JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 :3098-3102 Prevalensi Gen TEM pada Extended-Spectrum Beta-Lactamases Producing Enterobacteriaceae Yuwono Departement of Microbiology Faculty of Medicine University of Sriwijaya/Moh.Hoesin General Hospital Palembang South Sumatera Indonesia Abstrak Produksi extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) oleh Enterobacteriaceae terus menjadi masalah penyakit infeksi khususnya di rumah sakit. Bakteri produsen ESBLs menjadi penyebab utama infeksi saluran kemih, peritonitis dan abses. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi gen TEM pada Enterobacteriaceae produsen ESBLs padan pasien yang dirawat di RSUP Moh.Hoesin Palembang. Didapatkan 78 sampel Enterobacteriaceae berdasarkan uji Double Disk Approximation dan PCR. Spesies yang ditemukan Klebsiella pneumoniae 31 (39,74%), Escherichia coli 18 (23,07%), Enterobacter sp 15 (19,23%), Proteus Sp 12 (15,40%), dan Acinetobacter calcoaceticus 2 (2,56%). Berdasarkan hasil PCR ditemukan 34 sampel mengandung gen TEM. Distribusi gen TEM adalah 13 (38,24) pada Klebsiella pneumoniae, 16 (47,06%) pada Escherichia coli, 4 (11,76%) pada Enterobacter sp dan 1 (2,94%) pada Proteus sp. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Klebsiella pneumoniae dominan pada Enterobacteriaceae produsen ESBLs. Gen TEM dominan ditemukan pada E. coli. Kata Kunci: ESBL, Enterobacteriaceae, gen TEM Abstract Production of extended-spectrum beta-lactamases (ESBLs) by enterobacteriaceae continues to be a major problem especially in hospitals. ESBLs producing bacteria cause many serious infections including urinary tract infections, peritonitis and abscess. The aim of this study was to determine the prevalence of ESBLs producing Enterobacteriaceae isolated from clinical samples of patients attending Moh.Hoesin General Hospital Palembang South Sumatera Indonesia. There were 78 samples of Enterobacteriaceae were isolated from hospitalized patients and they were examined by Double Disk Approximation Test and PCR methods. Kind of species were Klebsiella pneumoniae 31 (39,74%), Escherichia coli 18 (23,07%), Enterobacter sp 15 (19,23%), Proteus Sp 12 (15,40%), and Acinetobacter calcoaceticus 2 (2,56%). Based on PCR finding there were 34 samples contains TEM gene with distribution 13 (38,24) in Klebsiella pneumoniae, 16 (47,06%) in Escherichia coli, 4 (11,76%) in Enterobacter sp and 1 (2,94%) in Proteus sp. This study shows that Klebsiella pneumoniae were prevalence bacteria of ESBLs producing Enterobacteriaceae. TEM gene dominant found in E. coli. Keywords: ESBL, Enterobacteriaceae,TEM gene gen resisten antibiotik yang berlokasi di plasmid. Selain pada Escherichia coli, saat ini enzim TEM juga ditemukan pada Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus influenzae dan Neisseria gonorrhoeae. Enzim laktamase lainnya yaitu SHV disandi oleh gen resisten antibiotik yang berlokasi di kromosom. Enzim ini pertama kali diisolasi dari Klebsiella pneumoniaee. Diperkirakan galur (strain) resisten produsen laktamase ini terbentuk terutama akibat penggunaan antibiotik yang tidak tepat.1,2 1. Pendahuluan Resistensi bakteri terhadap antibiotik kelompok betalaktam seperti penisilin G, ampisilin dan amoksisilin dapat terjadi melalui dua mekanisme yaitu bakteri mengubah reseptor yang dimilikinya atau memproduksi enzim laktamase yang dapat menghidrolisis obat tersebut. Enzim laktamase pertama kali diidentifikasi pada bakteri Escherichia coli. Enzim laktamase tersebut diberi nama TEM. Pada ekplorasi selanjutnya terbukti bahwa TEM disandi oleh 3098 3099 JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102 Terapi infeksi bakteri produsen laktamase selama ini menggunakan antibiotik sefalosforin dan aztreonam yang juga termasuk kelompok antibiotik betalaktam. Kenyataannya obat ini pun tidak dapat mematikan bakteri produsen laktamase karena bakteri tersebut mengembangkan spektrum resistensinya sehingga kebal terhadap penisilin, sefalosforin dan aztreonam disebut galur bakteri produsen Extended-Spectrum Lactamase (ESBL). Kemampuan galur ESBL menghidrolisis antibiotik laktam secara luas disebabkan adanya sejumlah mutasi pada gen TEM maupun SHV. Mutasi tersebut umumnya mengenai daerah active site dari enzim sehingga aktivitas enzim tersebut meningkat.3 Escherichia coli, K. Pneumoniaee dan berbagai bakteri Gram-negatif terutama famili Enterobacteriaceae termasuk bakteri utama penyebab infeksi baik infeksi nosokomial maupun infeksi pada populasi (komunitas). Terapi penyakit infeksi akan semakin sulit jika bakteri tersebut termasuk galur ESBL. Pilihan antibiotik menjadi sangat terbatas dan muncul kekhawatiran akan adanya varian resisten yang baru. Beberapa penelitian di Amerika dan Eropa menunjukkan bahwa prevalensi bakteri produesen ESBL mencapai 60% dari isolat klinis yang ada.4,5,6 Data akurat tentang prevalensi bakteri produsen ESBL di Indonesia masih sangat terbatas, bahkan sangat sulit menemukan publikasi yang membahas hal ini termasuk data tentang determinan genetik galur tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi galur ESBL di RSUP Dr. Mohammad Husein (RSMH) dan determinan genetik dalam hal ini gen TEM pada galur tersebut. 2. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian observasional deskriptif dengan pendekatan genotipe molekul. Spesimen diambil dari penderita suspect infeksi bakteri produsen ESBL dari seluruh bagian rawat inap di RSMH. Sampel diambil secara consecutive yaitu semua penderita dengan suspect infeksi bakteri produsen ESBL diambil sebagai subyek. Penelitian dilakukan di laboratorium mikrobiologi klinik RSMH. bakteri produsen ESBL. Uji konfirmasi dilakukan dengan uji PCR dengan mendeteksi adanya gen TEM dan SHV.7 Ekstraksi dan isolasi DNA dilakukan dengan metode DNA chelex-100 extraction menggunakan Phospate Buffer Saline (PBS) pH 7,4; safonin 0,5% dalam PBS; dan chelx 20% dalam ddH2O pH 10,5. PCR dengan volume total 50 µl terdiri dari 1 µl primer (1,5 µg/ml), 1 µl (200 µM) deoxynucleoside triphosphates (dNTPs), 5 µl buffer PCR (50 mM KCl, 10 mM Tris-HCl, pH 8,3), 1,5 µl (2,5 mM) MgCl2 dan 0,2 µl (1 unit) Taq polymerase, 5 µl DNA template dan ditambahkan air sampai volumenya 50 µl. Campuran tersebut diproses dalam mesin PCR i-cycler Biorad (Biorad system, USA). Primer spesifik yang digunakan adalah TEMF 5’CTTCCTGTTTTTGCTCACCCA3’ dan TEMR 5’TACGATACGGGAGGGCTTAC3’. Kondisi PCR yang digunakan sebagai berikut: Suhu denaturasi 94oC selama 2 menit, diikuti dengan 30 siklus 1 menit pada suhu 94 oC, annealing 52oC selama 30 detik, extention 72oC selama 45 detik, lalu diikuti ekstensi akhir 72oC selama 5 menit. Amplikon hasil PCR di-elektroforesis kemudian visualisasi pada geldoc (Biorad system, USA) sekitar 1080 bp untuk gen TEM. 8 3. Hasil Penelitian Usia subjek penelitian ini yang paling muda adalah usia 3 hari dan yang paling tua usia 82 tahun. Kelompok usia anak-anak yaitu ≤ 18 tahun ada 23 orang (29,49%), usia dewasa 19 - 60 tahun ada 44 orang (56,41%) dan usia lanjut 61 tahun ke atas ada 11 orang (14,10%). Jumlah penderita infeksi ESBL laki-laki lebih banyak dari perempuan yakni 42 (53,85%) berbanding 36 (46,15%). Spesimen dari penderita suspect infeksi ESBL diambil secara steril, kemudian dibiakkan dalam media perbenihan untuk dilakukan identifikasi bakteri Enterobactericeaedan identifikasi galur ESBL dengan metode double-disk approximation test. Penderita dengan suspect infeksi bakteri produsen ESBL diberikan penjelasan dan kesediaan menandatangani informed consent untuk mengikuti penelitian ini. Sampel diambil secara steril, kemudian dilakukan diagnosis untuk mengetahui adanya infeksi atau tidak. Jika terindikasi infeksi maka spesimen dari pasien tersebut dibiakan dalam media perbenihan. Dilakukan identifikasi bakteri Enterobacteriace. Identifikasi galur bakteri produsen ESBL dengan metode double-disk approximation test. Uji ini menggunakan antibiotik cefotaxime, ceftazidime, cefepime yang diletakkan sekitar 15 mm dari Amoxicillin clavulanic (AMC). Perluasan zona cakram cefotaxime, ceftazidime, cefepime di sekitar (side facing) cakram AMC diinterpretasikan sebagai hasil positif Gambar 1. Hasil Double-disk diffusion menunjukkan sebuah cakram berisi amoxicillin-clavulanate (AMC) diletakkan di dekat cakram berisi ceftazidime (CAZ). Clavulanate dalam cakram AMC berdifusi pada agar dan menghambat β-laktamase di sekitar cakram ceftazidime. Perluasan zona cakram ceftazidime di sekitar (side facing) cakram AMC diinterpretasikan sebagai hasil posistif. JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102 3100 Tabel 2. Distribusi frekuensi Gen TEM Bakteri Gambar 2. Hasil PCR gen TEM dengan amplikon sebesar 1080 bp. M adalah marker DNA, sampel pada alur 1-5, sampel 3 bukan ESBL sehingga tidak terdeteksi gen tersebut. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa 34 dari 78 (43,59%) sampel ESBL dinyatakan positif bergenotip gen TEM. Pada penelitian ini, bakteri terbanyak penghasil gen TEM adalah Escherichia coli yaitu sebanyak 16 sampel (47,06%). Tabel 1. Distribusi frekuensi Jenis Spesimen dan Bakteri Variabel Frekuensi Spesimen Pus 19 (24,36) Sputum 19 (24,36) Darah 13 (16,67) Urin 11 (14,10) Swab Tenggorok 7 (8,97) Tinja 4 (5,13) Ulkus Dekubitus 3 (3,85) Bilasan Lambung 1 (1,28) Drain 1 (1,28) Jenis Bakteri Klebsiella pneumoniae 31 (39,74) Escherichia coli Enterobacter aerogenes Proteus mirabilis 18 (23,08) Enterobacter cloacae 4 (5,12) Proteus rettgeri Enterobacter agglomerans Enterobacter hafnia Acinetobacter calcoaceticus Proteus morganii 4 (5,12) Proteus vulgaris 1 (1,28 7 (8,97) 5 (6,41) 2 (2,57) 2 (2,57) 2 (2,57) 2 (2,57) TEM (%) Klebsiella pneumoniae Escherichia coli Enterobacter aerogenes Proteus mirabilis Enterobacter cloacae Proteus rettgeri Enterobacter agglomerans 13 (38,24) 16 (47,06) 1 (2,94) 1 (2,94) 1 (2,94) 0 1 (2,94) Enterobacter hafnia 1 (2,94) Acinetobacter calcoaceticus 0 Proteus morganii 0 Proteus vulgaris 0 4. Pembahasan Jumlah sampel yang terkumpul dan teridentifikasi yaitu 78 termasuk cukup besar mengingat jumlah spesimen yang diterima untuk diperiksa masih terbatas. Berdasarkan karakteristik subjek diketahui bahwa penderita infeksi yang dicurigai sebagai galur ESBL lebih banyak pada laki-laki dibandingkan pada wanita yaitu 42 (53,85%) berbanding 36 (46,15%). Hal ini kemungkinan berhubungan dengan spektrum penyakit infeksinya yang lebih banyak mengenai laki-laki. Pasien dewasa (66,7%) lebih banyak dibanding pasien anak-anak (26,7%) dan yang paling sedikit adalah pasien lanjut usia. Distribusi ini mungkin bukan merupakan pola tertentu atau spesifik karena berdasarkan studi literatur disebutkan bahwa distribusi penyakit infeksi akibat ESBL merata pada semua usia. Perbedaan pada hasil riset ini kemungkinan karena cakupan rekruitmen subjek yang masih sangat terbatas. Tingginya penderita infeksi ESBL pada kelompok usia anak-anak kemungkinan berhubungan dengan usia produktif yang sangat rentan terkena infeksi karena sistem imun yang belum bekerja secara optimal. Selain itu, pada penelitian ini terdapat sampel pada kelompok usia <20 tahun yang berasal dari ruang NICU (NeonatalIntensive Care Units) dan PICU (Pediatrics Intensive Care Units) yang merupakan salah satu faktor risiko outbreak population pada anak-anak.9 Asal spesimen terbanyak pada berasal dari perawatan penyakit dalam kemudian dari bagian pediatri dan ICU. Hal ini berbeda dibanding data yang dipaparkan pada studi sebelumnya yang menyebutkan bahwa terbanyak spesimen positif ESBL berasal dari bagian bedah atau ICU. Jenis spesimen terbanyak berturut-turut adalah pus, sputum dan darah. Data spesimen ini relevan dengan kemungkinan bahwa spesimen tersebut mengandung isolat bakteri Gram negatif yang termasuk ESBL. Jenis bakteri yang diidentifikasi sebagai ESBL sesuai dengan data yang disebutkan dalam studi di Eropa dan Amerika yaitu K. Pneumoniae dan E.coli.10,11 3101 JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102 Pada penelitian ini, didapatkan bahwa hasil biakan kuman infeksi ESBL paling banyak ditemukan pada Klebsiella pneumoniae diikuti E. coli. Hal ini sesuai dengan penelitian lainnya yang menyebutkan bahwa enzim ß laktamase paling banyak diproduksi oleh kuman famili Enterobacteriaceae, terutama Escherichia coli dan Klebsiella pneumonia.12 Hasil uji double disc diffusion semua sampel menunjukan hasil positif ESBL. Konfirmasi dengan polymerase chain reaction (PCR) menunjukkan bahwa 34 (43,59%) mengandung gen TEM. Selebihnya kemungkinan mengandung gen SHV atau gen minor penyebab ESBLs lainnya seperti CTX-M dan OXA. Hasil double disc diffusion termasuk baik sebagaimana studi di Eropa dan Amerika.13 Hampir seluruh ESBL merupakan derivat dari enzim TEM atau SHV. Saat ini terdapat lebih dari 90 tipe TEM dan lebih dari 25 tipe SHV. Pada kedua kelompok enzim ini terdapat point mutation pada lokus tertentu pada genomnya sehingga menimbulkan extended-spectrum phenotype. TEM dan SHV hampir selalu ditemukan pada E. coli dan K. pneumoniaee, Proteus spp., Providencia spp., serta bakteri yang masuk dalam famili Enterobacteriaceae.14 TEM-1 merupakan enzim laktamase utama pada bakteri Gram-negatif. Lebih dari 90% E. coli yang resisten terhadap ampisilin memproduksi TEM-1. Enzim ini juga bertanggungjawab sebagai penyebab resistensi H. influenzae dan N. gonorrhoeae terhadap ampisilin dan penisilin. TEM-1 mampu menghidrolisis penisilin generasi awal dan sefalosforin generasi I seperti cephalothin dan cephaloridine. Derivat pertama dari TEM-1 yaitu TEM2 memiliki substitusi asam amino tunggal yang menyebabkan pergeseran pada isoelectric point (pI) dari 5.4 menjadi 5.6 tetapi tidak mengubah profil substrat. TEM-3 merupakan tipe TEM pertama yang memperlihatkan fenotip ESBL.15 Secara umum dapat dinyatakan bahwa penderita infeksi oleh galur ESBL akan mengalami peningkatan resiko kegagalan terapi menggunakan expanded-spectrum lactam antibiotic. Untuk itu organisme yang dikonfirmasi berdasarkan tes kepekaan merupakan ESBL sesuai kriteria NCCLS dapat dilaporkan sebagai resisten terhadap seluruh expanded-spectrum -lactam antibiotic. Sebagian galur produsen ESBL akan tampak over resistance terhadap expanded-spectrum -lactam antibiotic tetapi sebagian lagi secara fenotif "tidak resisten" sesuai kriteria NCCLS. Oleh sebab itu tiap laboratorium mikrobiologi klinik harus waspada pada isolat yang menunjukkan kenaikkan MIC terhadap oxyimino-cephalosporins meskipun tidak dilaporkan sebagai resisten sebab sangat mungkin ini adalah ESBL.16 inoculum effect yaitu semakin meningkat inokulum maka akan meningkat MIC terhadap expanded-spectrum cephalosporin. Medeiros dan Crellin menemukan bahwa MIC hampir seluruh sefalosporin meningkat dramatis bila inoculum of susceptibility tests meningkat dari 105 menjadi 107 CFU/ml. Inoculum effect ini juga terlihat secara in vivo pada model hewan percobaan dan pada kasus infeksi pada penderita. Oleh sebab itu perlu ditekankan bahwa pendeteksian ESBL secara akurat merefleksikan keadaan sebenarnya secara in vivo.17 ESBL kini menjadi masalah bagi penderita di rumah sakit di seluruh dunia. ESBL awalnya muncul di Eropa Barat yang diduga akibat penggunaan expanded-spectrum lactam antibiotic yang tidak tepat. Dalam waktu singkat ESBL telah terdeteksi di Amerika Serikat dan Asia. Prevalensi ESBL berbeda antar negara dan antar institusi. Di Amerika Serikat ESBL pada Enterobacteriaceae 0 25%, rata-rata nasional 3%. Diantara isolat K. pneumoniae prosentase resisten ceftazidime 5% pada non-intensive care unit (non-ICU) dan 10% pada ICU. Prevalensi ESBL Enterobacteriaceae di Eropa sangat bervariasi. Di Belanda survai pada 11 laboratorium rumah sakit ditemukan ESBL <1% pada E. coli dan K. Pneumoniaee, di Prancis 40% K. pneumoniaee resisten terhadap ceftazidime. Untuk Eropa insiden resisten ceftazidime pada K. pneumoniaee mencapai 20% (non-ICU) dan 42% (ICU). Di Jepang prosentase ESBL E. coli hanya <0.1% dan K pneumoniaee 0.3%. Prosentase ESBL E. coli dan K. pneumoniaee 4.8%, di Korea, 8.5% di Taiwan dan 12% di Hong Kong.18,19,20 Beberapa faktor resiko yang memperbesar insiden ESBL adalah lama perawatan, derajat keparahan penyakit, lama perawatan di ICU, intubasi dan ventilasi mekanik, kateterisasi urin atau arteri dan paparan antibiotik sebelumnya. ESBL terutama ditemukan di ICU, bangsal bedah dan tempat lain di rumah sakit. ESBL juga meningkat pada pasien dengan extended-care facilities. Berbagai rumah sakit memiliki pengalaman wabah ESBL. Hal ini kemungkinan berhubungan dengan perpindahan penderita antar unit atau antar rumah sakit. Wabah yang terjadi umumnya dapat ditangani dengan sistem pengendalian infeksi, pembatasan penggunaan oxyimino-cephalosporins dan antibiotic cycling. Pendekatan yang terbukti sukses mengontrol penyebaran ESBL adalah dengan cara mengganti broad-spectrum antibiotic yang berbeda untuk pengobatan infeksi berat misalnya imipenem diganti piperacillin-tazobactam21. Berdasarkan hasil riset ini dapat disimpulkan bahwa prevalensi ESBL cukup tinggi di Indonesia khususnya di Palembang terutama E. coli yang mengandung gen TEM. Daftar Acuan Kesungguhan untuk mendeteksi ESBL didasari dua alasan yaitu adanya peningkatan prevalensi ESBL di seluruh dunia dan banyak galur ESBL memperlihatkan 1. Bradford P. Extended spectrum ß lactamases in the 21st century: characterization, epidemiology, and JURNAL KEDOKTERAN DAN KESEHATAN, TH. 43, NO. 1 JANUARI 2011 : 3098-3102 detection of this important resistance threat. Clinical Microbiology Revisi 2001; 14: 933-951 2. Nathisuwan S, Burgess DS, Lewis II Js. Extended Spectrum ß Lactamases : Epedimiology, Detection, and Treatment. Pharmacotherapy. 2001; 21(8); 920-8 3. Branger C, Lesimple CA, Bruneu B, et al. 1. Long term investigation of the clonal dissemination of Klebsiella pneumoniae isolates producing extended spectrum ß lactamases (ESBL) in a university hospital. J Med Microbial 1998; 47: 210-0 4. Chaibi, E. B., D. Sirot, G. Paul, and R. Labia. 1999. Inhibitor-resistant TEM-: phenotypic, genetic and biochemical characteristics. J. Antimicrob. Chemother. 43:447-458. 5. Lucel. JC, Regneir B. Enterobactericeae producing extended spectrum ß Lactamases. Pathol Biol. 1998; 46: 235-43 6. Melzer, M. and I.Perersen, 2007. Mortality following bacteraemic infection caused by Extended Spectrum ß Lactamases (ESBL) producing Escherichia coli compared to non ESBL producing Escherichia coli. J infect., SS: 254-259 7. Thomson KS, Sanders CC, Moland ES. Detection of extended spectrum ß Lactamases in members of the family Enterobactericeae comparison of the double disk and three dimensional test. Antimicrob Agents Chemother 1992; 36: 1877-82 8. Bali, E.B et al..2010.Phenotypic and Molecular Characterization of SHV, TEM, CTX-M and extended spectrum βLactamases Produced by Escherichia coli, Acinobacter baumanii, and Klebsiella isolates in a Turkish Hospital. Turkey : Departement of Biology and Microbiology, Gazi University. 9. Winokur PL, Canion R, Casellas JM, dkk. Variations in the prevalence of strains expressing an ESBL phenotype and characterization of isolates from Europe, the Americas, and the Western Pacific Region. Clin infect Dis 2001; 32 suppl, 2: s94-103 10. Paterson DL, Bonomo RA. Extended spectrum βlactamase: a clinican update. Clin Microbiol Rev. 2005; 18(4): 657-86 11. Queenan AM, Foleno B, Gownley C, Wira E,Bush K.2004. Effects of inoculum and β-lactamase activity in ampc and extended-spectrum β-lactamase (ESBL)producing Escherichia coliand Klebsiella pneumoniae: 3102 clinical isolates tested by using nccls esbl methodology. J. Clin. Microb. 42:269-275 12. Batchoun, R.G et al.. 2009. ESBL among GramNegative Bacterial Isolates from Clinical Specimens in Three Major Hospitals in Northern Jordan. Jordan : Departement of Medical Laboratory Sciences University of Science and Technology Jordan. 13. Bermudes, H., C. Arpin, F. Jude, Z. El-Harrif, C. Bebear, and C. Quentin. 1997.Molecular epidemiology of an outbreak due to extended-spectrum beta lactamaseproducing Enterobactericae in a French hospital. Eur. J. Clin. Microbiol. Infect. Dis. 16: 523-529 14. Cotton MF, Waserman E, Pieper CH. Invasive disease due to extended spectrum ß lactamases producing Klebsiella pneumoniain a neonatal unit : the possible role of cockroaches. J Hosp Infect 2000; 44: 13-7 15. Sharma J, Meera S, Palap R. 2009. Detection of TEM and SHV in Escherichia Coli and Klabisella Pneumonia Isolates in a Tertiary Care Hospital from India. Indian Journal Med Res. 132: 332-336 16. Taslima, Yasmin. 2012. Prevalence of ESBLamong E. coli and Klabsiella Sp in a Tertiary Care Hospital and Molecular Detection of Important ESBL Producing Genes by Multipex PCR. Departement Microbiology and Immunology Mymensingh Medical College. Mymensingh. Banglades. Hal, 66-85. 17. Jacoby GA, Munoz-Prize LS. 2005. The New BetaLactamases. England Journal of Medicine. 352: 360391. 18. Jain A, Mondal R. 2008. TEM dan SHV genes in Extended Spectrum β-Lactamase producing Klabisella spesies and Their Antimicrobial resistance Pattern. Indian J Med. 2009: 759-764. 19. D’Agata, E., L. Venkataranam, P. DeGiorolami, L. Weigel, M. Samore, F Tenover. 1998. The Molecular and clinical Epidemiology of EnterobacteriaceaceProducing Extended Spectrum Beta-lactamase in a Tertiary Care Hospital. Journal Infection. 36: 279-295. 20. Emery, C. L., L. A. Weymounth. 1997. Detection and Clinical Significance of Extended Spectrum in Tertiary Care Medical centre. J. Clin. Microbiol. 35: 2061-67. 21. Al-Jasser AM. 2006. Extended-Spectrum BetaLactamases (ESBLs): A Global Problem. Kuwait Medical Journal. 38 (3): 171-185.