Prevalensi Gen TEM pada Extended-Spectrum Beta

advertisement
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 :3098-3102
Prevalensi Gen TEM pada Extended-Spectrum Beta-Lactamases
Producing Enterobacteriaceae
Yuwono
Departement of Microbiology Faculty of Medicine University of Sriwijaya/Moh.Hoesin General Hospital Palembang
South Sumatera Indonesia
Abstrak
Produksi extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) oleh Enterobacteriaceae terus menjadi masalah penyakit infeksi
khususnya di rumah sakit. Bakteri produsen ESBLs menjadi penyebab utama infeksi saluran kemih, peritonitis dan
abses. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gen TEM pada Enterobacteriaceae produsen ESBLs padan
pasien yang dirawat di RSUP Moh.Hoesin Palembang. Didapatkan 78 sampel Enterobacteriaceae berdasarkan uji
Double Disk Approximation dan PCR. Spesies yang ditemukan Klebsiella pneumoniae 31 (39,74%), Escherichia coli
18 (23,07%), Enterobacter sp 15 (19,23%), Proteus Sp 12 (15,40%), dan Acinetobacter calcoaceticus 2 (2,56%). Berdasarkan
hasil PCR ditemukan 34 sampel mengandung gen TEM. Distribusi gen TEM adalah 13 (38,24) pada Klebsiella pneumoniae,
16 (47,06%) pada Escherichia coli, 4 (11,76%) pada Enterobacter sp dan 1 (2,94%) pada Proteus sp. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa Klebsiella pneumoniae dominan pada Enterobacteriaceae produsen ESBLs. Gen TEM
dominan ditemukan pada E. coli.
Kata Kunci: ESBL, Enterobacteriaceae, gen TEM
Abstract
Production of extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) by enterobacteriaceae continues to be a major problem
especially in hospitals. ESBLs producing bacteria cause many serious infections including urinary tract infections,
peritonitis and abscess. The aim of this study was to determine the prevalence of ESBLs producing Enterobacteriaceae
isolated from clinical samples of patients attending Moh.Hoesin General Hospital Palembang South Sumatera Indonesia. There
were 78 samples of Enterobacteriaceae were isolated from hospitalized patients and they were examined by Double Disk
Approximation Test and PCR methods. Kind of species were Klebsiella pneumoniae 31 (39,74%), Escherichia coli 18
(23,07%), Enterobacter sp 15 (19,23%), Proteus Sp 12 (15,40%), and Acinetobacter calcoaceticus 2 (2,56%). Based
on PCR finding there were 34 samples contains TEM gene with distribution 13 (38,24) in Klebsiella pneumoniae, 16
(47,06%) in Escherichia coli, 4 (11,76%) in Enterobacter sp and 1 (2,94%) in Proteus sp. This study shows that Klebsiella
pneumoniae were prevalence bacteria of ESBLs producing Enterobacteriaceae. TEM gene dominant found in E. coli.
Keywords: ESBL, Enterobacteriaceae,TEM gene
gen resisten antibiotik yang berlokasi di plasmid. Selain
pada Escherichia coli, saat ini enzim TEM juga ditemukan
pada Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenzae
dan Neisseria gonorrhoeae. Enzim  laktamase lainnya
yaitu SHV disandi oleh gen resisten antibiotik yang
berlokasi di kromosom. Enzim ini pertama kali diisolasi
dari Klebsiella pneumoniaee. Diperkirakan galur (strain)
resisten produsen  laktamase ini terbentuk terutama akibat
penggunaan antibiotik yang tidak tepat.1,2
1. Pendahuluan
Resistensi bakteri terhadap antibiotik kelompok betalaktam
seperti penisilin G, ampisilin dan amoksisilin dapat terjadi
melalui dua mekanisme yaitu bakteri mengubah reseptor
yang dimilikinya atau memproduksi enzim  laktamase
yang dapat menghidrolisis obat tersebut. Enzim  laktamase
pertama kali diidentifikasi pada bakteri Escherichia coli.
Enzim  laktamase tersebut diberi nama TEM. Pada
ekplorasi selanjutnya terbukti bahwa TEM disandi oleh
3098
3099
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102
Terapi infeksi bakteri produsen  laktamase selama ini
menggunakan antibiotik sefalosforin dan aztreonam yang
juga termasuk kelompok antibiotik betalaktam.
Kenyataannya obat ini pun tidak dapat mematikan bakteri
produsen  laktamase karena bakteri tersebut
mengembangkan spektrum resistensinya sehingga kebal
terhadap penisilin, sefalosforin dan aztreonam disebut
galur bakteri produsen Extended-Spectrum  Lactamase
(ESBL). Kemampuan galur ESBL menghidrolisis antibiotik
 laktam secara luas disebabkan adanya sejumlah mutasi
pada gen TEM maupun SHV. Mutasi tersebut umumnya
mengenai daerah active site dari enzim sehingga aktivitas
enzim tersebut meningkat.3
Escherichia coli, K. Pneumoniaee dan berbagai bakteri
Gram-negatif terutama famili Enterobacteriaceae termasuk
bakteri utama penyebab infeksi baik infeksi nosokomial
maupun infeksi pada populasi (komunitas). Terapi penyakit
infeksi akan semakin sulit jika bakteri tersebut termasuk
galur ESBL. Pilihan antibiotik menjadi sangat terbatas
dan muncul kekhawatiran akan adanya varian resisten
yang baru. Beberapa penelitian di Amerika dan Eropa
menunjukkan bahwa prevalensi bakteri produesen ESBL
mencapai 60% dari isolat klinis yang ada.4,5,6
Data akurat tentang prevalensi bakteri produsen ESBL
di Indonesia masih sangat terbatas, bahkan sangat sulit
menemukan publikasi yang membahas hal ini termasuk
data tentang determinan genetik galur tersebut. Penelitian ini
bertujuan untuk mengidentifikasi galur ESBL di RSUP Dr.
Mohammad Husein (RSMH) dan determinan genetik
dalam hal ini gen TEM pada galur tersebut.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif
dengan pendekatan genotipe molekul. Spesimen diambil
dari penderita suspect infeksi bakteri produsen ESBL dari
seluruh bagian rawat inap di RSMH. Sampel diambil secara
consecutive yaitu semua penderita dengan suspect infeksi
bakteri produsen ESBL diambil sebagai subyek. Penelitian
dilakukan di laboratorium mikrobiologi klinik RSMH.
bakteri produsen ESBL. Uji konfirmasi dilakukan dengan uji
PCR dengan mendeteksi adanya gen TEM dan SHV.7
Ekstraksi dan isolasi DNA dilakukan dengan metode
DNA chelex-100 extraction menggunakan Phospate Buffer
Saline (PBS) pH 7,4; safonin 0,5% dalam PBS; dan chelx
20% dalam ddH2O pH 10,5.
PCR dengan volume total 50 µl terdiri dari 1 µl primer
(1,5 µg/ml), 1 µl (200 µM) deoxynucleoside triphosphates
(dNTPs), 5 µl buffer PCR (50 mM KCl, 10 mM Tris-HCl,
pH 8,3), 1,5 µl (2,5 mM) MgCl2 dan 0,2 µl (1 unit) Taq
polymerase, 5 µl DNA template dan ditambahkan air
sampai volumenya 50 µl. Campuran tersebut diproses dalam
mesin PCR i-cycler Biorad (Biorad system, USA). Primer
spesifik
yang
digunakan
adalah
TEMF
5’CTTCCTGTTTTTGCTCACCCA3’
dan
TEMR
5’TACGATACGGGAGGGCTTAC3’. Kondisi PCR yang
digunakan sebagai berikut: Suhu denaturasi 94oC selama 2
menit, diikuti dengan 30 siklus 1 menit pada suhu 94 oC,
annealing 52oC selama 30 detik, extention 72oC selama 45
detik, lalu diikuti ekstensi akhir 72oC selama 5 menit.
Amplikon hasil PCR di-elektroforesis kemudian visualisasi
pada geldoc (Biorad system, USA) sekitar 1080 bp untuk gen
TEM. 8
3.
Hasil Penelitian
Usia subjek penelitian ini yang paling muda adalah usia
3 hari dan yang paling tua usia 82 tahun. Kelompok usia
anak-anak yaitu ≤ 18 tahun ada 23 orang (29,49%), usia
dewasa 19 - 60 tahun ada 44 orang (56,41%) dan usia lanjut
61 tahun ke atas ada 11 orang (14,10%). Jumlah penderita
infeksi ESBL laki-laki lebih banyak dari perempuan
yakni 42 (53,85%) berbanding 36 (46,15%).
Spesimen dari penderita suspect infeksi ESBL diambil
secara steril, kemudian dibiakkan dalam media perbenihan
untuk dilakukan identifikasi bakteri Enterobactericeaedan
identifikasi galur ESBL dengan metode double-disk
approximation test.
Penderita dengan suspect infeksi bakteri produsen ESBL
diberikan penjelasan dan kesediaan menandatangani
informed consent untuk mengikuti penelitian ini. Sampel
diambil secara steril, kemudian dilakukan diagnosis untuk
mengetahui adanya infeksi atau tidak. Jika terindikasi infeksi
maka spesimen dari pasien tersebut dibiakan dalam media
perbenihan. Dilakukan identifikasi bakteri Enterobacteriace.
Identifikasi galur bakteri produsen ESBL dengan metode
double-disk approximation test. Uji ini menggunakan
antibiotik cefotaxime, ceftazidime, cefepime yang diletakkan
sekitar 15 mm dari Amoxicillin clavulanic (AMC). Perluasan
zona cakram cefotaxime, ceftazidime, cefepime di sekitar (side
facing) cakram AMC diinterpretasikan sebagai hasil positif
Gambar 1. Hasil Double-disk diffusion menunjukkan sebuah
cakram berisi amoxicillin-clavulanate (AMC)
diletakkan di dekat cakram berisi ceftazidime (CAZ).
Clavulanate dalam cakram AMC berdifusi pada agar
dan menghambat β-laktamase di sekitar cakram
ceftazidime. Perluasan zona cakram ceftazidime di
sekitar (side facing) cakram AMC diinterpretasikan
sebagai hasil posistif.
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102
3100
Tabel 2. Distribusi frekuensi Gen TEM
Bakteri
Gambar 2. Hasil PCR gen TEM dengan amplikon sebesar 1080 bp.
M adalah marker DNA, sampel pada alur 1-5,
sampel 3 bukan ESBL sehingga tidak terdeteksi
gen tersebut.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 34 dari 78
(43,59%) sampel ESBL dinyatakan positif bergenotip
gen TEM. Pada penelitian ini, bakteri terbanyak penghasil
gen TEM adalah Escherichia coli yaitu sebanyak 16
sampel (47,06%).
Tabel 1. Distribusi frekuensi Jenis Spesimen dan Bakteri
Variabel
Frekuensi
Spesimen
Pus
19 (24,36)
Sputum
19 (24,36)
Darah
13 (16,67)
Urin
11 (14,10)
Swab Tenggorok
7 (8,97)
Tinja
4 (5,13)
Ulkus Dekubitus
3 (3,85)
Bilasan Lambung
1 (1,28)
Drain
1 (1,28)
Jenis Bakteri
Klebsiella pneumoniae
31 (39,74)
Escherichia coli
Enterobacter
aerogenes
Proteus mirabilis
18 (23,08)
Enterobacter cloacae
4 (5,12)
Proteus rettgeri
Enterobacter
agglomerans
Enterobacter hafnia
Acinetobacter
calcoaceticus
Proteus morganii
4 (5,12)
Proteus vulgaris
1 (1,28
7 (8,97)
5 (6,41)
2 (2,57)
2 (2,57)
2 (2,57)
2 (2,57)
TEM (%)
Klebsiella pneumoniae
Escherichia coli
Enterobacter aerogenes
Proteus mirabilis
Enterobacter cloacae
Proteus rettgeri
Enterobacter agglomerans
13 (38,24)
16 (47,06)
1 (2,94)
1 (2,94)
1 (2,94)
0
1 (2,94)
Enterobacter hafnia
1
(2,94)
Acinetobacter calcoaceticus 0
Proteus morganii
0
Proteus vulgaris
0
4. Pembahasan
Jumlah sampel yang terkumpul dan teridentifikasi yaitu
78 termasuk cukup besar mengingat jumlah spesimen yang
diterima untuk diperiksa masih terbatas. Berdasarkan
karakteristik subjek diketahui bahwa penderita infeksi yang
dicurigai sebagai galur ESBL lebih banyak pada laki-laki
dibandingkan pada wanita yaitu 42 (53,85%) berbanding
36 (46,15%). Hal ini kemungkinan berhubungan dengan
spektrum penyakit infeksinya yang lebih banyak mengenai
laki-laki. Pasien dewasa (66,7%) lebih banyak dibanding
pasien anak-anak (26,7%) dan yang paling sedikit adalah
pasien lanjut usia. Distribusi ini mungkin bukan merupakan
pola tertentu atau spesifik karena berdasarkan studi
literatur disebutkan bahwa distribusi penyakit infeksi
akibat ESBL merata pada semua usia. Perbedaan pada
hasil riset ini kemungkinan karena cakupan rekruitmen
subjek yang masih sangat terbatas. Tingginya penderita
infeksi ESBL pada kelompok usia anak-anak kemungkinan
berhubungan dengan usia produktif yang sangat rentan
terkena infeksi karena sistem imun yang belum bekerja
secara optimal. Selain itu, pada penelitian ini terdapat
sampel pada kelompok usia <20 tahun yang berasal dari
ruang NICU (NeonatalIntensive Care Units) dan PICU
(Pediatrics Intensive Care Units) yang merupakan salah satu
faktor risiko outbreak population pada anak-anak.9
Asal spesimen terbanyak pada berasal dari perawatan
penyakit dalam kemudian dari bagian pediatri dan ICU.
Hal ini berbeda dibanding data yang dipaparkan pada
studi sebelumnya yang menyebutkan bahwa terbanyak
spesimen positif ESBL berasal dari bagian bedah atau
ICU. Jenis spesimen terbanyak berturut-turut adalah pus,
sputum dan darah. Data spesimen ini relevan dengan
kemungkinan bahwa spesimen tersebut mengandung
isolat bakteri Gram negatif yang termasuk ESBL. Jenis
bakteri yang diidentifikasi sebagai ESBL sesuai dengan
data yang disebutkan dalam studi di Eropa dan Amerika
yaitu K. Pneumoniae dan E.coli.10,11
3101
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102
Pada penelitian ini, didapatkan bahwa hasil biakan kuman
infeksi ESBL paling banyak ditemukan pada Klebsiella
pneumoniae diikuti E. coli. Hal ini sesuai dengan penelitian
lainnya yang menyebutkan bahwa enzim ß laktamase paling
banyak diproduksi oleh kuman famili Enterobacteriaceae,
terutama Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia.12
Hasil uji double disc diffusion semua sampel menunjukan
hasil positif ESBL. Konfirmasi dengan polymerase chain
reaction (PCR) menunjukkan bahwa 34 (43,59%)
mengandung gen TEM. Selebihnya kemungkinan
mengandung gen SHV atau gen minor penyebab ESBLs
lainnya seperti CTX-M dan OXA. Hasil double disc
diffusion termasuk baik sebagaimana studi di Eropa dan
Amerika.13
Hampir seluruh ESBL merupakan derivat dari enzim
TEM atau SHV. Saat ini terdapat lebih dari 90 tipe
TEM dan lebih dari 25 tipe SHV. Pada kedua kelompok
enzim ini terdapat point mutation pada lokus tertentu
pada genomnya sehingga menimbulkan extended-spectrum
phenotype. TEM dan SHV hampir selalu ditemukan pada
E. coli dan K. pneumoniaee, Proteus spp., Providencia spp.,
serta bakteri yang masuk dalam famili Enterobacteriaceae.14
TEM-1 merupakan enzim  laktamase utama pada
bakteri Gram-negatif. Lebih dari 90% E. coli yang
resisten terhadap ampisilin memproduksi TEM-1. Enzim ini
juga bertanggungjawab sebagai penyebab resistensi H.
influenzae dan N. gonorrhoeae terhadap ampisilin dan
penisilin. TEM-1 mampu menghidrolisis penisilin generasi
awal dan sefalosforin generasi I seperti cephalothin dan
cephaloridine. Derivat pertama dari TEM-1 yaitu TEM2 memiliki substitusi asam amino tunggal yang
menyebabkan pergeseran pada isoelectric point (pI) dari
5.4 menjadi 5.6 tetapi tidak mengubah profil substrat.
TEM-3 merupakan tipe TEM pertama yang memperlihatkan
fenotip ESBL.15
Secara umum dapat dinyatakan bahwa penderita infeksi
oleh galur ESBL akan mengalami peningkatan resiko
kegagalan terapi menggunakan expanded-spectrum lactam antibiotic. Untuk itu organisme yang dikonfirmasi
berdasarkan tes kepekaan merupakan ESBL sesuai kriteria
NCCLS dapat dilaporkan sebagai resisten terhadap seluruh
expanded-spectrum -lactam antibiotic. Sebagian galur
produsen ESBL akan tampak over resistance terhadap
expanded-spectrum -lactam antibiotic tetapi sebagian lagi
secara fenotif "tidak resisten" sesuai kriteria NCCLS. Oleh
sebab itu tiap laboratorium mikrobiologi klinik harus
waspada pada isolat yang menunjukkan kenaikkan MIC
terhadap
oxyimino-cephalosporins
meskipun tidak
dilaporkan sebagai resisten sebab sangat mungkin ini adalah
ESBL.16
inoculum effect yaitu semakin meningkat inokulum maka
akan meningkat MIC terhadap expanded-spectrum
cephalosporin. Medeiros dan Crellin menemukan bahwa
MIC hampir seluruh sefalosporin meningkat dramatis bila
inoculum of susceptibility tests meningkat dari 105 menjadi
107 CFU/ml. Inoculum effect ini juga terlihat secara in vivo
pada model hewan percobaan dan pada kasus infeksi
pada penderita. Oleh sebab itu perlu ditekankan bahwa
pendeteksian ESBL secara akurat merefleksikan keadaan
sebenarnya secara in vivo.17
ESBL kini menjadi masalah bagi penderita di rumah
sakit di seluruh dunia. ESBL awalnya muncul di Eropa
Barat yang diduga akibat penggunaan expanded-spectrum lactam antibiotic yang tidak tepat. Dalam waktu singkat
ESBL telah terdeteksi di Amerika Serikat dan Asia.
Prevalensi ESBL berbeda antar negara dan antar institusi.
Di Amerika Serikat ESBL pada Enterobacteriaceae 0 25%, rata-rata nasional 3%. Diantara isolat K. pneumoniae
prosentase resisten ceftazidime 5% pada non-intensive care
unit (non-ICU) dan 10% pada ICU. Prevalensi ESBL
Enterobacteriaceae di Eropa sangat bervariasi. Di Belanda
survai pada 11 laboratorium rumah sakit ditemukan ESBL
<1% pada E. coli dan K. Pneumoniaee, di Prancis 40% K.
pneumoniaee resisten terhadap ceftazidime. Untuk Eropa
insiden resisten ceftazidime pada K. pneumoniaee mencapai
20% (non-ICU) dan 42% (ICU). Di Jepang prosentase
ESBL E. coli hanya <0.1% dan K pneumoniaee 0.3%.
Prosentase ESBL E. coli dan K. pneumoniaee 4.8%, di
Korea, 8.5% di Taiwan dan 12% di Hong Kong.18,19,20
Beberapa faktor resiko yang memperbesar insiden ESBL
adalah lama perawatan, derajat keparahan penyakit, lama
perawatan di ICU, intubasi dan ventilasi mekanik,
kateterisasi urin atau arteri dan paparan antibiotik
sebelumnya. ESBL terutama ditemukan di ICU, bangsal
bedah dan tempat lain di rumah sakit. ESBL juga meningkat
pada pasien dengan extended-care facilities. Berbagai
rumah sakit memiliki pengalaman wabah ESBL. Hal ini
kemungkinan berhubungan dengan perpindahan penderita
antar unit atau antar rumah sakit. Wabah yang terjadi
umumnya dapat ditangani dengan sistem pengendalian
infeksi, pembatasan penggunaan oxyimino-cephalosporins
dan antibiotic cycling. Pendekatan yang terbukti sukses
mengontrol penyebaran ESBL adalah dengan cara
mengganti broad-spectrum antibiotic yang berbeda untuk
pengobatan infeksi berat misalnya imipenem diganti
piperacillin-tazobactam21.
Berdasarkan hasil riset ini dapat disimpulkan bahwa
prevalensi ESBL cukup tinggi di Indonesia khususnya
di Palembang terutama E. coli yang mengandung gen
TEM.
Daftar Acuan
Kesungguhan untuk mendeteksi ESBL didasari dua
alasan yaitu adanya peningkatan prevalensi ESBL di
seluruh dunia dan banyak galur ESBL memperlihatkan
1. Bradford P. Extended spectrum ß lactamases in the
21st century: characterization, epidemiology, and
JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102
detection of this important resistance threat. Clinical
Microbiology Revisi 2001; 14: 933-951
2. Nathisuwan S, Burgess DS, Lewis II Js. Extended
Spectrum ß Lactamases : Epedimiology, Detection,
and Treatment. Pharmacotherapy. 2001; 21(8); 920-8
3. Branger C, Lesimple CA, Bruneu B, et al. 1. Long
term investigation of the clonal dissemination of
Klebsiella pneumoniae isolates producing extended
spectrum ß lactamases (ESBL) in a university hospital. J
Med Microbial 1998; 47: 210-0
4. Chaibi, E. B., D. Sirot, G. Paul, and R. Labia. 1999.
Inhibitor-resistant TEM-: phenotypic, genetic and
biochemical characteristics. J. Antimicrob. Chemother.
43:447-458.
5. Lucel. JC, Regneir B. Enterobactericeae producing
extended spectrum ß Lactamases. Pathol Biol. 1998;
46: 235-43
6. Melzer, M. and I.Perersen, 2007. Mortality following
bacteraemic infection caused by Extended Spectrum ß
Lactamases (ESBL) producing Escherichia coli
compared to non ESBL producing Escherichia coli. J
infect., SS: 254-259
7. Thomson KS, Sanders CC, Moland ES. Detection of
extended spectrum ß Lactamases in members of the
family Enterobactericeae comparison of the double
disk and three dimensional test. Antimicrob Agents
Chemother 1992; 36: 1877-82
8. Bali, E.B et al..2010.Phenotypic and Molecular
Characterization of SHV, TEM, CTX-M and extended
spectrum βLactamases Produced by Escherichia coli,
Acinobacter baumanii, and Klebsiella isolates in a
Turkish Hospital. Turkey : Departement of Biology
and Microbiology, Gazi University.
9. Winokur PL, Canion R, Casellas JM, dkk. Variations in
the prevalence of strains expressing an ESBL
phenotype and characterization of isolates from
Europe, the Americas, and the Western Pacific
Region. Clin infect Dis 2001; 32 suppl, 2: s94-103
10. Paterson DL, Bonomo RA. Extended spectrum βlactamase: a clinican update. Clin Microbiol Rev.
2005; 18(4): 657-86
11. Queenan AM, Foleno B, Gownley C, Wira E,Bush
K.2004. Effects of inoculum and β-lactamase activity in
ampc and extended-spectrum β-lactamase (ESBL)producing Escherichia coliand Klebsiella pneumoniae:
3102
clinical isolates tested by using nccls esbl methodology.
J. Clin. Microb. 42:269-275
12. Batchoun, R.G et al.. 2009. ESBL among GramNegative Bacterial Isolates from Clinical Specimens
in Three Major Hospitals in Northern Jordan. Jordan
: Departement of Medical Laboratory Sciences
University of Science and Technology Jordan.
13. Bermudes, H., C. Arpin, F. Jude, Z. El-Harrif, C. Bebear,
and C. Quentin. 1997.Molecular epidemiology of an
outbreak due to extended-spectrum beta lactamaseproducing Enterobactericae in a French hospital.
Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 16: 523-529
14. Cotton MF, Waserman E, Pieper CH. Invasive disease
due to extended spectrum ß lactamases producing
Klebsiella pneumoniain a neonatal unit : the possible
role of cockroaches. J Hosp Infect 2000; 44: 13-7
15. Sharma J, Meera S, Palap R. 2009. Detection of
TEM and SHV in Escherichia Coli and Klabisella
Pneumonia Isolates in a Tertiary Care Hospital from
India. Indian Journal Med Res. 132: 332-336
16. Taslima, Yasmin. 2012. Prevalence of ESBLamong
E. coli and Klabsiella Sp in a Tertiary Care Hospital
and Molecular Detection of Important ESBL Producing
Genes by Multipex PCR. Departement Microbiology
and Immunology Mymensingh Medical College.
Mymensingh. Banglades. Hal, 66-85.
17. Jacoby GA, Munoz-Prize LS. 2005. The New BetaLactamases. England Journal of Medicine. 352: 360391.
18. Jain A, Mondal R. 2008. TEM dan SHV genes in
Extended Spectrum β-Lactamase producing Klabisella
spesies and Their Antimicrobial resistance Pattern.
Indian J Med. 2009: 759-764.
19. D’Agata, E., L. Venkataranam, P. DeGiorolami, L.
Weigel, M. Samore, F Tenover. 1998. The Molecular
and clinical Epidemiology of EnterobacteriaceaceProducing Extended Spectrum Beta-lactamase in a
Tertiary Care Hospital. Journal Infection. 36: 279-295.
20. Emery, C. L., L. A. Weymounth. 1997. Detection and
Clinical Significance of Extended Spectrum in Tertiary
Care Medical centre. J. Clin. Microbiol. 35: 2061-67.
21. Al-Jasser AM. 2006. Extended-Spectrum BetaLactamases (ESBLs): A Global Problem. Kuwait
Medical Journal. 38 (3): 171-185.
Download