esbl

advertisement
KEJADIAN INFEKSI ENTEROBACTERIACEAE PENGHASIL
EXTENDED-SPECTRUM BETA-LACTAMASE (ESBL) DAN
HUBUNGANNYA DENGAN PENGGUNAAN TRACHEAL TUBE
PADA PASIEN ICU PUSAT RUMAH SAKIT CIPTO
MANGUNKUSUMO TAHUN 2011
Faradila Keiko
Yulia Rosa
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Jakarta, Indonesia
Abstrak
Enterobacteriaceae merupakan salah satu penyebab terpenting infeksi nosokomial dan
komunitas. Resistensi Enterobacteriaceae terhadap agen antimikroba menyulitkan tatalaksana
penyakit serta meningkatkan biaya pelayanan kesehatan. Salah satu mekanisme resistensinya
adalah produksi enzim extended-spectrum beta-lactamase (ESBL). Salah satu faktor yang
memudahkan timbulnya infeksi bakteri resisten adalah penggunaan alat medis invasif,
contohnya tracheal tube. Oleh karena itu, diperlukan data mengenai kejadian infeksi ESBL di
rumah sakit Indonesia yang dihubungkan dengan penggunaan tracheal tube sehingga dapat
dilakukan usaha pencegahan dan kontrol ESBL. Penelitian ini merupakan studi cross
sectional analitik menggunakan data sekunder hasil pemeriksaan kultur mikrobiologi sputum
serta rekam medik 111 pasien ICU Pusat RSCM bulan Januari 2011 sampai bulan Agustus
2011. Kultur sputum pasien yang menggunakan tracheal tube maupun tidak diuji
resistensinya. Data dianalisis dengan uji Chi-square, p=0,05. Hasil perbandingan data antara
proporsi pasien yang positif terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan menggunakan
tracheal tube dengan proporsi pasien yang positif terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil
ESBL dan tidak menggunakan tracheal tube adalah RR >1 dengan nilai kemaknaan p=0.003.
Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko terhadap
kejadian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL.
Kata Kunci: ESBL; alat invasif; tracheal tube; ICU
Abstract
Enterobacteriaceae is one of the most important cause of nosocomial and communityacquired infection. Resistance of Enterobacteriaceae to antimicrobial agents causes difficult
choice of antimicrobial agents and increase healthcare cost. One of the mechanism of
resistance is the production of extended-spectrum beta-lactamase (ESBL) enzyme. One of the
factors contributing to the infection of resistant bacteria is the use of invasive medical devices,
for example tracheal tube. Therefore, data for the emergence of ESBL-producing
Enterobacteriaceae infection associated with the use of tracheal tube in hospitals in Indonesia
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
is needed so that prevention and control of infection can be established. This research is an
analytic cross sectional study. It uses secondary data results from medical records of 111
patients from the Adult ICU RSCM in January 2011 until August 2011 and microbiological
examination of sputum culture. Sputum culture of patients using and not using tracheal tube
were tested for resistance. The data is analyzed with Chi-square, p=0,05. The data
comparison between proportion of patients with positive ESBL-producing
Enterobacteriaceae infection using tracheal tube to the proportion of patients not using
tracheal tube is RR > 1 with significance value p=0.003. This suggests that the use of tracheal
tube is the risk factor of ESBL-producing Enterobacteriaceae infection.
Keywords: ESBL; invasive devices; tracheal tube; ICU
Pendahuluan
Kejadian dan penyebaran resistensi pada Enterobacteriaceae menyulitkan tatalaksana
penyakit terutama infeksi yang berat dan kritisi, apalagi dengan munculnya spesies yang
resisten terhadap hampir seluruh agen antimikroba yang ada. Salah satu mekanisme resistensi
bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae adalah produksi extended-spectrum betalactamase (ESBL). Resistensi ini disebabkan akuisisi plasmid yang mengandung gen yang
mengkode enzim extended-spectrum beta lactamase (ESBL).1 ESBL terutama diproduksi oleh
Eschericia coli dan Klebsiellae spp.2 Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL semakin
banyak ditemukan di pusat pelayanan kesehatan dan bahkan di komunitas.1
Di PICU RSAI Harkit, prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di PICU
mencapai 16% dengan penyebab utama Klebsiella pneumoniae (45%), dan diikuti oleh E. coli
(19%). Sedangkan di Singapura, angka ESBL masih mencapai 40%.3 Menurut data dari
Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection di Eropa dan USA, prevalensi
penghasil ESBL tahun 2006 dan 2007 adalah: E.coli: 8,2 dan 6,0%; Klebsiella spp.: 9,8 dan
12 %; dan Proteus Mirabilis: 1,4% dan 0%. 4
Resistensi antimikroba merupakan penentu penting keberhasilan pengobatan pasien
infeksi di intensive care unit (ICU). Hal ini meningkatkan biaya pelayanan kesehatan
dikarenakan pertambahan lama rawat dan kegagalan terapi antibiotik.5 Pilihan terapi empirik
infeksi oleh Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL sulit dan terbatas.1 Untuk
mengatasi hal ini diperlukan pengendalian pengunaan antimikroba, implementasi kontrol
infeksi yang lebih luas, serta intervensi kesehatan masyarakat yang ditujukan untuk mencegah
penyebaran.5
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Pada penelitian yang dilakukan Trouillet dkk, 77 dari 135 (57%) pasien dengan
Ventilator Associated Pneumonia disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik.5
Salah satu faktor yang memudahkan timbulnya bakteri resisten tersebut adalah penggunaan
alat invasif, salah satunya adalah tracheal tube. Diduga pada tracheal tube terdapat
pembentukan biofilm pada permukaannya sehingga menyebabkan bakteri sulit ditembus oleh
antimikroba dan sulit dieradikasi.6
Pada penelitian ini, peneliti ingin mengetahui apakah terdapat hubungan yang
bermakna
antara
penggunaan
alat
invasif
yaitu
tracheal
tube
dengan
kejadian
Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Dengan begitu peneliti berharap kejadian infeksi di ICU
terutama infeksi mikroba yang resisten terhadap antimikroba dapat ditekan dengan cara
membatasi penggunaan alat invasif seperti tracheal tube. Dengan mengetahui hubungan
faktor risiko yaitu penggunaan tracheal tube dengan kejadian Enterobacteriaceae penghasil
ESBL, diharapkan para praktisi kesehatan lebih waspada dalam menangani pasien infeksi
terutama di ICU.
Didasari dengan latar belakang yang dikemukakan, peneliti merumuskan masalah
pada penelitian, yaitu:
•
Bagaimana prevalensi kejadian Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat
RSCM?
•
Bagaimana hubungan antara prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan
penggunaan alat medis invasif tracheal tube?
Tujuan
umum
penelitian
ini
adalah
mencegah
terjadinya
infeksi
oleh
Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang diakibatkan penggunaan tracheal tube di ICU
Pusat RSCM tahun 2011. Tujuan khusus penelitian ini adalah mengetahui data mengenai
prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di ICU Pusat RSCM tahun 2011 serta
mengetahui hubungan infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan penggunaan alat
medis invasif tracheal tube.
Tinjauan Teoritis
Multidrug Resistant Organism (MDRO)
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Multidrug Resistant Organism atau MDRO merupakan bakteri yang resisten terhadap
lebih dari satu golongan antibiotik yang berbeda. Apabila masuk ke dalam tubuh manusia,
dapat melalui luka, ginjal, darah maupun paru, MDRO dapat mengakibatkan timbulnya
penyakit.7 Apabila bakteri hidup di dalam tubuh inangnya namun tidak menimbulkan
penyakit maka dikatakan bahwa bakteri tersebut berkolonisasi di dalam tubuh. Akan tetapi,
apabila bakteri yang berada di dalam tubuh inangnya menimbulkan penyakit, hal ini dikatakan
sebagai infeksi.8 Salah satu contoh MDRO adalah Extended Spectrum Beta Lactamase
(ESBL).7
Penyebaran MDRO biasanya melalui kontak baik secara langsung maupun tidak
langsung. Deteksi infeksi MDRO dapat dilakukan dengan cara mengkultur spesimen dari
bagian tubuh yang terinfeksi seperti urin, darah, sputum, atau cairan dari luka terbuka.7 Oleh
karena antibiotik yang biasa digunakan tidak dapat bekerja lagi untuk mengobati MDRO,
pengobatan MDRO sangat sulit dan terbatas. Antibiotik lain harus digunakan sebagai
alternatif.9
Enterobacteriaceae Penghasil Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL)
Enterobacteriaceae atau batang gram negatif enterik merupakan kelompok batang
gram negatif aerobik yang memfermentasi laktosa. Enterobacteriaceae normal berada di
dalam saluran gastrointestinal bawah. Terapi antibiotik dan penyakit yang kritis dapat
mensupresi flora normal sehingga menyebabkan pertumbuhan Enterobacteriaceae berlebih di
usus dan kolonisasi pada kulit, saluran gastrointestinal atas, dan saluran pernapasan.10
Enterobacteriaceae merupakan salah satu penyebab terpenting infeksi nosokomial dan
komunitas yang serius pada manusia, dan resistensi terhadap agen antimikroba pada spesiesspesies ini telah menjadi masalah yang penting. Antibiotik seperti beta lactam dan
fluoroquinolone adalah kelas obat penting yang digunakan untuk menatalaksana infeksi yang
disebabkan Enterobacteriaceae. 11
Salah satu mekanisme resistensi bakteri gram negatif dari famili Enterobacteriaceae
adalah produksi enzim extended-spectrum beta-lactamase (ESBL).1 ESBL terutama
diproduksi oleh Eschericia coli dan Klebsiellae spp.2
Beta-lactamase merupakan enzim yang diproduksi bakteri gram negatif dan bakteri
gram positif tertentu.8 Cincin beta-lactam yang terdapat pada antibiotik beta-lactam dipecah
oleh beta-lactamase sehingga kemampuan antibiotik tersebut dirusak.12 Beta lactamase yang
dimediasi plasmid yang pertama pada bakteri gram negatif yaitu TEM-1 yang terdapat pada
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
strain E. coli di Yunani. Beta lactamase ini menyebar dengan cepat ke famili
Enterobacteriaceae yang lain. Pada waktu yang bersamaan, beta lactamase yang dimediasi
plasmid lain yaitu SHV-1 (sulfhydryl variable) ditemukan pada Klebsiella pneumoniae dan E.
coli. Oxyimino-cephalosporin menunjukkan stabilitas yang baik terhadap beta lactamase
TEM-1 dan SHV-1. 13 Pada tahun 1980-an beta-lactamase jenis baru yaitu SHV-2 diproduksi
oleh Klebsiella pneumoniae dan Eschericia coli sehingga membuat extended spectrum
cephalosporin tersebut yang tadinya resisten terhadap aktivitas beta-lactamase menjadi tidak
efektif.12,13 Organisme-organisme yang memproduksi beta-lactamase jenis baru tersebut
dinamakan Extended Spectrum Beta Lactamase (ESBL).14
Hingga saat ini, terdapat lebih dari 130 beta lactamase tipe TEM dan lebih dari 50
beta lactamase tipe SHV. Beta lactamase ini terutama ditemukan pada E.coli, K. pneumoniae,
dan Proteus mirabilis. Mereka dapat menghidrolisis beta lactam oxyimino seperti ceftazidime,
cefpodoxime, ceftriaxone, dan cefotaxime, serta monobactam (aztreonam). Tipe beta
lactamase lainnya yaitu CTX-M yang aktivitasnya lebih besar pada cefotaxime dibandingan
dengan ceftazidime serta carbapenemase yang juga aktif melawan carbapenem. Selain
memiliki beta lactamase, bakteri-bakteri tersebut juga mengalami delesi porin.14
Data dari Meropenem Yearly Susceptibility Test Information Collection menunjukkan
prevalensi penghasil ESBL di Eropa (2006) dan USA (2007) adalah: E.coli: 8,2 dan 6,0%;
Klebsiella spp.: 9,8 dan 12 %; dan Proteus Mirabilis: 1,4 dan 0%.4 Menurut studi MYSTIC
tahun 2003, Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan ESBL sebanyak 30,6%. Lebih dari
50% isolat Klebsiella pneumoniae merupakan penghasil ESBL di Eropa Timur dan Amerika
Selatan.13 Sekitar 20% infeksi Klebsiella pneumoniae di ICU di United States juga mencakup
strain yang menghasilkan ESBL ini. Di Singapura, angka kejadian ESBL mencapai 40%. 1
Sementara di RSIA Harkit, prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di PICU
mencapai 16% dengan penyebab utama Klebsiella pneumoniae (45%), dan diikuti oleh E. coli
(19%).3
Mekanisme Resistensi Enterobacteriaceae Penghasil ESBL
Pada bakteri gram negatif, mekanisme resistensi beta lactam terutama mencakup
hidrolisis yang dimediasi beta lactamase yang menyebabkan inaktivasi antibiotik. Selain itu
terjadi peningkatan efluks yang efeknya diperkuat oleh impermeabilitas yang meningkat
seiring dengan hilangnya porin sehingga menurunkan jumlah antibiotik yang masuk kedalam
sel bakteri tersebut. Resistensi didapatkan melalui transfer plasmid yang dapat mengandung
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
gen-gen yang resisten, termasuk gen yang mengkode beta lactamase multipel dari kelas-kelas
fungsional yang berbeda. 2,15
Beta lactam harus berdifusi melalui membran luar sel bakteri gram negatif
menggunakan pori-pori yang dibentuk protein porin, kemudian menyeberangi periplasma
yang dapat mengandung beta lactamase. Setelah melewati keduanya, beta lactam mencapai
targetnya yaitu PBP yang berada pada permukaan terluar membran sitoplasma. Resistensi
terjadi dikarenakan faktor impermeabilitas dan keberadaan beta-lactamase. 15
Jenis enzim beta-lactamase berjumlah lebih dari 950. Enzim-enzim ini dapat berupa
beta lactamase spesifik-spesies seperti pada Klebsiella oxytoca, atau diproduksi oleh elemen
ekstra kromosomal dimana delapan beta lactamase yang berbeda dapat dimiliki oleh satu
organisme. Empat kelompok besar beta lactamase diidentifikasi berdasarkan spesifisitas
substrat, yaitu: penicillinase, AmpC-type cephalosporinase, extended spectrum beta
lactamase (ESBL), dan carbapenemase. ESBL dan cephalosporinase yang dapat
menghidrolisis expanded-spectrum cephalosporin seperti cefotaxime atau ceftazidime
merupakan kelompok yang terbesar. Enzim-enzim ini dihasilkan Enterobacteriaceae dengan
kemampuannya untuk menghidrolisis semua penicillin dan cephalosporin.2
Contoh awal ESBL adalah mutan penisilinase yang dimediasi plasmid TEM dan SHV
dengan satu atau lebih substitusi asam amino. Mutasi menyebabkan pembesaran situs aktif
sehingga terjadi defleksi kelompok oxyimino dan penyerangan terhadap cincin beta lactam.
Mutasi ini paling sering terjadi pada Klebsiella spp., epidemiologinya merefleksikan
gabungan antara ekspansi klonal transfer plasmid dan kejadian mutasi berulang. Beberapa
produsen klon menyebar di rumah sakilt, contohnya Klebsiella pneumoniae serotipe K25
dengan SHV-4. 15
Tracheal Tube Sebagai Faktor Risiko Kejadian Enterobacteriaceae Penghasil ESBL
Ventilator-associated pneumonia (VAP) didefinisikan sebagai pneumonia yang
berkembang ketika pasien menerima ventilasi mekanis yang menggunakan tracheal tube
untuk mendukung kegagalan pernapasan akut.10 Tracheal tube dipasang melalui orofaring dan
laring yang merupakan tempat kolonisasi mikroba ke trakheobronkial yang steril pada
keadaan normal, membuat jalur langsung dari ventilator eksternal ke paru-paru.16
Kewaspadaan terhadap mikroba penyebab potensial VAP dan konfirmasi penyebab
spesifik diperlukan sebagai dasar pemilihan terapi antibiotik yang optimal. Terapi antibiotik
yang inadekuat dapat menyebabkan peningkatan prevalensi resistensi antibiotik. Organisme
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
penyebab VAP banyak yang resisten terhadap antibiotik, salah satunya adalah
Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional harus
diminimalkan untuk mencegah perkembangan resistensi yang lebih luas.10
Pada penelitian yang dilakukan Trouillet dkk, 77 dari 135 (57%) pasien dengan
ventilator associated pneumonia disebabkan oleh bakteri yang resisten terhadap antibiotik.
Salah satu faktor risiko fenomena ini adalah penggunaan alat yang invasif seperti tracheal
tube.5 Diduga pada permukaan tracheal tube terdapat pembentukan biofilm pada
permukaannya.6 Biofilm mikroba merupakan reservoir patogen, menyebabkan bakteri yang
terdapat dibawah lapisan biofilm sukar ditembus antibiotik dan menjadi resisten.6,17 Biofilm
ditemukan pada permukaan luar dan dalam tracheal tube setelah dipasang dalam waktu
kurang dari 24 jam.16
Jalur infeksi nosokomial utama adalah aspirasi bakteri patogen yang berkolonisasi di
orofaring dan saluran gastrointestinal. Ketika mikroorganisme mencapai paru-paru distal,
mikroorganisme tersebut bermultiplikasi dan menyebabkan penyakit.18 Mikroba ini dapat
merusak paru-paru pasien yang diintubasi, kejadian infeksi tergantung dari imunitas pasien,
integritas paru-paru, kualitas dan jenis mikroba serta kemampuan mekanisme pertahanan
tubuh pasien untuk mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri. Komunitas mikroba berubah
pada saat antibiotik diberikan. Seleksi bakteri yang resisten dapat terjadi pada komunitas
bakteri ini yang dapat menyebabkan kerusakan paru dan kematian. 19
Pertahanan tubuh seperti filtrasi dan humidifikasi udara pada saluran napas atas,
refleks epiglotis dan batuk, transpor silia oleh epitel saluran pernapasan, fagosit dan opsonin
pada paru-paru distal, serta imunitas selular dan humoral sistemik mencegah invasi bakteri. Di
ICU, pertahanan tubuh pasien terganggu karena penyakit penyerta dan alat medis invasif yang
digunakan. Tracheal tube membuka pita suara sehingga memfasilitasi aspirasi. Tracheal tube
mengganggu pertahanan tubuh, mengganggu klirens mekanis saluran pernapasan,
menyebabkan inflamasi dan trauma lokal, dan menyebabkan berkumpulnya sekresi di sekitar
cuff.18
Untuk menurunkan kejadian VAP, dapat dilakukan hal-hal seperti mengatur
kemiringan bagian kepala di tempat tidur sebesar lebih dari 30 derajat, pemberian
chlorhexidine oral setiap 12 jam, serta penyedotan subglotis berkelanjutan.20 Tekanan cuff
harus optimal untuk mencegah bocornya sekresi subglotis yang berkolonisasi ke saluran
napas bawah. Penyedotan sekresi orofaring dan saluran napas atas di atas endotracheal cuff
dapat mencegah aspirasi, namun dalam penelitian lain penyedotan ini tidak berpengaruh
terhadap kejadian VAP karena hanya mereduksi bukan mengeliminasi volume cairan yang
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
teraspirasi ke paru-paru.18
Deteksi Enterobacteriaceae Penghasil ESBL
Deteksi mikroba yang resisten dilakukan dengan uji kepekaan terhadap antimikroba.
Tes ini ditujukan agar klinisi dapat memberikan terapi antibiotik yang sesuai. Dua metode
dasar uji kepekaan terhadap antimikroba adalah yaitu tes yang bersifat kualitatif atau
kuantitatif.21
Deteksi ESBL didasarkan kepada resistensi terhadap substrat oxyimino-beta-lactam
(cefotaxime, ceftazidime, ceftriaxone, atau cefepime) dan kemampuan inhibitor beta-lactamase,
biasanya clavulanate, untuk memblok resistensi ini. CLSI merekomendasikan skrining isolat
E. coli, K. pneumoniae, K. oxytoca atau Proteus spp. dengan disk diffusion atau broth dilution
untuk resistensi, dilanjutkan dengan tes konfirmasi dimana terjadi peningkatan kepekaan
dengan keberadaan clavulanate.22
Disk diffusion (difusi cakram) merupakan metode kualitatif uji kepekaan terhadap
antimikroba. Pada metode ini, molekul antibiotik berdifusi dari cakram ke dalam agar,
sehingga menciptakan gradien konsentrasi antibiotik yang berubah-ubah sementara organisme
yang diuji mulai berproliferasi dan bertumbuh. Zone edge merupakan dimana konsentrasi
antibiotik mulai menghambat organisme. Zone margin merupakan area dimana tidak ada
pertumbuhan yang terlihat dengan mata telanjang.21
Broth microdilution dan agar dilution adalah metode kuantitatif karena mereka dapat
menghitung minimum inhibitory concentration (MIC). MIC merupakan konsentrasi terendah
antibiotik yang menginhibisi pertumbuhan mikroorganisme. Pada infeksi yang kritis,
penentuan nilai MIC kuantitatif yang akurat diperlukan sebagai pemandu terapi. Larutan agen
antimikrobial dimasukkan ke dalam tabung uji (makrodilusi), sumur multipel (mikrodilusi),
atau medium agar. Setiap tabung, sumur, atau agar mengandung konsentrasi antibiotik yang
berbeda-beda yang diinokulasikan dengan spesimen. MIC dapat ditentukan berdasarkan
tingkat pertumbuhan yang dapat dilihat.21
Tes skrining inisial:
1. Disk diffusion23
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Disk diffusion dilakukan menggunakan agar MHA. Konsentrasi agen antimikroba
yang digunakan untuk K. pneumoniae, K. oxytoca, dan E.coli adalah cefpodoxime 10
µg atau ceftazidime 30 µg atau aztreonam 30 µg atau cefotaxime 30 µg atau
ceftriaxone 30 µg. Untuk P. mirabilis, cefpodoxime 10 µg atau ceftazidime 30 µg atau
cefotaxime 30 µg. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0C selama 16-18 jam. Hasil tes
positif ESBL pada K. pneumoniae, K. oxytoca, dan E.coli apabila zona cefpodoxime <
17 mm, zona ceftazidime < 22 mm, zona aztreonam < 27 mm, zona cefotaxime < 27
mm, zona ceftriaxone < 25 mm. Untuk P. mirabilis, zona cefpodoxime < 22 mm, zona
ceftazidime < 22 mm, zona cefotaxime < 27 mm.
2. Broth microdilution23
Broth microdilution dilakukan menggunakan agar CAMHB. Konsentrasi agen
antimikroba yang digunakan untuk K. pneumoniae, K. oxytoca, dan E.coli adalah
cefpodoxime 4 µg atau ceftazidime 1 µg atau aztreonam 1 µg atau cefotaxime 1 µg
atau`ceftriaxone 1 µg. Untuk P. mirabilis, cefpodoxime 1 µg atau ceftazidime 1 µg
atau cefotaxime 1 µg. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0C selama 16-20 jam.
Pertumbuhan pada atau di atas konsentrasi skrining mengindikasikan produksi ESBL.
Untuk E. coli, K. pneumoniae, dan K. oxytoca, MIC > 8 µg/mL untuk cefpodoxime
atau MIC > 2 µg/mL untuk ceftazidime, aztreonam, cefotaxime, atau ceftriaxone; dan
untuk P. mirabilis, MIC > 2 µg/mL untuk cefpodoxime, ceftazidime, atau cefotaxime.
Tes konfirmasi fenotip:23
1. Disk diffusion23
Disk diffusion dilakukan menggunakan agar MHA. Konsentrasi agen antimikroba
yang digunakan yaitu ceftazidime 30 µg, ceftazidime-clavulanic acid 30/10 µg dan
cefotaxime 30 µg, cefotaxime-clavulanic acid 30/10 µg. Tes ini dilakukan dengan dan
tanpa kombinasi dengan clavulanic acid. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0C
selama 16-18 jam. Peningkatan zona diameter > 5 mm pada salah satu agen
antimikrobial yang diuji pada kombinasi dengan clavulanic acid dibandingkan dengan
besar zona saat diuji sendiri mengkonfirmasi hasil positif ESBL.
2. Broth microdilution23
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Broth microdilution dilakukan menggunakan agar CAMHB. Konsentrasi agen
antimikroba yang digunakan yaitu ceftazidime 0.25 - 128 µg/mL, ceftazidimeclavulanic acid 0.25/4 – 128/4 µg/mL dan cefotaxime 0.25 – 64 µg/mL, cefotaximeclavulanic acid 0.25/4 – 64/4 µg/mL. Tes ini dilakukan dengan dan tanpa kombinasi
dengan clavulanic acid. Inkubasi dilakukan pada suhu 35 + 2 0C selama 16-20 jam.
Penurunan konsentrasi > 3 pengenceran ganda pada salah satu agen antimikrobial
yang diuji pada kombinasi dengan clavulanic acid dibandingkan dengan MIC saat
diuji sendiri mengkonfirmasi hasil positif ESBL.
Tes-tes lainnya yaitu:21
•
Double disk test. Cakram clavulanate yang ditempatkan di dekat cakram dengan
oxyimino-beta-lactam memperkuat kepekaan terhadap oxyimino-beta-lactam.
•
Strip etest. Strip etest mengandung oxyimino-beta-lactam bergradien dengan
tambahan kandungan clavulanate di salah satu sisi.
•
Tes tiga dimensi yang menguji kemampuan kultur organisme mendistorsi zona
inhibisi di sekeliling cakram oxyimino-beta-lactam.
Kebanyakan lab menggunakan automated system yang ditunjang oleh satu atau lebih
metode manual. Sistem ini mengandung algoritma terkomputerisasi untuk
menginterpretasikan hasil dan mengidentifikasi kerentanan terhadap antibiotik, menggunakan
panel komersial yang mengandung faktor-faktor pertumbuhan untuk mempercepat
pertumbuhan organisme. Sistem ini juga menggunakan software untuk menganalisis tingkat
pertumbuhan dan MIC antibiotik.21
Pencegahan, Kontrol, dan Tatalaksana Enterobacteriaceae Penghasil ESBL
Pencegahan kerusakan paru yang diinduksi bakteri salah satunya dapat dilakukan
dengan melepas tracheal tube. Cara lain adalah dengan menghentikan penggunaan antibiotik
apabila data kultur negatif, serta menurunkan kuantitas patogen pada sekresi oral dengan
antiseptik seperti clorhexidine.19
Keberadaan Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL mempersulit terapi karena
organisme ini resisten terhadap beberapa obat. Hal pertama yang harus dikonfirmasi pada
isolat pasien yang mengindikasikan adanya Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL
adalah apakah pasien mengalami infeksi. Pasien dengan isolat positif dari urin atau saluran
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
pernapasan dapat mengalami kolonisasi saja dimana pemberian terapi antibiotik tidak
diindikasikan. 1
Pilihan terapi empirik infeksi oleh Enterobacteriaceae yang memproduksi ESBL sulit
karena kecenderungan resistensi terhadap berbagai obat. Pemberian imipenem terhadap 10
dari 10 pasien (100%) pneumonia yang disebabkan mikroorganisme yang memproduksi
ESBL memberikan respon klinis positif, sementara 9 dari 13 (69%) pasien memberikan
respon positif setelah diberikan cefepime. Pada pasien yang terinfeksi oleh Klebsiella
pneumoniae, tingkat kematian selama 14 hari adalah 4,8% (2 dari 42) pada pasien yang
diberikan monoterapi atau terapi kombinasi carbapenem, dan 27,6% (8 dari 29) pada pasien
yang diberikan antibiotik non-carbapenem. Produsen ESBL sering resisten terhadap quinolon,
aminoglycosides, dan trimethoprim-sulfamethoxazole (TMP-SMX). 1
Tigecycline menunjukkan aktivitas in-vitro terhadap Enterobacteriaceae yang
memproduksi ESBL, namun data klinis yang menunjukkan efektivitas tigecycline terhadap
infeksi sangat kurang. Farmakokinetik tigecycline membatasi perannya pada infeksi saluran
kemih, selain itu tigecycline juga tidak dapat digunakan pada anak-anak dikarenakan efeknya
pada deposisi tulang dan gigi yang berkembang. Sekarang, belum ada antimikroba lain
dengan aktivitas yang bermakna secara klinis terhadap strain bakteri Gram negatif yang
resisten.24
Metode Penelitian
Desain penelitian ini merupakan studi cross-sectional analitik yang digunakan untuk
melihat
hubungan prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan penggunaan
tracheal tube pasien-pasien di ICU Pusat Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Populasi target pada penelitian ini adalah pasien ICU RSCM, sementara populasi
terjangkau pada penelitian ini adalah pasien ICU Pusat RSCM. Sampel penelitian ini adalah
pasien yang dirawat di ICU RSCM pada tahun 2011 bulan Januari 2011 sampai bulan
Oktober 2011. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling.
Data diolah menggunakan program SPSS 17.0. Data dianalisis menggunakan analisis
bivariate (x2/ fischer) yang digunakan dengan tujuan mengetahui hubungan variable
independen dengan variabel dependen. Hubungan tersebut diketahui dengan risiko relatif
yang dihitung dengan formula rasio prevalens. Penghitungan risiko relatif disertai dengan
penghitungan interval kepercayaan.
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Hasil Penelitian dan Pembahasan
Data
penelitian
didapatkan
dari
data
sekunder,
terdiri
atas
hasil
kultur
Enterobacteriaceae penghasil ESBL dan rekam medis pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011.
Dalam jangka waktu selama 7 bulan pada tahun 2011 (bulan Januari sampai Agustus 2011)
terdapat 755 pasien yang terdaftar dirawat di ICU Pusat RSCM. Untuk data penelitian ini,
didapatkan 111 pasien yang terdaftar di ICU dari tanggal 10 Januari 2011 sampai 9 Agustus
2011. Dari 111 pasien, 57 pasien berjenis kelamin laki-laki dan 54 pasien berjenis kelamin
perempuan. Pasien yang berusia 0-10 tahun berjumlah 1 orang, 11-20 tahun berjumlah 13
orang, 21-30 tahun berjumlah 11 orang, 31-40 tahun bersumlah 18 orang, 41-50 tahun
berjumlah 27 orang, 51-60 tahun berjumlah 26 orang, 61-70 tahun berjumlah 13 orang, dan
71-80 tahun berjumlah 4 orang. Pada pasien-pasien ini dilakukan kultur oleh Departemen
Mikrobiologi FKUI. Pasien-pasien tersebut mewakili populasi terjangkau penelitian, yaitu
pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011.
Penelitian dilakukan pada 111 sampel yang mewakili populasi terjangkau pasien ICU
Pusat RSCM tahun 2011. Data yang diambil dari pasien antara lain identitas dan pemakaian
alat medis invasif berupa tracheal tube dari rekam medis ICU serta hasil kultur mikrobiologi
yaitu apakah pasien terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL atau tidak. Spesimen
infeksi yang digunakan untuk kultur berupa sputum.
Pada pasien ICU Pusat RSCM tahun 2011, prevalensi infeksi Enterobacteriaceae
penghasil ESBL adalah 7 dari 111 (6,3%). (Diagram 4.1) Apabila dibandingkan dengan
prevalensi Enterobacteriaceae penghasil ESBL di RSIA Harkit yaitu 16%, prevalensi di ICU
Pusat RSCM lebih rendah.3 Begitu juga bila dibandingkan dengan prevalensi di Singapura,
dimana angka kejadian ESBL mencapai 40%. 1
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada pasien ICU Pusat RSCM 120 100 80 60 40 20 0 Terinfeksi Tidak terinfeksi Gambar 1 Prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada pasien ICU Pusat
RSCM
Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang terdeteksi pada penelitian ini diantaranya
adalah Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 57,1% (4 dari 7 pasien), Klebsiella
oxytoca penghasil ESBL sebanyak 28,6% (2 dari 7 pasien), Enterobacter sakazakii penghasil
ESBL sebanyak 14,3 % (1 dari 7 pasien), dan Serratia marcescens penghasil ESBL sebanyak
14,3% (1 dari 7 pasien). Total pasien yang terinfeksi ada 7 orang, namun ada 1 orang yang
terinfeksi Klebsiella pneumoniae penghasil ESBL dan Klebsiella oxytoca penghasil ESBL.
(Grafik 4.1)
Sebanyak 3 pasien (42,8%) yang terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL
adalah laki-laki, sementara 4 pasien (57,1%) adalah perempuan. Pada penelitian ini infeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL cenderung pada perempuan.
Pasien yang terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL berusia 56 tahun, 17
tahun, 58 tahun, 74 tahun, 44 tahun, 8 tahun, dan 48 tahun. Pada penelitian ini infeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL cenderung pada usia di atas 40 tahun.
Sebanyak 49 (44%) pasien menggunakan tracheal tube, sementara 62 pasien tidak
menggunakan tracheal tube. Sebanyak 7 yang menggunakan tracheal tube terinfeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL, sementara 0 pasien yang tidak menggunakan tracheal
tube terinfeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL.
Tabel 1. Persebaran spesies Enterobacteriaceae penghasil ESBL pada Pasien ICU Pusat
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
RSCM
Enterobacteriaceae
ESBL (n%)
Ya
Tidak
Klebsiella pneumoniae
4 (57,1%)
3 (42,9%)
Klebsiella oxytoca
2 (28,6%)
5 (71,4%)
Enterobacter sakazakii
1 (14,3%)
6 (85,7%)
Serratia marcescens
1 (14,3%)
6 (85,7%)
Tabel 2. Hasil Kultur ESBL pada Pasien yang Menggunakan dan Tidak Menggunakan
Tracheal Tube
Kolonisasi
Positif
Negatif
Uji kemaknaan
MRSA
Pasien yang
menggunakan
Chi square
7
42
tracheal tube
Pasien yang
tidak
menggunakan
p=0.003
0
62
tracheal tube
Nilai rasio prevalens penelitian ini adalah tak terhingga. Karena nilai rasio prevalens >
1, maka penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko dari infeksi Enterobacteriaceae
penghasil ESBL. Interval kepercayaan dari penelitian ini adalah dari NaN (not a number)
sampai tak terhingga.
Pada penelitian ini uji hipotesis yang digunakan yaitu uji chi-square (uji x2) untuk dua
kelompok independen. Persyaratan dari uji x2 untuk dua kelompok independen pada
penelitian ini tidak terpenuhi dikarenakan nilai expected count kurang dari 5 pada 2 sel
sehingga digunakan Fisher’s Exact Test.
Menurut tabel di atas, nilai p=0.003. Interpretasi nilai p=0.003 adalah apabila
penggunaan tracheal tube tidak berhubungan dengan kejadian infeksi Enterobacteriaceae
penghasil ESBL, kemungkinan hasil tersebut (atau hasil yang lebih ekstrem) disebabkan
semata-mata oleh faktor peluang (chance) adalah 0,03%. Oleh karena nilai nilai p<0.05, maka
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
hasil tersebut bermakna secara statistika.
Berdasarkan data penelitian yang didapatkan, penggunaan tracheal tube merupakan
faktor risiko dari infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL. Hasil tersebut sesuai penelitian
yang dilakukan oleh Trouillet dkk, dimana penggunaan tracheal tube disebut sebagai faktor
risiko infeksi bakteri yang resisten terhadap antibiotik.5 Trouillet mengevaluasi faktor risiko
infeksi oleh patogen yang berpotensi resisten pada 135 kasus yang sudah dikonfirmasi VAP.
Isolat yang berpotensi resisten terdapat pada 77 (57%) kasus. Penelitian tersebut
mengidentifikasi 3 variabel independen yang berhubungan dengan infeksi patogen yang
berpotensi resisten, yaitu durasi ventilasi mekanis lebih dari tujuh hari (odds ratio 6.0),
penggunaan antibiotik sebelumnya (odds ratio 13.5), dan penggunaan antibiotik spektrum
luas sebelumnya (odds ratio 4.1).10
Beberapa penelitian lain juga mendukung hasil penelitian ini.25,26 Menurut Alp dan
Voss, penggunaan intubasi trakheal diasosiasikan dengan risiko relatif 3-21 kali lipat terhadap
kejadian pneumonia nosokomial.18 American Thoracic Society mengungkapkan bahwa
penggunaan intubasi dan ventilasi mekanis meningkatkan risiko HAP (hospital associated
pneumonia) sebanyak 6-21 kali lipat.17 Peningkatan risiko ini terjadi dikarenakan trauma dan
sinusitis nasofaring (nasotracheal tube), mengganggu penelanan sekresi, berperan sebagai
reservoir untuk proliferasi bakteri, meningkatkan penempelan dan kolonisasi bakteri pada
saluran napas, trauma epitel orofaring, serta mengganggu klirens silia dan batuk.18 Hal ini
menjelaskan
bahwa
penggunaan
tracheal
tube
meningkatkan
risiko
infeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL dengan cara memberikan jalan masuk bakteri ke saluran
pernapasan bawah serta mengganggu mekanisme pertahanan tubuh terhadap masuknya
bakteri tersebut.
Menurut penelitian Cook dkk, durasi penggunaan ventilator mekanis meningkatkan
risiko kumulatif VAP. Kejadian VAP sebanyak 3% per hari pada minggu pertama
penggunaan ventilator mekanis, 2% per hari pada minggu ke dua, dan 1% per hari pada
minggu ke tiga. Pada studi lain, dikatakan bahwa risiko pneumonia meningkat seiring durasi
penggunaan ventilasi mekanis dan risiko tertinggi adalah saat 8-10 hari pertama.18 Penelitian
lain yang dilakukan oleh Park juga mendukung pernyataan Cook, dimana dikatakan bahwa
determinan tunggal terpenting VAP serta kecenderungan terjadinya resistensi multi obat
adalah durasi ventilasi mekanis sebelum onset pneumonia. Peningkatan resistensi juga terjadi
seiring peningkatan durasi ventilasi mekanis dan paparan antibiotik sebelumnya. Sebanyak
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
90-100% isolat dari pasien yang menggunakan ventilasi mekanis selama kurang dari 7 hari
sensitif terhadap antibiotik yang biasa digunakan di ICU, sementara hanya 32-64% isolat
yang sensitif pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis selama lebih dari 7 hari.10
Namun, menurut data dari Canadian Critical Trials Group, terjadi penurunan risiko VAP per
hari, dimana saat minggu pertama risiko VAP 3% perhari sementara saat minggu ketiga dan
seterusnya risiko VAP perhari turun menjadi 1%. Hal ini mengindikasikan bahwa pasien yang
menggunakan ventilasi mekanis jangka panjang memiliki risiko VAP per hari lebih rendah
dibandingkan penggunaan ventilasi mekanis jangka pendek. 27
Selain penggunaan ventilasi mekanis, VAP yang resistensi terhadap antibiotik juga
dipengaruhi oleh berbagai faktor lain. Faktor dari pasien yaitu imunitas pasien, integritas
paru-paru, kualitas dan jenis mikroba, kemampuan mekanisme pertahanan tubuh pasien untuk
mencegah proliferasi dan penyebaran bakteri, jenis kelamin laki-laki, penyakit paru-paru yang
sudah ada, serta kegagalan multi organ17,19 Faktor eksternal yaitu penggunaan antibiotik, lama
rawat di rumah sakit, pernah tinggal di fasilitas perawatan jangka panjang, praktek kontrol
infeksi yang tidak adekuat, posisi tubuh (posisi berbaring), serta pemberian nutrisi enteral. 17,28
Kesimpulan
•
Di ICU Pusat RSCM tahun 2011, prevalensi infeksi Enterobacteriaceae penghasil
ESBL adalah 6,3%
•
Penggunaan tracheal tube merupakan faktor risiko infeksi Enterobacteriaceae
penghasil ESBL.
Saran
•
Diperlukan edukasi mengenai tracheal tube sebagai faktor risiko dari infeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL serta dampak dari infeksi tersebut.
•
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai faktor-faktor risiko infeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL.
•
Perlu
dilakukan
penelitian
lebih
lanjut
mengenai
mekanisme
infeksi
Enterobacteriaceae penghasil ESBL.
•
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai cara penurunan angka infeksi dan
pengendalian infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL.
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
•
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan antara penggunaan
tracheal tube dengan infeksi Enterobacteriaceae penghasil ESBL yang dikaitkan
dengan durasi penggunaan tracheal tube.
Kepustakaan
1. Paterson DL. Resistance in gram-negative bacteria: Enterobacteriaceae. Pennsylvania:
Elsevier; 2006.
2. Bush K. Alarming beta lactamase-mediated resistance in multidrug-resistant
Enterobacteriaceae. Current Opinion in Microbiology (13). Elsevier; 2010. p. 558564
3. Farmasia.
Menggantung
harapan
pada
antibiotik
anyar.
Diunduh
dari
http://www.majalah-farmacia.com/rubrik/one_news.asp?IDNews=508. Diakses pada
20 Juni 2010, pk. 21.20 WIB.
4. Rodriguez-Bano J, Pascual A. Clinical significance of extended-spectrum betalacamases. Expert Rev. Anti Infect. Ther. 6(5), 671-683 (2008)
5. Kollef MH, Fraser VJ. Antibiotic resistance in the intensive care unit. Ann Intern Med
134; 2001. p. 298-314
6. Fauzia D. Strategi optimasi penggunaan antibiotik di rumah sakit sebagai upaya
pengendalian resistensi terhadap antibiotik. Jakarta: FKUI; 2010.
7. Lifespan. 2010. A Multi-drug resistant organism (MDRO). Diunduh dari
http://www.lifespan.org/services/infectious/diseases/mdro/default.htm.Diakses
pada
tanggal 12 Juni 2010.
8. Czaja C. Multi-drug resistant organisms (MDRO):overview. National Jewish Health.
Diunduh dari http://www.nationaljewish.org/healthinfo/conditions/mdro/index.aspx.
Diakses pada tanggal 12 Juni 2010.
9. Siegel JD, Rhinehart E, Jackson M, Chiarello L. Management of multidrug-resistant
organisms in healthcare settings, 2006. CDC. 2006: p. 5-6.
10. Park DR. The microbiology of ventilator-associated pneumonia. Respiratory Care 50
(6); 2005.
11. Pitout JDD. Multiresistant Enterobacteriaceae: new threat of an old problem. Expert
Rev. Anti Infect, Ther. 6 (5), 657-669 (2008)
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
12. Brooks JF, Carrol KC, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick, & Adelbergs Medical
Microbiology. 24th ed. San Fransisco: McGraw-Hill Companies; 2007.
13. Turner PJ. Extended-spectrum beta lactamases. United Kingdom: Clinical Infectious
Diseases (41); 2005. p. 273-275
14. Struthers JK, Westran RP. Clinical Bacteriology. London: Manson Publishing; 2003.
p.58
15. Livermore DM, Woodford N. The beta lactamase threat in Enterobacteriaceae,
Pseudomonas, and Acinetobacter. TRENDS in Microbiology Vol. 14 No.9. Elsevier;
2006.
16. Perkins SD, Woeltje KF, Angenent LT. Endotracheal tube biofilm inoculation of oral
flora and subsequent colonzation of opportunistic pathogens. International Journal of
Medical Microbiologi 300; 2010.
17. American Thoracic Society Documents. Guidelines for the management of adults with
hospital-acquired, ventilator-associated, and healthcare-associated pneumonia. Am J
Respir Crlt Care Med 171; 2005.
18. Alp E, Voss A. Ventilator associated pneumonia and infection control. Annals of
Clinical Microbiology and Antimicrobials 5 (7); 2006.
19. Wiener-kronish JP, Dorr HI. Ventilator-associated pneumonia: Problems with
diagnosis and therapy. Best Pactice & Research Clinical Anaesthesiology Vol. 22 No.
3. Elsevier; 2008. p. 437-449
20. Sundar KM, Nielsen D, Sperry P. comparison of ventilator-associated pneumonia
(VAP) rates between different ICUs: Implications of a zero VAP rate. Journal of
Critical Care 27; 2012.
21. Kuper KM, Boles DM, Mohr JF, Wanger A. Antimicrobial susceptibility testing: A
primer for clinicians. Pharmacotherapy 29(11); 2009. p. 1326-1343
22. Munoz-Prica LS, Jacoby GA, Snydman DR. Extended spectrum beta lactamases.
Erasmus Medisch Centrum UMCR; 2008.
23. Cockerill FR, et al. Performance standards for antimicrobial susceptibility testing;
twenty first informational supplement. Wayne, PA: Clinical and Laboratory Standards
Institute; 2011.
24. Chopra I, et al. Treatment of health-care-associated infections caused by Gramnegative bacteria: a consensus statement. Lancet Infect Dis (8); 2008. p. 133-139
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
25. Pitout
JDD,
Laupland
KB.
Extended-spectrum
beta-lactamase-producing
Enterobacteriaceae: an emerging public-health concern. Lancet Infect Dis (8); 2008.
26. Duffy J, et al. Elements of effective state-based surveillance for multidrug-resistant
organisms related to healthcare-associated infections: Summary of discussions from a
council of state and territorial epidemiologists and centers for disease control and
prevention experts meeting. CDC; 2009.
27. Buckley JD. Hospital-acquired and ventilator-associated pneumonia in adults. Critical
Care Medicine 8 (1); 2005.
28. Kollef MH. The importance of antimicrobial resistance in hospital-acquired and
ventilator-associated pneumonia. Current Anaesthesia & Critical Care 16; 2005.
Kejadian infeksi enterobacteriaceae..., Faradila Keiko, FK UI, 2013
Download