BAB III LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KRISTOLOGI DALAM PLURALISME AGAMA 3.1. Pendahuluan Setiap agama di Indonesia, tidak dapat memungkiri fakta adanya fenomena pluralitas agama dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Akan tetapi, di satu sisi, semua agama dan pemeluk agama memiliki klaimnya masingmasing mengenai keabsolutan kebenaran-kebenaran yang diimani atau yang diminati oleh masing-masing agama. Dengan adanya eksistensi agama, di tengah kemajemukan dan keunikan agama, maka sangat berpotensi untuk melahirkan fanatisme terhadap agama sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk agama lain. Oleh karena itu, para tokoh-tokoh agama terus mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdialog dengan tujuan meningkatkan toleransi antar umat beragama. Di kalangan Kristen sendiri, metode dialogis merupakan kekuatan yang sangat diandalkan. Namun, tanpa disadari metode dialog telah merubah arti dan hakikat masing-masing agama, termasuk merubah arti dan hakikat agama Kristen. Hal ini dikarenakan metode dialog telah melangkah lebih jauh dari metode dialog sebelumnya. Dimana, sebelumnya dialog dilihat hanya sebagai wadah persekutuan antar umat beragama; akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dialog menjadi usaha masing-masing agama untuk mempelajari kebenaran agama lain sampai pada taraf menerima keabsahan, kebenaran semua agama. Dalam konteks kekristenan, pemikiran dan sikap seperti ini dianut dan dipelopori oleh kaum pluralis. Kaum pluralis menolak semua klaim agama yang bersifat eksklusif, absolut, unik dan final. Pluralisme menolak konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif dan keunikan Yesus Kristus. Paradigma ini merupakan kritik atas kristosentrisme yang muncul dalam kekristenan. Menurut mereka, semua kebenaran-kebenaran dalam agama dan tentang agama adalah relatif. Dengan demikian, pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk memahami konsep kaum pluralis khususnya konsep kristologinya, maka dalam bab ini, penulis akan memaparkan mengenai pengertian pluralisme, latar belakang bangkitnya pluralisme, serta pemikiran-pemikiran Kristologi dalam pluralisme. 3.2. Pengertian Pluralisme Agama Pluralisme1 agama adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Pluralisme agama dapat didefinisikan ke dalam tiga pengertian. 2Pertama, ia dapat menunjuk kepada fakta kemajemukan agama yaitu fakta berbagai macam agama disepanjang sejarah manusia dalam berbagai kebudayaan. Pluralisme agama dalam pengertian ini adalah sebuah pernyataan tentang fenomena obyektif kemajemukan agama-agama. Kedua, pluralisme agama menunjuk kepada fakta kemajemukan agama dan kesadaran terhadap fakta tersebut. Kesadaran yang 1 Kata Pluralitas mengacu pada konteks yang didalamnya kita hidup–suatu kompleksitas fenomena masyarakat yang terdiri dari berbagai macam kebudayaan, agama dan ideologi. Sedangkan Pluralisme adalah suatu paham, sikap yang menerima validitas atau keabsahan bahwa semua agama adalah sama 2 Daniel B. Clendenin, Many Gods, Many Lords “an interpretative theory about how one should handle the many competing truth-claims made by the various religions” (Grand Rapids: Baker, 1995) hlm. 12 membawa kepada persetujuan dan pengakuan bahwa kemajemukan agama merupakan sesuatu yang baik. Ketiga, pluralisme agama dapat juga berarti penerimaan terhadap kemajemukan agama-agama dan mengakui bahwa semua agama pada akhirnya menunju kepada realitas mendasar yang sama dan semua orang-orang percaya dari keyakinan agama dan iman yang berbeda-beda mendapat keselamatan yang sama efektif. Dalam pengertian yang ketiga ini, pluralisme agama merupakan suatu paham, sikap yang berupaya untuk mengakui dan menerima validitas atau keabsahan bahwa semua agama adalah sama, sehingga dengan demikian kebenaran-kebenaran yang beragam dapat saling mengisi dan melengkapi. Dengan kata lain, mereka saling membuka diri untuk dapat menerima semua keberadaan agama-agama yang lainnya, dengan tidak membicarakan atau mempertajam keberbedaan pengajaran agama masing-masing. Jadi, dalam pengertian ini, pluralisme agama secara sederhana berarti ”agama-agama pada hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Semua agama pada dasarnya menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda. Sehubungan dengan pengertian di atas tersebut, maka David Breslaur seperti yang dikutip oleh Wisma Pandia menyebut pluralisme sebagai: suatu situasi dimana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda. 3 Oleh sebab itu Newbigin memberikan pendapatnya yaitu: Perbedaan-perbedaan antara agamaagama adalah bukan pada masalah kebenaran dan ketakbenaran, tetapi tentang perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini berarti bahwa berbicara tentang 3 Wisma Pandia, Teologi Pluralisme Agama-agama (Tangerang : Literatur Sekolah Tinggi Theologi Injili Philadelphia) hlm. 4-5 kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau salah adalah tidak diperkenankan. Selanjutnya Newbigin mengatakan, bahwa Kepercayaan keagamaan adalah masalah pribadi. Setiap orang berhak untuk mempercayai iman masing-masing.4 Walaupun pada kenyataannya bahwa masalah agama bukanlah semata-mata masalah pribadi tetapi juga masalah sosial. Dimana pada dasarnya semua orang saling berhubungan antara satu dengan yang lain baik dalam lingkungan maupun dalam suatu komunitas. Dari definisi di atas, tampak bahwa pluralisme tidak menolak perbedaan tetapi menerimanya, malah menolak konsep eksklusivisme yang menganggap dirinya sendiri yang paling benar dan berbeda dari agama lain sehingga dapat mengganggu kesatuan yang diinginkan. Pluralisme mengusulkan agar para pemeluk agama mengakui kebenaran dari semua bentuk keagamaan dan meninggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama yang “satu-satunya” atau yang tertinggi. Pluralisme memberikan satu format keagamaan yang baru, yaitu semua agama pada dasarnya sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan. 3.3. Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Agama 3.3.1. Fakta Kemajemukan dan Dialog Agama Salah satu faktor bangkitnya pluralisme adalah masalah kemajemukan agama. Fakta tentang keberagaman agama dan kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa pun juga. Kesadaran dan pemahaman akan kemajemukan itu tidak hanya 4 1993) hlm Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPKGunung Mulia, sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih luas. Dalam masyarakat yang majemuk ini, maka perlu dikembangkan sikap pluralisme, yakni mengakui, menghormati, bahkan membela eksistensi orang lain dengan ketotalitasannya, hak dan pola hidupnya, paham dan keyakinannya. Apabila satu agama menuntut kebebasan untuk meyakini sepenuhnya agama dan keyakinan mereka maka agama tersebut pun harus menghormati dan mengakui hak orang lain untuk meyakini sepenuhnya agama dan keyakinannya juga.5 Teologi pluralisme agama berupaya untuk mencari makna teologis dari masing-masing agama. Upaya tersebut dimaksudkan untuk merekonstruksi ajaran agama masing-masing sehingga dapat tercipta dialog yang sehat antar iman. Upaya tersebut berkaitan dengan keimanan Kristen, yakni bagaimana kekristenan menafsirkan Kristologi secara baru sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama lain. Hal ini disebabkan selama ini, agama Kristen menganggap bahwa agama mereka yang paling benar dibanding dengan agama lain. Mereka mengangap bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan. Kristus merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keselamatan. Dengan kata lain, kaum pluralisme mengatakan bahwa kristologi yang ada tidak dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama dalam masyarakat yang majemuk. Bagi kaum pluralis, apabila kristologi di atas tersebut tidak ditafsirkan kembali, maka dapat menimbulkan konflik antar umat 5 Tim Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm. 459-460 beragama dan cita-cita untuk mewujudkan kesatuan semua agama tidak akan tercapai.6 Sekalipun pada kenyataannya bahwa konflik tetap terjadi Faktor lain yang menyebabkan bangkitnya pluralisme agama adalah adanya usaha mengadakan dialog yang lebih luas sehingga memungkinkan terjadinya suatu transformasi diri. Tujuan dialog ini menurut knitter, adalah untuk mengevaluasi diri bahwa jikalau Allah hanya satu saja, tidakkah layak kalau juga ada hanya satu agama? Apakah agama-agama itu semuanya mempunyai sesuatu yang sama di dalam diri mereka? Bagaimanakah agama-agama itu saling berhubungan satu sama lain? Apakah agama-agama yang banyak sesungguhnya hanya satu? Lebih spesifik lagi, bagaimanakah agama saya mempunyai kaitan dengan agama-agama lainnya? Dapatkah saya belajar sesuatu dari agama-agama lain? Dapatkah saya belajar lebih banyak lagi dari agamaagama tersebut, ketimbang yang saya dapatkan dari agama saya sendiri?7 Sementara itu tiga orang teolog pluralis Asia yaitu Raimundo Panikkar, Stanley Samartha, dan Choan Seng Song adalah orang yang menyetujui konsep dialog sebagai misi utama semua agama, terutama kekristenan. Song dan Panikkar setuju bahwa dialog adalah, ”perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran dari pada yang telah dipelajari.” Song mengusulkan adanya pertobatan dialogis, yaitu: “Berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk 6 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia: Theologia Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) hlm. 23 7 Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab Global, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 130-132 mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam kehidupan mitra-mitra dialog.” Stanley Samartha berpendapat bahwa, “Seorang Kristen harus mendekati dialog atas dasar Teosentris dan bukan atas dasar Kristosentris. Hal ini membebaskan orang Kristen dari anggapan diri sebagai pemilik wahyu dan kebenaran satu-satunya.”. Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang Kristen untuk berani berdialog. Oleh karena itu ia mengartikan bahwa dialog adalah, ”Upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.” 8 Sedangkan Raimundo Panikkar menyatakan bahwa, “melalui dialog-dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaranKristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu dapat diperluas dan diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran. Melalui dialog akan terjadi perluasan dan pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran ilahi. ”Song menyetujui bahwa dialog ialah, perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 9 3.3.2. Relativisme Sebagai Salah Satu Titik Tolak Pluralisme. Berbicara tentang perkembangan pluralisme, maka hal tersebut tidak terlepas dari masalah relativisme. Relativisme mengatakan bahwa kebenaran adalah relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Penganut 8 Pluralitas Agama dan Dialog. Internet, www. Makalah Sahabat Awam. (Jumat, 5, 08 /2011: 19.30 Wib) 9 Ibid relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif. Masing-masing agama benar menurut penganut-komunitasnya. Agama apa pun tidak berhak menghakimi iman orang lain. Yang dimaksud dengan relativisme, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas, tidak sempurna dan merupakan suatu proses pencarian. Oleh karena itu, kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah agama terbaik untuk orang Hindu. Moto kaum puralis ialah ”agamamu benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Semua agama sama-sama benar”.10 Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip winwin solution ke dalam area kebenaran. Menurut Lumintang, Ernst Troelstch merupakan tokoh peletak Pluralisme modern, memulai refleksi teologisnya dengan berupaya mengatasi konflik besar antara relativisme dan kemutlakan kristiani. Titik pijak awalnya dari pemahaman bagaimana Allah menyatakan dirinya dalam sejarah manusia. Troeltsch berusaha membuat sintesis antara relativisme historis dan absolutisme religius. Ia mengatakan bahwa “Masalah yang dihadapi oleh pendekatan sejarah bukanlah bagaimana membuat sebuah pilihan ini atau itu antara relativisme dan absolutisme, namun bagaimana menggabungkan keduanya.” 11 Tokoh lain yang merupakan peletak dasar Pluralisme yaitu John Hick dan Gordon Kaufman yang meletakkan relativisme yang lebih dalam dari Troeltsch. Kaufman mengusulkan agar para pemeluk agama mengakui relativitas historis semua bentuk keagamaan dan dengan 10 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-Abu; Pluralisme Agama, edisi revisi, (Malang: Gandum Mas, 2004) hlm. 67 11 Ibid demikian menanggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama ”satu-satunya” atau bentuk yang ”tertinggi”.12 Hick memberikan makna lebih jauh terhadap kesadaran tentang relativitas historis. Ia menyimpulkan: Tampaknya kita tak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan atau lebih sedikit keburukan daripada yang lain; atau bahwa satu tradisi memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan dari pada tradisi lain. Sebagai totalitas yang amat besar dan kompleks, tradisi-tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak satupun dapat disebutkan secara khusus sebagai yang sungguh-sungguh lebih unggul.13 Relativisme telah menjadi api yang membakar semangat kaum pluralis dalam berdialog dengan pendekatan yang inklusif, dan membuang finalitas Yesus. Dari pernyataan-pernyataan di atas maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa relativisme adalah salah satu titik tolak yang dipakai oleh kaum Pluralis, secara khusus dipakai oleh John Hick sebagai salah satu dasar dalam meletakkan pandangan pluralis. 3.3.3. Pergeseran Pandangan Teologi Katolik Roma dan Dewan Gereja Dunia. Munculnya teologi pluralisme agama mulanya dipelopori oleh para teolog Katolik. Hal ini dikarenakan mereka yang terlebih dahulu mengubah posisi mereka yang semula eksklusif menjadi inklusif kemudian menjadi pluralis. Baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh teolog Protestan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada dua peristiwa besar yang sangat mempengaruhi perkembangan teologi gereja-gereja se-dunia, yakni konsili Vatikan II (tahun 1961-1965), dan sidang raya Dewan Gereja-gereja se-dunia di Uppsala (1968). Beberapa 12 teolog John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama kristen, (Jakarta: BPk Gunung Mulia, 2001) hlm, xiii 13 Ibid Katolik yang pikirannya sangat mempengaruhi perkembangan pluralisme, yakni Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha dan Paul F. Knitter. Karl Rahner menghancurkan posisi eksklusivisme yang tradisional yang dipegang gereja Katolik dengan mengemukakan teorinya bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan. 14 Knitter mengatakan bahwa Konsili Vatikan II (1961-1965) merupakan suatu tonggak sejarah tentang agama-agama lain. Dengan kata lain konsili Vatikan II merupakan tonggak sejarah bagi bangkitnya semangat pluralisme, dimana belum pernah sebelumnya gereja membuat pernyataan resmi yang begitu luas dan mendalam yang berhubungan dengan agama-agama lain; belum pernah sebelumnya gereja Katolik mengatakan berbagai hal yang positif tentang agama-agama lain; belum pernah sebelumnya gereja mengajak umat Kristiani untuk bersikap serius dan berdialog dengan agama-agama lain. Dibandingkan dengan sikap "extra ecclesiam nulla salus" (di luar gereja, tidak ada keselamatan) yang berlangsung dari abad ke 15- ke 16.15 Perubahan ini bukan saja terjadi di kubu Katolik tetapi juga dari Kristen Protestan sendiri, khususnya yang menyebut diri dari aliran arus utama, yaitu gereja-gereja yang tergabung dalam satu semangat oikumenikal yang dipayungi oleh Dewan Gereja-gereja se-dunia (DGD). Sidang Raya IV Dewan Gereja-gereja se-Dunia pada tanggal 14-19 Juli 1968 di Uppsala menjadi titik tolak sikap gereja dalam perjumpaannya dengan agama-agama lain bahwa: ”Pertemuan dengan orang-orang yang 14 15 87-88 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 81-82 Paul F. Knitter, Pengantar teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanasius, 2008), hlm. berbeda keyakinan atau orang-orang yang tidak beriman harus memimpin kepada dialog. Pendekatan orang Kristen kepada orang yang tidak beriman harus manusiawi, bersifat pribadi, relevan dan rendah hati. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa Kristus berbicara dalam bentuk dialog, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang tidak mengenal Dia dan mengoreksi pengetahuan mereka yang terbatas dan kabur. Dialog dan proklamasi Injil adalah berbeda. Para teolog yang menganut dan memelopori pluralisme agama mengembangkan teologi agamaagama bertolak dari rumusan-rumusan dari hasil beberapa konferensi yang diadakan oleh DGD. Hal itu mengindikasikan bahwa rumusanrumusan DGD turut memberikan kontribusi bagi muncul dan berkembangnya pluralisme dalam teologi Kristen.16 C.S. Song mendefinisikan misi berarti mencari persekutuan dengan orang-orang lain dalam kasih Allah, dan menyetujui dialog sebagai perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 17 Ioanes Rakhmat mengakui bahwa dalam kekristenan terjadi pergesaran sikap terhadap orang beragama lain, yakni dari monolog menjadi dialog. 18 Sedangkan Olaf Schumann mengatakan, bahwa dialog adalah suatu usaha positif untuk mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai kebenaran melalui saling pengertian akan keyakinan. Dengan kata lain, ia menganjurkan 16 17 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm.81-88 C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993) hlm. 154 18 Ioanes Rakhmat, Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani, hlm 75 untuk menemukan kebenaran melalui berdialog dengan orang beragama lain. 3.3.4. Perubahan dari Modernisme ke Postmodernisme: Pergesaran Paradigma Eksklusivisme ke Pluralisme Sebelum kehidupan modern muncul, pemikiran masa pramodern selalu menempatkan Allah sebagai pusat dari segala pemikiran, kebudayaan dan masyarakat. Pusat dari seluruh kehidupan manusia dan semua kreatifitas artistik adalah persoalan „pertemuan‟ (encounter) dengan Allah. Oleh karena penekanan yang terlalu berlebihan pada aspek ketuhanan ini, maka tidak heran jika kemudian, kehidupan manusia dianggap hanya sebagai duniawi, fana, dan keadaan sementara di tengah perjalanan kepada keberadaan yang nyata dalam kekekalan dengan Allah.19 Bermula dari Renaissance dan humanisme yang berhasil membuat perubahan yang radikal, tema yang berpusat pada Tuhan berbelok ke arah manusia. Persoalan waktu dan materi menjadi perhatian utama manusia. Masa pencerahan yang terjadi pada abad ketujuhbelas dan kedelapanbelas membawa suatu pemikiran yang baru. Masa pencerahan itu disebut sebagai modernisme yang membawa pemikiran ke arah yang berlawanan dengan asas-asas utama orang Kristen. Semangat modernisme menempatkan kemajuan kepada akal budi 19 Penulis menyadari banyaknya pendapat yang berbeda mengenai pembagian periode antara pramodern, modern, dan postmodern. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa terdapat ketidaksepahaman mengenai kapan bermula dan berakhirnya masing-masing era. Dalam tulisan ini penulis setuju dengan pendapat Hille, yang dimaksud dengan pramodern disini secara sederhana berarti masa abad-abad permulaan sampai abad pertengahan, dan masa modern dimulai pada abad ke-17 awal abad ke-20, serta postmodernisme dimulai pada abad ke-20 (Rolf Hille, “From Modernity to Post-modernity: Taking Stock at the Turn of the Century,” Evangelical Review of Theology 24/2 [2000] 117-118). sebagai tujuan utamanya dan menolak wahyu ilahi sebagai pencerahan yang sejati. Manusia dipandang sebagai makhluk berakal yang menjadi pusat kegiatan hidup. Rasio kemudian juga dipandang sebagai kata kunci yang senantiasa menjadi pusat dalam percakapan modernisasi. Rasio juga menjadi satu-satunya alat untuk mencapai kemajuan peradaban. Sebagai akibatnya dalam bidang teologia penekanan mereka terhadap rasio membuat mereka memandang Alkitab bukan lagi sebagai wahyu ilahi yang otoritatif.20 Dalam masa modernisme ini seorang filsuf Jerman George Hegel, yang merupakan salah satu bapak Liberalisme modern mulai mengemukakan perpaduan teologia dan filosofi, seperti juga halnya agama dan rasio. Konsepnya itu (pemikiran dialektis) akhirnya membawa perubahan yang besar terhadap para teolog. Menurut Hegel tidak ada kebenaran yang permanen, bahkan Allah sendiri berubah. Pendekatan Hegel membuka jalan yang menggeser habis pemikiran religius dari hal yang absolut menjadi hal yang relatif dan subyektif. Penekanan unsur intelektual di dalam hal religius yang akhirnya merusak prinsip alkitabiah.21 Namun pada akhirnya kerangka pemikiran ini mulai berubah seiring dengan perkembangan peradaban dan pola pikir rasio yang cenderung pragmatis. Konsep pemikiran modernisme ini berubah menjadi postmodernisme. Pada dasarnya, postmodern muncul sebagai 20 Gene Edward Veith, “Postmodernisme: Spiritualitas Tanpa Kebenaran” disadur oleh Gunung Maston dari Postmodern Times: A Christian Guide to Contemporary Thought and Culture http://www.geocities.com/reformed_movement/artikel /spiritual.html, (Jumat, 15 Juli, 2011, pkl. 15.50. Wib) 21 Ibid reaksi terhadap fakta tidak pernah tercapainya impian yang dicita-citakan dalam era modern. Era modern yang berkembang antara abad kelima belas sampai dengan delapan belas dan mencapai puncaknya pada abad sembilan belas dan dua puluh. Berbeda dengan filsafat modern yang berusaha memutlakkan kebenaran hanya berdasarkan rasio dan ilmu pengetahuan, postmodernisme justru memberikan pernyataan bahwa tidak ada kebenaran yang bersifat mutlak dan universal (relativ). Istilah postmodernisme sendiri muncul pada tahun 1917 yang dikemukakan oleh seorang filsuf Jerman Rudolf Pannwitz, untuk menggambarkan nihilisme22 menurut terminologi Nietzsche.23 Dalam bidang teologi istilah postmodernisme pertama kali digunakan di Inggris pada tahun 1939 oleh Bernard Iddings Bells, seorang teolog yang mengetengahkan kegagalan modernisme sekuler dan kembalinya agama dalam kehidupan manusia. Postmodernisme ini akhirnya merambat ke segala bidang keilmuan dan kehidupan masyarakat, termasuk pula teologi. Akhirnya melahirkan teologi pembebasan, teologi religionum dan etik global. Dimana konflik universalitas-lokalitas atau kesatuan-kepelbagaian mulai dipercakapkan dengan terbuka dan serius. Akhirnya muncullah pluralisme dan relativisme. Dalam konteks teologi Kristiani maka pertanyaannya adalah; apakah masih dimungkinkan untuk meyakini kebenaran 22 Nihilisme adalah sebuah pandangan filosofi yang sering dihubungkan dengan Friedrich Nietzsche. Nihilisme mengatakan bahwa dunia ini, terutama keberadaan manusia di dunia, tidak memiliki suatu tujuan. Nihilis mengatakan, bahwa tidak ada bukti yang mendukung keberadaan pencipta, moral sejati tidak diketahui, dan etika sekular adalah tidak mungkin. Karena itu, kehidupan tidak memiliki arti, dan tidak ada tindakan yang lebih baik daripada yang lain. 23 Ibid universal dari Allah? Apakah kebenaran Allah tersebut tidak menjadi kisah agung yang menindas?24 Dalam era postmodernisme ini, ide relativis ini mulai diperluas, yang akhirnya membawa akibat teologis yang lebih besar bagi teologia religionum. Paul F Knitter menjelaskan keunikan Kristus tersebut sebagai “sebuah keunikan rasional”. Yang akhirnya mengakui kebenaran yang diyakini orang Kristen bersifat relatif ditengah arena agama-agama lain, yang menurut mereka tidak serta merta berarti mengabaikan keunikan kebenaran tersebut, namun sebaliknya mengakui keunikan tersebut dalam relasi dengan orang lain.25 Kelompok postmodernisme mengemukakan paradigma teologi religionum, yaitu, inklusivisme 26 dan pluralisme. Kehadiran Inklusivis ini sendiri pun dianggap tidak memadai oleh para Pluralis. Oleh sebab itu kelompok Pluralis menawarkan sesuatu yang baru, yakni konsep relativitas, yang ditekankan pada universalitas kasih Allah yang lebih luas bagi dunia. Pluralisme menekankan teosentrisme, yaitu menekankan bahwa semua agama-agama memusatkan diri kepada Allah dan Kristus bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Didalam buku Mitos Keunikan Agama Kristen Paul Knitter mengemukakan didalam prakatanya: 24 Ibid John Hick dan Paul F Knniter, Mitos Keunikan Agama kristen, hlm xi 26 Inklusivisme muncul dengan sebuah penolakan konsep eksklusivisme yang menekankan tentang keselamatan satu-satunya didalam Kristus Yesus. Inklusivisme muncul dengan ide yaitu dengan menawarkan konsep universalitas kasih Allah bagi agama-agama lain. Allah diyakini mengerjakan keselamatan dalam agama-agama lain, walau tidak lengkap dan justru dipenuhi oleh Kristus sendiri. Hal ini dimunculkan oleh para kaum inklusivis karena menurut mereka sikap eksklusivis merupakan hal yang negatif bagi agama lain, karena sikap ini kurang memberi tempat pemahaman aktual agama-agama lain. 25 “Pemahaman-pemahaman baru digambarkan sebagai setiap upaya untuk melangkah lebih jauh dari dua model umum yang telah mendominasi sikap-sikap Kristen terhadap agama-agam lain sampai kini: pendekatan eksklusivis”konservatif”, yang menemukan keselamatan hanya di dalam Kristus dan yang hanya melihat sedikit, kalaupun ada, nilainya ditempat lainnya, dan sikap inklusiv “liberal” yang mengakui kekayaan yang menyelamatkan dalam iman lain, tetapi kemudian memandang kekayaan ini sebagai hasil karya penebusan Kristus dan sebagai sesuatu yang telah dipenuhi di dalam Kristus. Kami ingin mengumpulkan para teolog yang menjelajah berbagai kemungkinan akan posisi pluralis- suatu upaya melangkah meninggalkan penekanan pada superioritas atau finalitas Kristus dan agama Kristen menuju pengakuan akan validitas mandiri jalanjalan lain.27 3.4. Pemikiran-Pemikiran Kristologi Dalam Pluralisme Agama 3.4.1. Metode Pendekatan Kristologi Pluralisme Dalam melakukan pendekatan Kristologinya, kaum Pluralisme memakai dua metode. Metode yang pertama adalah Kristologi dari bawah dan yang kedua adalah Kristologi fungsional. Pada dasarnya ada dua pendekatan yang dilakukan dalam metodologi kristologi, yakni kristologi dari atas dan kristologi dari bawah serta kristologi fungsional dan kristologi ontologis. Kedua pendekatan ini tidak dapat dipisahkan ketika melakukan penelitian terhadap kristologi yang akan di bahas dalam bab tiga. 3.4.1.1. Kristologi dari bawah Metode ini adalah metode yang berusaha untuk memahami keTuhanan Yesus yang dimulai dari manusia Yesus dari Nazaret, kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah. Metode ini disebut juga Vonunten, metode yang sama juga dipakai oleh kaum Adaptionis, bahwa Yesus menjadi Allah karena diangkat Allah Bapa pada saat pembaptisan-Nya. Oleh karena itu, Pannenberg berkata, segala sesuatu bergantung pada hubungan antara klaim Yesus dengan 27 Ibid, Hlm, x-xi konfirmasi oleh Allah itu sendiri. Dengan kata lain, ke-Allahan Yesus tidak berasal dari diri-Nya sendiri, melainkan diteguhkan oleh Allah Bapa melalui peristiwa ajaib, di antaranya ialah kebangkitan. Itu berarti, kebangkitan Yesus bukanlah disebabkan dari diri-Nya sendiri, tetapi dari Allah Bapa saja. Hal ini tentu bertentangan dengan natur keilahian Yesus yang ada sejak kekekalan (Yoh. 1:1-3), selain Bapa, Yesus sendiri turut berperan dalam karya kebangkitan-Nya sendiri (I Kor. 15:20-28, 45-49). Kristologi pluralis pada hakikatnya cenderung sama dengan kelompok sekularis, yang melihat Yesus sebagai manusia biasa, pemuda Yahudi yang dipilih Allah untuk menerima Roh-Nya. Sehingga ia menjadi manusia super.28 Kesimpulan ini merupakan kesimpulan dari Kristologi dari bawah. 3.4.2.2. Kristologi Fungsional Kristologi fungsional menekankan pada karya Kristus, yaitu Apakah yang Yesus lakukan? Kaum Pluralisme dalam bukunya “Wajah Yesus di Asia“ mengatakan yang penting bukan siapakah Yesus melainkan di mana Dia berada? (Apakah Ia bersama dengan orang miskin atau Ia bersama dengan orang kaya). Kaum Pluralis umumnya melihat Allah dari sudut manfaat seperti Allah mengasihi, dan memberi hidup. Berkenaan dengan Kristologi fungsional ini kaum 28 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 142-143 Pluralis sangat berupaya mengembangkannya, hal ini terlihat dari buku “Wajah Yesus di Asia” dalam konteks pluralisme agama-agama.29 Sebuah contoh yang jelas dari Kristologi fungsional ialah karya Oscar Cullmann berjudul Christology of the New Testament. Pendekatan yang digagaskan Cullman dalam Kristologi ini adalah pemakaian “sejarah Keselamatan” (Heilsgeschichte) sebagai prinsip prangkum dalam penyelidikan berbagai gelar untuk Yesus dalam Perjanjian Baru. Dengan demikian tampaklah bahwa Kristologi Cullman dipusatkan pada apa yang dilakukan Yesus. Kristologi merupakan sebuah doktrin yang berfokus pada sebuah “peristiwa‟ dan bukan doktrin tentang sifat-sifat".30 Perlu dipertanyakan apakan memang benar Perjanjian Baru lebih menekankan fungsi atau karya Kristus daripada pribadi atau sifatNya sebagaimana yang dikemukakan oleh kaum pluralis. Sebuah Kristologi baru dapat dikatakan lengkap dan memadai apabila sudah menghadapi dari memadukan perkara yang ontologis dan fungsional. Bagi kaum pluralis, Kristologi fungsional merupakan bekal utama mereka, dalam perumusan teologi, terutama sebagai jalan bagi mereka dalam merumuskan konsep Kristologi Konstekstual mereka. 3.4.3. Yesus Sejarah Secara umum teologi Pluralis mendasarkan Kristologi mereka pada Yesus sejarah, yaitu suatu paham yang mula-mula diperkenalkan oleh theologi Liberal. Dimana teologi liberal mendasari asumsinya atas dasar rasionalisme 29 Ibid. Hlm. 143-144 Oscar Cullman, The Christology of the New Testament, edisis revisi (Philadelphia: Westminster, 1963) hlm. 9 30 bahwa hal-hal yang bersifat mujizat dan supranatural dalam Alkitab tidak mungkin terjadi. Kaum pluralis mempersoalkan Yesus sejarah melalui relasi yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan. Mereka menyimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh para penulis Injil tentang Yesus, sebenarnya bukanlah Yesus sesungguhnya atau bukan Yesus yang benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus yang menurut pikiran muridmurid atau para penulis Injil. Oleh sebab itu mereka menganggap Injil penuh dengan dongeng dan mitos. Karena itu Yesus yang dikenal dalam Alkitab oleh orang Kristen sekarang, bukan Yesus sebenarnya melainkan Yesus mitos para penulis Injil.31 Ada empat tokoh yang memulai penelitian tentang Yesus sejarah ini, yaitu David Strauss dengan bukunya “A New Life Of Jesus” dan Ernast Renan, dengan bukunya ”Life Of Jesus”. Keduanya memandang Yesus sebagai manusia biasa yang baik, sebagai seorang guru yang memiliki kebenaran-kebenaran rohani karena itu mereka menolak keillahian Yesus. Kemudian Adolf Von Harnack dengan bukunya yang terkenal “What is Christianity?” berpendapat bahwa; Injil-injil tidak memberikan kepada kita arti mengenai susunan biografi Yesus, karena mereka menceritakan kepada kita sedikit mengenai awal kehidupan Yesus. Albert Schweitzer dengan bukunya “Quest of the Historical Jesus” membangun asumsinya dengan menyatakan bahwa Injil-injil adalah tidak dapat dipercaya dan bahwa Yesus sejarah adalah seorang yang biasa, sebagai dongeng yang telah mengalami perkembangan. Jadi penyelidik Yesus sejarah melihat Yesus hanya sebagai 31 Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 145 manusia biasa saja yang rohani dan bermoral serta memiliki kebenarankebenaran rohani.32 Akhirnya penyelidikan Yesus sejarah ini terus menerus berkembang yang pada dasarnya isu sebenarnya adalah tidak mempercayai kitab Injil-injil Kanonik sebagai sumber pemahaman tentang Yesus. Misi Yesus hanya digambarkan sebagai pejuang sosial dan menggambarkan aspek utama yaitu rohani membuang semua unsur-unsur supranatural, menghilangkan inti utama dari kekristenan dan membuang pandangan Kristen tradisional. Memandang Yesus sebagai manusia biasa yang baik dan bermoral tinggi dan yang patut diteladani oleh orang Kristen. Inilah fakta yang sudah dan sedang merusak kekristenan dewasa ini.33 Roy Eckardt yang dapat juga disebut sebagai seorang teolog Pluralis menyatakan bahwa: “Kristologi harus didasarkan pada Yesus Sejarah. Atau lebih baik lagi, pengkajian ini mendekati persoalan Kristologi dari suatu pandangan sejarah umum diterima sekarang. Ioanes Rahmat juga seorang yang dapat disebut teolog Pluralis Indonesia, ia juga merupakan penganut Yesus Sejarah. Ia percaya bahwa kematian tentang Yesus dalam Injil-injil adalah ciptaan penulis, dan ia pun membedakan ucapan asli Tuhan Yesus dan yang produk dari para penulis (Yesus Seminar : Yesus tidak pernah menuntut diriNya disebut dan diakui sebagai Mesias. Hal ini merupakan kesalahan para murid Yesus dan orang Kristen masa kini).34 Borg dan Sugirtharajah menggali 32 Wisma Pandia, Teologi Pluralisme Agama-agama, , hlm. 18 Ibid 34 Iones Rahmat, Serba-serbi Doktrin: Yesuslah Satu-satunya Jalan, (Tangerang : Sirao Credentia Center) hal. 8-9 33 ulang Yesus dan menegaskan bahwa memahami Yesus sejarah berarti memahami Yesus yang sesungguhnya Dengan demikian mereka mencela orang Kristen yang terlalu menekankan finalitas Yesus Kristus dan kemutlakanNya. Kaum pluralis ingin menafsir ulang Injil dan membersihkan semua yang mereka anggap sebagai mitos. 3.4.4. Kristologi Kosmik Kristologi Kosmik memandang Yesus sebagai penyelamat yang hadir tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia sekalipun tanpa mengakui ke-Tuhanan-Nya. Mereka di antaranya adalah Karl Rahner dengan teori Anonymous Christian-nya, yang menyatakan bahwa Kristus juga hadir dalam agama-agama lain tanpa Yesus. Dalam teori Kristosentrisnya Rahner menyatakan, “Allah menghendaki semua orang diselamatkan (1 Tim. 2:4), dan iman dalam Yesus Kristus perlu untuk keselamatan. Ini berarti bahwa semua orang mendapat kesempatan percaya”. Rahner mencoba untuk mendamaikan antara rahmat Allah dan keeksklusifan Kristus yang bekerja di semua agama. Bahwa keselamatan orang Kristen adalah melalui Kristus, namun ada juga keselamatan melalui agama lain. Menurut Rahner bahwa, kemungkinan keselamatan secara universal secara ontologis berdasarkan tindakan kreatif Allah dan secara historis dihadirkan dalam peristiwa Yesus. 35 Kristologi Kosmik pertama kali dicetuskan oleh Joseph Sittler. Ia membangun Kristologi Kosmiknya didasarkan atas Kolose 1:15-20. Sittler menafsirkan Kolose 1:15-20 dengan memfokuskan penelitian terhadap 35 Dikutip oleh Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu, Hlm. 157 pernyataan-pernyataan yang nampak secara eksplisit seperti “Segala Sesuatu yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia” muncul enam kali dalam teks tersebut menerangkan mengenai pencapaian secara maksimum, dimana penebusan Allah adalah untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang luas, dimana Kristus digambarkan di situ sebagai Kristus Kosmik yang menyelamatkan semua ciptaan. Sehingga Yesus tidak hanya dimengerti dalam pengertian Yesus Historis dari Nazaret melainkan juga Yesus yang menyatakan diri dalam semua ciptaan.36 Sangat jelas bahwa Kristologi kosmik ini merupakan interpretasi yang keliru, dan penggunaan sistem penafsiran yang terbuka. Hal ini ditandai dengan penggunaan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran Yesus di luar kekristenan. Hal yang sama juga dilakukan oleh kaum Pluralis seperti Hick dan C.S Song, yang menyatakan bahwa pribadi kedua Allah Tritunggal berinkarnasi bukan hanya sekali melainkan berkali-kali di banyak tempat dan dalam banyak wujud. Kehadiran Yesus bagi mereka tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, juga tidak dapat dibatasi oleh semua batasan budaya dan agama. Oleh sebab itu, Samartha menegaskan bahwa Kristologi partikularis tidak cukup mampu untuk menuntun semua manusia, kecuali dengan Kristologi Kosmik.37 3.4.5. Kristologi yang Theosentris Kristologi yang theosentris ini dimunculkan oleh Paul F Knitter. Ia percaya bahwa model Theosentris mengarahkan perhatiannya langsung pada 36 D.A. Carson, The Gagging of God, Christianity Confrits Pluralism (Leicester: InterVarsity Press, 1966) Hlm. 44 37 Dikutip oleh Stevri I. Lumintang, Theologia Abu-Abu, Pluralisme agama, Edisi revisi, Hlm. 159 kekurangan-kekurangan dan juga mempertahankan nilai-nilai dari model pilihannya dan berisi harapan terbesar bagi dialog antar agama di masa depan dan bagi evolusi yang terus dilanjutkan atas makna Yesus Kristus bagi dunia ini. Pemahaman semacam ini memandang Yesus bukan sebagai tokoh yang eksklusif atau bahkan yang normatif. Melainkan theosentris, sebagai pengejahwantahan (sakramen akte suci, inkarnasi) dari penyataan dan keselamatan Ilahi yang relevan untuk umum. 38 Lebih lanjut Knitter menegaskan pandangan theosentris mengikuti contoh jalan Yesus dari Nazaret sebab Yesus dan intinya tentang kerajaan sorga sendiri bersifat theosentris. Yesus tidak pernah mengambil tempat Allah. Kristosentrisme tanpa theosentrisme mudah menjadi suatu penyembahan berhala yang melanggar dan merusak bukan saja pernyataan kristiani melainkan juga pernyataan yang ditentukan pada kepercayaankepercayaan lain. Jadi semua teks Alkitab yang menegaskan Yesus sebagai Allah dianggap sebagai buah pikiran dari murid-murid.39 Knitter tidak mengakui Yesus sebagai Allah bukan karena ia tidak mampu menemukan bukti-bukti Alkitab yang berbicara mengenai keilahian Yesus, melainkan dia hanya melihat tek-teks yang mendukung konsep Pluralisnya. Sementara Stanley Samartha menuliskan bahwa suatu Kristologi theosentrik memberikan ruang teologis lebih besar bagi orang-orang Kristen untuk hidup bersama dengan sesama mereka yang memeluk kepercayaankepercayaan lain. “Kristomonisme” tidak berlaku adil sepenuhnya terhadap 38 Paul F. Knitter, No Other name? A Critical Survey of Christian Attitude Toward The World Relegions (New York: Orbis Books, 1989), 66 39 Ibid. Hlm. 171-172 seluruh bukti Perjanjian Baru, juga tidak memberi penekanan cukup pada makna ketritunggalan dari iman Kristen.40 3.4.6. Inkarnasi Allah Masalah inkarnasi merupakan salah satu hal yang paling diserang. Konsep sekularisasi dan transedensi Allah serta pengalaman universalitas Allah, membuat kaum Pluralisme mengemukakan penafsiran mengenai inkarnasi seturut dengan paham mereka. 3.4.6.1. Inkarnasi yang metaforis. Tokoh yang merupakan penggagas inkarnasi yang metaforis adalah John Hick. Inkarnasi metaforis ini dimunculkan untuk membuktikan bahwa konsep inkarnasi yang dipahami oleh kaum eksklusif adalah salah dan harus ditinggalkan. Ia menolak paham keselamatan yang dianut oleh kelompok eksklusif. Baginya keselamatan harus dipahami sebagai transformasi. Baginya tidak ada saran mengenai perlunya seorang pengantara atau tidak ada karya penebusan yang dapat memampukan Allah untuk mengampuni. Ia mendasarkan pendapatnya ini atas dasar tentang doa Tuhan Yesus mengenai pengampunan dosa. Dimana baginya, pengampunan dosa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah langsung dari Bapa tanpa harus melalui Yesus. Komentarnya ini diperkuat dengan menggunakan perumpamaan tentang anak yang hilang yang baginya langsung diampuni Bapa tanpa pengantara. 41 40 Stanley Samartha, “Salib dan Bianglala : Kristus di dalam Suatu Kehidupan. Dalam “Wajah Yesus di Asia.” 41 John Hick, The Metaphor of God Incarnate: Christologi in a Pluralistic Age ((Lousville: Westminster Press, 1993), hlm. 127 Lebih jauh, Hick memberikan tiga alasan utama untuk menolak konsep tradisional atau eksklusif mengenai inkarnasi, sekaligus menegaskan konsep inkarnasinya yang metaforis:42 Pertama, Hick menyimpulkan bahwa jika Yesus adalah Allah Pencipta yang kekal menjadi manusia, maka itu menjadi sangat sulit untuk memandang Yesus sebagai fenomena yang sederajat dengan tradisi-tradisi agama lain. Ini adalah sangat tidak mungkin bahwa sintesis yang relatif demikian diterima oleh para ahli sejarah dan agama. Inkarnasi Yesus sebagai salah satu dari sekian banyak inkarnasi di dalam dunia Romawi, dimana Allah tidak selalu dipahami sebagai Allah yang mengambil rupa manusia saja. Menurut Hick, yang mereka sembah itu disebut Tuhan (God) di dalam gereja Kristen, disebut Adonai di dalam sinagoga Yahudi, disebut Allah di dalam masjid Muslim, disebut Ekoamkar di dalam gurudwara Sikh, dan disebut Rama atau Krishna di dalam kuil Hindu.43 jelaslah ia meragukan inkarnasi eksklusif. Kedua, Yesus sebagai Allah yang berinkarnasi secara literal adalah tidak benar. Karena itu tidak memiliki arti literal bahwa Yesus adalah Allah, melainkan suatu aplikasi kepada Yesus dari suatu konsep mistis yang berfungsi sebagai analogi dari anggapan mengenai keilahian Anak. Yesus memang adalah Anak Allah namun itu adalah konsep mistis karena itu, bagi Hick, inkarnasi tidaklah bergantung pada terminologi “Anak Allah”. Berkaitan dengan itu, Hick mengakui bahwa inkarnasi adalah terlalu misterius. 42 Ibid Paul F Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, Prakata oleh John Hick, (terjemahan) (Yogyakarta: Kanasius, 2008) hlm 143-145 43 Ketiga, dengan dukungan yang sangat kuat dari para ahli Perjanjian Baru yang Liberal, ia berpendapat bahwa inkarnasi merupakan perkembangan pemikiran gereja mula-mula; sedangkan Yesus sendiri tidak pernah berpikir bahwa diri-Nya akan menempuh cara yang demikian. Jadi sebutan anak Allah, Mesias, menjadi Anak Allah, yang berakhir pada rumusan Tritunggal, merupakan sebutan dan rumusan dari perkembangan pemikiran gereja. 3.4.6.2. Inkarnasi yang Multireligius. Inkarnasi yang multireligius adalah konsep inkarnasi yang tidak hanya terjadi pada agama-agama lain. Tokoh yang menganut paham ini adalah Song, Panikkar dan Karl Rahner. Song memahami bahwa inkarnasi Yesus hanyalah sebagai salah satu inkarnasi Allah. Karena Allah juga berinkarnasi dalam semua agama dan kebudayaan. Ia juga memahami bahwa inkarnasi bukan hanya dalam pengertian inkarnasi pribadi kedua Allah Tritunggal, yakni Kristus, melainkan Song mengakui adanya inkarnasi Allah dalam banyak bentuk, bahwa Allah tidak hanya menyatakan dirinya dalam agama Kristen, melainkan juga menyatakan dirinya di dalam agama lain bahkan dalam budaya. Sementara itu Panikkar dalam konsep “ The Unknown Christ of Hinduism” menyebutkan bahwa Yesus adalah Kristus tetapi Kristus bukanlah Yesus karena di dalam agama Hindu pun sesungguhnya mengakui Kristus yang tidak dikenal atau terselubung. Jadi agama Hindu pun mengakui Kristus, hanya tidak dikenal. Kristus ini merupakan misteri ilahi yang berinkarnasi dalam sejarah dan budaya manusia. Dengan kata lain bahwa Allah tidak hanya berinkarnasi melalui dan di dalam Yesus, melainkan juga dalam agama yang lain. Jadi Allah menjadi manusia tidak selalu bernama Kristus, melainkan juga terdapat di dalam Hindu yang dikenal sebagai Isharam, dalam kekristenan dikenal sebagai Yesus dari Nazaret. Panikkar membedakan antara Yesus dan Kristus. Yesus baginya adalah bagian dari Kristus dan Kristus tentu lebih dari Yesus Kristus sebagai misteri Ilahi bukan suatu realita yang mempunyai banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masingmasing agama, Kristus ada dan meyelamatkan. Sementara itu Karl Rahner dengan Anonymous Christ menempatkan Kristus yang tidak bernama, artinya ialah Kristus ada di agama-agama lain, sekalipun tidak bernama Kristus. Kristus tanpa nama, yang ada disemua agama-agama adalah Kristus yang menyelamatkan. Dengan kata lain, bahwa Allah yang menyelamatkan, tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui berinkarnasi menjadi mausia di dalam dan melalui Kristus (bernama) dalam agama Kristen, juga adalah Allah yang menyatakan diri dengan cara inkarnasi melalui Kristus (tanpa nama Kristus) di agama-agama lain. Karena itu Kristus bukan hanya monopoli orang Kristen.44 3.5. Kesimpulan Setiap agama di Indonesia, tidak dapat memungkiri fakta adanya fenomena pluralitas agama dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Akan tetapi, di satu sisi, semua agama dan pemeluk agama memiliki klaimnya masing44 Paul F. Knitter, Pengantar Teologi Agama-Agama, Hlm. 122 masing mengenai keabsolutan kebenaran-kebenaran yang diimani atau yang diminati oleh masing-masing agama. Pluralisme agama adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama. Pluralisme adalah suatu paham, sikap yang menerima validitas atau keabsahan bahwa semua agama adalah sama. Kaum pluralis menolak semua klaim agama yang bersifat eksklusif, absolut, unik dan final. Pluralisme menolak konsep kefinalitasan, eksklusivisme yang normatif dan keunikan Yesus Kristus Faktor-faktor bangkitnya pluralisme adalah masalah kemajemukan agama, dialog antar agama, Perubahan dari Modernisme ke Postmodernisme, dan relativisme. Kaum Pluralis umumnya melihat Allah dari sudut manfaat seperti Allah mengasihi, dan memberi hidup. Kaum pluralis juga mempersoalkan Yesus sejarah melalui relasi yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan. Mereka menyimpulkan bahwa apa yang ditulis oleh para penulis Injil tentang Yesus, sebenarnya bukanlah Yesus sesungguhnya atau bukan Yesus yang benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus yang menurut pikiran murid-murid atau para penulis Injil.