Untitled - Jurnal Online UM

advertisement
2
melawan mikroba.
Peran flavonol dalam bidang kesehatan sebagai
antiinflamatori, antioksidan, antiproliferatif , menekan fotohemolisis eritrosit
manusia, dan mengakhiri reaksi rantai radikal bebas (Albert et al., 2009).
Penelitian tentang gen pengkode enzim-enzim pengkatalis sintesis
flavonol pada Capsicum frutescens masih jarang dilakukan, untuk hal tersebut
diperlukan teknik analisis genetika molekular. Secara umum tahapan penelitian
dalam bidang gen molekular meliputi isolasi DNA total, proses amplifikasi gen
dengan tekhnik PCR, dan sekuensing. Proses sekuensing dapat dilakukan jika
proses PCR berhasil. Proses PCR secara berturut-turut terdiri dari denaturasi,
annealing, dan ekstensi (Fatchiyah, et al., 2011). Dari ketiga tahapan tersebut
faktor yang paling berpengaruh terhadap proses PCR adalah tahap annealing
(Roux, 1995). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui suhu annealing yang tepat
untuk proses PCR isolasi gen FLS dari daun Cabai Rawit (Capsicum frutescens
L.) kultivar cakra hijau sehingga dapat dilakukan proses sekuensing untuk
menambah informasi dalam bidang kajian molekuler.
METODE
Jenis penelitian ini adalah deskriptif eksploratif. Isolasi DNA total
menggunakan Gene Aid Isolation kit dengan prosedur yang telah dimodifikasi,
PCR untuk amplifikasi gen target dilakukan dengan siklus mengikuti protocol asli
dari Intron Biotechnology kecuali suhu annealing yang dimodifikasi. Data dari
hasil penelitian berupa pita DNA hasil proses PCR, kemudian dielektroforesis dan
divisualisasi menggunakan UV Transluminator, pita DNA hasil PCR
dibandingkan dengan perlakuan suhu annealing yang telah ditentukan dan
selanjutnya dianalisis secara deskriptif.
HASIL
Optimasi PCR suhu annealing 530C sampai dengan 55 0C menghasilkan
pita DNA ganda dan panjang pita DNA tidak sesuai target. PCR pada suhu
annealing 560C, 570C, 580C, dan 600C menghasilkan pita DNA tunggal dan lebih
jelas dibandingkan suhu annealing lainnya. Pita-pita DNA yang dihasilkan
menunjukkan panjang DNA yang sama. Diduga pada suhu tersebut primer dapat
mengamplifikasi panjang gen yang ditargetkan. Suhu annealing 560C dan 570C
menghasilkan pita DNA dengan ketebalan yang hampir sama. Dari suhu
annealing 560C sampai dengan 600C, suhu annealing 590C menghasilkan pita
DNA paling tipis, sedangkan pita DNA yang paling jelas dihasilkan pada suhu
annealing 600C, sehingga dilakukan PCR ulang pada suhu tersebut. Hasil PCR
dengan suhu annealing 600C menghasilkan pita DNA dengan panjang ±300 bp
namun smear. Suhu annealing 610C dan 620C tidak memperlihatkan adanya pita
DNA (Gambar 1).
3
Gambar 1. Hasil PCR pada suhu annealing (A) 530C-550C; (B) 560C, 570C, 580C, 600C; (C)
590C, 610C, 620C; (D) pengulangan suhu annealing 600C. Keterangan: M:
Marker; ntc: negative control ; F1: suhu annealing 530 C; F2: suhu annealing 540
C; F3: suhu annealing 550 C; F4: suhu annealing 580 C; F5: suhu annealing 570
C; F6: suhu annealing 560 C; F7: suhu annealing 600; F8: suhu annealing 620 C;
F9: suhu annealing 610 C; F10: suhu annealing 590 C ntc: negative control.
Panah kuning menunjukkan gen target.
PEMBAHASAN
Hasil isolasi total DNA dari daun Capsicum frutescens diperoleh DNA
dengan konsentrasi 116,2 ng/μl dan murni (A260/A280: 1,86). Kemurnian DNA
merupakan faktor yang penting karenakan kontaminasi pada fragmen DNA
menyebabkan produk amplifikasi yang tidak diinginkan ikut dilipatgandakan dan
menghambat kerja enzim DNA polimerase (Yuwono, 2006; Fatchiyah et al.,
2011). Pita DNA yang dihasilkan dalam penelitian ini tidak tebal, hal ini karena
primer reverse memiliki terlalu banyak basa G/C pada ujung 3’. Idealnya sebuah
primer harus mempunyai basa nukleotida yang acak. Banyaknya basa G/C
mengakibatkan annealing yang tidak spesifik, begitu juga banyaknya basa A/T
menyebabkan tidak akan membukanya template primer (Judelsen, 2002).
Tm dari primer forward yang dipakai adalah 62 0 C dan primer reverse 60 0
C. Berdasarkan T m tersebut maka optimasi PCR yang dilakukan dimulai pada
suhu annealing 530C sampai dengan 620C. Hasil PCR pada suhu annealing 530C,
540C, dan 550C menunjukkan terjadinya mispriming dengan adanya pita ganda,
diduga ketiga suhu tersebut terlalu rendah, suhu annealing yang terlalu rendah
4
menyebabkan penempelan primer menjadi tidak spesifik dan primer dapat
menempel di sembarang tempat. Akibatnya dihasilkan banyak produk non
spesifik dan daerah target tidak teramplifikasi (Judelsen, 2002).
Suhu annealing yang terlalu tinggi juga tidak efektif untuk proses
amplifikasi. Proses amplifikasi yang dilakukan pada suhu 61 0 C dan 620 C tidak
menghasilkan pita DNA. Suhu annealing yang tinggi menyebabkan lemahnya
penempelan primer yang menyebabkan produk DNA yang dihasilkan sedikit dan
mengakibatkan hasil visualisasi DNA tipis atau tidak terlihat (Hecker & Roux,
1996).
Suhu 560C-600C menunjukkan pita yang lebih terang dan jelas
dibandingkan suhu yang lainnya. Suhu 560C menunjukkan pita hasil PCR yang
jelas karena suhu tersebut 50C dibawah suhu T m, hal ini sesuai dengan apa yang
dilaporkan oleh Courtois (2002) bahwa T a (annealing temperature) lebih baik jika
pada suhu 50C di bawah T m. Pada suhu 570C, 580C, 590C, dan 600 C juga
menunjukkan pita DNA yang jelas karena pada suhu tersebut masih dalam kisaran
suhu annealing optimum gen FLS Capsicum frutescens. Suhu 600C menunjukkan
pita DNA yang paling terang dan setelah dilakukan PCR ulang didapatkan pita
DNA dengan panjang ±300 bp. Hal ini sudah sesuai dengan panjang target desain
primer, namun pita DNA yang didapatkan smear. Pita DNA yang smear diduga
terjadi karena banyak fragmen dengan panjang yang berbeda teramplifikasi. Hal
ini bias terjadi karena desain primer menggunakan daerah conserve gen FLS
Arabidopsis thaliana. Diketahui Arabidopsis thaliana memiliki 6 gen FLS yang
berbeda (Owens et al, 2008). Berdasarkan fakta tersebut diduga Capsicum
frutescens kultivar Cakra Hijau memiliki gen-gen FLS dengan sekuen conserve
seperti pada Arabidopsis thaliana. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk
mengidentifikasi macam gen FLS yang terdapat pada Capsicum frutescens
kultivar Cakra Hijau.
PENUTUP
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan suhu optimum gen FLS
Capsicum frutescens kultivar Cakra Hijau adalah 60 0C dengan menghasilkan pita
DNA sepanjang 300 bp. Untuk mendapatkan hasil yang lebih maksimal, perlu
dilakukan penyusunan primer yang lebih spesifik agar dihasilkan kualitas pita
DNA yang lebih baik. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui macam
gen FLS yang terdapat pada Capsicum frutescens kultivar cakra hijau.
DAFTAR RUJUKAN
Albert N.W., Lewis D.H., Zhang, H., Irving L.J., Jameson P.E & Davies K.M.
2009. Light-Induced Vegetative Anthocyanin Pigmentation in Petunia.
Journal of Experimental Botany 6: 2191–2202.
Courtois B. 2002. Microsatellite Markers. Cirad-Biotrop
Fatchiyah, Arumingtyas, E.L., Widyarti, S & Rahayu, S. 2011. Biologi Molekular.
Jakarta: Erlangga
Harborne, J.B & Williams C.A. 2000. Advances in Flavonoid Research Since
1992. Phytochemistry 55:481–504
5
Hecker, K.H & Roux, K.H. 1996. High and Low Annealing Temperature Increase
Both Specificity and Yield in Touchdown and Stepdown PCR.
Biotechniques 20: 478-485
Hichri, I., Barrieu, F., Bogs, J., Kappel, C., Delrot, S & Lauvergeat, V. 2011.
Recent Advances in The Transcriptional Regulation of The Flavonoid
Biosynthetic Pathway. Journal of Experimental Botany 62: 2465–2483.
Judelsen, H. Guidelins of designing primers. 2002. Primer guidelines 10(6): 1-5
Miean, K.H & Suhaila, M. 2001. Flavonoid (Myricetin, Quercetin, Kaempferol,
Luteolin, and Apigenin) Content of Edible Tropical Plants. Journal of
Agricultural and Food Chemistry 49: 3106-3112.
Owens, D.K., Alerding, A.B., Crosby, K.C., Bandara, A.B., Westwood, J.H &
Winkel S.J. 2008. Functional Analysis of a Predicted Flavonol Synthase
Gene Family in Arabidopsis. Plant Physiology 147: 1046-1061.
Roux, K.H., 1995. Optimization and Trubleshooting in PCR. Genome Research 4:
185-194.
Rukmana, H & Rahmat. 2002. Usaha Tani Cabai Rawit. Yogyakarta: Kanisius.
Yuwono, T. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction. Yogyakarta:
ANDI
Download