penggunaan biokompos dalam bioremediasi lahan tercemar limbah

advertisement
PENGGUNAAN BIOKOMPOS DALAM
BIOREMEDIASI LAHAN TERCEMAR LIMBAH
LUMPUR MINYAK BUMI
AHMAD SAEPUL MUJAB
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M / 1432 H
1
PENGGUNAAN BIOKOMPOS DALAM BIOREMEDIASI
LAHAN TERCEMAR LIMBAH LUMPUR MINYAK BUMI
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Sains
Program Studi Kimia
Fakultas Sains dan Teknologi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Oleh :
AHMAD SAEPUL MUJAB
106096003221
PROGRAM STUDI KIMIA
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2011 M / 1432 H
2
3
4
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI INI ADALAH
HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI
SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU
LEMBAGA MANAPUN
Jakarta, Agustus 2011
AHMAD SAEPUL MUJAB
106096003221
5
ABSTRAK
AHMAD SAEPUL MUJAB, Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi
Lahan Tercemar Lumpur Minyak Bumi. Di bimbing oleh BAROKAH
ALIYANTA dan LA ODE SUMARLIN.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efektifitas biokompos, rumput gajah
dan kelompok mikroba yang efektif dalam bioremediasi lahan tercemar minyak
bumi yang dilakukan dalam skala laboratorium, dan bahan tambahan yang
digunakan urea sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini dilakukan
berdasarkan rasio C/N yaitu 15, 10, dan 5. Parameter uji yang dilakukan untuk
mengetahui kondisi optimal yang dicapai pada remediasi terdiri atas pH, kadar air,
kadar abu, dan kemampuan ikat air/water holding capacity (WHC). Hasilnya
menunjukan degradasi TPH (Total Petroleum Hidrokarbon) sebesar 91,15%
dengan komposisi medium (100 g berat kering lumpur minyak bumi, 100 g berat
kering biokompos, 9 g urea, rasio C/N = 5) menggunakan perlakuan dari
kombinasi rumput gajah, mikroorganisme, urea dan biokompos selama 35 hari.
Faktor lingkungan yang menghasilkan kondisi optimal ini dicapai pada remediasi
diperoleh melalui kondisi awal pH 8,25; kadar air 49,97%; WHC 101,64%; dan
kadar abu 63,76% dan kondisi akhir pH 6,25; kadar air 55,04%; kadar abu
73,39%; dan WHC 124,11%. Penambahan kompos dan urea dapat meningkatkan
efisiensi degradasi TPH dan diperoleh hubungan positif antara jumlah
penambahan kompos dan urea terhadap tingkat degradasi TPH.
Kata kunci : biokompos, bioremediasi, degradasi, WHC, TPH
6
ABSTRACT
AHMAD SAEPUL MUJAB, Utilization Compost For Bioremediating of
Petroleum Sludge Polluted Soil. In Guiding by BAROKAH ALIYANTA and LA
ODE SUMARLIN.
This research was conducted to determine the effectiveness of biocompost and
elephant grass of rehabilitating oil polluted land using landfarming methods, in
combination with the addition of urea as sources of nitrogen. This research was
conducted based on the 15, 10, and 5 of C/N ratios, respectively. Test parameters
needed to knowing the optimal condition in remediation were pH, water content,
ash content, and water holding capacity (WHC). Results show the Total
Petroleum Hydrocarbon (TPH) was degraded until 91,15% for 35 days. Under
treatment of elephant grass, urea, biocompost combination within composition
medium of (100 g dry mass soil polluted hydrocarbon, 100 g dry mass
biocompost, 9 g fertilizer, and C/N ratio : 5) using combined treatment of elephant
grass, microorganisme, fertilizer, and biocompost after 35 days. The
environmental factor yielding this optimal remediation reached was obtained
through initial condition of pH 8,25; water content 49,97%; WHC 101,64%; ash
content 63,76% and final condition of pH 6,25; water content 55,04%; ash content
73,39%; and WHC 124,11%, respectively. The addition of compost and urea has
increased the efficiency of TPH degradation and obtained positive relationship
between addition amounts of compost and urea to the level of TPH degradation.
Key words: biocompost, bioremediation, degradation, WHC, TPH
7
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan
hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Penggunaan Biokompos dalam Bioremediasi Lahan Tercemar Limbah
Lumpur Minyak Bumi”. Shalawat serta salam semoga tetap tercurah limpah
kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, kepada para keluarga, sahabatsahabatnya dan mudah-mudahan termasuk pula kita selaku umatnya. Amin.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan untuk meraih
gelar Strata 1 (S1) di Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Selama penyelesaian skripsi ini, berbagai pihak telah memberikan bantuan
dan dorongan semangat. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin
mengucapkan rasa hormat dan terima kasih kepada berbagai pihak yaitu :
1. Drs. Barokah Aliyanta, M.Eng selaku Pembimbing I yang telah
membimbing dan memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
2. La Ode Sumarlin, M.Si selaku Dosen Pembimbing II yang telah
membimbing dan memberikan saran dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini.
3. Drs. Dede Sukandar, M.Si, selaku Ketua Program Studi Kimia Fakultas
Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Syopiansyah Jaya Putra, M.Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan
Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
5. Laboratorium Kebumian dan Lingkungan BATAN PATIR pasar jum‟at
yang telah memberikan fasilitas selama terlaksananya penelitian.
6. Anna Muawanah, M.Si selaku dosen pembimbing akademik, Program
Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, UIN Syarif HIdayatullah,
Jakarta.
7. Nana Mulyana, S.T, Dadang Sudrajat, S.Si, Dra. Tri Retno Diah Larasati,
M.Si, Mas Arif, dan Pak Wardi yang selalu membantu selama
terlaksananya penelitian.
8. Kedua orang tua dan adik-adik yakni Bapak Abdurrahim, Ibu Siti Fatimah,
Siti Nurlaela, dan Zaenal Mufid yang telah memberikan bantuan kepada
penulis baik materi maupun immateri.
9. Teman-teman Program studi kimia angkatan 2006 dan para sahabat
khususnya bayu, wulan, ulum, dan qosim yang selalu mendukung dan
memberi semangat kepada penulis.
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis juga menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih
terdapat kekurangan, untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis
harapkan dari pembaca. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis dan
mahasiswa Kimia UIN pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Jakarta, Agustus 2011
Penulis
x
DAFTAR ISI
Hal
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... x
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4
1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4
1.4 Hipotesis .................................................................................................. 4
1.5 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 6
2.1 Biokompos ............................................................................................... 6
2.1.1 Karakteristik Biokompos ................................................................ 6
2.1.2 Keuntungan dan Kerugian Biokompos ........................................... 7
2.1.3 Kompos .......................................................................................... 11
2.2 Minyak Bumi ........................................................................................... 13
2.2.1 Komponen Hidrokarbon ................................................................. 14
2.2.2 Komponen Non-hidrokarbon .......................................................... 15
2.2.3 Karakteristik Fisika Minyak Bumi .................................................. 16
2.3 Lumpur Minyak Bumi .............................................................................. 18
2.4 Mikrooganisme Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi........................ 18
2.5 Biodegradasi Lumpur Minyak Bumi ........................................................ 20
2.6 Bioremediasi ............................................................................................ 25
2.7 Bioremediasi „Landfarming’ .................................................................... 28
2.8 Remediasi Dengan Tanaman .................................................................... 29
2.8.1 Mekanisme Kerja Tanaman ............................................................ 30
2.8.2 Interaksi Tanaman dan Mikroorganisme Pada Proses Remediasi
Tanah Yang Tercemar ..................................................................... 31
xi
2.8.3 Persyaratan Tanaman Untuk Fitoremediasi ..................................... 33
2.9 Rumput Gajah .......................................................................................... 34
BAB III METODE PENELITIAN .............................................................. 36
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ................................................................... 36
3.2 Alat dan Bahan ......................................................................................... 36
3.2.1 Alat ................................................................................................ 36
3.2.1 Bahan ............................................................................................. 36
3.3 Cara Kerja ................................................................................................ 36
3.3.1 Pembuatan Media Dalam Pot .......................................................... 37
3.5.1 Perlakuan ....................................................................................... 38
3.5.2 pH .................................................................................................. 40
3.5.3 Kadar Air ....................................................................................... 41
3.5.4 Kadar Abu ...................................................................................... 41
3.5.5 Kemampuan Ikat Air ...................................................................... 41
3.5.6 Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) .............................................. 42
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN....................................................... 44
4.1 pH ............................................................................................................ 44
4.2 Kadar Air ................................................................................................. 46
4.3 Kemampuan Ikat Air ................................................................................ 49
4.4 Kadar Abu................................................................................................ 53
4.5 Persen degradasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dan Biomassa
Rumput Gajah .......................................................................................... 54
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................ 64
5.1 Kesimpulan .............................................................................................. 64
5.2 Saran ........................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 66
LAMPIRAN .................................................................................................. 72
xii
DAFTAR TABEL
Hal
Table 2.1 : Distribusi produk turunan minyak bumi berdasarkan jumlah atom
karbon penyusunnya dan titik didihnya (0C) .................................. 17
Table 3.1 : Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian .................................. 40
Tabel 4.1 : Hasil analisa total petroleum hidrokarbon ..................................... 55
Tabel 4.2 : Biomassa rumput gajah ................................................................ 55
xiii
DAFTAR GAMBAR
Hal
Gambar 2.1 : Biokompos ............................................................................... 6
Gambar 2.2 : Lumpur Minyak Bumi .............................................................. 18
Gambar 2.3 : Mekanisme dari interaksi tanaman dan mikroba untuk
remediasi polutan minyak………………………………............ 31
Gambar 2.4 : Rumput Gajah…………………………………………………... 33
Gambar 3.1 : Media Uji Pot................................................................................. 37
Gambar 3.2 : Diagram Alir Penelitian…………………………………………. 43
Gambar 4.1 : Hasil analisa pH ........................................................................ 44
Gambar 4.2 : Oksidasi n-alkana Melalui Jalur Sub Terminal ........................... 45
Gambar 4.3 : Hasil analisa kadar air ................................................................ 47
Gambar 4.4 : Hasil analisa water holding capacity (WHC) ............................. 49
Gambar 4.5 : Oksidasi n-alkana melalui Jalur Terminal: a. Monooksigenase;
b. Alkoholdehidrogenase; c. Aldehid dehidrogenase…………. 51
Gambar 4.6 : Hasil analisa kadar abu .............................................................. 53
Gambar 4.7 : Hasil ekstraksi TPH awal dan akhir perlakuan ........................... 57
Gambar 4.8 : Reaksi degradasi senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik ........ 60
Gambar 4.9 : Perlakuan A1, A2, C1, dan C2 pada hari ke-35 .......................... 62
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Hal
Lampiran 1 Data Hasil Pengukuran Awal dan Akhir Perlakuan ...................... 72
Lampiran 2 Uji Annova pH ............................................................................ 73
Lampiran 3 Uji Annova kadar air ................................................................... 75
Lampiran 4 Uji Annova kadar abu ................................................................. 79
Lampiran 5 Uji Annova Water Holding Capacity (WHC) .............................. 81
Lampiran 6 Uji Annova TPH ......................................................................... 85
Lampiran 7 Uji Fisik Rumput Gajah .............................................................. 87
Lampiran 8 Tempat Pembuangan Akhir Lumpur Minyak Bumi di Pertambangan
tradisoonal Cepu Jawa Timur ..................................................... 88
Lampiran 9 Penamaan Rumput Gajah Pada Media Pot ................................... 89
Lampiran 10 Perlakuan Dimedia Pot Pada Hari Ke-35 ................................... 90
Lampiran 11 Gambar Hasil Ekstraksi TPH ..................................................... 91
xv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Limbah minyak bumi dapat terjadi di semua lini aktivitas perminyakan
mulai dari eksplorasi sampai ke proses pengilangan dan berpotensi menghasilkan
limbah berupa lumpur minyak bumi (Oily Sludge). Salah satu kontaminan minyak
bumi yang sulit diurai adalah senyawaan hidrokarbon. Ketika senyawa tersebut
mencemari permukaan tanah, maka zat tersebut dapat menguap, tersapu air hujan,
atau masuk ke dalam tanah kemudian terendap sebagai zat beracun. Akibatnya,
ekosistem dan siklus air juga ikut terganggu (Karwati, 2009).
Secara alamiah lingkungan memiliki kemampuan untuk mendegradasi
senyawa-senyawa pencemar yang masuk ke dalamnya melalui proses biologis dan
kimiawi. Namun, sering kali beban pencemaran di lingkungan lebih besar
dibandingkan dengan kecepatan proses degradasi zat pencemar tersebut secara
alami. Akibatnya, zat pencemar akan terakumulasi sehingga dibutuhkan campur
tangan manusia dengan teknologi yang ada untuk mengatasi pencemaran tersebut
(Nugroho, 2006).
Selain itu, Atlas (1981) dalam Nugroho (2006) juga menjelaskan bahwa
banyak senyawa-senyawa organik yang terbentuk di alam dapat didegradasi oleh
mikroorganisme bila kondisi lingkungan menunjang proses degradasi, sehingga
pencemaran lingkungan oleh polutan-polutan organik tersebut dapat dengan
sendirinya dipulihkan. Namun pada beberapa lokasi terdapat senyawa organik
1
alami yang resisten terhadap biodegradasi sehingga senyawa tersebut akan
terakumulasi di dalam tanah.
Penanggulangan pencemaran minyak dapat dilakukan secara fisik, kimia
dan biologi. Penanggulangan secara fisik umumnya digunakan pada langkah awal
penanganan, terutama apabila minyak belum tersebar ke mana-mana. Namun cara
fisika memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk pengangkutan dan pengadaan
energi guna membakar materi yang tercemar. Penanggulangan secara kimia dapat
dilakukan dengan bahan kimia yang mempunyai kemampuan mendispersi
minyak, sehingga minyak tersebut dapat terdispersi. Terutama ketika zat
pencemar tersebut dalam konsentrasi tinggi. Namun cara ini memiliki kelemahan,
yaitu mahal pengoprasiannya karena memakan biaya yang cukup besar dan
metode kimia memerlukan teknologi dan peralatan canggih untuk menarik
kembali bahan kimia dari lingkungan agar tidak menimbulkan dampak negatif
yang lain. Mengingat dampak pencemaran minyak bumi baik dalam konsentrasi
rendah maupun tinggi cukup serius, maka manusia terus berusaha mencari
teknologi yang paling mudah, murah dan tidak menimbulkan dampak lanjutan
(Nugroho, 2006).
Salah satu alternatif penanggulangan lingkungan tercemar minyak adalah
dengan teknik bioremediasi, yaitu suatu teknologi yang ramah lingkungan, efektif
dan ekonomis dengan memanfaatkan aktivitas mikroba seperti bakteri. Melalui
teknnologi ini diharapkan dapat mereduksi minyak buangan yang ada dan
mendapatkan produk samping dari aktivitas tersebut (Udiharto et al.,1995).
Bioremediasi merupakan salah satu teknologi inovatif untuk mengolah
kontaminan, yaitu dengan memanfaatkan mikroba, tanaman, enzim tanaman atau
2
enzim mikroba (Gunalan, 1996). Kelemahan dengan cara biologi atau
bioremediasi ini dalam faktor-faktor lingkungan yang harus mendukung, seperti
pH, kadar air, oksigen, temperature, komposisi kimia minyak bumi, konsentrasi
hidrokarbon, nutrisi, salinitas, tekanan, dan mikroorganisme.
Sebelumnya telah dilakukan penelitian oleh Tang., et al (2010) tentang
bioremediasi pada tanah yang tercemar minyak menggunakan kombinasi tanaman
ryegrass dan kelompok mikroba yang efektif dilakukan dengan “pot experiment”.
Hasilnya menunjukkan degradasi sebesar 58% menggunakan perlakuan dari
kombinasi tanaman dan mikroorganisme setelah 162 hari dengan meningkatkan
nilai degradasi total hidrokarbon minyak (THM/TPH) sebesar 17% dibandingkan
kontrol.
Pada penelitian ini diharapkan hasil degradasi Total Petroleum
Hidrokarbon (TPH) lebih besar dari pada penelitian diatas. Penelitian ini akan
dikaji proses bioremediasi limbah lumpur minyak bumi dengan biokompos
menggunakan teknik landfarming pada skala laboratorium. Teknik landfarming
adalah teknik bioremediasi ex situ yang memanfaatkan tanah sebagai media dan
menanami tanaman. Salah satu tanaman yang digunakan adalah rumput gajah.
Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumacher) adalah tanaman yang dapat
tumbuh di daerah dengan minimal nutrisi. Rumput gajah membutuhkan minimal
atau tanpa tambahan nutrisi. Tanaman ini mampu beradaptasi terhadap polutan
dengan konsentrasi tinggi dan dapat juga memperbaiki kondisi tanah yang rusak
akibat erosi. Tanaman ini juga dapat hidup pada tanah kritis dimana tanaman lain
relatif tidak dapat tumbuh dengan baik (Sanderson dan Paul, 2008 dalam
Ambriyanto, 2010).
3
Selama penelitian dilakukan pengamatan pada pengaruh faktor-faktor
lingkungan seperti pH, kemampuan ikat air, kadar air, kadar abu, TPH (Total
Petroleum Hidrokarbon), dan biomassa rumput gajah.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah bioremediasi lumpur minyak bumi dengan biokompos dapat
efektif dengan teknik landfarming.
2. Bagaimana pengaruh kombinasi rasio C/N medium, urea, dan inokulum
terhadap parameter fisiko-kimia seperti pH, kemampuan ikat air, kadar air,
dan kadar abu.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang diuraikan sebelumnya, maka tujuan yang
ingin dicapai dalam peneltian ini yaitu:
1.
Mempelajari kemampuan biokompos dalam menurunkan kadar TPH
(Total Petroleum Hidrokarbon) tanah yang tercemar minyak bumi.
2.
Mendapatkan
faktor-faktor
lingkungan
yang
optimal,
yaitu
pH,
kemampuan ikat air, kadar air, kadar abu, serta TPH dengan teknik
landfarming.
1.4 Hipotesis
Penelitian ini menggunakan hipotesis sebagai berikut:
1. Faktor lingkungan seperti pH, kemampuan ikat air, kadar air, kadar abu,
serta TPH mempengaruhi keberhasilan teknik landfarming.
4
2. Kultur campuran hasil isolasi bertahap dari sludge minyak bumi dan kultur
indigen mampu mendegradasi sludge minyak bumi.
1.5 Manfaat Penelitian
Memberikan informasi tentang manfaat dari biokompos dengan teknik
bioremediasi yang ramah lingkungan.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Biokompos
Pupuk organik (biokompos) adalah pupuk yang berasal dari kotoran
hewan, bahan tanaman dan limbah. Umumnya pupuk organik mengandung hara
makro N, P, dan K rendah, tapi mengandung hara mikro Ca, Mg, Zn, Cu, B, Mo
dan Si dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan tanaman.
Pupuk organik juga berperan untuk mengurangi terjadinya erosi, pergerakan
permukaan tanah dan retakan tanah, mempertahankan kelengasan tanah serta
memperbaiki pengaturan dakhil (internal drainage) (Sutanto, 1997).
Gambar 2.1 Biokompos
2.1.1 Karakteristik Pupuk Organik (biokompos)
1. Kandungan hara rendah. Dengan kandungan hara yang rendah berarti
biaya untuk setiap unit unsur hara yang digunakan nisbi lebih mahal.
2. Ketersediaan unsur hara lambat. Hara yang berasal dari bahan organik
diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk dialihrupakan dari bentuk
ikatan kompleks organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman
menjadi bentuk senyawa organik dan anorganik sederhana yang dapat
6
diserap oleh tanaman. Kebanyakan unsur di dalam tanah biasanya terbawa
dalam bentuk unsur tersedia dari hasil perombakan bahan organik.
3. Menyediakan hara dalam jumlah terbatas. Penyediaan hara yang berasal
dari pupuk organik biasanya terbatas dan tidak cukup dalam menyediakan
hara yang diperlukan tanaman.
2.1.2 Keuntungan dan Kerugian Pupuk Organik (Biokompos)
a. Keuntungan
Pupuk organik dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan
kapasitas tukar kation, menambah kemampuan tanah menahan air, dan
meningkatkan kegiatan biologi tanah. Pupuk organik juga dapat
meningkatkan ketersediaan unsur mikro misalnya melalui kelat unsur
mikro dengan bahan organik. Selain itu pupuk organik tidak menimbulkan
polusi lingkungan (Atmojo, 2003).
Bahan organik tanah merupakan salah satu bahan pembentuk
agregat tanah, yang mempunyai peran sebagai bahan perekat antar partikel
tanah untuk bersatu menjadi agregat tanah, sehingga bahan organik
penting dalam pembentukan struktur tanah. Pengaruh pemberian bahan
organik terhadap struktur tanah sangat berkaitan dengan tekstur tanah yang
diperlakukan. Pada tanah lempung yang berat, terjadi perubahan struktur
gumpal kasar dan kuat menjadi struktur yang lebih halus tidak kasar,
dengan derajat struktur sedang hingga kuat, sehingga lebih mudah untuk
diolah. Komponen organik seperti asam humat dan asam fulvat dalam hal
ini berperan sebagai sementasi pertikel lempung dengan membentuk
komplek lempung-logam-humus (Stevenson, 1982). Pada tanah pasiran
7
bahan organik dapat diharapkan merubah struktur tanah dari berbutir
tunggal menjadi bentuk gumpal, sehingga meningkatkan derajat struktur
dan ukuran agregat atau meningkatkan kelas struktur dari halus menjadi
sedang atau kasar (Scholes et al., 1994). Bahkan bahan organik dapat
mengubah tanah yang semula tidak berstruktur (pejal) dapat membentuk
struktur yang baik atau remah, dengan derajat struktur yang sedang hingga
kuat.
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah
terhadap peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang
menunjukkan bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi
oleh udara dan air. Pori-pori tanah dapat dibedakan menjadi pori mikro,
pori meso dan pori makro. Pori-pori mikro sering dikenal sebagai pori
kapiler, pori meso dikenal sebagai pori drainase lambat, dan pori makro
merupakan pori drainase cepat. Tanah pasir yang banyak mengandung pori
makro sulit menahan air, sedang tanah lempung yang banyak mengandung
pori mikro drainasenya jelek. Pori dalam tanah menentukan kandungan air
dan udara dalam tanah serta menentukan perbandingan tata udara dan tata
air yang baik. Penambahan bahan organik pada tanah kasar (berpasir),
akan meningkatkan pori yang berukuran menengah dan menurunkan pori
makro. Dengan demikian akan meningkatkan kemampuan menahan air
(Stevenson, 1982). Hasil penelitian menunjukkan, penambahan bahan
humat 1 % pada latosol mampu meningkatkan 35,75 % pori air tersedia
dari 6,07 % menjadi 8,24 % volume (Herudjito, 1999).
8
Pengaruh bahan organik terhadap peningkatan porositas tanah di
samping berkaitan dengan aerasi tanah, juga berkaitan dengan status kadar
air dalam tanah. Penambahan bahan organik akan meningkatkan
kemampuan menahan air sehingga kemampuan menyediakan air tanah
untuk pertumbuhan tanaman meningkat. Kadar air yang optimal bagi
tanaman dan kehidupan mikroorganisme adalah sekitar kapasitas lapang.
Penambahan bahan organik di tanah pasiran akan meningkatkan kadar air
pada kapasitas lapang, akibat dari meningkatnya pori yang berukuran
menengah (meso) dan menurunnya pori makro, sehingga daya menahan
air meningkat, dan berdampak pada peningkatan ketersediaan air untuk
pertumbuhan tanaman (Scholes et al., 1994). Terbukti penambahan pupuk
kandang di Andisol mampu meningkatkan pori memegang air sebesar
4,73% (dari 69,8% menjadi 73,1%) (Tejasuwarno, 1999). Pada tanah
berlempung dengan penambahan bahan organik akan meningkatkan
infiltrasi tanah akibat dari meningkatnya pori meso tanah dan menurunnya
pori mikro.
Peran bahan organik yang lain, yang mempunyai arti penting
terutama pada lahan kering berlereng, adalah dampaknya terhadap
penurunan laju erosi tanah. Hal ini dapat terjadi karena akibat dari
perbaikan struktur tanah yaitu dengan semakin mantapnya agregat tanah,
sehingga menyebabkan ketahanan tanah terhadap pukulan air hujan
meningkat. Di samping itu, dengan meningkatnya kapasitas infiltrasi air
akan berdampak pada aliran permukaan dapat diperkecil. sehingga erosi
dapat berkurang (Stevenson, 1982).
9
Pengaruh bahan organik terhadap kesuburan kimia tanah antara
lain terhadap kapasitas pertukaran kation, kapasitas pertukaran anion, pH
tanah, daya sangga tanah dan terhadap keharaan tanah. Penambahan bahan
organik akan meningkatkan muatan negatif sehingga akan meningkatkan
kapasitas pertukaran kation (KPK). Bahan organik memberikan kontribusi
yang nyata terhadap KPK tanah, sekitar 20-70% kapasitas pertukaran
tanah pada umumnya bersumber dari koloid humus (contoh: Molisol),
sehingga terdapat korelasi antara bahan organik dengan KPK tanah
(Stevenson, 1982).
Kapasitas pertukaran kation (KPK) menunjukkan kemampuan
tanah untuk menahan kation-kation dan mempertukarkan kation-kation
tersebut termasuk kation hara tanaman. Kapasitas pertukaran kation
penting untuk kesuburan tanah. Humus dalam tanah sebagai hasil proses
dekomposisi bahan organik merupakan sumber muatan negatif tanah,
sehingga humus dianggap mempunyai susunan koloid seperti lempung,
namun humus tidak semantap koloid lempung, dia bersifat dinamik,
mudah dihancurkan dan dibentuk. Sumber utama muatan negatif humus
sebagian besar berasal dari gugus karboksil (-COOH) dan fenolik (-OH)
(Brady, 1990). Penambahan jerami sejumlah 10 t/ha pada Ultisol mampu
meningkatkan 15,18% KPK tanah dari 17,44 menjadi 20,0 cmol (+) /kg
(Cahyani, 1996).
Penambahan bahan organik dapat mempengaruhi nilai pH tanah.
Hal ini dapat meningkatkan atau menurunkan pH tanah tergantung tingkat
kematangan bahan organik
yang ditambahkan dan jenis tanah.
10
Penambahan bahan organik yang belum masak (misal pupuk hijau) atau
bahan organik yang masih mengalami proses dekomposisi, biasanya akan
menyebabkan penurunan pH tanah, karena selama proses dekomposisi
akan melepaskan asam-asam organik yang menyebabkan menurunnya pH
tanah. Namun apabila diberikan pada tanah yang masam dengan
kandungan Al tertukar tinggi, akan menyebabkan peningkatan pH tanah,
karena asam-asam organik hasil dekomposisi akan mengikat Al
membentuk senyawa komplek (khelat), sehingga Al-tidak terhidrolisis
lagi. Penambahan bahan organik pada tanah masam, antara lain inseptisol,
ultisol dan andisol mampu meningkatkan pH tanah dan mampu
menurunkan Al tertukar tanah (Suntoro, 2001; Cahyani., 1996; dan Dewi,
1996 dalam Atmojo, 2003). Peningkatan pH tanah juga akan terjadi
apabila bahan organik yang ditambahkan telah terdekomposisi lanjut
(matang), karena bahan organik yang telah termineralisasi akan
melepaskan mineralnya, berupa kation-kation basa.
b. Kerugian
Karena kandungan hara rendah, maka jumlah pupuk organik yang
dibutuhkan besar. Hal ini menyulitkan transportasi dan pemberian,
sehingga kurang ekonomis. Mudah terurai habis di daerah tropis. Pupuk
organik dapat menjadi inang bagi hama dan penyakit akar tanaman.
2.1.3 Kompos
Kompos adalah hasil penguraian parsial/tidak lengkap dari campuran
bahan-bahan organik yang dapat dipercepat secara artifisial oleh populasi berbagai
11
macam mikroba dalam kondisi lingkungan yang hangat, lembab, dan aerobik atau
anaerobik (Modifikasi dari J.H. Crawford, 2003).
a. Sumber Bahan Dasar Kompos
Beberapa bahan yang dapat dikomposkan, antar lain:
1. Limbah ternak dan manusia,
2. Limbah pertanaman,
3. Pupuk hijau,
4. Sampah kota atau pemukiman,
5. Limbah agro-industri, dan
6. Limbah hasil laut.
b. Proses Pengomposan
Kompos dibuat dari bahan organik yang berasal dari bermacam-macam
sumber. Kemungkinan bahan dasar kompos mengandung selulose 15-60%,
hemiselulose 10-30%, lignin 5-30%, protein 5-40%, bahan mineral 3-5%, selain
itu juga tedapat bahan larut air panas dan dingin (gula, pati, asam amino, urea,
garam ammonium) sebanyak 2-30% dan 1-15% lemak larut eter dan alkohol,
minyak dan lilin. Komponen organik mengalami dekomposisi di bawah kondisi
mesofilik dan termofilik. Pengomposan dengan metode timbunan di permukaan
tanah, lubang galian menghasilkan bahan yang terhumifikasi berwarna gelap
setelah 3-4 bulan dan merupakan sumber bahan organik untuk pertanian
berkelanjutan.
c.
Proses Mikrobiologis
Konversi biologi bahan organik dilaksanakan oleh bermacam-macam
kelompok mikroorganisme heterotropik seperti bakteri, fungi, aktinomisetes, dan
12
protozoa. Organisme tersebut mewakili jenis flora dan fauna tanah (Biddle and
Gray, 1985).
d. Metode Pengomposan
Banyak metode pengomposan yang telah dikembangkan dan dipraktekkan
di Indonesia, di antaranya adalah metode Indore, metode Heap, metode
Bangalore, metode Berkeley, metode Vemikompos, metode Jepang, metode
Windrow, metode Sederhana, dan Praktis.
Dalam penelitian ini menggunakan biokompos jenis vermikompos.
Vermikompos adalah proses yang melibatkan oksidasi dan stabilisasi dari limbah
organik yang dirombak oleh cacing tanah dan mikroorganisme (Dominguez,
2004), dengan demikian mengubah limbah menjadi suatu perubahan tanah yang
berharga disebut kascing. Teknik ini telah banyak digunakan untuk banyak proses
yang berbeda jenis residu, termasuk limbah industri dan bahan organik (Edwards
and Arancon, 2004).
2.2 Minyak Bumi
Minyak bumi adalah suatu campuran yang sangat kompleks yang terutama
terdiri dari senyawa-senyawa hidrokarbon, yaitu senyawa-senyawa organik di
mana setiap molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja.
Disamping itu dalam minyak bumi juga terdapat unsur-unsur belerang, nitrogen,
oksigen, dan logam-logam khususnya vanadium, nikel, besi dan tembaga, yang
terdapat dalam jumlah yang relatif sedikit yang terikat sebagai senyawa-senyawa
organik. Air dan garam hampir selalu ada dalam minyak bumi dalam keadaaan
terdispersi (Hardjono, 2000).
13
Minyak bumi terbentuk sebagai hasil akhir dari penguraian bahan-bahan
organik (sel-sel dan jaringan hewan atau tumbuhan laut) yang tertimbun selama
berjuta tahun di dalam tanah, baik di daerah daratan atau pun di daerah lepas
pantai. Minyak bumi sebagian besar terdiri atas komponen hidrokarbon.
Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama, bergantung pada
sumber penghasil minyak bumi tersebut. Misalnya, minyak bumi Amerika
komponen utamanya ialah hidrokarbon jenuh, yang digali di Rusia banyak
mengandung minyak bumi yang hidrokarbon siklik, sedangkan yang terdapat di
Indonesia banyak mengandung senyawa aromatik dan kadar belerangnya sangat
rendah (Hadi, 2003).
2.2.1 Komponen Hidrokarbon
Minyak bumi sebagian besar terdiri dari senyawa hidrokarbon. Secara garis
besar, senyawa hidrokarbon minyak bumi yang didegradasi oleh mikroorgannisme
dapat digolongkan atas tiga kelompok, yaitu hidrokarbon parafin, naftena dan
aromatik (Udiharto, 1999).
1.
Senyawa parafin atau alkana merupakan senyawa hidrokarbon jenuh terdiri
dari normal parafin berupa rantai karbon panjang dan lurus, serta isoparafin
berupa rantai karbon bercabang. Isoparafin banyak didominasi oleh yang
bercabang satu sedangkan normal parafin banyak terdapat dalam fraksi
ringan. Alkana mempunyai rumus C nH2n+2 dan tidak memiliki ikatan rangkap
antar karbon penyusunnya. Senyawa ini merupakan fraksi terbesar dalam
minyak bumi. Senyawa hidrokarbon monoolefin (alkena) mempunyai rumus
umum CnH2n dan merupakan senyawa hidrokarbon yang tidak jenuh dengan
ikatan rangkap dua. Monoolefin dianggap tidak ada dalam minyak mentah,
14
tetapi sedikit banyak terbentuk dalam distilasi minyak mentah dan banyak
terbentuk dalam proses rengkahan, sehingga bensin rengkahan mengandung
banyak senyawa monoolefin (Hardjono, 2000). Selanjutnya senyawa
hidrokarbon diolefin (alkuna) mempunyai rumus umum CnH2n-2 dan
merupakan senyawa tidak jenuh dengan dua buah ikatan rangkap dua. Seperti
halnya monoolefin, senyawa ini tidak terdapat dalam minyak mentah tetapi
terbentuk dalam proses rengkahan (Hardjono, 2000).
2.
Naftena dicirikan oleh adanya struktur cincin tertutup yang sederhana dari
atom karbon penyusunnya, dengan rumus umum CnH2n dan tidak mempunyai
ikatan rangkap antar atom karbon. Senyawa ini tidak larut dalam air dan
merupakan fraksi kedua terbesar dalam minyak bumi.
3.
Aromatik, dicirikan oleh adanya cincin yang mengandung enam atom karbon.
Benzen adalah senyawa aromatik yang paling sederhana dan pada umumnya
senyawa aromatik dibentuk dari senyawa benzen.
2.2.2 Komponen Non-hidrokarbon
Selain senyawa hidrokarbon, di dalam minyak bumi juga terkandung
sejumlah kecil senyawa non-hidrokarbon. Senyawa ini terdiri atas senyawa
organik non-hidrokarbon yang mengandung sulfur, nitrogen, oksigen dan logam.
Komponen non-hidrokarbon dalam minyak bumi (Atlas, 1992) adalah :
1. Sulfur
Merupakan komponen non-hidrokarbon terbesar dalam minyak bumi. Sulfur
terdapat dalam bentuk senyawa sulfida, merkapta dan tiofena.
15
2. Oksigen
Dalam minyak bumi terdapat senyawa oksigen dalam konsentrasi rendah.
Senyawa ini dapat berbentuk asam naftenik, fenol dan asam lemak.
3. Nitrogen
Pada umumnya nitrogen sangat sedikit dalam minyak bumi. Senyawa yang
mengandung nitrogen antara lain piridin, kuinolin, iso-kuinolin, pirol, indol
dan karbazol.
4. Logam
Senyawa logam dalam minyak bumi antara lain berupa garam inorganik dan
senyawa kompleks logam organik. Garam inorganik dapat berupa natrium
klorida, kalium klorida, magnesium klorida, kalsium klorida, natrium sulfat,
kalium sulfat, magnesium sulfat dan kalsium sulfat. Senyawa komplek logam
organik dalam minyak bumi mengandung salah satu dari logam berikut, yaitu
vanadil (Vo), nikel (Ni), besi (Fe), dan kobal (Co). Konsentrasi senyawa ini
dalam minyak bumi sangat kecil.
2.2.3 Karakteristik Fisika Minyak Bumi
Minyak bumi terdiri dari fase padat, cair, dan gas. Fase-fase tersebut
berubah dari satu fase ke fase lainnya akibat perubahan suhu dan tekanan.
Beberapa jenis minyak bumi yang berwujud padat pada keadaan suhu tertentu
dapat berubah menjadi cair akibat dari sedikit perubahan suhu. Pemanasan lebih
lanjut hingga titik didih dapat menjadi uap dan gas. Distribusi bertahap produk
turunan minyak bumi berdasarkan jumlah atom karbon (C) penyusun dan titik
didih produknya dapat dilihat pada tabel 2.1 (Spleight, 1980).
16
Tabel 2.1 Distribusi produk turunan minyak bumi berdasarkan jumlah atom
karbon penyusunnya dan titik didihnya (0C) (Spleight, 1980).
Jenis fraksi
Gas hidrokarbon
Bensin
Kerosin
Solar
Pelumas ringan
Pelumas berat
Residu
Jumlah atom C
Titik didih
C1- C4
C5- C10
C11- C13
C14- C17
C18- C25
C26- C35
C36- C60
s.d 38
38-177
177- 232
232-304
304-399
399-510
>510
Bentuk fisik minyak bumi di alam sangat beragam, antara lain ada yang
kasar, padat, rapuh, semi padat agak kental, cairan yang kental, ringan hingga
yang menguap serta gas-gas yang terkondensasi. Demikian pula apabila minyak
bumi ini tumpah di permukaan, baik di perairan maupun tanah akan membentuk
fasa-fasa seperti itu, yang sulit dibersihkan, dan berakibat terjadi pencemaran di
lingkungan (Uren, 1956).
Sifat-sifat fisik minyak bumi juga ditentukan oleh komposisi kimianya.
Karakteristik lain yang perlu diketahui adalah viskositas, densitas, dan tegangan
permukaan serta kelarutan dalam air. Viskositas adalah suatu parameter yang
digunakan khusus untuk fluida. Jika nilai viskositas rendah maka fluida semakin
mudah mengalir. Nilai viskositas minyak bumi tergantung pada kandungan fraksi
ringan dan suhu sekelilingnya dan nilai ini berkaitan dengan nilai densitas.
Apabila viskositas tinggi maka densitas rendah. Densitas adalah kerapatan dengan
satuan berat zat tiap satu satuan volume dan dinyatakan dengan satuan 0 API
(American Petroleum Institute). Sebagian besar minyak bumi memiliki densitas
lebih rendah dari air. Jika nilai 0 API kurang dari 10, maka densitas minyak bumi
lebih tinggi dari air. Jenis minyak bumi tersebut tidak akan mengapung lama di
sistem akuatik (Spleight, 1980).
17
2.3 Lumpur Minyak Bumi
Lumpur minyak bumi merupakan sisa produksi yang ditampung di
penampungan akhir. Lumpur minyak bumi yang dipakai untuk sampel ini berasal
dari pertambangan tradisional di Cepu.
Gambar 2.2 Lumpur minyak bumi
Industri minyak mempuyai nilai strategis dan merupakan tulang punggung
pembangunan sehingga industri minyak perlu dikelola secara baik dan efisien
sehingga diperoleh manfaat semaksimal mungkin namun demikian di samping
manfaat positif tersebut ada dampak negatifnya. Lumpur minyak bumi dari Cepu ini
merupakan salah satu dampak negatifnya karena limbah yang dihasilkan dari
pertambangan tradisional di Cepu merupakan B3 (bahan berbahaya beracun) sisa
suatu usaha atau kegiatan sebagai hasil pencampuran bahan kimia pada saat
pengolahan tetapi sifatnya beracun, mudah terbakar, reaktif, dan korosif serta
konsentrasinya dapat mencemarkan lingkungan hidup
yang mengakibatkan
membahayakan kesehatan manusia serta makhluk hidup lainnya baik secara langsung
maupun tidak langsung.
2.4 Mikrooganisme Pendegradasi Hidrokarbon Minyak Bumi
Mikroorganisme hidrokarbonoklastik mampu mendegradasi senyawa
hidrokarbon dengan memanfaatkan senyawa tersebut sebagai sumber karbon dan
18
energi yang diperlukan bagi pertumbuhannya. Mikroorganisme ini mampu
menguraikan komponen minyak bumi karena kemampuannya mengoksidasi
hidrokarbon
dan
menjadikan
hidrokarbon
sebagai
donor
elektronnya.
Mikroorganisme ini berpartisipasi dalam pembersihan tumpahan minyak dengan
mengoksidasi minyak bumi menjadi gas karbon dioksida (CO 2), bakteri
pendegradasi minyak bumi akan menghasilkan bioproduk seperti asam lemak,
gas, surfaktan, dan biopolimer yang dapat meningkatkan porositas dan
permeabilitas batuan reservoir formasi klastik dan karbonat apabila bakteri ini
menguraikan minyak bumi.
Keberhasilan biodegradasi minyak bumi tergantung kepada keaktifan
mikroba dan kualitas serta kondisi lingkungannya. Mikroba yang sesuai adalah
bakteri atau kapang yang mempunyai kemampuan fisiologi dan metabolik untuk
mendegradasi pencemar. Dalam beberapa hal, pada lingkungan yang akan
dilakukan bioproses sudah terdapat mikroba. Namun untuk mendapatkan
bioproses yang lebih baik masih perlu ditambahkan mikroba dari luar yang lebih
sesuai sehingga yang aktif dalam bioproses adalah kultur campuran (Noegroho,
1999).
Mikroba pendegradasi hidrokarbon minyak bumi dapat digunakan untuk
penanganan limbah minyak bumi dan untuk bioremediasi tumpahan minyak
disuatu tempat. Beragam Kelompok bakteri dan jamur memiliki kemampuan
sebagai
mikroorganisme
hidrokarbonoklastik
yang
mampu
mendegradasi
hidrokarbon minyak bumi. Bakteri dan jamur pendegradasi hidrokarbon
terdistribusi secara luas di laut, perairan tawar, dan tanah sebagai tempat hidupnya
(Sugoro, 2002)
19
Dilaporkan Pikoli et al. (2000) dari hasil penelitian mereka bahwa isolat
bakteri yang dapat mendegradasi minyak bumi diantaranya berasal dari genus
Bacillus dan Pseudomonas. Sama halnya dengan hasil penelitian Tribuwono
(2008), didapat beberapa jenis bakteri pendegradasi minyak bumi yaitu Bacillus
coagulans, Pseudomonas pseudoalcaligens, Bacillus laterosporus, dan Bacillus
firmus. Adapun dari hasil penelitian Purwasena (2006), diperoleh isolat bakteri
Flavimonas oryzihabitans, Amphibacillus xylanus, bacillus polymyxa, Bacillus
macerans, dan Clostridium butyricum.
2.5 Biodegradasi Lumpur Minyak Bumi
Tingkat degradasi minyak bumi fraksi berat lebih kecil dibandingkan
dengan minyak bumi fraksi ringan dikarenakan adanya perbedaan suseptibilitas
dalam degradasi masing-masing komponen hidrokarbon minyak bumi pada kedua
jenis minyak bumi tersebut. Kemampuan populasi campuran mikroba dalam
menggunakan minyak bumi (campuran hidrokarbon) sebagai karbon tunggal juga
tidak hanya bergantung pada fraksi-fraksi tidak jenuh tapi juga pada fraksi
asfalitik (Atlas, 1992).
Laju bioremidiasi tumpahan hidrokabon minyak bumi sangat ditentukan
oleh kondisi lingkungan. Beberapa faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi
biodegradasi minyak bumi adalah :
1. Kadar Air
Kandungan air sangat penting untuk aktivitas metabolik dari mikoba pada
limbah minyak bumi karena mikroba akan hidup aktif di interfase antara
minyak dan air (Udiharto, 1996). Kelembaban berkisar antara 50-80%
20
kapasitas penyangga air merupakan kelembaban ideal untuk berlangsungnya
aktivitas mikroba (Santosa, 1999). Sedangkan menurut Dibble dan Bartha
(1979) kelembapan optimum untuk biodegradasi minyak di lingkungan tanah
adalah 30-90% kapasitas penyangga air. Kelembaban yang lebih rendah
menyebabkan tanah menjadi kering sedangkan jika terlalu tinggi akan
mengganggu penyediaan oksigen.
2. Kadar Oksigen
Proses biodegradasi yang terjadi pada senyawa hidrokarbon membutuhkan
akseptor elektron seperti oksigen, nitrat, dan sulfat karena proses dasar dari
biodegradasi adalah oksigen, namun oksigen merupakan unsur yang sangat
penting (Cooney, 1984). Kekurangan oksigen menyebabkan degradasi
menurun tajam. Degradasi akan terjadi pada laju tertinggi jika aerasi
dimaksimalkan (Santosa, 1999). Secara ideal 1 g oksigen digunakan untuk
mendegradasi 3,5 gram minyak (Floodgate, 1997). Hasil penelitian Noegroho
(1999)
menunjukkan bahwa pemberian aerasi 15
liter/menit
dapat
menurunkan kandungan fenol dan amoniak (senyawa yang terdapat dalam
limbah minyak) masing-masing 82% dan 66,9%.
3. Temperatur
Kemampuan mikroba dalam biodegradasi minyak bumi ditentukan juga
oleh temperatur lingkungan (Atlas, 1975). Disebutkan oleh Skladany and
Metting (1993) bahwa suhu mempengaruhi reaksi biokimia. Degradasi
minyak bumi berlangsung dalam kisaran suhu yang luas, tetapi tidak selalu
menjadi faktor utama yang membatasi biodegradasi, asalkan faktor lingkungan
lain cukup baik (Atlas, 1981). Suhu optimum untuk mendapatkan laju
21
biodegradasi yang tinggi antara 30-40oC (Huddleston and Creswell, 1976).
Zobell (1969) mengemukakan bahwa laju biodegradasi lebih tinggi terjadi
pada suhu 25oC dari pada 5oC . Hasil penelitian Atlas (1981), senyawa
hidrokarbon alisiklik dapat didegradasi oleh mikroba pada suhu 10 oC dan
20oC. Berdasarkan suhu lingkungan mikroba dapat dikelompokkan menjadi 3
(Udiharto, 1996), yaitu :
a.
Psikrofilik memerlukan suhu optimum antara 5-15oC
b. Mesofilik memerlukan suhu optimum antara 25-40oC
c.
Thermofilik memerlukan suhu optimum antara 45-60oC.
Sedangkan keperluan bioremediasi kebanyakkan digunakan mikroba mesofilik
sedangkan kelompok lain dapat digunakan pada kondisi khusus seperti
Corynebacterium yang diisolasi dari tanah antartika yang tercemar minyak
dapat aktif mendegradasi pada suhu 1oC. Bacillus strearotthermophillus dapat
tumbuh dan berkembang biak dalam medium thermofil (55 oC) dengan
minyak mentah sebagai sumber karbon (Udiharto, 1992).
4. Komposisi Kimia Minyak Bumi
Minyak bumi terdiri dari campuran senyawa-senyawa yang beragam dan
umumnya berupa hidrokarbon. Masing-masing senyawa penyusun minyak
bumi tersebut memiliki tingkat biodegradasi berbeda. Adapun urutan
degradasi yang terjadi adalah n-alkana, isoalkana dan alkil benzene, alkana
bercabang, sikloalkana, dan yang terakhir dari kelompok polisiklik (Sublette,
1993 dalam Sugoro, 2002).
22
5. Konsentrasi Hidrokarbon
Konsentrasi minyak bumi mempengaruhi kelarutan minyak bumi yang
akan mempengaruhi tingkat biodegradasi. Konsentrasi minyak bumi yang
sangat rendah menyebabkan kelarutan dalam air lebih tinggi sehingga mudah
digunakan oleh mikroba. Sebaliknya apabila konsentrasi minyak bumi
terdapat dalam jumlah yang besar hingga melebihi batas kelarutannya, maka
proses degradasi akan dipengaruhi oleh kondisi fisik minyak bumi, antara lain
luas permukaan hidrokarbon yang tersedia untuk kolonisasi mikroba (Atlas
dan Bartha, 1992 dalam Sugoro, 2002). Konsentrasi minyak bumi yang terlalu
tinggi dapat mengakibatkan kematian mikroba yang berperan dalam proses
biodegradasi karena sifat toksiknya. Dengan demikian diperlukan suatu
konsentrasi optimum sehingga laju biodegradasi tinggi (Atlas, 1992).
6. Nutrisi
Minyak bumi merupakan sumber karbon dan energi yang sesuai untuk
pertumbuhan mikroba, tetapi memiliki defisiensi unsur nitrogen dan fosfor,
sehingga ketersediaan nitrogen dan fosfor ini akan menjadi faktor pembatas
degradasi hidrokarbon oleh mikroba. Penyesuaian terhadap perbandingan
karbon, nitrogen, dan fosfor dibuat dengan penambahan nitrogen dan fosfor
dalam bentuk pupuk. Nitrogen dan fosfor dalam bentuk garam-garam
anorganik efektif meningkatkan biodegradasi dalam sistem tertutup tetapi
cenderung untuk hilang dalam simulasi percobaan lapangan (Leahy dan
Colwell, 1990 dalam Sugoro, 2002).
23
7. Salinitas
Kebanyakan bakteri hidrokarbonoklastik pendegradasi minyak bumi hanya
mampu tumbuh dalam kondisi salinitas yang rendah. Salinitas yang lebih
besar dari 5% seringkali memberikan efek yang menghambat pertumbuhan.
Terdapat korelasi yang positif antara konsentrasi salilnitas yang tinggi dengan
korelasi suhu yang tinggi (Sublette, 1993 dalam Sugoro, 2002).
8. Tekanan
Tekanan dapat menghambat beberapa reaksi kimia yang melibatkan
perubahan volume, misalnya produksi atau penggunaan gas. Selain itu tekanan
juga mempengaruhi morfologi sel. Efek dari tekanan ini baru akan menjadi
faktor pembatas pada kondisi suhu dan pH yang tidak optimal (Sublette, 1993
dalam Sugoro, 2002).
9. Mikroorganisme
Dalam proses degradasi minyak bumi, jenis dan jumlah mikroorganisme
mempengaruhi proses biodegradasi. Interaksi antar populasi bakteri akan
mempercepat terjadinya proses biodegradasi minyak bumi. Setiap bakteri
memiliki jalur metabolisme berbeda-beda.
Bentuk konsorsium dalam kultur campuran mempercepat
proses
biodegradasi secara sempurna. Dalam penelitiannya Udiharto (1992)
menyatakan bahwa menggunakan kultur campuran isolat bakteri untuk
mendegradasi minyak bumi yang mencemari laut memiliki biodegradabilitas
tinggi lebih baik dibandingkan kultur murni. Pada umumnya, bakteri hanya
melakukan satu atau dua tahapan dari suatu jalur metabolisme dan bila bakteri
berupa kultur campuran maka tahapan yang biasa dilakukan dari jalur
24
metabolisme akan lebih panjang dan lebih menguntungkan bila terjadi
konsorsium yang bersifat sinergisme (Sugoro, 2002).
2.6 Bioremediasi
Bioremediasi merupakan suatu proses yang penting bagi rehabilitasi
lingkungan yang tercemar minyak bumi ataupun produk-produknya, dengan
memanfaatkan aktivitas mikroorganisme untuk menguraikan pencemar tersebut
menjadi bentuk yang lebih sederhana, tidak berbahaya dan memberikan nilai
tambah bagi lingkungan (Leahy and Rita, 1990).
Menurut Gritter, et al (1991) dari segi biaya dan kelestarian lingkungan,
bioremediasi lebih murah dan berwawasan lingkungan dibandingkan dengan
metode pemulihan lingkungan baik secara fisika maupun kimiawi. Bioremediasi
dilakukan dengan cara memotong rantai hidrokarbon tersebut menjadi lebih
pendek dengan melibatkan berbagai enzim. Sistem enzim-enzim tersebut dikode
oleh kromosom atau plasmid, tergantung pada jenis bakterinya (Harayama, 1995).
Pada proses bioremediasi ada beberapa persyaratan supaya bioremediasi
dapat berjalan dengan sukses, adapun kriteria menurut Steven and Marc, 1996
adalah:
a. Adanya populasi mikroba, yaitu mikroba yang dapat mendegradasi
polutan.
b. Terdapatnya sumber energi dan sumber karbon yang bisa digunakan
sebagai sumber energi dengan melepaskan elektron selama transformasi
dan juga digunakan oleh sel mikroba tersebut.
c. Adanya elektron akseptor, elektron lepas dikarenakan adanya transformasi
karbon.
25
d. Adanya nutrisi, Pertumbuhan bakteri memerlukan nutrisi antara lain:
nitrogen, phospor, kalsium, potasium, magnesium, besi dan lain-lain.
e. Kondisi lingkungan yang mendukung seperti temperatur, pH, salinitas,
tekanan, konsentrasi polutan dan kehadiran inhibitor.
Berdasarkan agen dan proses biologis serta pelaksanaan rekayasa,
bioremediasi dapat dibagi menjadi lima kelompok (Gossalam, 1999) yaitu:
a. In situ Bioremediasi
In situ bioremediasi juga disebut interistik bioremediasi atau natural
attenuation, secara prinsip merupakan rancangan yang mengandalkan
kemampuan mikroorganisma indigen dalam merombak polutan untuk
melenyapkan polutan dari lingkungan.
b. Ex situ Bioremediasi
Ex situ bioremediasi merupakan pemindahan polutan dalam suatu tempat
untuk diberikan suatu perlakukan (above ground treatment).
c. Bioaugmentasi
Bioaugmentasi merupakan perlakuan biologis dengan menggunakan
mikroorganisme perombak pemulih lingkungan yang tercemar. Ada
beberapa situasi yang mensyaratkan penggunaan mikroorganisma selektif
tersebut seperti:
1) Mikroorganisme indigen hanya mampu merombak polutan dengan
kecepatan sangat rendah.
2) Mikroorganisme indigen perombak polutan pada lingkungan bersangkutan
jumlahnya tidak banyak.
26
3) Lingkungan telah tercemar berat sehingga perlu dilakukan pemulihan
populasi mikroorganisme.
4) Bila kecepatan perombakan polutan menjadi faktor tertentu.
5) Jika waktu dan biaya yang tersedia untuk melakukan bioremediasi hanya
sedikit.
d. Surfactan-aided Bioremediation
Surfactan-aided Bioremediation, umumnya digunakan untuk pendegradasi
polutan yang melekat pada partikel tanah ( tanah, pasir atau sendimen).
e. Fitoremediasi
Penggunaan tanaman atau pohon untuk pemulihan tanah atau badan
perairan yang telah tercemar. Tanaman bisa berperan aktif maupun pasif
dalam proses penyisihan polutan.
Metode dan prinsip proses bioremediasi adalah biodegradasi yang
dilakukan secara aerob, oksigen dalam konsentrasi rendah akan mempengaruhi
proses tersebut (Eweis et al.,1998). Pentingnya aerasi untuk memenuhi
kekurangan oksigen berkaitan dengan kurang efektifnya kerja enzim oksigenase
dalam penguraian fraksi aromatik. Selain oksigen, rendahnya kandungan nutrisi
dalam
medium
akan
membatasi
pertumbuhan
mikroorganisme
untuk
mendegradasi.
Dalam bioremediasi penggunaan mikroorganisme indigenous (indigen)
saja masih belum maksimum sehingga diperlukan inokulasi mikroorganisme
eksogenous (eksogen) yang merupakan kultur campuran (konsorsium) beberapa
jenis bakteri atau jamur yang potensial dalam mendegradasi pencemar tersebut
(Udiharto and Sudaryono, 1999).
27
Mikroorganisme
yang
digunakan
adalah
bakteri
yang
memiliki
kemampuan untuk mendegradasi minyak bumi. Mikroorganisme yang memiliki
kemampuan tersebut, dikenal sebagai mikroorganisme hidrokarbonoklastik, yaitu
mikrooganisme yang mampu memanfaatkan minyak bumi sebagai sumber karbon
untuk pertumbuhannya. Bakteri sering digunakan dalam proses bioremediasi
karena memilki kemampuan adaptasi dan reproduksi yang tinggi. Bakteri ini
dapat diperoleh dengan cara mengisolasi bakteri secara langsung dari limbah
minyak bumi, karena kemungkinan besar memiliki kemampuan mendegradasi
minyak bumi (Atlas, 1992).
2.7 Bioremediasi ‘LandFarming’
Penerapan bioremediasi hidrokarbon umumnya dibatasi oleh faktor
lingkungan dan kemampuan adaptasi mikroba. Bioremediasi yang efektif adalah
proses yang menyebabkan perubahan hidrokarbon menjadi produk non toksik,
seperti air dan karbondioksida. Dua pendekatan umum yang biasa digunakan
untuk bioremediasi pencemar adalah modifikasi lingkungan seperti penambahan
pupuk dan penambahan pendegradasi hidrokarbon dengan bibit (Atlas, 1992).
Salah satu teknik penerapan bioremediasi adalah menggunakan teknik
landfarming. Cara ini merupakan salah satu teknik bioremediasi yang dilakukan
di permukaan tanah. Prosesnya memerlukan kondisi aerob, dapat dilakukan secara
in-situ maupun ex-situ. Landfarming merupakan teknik bioremediasi yang telah
lama digunakan, dan banyak digunakan karena tekniknya sederhana.
Faktor-faktor yang membatasi pelaksanaan dan keefektifan proses
landfarming adalah:
a. Tempat yang dibutuhkan cukup luas.
28
b. Kondisi yang menguntungkan proses biodegradasi limbah tidak dapat
dikontrol secara baik.
c. Kontaminan anorganik yang tidak bisa didegradasi.
d. Kemungkinan yang dihasilkannya sejumlah besar partikulat selama proses.
e. Kehadiran ion logam yang mungkin bersifat toksik untuk mikroorganisme
dan mungkin terlepas dari tanah terkontaminasi ke lapisan dasar atau air
tanah.
Keefektifan perlakuan landfarming dengan kontaminan minyak bumi telah
dibuktikan secara eksperimen yang terkontrol di laboratorium maupun dilapangan.
Dalam skala laboratorium, percobaan dilakukan oleh Takenaka (1999) dalam
Sugoro (2002) dengan kadar minyak diesel dalam tanah 1,5% (15 g/kg). Secara
periodik dilakukan penggemburan dan penambahan garam mineral. Kadar minyak
berkurang secara bertahap dan abu minyak menghilang setelah 3 atau 4 bulan.
Setelah 6 bulan, tidak ditemukan lapisan minyak terbentuk saat tanah
dicampurkan ke dalam air.
2.8 Remediasi Dengan Tanaman
Tumbuhan mempunyai kemampuan untuk menahan substansi toksik
dengan cara biokimia dan fisiologisnya serta menahan substansi non nutritif
organik yang dilakukan pada permukaan akar. Bahan pencemar tersebut akan
dimetabolisme atau diimobilisasi melalui sejumlah proses termasuk reaksi
oksidasi, reduksi dan hidrolisa enzimatis (Khan et al., 2000).
Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh tanaman dengan bantuan air dan
CO2. Tanaman mengeluarkan sekret melalui eksudat akar sebesar 10 – 20% dari
29
hasil fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini dapat membantu proses
pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun fungi yang hidup disekitar
rizosfer. Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan melalui eksudat akar
(misalnya phenolik, asam organik, alkohol, protein ) dapat menjadi sumber karbon
dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang dapat membantu proses
degradasi senyawa organik. Sekret berupa senyawa organik dapat membantu
pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba rhizosfer ( Salt et al., 1998 ).
2.8.1 Mekanisme Kerja Tanaman
Mekanisme kerja fitoremediasi terdiri dari beberapa konsep dasar yaitu:
fitoekstraksi, fitovolatilisasi, fitodegradasi, fitostabilisasi, rhizofiltrasi dan
interaksi
dengan
mikroorganisme
pendegradasi
polutan
(Kelly,
1997).
Fitoekstraksi merupakan penyerapan polutan oleh tanaman dari air atau tanah dan
kemudian diakumulasi/disimpan didalam tanaman (daun atau batang), tanaman
seperti itu disebut dengan hiperakumulator. Setelah polutan terakumulasi,
tanaman bisa dipanen dan tanaman tersebut tidak boleh dikonsumsi tetapi harus
musnahkan dengan insinerator kemudian dilandfiling. Fitovolatilisasi merupakan
proses penyerapan polutan oleh tanaman dan polutan tersebut dirubah menjadi
bersifat volatil dan kemudian ditranspirasikan oleh tanaman. Polutan yang di
dilepaskan oleh tanaman ke udara bisa sama seperti bentuk senyawa awal polutan,
bisa juga menjadi senyawa yang berbeda dari senyawa awal.
Fitodegradasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman dan
kemudian
polutan
tersebut
mengalami
metabolisme
didalam
tanaman.
Metabolisme polutan didalam tanaman melibatkan enzim antara lain nitrodictase,
laccase, dehalogenase dan nitrilase. Fitostabilisasi merupakan proses yang
30
dilakukan oleh tanaman untuk mentransformasi polutan didalam tanah menjadi
senyawa yang non toksik tanpa menyerap terlebih dahulu polutan tersebut
kedalam tubuh tanaman. Hasil transformasi dari polutan tersebut tetap berada
didalam tanah. Rhizofiltrasi adalah proses penyerapan polutan oleh tanaman tetapi
biasanya konsep dasar ini berlaku apabila medium yang tercemarnya adalah badan
perairan.
2.8.2 Interaksi Tanaman dan Mikroorganisme Pada Proses Remediasi
Tanah Yang Tercemar.
Tanaman dapat berperan langsung atau tidak langsung dalam proses
remediasi lingkungan yang tercemar. Tanaman yang tumbuh dilokasi yang
tercemar belum tentu berperan secara aktif dalam penyisihan kontaminan,
biasanya tanaman tersebut berperan secara tidak langsung. Yang berperan aktif
dalam biodegradasi polutan adalah mikroorganisme tanah sedangkan tanaman
bersifat mendorong percepatan remediasi lokasi yang tercemar tersebut.
Tanaman
Reaksi sinergis
Hidrokarbon
minyak bumi
Meningkatkan
kesuburan
dan
mengurangi racun
Pencemaran
Menyediakan
hara dan kondisi
kehidupan
Degradasi
Polutan
Mikroorganisme
Gambar 2.3 Mekanisme interaksi tanaman dan mikroba untuk remediasi polutan
minyak (Tang, 2010)
Ada beberapa penelitian mengenai peranan positif tanaman dalam proses
remediasi seperti yang dilakukan Anderson et al dalam Erickson et al., 1999 :
beberapa tanaman tidak secara aktif berperan dalam remediasi tanah tetapi
31
tanaman berfungsi sebagai faktor pendorong dan fasilitator membantu
mikroorganisme tanah dalam meningkatkan efesiensi biodegradasi polutan.
Peranan tanaman dalam proses mempercepat remediasi pada lokasi yang tercemar
bisa dalam berbagai cara antara lain:
1) Solar driven-pump-and-treat-system
Tanaman mengalami transpirasi, proses ini adalah penyerapan air dan air
tersebut diuapkan ke udara melewati stomata pada daun. Proses transpirasi ini
mengunakan matahari sebagai sistem yang membantu transpirasi. Pada saat
transpirasi terjadi akar tanaman menghisap zat cair dan larutan yang berada
disekitar akar tertarik kedaerah rhizospher sehingga kontaminan lebih
terkonsentrasi
didaerah
rhizospher
dan
mempermudah
bakteri
untuk
mengambilnya sebagai sumber nutrisi. Proses penarikan polutan kedaerah
rhizosfer dengan bantuan sinar matahari disebut dengan Solar driven-pump-andtreat-system.
2) Biofilter
Tanaman dapat mengadsorpsi dan mendegradasi kontaminan yang berada di
udara, air dan daerah buffer. Proses adsorpsi tersebut bersifat menyaring/filter
untuk kontaminan.
3) Transfer oksigen dan menurunkan water table
Tanaman dengan sistem perakarannya dapat berfungsi sebagai oksigen
transfer bagi mikroorganisme dan dapat menurunkan water table sehingga difusi
gas dapat terjadi. Fungsi ini biasanya dilakukan oleh tanaman apabila
kontaminannya bersifat readly degraded.
32
4) Penghasil sumber karbon dan energi
Senyawa polutan biasanya bersifat tidak terlarut pada air sehingga
mikroorganisme belum dapat mendegradasi polutan, mikroorganisme memerlukan
nutrisi alternatif sebelum dapat menggunakan polutan sebagai sumber karbon dan
energi. Dari beberapa hasil penelitian tanaman dapat berperan sebagai penghasil
sumber karbon dan energi alternatif yaitu dengan cara mengeluarkan eksudat atau
metabolisme oleh akar tanaman. Eksudat tersebut dapat digunakan oleh
mikroorganisme tanah sebagai sumber karbon dan energi alternatif sebelum
mikroorganisme tersebut menggunakan polutan sebagai sumber karbon dan
energi.
5) Rhizofiltrasi
Tanaman menyerap polutan yang terkandung didalam air melalui perakaran
tanaman.
2.8.3 Persyaratan Tanaman Untuk Fitoremediasi
Tidak semua tanaman dapat digunakan dalam remediasi, dikarenakan tidak
semua tanaman dapat melakukan metabolisme, volatilisasi dan akumulasi polutan
dengan mekanisme yang sama. Menurut Youngman (1999) untuk menentukan
tanaman yang dapat digunakan pada penelitian fitoremediasi dipilih tanaman yang
mempunyai sifat:
1) Cepat tumbuh.
2) Mampu mengkonsumsi air dalam jumlah yang banyak pada waktu yang
singkat.
3) Mampu meremediasi lebih dari satu polutan.
4) Toleransi yang tinggi terhadap polutan.
33
2.9 Rumput Gajah (Pennisetum purpureum Schumacher)
Nama umum
Indonesia: Rumput gajah, rumput lembing
Inggris: Cane grass, elephant grass, napier grass
Cina:
Xiang cao
Jepang: Napaa agurasu
Klasifikasinya:
Kingdom: Plantae (Tumbuhan)
Subkingdom: Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi: Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi: Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas: Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas: Commelinidae
Ordo: Poales
Famili: Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus: Pennisetum
Spesies: Pennisetum purpureum Schumacher
Gambar 2.4 Rumput Gajah
Rumput gajah (Pennisetum purpureum Schumacher), juga dikenal sebagai
rumput Napier, yaitu asli daerah tropis Afrika, tetapi telah berkembang di banyak
negara tropis lain di seluruh dunia (Frank Sauers and Sons, 1992 dalam Aroeira et
al, 1999). Menurut Boonman (1997) dalam Nyambati et al (2011) bahwa napier
grass (Pennisetum Purpureum Schum) adalah makanan ternak yang paling populer
34
digunakan oleh petani susu di sistem ini karena potensi hasil tinggi dan tahan
terhadap kekeringan, sehingga cocok sebagai pakan ternak potong dibandingkan
dengan rumput tropis lainnya. Hal ini terutama cocok untuk iklim pesisir dengan
curah hujan tahunan lebih dari 1000 mm, telah tumbuh dengan baik dalam kondisi
sub tropis. Rumput gajah adalah rumput seperti pohon tebu yang tebal, batang
yang kuat yang dapat mencapai ketinggian 4,5 m. Periode pertumbuhan utama di
musim panas, saat suhu dan kelembaban yang tinggi (Frank Sauers and Sons,
1992 dalam Aroeira et al, 1999).
35
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama 4 bulan yakni dari bulan Januari sampai
April 2011. Preparasi sampel dan analisis parameter fisik dan kimia serta uji
kuantitatif limbah lumpur minyak bumi dilakukan di Laboratorium Kebumian dan
Lingkungan, PATIR BATAN pasar jum‟at.
3.2 Alat dan Bahan
3.2.1 Alat
Oven listrik, tanur, cawan petri, desikator, neraca analitik, pot plastik, pH
indikator, ketas saring, Erlenmeyer dan peralatan gelas lainnya.
3.2.2 Bahan
Bahan
yang
digunakan
dalam
penelitian
ini
diantaranya
yaitu
vermikompos steril, n-heksan, rumput gajah, limbah lumpur minyak bumi yang
didapatkan dari pertambangan tradisional Cepu Jawa Timur.
3.3 Cara Kerja
Penelitian yang dilakukan adalah uji biodegradasi hidrokarbon minyak
bumi dengan media uji pot menggunakan Rancangan Acak Lengkap dan
perlakuan dilakukan berdasarkan perbedaan rasio C/N yaitu 15 dengan simbol A,
10 dengan simbol B, dan 5 dengan simbol C. Penambahan inokulum dan tanpa
penambahan inokulum, masing-masing dengan 4 ulangan.
36
3.3.1 Pembuatan Media Dalam Pot
a. Tanpa Inokulan
Sebanyak 100 g berat kering lumpur minyak bumi dicampurkan dengan
urea sesuai rasio C/N yang digunakan, kemudian dicampur dengan 100 g berat
kering kompos serta diaduk sampai rata. Dan sisihkan kompos yang belum
dicampur untuk poting. Selanjutnya dimasukan dalam pot.
b. Dengan Inokulan
Sebanyak 100 g berat kering kompos tambah inokulan sebesar 5 g yang
dinamakan biokompos. Kemudian disisihkan sebagian untuk poting, lalu
dicampurkan dengan lumpur minyak bumi yang sebelumnya sudah ditambahkan
urea sesuai rasio C/N yang digunakan, diaduk hingga merata, selanjutnya
dimasukan dalam pot. Cara memasukan media dalam pot seperti gambar berikut:
Biokompos
Lumpur minyak bumi +
Biokompos
Gambar 3.1 Media Uji Pot
37
3.3.2 Perlakuan
Pada penelitian ini, perlakuan berdasarkan perbedaan rasio C/N. Rasio
C/N dibuat 3 variasi yakni 5, 10, dan 15 berdasarkan identifikasi di Laboratorium
Tanah (Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian).
Bahan yang digunakan dalam perlakuan terdiri dari sludge minyak bumi, urea,
dan kompos. Pemakaian urea sebagai sumber N dilakukan berdasarkan kebutuhan
unsur hara yang terdapat didalam tanah, variasi pemberian urea pada tahap
perlakuan didasarkan pada perbandingan rasio C/N. Tempat untuk menyimpan
media terbuat dari pot plastik berdiameter 15cm dengan jumlah medium yang
dimasukkan sebanyak 200 g berat kering. Pencuplikan dilakukan pada awal
pembuatan media dan akhir perlakuan, satu minggu sekali pengecekan
pertumbuhan rumput gajah, dan warna daun.
Perlakuan yang dilakukan ada yang diberi inokulan dan tanpa inokulan
selama 35 hari. Kemudian sampel dikode dengan huruf A, B, dan C. Setiap
sampel A, B, dan C dilakukan pengulangan empat kali, sampel A tanpa inokulan
dikode dengan A11, A12, A13, dan 14, dengan inokulan dikode dengan A21,
A22, A23, dan A24. Pada sampel B tanpa inokulan dikode dengan B11, B12,
B13, dan B14, untuk dengan inokulan dikode dengan B21, B22, B23, dan B24.
Sedangkan untuk sampel C tanpa inokulan dikode dengan C11, C12, C13, dan
C14, dan sampel dengan inokulan dikode dengan C21, C22, C23, dan C24.
Semua sampel dianalisis pada awal dan akhir perlakuan. Sebelum sampel
dimasukkan ke dalam media pot, dianalisis terlebih dahulu secara duplo yaitu pH,
WHC, kadar air, kadar abu, dan degradasi TPH. Kemudian pada akhir perlakuan
yaitu hari ke-35, pengujian sampel dari keempat pengulangan diambil dua yang
38
terbaik dengan parameter pH, WHC, kadar air, kadar abu, dan degradasi TPH.
Hasil pengukuran pH, WHC, kadar air, kadar abu, TPH, dan biomassa rumput
gajah dapat.
Pemberian inokulum dan tanpa inokulum dalam tahap perlakuan ini adalah
untuk melihat potensi penambahan mikroba hasil isolasi. Perlakuan tanpa
penambahan inokulum dimaksudkan untuk mengetahui potensi mikroba tanah dan
lumpur yang secara alami sudah ada dan teradaptasi.
Kompos yang digunakan sebagai penambah nutrisi yang tersedia serta
sebagai bulking agent. Tujuan pemberian kompos adalah untuk meningkatkan
nutrisi tersedia bagi bakteri untuk metabolisme dan untuk meningkatkan
kegemburan tanah sehingga dapat meningkatkan aerasi.
Selama perlakuan dilakukan pengukuran berbagai parameter yaitu : analisa
kimia – fisik yang dilakukan pada awal perlakuan dan akhir perlakuan sampel,
diantaranya pengukuran pH, kadar abu/ash content, total petroleum hidrokarbon
(TPH), kemampuan ikat air/water holding capacity, dan kadar air.
39
Tabel 3.1 Perlakuan yang dilakukan dalam penelitian
Komposisi
Kode Lumpur minyak bumi Biokompos
Urea (g)
Inokulum
C/N
(g)
(g)
A11
200
15
A12
200
15
A13
200
15
A14
200
15
A21
200
+
15
A22
200
+
15
A23
200
+
15
A24
200
+
15
B11
100
100
2
10
B12
100
100
2
10
B13
100
100
2
10
B14
100
100
2
10
B21
100
100
2
+
10
B22
100
100
2
+
10
B23
100
100
2
+
10
B24
100
100
2
+
10
C11
100
100
9
5
C12
100
100
9
5
C13
100
100
9
5
C14
100
100
9
5
C21
100
100
9
+
5
C22
100
100
9
+
5
C23
100
100
9
+
5
C24
100
100
9
+
5
Keterangan : - (tanpa inokulan, tanpa urea, dan tanpa kompos) dan + (ditambah inokulan)
Catatan : walaupun tanpa inokulan, perlakuan tersebut mengandung bakteri
pendegradasi minyak bumi yang dapat terinduksi pertumbuhannya dengan
mengoptimasikan kondisi lingkungannya, dalam hal ini medium bagi
pertumbuhan.
3.3.3 pH
Timbang 5 g sampel A, B, dan C, kemudian ditambah aquades 25 ml
dengan perbandingan 1:5. Dikocok dengan mesin kocok selama 30 menit,
didiamkan selama 10 menit, lalu diukur dengan kertas lakmus (SEAMEO
BIOTROP, 2011).
40
3.3.4 Kadar Air / Kadar Kelembaban
Cawan dioven selama 1 jam, lalu dikeringanginkan dalam desikator
selama 30 menit. Diambil 5 gram masing-masing sampel A, B, dan C,
dimasukkan ke dalam cawan lalu ditimbang, kemudian dikeringkan di dalam oven
dengan suhu 65-105°C selama 24-72 jam. Setelah sampel kering dengan berat
yang tetap, kemudian ditimbang. Kadar air dihitung berdasarkan persamaan
(Natural Resources Conservation Service, 2000):
% Kadar air =
berat sampel basah −berat sampel kering
berat sampe basah
× 100% .........(1)
3.3.5 Kadar Abu / Ash Content
Sampel dan kompos A, B, dan C yang sudah diketahui kadar airnya, lalu
diabukan dalam tanur pada suhu 650°C selama 12 jam. Dihitung kadar abu dari
media kering berdasarkan persamaan (Zyomuya, 2005):
berat abu
% Kadar abu = berat
kering
× 100% ................................................ (2)
3.3.6 Kemampuan Ikat Air/ Water Holding Capacity (WHC)
Sampel basah yang sudah diketahui terlebih dulu kadar airnya dianggap
sebagai berat awal (W0) dan kemudian ditempatkan dalam beker. Kemudian
sampel direndam dengan aquades selama 1-2 hari dan disaring menggunakan
kertas whatman, sampel jenuh dianggap sebagai berat jenuh (W s), kadar air
sebagai MC, jumlah air yang tertahan oleh sampel dihitung sebagai WHC
menurut persamaan (Ahn et al., 2009):
𝑊𝐻𝐶 =
𝑊𝑠 −𝑊0 +𝑀𝐶 𝑥 𝑊0
1−𝑀𝐶 𝑥 𝑊0
................................................ (3)
41
3.3.7 Total Petroleum Hidrokarbon (TPH)
10 g sampel ditambah 50 ml n-heksana dalam Erlenmeyer 250 ml.
Kemudian dishaker sampai terlihat minyaknya keluar dari sampel, lalu ditransfer
kedalam beaker glas yang sudah diketahui bobotnya. Kemudian di uapkan dalam
oven pada suhu 70 0C, Minyak yang diperoleh lalu ditimbang untuk mengetahui
jumlah minyak yang terkandung dalam contoh sampel setelah ekstraktannya habis
menguap (Ijah & Upke 1992 dalam Ijah et al. 2008). Tingkat degradasi diukur
dengan rumus sebagai berikut:
% 𝐷𝑒𝑔𝑟𝑎𝑑𝑎𝑠𝑖 =
𝑇𝑃𝐻0 −𝑇𝑃𝐻35
𝑇𝑃𝐻0
TPH0 = TPH hari ke-0 (g)
TPHn = TPH hari ke-35(g)
42
𝑥 100% ………………..… (4)
Mulai
inokulan mikroba
pendegradasi minyak
(M1, M2. M3)
Pembuatan media uji pot:
VC/(VC+TTM)= 0 dan 25%;
Inokulan = M0, M1, M2, dan M3
Pengamatan media H-0:
pH, AC, WHC, TPH, dan
MC
(8x4 pot)
Pengamatan pertumbuhan rumput
gajah 7, 14, 21, 28, dan 35 HST:
tinggi dan foto
Penanaman rumput gajah
(35 hari)
Panen biomassa rumput
gajah 35 HST
Media H-35
Biomassa tanaman rumput
gajah 35 HST
Pengamatan media H-35:
pH, AC, WHC, TPH, dan
MC
Pengamatan performa
pertumbuhan rumput gajah :
Bobot basah/bobot kering
Data
Pengolahan data dan evaluasi akhir
Pembuatan laporan skripsi
SELESAI
Gambar 3.2 Diagram Alir Penelitian
43
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 pH
Hasil penelitian menunjukan bahwa pada keadaan awal pH masih
berkisaran 7,25-8,25 (Gambar 4.1). Hal ini sesuai dengan pH optimum karena
menurut Nghia (2007) pH optimum untuk biodegradasi berada kisaran antara 6
dan 8. Namun setelah diberi perlakuan, pH mengalami perubahan penurunan nilai
pH yang menunjukan bahwa mikroorganisme beraktivitas. Kebanyakan bakteri
tumbuh pada pH netral atau sedikit alkali. pH berpengaruh pada fungsi seluler
mikroorganisme, transport membran, dan keseimbangan reaksi (Cookson, 1990
dalam Sugoro, 2002).
9
8
8.25
7.25 7.5
7
7.25
7.5
8.25
7.5
7
6.5
6.5
6.5
6.25
pH
6
5
4
awal
3
akhir
2
1
0
A1
A2
B1
B2
C1
C2
Perlakuan
Gambar 4.1 Hasil analisa pH
Berdasarkan hasil analisis, pada umumnya semua perlakuan mengalami
penurunan nilai pH. Penurunan nilai pH tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas
konsorsium bakteri yang membentuk metabolit-metabolit asam. Biodegradasi
44
alkana yang terdapat dalam minyak bumi akan membentuk alkohol dan
selanjutnya menjadi asam lemak. Asam lemak hasil degradasi alkana akan
dioksidasi lebih lanjut membentuk asam asetat dan asam propionat (Gambar 4.2),
sehingga dapat menurunkan nilai pH medium (Rosenberg, E., Legmann,R.,
Kushmaro, A., Taube, R., dan Ron, E.Z. 1992 dalam Nugroho, 2006).
H+
O O
R
CH2 CH2 CH3
O2 + 2H+
-H2O
R CH2 CH2 CH3
R
CH2
H+
O
OH
C
CH3
H
OH
O
+
-2H
O2 + 2H+
R
CH2
C
R
CH3
metilketon
2-keton
-H2O
CH2
CH
CH3
alkohol sekunder
O
R CH2
O
C
asetilester
CH3
+H2O
R CH2 OH + R COOH
alkohol promer asam asetat
Siklus Krebs
-2H+
R
CHO
aldehid
-H2O
-2H+
R COOH
Siklus Krebs
Gambar 4.2 Oksidasi n-alkana melalui jalur sub terminal (Atlas and Bartha, 1992
dalam Nugroho, 2009).
Selain oksidasi terminal, mikroba juga dapat mengoksidasi hidrokarbon
alifatik melalui oksidasi subterminal (Gambar 4.2). Pada jalur ini molekul oksigen
dimasukan ke dalam rantai karbon membentuk alkohol sekunder yamg
selanjutnya dioksidasi menjadi keton dan akhirnya ester. Kemudian ikatan ester
45
dipecah membentuk alkohol primer dan asam lemak. Selanjutnya alkohol
dioksidasi melalui aldehid membentuk asam lemak dan kedua fragmen asam
lemak akan dimetabolisme lebih lanjut melalui β-oksidasi (Atlas and Bartha, 1992
dalam Nugroho, 2009).
Hasil tersebut dipertegas dengan uji anova yang menunjukan bahwa ratarata pH diantara keenam perlakuan awal tidak memberikan beda nyata (P ≥ 0,05),
namun pada akhir perlakuan dari keenam perlakuan menunjukan berbeda nyata (P
≤ 0,05). Dengan demikian, maka pemberian biokompos pada proses degradasi
memberikan pengaruh signifikan terhadap nilai pH keenam perlakuan (Lampiran
2).
Pada sampel A1, pH mengalami kenaikan yaitu pH awal sebesar 7,25 dan
pH akhir 7,5. Karena beberapa bakteri memiliki kemampuan untuk melakukan
upaya homeostatis terhadap keasaman lingkungan sebatas masih dalam toleransi
adaptasinya. Caranya dengan melakukan pertukaran kation K+ dari dalam sel dan
menukarnya dengan H+ yang banyak terdapat di lingkungannya. Akibatnya
keasaman lingkungan dapat dikurangi (Chator dan Somerville, 1978 dalam
Nugroho, 2006). Hasil penelitian ini sama dengan yang dilakukan oleh Tang et al
(2010) bahwa secara umum, perlakuan dengan mikroorganisme dan tanaman
dapat menurunkan pH tanah.
4.2 Kadar Air
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, didapatkan hasil analisa kadar air
sebagai berikut:
46
60.00
51.86
48.82
Kadar Air (%)
50.00
53.25
53.12
49.84
55.04
49.97
46.14
40.00
30.00
29.05
28.29
30.18
27.45
awal
20.00
akhir
10.00
0.00
A1
A2
B1
B2
C1
C2
Perlakuan
Gambar 4.3 Hasil analisa kadar air
Kandungan air sangat penting untuk aktivitas metabolik dari mikoba pada
limbah minyak bumi karena mikroba akan hidup aktif di interfase antara minyak
dan air (Udiharto, 1996). Kelembaban berkisar antara 50-80% kapasitas
penyangga air merupakan kelembaban ideal untuk berlangsungnya aktivitas
mikroba (Santosa, 1999).
Melihat data hasil analisis kadar air, sampel A1, A2, B1, B2, C1, C2
mengalami kenaikan. Sampel yang mengalami kenaikanpun berbeda antara
sampel yang hanya ditambah inokulan saja, biokompos (kompos + inokulan) dan
sampel dengan kompos tanpa inokulan. Begitu juga perbedaan pada komposisi
urea yang ditambahkan (Lampiran 1). Hasil uji anova menunjukan bahwa
pemberian biokompos memberikan pengaruh terhadap % kadar air (Lampiran 3).
Pada sampel B1 dan C1 mengalami kenaikan kadar air karena sampel
tersebut ditambahkan kompos pada perlakuannya. Penambahan bahan organik
(kompos) dapat meningkatan porositas tanah. Kondisi ini juga akan berpengaruh
pada tingkat aerasi tanah dan status kadar air dalam tanah. Mikroba yang sudah
47
ada dalam kompos dapat memanfaatkan minyak sebagai sumber energi, sehingga
molekul-molekul minyak yang melekat pada pori-pori tanah terlepas dan terisi
dengan air. Sedangkan perbedaan kadar air antara sampel B1 dan C1 dengan B2
dan C2 (Lampiran 3) yaitu sampel B2 dan C2 menggunakan kompos + inokulan,
sehingga kadar air dari sampel B2 dan C2 lebih besar daripada sampel B1 dan C1.
Hal ini disebabkan adanya inokulan yang ditambahkan dari hasil isolasi terpilih.
Penambahan hasil isolate terpilih ini menyebabkan mikroba lebih cepat
mendegradasi minyak, karena adaptasi yang baik. Akibatnya pertumbuhan rumput
gajah pun mengalami kenaikan yang diperlihatkan dengan makin panjangnya
daun (Lampiran 7).
Sampel A1 dan A2 merupakan kontrol, namun A2 memiliki perbedaan
kadar air yang lebih besar dari A1 yaitu A2 sebesar 30,18% dan A1 sebesar
29,05%. Hal ini disebabkan sampel A2 ditambah inokulan sedangkan sampel A1
tidak. Inokulan tersebut dapat mendegradasi minyak lebih cepat, dan molekul
airpun dapat terjerap dalam pori-pori tanah.
Lampiran 7 menunjukan hasil pertumbuhan selama perlakuan. Pada
minggu pertama pertumbuhan rumput gajah secara baik untuk semua perlakuan.
Namun setelah minggu ke-5 pertumbuhan rumput gajah ada yang mengalami
penurunan, bahkan ada tanaman yang mati yaitu perlakuan A1, A2, C1, dan C2.
Pertumbuhan pada tanah yang tercemar minyak mentah dalam sampel A1, A2,
C1, dan C2 mengakibatkan pengurangan kadar air tanah. Kondisi ini
menyebabkan pertumbuhan rumput gajah mengalami penurunan pada akhir
perlakuan (Lampiran 7). Tanah yang tercemar minyak mentah menyebabkan
permeabilitas rendah dan infiltrasi rendah dari air ke dalam tanah (Hutchinson et
48
al., 2001;. Andrade et al., 2004 dalam Njoku et al., 2009). Akibatnya akumulasi
air terhadap permukaan tanah dan kekeringan buatan di lapisan bawah permukaan
tanah. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi akar untuk menyerap air dan
nutrisi yang ada di lapisan bawah permukaan tanah.
Pertumbuhan akar tanaman ke dalam tanah membantu menciptakan poripori di dalam tanah, sehingga meningkatkan penetrasi air dan infiltrasi di tanah
yang tercemar dengan minyak mentah. Hal ini dapat membantu menghilangkan
genangan air tanah yang tercemar minyak mentah dan dapat mengakibatkan
peningkatan aerasi tanah. Aerasi meningkat dapat mengakibatkan peningkatan
aktivitas mikroba aerobik di dalam tanah dan ini dapat menyebabkan
meningkatnya degradasi dari minyak (Njoku et al, 2009).
4.3 Kemampuan Ikat Air/Water Holding Capacity (WHC)
Kemampuan ikat air didefinisikan sebagai kemampuan suatu bahan untuk
menyerap dan menahan air. Hasil analisis WHC sampel dapat dilihat dari gambar
berikut.
140.00
124.11
115.00
120.00
109.04
101.64
100.90
97.05
100.00
WHC (%)
118.35
88.44
80.00
60.00
40.00
40.32
41.47
38.85
awal
43.90
akhir
20.00
0.00
A1
A2
B1
B2
C1
C2
Perlakuan
Gambar 4.4 Hasil analisa water holding capacity (WHC)
49
Berdasarkan gambar 4.4 nilai WHC akhir secara berurutan pada sampel
A1, A2, B1, B2, C1, dan C2 adalah 41,47%, 43,90%, 109,04%, 115%, 118,35%,
dan 124,11%. Perbedaan nilai WHC tersebut sangat dipengaruhi oleh penambahan
biokompos dan urea.
Secara umum pemberian biokompos memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap % WHC. Hal ini karena biokompos mengandung
mikroorganisme pendegradasi minyak bumi. Pada sampel A1 mengalami
kenaikan lebih kecil dibandingkan dengan A2. Hal ini disebabkan sampel A1
merupakan kontrol yang hanya ditanami dengan rumput gajah dan tanpa inokulan.
Rumput gajah dan mikroba indigen tidak mampu mendegradasi senyawa organik
secara cepat yang terdapat dalam tanah. Minyak bumi menyelimuti tanah dan
masuk ke dalam pori-pori tanah sehingga air tidak dapat terjerap oleh tanah
karena air bersifat polar sedangkan minyak bersifat nonpolar. Adanya perbedaan
sifat ini menyebabkan air tidak akan terjerap oleh tanah yang sudah dipenuhi
dengan minyak.
Sampel A2 mengalami kenaikan nilai WHC, karena pada sampel A2
ditambah inokulan mikroba pendegradasi minyak bumi. Keberadaan mikroba ini
dapat mendegradasi minyak dalam tanah, karena minyak tersebut dapat
difungsikan sebagai sumber energi mikroba. Bahan utama minyak bumi adalah
hidrokarbon alifatik dan aromatik, yaitu senyawa-senyawa organik di mana setiap
molekulnya hanya mempunyai unsur karbon dan hidrogen saja.
Biodegradasi hidrokarbon alifatik biasanya terjadi pada kondisi aerob.
Tahap awal degradasi hidrokarbon secara aerob adalah memasukkan molekul
oksigen ke dalam hidrokarbon oleh enzim oksigenase (Nugroho, 2009). Menurut
50
R.M. Atlas, and R. Bartha (1992) dalam Nugroho (2009) Jalur degradasi alkana
yang paling umum adalah oksidasi rantai terminal (Gambar 4.5). Alkana
dioksidasi menjadi alkohol dan selanjutnya menjadi asam lemak (Cookson, 1995
dalam Nugroho, 2009).
Jalur metabolisme asam lemak selanjutnya dapat melalui jalur lipid
seluler, β-oksidasi, dan α-oksidasi. Melalui jalur β-oksidasi asam lemak akan
diubah menjadi asetil ko-A dan masuk ke dalam siklus TCA, diubah menjadi CO2
dan energi. Bila melalui jalur α-oksidasi asam lemak akan diubah langsung
menjadi CO2 dan turunan lemak (Buchler and Schindler, 1984 dalam Nugroho,
2009). Akibat hasil degradasi ini maka pori-pori tanah yang tadinya terisi penuh
dengan minyak menjadi hilang dan bisa terisi dengan air yang dapat terjerap oleh
tanah.
H3C
CH2
n
CH3
O2, 2H+
H3C
CH2
n
CH2OH
a
H3C
CH2
O
n
CHO
H3C
CH2
n
CH2
O
C
CH2
n
CH3
b
H3C
H2COC
CH2
n
CH2
n
COOH
COOH
ω -hidroksilasi
HOOC
CH2
n
COOH
β-oksidasi
Gambar 4.5 Oksidasi n-alkana melalui Jalur Terminal: a. Monooksigenase; b.
Alkoholdehidrogenase; c. Aldehid dehidrogenase (Cookson, 1995
dalam Nugroho, 2009).
51
Sampel B1, B2, C1, dan C2 mengalami kenaikan nilai WHC, ini karena
sampel tersebut menggunakan kompos dan biokompos sebagai bahan organik.
Pengaruh bahan organik terhadap sifat fisika tanah yang lain adalah terhadap
peningkatan porositas tanah. Porositas tanah adalah ukuran yang menunjukkan
bagian tanah yang tidak terisi bahan padat tanah yang terisi oleh udara dan air
(Stevenson,
1982).
Menurut
Mashur,
2001,
vermikompos
mempunyai
kemampuan menahan air sebesar 40-60%. Hal ini karena struktur vermikompos
yang memiliki ruang-ruang yang mampu menyerap dan menyimpan air, sehingga
mampu mempertahankan kelembaban.
Terdapat perbedaan hasil kenaikan nilai WHC antara sampel B1, C1 dan
B2, C2 (Lampiran 5) yaitu karena sampel B1, C1 tanpa inokulan, sedangkan
sampel B2, C2 menggunakan inokulan dan perbedaan komposisi urea, sehingga
antara mikroba inokulan dengan mikroba yang sudah ada divermikompos sinergis,
dan banyaknya unsur N dalam tanah, akan dimanfaatkan oleh mikroba untuk
metabolismenya, sehingga untuk mendegradasi polutan minyakpun lebih cepat.
Kenaikan nilai WHC pada perlakuan menandakan terjadinya kemampuan
dalam mengikat uap air. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa ikatan antara
vermikompos dan limbah lumpur minyak bumi dalam sampel mulai digantikan
oleh air. Pergantian ini mengindikasikan terjadinya degradasi limbah lumpur
menjadi senyawa-senyawa lain. Disamping itu menunjukkan pula bahwa dalam
proses fermentasi mikroba terjadi degradasi limbah lumpur minyak bumi.
52
4.4 Kadar Abu
Abu adalah zat anorganik sisa hasil pembakaran suatu bahan organik,
kadar abu suatu bahan tergantung bahan dan cara pengabuannya (Sudarmadji et
al., 1996). Data gambar 4.6, menunjukan terjadi perubahan kadar abu yang nyata
antara keadaan sebelum dan setelah fermentasi degradatif dari limbah lumpur
minyak bumi (Lampiran 1). Hasil statistik anova menunjukan bahwa kadar abu di
antara keenam perlakuan berbeda nyata (P ≤ 0,05) (Lampiran 4), ini menunjukan
bahwa pemberian biokompos memberikan pengaruh yang signifikan berupa
peningkatan kadar abu di akhir perlakuan.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, didapatkan hasil seperti yang
Kadar Abu (%)
ditunjukkan dalam gambar berikut ini:
100.00
90.00
80.00
70.00
60.00
50.00
40.00
30.00
20.00
10.00
0.00
89.22
84.32
84.73
86.36
74.31
65.16
73.89
63.57
73.39
70.48
67.63
63.76
awal
akhir
A1
A2
B1
B2
C1
C2
Perlakuan
Gambar 4.6 Hasil analisa kadar abu
Secara keseluruhan keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan C2)
mengalami kenaikan kadar abu. Hal tersebut disebabkan bahan yang terkandung
dalam perlakuan terjadi proses mineralisasi. Proses mineralisasi ini diakibatkan
oleh metabolisme dari tanaman dan mikrobanya, dengan cara memanfaatkan
53
polutan yang terkandung dalam media. Mineral tersebut terdapat dalam bentuk
garam organik, garam anorganik, atau sebagai bentuk senyawa kompleks yang
bersifat organis (Muljohardjo, 1988).
Tanaman melepaskan eskudat di rizosfer kemungkinan untuk kebutuhan
sebagai sumber karbon untuk mikroba (Bowen and Rovira, 1991 dalam Nwoko,
2010). Eskudat yang dikeluarkan berupa gula, pati, dan asam-asam organik yang
dapat dimanfaatkan oleh mikroba sebagai sumber karbon. Akibatnya, mikroba
rizosfer
dapat
pertumbuhan
meningkatkan
akar
melalui
kesehatan
produksi
tanaman
pengatur
dengan
menstimulasi
pertumbuhan
tanaman,
meningkatkan penyerapan mineral dan air (Nwoko, 2010). Tanaman merangsang
seluruh proses dengan terlebih dahulu, melepaskan senyawa karbon untuk
memfasilitasi populasi mikroba yang lebih tinggi disekitar daerah akar. Kedua,
tanaman melepaskan senyawa yang dari akar khusus yang dapat menyebabkan
gen mikroba yang terlibat dalam degradasi atau bertindak sebagai co-metabolit
untuk memfasilitasi degradasi mikroba (Olson et al., 2003. Leigh et al., 2002
dalam Nwoko, 2010).
4.5 Persen Degradasi Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) dan Biomassa
Rumput Gajah.
Total Petroleum Hidrokarbon (TPH) terdiri dari campuran beragam dari
hidrokarbon yang terjadi di lokasi petrokimia dan area penyimpanan, lubang
pembuangan limbah, penyulingan dan tempat tumpahan minyak. Sampai saat ini
belum ada metode baku/standar untuk menghitung nilai TPH, walaupun beberapa
metode telah biasa dilakukan.
54
Berdasarkan hasil analisa, maka didapatkan hasil seperti yang ditunjukan dalam
tabel berikut ini:
Tabel 4.1 Hasil analisa total petroleum hidrokarbon
No
Sampel
1
2
3
4
5
6
A1
A2
B1
B2
C1
C2
Total Petroleum Hidrokarbon (TPH)
H-0
H-35
0.0694
0.0552
0.0618
0.0448
0.0199
0.0071
0.0205
0.0036
0.0277
0.0147
0.0294
0.0026
% Degradasi
TPH
20.48
27.55
64.38
82.44
47.03
91.15
Tabel 4.2 Biomassa Rumput Gajah
Perlakuan
Bobot daun (g)
A1
2,12 ± 0,481
A2
1.93 ± 0,997
B1
36,43 ± 2,448
B2
12,82 ± 13,346*
C1
39,02 ± 55,177*
C2
2,16 ± 1,250
Keterangan : (*) rumput gajah ada yang mengalami kematian.
Metode yang dilakukan pada analisa ini didasarkan pada perbedaan bobot
kering kontrol dan sampel yang diekstrak dengan n-heksan. Selisih perbedaan
bobot kering tersebut disimpulkan sebagai total senyawa hidrokarbon yang
terdapat dalam sampel. Berdasarkan hasil analisa TPH diatas, penurunan TPH
terbesar terjadi pada sampel C2 (100 g berat kering lumpur minyak bumi, 100 g
berat kering biokompos + inokulan, 9 g urea, rasio C/N = 5) dengan nilai
penurunan 91.15% diikuti oleh sampel B2 (100 g berat kering lumpur minyak
bumi, 100 g berat kering biokompos + inokulan, 2 g urea, rasio C/N = 10) dengan
82.44% kemudian sampel B1 (100 g berat kering lumpur minyak bumi, 100 g
berat kering biokompos, 2 g urea, rasio C/N = 10), C1 (100 g berat kering lumpur
minyak bumi, 100 g berat kering biokompos, 9 g urea, rasio C/N = 5), A2 (200 g
55
berat kering + inokulan, rasio C/N = 15), dan A1 (200 g berat kering, rasio C/N =
15) yang masing-masing nilai penurunannya 64.38%, 47.03%, 27.55%, dan
20.48%. Dari data tersebut terdapat perbedaan persen degradasi TPH pada setiap
parameter. Pada sampel C2 (dengan inokulan) lebih besar dibandingkan dengan
sampel C1 (tanpa inokulan), disebabkan adanya inokulan degradasi TPH lebih
cepat. Karena mikroba diinokulan lebih terbiasa pada media minyak bumi. Begitu
pula pada sampel B2 (dengan inokulan) lebih besar dari pada B1 (tanpa inokulan)
dan sampel A2 (dengan inokulan) lebih besar dari pada A1 (tanpa inokulan).
Adapun hasil degradasi sampel yang berbeda pada sampel C2 dengan B2
disebabkan perbedaan perlakuan pada komposisi urea, yang mana C2 komposisi
ureanya lebih besar dari pada B2. Komposisi urea yang lebih besar dapat
mempercepat proses metabolisme mikroorganisme, sehingga proses degradasi
lebih cepat.
Urea merupakan sumber nitrogen yang murah dan mudah tersedia bagi
mikroba. Nitrogen merupakan suatu keharusan bagi biosintesis asam amino dan
basa purin serta pirimidin, yang merupakan unit pembangun protein dan asam
nukleat bernitrogen (Lehninger,1994). Urea yang dimasukkan ke dalam tanah
akan mengalami proses amonifikasi sebagai berikut:
CO(NH2)2 + H2O
urease
2 NH3 + CO2
Dalam keadaan asam dan netral amonia berada sebagai ion amonium. Ion
amonium dapat diasimilasi tanaman dan mikroba, selanjutnya diubah menjadi
asam amino atau senyawa N lain. Di dalam sel, ammonia direaksikan oleh
glutamat atau glutamin sintase atau mengalami proses aminasi langsung dengan
asam-ketokarboksilat sehingga berubah menjadi asam amino (Sumarsih, 2003).
56
Selanjutnya asam amino membentuk ikatan-ikatan peptida dengan asam amino
yang lain membentuk protein. Protein ini dibutuhkan untuk perkembangbiakan
mikroba, dengan banyaknya urea yang ditambahkan proses perkembangbiakan
semakin cepat, dan proses degradasipun lebih cepat.
Gambar 4.7 Hasil ekstraksi TPH awal dan akhir perlakuan
Gambar 4.7 menunjukan bahwa sampel awal perlakuan terlihat warna
larutannya lebih keruh dibandingkan dengan akhir perlakuan, hal ini disebabkan
pada akhir perlakuan sudah terjadi proses degradasi minyak bumi. Sedangkan
pada sampel dengan inokulan warna larutannya lebih jernih dibandingkan dengan
sampel tanpa inukalan. Karena dengan inokulan proses degradasinya lebih banyak
dan cepat, sehingga warna larutannya lebih jernih.
Secara statistik Anova pemberian biokompos dan rumput gajah
memberikan pengaruh signifikan % degradasi minyak bumi (Lampiran 6). Hal ini
karena kedua aktivitas mikroba dan pertumbuhan tanaman dapat dipengaruhi oleh
57
penambahan pupuk, penambahan pupuk merupakan faktor penting dalam
mempengaruhi efisiensi proses bioremediasi. Tabel 4.1 menunjukkan tingkat
degradasi TPH dengan tingkat penambahan urea yang berbeda. Hubungan positif
antara tingkat degradasi TPH dan tingkat penambahan pupuk urea menunjukkan
efektif dalam meningkatkan proses rhizoremediasi TPH. Di sisi lain menunjukan
perubahan berat biomassa dengan penambahan urea dengan jumlah yang berbeda
dan penambahan inokulan. Berdasarkan aplikasi urea 2 g, biomassa rumput gajah
meningkat dengan penambahan urea yaitu 36,43 ± 2,448 g seperti terlihat pada
perlakuan B1(tanpa inokulan). Dengan aplikasi yang sama dan penambahan
inokulan, biomassa rumput gajah menurun dengan penambahan urea yaitu 12,82 ±
13,346 g pada perlakuan B2. Namun, berat biomassa yang rendah ditemukan
dengan tingkat aplikasi urea yang lebih tinggi 9 g, dengan nilai biomassa sebesar
2,16 ± 1,250 g yaitu perlakuan C2 (dengan inokulan). Sedangkan dengan
perlakuan yang sama perlakuan C1 (tanpa inokulan) mengalami peningkatan nilai
biomassa sebesar 39,02 ± 55,177 g.
Sedangkan perbedaan nilai biomassa pada perlakuan yang ditambahkan
inokulan dan tanpa inokulan. Pada perlakuan B2 dan C2 yang ditambahkan
inokulan mengalami penurunan nilai biomassa sebesar 12,82 ± 13,346 g dan 2,16
± 1,250 g. Pada perlakuan B1 dan C1 mengalami kenaikan nilai biomassa sebesar
36,43 ± 2,448 g dan 39,02 ± 55,177 g. Hal ini disebabkan karena pada perlakuan
yang ditambahkan inokulan, terjadi kompetisi antara inokulan dengan rumput
gajah dalam mengambil unsur-unsur hara yang terdapat pada media untuk
kebutuhan metabolisme. Sehingga pertumbuhan rumput gajah menjadi terhambat
dan bahkan mengalami kematian. Sedangkan perlakuan tanpa inokulan dengan
58
adanya pemberian kompos dan urea saja sudah cukup untuk kebutuhan
metabolisme mikroorganisme dan rumput
gajah, sehingga pertumbuhan
biomassanya tidak terganggu.
Penambahan inokulan degradasi minyak lebih cepat, tapi hasil degradasi
diantaranya senyawa fenol yang merupakan zat toksik untuk pertumbuhan
tanaman. Karena senyawa fenol memiliki beberapa sifat diantaranya mudah larut
dalam air, senyawa fenol yang terlarut berpengaruh terhadap proses perakaran,
tergantung pada konsentrasinya. Proses penyerapan senyawa fenol terhadap akar
sama halnya terjadi pada perkecambahan. Menurut Salisbury and Ross (1992);
Colton and Einhellig (1980) dalam Tambaru, E dan Santosa (1999) Konsentrasi
senyawa fenol dalam air yang tinggi dapat menaikan potensial osmotik, sehingga
dapat menghambat difusi air dan O2 ke dalam kecambah. Jika air yang dibutuhkan
tidak terpenuhi, maka hal ini dapat menghambat sintesis hormon IAA, GA, dan
sitokini, sehingga perkecambahan dan pertumbuhan kecambah terhambat
(Santosa, 1990; Rice, 1984 dalam Tambaru, E dan Santosa, 1999 ). Berkurangnya
difusi air ke dalam biji juga mempengaruhi transport O 2, sehingga menghambat
proses respirasi dan ATP yang dihasilkan terbatas. ATP sangat dibutuhkan untuk
perkecambahan dan pertumbuhan kecambah (Salisbury dan Ross, 1992 dalam
Tambaru, E dan Santosa, 1999).
Menurut Salt et al (1998), Beberapa bahan kimia dimineralisasi oleh
tanaman dengan bantuan air dan CO2. Tanaman mengeluarkan sekret melalui
eksudat akar sebesar 10 – 20% dari hasil fotosintesis melalui eksudat akar. Hal ini
dapat membantu proses pertumbuhan dan metabolisme mikroba maupun fungi
yang hidup disekitar rizosfer. Beberapa senyawa organik yang dikeluarkan
59
melalui eksudat akar (misalnya fenolik, asam organik, alkohol, protein ) dapat
menjadi sumber karbon dan nitrogen sebagai sumber pertumbuhan mikroba yang
dapat membantu proses degradasi senyawa organik. Sekret berupa senyawa
organik dapat membantu pertumbuhan dan meningkatkan aktivitas mikroba
rizosfer. Adapun reaksi pembentukan senyawa fenolik dari hasil degradasi adalah
sebagai berikut (Gambar 4.8 ).
H
O-Glukuronida
aren oksida
Sit
mo okrom
noo
ksi P 45
gen 0
asi
R
jam
ur
O2
PAH
Fenol
O-Silosida
H
2O
Ep
hid oksid
ro l a
as e
H
OH
OH
H
R
trans-Dihidrodiol
H2O2 Ligninase
Pemecahan cincin
Kuinon PAH
i
as
en
s ig
i
ok
er
Di
kt
Ba O 2
H
OH
OH
R
O-Sulfat
R
O
H
O-Glukosida
OH
an
usun atik
y
n
e
m
P
i
-enz
non
NAD+
NADH + H
COOH
ur
J al t o
Or
+
COOH
R
OH
Cis, Cis-asam mukonat
OH
Dehidrogenase
R
H
Katekol
cis-Dihidrodiol
CHO
COOH
J al
Me ur
ta
R
OH
2-Hidroksimukonat
semialdehid
Gambar 4.8 Reaksi degradasi senyawa hidrokarbon polisiklik aromatik (PAH)
(Cerniglia, 1992)
60
Terdapat tiga cara transport hidrokarbon ke dalam sel bakteri secara umum
yaitu (Wulandari et al., 2010):
1. Interasksi sel dengan hidrokarbon yang terlarut dalam fase air, umumnya
rata-rata kelarutan hidrokarbon oleh proses fisika sangat rendah sehingga
tidak dapat mendukung.
2. Kontak langsung (perlekatan) sel dengan permukaan tetesan hidrokarbon
yang lebih besar daripada sel mikroba. Pada kasus yang kedua ini,
perlekatan dapat terjadi karena sel bakteri bersifat hidrofobik. Sel mikroba
melekat pada permukaan tetesan hidrokarbon yang lebih besar daripada sel
dan pengambilan substrat dilakukan dengan difusi atau transport aktif.
Perlekatan ini terjadi karena adanya biosurfaktan pada membrane sel
bakteri.
3. Interaksi sel dengan tetesan hidrokarbon yang telah teremulsi atau
tersolubilisasi oleh bakteri. Pada kasus ini sel mikroba berinteraksi dengan
partikel hidrokarbon yang lebih kecil daripada sel. Hidrokarbon dapat
teremulsi dan tersolubilisasi dengan adanya biosurfaktan yang dilepaskan
oleh bakteri ke dalam medium.
Menurut Mc Cutcheon dan Schnoor (2003); Nwoko et al (2007) dalan
Nwoko (2010) tanaman dapat meningkatkan biodegradasi polutan organik oleh
mikroba dalam rizosfer tanaman (fitostimulasi atau rizodegradasi). Tanaman juga
dapat menurunkan polutan organik secara langsung melalui kegiatan enzimatik
mereka sendiri yang disebut fitodegradasi (Nwoko et al., 2007 dalam Nwoko
2010). Menurut Terry et al (1995) dalam Nwoko (2010) juga bahwa beberapa
61
polutan juga dapat tertinggal ditanaman dalam bentuk yang mudah menguap
(fitostabilisasi).
Remediasi mikroba dapat meningkatkan nilai degradasi TPH lebih efektif
dengan peningkatan sebesar 91,15% pada perlakuan C2 dibandingkan dengan
blanko (A1 dan A2 masing-masing sebesar 20,48%, dan 27,55 %). Tabel 4
menunjukan fitoremediasi biomassa yang dihasilkan berturut-turut pada sampel
A1, A2, B1, B2, C1, dan C2 adalah 2,12 ± 0,481 g; 1.93 ± 0,997 g; 36,43 ± 2,448
g; 12,82 ± 13,346 g; 39,02 ± 55,177 g; dan 2,16 ± 1,250 g.
Pada tanaman yang sensitif terhadap pencemaran minyak. Pertumbuhan
tanaman dapat sangat menurun dalam tanah dengan kandungan TPH yang tinggi
(Peng et al., 2009 dalam Tang, et al., 2010). Hal ini terlihat pada perlakuan A1,
A2, C1, dan C2. Bahwa pada akhir perlakuan pertumbuhan rumput gajah
mengalami penurunan pertumbuhannya (Gambar 4.9).
Gambar 4.9 Perlakuan A1, A2, C1, dan C2 pada hari ke-35
62
Faktor lain yang mempengaruhi proses rizoremediasi mencakup inokulasi,
penambahan nutrisi, kadar organik tanah, kedalaman tanah dan kadar garam dan
sebagainya (Mishra et al., 2001;. Margesin et al., 2003;. Lin and Mendelssohn,
1998; Hutchinson et al., 2001; Keller et al., 2008 dalam Tang, et al., 2010).
63
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian multi fungsi biokompos dalam rehabilitasi
lahan tercemar limbah lumpur minyak bumi dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Penambahan kompos dan urea dapat meningkatkan efisiensi degradasi TPH
dan diperoleh hubungan positif antara jumlah penambahan kompos dan urea
terhadap tingkat degradasi TPH.
2. Komposisi medium terbaik dalam mendegradasi TPH adalah perlakuan C2
(100 g berat kering lumpur minyak bumi, 100 g berat kering biokompos, 9 g
urea, rasio C/N = 5) dengan tingkat degradasi 91,15%,.
3. Faktor lingkungan yang menghasilkan kondisi optimal ini dicapai pada
remediasi diperoleh melalui kondisi awal pH 8,25; kadar air 49,97%; WHC
101,64%; dan kadar abu 63,76% dan kondisi akhir pH 6,25; kadar air 55,04%;
kadar abu 73,39%; dan WHC 124,11%.
64
5.2 Saran
Pada penelitian ini masih diperlukan penelitian lanjutan, yaitu:
1.
Perlu adanya justifikasi fenol hasil degradasi TPH yang telah hilang sebelum
proses fitoremediasi. Sehingga ketika aplikasi fitoremediasi dengan tanaman
tidak mudah mengalami kematian dan proses degradasi polutan minyak lebih
optimal.
2.
Perlu pengujian lanjutan secara kuantitatif terhadap pengaruh penambahan
biokompos, urea, inokulan pada rasio C/N yang sama.
65
DAFTAR PUSTAKA
Ahn. H.K. T.j.Sauer. T.L. Richard. and T.D.Glanville. 2009. Determination of
Thermal Properties of Composting Bulking Materials. Bioresourece
Technology 100 (2009): 3974-3981.
Ambriyanto. K.S, 2010. Isolasi Dan Karakterisasi Bakteri Aerob Pendegradasi
Selulosa Dari Serasah Daun Rumput Gajah (pennisetum purpureum
schaum). Skripsi. ITS. Surabaya.
Aroeira. L.J.M, F.C.F. Lopesa, F. Deresza, R.S. Vernequea, M.S. Dayrella, L.L.de
Matosa, H. Maldonado-Vasquezb, A. Vittorib. 1999. Pasture availability
and dry matter intake of lactating crossbred cows grazing elephant grass
(Pennisetum purpureum, Schum). Animal Feed Science and Technology 78
(1999) 313-324.
Atlas, R.M. 1992. Petroleum Microbiology, In: Encyclopedia of Microbiology,
vol. 3. Academic press, Inc.
Atlas, R.M. 1975. Effects of temperature and crude oil composition on petroleum
biodegradation.App. Environ. Microbiol. 30(3):396-403.
Atmojo. S. W. 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah
Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Surakarta.
Brady, N.C. 1990. The Nature and Properties of Soil. Mac Millan Publishing Co.,
New York.
Biddle, stone, A.J., and K.R. Gray, 1985. “composting.” In: Comprehensive
Biotechnology. Vol. 4. C. W. robinson and J.A. howel (eds.) pergamon
press, oxford, U.K.
Cahyani, V.R. 1996. Pengaruh Inokulasi Mikorisa Vesikular-Arbuskular Dan
perimbangan Takaran Kapur Dengan Bahan Organik Terhadap
Pertumbuhan Tanaman Jagung Pada Tanah Ultisol Kentrong, Tesis.
Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.
Cerniglia, C.E. 1992. Biodegradation of Polycycluc Aromatic Hydrocarbons, In:
Biodegradation journal, vol 3. Kluwer Academic Pub. Netherlands. p 351368.
Cooney, J.J.1984. The fate of petroleum pollutan in fresh water ecosystem,pp.
400-433.In Atlas, R.M. Petroleum Microbyologi. Macmillan Publishing.
New York.
Crawford. J.H. 2003. Composting of Agricultural Waste. in Biotechnology
Applications and Research, Paul N, Cheremisinoff and R. P.Ouellette (ed).
p. 68-77.
66
Dibble, J.T. and R.Bartha.1979. Effect of inveromental parameter on the
biodegradation of soil sludge. App. Environ. Microbial. 37(4):7
Domınguez, J. 2004. State of The Art and New Perspect Composting Research. p.
401–425. In C.A. Edwards worm ecology. 2nd ed. CRC Press, Boca
Raton, FL.
Edwards, C.A., and N.Q. Arancon. 2004. The Use of Earthworms in The
Breakdown of Organic Wastes to Produce Vermicompost and Animal Feed
Protein. p. 345–380. In C.A. Edwards (ed.) Earthworm ecology. 2nd ed.
CRC Press, Boca Raton, FL.
Erickson L.E, M.K. Banks, L.C.Davis, A.P.Schwab, N. Muralidharan, and K.
Reilley. 1999. Using Vegetation To Enhance In Situ Bioremediation.
Diakses dari http ://www .engg.ksu.edu /HSRC /phytorem
/vegenhance.html.
Eweis, J.B., S.J. Ergas., D.P.Y. Chang & E.D. Schroeder. 1998. Bioremediation
Principles. Singapore. WCB McGraw-Hill.
Floodgate, G.D. 1979. Nutrient limitation. 107-118. In A.W.Bourquin and P.H.
Pritchard,Proceeding of Workshop, Microbial Degradtion of Pollutan in
Marine Environmental. Enviromental Research Laboratory, Gulf
Breeze,Fla.
Garcia, C., J. L. Moreno, T. Hernandez and F. Costa. 1995. Effect Composting
Sewage Sludges Contaminated With Heavy Metals. J. Bioresource
Technology, 53:13-19.
Gossalam. 1999. Kemampuan Degradasi Hidrokarbon Minyak Bumi Oleh Isolat
Bakteri Dari Lingkungan Hutan Mangrove. Thesis Magister ITB.Bandung.
Gritter, R.J., J.M. Bobbin and A.E. Schwarting. Penerjemah Kosasih admawinata.
Pengantar Kromatografi. Penerbit ITB. Bandung, 1991. p.13.
Gunalan. 1996. Penerapan Bioremediasi pada Pengelohan Limbah dan Pemulihan
LingkunganTercemar Hidrokarbon Petroleum. Majalah Sriwijaya. UNSRI.
Vol 32, No 1.
Hadi, S N. 2003. Degradasi Minyak Bumi via Tangan Mikroorganisme. Artikel:
http://www.chem-is-try.org/?sect=artikel&ext=64.
Harayama, S.K. 1995. Biodegradation of Crude Oil. Program and Abstracts in the
First Asia-Pasific Marine Biotechnology Conference. Shimizu, Shizuoka,
Japan.
Hardjono. A. 2000. Teknologi Minyak Bumi. Edisi pertama. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.
67
Herudjito, D. 1999 Pengaruh Bahan Humat dari Air Gambut Terhadap Sifst-Sifst
Tanah Latosol (Oxic Dystropepts). Konggres Nasional VII. HITI.
Bandung.
Huddelston, R.L. and L.W. Creswell.1976. Enviromental and nutritional
constrain of microbial hydracarbon utilization in the soil, In Proceedings
of 1975 Enginering Foundation Conference:The Role of Microorganisme
in The Recovery of oil,pp.71-72.Washington.
Ijah U.J.J. Safiyanu, H & Abioye, O. P. 2008. Comparative Study Of
Biodegradation Of Crude Oil In Soil Amended With Chicken Dropings
and NPK Fertilizer. Science World Journal Vol 3 (No2).
Islam, M.Z., D.I. Sharif and M.A. Hossain. 2008, A Comparative Study of
Azotobacter spp. From Different Soil Samples, J.Soil.Nature 2(3):16-19.
Karwati. 2009. Degradasi Hidrokarbon Pada Tanah Tercemari Minyak Bumi
Dengan Isolat A10 Dan D8. Skripsi. IPB. Bogor.
Kelly.E.B. 1997. Ground Water Polution: Phytoremediation. Diakses dari http:
www.cee.vt.edu/program_areas/enviromental/teach/gwprimer/phyto/phyto
/html.
Khan, A.G., C. Kuek., Chaudrhry., C.S. Khoo & W.J. Hayes. 2000. Role of Plant,
Mycorrhizae and Phytochelator in Heavy Metal Contaminated Land
Remediation. Chemosphere 41:197 – 207.
Leahy, J.G and R.C. Rita. 1990. Microbiology Degradation of Hydrocarbon
Environmental Microbiology Review. Vol. 54
Lehninger, A.L. 1994. Dasar-dasar Biokimia, alih bahasa oleh Maggy
Thenawidjaja. Erlangga. Jakarta.
Mashur. 2001. Vermikompos (kompos cacing tanah) Pupuk Organik Berkualitas
dan Ramah Lingkungan. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi
Pertanian (IPPTP) Mataram Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, Mataram.
Muljohardjo. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. U.I. Press. Jakarta.
Natural Resources Conservation Service (NRCS), 2000, Chapter 2 Composting,
National Enginereing Handbook, Part 637 Environmental Engineering,
Natural Resources Conservation Service – United States Department of
Agriculture, Pages 29-35
Nghia. N. K. 2007. Degradation of Aged Creosote and Diesel Contaminated Soils
by Phytoremediation or Biostimulation (nutrients). MASTER THESIS in
Soil Science, 20 credits. Sveriges lantbruksuniversitet.
68
Njoku, K.L., Akinola, M.O. and Oboh, B.O. 2009. Phytoremediation Of Crude
Oil Contaminated Soil: The Effect Of Growth Of Glycine max On The
Physico-Chemistry and Crude Oil Contents Of Soil. Nature and Science
2009;7(10).
Nugroho, A. 2009. Produksi Gas Hasil Biodegradasi Minyak Bumi: Kajian Awal
Aplikasinya dalam Microbial Enhanced Oil Recovery (MEOR). Makara,
Sains. Vol 13. No.2. 111-116.
Nugroho, A. 2006. Biodegradasi ‘Sludge‟ Minyak Bumi Dalam Skala
Mikrokosmos. Makara Teknologi. 10 (2): 82-89.
Noegroho, H. 1999. Pengaruh Aerasi Pada Bioproses Limbah Kilang Minyak.
Lembaran Publikasi Lemigas. Jakarta.
Nwoko. Chris O. 2010. Trends in phytoremediation of toxic elemental and
organic pollutants. African Journal of Biotechnology. Vol. 9 (37), pp. 60106016.
Nyambati, E. M, Charles M. Lusweti, Francis N. Muyekho and Joseph G.
Mureithi. 2011. Up-scaling napier grass (Pennisetum purpureum Schum.)
production using “Tumbukiza” method in smallholder farming systems in
Northwestern Kenya. Journal of Agricultural Extension and Rural
Development Vol. 3(1), pp. 1-7, January 2011.
Pikoli, M.R., A. Pingkan, dan I. A. Dea. 2000. Isolasi bertahap dan identifikasi
isolat Bakteri termofilik Pendegradasi Minyak Bumi dari sumur bangko.
Proseding Institut Teknologi Bandung: 1-10.
Purwasena, I.A. 2006. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Hidrokarbonoklastik dari
Reservoar Minyak Bumi Kalimantan yang Berpotensi Bagi Penerapan
Teknologi MEOR (Microbila Enhanced Oil Recovery). Tesis: Abstrak.
Program studi Biologi, Institut Teknologi Bandung. 15 hlm.
Salt, D.E., R.D. Smith and I. Raskin. 1998. Annual Review Plant Physiology and
Plant Molecular Biology : Phytoremediation. Annual Reviews. USA. 501–
662.
Santosa.D.A. 1999. Bahan kuliah Bioteknologi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas
Pertanian. Institute Pertanian Bogor.
Scholes, M.C., Swift, O.W., Heal, P.A. Sanchez, JSI., Ingram and R. Dudal. 1994.
Soil Fertility Research in Response to Demand for Sustainability. In The
biological Managemant of Tropical Soil Fertility (Eds Woomer, Pl. and
Swift, MJ.) John Wiley & Sons. New York.
SEAMEO BIOTROP. 2011. Services Laboratory Pengukuran pH Tanah. Diakses
dari http:www.biotrop.org.
69
Spleight, J.G. 1980. Handbook of Petroleum Analysis. John Wiley & Sons. New
York.
Skladany,G.J.and F.B. Metting. 1993. Bioremedition of contamined soil,pp. 483513.In Metting, F.B. Soil Microbial Ecology (Applications Agriculture and
Environmental Management). Marcel Dekker,New York.
Steven, B and Marc, K. 1996. In situ Bioremediation Of Petroleum Aromatic
Hydrocarbon. Ground Water Polution. Diakses akses dari http:
www.cee.vt.edu/program_areas/enviromental/teach/gwprimer/group1/ind/
ex /html.
Stevenson, F.T. 1982. Humus Chemistry. John Wiley and Sons, Newyork
Sudarmadji, S, Bambang, H dan Suhardi. 1996. Analisa Bahan Makan dan
Pertanian. Liberty. Yogyakarta.
Sugoro, I. 2002. Bioremediasi „Sludge‟ Limbah Minyak Bumi Lahan Tercemar
Dengan Teknik „Land Farming‟ Dalam Skala Laboratorium. Tesis
Megister. ITB: Bandung.
Sumarsih, S. 2003. Diktat Kuliah. Mikrobiologi Dasar. UPN. Yogyakarta.
Sutanto, R. 1997. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius. Yogyakarta.
Tambaru. E. S. 1999. Pengaruh Hasil Dekomposisi Seresah Mahoni (Swietenia
macrophylla King) Terhadap Perkecambahan Biji, Infeksi Mikoriza
Vesikular-Arbuskular dan Pertumbuhan Bibit Akasia ( Acacia Mangium
Willd). Tesis. UGM. Jogjakarta.
Tang. J, R. Wang, X. Niu, M. Wang, and Q. Zhou. 2010. Characterization on the
rhizoremediation of petroleum contaminated soil as affected by different
influencing factors. Biogeosciences Discuss., 7, 4665–4688.
Tang, J. Xiaowei, N. Qing, S. Rugang Wang. 2010. Bioremediation of Petroleum
Polluted Soil by Combination of Ryegrass with Effective Microorganisms.
Journal of Environmental Technology and Engineering, 3(2):80-86.
Tejasuwarno. 1999. Pengaruh Pupuk Kandang Terhadap Hasil Wortel dan Sifat
Fisik Tanah. Konggres Nasional VII. HITI. Bandung.
Tribuwono, B.R. 2008. Kinetika Biodegradasi Limbah Minyak Bumi
Menggunakan Reaktor Batch Biosluury. Tesis. Jakarta, Jurusan Teknik
Lingkungan, Fakultas Arsitektur Lansekap dan Teknologi Lingkungan
Universitas Trisakti.
70
Udiharto, M., dan Sudaryono. 1999. Bioremediasi Terhadap Tanah Tercemar
Minyak Bumi Parafinik dan Aspak. Prosiding Seminar Nasional
Teknologi Pengelolaan Limbah dan Pemulihan Kerusakan LingkunganBPPT, Jakarta. 121-132.
Udiharto, M. 1999. Penanganan Minyak Buangan Secara Bioteknologi. Makalah
Seminar Sehari Minyak Dan Gas Bumi. LEMIGAS. Jakarta.
Udiharto, M. 1996. Bioremediasi minyak bumi. Prosiding Pelatihan dan
Lokakarya Peranan Bioremediasi dalam Pengelolaan Lingkungan. Kerja
sama LIPI,BPPT, dan Hans seidel Foundation (HSF)
Udiharto, M., S. A. Rahayu, A. Haris dan Zulkifliani. 1995. Peran bakteri dalam
degradasi minyak dan pemanfaatannya dalam penanggulangan minyak
bumi buangan.Proceedings Diskusi Ilmiah VIII PPTMGB.Lemigas,
Jakarta.
Udiharto, M. 1992. Aktivitas Mikroba Dalam Degradasi Crude Oil. Diskusi
Ilmiah VII hasil Penelitian LEMIGAS. Jakarta.
Uren, L.C. 1956. Petroleum Production Enginering Production. 4th ed. New
York.
Wulandari, A. Arif, W. Khusnul. Nevy, Y.P. Rena, T.H. Sofiyah, K.B. Sri, L.D.
2010. Tugas Terstruktur Bkateriologi. Bioremediasi Minyak Bumi Oleh
Bakteri pseudomonas sp. Kementrian Pendidikan Nasional. Univ. Jendral
Sudirman. Purwokerto.
Youngman, L. 1999. Physiological respon Of Switchgrass (Panicum Virgatum L)
to Organic And Inorganic Amened Heavy-Metal Contaminated Chat
Tailings. Phytoremediation of Soil and Water Contaminants, American
Chemical society Symposium. Washington, D.C.
Zobell,C.E.1969. Microbial modification of crude oil in the sea.pp.317-326.In
Proceeding of Conference on prevention and Control of soil
Spill.American Petroleum Institute,Washington,D,C.
Zyomuya, F., F.J. Larney, C.K. Nichol, A.F. Olson, J.J. Miller, and P.R. Demare.
2005. Chemical and Physical Changes Following Co-Composting of Beef
Cattle Feedlot Manure with Phosphogypsum. J. Environ. Qual. 34:23172318.
71
Lampiran 1. Data Hasil Pengukuran Awal dan Akhir Perlakuan
Parameter
pH
Kadar air
Kadar abu
WHC
TPH
A1
A11
7.5
30.61
81.12
44.84
0.071
A2
A12
7
25.97
87.51
35.81
0.068
A21
7.5
30.05
82.69
43.82
0.062
A22
7
24.85
86.77
33.88
0.062
Awal Perlakuan
B1
B2
B11
B12
B21
B22
8
7
8
7
49.95 47.70 50.04 49.63
61.76 68.55 62.27 64.86
101.49 92.61 101.82 99.97
0.027 0.013 0.029 0.012
C1
C11
C12
8.5
8
50.34 41.94
62.02 73.24
103.29 73.58
0.033 0.022
C2
C21
C22
8.5
8
50.20
49.74
62.58
64.93
102.61 100.68
0.035
0.024
pH
Kadar air
Kadar abu
A11
7.5
29.18
89.03
A12
7.5
28.92
89.42
A21
7
32.19
86.21
A22
7
28.17
86.52
Akhir Perlakuan
B1
B2
B11
B12
B21
6.5
6.5
6.5
51.89
51.82
55.11
73.67
74.95
71.36
WHC
41.61
41.33
48.17
39.64
109.08
109.01
124.11
105.89
93.12
143.58
133.20
TPH
0.064
0.046
0.037
0.053
0.010
0.004
0.002
0.005
0.018
0.011
0.003
Parameter
A1
A2
Keterangan:
WHC : water holding capacity/ kemampuan ikat air
TPH : Total Petroleum Hidrokarbon
72
C1
C2
B22
6.5
51.13
76.41
C11
6.5
47.82
70.89
C12
6.5
58.68
70.08
C21
6.5
56.88
71.01
C22
6
53.21
75.77
115.0
2
0.002
Lampiran 2 Uji Anova pH
pH awal
Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
pH akhir Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
Untuk pH awal:
Jumlah
kuadrat
2.167
1.500
3.667
3.104
0.125
3.229
Derajat
bebas
5
6
11
5
6
11
Kuadrat
tengah
0.433
0.250
F
signifikasi
1.733
0.261
0.621
0.021
29.800 0.000
Ho : Rata-rata pH awal pada keenam perlakuan tidak menunjukan perbedaan yang
nyata
H1 : Rata-rata pH awal pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,261 > 0,05, maka Ho diterima
atau rata-rata kadar pH awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) tidak menunjukan perbedaan yang nyata.
Untuk pH akhir:
Ho : Rata-rata pH akhir pada keenam perlakuan tidak menunjukan perbedaan
yang nyata
H1 : Rata-rata pH akhir pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar pH diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan C2)
menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
73
Hasil Uji Duncan pH Akhir
Perlakuan
α 0.05
N
1
2
C2
2
6.2500 b
B1
2
6.5000 b
B2
2
6.5000 b
C1
2
6.5000 b
A1
2
7.5000 a
A2
2
7.5000 a
Sig.
0.150
Keterangan : huruf kecil yang sama (
1.000
a dan b
) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
74
Lampiran 3 Uji Anova Kadar Air
KA awal
Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
KA akhir
Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
1175.850
5
62.286
6
1238.136
11
1509.766
5
81.741
6
1591.507
11
Kuadrat
tengah
235.170
10.381
F
signifikasi
22.654
0.001
301.953 22.164
13.623
0.001
Untuk kadar air awal :
Ho : Rata-rata kadar air awal pada keenam perlakuan tidak menunjukan perbedaan
yang nyata
H1 : Rata-rata kadar air awal pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan yang
nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk kadar air akhir :
Ho : Rata-rata kadar air akhir pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata
H1 : Rata-rata kadar air akhir pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
75
Hasil Uji Duncan Kadar Air Awal
Perlakuan
α 0.05
N
A2
2
1
27.4500 b
2
A1
2
28.2900 b
C1
2
46.1400 a
B1
2
48.8250 a
B2
2
49.8350 a
C2
2
49.9700 a
0.803
Sig.
0.298
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji Duncan Kadar Air Akhir
Perlakuan
α 0.05
N
A1
2
1
29.0500 b
2
A2
2
30.1800 b
B1
2
51.8550 a
B2
2
53.1200 a
C1
2
53.2500 a
C2
2
55.0450 a
0.770
Sig.
0.438
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji LSD Kadar Air Awal
(I) data (J) data
Beda nilai
Std. Error
Sig.
76
Selang kepercayaan 95%
tengah (I-J)
A1
-1.13000
3.69100
.770
-10.1616
7.9016
B1
-22.80500
*
3.69100
.001
-31.8366
-13.7734
-24.07000
*
3.69100
.001
-33.1016
-15.0384
-24.20000
*
3.69100
.001
-33.2316
-15.1684
-25.99500
*
3.69100
.000
-35.0266
-16.9634
A1
1.13000
3.69100
.770
-7.9016
10.1616
B1
-21.67500
*
3.69100
.001
-30.7066
-12.6434
-22.94000
*
3.69100
.001
-31.9716
-13.9084
-23.07000
*
3.69100
.001
-32.1016
-14.0384
-24.86500
*
3.69100
.001
-33.8966
-15.8334
22.80500
*
3.69100
.001
13.7734
31.8366
21.67500
*
3.69100
.001
12.6434
30.7066
B2
-1.26500
3.69100
.743
-10.2966
7.7666
C1
-1.39500
3.69100
.718
-10.4266
7.6366
C2
-3.19000
3.69100
.421
-12.2216
5.8416
A1
24.07000
*
3.69100
.001
15.0384
33.1016
22.94000
*
3.69100
.001
13.9084
31.9716
B1
1.26500
3.69100
.743
-7.7666
10.2966
C1
-.13000
3.69100
.973
-9.1616
8.9016
C2
-1.92500
3.69100
.621
-10.9566
7.1066
A1
24.20000
*
3.69100
.001
15.1684
33.2316
A2
23.07000*
3.69100
.001
14.0384
32.1016
B1
1.39500
3.69100
.718
-7.6366
10.4266
B2
.13000
3.69100
.973
-8.9016
9.1616
C2
-1.79500
3.69100
.644
-10.8266
7.2366
A1
25.99500
*
3.69100
.000
16.9634
35.0266
24.86500
*
3.69100
.001
15.8334
33.8966
B1
3.19000
3.69100
.421
-5.8416
12.2216
B2
1.92500
3.69100
.621
-7.1066
10.9566
C1
1.79500
3.69100
.644
-7.2366
10.8266
C1
C2
B2
C1
C2
B1
A1
A2
B2
A2
C1
C2
Batas atas
A2
B2
A2
Batas bawah
A2
Hasil Uji LSD Kadar Air Akhir
(I) data (J) data
A1
Selang kepercayaan 95%
Beda nilai
tengah (I-J)
Std. Error
Sig.
Batas bawah
Batas atas
A2
1.47500
9.78532
.885
-22.4688
25.4188
B1
*
9.78532
.001
-80.6688
-32.7812
-56.72500
77
B2
-60.57000*
9.78532
.001
-84.5138
-36.6262
C1
-48.11000
*
9.78532
.003
-72.0538
-24.1662
-61.32000
*
9.78532
.001
-85.2638
-37.3762
A1
-1.47500
9.78532
.885
-25.4188
22.4688
B1
-58.20000
*
9.78532
.001
-82.1438
-34.2562
-62.04500
*
9.78532
.001
-85.9888
-38.1012
C1
-49.58500
*
9.78532
.002
-73.5288
-25.6412
C2
-62.79500*
9.78532
.001
-86.7388
-38.8512
A1
56.72500
*
9.78532
.001
32.7812
80.6688
58.20000
*
9.78532
.001
34.2562
82.1438
B2
-3.84500
9.78532
.708
-27.7888
20.0988
C1
8.61500
9.78532
.413
-15.3288
32.5588
C2
-4.59500
9.78532
.655
-28.5388
19.3488
A1
60.57000
*
9.78532
.001
36.6262
84.5138
62.04500
*
9.78532
.001
38.1012
85.9888
B1
3.84500
9.78532
.708
-20.0988
27.7888
C1
12.46000
9.78532
.250
-11.4838
36.4038
C2
-.75000
9.78532
.941
-24.6938
23.1938
A1
48.11000
*
9.78532
.003
24.1662
72.0538
49.58500
*
9.78532
.002
25.6412
73.5288
B1
-8.61500
9.78532
.413
-32.5588
15.3288
B2
-12.46000
9.78532
.250
-36.4038
11.4838
C2
-13.21000
9.78532
.226
-37.1538
10.7338
A1
61.32000
*
9.78532
.001
37.3762
85.2638
A2
62.79500*
9.78532
.001
38.8512
86.7388
B1
4.59500
9.78532
.655
-19.3488
28.5388
B2
.75000
9.78532
.941
-23.1938
24.6938
C1
13.21000
9.78532
.226
-10.7338
37.1538
C2
A2
B2
B1
A2
B2
A2
C1
A2
C2
78
Lampiran 4. Uji Anova Kadar Abu
KA awal
Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
KA akhir
Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
1034.877
5
120.851
6
1155.728
11
608.462
5
25.351
6
633.814
11
Kuadrat
tengah
206.975
20.142
F
signifikasi
10.276
0.007
121.692 28.801
4.225
0.000
Untuk kadar abu awal :
Ho : Rata-rata kadar abu awal pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata.
H1 : Rata-rata kadar abu awal pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,007 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk kadar air akhir :
Ho : Rata-rata kadar abu akhir pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata.
H1 : Rata-rata kadar abu akhir pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,000 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
79
Hasil Uji Duncan Kadar Abu Awal
Perlakuan
α 0.05
N
B2
2
1
63.5650 b
2
C2
2
63.7550 b
B1
2
65.1550 b
C1
2
67.6300 b
A1
2
84.3150 a
A2
2
84.7300 a
0.418
Sig.
0.929
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji Duncan Kadar Abu Akhir
Perlakuan
α 0.05
N
C1
2
1
70.4850 b
C2
2
73.3900 b
B2
2
73.8850 b
B1
2
74.3100 b
A2
2
86.3650 a
A1
2
89.2250 a
Sig.
2
0.127
0.214
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
80
Lampiran 5. Uji Anova Water Holding Capacity (WHC)
WHC awal Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
WHC akhir Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
Jumlah
Derajat
kuadrat
bebas
9014.160
5
574.515
6
9588.676
11
14822.628
5
1640.768
6
16463.397
11
Kuadrat F
signifikasi
tengah
1802.832 18.828
0.001
95.753
2964.526 10.841
273.461
0.006
Untuk kadar WHC awal :
Ho : Rata-rata kadar WHC awal pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata.
H1 : Rata-rata kadar WHC awal pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk kadar WHC akhir :
Ho : Rata-rata kadar WHC akhir pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata.
H1 : Rata-rata kadar WHC akhir pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,006 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
81
Hasil Uji Duncan Water Holding Capacity (WHC) Awal
Perlakuan
α 0.05
N
A2
2
1
38.8500 b
A1
2
40.3250 b
C1
2
88.4350 a
B1
2
97.0500 a
B2
2
100.8950 a
C2
2
101.6450 a
Sig.
2
0.885
0.244
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji Duncan Water Holding Capacity (WHC) Akhir
α 0.05
Perlakuan
N
A1
2
41.4700
A2
2
43.9050 b
B1
2
109.0450 a
B2
2
115.0000 a
C1
2
118.3500 a
C2
2
124.1100 a
1
Sig.
2
b
0.888
0.416
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji LSD Water Holding Capacity (WHC) Awal
(I) data (J) data
Beda nilai
tengah (I-J)
Selang kepercayaan 95%
Std. Error
Sig.
82
Batas bawah
Batas atas
A1
A2
-2.43500
16.53667
.888
-42.8988
38.0288
B1
-67.57500
*
16.53667
.006
-108.0388
-27.1112
-73.53000
*
16.53667
.004
-113.9938
-33.0662
-76.88000
*
16.53667
.004
-117.3438
-36.4162
-82.64000
*
16.53667
.002
-123.1038
-42.1762
A1
2.43500
16.53667
.888
-38.0288
42.8988
B1
-65.14000
*
16.53667
.008
-105.6038
-24.6762
-71.09500
*
16.53667
.005
-111.5588
-30.6312
-74.44500
*
16.53667
.004
-114.9088
-33.9812
-80.20500
*
16.53667
.003
-120.6688
-39.7412
A1
67.57500
*
16.53667
.006
27.1112
108.0388
A2
65.14000*
16.53667
.008
24.6762
105.6038
B2
-5.95500
16.53667
.731
-46.4188
34.5088
C1
-9.30500
16.53667
.594
-49.7688
31.1588
C2
-15.06500
16.53667
.397
-55.5288
25.3988
A1
73.53000
*
16.53667
.004
33.0662
113.9938
71.09500
*
16.53667
.005
30.6312
111.5588
B1
5.95500
16.53667
.731
-34.5088
46.4188
C1
-3.35000
16.53667
.846
-43.8138
37.1138
C2
-9.11000
16.53667
.602
-49.5738
31.3538
A1
76.88000*
16.53667
.004
36.4162
117.3438
A2
74.44500*
16.53667
.004
33.9812
114.9088
B1
9.30500
16.53667
.594
-31.1588
49.7688
B2
3.35000
16.53667
.846
-37.1138
43.8138
C2
-5.76000
16.53667
.739
-46.2238
34.7038
A1
82.64000
*
16.53667
.002
42.1762
123.1038
80.20500
*
16.53667
.003
39.7412
120.6688
B1
15.06500
16.53667
.397
-25.3988
55.5288
B2
9.11000
16.53667
.602
-31.3538
49.5738
C1
5.76000
16.53667
.739
-34.7038
46.2238
B2
C1
C2
A2
B2
C1
C2
B1
B2
A2
C1
C2
A2
Hasil Uji LSD Water Holding Capacity (WHC) Akhir
(I) data (J) data
A1
Beda nilai
tengah (I-J)
Selang kepercayaan 95%
Std. Error
Sig.
Batas bawah
Batas atas
A2
.00000
.50000
1.000
-1.2235
1.2235
B1
-.25000
.50000
.635
-1.4735
.9735
B2
-.25000
.50000
.635
-1.4735
.9735
83
A2
B1
B2
C1
C2
C1
-1.00000
.50000
.092
-2.2235
.2235
C2
-1.00000
.50000
.092
-2.2235
.2235
A1
.00000
.50000
1.000
-1.2235
1.2235
B1
-.25000
.50000
.635
-1.4735
.9735
B2
-.25000
.50000
.635
-1.4735
.9735
C1
-1.00000
.50000
.092
-2.2235
.2235
C2
-1.00000
.50000
.092
-2.2235
.2235
A1
.25000
.50000
.635
-.9735
1.4735
A2
.25000
.50000
.635
-.9735
1.4735
B2
.00000
.50000
1.000
-1.2235
1.2235
C1
-.75000
.50000
.184
-1.9735
.4735
C2
-.75000
.50000
.184
-1.9735
.4735
A1
.25000
.50000
.635
-.9735
1.4735
A2
.25000
.50000
.635
-.9735
1.4735
B1
.00000
.50000
1.000
-1.2235
1.2235
C1
-.75000
.50000
.184
-1.9735
.4735
C2
-.75000
.50000
.184
-1.9735
.4735
A1
1.00000
.50000
.092
-.2235
2.2235
A2
1.00000
.50000
.092
-.2235
2.2235
B1
.75000
.50000
.184
-.4735
1.9735
B2
.75000
.50000
.184
-.4735
1.9735
C2
.00000
.50000
1.000
-1.2235
1.2235
A1
1.00000
.50000
.092
-.2235
2.2235
A2
1.00000
.50000
.092
-.2235
2.2235
B1
.75000
.50000
.184
-.4735
1.9735
B2
.75000
.50000
.184
-.4735
1.9735
C1
.00000
.50000
1.000
-1.2235
1.2235
84
Lampiran 6. Uji Anova TPH
TPH awal
Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
TPH akhir Diantara kelompok
Bagian kelompok
Total
Jumlah
kuadrat
0.005
0.000
0.005
0.005
0.000
0.006
Derajat
bebas
5
6
11
5
6
11
Kuadrat
tengah
0.001
0.000
F
signifikasi
15.527
0.002
0.001 18.620
0.000
0.001
Untuk kadar TPH awal :
Ho : Rata-rata kadar TPH awal pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata.
H1 : Rata-rata kadar TPH awal pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,002 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
Untuk kadar TPH akhir :
Ho : Rata-rata kadar TPH akhir pada keenam perlakuan tidak menunjukan
perbedaan yang nyata.
H1 : Rata-rata kadar TPH akhir pada keenam perlakuan menunjukan perbedaan
yang nyata.
Pada tabel tampak nilai probabilitas (sig) 0,001 < 0,05, maka Ho ditolak
atau rata-rata kadar air awal diantara keenam perlakuan (A1, A2, B1, B2, C1, dan
C2) menunjukan perbedaan yang nyata (uji selanjutnya).
85
Hasil Uji Duncan TPH Awal
Perlakuan
α 0.05
N
1
2
B1
2
0.02000 b
B2
2
0.02050 b
C1
2
0.02750 b
C2
2
0.02950 b
A2
2
0.06200 a
A1
2
0.06950 a
Sig.
0.290
Keterangan : huruf kecil yang sama (
0.375
a dan b
) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
Hasil Uji Duncan TPH Akhir
α 0.05
Perlakuan
N
C2
2
0.00250
B2
2
0.00350 b
B1
2
0.00700 b
C1
2
0.01450 b
A2
2
0.04500 a
A1
2
0.05500 a
1
Sig.
2
b
0.178
0.231
Keterangan : huruf kecil yang sama (a dan b) menunjukan tidak beda nyata ( α 0,05)
86
Lampiran 7. Uji Fisik Rumput Gajah
Hari/ Perlakuan
A11
A12
A21
A22
B11
B12
H0
B21
B22
C11
C12
C21
C22
A11
A12
A21
A22
B11
B12
H7
B21
B22
C11
C12
C21
C22
A11
A12
A21
A22
B11
B12
H14
B21
B22
C11
C12
C21
C22
A11
A12
A21
A22
B11
B12
H21
B21
B22
C11
C12
C21
C22
A11
A12
A21
A22
B11
B12
H28
B21
B22
C11
C12
C21
C22
A11
A12
A21
A22
B11
B12
H35
B21
B22
C11
C12
C21
C22
Panjang daun (cm)
15.5
15.8
14.2
2.1
5
15
12.6
14.5
3.5
10.5
9.6
14
20
17.8
20.3
8.3
10.5
24.3
13.3
19.1
10.5
11.1
24.1
18.3
23.4
18.3
19.2
36.2
41.4
28.6
27.6
21.4
23.6
56.3
60.4
32.4
26.3
61.4
72.2
41.1
63.4
84.5
44.2
-
Warna daun
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
Hijau
Hijau dan ujung daun kecoklatan
Hijau dan ujung daun kecoklatan
Hijau dan ujung daun kuning
Hijau
Hijau dan ujung daun coklat
Hijau dan ujung daun kecoklatan
Hijau dan ujung daun kuning kecoklatan
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau dan ujung daun coklat
Hijau dan ujung dan coklat
Hijau
Hijau
Hijau
Hijau
-
Hijau dan ujung daun merah menguning
Hijau dan ujung daun merah menguning
Hijau dan ujung daun merah menguning
Hijau dan ujung daun merah menguning
Hijau muda
Hijau muda
Hijau muda
-
87
Lampiran 8. Tempat pembuangan akhir lumpur minyak bumi di pertambangan
tradisional Cepu Jawa Timur
88
Lampiran 9. Penamaan rumput gajah pada media pot
Perlakuan A1, A2, A3, dan A4
Perlakuan A5, A6, A7, dan A8
+ inokulan
Perlakuan B1, B2, B3, dan B4
Perlakuan B5, B6, B7, dan B8
+ inokulan
Perlakuan C5, C6, C7, dan C8
+ inokulan
Perlakuan C1, C2, C3, dan C4
89
Lampiran 10. Perlakuan dimedia pot pada hari ke-35
Perlakuan A1, A2, A3, dan A4
Perlakuan A5, A6, A7, dan A8
+ inokulan
Perlakuan B1, B2, B3, dan B4
Perlakuan B5, B6, B7, dan B8
+ inokulan
Perlakuan C5, C6, C7, dan C8
+ inokulan
Perlakuan C1, C2, C3, dan C4
90
Lampiran 11. Gambar hasil ekstraksi TPH
1. Sampel awal perlakuan
Hasil ekstraksi TPH sebelum di uapkan
Hasil ekstraksi TPH setelah di uapkan
2. Sampel akhir perlakuan
Hasil ekstraksi TPH sebelum di uapkan
(tanpa inokulan)
Hasil ekstraksi TPH sebelum di uapkan
(dengan inokulan)
Hasil ekstraksi TPH setelah di uapkan
(tanpa inokulan)
Hasil ekstraksi TPH setelah di uapkan
(dengan inokulan)
91
Download