Kristologi Dalam Paham Pluralisme Agama Suatu Kajian Kristologi

advertisement
BAB III
LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
KRISTOLOGI DALAM PLURALISME AGAMA
3.1. Pendahuluan
Setiap agama di Indonesia, tidak dapat memungkiri fakta adanya
fenomena pluralitas agama dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Akan
tetapi, di satu sisi, semua agama dan pemeluk agama memiliki klaimnya masingmasing mengenai keabsolutan kebenaran-kebenaran yang diimani atau yang
diminati oleh masing-masing agama. Dengan adanya eksistensi agama, di tengah
kemajemukan dan keunikan agama, maka sangat berpotensi untuk melahirkan
fanatisme terhadap agama sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk
agama lain. Oleh karena itu, para tokoh-tokoh agama terus mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk berdialog dengan tujuan meningkatkan toleransi antar
umat beragama.
Di kalangan Kristen sendiri, metode dialogis merupakan kekuatan yang
sangat diandalkan. Namun, tanpa disadari metode dialog telah merubah arti dan
hakikat masing-masing agama, termasuk merubah arti dan hakikat agama Kristen.
Hal ini dikarenakan metode dialog telah melangkah lebih jauh dari metode dialog
sebelumnya. Dimana, sebelumnya dialog dilihat hanya sebagai wadah
persekutuan antar umat beragama; akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
dialog menjadi usaha masing-masing agama untuk mempelajari kebenaran agama
lain sampai pada taraf menerima keabsahan, kebenaran semua agama.
Dalam konteks kekristenan, pemikiran dan sikap seperti ini dianut dan dipelopori
oleh kaum pluralis. Kaum pluralis menolak semua klaim agama yang bersifat
eksklusif, absolut, unik dan final. Pluralisme menolak konsep kefinalitasan,
eksklusivisme yang normatif dan keunikan Yesus Kristus. Paradigma ini
merupakan kritik atas kristosentrisme yang muncul dalam kekristenan. Menurut
mereka, semua kebenaran-kebenaran dalam agama dan tentang agama adalah
relatif. Dengan demikian, pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya
yang sangat serius bagi kekristenan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk memahami konsep kaum
pluralis khususnya konsep kristologinya, maka dalam bab ini, penulis akan
memaparkan mengenai pengertian pluralisme, latar belakang bangkitnya
pluralisme, serta pemikiran-pemikiran Kristologi dalam pluralisme.
3.2. Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme1 agama adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama.
Pluralisme agama dapat didefinisikan ke dalam tiga pengertian. 2Pertama, ia dapat
menunjuk kepada fakta kemajemukan agama yaitu fakta berbagai macam agama
disepanjang sejarah manusia dalam berbagai kebudayaan. Pluralisme agama
dalam pengertian ini adalah sebuah pernyataan tentang fenomena obyektif
kemajemukan agama-agama. Kedua, pluralisme agama menunjuk kepada fakta
kemajemukan agama dan kesadaran terhadap fakta tersebut. Kesadaran yang
1
Kata Pluralitas mengacu pada konteks yang didalamnya kita hidup–suatu kompleksitas
fenomena masyarakat yang terdiri dari berbagai macam kebudayaan, agama dan ideologi.
Sedangkan Pluralisme adalah suatu paham, sikap yang menerima validitas atau keabsahan bahwa
semua agama adalah sama
2
Daniel B. Clendenin, Many Gods, Many Lords “an interpretative theory about how one
should handle the many competing truth-claims made by the various religions” (Grand Rapids:
Baker, 1995) hlm. 12
membawa kepada persetujuan dan pengakuan bahwa kemajemukan agama
merupakan sesuatu yang baik. Ketiga, pluralisme agama dapat juga berarti
penerimaan terhadap kemajemukan agama-agama dan mengakui bahwa semua
agama pada akhirnya menunju kepada realitas mendasar yang sama dan semua
orang-orang percaya dari keyakinan agama dan iman yang berbeda-beda
mendapat keselamatan yang sama efektif.
Dalam pengertian yang ketiga ini, pluralisme agama merupakan suatu
paham, sikap
yang berupaya untuk mengakui dan menerima validitas atau
keabsahan bahwa semua agama adalah sama, sehingga dengan demikian
kebenaran-kebenaran yang beragam dapat saling mengisi dan melengkapi.
Dengan kata lain, mereka saling membuka diri untuk dapat menerima semua
keberadaan agama-agama yang lainnya, dengan tidak membicarakan atau
mempertajam keberbedaan pengajaran agama masing-masing. Jadi, dalam
pengertian ini, pluralisme agama secara sederhana berarti ”agama-agama pada
hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Semua
agama pada dasarnya menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Sehubungan dengan pengertian di atas tersebut, maka David Breslaur
seperti yang dikutip oleh Wisma Pandia menyebut pluralisme sebagai: suatu
situasi dimana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling
menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda. 3 Oleh sebab
itu Newbigin memberikan pendapatnya yaitu: Perbedaan-perbedaan antara agamaagama adalah bukan pada masalah kebenaran dan ketakbenaran, tetapi tentang
perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini berarti bahwa berbicara tentang
3
Wisma Pandia, Teologi Pluralisme Agama-agama (Tangerang : Literatur Sekolah
Tinggi Theologi Injili Philadelphia) hlm. 4-5
kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau salah adalah tidak
diperkenankan.
Selanjutnya
Newbigin
mengatakan,
bahwa
Kepercayaan
keagamaan adalah masalah pribadi. Setiap orang berhak untuk mempercayai iman
masing-masing.4 Walaupun pada kenyataannya bahwa masalah agama bukanlah
semata-mata masalah pribadi tetapi juga masalah sosial. Dimana pada dasarnya
semua orang saling berhubungan antara satu dengan yang lain baik dalam
lingkungan maupun dalam suatu komunitas.
Dari definisi di atas, tampak bahwa pluralisme tidak menolak perbedaan
tetapi menerimanya, malah menolak konsep eksklusivisme yang menganggap
dirinya sendiri yang paling benar dan berbeda dari agama lain sehingga dapat
mengganggu kesatuan yang diinginkan. Pluralisme mengusulkan agar para
pemeluk agama mengakui kebenaran dari semua bentuk keagamaan dan
meninggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama yang “satu-satunya”
atau yang tertinggi. Pluralisme memberikan satu format keagamaan yang baru,
yaitu semua agama pada dasarnya
sama-sama benar dan sama-sama
menyelamatkan.
3.3. Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Agama
3.3.1. Fakta Kemajemukan dan Dialog Agama
Salah satu faktor bangkitnya pluralisme adalah masalah
kemajemukan
agama.
Fakta
tentang
keberagaman
agama
dan
kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa
pun juga. Kesadaran dan pemahaman akan kemajemukan itu tidak hanya
4
1993) hlm
Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPKGunung Mulia,
sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga
dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih
luas. Dalam masyarakat yang majemuk ini, maka perlu dikembangkan
sikap pluralisme, yakni mengakui, menghormati, bahkan membela
eksistensi orang lain dengan ketotalitasannya, hak dan pola hidupnya,
paham dan keyakinannya. Apabila satu agama menuntut kebebasan
untuk meyakini sepenuhnya agama dan keyakinan mereka maka agama
tersebut pun harus menghormati dan mengakui hak orang lain untuk
meyakini sepenuhnya agama dan keyakinannya juga.5
Teologi pluralisme agama berupaya untuk mencari makna
teologis dari masing-masing agama. Upaya tersebut dimaksudkan untuk
merekonstruksi ajaran agama masing-masing sehingga dapat tercipta
dialog yang sehat antar iman. Upaya tersebut berkaitan dengan keimanan
Kristen, yakni bagaimana kekristenan menafsirkan Kristologi secara
baru sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama lain. Hal ini
disebabkan selama ini, agama Kristen menganggap bahwa agama
mereka yang paling benar dibanding dengan agama lain. Mereka
mengangap bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan. Kristus
merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keselamatan. Dengan
kata lain, kaum pluralisme mengatakan bahwa kristologi yang ada tidak
dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama dalam masyarakat
yang majemuk. Bagi kaum pluralis, apabila kristologi di atas tersebut
tidak ditafsirkan kembali, maka dapat menimbulkan konflik antar umat
5
Tim Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm. 459-460
beragama dan cita-cita untuk mewujudkan kesatuan semua agama tidak
akan tercapai.6 Sekalipun pada kenyataannya bahwa konflik tetap terjadi
Faktor lain yang menyebabkan bangkitnya pluralisme agama
adalah adanya usaha mengadakan dialog yang lebih luas sehingga
memungkinkan terjadinya suatu transformasi diri. Tujuan dialog ini
menurut knitter, adalah untuk mengevaluasi diri bahwa jikalau Allah
hanya satu saja, tidakkah layak kalau juga ada hanya satu agama?
Apakah agama-agama itu semuanya mempunyai sesuatu yang sama di
dalam diri mereka? Bagaimanakah agama-agama itu saling berhubungan
satu sama lain? Apakah agama-agama yang banyak sesungguhnya hanya
satu? Lebih spesifik lagi, bagaimanakah agama saya mempunyai kaitan
dengan agama-agama lainnya? Dapatkah saya belajar sesuatu dari
agama-agama lain? Dapatkah saya belajar lebih banyak lagi dari agamaagama tersebut, ketimbang yang saya dapatkan dari agama saya sendiri?7
Sementara itu tiga orang teolog pluralis Asia yaitu Raimundo
Panikkar, Stanley Samartha, dan Choan Seng Song adalah orang yang
menyetujui konsep dialog sebagai misi utama semua agama, terutama
kekristenan. Song dan
Panikkar
setuju
bahwa
dialog adalah,
”perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi
lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran
dari pada yang telah dipelajari.” Song mengusulkan adanya pertobatan
dialogis, yaitu: “Berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk
6
Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia: Theologia
Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) hlm. 23
7
Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 130-132
mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam
kehidupan mitra-mitra dialog.” Stanley Samartha berpendapat bahwa,
“Seorang Kristen harus mendekati dialog atas dasar Teosentris dan
bukan atas dasar Kristosentris. Hal ini membebaskan orang Kristen dari
anggapan diri sebagai pemilik wahyu dan kebenaran satu-satunya.”.
Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang Kristen
untuk berani berdialog. Oleh karena itu ia mengartikan bahwa dialog
adalah, ”Upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita
bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam
hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.” 8
Sedangkan Raimundo Panikkar menyatakan bahwa, “melalui
dialog-dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaranKristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu dapat diperluas dan
diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman partikular
mengenai kebenaran. Melalui dialog akan terjadi perluasan dan
pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran ilahi.
”Song menyetujui bahwa dialog ialah, perjumpaan yang sejati dengan
orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada
jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 9
3.3.2. Relativisme Sebagai Salah Satu Titik Tolak Pluralisme.
Berbicara tentang perkembangan pluralisme, maka hal tersebut
tidak terlepas dari masalah relativisme. Relativisme mengatakan bahwa
kebenaran adalah relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Penganut
8
Pluralitas Agama dan Dialog. Internet, www. Makalah Sahabat Awam. (Jumat, 5, 08
/2011: 19.30 Wib)
9
Ibid
relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif.
Masing-masing agama benar menurut penganut-komunitasnya. Agama
apa pun tidak berhak menghakimi iman orang lain. Yang dimaksud
dengan relativisme, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas,
tidak sempurna dan merupakan suatu proses pencarian. Oleh karena itu,
kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah
agama terbaik untuk orang Hindu. Moto kaum puralis ialah ”agamamu
benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Semua agama sama-sama
benar”.10 Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip winwin solution ke dalam area kebenaran.
Menurut Lumintang, Ernst Troelstch merupakan tokoh peletak
Pluralisme modern, memulai refleksi teologisnya dengan berupaya
mengatasi konflik besar antara relativisme dan kemutlakan kristiani.
Titik pijak awalnya dari pemahaman bagaimana Allah menyatakan
dirinya dalam sejarah manusia. Troeltsch berusaha membuat sintesis
antara relativisme historis dan absolutisme religius. Ia mengatakan
bahwa “Masalah yang dihadapi oleh pendekatan sejarah bukanlah
bagaimana membuat sebuah pilihan ini atau itu antara relativisme dan
absolutisme, namun bagaimana menggabungkan keduanya.” 11
Tokoh lain yang merupakan peletak dasar Pluralisme yaitu John
Hick dan Gordon Kaufman yang meletakkan relativisme yang lebih
dalam dari Troeltsch. Kaufman mengusulkan agar para pemeluk agama
mengakui relativitas historis semua bentuk keagamaan dan dengan
10
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-Abu; Pluralisme Agama, edisi revisi, (Malang:
Gandum Mas, 2004) hlm. 67
11
Ibid
demikian menanggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama
”satu-satunya” atau bentuk yang ”tertinggi”.12 Hick memberikan makna
lebih
jauh
terhadap
kesadaran
tentang
relativitas
historis.
Ia
menyimpulkan:
Tampaknya kita tak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu
tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan
atau lebih sedikit keburukan daripada yang lain; atau bahwa satu tradisi
memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan
dari pada tradisi lain. Sebagai totalitas yang amat besar dan kompleks,
tradisi-tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak
satupun dapat disebutkan secara khusus sebagai yang sungguh-sungguh
lebih unggul.13
Relativisme telah menjadi api yang membakar semangat kaum
pluralis dalam berdialog dengan pendekatan yang inklusif, dan
membuang finalitas Yesus. Dari pernyataan-pernyataan di atas maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa relativisme adalah salah satu titik
tolak yang dipakai oleh kaum Pluralis, secara khusus dipakai oleh John
Hick sebagai salah satu dasar dalam meletakkan pandangan pluralis.
3.3.3. Pergeseran Pandangan Teologi Katolik Roma dan Dewan Gereja Dunia.
Munculnya teologi pluralisme agama mulanya dipelopori oleh
para teolog Katolik. Hal ini dikarenakan mereka yang terlebih dahulu
mengubah posisi mereka yang semula eksklusif menjadi inklusif
kemudian menjadi pluralis. Baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh
teolog Protestan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada dua peristiwa
besar yang sangat mempengaruhi perkembangan teologi gereja-gereja
se-dunia, yakni konsili Vatikan II (tahun 1961-1965), dan sidang raya
Dewan Gereja-gereja se-dunia di Uppsala (1968). Beberapa
12
teolog
John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama kristen, (Jakarta: BPk Gunung
Mulia, 2001) hlm, xiii
13
Ibid
Katolik
yang pikirannya sangat mempengaruhi perkembangan
pluralisme, yakni Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha
dan Paul F. Knitter. Karl Rahner menghancurkan posisi eksklusivisme
yang tradisional yang dipegang gereja Katolik dengan mengemukakan
teorinya bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan. 14
Knitter mengatakan bahwa Konsili Vatikan II (1961-1965)
merupakan suatu tonggak sejarah tentang agama-agama lain. Dengan
kata lain konsili Vatikan II merupakan tonggak sejarah bagi bangkitnya
semangat pluralisme, dimana belum pernah sebelumnya gereja membuat
pernyataan resmi yang begitu luas dan mendalam yang berhubungan
dengan agama-agama lain; belum pernah sebelumnya gereja Katolik
mengatakan berbagai hal yang positif tentang agama-agama lain; belum
pernah sebelumnya gereja mengajak umat Kristiani untuk bersikap serius
dan berdialog dengan agama-agama lain. Dibandingkan dengan sikap
"extra ecclesiam nulla salus" (di luar gereja, tidak ada keselamatan) yang
berlangsung dari abad ke 15- ke 16.15
Perubahan ini bukan saja terjadi di kubu Katolik tetapi juga dari
Kristen Protestan sendiri, khususnya yang menyebut diri dari aliran arus
utama, yaitu gereja-gereja yang tergabung dalam satu semangat
oikumenikal yang dipayungi oleh Dewan Gereja-gereja se-dunia (DGD).
Sidang Raya IV Dewan Gereja-gereja se-Dunia pada tanggal 14-19 Juli
1968 di Uppsala menjadi titik tolak sikap gereja dalam perjumpaannya
dengan agama-agama lain bahwa: ”Pertemuan dengan orang-orang yang
14
15
87-88
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 81-82
Paul F. Knitter, Pengantar teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanasius, 2008), hlm.
berbeda keyakinan atau orang-orang yang tidak beriman harus
memimpin kepada dialog. Pendekatan orang Kristen kepada orang yang
tidak beriman harus manusiawi, bersifat pribadi, relevan dan rendah hati.
Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa Kristus berbicara dalam
bentuk dialog, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang tidak mengenal
Dia dan mengoreksi pengetahuan mereka yang terbatas dan kabur.
Dialog dan proklamasi Injil adalah berbeda. Para teolog yang menganut
dan memelopori pluralisme agama mengembangkan teologi agamaagama bertolak dari rumusan-rumusan dari hasil beberapa konferensi
yang diadakan oleh DGD. Hal itu mengindikasikan bahwa rumusanrumusan DGD turut memberikan kontribusi bagi muncul dan
berkembangnya pluralisme dalam teologi Kristen.16
C.S. Song mendefinisikan misi berarti mencari persekutuan
dengan orang-orang lain dalam kasih Allah, dan menyetujui dialog
sebagai perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan
ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal
kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 17 Ioanes Rakhmat mengakui
bahwa dalam kekristenan terjadi pergesaran sikap terhadap orang
beragama lain, yakni dari monolog menjadi dialog. 18 Sedangkan Olaf
Schumann mengatakan, bahwa dialog adalah suatu usaha positif untuk
mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai kebenaran melalui
saling pengertian akan keyakinan. Dengan kata lain, ia menganjurkan
16
17
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm.81-88
C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) hlm.
154
18
Ioanes Rakhmat, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani, hlm 75
untuk menemukan kebenaran melalui berdialog dengan orang beragama
lain.
3.3.4. Perubahan
dari
Modernisme
ke
Postmodernisme:
Pergesaran
Paradigma Eksklusivisme ke Pluralisme
Sebelum kehidupan modern muncul, pemikiran masa pramodern
selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran,
kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan
semua kreatifitas artistik adalah persoalan „pertemuan‟ (encounter)
dengan Allah. Oleh karena penekanan yang terlalu berlebihan pada
aspek ketuhanan ini, maka tidak heran jika kemudian, kehidupan
manusia dianggap hanya sebagai duniawi, fana, dan keadaan sementara
di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam kekekalan
dengan Allah.19
Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil
membuat perubahan yang radikal, tema yang berpusat pada Tuhan
berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian
utama manusia. Masa pencerahan yang terjadi pada abad ketujuhbelas
dan kedelapanbelas membawa suatu pemikiran yang baru. Masa
pencerahan itu disebut sebagai modernisme yang membawa pemikiran
ke arah yang berlawanan dengan asas-asas utama orang Kristen.
Semangat modernisme menempatkan kemajuan kepada akal budi
19
Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian periode
antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat
ketidaksepahaman mengenai kapan bermula dan berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini
penulis setuju dengan pendapat Hille, yang dimaksud dengan pramodern disini secara sederhana
berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan, dan masa modern dimulai pada abad
ke-17 awal abad ke-20, serta postmodernisme dimulai pada abad ke-20 (Rolf Hille, “From
Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of
Theology 24/2 [2000] 117-118).
sebagai tujuan utamanya dan menolak wahyu ilahi sebagai pencerahan
yang sejati. Manusia dipandang sebagai makhluk berakal yang menjadi
pusat kegiatan hidup. Rasio kemudian juga dipandang sebagai kata kunci
yang senantiasa menjadi pusat dalam percakapan modernisasi. Rasio
juga menjadi satu-satunya alat untuk mencapai kemajuan peradaban.
Sebagai akibatnya dalam bidang teologia penekanan mereka terhadap
rasio membuat mereka memandang Alkitab bukan lagi sebagai wahyu
ilahi yang otoritatif.20
Dalam masa modernisme ini seorang filsuf Jerman George
Hegel, yang merupakan salah satu bapak Liberalisme modern mulai
mengemukakan perpaduan teologia dan filosofi, seperti juga halnya
agama dan rasio. Konsepnya itu (pemikiran dialektis) akhirnya
membawa perubahan yang besar terhadap para teolog. Menurut Hegel
tidak ada kebenaran yang permanen, bahkan Allah sendiri berubah.
Pendekatan Hegel membuka jalan yang menggeser habis pemikiran
religius dari hal yang absolut menjadi hal yang relatif dan subyektif.
Penekanan unsur intelektual di dalam hal religius yang akhirnya merusak
prinsip alkitabiah.21
Namun pada akhirnya kerangka pemikiran ini mulai berubah
seiring dengan perkembangan peradaban dan pola pikir rasio yang
cenderung pragmatis. Konsep pemikiran modernisme ini berubah
menjadi postmodernisme. Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai
20
Gene Edward Veith, “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran” disadur oleh
Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture
http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel /spiritual.html, (Jumat, 15 Juli, 2011, pkl.
15.50. Wib)
21
Ibid
reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan
dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima
belas sampai dengan delapan belas dan mencapai puncaknya pada abad
sembilan belas dan dua puluh. Berbeda dengan filsafat modern yang
berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu
pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa
tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan universal (relativ). Istilah
postmodernisme sendiri muncul pada tahun 1917 yang dikemukakan
oleh seorang filsuf Jerman Rudolf Pannwitz, untuk menggambarkan
nihilisme22 menurut terminologi Nietzsche.23
Dalam bidang teologi istilah postmodernisme pertama kali
digunakan di Inggris pada tahun 1939 oleh Bernard Iddings Bells,
seorang teolog yang mengetengahkan kegagalan modernisme sekuler
dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia. Postmodernisme ini
akhirnya merambat ke segala bidang keilmuan dan kehidupan
masyarakat, termasuk pula teologi. Akhirnya melahirkan teologi
pembebasan, teologi religionum dan etik global. Dimana konflik
universalitas-lokalitas atau kesatuan-kepelbagaian mulai dipercakapkan
dengan terbuka dan serius. Akhirnya muncullah pluralisme dan
relativisme. Dalam konteks teologi Kristiani maka pertanyaannya
adalah; apakah masih dimungkinkan untuk meyakini kebenaran
22
Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich
Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak
memiliki suatu tujuan. Nihilis mengatakan, bahwa tidak ada bukti yang mendukung keberadaan
pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu,
kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain.
23
Ibid
universal dari Allah? Apakah kebenaran Allah tersebut tidak menjadi
kisah agung yang menindas?24
Dalam era postmodernisme ini, ide relativis ini mulai diperluas,
yang akhirnya membawa akibat teologis yang lebih besar bagi teologia
religionum. Paul F Knitter menjelaskan keunikan Kristus tersebut
sebagai “sebuah keunikan rasional”. Yang akhirnya mengakui kebenaran
yang diyakini orang Kristen bersifat relatif ditengah arena agama-agama
lain, yang menurut mereka tidak serta merta berarti mengabaikan
keunikan kebenaran tersebut, namun sebaliknya mengakui keunikan
tersebut dalam relasi dengan orang lain.25
Kelompok postmodernisme mengemukakan paradigma teologi
religionum, yaitu, inklusivisme 26 dan pluralisme. Kehadiran Inklusivis
ini sendiri pun dianggap tidak memadai oleh para Pluralis. Oleh sebab
itu kelompok Pluralis menawarkan sesuatu yang baru, yakni konsep
relativitas, yang ditekankan pada universalitas kasih Allah yang lebih
luas bagi dunia. Pluralisme menekankan teosentrisme, yaitu menekankan
bahwa semua agama-agama memusatkan diri kepada Allah dan Kristus
bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Didalam buku Mitos Keunikan
Agama Kristen Paul Knitter mengemukakan didalam prakatanya:
24
Ibid
John Hick dan Paul F Knniter, Mitos Keunikan Agama kristen, hlm xi
26
Inklusivisme muncul dengan sebuah penolakan konsep eksklusivisme yang
menekankan tentang keselamatan satu-satunya didalam Kristus Yesus. Inklusivisme muncul
dengan ide yaitu dengan menawarkan konsep universalitas kasih Allah bagi agama-agama lain.
Allah diyakini mengerjakan keselamatan dalam agama-agama lain, walau tidak lengkap dan justru
dipenuhi oleh Kristus sendiri. Hal ini dimunculkan oleh para kaum inklusivis karena menurut
mereka sikap eksklusivis merupakan hal yang negatif bagi agama lain, karena sikap ini kurang
memberi tempat pemahaman aktual agama-agama lain.
25
“Pemahaman-pemahaman baru digambarkan sebagai setiap upaya untuk
melangkah lebih jauh dari dua model umum yang telah mendominasi
sikap-sikap Kristen terhadap agama-agam lain sampai kini: pendekatan
eksklusivis”konservatif”, yang menemukan keselamatan hanya di dalam
Kristus dan yang hanya melihat sedikit, kalaupun ada, nilainya ditempat
lainnya, dan sikap inklusiv “liberal” yang mengakui kekayaan yang
menyelamatkan dalam iman lain, tetapi kemudian memandang kekayaan
ini sebagai hasil karya penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah
dipenuhi di dalam Kristus. Kami ingin mengumpulkan para teolog yang
menjelajah berbagai kemungkinan akan posisi pluralis- suatu upaya
melangkah meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas
Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri jalanjalan lain.27
3.4. Pemikiran-Pemikiran Kristologi Dalam Pluralisme Agama
3.4.1. Metode Pendekatan Kristologi Pluralisme
Dalam melakukan pendekatan Kristologinya, kaum Pluralisme
memakai dua metode. Metode yang pertama adalah Kristologi dari
bawah dan yang kedua adalah Kristologi fungsional. Pada dasarnya ada
dua pendekatan yang dilakukan dalam metodologi kristologi, yakni
kristologi dari atas dan kristologi dari bawah serta kristologi fungsional
dan kristologi ontologis. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan
ketika melakukan penelitian terhadap kristologi yang akan di bahas
dalam bab tiga.
3.4.1.1. Kristologi dari bawah
Metode ini adalah metode yang berusaha untuk memahami keTuhanan Yesus yang dimulai dari manusia Yesus dari Nazaret,
kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah. Metode ini
disebut juga Vonunten, metode yang sama juga dipakai oleh kaum
Adaptionis, bahwa Yesus menjadi Allah karena diangkat Allah Bapa
pada saat pembaptisan-Nya. Oleh karena itu, Pannenberg berkata,
segala sesuatu bergantung pada hubungan antara klaim Yesus dengan
27
Ibid, Hlm, x-xi
konfirmasi oleh Allah itu sendiri. Dengan kata lain, ke-Allahan Yesus
tidak berasal dari diri-Nya sendiri, melainkan diteguhkan oleh Allah
Bapa melalui peristiwa ajaib, di antaranya ialah kebangkitan. Itu
berarti, kebangkitan Yesus bukanlah disebabkan dari diri-Nya sendiri,
tetapi dari Allah Bapa saja. Hal ini tentu bertentangan dengan natur
keilahian Yesus yang ada sejak kekekalan (Yoh. 1:1-3), selain Bapa,
Yesus sendiri turut berperan dalam karya kebangkitan-Nya sendiri (I
Kor. 15:20-28, 45-49).
Kristologi pluralis pada hakikatnya cenderung sama dengan
kelompok sekularis, yang melihat Yesus sebagai manusia biasa,
pemuda Yahudi yang dipilih Allah untuk menerima Roh-Nya.
Sehingga ia menjadi manusia super.28 Kesimpulan ini merupakan
kesimpulan dari Kristologi dari bawah.
3.4.2.2. Kristologi Fungsional
Kristologi fungsional menekankan pada karya Kristus, yaitu
Apakah yang Yesus lakukan? Kaum Pluralisme dalam bukunya
“Wajah Yesus di Asia“ mengatakan yang penting bukan siapakah
Yesus melainkan di mana Dia berada? (Apakah Ia bersama dengan
orang miskin atau Ia bersama dengan orang kaya). Kaum Pluralis
umumnya melihat Allah dari sudut manfaat seperti Allah mengasihi,
dan memberi hidup. Berkenaan dengan Kristologi fungsional ini kaum
28
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 142-143
Pluralis sangat berupaya mengembangkannya, hal ini terlihat dari buku
“Wajah Yesus di Asia” dalam konteks pluralisme agama-agama.29
Sebuah contoh yang jelas dari Kristologi fungsional ialah karya
Oscar Cullmann berjudul Christology of the New Testament.
Pendekatan yang digagaskan Cullman dalam Kristologi ini adalah
pemakaian “sejarah Keselamatan” (Heilsgeschichte) sebagai prinsip
prangkum dalam penyelidikan berbagai gelar untuk Yesus dalam
Perjanjian Baru. Dengan demikian tampaklah bahwa Kristologi
Cullman dipusatkan pada apa yang dilakukan Yesus. Kristologi
merupakan sebuah doktrin yang berfokus pada sebuah “peristiwa‟ dan
bukan doktrin tentang sifat-sifat".30
Perlu dipertanyakan apakan memang benar Perjanjian Baru
lebih menekankan fungsi atau karya Kristus daripada pribadi atau sifatNya sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum pluralis. Sebuah
Kristologi baru dapat dikatakan lengkap dan memadai apabila sudah
menghadapi dari memadukan perkara yang ontologis dan fungsional.
Bagi kaum pluralis, Kristologi fungsional merupakan bekal utama
mereka, dalam perumusan teologi, terutama sebagai jalan bagi mereka
dalam merumuskan konsep Kristologi Konstekstual mereka.
3.4.3. Yesus Sejarah
Secara umum teologi Pluralis mendasarkan Kristologi mereka pada
Yesus sejarah, yaitu suatu paham yang mula-mula diperkenalkan oleh theologi
Liberal. Dimana teologi liberal mendasari asumsinya atas dasar rasionalisme
29
Ibid. Hlm. 143-144
Oscar Cullman, The Christology of the New Testament, edisis revisi (Philadelphia:
Westminster, 1963) hlm. 9
30
bahwa hal-hal yang bersifat mujizat dan supranatural dalam Alkitab tidak
mungkin terjadi. Kaum pluralis mempersoalkan Yesus sejarah melalui relasi
yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan.
Mereka menyimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh para penulis Injil tentang
Yesus, sebenarnya bukanlah Yesus sesungguhnya atau bukan Yesus yang
benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus yang menurut pikiran muridmurid atau para penulis Injil. Oleh sebab itu mereka menganggap Injil penuh
dengan dongeng dan mitos. Karena itu Yesus yang dikenal dalam Alkitab oleh
orang Kristen sekarang, bukan Yesus sebenarnya melainkan Yesus mitos para
penulis Injil.31
Ada empat tokoh yang memulai penelitian tentang Yesus sejarah ini,
yaitu David Strauss dengan bukunya “A New Life Of Jesus” dan Ernast
Renan, dengan bukunya ”Life Of Jesus”. Keduanya memandang Yesus
sebagai manusia biasa yang baik, sebagai seorang guru yang memiliki
kebenaran-kebenaran rohani karena itu mereka menolak keillahian Yesus.
Kemudian Adolf Von Harnack dengan bukunya yang terkenal “What is
Christianity?” berpendapat bahwa; Injil-injil tidak memberikan kepada kita
arti mengenai susunan biografi Yesus, karena mereka menceritakan kepada
kita sedikit mengenai awal kehidupan Yesus. Albert Schweitzer dengan
bukunya “Quest of the Historical Jesus” membangun asumsinya dengan
menyatakan bahwa Injil-injil adalah tidak dapat dipercaya dan bahwa Yesus
sejarah adalah seorang yang biasa, sebagai dongeng yang telah mengalami
perkembangan. Jadi penyelidik Yesus sejarah melihat Yesus hanya sebagai
31
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 145
manusia biasa saja yang rohani dan bermoral serta memiliki kebenarankebenaran rohani.32
Akhirnya penyelidikan Yesus sejarah ini terus menerus berkembang
yang pada dasarnya isu sebenarnya adalah tidak mempercayai kitab Injil-injil
Kanonik sebagai sumber pemahaman tentang Yesus. Misi Yesus hanya
digambarkan sebagai pejuang sosial dan menggambarkan aspek utama yaitu
rohani membuang semua unsur-unsur supranatural, menghilangkan inti utama
dari kekristenan dan membuang pandangan Kristen tradisional. Memandang
Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan yang patut
diteladani oleh orang Kristen. Inilah fakta yang sudah dan sedang merusak
kekristenan dewasa ini.33
Roy Eckardt yang dapat juga disebut sebagai seorang teolog Pluralis
menyatakan bahwa: “Kristologi harus didasarkan pada Yesus Sejarah. Atau
lebih baik lagi, pengkajian ini mendekati persoalan Kristologi dari suatu
pandangan sejarah umum diterima sekarang. Ioanes Rahmat juga seorang
yang dapat disebut teolog Pluralis Indonesia, ia juga merupakan penganut
Yesus Sejarah. Ia percaya bahwa kematian tentang Yesus dalam Injil-injil
adalah ciptaan penulis, dan ia pun membedakan ucapan asli Tuhan Yesus dan
yang produk dari para penulis (Yesus Seminar : Yesus tidak pernah menuntut
diriNya disebut dan diakui sebagai Mesias. Hal ini merupakan kesalahan para
murid Yesus dan orang Kristen masa kini).34 Borg dan Sugirtharajah menggali
32
Wisma Pandia, Teologi Pluralisme Agama-agama, , hlm. 18
Ibid
34
Iones Rahmat, Serba-serbi Doktrin: Yesuslah Satu-satunya Jalan, (Tangerang : Sirao
Credentia Center) hal. 8-9
33
ulang Yesus dan menegaskan bahwa memahami Yesus sejarah berarti
memahami Yesus yang sesungguhnya
Dengan demikian mereka mencela orang Kristen yang terlalu
menekankan finalitas Yesus Kristus dan kemutlakanNya. Kaum pluralis ingin
menafsir ulang Injil dan membersihkan semua yang mereka anggap sebagai
mitos.
3.4.4. Kristologi Kosmik
Kristologi Kosmik memandang Yesus sebagai penyelamat yang hadir
tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia sekalipun
tanpa mengakui ke-Tuhanan-Nya. Mereka di antaranya adalah Karl Rahner
dengan teori Anonymous Christian-nya, yang menyatakan bahwa Kristus juga
hadir dalam agama-agama lain tanpa Yesus. Dalam teori Kristosentrisnya
Rahner menyatakan, “Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1 Tim.
2:4), dan iman dalam Yesus Kristus perlu untuk keselamatan. Ini berarti
bahwa semua orang mendapat kesempatan percaya”. Rahner mencoba untuk
mendamaikan antara rahmat Allah dan keeksklusifan Kristus yang bekerja di
semua agama. Bahwa keselamatan orang Kristen adalah melalui Kristus,
namun ada juga keselamatan melalui agama lain. Menurut Rahner bahwa,
kemungkinan keselamatan secara universal secara ontologis berdasarkan
tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa Yesus. 35
Kristologi Kosmik pertama kali dicetuskan oleh Joseph Sittler. Ia
membangun Kristologi Kosmiknya didasarkan atas Kolose 1:15-20. Sittler
menafsirkan Kolose 1:15-20 dengan memfokuskan penelitian terhadap
35
Dikutip oleh Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu, Hlm. 157
pernyataan-pernyataan yang nampak secara eksplisit seperti “Segala Sesuatu
yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” muncul enam kali dalam teks
tersebut menerangkan mengenai pencapaian secara maksimum, dimana
penebusan Allah adalah untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang
luas, dimana Kristus digambarkan di situ sebagai Kristus Kosmik yang
menyelamatkan semua ciptaan. Sehingga Yesus tidak hanya dimengerti dalam
pengertian Yesus Historis dari Nazaret melainkan juga Yesus yang
menyatakan diri dalam semua ciptaan.36
Sangat jelas bahwa Kristologi kosmik ini merupakan interpretasi yang
keliru, dan penggunaan sistem penafsiran yang terbuka. Hal ini ditandai
dengan penggunaan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran Yesus di
luar kekristenan. Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum Pluralis seperti
Hick dan C.S Song, yang menyatakan bahwa pribadi kedua Allah Tritunggal
berinkarnasi bukan hanya sekali melainkan berkali-kali di banyak tempat dan
dalam banyak wujud. Kehadiran Yesus bagi mereka tidak dapat dibatasi oleh
ruang dan waktu, juga tidak dapat dibatasi oleh semua batasan budaya dan
agama. Oleh sebab itu, Samartha menegaskan bahwa Kristologi partikularis
tidak cukup mampu untuk menuntun semua manusia, kecuali dengan
Kristologi Kosmik.37
3.4.5. Kristologi yang Theosentris
Kristologi yang theosentris ini dimunculkan oleh Paul F Knitter. Ia
percaya bahwa model Theosentris mengarahkan perhatiannya langsung pada
36
D.A. Carson, The Gagging of God, Christianity Confrits Pluralism (Leicester: InterVarsity Press, 1966) Hlm. 44
37
Dikutip oleh Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu, Pluralisme agama, Edisi revisi,
Hlm. 159
kekurangan-kekurangan dan juga mempertahankan nilai-nilai dari model
pilihannya dan berisi harapan terbesar bagi dialog antar agama di masa depan
dan bagi evolusi yang terus dilanjutkan atas makna Yesus Kristus bagi dunia
ini. Pemahaman semacam ini memandang Yesus bukan sebagai tokoh yang
eksklusif atau bahkan yang normatif. Melainkan theosentris, sebagai
pengejahwantahan (sakramen akte suci, inkarnasi) dari penyataan dan
keselamatan Ilahi yang relevan untuk umum. 38
Lebih lanjut Knitter menegaskan pandangan theosentris mengikuti
contoh jalan Yesus dari Nazaret sebab Yesus dan intinya tentang kerajaan
sorga sendiri bersifat theosentris. Yesus tidak pernah mengambil tempat
Allah.
Kristosentrisme
tanpa
theosentrisme
mudah
menjadi
suatu
penyembahan berhala yang melanggar dan merusak bukan saja pernyataan
kristiani melainkan juga pernyataan yang ditentukan pada kepercayaankepercayaan lain. Jadi semua teks Alkitab yang menegaskan Yesus sebagai
Allah dianggap sebagai buah pikiran dari murid-murid.39 Knitter tidak
mengakui Yesus sebagai Allah bukan karena ia tidak mampu menemukan
bukti-bukti Alkitab yang berbicara mengenai keilahian Yesus, melainkan dia
hanya melihat tek-teks yang mendukung konsep Pluralisnya.
Sementara Stanley Samartha menuliskan bahwa suatu Kristologi
theosentrik memberikan ruang teologis lebih besar bagi orang-orang Kristen
untuk hidup bersama dengan sesama mereka yang memeluk kepercayaankepercayaan lain. “Kristomonisme” tidak berlaku adil sepenuhnya terhadap
38
Paul F. Knitter, No Other name? A Critical Survey of Christian Attitude Toward The
World Relegions (New York: Orbis Books, 1989), 66
39
Ibid. Hlm. 171-172
seluruh bukti Perjanjian Baru, juga tidak memberi penekanan cukup pada
makna ketritunggalan dari iman Kristen.40
3.4.6. Inkarnasi Allah
Masalah inkarnasi merupakan salah satu hal yang paling diserang.
Konsep sekularisasi dan transedensi Allah serta pengalaman universalitas
Allah, membuat kaum Pluralisme mengemukakan penafsiran mengenai
inkarnasi seturut dengan paham mereka.
3.4.6.1. Inkarnasi yang metaforis.
Tokoh yang merupakan penggagas inkarnasi yang metaforis
adalah John Hick. Inkarnasi metaforis ini dimunculkan untuk
membuktikan bahwa konsep inkarnasi yang dipahami oleh kaum
eksklusif adalah salah dan harus ditinggalkan. Ia menolak paham
keselamatan yang dianut oleh kelompok eksklusif. Baginya keselamatan
harus dipahami sebagai transformasi. Baginya tidak ada saran mengenai
perlunya seorang pengantara atau tidak ada karya penebusan yang dapat
memampukan Allah untuk mengampuni. Ia mendasarkan pendapatnya
ini atas dasar tentang doa Tuhan Yesus mengenai pengampunan dosa.
Dimana baginya, pengampunan dosa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah
langsung dari Bapa tanpa harus melalui Yesus. Komentarnya ini
diperkuat dengan menggunakan perumpamaan tentang anak yang hilang
yang baginya langsung diampuni Bapa tanpa pengantara. 41
40
Stanley Samartha, “Salib dan Bianglala : Kristus di dalam Suatu Kehidupan. Dalam
“Wajah Yesus di Asia.”
41
John Hick, The Metaphor of God Incarnate: Christologi in a Pluralistic Age
((Lousville: Westminster Press, 1993), hlm. 127
Lebih jauh, Hick memberikan tiga alasan utama untuk menolak
konsep tradisional atau eksklusif mengenai inkarnasi, sekaligus
menegaskan konsep inkarnasinya yang metaforis:42 Pertama, Hick
menyimpulkan bahwa jika Yesus adalah Allah Pencipta yang kekal
menjadi manusia, maka itu menjadi sangat sulit untuk memandang
Yesus sebagai fenomena yang sederajat dengan tradisi-tradisi agama
lain. Ini adalah sangat tidak mungkin bahwa sintesis yang relatif
demikian diterima oleh para ahli sejarah dan agama. Inkarnasi Yesus
sebagai salah satu dari sekian banyak inkarnasi di dalam dunia Romawi,
dimana Allah tidak selalu dipahami sebagai Allah yang mengambil rupa
manusia saja. Menurut Hick, yang mereka sembah itu disebut Tuhan
(God) di dalam gereja Kristen, disebut Adonai di dalam sinagoga
Yahudi, disebut Allah di dalam masjid Muslim, disebut Ekoamkar di
dalam gurudwara Sikh, dan disebut Rama atau Krishna di dalam kuil
Hindu.43 jelaslah ia meragukan inkarnasi eksklusif.
Kedua, Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi secara literal
adalah tidak benar. Karena itu tidak memiliki arti literal bahwa Yesus
adalah Allah, melainkan suatu aplikasi kepada Yesus dari suatu konsep
mistis yang berfungsi sebagai analogi dari anggapan mengenai keilahian
Anak. Yesus memang adalah Anak Allah namun itu adalah konsep
mistis karena itu, bagi Hick, inkarnasi tidaklah bergantung pada
terminologi “Anak Allah”. Berkaitan dengan itu, Hick mengakui bahwa
inkarnasi adalah terlalu misterius.
42
Ibid
Paul F Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, Prakata oleh John Hick,
(terjemahan) (Yogyakarta: Kanasius, 2008) hlm 143-145
43
Ketiga, dengan dukungan yang sangat kuat dari para ahli
Perjanjian Baru yang Liberal, ia berpendapat bahwa inkarnasi
merupakan perkembangan pemikiran gereja mula-mula; sedangkan
Yesus sendiri tidak pernah berpikir bahwa diri-Nya akan menempuh
cara yang demikian. Jadi sebutan anak Allah, Mesias, menjadi Anak
Allah, yang berakhir pada rumusan Tritunggal, merupakan sebutan dan
rumusan dari perkembangan pemikiran gereja.
3.4.6.2. Inkarnasi yang Multireligius.
Inkarnasi yang multireligius adalah konsep inkarnasi yang tidak
hanya terjadi pada agama-agama lain. Tokoh yang menganut paham ini
adalah Song, Panikkar dan Karl Rahner. Song memahami bahwa
inkarnasi Yesus hanyalah sebagai salah satu inkarnasi Allah. Karena
Allah juga berinkarnasi dalam semua agama dan kebudayaan. Ia juga
memahami bahwa inkarnasi bukan hanya dalam pengertian inkarnasi
pribadi kedua Allah Tritunggal, yakni Kristus, melainkan Song
mengakui adanya inkarnasi Allah dalam banyak bentuk, bahwa Allah
tidak hanya menyatakan dirinya dalam agama Kristen, melainkan juga
menyatakan dirinya di dalam agama lain bahkan dalam budaya.
Sementara itu Panikkar dalam konsep “ The Unknown Christ of
Hinduism” menyebutkan bahwa Yesus adalah Kristus tetapi Kristus
bukanlah Yesus karena di dalam agama Hindu pun sesungguhnya
mengakui Kristus yang tidak dikenal atau terselubung. Jadi agama Hindu
pun mengakui Kristus, hanya tidak dikenal. Kristus ini merupakan
misteri ilahi yang berinkarnasi dalam sejarah dan budaya manusia.
Dengan kata lain bahwa Allah tidak hanya berinkarnasi melalui dan di
dalam Yesus, melainkan juga dalam agama yang lain. Jadi Allah menjadi
manusia tidak selalu bernama Kristus, melainkan juga terdapat di dalam
Hindu yang dikenal sebagai Isharam, dalam kekristenan dikenal sebagai
Yesus dari Nazaret. Panikkar membedakan antara Yesus dan Kristus.
Yesus baginya adalah bagian dari Kristus dan Kristus tentu lebih dari
Yesus Kristus sebagai misteri Ilahi bukan suatu realita yang mempunyai
banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masingmasing agama, Kristus ada dan meyelamatkan.
Sementara
itu
Karl
Rahner
dengan
Anonymous
Christ
menempatkan Kristus yang tidak bernama, artinya ialah Kristus ada di
agama-agama lain, sekalipun tidak bernama Kristus. Kristus tanpa nama,
yang ada disemua agama-agama adalah Kristus yang menyelamatkan.
Dengan kata lain, bahwa Allah yang menyelamatkan, tidak hanya
menyatakan diri-Nya melalui berinkarnasi menjadi mausia di dalam dan
melalui Kristus (bernama) dalam agama Kristen, juga adalah Allah yang
menyatakan diri dengan cara inkarnasi melalui Kristus (tanpa nama
Kristus) di agama-agama lain. Karena itu Kristus bukan hanya monopoli
orang Kristen.44
3.5.
Kesimpulan
Setiap agama di Indonesia, tidak dapat memungkiri fakta adanya
fenomena pluralitas agama dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Akan
tetapi, di satu sisi, semua agama dan pemeluk agama memiliki klaimnya masing44
Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, Hlm. 122
masing mengenai keabsolutan kebenaran-kebenaran yang diimani atau yang
diminati oleh masing-masing agama. Pluralisme agama adalah istilah khusus
dalam kajian agama-agama. Pluralisme adalah suatu paham, sikap yang menerima
validitas atau keabsahan bahwa semua agama adalah sama. Kaum pluralis
menolak semua klaim agama yang bersifat eksklusif, absolut, unik dan final.
Pluralisme menolak konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif dan
keunikan Yesus Kristus
Faktor-faktor bangkitnya pluralisme adalah masalah kemajemukan agama,
dialog antar agama, Perubahan dari Modernisme ke Postmodernisme, dan
relativisme. Kaum Pluralis umumnya melihat Allah dari sudut manfaat seperti
Allah mengasihi, dan memberi hidup. Kaum pluralis juga mempersoalkan Yesus
sejarah melalui relasi yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan
waktu penulisan. Mereka menyimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh para penulis
Injil tentang Yesus, sebenarnya bukanlah Yesus sesungguhnya atau bukan Yesus
yang benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus yang menurut pikiran
murid-murid atau para penulis Injil.
Download