Uploaded by User124705

255-614-1-SM

advertisement
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
HUMANITARIAN INTERVENTION MENURUT HUKUM
INTERNASIONAL DAN IMPLIKASINYA DALAM
KONFLIK BERSENJATA
Teguh Imam Sationo
Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram
Ndalem Mangkubumen KT III/237 Yogyakarta 55132, Indonesia
[email protected]
Abstract
Humanitarian intervention is an attempt to prevent or stop the gross human rights violations with
particular strengths (diplomatic and military) in a State, either with or without the consent of the State
(countries with internal conflict). The problems in this journal are: first, how the arrangement of
international law on humanitarian intervention. Secondly, the role of the UN in humanitarian
intervention in armed conflicts. The method used is a normative legal research methods with the main
source of data collectionprocedures is a legal substance that contains of normative law. The results
showed that the rules of international law on humanitarian intervention by the United Nations
stipulated in the UN Charter and general principles of international law. Humanitarian intervention
legally justified by following provisions in applicable international law, namely Articles 39-51 of UN
Charter. While the role of the UN in humanitarian intervention in armed conflicts carried out by the
Security Council as the organ of the United Nations in maintaining peace with the decision issued in
the form of a resolution for areas experiencing conflict. Therefore, it takes an internationaltreaty that
regulates clearly about humanitarian intervention, so that inpractice, remain consistent with the
objectives and executive organs of humanitarian intervention.
Keywords: Humanitarian Intervention, Security Council of UN, Armed Conflict
Abstrak
Intervensi kemanusiaan merupakan upaya untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM
berat dengan kekuatan tertentu (diplomatic and military) di suatu negara, baik dengan atau tanpa
persetujuan dari negara (countries with internal conflict). Masalah dalam jurnal ini adalah: pertama,
bagaimana pengaturan hukum internasional tentang intervensi kemanusiaan. Kedua, bagaimana peran
PBB dalam intervensi kemanusiaan dalam konflik bersenjata. Metode penelitian yang digunakan adalah
metode penelitian hukum normatif dengan sumber utama prosedur pengumpulan data adalah bahan
hukum yang berisi aturan-aturan hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peraturan
hukum internasional tentang intervensi kemanusiaan yang dilakukan oleh PBB diatur dalam Piagam
PBB dan prinsip-prinsip umum hukum internasional. Intervensi kemanusiaan secara hukum
dibenarkan dengan ketentuan berikut ketentuan yang diatur dalam hukum internasional yang berlaku,
yaitu Piagam PBB Pasal 39-51. Sedangkan peran PBB dalam intervensi kemanusiaan dalam konflik
bersenjata dilakukan oleh Dewan Keamanan sebagai organ PBB di menjaga perdamaian dengan
mengeluarkan keputusan dalam bentuk resolusi untuk daerah-daerah yang mengalami konflik. Oleh
karena itu, yang diperlukan suatu perjanjian internasional yang mengatur dengan jelas tentang
intervensi kemanusiaan, sehingga dalam pelaksanaannya, tetap konsisten dengan tujuan dan organ
eksekutif intervensi kemanusiaan.
Kata Kunci: Intervensi kemanusiaan, Dewan Keamanan PBB, Konflik Bersenjata
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
A. Pendahuluan
Negara dalam hukum internasional dianggap sebagai subjek hukum utama.1
Dalam suatu hubungan antar subjek hukum internasional khususnya negara, sering
terjadi pertentangan yang diakibatkan oleh perbedaan kepentingan. Dan tidak
selamanya pertentangan tersebut dapat diselesaikan melalui penyelesaian damai.
Pertentangan kepentingan inilah yang sering disebut dengan konflik. Konflik antar
negara ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, seperti politik, ekonomi, ideologi,
strategi militer, ataupun perpaduan antara kepentingan-kepentingan tersebut.2
Konflik dapat berupa konflik yang bersifat eksternal, yaitu yang terjadi antara negara
dengan negara ataupun dapat berupa konflik yang bersifat internal yakni yang terjadi
dalam suatu negara.
Penyelesaian konflik dapat digolongkan dalam dua kategori. Pertama, cara-cara
penyelesaian damai, yaitu apabila para pihak dapat menyepakati untuk menemukan
suatu solusi yang bersahabat. Kedua, cara-cara penyelesaian secara paksa atau dengan
kekerasan, yaitu apabila solusi yang dipakai atau dikenakan adalah melalui kekerasan.3
Apabila negara-negara tidak dapat mencapai penyelesaian sengketa secara damai,
satu-satunya pemecahan yang mungkin adalah melalui cara-cara kekerasan. Prinsipprinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan adalah perang dan tindakan
bersenjata non perang, retorsi (retortion), tindakan-tindakan pembalasan (reprisals),
blokade secara damai (pacific blockade), intervensi (intervention).4
Perang yang kemudian dikenal dengan istilah konflik bersenjata dalam
perkembangannya bukan hanya antara negara dengan negara atau yang biasa dikenal
dengan konflik bersenjata internasional, tetapi juga terjadi di dalam negara sendiri
atau yang biasa dikenal dengan konflik non internasional.5 Melihat dalam konflik
bersenjata sering disertai dengan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan
1
J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional I, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 12.
Sri Setianingsih Suwardi, 2006, Penyelesaian Sengketa Internasional, Penerbit
Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 1.
3
J.G. Starke, 1989, Pengantar Hukum Internasional II, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 646.
4
Ibid.
5
Konflik bersenjata dibedakan menjadi dua, yaitu konflik bersenjata internasional dan
konflik bersenjata non internasional, Arlina permanasari dk, 1999, Pengantar Hukum Humaniter,
Miamita Print ICRC, Jakarta, hlm. 129-139.
2
PRANATA
HUKUM
66
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
kejahatan perang maka Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB Koffi Anan pada tahun 1998
mendesak agar masyarakat internasional menyepakati untuk melakukan intervensi
terhadap negara (yang berkonflik) untuk menghentikan pelanggaran-pelanggaran
berat terhadap HAM. Kesepakatan tersebut dibuat atas dasar prinsip-prinsip yang sah
dan universal serta dalam kerangka hukum internasional untuk melindungi orangorang sipil dari pelanggaran besar-besaran HAM.6
Istilah intervensi mempunyai batasan sebagai suatu kegiatan yang dilakukan
oleh suatu negara, kelompok dalam suatu negara, atau suatu organisasi internasional
yang mencampuri secara paksa urusan dalam negeri negara lain.
Intervensi adalah campur tangan dari suatu negara terhadap masalah dalam
negeri negara lain dengan tujuan untuk memelihara atau mengubah situasi yang ada.
Salah satu bentuk intervensi dalam konflik bersenjata yang terjadi adalah konflik
bersenjata yang terjadi di Rwanda dan Bosnia Herzegovina (bekas negara Yugoslavia).
Sebagaimana diketahui di kedua negara tersebut telah terjadi konflik etnis. Pada
awalnya konflik yang terjadi di kedua negara tersebut merupakan konflik bersenjata
non internasional yang kemudian berubah menjadi konflik internasional karena
adanya pihak-pihak negara lain yang ikut serta dalam kedua konflik tersebut.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, untuk mengetahui dan memahami
terhadap intervensi kemanusiaan yang berkembang saat ini, dikaji dan dianalisis
secara mendalam agar dapat memberikan kejelasan pengaturan intervensi
kemanusiaan dalam masyarakat internasional, untuk itu penulis ingin menyusun jurnal
yang berjudul “Intervensi Kemanusiaan Menurut Hukum Internasional dan
Implikasinya”. Rumusan masalah dalam artikel ini yaitu, bagaimana pengaturan
intervensi kemanusiaan dalam hukum dan bagaimana peran PBB dan ICRC dalam
melaksanakan intervensi kemanusiaan pada konflik bersenjata.
6
Basic Facts About the United Nations, 1998, New York, hlm. 72 sebagaimana dikutip dari
Boer Mauna, 2011, Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika
Global, Alumni, Bandung, hlm. 647.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
B. Metode Penelitian
Metode Penelitian yang digunakan adalah metode penelitian hukum normatif
dengan prosedur pengumpulan data yang sumber utamanya adalah bahan hukum
yang berisi aturan-aturan yang bersifat hukum normatif. Data yang diperoleh dan
diolah dalam penelitian hukum normatif adalah data sekunder yang berasal dari
sumber kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan dengan cara mempelajari literatur,
artikel, serta bahan bacaan lainnya yang berkaitan dengan penulisan artikel ini
dilakukan melalui penelusuran kepustakaan ke perpustakaan Universitas Sebelas
Maret Surakarta, Perpustakaan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, dan
situs-situs internet yang berhubungan dengan penelitian ini
C. Pembahasan
1. Pengaturan Intervensi Kemanusiaan menurut Hukum Internasional
Intervensi (intervention) merupakan suatu tindakan yang dilakukan secara sengaja
oleh suatu negara, sekelompok negara, ataupun agen internasional terhadap kebijakan
atau praktek dari negara atau sekelompok negara lain di mana negara atau
sekelompok negara yang dikenai tindakan tersebut tidak menyetujuinya.7 Intervensi
juga dapat diartikan sebagai bentuk campur tangan diktatorial terhadap urusan dalam
negeri suatu negara, yang mencakup penggunaan ancaman kekerasan atau pelemahan
ekonomi secara substansial.8
Beberapa analis menggunakan terminologi forcible atau pemaksaan, yang
memiliki dua skala pengukuran. Skala rendah intervensi bisa diartikan sebagai
tindakan mempengaruhi kebijakan domestik suatu negara, sedangkan skala tinggi
adalah dengan melakukan tindakan koersif yang bisa berupa upaya-upaya militer.9
Walaupun demikian, intervensi tetap menjadi salah satu elemen dalam hubungan
internasional dewasa ini, meskipun jelas sangat bertentangan dengan norma hukum
dan moral.
7
Coady, C.A.J. 2002. The ethics of armed humanitarian intervention. Washington: United
States Institute of Peace. http://www.usip.org/sites/default/files/resources/pwks45.pdf. (Diakses
pada 8 Desember 2017).
8
Donnelly, J. 1983. Human Rights, Humanitarian Intervention, and American Foreign
Policy. New York: Columbia University. p. 311.
9
Nye, J. S. 2009. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and
History. New York: Pearson and Longman.p.166-167.
PRANATA
HUKUM
68
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
Sementara, istilah humanitarian merupakan istilah yang pada saat ini lazim
digunakan untuk menunjukkan intervensi yang ditujukan untuk menyelamatkan
warga negara asing dari bahaya yang sedang dilakukan, atau akan dilakukan, terhadap
mereka oleh otoritas negara yang seharusnya melindungi mereka. Berdasarkan definisi
tersebut, humanitarian intervention merujuk kepada suatu keadaan di mana suatu
negara atau gabungan dari beberapa negara mengerahkan kekuatan militernya untuk
membantu mengatasi pelanggaran hak asasi manusia berat yang terjadi di wilayah
negara lain.
2. Pro Kontra Intervensi Kemanusiaan
Masalah intervensi kemanusiaan muncul dalam kasus-kasus di mana
pemerintah sebuah negara sudah menggunakan kekuatan senjata terhadap rakyatnya
sendiri, atau di mana sebuah negara telah kolaps dan hukum tidak berlaku lagi.10
Pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia dewasa ini sudah berkembang menjadi
masalah internasional, tetapi apakah legitimasi menggunakan kekuatan senjata untuk
mencegah pelanggaran itu terjadi dibenarkan atau tidak, itu yang menjadi
permasalahan. R.J. Vincent mengatakan apabila sebuah negara secara sistematis dan
masif melanggar hak asasi manusia, masyarakat internasional mempunyai tugas untuk
melakukan intervensi kemanusiaan.11
Kritik yang mempertanyakan tentang pelanggaran kedaulatan Libya dengan
melakukan serangan dapat ditepis melalui pernyataan Koffi Annan: “… if humanitarian
intervention is, indeed, an unacceptable assault on sovereignty, how should we respond to a Rwanda,
to a Srebrenica – to gross and systematic violations of human rights that offend every precept of our
common humanity? .12 Pernyataan tersebut dapat dipahami bahwa kemanusiaan
merupakan prioritas utama yang seharusnya melandasi setiap operasi intervensi. Jika
10
Wheeler, N. J. 2000. Saving Strangers: Humanitarian Intervention in International
Society. New York, Oxford University Press. p. 27.
11
Vincent, R. J. 1986. Human Rights and International Relations. Cambridge: Cambridge
University Press.p.127.
12
Guraizu, R. 2008. Is humanitarian military intervention in the affairs of another state
ever justified? London: Middlesex University School of Health and Social Sciences. p.7. in
http://archive.atlanticommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/Is%20humanitarian%20military%
20intervention%20ever%20justified.pdf> diakses 8 Desember 2018
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
tragedi kemanusiaan terjadi di suatu negara, maka sudah merupakan tanggung jawab
dunia internasional untuk bergerak menghentikan kejadian tersebut.
Ini sejalan dengan prinsip Responsibility to Protect yang menyatakan bahwa “State
sovereignty implies responsibility, and the primary responsibility for the protection of its people lies
with the state itself, but, where a population is suffering serious harm, as a result of internal war,
insurgency, repression or state failure, and the state in question is unwilling or unable to halt or avert
it, the principle of non-intervention yields to the international responsibility to protect.” Kedaulatan
suatu negara berarti tanggung jawab untuk melindungi warganya dari kekerasan
terhadap kemanusiaan. Apabila negara gagal memerankan tanggung jawab tersebut
maka komunitas internasional-lah yang mengambil alih tanggung jawab tersebut.
Pada saat tersebut, masalah kedaulatan negara bersangkutan dapat ditangguhkan
sementara.
Di sisi lain, Hedley Bull menekankan pada bahaya yang ditimbulkan praktek
tersebut pada ketertiban masyarakat dunia. Ia mengatakan bahwa negara-negara tidak
memiliki hak untuk melakukan intervensi kemanusiaan karena ketidakinginan mereka
untuk mengancam aturan kedaulatan negara lain dan prinsip non-intervensi, serta
tidak mengakui hak untuk melakukan intervensi terhadap sebuah negara, oleh suatu
negara.13 Pandangan ini diperkuat oleh konsep keamanan kolektif (collective security), di
mana kumpulan negara-negara anggota (kolektif) berjanji untuk tidak menggunakan
kekuatan senjata terhadap sesama anggotanya, kecuali jika salah satu anggota
menyerang anggota lainnya terlebih dulu. Akan tetapi, konsep ini hanya berlaku pada
negara-negara yang tergabung dalam aliansi, seperti dalam non-blok contohnya.
NATO tidak dikategorikan masuk dalam keamanan kolektif karena dibuat sebagai
tandingan Pakta Warsawa, alias ancamannya datang dari luar kolektif.14 Masalahnya,
ketika NATO praktis tidak ada organisasi tandingan yang mampu menandinginya
lagi, bolehkah sekarang ia menggunakan prinsip intervensi kemanusiaan pada
siapapun yang dianggapnya berpotensi menentangnya.
Pada abad ke-19 pun, seorang John Stuart Mill bahwa kewajiban moral
tertinggi dari masyarakat dunia adalah untuk menghormati hak untuk menentukan
13
Bull, H. ed. 1984. Intervention in World Politics. Oxford, Oxford University Press.p.193
Barash, D. P. dan Webel, C. P. 2009. Peace and Conflict Studies. California: Sage
Publications.p.323.
14
PRANATA
HUKUM
70
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
nasib sendiri. Komunitas politik harus menghargai prinsip self-government dari
sebuah negara, karena dengan cara inilah mereka menyadari nilai-nilai kebebasan dan
kebajikan. Pihak luar tidak boleh mengintervensi proses ini, karena menurut Mill
melalui perjuangan yang sulit untuk merdeka dari sebuah negara, berdasarkan usaha
mereka sendiri, maka nilai-nilai kebajikan tersebut akan muncul.15
Nicholas Wheeler mengatakan bahwa ada empat syarat di mana sebuah
intervensi dianggap memiliki kualifikasi sebagai sebuah intervensi kemanusiaan.
Pertama, harus karena adanya darurat kemanusiaan yang tinggi sifatnya. Kedua,
penggunaan kekuatan senjata harus menjadi pilihan terakhir. Ketiga, harus memenuhi
syarat proporsionalitas, dan keempat harus ada probabilitas tinggi yang menyatakan
bahwa penggunaan kekuatan senjata akan memperoleh hasil kemanusiaan yang positif
.16
Prinsip ius ad bellum (hukum tentang keabsahan perang) harus diperhatikan
juga di sini, karena prinsip ini menentukan sebuah perang dapat diterima atau tidak.
Beberapa kriterianya adalah, pilihan terakhir; mempunyai kewenangan yang sah;
tujuan yang benar dan just cause; kemungkinan keberhasilan besar; bertujuan akhir
untuk perdamaian. Saat ini, dalam masyarakat internasional ius ad bellum telah
berubah menjadi ius contra bellum (hukum yang melarang perang). Sebagaimana
ditegaskan dalam Piagam PBB, setiap negara dilarang melakukan tindakan keras,
kecuali sebagai pertahanan sendiri atau pertahanan bersama, tindakan penegakan dari
Dewan Keamanan PBB, atau dalam rangka menegakkan hak rakyat untuk
menentukan nasibnya (self-determination). Serupa halnya dengan hukum internasional,
semua hukum nasional juga melarang warganya menggunakan tindakan keras
terhadap pemerintah atau badan-badan penegak lainnya.17
Dalam praktiknya, belum ada satu kasus intervensi sekalipun sejak tahun 1945
yang memenuhi semua syarat-syarat ini, dan juga sangat tidak masuk akal untuk
berpikir bahwa kasus-kasus intervensi di masa depan akan mampu memenuhi secara
sempurna empat kriteria di atas. Seharusnya, masyarakat internasional melakukan
15
Welsh, J. M, (ed.). 2004. Humanitarian Intervention and International Relations. Oxford:
Oxford University Press.p.60.
16
loc,cit, Wheeler, N. J. P.33-34
17
Ambarwati, Ramdhany, D. dan Rusman R. 2009. Hukum Humaniter Internasional
Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Rajawali Press. Hlm. 48-49
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
segala daya upaya, baik secara individu maupun kolektif, untuk mempengaruhi dan
membujuk para pemimpin negara untuk hidup dalam etika solidaritas yang
bertanggung jawab. Beberapa kasus intervensi yang sempat terjadi di Afrika pun,
seperti di Somalia, Rwanda, dan Sierra Leone menghadapi hambatan struktural
terhadap intractable conflict yang terjadi di sana. Daniel Bar-Tal banyak membahas isuisu terkait intractable conflict ini, terutama kasus Palestina dan Israel.18 Selain itu, faktor
utama kegagalan memang karena kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam
pemahaman tentang konsepsi intervensi kemanusiaan itu sendiri.
Dalam Piagam PBB, larangan menyerang terhadap sebuah negara adalah
sebuah prinsip yang sangat fundamental, dan tindakan bela diri terhadap serangan
bersenjata adalah satu-satunya justifikasi yang paling jelas terhadap negara-negara
yang menggunakan paksaan. Pasal 2 ayat 7 menjadi jaminan bahwa tidak ada upayaupaya mencampuri urusan dalam negeri sebuah negara. Seperti yang telah disebutkan,
memang tahun sejak 1945 cukup banyak terjadi intervensi militer, yang terjadi dalam
keadaan-keadaan tertentu, akan tetapi PBB secara rutin selalu mengutuk tindakan
tersebut.19
Negara yang berdaulat dapat mengadakan hubungan dengan anggota
masyarakat internasional lainnya, maupun mengatur segala sesuatu yang ada atau
terjadi di luar wilayah negara itu tetapi sepanjang ada kaitannya dengan kepentingan
negara itu. Hal ini di dasari oleh Piagam PBB Pasal 2 ayat (1) yang menerangkan
bahwa hubungan antar negara berdasarkan persamaan derajat dan bebas.
Hubungan internasional menurut Pasal 2 ayat (4) bahwa negara dalam
elakukan hubungan internasional tidak boleh menggunakan kekerasan terhadap
integritas wilayah atau kemerdekaan politik negara lain. Kemudian Pasal 2 ayat (7)
Piagam PBB menyatakan bahwa setiap negara dalam melakukan hubungan
internasional dilarang untuk melakukan suatu intervensi kedalam urusan domestik
negara lainnya, begitu pula dengan PBB dilarang untuk ikut campur dalam urusan
domestik negara lain dan mewajibkan negara-negara yang berkonflik untuk
menyelesaikan urusannya menurut ketentuan Piagam PBB. Hal ini berkaitan dengan
18
Bar-Tal, D. 1998. “Societal beliefs in times of intractable conflict: the israeli case”.
International Journal of Conflict Management, 9(1).
19
Roberts, A. 1993. Humanitarian war: military intervention and human rights. International
Affairs, 69(3).p.431
PRANATA
HUKUM
72
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
adanya prinsip non intervensi sebagai salah satu pondasi dasar dalam hukum
internasional.20
Prinsip non intervensi yang berkembang saat ini membuat kedaulatan negara
saat ini tidak hanya dilihat sebagai hak negara, tetapi erat kaitannya dengan kewajiban
negara untuk melakukan perlindungan hak asasi manusia.
Karena tujuan dibentuknya sebuah negara adalah untuk melindungi setiap
manusia baik warga negaranya maupun warga negara asing dari terjadinya
pelanggaran hak asasinya. Hanya saja seringkali dalam penerapannya, negara yang
bersangkutan menyalahgunakan hak dan kewenangan yang dimiliki, bahkan sampai
mengenyampingkan
nilai-nilai
kemanusiaan,
yang
kemudian
mengakibatkan
kesengsaraan kepada rakyatnya. Oleh karena itu, dalam keadaan banyaknya
pelanggaran berat HAM yang terjadi, pihak asing dapat masuk sebagai pihak ketiga
untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi dan mengembalikan kondisi negara
tersebut kepada keadaan semula, salah satunya dengan cara intervensi.
Humanitarian intervention atau Intervensi kemanusiaan secara umum adalah upaya
untuk mencegah atau menghentikan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat
dengan kekuatan-kekuatan tertentu (diplomatik dan militer) di suatu negara, baik
dengan atau tanpa persetujuan negara itu (negara mengalami konflik internal). Ketika
terjadi suatu masalah kemanusiaan di suatu negara yang bersifat pelanggaran hak asasi
manusia yang berat, maka masyarakat internasional dibenarkan untuk melakukan
suatu tindakan intervensi.
Pelanggaran hak asasi manusia berat ada berbagai macam seperti kejahatan
kemanusiaan, genosida dan kejahatan perang, dan lainnya. Pengenalan kejahatan
terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pertama kali mulai dikenal dan telah
menjadi hukum internasional positif yakni, setelah terjadi Perang Dunia II dalam
Charter of International Military Tribunal Nuremberg (IMTN) tahun 1946, yang selanjutnya
diatur dalam Charter of International Military Tribunal for The Far East (IMTFE) atau
yang disebut juga dengan Piagam Tokyo pada tahun 1948, International Criminal
Tribunal for Yugoslavia (ICTY) tahun 1993, International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR) tahun 1994, dan yang terakhir diatur dalam Statuta Mahkamah Pidana
20
Aidan Hehir, 2008, Humanitarian Intervention After Kosovo, England, Palgrave Mcmilan,
hlm. 14.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
Internasional (Statute for an International Criminal Court) yang kemudian lebih dikenal
sebagai Statuta Roma pada tahun 2002.
Pengaturan tentang intervensi kemanusiaan belum diatur secara tegas dalam
hukum internasional. Akan tetapi, menurut Piagam PBB Pasal 24 tentang tugas dan
fungsi Dewan Keamanan PBB, maka PBB melalui Dewan Keamanan berhak
menjalankan kewajibannya terkait adanya ancaman terhadap keamanan internasional,
atau pelanggaran perdamaian dan keamanan, dan agresi sesuai dengan tujuan-tujuan
dan prinsip-prinsip PBB dan dengan sebisa mungkin mengurangi penggunaan
kekuatan bersenjata, hal ini sesuai dengan Pasal 26 Piagam PBB.21
PBB juga dalam menyelesaikan suatu konflik di dasarkan pada Bab VI Pasal 33
Piagam PBB. PBB memiliki mandat untuk melakukan semua upaya agar konflik
dapat diselesaikan secara damai melalui cara-cara negoisasi, mediasi, arbitrasi,
penyelesaian hukum, serta cara damai lainnya.
Selanjutnya Pasal 34 menyatakan bahwa PBB bisa melakukan investigasi setiap
pertikaian (konflik) yang bisa membahayakan perdamaian internasional. Dewan
Keamanan PBB dapat menyelidiki setiap pertikaian atau keadaan yang dapat
menimbulkan ancaman terhadap perdamaian dan keamanan internasional.
Pada Pasal 36 Dewan keamanan dapat menganjurkan cara-cara penyelesaian
yang dianggap sesuai dalam suatu pertikaian yang mengacu pada Pasal 33 atau suatu
keadaan yang semacam itu. Selanjutnya Pasal 37 menerangkan bahwa apabila pihakpihak yang tersangkut dalam pertikaian tersebut dianggap tidak dapat menyelesaikan
masalahnya, maka Dewan Keamanan akan menetapkan apakah akan diambil tindakan
menurut Pasal 36 ataukah mengambil cara-cara penyelesaian yang dianggap layak.
Anjuran tentang cara-cara penyelesaian yang dianggap layak seperti yang
tercantum dalam Bab VII Piagam PBB, Pasal 39 menyebutkan bahwa Dewan
Keamanan akan menentukan ada tidaknya suatu ancaman terhadap perdamaian dunia
dan akan menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai
dengan Pasal 41 Piagam PBB yaitu bahwa Dewan Keamanan dapat memutuskan
tindakan apa yang dapat dilakukan di luar penggunaan kekuatan bersenjata, seperti
21
Michael N. Barnett, 2010, The International Humanitarian Order, New York,
Routledge, hlm. 1.
PRANATA
HUKUM
74
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
pemutusan hubungan ekonomi, alat-alat komunikasi, serta pemutusan hubungan
diplomatik. Dan Pasal 42 yang menyatakan bahwa jika langkah-langkah politik dan
ekonomi (berdasarkan Pasal 41) tidak bisa atau cukup mendorong pihak-pihak yang
bertikai maka penggunaan kekuatan militer (kekuatan darat, laut, dan udara) dapat
dibenarkan
untuk
menjamin
kestabilan
keamanan
dan
perdamaian
internasional.Tindakan militer hanyalah langkah terakhir jika cara-cara lain tidak
berhasil untuk melindungi penduduk dari pelanggaran HAM berat. Intervensi
kemanusiaan yang dilakukan oleh PBB tidak melanggar kebebasan politik sebuah
negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia
pada suatu negara yang mengalami konflik.
Setiap negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Atas asumsi
ini intervensi kemanusiaan tidak melanggar Piagam PBB. Intervensi atas dasar
kemanusiaan yang dikenal sebagai humanitarian intervention ini dilakukan secara
kolektif berdasarkan mandat Perserikatan Bangsa-Bangsa dan bertujuan untuk
mengatasi masalah kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan Pasal 50 Piagam PBB yang
mengatur salah satu bentuk intervensi. Di mana intervensi ini dilakukan dengan
tujuan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Selanjutnya intervensi
dalam rangka pembelaan diri terdapat dalam Pasal 51 Piagam PBB.
3. Langkah Lain Selain Intervensi
Jalan kekerasan yang sebaiknya dihentikan, dan diganti dengan jalan damai
seperti yang tertuang dalam Pasal 33 Piagam PBB. Berdasarkan pasal 33 penyelesaian
dengan jalan damai meliputi negosiasi (perundingan) dan enquiry (penyelidikan).
Kemudian konsiliasi (persetujuan) usaha ini diserahkan kepada panitia atau badan
internasional yang ditunjuk oleh pihak-pihak dalam perselisihan untuk mengusulkan
atas insiatif sendiri suatu persetujuan yang layak diterima oleh kedua belah pihak.
Mediasi (perantara/jasa-jasa baik) dapat diselenggarakan oleh suatu negara, suatu
komisi atau seorang tokoh saja, yang ditunjuk oleh pihak-pihak yang bersangkutan
untuk mempermudah dan mempercepat tercapainya perdamaian.22 Selain itu, diatur
pula cara-cara melalui jalur hukum seperti arbitration (perwasitan) pihak-pihak yang
22
Kolb, R. dan Hyde, R. 2008. An Introduction to the International Law of Armed
Conflicts. Portland: Hart Publishing, page. 175.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
bersangkutan berjanji terlebih dahulu, bahwa mereka akan menerima dan bersedia
menjalankan keputusan seorang pendamai dari Mahkamah Arbitrasi. Serta keputusan
kehakiman yang diambil oleh mahkamah Pengadilan Internasional. Sepantasnya caracara damai demikianlah yang dapat dijadikan solusi untuk mengatasi konflik di Libya.
Penggunaan preventive diplomacy adalah salah satu metode yang kita bisa gunakan
untuk menegahi konflik Libya. Metode ini tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang
bersengketa, tetapi melalui keterlibatan pihak ketiga, khususnya di mana pihak-pihak
yang berkonflik sendiri tidak mampu mencari jalan keluar dari konflik itu sendiri.
Pihak ketiga ini bertugas untuk mengurangi intensitas konflik dan mendorong pihakpihak yang terlibat ke dalam meja perundingan untuk mencari solusi bersama. Untuk
itu, pihak ketiga yang akan melakukan preventive diplomacy harus bersikap netral
dengan tidak mendukung salah satu pihak yang bertikai.23 Preventive diplomacy
umumnya diambil untuk mencegah sengketa atau perselisihan yang terjadi
berkembang (eskalasi) menjadi konflik bersenjata.24 Dalam melakukan preventive
diplomacy, cara-cara diplomatik menjadi sarana yang ditempuh untuk mempengaruhi
pihak-pihak yang berkonflik untuk tidak menggunakan kekuatan senjata dan
menggiring mereka ke arah negosiasi untuk penyelesaian damai bersama.
Preventive diplomacy dapat dilakukan oleh Sekjen PBB pribadi, melalui pejabat
senior, badan-badan khusus atau program, oleh Dewan Keamanan maupun Majelis
Umum dan oleh organisasi-organisasi regional bekerja sama dengan PBB. Preventive
diplomacy memerlukan langkah-langkah untuk menciptakan kepercayaan; membuat
satu peringatan dini dengan pengumpulan informasi dan misi pencari fakta baik resmi
maupun tidak resmi; di samping juga harus melibatkan penempatan pasukan
preventif; dan dalam keadaan tertentu menetapkan wilayah bebas militer.25
Diharapkan dengan langkah ini rakyat Libya dapat menikmati kehidupannya tanpa
dibayang-bayangi dengan serangan-serangan bom yang mengakibatkan banyak
korban yang bertentangan dengan HAM. Seyogyanya hal inilah yang sesuai dengan
23
Wallensteen, P. 2012. Understanding Conflict Resolution. London, Sage Publications.
Page 281-282
24
The Point. 2011. Conflict prevention mechanisms: mediation and preventive diplomacy.
(online) http://thepoint.gm/africa/gambia/article/conflict-prevention-mechanisms-mediation-andpreventive-diplomacy, diakses 8 Desember 2018.
25
Suryokusumo, S. 2004. Praktik Diplomasi. Jakarta, BP Iblam. hlm. 148
PRANATA
HUKUM
76
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
resolusi DK nomor 1973 yang menyerukan upaya gencatan senjata dan mengakhiri
kekerasan serta semua serangan terhadap warga sipil
4. Peran PBB dalam Melaksanakan Intervensi Kemanusiaan pada Konflik
Bersenjata
PBB merupakan organisasi yang paling besar selama ini dalam sejarah
pertumbuhan kerja sama semua negara di dunia di dalam berbagai sektor kehidupan
internasional. Menjaga perdamaian dan keamanan internasional erat kaitannya dengan
prinsip kewajiban untuk melindungi (Responsibility to Protect)26 merupakan tanggung
jawab semua negara untuk melindungi rakyatnya sendiri, serta tanggung jawab
masyarakat internasional untuk membantu negara-negara mewujudkan hal tersebut.
Bila suatu negara gagal melindungi rakyatnya, maka sejumlah cara, baik itu politik,
ekonomi, maupun diplomatik akan digunakan untuk membantu negara tersebut. Hal
ini dilakukan dengan menggunakan banyak cara termasuk negoisasi, mediasi, dan
penerapan sanksi. Intervensi militer hanya mungkin digunakan sebagai upaya terakhir
untuk menghentikan kekejaman massal yang dilakukan secara multilateral dengan
persetujuan Dewan Keamanan.27
Bab VI dan Bab VII Piagam PBB menjelaskan tentang penyelesaian pertikaian
secara damai dan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian
internasional, dapat dilakukan dengan upaya sebagai berikut :
a.
Dewan Keamanan PBB dan Majelis Umum bisa menunjuk misi pencari fakta
(fact-finding mission) untuk menyelidiki dan melaporkan dugaan pelanggaran
hukum internasional. Dewan HAM PBB juga dapat mengirim misi pencari
fakta serta menunjuk perwakilan khusus atau pelapor khusus untuk
memberikan saran mengenai situasi tertentu;
b.
misi-misi tersebut dapat sekaligus memberikan peringatan dini tentang krisis
kemanusiaan yang terjadi dan bernegosiasi dengan para pemimpin negara di
mana krisis tersebut berlangsung untuk mencari cara penyelesaian;
26
ICISS, 2001, Responsibilty To Protect The Report, the International Development,
Canada Research Centre, Page. 11-18.
27
Rahayu ,2012, Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional,
MMH,
No.1,
Jilid
41,
Januari
2012
dapat
diakses
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/4212-9087-1-SM.pdf.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
c.
pemutusan hubungan ekonomi, komunikasi, serta hubungan diplomatik
apabila dalam perundingan tersebut tidak ditemukan penyelesaiannya; dan
d.
pertimbangan PBB untuk menggunakan kekuatan militer guna menghadapi
kekerasan massal yang mendesak dan bersifat aktual. Hal penting yang harus
diingat bahwa penggunaan kekuatan militer ini harus merupakan upaya
terakhir bila suatu negara dipandang gagal melindungi warganya dan bila caracara damai yang ditempuh juga mengalami kegagalan.
Intervensi kemanusiaan sering disorot atas legitimasinya. Oleh karena itu,
sebagian pakar hukum internasional berpendapat bahwa intervensi kemanusiaan tetap
bisa dilakukan selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:28
a.
intervensi kemanusiaan harus di dasarkan atas alasan dan tujuan yang jelas,
yaitu untuk melindungi hak asasi manusia;
b.
harus dilakukan dengan memperhatikan syarat proporsionalitas, dan tidak
eksesif; dan
c.
harus di dasarkan aturan yang jelas untuk menghindari terjadinya eksploitasi
oleh satu negara terhadap wilayah yang didudukinya.
Ketentuan yang terdapat dalam Bab VII Piagam PBB merupakan legitimasi
dari intervensi kolektif terhadap suatu wilayah negara oleh PBB. Bahkan dengan tegas
Sekjen PBB sebelumnya, Koffi Annan mengatakan bahwa : “Our job is to intervene: to prevent
conflict where we can, to put a stop to it when it has broken out, or when neither of those things is
possible - at least to contain it and prevent it from spreading”.29
Salah satu bentuk intervensi dalam konflik bersenjata yang terjadi adalah
konflik bersenjata yang terjadi di Rwanda dan Bosnia Herzegovina (bekas negara
Yugoslavia). Bosnia adalah pecahan dari negara federal Yugoslavia. Negara ini
mempunyai catatan konflik berkepanjangan.30 Sejak Serbia dipimpin oleh Slobodan
Milosevic terjadi kerusuhan etnis, kerusuhan etnis memuncak ketika disahkannya
amandemen undang undang dasar Republik Serbia, yang menyatakan bahwa otonomi
Kosovo berada di bawah pengawasan pemerintah Republik Serbia (Maret 1989).
28
Idris, et.al., 2012, Penemuan Hukum Nasioanal dan Internasional, Fikahati Aneska,
Bandung, , hlm. 295; lihat dalam Imam Mulyana, Doktrin Intervensi dalam Piagam PBB dan
Perkembangannya Dewasa Ini.
29
Idris, et.al., Op.Cit., hlm. 286.
30
Ibid.
PRANATA
HUKUM
78
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
Dengan adanya keinginan etnis Albania untuk merdeka dan menjadikan
Republik Kosovo sebagai negara yang berdaulat terpisah dari Serbia maka
menimbulkan aksi agresif Slobodan Milosevic menumpas gerilyawan dan mengusir
etnik Albania dari Kosovo, Milosevic menggelar KLA (Tentara Pembebasan
Kosovo)
untuk
memberantas
kelompok
separatis
yang
mengupayakan
kemerdekaan Kosovo. Sedangkan Serbia berpendapat Kosovo secara historis
berada dalam kawasan dan sebagai bagian Serbia, dan bagi mereka UCK adalah
kelompok teroris yang harus dihancurkan.
Dengan adanya aksi brutal tersebut, mengakibatkan banyak korban
berjatuhan dari warga sipil Albania.31
Di samping mengacu kepada sejumlah landasan moral, intervensi yang
dilakukan oleh PBB dalam konflik Yugoslavia dibentuk berdasarkan resolusi PBB.
Seperti salah satu bentuk dari resolusi tersebut ialah dibentuk Mahkamah
Kejahatan Internasional, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia yang
dibentuk berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 827 pada tahun 1993
dan International Criminal Tribunal for Rwanda dibentuk berdasarkan Resolusi
Dewan Keamanan No. 955 pada tahun 1994. PBB juga memberikan andil dengan
mengeluarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB 1244 pada 10 Juni 1999
menerangkan bahwa Kosovo ditempatkan di bawah administrasi PBB dengan
tugas membentuk pemerintahan sementara untuk Kosovo, agar rakyat Kosovo
mendapat otonomi luas dan pemerintahan sendiri.32
Pada kasus di Rwanda yang terjadi adalah konflik etnis yang antara suku
Hutu dan Tutsi yang memakan korban jiwa dari pihak sipil. Sejak meletusnya
perang antara pemerintah dengan pemberontak Front Patriotik Rwanda (FPR) di
bulan Oktober 1990, telah dilakukan sejumlah upaya perdamaian dengan
melibatkan sejumlah negara dikawasan itu.33
Kesepakatan damai tersebut menjelaskan bahwa PBB akan memainkan
peranan besar melalui pasukan internasional yang netral (The Neutral National
31
Peran PBB dalam Usaha Pencapaian Kemerdekaan Kososvo dapat diakses pada
http://publikasi.umy.ac.id/files/journals/8/articles/1918/public/1918-2337-1-PB.pdf.
32
Peran PBB dalam Usaha Pencapaian Kemerdekaan Kososvo, Loc.cit.
33
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FISIPS1IK/207613003/BAB%20III.pdf diakses
pada tanggal 5 Desember 2018 pukul 23.46.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
Forces-NIF). Pasukan ini bertugas mengawasi dan membantu implementasi perjanjian
tersebut selama periode transisi yang akan berlangsung dalam kurun waktu 22
bulan.34
Berdasarkan rekomendasi dari misi tersebut, intervensi pasukan PBB akan
dilakukan dalam empat tahapan. Tahap pertama, pengiriman tim yang terdiri dari
25 personil militer, 18 personil sipil, dan 3 polisi sipil setelah mendapat otorisasi
formal dari Dewan Keamanan PBB. Misi ini akan berlangsung 90 hari dengan
tugas mengamankan Kigali dan menciptakan kondisi yang diperlukan bagi
pembentukan pemerintahan transisi. Tahap kedua, akan memakan waktu 90 hari
dengan tugas utama demobilisasi dan integrasi angkatan bersenjata dan polisi
nasional (Gendamerie). Pada tahap ketiga, memakan waktu sembilan bulan, integrasi
angkatan bersenjata Rwanda akan dituntaskan dan kekuatannya dikurangi menjadi
1.240 personil. Pada tahap terakhir yang akan berlangsung selama empat bulan,
misi PBB akan dikurangi menjadi berkekuatan 930 personil militer dengan tugas
membantu mengamankan iklim yang diperlukan dalam tahapan akhir sampai
dengan dilaksanakannya pemilu.35
Berdasarkan asas kemanusiaan bahwa manusia memiliki hak yang sama
untuk hidup yang merupakan landasan moral untuk dilaksanakannya intervensi,
PBB juga melaksanakan intervensi dalam konflik di Rwanda ini juga dapat
dibenarkan dengan mengacu pada Bab VI, Bab VII, Pasal 55 dari Piagam PBB dan
adanya sejumlah resolusi dan mandat Dewan Keamanan PBB. Selama kurun
waktu antara Oktober 1993 sampai dengan Juli 1994, Dewan Keamanan PBB
telah mengeluarkan sejumlah resolusi dan mandat terkait dengan konflik di negara
tersebut.36 Berdasarkan Resolusi Nomor 812 PBB akan mendukung upaya untuk
menjaga perdamaian dan keamanan di wilayah Rwanda khususnya untuk
mencegah terjadinya konflik kembali.
Kemudian PBB membentuk the United Nations Observer Mission UgandaRwanda (UNOMOR) melalui Resolusi Nomor 846 untuk memeriksa keadaan
34
Ibid.
Ibid.
36
Ibid.
35
PRANATA
HUKUM
80
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
disana selama enam bulan. Setelah itu melalui Resolusi 87237, Dewan Keamanan
PBB secara bulat membentuk UNAMIR, pasukan peace keeping berkekuatan 2.500
personil untuk memelihara perdamaian di Rwanda.
Pasukan penjaga perdamaian di Rwanda tersebut setidaknya dapat
membantu memulihkan keadaan dan mengurangi jatuhnya korban jiwa kembali.
Karena tujuan dari diadakannya intervensi kemanusiaan adalah meminimalisir
kekerasan yang terjadi dan mencoba membuat proses perdamaian dan keamanan
berlangsung. Apabila kekerasan terus berlangsung, maka jalan satu-satunya adalah
meminimalisir korban yang jatuh dengan jalan menyelamatkan pihak yang lemah,
biasanya dari kalangan penduduk sipil. Penyerangan terhadap penduduk sipil
nonkombatan dapat menyeret pelakunya ke Mahkamah Internasional kejahatan
perang untuk diadili.
5. Intervensi Kemanusiaan ICRC terhadap korban konflik di Suriah
Dalam pencegahan konflik bersenjata, peran utama ICRC adalah
mendesak pemerintah pusat untuk mengambil tindakan yang diperlukan, dan pada
saat yang tepat, memberikan informasi yang relevan dan analisis untuk membantu
menentukan tanggung jawabnya secara obyektif. Karena batasan ketat prinsip
netralitas, ICRC tidak dapat memainkan peran dalam negosiasi politik untuk
menghindari konflik bersenjata. Akan tetapi, ICRC kadang-kadang bisa berperan
sebagai regulator dan untuk memainkan peran netral, melalui diplomasi
pencegahan kemanusiaan, untuk memberikan kontribusi yang cukup besar.
Hal ini juga diadopsi pada saat Konferensi Palang Merah dan Bulan Sabit
Merah Internasional di Wina tahun 1965 melalui Resolusi ke-20. Resolusi itu
mendorong ICRC untuk bekerja sama penuh dengan PBB dalam rangka misi
kemanusiaan. Setiap upaya yang mereka laksanakan harus dilakukan untuk
mencegah atau menghentikan konflik bersenjata. ICRC juga harus memperoleh
37
S/RES/872 “Decides to establish a peace-keeping operation under the name "United
Nations Assistance Mission for Rwanda" (UNAMIR) for a period of six months subject to the
proviso that it will be extended beyond the initial ninety days only upon a review by the Council
based on a report from the Secretary-General as to whether or not substantive progress has been
made towards the implementation of the Arusha Peace Agreement”.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
persetujuan dari negara, bersama-sama untuk mengambil langkah-langkah yang
sesuai dalam mengakhiri konflik bersenjata, namun ICRC tidak bisa mengambil
inisiatif yang dapat menyebabkan konflik bersenjata, namun untuk melindungi
perilaku korban, atau mengambil inisiatif untuk mengambil apa pun yang mungkin
membuat
perwakilan
atau
staf
menjadi
tindakan
berbahaya.
Dengan
menghabiskan dana sebanyak 15.867 KCHF atau sekitar 187.132.900 rupiah,
semua kegiatan di atas dilaksanakan oleh ICRC selama lima bulan sejak dimulainya
konflik pada tanggal 5 November sampai akhir Desember 2011
Sejak konflik pecah pada maret 2011, Suriah mengalami krisis
kemanusiaan yang menyebabkan semakin terpuruknya keberadaan Hak Asasi
Manusia di negara tersebut. Ketidakstabilan hukum di Suriah dan pelanggaran
HAM seperti pengeboman yang terjadi terhadap warga sipil memiliki dampak
terhadap struktur sosial mereka. Perempuan dan anak-anak menghadapi banyak
ancaman dan kekerasan dalam situasi konflik bersenjata di Suriah. ICRC
meyatakan perempuan merupakan yang paling parah terkena dampak dari
terjadinya konflik di Suriah, bahwa sekitar 5,1 juta perempuan telah menjadi
korban dalam konflik tersebut. Kondisi dan situasi yang dialami oleh perempuan
di Suriah sangat memperihatinkan.
Perempuan tidak luput dari korban pembunuhan oleh pasukan militer
dikarenakan perempuan yang paling sering menjadi target serangan langsung
bahkan pembunuhan yang disengaja. Dalam laporan ICRC pada tahun 2013,
kematian perempuan telah mencapai 9% dari jumlah total korban dalam perang.
Pembunuhan ini terjadi terutama karena penembakan terhadap warga sipil, baik
dengan menggunakan barel peledak, peluncuran rudal hingga penembakan yang
sengaja dilakukan oleh pasukan militer.
Tingkat kekerasan terhadap perempuan di Suriah terus meningkat.
Kebanyakan dari perempuan Suriah menjadi korban kekerasan berbasis gender.
Bentuk-bentuk dari kekerasan tersebut adalah kekerasan seksual: pemerkosaan dan
kehamilan paksa, penyiksaan, dan perbudakan, baik oleh tentara pemerintah
maupun kelompok-kelompok bersenjata.
Dalam laporan ICRC pada tahun 2013, sedikitnya kasus pemerkosaan
telah mencapai 6000 kasus yang juga mengakibatkan meningkatnya kasus
PRANATA
HUKUM
82
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
kehamilan paksa. Beberapa kasus kekerasan seksual yang terjadi di Homs,
Damaskus, Hama, Latakia, Daraa, Idlib dan Tartous, menunjukkan bahwa
terdapat tiga situasi utama di mana insiden pemerkosaan terjadi. Pertama, saat
penggerebekan yang dilakukan oleh militer. Kedua, di pos pemeriksaan dan yang
terakhir dalam fasilitas penahanan. Hal ini menunjukkan bahwa anggota aparat
keamanan negara telah terlibat dalam kekerasan seksual. Pada tahun 2014,
kekerasan seksual semakin meningkat, terutama yang dilakukan oleh kelompok
teroris. Pelecehan terhadap perempuan juga seringkali digunakan sebagai taktik
yang disengaja untuk mengalahkan pihak lain dari segi simbolis maupun
psikologis. Hal lain yang turut dialami perempuan Suriah adalah trauma akibat
perang. Konflik Suriah menunjukkan bagaimana seringnya perempuan menjadi
obyek kekerasan selama perang berlangsung.
Selain perempuan, anak-anak juga seringkali menjadi korban dalam konflik
bersenjata. Kondisi konflik bagi anak-anak seringkali menjadikan anak-anak
kelompok yang rentan mengalami kekerasan karena posisi mereka sebagai pihak
yang tidak terlindungi yang disebabkan oleh implikasi negatif dari konflik tersebut.
konflik Suriah berdampak signifikan terhadap kesejahteraan emosional dan sosial
dan perkembangan anak-anak.
Dalam konflik anak-anak tidak bisa mengandalkan orang tua mereka untuk
mendapatkan perlindungan karena banyak diantara mereka yang anggota
keluarganya tewas dalam konflik. Sehingga penyerangan dan kekerasan seksual
juga kerap kali terjadi terhadap anak-anak Suriah yang seringkali digunakan sebagai
senjata psikologis. Selain itu kebanyakan anak-anak yang kehilangan keluarganya
dipaksa bergabung dengan milisi ataupun pemberontak bersenjata dan terlibat
pula dalam peperangan, bukan sebagai target, melainkan sebagai combatant.
Sehingga anak-anak yang terindoktrinasi dengan kekerasan tersebut akan lebih
rentan terlibat dalam aksi-aksi terorisme. Menurut data yang diterima oleh PBB
sekitar 11.420 anak-anak di Suriah terbunuh dalam konflik tersebut dan Sekitar 2,8
juta anak-anak di kota di Homs, Damaskus, Hama, Latakia, dan Daraa, masih
berada di zona perang. Akibat dari perang Suriah anak-anak juga menghadapi
masalah tekanan mental dan psikologis yang begitu besar. Bahkan, sebagian dari
mereka harus hidup cacat disebabkan oleh perang. Pada tahun 2015, UNICEF
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
mengidentifikasi 1.500 kasus pelanggaran berat hak-hak anak di Suriah,
diantaranya lebih dari 60% kasus pembunuhan dan penganiayaan menyusul
penggunaan senjata peledak di wilayah sipil yang berpenghuni yang dilakukan oleh
tentara-tentara Suriah.
PBB juga mengungkapkan bahwa selain menahan dan menyiksa anak-anak
tentara Suriah juga menyerang sistem pendidikan karena kelompok bersenjata
cenderung melihat sasaran sekolah dan anak-anak sekolah. Dengan melihat
semakin meluasnya konflik di Suriah yang menyebabkan semakin banyaknya
korban yang di dominasi oleh perempuan dan anak-anak maka ICRC membuat
program kemanusiaan khusus untuk menangani perempuan dan anak-anak yang
terkena dampak dari konflik Suriah, dimana dalam program ini ICRC melibatkan
organisasi kemanusiaan lain yang berada di Suriah seperti SARC, UNICEF,
Women for Women dan LSM-LSM lainnya yang ada di Suriah. Dimana dalam
program ini pencegahan dan respon pencegahan mempertimbangkan sesuai
dengan
aturan
intervensi
kemanusiaan
dan
mencoba
memprioritaskan
pemprograman yang sesuai dengan kondisi konflik yang terjadi di Suriah.
D. Penutup
Berdasarkan pembahasan dan penguraian fakta yang telah dilakukan
sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
a.
Instrumen hukum internasional menyebutkan secara eksplisit bahwa prinsip
nonintervensi merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum
internasional. Hal tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 (1), 2 (4), (7) Piagam
PBB. Akan tetapi, Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik
sebuah negara. Tindakan tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak
asasi manusia pada suatu negara. Setiap negara dan penduduknya tetap
memiliki kebebasan politik. Pengaturan intervensi kemanusiaan terdapat
dalam Piagam PBB yang diatur dalam Pasal 2 ayat (4), Pasal 24, Pasal 25,
Pasal 26, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 39, Pasal 40, Pasal 49, Pasal 50, dan Pasal
51 . Selain itu, intervensi juga mendapatkan legitimasinya berdasarkan prinsipprinsip umum seperti prinsip kemanusiaan dan prinsip hukum HAM yaitu
prinsip kesetaraan; dan
PRANATA
HUKUM
84
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
b.
Intervensi kemanusiaan dapat dilakukan oleh PBB melalui Dewan Keamanan.
Dewan Keamanan melakukan intervensi kemanusiaan melalui tahap
pencarian fakta-fakta, diplomasi, dan penggunaan militer. Dewan Keamanan
menunjuk misi pencari fakta untuk menyelidiki dan melaporkan dugaan
pelanggaran hukum internasional, misi-misi tersebut dapat sekaligus
memberikan peringatan dini tentang krisis kemanusiaan yang terjadi dan
bernegosiasi dengan para pemimpin negara di mana krisis tersebut
berlangsung untuk mencari cara penyelesaian, dan upaya penggunaan
kekuatan militer guna menghadapi kekerasan massal yang mendesak dan
bersifat aktual. Penggunaan kekuatan militer ini harus merupakan upaya
terakhir bila suatu negara dipandang gagal melindungi warganya dan bila caracara damai yang ditempuh juga mengalami kegagalan.
ICRC hadir mengintervensi konflik tersebut dengan melakukan tugasnya
sebagai organisasi yang menjunjung tinggi netralitas dan kemandirian, sehingga tidak
akan menimbulkan provokasi bahkan dapat membantu untuk menangani masalahmasalah kemanusiaan, seperti tiga hal yang dilakukan oleh pihak ICRC yaitu
dukungan untuk kebijakan nasional, membangun kapasitas kelembagaan dan sistem
untuk perlindungan terhadap semua warga sipil khususnya perempuan dan anakanak, dan
Meningkatkan Pengetahuan dan
Pemahaman
tentang
Masalah
Perlindungan Hak Asasi Manusia dan khususnya perempuan di Suriah. Intervensi
kemanusiaan yang dilakukan oleh ICRC berlandaskan Hukum Humaniter
Internasional (HHI) serta atas nama perlindungan HAM.
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ambarwati, Ramdhany, D. dan Rusman R. 2009. Hukum Humaniter Internasional
Dalam Studi Hubungan Internasional. Jakarta: Rajawali Press
Barash, D. P. dan Webel, C. P. 2009. Peace and Conflict Studies. California: Sage
Publications.
Barnett, Michael, 2010. The International Humanitarian Order, New York, Routledge.
Bull, H. ed. 1984. Intervention in World Politics. Oxford: Oxford University Press.
Donnelly, J. 1983. Human Rights, Humanitarian Intervention, and American Foreign Policy.
New York, Columbia University
Hehir, Aidan, 2008. Humanitarian Intervention After Kosovo, England, Palgrave Mcmilan.
ICISS, 2001. Responsibilty To Protect The Report, Canada: the International Development
Research Centre.
Idris (ed), 2012. Penemuan Hukum Nasional dan Internasional, Bandung, Fikahati Aneska.
Kolb, R. dan Hyde, R. 2008. An Introduction to the International Law of Armed Conflicts.
Portland: Hart Publishing
Nye, J. S. 2009. Understanding International Conflicts: An Introduction to Theory and History.
New York: Pearson and Longman.
Mauna, Boer, 2011. Hukum Internasional Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Bandung, Alumni.
Permanasari, Arlina, dkk, 2000. Pengantar Hukum Humaniter, Jakarta, Miamita Print
ICRC.
Roberts, A. 1993. Humanitarian war: military intervention and human rights. International
Affairs, 69(3)
Starke, J,G., 1989. Pengantar Hukum Internasional I, Jakarta, Sinar Grafika.
____________, 1989. Pengantar Hukum Internasional II, Jakarta, Sinar Grafika.
Suryokusumo, S. 2004. Praktik Diplomasi. Jakarta, BP Iblam.
Suwardi, Sri Setianingsih, 2006. Pengantar Hukum Organisasi Internasional, Jakarta: UI
Press.
Vincent, R. J. 1986. Human Rights and International Relations. Cambridge: Cambridge
University Press.
PRANATA
HUKUM
86
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
Welsh, J. M, (ed.). 2004. Humanitarian Intervention and International Relations. Oxford:
Oxford University Press.
Wheeler, N. J. 2000. Saving Strangers: Humanitarian Intervention in International Society.
New York: Oxford University Press.
Jurnal, Artikel, Makalah, dan Sumber Internet lainnya
Bar-Tal, D. 1998. “Societal beliefs in times of intractable conflict: the israeli case”. International
Journal of Conflict Management, 9(1).
Coady, C.A.J. 2002. The ethics of armed humanitarian intervention. Washington,United
States
Institute
of
Peace.
In
http://www.usip.org/sites/default/files/resources/pwks45.pdf.
Guraizu, R. 2008. Is humanitarian military intervention in the affairs of another state ever
justified? London: Middlesex University School of Health and Social
Sciences..<http://archive.atlanticcommunity.org/app/webroot/files/articlepdf/Is%20humanitarian%20military
%20intervention%20ever%20justified.pdf>
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/5FISIPS1IK/207613003/BAB%20III.pdf.
http://www.un.org/en/sc/documents/resolutions/1994.shtml.
https://www.google.com/#q=resolusi+dk+pbb+no+743+tahun+19 92.
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/4212-9087-1-SM.pdf.
Peran PBB dalam Usaha Pencapaian Kemerdekaan Kososvo dapat diakses pada
http://publikasi.umy.ac.id/files/journals/8/articles/1918/public/1918-23371-B.pdf.
Rahayu, Eksistensi Prinsip Responsibility to Protect dalam Hukum Internasional, MMH,
No.1, Jilid 41, Januari 2012 dapat diakses Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum
Volume 8 No. 4, Oktober-Desember 2014. ISSN 1978-5186641
The Point. 2011. Conflict prevention mechanisms: mediation and preventive
diplomacy.
(online).
http://thepoint.gm/africa/gambia/article/conflictprevention-mechanisms-mediation-and-preventive-diplomacy.
Dokumen
United Nations Charter (Piagam PBB).
United Nations Security Council Resolution S/RES/827 (1993), on the establishment of
an international tribunal for the Former Yugoslavia, (tentang pembentukan
Pengadilan Internasional untuk penjahat Negara bekas Yugoslavia).
United Nations Security Council Resolution S/RES/812 (1993), the contribution of
United Nations might assist the process towards political settlement in Rwanda, (upaya
PBB untuk menjaga perdamaian di Rwanda).
United Nations Security Council Resolution S/RES/846 (1993), on the establishment of
the United Nations Observer Mission Uganda-Rwanda (UNOMOR) (tentang
pembentukan UNOMOR).
United Nations Security Council Resolution S/RES/872 (1993), on the establishment of
the UN Assistance Mission for Rwanda (tentang pembentukan UNAMIR).
PRANATA HUKUM
Vol.2, No.1, Februari 2019
Teguh Imam Sationo: Humanitarian Intervention Menurut....
United Nations Security Council Resolution S/RES/955 (1994), on the establishment of
an international tribunal for Rwanda and the adoption of the statute of the tribunal
(tentang pembentukan International Criminal Tribunal for Rwanda).
United Nations Security Council Resolution S/RES/1244 (1999) on the situation
relating Kosovo (tentang pemerintahan kosovo dibawah naungan PBB).
PRANATA
HUKUM
88
Vol.2, No.1, Februari 2019
Download