TINJAUAN PUSTAKA Hewan Percobaan Tikus

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Hewan Percobaan Tikus (Rattus norvegicus)
Hewan percobaan atau hewan laboratorium adalah hewan yang sengaja
dipelihara dan diternakan untuk dipakai sebagai hewan model guna mempelajari
dan mengembangkan berbagai macam bidang ilmu dalam skala penelitian atau
pengamatan laboratorik. Penggunaan hewan percobaan untuk penelitian banyak
dilakukan di bidang fisiologi, farmakologi, biokimia, patologi, dan komparatif
zoologi. Di bidang ilmu kedokteran selain untuk penelitian, hewan percobaan juga
sering digunakan sebagai keperluan diagnostik. Berbagai jenis hewan yang umum
digunakan sebagai hewan percobaan, yaitu mencit, tikus, marmut, kelinci,
hamster, unggas, kambing, domba, sapi, kerbau, kuda, dan simpanse (Malole dan
Pramono 1989).
Penggunaan hewan percobaan untuk pengujian secara in vivo biasanya
menunjukkan hasil deviasi yang besar dibandingkan dengan percobaan in vitro,
karena adanya variasi biologis. Supaya variasi tersebut minimal, hewan-hewan
yang mempunyai spesies yang sama atau strain yang sama, usia yang sama, dan
jenis kelamin yang sama, dipelihara pada kondisi yang sama pula (Malole dan
Pramono 1989).
Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah
tikus. Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna,
mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk
berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus norvegicus antara lain memiliki
berat 150-600 gram, hidung tumpul dan badan besar dengan panjang 18-25 cm,
kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak
lebih dari 20-23 mm (Depkes 2011).
Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu
yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan yaitu galur Sprague dawley
berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih panjang dari badannya,
galur Wistar ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek, dan galur
Long evans yang lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada
kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Tikus yang
5
digunakan dalam penelitian adalah galur Sprague Dawley berjenis kelamin jantan
berumur kurang lebih 2 bulan. Tikus Sprague Dawley dengan jenis kelamin betina
tidak digunakan karena kondisi hormonal yang sangat berfluktuasi pada saat
mulai beranjak dewasa, sehingga dikhawatirkan akan memberikan respon yang
berbeda dan dapat mempengaruhi hasil penelitian (Kesenja 2005). Tikus putih
galur ini mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup agresif
dibandingkan dengan galur lainnya (Harkness dan Wagner 1983).
Menurut Besselsen (2004) dan Depkes (2011) taksonomi tikus adalah:
Kingdom
: Animalia
Filum
: Chordata
Subfilum
: Vertebrata
Kelas
: Mamalia
Subkelas
: Theria
Ordo
: Rodensia
Subordo
: Sciurognathi
Famili
: Muridae
Subfamili
: Murinae
Genus
: Rattus
Spesies
: Rattus norvegicus
Ada dua sifat utama yang membedakan tikus dengan hewan percobaan
lainnya, yaitu tikus tidak dapat muntah karena struktur anatomi yang tidak lazim
pada tempat bermuara esofagus ke dalam lambung sehingga mempermudah
proses pencekokan perlakuan menggunakan sonde lambung, dan tidak
mempunyai kandung empedu (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Selain itu, tikus
hanya mempunyai kelenjar keringat di telapak kaki. Ekor tikus menjadi bagian
badan yang paling penting untuk mengurangi panas tubuh. Mekanisme
perlindungan lain adalah tikus akan mengeluarkan banyak ludah dan menutupi
bulunya dengan ludah tersebut (Sirois 2005). Skematis sistem saluran pencernaan
tikus dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1 Sistem Saluran Pencernaan Tikus (Anonim 2010).
Pertumbuhan dan perkembangan tubuh tikus tergantung pada efisiensi
makanan yang diberikan dan juga sangat dipengaruhi oleh metabolisme basal
tubuh tikus itu sendiri (Robinson 1972). Beberapa faktor penting yang dapat
meningkatkan metabolisme basal tubuh hewan adalah suhu lingkungan, jenis
kelamin, umur, keadaan psikologis hewan, dan suhu badan (Ganong 1999).
Usus Halus
Usus halus terdiri dari duodenum, jejunum, dan ileum. Duodenum pada
manusia memiliki panjang sekitar 25 cm terikat erat pada dinding dorsal abdomen
dan sebagian besar terlatak retroperitoneal. Jalannya berbentuk seperti huruf C
yang mengitari pankreas dan ujung distalnya menyatu dengan jejunum yang
terikat pada dinding dorsal rongga melalui mesenterium. Jejunum dapat bergerak
bebas pada mesenteriumnya dan merupakan dua-perlima bagian proksimal usus
halus. Sedangkan ileum merupakan sisa tiga-perlimanya. Dinding usus halus
terdiri atas empat lapis konsentris yaitu mukosa, submukosa, muskularis, dan
serosa (Leeson et al. 1996) (Gambar 2).
Lapisan mukosa terdiri dari lamina epitel, lamina propia, dan muskularis
mukosa. Bentuk mukosa tersusun dari tonjolan berbentuk jari yang disebut vili
7
yang digunakan untuk memperluas permukaan. Pada permukaan epitel vili
terdapat mikrovili yang dapat meningkatkan efisiensi penyerapan nutrisi. Pada
usus halus juga terdapat sel goblet yang menghasilkan mukus sebagai pelindung
mukosa usus (Colville dan Joanna 2002).
Membran mukosa adalah lingkungan yang unik dimana banyak spesies
mikroorganisme yang berbeda dapat hidup dan berekspresi. Terdapat 1014
mikroorganisme dari 200 spesies, 40-50 genus hidup pada permukaan tersebut,
dan 99% dari populasi mikroorganisme pada membran mukosa terjadi di bagian
distal usus halus dan di bagian proksimal kolon (Herich dan Levkut 2002).
Membran mukosa dalam suatu tubuh berkontak langsung dengan lingkungan
luar dan membran mukosa juga terkolonisasi oleh mikroorganisme yang berbeda
dalam jumlah yang besar. Permukaan mukosa dilindungi oleh banyak mekanisme
pertahanan yang memastikan perlindungan yang efektif dengan memproduksi
imunoglobulin A (IgA), mukus, dan kriptoprotektif peptida. Mikroorganisme
dapat mempengaruhi struktur mukosa, fungsi, dan perkembangan sistem imun
(Herich dan Levkut 2002).
Gambar 2
Histologi usus halus yang menunjukkan vili dan lapisan mukosa
(Sahaja 2008).
8
Fungsional epitel usus tergantung pada populasi mikroorganisme di dalam
usus, masuknya mikroorganisme patogen, penyusun yang merugikan dalam lumen
usus, dan mukosa usus yang terpapar antigen. Secara fisiologis bahwa populasi
mikroorganisme normal terdapat dalam usus. Pada manusia sehat, berisi 0-103
cfu/ml dalam perut, 0-105 cfu/ml pada jejunum, 103-109 cfu/ml pada ileum, dan
1010-1012 cfu/ml di usus (Hao dan Lee 2004).
Mikroorganisme usus berfungsi sebagai aktivitas metabolik yang mampu
menyimpan energi dan nutrisi yang dibutuhkan oleh epitel usus, serta
perlindungan
terhadap
serangan
mikroorganisme
yang
merugikan.
Mikroorganisme normal yang ada di saluran pencernaan dapat mencegah
pertumbuhan yang berlebihan dari mikroorganisme patogen dalam saluran
pencernaan (Harish dan Varghese 2006).
Kemampuan saluran pencernaan untuk mencerna makanan tergantung pada
aktivitas mikroorganisme. Mikroorganisme indigenus suatu waktu akan
menyebabkan infeksi pada saluran pencernaan (Berg 1996). Apabila aktivitas
mikroorganisme dalam usus halus berubah akibat hadirnya mikroorganisme
patogen seperti E. coli dan Sallmonela sp., sehingga proses pencernaan menjadi
terganggu (Berg 1996). Hal ini karena keseimbangan jumlah dan jenis
mikroorganisme pada usus halus sangat mempengaruhi kesehatan. Lactobacillus
dan Bifidobacterium secara umum merupakan mikroorganisme nonpatogen yang
secara alami ada di dalam usus (Weizman et al. 2005).
Escherichia coli
Suwito (2010) menglasifikasikan E. coli berdasarkan ciri khusus dari sifatsifat virulensinya dan setiap kelompok menimbulkan penyakit melalui mekanisme
yang berbeda, yaitu Enteropathogenik E. coli (EPEC), Enterotoksigenik E. coli
(ETEC), Enterohemorrhagi E. coli (EHEC), Enteroagregative E. coli (EAEC), dan
Enteroinvasif E. coli (EIEC). Perbedaan gejala klinis, epidemiologi, dan faktor
virulensi di antara kelompok E. coli tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.
9
Tabel 1 Gejala klinis, epidemiologi, dan faktor virulensi dari berbagai galur E.
coli (Suwito 2010)
Strain
Gejala klinis
Epidemiologi
Faktor virulensi
Melekat pada
EPEC
Diare berair
Pada anak-anak
mukosa usus dan
merusak vili-vili
usus
Diare berair,
hemoragik
EHEC
kolitis,
hemolitik
Food born, water
borne
Shiga like toxin
uremik sindrom
Pili, heat labile dan
ETEC
Diare berair
Traveler diare
heat stable
enterotoksin
EAEC
EIEC
Diare berlendir
Disentri, diare
berair
Pada anak-anak
Pili, sitotoksin
Food borne
Seluler invasif
Enterotoksin akan mempengaruhi sekresi cairan saluran pencernaan. Pada
saluran pencernaan manusia, EPEC akan menyebakan atrofi dan nekrosis usus.
Pada anak-anak, EPEC menyebabkan diare, sedangkan EHEC akan membentuk
koloni pada saluran pencernaan sehingga mengakibatkan pendarahan dan
terjadinya atrofi mikrovili sel-sel epitel usus (Suwito 2010; Clarke et al. 2002).
EPEC melekat pada sel mukosa yang kecil dan menimbulkan kerusakan pada
epitel melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan perlekatan
yang terlokalisasi (Savkovic et al. 2005). Selain itu, pada dosis 105 – 1010 sel
EPEC dapat menyebabkan diare yang durasinya kurang lebih lima hari (Janda dan
Abbot 2006; Lodes et al. 2004).
EPEC adalah salah satu mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan
lesi attaching dan effacing (A/E) pada sel usus. Ciri dari patogen A/E adalah
terletak pada tumpuannya di permukaan sel epitel inang dan menyebabkan
kerusakan pada mikrofili usus. EPEC melekat dan berkolonisasi pada epitel
10
mukosa deodenum dan proksimal jejunum. EPEC menimbulkan kerusakan pada
epitel jejunum melalui pembentukan mikrokoloni yang ditunjukkan dengan
pelekatan yang terlokalisasi (Moat et al. 2002).
Infeksi EPEC pada sel epitel dapat dilihat pada Gambar 3. EPEC pada sel
epitel membentuk perlekatan dan tidak memperlihatkan adanya lesio. Awal
penyerangan EPEC pada sel epitel diperantarai adanya bundle-forming pilus
(BFP) yang merupakan suatu fimbria tipe IV yang terlibat dalam virulensi,
autoagregasi, dan perlekatan lokal bakteri ke sel inang (Blank dan Donnenberg
2001). Setelah perlekatan awal terjadi, mikrovili terganggu dan EPEC
mengeluarkan beberapa faktor virulensi dan mensekresikan reseptor Tir
(translicated intimin receptor) ke dalam sel inang. EPEC mengikat Tir melalui
membran luar protein, intimin. Sinyal transduksi terjadi di dalam sel inang,
termasuk aktivasi protein kinase C (PKC), inositol triphosphat (IP3), dan
pelepasan Ca2+. Beberapa protein sitoskeleton termasuk aktin, menjadi tempat
perlekatan EPEC. Akhirnya, terjadi penyusunan kembali sitoskeletal setelah Tirintimin berikatan, dan menghasilkan formasi pedestal-like structure (Lu dan
Walker 2001).
Gambar 3 Infeksi EPEC pada sel epitel (Lu dan Walker 2001).
11
Prebiotik dan Probiotik
Prebiotik merupakan pangan yang dapat memacu pertumbuhan bakteri
probiotik, agar dapat diperoleh kondisi fisiologis dan metabolik yang dapat
memberikan perlindungan pada saluran pencernaan, khususnya usus halus dan
kolon (Zakaria 2003). Probiotik didefinisikan sebagai bakteri hidup yang
diberikan sebagai suplemen makanan yang mempunyai pengaruh yang
menguntungkan
terhadap
kesehatan,
dengan
memperbaiki
keseimbangan
mikroflora usus. Efek yang menguntungkan dari bakteri tersebut dapat mencegah
dan mengobati kondisi patologik usus bila bakteri tersebut diberikan secara oral
(Karuniawati 2010; Maurad dan Meriem 2008; Lisal 2005).
Karakteristik probiotik yang diinginkan dari satu strain spesifik adalah
mempunyai kapasitas untuk bertahan hidup, melakukan kolonisasi dan
metabolisme dalam saluran pencernaan, mampu mempertahankan keseimbangan
mikroflora usus, mampu menstimulasi sistem imun, dan bersifat nonpatogen
(Gibson dan Fuller 2000). Efikasi dari beberapa probiotik tergantung dari genus,
spesies dan strain. Tidak semua bakteri tahan asam mempunyai efek probiotik.
Probiotik multipel strain lebih efektif daripada single strain (Cornelius dan Van
2004).
Mekanisme probiotik bersaing dengan mikroorganisme patogen di dalam usus
dapat dilihat pada Gambar 4. Probiotik dapat meningkatkan pertahanan dengan
menduduki usus dalam jumlah besar dan beragam. Hal ini dapat mencegah
kolonisasi mikroorganisme patogen, menghasilkan senyawa antimikroba, asam
lemak jenuh, dan dimodifikasi dengan asam empedu yang dapat menciptakan
lingkungan lumen yang kurang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen,
serta mampu merangsang sistem imun. Penyakit pada usus akan terjadi jika
perkembangan mikrorganisme patogen yang terlalu banyak dan terganggunya
sistem imun (Lu dan Walker 2001).
12
Gambar 4 Mekanisme probiotik berkompetisi dengan bakteri patogen (Lu dan
Walker 2001).
Salah satu jenis bakteri yang umum terdapat di daging adalah bakteri asam
laktat (BAL). Arief et al. (2008) melaporkan bahwa BAL golongan Lactobacillus,
Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa Peranakan Ongol yang
dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor mampu bertahan pada kondisi
saluran pencernaan seperti pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta
memiliki aktivitas antimikroba terhadap bakteri patogen. Kemampuan bakterisidal
terhadap bakteri patogen ini disebabkan bakteri ini mampu menghasilkan senyawa
bioaktif asam laktat, asam asetat, dan senyawa bakteriosin.
Bakteri asam laktat termasuk mikroorganisme probiotik yang berpengaruh
positif terhadap mikroflora di saluran pencernaan. Bakteri asam laktat juga
termasuk kelompok bakteri yang dapat mengeliminasi kerusakan pada saluran
pencernaan dan beberapa gangguan pencernaan berupa inflamasi pada saluran
pencernaan. Jika bakteri asam laktat mampu bertahan lama dalam usus maka akan
menstimulir pergerakan peristaltik di usus, sehingga transit feses akan lebih
singkat. Selain itu, bakteri asam laktat mampu menghambat bakteri patogen
sehingga dapat mencegah terjadinya diare dan infeksi (Gill dan Guarner 2004).
Bakteri asam laktat juga dapat bersifat sebagai imunomodulator untuk
meningkatkan daya tahan tubuh (Erickson dan Hubbard 2000).
13
Bakteri asam laktat mampu menstimulasi sistem imun karena adanya senyawa
peptidoglikan dan lipopolisakarida dalam dinding sel (Surono 2004). Bakteri asam
laktat juga merangsang aktivitas sel imun yang spesifik dan nonspesifik. Sistem
imun spesifik dapat dibagi menjadi dua kategori yaitu sistem imun spesifik
humoral dan sistem imun spesifik seluler. Antibodi yang diproduksi dalam sel
plasma mediasi dari sistem imun spesifik humoral. Sistem imun spesifik seluler
dimediasi oleh limphosit T yang berproliferasi setelah kontak dengan antigen,
produk sitokin, dan menyebabkan aktivitas pada sel kekebalan yang lain (Tizard
2000).
Bakteri asam laktat mampu meningkatkan sistem imun spesifik humoral.
Berdasarkan penelitian bahwa produksi IgA akan meningkat jika mendapatkan
bakteri asam laktat. Pemberian bakteri asam laktat golongan Lactobacillus dapat
memberikan efek kesehatan bagi inang seperti mencegah terjadinya infeksi
saluran pencernaan, meningkatkan respon imun lokal, dan meningkatkan produksi
IgA. Produksi IgA kemudian disekresikan ke lumen usus untuk mencegah
penempelan mikroorganisme patogen seperti, Salmonella typhimurium di mukosa
usus (Isolauri 2001).
L. plantarum merupakan bakteri gram positif yang tidak patogen dan secara
alami terdapat dalam saliva dan saluran pencernaan. L. plantarum merupakan
bakteri asam laktat yang biasa digunakan dalam makanan fermentasi. L.
plantarum
mampu bertahan pada kondisi lambung (pH rendah) dan adanya
garam empedu. L. plantarum juga mampu melindungi sel epitel usus terhadap
induksi E. coli (Bixquert 2009). L. plantarum mampu tumbuh dengan baik pada
pH 2-3 dan pada pH antara 4-6.5 terjadi peningkatan populasi (Anukam dan
Koyama 2007). Sedangkan L. fermentum mampu tumbuh baik pada kisaran pH 23 dan garam empedu 0.3-1% (Klayraung et al. 2008).
Imunoglobulin A (IgA)
Sistem imunitas mukosa saluran pencernaan merupakan bagian sistem
imunitas yang penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas sistemik.
Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas. Hal ini disebabkan oleh
mukosa saluran pencernaan berhubungan langsung dengan lingkungan luar dan
14
berhadapan dengan banyak antigen yang terdiri dari mikroorganisme patogen,
antigen makanan, dan virus dalam jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem
imunitas sistemik. Antigen-antigen tersebut dicegah agar tidak menempel mukosa
saluran pencernaan dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan kimiawi dengan
enzim-enzim yang ada pada mukosa saluran pencernaan. Mamalia memproduksi
IgA dan antibodi lain paling sedikit 80% pada semua sel plasma dan terlokalisasi
pada lamina propria saluran pencernaan (Van et al. 2001).
Imunoglobulin A (IgA) merupakan protein yang dihasilkan oleh sel limfosit B
dan merupakan immunoglobulin utama yang ditemukan pada mukosa. Limfosit B
merupakan limfosit terbesar di temukan di lamina propria yang fungsi efektor
utamanya adalah sekresi antibodi terutama IgA yang berperan mencegah
perlekatan mikroba ke sel epitel usus (Wilson 2005). IgA terdapat di air liur, air
mata, sekresi bronkus, mukosa hidung, cairan prostat, sekresi vagina, dan mukus
dari usus halus sebagai pertahanan primer tubuh. Sekresi IgA tidak menimbulkan
respon inflamasi sehingga sekresi IgA ideal untuk menjaga permukaan mukosa
dari antigen dengan cara mencegah perlekatan antigen pada epitel (Surono 2004)
dan berfungsi melindungi mukosa yang lembut (Yamamato et al. 2004).
Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa merupakan
suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas imunoglobulin
predominan dalam sekresi eksternal manusia. Imunoglobulin ini tahan terhadap
protease sehingga cocok berfungsi pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan
patogen mukosa dan antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper.
Perubahan sel B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-β dan
iterleukin (IL)10 bersama-sama dengan IL-4. Sel T di mukosa menghasilkan
TGF-β, IL-10 dan IL-4 dalam jumlah yang banyak dan sel epitelial mukosa
menghasilkan TGF-β dan IL-10. Hal tersebut dapat menjadi petunjuk bahwa
maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro mukosa yaitu sel
epitel dan limfosit T (Hamada et al. 2002).
15
Imunohistokimia
Kandungan Imunoglobulin A (IgA) pada usus halus dapat dideteksi dengan
menggunakan metode imunohistokimia (Wresdiyati et al. 2006; Ramos-Vara
2005). Imunohistokimia sebagai suatu metode untuk mendeteksi suatu molekul
yang ada di jaringan dengan menggunakan antibodi poliklonal atau monoklonal
terhadap molekul yang akan dideteksi (merupakan reaksi antigen-antibodi) dan
dapat memberikan gambaran kualitatif dan kuantitatif dari intensitas warna yang
terbentuk. Poliklonal antibodi memiliki affinitas dan reaktivitas yang lebih tinggi
dibandingkan dengan monoklonal antibodi, tetapi poliklonal antibodi kurang
spesifik. Teknik imunohistokimia dapat digunakan untuk mempelajari distribusi
enzim yang spesifik pada struktur sel intak (normal/lengkap), mendeteksi
komponen sel, biomakromolekul seperti protein dan karbohidrat (Sofian dan
Kampono 2006).
Prinsip dari teknik imunohistokimia adalah adanya ikatan antigen-antibodi
yang digunakan untuk mendeteksi suatu molekul dalam jaringan. Teknik
immunohistokimia ini menggunakan dua antibodi yaitu antibodi primer dan
antibodi sekunder yang telah dikonjugasi dengan peroksidase. Pada jaringan,
antibodi primer akan berikatan dengan antigen (molekul) jaringan yang dideteksi,
dalam penelitian ini adalah IgA. Prinsip immunohistokimia dengan metode
polimer peroksidase dapat dilihat pada Gambar 5.
Antibodi primer
(IgA)
Antibodi sekunder
(K1491)
Peroksidase
Antigen
(IgA)
DAB + H2O2
Endapan coklat + H2O
Jaringan usus halus
Gambar 5 Prinsip teknik pewarnaan imunohistokimia (Wresdiyati et al. 2006).
16
Immunoglobulin A (IgA) yang terdapat pada mukosa usus halus dikenal
sebagai antigen. Antibodi primer (anti IgA) berikatan dengan antigen (IgA),
kemudian antibodi sekunder yang telah dikonjugasi peroksidase bereaksi dengan
antibodi primer dan membentuk ikatan antigen-antibodi. Agar IgA dapat
tervisualisasi, perlu dilabel menggunakan kromogen. Pada penelitian ini
menggunakan kromogen DAB (Diaminobenzidine) yang dapat membentuk
endapan warna coklat. DAB tidak larut dalam pelarut organik. Peroksidase yang
terkonjugasi pada antibodi sekunder berfungsi untuk mengkatalis reaksi antara
kromogen (DAB) dan hidrogen peroksida (H2O2) sehingga terbentuk endapan
warna coklat. Warna coklat menunjukkan keberadaan IgA. Semakin tua intensitas
dan semakin luas distribusi warna coklatnya maka semakin banyak kandungan
IgA-nya. Couterstain menggunakan hematoksilin (biru) untuk membentuk kontras
warna agar dapat menghindari kebingungan dengan endapan kromogen (Van
2002).
Penelitian Sebelumnya
Kriteria dasar yang ditetapkan oleh FAO/WHO (2002) serta kesepakatan
internasional mengenai probiotik dipenuhi oleh suatu bakteri asam laktat jika akan
digunakan sebagai probiotik, yaitu kemampuannya untuk bertahan pada kondisi
lambung (pH rendah) dan adanya garam empedu, serta penghambat terhadap
bakteri patogen. Arief et al. (2008) telah melakukan isolasi bakteri asam laktat
golongan Lactobacillus, Lactococcus, dan Streptococcus dari daging sapi bangsa
Peranakan Ongol yang dijual di berbagai pasar tradisional daerah Bogor. BAL
tersebut selanjutnya diuji kemampuannya bertahan pada kondisi sesuai saluran
pencernaan manusia antara lain, pH saluran pencernaan dan garam empedu, serta
aktivitas antimikrobanya terhadap bakteri patogen. Hasil penelitian pendahuluan
tersebut menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis bakteri asam laktat isolat indigenus
yang mempunyai kemampuan bertahan pada pH 2 dan pH usus yaitu pada nilai
pH 7.2, serta pada kondisi garam empedu 0.5% sesuai dengan kondisi saluran
pencernaan. Selain itu, bakteri asam laktat tersebut juga mempunyai aktivitas
penghambat yang baik terhadap tiga jenis bakteri patogen yaitu Salmonella
typimurium ATCC 14028, Escherichia coli ATCC 25922 (ETEC), serta
Staphylococcus aureus ATCC 25923.
17
Kesepuluh jenis BAL hasil seleksi awal Arief et al. (2008) tersebut adalah
spesies Lactobacillus spp, Lactococcus spp, dan Streptococcus spp. BAL tersebut
mempunyai kemampuan bakterisidal terhadap mikroba patogen karena kedua
bakteri tersebut mampu menghasilkan senyawa bioaktif asam laktat, asam asetat,
serta senyawa bakteriosin. Berdasarkan kriteria dasar probiotik yang dikeluarkan
oleh FAO/WHO (2002), kesepuluh isolat indigenus bakteri asam laktat tersebut
dapat dinyatakan sebagai probiotik.
Untuk mengetahui sifat fungsional lainnya, khususnya sebagai bakteri
probiotik yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri enteropatogenik
penyebab diare, maka kesepuluh isolat indigenus BAL tersebut perlu diuji
kemampuannya. Kemampuan bakterisidal BAL terhadap bakteri enteropatogenik
khususnya EPEC dapat dilakukan baik secara in vivo maupun in vitro. Pengujian
secara in vivo pada hewan percobaan akan menunjukkan hasil yang mendekati
kondisi kejadian sebenarnya baik pada hewan maupun manusia. Astawan et al.
(2009) telah meneliti kemampuan bakterisidal dari 10 jenis isolat BAL terhadap
bakteri Enteropatogenik Escherichia coli (EPEC) secara in vitro. Hasilnya
didapatkan dua spesies BAL yang mempunyai kemampuan terbaik dalam
melawan EPEC, yaitu L. plantarum dan L. fermentum. Kedua bakteri asam laktat
(BAL) inilah yang dipakai dalam penelitian ini.
Download