih lama membenamkan mukanya di telapak tangan
mereka yang terbuka setelah doa berakhir. Memang, akhir-akhir ini kedua
kawanku harus berjuang keras untuk bisa mengejar pelajaran. (AHMAD
FUADI, 2011 : 190-191)
Pondok Madani memiliki sistem penjagaan keamanan yang ketat. Sistem
keamanan itu khususnya dilakukan pada malam hari. Pondok Madani memiliki
lahan yang sangat luas, peternakan dan perkebunan. Setiap malam murid Pondok
Madani mendapat giliran untuk berjaga. Hal tersebut dinamakan bulis lail atau
ronda malam. Bagi yang bertugas ronda malam mendapat keringanan untuk tidur
sore. Ketika jam untuk ronda, maka murid yang diberjaga segera dibangunkan.
Seperti kata “Qum ya akhi.” Artinya Ayo bangun. Semua murid yang bertugas
bangun untuk berjaga. Supaya berjaga tidak mengantuk, ada tim khusus yang
menyediakan kopi. Seperti kata “Hoi, la tan’as daiman,” artinya ini kopi datang!”
Alif dan Dulmajid mendapat tugas di dekat sungai. Mata Alif dan Dulmajid tetap
mengantuk. Walaupun sudah minum kopi. Alif dan Dulmajid tertidur. Sergapan
tyson datang secara tiba-tiba membangunkan dengan air. Sepert kutipan
“Qiyaman ya akhi!”
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
137
digilib.uns.ac.id
Sergapan tyson membuat Alif dan Dulmajid terjaga. Tiba-tiba dari arah
sungai terdengar suara gemericik, seperti orang berjalan. Alif dan Dulmajid segera
bersiap-siap untuk menangkap maling tersebut. Dengan sigap maling itu bisa
dikalahkan oleh Alif dan Dulmajid. Atas keberaniannya itu Alif dan Dulmajid
tidak jadi di hukum. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai
berikut:
“Qum ya akhi. Ayo bangun. Waktunya bertugas. Cepat berkumpul di
kantor keamanan pusat untuk briefing dan pembagian lokasi kalian,”
katanya di depan kami yang masih menguap dan mengucek-ngucek mata.
(AHMAD FUADI, 2011 : 238)
“Qum ya akhi, kok sudah tidur, belum habis ceritaku,” aku goyang-goyang
bahunya. (AHMAD FUADI, 2011 : 244)
“Hoi, la tan’as daiman, ini kopi datang!” kata Ali melihat kami yang
berwajah tidur. Sabrun menuangkan cairan hitam ke gelas kami dengan
gayung plastik. (AHMAD FUADI, 2011 : 244)
“Qiyaman ya akhi!” yang punya tangan ini menggeram. Geraman yang ku
kenal. Geraman Tyson. Ya Tuhan. Tangan kirinya memegang botol air
yang digunakan untuk membasahi mukaku. Melihat aku bangun, sekarang
dia menjentikkan air ke muka Dul yang segera mencelat dan terjengkang
dari kursinya karena kaget. (AHMAD FUADI, 2011 : 245)
Sementara itu kalimat “Kullukum ra’in wakullukum masulun an
raiyatihi,” artinya setiap orang adalah pemimpin, tidak peduli siapapun, paling
tidak untuk diri mereka sendiri. Itu kata-kata nasehat bahwa murid Pondok
Madani harus bisa menjadi seorang pemimpin. Hal tersebut sesuai dengan kutipan
dalam novel sebagai berikut:
“Kullukum ra’in wakullukum masulun an raiyatihi,” ini kata-kata penting
untuk leadership di PM. setiap orang adalah pemimpin, tidak peduli
siapapun, paling tidak untuk diri mereka sendiri. (AHMAD FUADI, 2011 :
297)
commit to user
138
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Dalam bahasa Arab ucapan kata terima kasih juga banyak terdapat dalam
novel Negeri Lima Menara. Seperti “Syukran ya akhi,” artinya terima kasih. Hal
tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Syukran ya akhi, gitu dong, sering-sering kita dikasih bonus,” sahutku
senang hati. Hanya pada hari spesial saja kami dapat jatah makan mewah
dengan daging, susu, dan kurma. Misalnya menjelang ujian, hari raya, atau
hari kami naik kelas enam. (AHMAD FUADI, 2011 : 289-290)
“Syukran ya akhi, telah mau mendengarkan keluh kesah ini,” katanya lirih.
Kilau lainnya kembali luruh dari sudut matanya. Basah. (AHMAD
FUADI, 2011 : 363)
3. Bahasa Inggris
Bahasa Inggris merupakan bahasa yang wajib dikuasai murid selain
bahasa Arab. Hal ini diterapkan guna mengantisipasi kemajuan zaman. Bahasa
Inggris merupakan bahasa resmi internasional. Sehingga harapan ke depan,
lulusan Pondok Madani bisa fasih menggunakan Bahasa Inggris.
Bahasa Inggris banyak terdapat dalam novel Negeri Lima Menara. Hal ini
terjadi karena dalam novel Negeri Lima Menara terdapat beberapa tokoh orang
asing. Bahasa Inggris yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah
sebagai berikut:
Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan waktu
ujiannya. Ujian maraton sepanjang 15 hari disambut bagai pesta akbar,
riuh dan semarak. You can feel the exam in the air. Itulah the moment of
truth seorang pencari ilmu untuk membuktikan bahwa jerih payah belajar
selama ini mendatangkan hasil setimpal, yaitu meresapnya ilmu tadi
sampai ke sumsumnya. (AHMAD FUADI, 2011 : 189)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
139
digilib.uns.ac.id
Bahasa Inggris yang terdapat dalam kutipan di atas adalah “You can feel
the exam in the air”artinya bahwa kamu buktikan bahwa usahumu belajar selama
ini akan mendapatkan hasil yang setimpal. Kata “the moment of truth” artinya
suasana atau momen yang bagus. Kalimat tersebut digunakan ketika akan
diadakan ujian maraton.
Bahasa Inggris juga ditemukan dalam percakapan di pesawat. Percakapan
tersebut antara Alif dan pramugari pesawat terbang. Ketika itu Alif melakukan
perjalanan Washington DC-London dengan menggunakan pesawat British
Airways. Seperti kata “Would you like something to drink, sir?” Artinya Anda
mau minum apa, pak? Kata tersebut diucapkan oleh pramugari pesawat dengan
logat bahasa Inggris yang kental. Alif menjawab dengan “Acup of tea would be
lovely,” artinya secangkir teh yang manis. Pramugari tersebut menjawab
“certainly, Sir.” Artinya baiklah, pak. Pramugari tersebut segera menuangkan teh
ke dalam cangkir. Bahasa Inggris yang digunakan dalam percakapan tersebut
merupakan bahasa resmi internasional yang dibawakan dengan sopan oleh
pramugari. Alif sebagai lawan bicara berusaha membalas percakapan tersebut
dengan ramah dan sopan. Sehingga percakapan tersebut dapat berjalan dengan
baik. Hal tersebut dapat dilihat dalam kutipan novel sebagai berikut:
“Would you like something to drink, sir?” tawar sebuah suara merdu
beraksen British yang lengket. Aku tergeragapdan mengucek-ngucek mata.
Pelan-pelan bagai lensa auto focus, pandanganku memejam.
“Acup of tea would be lovely,” sahutku. Aku agak memaksa menggunakan
gaya orang British yang katanya suka menggunakan kata “lovely”
“certainly, Sir.” Dia mencurahkan isi poci putihnya ke cangkirku.
(AHMAD FUADI, 2011 : commit
286) to user
perpustakaan.uns.ac.id
140
digilib.uns.ac.id
Sementara itu, pramugari yang berambut merah tersebut datang. Pramugari
menawarkan “dessert” makanan pencuci mulut. Ada beberapa pilihan makanan
penutup diantaranya ada “chocolate baklava, qatayef with cheese dan Arabian ice
cream with date.” Alif memilih makanan pencuci mulut “Arabian ice cream with
date” yaitu es krem dari arab. Hal tersebut sesuai dengan kutipan pada novel
sebagai berikut:
Si rambut merah datang lagi dengan memamerkan senyum customer
service yang sama.
“Sir, kami punya beberapa pilihan dessert ala Timur Tengah. Apakah anda
tertarik mencoba?”
“Kami punya chocolate baklava, qatayef with cheese dan Arabian ice
cream with date.”
“Sepertinya yang terakhir enak, boleh minta yang itu?”
“Certainly, Sir.” (AHMAD FUADI, 2011 : 287)
Bahasa Inggris tidak hanya digunakan oleh murid dan kiai Pondok
Madani. Tetapi tukang masak juga menggunakan bahasa Inggris dengan lancar.
Hal ini terbukti seperti kata “Good morning my friend,” atinya selamat pagi
teman. Tukang masak Pondok Madani menyediakan kurma untuk merayakan
keberhasilan kenaikan kelas. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel
sebagai berikut:
“Good morning my friend, untuk merayakan hari keberhasilan kita naik
kelas enam, kami menyediakan kurma hari ini untuk mencuci mulut,”
katanya tersenyum lebar menyodorkan 3 buah hitam berkilat-kilat.
(AHMAD FUADI, 2011 : 289)
Selanjutnya, bahasa Inggris juga digunakan ketika Alif dipilih sebagai
commit to user
student speaker. Pidato tersebut untuk menyambut Dubes Inggris yaitu McGregor.
perpustakaan.uns.ac.id
141
digilib.uns.ac.id
Ketika tiba waktu menyampaikan pidato, pembawa acara memanggil Alif dengan
Bahasa Inggris yaitu “Your excellency, one of our student would like to welcom
you. Mr. Alif Fikri...” artinya ananda mulia, salah satu murid kami akan
menyampaikan sambutan, yaitu pak Alif Fikri... Hal tersebut sesuai dengan
kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Your excellency, one of our student would like to welcom you. Mr. Alif
Fikri...” Undang MC sambil menganggukkan dagu yang duduk mengkerut
di ujung aula.tiba-tiba kerongkongakku terasa kering dan dasiku terasa
mencekik. (AHMAD FUADI, 2011 :318)
Sementara itu diakhir acara, Alif berjabat tangan dengan Dubes Inggris.
Dubes Inggris sangat senang dengan pidato yang dibawakan oleh Alif. Dubes
Inggris berjabat tangan sambil berkata “Indeed, a very good speech. I like your
idea on how to strengthen the relationship between west and the east.” Artinya
memang bagus pidatomu. Aku suka ide dengan idemu yang membahas tentang
cara memperkuat hubungan antara negara barat dan timur. Alif Fikri hanya bisa
membalas dengan ucapan “...thank you Sir, thank you, Sir...” artinya adalah
terima kasih pak. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Di akhir acara, aku sempat bersalaman dan berfoto bersama Pak Dubes
dan Kiai Rais. Tanganku tenggelam di dalam tangan Dubes yang besar dan
empuk. Diayun-ayunkannya tanganku beberapa kali sambil berkata,
“Indeed, a very good speech. I like your idea on how to strengthen the
relationship between west and the east.”
Aku senyum-senyum sambil berulang-ulang menyebut...thank you Sir,
thank you, Sir... (AHMAD FUADI, 2011 : 320)
Bahasa Inggris yang ditemukan selanjutnya adalah kalimat “It’s official,
we are good to go!” artinya itu acara resmi, kita diizinkan untuk melaksanakan
acara tersebut. Hal tersebut merupakan
commitucapan
to user yang disampaikan Ustad Salman
perpustakaan.uns.ac.id
142
digilib.uns.ac.id
kepada murid. Bahwa acara kilas 70 yang telah direncanakan disetujui oleh Kiai
Rais. Hal tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“It’s official, we are good to go!” seru Ustad Salman sambil melempar
kepalanya ke udara. “Kiai Rais setuju kiita punya Kilas 70.” (AHMAD
FUADI, 2011 : 327)
2. Tulisan
1. Bahasa Arab
Bahasa kedua menurut Koentjaraningrat adalah bahasa tulisan. Bahasa
tulisan yaitu bahasa dalam wujud tulisan. Hal ini juga terdapat dalam novel
Negeri Lima Menara. Seperti kutipan di bawah ini. Kata “Man thalabal ‘ula
sahiral layali.” Ini merupakan pepatah dalam bahasa Arab. Artinya adalah Siapa
yang ingin mendapatkan kemuliyaan, maka bekerjalah sampai jauh malam.
Seperti kutipan dalam novel sebagai berikut:
Sahirul lail maknanya kira-kira begadang sampai jauh malam untuk
belajar dan membaca buku. Sebuah pepatah Arab berbunyi: Man thalabal
‘ula sahiral layali. Siapa yang ingin mendapatkan kemuliyaan, maka
bekerjalah sampai jauh malam. Dan aku ingin mencari kemuliyaan itu.
(AHMAD FUADI, 2011 : 196)
Tulisan Arab selanjutkanya adalah kata “Ma’an Najah,” artinya “semoga
sukses dalam ujian”. Ini merupakan kata penyemangat bagi murid. Dalam kutipan
tersebut sebentar lagi akan diadakan ujian selama dua minggu. Di Pondok Madani
diberi sepanduk yang berisikan semangat dan motivasi. Salah satunya yaitu poster
yang bertuliskan “Ma’an Najah”. Seperti kutipan dalam novel sebagai berikut:
Pagi itu, tepat dua minggu sebelum hari pertama ujian, aku terbengongbengong melihat suasana commit
PM yang
baru. Ma’an Najah, “semoga sukses
to user
dalam ujian” dalam bentuk poster selebaran kami temukan di ruang kelas,
perpustakaan.uns.ac.id
143
digilib.uns.ac.id
asrama, kantindi pohon-pohon, bahkan di lapangan basket. (AHMAD
FUADI, 2011 : 189)
Sementara itu, ketika Alif berada di dalam pesawat terbang menuju ke
London, Alif mencoba makanan pencuci mulut. Makanan itu berupa setangkup es
krim yang puncaknya di beri kurma dari Jeddah. Penyajian es krim tersebut kartu
yang berisikan pesan. Pesan tersebut adalah “This Ajwa date is imported from a
natural farmoff Jeddah, believed by muslims as the favorite fruit of the Prophet
Muhammad. Enjoy your dessert.” Artinya kurma yang terdapat dalam es krim
tersebut, adalah kurma dari Jeddah. Jenis Kurma itu adalah makanan favorit nabi
Muhammad SAW. Selamat menikmati makanan ini. Hal ini sesuai dengan kutipan
dalam novel sebagai berikut:
Dengan rapi dia meletakkan sebuah mankok kecil, setangkup es krim
berwarna krem, ditaburi hazelnut, dan dipuncaki sebutir kurma yang
mengkilat-kilat. Sebuah kartu kecil bercorak gambar kubah menemani
pesananku.
Tulisannya: This Ajwa date is imported from a natural farmoff Jeddah,
believed by muslims as the favorite fruit of the Prophet Muhammad. Enjoy
your dessert. (AHMAD FUADI, 2011 : 287-288)
2. Bahasa Inggris
Selain bahasa Arab, bahasa tulis berupa bahasa Inggris juga terdapat
dalam novel Negeri Lima Menara. Seperti tulisan “we are going back to Trafalgar
Square today.” Artinya mereka akan kembali ke Trafalgar Square besuk. Hal ini
merupakan salah satu pelajaran murid di Pondok Madani. Pelajaran membaca
bahasa Inggris. Sehingga bagi murid yang belum begitu paham mengenai bahasa
Inggris, membacanya harus dieja. Selain itu, ada juga contoh membaca kalimat
“Waath thaimi izzz ith naung”. Maksudnya “what time is it now”. Artinya jam
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
berapa sekarang? Namun, dalam mengeja kata now
144
digilib.uns.ac.id
tersebut harus dengan
berdengung panjang. Seperti membaca bahasa Arab. Hal tersebut sesuai dengan
kutipan sebagai berikut:
“Wai ari guingg tho Trrafalghaar Siquarri tudayyy,” bacanya tegang,
sementara butir-butir peluh mengucur deras dari jidatnya yang lebar.
Tulisannya yang dibacanya: “we are going back to Trafalgar Square
today.”
“Waath thaimi izzz ith naung”. Maksudnya “what time is it now”. Time di
baca dengan thaim dengan menggunakan huruf tha tebal yang sempurna
sekali. Now, di baca dengan berdengung panjang, persis seperti dia
membaca mad panjang tiga harakat dengan ilmu tajwid. (AHMAD
FUADI, 2011 : 118)
Peraturan di Pondok Madani menganjurkan kepada muridnya untuk
mengirim surat kepada perusahaan luar negeri. Surat tersebut berisi permintaan
bantuan buku yang menunjang pembelajaran di Pondok Madani. Ketika itu Alif
mengirim surat ke radio Amerika. Setrelah berapa lama Alif mendapat balasan.
Balasan surat tersebut berisi buku. Surat tersebut bertuliskan “Mr. Fikri, enjoy
your free copy of this book. Thank you. VOA Indonesian service.” Artinya bapak
Fikri silakan menikmati buku gratis permintaan anda. Terima kasih. Dari bagian
VOC Indonesia. Hla ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Wah buku percakapan Indonesia-American English dari radio Amerika!”
teriakku kaget. Secarik surat pendek menyertai dan berbunyi: “Mr. Fikri,
enjoy your free copy of this book. Thank you. VOA Indonesian service.”
(AHMAD FUADI, 2011 : 174)
Sementara itu, tulisan bahasa Inggris terdapat dalam poster. Poster tersebut
di tempel menjelang ujian dilaksanakan. Poster yang berisi “You can feel the exam
in the air” artinya bahwa usaha belajar yang maksimal akan mendatangkan hasil
yang setimpal. Itulah the moment of truth. Itulah suasana yang dinantikan. Hal
commit to user
tersebut sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
145
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Rasanya tidak ada yang melebihi cara PM mengistimewakan wakyu ujian.
Ujian maraton sepanjang 15 hari di sambut bagai pesta akbar, riuh dan
semarak. You can feel the exam in the air. Itulah the moment of truth
seorang pencari ilmu untuk membuktikan bahwa jerih payah belajar
selama ini mendatangkan hasil setimpal, yaitu meresapnya ilmu tadi
sampai ke sumsumnya.( AHMAD FUADI, 2011 : 189)
e.
Kesenian
Kesenian
merupakan
salah
satu
unsur
yang dikemukakan
oleh
Koentjaraningrat. Kesenian yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
berupa kesenian kaligrafi dan bangunan.
1. Kaligrafi
Kaligrafi merupakan salah satu mata pelajaran di Pondok Madani.
Kaligrafi tersebut belajar mengenai menulis arab yang indah. Ketika ujian,
kaligrafi juga diujikan. Pelajaran kaligrafi juga merupakan pelajaran yang
digemari oleh Alif. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Ujian hari akhir adalah dua pelajaran favoritku: kaligrafi Arab dan bahasa
Inggris. Walau bukan pelajaran utama, untuk kaligrafi, aku
mempersiapkan diri lebih dari para Sahibul Menara. Kaligrafi tidak
dihapalkan, tapi dipraktekkan. Dengan tekun, aku menulis berlembarlembar kertas dengan menggunakan beragam gaya kaligrafi yang diajarkan
dan yang belum diajarkan. Aku bahkan meminjam beberapa buku referensi
kaligrafi terbitan Mesir dan lokal. Qalam pena khusus kaligrafi pun aku
siapkan dengan berbagai ukuran. Semua aku lakukan dengan penuh
antusiasme. Dengan gembira dan percaya diri aku mengerjakan soal ujian
kaligrafi dan Bahasa Inggris. Inilah hari tersuksesku dalam ujian kali ini.
(AHMAD FUADI, 2011 : 203)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
146
digilib.uns.ac.id
2. Bangunan
Selanjutnya bangunan dalam unsur kebudayaan menurut Koentjaraningrat
ini merupakan kesenian. Bangunan yang digambarkan dalam novel Negeri Lima
Menara adalah bangunan pondok Madani dan menara. Bangunan di Pondok
Madani memang sangat luas. Bangunan tersebut terdiri dari beberapa bagian yang
memiliki fungsi tersendiri. Bangunan pertama berupa masjid. Bangunan kedua
berupa aula serba guna. Aula tersebut berguna untuk semua kegiatan penting
seperti: pegelaran teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat datang buat siswa
baru dan penyambutan tamu penting. Bangunan ketiga asrama, yaitu gedung yang
digunakan untuk menginap bagi murid baru. Hal ini sesuai dengan kutipan dalam
novel sebagai berikut:
“yang kedua adalah aula serba guna. Di sini semua kegiatan penting
berlangsung. Pegelaran teater, musik, diskusi ilmiah, upacara selamat
datang buuat siswa baru dan penyambutan tamu penting,” kata Burhan
sambil memipin kami melewati aula. Gedung ini seukuran hampir
setengah lapangan sepak bola dan diujungnya ada panggung serta tirai
pertunjukan. Tampak mukanya minimalis dengan gaya art-deco, bergarisgaris lurus. Sederhana tapi megah. Di atas gerbangnya yang menghadap ke
luar, tergantung jam antik dan tulisan dari besi berlapis krom: Pondok
Madani.
Rombongan kecil kami melintasi lapangan besar yang berada di depan
masjid dan balai pertemuan menuju bangunan memanjang berbentuk huruf
L. Dindingnya dikapur putih bersih, atap segitiganya dilapisi genteng
berwarna bata dan ubinya berwarna semen mengkilat. Kusen, jendela dan
tiangnya dilaburi cat minyak hijau muda. Bangunan sederhana yang
tampak bersih dan terawat ini terdiri dari 14 kamar besar. Bangunan ini
semakin teduh dengan beberapa pohon rindang dan kolam air mancur di
halamnnya.
“Gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni,
karena setiap anak tahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama AlBarq, yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelegar sekuat
commit to user
147
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
petir dan bersinar seterang petir,” terang pemandu kami. Mata Raja yang
berdiri disebelahku berbinar-binar. (AHMAD FUADI, 2011 : 32)
Bangunan selanjutnya adalah Menara. Menar adalah tempat berkumpulnya
Sahibul Menara. Di kaki menara itu, Sahibul menara mengadakan diskusi, belajar
dan berkhayal tentang masa depannya. Manara itu dibangun dengan menjulang
tinggi dengan gaya arsitektur Turki. Puncak menara itu berupa kubah yang
mengkilat dan lancip serta terdapat corong pengeras suara. Hal tersebut sesuai
dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Tepat disamping kanan Masjid Jami, menjulang menara yang diilhami
arsitektur gaya Turki yang kokoh, efisien, tanpa melupakan keindahan.
Menara dipucuki oleh sebuah kubah metal yang mengkilat dan lancip
ujungnya. Di leher kubah ini menyembul empat corong pengeras suara
yang selalu setia mengabarkan panggilan shalat sampai berkolo-kilo meter
jauhnya.(AHMAD FUADI, 2011 : 93)
f. Sistem Mata Pencaharian
Mata pencaharian yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara adalah
guru dan pegawai pemkab. Hal ini terlihat pada mata pencaharian orang tua Alif
dan orang tua Atang. Hal ini dapat terlihat pada kutipan novel sebagai berikut:
1. Guru
Walau berprofesi sebagai guru madrasah, beliau pengajar matematika,
seringkali pendapatnya lain dengan amak. Misalnya, ayah percaya untuk
berjuang bagi agama, orang tidak harus masuk madrasah. Dia lebih sering
menyebut-nyebut keteladanan Bung Hatta, Bung Sjahrir,. Pak Natsir, atau
Haji Agus Salim, di banding Buya Hamka. Padahal latar belakang religius
ayahku tidak kalah kuat. Ayah dari ayahku adalah ulama yang terkenal di
Minangkabau.(AHMAD FUADI, 2011 : 10)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
148
digilib.uns.ac.id
Berdasarkan kutipan di atas, menjelaskan bahwa pekerjaan ayah Alif
adalah seorang guru matematika di madrasah. Hal tersebut tidak terlepas dari
kewajiban seorang kepala keluarga yaitu mencari nafkah. Walaupun ayah Alif
berprofesi sebagai guru. Beliau lebih banyak diam yang berkaitan dengan sekolah
Alif.
Sementara itu yang berperan dalam urusan pendidikan Alif adalah Amak.
Amak bekerja sebagai seorang guru di sekolah swasta. Bahkan Amak rela tidak
dibayar. Hal itu dilakukan Amak, supaya mendapatkan pekerjaan. Pekerjaan yang
ijadikan pegangan hidup di masa depan. Hal itu dapat terlihat pada kutipan dalam
novel sebagai berikut:
Beberapa hari setelah eforia kelulusan mulai kisut, Amak mengajakku
duduk dilankan rumah.amakku seorang perempuan berbadan kurus dan
mungil. Wajahnya sekurus badannnya, dengan sepasang mata yang bersih
dan dinaungi alis tebal. Mukanya selalu mengibarkan senyum ke siapa
saja. Kalau keluar rumah selalu menggunakan baju kurung yang dipadu
dengan kain atau rok panjang. Tidak pernah celana panjang. Kepalanya
selalu ditutup songkok dan dilehernya digantung selendang. Dia
menamatkan SPG bertepatan dengan pemberontakan G30S, sehingga
negara yang sedang kacau tidak mampu segera mengangkatnya menjadi
guru. Amak terpaksa menjadi guru sukarelayang hanya dibayar dengan
beras selama 7 tahun, sebelum dianggakat menjadi pegawai negeri.
(AHMAD FUADI, 2011 : 6)
2. Pegawai Pemda
Pegawai pemerintahan daerah merupakan mata pencaharian yang terdapat
dalam novel Negri Lima Menara. Pegawai daerah ini adalah mata pencaharian
Pak Yunus. Pak Yunus adalah ayah Atang. Keluarga Pak Yunus tinggal di
Bandung. Hal ini sesuai dengan kutipan
commitdalam
to user
novel sebagai berikut:
149
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Pak Yunus adalah pegawai Pemda Bandung dan aktif di Muhammadyah.
Kaca depan rumahnya menempel sebuah stiker hujau dengan gambar
matahari di tengahnya. “Dari mulai orang tua saya sudah aktif dipengurus
cabang Muhammadyah,” katanya Pak Yunus. (AHMAD FUADI, 2011 :
218)
g. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi
Sistem peralatan hidup dan teknologi merupakan tujuh unsur kebudayaan
yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat. Sistem peralatan hidup dan teknologi
ini berhubungan dengan transportasi, peralatan komunikasi, peralatan konsumsi
dalam bentuk wadah, pakaian dan tempat berlindung. Hal ini dapat terlihat pada
kutipan novel sebagai berikut:
1. Transportasi
Bersama ayah, aku menumpang bus kecil Harmonis yang terkentut-kentut
merayapi kelok Ampek Puluah Ampek. Jalan mendaki dengan 44 kelok
patah. Kawasan Danau Minanjau menyerupai kuali raksasa, dan kami
sekarang memanjat pinggir kuali untuk keluar. Makin lama kami makin
tinggi di atas Danau Minanjau. Dalam satu jam permukaan danau yang
biru tenang itu menghilang dari pandangan mata. Berganti dengan horison
yang didomonasi dua puncak gunung yang gagah, merapi yang kepundan
aktifnya mengeluarkan asap dan Singgalang yang puncaknya dipeluk
awan. Tujuan kami ke kaki Merapi, Kota Bukittinggi. Di kota sejuk ini
kami berhenti di loket bus antar pulau, P.O.ANS. Dari ayah aku tahu kalau
PO itu kependekan dari perusahaan oto bus. (AHMAD FUADI, 2011 : 15)
Dari kutipan di atas terlihat bahwa transportasi yang digunakan Alif dan
ayah adalah bus. Bus digunakan sebagai alat transportasi menuju ke Pondok
madani yang ada di Jawa Timur. Hal tersebut dipilih karena tiket bus lebih murah.
Mengingat keluarga Alif berasal dari keluarga
yang kurang mampu.
Menggunakan armada pesawat tidak mampu membeli tiketnya.
commit to user
150
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Jawa Timur terletak di sebelah selatan pulau Sumatra. Untuk sampai ke
Pulau Jawa harus menyebrang pulau. Alat transportasi yang digunakan adalah
kapal. Kapal merupakan alat transportasi laut. Alif dan ayah menyebrang laut
dengan menggunakan ferry. Ketika menyebrang lautan pada waktu malam hari,
ombak sangat besar. Sebingga Alif marasa takut, cemas dan mual. Hal ini sesuai
dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Pegangan yang kuat,” terriak laki-laki bercambang lembat dengan
seragam kelasi kepada penumpang ferry raksasa yang aku tumpangi. Dari
laut yang gulita, deburan demi deburan terus datang menampar badan
kapal, bagai tidak setuju dengan perjalananku. Lampu ruang penumpang
mengeridip setiap goyangan keras datang. Angin bersiut-siutan
melontarkan tempiasair laut yang terasa asin di mulut. Muka dan bajuku
basah.
Aku segera mencekal erat pagar besi dengan tangan kanan. Tapi aku tetap
terhuyung ke kanan, ketika kapal besar menampar lambung ferry. Mukaku
terasa pias karena cemas dan mual.berkali-kali aku komat-kamit
memasang doa, agar laut kembali tenang. Ayah memeluk tiang besi
disebelahnya. (AHMAD FUADI, 2011 : 22)
Sementara itu, ketika Alif sudah lulus dari Pondok Madani dan lulus
kuliah mendapat kesempatan untuk bertemu dengan dua kawan lama di Podok
Madani. Pertemuannya itu dilakukan di London. Untuk sampai di London Alif
menggunakan armada pesawat terbang. Hal ini dapat terlihat pada kutipan dalam
novel sebagai berikut:
Penerbangan Washington DC-London dengan Britis Air Ways sungguh
nyaman. Aku tertidur nyenyak hampir empat jam. Sebuah tidur yang
penuh mimpi. Mimpi yang deras dengan kenangan hidupku masa lalu
bersama 5 bocah nusantara yang terdampar disebuah kampung di Jawa
dalam misi merebut mimpi mereka. (AHMAD FUADI, 2011 : 286)
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
151
digilib.uns.ac.id
2. Peralatan Komunikasi
Peralatan komunikasi yang digunakan dalam novel Negeri Lima Menara
adalah surat. Surat merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk
berkomunikasi dalam jarang yang sangat jauh. Alif berhubungan dengan
pamannya yang ada di Mesir dengan saling berkirim surat. Hal ini dilakukan
beberapa bulan sekali. Begitu juga Alif ketika berada di Pondok Madani. Supaya
dapat berkomunikasi dengan keluarga di Minangkabau dan berkomunikasi dengan
temannya, Alif mengguankan alat komunikasi surat. Hal tersebut dilakukan
karena pada zaman tersebut telephon masih sangat jarang. Hal tersebut sesuai
dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Aku baca surat Pak Etek Gindo dengan penerangan sinar matahari yang
menyelinap dari sela-sela dinding kayu. Dia mendoakan aku lulus dengan
baik dan memberi usul. (AHMAD FUADI, 2011 : 12)
3. Peralatan Konsumsi dalam Bentuk Wadah
Peralatan konsumsi yang diguanakan di Pondok Madani adalah piring dan
gelas. Setiap anak membawa piring dan gelas sendiri-sendiri untuk makan. Dapur
tempat untuk menyediakan makanan tidak menyediakan peralatan makan. Petugas
dapur hanya melayani murid yang membawa piring dan gelas sendiri serta
kupon.kupon tersebut digunakan untuk mendapatkan lauk. Hal ini dapat terlihat
pada kutipan dalam novel sebagai berikut:
Di PM, dapur tidak menyediakan alat makan, kami harus membawa piring
dan gelas sendiri-sendiri. Untuk mendapatkan lauk kami harus membawa
potongan kupon makan. Setiap
bulan
kami mendapat selembar kertas besar
commit
to user
seperti kalender yang memuat angka dari satu sampai tiga puluh satu.
152
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Setiap kali makan kami membawa sobekan angka yang sesuai dengan
tanggal hari ini.
“Intadzir. Tunggu. Saya lupa dimana menaruh kupon makan,” balasku
sambil mengaduk-aduk lemari.
“Cepat, kita akan kalah dengan asrama sebelah!”
“Iya, tapi saya tidak punya kupon.”
“Ma fisy. Tidak ada. Ya nasib hari ini kurang baik”, gumanku berlalu
tanpa kupon penting ini. Aku pasrah, tidak ada kupon, tidak ada rendang.
Sambil menenteng piring dan gelas masing-masing, kami berlari-lari kecil
ke dapur umum. Kalau kami terlambat sedikit saja, antrian bisa mengular
sampai ke halaman dapur. (AHMAD FUADI, 2011 : 120-121)
4. Pakaian
Pakaian adalah mahkota yang digunakan untuk menutupi badan. Pakaian
yang digunakan bagi murid Pondok Madani sudah di tentukan. Yaitu berupa kaos
baju olah raga dan baju pramuka, serta bawahan sarung ketika sholat. Semua
seragam tersebut sudah ditulis pada daftar belanja wajib bagi murid baru. Hal ini
dapat terlihat pada kutipan dalam novel sebagai berikut:
Perlengkapan pakaian
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Sarung
Ikat Pinggang
Kopiah
Baju Pramuka
Baju Olahraga (kaos dan training pack)
Papan nama untuk disematkan di baju. Latar belakang ungu untuk
anak kelas 1. Waktu pembuatan 10 menit. (AHMAD FUADI, 2011 :
58)
commit to user
153
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
5. Tempat Berlindung dan Perumahan
Setiap murid yang masuk di Pondok Madani tidak diperbolehkan untuk
pulang. Sehingga siapa pun yang masuk Pondok Madani menempati asrama yang
sudah disediakan. Asrama tersebut dibangun di atas tanah yang sangat luas.
Asrama Pondok Madani bisa menampung ratusan murid. Hal ini sesuai dengan
kutipan dalam novel sebagai berikut:
“Gedung ini salah satu asrama murid dan dikenal baik oleh semua alumni,
karena setiap anak tahun pertama akan tinggal di asrama yang bernama AlBarq, yang berarti petir. Kami ingin anak baru bisa menggelegar sekuat
petir dan bersinar seterang petir,” terang pemandu kami. Mata Raja yang
berdiri disebelahku berbinar-binar. (AHMAD FUADI, 2011 : 32)
3.
Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi
Nilai adalah sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan
berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai berarti sesuatu itu berharga atau
berguna bagi kehidupan manusia. Nilai sebagai kualitas yang independen akan
memiliki ketetapan yaitu tidak berubah yang terjadi pada objek yang dikenai nilai.
Ada beberapa nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari sebuah cerita
(dalam hal ini novel). Nilai pendidikan itu di antaranya adalah nilai yang
dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian nilai-nilai yang diambil untuk
menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang dikemukan oleh Max Scheler.
maka nilai-nilai pada novel dapat dikemukakan sebagai berikut:
commit to user
154
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh masyarakat, mengenai apa
yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai
contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, adapun mencuri
bernilai buruk. Nilai sosial termasuk pada nilai vitalitas atau kehidupan sosial.
Ukuran untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk,
pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Hal ini sangat
dipengaruhi oleh kebudayaan yang dianut masyarakat. Oleh karena itu,
masyarakat yang satu dan masyarakat yang lain terdapat perbedaan tata nilai.
Kehidupan sosial keluarga Alif berada di antara golongan menengah
ke bawah. Kedua orang tua Alif adalah seorang guru Madrasah. Alif tinggal
disebuah rumah kontrakan beratap seng dan bendinding kayu. Alif yang sejak
kecil bersekolah di madrasah, setelah lulut Madrasah Tsanawiyah atau setara
SMP ingin melanjutkan di sekolahan Umum. Menurutnya ia merasa sudah
cukup bekal agama yang dimilikinya selama sekolah di madrasah.
Kehidupan warga tempat Alif tinggal; banyak yang menyekolahkan ke
sekolahan agama karena tidak punya uang, karena ongkos masuk sekolaha
madrasah lebih murah dibandingkan di sekolahan negeri. Hal ini terlihat
dalam kutipan berikut ini “beberapa orang tua menyekolahkan anak ke
sekolah agama karena tidak punya cukup uang. Ongkos masuk madrasah
lebih murah....:”(AHMAD FUADI, 2011:6).
Kehidupan keluarga alif yang serba kekurangan juga nampak dalam
kutipan berikut:
commit to user
155
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Tidak ada waktu lagi. Menurut informasi dari surat pak Etek Gindo,
waktu pendaftaran Pondok Madani ditutup empat hari lagi, padahal
butuh tiga hari jalan darat untuk sampai di jawa Timur. Tiket pesawat
tidah terjangkau oleh kantung keluargaku. “ kita naik bus saja ke jawa
besok pagi,” kata Ayah yang akan mengantarku, (AHMAD FUADI,
2011: 14)
Kutipan di atas menerangkan bahwa keluarga Alif tidak mampu
membelikan tiket pesawat terbang untuk menuju Pondok Madani yang
terletak di Jawa Timur. Ketika itu jika dilaluli perjalan darat dari pulau
sumatra menuju jawa timur membutuhkan waktu sekitar 3 hari, dan
pendaftaran Pondok Madani hanya tinggal 4 hari lagi.
b. Nilai Spiritual atau Nilai agama
Agama adalah risalah yang disampaikan Allah kepada nabi sebagai
petunjuk bagi manusia dalam menyelenggarakan tata cara hidup yang nyata
sertamengatur hubungan dan tanggung jawab kepada Allah, manusia dan
masyarakat serta alam sekitarnya.
Agama dan pandangan hidup kebanyakan orang menekankan kepada
ketentraman batin, keselarasan dan keseimbangan serta sikap menerima apayang
terjadi. Pandangan hidup yang demikian jelas memperhatikan apa yang dicari
adalah kebahagiaan jiwa, sebab agama adalah pakaian hati, batin atau jiwa.
Amak Alif menganjurkan Alif untuk masuk ke Pondok, Amak percaya
bahwa Alif akan menjadi pemimpin agama yang hebat. Bagaimanapun juga garis
keturunan Amaak adalah garis keturunan ulama. Alif tidak mau melanjutkan
sekolah ke pondok. Alif ingin melanjutkan ke SMA dan kuliah agar bisa seperti
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
156
digilib.uns.ac.id
Habibie. Amaak tetap tidak mengijinkan karena bersekolah di SMA
membutuhkan uang yang banyak. hal ini sesuai kutipan dalam novel:
Tapi aku tidak ingin…
Waang anak pandai dan berbakat. Waang akan jadi pemimpin umat yang
besar. Apalagi waang punya darah ulama dari dua kakekmu.(AHMAD
FUADI, 2011 : 9)
Sementara itu, Alif bersedia bersekolah di pondok. Namun pondok yang
dipilih adalah Pondok Madani di Jawa Timur. Pelajaran agama di pondok dapat
dilakukan setiap saat. Hal ini terungkap dalam novel sebagai berikut:
“Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan
PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan
semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan
sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,”
Jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI, 2011 : 35)
Pendidikan agama di Pondok Madani tidak mengenal waktu. Setiap saat
agama selalu diajarkan di pondok. Kiai di pondok membuat aturan agama harus
diajarkan setiap saat. Di sela-sela pelajaran umum juga diberikan materi agama.
Hal ini sesuai dengan pertanyaan dari bapak Alif. Bahwa di pondok banyak
dijarkan tentang pelajaran umum, kapan agama akan di ajarkan? Dengan senang
hati pemandu pondok menjelaskan bahwa agama di pondok diajarkan setiap
waktu.
Pendidikan agama islam dalam novel ini sangat kental sekali. Setiap detail
diceritakan dengan sanagat menarik. Ini menandakan bahwa ajaran di pondok
memang sangat ketat. Apalagi soal agama islam. Di pondok waktu sholat memang
segala aktifitas harus dihentikan. Semua harus datang ke masjid pada waktu sholat
commit to user
Magrib. Namun, untuk sholat lainnya dilakukan di kamar masing-masing. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id
157
digilib.uns.ac.id
dilakukan untuk melatih murid agar bisa menjadi imam bagi orang lain. Hal ini
sesuai dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Shalat Magrib di masjid jami` dihadiri seluruh penduduk sekolah. Karena
hampir semua orang hadir, kecuali yang sakit atau pura-pura sakit, waktu
seperempat jam setelah shalat dimanfaatkan untuk memberikan maklumat
penting bagi semua warga. Kismul I`lam, bagian yang khusus mengurusi
pengumuman tampil di depan jamaah. Ditemani secarik kertas dan
kepercayaan diri, mereka membacakan pengumuman. (AHMAD FUADI,
2011 : 70)
Kami termenung-menung meresapi pesan yang menggugah ini. Awanawan sumber khayal kami sekarang berganti warna menjadi merah terang,
seiring dengan merapatnya matahari ke peraduannya. Lonceng berdentang,
waktunya kami ke masjid menunaikan Maghrib. (AHMAD FUADI, 2011 :
211)
Untuk sholat isya, subuh, dhuhur, ashar dan sholat sunah dilakukan di
kamar sendiri. Hal ini menunjukkan bahwa sistem religi dalam novel tersebut
sangat menonjol. Shalat malam biasa Alif dan kawan-kawan kerjakan. Shalat dan
berdoa merupakan usaha yang dilakukan agar semua pekerjaan dan kesulitan
dalam belajar bisa teratasi. Karena hanya kepada Tuhanlah semua memohon dan
meminta bantuan. Semua itu dilakukan dengan khusuk dan ikhlas. Hal ini sesuai
dengan kutipan dalam novel sebagai berikut:
Aku membentang sajadah dan melakukan shalat Tahajud. Di akhir rakaat,
aku benamkan ke sajadah sebuah sujud yang panjang dan dalam. Aku coba
memusatkan perhatian kepadaNya dan menghilang selainNya. Pelan-pelan
aku merasa badanku semakin mengecil dan mengecil dan mengkerut
hanya menjadi setitik debu yang melayang-layang di semesta luas yang
diciptakanNYa. Betapa keci dan tidak berartinya didiku, dan betapa luas
kekuasanNya. Dengan segala kerendahan hati, aku bisikkan doaku.
“Ya Allah, hamba datang mengadu kepadaMu dengan hati rusuh dan
berharap. Ujian pelajaran Muthala`ah tinggal besok, tapi aku belum siap
dan belum hapal pelajaran.
HambaMu
commit
to user ini datang meminta kelapangan
pikiran dan kemudahan untuk mendapat ilmu dan bisa menghapal dan
perpustakaan.uns.ac.id
158
digilib.uns.ac.id
lulus ujian dengan baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar terhadap
doa hamba yang kesulitan. Amiiinnn”.
Alhamdulillah, selesai tahajud badanku terasa lebih enteng dan segar. Aku
siap sahirul lail, belajar keras dini hari sampai subuh. Dengan setumpuk
buku di tangan, sarung melilit leher dan sebuah sajadah, aku bergabung
dengan para pelajar malam lainnya di teras asrama. Ada belasan orang
yang sudah lebih dulu membuka buku pelajaran di tengah malam buta ini.
Ada yang bersila, ada yang berselonjor, ada yang menopang punggungnya
dengan dinding, dengan bermacam gaya. Tapi semuanya sama: mulut
komat-kamit, buku terbuka di tangan, sarung melilit leher, segelas kopi
dan duduk diatas hamparan sajadah. Sekilas mereka seperti sedang naik
permadani terbang. (AHMAD FUADI, 2011 : 197-198)
Dengan sholat tahajud badan juga terasa ringan dan segar. Apalagi
menjelang ujian, banyak murid yang melakukan doa malam dan belajar malam.
Sungguh hal yang jarang dilaukan oleh orang awam.
c. Ungkapan Nilai Moral secara Positif dan secara Negatif
Pendidikan bertujuan menyiapkan pribadi dalam keseimbangan, kesatuan
organis, harmonis, dinamis guna mencapai tujuan hidup kemanusiaan.
Adapun filsafat pendidikan nasional adalah suatu sistem yang mengatur
dan menentukan teori dan praktek pelaksanaan pendidikan yang berdiri di atas
landasan dan dijiwai oleh filsafat hidup bangsa “Pancasila” yang diabdikan demi
kepentingan bangsa dan Negara dalam usaha merealisasikan cita-cita bangsa dan
Negara Indonesia.
Nilai pendidikan merupakan hal-hal penting dan ajaran yang berguna
bagi kemanusaiaan untuk meningkatkan harkat dan martabat serta menjadikan
manusia berbudaya. Nilai pendidikan adalah nilai yang bermoral. Moral
commit
to userdipandang dari nilai baik-buruk,
merupakan tingkah laku perbuatan
manusia
perpustakaan.uns.ac.id
159
digilib.uns.ac.id
benar dan salah berdasarkan adat dan kebiasaan di mana individu itu berada.
Nilai moral di bagi dua yaitu segi positif dan negatifnya. Kedua hal itu perlu
diasampaikan, sebab kita dapat memperoleh teladan yang bermanfaat. Segi
positif harus ditonjolkan sebagai hal yang ditiru dan diteladani. Demikian segi
negatif perlu juga diketahui serta disampaikan kepada pembaca. Hal ini
dimaksudkan agar kita tidak tersesat, bisa membedakan mana yang baik mana
yang buruk. Seperti halnya orang belajar. Ia akan berusaha untuk bertindak lebih
baik jika tidak tahu hal-hal yang buruk dan tidak pantas dilakukan. Nilai moral
mencakup seluruh persoalan hidup dan kehidupan, seluruh persoalan yang
menyangkut harkat dan martabat manusia, mencakup semua persoalan yang
boleh dikatakan tak terbatas.
Pandangan hidup yang terungkap dalam novel Negeri Lima Menara
adalah kata mujarab yang sampaikan oleh Ustad Salman. Kata mujarab yang
memikat semua orang tersebut adalah Man Jadda Wajada. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan novel seperti di bawah ini:
Man jadda wajada : sepotong kata asing ini bak mantera ajaib yang ampuh
bekerja. Dalam hitungan beberapa helaan napas saja, kami bagai tersengat
ribuan tawon. Kami tiga puluh anak tanggung, menjerit balik, tidak mau
kalah kenceng.
“Man jadda wajada!”
Berkali-kali, berulang-ulang, sampai tenggorokan panas dan suara serak.
Ingar bingar ini berdesibel tinggi. Telingaku panas dan berdengingdenging sementara wajah kami merah padam memfosir tenaga. Kaca
jendela yang tipis sampai bergetar-getar disebelahku. Bahkan, meja
kayuku pun berkilat-kilat basah, kuyup oleh liur yang ikut berloncatan
setiap berteriak lantang.
Tapi kami tahu, mata laki-laki
yang enerjik ini tidak dimuati aura
commitkurus
to user
jahat. Dia dengan royal membagi energi positif yang sangat besar dan
perpustakaan.uns.ac.id
160
digilib.uns.ac.id
meletup-letup. Kami tersengat menikatinya. Seperti sumbu kecil terpecik
api, mulai terbakar, membesar, dan terang!
Dengan wajah berseri-seri dan senyum senti menyilang di wajahnya, lakilaki ini hilir mudik diantara bangku-bangku murid baru, mengulang-ulang
mantera ajaib ini di depan kami bertiga puluh. Setiap dia berteriak, kami
menyela balik dengan kata yang sama man jadda wajada. Mantera ajaib
berbahasa Arab ini bermakna tegas: “Siapa yang bersungguh-sungguh,
akan berhasil!!”. (AHMAD FUADI, 2011 : 40-41)
Kata-kata mujarab man jadda wajada artinya bahwa siapa yang
bersungguh-sungguh akan berhasil. Kata itulah yang pertama kali diberikan
kepada murid baru. Man jadda wajada diberikan kepada murid baru untuk
memotivasi. Bahkan kata-kata itu diucapkan berkali-kali sampai melekat di dalam
hati. Bahwa segala sesuatu itu apabila dilakukan dengan sungguh-sungguh akan
membuahkan hasil.
Setiap kelas, setiap mulut berlomba-lomba menyuarakan man jadda
wajada dengan lantang. Bahkan suara itu sampai membahana ke Ponorogo.
Hampir satu jam perlombaan menyuarakan man jadda wajada itu dilakukan.
Namun, tak satupun dari murid yang protes. Justru kata itulah sampai sekarang
tetap terpatri di dalam hati dan jiwa setiap murid. Walaupun sudah keluar dari
pondok man jadda wajada tetap membahana keliang telinga setiap orang. Hal ini
terlihat terlihat dalam kutipan novel sebagai berikut:
Selain kelas kami, puluhan kelas lain juga demikian. Masing-masing
dikomandoi seorang kondaktur yang energik, menyalakan “man jadda
wajada”. Hampir satu jam non stop, kalimat ini bersahut-sahutan dan
bertalu-talu. Koor ini bergelombang seperti guruh di musim hujan,
menyesaki udara pagi di sebuah desa terpencil di udik Ponorogo.
Inilah pelajaran hari pertama kami di PM. Kata mutiara sederhana tapi
kuat. Yang menjadi kompas kehidupan kami kelak. (AHMAD FUADI,
2011 : 41)
commit to user
161
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
“Man jadda wajada,” teriakku pada diri sendiri. Sepotong syair Arab yang
diajarkan di hari pertama masuk kelas membakar tekadku. Siapa yang
bersungguh-sungguh akan sukses. (AHMAD FUADI, 2011 : 82)
Rumus man jadda wajada terbukti mujarab. Kesungguhanku segera
dibalas kontan. (AHMAD FUADI, 2011 : 82)
Siapapun yang meresapi dan melaksanakan kata man jadda wajada
dengan sungguh-sungguh. Maka, usahanya itu akan segera di balas kebaikan oleh
Tuhan. Hal itu dilakukan oleh Alif sekaligus pengarang novel tersebut. Alif
dengan sungguh-sungguh berdoa dan berusaha. Usaha tersebut tidak sia-sia. Alif
mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, semua itu tidak terlepas dari suratan
takdir Allah SWT.
d. Nilai Budaya
Nilai budaya merupakan nilai-nilai yang disepakati dan tertanam dalam
suatu masyarakat, lingkup organisasi, lingkungan masyarakat, yang mengakar
pada suatu kebiasaan, kepercayaan (believe), simbol-simbol, dengan karakteristik
tertentu yang dapat dibedakan dan lainnya sebagai acuan prilaku dan tanggapan
atas apa yang akan terjadi atau sedang terjadi.
Nilai budaya yang terungkap dalam novel yaitu kepercayaan orang
Minang mengenai rumah makan Padang. Supremasi orang Minang soal makanan
sangat terlihat dalam perjalanan menuju ke Pondok Madani. Perjalanan dengan
menggunakan bus tersebut terlihat begitu jelas. Hal ini sesuai dengan kutipan
dalam novel sebagai berikut:
commit to user
162
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Supremasi orang Minang soal makanan sangat tampak dalam perjalanan
ini. Hampir semua tempat makan di pinggir jalan lintas Sumatera dan
Padang memakai tanduk dan bertuliskan “RM Padang”. Di dalam
ruangannya yang lapang tersusun meja dan kursi yang jumlahnya ratusan.
Speaker yang berbentuk kotak-kotak kayu ada di setiap sudut ruangan dan
tidak henti-henti memperdengarkan lagi pop minang. (AHMAD FUADI,
2011 : 23)
Orang Minang yang membuka lestoran makanan selalu menggunakan atap
tanduk dan bertuliskan “RM Padang”. Atap tanduk merupakan salah satu ciri
rumah gadang. Rumah gadang merupakan rumah adat daerah Minangkabau. Bagi
sebagian besar orang menggunakan atap tanduk menonjolkan salah satu ciri khas
kebudayaan daerah. Hal itulah yang menjadi ciri khas orang Padang.
Selain itu juga menggunakan tulisan RM Padang. Itu merupakan satu
kesatuan dengan atap bertanduk. Kedua ciri khas tersebut tidak bisa dipisahkan.
Ibarat langit dengan bumi. Keduanya merupakan budaya dari orang Minang.
Selain itu, kebudaayaan lain dari Minang adalah tingkat derajat pedas pada
makanan rendang. Semakin jauh dari Padang derajat pedasnya semakin
berkurang. Hal inilah yang menjadi kebudayaan yang sudah dianut oleh
masayarakat Padang secar turun temurun.
B. Pembahasan
1. Pandangan Pengarang Terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri
Lima Menara
Langkah yang dilakukan pengarang dalam menciptakan karyanya
terispirasi dari kisah pribadinya.
Awalnya
commit
to user pengarang terpaksa masuk di
perpustakaan.uns.ac.id
163
digilib.uns.ac.id
pendidikan Pondok Madani. Pengarang ingin mewujudkan cita-cita menjadi
seperti Habibie. Akan tetapi, keinginannya di tentang oleh orang tua pengarang.
Keinginan untuk masuk Pondok Madani timbul karena surat dari Etek Gindo.
Keputusan pengarang untuk melanjutkan ke pondok merupakan keputusan
setengah hati. Selanjutnya keputusannya itu sirna seiring berjalannya waktu dan
terlaksananya pembelajaran di Pondok Madani.
Ahmad fuadi sebagai pengarang novel Negeri Lima Menara memandang
Pondok Madani adalah tempat membangun karakter anak bangsa. Dimana lulusan
Pondok Madani mampu bersaing di dunia kerja dan mampu bersaing di kancah
luar negeri. Selain itu Pondok Madani merupakan tempat mengajarkan ilmu
pengetahuan dan wawasan yang luas.
Hal ini sesuai dengan pendidikan yang dicanangkan oleh pemerintah
dalam UU nomor 20 tahun 2003 pasal 3 UU Sisdiknas. Karakter bangsa
merupakan Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang
yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan (virtues) yang diyakini
dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan
bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur,
berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi
seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter
bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan
melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia
hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter
commit to user
individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya
perpustakaan.uns.ac.id
164
digilib.uns.ac.id
yang berangkutan. Artinya, pengembangan budaya dan karakter bangsa hanya
dapat dilakukan dalam suatu proses pendidikan yang tidak melepaskan peserta
didik dari lingkungan sosial,budaya masyarakat, dan budaya bangsa. (Pedoman
Sekolah, 2010)
Selanjutnya pengarang memiliki pandangan bahwa pengarang merupakan
orang yang paling beruntung bisa menjadi murid Pondok Madani. Beruntung
Pondok Madani telah memberi bekal ilmu pembangun karakter. Pengarang juga
merasa menjadi seorang anak muda yang dibentuk dengan totalitas pendidikan
yang iklas. Pondok Madani telah memberikan bekal untuk mengarungi kehidupan
ini. Baik kehidupan yang senang maupun kehidupan yang susah. Bekal tersebut
melekat di dalam otak dan hati. Namun, semua itu tidak bisa lepas dari motivasi
para kiai yang ada di Pondok Madani.
2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
Karya Ahmad Fuadi
Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono, 2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati,
2007: 133) memaparkan tujuh unsur kebudayaan sebagai berikut: (1) Sistem
religi; (2) Sistem kemasyarakatan atau organisasi social; (3) Sistem pengetahuan;
(4) Bahasa; (5) Kesenian; (6)Sistem mata pencaharian; dan (7) Sistem peralatan
hidup atau teknologi.
Ketujuh unsur kebudayaan di atas, masing-masing memiliki tiga wujud
kebudayaan. Sehingga tiap-tiapcommit
kebudayaan
to userdapat dijelaskan pada 1) wujud
perpustakaan.uns.ac.id
165
digilib.uns.ac.id
budaya (gagasan, pola berpikir), 2) wujud sosial (tindakannya, pola aktivitas),
dan 3) wujud fisik. Keseluruhan sistem dalam wujud kebudayaan itu pada
akhirnya menjelma menjadi kebudayaan makro suatu masyarakat, yang memiliki
peraturan-peraturan antar unsur kebudayaan dan wujud kebudayaan (P.
Hariyono, 2009: 38).
Sosial budaya yang terdapat dalam novel Negeri Lima Menara sesuai
dengan tujuh unsur yang dikemukakan oleh Koentjaraningrat (dalam P. Hariyono,
2009: 38 dan Mg. Sri Wijiyati, 2007: 133). Sistem religi yang terdapat dalam
novel adalah menganut agama islam. Novel tersebut bercerita tentang kehidupan
sehari-hari di Pondok Madani. Di mana di Pondok sarat dengan pendidikan agama
yang sangat kental.
Selanjutnya sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial, terdapat
organisasi berupa perkumpulan enam murid Pondok Madani. Perkumpulan enam
anak tersebut dinamakan Sahibul Menara. Tempat berkumpu Sahibul Menara
adalah di manara masjid Pondok Madani. Kegiatan yang dilakukan adalah belajar,
diskusi dan berkhayal tentang impian masing-masing anggota Sahibul Menara.
Impian tersebut adalah impian untuk pergi ke luar negeri. Selain di Menara masjid
perkumpulan juga dilakukan di aula. Aula merupakan tempat perkumpulan semua
murid Pondok Madani.
Sistem pengetahuan juga terdapat dalam novel tersebut. Sistem
pengetahuan yang terdapat dalam novel bahwa murid kelas enam Pondok Madani
mampu membuat pertunjukan. Pertunjukan itu sangat spektakuler. Sehingga
to user
disebut sebagai pertunjukan class commit
six show.
166
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
Sementara itu bahasa yang terdapat dalam novel berupa bahasa lisan dan
bahasa tulisan. Bahasa lisan terdiri dari bahasa Minang, bahasa Inggris dan bahasa
Arab. Sedangkan bahasa tulisan berupa bahasa Inggris dan bahasa Arab. Untuk
bidang kesenian terdapat kesenian berupa kaligrafi dan kesenian bangunan
Pondok Madani yang menawan.Sistem mata pencaharian yang terdapat dalam
novel yaitu guru dan pegawai Pemda. Guru merupakan mata pencaharian orang
tua Alif. Orang tua Atang yang tinggal di Bandung bekerja sebagai pegawai
Pemda.
Unsur kebudayaan yang terakhir yaitu sistem peralatan hidup dan
teknologi terdiri dari transportasi, alat komunikasi, peralatan konsumsi dalam
bentuk wadah dan pakaian. Transportasi yang digunakan Alif untuk pergi ke
Pondok Madani adalah bus dan kapal. Namun, setelah lulus dari Pondok Madani
dan sukses Alif belajar di luar negeri. Untuk dapat keluar negeri, Alif
menggunakan
alat
transportasi
pesawat
terbang.
Selanjutnya,
peralatan
komunikasi berguna untuk mengetahui keadaan dan kabar berita, maka dalam
novel tersebut terdapat peralatan komunikasi berupa surat. Lain halnya dengan
peralatan konsumsi dalam bentuk wadah. Peralatan makan yang digunakan di
Pondok Madani adalah piring dan gelas. Terakhir adalah pakaian. Pakaian
seragam di Pondok Madani sudah ditentukan yaitu pakaian pramuka, sarung dan
pakaian olah raga.
commit to user
167
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi
Nilai pendidikan yang dapat diperoleh dari novel Negeri Lima Menara
adalah nilai pendidikan yang dikemukakan oleh Max Scheler. Dalam penelitian
ini nilai-nilai yang diambil untuk menganalisis nilai pendidikan adalah nilai yang
dikemukan
oleh
Max
Scheler.
maka
nilai-nilai
pada
novel
dapat
dikemukakanyaitu nilai vitalitas atau kehidupan sosial, nilai religius atau
keagamaan, nilai moran positif dan negatif dan nilai budaya.
Nilai vitalitas atau kehidupan sosial yaitu mengenai kehidupan sosial
keluarga Alif yang sederhana. Sehingga orang tua Alif tidak mampu
menyekolahkan Alif ke sekolah negeri. Namun, orang tua Alif menganjurkan
untuk bersekolah di Pondok yang biayanya jauh lebih murah.
Nilai pendidikan selanjutnya yaitu nilai religius atau keagamaan. Alif
menuruti nasehat orang tua untuk masuk ke Pondok. Di Pondok Madani terdapat
pembelajaran agama yang diajarkan setiap waktu. Di mana pun berada, pelajaran
agama selalu dipelajari. Hal ini terbukti sesuai dengan kutipan,
“Terima kasih atas pertanyaannya Pak. Menurut Kyai kami, pendidikan
PM tidak membedakan agama dan non agama. Semuanya satu dan
semuanya berhubungan. Agama langsung dipraktekkan dalam kegiatan
sehari-hari. Di Madani, agama adalah oksigen, dia ada dimana-mana,”
Jelas Burhan lancar. (AHMAD FUADI, 2011 : 35)
Sementara itu nilai moral yang positif dan negatif berupa kalimat mujarab
yang mendatang motivasi dan semangat tinggi. Kata mujarab tersebut adalah man
jadda wajadda. Artinya siapa yang
berusaha
dengan sungguh-sungguh maka akan
commit
to user
168
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
sukses.
Nilai pendidikan terakhir yaitu nilai budaya. Budaya merupakan sesuatu
yang dianut oleh masyarakat setempat. Berkaitan dengan nilai budaya tersebut,
dalam novel Negeri Lima Menara terdapat nilai budaya mengenai kepercayaan
orang Minang tentang rumah makan Padang. Dalam mendirikan rumah makan
Padang bangunannya terdapat atap bertanduk dan bertuliskan “RM Padang”.
commit to user
169
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Simpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.
Pandangan Pengarang terhadap Pondok Madani dalam Novel Negeri
Lima Menara karya Ahmad Fuadi
Pandangan Ahmad Fuadi terhadap Pondok Madani dalam novel Negeri
Lima Menara, merupakan tempat yang mengajarkan kehidupan yang percaya dan
bertakwa terhadap Tuhan. Selain itu pengarang juga berpandangan bahwa Pondok
Madani merupakan tempat untuk membentuk karakter seseorang dan menjadikan
manusia berwawasan luas. Pondok Madani merupakan pondok yang memberi
bekal hidup kepada murid dan mengharuskan muridnya untuk menggunakan
bahasa asing selama 24 jam. Semua itu dapat dilakukan dengan usaha dan kerja
keras seperti motivasi yang diajarkan di pondok man jadda wajadda.
2. Aspek Sosial Budaya yang Terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara
Karya Ahmad Fuadi
a. Sistem Religi meliputi (1) sistem kepercayaan yang menganut ajaran Agama
Islam; (2) sistem nilai dan pandangan hidup yaitu berupa kata yang mujarab
“man jadda wajadda”; dan (3) komunikasi keagamaan berupa dahwah;
b. Sistem kemasyarakatan atau organisasi sosial meliputi (1) sistem kekerabatan
masyarakat Minangkabau yang
matrilinial
commit
to userdan (2) asosiasi dan perkumpulan
169
perpustakaan.uns.ac.id
170
digilib.uns.ac.id
Sahibul Menara di menara masjid sebelum Magrib dan aula yang digunakan
sebagai perkumpulan murid untuk melakukan kegiatan;
c.
Sistem pengetahuan berupa kemampuan membuat Pesta pertunjukan itu
biasa di sebut dengan Class Six Show. Class Six Show yang ditampilkan
murid senior kelas enam dan pengajaran pondok yang bersifat modern yaitu
penggunaan bahasa asing selama 24 jam;
d. Bahasa, bahasa yang terdapat dalam Novel Negeri Lima Menara adalah
bahasa lisan dan bahasa tulis. Bahasa lisan berupa bahasa Minang, bahasa
Arab dan bahasa Inggris. Bahasa tulis berupa bahasa Arab dan bahasa Inggris.
e. Kesenian berupa kesenian kaligrafi dan bangunan;
f. Sistem mata pencaharian yaitu berupa guru dan pegawai Pemda;
g. Sistem peralata hidup dan komunikasi berupa (1) transportasi yaitu berupa
bus dan kapal; (2) peralatan komunikasi berupa surat; (3) bentuk peralatan
komunikasi dalam bentuk wadah berupa piring dan gelas; dan (4) pakaian
yang digunakan setiap hari di dalam pondok yaitu berupa sarung, baju
pramuka dan baju olah raga.
3. Nilai-Nilai Pendidikan yang Terungkap dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi
a. Nilai Vitalitas atau Kehidupan Sosial yang berupa kisah kehidupan keluarga
Alif yang sederhana.
b. Nilai spiritual atau nilai agama yang tokohnya beragama islam dan
menampilkan kesediaan Alif untuk masuk ke Pondok
commit to user
171
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
c. Nilai moral yang positif dan negatif, nilai tersebut berupa nilai moral yang
positif yaitu adanya pembelajaran pertama dengan menggunakan kata yang
mujarab “man jadda wajadda”
d. Nilai budaya berupa supremasi masyarakat mengenai rumah makan padang
yang terdapat atap bertanduk dan bertuliskan “RM Padang”.
B. Implikasi
Penelitian ini melakukan pengkajian terhadap karya sastra novel berjudul
Analisis Sosiologi Sastra dan Nilai Pendidikan dalam Novel Negeri Lima Menara
karya Ahmad Fuadi. Hasil penelitian ini memiliki implikasi terhadap aspek lain
yang relevan memiliki hubungan positif. Implikasi tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut
1. Menjadi alternatif bahan materi pengajaran sastra
Pada aspek pendidikan, penelitian ini dapat memberikan alternatif
bahan materi pengajaran sastra. Pengajaran sastra seharusnya difokuskan pada
upaya untuk memiliki kemampuan apresiasi, kemampuan untuk memiliki
sikap dan nilai, tidak terbatas hanya pada pengetahuan atau menghafal judul
dan pengarang karya sastra. Di dalam hal tersebut tercakup masalah
pemberian tanggapan terhadap karya sastra. Dalam pengajaran sastra, siswa
harus diarahkan pada penilaian karya sastra secara objektif. Maka, hal ini akan
membentuk jiwa sastra yang tidak hanya menampilkan prestasi akademis,
tetapi juga mengembangkan karakter diri yang potensial.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
172
digilib.uns.ac.id
2. Pencapaian dalam proses pengajaran sastra
Penelitian ini mengkaji objek karya sastra berbentuk novel berjudul
Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Memang, karya novel memiliki
jumlah halaman yang banyak sehingga diperlukan waktu banyak dalam proses
apresiasi karya. Meskipun demikian, hasil analisis pada aspek sosiologi pada
novel tersebut telah memberikan gambaran awal yang sederhana terhadap
kandungan novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Pemahaman
merupakan tahapan kelanjutan atas pengenalan aspek fisik sastra berupa
wujud buku. Sosiologi sastra terkandung di dalam dan di luar karya sastra.
Oleh karena itu, pendidik harus memberikan arahan jelas terhadap aspek
pencapaian pembelajaran apresiasi sastra. Dengan begitu ada persiapan berupa
bahan materi yang telah disederhanakan sehingga dapat dipahami siswa secara
baik.
3. Pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
Bagi guru, pengkajian terhadap karya sastra novel melalui pendekatan
sosiologi sastra bisa dikembangkan dalam pola pengajaran apresiasi karya
sastra kepada siswa. Kajian ini memberikan fakta sastra dari dalam karya itu
sendiri juga dari luar karya sastra, berupa pengarang kreatifnya dan latar sosial
budaya masyarakat pembentuknya. Dalam hal ini patokan pengajaran bukan
hanya pada aspek kognitif, melainkan juga pada aspek afektif bahkan
psikomotoriknya. Hal tersebut dapat dicapai dengan peran pendidik yang tidak
hanya menyampaikan kaidah pemahaman sosiologi, tetapi juga pada aspek
usersastra tersebut. Artinya, pendidik
nilai-nilai yang terkandung dicommit
dalam to
karya
perpustakaan.uns.ac.id
173
digilib.uns.ac.id
juga menggugah kesadaran siswa sebagai manusia dengan memberikan
gambaran keteladanan dari nilai-nilai edukatif cerita sastra tersebut.
4. Sebagai salah satu pendidikan nilai moral
Media pembelajaran dapat diambil dari berbagai sumber, termasuk
dari sebuah kisah atau cerita. Cerita novel Negeri Lima Menara karya Ahmad
Fuadi merupakan cerita yang mengandung nilai pendidikan, terutama nilai
moral. Novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi pendidikan di Pondok
Madani. Tokoh-tokoh yang ditampilkan dalam novel tersebut menggambarkan
karakteristik manusia dengan sisi kemanusiaan yang dimiliki. Manusia
merasakan suka dan duka, tertawa dan menangis, juga emosi dan pemaaf. Hal
itu merupakan cerminan bagi pembaca dalam menjalani hidup dalam
kehidupan masyarakat juga dalam melakukan interaksi sosial di masyarakat.
Novel tersebut memberikan gambaran lengkap sosok manusia dengan realitas
masalah yang dihadapi dalam hidup di pondok. Sikap dan perilaku yang
dilakukan dalam menangani masalah yang terjadi menjadi contoh yang bisa
diteladani. Oleh karena itu, novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi
dapat dijadikan sebagai sumber pengajaran.
5. Aspek keteladanan
Bagi siswa, materi dengan objek novel yang menggambarkan realitas
masyarakat memberikan variasi materi belajar terhadap apresiasi karya sastra.
Siswa juga akan merasa terdorong aspek kesadarannya jati dirinya sebagai
insan cendekia. Cerita yang bermakna dalam dan menggugah motivasi dari
commit to user
novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi memberikan kedalaman arti
perpustakaan.uns.ac.id
174
digilib.uns.ac.id
tersendiri bagi siswa. Pada akhirnya siswa akan menemukan keteladanan yang
utuh saat mereka menghadapi realitas kehidupan yang mereka jalani.
6. Aspek pelestarian seni budaya Minangkabau melalui pendidikan
Wujud lain dari implikasi penelitian ini yaitu pada pelestarian budaya,
khususnya dalam hal ini seni budaya Minangkabau sebagaimana menjadi
cerita novel Negeri Lima Menara karya Ahmad Fuadi. Aktivitas penelitian
yang dilakukan penulis merupakan bentuk kepedulian yang secara sederhana
dari tindakan yang bisa dilakukan dalam aspek pelestarian seni budaya
Minangkabau. Sebagai hal sederhana penulis akan mencapai pemahaman
dasar terhadap seni budaya yang memang harus dilestarikan yang ditampilkan
dalam karya sastra tersebut.
Keluhuran seni budaya Minangkabau perlu diwariskan dari generasi ke
generasi. Aspek awal yang bisa dilakukan yaitu dengan proses show up
“menunjukkan” eksistensi seni budaya tersebut. Hal itu bisa dicapai dengan
pelaksanaan penelitian ini. Meluasnya efek ini ketika terjadi akumulasi dari
pengaruh positif yang diperoleh oleh masyarakat pembaca karya sastra ini.
Setiap pembaca akan memberikan pengaruh yang lebih luas dengan
penyebaran terhadap nilai-nilai seni budaya yang terkandung dalam karya
sastra manakala terjadi proses interaksi yang lebih meluas.
Oleh karena itu, proses pelestarian seni budaya Minangkabau
kemudian dapat lebih dikembangkan, bahkan bisa dilakukan secara lebih
sistematis. Aplikasi yang lebih mudah mengarah pada media pendidikan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
175
digilib.uns.ac.id
Penyelenggaraan pengajaran sastra menjadi salah satu sarana yang bisa
diandalkan. Sistematika yang dimiliki proses pengajaran bisa menempatkan
karya sastra ini sebagai bahan ajar apresiasi karya sastra. Diharapkan proses
pengajaran menjadi sarana pelestarian seni budaya yang efektif. Penanaman
nilai-nilai luhur seni budaya Minangkabau dapat dilakukan terprogram,
kontinyu, terarah, terpantau secara baik.
7. Pengembangan kualitas dan kompetensi penelitian sastra
Pada aspek penelitian ilimiah, hasil penelitian ini menambah kuantitas
dan kualitas penelitian ilmiah, khususnya kajian di bidang karya sastra. Secara
kuantitas, penelitian ini akan menjadi dokumen sastra yang dapat dijadikan
sebagai bahan referensi dalam penelitian yang akan dilakukan di masa datang.
Oleh karena itu, penelitian ini juga mendorong kegiatan ilmiah karena akan
memberikan motivasi mahasiswa untuk melakukan kegiatan penelitian.
Tumbuhnya motivasi kegiatan ilmiah juga akan meningkatkan kompetensi
atau kualitas kajian terhadap penelitian. Para peneliti lain akan melakukan
peningkatan kualitas penelitian mulai dari materi yang dikaji sampai ke
metodologi sehingga penelitian pada masa selanjutnya akan lebih berkembang
dan bervariasi.
8. Memberikan paradigma positif sastra kepada masyarakat pembaca
Kajian sastra merupakan alternative bagi mahasiswa atau peneliti yang
memiliki sense kecenderungan terhadap dunia sastra. Paradigma pengkajian
terhadap karya sastra sendiri akan mengubah persepsi masyarakat yang
commit to user
cenderung memandang sastra sebagai sesuatu yang abstrak dan imajinatif
176
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
belaka. Fakta yang bisa dimunculkan yaitu dengan peningkatan kualitas
penelitian serta hasil penelitian yang ternyata menyodorkan solusi dalam
menyelesaikan masalah kemanusiaan di masyarakat.
9. Cermin edukasi masyarakat
Pada aspek sosial masyarakat penelitian terhadap novel Negeri Lima
Menara karya Ahmad Fuadi ini dapat menjadi cermin bagi masyarakat
pembaca. Pembaca merupakan pribadi-pribadi yang hidup di masyarakat.
Demikian juga tokoh-tokoh dalam novel merupakan perwujudan pribadi
manusia dalam media cerita. Pengalaman-pengalaman peristiwa yang terjadi
pada tokoh bisa menjadi teladan yang bijak tanpa dengan menggurui.
Masyarakat pembaca pun dapat belajar dari interaksi sosial yang positif dari
cerita yang diperlihatkan dalam novel tersebut.
Dengan akal pikiranya, masyarakat pembaca akan dapat bertindak dan
berperilaku dengan baik melalui hikmah yang diambil dari deskripsi peristiwa
dalam cerita novel tersebut karena pada hakikatnya karya sastra merupakan
wujud realitas yang dituangkan dalam sebuah cerita. Perwujudan sikap dan
perilaku yang santun di dalam masyarakat akan membentuk sistem
kemasyarakatan yang baik.
C. Saran
Pada penelitian ini penulis menyampaikan saran sebagai berikut:
1. Pada aspek pendidikan, pendidik bahasa dan sastra sebaiknya melakukan
commit
user dan detail agar mudah dipahami
pengajaran dengan sistematika
yang to
runtut
177
digilib.uns.ac.id
perpustakaan.uns.ac.id
dan mendapatkan makna novel yang mendalam. Pencapaian maksimal
terhadap pengajaran apresiasi sastra harus diwujudkan secara baik, mencakup
aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik. Oleh karena itu, pengajaran tidak
terpatok pada hafalan, tetapi pada proses apresiasi yang mendalam. Di
samping itu, pendidik tidak boleh melupakan berkenaan penanaman nilai
moral serta kesadaran pelestarian seni budaya kepada siswa.
2. Siswa sebaiknya melakukan pengalaman belajar sastra yang lebih intens
karena dengan hal ini maka pencapaian prestasi siswa tidak hanya pada
akademis, tetapi juga pada perubahan behaviour.
3. Peneliti yang memiliki sense terhadap kajian sastra sebaiknya senantiasa
melakukan peningkatan kompetensi dan kualitas pengkajian sastra. Pengkajian
sastra bisa dilakukan dengan berbagai pendekatan yang ada juga dengan objek
karya sastra mutakhir yang memiliki tingkat kerumitan yang kompleks.
4. Masyarakat pembaca sebaiknya melakukan implementasi yang positif sebagai
hasil interaksinya dengan sastra sehingga menjadi fakta nyata yang bisa
menjadi pengaruh meluas terhadap perwujudan efek-efek potensial di
masyarakat.
commit to user
Download