Rezekiro Indah Ruthmia (1802113408) Universitas Riau TEORI AGENSI DAN CORPORATE GOVERNANCE Paper ini bertujuan untuk membahas teori yang digunakan dan penelitianpenelitian terdahulu yang membahas tentang proses kontrak prinsipal dan agen. Paper ini akan menjelaskan tentang teori agensi berdasarkan bahan bacaan yang telah ada. Kemudian, paper ini juga akan membahas kritik terhadap teori agensi. Terakhir, paper ini akan membahas hubungan antara teori agensi dan corporate governance. PENDAHULUAN Hubungan yang terjadi antara seorang pemilik modal dan pengelola modal telah lama diteliti oleh peneliti-peneliti akuntansi. Yang paling terkenal adalah penelitian yang dilakukan oleh Michael C. Jensen dan William H. Meckling dalam penelitian mereka yang berjudul Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs, and Ownership Structure. Penelitian ini menjadi landasan yang mendasari terbentuknya teori keagenan yang sering digunakan dalam penelitian-penelitian beraliran positivistik. Teori keagenan menghubungkan aspek perilaku manusia dalam teori ini di mana teori keagenan mengasumsikan bahwa baik pemilik modal (prinsipal) maupun pengelola (agen) adalah pihak yang rasional serta memiliki kepentingan masing-masing. Pihak yang rasional tentunya akan memaksimalkan kepentingan diri sendiri. Jika kedua belah pihak dalam hubungan tersebut adalah pemaksimal utilitas, ada alasan kuat untuk percaya bahwa agen tidak akan selalu bertindak demi kepentingan terbaik dari prinsipal (Jensen dan Meckling, 1976). Secara spesifik, Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi sebagai kontrak di mana satu atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Akibat hubungan agensi ini, maka munculnya agency problem yang dalam hal ini pihak agen akan berupaya untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri sementara mengabaikan kepentingan prinsipal padahal tujuan utama dari suatu perusahaan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemilik modal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk pengendalian untuk mengendalikan tindakan pihak agen. Jensen dan Meckling (1976) menjelaskan prinsipal dapat membatasi perbedaan dari ketertarikannya dengan menetapkan insentif yang sesuai untuk agen dan dengan menimbulkan biaya pemantauan (monitoring cost) yang dirancang untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang. Lebih lanjut, dalam beberapa situasi, prinsipal tersebut akan membayar agen untuk mengeluarkan sumber daya (biaya ikatan/bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan mengambil tindakan tertentu yang akan merugikan prinsipal atau untuk memastikan bahwa prinsipal akan diberi kompensasi jika dia melakukan tindakan tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Karena adanya kontrak antara prinsipal dan agen, muncul masalah agensi (agency problem) yang mencakup masalah agency cost dan pemantauan oleh prinsipal. Masalah agency cost dan pemantauan ada karena kontrak ini (Jensen dan Meckling, 1976). Eisenhart (1989) menjelaskan bahwa adanya kontrak antara prinsipal dan agen menimbulkan 2 (dua) masalah utama yaitu moral hazard dan adverse selection. Moral hazard mengacu kepada agen mungkin tidak melakukan tindakan yang telah disepakati; yakni agen lalai. Adverse selection mengacu pada kekeliruan kemampuan oleh agen. Agen tersebut mungkin mengklaim memiliki keterampilan atau kemampuan tertentu saat dipekerjakan dan prinsipal tidak dapat melakukan verifikasi sepenuhnya keterampilan atau kemampuan agen saat perekrutan atau saat agen bekerja. Banyaknya penelitian yang terkait dengan proses kontrak antara prinsipal dan agen mengindikasikan bahwa hal ini menjadi hal yang penting dan menarik untuk diteliti maupun dijelaskan. Oleh karena itu, paper ini bertujuan untuk membahas teori yang digunakan dan penelitian-penelitian terdahulu yang membahas tentang proses kontrak prinsipal dan agen. Paper ini akan menjelaskan tentang teori agensi berdasarkan bahan bacaan yang telah ada. Kemudian, paper ini juga akan membahas kritik terhadap teori agensi. Terakhir, paper ini akan membahas hubungan antara teori agensi dan corporate governance. Paper ini diharapkan dapat memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang hubungan kontrak antara prinsipal dan agen terutama tentang teori agensi serta pengaplikasiannya dalam dunia nyata. PEMBAHASAN : TEORI AGENSI Fondasi dari teori agensi yang berkembang hingga saat ini bermuara dari penelitian yang berjudul Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Penelitian ini dilakukan oleh Michael C. Jensen serta William H. Meckling tahun 1976. Walaupun demikian, penelitian ini secara garis besar tidak hanya membahas tentang hubungan agensi. Penelitian ini mengintegrasikan unsur-unsur dari teori agensi, teori hak kepemilikan dan teori keuangan untuk mengembangkan teori struktur kepemilikan perusahaan. Jensen dan Meckling (1976) mendefinisikan hubungan agensi sebagai kontrak di mana satu atau lebih orang (principal) melibatkan orang lain (agent) untuk melakukan beberapa layanan atas nama mereka yang melibatkan pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut. Akibat hubungan agensi ini, maka munculnya agency problem yang dalam hal ini pihak agen akan berupaya untuk memaksimalkan kepentingan dirinya sendiri sementara mengabaikan kepentingan prinsipal padahal tujuan utama dari suatu perusahaan adalah untuk memaksimalkan kesejahteraan pemilik modal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu bentuk pengendalian untuk mengendalikan tindakan pihak agen. Karena hubungan antara pemegang saham dan manajer perusahaan sesuai dengan definisi hubungan agensi murni, seharusnya tidak mengherankan jika mengetahui bahwa masalah yang terkait dengan "pemisahan kepemilikan dan pengendalian" di perusahaan modern dengan kepemilikan yang menyebar sangat erat terkait dengan masalah umum agensi (Jensen dan Meckling, 1976). Masalah untuk memengaruhi agen berperilaku seolah-olah dia memaksimalkan kesejahteraan prinsipal itu cukup umum. Masalah ini ada di semua jenis organisasi maupun perusahaan terutama yang memisahkan antara kepemilikan dan pengendalian. Menurut Messier et al. (2017:6), hubungan antara pemilik dan manajer umumnya menciptakan asimetri informasi antara kedua belah pihak. Asimetri informasi bermakna bahwa manajer umumnya memiliki informasi yang lebih banyak tentang posisi keuangan dan hasil operasi yang sebenarnya dari entitas daripada pemilik. Kemudian, Messier et al. (2017:6) menjelaskan karena ada tujuan yang berbeda, terdapat konflik kepentingan (conflict of interest) yang alami muncul antara manajer dan pemilik. Jika kedua pihak berusaha memaksimalkan kepentingan pribadi, manajer tidak akan selalu bertindak demi kepentingan pemilik. Atas kedua masalah ini, Messier et al. (2017:6) menjelaskan bahwa manajer mungkin menyetujui beberapa jenis ketentuan pemantauan dalam kontrak kerjanya, memberikan kepastian kepada pemilik bahwa dia tidak akan menyalahgunakan sumber daya. Bentuk kepastian yang di maksud di atas adalah melalui audit. Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa prinsipal dapat mengendalikan perilaku agen dengan menetapkan insentif yang sesuai untuk agen dan mengeluarkan biaya pemantauan (monitoring cost) yang dirancang untuk membatasi aktivitas agen yang menyimpang. Pertama, pemberian insentif berupa kompensasi bertujuan untuk memotivasi manajer sehingga manajer akan termotivasi untuk meningkatkan kinerja perusahaan sehingga manajer tersebut dapat memperoleh insentif berupa tambahan penghasilan meskipun pada dasarnya manajer bisa saja melakukan penyimpangan yang dikenal dengan bonus plan hypothesis yang dikemukakan oleh Watts and Zimmerman (1986). Akan tetapi, ketika manajer tidak mampu mencapai target yang sebelumnya telah ditetapkan, maka manajer akan menerima hukuman atau sanksi. Di sini, berlaku reward and punishment bagi manajer. Kedua, Pemantauan berarti adanya kontrol prinsipal terhadap agen. Audit yang telah disebutkan sebelumnya adalah salah satu bentuk pemantauan. Selain audit, bentuk pemantauan yang paling umum saat ini yang ditujukan untuk mengurangi konflik keagenan adalah corporate governance atau tata kelola perusahaan yang akan dijelaskan pada bagian tersendiri. Berbagai upaya tersebut dilakukan untuk meminimalkan konflik kepentingan yang muncul akibat hubungan agensi. Perlu diingat, esensi utama yang menyebabkan muncul masalah keagenan adalah karena egoisme tiap individu, dalam hal ini prinsipal dan agen. KRITIK TERHADAP TEORI AGENSI Kritik terhadap teori agensi diajukan oleh Donaldson dan Davis dengan teori penandingan yakni teori stewardship. Teori ini menggambarkan situasi dimana para manajer tidaklah termotivasi oleh tujuan-tujuan individu tetapi lebih tertuju pada tujuan-tujuan organisasi demi kepentingan organisasi. Teori Stewardship didefinisikan sebagai situasi dimana manajer tidak mempunyai kepentingan pribadi tapi lebih mementingkan keinginan prinsipal (Raharjo, 2007). Teori tersebut mengasumsikan bahwa adanya hubungan yang kuat antara kesuksesan organisasi dan kepuasan prinsipal (Davis et al., 1997). Kesuksesan organisasi menggambarkan maksimalisasi utilitas kelompok prinsipal dan manajemen. Maksimalisasi utilitas kelompok ini pada akhirnya akan memaksimumkan kepentingan individu yang ada dalam kelompok organisasi tersebut. Donaldson dan Davis (1991) berpendapat manajer eksekutif, dalam teori ini, yang jauh dari ketidakpedulian oportunis, pada intinya ingin melakukan pekerjaan dengan baik, menjadi pelayan aset perusahaan yang baik. Dengan demikian, teori stewardship berpendapat bahwa tidak ada masalah umum dari motivasi eksekutif. Podrug et al. (2010) menjelaskan teori Stewardship menolak asumsi teori agensi dan mengandaikan konteks di mana para manajer menganggap bahwa menyenangkan pemegang saham juga untuk kepentingan pribadi mereka. Pemisahan kepemilikan dan kendali perusahaan tidak secara otomatis mengarah pada konflik tujuan dan kepentingan antara pemilik dan pengelola. Teori Stewardship mempunyai akar psikologi dan sosiologi yang didesain untuk menjelaskan situasi dimana manajer sebagai steward dan bertindak sesuai kepentingan pemilik (Donaldson & Davis, 1989; 1991 dalam Raharjo, 2007). Ketika kepentingan steward dan pemilik tidak sama, steward akan berusaha bekerja sama daripada menentangnya, karena steward merasa kepentingan bersama dan berperilaku sesuai dengan perilaku pemilik merupakan pertimbangan yang rasional karena steward lebih melihat pada usaha untuk mencapai tujuan organisasi (Davis et al., 1997). Davis et al. (1997) menjelaskan teori stewardship mengasumsikan hubungan yang kiat antara kesuksesan organisasi dengan kepuasan pemilik. Steward akan melindungi dan memaksimalkan kekayaan organisasi dengan kinerja perusahaan, sehingga dengan demikian fungsi utilitas akan maksimal. Asumsi penting dari stewardship adalah manajer meluruskan tujuan sesuai dengan tujuan pemilik. Namun demikian tidak berarti steward tidak mempunyai kebutuhan hidup. Menurut Donaldson dan Davis (1993) dalam Podrug et al. (2010) perbedaan mendasar antara teori agensi dan stewardship adalah dalam model perilaku manusia: model sosio-psikologis perilaku manusia untuk teori stewardship dan model ekonomi perilaku manusia untuk teori agensi. Teori agensi memandang setiap manajer sebagai individualistik, oportunistik dan melayani diri sendiri, sementara teori stewardship memandang manajer sebagai kolektivis, pro-organisasi serta dapat dipercaya (Davis et al., 1997) Raharjo (2007) menjelaskan prinsipal juga memilih menciptakan suatu hubungan agensi atau stewardship, tergantung pada persepsi tentang situasi dan manajernya. Apabila baik manajer atau prinsipal merasa bahwa pihak yang lain akan berperilaku secara aktivitas (bertahan), maka keuntungan terbaik darinya berperilaku sebagai agensi, dan organisasi menerima kembalian yang cukup optimal atas investasinya. Namun, jika kedua pihak memilih mengembangkan hubungan stewardship, organisasi merealisasikan imbalan maksimum. Meskipun demikian, karena teori stewardship relatif baru, kontribusi teoritisnya belum cukup mapan (Davis et al., 1997; Raharjo, 2007). Dengan demikian, diperlukan penelitian dan riset yang lebih lanjut dalam teori stewardship sehingga teori ini dapat berkontribusi dalam menjelaskan hubungan antara prinsipal dan agen. TEORI AGENSI DAN CORPORATE GOVERNANCE Pada tahun 1992, The Financial Aspects of Corporate Governance atau yang lebih dikenal dengan nama Cadburry Report diterbitkan dan berisi sejumlah rekomendasi untuk meningkatkan praktik tata kelola perusahaan. Laporan ini menjadi landasan terbentuknya praktik corporate governance. Banyaknya skandalskandal penipuan yang terjadi di tahun 1990-an dan melibatkan perusahaanperusahaan besar seperti Enron, Worldcom meruntuhkan kepercayaan para pemilik modal. Corporate governance kemudian menjadi salah satu cara untuk memulihkan kepercayaan pemilik modal. Cadbury Report (1992) mendefinisikan corporate governance sebagai sistem dimana perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Dewan direksi bertanggung jawab atas tata kelola perusahaan mereka. Peran pemegang saham dalam tata kelola adalah menunjuk direktur dan auditor dan untuk memuaskan diri mereka bahwa ada struktur tata kelola yang tepat. Tanggung jawab dewan direksi termasuk menetapkan tujuan strategis perusahaan, memberikan kepemimpinan untuk menerapkannya, mengawasi pengelolaan bisnis dan melaporkan kepada pemegang saham atas penatalayanan mereka. Tindakan dewan tunduk pada peraturan perundang-undangan, peraturan dan pemegang saham pada rapat umum. Menurut Rankin et al. (2012:188) corporate governance dalam hal yang sangat sederhana adalah sistem di mana bisnis perusahaan diarahkan dan dikendalikan. Lebih lanjut, “definisi tata kelola perusahaan yang digunakan oleh organisasi untuk ekonomi pembangunan dan kerja sama (OECD) menjelaskannya sebagai: “Prosedur dan proses menurut di mana organisasi diarahkan dan dikendalikan. Struktur tata kelola perusahaan menentukan pembagian hak dan tanggung jawab di antara para peserta yang berbeda dalam organisasiseperti direksi, manajer, pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya - dan menetapkan aturan dan prosedur untuk pengambilan keputusan. Dengan melakukan ini, juga menyediakan struktur melalui mana tujuan perusahaan ditetapkan, dan cara mencapai tujuan tersebut dan memantau kinerja.” Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI) dalam Randy (2013) mendefinisikan corporate governance sebagai seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antar pemegang saham, pengurus (pengelola) perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan, serta pula pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban mereka atau dengan kata lain suatu sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan. Hubungan antara teori agensi dan corporate governance tergambar jelas dalam kasus enron, terutama pada ketidakseimbangan informasi yang dimiliki oleh prinsipal dan agen. Keruntuhan perusahaan enron disebabkan adanya window dressing yang dilakukan oleh manajemen untuk menyembunyikan fakta dari kondisi perusahaan yang sebenarnya. Window dressing ini adalah salah satu akibat dari asimetri informasi. Window dressing yang dilakukan oleh pihak manajemen membuat seolah-olah kondisi keuangan perusahaan sangat bagus padahal kenyataannya perusahaan merugi besar. Belum lagi, pihak auditor sebagai penjamin kewajaran laporan keuangan turut berperan dalam menutupi tindakan ini. Akibatnya, kerugian yang semakin besar yang pada akhirnya membuat Enron bangkrut. Teori agensi menjelaskan perbedaan informasi yang dimiliki antara prinsipal dan agen menciptakan kondisi yang tidak seimbang yang dinamakan asimetri informasi. Dalam kasus enron, karena manajemen memiliki informasi yang lebih banyak tentang kondisi perusahaan, maka manajemen dapat menggunakan informasi tersebut demi kepentingannya. Akibatnya, kondisinya sebenarnya perusahaan tidak terungkap kepada publik maupun investor. Sejak keruntuhan enron ini, kemudian diterbitkanlah undang-undang Sarbanes Oxley yang berisi peraturan tentang tranparansi dan pengungkapan perusahaan-perusahaan publik di Amerika. Corporate governance kemudian mutlak perlu ada dalam setiap perusahaan. Tujuannya adalah untuk mengurangi perilaku-perilaku yang dapat merugikan pihak prinsipal seperti yang dijelaskan dalam teori agensi. Seperti yang telah dijelaskan di atas, corporate governance adalah seperangkat mekanisme yang dapat mengatur hubungan antara banyak pihak yang terlibat dalam perusahaan. Corporate govenance ini kemudian dapat melindungi kepentingan pihak prinsipal yang sering dirugikan akibat tindakan menyimpang agen. La Porta et al. (2000) menjelaskan corporate govenance pada umumnya, merupakan seperangkat mekanisme di mana investor dari luar melindungi diri mereka dari pengambilalihan oleh orang dalam. Pengambilalihan bisa muncul dalam berbagai bentuk. Di beberapa negara, orang dalam hanya mencuri laba. Di negara lain, orang dalam menjual output atau aset perusahaan yang mereka kendalikan tapi yang dibiayai investor dari luar, ke entitas lain yang mereka miliki di bawah harga pasar. Pengalihan dan pelepasan aset semacam itu, meski seringkali legal, sebagian besar memiliki efek yang sama dengan pencurian. Secara umum, pengambilalihan berkaitan dengan masalah agensi yang dijelaskan oleh Jensen dan Meckling (1976), yang berfokus pada konsumsi "perquisites" oleh manajer dari laba perusahaan. Artinya orang dalam memanfaatkan laba perusahaan untuk menguntungkan dirinya sendiri daripada mengembalikan uang tersebut kepada investor luar (La Porta et al., 2000). Dengan demikian, adanya corporate governance diharapkan dapat semakin mengurangi dan menyelaraskan perbedaan kepentingan antara prinsipal dan agen yang mana seringkali tidak memiliki satu pandangan yang sama. Hal ini telah dijelaskan dengan baik oleh teori agensi yang mengasumsikan bahwa setiap manusia atau pribadi adalah pemaksimum kepentingan. Egoisme setiap manusia memainkan peranan penting dalam hal ini. Oleh karena itu, corporate governance dapat menjadi salah satu mekanisme yang mengurangi masalah agensi ini. Corporate governance dapat memonitor kontrak yang telah ada antara prinsipal dan agen. Ketika ditemukan pelanggaran kontrak oleh baik oleh agen, maka akan ada sanksi yang diberikan oleh prinsipal sebagai pihak yang mendelegasikan wewenang kepada agen. DAFTAR PUSTAKA Cadbury, A. (1992). Report of the Committee on the Financial Aspects of Corporate Governance. London: Gee & Co. Ltd Davis, J. H., Schoorman, F. D., & Donaldson, L. (1997). Toward a Stewardship Theory of Management. Academy of Management Review, 22(1), 20-47. Donaldson, L., & Davis, J. H. (1991). Stewardship Theory or Agency Theory: CEO Governance and Shareholder Returns. Australian Journal of Management, 16(1), 49-65. Eisenhardt, K. M. (1989). Agency Theory: An Assessment and Review. Academy of Management Review, 14(1), 57-74. Fama, E. F. (1980) Agency Problems and the Theory of the Firm. Journal of Political Economy, 88, 288-307. Fama, E. F., & Jensen, M. C. (1983). Separation of Ownership and Control. Journal of Law and Economics, 26(2), 301-325. Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976). Theory of the Firm: Managerial Behavior, Agency Costs and Ownership Structure. Journal of Financial Economics, 3(4), 305-360. La Porta, R., Lopez-de-Silanes, F., Shleifer, A., & Vishny, R. (2000). Investor Protection and Corporate Governance. Journal of financial economics, 58(1), 327. Messier, W. F., Glover, S. M., & Prawitt, D. F. (2017). Auditing & Assurance Services: A Systematic Approach (10th ed). United States of America, New York: McGraw-Hill Education. Podrug, N., Filipovic, D., & Milic, S. (2010). Critical Overview of Agency Theory. Retrieved From http://www.freepatentsonline.com/article/Annals-DAAAMProceedings/246014179.html Raharjo, E. (2007). Teori Agensi dan Teori Stewarship dalam Perspektif Akuntansi. Fokus Ekonomi, 2(1), 37-46. Randy, V. (2013). Pengaruh Penerapan Good Corporate Governance terhadap Nilai Perusahaan 2007-2011. Business Accounting Review, 1(2), 306-318. Rankin, M., Stanton, P. A., McGowan, S. C., Ferlauto, K., & Tilling, M. (2012). Contemporary issues in accounting. Milton, Australia: Wiley. Susilawati, R. A. E. (2007) Pengaruh Kepemilikan Manajerial dan Kepemilikan Institusional terhadap Kebijakan Hutang Perusahaan: Sebuah Perspektif Agency Theory. Modernisasi 3(2), 86-102. Watts, R, L., & Zimmerman, J, L. (1986). Positive Accounting Theory. United States of America, New York: Prentice Hall.