2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penangkapan Ikan yang Ilegal, Tidak Dilaporkan, dan Tidak Diatur
Praktik penangkapan ikan yang ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur
saat ini telah menjadi perhatian dunia. Beberapa terminologi yang digunakan
FAO (Food and Agriculture Organization) untuk praktik tersebut, yaitu perikanan
illegal (ilegal), unreported (tidak dilaporkan) dan unregulated (tidak diatur) yang
kemudian disebut IUU fishing. Definisi IUU fishing secara internasional, menurut
alenia 3.1, 3.2, dan 3.3 IPOA-IUU fishing dalam Darmawan (2006) dibedakan tiap
terminologi. Terminologi yang pertama yaitu illegal fishing atau penangkapan
ikan secara tidak sah, mengacu pada beberapa tindakan yaitu:
1. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal nasional atau kapal
asing di perairan yurisdiksi suatu negara tanpa ijin dari negara yang memiliki
yurisdiksi atau bertentangan dengan hukum dan peraturan negara tersebut;
2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal perikanan berbendera
negara anggota organisasi pengelolaan perikanan regional, Regional Fisheries
Management Organization (RFMO) tetapi bertindak bertentangan dengan
ketentuan konservasi dan pengelolaan perikanan yang telah ditetapkan oleh
RFMO tersebut ataupun bertentangan dengan ketentuan hukum internasional
yang berlaku lainnya yang relevan; atau
3. Tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan perundang-undangan
suatu negara atau kewajiban internasional, termasuk yang diambil oleh negaranegara yang menyatakan bekerjasama dengan organisasi pengelolaan
perikanan regional terkait atau RFMO.
Terminologi unreported fishing atau kegiatan penangkapan ikan yang
tidak dilaporkan, dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Tindakan penangkapan ikan yang tidak dilaporkan, atau melaporkan dengan
data yang salah pada institusi nasional relevan, yang bertentangan dengan
hukum dan perundang-undangan yang berlaku di negara tersebut; atau
2. Tindakan penangkapan ikan yang dilakukan dikawasan kewenangan RFMO
tertentu, yang tidak dilaporkan atau salah dalam melaporkan, sehingga
bertentangan dengan prosedur pelaporan RFMO tersebut.
9
Sedangkan terminologi unregulated fishing atau penangkapan ikan yang
tidak diatur, dapat didefinisikan sebagai berikut :
1. Tindakan penangkapan ikan di kawasan kewenangan RFMO yang dilakukan
oleh kapal tanpa identitas kebangsaan atau oleh kapal berbendera negara yang
bukan merupakan anggota RFMO tersebut atau oleh suatu entitas (negara yang
belum diakui Perhimpunan Bangsa Bangsa) perikanan, dengan cara yang tidak
sesuai atau bertentangan dengan tindakan konservasi dan pengelolaan yang
ditetapkan RFMO tersebut; atau
2. Tindakan penangkapan ikan di suatu area atau terhadap stok ikan yang tidak
diatur pengelolaan dan konservasinya, yang bertentangan dengan tanggung
jawab negara (bendera) terhadap ketentuan hukum internasioanl mengenai
konsevasi sumberdaya hayati laut.
Modus praktik IUU fishing yang umumnya terjadi di perairan Indonesia
(DKP, 2002 dalam Latar, 2004) antara lain dikategorikan dalam 4 (empat)
golongan, meliputi:
1. Kapal Ikan Asing (KIA), kapal murni berbendera asing melakukan kegiatan
penangkapan ikan di perairan Indonesia tanpa dilengkapi dokumen dan tidak
pernah mendarat di pelabuhan perikanan Indonesia;
2. Kapal ikan berbendera Indonesia eks kapal asing banyak memalsukan
dokumen;
3. Kapal Ikan Indonesia (KII) dengan dokumen palsu yang didapat dari pihak
yang tidak berwenang mengeluarkan ijin; atau
4. Kapal Ikan Indonesia (KII) tanpa dokumen sama sekali (tanpa ijin).
Aturan Indonesia yang menjadi regulasi perikanan adalah Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2004 ini mengatur pokok-pokok pembangunan perikanan terkait penataan,
pengelolaan, pemanfaatan, pengawasan, pengolahan, dan pemasaran sumberdaya
perikanan.
Pemberdayaan nelayan, perbuatan pidana dan sanksi atasnya,
tercantum pula di dalamnya. Namun masih terdapat aturan turunan lain yang
menunjang secara detil pola aturan yang berlaku. Nikijuluw (2008) menjelaskan
bahwa perbuatan pidana pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu kejahatan perikanan dan pelanggaran
10
perikanan. Pidana kejahatan serta hukuman dan dendanya tersebut, dapat terjadi
dikarenakan sebagai berikut :
1. Penggunaan metode dan teknologi produksi yang destruktif. Hukuman terlama
10 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar;
2. Penggunaan teknologi produksi yang menyimpang dari ketentuan. Hukuman
terlama 5 tahun dengan denda maksimal Rp 2 miliar ;
3. Kejahatan dalam hal perijinan usaha dan ijin penangkapan ikan. Denda dan
hukumannya tergantung dari jenis perijinan yang dilanggar;
4. Kejahatan dalam hal pengangkutan ikan. Hukuman terlama 5 tahun dengan
denda maksimal Rp 1,5 miliar;
5. Perusakan lingkungan perikanan. Hukuman terlama 10 tahun dengan denda
maksimal Rp 2 miliar;
6. Kejahatan yang berkaitan dengan karantina ikan. Hukuman terlama 6 tahun
dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar; dan
7. Kejahatan yang berkaitan dengan kegiatan pengolahan dan pemasaran ikan.
Hukuman terlama 6 tahun dengan denda maksimal Rp 1,5 miliar.
Nikijuluw (2008) juga menjelaskan mengenai aturan dalam UndangUndang Nomor 31 Tahun 2004 untuk pidana pelanggaran dapat terjadi
disebabkan oleh:
1. Membangun, mengimpor, dan memodifikasi kapal perikanan tanpa persetujuan
menteri. Hukuman maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 600
juta;
2. Pengoperasian kapal perikanan di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia
tanpa kapal tersebut didaftarkan sebagai kapal perikanan Indonesia. Hukuman
maksimalnya satu tahun dengan denda maksimal Rp 800 juta;
3. Mengoperasikan kapal penangkapan ikan berbendera asing yang tidak
memiliki ijin penangkapan ikan, tidak menyimpan alat penangkapan ikan di
dalam palka, atau menggunakan alat tangkap ikan yang tidak sesuai dengan
ijinnya. Hukuman pidana denda maksimal Rp 500 juta;
4. Melakukan penangkapan ikan tanpa ijin berlayar dari syahbandar;
5. Melakukan penelitian perikanan tanpa ijin pemerintah; dan/atau
11
6. Pelanggaran dalam hal jenis, jumlah, dan ukuran alat penangkapan ikan serta
alat bantu penangkapan ikan; daerah, jalur, dan musim penangkapan ikan;
ukuran berat minimum jenis ikan yang boleh ditangkap (total allowable catch);
serta sistem pemantauan kapal perikanan.
Tindakan pidana kejahatan dan pidana pelanggaran telah diatur denda dan
hukumannya secara variatif, tergantung dari jenis kejahatan dan pelanggarannya.
Ketentuan tersebut dituangkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004, sehingga dalam pelaksanaannya dapat diklasifikasikan antara bentuk
kejahatan atau pelanggaran yang terjadi dan hukuman serta denda apa yang harus
dikenakan terhadap pelaku praktik kejahatan atau pelanggaran tersebut. Kapasitas
pengawasan dan penengakan aturan ini harus jelas dan tegas di lapangan.
Sinergitas para aparatur penegak hukum dan pihak terkait harus adil untuk
menegakkan aturan yang telah tercantum dalam undang-undang.
Semua ini
diupayakan untuk menanggulangi dan mengurangi serta memberantas praktik
IUU fishing di Indonesia.
2.2 Aturan Internasional
2.2.1
IPOA-IUU fishing
Praktik IUU fishing yang kian marak diisukan, melatarbelakangi FAO
Committee on Fisheries (COFI) mengadopsi Internasional Plan of Action (IPOA)
to Prevent, Deter, and Eliminate IUU fishing pada tahun 2001. IPOA-IUU fishing
merupakan sebuah instrumen hukum internasional yang diharapkan menjadi
acuan negara-negara dalam memerangi IUU fishing.
IPOA-IUU fishing
menjelaskan tanggung jawab dan tindakan yang harus diambil oleh Negara
Bendera, Negara Pantai, dan Negara Pelabuhan terkait dengan IUU fishing.
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa IUU fishing mendapatkan perhatian
dalam World Summit tentang pembangunan berkelanjutan, di Johanesburg, Afrika
Selatan pada September 2002. Keputusannya bahwa IPOA-IUU fishing harus
dilaksanakan oleh negara-negara di dunia paling lama akhir tahun 2004. Peran
pemerintah dalam suatu negara sangat penting dan dijelaskan dalam IPOA-IUU
fishing yang dikeluarkan FAO. Upaya mencegah, menghalangi, dan memberantas
praktik IUU fishing, harus dilaksanakan pemerintah dengan tetap memperhatikan
12
norma dan kaidah hukum laut internasional khususnya yang termuat dalam
UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) 1982.
Tujuan IPOA-IUU fishing adalah untuk mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing dengan menyediakan suatu alat atau langkah yang
komprehensif, transparan, dan efektif bagi semua negara dalam bertindak,
termasuk melalui pengelolaan perikanan yang tepat sesuai dengan hukum
internasional dan regional.
FAO mengembangkan IPOA-IUU fishing melalui
upaya koordinasi dengan negara-negara dunia, FAO, RFMO dan lembagalembaga internasional yang terkait seperti IMO (International Maritime
Organization).
IPOA-IUU fishing diupayakan membahas semua dampak
ekonomi, sosial dan lingkungan. Akses pelabuhan bagi kapal asing di suatu
pelabuhan atau dermaga lepas pantai untuk tujuan, antara lain meliputi pengisian
bahan bakar, perbekalan, lintas pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi
kedaulatan suatu negara pantai sesuai dengan hukum nasionalnya dan Konvensi
PBB tahun 1982 serta hukum internasional lainnya yang relevan (FAO, 2001).
IPOA-IUU fishing juga menjelaskan tindakan negara pelabuhan (port state
measures) dalam penanggulangan praktik IUU fishing dengan dasar pengaturan
terkait mekanismenya sebagai berikut1:
1. Pemberitahuan terlebih dahulu sebelum memasuki pelabuhan;
2. Penolakan untuk memasuki pelabuhan;
3. Mempublikasikan pelabuhan yang boleh dimasuki;
4. Pengumpulan data dan informasi;
5. Penyampaian pemberitahuan kepada negara bendera, negara pantai, dan
RFMO tentang kegiatan IUU fishing;
6. Prosedur dan strategi port state control;
7. Integrasi pengaturan mengenai port state control;
8. Tindakan terhadap praktik IUU fishing oleh negara bukan anggota RFMO; dan
9. Kerjasama antar negara dan antar RFMO.
1
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Draft Naskah penjelasan
Pengesahan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter, and Eliminate Illegal,
Unreported, and Unregulated Fishing, Bogor, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 6 Desember
2011, hlm 23.
13
FAO (2001) menjelaskan bahwa dalam pelaksanaan aturan pemeriksaan,
negara pelabuhan harus memeriksa kelengkapan informasi kapal dan hasil
pemeriksaannya dikirimkan ke negara bendera dan, jika diperlukan termasuk
organisasi pengelolaan perikanan regional (RFMO). Hal-hal yang diperiksa yaitu
sebagai berikut:
1. Negara bendera dan rincian identifikasi kapal termasuk di dalamnya data
pemilik kapal dan nahkoda kapal;
2. Nama, kewarganegaraan, dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan;
3. Alat penangkapan ikan;
4. Jumlah hasil tangkapan di atas kapal, termasuk asal, jenis, dan kondisi serta
kuantitas;
5. Informasi lainnya yang diwajibkan oleh RFMO; dan
6. Total volume pendaratan hasil tangkapan dan transshipment.
Nikijuluw (2008) menjelaskan beberapa kewajiban pemerintah menurut
IPOA-IUU fishing adalah sebagai berikut:
1. Tidak mengijinkan kapal ikan negaranya menggunakan bendera negara asing
yang tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawab untuk memerangi
IUU fishing;
2. Menyikapi dan mengambil tindakan yang sesuai dengan hukum laut
internasional terhadap kapal ikan yang menangkap ikan secara IUU di laut
lepas;
3. Menghindari memberikan bantuan ekonomi dan subsidi kepada perusahaan
atau kapal yang terlibat IUU fishing, sesuai dengan hukum dan kebijakan
nasionalnya; dan
4. Menetapkan sanksi yang berat bagi kapal pelaku IUU fishing secara transparan
dan konsisiten.
2.2.2
Port state measures
FAO megadopsi skema model FAO Port State Measures untuk mencegah,
menghalangi, dan memberantas IUU fishing (FAO Model Scheme on Port State
Measures to Combat Illegal, Unreported and Unregulated Fishing) pada
pertemuan komite perikanan FAO (Committee on Fisheries, COFI FAO) ke-26
14
tahun 2005. FAO Model Scheme on Port State Measures to Combat IUU Fishing
memuat standar minimum aktivitas dan persyaratannya, seperti:
1. Informasi yang diperlukan saat memasuki pelabuhan;
2. Pedoman dan prosedur inspeksi atas kapal saat di pelabuhan;
3. Tindakan yang dapat diambil ketika pengawas menemukan bukti yang cukup
bahwa kapal perikanan asing telah melakukan atau membantu melakukan
praktik IUU fishing;
4. Program pelatihan untuk pengawas dari negara pelabuhan; dan
5. Sistem informasi mengenai pengawasan oleh negara pelabuhan.
Keberadaan IPOA-IUU fishing maupun Model Scheme on Port State
Measures to Combat IUU fishing dirasa masih belum cukup menjadi instrumen
hukum dalam menghadapi IUU fishing. Kondisi ini dikarenakan oleh sifat nonbinding dari IPOA-IUU fishing yang belum memiliki keseragaman standar dan
sistem hukum serta kurang melibatkan partisipasi aktif dari negara pelabuhan
dalam menghadapi IUU fishing. Selanjutnya, pada pertemuan pertemuan komite
perikanan FAO ke-27 Maret 2007, negara-negara anggota FAO telah berhasil
merumuskan Draft Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and
Eliminate IUU Fishing. Draft Agreement on Port State Measures (kemudian
disebut PSM Agreement) tersebut, diharapkan menjadi suatu instrumen hukum
internasional yang mengikat. PSM Agreement ditujukan untuk meningkatkan
peran negara pelabuhan (port states) dalam mencegah, menghalangi, dan
memberantas IUU fishing. PSM Agreement mampu menciptakan sarana yang
kuat dan ekonomis untuk memerangi IUU fishing2.
Konferensi FAO ke-36 tanggal 22 November 2009, telah berhasil
mengadopsi dokumen PSM Agreement tersebut. Sebanyak 106 negara dari 118
negara yang hadir, mendukung penerimaan resolusi terkait perjanjian ini, dua
negara menolak dan 10 abstain. PSM Agreement telah ditandatangani sembilan
negara yaitu Indonesia, Angola, Brazil, Chile, Uni Eropa, Islandia Norwegia,
Samoa, Amerika Serikat, dan Uruguay.
Pasal 26 PSM Ageement menjelaskan
bahwa persetujuan tersebut harus segera diratifikasi, diterima, atau disetujui oleh
pihak yang menandatangani perjanjian. PSM Ageement akan mulai berlaku 30
2
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Ibid, hlm 3.
15
hari setelah tanggal depositori atas instrumen ratifikasi, penerimaan, persetujuan,
sesi oleh 25 negara. PSM Agreement terdiri atas 10 (sepuluh) Bagian dan 37
Pasal, yang memuat pengaturan mengenai penerapan ketentuan negara pelabuhan
untuk mencegah, menghalangi, dan memberantas IUU fishing. Selanjutnya PSM
Agreement juga memuat tentang hubungannya dengan instrumen internasional
lainnya; integrasi dan koordinasi pada tingkat nasional; kerja sama dan pertukaran
informasi dengan negara lain; prosedur pelaksanaan kegiatan pemeriksaan dan
penindaklanjutan terhadap kapal masuk ke pelabuhan; peran negara bendera;
persyaratan bagi negara berkembang; penyelesaian sengketa; keberlakukan
agreement bagi non-pihak; serta pemantauan, peninjauan ulang, dan penilaian
terhadap pelaksanaan kegiatan yang tertuang dalam PSM Agreement3.
PSM Ageement menjelaskan suatu alat yang efektif memposisikan negara
pelabuhan untuk melawan IUU fishing melalui posisinya sebagai tujuan dari kapal
asing untuk masuk ke pelabuhan contohnya seperti larangan masuk pelabuhan,
larangan pendaratan, larangan transshipment, dan penolakan jasa pelabuhan
lainnya untuk kapal yang melakukan praktik IUU fishing.
Selain itu negara
pelabuhan dapat pula diposisikan sebagai pengawas langsung terhadap kapal dan
sebagai penyelenggara aturan (Fabra et al., 2011).
Lobach (2004) menjelaskan bahwa kontrol negara pelabuhan sangat
relevan untuk konservasi dan pengelolaan perikanan. Negara pelabuhan harus
menargetkan standar dari kapal yang dianggap mampu mendukung tindakan
konservasi dan pengelolaan perikanan. Kontrol negara pelabuhan pada sistem
regional wilayah membutuhkan suatu prosedur umum untuk pemeriksaan,
persyaratan kualifikasi bagi pemeriksa, dan konsekuensi yang disepakati untuk
kapal penangkap ikan yang ditemukan tidak patuh aturan. Setiap pihak yang
ingin mendapatkan akses pelabuhan harus meregistrasikan nelayan dan kapal
yang terlibat. Selanjutnya diharuskan pula memberikan informasi tujuan masuk
kapal, salinan otoritas hasil tangkapan, rincian perjalanan penangkapan, jumlah
serta jenis hasil tangkapan. Hal tersebut dilakukan guna mengetahui terlibat atau
tidaknya suatu kapal dalam praktik IUU fishing.
3
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Term of Reference, Surabaya, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 2011, hlm 1.
16
Pengaturan dalam PSM Agreement akan diadopsi pada level regional dan
nasional. Pengadopsian di tingkat regional yaitu melalui Regional Plan of
Actionm (RPOA) to promote responsible fishing practices including combating
illegal, unreported and unregulated fishing, serta ketentuan yang dibuat oleh
Regional Fisheries Management Organizations (RFMOs). Beberapa RFMO yang
telah mengadopsi prinsip-prinsip PSM Agreement yaitu The South East Atlantic
Fisheries Organization (SEAFO), The Indian Ocean Tuna Commission (IOTC),
The Commission for the Conservation of Antartic Living Marine Resources
(CCAMLR), dan The International Commission for Conservation of Atlantic Tuna
(ICCAT).
Implementasi PSM Ageement pada level nasional yaitu melalui
peraturan perundang-undangan nasional negara peserta.
Beberapa negara
(meskipun belum menjadi pihak pada agreement tersebut) saat ini telah
menerapkan pengaturan mengenai PSM Ageement dalam peraturan perundangundangan nasionalnya, seperti Kanada, Amerika, Islandia, dan Afrika Utara4.
Indonesia saat ini telah menjadi anggota dari 2 (dua) RFMO, yaitu
IOTC
(diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2007 tentang Pengesahan
Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission) dan
CCSBT (diratifikasi dengan Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2007 tentang
Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna)5.
FAO (2009) menjelaskan bahwa PSM Ageement diaplikasikan dengan
tidak mengurangi hak, yurisdiksi, dan tugas nasional suatu negara, sehingga
dalam pelaksanaannya akan diintegrasikan atau dikoordinasikan dengan sistem
yang lebih luas dari kontrol negara pelabuhan. Negara anggota nantinya akan
saling berkoordinasi dan bertukar informasi dengan FAO, organisasi internasional
lain dan RFMO. FAO ataupun RFMO akan memberikan daftar kapal yang terlibat
IUU fishing (IUU vessel list) untuk diantisipasi di negara pelabuhan.
FAO (2009) menjelaskan aturan yang diberlakukan untuk masuk ke
pelabuhan dicantumkan dalam tabel Annex A PSM Ageement (terlampir). Namun
4
Workshop Port State Measures Agreement: Strategi Implementasi dan Evaluasi Kesiapan
Indonesia, Ibid, hlm 2.
5
Pembahasan Pending Issues Draft Agreement Port State Measures to Prevent, Deter, Eliminate
IUU Fishing, Bahan Diskusi Terbatas, Jakarta, Biro Hukum dan Organisasi KKP, 28 Juli 2009,
hlm 1.
17
untuk pengecualian yaitu pada saat berbahaya, setiap kapal dapat diijinkan masuk
pelabuhan untuk mendapatkan pertolongan dan bantuan.
Selain itu, akan
dilakukan pula pemeriksaan kapal sesuai dengan standar minimum ketentuan dan
prosedur yang diatur dalam Annex B PSM Ageement (terlampir). Pemeriksaan
dilakukan terhadap semua dokumen terkait, semua ruang di kapal, dan semua
peralatan di kapal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan tetap menjamin bahwa
kapal tidak akan mendapatkan gangguan, ancaman politik, dan penundaan yang
akan berakibat pada penurunan mutu hasil tangkapan. Hasil pemeriksaan akan
didokumentasikan sebagai laporan dengan ketentuan yang terdapat dalam tabel
Annex C PSM Ageement (terlampir). Laporan ini akan dikirim kepada negara
terkait (negara pantai dan negara bendera), RFMO, dan FAO serta organisasi
internasional relevan lainnya dengan menggunakan sistem informasi sesuai aturan
dalam Annex D dalam dokumen PSM Ageement (terlampir). Pengawas akan
mendapatkan pelatihan dengan panduan yang terdapat dalam Annex E dalam
dokumen PSM Ageement (terlampir).
Selain itu, terdapat beberapa langkah yang harus dilakukan negara
pelabuhan jika mendapati kapal dengan praktik IUU fishing yaitu dilaporkan pada
negara bendera, negara pantai, RFMO, dan organisasi internasional lain atau
ditolak masuk pelabuhan. Penyelesaian terhadap permasalahan yang terjadi dapat
dilakukan dengan perundingan semua negara anggota; atau diajukan negoisasi,
penyelidikan, mediasi, perdamaian, arbitration, penyelesaian hukum, ganti rugi
(uang damai) dan cara damai lainnya; atau diserahkannya kepada pengadilan
internasional. Dokumen PSM Ageement menerangkan adanya perlakuan khusus
kepada negara berkembang yang merupakan negara anggota. Perlakuan tersebut
yaitu meliputi pemberian bantuan seperti bantuan peningkatan kualitas
sumberdaya manusia untuk peningkatan kesadaran dalam implementasi PSM
Ageement, bantuan fasilitas pendukung dan fasilitas teknik, serta bantuan finansial
terutama pada wilayah tertinggal dan pulau kecil. Dokumen PSM Ageement
diterbitkan dengan 6 (enam) bahasa sebagai naskah otentik yaitu dalam bahasa
Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol (FAO, 2009).
FAO (2009) menerangkan butir-butir yang diwajibkan kepada negara
pelabuhan dalam dokumen PSM Ageement adalah sebagai berikut:
18
1. Memastikan kegiatan perikanan yang terjadi di pelabuhan adalah menjamin
perlindungan jangka panjang dan keberlangsungan pemanfaatan sumberdaya
ikan (kegiatan pengelolaan dan konservasi);
2. Melakukan pemeriksaan yaitu:
1) pemeriksaan dokumen perijinanan atau otoritas penangkapan;
2) pemeriksaan dokumen identitas kapal (negara bendera, jenis kapal dan
penanda kapal meliputi nama, nomor registrasi eksternal, nomor
identifikasi IMO);
3) pemeriksaan radio komunikasi penanda internasional, dan penanda
lainnya serta data VMS (Vessel Monitoring System) dari negara bendera
atau RFMO;
4) pemeriksaan logbook;
5) pemeriksaan hasil tangkapan, transshipment, perdagangan;
6) pemeriksaan daftar awak kapal;
3.
Pemeriksaan seluruh bagian kapal (meliputi palkah, semua ruangan di atas
kapal, dan dimensi kapal) serta alat penangkapan ikan dan/atau alat bantu
penangkapan ikan;
4.
Memastikan bahwa hasil pemeriksaan fisik sesuai dengan keterangan yang
terdapat dalam dokumen dan hasil wawancara dengan kapten atau pihak
kapal;
5.
Membuat laporan hasil pemeriksaan yang kemudian ditandatangani oleh
pengawas dan kapten kapal;
6.
Melakukan pelatihan untuk pengawas atau pemeriksa; dan
7.
Jika
memungkinkan,
menggunakan
sistem
informasi
dengan
kode
internasional (meliputi kode negara, kapal, alat tangkap, jenis hasil
tangkapan) seperti berikut.
countries/territories: ISO-3166 3-alphaCountry Code
species: FAO 3-alpha code
vessel types: FAO alpha code
gear types: FAO alpha code
devices/attachments: FAO 3-alpha code
ports: UN LO-code
19
2.3 Hukum Indonesia
2.3.1
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Jo. Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004 tentang Perikanan
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2010) menjelaskan bahwa
Indonesia memiliki produksi perikanan tangkap 4.957.098 ton pada tahun 2008.
Nilai ini adalah bukti yang nyata bahwa Indonesia merupakan negara yang
memiliki potensi besar dalam perikanan tangkap.
Hal ini tergambar bahwa
produksi perikanan tangkap tersebut merupakan terbesar ketiga di dunia (Tabel 2).
Namun, nilai tersebut menuntut suatu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang
berkelanjutan, sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat berkelanjutan.
Salah satunya dapat dilakukan dengan pengendalian usaha perikanan melalui
pengaturan pengelolaan perikanan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada Pasal 5
ayat (2) menjelaskan bahwa penyelenggaraan pengelolaan perikanan di luar
wilayah perikanan Republik Indonesia, didasarkan pada peraturan perundangundangan, persyaratan, dan/standar internasional yang diterima secara umum. Hal
ini menerangkan bahwa Indonesia sangat mendukung suatu kegiatan perikanan
yang memperhatikan konservasi dan pengelolaannya. Sedangkan, pada Pasal 6
ayat (1) menjelaskan bahwa upaya pengelolaan perikanan tersebut dimaksudkan
untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya
kelestarian sumberdaya ikan.
Keikutsertaan pemerintah dalam keanggotaan
lembaga atau organisasi regional dan internasional dalam rangka kerjasama
pengelolaan perikanan regional dan internasional adalah langkah yang dijelaskan
pada Pasal 10.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 hadir sebagai antisipasi dan solusi
yang berkaitan dengan ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan
sumber daya ikan, maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang
semakin efektif, efisien, dan modern. Namun kemudian undang-undang tersebut
dianggap perlu dilakukannya perubahan karena dirasa terdapat kekurangan
dengan berjalannya waktu, sehingga ditetapkanlah Undang-Undang Nomor 45
Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004
20
tentang Perikanan.
Perubahan tersebut dilakukan untuk lebih meningkatkan
regulasi dan kinerja dalam pelaksanaan undang-undang tersebut.
Penjelasan atas Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, bahwa
pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982
yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, memposisikan
Indonesia memiliki hak berdaulat (sovereign rights) untuk melakukan
pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan sumber daya ikan di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan laut lepas yang dalam pelaksanaannya didasarkan
pada persyaratan atau standar internasional yang berlaku, sehingga perlu dasar
hukum untuk pengelolaan sumberdaya ikan dan mengantisipasi perkembangan
kebutuhan hukum dan teknologi.
2.3.2
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi Hasil Tangkapan
Nomor
Indonesia sangat menentang dan berupaya untuk melawan praktik IUU
fishing. Hal ini tergambar dari aturan Indonesia yang mengarah ke regulasi yang
memperkecil kemungkinan terjadinya IUU fishing. Keputusan Menteri Kelautan
dan Perikanan Republik Indonesia Nomor PER.28/MEN/2009 tentang Sertifikasi
Hasil Tangkapan adalah salah satu aturan Indonesia yang berupaya melawan
praktik IUU fishing.
Pasal 1 dalam keputusan menteri tersebut menjelaskan
bahwa Sertifikat Hasil Tangkapan (Catch Certificate) adalah surat keterangan
yang dikeluarkan oleh kepala pelabuhan perikanan yang ditunjuk oleh yang
menyatakan bahwa hasil tangkapan ikan bukan dari kegiatan IUU fishing.
Batasan pemberlakuan atau penggunaan Sertifikat Hasil Tangkapan tersebut
dijelaskan pada pasal 2 bahwa setiap produk perikanan laut yang merupakan hasil
tangkapan kapal penangkap ikan berbendera Indonesia yang akan diekspor baik
langsung maupun tidak langsung ke Uni Eropa dilengkapi dengan Sertifikat Hasil
Tangkapan Ikan.
21
2.3.3
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.12/MEN/2009 Jo. PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap dalam Pasal 1 menjelaskan
pengertian beberapa surat ijin yaitu SIUP, SIPI, dan SIKPI. SIUP (Surat Ijin
Usaha Perikanan) adalah ijin tertulis yang harus dimiliki perusahaan perikanan
untuk melakukan usaha perikanan dengan menggunakan sarana produksi yang
tercantum dalam ijin tersebut. SIPI (Surat Ijin Penangkapan Ikan) adalah ijin
tertulis setiap kapal perikanan untuk melakukan penangkapan ikan. SIKPI (Surat
Ijin Kapal Pengangkut Ikan) adalah ijin tertulis setiap kapal perikanan untuk
melakukan pengumpulan dan pengangkutan ikan. Peraturan Menteri Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.12/MEN/2009
tentang
Perubahan
Atas
PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan Tangkap, yaitu Pasal 46
menjelaskan tentang pemeriksaan fisik kapal, alat penangkapan ikan, dan
dokumen kapal penangkap ikan dan/atau kapal pengangkut ikan dalam mengurus
SIPI atau SIKPI. Penerbitan perizinan kapal sendiri telah diatur dalam Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 pada Bab VII tentang
kewenangan penerbitan perizinan yaitu SIUP, SIPI, dan/atau SIKPI. Menteri
dapat mendelegasikan penerbitan perizinan tersebut kepada Gubernur (untuk
kapal berukuran di atas 10 GT (Gross Tonnage) sampai dengan 30 GT) dan
Bupati atau Walikota (untuk kapal berukuran di atas 5 GT sampai dengan 10 GT)
dengan pertimbangan aturan tertentu seperti penggunaan tenaga kerja di kapal
baik asing atau kapal Indonesia, wilayah domisili, dan wilayah operasi
penangkapannya. Selain itu, untuk kapal yang berukuran diatas 30 GT sampai
dengan 60 GT diatur dalam Bab II Pasal 2 Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan Nomor PER.16/MEN/2010. Pemberian kewenangan penerbitan SIPI
dan SIKPI untuk kapal perikanan berukuran diatas 30 GT sampai dengan 60 GT
kepada Gubernur (yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan), namun didasarkan pada Surat Ijin Usaha Perikanan
(SIUP) yang diterbitkan oleh Direktur Jenderal Perikanan Tangkap. Tata cara
penerbitan perizinan usaha perikanan tangkap telah diatur pula pada Bab VIII
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008.
22
Pengawasan dan pengendaliannya di lapang, diatur Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2008 tentang Usaha Perikanan
Tangkap dalam Pasal 78 yaitu melalui sistem pemantauan, pengendalian, dan
pemeriksaan lapangan terhadap operasional dan dokumen kapal perikanan, UPI
(Unit Penangkapan Ikan), dan ikan hasil tangkapan oleh pengawas perikanan. Hal
lainnya yang diwajibkan, seperti kewajiban kapal penangkap ikan dan/atau kapal
pengangkut ikan berbendera asing memasang dan mengaktifkan transmitter atau
sistem pemantauan kapal perikanan (vessel monitoring system atau VMS) serta
mengisi logbook perikanan yang kemudian diserahkan Direktur Jenderal melalui
kepala pelabuhan perikanan setempat atau pelabuhan pangkalan yang ditetapkan
dalam SIPI, diatur dalam pasal 88.
mengeluarkan
Peraturan
terbarunya
Menteri Kelautan dan Perikanan
pada
juni
tahun
2011
yaitu
PER.14/MEN/2011 tentang Usaha Perikanan Tangkap akan menggantikan
PER.12/MEN/2009 tentang Perubahan Atas PER.05/MEN/2008 tentang Usaha
Perikanan Tangkap.
Namun dalam waktu penelitian ini PER.14/MEN/2011
masih belum diberlakukan secara efektif karena mulai berlakunya yaitu setelah 6
(enam) bulan sejak tanggal pengundangan (6 Juni 2011).
2.3.4
Peraturan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
PER.27/MEN/2009 tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal
Perikanan
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.27/MEN/2009
tentang Pendaftaran dan Penandaan Kapal Perikanan menjelaskan bahwa setiap
kapal perikanan milik orang atau badan hukum Indonesia yang dioperasikan untuk
kegiatan usaha perikanan tangkap di wilayah pengelolaan perikanan negara
Republik Indonesia dan/atau laut lepas wajib didaftarkan sebagai kapal perikanan
Indonesia dengan persyaratan yang telah ditentukan. Pendaftaran kapal perikanan
adalah kegiatan pencatatan kapal perikanan yang dimuat dalam buku kapal
perikanan.
Buku kapal perikanan sekurang-kurangnya memuat informasi:
1) nama kapal;
2) nomor register;
3) tempat pembangunan kapal;
23
4) tipe kapal;
5) jenis alat tangkap;
6) tonnage;
7) panjang kapal;
8) lebar kapal;
9) kekuatan mesin;
10) foto kapal;
11) nama dan alamat pemilik;
12) nama pemilik sebelumnya; dan
13) perubahan-perubahan yang terjadi dalam buku kapal perikanan
Penandaan kapal perikanan adalah kegiatan untuk memberi tanda atau
notasi kapal perikanan. Kapal perikanan yang telah dilengkapi dengan buku kapal
perikanan dan SIPI atau SIKPI diberi tanda pengenal kapal perikanan. Tanda
pengenal kapal perikanan sebagaimana yang dimaksud meliputi:
1) tanda selar;
2) tanda daerah penangkapan ikan;
3) tanda jalur penangkapan ikan; dan/atau
4) tanda alat penangkapan ikan.
Spesifikasi tanda tersebut disesuaikan dengan kondisi kapal dan lain hal
sebagainya.
Sedangkan untuk kapal yang beroperasi di wilayah organisasi
pengelolaan perikanan regional atau RFMO akan diberikan tanda khusus yang
diatur oleh organisasi pengelolaan perikanan regional atau RFMO tersebut. Hal
ini diharapkan mampu untuk memberikan perbedaan antara kapal yang memang
terdaftar secara legal di negara tertentu dengan kapal yang terindikasi melakukan
praktik IUU fishing. Selain keseluruhan aturan yang telah disebutkan diatas,
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor PER.05/MEN/2007 tentang
Penyelengaraan Sistem Pemantauan Kapal, juga merupakan aturan yang dapat
mengontrol kapal perikanan untuk tidak melakukan praktik IUU fishing.
24
2.3.5
Keputusan
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan
Nomor
KEP.11/MEN/2004 tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal
Perikanan
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor KEP.11/MEN/2004
tentang Pelabuhan Pangkalan Bagi Kapal Perikanan juga menjelaskan kewajiban
kapal perikanan untuk memberikan laporan pada pihak pelabuhan.
Hal ini
tercantum dalam Bab V tentang pelaporan dalam Pasal 5. Adapun pada saat akan
dimulai maupun setelah selesai melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan nahkoda atau pengurus kapal perikanan wajib melapor kedatangan dan/atau
keberangkatannya kepada kepala pelabuhan perikanan atau petugas yang ditunjuk
di pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat atau singgah sebagaimana
tercantum dalam SIPI atau SIKPI dengan ketentuan sebagai berikut:
1) Dalam waktu sekurang-kurangnya 3 (tiga) jam sebelum meninggalkan
pelabuhan pangkalan untuk melakukan penangkapan dan/atau pengangkutan
ikan wajib memberitahukan keberangkatannya kepada Kepala Pelabuhan
Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan dokumen perijinan kapal perikanan;
2) pemeriksaan sarana penangkapan dan/atau pengangkutan ikan;
3) menerima formulir logbook Perikanan;
4) pemeriksaan lainnya yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan.
2) Setelah selesai melakukan kegiatan penangkapan dan/atau pengangkutan ikan,
kapal perikanan wajib masuk ke pelabuhan pangkalan atau di pelabuhan muat
atau singgah dan segera melaporkan kedatangannya kepada Kepala Pelabuhan
Perikanan atau petugas yang ditunjuk, untuk:
1) pemeriksaan hasil tangkapan dan/atau ikan yang diangkut;
2) menyerahkan formulir log book Perikanan yang telah diisi.
Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.11/MEN/2004 tersebut, telah jelas hal-hal apa saja yang harus dilaporkan
oleh nahkoda atau pengurus kapal perikanan kepada pihak pelabuhan. Sanksi atas
pelanggaran kewajiban tersebut, tercantum pula pada Bab VI Sanksi, Pasal 6
dengan sanksi terberat yaitu pembekuan atau pencabutan SIPI (Surat Ijin
Penangkapan Ikan) atau SIKPI (Surat Ijin Kapal Pengankut Ikan). Surat ijin dan
25
regulasi pelaporan masuk dan keluarnya kapal dari atau ke pelabuhan ini,
merupakan langkah yang menjaga keberlanjutan perikanan dan melawan praktik
Proses pelaporan masuk dan keluarnya kapal akan dilanjutkan
IUU fishing.
dengan pemeriksaan menyeluruh terkait ijin, kondisi, dan muatan kapal. Setiap
data hasil tangkapan dari kegiatan penangkapan yang diperlukan untuk
dipergunakan dalam pertimbangan keadaan potensi sumberdaya ikan ke
depannya.
Keseluruhan aturan nasional yang disebutkan diatas tersebut
mengarahkan pada tindakan untuk mengatasi dan mengurangi praktik IUU
fishing.
Proses perijinan, pengawasan, pelaporan, dan pemeriksaan kapal di
pelabuhan perikanan diharapakan dapat memperkecil kemungkinan akan
berlangsungnya IUU fishing.
2.4 Negara Pelabuhan
Pelabuhan perikanan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan perairan
di sekitarnya sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan sistem bisnis
perikanan yang dipergunakan sebagai tempat kapal perikanan bersandar, berlabuh
dan bongkar muat ikan yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran
dan kegiatan penunjang perikanan (Pasal 1 Angka 23 Undang-Undang Nomor 31
Tahun 2004).
Pasal 7 Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
KEP.10/MEN/2004 tentang Pelabuhan Perikanan, menjelaskan fungsi pelabuhan
perikanan yaitu salah satunya sebagai pelaksana pengawasan terhadap
penangkapan, penanganan, pengolahan, pemasaran, dan mutu hasil perikanan.
Negara pelabuhan adalah negara dalam kapasitasnya yang memiliki pelabuhan di
wilayah teritorinya, memiliki hak untuk memutuskan aturan yang diberlakukan
dalam pelabuhan tersebut.
Darmawan (2006) menjelasakan bahwa terdapat 6 (enam) program atau
kewajiban yang direkomendasikan oleh FAO kepada Indonesia dalam cakupan
sebagai negara pelabuhan dan 4 (empat) diantaranya dianalisis telah dijalankan di
Indonesia. Enam kewajiban tersebut adalah sebagai berikut (butir pertama sampai
butir keempat adalah yang telah dijalankan):
26
1. Mewajibkan kapal ikan asing untuk menyediakan minimal pemberitahuan awal
kedatangan ke pelabuhan yang cukup, salinan ijin penangkapan ikan, rincian
operasi penangkapan yang dilakukan dan jumlah hasil tangkapan di kapal;
2. Mewajibkan kapal jenis lain tetap terkait dengan usaha penangkapan untuk
menyediakan laporan yang sama;
3. Memberikan akses hanya pada pelabuhan yang memiliki kapabilitas untuk
melakukan inspeksi dan mengumpulkan data berikut yaitu :
1) identifikasi kapal dan asal negara,
2) nama, kebangsaan dan kualifikasi kapten dan ahli penangkapan ikan,
3) alat tangkap yang digunakan,
4) jumlah hasil tangkapan, asal, spesies dan bentuk produk,
5) total penangkapan dan yang telah dipindahkan ke kapal lain;
4. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di
wilayah perairannya;
5. Bila terdapat kecurigaan terhadap kapal yang dimaksud, maka:
1) melarang kapal untuk merapat atau memindahkan hasil tangkapannya,
2) segera mengirim laporan pada negara asal kapal,
3) segera mengirim laporan pada negara dimana kapal tersebut melakukan
pelangaran;
6. Melakukan penegakkan hukum terhadap pelanggaran yang dilakukan di luar
yurisdiksi dengan persetujuan negara asal (pemberi bendera).
Nikijuluw (2008) menjelaskan bahwa pelaku praktik IUU fishing akan
mendaratkan hasil tangkapannya di suatu pelabuhan. Suatu negara pelabuhan
memiliki wewenang untuk memberikan ijin akses pelabuhan oleh suatu kapal di
wilayah yurisdiksinya. Suatu negara pelabuhan mampu membatasi dan mengatur
penggunaan pelabuhannya untuk mengatasi praktik IUU fishing. Setiap negara
memiliki otoritas penuh atas pelabuhannya.
Pemerintah atau pihak negara
pelabuhan memiliki beberapa kewajiban dalam memanfaatkan pelabuhan
perikanannya, yaitu :
1. Mencegah masuknya kapal asing ke pelabuhan terkecuali dalam situasi yang
darurat;
27
2. Melarang kapal asing mendaratkan atau melakukan transshipment hasil
tangkapan di pelabuhannya;
3. Mewajibkan kapal yang ingin berlabuh untuk menyiapkan informasi tentang
identitas dan aktivitas penangkapan ikan yang dilakukan;
4. Melakukan inspeksi kapal di pelabuhan; dan
5. Mewajibkan kapal melengkapi salinan surat ijin penangkapan ikan, uraian rinci
tentang trip, dan volume ikan yang akan didaratkan.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan dalam Pasal 41
menjelaskan bahwa pelabuhan perikanan merupakan tempat mendaratkan ikan
hasil tangkapan dari kapal penangkap ikan maupun kapal pengangkut ikan.
Indonesia dapat dikategorikan sebagai negara pelabuhan yang memiliki akses
pelabuhan perikanan. FAO (2001) menjelaskan, akses pelabuhan dapat diartikan
sebagai ijin masuknya kapal penangkap ikan asing kepelabuhan atau dermaga
lepas pantai untuk tujuan, antara lain pengisian bahan bakar, perbekalan, lintas
pelayaran dan berlabuh, tanpa mengurangi kedaulatan suatu negara pantai sesuai
dengan hukum nasionalnya dan Konvensi PBB tahun 1982 serta hukum
internasional lainnya yang relevan.
Analisis Darmawan dilakukan sebelum hadirnya dokumen PSM Ageement
(tahun 2009) yaitu pada tahun 2006. Draft Agreement on Port State Measures to
Prevent, Deter and Eliminate IUU Fishing hadir baru pada tahun 2007, sedangkan
PSM Ageement di adopsi pada tahun 2009 oleh FAO. Namun sebelumnya peran
negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing telah dimuat dalam dokumen
IPOA-IUU fishing tahun 2000. Hal yang sama terkait peran negara pelabuhan
juga pernah dijelaskan oleh Nikijuluw pada tahun 2008. Kesemuaan penjabaran
tersebut, tidak begitu mengalami perbedaan yang nyata dalam kurun waktu
pembahasannya.
Hanya saja terdapat pengembangan secara mendetail pada
beberapa poin pada peran negara pelabuhan dalam melawan IUU fishing tersebut.
Kehadiran PSM Ageement tentu sangat mendetail untuk setiap kewajiban negara
pelabuhan.
Pengesahan PSM Ageement merupakan upaya untuk melindungi kekayaan
laut dari penjarahan nelayan asing dan sekaligus melengkapi penguatan rezim
nasional (khususnya hukum laut dan perikanan).
Setiap pihak atau negara
28
anggota nantinya wajib menunjuk dan mempublikasikan pelabuhan yang
memungkinkan masuknya kapal perikanan ke pelabuhan. Daftar pelabuhan yang
ditunjuk tersebut, diserahkan kepada FAO untuk dipublikasikan.
Negara
pelabuhan adalah pelaku pemeriksaan terhadap kapal di pelabuhannya. Setelah
melakukan pemeriksaan, negara pelabuhan memiliki kuasa untuk menolak masuk
dan menolak penggunaan pelabuhan bagi kapal yang terlibat IUU fishing. Hal ini
harus diberitahukan kepada Negara Bendera (apabila perlu negara pantai, RFMO,
dan organisasi lainnya).
Negara pelabuhan harus (jika memungkinkan)
membangun mekanisme komunikasi elektronik secara langsung dengan
mempertimbangkan persyaratan kerahasiaan6.
2.5 Teknik Pengambilan Sampel
Sampel adalah suatu contoh yang merupakan himpunan bagian dari
populasi. Suatu penelitian akan memiliki keterbatasan untuk dapat menampung
semua anggota populasi, sehingga diperlukan pengambilan sampel yang dapat
mewakili populasi tersebut. Gulo (2000) menjelaskan bahwa teknik pengambilan
sampel dibagi atas dua kelompok besar yaitu probability sampling dan
nonprobability sampling.
Probability sampling (random sample) adalah
pengambilan sampel yang tidak didasarkan pada pertimbangan pribadi tetapi
tergantung kepada aplikasi kemungkinan.
Derajat keterwakilannya dapat
diperhitungkan pada peluang tertentu. Sampel yang diperoleh dapat dipergunakan
untuk melakukan generalisasi terhadap populasi. Beberapa cara yang tergolong
dalam probability sampling yaitu simple random samplimg, stratified random
sampling, cluster random sampling, dan multistage random sampling. Random
sampling memberikan peluang yang sama besar terhadap setiap anggota populasi
untuk dapat diambil sebagai sampel.
Nonprobability sampling (non-random sample) adalah suatu teknik
pengambilan sampel yang dapat dilakukan apabila tidak dibutuhkan generalisasi
dan penelitian perlu dilakukan secara cepat (Abadi, 2006).
menambahkan
bahwa
nonprobability
sampling
Eriyanto (2007)
cenderung
subjektivitas peneliti yang sesuai dengan subjektivitas peneliti.
6
menghasilkan
Pihak yang
Diskusi Pembahasan Finalisasi Penyusunan Bahan Pengesahan PSM, Op Cit, hlm 8-10.
29
diwawancarai bukan sampel yang terpilih lewat prinsip hukum probabilitas,
melainkan karena alasan-alasan subjektivitas. Teknik nonprobability sampling
(non-random sample) dibagi ke dalam beberapa metode sebagai berikut:
1. Convenience
Convenience adalah teknik penarikan sampel yang dilakukan tanpa
mekanisme tertentu (sembarang). Penarikan sampel tidak membebani berapa dan
siapa sampelnya. Kelebihan teknik ini adalah dapat dilakukan dengan waktu yang
cepat dan biaya yang murah, namun kelemahannya yaitu di sisi metodologi yaitu
berkemungkinan terjadi penumpukan disuatu titik.
sangat
berkemungkinan
untuk
bias,
karena
Sampel yang ditemukan
ada
kemungkinan
peneliti
mendapatkan respon yang sangat tidak mencerminkan karakteristik populasi. Hal
ini terjadi karena teknik ini terlalu praktis dan tanpa prosedur.
Sampel ini
sebaiknya digunakan dalam keadaan tertentu seperti:
1) keperluan penjajakan (penjaringan pendapat) yang hanya merupakan bahan
rancangan pembuatan kuisioner untuk studi lain;
2) keperluan deskripsi yang hanya untuk merumuskan pendapat masyarakat
untuk membuat suatu kesimpulan; dan
3) situasi yang tidak tersedia kerangka sampel yang memadai atau tidak ada
infomasi yang cukup mengenai populasi yang diteliti.
2. Quota (kuota)
Teknik quota adalah perbaikan dari teknik Convenience. Teknik kuota
memberikan batasan kriteria dan jumlah sampel yang akan diambil. Terdapat dua
langkah penarikan sampel kuota.
Langkah pertama, membuat kategori dan
jumlah pihak yang akan menjadi sampel yang dituangkan ke dalam matriks. Hal
inilah yang menjadi dasar pemilihan responden. Sampel kuota mirip gabungan
antara sampel stratifikasi (Stratified sampling) dan sampel sembarangan
(Convenience sampling). Peneliti membuat pengelompokan agar sesuai dengan
stratifikasi dalam populasi, namun pemilihan sampe dapat dipilih siapapun asal
sesuai dengan karakteristik yang ditentukan.
Proses penting dari sampel ini
adalah saat menentukan kategori dan jumlah orang dalam masing-masing
kategori.
Penentuan kategori ini sebisa mungkin ditunjang dengan riset
kepustakaan agar kategori yang dibuat sesuai dengan kategori populasi.
30
3. Purposive
Sampel
purposive
dilakukan
melalui
pemilihan
sampel
dengan
pertimbangan tertentu dari peneliti yang secara sengaja namun dengan alasan
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Populasi sampel dianggap
memiliki karakter yang homogen.
4. Snowball
Sampel snowball yaitu sesuai dengan definisi kata ‘snowball’ artinya
mengelinding dengan bulatan kecil dan terus-menerus hingga menjadi besar.
Dalam perkembangannya jumlah orang yag dijadikan sampel akan terus
berkembang sampai jumlah terpenuhi. Teknik sampel ini dipakai pada kondisi
survei yang sangat spesifik, tidak ada kerangka sampel, dan tidak ada informasi
yang digunakan untuk mendata populasi.
Asumsinya bahwa anggota dari
populasi saling berhubungan dan berjaringan. Penentuan beberap sampel akan
secara langsung dapat menentukan sampel berikutnya.
Download